sori cuman copas dr uraian bhante Pannya (dicuplik dari dawai No:43,
http://dhammacitta.org/perpustakaan/dawai-43-2/):
...
Yang membuat seseorang menjadi umat Buddha itu adalah cara berpikirnya, bukan upacaranya. Kalau Saudara yang siap menjadi umat Buddha, Saudara harus siap mengubah cara berpikir yang tidak sesuai dengan Dhamma.
Saya pernah mencontohkan demikian.
Kalau Anda ingin makan pisang goreng, Anda harus punya pisang. Kalau tidak punya pisang apa yang akan digoreng? Jika punya pisang tapi tidak punya minyak, mau menggoreng dengan apa? Apakah dengan air? Tidak hanya punya pisang, harus punya minyak, tepung, gula, air, wajan, kompor, minyak kompor, sumbu kompor, korek api, ada manusia dan manusia itu mau menggoreng pisang goreng. Dua belas sebab/faktor untuk bisa makan pisang goreng.
Nah, kalau beli kan tidak usah 12 sebab/faktor, Bhante?Kalau beli, sebabnya lebih banyak lagi. Saudara mau beli pisang goreng dengan apa? Dengan duit. Duitnya dari mana? Ya, minta dari ibu. Khan harus punya ibu. Minta dari kenalan khan harus punya kenalan. Saudara punya kenalan sebabnya bagaimana. Saya kenal dengan dia itu sebabnya panjang. Kan begitu. Itulah Paticcasamuppada. Itulah Dhamma.
Saya tidak berbangga hati.
Saudara boleh belajar dari sistem-sistem yang lain apakah Saudara akan menemui pelajaran seperti ini? Sulit. Inilah penemuan Sang Buddha yang luar biasa. Yang membuat kita terbuka, pandai, bijaksana, tidak hanya sekedar menjadi baik.Dari pelajaran ini, kita menarik kesimpulan, tidak ada alasan untuk sombong. Anda bisa membuat pisang goreng, yang membantu itu banyak sekali, dan semuanya itu yang Saudara tidak bisa buat sendiri. Ada orang lain yang membuat kompor, penggorengan, ada orang lain yang menjual minyak, ada orang lain yang membuat terigu, gula, ada orang lain yang menjual gula.
Bagaimana Saudara bisa mengatakan hal ini pisang gorengku. Aku membuat pisang goreng ini sendirian. Tidak masuk akal Saudara.Demikian juga misalnya Saudara menolong orang sakit, Saudara mencarikan obat, kemudian memberikannya kepada orang sakit itu.
Kalau ditanya, "Siapa yang menolong, yang memberikan obat kepada dia? O... saya.”
Untuk berbicara sehari-hari, boleh. Siapa yang membuat pisang goreng ini. Kok enak? Saya. Untuk berbicara sehari- hari, boleh. Saudara tidak usah menjelaskan: 'Pisang goreng ini bukan saya sendiri yang buat. Saya sebagian, yang lain ada minyak, ada air, ada tepung, ada gula. Yang bikin gula, tepung, orang lain'.
Sudah beragama Buddha, kok jadi sinting.Lalu apa gunanya Bhante menjelaskan begitu? Gunanya untuk mendidik mental kita, mengerti siapa kita sesungguhnya, agar kita tidak sombong. Yang menolong orang sakit itu, bukan Saudara. Saudara adalah sebagian faktor dari perbuatan menolong. Tidak ada aku yang menolong, yang ada hanya proses menolong. Ini lebih tinggi lagi. Bila Saudara tidak mengerti yang ini, tidak usah pusing, tinggalkan saja. Ingat-ingat pisang goreng saja.
Mengapa hanya ada proses menolong, tidak ada aku yang menolong? Bagaimana Saudara bisa mengatakan aku yang menolong, karena bukan Saudara sendiri yang menolong. Kalau tidak ada orang yang akan Saudara tolong, Saudara mau menolong siapa? Ada orang sakit, ada Saudara, Saudara ingin menolong, ada obat; nah, terjadilah pertolongan.
Jadi siapa yang berbuat baik Saudara? Ya, bareng-bareng. Yang sakit, obatnya, dan orang yang menolong itu.
Itulah Anatta. Yang ada hanya kebaikan, tidak ada AKU yang berbuat baik; karena Saudara tidak bisa berbuat baik sendirian. Bagaimana Saudara bisa berbuat baik sendirian, sedangkan itu harus punya pasangan. Mengerti
Saudara?
Ini sudah kelas tinggi.
Itulah Dhamma, sangat mendalam sekali. Orang yang mengerti Dhamma dengan benar, kebijaksanaannya akan tinggi sekali. Meskipun Saudara berkeluarga, berumah tangga, masih muda, orang sakti tidak dapat mengukur sampai di mana kebijaksanaan Saudara. Mungkin sudah tinggi, mungkin masih rendah. Dan zaman yang modern seperti ini, kebijaksanaan yang saya sebutkan tadi sangat perlu. Kita tidak hanya sekedar pasang dupa, pasang lilin, minta selamat, minta rejeki, itu tidak cukup. Saudara harus punya kebijaksanaan. Dunia semakin maju, persaingan semakin keras, Saudara tidak boleh menjadi bodoh, tapi harus bijaksana.