Kemudian, Wisakha, demikianlah yang direnungkan para Siswa Sang Ariya: Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, telah menghindari pembunuhan makhluk hidup, telah meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua makhluk hidup. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, akan menghindari pembunuhan makhluk hidup, akan meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua makhluk hidup. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan , hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, dirinya bersih. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan , hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, diri sendiri bersih. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Para Arahat, sepanjang hiup telah meninggalkan minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan , yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Para Arahat, sepanjang hidup sehari hanya makan sekali, berhenti santap malam, mengindari makan pada waktu yang salah. Saya pun hari ini, siang dan malam ini hanya akan makan sekali, berhenti santap malam, mengindari makan pada waktu yang salah. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan; menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan; menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan.Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yan tidak dan besar, hanya menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yan tidak dan besar, hanya menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.
Demikianlah, oh, Wisakha, pengamalan Uposatha Ariya. Bila Uposatha Ariya diamalkan secara demikian, maka baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali.
Seberapa besarnya pahalanya? Seberapa besarkah manfaatnya? Seberapa besarkah kegemilangannya? Seberapa besarkah jangkauannya? Sama seperti, oh, Wisakha, memiliki otoritas kekuasaan yang berdaulat atas keenam belas negeri besar, yakni: Anga, Magadha, Kasi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Vanga, Kuru, Pancala, Maccha, Surasena, Assaka, Avanti, Gandhara, Kamboja-yang berlimpah-ruah dalam tujuh jenis permata, namun masih tidak senilai seperempat belas bagian dari uposatha berunsur delapan ini. Apa sebabnya? Karena, oh, Wisakha, bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.
Oh, Wisakha, 50 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para dewa Catumaharajika. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usaha para Dewa Catumaharajika adalah 500 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Catumaharajika. Inilah, oh, Wisakha, yang tersiratnya dalam ungkapan ‘bila dibandingan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.’
Oh, Wisakha, 100 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Tavatimsa. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tavatimsa adalah 1000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tavatimsa. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.’
Oh, Wisakha, 200 tahun alam manusia setara dengan shari semalam para Dewa Yama. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Yama adalah 2000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Yama. Inilah, oh, Wisakha, yang teriratnya dalam ungkapan ‘bila dibandingkan engan kebahagiaan surgawi, tahta manusia sungguh tiada nilainya’.
Oh, Wisakha, 400 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Tusita. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tusita adalah 4000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tusita. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.’
Oh, Wisakha, 800 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam Dewa Nimmanarati. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Nimmanarati adalah 8000 ‘tahun’ suragawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Nimmanarati. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.
Oh, Wisakha, 1600 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam Dewa Paranimmitavasavatti. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Paranimmitavasavatti adalah 16.000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Paranimmitavasavatti. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.
Tidak membunuh, tidak mencuri,
Tidak berbohong pun bukan peminum;
Menghindari percabulan dan hidup tak suci,
Tidak santap malam, di waktu yang salah.
Tak mengenakan kalung bunga dan wewangian,
Tidur di ranjang, beralas bumi atau tikar;
Inilah yang dikatakan uposatha berunsur delapan,
Pelebur dukkha, dibabarkan Buddha.
Bak mentari dan rembulan nan elok,
Bercahaya cemerlang memancar jauh;
Mengusir kegelapan di angkasa raya,
Menyinari langit menerangi penjuru.
Diantara harta benda di sini,
Mutiara, permata, lapis-lazuli,
Serta emas tanduk atau kencana nan bernilai,
Yang dikatakan dipindahkan dalam wujud alamiah;
Dibandingkan dengan uposatha berunsur delapan,
Seperenam belas pun tak sampai.
Bak sinar rembulan dengan semua cahay bintang.
Oleh karena itu, hai, pria dan wanita yang nan berbudi,
Setelah mengamalkan uposatha berunsur delapan,
Kebajikan yang mendatangkan kebahagiaan,
Dengan tiada cacat, surgalah yang kalian raih!