Saya setuju bro... secara prinsipil kita boleh menerima atau menolak tapi jangan dianggap sebagai suatu kebenaran, sebelum terbukti benar atau salah.
ada perbedaan bahasa di sini. bagi saya menerima itu berarti menganggap sebagai kebenaran.
jadi maksud saya, sah2 saja menganggap sesuatu sebagai kebenaran, yg penting alasannya.
Bro Morpheus yang baik, demikian juga menolak itu berarti menganggap sebagai ketidak-benaran, sah-sah saja menganggap sesuatu sebagai ketidak-benaran, yg penting alasannya.
Saya menerima Ajaran Buddha bukan hanya karena tertulis di kitab suci, tetapi saya menerimanya karena, saya dan juga entah jutaan entah milyaran orang yang telah mempraktikkan Ajaran Beliau membuktikan bahwa teori dan praktek sejalan.
Jadi untuk kasus saya pernyataan "percaya" dalam beberapa kasus sudah irrelevan.
Beda halnya dengan percaya terhadap sesuatu yang:
- Tak pernah dibuktikan,
- Tak ada manusia satupun di dunia yang telah membuktikan,
- Tak ada cara membuktikan
Tapi masih banyak manusia-manusia dungu yang percaya dan menganggapnya sebagai kebenaran.
Bukankah lebih bermanfaat bila kita berusaha membuktikan (bila ada jalan) apa yang bisa dibuktikan, daripada berspekulasi ?
well, om fabian. pada dasarnya kita gak bisa bilang mereka yg percaya tuhan2 itu dungu. selama blom suci, semua orang punya kedunguannya masing2, termasuk saya.
Ya memang benar, orang dungu itu hanya dungu secara spiritual, dalam hal lain bisa saja mereka cerdas, mungkin mereka profesor, atau guru besar di Universitas atau profesional dll, tapi kita bukan bicara dalam konteks itu kan...?
Kedunguan yang saya maksud adalah kedunguan spiritual yang nyata.
- Tak pernah dibuktikan,
- Tak ada manusia satupun di dunia yang telah membuktikan,
- Tak ada cara membuktikan
selama kepercayaan itu untuk dirinya pribadi, tidak ada masalah. lain halnya kalo kepercayaannya itu membuat dia melakukan praktek2 pemaksaan kehendak dan intoleransi. di thread ini konteksnya adalah yg kedua yaitu dalam sebuah argumentasi antara pendapat2 yg berseberangan, bukan untuk diri pribadi.
Ah ya saya kira tak ada pemaksaan kehendak dalam suatu adu argumentasi di dunia Buddhis. Paling-paling yang terjadi pihak yang satu berusaha meyakinkan pihak yang lain, entah kalau di agama lain.
ko fabian....
dari tulisan yang saya cetak tebal dan garis bawahi.... tidak bisa juga anda menyatakan hal ini secara sefihak...
mengapa saya katakan ini?
sebab nyata-nyata anda
terjebak dari satu sudut pengalaman jiwa anda sendiri.
mengapa saya sebut jiwa bukan spiritulitas?
ketika seseorang masih dalam taraf duniawi, seperti juga guru Buddha bilang ia hanya hidup dalam pengalaman panca khandanya saja.
selama ia belum mengalami Nibanna, sesungguhnya merujuk kepada perkataan ko fabian, mereka semua adalah orang-orang dungu.
tetapi pengalaman spiritual tidak dapat anda nilai dengan hanya sebatas pertimbangan melihat kulit luar (jasmaniah) dan logic ukuran pengalaman jiwa saja melainkan setelah dikerjakan seperti guru Buddha bilang dalam prinsip ehipassiko.
dan anda tidak mengetahui pengalaman spiritual apa yang telah mereka alami setelah pindah perahu. (catatan: dalam pengertian bukan hal-hal duniawi misal karena cewek, karena proyek bisinis, karena kenaikan jabatan, karena uang/kekayaan dsbnya yang duniawi. dan orang seperti itu bisa terlihat kualitasnya.)
sahabat baik
coeda, the believer