Kalo di RAPB, si petapa adalah bodhisatta. Yang membuat saya "terpesona" adalah ucapan kebenaran yang beliau ucapkan (tidak saya tuliskan karena saya tidak ingat persisnya). Intinya (dalam bahasa saya), beliau mengatakan bahwa selama sekian puluh tahun menjadi petapa, beliau tidak bahagia, beliau menjalaninya dengan susah-payah. Cmiiw.
Ucapan kebenaran dari si petapa: "Karena lelah terhadap kehidupan bermasyarakat, aku menjadi seorang petapa. Tetapi aku berbahagia menjalani kehidupan sebagai petapa hanya selama tujuh hari. Sejak hari ke delapan sebagai petapa, aku tidak bahagia hingga hari ini selama lima puluh tahun. Aku dengan enggan bergulat dengan pengendalian diri. Berkat kekuatan dari ucapan kebenaran ini, semoga racun lenyap dan anak ini selamat". Kemudian racun yang ada di dada anak itu meresap ke tanah.
Saya terpesona karena ternyata Buddha dulu juga bergulat dengan pengendalian diri. Sama seperti kita saat ini. Memang ndak ada yang instan yak..
Kisah tersebut ada di RAPB, di Rincian 1 (tentang Kesempurnaan Kejujuran (Sacca Parami)), diambil dari Kanha Dipayana Jataka No.444. Saat itu Bodhisatta adalah seorang petapa bernama Kanha Dipayana.
_____________
Ada kisah lain juga di sana, dari Suvannasama Jataka. Suatu hari, bodhisatta Suvannasama (dipanggil 'Sama') yang sedang merawat orangtuanya yang buta, pergi mengambil air di sungai. Raja Piliyakkha yang sedang berburu, melihatnya dan menembakkan panahnya (karena keliru menganggapnya sebagai makhluk gaib). Bodhisatta menjadi tidak sadarkan diri karena racun dari anak panah itu. Raja membawa orangtua 'Sama' ke tempat di mana 'Sama' terbaring. Setelah tahu bodhisatta belum meninggal, ibu 'Sama' mengucapkan tujuh kata-kata kebenaran:
1.Putraku 'Sama' dulu selalu mempraktikkan kebajikan (Dhammacari). Jika ini benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.
2. Putraku 'Sama' dulu selalu menjalani praktik mulia. Jika ini benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.
3. Putraku 'Sama' dulu berbicara hanya yang benar. Jika ini benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.
4. Putraku 'Sama' telah merawat orangtuanya. Jika ini benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.
5. Putraku 'Sama' dulu selalu bersikap hormat kepada mereka yang lebih tua dalam keluarga. Jika ini benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.
6. Aku menyayangi putraku 'Sama' melebihi diriku sendiri. Jika ini benar, semoga racun yang menyerang putraku lenyap.
7. Semoga racun dalam tubuh 'Sama'-ku lenyap berkat kebajikan yang telah dilakukan ayahnya dan diriku.
Ayah 'Sama' juga mengucapkan kata-kata kebenaran. Demikian pula seorang dewi bernama Bahusundari yang pernah menjadi ibu 'Sama' selama tujuh kehidupan dan sekarang menetap di Bukit Gandhamadana di Himalaya. Akhirnya bodhisatta sembuh.