Sekali waktu Brahmadatta
memerintah Benares, Bodhisatta
terlahir sebagai seekor sapi jantan,
yang bernama Mahālohita, ia tinggal
di tanah milik seorang penjaga
sebuah desa kecil. Bodhisatta
mempunyai seorang adik yang
bernama Cūḷalohita. Dua
bersaudara ini melakukan semua
pekerjaan tarik menarik barang bagi
tuan tanah mereka. Penjaga desa itu
memiliki seorang anak perempuan,
yang telah dilamar untuk menikah
dengan anak lelaki dari seorang pria
yang tinggal di kota. Orang tua gadis
itu, bermaksud menyediakan
makanan pilihan [197] bagi para
undangan pernikahan putri mereka,
mulai menggemukkan seekor babi
yang bernama Muṇika.
Melihat hal itu, Cūḷalohita berkata
kepada abangnya, “Semua barang
yang harus ditarik untuk keperluan
rumah tangga ini selalu dilakukan
oleh aku maupun kamu. Namun
semua usaha kita hanya dihargai
dengan memberikan sedikit rumput
dan jerami sebagai makanan kita.
Sementara babi itu diberi makan
nasi! Apa yang menyebabkan dia
mendapatkan makanan seistimewa
itu?”
Abangnya berkata, “Adikku, jangan iri
padanya; ia hanyalah seekor babi
yang sedang menikmati makanan
terakhirnya. Ia mendapat makanan
seperti itu untuk dijadikan makanan
pembuka untuk para undangan saat
pernikahan putri mereka. Hanya itu
alasan mereka memberikan makanan
seperti itu kepada babi tersebut.
Tunggulah beberapa saat lagi hingga
tamu-tamu berdatangan. Maka kamu
akan melihat babi itu berakhir dalam
empat potong sesuai dengan jumlah
kakinya, ia akan dibunuh dan akan
diproses menjadi kari.” Setelah
mengucapkan kata-kata tersebut, ia
mengulangi syair berikut ini :
Maka, jangan iri pada Muṇika
yang malang;
itu adalah makanan terakhir
yang sedang ia nikmati.
Dedakmu yang sederhana ini
mengandung janji dan
jaminan akan hari-hari yang
masih panjang.
Tidak lama kemudian para undangan
pun tiba. Muṇika dibunuh dan
dimasak menjadi berbagai jenis
hidangan. Bodhisatta berkata kepada
Cūḷalohita, “Apakah kamu telah
melihat Muṇika, Adikku?” “Tentu saja
saya telah melihatnya, Abangku,
pesta yang diselenggarakan dari
daging Muṇika. Makanan sederhana
seperti yang kita makan, lebih baik
seratus kali, tidak, seribu kali,
walaupun itu hanya rumput, jerami
dan dedak;— karena makanan kita
tidak akan membahayakan jiwa kita,
dan merupakan sebuah janji bahwa
hidup kita tidak akan dipersingkat.”
http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka/munika-jataka/bila perhatikan cerita ini menyeramkan taapi tentang kamma baik yang diterima munika dan dibandingkan dengan kerja keras sang sapi