//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA  (Read 16313 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« on: 16 October 2011, 02:05:32 AM »
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhasa

Terpujilah Beliau Yang Mahamulia, Sang Arahat, Yang telah Mencapai Pencerahan dengan Kemampuan Sendiri.
Pancasila Buddhis dan Uposatha Sila Untuk Upasaka dan Upasika (Umat Buddha Awam)

1.Pendahuluan

Pengalaman ajaran Buddha pada dasarnya bisa dikatagorikan menjadi sila (sila), Samadhi (Samadhi) dan pannya (panna). Sila, boleh dikatakan merupakan dasar dari praktik Dhamma, dan alangkah bagusnya bila ditambah dengan praktik dana (dana, kemurahan hati). Tetapi, tentu saja jika hanya mengandalkan dana dan sila, tanpa disertai dengan praktik samadhi dan pannya, juga bukanlah praktik yang sempurna. Dana, sila, samadhi, dan pannya perlu dipraktikkan secara bersama-sama. Masing-masing memperkuat yang lainnya.

2.Sila dan manfaatnya

Sila, menurut KBBI:
(1)silakan [kata perintah yang halus];
(2)duduk dengan kaki berlipat dan bersilang;
(3)a. aturan yang melatarbelakangi perilaku seseorang atau bangsa; b. kelakuan atau perbuatan yang menurut adab (sopan santun); c.dasar, adab; akhlak; moral.

Menurut Kamus Pali:
Sila nt. sifat, tabiat, perangai, watak, perilaku, tingkah laku; budi pekerti, akhlak, moralitas, tabiat baik, perangai baik.

Sila, jika ditinjau secara etimologi (saddha-lakkhana) mempunyai arti “mantap-tenang” (silana), ketika perbuatan jasmani dan sebagainya selaras terkendali(samadhana) tidak liar-tak-karuan (avippakinna), juga ketika kualitas sifat bajik (kusala-dhamma) kokoh (upadharana)tertopang(patitthana).

Ciri sila : mantap-tenang (silana).
Fungsi sila : berperan untuk melenyapkan tindak-tanduk yang tak baik (dussilyaviddhamsana) serta mewujudkan ketiadacelaan (anavajjaguna-sampatti).
Manifestasinya: kemurnian jasmani, kemurnian ucapan, dan kemurnian pikiran. (A. 1:271)
Sebab terdekatnya : malu berbuat jahat (hiri), dan takut atau segan untuk berbuat jahat (ottappa).

Dikatakan bahwa dalam sila tercermin dalam kehendak (cetana) , factor-faktor batin (cetasika), pengendalian diri (samvara), ketiadaan pelanggaran (avitikkama). Pengendalian diri bisa terwujud melalui peraturan komunitas (patimokkha), sati (perhatian murni), pengetahuan (nana), kesabaran (khanti), dan semangat (viriya).

Manfaat sila:
•   “Ananda, sila nan bajik bertujuan pada ketiadasesalan, menghasilkan manfaat ketiadasesalan (avippatisara).” (A.5:1) [Avippatisaratthani kho, ananda, kusalani silani avippatisaranisamsani”ti.]
•   “Para kepala rumah tangga, ada lima faedah bagi dia yang bersila, yang berhasil dalam sila. Apa saja kelimanya? Di sini, para kepala rumah tangga, seorang yang bersila (silavant) yang memiliki sila(silasampanna), karena tidak lengah, meraih banyak harta milik. Inilah faedah pertama bagi dia yang bersila, yang berhasil dalam sila. Kemudian, para kepala rumah tangga, seorang yang bersila, yang memiliki sila, nama harumnya  tersebar luas. Inilah faedah kedua bagi dia yang bersila, yang berhasil dalam sila. Kemudian, para kepala rumah tangga, seorang yang bersila , yang memiliki sila, bila ia memasuki lingkungan masyarakat (parisa) lain, apakah lingkunganmasyarakat kesatria, lingkungan masyarakat brahmana, lingkungan masyarakat kepala rumah tangga, lingkungan masyarakat petapa, ia masuk dengan penuh percaya diri tiada canggung. Inilah faedah ketiga bagi dia yang bersila, yang berhasil dalam sila. Kemudian, para kepala rumah tangga, seorang yang bersila, yang memiliki sila, ia akan meninggal dengan tenang. Inilah faedah keempat  bagi dia yang bersila, yang berhasil dalam sila. Kemudian, para kepala rumah tangga, seorang yang bersila, yang memiliki sila, setelah meninggal, setelah hancur terurainya badan jasmani, ia akan terahir di alam surga, alam bahagia . inilah faedah kelima bagi dia yang bersila, yang berhasil dalam sila. (D.2:85) [Pancime, gahapatayo, anisamsa silavato silasampadaya. Katame panca? Idha, gahapatayo, silava silasampanno appamadadhikaranam mahantam bhogakkhandham adhigacchati. Ayam pathamo anisamso silavato silasampadaya. Puna caparam, gahapatayo, silavato silasampannassa kalyano kittisaddo abbhuggacchati. Ayam dutiyo anisamso silavato silasampadaya. Puna caparam,gahapatayo, silava silasampanno yannadeva parisam upasankamati-yadi khattiyaparisam yadi brahmanaparisam yadi gahapatiparisam yadi samanaparisam visarado upasankamati amankubhuto. Ayam tatiyo anisamso  silavato silasampadaya. Puna caparam, gahapatayo, silava silasampanno asammulho kalankaroti. Ayam catuttho anisamso silavato silasampadaya. Puna caparam, gahapatayo, silava silasampanno kayassa bheda param marana sugatim saggam lokam upapajjati. Ayam pancamo anisamso silavato silasampadaya. Ime kho, gahapatayo, panca anisamsa silavato silasampadaya”ti.]
•   “Para bhikkhu, jika seorang bhikkhu mengharapkan, “Semoga saya tampak menyenangkan, menawan hati, bermatabat di hadapan rekan sepenghidupan suci,’ “maka ia seyogianya menyempurnakan silanya, menggeluti samatha, tidak meremehkan jhana (jhana), menguasai wipassana (vipassana), mengembangkan batin di dalam, di tempat yang sepi.” (M.1:33) [“Akankheyya ce, bhikkhave, bhikkhu-‘sabrahmacarinam piyo ca assam manapo ca garu ca bhavaniyo ca’ti, silesvevassa paripurakari ajjhattam cetosamathamanuyutto anirakatajjhano vipassanaya samannagato bruheta sunnagaranam.]

Ada  2 jenis sila:
1.   Yang diamalkan (caritta) : mempraktikkan peraturan latihan(sikkhapada) dan perbuatan baik lainnya yang dimaklumkan Bhagawan, “Lakukanlah ini.”

Misalkan memberi penghormatan dengan cara bangkit dari duduk, beranjali, bersujud  kepada para kalyanamitta yang layak dihormati; melayani mereka, merawat mereka bila mereka sakit; mengindahkan nasihat yang diberikan mereka; memuji mereka yang memiliki kebajikan, menerima dengan sabar hantaman pihak lain; ingat terhadap bantuan yang telah diberikan mereka; turut berbahagia atas jasa-jasa kebajikan mereka; senantiasa tidak lengah dalam aneka kusala-dhamma; setelah menyadari melakukan kesalahan, mengakui sebagaimana adanya kepada sesama pengamal Dhamma (sahadhammika); memberi perhatian kepada mereka yang dirundung kesedihan atau kemalangan; memberi nasihat Dhamma kepada mereka yang memerlukannya, berusaha untuk menanggalkan keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha), dan sebagainya.

2.   Yang dihindari (varitta) : tidak melakukan yang ditolak Bhagawan, “Jangan melakukan ini.” Misalnya: Pancasila Buddhis (perbuatan-perbuatan yang melanggar lima sila), 10 akusala-kamma, dan sebagainya.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #1 on: 16 October 2011, 02:22:19 AM »
Empat jenis sila:
1.   Bhikkhusila
2.   Bhikkhunisila
3.   Anupasampannasila (samanera)
4.   Gahatthasila (umat perumah tangga)

Tahap-tahap dalam pencapaian pelaksanaan Sila [A.5:311]:

Sila(sila)=> Tiada sesal (avippatisara)=> Sukacita (pamojja)=> Kegiuran (piti)=> Keheningan (passadhi)=> Kebahagiaan (sukha)=> Pikiran terpusat (Samadhi)
=> Pengetahuan dan penlihatan sebagaimana adanya (yathabhuta-nanadassana)=> Kejemuan terhadap keduniawian (nibbida)=> Tiada nafsu (viraga)=> Pengetahuan dan penglihatan pembebasan (vimutti-nanadassana)=> Nibbana (nibbana)

Peran sila dalam pengamalan Dhamma:

•   4 hal yang akan membawa manfaat dan kebahagiaan bagi perumah tangga di masa mendatang, yakni : saddha (keyakinan), sila, cagga (kemurahan hati), panna (kebijaksanaan). [A.4:284]

•   4 hal yang tak mungkin mebawa kemerosotan, tetapi sebaliknya membawa menuju pencapaian nibbana, yakni: sila-sampanna (memiliki sila), indriyesu guttadvara (menjaga gerbang-gerbang indra), bhojane mattannu (tahu bertakar dalam hal makanan), jagariyam anuyutta (senantiasa waspada terjaga).[A.2:39]

•   5 faktor penunjang pandangan benar dan pembebasan batin, yakni : sila (berpengetahuan), sakaccha (diskusi Dhamma), samatha, vipassana. [M.1:293]

•   5 kualitas seorang sahabat spiritual atau kalyana-mitta, yakni : saddha (berkeyakinan), silavant (memiliki sila), bahussuta (berpengetahuan luas), cagavant (bermurah hati), pannavant (bijaksana). [Pug.24]

•   5 hal yang dapat diandalkan seorang wanita atau matugamassa bala, yakni: rupa (kecantikan), Bhoga(kekayaan), nati(kerabat), putta(putra), sila. [S.4:246]

•   5 wejangan bertahap atau anupubbikatha, yakni: dana, sila, saga (kebahagiaan terlahir di alam surga), kamadinava okara-samkilesa (bahaya terhanyut dalam kesenangan indriawi), nekkhammanisamsa (manfaat melepaskan keduniawian). [M.1:380;D.2:41; D.1:110]

•   7 harta luhur atau ariya-dhana, yakni : saddha, sila, hiri (malu untuk berbuat jahat), ottappa (takut atau segan untuk berbuat jahat), bahusacca (berpengetahuan luas), caga (kemurahan hati), panna (kebijaksanaan). ID.3:251; D.3:282]

•   7 tahap pencapaian kesucian atau visuddhi, yakni : sila (pemurnian sila), citta (pemurnian batin), ditthi (pemurnian pandangan), kankha-vitarana (pemurnian dengan mengatasi keragu-raguan), maggamagga-nanadassana (pemurnian pengetahuan dan penglihatan tentang apa yang merupakan jalan [kesucian] dan apa yang bukan jalan [kesucian]), patipada-nanadassana (pemurnian pengetahuan dan penglihatan tentang cara mencapai jalan [kesucian], nanadassana (pemurnian pengetahuan dan penglihatan, yakni pembebasan dari segala bentuk kemelekatan ). [M.1:147]

•   10 hal yang bisa melindungi atau nathakarana-dhamma, yakni: silavant (memiliki sila), bahussuta (berpengetahuan luas), kalyanamitta (sahabat spiritual), suvaca(mudah dinasihati), yani tani sabrahmacarinam uccavacani kimkaraniyani tattha dakkha(tangkas dalam memberikan nasihat teknis kepada sahabat sepenghidupan suci), dhammakama (menyukai Dhamma), araddhaviriya (gigih bersemangat), santuttha (merasa puas), satimant (memiliki sati), pannavant (berkebijaksanaan).[A.5:23]

•   10 kualitas yang dimiliki seorang pemimpin atau rajadhamma, yakni : dana, sila,pariccaga (kerelaan untuk melepas), ajjava (lurus), maddava (lembut/ ramah), tapa (tekun), akkodha (tidak bersifat pemarah), avihimsa (tanpa menggunakan kekerasan), khanti (sabar), avirodhana(tidak  memaksa).[Jat.3:274]

•   10 kesempurnaan (parami), yakni :dana, sila, nekkhamma, (meninggalkan keduniawian), panna, viriya (semangat), khanti (sabar), sacca (ucapan sesuai dengan kebenaran), adhittana (tekad), metta (cinta kasih), upekkha (keseimbangan batin).

•   10 perbuatan baik atau punnakiriya-vatthu, yakni: dana, sila, bhavana (meditasi), appacayana (bersikap mnghormati), veyyavacca (melayani), pattidana (perlimpahan jasa-jasa kebajikan), pattanumodana (turut bergembira atas pencapaian pihak lain), dhammassavana (mendengarkan Dhamma), dhammadesana (memberikan khotbah Dhamma), ditthijukamma (meluruskan pandangan salah), [Abhidhammatthasangaha]
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #2 on: 16 October 2011, 08:18:29 PM »
3. Pancasila Buddhis

Frasa pancasila (Panca-sila) terdiri dari dua kata, yakni panca dan sila. Panca artinya lima.

Jadi, Pancasila Buddhis adalah lima latihan moralitas paling dasar, yang seyogianya dipraktikkan umat Buddha sejak menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sanggha. Dengan mengamalkan Pancasila Buddhis, maka seseorang takkan melakukan sesuatu yang merugikan dirinya sendiri maupun pihak lain, akan terhindar dari karma buruk. Walaupun tidak mengambil sila tersebut, apabila seseorang melanggarnya, maka tetap akan menerima akibat dari karma buruk tersebut.

1.   Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.
2.    Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami.
3.   Kamesu micchacara veramani sikkhapadam samadiyami.
4.   Musavada veramani sikkhapadam samadiyami.
5.   Suramerayamajjapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami.

1.   Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari pembunuhan makhluk hidup’.
2.   Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan’.
3.   Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari berbuat asusila’.
4.   Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari berbohong’.
5.    Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan’.


3.1 Penjelasan Masing-masing Sila dari Pancasila Buddhis

Lima unsur pokok sila I:
1 pano : suatu makhluk hidup
2. panasannita :dipersepsikan sebagai makhluk hidup
3.vadhakacittam: pikiran untuk membunuh
4. upakkamo: upaya
5.tena maranam: mati karena (upaya)itu.


Kesalahannya (berat ringannya karma buruk) bergantung pada besar kecilnya tubuh (sarira) dan kebajikan (guna)makhluk hidup tersebut, juga pada besar kecilnya upaya yang dikerahkan. Bila tubuh dan kebajikannya sama, maka besar kecilnya kesalahan bergantung pada tebal tipisnya kotoran batin (kilesa) saat berupaya.

Upaya yang bisa dilakukan dengan :
1.   tangan sendiri (sahatthika);
2.   perintah atau suruhan (anattika);
3.   pelontaran  (nissaggiya);
4.   berdiri diam (thavara);
5.   jampi-jampi (vijjamaya);dan
6.   ilmu gaib (iddhimaya).


Lima unsur pokok sila II:
1.   parapariggahitam : milik orang lain
2.   parapariggahitasannita: dipersepsikan sebagai milik orang lain
3.   theyyacittam : pikiran untuk mencuri
4.   upakkamo : upaya
5.   tena haranam : berpindah karena (upaya) itu.


Upaya yang dilakukan selain seperti yang telah disebutkan di atas, juga bisa dengan cara:
1.   mencuri(theyya);
2.   kekerasan (pasayha);
3.   menutupi (paticchanna);
4.   perencanaan atau persengkongkolan (parikappa);
5.   penukaran label (kusa).

Besar kecilnya kesalahannya bergantung pada nilai barang (hinapanita), kebajikan (gunadhika) sang pemilik.

Empat unsur pokok sila III:
1.   agamaniyavatthu: objek yang seyogianya digauli
2.   tasmim sevanacittam: pikiran untuk menggauli (objek itu)
3.   sevanappayogo: upaya untuk menggauli
4.   maggenamaggapatipatti-adhivasanam: perkenan untuk melakukan senggama.

kamesu : perbuatan cabul (methunasamacara).
micchacara : yang amat dicela, diemooh orang (ekantanindita lamakacara).


Objek yang seyogianya tidak digauli :wanita yang masih:
(1)   dibawah pengawasan ibu (maturakkhita);
(2)   di bawah pengawasan ayah (piturakkhita);
(3)   di bawah pengawasan ibu dan ayah (mata-piturakkhita);
(4)   di bawah pengawasan saudara (bhaturakkhita);
(5)   di bawah pengawasan saudari (bhaginirakkhita);
(6)   di bawah pengawasan kerabat (natirakkhita);
(7)   di bawah pengawasan marga (gottarakkhita);
(8 )   di bawah pengawasan Dhamma (dhammarakkhita);
(9)   yang diamankan(sarakkha);
(10)    yang dilindungi denda (saparidanda);juga istri
(11)    yang dibeli dengan uang(dhanakkita);
(12)    yang tinggal karena suka(chandavasini);
(13)   Yang tinggal karena harta (bhogavasini);
(14)    yang tinggal karena pakaian (patavasini);
(15)    mangkuk air(odapattakini);
(16)    copot gelung (obhatacumbata);
(17)    budak wanita (dasi bhariya);
(18)    pelayan(kammakari bhariya);
(19)   bawaan simbol kemenangan (dhajahata);
(20)    sementara(muhuttika).


Di bawah pengawasan ibu : diawasi, dijaga, di bawah kekuasaan, dibawah kendali ibunya.
Di bawah pengawasan ayah : diawasi, dijaga, di bawah kekuasaan , di bawah kendali ayahnya.
Di bawah pengawasan ibu dan ayah : diawasi, dijaga, di bawah kekuasaan , di bawah kendali ibu dan ayahnya.
Di bawah pengawasan saudara : diawasi, dijaga, di bawah kekuasaan, di bawah kendali saudaranya.
Di bawah pengawasan saudari : diawasi, dijaga, di bawah kekuasaan, di bawah kendali saudarinya.
Di bawah pengawasan kerabat : diawasi, dijaga, dibawah kekuasaan, di bawah kendali kerabatnya.
Di bawah pengawasan marga : diawasi, dijaga, di bawah kekuasaan, di bawah kendali marganya.
Di bawah pengawasan Dhamma : diawasi, dijaga, di bawah kekuasaan, di bawah kendali rekan sesama Dhamma.
Yang diamankan: sejak di dalam kandungan saja sudah diambil, “Ini milik saya,” bahkan dilingkari dengan karangan bunga (ditunangi).
Yang dilindungi denda: oleh seseorang denda dikenakan kepada siapa saja yang pergi ke wanita bernama Anu, “Dendanya sekian.”
Yang dibeli dengan uang : ia dibuat tinggal setelah dibeli dengan uang.
Yang tinggal karena suka: ia dibuat tinggal karena suka sama suka.
Yang tinggal karena harta: ia dibuat tinggal setelah diberi harta.
Yang tinggal karena pakaian: ia dibuat tinggal setelah diberi pakaian.1
Mangkuk air: ia dibuat tinggal setelah menyentuh mangkuk air.2
Copot gelung: ia dibuat tinggal setelah mencopot turun gelung bantalan (beban di kepalanya).
Budak wanita: ia sebagai budak juga sebagai istri.
Pelayan: ia sebagai pelayan juga sebagai istri.3
Bawaan simbol kemenangan: budak wanita (tawanan perang) yang dibawa kembali.
Sementara: hanya sebentar saja.


Besar kecilnya kesalahan bergantung pada kebajikan sila dari objek yang digaulinya, kerelaan objeknya, kotoran batin, serta upaya yang diterapkan.


Catatan kaki:
1 Sebelumnya ia adalah seorang gelandangan.
2 Keduanya berikrar dengan memasukkan tangan mereka ke dalam semangkuk air. (Simbol perkawinan resmi di zaman itu.)
3 Awalnya digaji sebagai pembantu rumah tangga. Karena sang pria tidak puas dengan istrinya, ia lantas juga dijadikan sebagai istri sambil tetap digaji.
« Last Edit: 16 October 2011, 08:47:02 PM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #3 on: 16 October 2011, 08:32:11 PM »
Empat unsur pokok Sila IV :
1.   Atatham vatthu : hal yang tidak benar
2.   Visamvadanacittam : pikiran untuk berdusta
3.   Tajjo vayamo : upaya berdasarkan itu
4.   Parassa tadatthavijananam : pihak lawan memahami maksudnya (yang dikatakannya).


Besar kecilnya kesalahan bergantung pada kerugian yang ditimbulkannya. Mengatakan sesuatu bukan miliknya dengan tujuan agar tidak ikut memiliki sesuatu adalah lebih ringan daripada bersaksi palsu dengan tujuan menghancurkan pemilikan seseorang. Membesar-besarkan sesuatu (misalnya minyak yang sedikit dikatakan berlimpah seperti sungai) adalah lebih ringan daripada mengatakan lihat padahal tidak hal dalam suatu kesaksian.

Empat unsur pokok Sila V :
1.   majjabhavo: sesuatu yang memabukkan
2.   patukamyatacittam: pikiran untuk menenggaknya
3.   tajjo vayamo: upaya berdasarkan itu
4.   ajjhoharanam: terminum atau tertelan.

Suramerayamajjapamadatthana : hal menenggak minuman yang memabukkan (majja) yang disebut sebagai surameraya yang menimbulkan kelengahan batin (pamadacetana).

Sura (minuman hasil distilasi) terdiri dari :
1.   pitthasura :dari tepung terigu
2.   puvasura: dari kue
3.   odaniyasura: dari beras
4.   kinnapakkhitta: dari ragi
5.   sambharasamyutta: campuran dari bahan-bahan di atas


Meraya (minuman hasil fermentasi) terdiri dari:
1.   pupphasavo: dari bunga
2.   phalasavo: dari buah
3.   madhavasavo: dari madu
4.   gulasavo: dari sari tebu
5.   sambharasamyutto: campuran dari bahan-bahan di atas

Menurut “Sila dan Vinaya” (Drs. Teja S. M. Rashid, hlm. 39-40) [kami belum menemukan sumbernya di dalam kitab Pali]:
1.   suramerayamajjabhavo : sesuatu yang memabukkan
2.   pivitukamata : hasrat untuk menenggaknya
3.   pivanam : terminum
4.   maddanam : timbul gejala-gejala mabuk


“Cha khome, gahapatiputta, adinava suramerayamajjapamadatthananuyoge. Sanditthika dhanajani, kalappavaddhani, roganam ayatanam, akittisanjanani, kopinanidamsani, pannaya dubbalikaranitveva chattham padam bhavati. Ime kho, gathapatiputta, cha adinava suramerayamajjapamadatthananuyoge.” [D. 3:182]

“Oh, putra perumah tangga, inilah keenam bahaya bagi penggemar minuman keras yang memabukkan, yang menimbulkan kelengahan : kehilangan harta dalam kehidupan ini juga, semakin kerap terlibat dalam perselisihan, rentan penyakit, reputasi yang tidak baik, terpaparnya organ kemaluan, membuat melemahnya kebijaksanaan. Demikianlah enam hal yang akan muncul. Inilah, oh, putra perumah tangga, keenam bahaya bagi penggemar minuman keras yang memabukkan yang menimbulkan kelengahan.”

Berikut ini adalah syair yang dikutip dari kitab suci Dhammapada:
Suramerayapananca, yo naro anuyunjati;
Idhevameso lokasmim, mulam khanati attano. [Dhpd.247]

Artinya:
Orang yang berulang-ulang
Menenggak minuman keras,
Menggali akar (kuburan) bagi diri sendiri
Di dunia ini dan saat ini juga.

Sila dimurnikan dengan empat perwujudan ini :
1. ajjhasayavisuddhi (kemurnian tekad) : dengan hasrat yang murni, ia yang memiliki harga diri, yang jijik terhadap keburukan, berperilaku murni setelah menerbitkan rasa malu untuk berbuat jahat (hiri) dalam dirinya.
2. samadana (pengambilan sila): ia yang menghargai orang lain, takut terhadap perbuatan jahat, mengambil sila dari pihak lain, lalu berperilaku murni setelah menerbitkan rasa sungkan untuk berbuat jahat (ottapa).
3. avikkamana (tiada pelanggaran)
4. patipakatikakarana (melakukan perbaikan)


Dasa-kusalakamma-patha (Sepuluh Jalan Perbuatan Bajik):
1. Panatipata veramani
    (Menghindari pembunuhan makhluk hidup)
2. Adinnadana veramani
    (Menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan)
3. Kamesumicchara veramani
    (Menghindari perbuatan asusila)
4. Musavada veramani
    (Menghindari ucapan yang tidak benar)
5. Pisunaya vacaya veramani
    (Menghindari berlidah bercabang)
6. Pharusaya vacaya veramani
    (Menghindari ucapan kasar)
7. Samphappalapa veramani
    (Menghindari pembicaraan yang tidak berguna)
8. Anabhijjha (tidak tamak)
9. Abhayapado (tidak berniat jahat)
10. Sammaditthi (berpandangan benar)


Empat unsur pokok butir ke-5:
1.   bhinditabbo paro : pihak yang akan dipecah belah
2.   iti ime nana bhavissantiti vina bhavissantiti bhedapurekkharata, iti aham piyo bhavissami vissasikoti piyakamyata va: dengan tujuan memecah belah, “Semoga dengan demikian mereka akan berubah, akan terpisah,” atau berniat disenangi, “Semoga dengan demikian saya disenangi, saya dipercayai.”
3.   tajjo vayamo : upaya berdasarkan itu
4.   tassa tadattha vijananam : dia memahami maksudnya.


Besar kecilnya kesalahan bergantung pada kebajikan dari pihak yang dipecah belah.

Tiga unsur pokok butir ke-6:
1. akkositabbo paro : pihak yang akan dicerca
2. kupitacittam : pikiran marah
3. akkosana : pencercaan

Besar kecilnya kesalahan bergantung pada kebajikan dari pihak yang dicerca.

Dua unsur pokok butir ke-7:
1.   bharatayuddha-sitaharanadi-niratthakakatha-purekkharata : bertujuan untuk melakukan pembicaran tidak berguna, seperti Perang Bharata, Penculikan Sinta, dan sebagainya.
2.   tatharupikathakathanam: melakukan pembicaraan seperti itu.


Besar kecilnya kesalahan bergantung pada tingkat kegemarannya.

Dua unsur pokok butir ke-8 :
1.   parabhandam : barang milik pihak lain
2.   attano parinamanam : (berpikir) diselewengkan ke diri sendiri (“Ah, coba saja itu menjadi milik saya.”)

Besar kecilnya kesalahan sama seperti sila pencurian.

Dua unsur pokok butir ke-9:
1.   parasatto : makhluk hidup lain
2.   tassa ca vinasacinta : pikiran untuk membinasakannya


Besar kecilnya kesalahan bergantung pada kebajikan dari pihak yang dituju.

Dua unsur pokok butur ke-10:
1.   vatthuno ca gahitakaraviparitata : pandangan yang terjungkir balik.
2.   Yatha ca nam ganhati tathabhavena tassa upatthanam : bersiteguh pada cengkeraman pandangan demikian.

Besar kecilnya kesalahan bergantung pada tingkat kegemarannya.
« Last Edit: 16 October 2011, 08:53:54 PM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #4 on: 18 October 2011, 12:44:50 AM »
4.Uposatha Sila

Secara etimologis, ada yang mengatakan kata uposatha berasal dari kata upavasatha-kata ava luluh menjadi o-yang memiliki makna berdiam dalam, berdiam dekat, mengamalkan, menjaga, merawat. Kadang-kadang uposatha juga disebut sebagai posatha. Kata puasa dalam bahasa  Indonesia diduga berasal dari akar kata yang sama juga (upavasa).

Sistem penanggalan di India kuno (Myanmar pun demikian) membagi sebulan menjadi dua bagian (pakkha, paksa) : (1) sukkha-pakkha (Jawa Kuno, suklapaksa) : paruh terang (hari setelah bulan gelap dihitung sebagai hari ke-1, sampai dengan hari saat purnama); (2) kala/kanha-pakkha (Jawa kuno, kresnapaksa) : paruh gelap/susut (hari setelah bulan purnama dihitung sebagai hari ke-1, sampai dengan hari saat bulan gelap). Dalam kitab Pali dikatakan bahwa hari uposatha jatuh pada hari ke-8 dan ke-14 atau ke-15 dari paruh terang atau paruh gelap (catuddasi pancadasi atthami ca pakkhassa). Kalau paruh bulan (pakkha, paksa) tersebut memiliki 15 hari, maka yang dipakai adalah hari ke-15; tetapi, bila hanya memiliki 14 hari, maka yang dipakai adalah hari ke-14. Jadi, dalam satu bulan ada empat hari uposatha. (Berbeda dengan sistem Mahayana yang sebulan memiliki enam hari uposatha, 8-14-15 atau 8-13-14.) Di Indonesia, ada sebagian umat yang melaksanakan uposatha pada tanggal 1,8,15 dan 23 menurut penanggalan Lunar Tionghua. Kisah kaitan hari Uposatha dengan Catumaharajika bisa dilihat di A.1:142-4.

Uposatha-sila adalah sila yang dilaksanakan pada hari Uposatha, biasanya merujuk ke delapan sila (attha-sila, A 4:248-250; A:250-5; A. 4:255-8; 1:205-215), Tetapi, kadang-kadang juga merujuk ke sembilan sila (nava-sila, A 4:387). Bila diamalkan di hari biasa (bukan hari uposatha), maka cukup disebut menjalankan attha-sila (atthangika-sila) saja.

Berikut ini adalah attha-sila:
1.Panatipata veramani sikkhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari pembunuhan makhluk hidup’.)
2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan’.)
3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari kehidupan tidak suci’.)
4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari berbohong’.)
5. Suramerayamajjapamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan’.)
6. Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari makan pada waktu yang salah’.)
7.Naccagita-vadita-visukadassana-malagandha-vilepana dharana-mandana-vibhusanatthana veramani sikhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi ‘persolekan’.)
8.Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami.
(Saya mengambil peraturan latihan ‘menghindari pembaringan yang tinggi dan besar’.)

Sila ke-1, 2, 4 dan 5 sama seperti Pancasila Buddhis. Yang berbeda hanyalah sila ke-3, 6,7 dan 8.
Dua unsur pokok sila ke-3 menurut Kankhavitarani dan Ulasan Brahmajala-sutta:
1.sevanacitttam : niat untuk berhubungan seksual.
2. maggena maggappatipadanam : kontak seksual melalui salah satu lubang (alat kelamin, anus, atau mulut).


Dua unsur pokok sila ke-3 menurut Ulasan Kuddhakapatha:
1.   Ajjhacaraniya-vatthu :dasar atau jalur untuk perbuatan salah.
2.   Tattha-sevanacittam : niat untuk melakukan hubungan seksual melalui salah satu dari jalur yang disebutkan di atas.
3.   Sevanappayogo : usaha untuk berhubungan seksual.
4.   Sadiyanam : perasaan senang.


Empat unsur pokok sila ke-6 :
[color=red1.vikalo : waktu dari tengah hari hingga subuh keesokan harinya.
2. yavakalikam : makanan atau sesuatu yang dianggap makanan.
3. ajjhoharanappayogo : usaha untuk makan.
4. tena ajjhoharanam : tertelannya makanan itu melalui usaha tersebut.

Empat jenis makanan atau minuman :
1.   Yava-kalika (sampai tengah hari)
Semua jenis makanan bhojana (makanan utama yang kadang-kadang ditejermahkan sebagai makanan lunak) dan khadaniya (makanan pendamping yang kadang-kadang diterjemahkan sebagai makanan keras. Susu masuk ke dalam golongan ini).

2.   Yama-kalika (sampai semalam)
Jus buah-buahan (dengan ukuran maksimal sebesar kepalan tangan), jus tebu, jus akar teratai yang sudah disaring.

3.   Sattaha-kalika (sampai tujuh hari)
5 Jenis obat-obatan, yaitu : gi (sappi), mentega segar (navanita), minyak (tela), madu (madhu), dan air gula (phanita).

4.   Yava-jivika (seumur hidup)
Semua bahan yang tidak termasuk dalam katagori di atas, dimasukkan dalam katagori ini.


Umat umat yang belum diupasampada, jenis makanan atau minuman pertama hanya boleh disantap antara waktu terang tanah (garis tangan mulai tampak pada jarak seperentang tangan, atau hijau daun mulai tampak) dan tengah hari (waktu ketika matahari mencapai titik kulminasi tertinggi). Jenis yang kedua (minuman jus tanpa ampas) boleh diminum sepanjang hari. Sedangkan yang ketiga (lima jenis obat-obatan) boleh diminum sepanjang hari. Di Thailand, keju dianggap sebagai mentega segar (navanita), sesungguhnya bukan. Jenis yang keempat adalah air rebusan dari akar-akaran, dedaunan, kulit pohon, obat atau sari herbal lainnya yang telah dikeringkan boleh diminum sepanjang hari (termasuk obat-obatan kimiawi atau vitamin lainnya).

Bagi para bhikkhu (umat yang sudah diupasampada), selain berlaku ketentuan di atas juga ada tambahan batasan lain. Jenis yang pertama hanya boleh disimpan sampai tengah hari. Setelah itu harus dilepas (dibuang atau diberikan ke umat yang belum diupasampada). Jenis yang kedua hanya boleh disimpan semalam. Jenis yang ketiga hanya boleh disimpan selama 7 hari. Jenis keempat boleh disimpan seumur hidup.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #5 on: 18 October 2011, 12:51:09 AM »
Bagian I dari sila ke-7 memiliki tiga unsur pokok :

1.   Naccadini : hiburan spt nyanyian, tarian, dan sebagainya.
2.   Dassanatthaya gamanam :pergi menonton.
3.   Dassanam : menonton atau mendengarkan.


Bagian II dari sila ke-7 memiliki tiga unsur pokok:
1.   Maladinam annatarata : hiasan untuk memperindah diri seperti bunga, parfum, dan sebagainya.
2.   Anunnatakarana bhavo : kecuali sedang sakit, penggunaan benda-benda demikian tidak diizinkan.
3.   Alamkata-bhavo : menggunakan hiasan dengan niat untuk mempercantik diri.


Tiga unsur pokok sila ke-8:
1.uccasayana-mahasayanam : tempat tidur tinggi4 atau besar.
2. uccasayana-mahasayana sannita : menyadari bahwa itu adalahtempat tidur yang tinggi atau besar.
3.abhinisidanam va abhinipajjanam va : duduk atau berbaring di tempat tidur tersebut.

Dalam Atthakatha ada diuraikan 19 ciri kriteria “besar”:
1.   Tempat duduk/ tidur yang dihiasi dengan gambar binatang buas, seperti: harimau, buaya, dan sebagainya.
2.   Kulit binatang dengan bulu-bulu panjang (melebihi 4 inci).
3.   Penutup yang terbuat dari wol, penuh dengan sulaman yang rumit (tidak sederhana).
4.   Penutup yang terbuat dari wol dengan desain yang rumit.
5.   Penutup yang terbuat dari wol dengan gambar-gambar bunga.
6.   Penutup yang terbuat dari wol dengan gambar-gambar rumit dari berbagai jenis hewan.
7.   Penutup yang terbuat dari wol, dengan bulu-bulu di kedua sisi.
8.   Penutup yang terbuat dari wol, dengan bulu-bulu di satu sisi.
9.   Penutup yang terbuat dari kulit harimau.
10.   Kain penutup berwarna merah.
11.   Pengalas dari kulit gajah.
12.   Pengalas dari kulit kuda.
13.   Pengalas kereta kuda.
14.   Penutup yang ditenun dari benang emas dan sutra lalu dilipit (dijahit-pinggir) dengan benang emas.
15.   Penutup tenunan sutra dan dilipit dengan benang emas.
16.   Penutup dari wol yang cukup  luas bagi 16 penari untuk menari di atasnya.
17.   Penutup yang terbuat dari kulit musang kesturi.
18.   Tempat tidur dengan bantal merah pada kedua ujungnya.
19.   Matras yang diisi dengan kapuk saja.


Selain itu, istilah “besar” atau “luas” bisa juga merujuk pada tempat tidur yang cukup besar untuk dua orang atau lebih.

Isi matras/tilam yang diperkenankan adalah:
1.Matras/tilam yang diisi dengan wol atau bulu dari binatang berkaki dua atau empat, namun bukan rambut manusia.
2. Matras/ tilam yang diisi dengan kain.
3. Matras/tilam yang diisi dengan kulit pohon.
4. Matras/tilam yang diisi dengan rumput.
5. Matras/tilam yang diisi dengan daun, kecuali daun kamper (kapur singkel, sintok, Borneo camphor, Dryobalanops aromatica Gaertn.). Jika daun kamper dicampur dengan dedaunan lain diperbolehkan.


Uposatha-sila atau attha-sila biasanya diambil pada pagi hari sebelum makan pagi. Boleh mengambilnya dari seorang bhikkhu atau orang yang memahami seluk-beluk dasa-sila. Kalau tidak memungkinkan, maka boleh beradhitthana sendiri dengan mengucapkan satu per satu sila atau cukup beradhitthana, “Hari ini saya akan menjalankan uposatha-sila atau attha-sila.”

Uposatha-sila atau attha-sila hanya berlaku/berusia sehari. Oleh karena itu, bila mau menjalankannya lagi ada keesokan harinya, maka harus mengambil kembali sila tersebut. Bila terjadi pelanggaran terhadap sila, seyogianya minta sila kembali atau beradhitthana kembali.


5.Upoasatha-Sutta

5.1 uposatha-Sutta Versi Ringkas [A.4:248-250]

Demikianlah yang telah kudengar, Pada suatu ketika Sang Bhagawan sedang berdiam di Hutan Jeta, Arama Anathapindika, Sawatthi. Kala itu Sang Bhagawan bersabda kepada para bhikkhu. “Oh, para bhikkhu.” “Ya, Bhante,” para bhikkhu menyahut Sang Bhagawan. Demikian sabda Sang Bhagawan, “Oh, para bhikkhu, pengamalan uposatha berunsur delapan baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali. Oh, para bhikkhu, bagaimanakah pengamalan uposatha berunsur delapan  yang pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali itu?” “Dalam hal ini, oh, para bhikkhu, demikianlah yang direnungkan para Siswa Sang Ariya : Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, telah menghindari pembunuhan makhluk hidup, telah meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua makhluk hidup. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, akan menghindari pembunuhan makhluk hidup, akan meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua makhluk hidup. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur pertama yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, dirinya bersih. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, hanya mengambil apa yang diberikan, tidak mencuri, dirinya bersih. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur kedua yang menyertai.

catatan kaki:
 4 tidak boleh lebih dari 8 sugata-angula (menurut Nanavara Thera seukuran kira-kira 20 inci modern). Menurut Bhikkhu Thanissaro, satu sugata-angula adalah 2,08cm.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #6 on: 18 October 2011, 11:10:47 PM »
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur ketiga yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat di jadikan tumpuan, tidak mendustai orang orang di dunia. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur keempat yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan minuman berlkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur kelima yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup sehari hanya makan sekali, berhenti santap malam, menghindari makan pada waktu yang salah. Saya pun hari ini, siang dan malam ini hanya akan makan sekali, berhenti santap malam, menghindari makan pada waktu  yang salah. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur keenam yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi persolekan; menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi persolekan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi persolekan;  menghindari menonton tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi persolekan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur ketujuh yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yang tinggi dan besar, hanya  menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yang tinggi dan besar, hanya  menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha . Inilah unsur kedelapan yang menyertai. Demikianlah, oh para bhikkhu, pengamalan uposatha berunsur delapan yang baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali.”

5.2 Uposatha-Sutta Versi Rinci [A.4:250-255]

“Oh, para bhikkhu, pengamal uposatha berunsur delapan baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali. Oh, para bhikkhu, bagaimanakah pengamalan uposatha berunsur delapan yang pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali itu?” “Dalam hal ini, oh, ‘para bhikkhu, demikianlah yang direnungkan para Siswa Sang Ariya : Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembunuhan mahluk hidup, telah menghindari pembunuhan mahluk hidup, telah meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua mahluk hidup. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembunuhan mahluk hidup, akan menghindari pembunuhan mahluk hidup, telah meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua mahluk hidup. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur pertama yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan,  menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan,  tidak mencuri, dirinya bersih. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan,  menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, diri sendiri bersih. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur kedua yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci,  hidup menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur ketiga yang menyertai.
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur keempat yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan minuman berlkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman beralkohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur kelima yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup sehari hanya makan sekali, berhenti santap malam, menghindari makan pada waktu yang salah. Saya pun hari ini, siang dan malam ini hanya akan makan sekali, berhenti santap malam, menghindari makan pada waktu  yang salah. Dengan cara demikianlah seya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur keenam yang menyertai.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #7 on: 18 October 2011, 11:14:29 PM »
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi-persolekan; menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi persolekan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi persolekan;  menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan komestik, perhiasan dan dandanan-pengondisi persolekan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur ketujuh yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yang tinggi dan besar, hanya  menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yang tinggi dan besar, hanya  menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha . Inilah unsur kedelapan yang menyertai. Demikianlah, oh, para bhikkhu, pengamalan uposatha berunsur delapan yang baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali.
Seberapa besarkah pahalanya? Seberapa besarkah manfaatnya? Seberapa besarkah kegemilangannya? Seberapa besarkah jangkauannya? Sama seperti, oh, para bhikkhu, memiliki otoritas kekuasaan yang berdaulat atas keenam belas negeri besar, yakni: Ariga, Magadha, Kasi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Variga, Kuru, Pancala, Maccha, Surasena, Assaka, Avanti, Gandhara, dan Kamboja—yang berlimpah-ruah dalam tujuh jenis permata, namun masih tidak senilai dengan seperenam belas bagian dari uposatha berunsur delapan ini. Apa sebabnya? Karena, oh, para bhikkhu, bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.

Oh, para bhikkhu, 50 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Catumaharajika. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Catumaharajika adalah  500 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, para bhikkhu, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Catumaharajika. Inilah, oh, para bhikkhu, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, para bhikkhu, 100 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Tavatimsa. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tavatimsa adalah 1000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, para bhikkhu, ada pria atau wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tavatimsa. Inilah, oh, para bhikkhu, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, para bhikkhu, 200 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Yama. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Yama adalah 2000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, para bhikkhu, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Yama. Inilah, oh, para bhikkhu, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, para bhikkhu, 400 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam Dewa Tusita. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tusita adalah 4000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, para bhikkhu, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tusita. Inilah, oh, para bhikkhu, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.
Oh, para bhikkhu, 800 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Nimmanarati. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Nimmanarati  adalah 8000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, para bhikkhu, ada pria dan wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Nimmanarati. Inilah, oh, para bhikkhu, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, para bhikkhu, 1600 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Paranimmitavasavatti. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Paranimmitavasavatti adalah 16.000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, para bhikkhu, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Paranimmitavasavatti. Inilah, oh, para bhikkhu, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Tidak membunuh, tidak mencuri,
Tidak berbohong pun bukan peminum;
Menghindari percabulan dan hidup tak suci,
Tidak santap malam, di waktu yang salah.

Tak mengenakan kalung bunga dan wewangian,
Tidur di ranjang, beralas bumi atau tikar;
Inilah yang dikatakan uposatha berunsur delapan,
Pelebur dukkha, dibabarkan Buddha.

Bak mentari dan rembulan nan elok,
Bercahaya cemerlang memancar jauh;
Mengusir kegelapan di angkasa raya,
Menyinari langit menerangi penjuru.

Diantara harta benda di sini,
Mutiara, permata, lapis-lazuli,
Serta emas tanduk atau kencana nan bernilai,
Yang dikatakan dipindahkan dalam wujud alamiah;

Dibandingkan dengan uposatha berunsur delapan,
Seperenam belas pun tak sampai.
Bak sinar rembulan dengan semua cahaya bintang.

Oleh karena itu, hai, pria dan wanita yang nan berbudi,
Setelah mengamalkan uposatha berunsur delapan,
Kebajikan yang mendatangkan kebahagiaan,
Dengan tiada cacat, surgalah yang kalian raih!

6. Visakha
6.1 Visakha-Sutta [A. 4:255-258]

Pada suatu ketika Sang Bhagawan sedang berdiam di Persada Migaramatu, Pubbrama (arama sebelah timur), Sawatthi. Waktu itu Wisakha-bunda Sang Migara-manghampiri Sang Bhagawan, setelah itu memberi hormat kepada beliau dan duduk di satu sisi. Lantas Sang Bhagawan berkata demikian kepada Wisakha-bunda Sang Migara-yang telah duduk di satu sisi.

“Oh, Wisakha, pengalaman uposatha berunsur delapan baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali. Oh, Wisakha, bagaimanakah pengamalan uposatha berunsur delapan yang pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali itu?”  “Dalam hal ini, oh, Wisakha, demikianlah yang direnungkan para Siswa Sang Ariya : Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembunuhan mahluk hidup, telah menghindari pembunuhan makhluk hidup, telah meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua mahluk hidup. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, akan menghindari pembunuhan makhluk hidup, akan meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua makhluk hidup. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur pertama yang menyertai.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #8 on: 19 October 2011, 11:08:46 PM »
Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, dirinya bersih. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, hanyamengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, dirinya bersih. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur kedua yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari pencabulan orang awam. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari pencabulan orang awam. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur ketiga yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur keempat yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur kelima yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup sehari hanya makan sekali, berhenti santap malam, menghindari makan pada waktu yang salah. saya pun hari ini, siang dan malam ini hanya akan makan makan sekali, berhenti santap malam, menghindari makan pada waktu yang salah.
Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur keenam yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan; menghindari meenonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan meenonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan; menghindari meenonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur ketujuh yang menyertai.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yang tinggi dan besar, hanya menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yang tinggi dan besar, hanya menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha. Inilah unsur kedelapan yang menyertai. Demikianlah, oh, Wisakha, pengamalan uposatha berunsur delapan yang baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali.

Seberapa besarkah pahalanya? Seberapa besarkah manfaatnya? Seberapa besarkah kegemilangannya? Seberapa besarkah jangkauannya? Sama seperti, oh, Wisakha, memiliki otoritas kekuasaan yang berdaulat atas keenam belas negeri besar, yakni: Ariga, Magadha, Kasi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Variga, Kuru, Pancala, Maccha, Surasena, Assaka, Avanti, Gandhara, dan Kamboja—yang berlimpah-ruah dalam tujuh jenis permata, namun masih tidak senilai dengan seperenam belas bagian dari uposatha berunsur delapan ini. Apa sebabnya? Karena, oh, Wisakha, bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.

Oh, Wisakha, 50 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Catumaharajika. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Catumaharajika adalah  500 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Catumaharajika. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #9 on: 19 October 2011, 11:11:14 PM »
Oh, Wisakha, 100 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Tavatimsa. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tavatimsa adalah 1000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tavatimsa. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, Wisakha, 200 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Yama. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Yama adalah 2000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Yama. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, Wisakha, 400 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam Dewa Tusita. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tusita adalah 4000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tusita. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, Wisakha, 800 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Nimmanarati. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Nimmanarati  adalah 8000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria dan wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Nimmanarati. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, Wisakha, 1600 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Paranimmitavasavatti. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Paranimmitavasavatti adalah 16.000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Paranimmitavasavatti. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Tidak membunuh, tidak mencuri,
Tidak berbohong pun bukan peminum;
Menghindari percabulan dan hidup tak suci,
Tidak santap malam, di waktu yang salah.

Tak mengenakan kalung bunga dan wewangian,
Tidur di ranjang, beralas bumi atau tikar;
Inilah yang dikatakan uposatha berunsur delapan,
Pelebur dukkha, dibabarkan Buddha.

Bak mentari dan rembulan nan elok,
Bercahaya cemerlang memancar jauh;
Mengusir kegelapan di angkasa raya,
Menyinari langit menerangi penjuru.

Diantara harta benda di sini,
Mutiara, permata, lapis-lazuli,
Serta emas tanduk atau kencana nan bernilai,
Yang dikatakan dipindahkan dalam wujud alamiah;

Dibandingkan dengan uposatha berunsur delapan,
Seperenam belas pun tak sampai.
Bak sinar rembulan dengan semua cahaya bintang.

Oleh karena itu, hai, pria dan wanita yang nan berbudi,
Setelah mengamalkan uposatha berunsur delapan,
Kebajikan yang mendatangkan kebahagiaan,
Dengan tiada cacat, surgalah yang kalian raih!

6.2 Uposatha-Sutta [A. 1: 205-215]
Demikianlah yang telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagawan sedang berdiam di Persada Migaramatu, Pubbarama (Arama Timur), Sawatthi. Waktu –bunda Sang Migara --- pada hari uposatha memghampiri Sang Bhagawan, setelah itu memberi hormat kepada beliau dan duduk di satu sisi, Lantas Sang Bhagawan berkata demikian kepada Wisakha --- bunda Sang Migara – yang telah duduk di satu sisi, “He, Wisakha, mengapa Anda datang pada siang-siang hari begini?” “Hari ini saya mengamalkan uposatha, Bhante.”

“Wisakha, ada tiga jenis uposatha. Apa saja ketiganya? Uposatha Penggembala Sapi, Uposatha Nigantha (kaum Jain), dan Uposatha Ariya. Dan, Wisakha, bagaimana dengan Uposatha Penggembala Sapi? Bagaikan, oh, Wisakha, pada senja hari setelah menyerahkan kembali sapi-sapi kepada yang empumya, sang penggembala sapi berpikir demikian, ‘Hari ini sapi-sapi menjelajahi daerah ini dan itu; besok sapi-sapi akan menjelajahi daerah ini dan itu, minum di daerah ini dan itu’; demikian pula, Wisakha, ada seorang pengamal uposatha berpikir demikian, ‘Hari ini saya makan makanan utama ini dan itu, menyantap makanan pendamping ini dan itu; besok saya akan makan makanan utama ini dan itu, menyantap makanan pendamping ini dan itu.’ Dengan cara demikianlah ia melewatkan hari dengan pikiran (cetana) yang disertai ketamakan. Demikianlah, Wisakha, Uposatha Penggembala Sapi. Kalau diamalkan secara demikian, Wisakha Uposatha Penggembala Sapi baik pahala, manfaat kegemilangan, maupun jangkauannya takkan besar.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #10 on: 22 October 2011, 12:54:33 AM »
Dan, Wisakha, bagaimana dengan Uposatha Nigantha? Ada, Wisakha, golongan petapa yang disebut Nigantha. Demikian, he, manusia, terhadap makhluk hidup yang berada di luar seratus yojana di arah timur, letakkanlah tongkat pemukul; terhadap makhluk hidup yang berada di luar seratus yojana di arah barat, letakkanlah tongkat pemukul; terhadap makhluk hidup yang berada di luar seratus yojana di arah utara, letakkanlah tongkat pemukul ; terhadap makluk hidup yang berada di luar seratus yojana di arah selatan, letakkanlah tongkat pemukul.’ Demikianlah mereka menganjurkan beriba hati, berbelas kasih terhadap makhluk hidup tertentu, [namun] tidak menganjurkan beriba hati, berbelas kasih terhadap makhluk hidup yang lain. Demikanlah yang dianjurkan kepada pengikut mereka pada hari Uposatha, ‘Datanglah, he, manusia, setelah menanggalkan semua kain, katakanlah demikian, “Saya bukanlah apa-apa, pun bukan dari apa-apa, bukan sesuatu yang ada. Milik saya pun bukanlah apa-apa, pun bukan dari apa-apa, bukan sesuatu yang ada’.” Namun ibu dan ayahnya mengenalinya, ‘Inilah putra kami’. Ia pun mengenali, ‘Mereka adalah orang tua saya.’ Putra dan istrinya pun mengenalinya, ‘Ini adalah suami kami’. Ia pun mengenali, ‘Mereka adalah putra dan istri saya.’ Budak, pekerja, dan pelayannya pun mengenalinya, ‘Ini adalah tuan kami’. Ia pun mengenali, ‘Mereka adalah budak, pekerja, dan pelayan saya.’ Pada saat kebenaranlah yang seyogianya dianjurkan, tetapi pada saat itu kebohonganlah yang dianjurkan. Saya katakan ini adalah ucapan bohong. Selewat malam hari, ia menggunakan aset yang tidak diberikan. Saya katakan ini adalah tindakan mencuri. Begitulah, Wisakha, Uposatha Nigantha. Kalau diamalkan secara demikian, Wisakha, Uposatha Nigantha baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya takkan besar.

Dan, Wisakha, bagaimana dengan Uposatha Ariya? Batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya. Dan, Wisakha,bagaimanakah melalui upaya batin yang bernoda [bisa] menjadi bersih? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan atas Sang Tathagatha, ‘Betapa beliau, Sang Bhagawan (Yang Mahamulia), seorang Arahat (Yang Patut Dihormati), Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna Dengan Kemampuan Sendiri, Sempurna Dalam Pengetahuan dan Tindakan, Yang Telah Sukses Bertempuh, Yang Memahami Dunia, Pembimbing Yang Tiada Taranya Bagi Orang Yang Dapat Dijinakkan, Guru Para Dewa dan Manusia, seorang Buddha (Yang Telah Mencapai Pencerahan), Yang Mahamulia (Bhagawan).’ Dengan melakukan perenungan terhadap Sang Tathgata, batinnya menjadi bening, timbul sukacita. Noda batin pun ditanggalkan, Wisakha, bagaikan kepala yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.
Dan, Wisakha, bagaimanakah kepala yang bernoda [bisa] menjadi bersih melalui upaya? Dengan keladak, dengan lempung, dengan air, dengan daya-upaya yang bersesuaian dari perorangan; demikianlah, Wisakha, kepala yang bernoda menjadi bersih melalui upaya. Seperti inilah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap Sang Tathagata, ‘Betapa beliau, Sang Bhagawan (Yang Mahamulia), seorang Arahat (Yang Patut Dihormati), Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna Dengan Kemampuan Sendiri, Sempurna Dalam Pengetahuan dan Tindakan, Yang Telah Sukses Bertempuh, Yang Memahami Dunia, Pembimbing Yang Tiada Taranya Bagi Orang Yang Dapat Dijinakkan, Guru Para Dewa dan Manusia, seorang Buddha (Yang Telah Mencapai Pencerahan), Yang Mahamulia (Bhagawan).’ Dengan melakukan perenungan terhadap Sang Tathagata,  batinnya menjadi bening, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan. Inilah yang dikatakan , Wisakha, ‘Siswa Sang Ariya mengamalkan Uposatha Brahma, berdiam bersama Brahma, batin menjadi bening sehubungan dengan Brahma, batin menjadi bening sehubungan dengan Brahma, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan.’ Demikianlah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi melalui upaya.

Batin bernoda, Wisakha, menjadi bersih melalui upaya. Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda [bisa] menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap Dhamma, ‘Dhamma telah sempurna dibabarkan Yang Mahamulia, tampak di depan mata (disini dan saat ini juga), tidak dibatasi waktu, mengundang untuk dibuktikan, mengarahkan ke dalam, seyogianya diselami setiap bijaksanawan.’ Dengan melakukan perenungan terhadap Dhamma, batinnya menjadi bening, timbul sukacita. Noda batin pun ditanggalkan, Wisakha, bagaikan badan yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.
Dan, Wisakha, bagaimanakah badan yang bernoda [bisa] menjadi bersih melalui upaya? Dengan penggosok badan, dengan serbuk, dengan air, dengan daya-upaya yang bersesuaian dari perorangan; demikianlah, Wisakha, badan yang bernoda menjadi bersih melalui upaya. Seperti inilah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap Dhamma, ‘Dhamma telah sempurna dibabarkan Yang Mahamulia, tampak di depan mata (di sini dan saat ini juga), tidak dibatasi waktu, mengundang untuk dibuktikan, mengarah ke dalam, seyogianya diselami setiap bijaksanawan.’ Dengan melakukan perenungan terhadap Dhamma, batinnya menjadi bening, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan. Inilah yang dikatakan, Wisakha, ‘Siswa Sang Ariya mengamalkan Uposatha Dhamma, berdiam bersama Dhamma, batin menjadi bening sehubungan dengan Dhamma, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan.’ Demikianlah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Batin yang bernoda, Wisakha, menjadi bersih melalui upaya. Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda [bisa] menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap Sanggha, ‘Sanggha siswa Yang Yang Mahamulia telah bertindak baik. Sanggha siswa Yang Mahamulia telah bertindak lurus. Sanggha siswa Yang Mahamulia telah bertindak sesuai.Sanggha siwa Yang Mahamulia telah bertindak benar. Empat pasang insan ini, yakni delapan individu ini merupakan Sanggha siswa Yang Mahamulia, yang patut menerima sajian, patut menerima keramahan, patut menerima persembahan, patut menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya bagi dunia.’ Dengan melakukan  perenungan terhadap Sanggha, batinnya menjadi bening, timbul sukacita. Noda batin pun ditanggalkan, Wisakha, bagaikan busana yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #11 on: 22 October 2011, 01:02:01 AM »
Dan, Wisakha, bagaimanakah busana yang bernoda [bisa] menjadi bersih melalui upaya? Dengan  panas, dengan soda, dengan kotoran sapi, dengan air, dengan daya-upaya yang bersuaian dari perorangan; demikianlah, Wisakha, busana yang bernoda menjadi bersih melalui upaya. Seperti inilah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap Sanggha, ‘Sanggha siswa Yang Mahamulia telah bertindak baik. Sanggha siswa Yang Mahamulia telah bertindak lurus. Sanggha siswa Yang Mahamulia telah bertindak sesuai. Sanggha siswa Yang Mahamulia telah bertindak benar. Empat pasang insan ini, yakni delapan individu ini merupakan Sanggha siswa Yang Mahamulia, yang patut menerima sajian, patut menerima keramahan , patut menerima persembahan, patut menerima penghormatan, ladang jasa yang tiada taranya bagi dunia.’ Dengan melakukan perenungan terhadap Sanggha, batinnya menjadi bening, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan. Inilah yang dikatakan, Wisakha, ‘Siswa Sang Ariya mengamalkan Uposatha Sanggha, berdiam bersama Sanggha, batin menjadi bening sehubungan dengan Sanggha, timbul sukacitta, noda batin pun ditanggalkan.’ Demikianlah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Batin yang bernoda, Wisakha, menjadi bersih melalui upaya. Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda [bisa] mejadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap sila dirinya sendiri, yang tiada rompeng, tiada cacat, tiada noda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji para bijaksanawan, yang bebas dari kemelekatan, dan kondusif untuk konsentrasi (samadhi). Dengan melakukan perenungan terhadap silanya, batinnya menjadi bening, timbul sukacita. Noda batin ditanggalkan, Wisakha, bagaikan cermin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Dan, Wisakha, bagaimanakah cermin yang bernoda [bisa] menjadi bersih melalui upaya? Dengan minyak, dengan abu, dengan sikat/ kumparan bulu, dengan daya-upaya yang bersuaian dari perorangan ; demikianlah, Wisakha, cermin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya. Seperti inilah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap sila dirinya sendiri, yang tiada rompeng ,tiada cacat, tiada noda, tidak tercoreng, membebaskan, dipuji para bijaksanawan, yang bebas dari kemelekatan, dan kondusif untuk konsentrasi (samadhi). Dengan melakukan perenungan terhadap silanya, batinnya menjadi bening, timbul sukacita, noda batin ditanggalkan. Inilah yang dikatakan, Wisakha, ‘Siswa Sang Ariya mengamalkan Uposatha Sila, berdiam bersama sila, batin menjadi bening sehubungan dengan sila, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan.’
Demikianlah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Batin yang bernoda, Wisakha, menjadi bersih melalui upaya. Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda [bisa] menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap dewata, ‘Ada Dewa Catumaharajika (Empat Maharaja), ada Dewa Tavatimsa (Tiga-Puluh-Tiga), ada Dewa Yama, ada Dewa Tusita (Yang Merasa Puas), ada Dewa Nimmanarati (Yang Bergembira dalam Penciptaan), ada Dewa Paranimmitavasavatti (Yang menguasai Ciptaan Pihak Lain), ada Dewa Brahmakayika (Kawanan Brahma), pun ada dewa-dewa di atas itu. Sebagaimana keyakinan (sadha) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, keyakinan serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana sila yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, sila serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana pengetahuan (suta) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, pengetahuan serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana keikhlasan (caga/kerelaan) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, keikhlasan serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana kebijaksanaan (panna) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, kebijaksaan serupa pun ada pada diri saya.’ Dengan melakukan perenungan terhadap keyakinan, sila, pengetahuan, keikhlasan, dan kebijaksanaan dirinya maupun dewata-dewata itu, batinnya menjadi bening, timbul sukacita. Noda batin pun ditanggalkan, Wisakha, bagaikan emas yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Dan, Wisakha, bagaimanakah emas yang bernoda [bisa] mejadi bersih melalui upaya? Dengan perapian, dengan garam, dengan oker kuning, dengan pipa dan sepit, dan daya-upaya yang bersuaian dari perorangan; demikianlah, Wisakha, emas yang bernoda menjadi bersih melalui upaya. Seperti inilah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.

Dan, Wisakha, bagaimanakah batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya? Sehubungan dengan ini, Wisakha, siswa Sang Ariya melakukan perenungan terhadap dewata, ‘Ada Dewa Catumaharajika (Empat Maharaja), ada Dewa Tavatimsa (Tiga-Puluh-Tiga), ada Dewa Yama, ada Dewa Tusita (Yang Merasa Puas), ada Dewa Nimmanarati (Yang Bergembira dalam Penciptaan), ada Dewa Paranimmitavasavatti (Yang menguasai Ciptaan Pihak Lain), ada Dewa Brahmakayika (Kawanan Brahma), pun ada dewa-dewa di atas itu. Sebagaimana keyakinan (sadha) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, keyakinan serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana sila yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, sila serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana pengetahuan (suta) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, pengetahuan serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana keikhlasan (caga/kerelaan) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, keikhlasan serupa pun ada pada diri saya. Sebagaimana kebijaksanaan (panna) yang dimiliki para dewata itu, yang sepeninggal dari sini terlahir di sana, kebijaksaan serupa pun ada pada diri saya.’ Dengan melakukan perenungan terhadap keyakinan, sila, pengetahuan, keikhlasan, dan kebijaksanaan dirinya maupun dewata-dewata itu, batinnya menjadi bening, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan. Inilah yang dikatakan, Wisakha, ‘Siswa Sang Ariya mengamalkan Uposatha Dewata, berdiam bersama para dewata, batin menjadi bening sehubungan dengan para dewata, timbul sukacita, noda batin pun ditanggalkan.’ Demikianlah, Wisakha, batin yang bernoda menjadi bersih melalui upaya.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #12 on: 23 October 2011, 12:44:23 AM »
pengulangan bagian yg sama: ShowHide
Kemudian, Wisakha, demikianlah yang direnungkan para Siswa Sang Ariya: Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, telah menghindari pembunuhan makhluk hidup, telah meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua makhluk hidup. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembunuhan makhluk hidup, akan menghindari pembunuhan makhluk hidup, akan meletakkan tongkat pemukul serta senjata tajam, tahu malu, dan memiliki rasa iba, berbelas kasih atas kemaslahatan semua makhluk hidup. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan , hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, dirinya bersih. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pengambilan sesuatu yang tidak diberikan, menghindari pengambilan sesuatu yang tidak diberikan , hanya mengambil apa yang diberikan, hanya menginginkan apa yang diberikan, tidak mencuri, diri sendiri bersih. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan kehidupan tidak suci; hidup suci, hidup menjauhi dan menghindari percabulan orang awam. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan ucapan bohong, menghindari ucapan bohong, mengucapkan yang benar, yang bersanding dengan kebenaran, tandas, dapat dijadikan tumpuan, tidak mendustai orang-orang di dunia. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Para Arahat, sepanjang hiup telah meninggalkan minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan , yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan; menghindari minuman berakohol, minuman hasil fermentasi yang memabukkan, yang mengondisikan kelengahan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Para Arahat, sepanjang hidup sehari hanya makan sekali, berhenti santap malam, mengindari makan pada waktu yang salah. Saya pun hari ini, siang dan malam ini hanya akan makan sekali, berhenti santap malam, mengindari makan pada waktu yang salah. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; telah meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan; menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; meninggalkan pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan; menghindari menonton hiburan tari-tarian, nyanyian, dan musik; menghindari pengenaan untaian bunga, wangi-wangian, urapan kosmetik, perhiasan, dan dandanan-pengondisi persolekan.Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Para Arahat, sepanjang hidup telah meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yan tidak dan besar, hanya menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Saya pun hari ini, siang dan malam ini akan meninggalkan pembaringan yang tinggi dan besar, menghindari pembaringan yan tidak dan besar, hanya menggunakan pembaringan yang rendah, di atas ranjang atau tikar rerumputan. Dengan cara demikianlah saya meneladan para Arahat, dan akan mengamalkan uposatha.

Demikianlah, oh, Wisakha, pengamalan Uposatha Ariya. Bila Uposatha Ariya diamalkan secara demikian, maka baik pahala, manfaat, kegemilangan, maupun jangkauannya besar sekali.
Seberapa besarnya pahalanya? Seberapa besarkah manfaatnya? Seberapa besarkah kegemilangannya? Seberapa besarkah jangkauannya? Sama seperti, oh, Wisakha, memiliki otoritas kekuasaan yang berdaulat atas keenam belas negeri besar, yakni: Anga, Magadha, Kasi, Kosala, Vajji, Malla, Ceti, Vanga, Kuru, Pancala, Maccha, Surasena, Assaka, Avanti, Gandhara, Kamboja-yang berlimpah-ruah dalam tujuh jenis permata, namun masih tidak senilai seperempat belas bagian dari uposatha berunsur delapan ini. Apa sebabnya? Karena, oh, Wisakha, bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.

Oh, Wisakha, 50 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para dewa Catumaharajika. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usaha para Dewa Catumaharajika adalah 500 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali  di antara para Dewa Catumaharajika. Inilah, oh, Wisakha, yang tersiratnya dalam ungkapan ‘bila dibandingan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.’

Oh, Wisakha, 100 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Tavatimsa. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tavatimsa adalah 1000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tavatimsa. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.’

Oh, Wisakha, 200 tahun alam manusia setara dengan shari semalam para Dewa Yama. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun.  Usia para Dewa Yama adalah 2000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Yama. Inilah, oh, Wisakha, yang teriratnya dalam ungkapan ‘bila dibandingkan engan kebahagiaan surgawi, tahta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, Wisakha, 400 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam para Dewa Tusita. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Tusita adalah 4000 ‘tahun’ surgawi  demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu, berkat mengamalkan uposatha berunsur  delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Tusita. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya.’

Oh, Wisakha, 800 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam Dewa Nimmanarati. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Nimmanarati  adalah 8000 ‘tahun’ suragawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria dan wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Nimmanarati. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Oh, Wisakha, 1600 tahun alam manusia setara dengan sehari semalam Dewa Paranimmitavasavatti. Tiga puluh ‘malam’ demikian adalah sebulan. Dua belas ‘bulan’ demikian adalah satu tahun. Usia para Dewa Paranimmitavasavatti  adalah 16.000 ‘tahun’ surgawi demikian. Bisa jadi, oh, Wisakha, ada pria atau wanita tertentu , berkat mengamalkan uposatha berunsur delapan, sesudah meninggal dunia, setelah hancur terurainya badan jasmani, akan terlahir kembali di antara para Dewa Paranimmitavasavatti. Inilah, oh, Wisakha, yang tersirat dalam ungkapan ‘bila dibandingkan dengan kebahagiaan surgawi, takhta manusia sungguh tiada nilainya’.

Tidak membunuh, tidak mencuri,
Tidak berbohong pun bukan peminum;
Menghindari percabulan dan hidup tak suci,
Tidak santap malam, di waktu yang salah.

Tak mengenakan kalung bunga dan wewangian,
Tidur di ranjang, beralas bumi atau tikar;
Inilah yang dikatakan uposatha berunsur delapan,
Pelebur dukkha, dibabarkan Buddha.

Bak mentari dan rembulan nan elok,
Bercahaya cemerlang memancar jauh;
Mengusir kegelapan di angkasa raya,
Menyinari langit menerangi penjuru.

Diantara harta benda di sini,
Mutiara, permata, lapis-lazuli,
Serta emas tanduk atau kencana nan bernilai,
Yang dikatakan dipindahkan dalam wujud alamiah;

Dibandingkan dengan uposatha berunsur delapan,
Seperenam belas pun tak sampai.
Bak sinar rembulan dengan semua cahay bintang.

Oleh karena itu, hai, pria dan wanita yang nan berbudi,
Setelah mengamalkan uposatha berunsur delapan,
Kebajikan yang mendatangkan kebahagiaan,
Dengan tiada cacat, surgalah yang kalian raih!
« Last Edit: 23 October 2011, 01:04:34 AM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #13 on: 23 October 2011, 12:46:19 AM »
7. Ulasan Uposatha-Sutta [A.A 2:320-329]

Kesepuluh. Pada hari uposatha : di hari uposatha, pada hari uposatha di hari itu, pada hari uposatha-hari kelima-belas (bulan purnama). Menghampiri: setelah bertekad [mengamalkan] unsur-unsur uposatha, menghampiri sambil memegang wewangian, untaian bunga, dan sebagainya. He: kata seru. Siang-siang: siangnya siang yakni tengah hari, saat sedang tengah hari. Mengapa Anda datang: [beliau] bertanya, Anda bertandang ke sini untuk urusan apa? Uposatha Penggembala Sapi: uposatha yang diamalkan bersama para penggembala Sapi. Uposatha Nigantha : uposatha yang diamalkan kaum Nigantha. Uposatha Ariya : uposatha yang diamalkan kaum Ariya. Bagaikan, oh, Wisaha: ibarat, oh, Wisakha. Pada senja hari setelah menyerahkan kembali sapi-sapi kepada yang empunya: para penggembala sapi setelah menerima dan menjaga sapi-sapi, diupah secara harian, lima-harian, sepuluh-harian, setengah-bulanan, bulanan, enam bulanan, atau tahunan. Di sini merujuk ke penjagaan yang diupah secara harian. Menyerahkan kembali : menerimakan, memberikan kembali, “Ini sapi kalian.” Berpikir demikian: sekembali ke rumah sendiri, bersantap, berbaring di ranjang, melakukan permenungan seperti ini. Yang disertai dengan ketamakan: yang bersekutu dengan nafsu keinginan (tanha). Demikianlah, Wisakha, Uposatha Penggembala Sapi : dibandingkan dengan Uposatha Ariya, landasan berpijak  dari Uposatha Penggembala Sapi bukanlah pemikiran yang murni. Pahala….nya takkan besar : buah pahalanya bukanlah pahala yang besar. Manfaat….nya takkan besar: buah manfaatnya bukanlah manfaat yang besar. Kegemilangan..nya takkan besar: buah kecermelanganya yang besar. Jangkauannya…nya takkan besar: buah jangkauannya takkan dahsyat.
« Last Edit: 23 October 2011, 01:03:10 AM by Yi FanG »
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."

Offline Yi FanG

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 238
  • Reputasi: 30
  • Gender: Female
  • Namo Buddhaya...
Re: PANCASILA BUDDHIS & UPOSATHA SILA
« Reply #14 on: 24 October 2011, 03:08:04 AM »
Golongan petapa: para petapa. Di luar seratus yojana: melewati seratus yojana, di atas itu. Terhadap .…letakkanlah tongkat pemukul: terhadap makhluk hidup yang berada di daerah di luar seratus yojana, letakkanlah tongkat pemukul; hal meletakkan tongkat pemukul. Saya bukanlah apa-apa, pun bukan dari apa-apa, bukan sesuatu yang ada: saya bukan merupakan sesuatu milik pihak lain, bukan dari mana, bukan sesuatu yang ada. Sesuatu di sini dimaksudkan sebagai penghalang (palibodha). Dikatakan [itu] bukanlah penghalang. Milik saya pun bukanlah apa-apa, pun bukan dari apa-apa, bukan sesuatu yang ada: milik saya pun bukan dari apa-apa, dari mana, entah dari dalam atau dari luar; pun tidak ada sesuatu, satu benda pun; tidak ada penghalang, sebagaimana yang dikatakan, “Terpotong sudah penghalang pada diri saya.” Aset: ranjang, bangku, bubur, nasi, dan sebagainya. Menggunakan … yang tidak diberikan : pada hari berikutnya ia berbaring di atas ranjang, duduk di atas bangku, menenggak bubur, menyantap nasi, ia menggunakan aset mereka yang tidak diberikan. Pahala…nya takkan besar: tidak berpahala. Secara harafiah di sini masih ada (pahala) yang tersisa namun secara makna tidak tersisa. Demikianlah buah pahala dari uposatha yang diamalkan hanya secuil, tidak sebagaimana yang diinginkan, yang disukai, yang menawan hati. Karena itu sia-sia belaka, itulah yang seyogianya dipahami. Kalimat lainnya pun dipahami secara demikian.

Batin yang bernoda : mengapa dikatakan demikian? Diperlihatkan [di sini] bahwa mengamalkan uposatha dengan batin yang tercemar takkan menghasilkan pahala yang besar, sedangkan bila mengamalkannya dengan batin yang murni diwejangkan menghasilkan pahala yang besar. Oleh karena itu, di sini diperlihatkan area aksi (kammatthana/ objek perenungan) yang dapat memurnikan batin. Upaya di sana merujuk ke tindakan atau usaha masing-masing individu. Melakukan perenungan terhadap Sang Tathagata: melakukan perenungan terhadap delapan kualitas (kebajikan)Tathagata. Di sini, betapa beliau, Sang Bhagawan : beliau Sang Bhagawan, betapa dengan sila, samadhi … terangkum semua kualitas (kebajikan) Budddha, baik yang bersifat duniawi (lokiya) maupun yang bersifat adiduniawi (lokuttara). Arahat dan seterusnya : satu per satu kualitas (kebajikan) ditunjukkan. Dengan melakukan perenungan terhadap Sang Tathagata, batinnya menjadi bening : dengan melakukan perenungan terhadap kualitas (kebajikan) Sang Tathagata, baik yang bersifat duniawi maupun yang bersifat adiduniawi, maka timbullah batin nan bening (tulus-yakin).

Noda batin : lima perintang batin (nivarana). Keladak : buah malaka (kemloko). Daya-upaya yang bersesuaian : daya-upaya pelumuran, pengusapan, pembilasan dengan keladak yang sesuai, yang cocok. Menjadi bersih: menjadi berada dalam keadaan bersih. Tak elok kalau mendandani kepala yang kotor  dengan hiasan kemudian merayakan festival. [Sebaliknya] sungguh elok kalau mendandani [kepala] yang bersih dengan hiasan kemudian merayakan festival. Demikian pula bila mengamalkan uposatha dengan menjaga unsur-unsur uposatha dengan batin yang kotor takkan menghasilkan pahala yang besar. [sebaliknya] bila mengamalkan uposatha dengan menjaga unsur-unsur uposatha dengan batin yang bersih akan menghasilkan pahala yang besar. Demikianlah yang dimaksudkan. Mengamalkan Uposatha Brahma : Sammasambuddha disebut sebagai Brahma. Karena melakukan perenungan terhadap kualitas (kebajikan) beliau sehingga pengamalan uposatha ini juga disebut sebagai pengamalan Uposatha Brahma. Berdiam bersama Brahma: berdiam bersama Sammasambuddha. Sehubungan dengan Brahma: sehubungan dengan Sammasambuddha.

Melakukan perenungan terhadap Dhamma: melakukan perenungan terhadap lokuttaradhamma bersama untaian narasinya (dari kitab suci). Penggosok badan: penggosok badan kuruvindaka. Dengan damar(lak) sebagai perekat, serbuk batu kuruvindaka dibuat menjadi manik-manik, dilubangi, lalu dirangkai dengan benang. Punggung digosok dengan memegang sepasang ikatan manik-manik ini. Itulah yang dimaksudkan “dengan penggosok badan”. Serbuk : serbuk mandi. Daya-upaya yang bersesuaian : melumuri, menggosok, membasuh, dan sebagainya, itulah daya upaya yang sesuai. Uposatha Dhamma: disebut Uposatha Dhamma karena uposatha ini diamalkan dengan merujuk ke ‘sembilan lokuttaradharmma bersama untaian narasinya (dari kitab suci). Menjadi bersih di sini seyogianya dipahami sebagaimana yang dilakukan sebelumnya.

Melakukan perenungan terhadap Sanggha : melakukan perenungan terhadap kualitas (kebajikan) Sanggha. Dengan panas (usma): dua kali terambil sudah dengan panas (usma). Bisa juga dibaca (ditafsirkan) sebagai usa (makanan?). inilah maknanya. Soda: abu. Kotoran sapi: atau air kencing sapi, atau kotoran kambing. Menjadi bersih : di sini pun seyogianya dipahami sebagaimana yang dilakukan sebelumnya. Uposatha Sanggha : didebut Uposatha Sanggha karena uposatha ini diamalkan dengan merujuk ke kualitas (kebajikan) dari delapan individu Ariya.

Sila : sila perumah tangga bagi kaum perumah tangga. Sila pabbajita (yang sudah meninggalkan kehidupan berumah tangga) bagi kaum pabbajita. Tiada rompeng dan sebagainya: sebagaimana yang dipaparkan dalam Visuddhimagga (I:151-2). Sikat/ kumparan abu: sikat/ kumparan yang terbuat dari bulu kuda, serat murva (Sanseviera roxburghiana), dan lain-lain. Daya-upaya yang bersesuaian : daya-upaya membasahi dengan minyak, noktah diketahui sudah lembap, lantas ditaburi dengan abu, digosok dengan sikat/ kumparan bulu. Menjadi bersih di sini seyogianya dipahami secara demikian, walaupun cermin yang bernoda telah dihiasi dengan ornamen, bila menengok ke kondisi diri sendiri tampak tak elok. Tetapi kalau bersih, tampak elok. Demikian pula bila mengamalkan uposatha dengan batin yang kotor takkan menghasilkan pahala yang besar. [Sebaliknya] bila mengamalkan uposatha dengan batin yang bersih akan menghasilkan pahala yang besar. Uposayha Sila: disebut Uposatha Sila karena mengamalkan uposatha dengan melakukan perenungan terhadap sila diri dendiri. Bersama Sila: bersama pancasila (Buddhis), dasasila diri sendiri. Sehubungan dengan sila: sehubungan dengan pancasila (Buddhis) dasasila.
"Dhamma has a value beyond all wealth and should not be sold like goods in a market place."