//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)  (Read 5877 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« on: 27 September 2020, 06:03:58 PM »
Ini adalah terjemahan dari The Madhyama Āgama (Middle-Length Discourses) vol. II yang diterjemahkan oleh Bhikkhu Analāyo dkk dari Taishō Tripitaka no. 26 (T 26). Volume II ini terdiri dari bagian 7-11 yang berisi kotbah 72-131. Berikut adalah terjemahan bagian ketujuh yang terdiri dari kotbah 72-86 (MĀ 72-86).
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #1 on: 27 September 2020, 06:07:04 PM »
MADHYAMA ĀGAMA VOLUME II

Sebagai tindakan Dhammadāna, Bhikkhu Anālayo telah membebaskan
pembayaran atas terjemahan Madhyama Āgama
(Kotbah-Kotbah Menengah)
, Volume II-IV

Pendahuluan Volume II

Volume ini mewakili bagian kedua dari Madhyama Āgama (Kotbah-Kotbah Menengah) dalam BDK English Tripiṭaka (Seri Pertama). Volume I terjemahan ini muncul pada tahun 2013; sekarang, setelah tiga tahun karya yang lebih jauh, terjemahan tiga Volume sisanya telah diselesaikan.

Pendahuluan umum pada Volume I oleh Kepala Penyunting Marcus Bingenheimer (pp. xv–xxviii) menyediakan informasi latar belakang penting tentang topik-topik seperti genre kumpulan teks yang disebut as Āgama- Āgama and Nikāya- Nikāya; Madhyama-āgama secara khusus; perihal-perihal di mana Madhyama-āgama sampai diterjemahkan dari bahasa sumber India ke dalam bahasa Mandarin pada abad keempat Masehi, yang menghasilkan teks yang berjudul Zhong ahan jing (nomor 26 dalam edisi Taishō dari Tripiṭaka Mandarin); dan pada awal abad keduapuluh satu, tahap pertama proyek ini, yang akan menghasilkan sebuah terjemahan Inggris lengkap dari versi Mandarin.

Pendahuluan tambahan pada Volume II ini menjelaskan beberapa rincian tentang transisi dari tahap pertama menuju tahap kedua dan terakhir ini. Pendahuluan Volume III akan membahas padanan Pāli pada kotbah-kotbah Madhyama-āgama, dan pendahuluan Volume IV [akan membahas] bagian-bagian Madhyama-āgama.

Empat Volume, Dua Tim Penerjemah

Kumpulan yang disebut Madhyama-āgama terdiri atas dua ratus dua puluh dua kotbah yang dikelompokkan secara agak tidak teratur ke dalam delapan belas bagian. Tujuh puluh satu kotbah pertama dari kotbah-kotbah ini, yang membentuk bagian 1 sampai 6, diterjemahkan dalam Volume I (lihat Vol. I, Daftar Isi, pp. xi-xiii). Sisanya seratus lima puluh satu kotbah berada dalam Volume II (bagian 7-11), Volume III (bagian 11-14), dan Volume 15-18).

Pekerjaan penerjemahan dan penyuntingan untuk Volume I dilakukan oleh sebuah tim dari delapan orang (untuk rinciannya lihat Vol. I, Pendahuluan, p. xxv). Untuk Volume II sampai IV pekerjaan ini dilakukan oleh lima dari delapan orang penerjemah dan penyunting yang bekerja untuk volume pertama: Marcus Bingenheimer, William Chu, dan Shi Chunyin, bersama dengan Bhikkhu Anālayo dan Roderick S. Bucknell, yang berbagi peran sebagai penyunting keseluruhan. Salah satu tugas utama adalah untuk memeriksa dengan teliti semua draf terjemahan atas keakuratan, kekonsistenan istilah, dan gaya [bahasa] yang sesuai, serta untuk merevisinya di mana pun yang dianggap perlu.

Walaupun perhatian diambil untuk memastikan bahwa Volume II sampai IV secara umum mempertahankan kelanjutan istilah dan gaya [bahasa] dari Volume I, dua pengecualian telah dimasukkan. Ini layak untuk disebutkan di sini, tidak hanya untuk memberitahukan para pembaca, tetapi juga untuk menggambarkan jenis keputusan yang sulit yang sering harus diambil oleh para penerjemah teks Buddhis Mandarin.

Pengecualian pertama berhubungan dengan istilah Mandarin berpasangan jue and guan. Ini menunjuk pada dua faktor pertama dari absorpsi meditatif pertama (Pāli jhāna) dan berhubungan dengan istilah Pāli berpasangan vitakka and vicāra. Di Volume I jue and guan diterjemahkan sebagai “awal dan kelangsungan pikiran,” karena itu (atau sesuatu yang mirip) adalah bagaimana istilah Pāli yang berhubungan kadang kala diterjemahkan. Namun di Volume II sampai IV istilah jue and guan dalam konteks yang sama diterjemahkan sebagai “kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].” Kami meyakini frasa ini berhasil dalam menangkap makna kedua istilah itu ketika mereka digunakan di tempat lain dalam Madhyama-āgama Mandarin. Perubahan ini dibuat dengan pengakuan penuh bahwa terdapat suatu ketegangan antara tujuan kembar menghasilkan suatu terjemahan teks Mandarin yang tepat dan mempertimbangkan teks India yang mendasarinya.

Masalah muncul ketika seseorang menghasilkan suatu terjemahan Inggris dari sebuah terjemahan dari bahasa India aslinya (tentang masalah demikian lihat Roderick S. Bucknell, “Taking Account of the Indic Source-text,” dalam Konrad Meisig ed., Translating Buddhist Chinese, Problems and Prospects [Wiesbaden: Harrassowitz, 2010], pp. 45–52). Dalam mengenali tantangan-tantangan yang disajikan oleh suatu proses demikian, para penyunting telah mengikuti prinsip bahwa dalam kerangka kerja keseluruhan kerjasama, masing-masing mengambil perhatian khusus terhadap, dan tanggung jawab atas, salah satu dari dua dimensi proses penerjemahan. Dengan demikian, Roderick S. Bucknell telah memberikan perhatian khusus pada keakuratan terjemahan Inggris dalam mencerminkan teks-sumber Mandarin, sedangkan Bhikkhu Anālayo telah menekankan melihat bahasa India asli yang mendasarinya, dan juga menyediakan anotasi komparatif yang bersesuaian.  Diharapkan bahwa sebagai hasil dari kolaborasi, penerjemahan yang disajikan di sini memberikan keadilan bagi teks Mandarin seperti yang kita miliki sekarang dan bagi teks pendahulu India yang tidak ada lagi.

Pengecualian kedua pada prosedur penerjemahan diadopsi untuk Volume I berkaitan dengan rumusan familiar yang biasanya muncul pada akhir setiap kotbah. Dalam Volume I rumusan ini diterjemahkan sebagai “Setelah mendengar perkataan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan mengingatnya dengan baik,” dengan frasa “para bhikkhu” kadang kala diganti dengan beberapa deskriptor lain, berdasarkan pendengar yang dirincikan. Namun dalam volume ini dan sisanya, frasa ini diterjemahkan sebagai “Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat” (lagi dengan “para bhikkhu” kadang kala diganti dengan beberapa kata lain berdasarkan pendengarnya). Perbedaan dalam ungkapan ini mencerminkan ketidakpastian atas makna ungkapan Mandarin fengxing dalam konteks yang diberikan. Di Volume I fengxing dipahami sebagai bermakna “mengingat dengan baik”; di Volume II sampai IV, berdasarkan pembahasan yang disajikan oleh Bhikkhu Anālayo dalam Madhyama-āgama Studies (Taipei: Dharma Drum Publishing Corporation, 2012), pp. 521–525, ini dipahami sebagai bermakna “menerima dengan hormat.”

Di antara beberapa perubahan lebih umum yang diperkenalkan dalam Volume II sampai IV yang patut dicatat berhubungan dengan kutipan kotbah-kotbah Pāli yang sepadan. Jika sebuah kotbah Madhyama-āgama memiliki padanan Pāli, maka dikutip dalam sebuah catatan akhir yang dilekatkan pada judul dari kotbah yang dikutip (untuk Volume II-IV kumpulan catatan kaki disusun oleh Bhikkhu Anālayo). Tiga buah informasi tentang kotbah yang sepadan diberikan: judul Pāli-nya; “tanda pengenal,” yang merincikan Nikāya dan nomor seri di dalamnya; serta volume dan halaman dalam edisi Pali Text Society (PTS). Yang kedua dari hal ini, tanda pengenal, adalah suatu hal baru yang tidak disediakan dalam Volume I. Ia menyampaikan informasi yang berguna – khususnya jika kotbah yang dikutip terletak dalam Saṃyutta-nikāya atau Aṅguttara-nikāya, karena dalam kasus-kasus demikian nomor seri berperan untuk mengidentifikasi  saṃyutta atau nipāta. Sebagai contoh, untuk Madhyama-āgama kotbah 73, “Tentang Para Dewa,” padanan Pāli-nya dikutip sebagai “AN 8.64,” yaitu, kotbah no. 64 dalam Aṅguttara Buku Delapan (Aṭṭhaka-nipāta). Penomoran semua kotbah Pāli mengikuti edisi PTS, suatu kebiasaan yang kadang kala tidak diikuti dalam terjemahan Inggris yang baru-baru ini diterbitkan.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #2 on: 27 September 2020, 06:18:05 PM »
Bagian 7
Tentang Raja Usia Panjang

72. Kotbah tentang Riwayat Raja Usia Panjang
<1>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Kosambī di Taman Ghosita.
Pada waktu itu sejumlah bhikkhu dari Kosambī sedang bertengkar dan berselisih satu sama lain.<2> Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu dari Kosambī:

Para bhikkhu, janganlah bertengkar dan berselisih! Mengapakah demikian?
Jika seseorang [berusaha] menghentikan perselisihan dengan perselisihan,
Pada akhirnya ia tidak akan melihatnya berhenti.
Hanya dengan kesabaran, perselisihan dapat dihentikan.
Ini adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi.

Mengapakah demikian? Pada masa lampau yang jauh terdapat seorang raja Kosala bernama Usia Panjang, dan terdapat seorang raja Kāsi bernama Brahmadatta. Kedua raja ini selalu berselisih dan berperang satu sama lain. Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya. Setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Brahmadatta dari Kāsi secara pribadi memimpin mendekatnya armada pasukannya, dengan maksud untuk berperang dengan Raja Usia Panjang dari Kosala.

Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi telah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, datang untuk berperang denganku.”

Setelah mendengar hal ini, Raja Usia Panjang dari Kosala juga mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Usia Panjang dari Kosala secara pribadi memimpin armada pasukannya keluar menuju perbatasan [antara kedua kerajaan]. Ia memerintahkan [armada pasukannya] berbaris dalam barisan perang dan bertempur, menghancurkan dan membinasakan [musuhnya].

Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala menangkap seluruh armada pasukan berunsur empat Raja Brahmadatta – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan ia bahkan menangkap hidup-hidup Raja Brahmadatta dari Kāsi sendiri. Setelah menangkap Raja Brahmadatta, ia lalu membebaskannya, dengan berkata, “Engkau adalah seorang yang sedang menderita. Oleh sebab itu janganlah melakukan hal ini lagi!”

Kedua dan ketiga kalinya Raja Brahmadatta dari Kāsi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya. Setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, Raja Brahmadatta dari Kāsi secara pribadi memimpin mendekatnya armada pasukannya, dengan maksud untuk berperang dengan Raja Usia Panjang dari Kosala. Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi telah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan, setelah mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat, datang untuk berperang denganku.”

Setelah mendengar hal ini, Raja Usia Panjang dari Kosala berpikir, “Aku telah menaklukkan [Raja Brahmadatta].  Mengapakah aku perlu menaklukkannya lagi? Aku telah mengalahkannya. Mengapakah aku perlu mengalahkannya lebih jauh? Aku telah melukainya. Mengapakah aku perlu melukainya lagi? Bahkan dengan satu pukulan aku dapat mengalahkannya.”

Setelah berpikir demikian, Raja Usia Panjang tetap tenang dan tidak lagi mengumpulkan armada pasukannya yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya – dan tidak secara pribadi [memimpin] mendekatnya [armada pasukannya]. Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi dapat mendekati dan menghancurkan [musuhnya], dan ia menangkap seluruh armada pasukan berunsur empat Raja Usia Panjang dari Kosala – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakinya.

Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala mendengar, “Raja Brahmadatta dari Kāsi mendekat dan menangkap seluruh armada pasukanku yang berunsur empat – pasukan gajah, pasukan kuda, pasukan kereta, dan pasukan pejalan kakiku.” Ia lebih lanjut berpikir, “Pertengkaran adalah sangat aneh! Pertengkaran adalah sangat jahat! Mengapakah demikian? Setelah menaklukkan, seseorang akan ditaklukkan lagi. Setelah mengalahkan, seseorang akan dikalahkan lagi. Setelah melukai, seseorang akan dilukai lagi. Biarlah aku sebaiknya pergi ke Benares, ditemani hanya oleh seorang istriku, dengan mengendarai bersama sebuah kereta.” Kemudian Raja Usia Panjang dari Kosala berangkat menuju Benares, ditemani hanya oleh seorang istrinya, dengan mengendarai bersama sebuah kereta.<3>

Raja Usia Panjang dari Kosala berpikir lagi, “Biarkanlah aku sebaiknya pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar.” Setelah berpikir demikian, Raja Usia Panjang dari Kosala pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar. Karena pembelajarannya yang luas, ia mengubah namanya menjadi Guru Usia Panjang. Guru Usia Panjang lebih lanjut berpikir, “Apa pun yang harus dipelajari, aku sekarang telah memperolehnya. Biarlah aku pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong, serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarku, akan sangat bergembira dan terhibur.”

Setelah berpikir demikian, Guru Usia Panjang pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarnya, sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian [kalangan] luar para pelayan Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar tentang Guru Usia Panjang, [kalangan] menengah, ... [kalangan] dalam para pelayan dan brahmana penasihat (purohita) semuanya mendengar tentangnya secara bergiliran. Ketika mendengar tentangnya, brahmana penasihat memanggilnya untuk datang dan berkunjung. Kemudian Guru Usia Panjang mendekati brahmana penasihat dan, berdiri di depannya dengan wajah ceria, ia memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya, brahmana penasihat sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian brahmana penasihat berkata kepada Guru Usia Panjang, “Sejak saat ini engkau dapat tinggal bergantung padaku. Aku akan menyediakan [segala kebutuhan] bagimu.” Guru Usia Panjang berkata, “Yang mulia, aku memiliki seorang istri, bagaimanakah dengannya?” Brahmana penasihat menjawab, “Guru, engkau dapat membawanya bersama untuk tinggal dalam rumahku bergantung padaku. Aku akan menyediakan [segala kebutuhan] baginya [juga].” Kemudian Guru Usia Panjang membawa istrinya ke rumah brahmana penasihat untuk tinggal bergantung padanya, dan brahmana penasihat menyediakan [segala kebutuhan] bagi mereka.<4>

Belakangan istri Guru Usia Panjang, [yang sedang hamil,] mengalami kesedihan dan kekhawatiran dalam pikirannya, berpikir, “Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari [upacara] penajaman pedang.” Setelah memiliki pemikiran ini, istri Guru Usia Panjang berkata kepada suaminya. “Dalam pikiranku aku mengalami kesedihan dan kekhawatiran, dan aku memiliki pemikiran: ‘Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang’.”

Guru Usia Panjang berkata kepada istrinya, “Sayangku, janganlah memiliki pemikiran demikian! Mengapakah? Kita telah dihancurkan oleh Raja Brahmadatta. Sayangku, untuk tujuan apakah engkau ingin melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dengan pedang mereka terhunus, [dan mengapakah engkau berpikir]: ‘Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang’?” Istrinya menjawab, “[Suamiku] yang terhormat, jika aku dapat memperoleh [air itu], aku akan hidup. Jika aku tidak memperolehnya, aku pasti akan mati, tak diragukan lagi.”

Kemudian Guru Usia Panjang mendekati brahmana penasihat dan, berdiri di hadapannya dengan wajah sedih, memainkan musik dengan suara yang tidak menyenangkan dan memilukan. Ketika mendengarnya brahmana penasihat tidak bergembira.<5>

Atas hal ini brahmana bertanya, “Guru, sebelumnya engkau berdiri di hadapanku dan, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya aku sangat bergembira dan terhibur. Mengapakah engkau sekarang berdiri di hadapanku dengan wajah sedih dan memainkan musik dengan suara yang tidak menyenangkan dan memilukan, sedemikian sehingga ketika mendengarnya aku tidak bergembira? Guru Usia Panjang, apakah tubuhmu tidak menderita penyakit? Apakah pikiranmu tidak bersedih dan khawatir?”

Guru Usia Panjang menjawab, “Yang mulia, tubuhku tidak menderita [penyakit], tetapi pikiranku sedang bersedih dan khawatir. Yang mulia, istriku mengalami kesedihan dan kekhawatiran dalam pikirannya, berpikir, ‘Aku berharap bahwa armada pasukan berunsur empat akan berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus. Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari [upacara] penajaman pedang.’

“Aku menjawab istriku, ‘Sayangku, janganlah memiliki pemikiran demikian. Mengapakah? Mempertimbangkan situasi kita sekarang, sayangku, untuk tujuan apakah engkau pergi melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dengan pedang mereka terhunus; [mengapakah engkau berpikir:] ‘Aku ingin meninjau [armada pasukan tersebut] dan kemudian dapat meminum air dari penajaman pedang?’

“Istriku menjawab, ‘[Suamiku] yang terhormat, jika aku dapat memperoleh [air itu], aku akan hidup. Jika aku tidak memperolehnya, aku pasti akan mati, tidak diragukan lagi.’ Yang mulia, jika istriku tidak sepenuhnya sehat, aku tidak [dapat] bekerja dengan baik.”

Brahmana penasihat bertanya, “Guru, dapatkah aku mengunjungi istrimu?” [Guru Usia Panjang] menjawab, “Anda dapat mengunjunginya, yang terhormat.”

Kemudian brahmana penasihat, ditemani oleh Guru Usia Panjang, mendekati sang istri.

Pada waktu itu istri Guru Usia Panjang sedang mengandung seorang putra yang bajik. Brahmana penasihat, melihat bahwa istri Guru Usia Panjang sedang mengandung putra yang bajik, berlutut dengan lutut kanannya pada lantai, merentangkan tangannya dengan telapak tangannya disatukan terhadap istri Guru Usia Panjang, dan berkata tiga kali, “Seorang raja Kosala akan lahir, seorang raja Kosala akan lahir!” Ia memerintahkan para pelayannya, “Jangan biarkan seseorang pun mengetahui hal ini!”

Brahmana penasihat berkata, “Guru, janganlah bersedih atau khawatir. Aku dapat memastikan bahwa istri anda dapat melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, dan kemudian ia akan dapat meminum air dari penajaman pedang.”

Kemudian brahmana penasihat pergi menemui Raja Brahmadatta dari Kāsi. Ketika tiba ia berkata, “Baginda seharusnya mengetahui: sebuah bintang keberuntungan telah muncul. Semoga Baginda memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan secara perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, untuk menunjukkan kekuatan armada pasukan seraya mereka melakukan [upacara] penajaman pedang dalam air. Semoga Baginda sendiri pergi keluar untuk menyaksikannya. Baginda, melakukan hal ini pasti akan menguntungkan.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan kepala armada pasukan, “Petugas, engkau seharusnya mengetahui: sebuah bintang keberuntungan telah muncul. Petugas, segeralah memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, untuk menunjukkan kekuatan armada pasukan seraya mereka melakukan penajaman pedang dalam air. Aku sendiri akan pergi keluar untuk menyaksikannya. Melakukan hal ini pasti akan menguntungkan.”

Kemudian kepala armada pasukan, ketika menerima perintah ini dari raja, memerintahkan armada pasukan berunsur empat untuk berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urutan yang seharusnya melakukan penajaman pedang dalam air. [Raja] Brahmadatta sendiri pergi keluar untuk menyaksikannya.

Sebagai akibatnya, istri Guru Usia Panjang dapat melihat armada pasukan berunsur empat yang berparade dalam barisan perang, berjalan dengan perlahan dalam urusan yang seharusnya dengan pedang mereka terhunus, menunjukkan kekuatan armada pasukan itu. Ia juga dapat meminum air dari penajaman pedang. Setelah ia minum air dari penajaman pedang, kesedihan dan kekhawatiran lenyap dan ia segera melahirkan seorang putra yang bajik. Ketika ia diberi nama, ia disebut Pangeran Kehidupan Panjang. Ia dipercayakan kepada orang [lain] untuk membesarkannya secara diam-diam dan perlahan-lahan tumbuh dewasa.

Seperti raja ksatria yang dinobatkan yang memerintah di dunia setelah memperoleh wilayah yang luas, Pangeran Kehidupan Panjang [mempelajari] berbagai jenis keahlian, seperti menunggangi gajah dan menunggangi kuda, menjinakkan dan mengendalikannya, memacu, menembak untuk olahraga, bertinju, melempar jaring dan melempar pengait, mengendarai kereta perang, dan mengendarai kereta kuda. Ia menguasai semua keahlian yang bagus dengan cara ini dan memenangkan berbagai jenis kontes yang halus. Ia tiada taranya di dunia dalam keteguhan hati dan terkemuka dalam kecerdasannya. [Walaupun ia tetap] merahasiakan dan menyembunyikan diri dengan baik, namun tiada yang tidak ia kuasai sepenuhnya.<6>

Kemudian [Raja] Brahmadatta mendengar bahwa Raja Usia Panjang dari Kosala telah mengubah namanya, dengan menjadi seorang “guru”, dan sedang berdiam di kota Benares.<7> [Raja] Brahmadatta memerintahkan para petugasnya, “Para petugas, segera pergilah dan tangkap Raja Usia Panjang dari Kosala, ikat tangannya di belakangnya, dudukkan ia di atas seekor keledai, dan pukullah sebuah genderang rusak yang menghasilkan suara seperti ringkikan keledai. Setelah mengumumkan perintah ini secara luas, bawalah ia melalui pintu gerbang selatan, dudukkan ia di bawah sebuah papan tanda, dan tanyailah ia dengan ketat.”

Setelah menerima perintah ini, para petugas dengan cepat pergi dan menangkap Raja Usia Panjang dari Kosala, mengikat tangannya di belakangnya, mendudukkannya di atas seekor keledai dan, dengan memukul sebuah genderang rusak yang menghasilkan suara seperti ringkikan keledai, mereka mengumumkan perintah itu secara luas dan membawanya melalui gerbang selatan. Mendudukkannya di bawah sebuah papan tanda, mereka menanyainya dengan ketat.<8>

Pada waktu itu Pangeran Kehidupan Panjang mengikuti ayahnya, dengan berdiam di belakangnya atau pada sisi kiri atau kanannya. Ia berkata kepada ayahnya, “Baginda, janganlah takut! Baginda, janganlah takut! Aku di sini. Aku pasti akan dapat menyelamatkanmu. Aku pasti akan dapat menyelamatkanmu.”

Raja Usia Panjang dari Kosala menjawab, “Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya berlatih cinta kasih.”

Orang-orang mendengar Raja Usia Panjang mengucapkan kata-kata ini dan bertanya kepada raja, “Apakah yang kamu katakan?”

Raja menjawab orang-orang itu, “Pangeran ini adalah cerdas; ia pasti akan memahami kata-kataku.”

Kemudian Pangeran Kehidupan Panjang memohon kepada para keluarga mulia di kota Benares, “Para yang mulia, perbuatlah jasa dengan melatih kedermawanan dan dedikasikan kepada Raja Usia Panjang dari Kosala: ‘Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!’”

Kemudian para keluarga mulia di kota Benares, ketika dimohon oleh Pangeran Kehidupan Panjang, berbuat jasa dengan melatih kedermawanan dan mendedikasikannya kepada Raja Usia Panjang dari Kosala: “Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!”

Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar bahwa para keluarga mulia di Benares berbuat jasa dengan melatih kedermawanan dan mendedikasikannya kepada Raja Usia Panjang dari Kosala, dengan mengatakan: “Melalui jasa dari kedermawanan ini, semoga Raja Usia Panjang dari Kosala sehat dan dalam kenyamanan! Semoga beliau dibebaskan!” Ketika mendengar hal ini ia menjadi sangat ketakutan dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. [Ia berkata,] “Apakah ini tidak menyebabkan para keluarga mulia di kota Benares ini memberontak melawanku? Biarlah aku menyelesaikan masalah ini! Biarlah aku sekarang, pertama-tama, dengan segera mengakhiri masalah ini!”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan para pelayannya, “Segera pergilah dan bunuh Raja Usia Panjang dari Kosala! Potonglah ia menjadi tujuh bagian!” Setelah menerima perintah ini, para pelayan dengan segera pergi dan membunuh Raja Usia Panjang dari Kosala dan memotongnya menjadi tujuh bagian.

Kemudian Pangeran Kehidupan Panjang memohon kepada para keluarga mulia di kota Benares, “Para yang mulia, lihatlah ini! Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Marilah, para yang mulia. Dengan kain sutra baru bawalah bersama-sama [sisa-sisa tubuh] ayahku. Minyakilah tujuh bagian jenazah itu semuanya dengan wewangian. Kumpulkan kayu wangi, kremasikan beliau, dan letakkan [abunya] dalam sebuah tempat pemujaan.

“Sampaikan pesan ini kepada [Raja] Brahmadatta atas namaku: ‘Pangeran Kehidupan Panjang dari Kosala mengatakan hal ini, “Apakah engkau tidak takut bahwa keturunan [Raja Usia Panjang] kelak akan memberimu kesulitan?”’”

Kemudian, didorong oleh Pangeran Kehidupan Panjang, para keluarga mulia di kota Benares membawa bersama-sama sisa-sisa tubuh [raja] dengan menggunakan kain sutra baru, membawa tujuh bagian jenazahnya dan meminyakinya semuanya dengan wewangian. Mereka mengumpulkan kayu wangi, mengkremasinya, dan meletakkan [abunya] dalam sebuah tempat pemujaan.<9>

Kemudia mereka menyampaikan pesan ini kepada [Raja] Brahmadatta: “Pangeran Kehidupan Panjang dari Kosala mengatakan hal ini: ‘Apakah engkau tidak takut bahwa para keturunan [Raja Usia Panjang] kelak akan memberimu kesulitan?’”

Kemudian istri Raja Usia Panjang [yang berduka] berkata kepada Pangeran Kehidupan Panjang, “Engkau seharusnya mengetahui bahwa Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahmu, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Marilah, Pangeran. Biarlah kita meninggalkan Benares, dengan mengendarai bersama sebuah kereta. Jika engkau tidak pergi, engkau akan bertemu malapetaka.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #3 on: 27 September 2020, 06:31:17 PM »
Kemudian istri Raja Usia Panjang dan Pangeran Kehidupan Panjang meninggalkan Benares, dengan mengendarai bersama sebuah kereta. Pada waktu itu Pangeran Kehidupan Panjang berpikir, “Biarlah aku sebaiknya sekarang pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar.” Setelah berpikir demikian, Pangeran Kehidupan Panjang pergi dari desa ke desa dan kota ke kota, belajar melalui banyak mendengar. Karena pembelajarannya yang luas, ia mengubah namanya menjadi Guru Kehidupan Panjang.

Guru Kehidupan Panjang lebih lanjut berpikir, “Apa yang harus dipelajari sekarang telah kugapai. Biarlah aku kembali ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarku, akan sangat bergembira dan terhibur.”

Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang pergi ke kota Benares, berhenti di jalan-jalan dan lorong-lorong serta, dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Dengan cara ini para keluarga mulia di Benares, ketika mendengarnya, sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian [kalangan] luar para pengikut Raja Brahmadatta dari Kāsi mendengar tentangnya, [kalangan] menengah para pengikut, ... [kalangan] dalam para pengikut, dan brahmana penasihat semuanya mendengar tentangnya secara bergiliran; dan demikian juga Raja Brahmadatta dari Kāsi, yang memanggilnya untuk datang dan berkunjung.<10>

Guru Kehidupan Panjang mendekati Raja Brahmadatta dari Kāsi dan, berdiri di hadapannya dengan wajah ceria, memainkan musik yang indah. Ketika mendengarnya, Raja Brahmadatta dari Kāsi sangat bergembira dan terhibur.

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata kepadanya, “Guru, sejak saat ini engkau dapat tinggal bergantung padaku; aku akan menyediakan [segala kebutuhan] bagimu.” Kemudian Guru Kehidupan Panjang tinggal bergantung pada Raja Brahmadatta dari Kāsi, yang menyediakan [segala kebutuhan] baginya.

Belakangan [raja] mempercayai Guru Kehidupan Panjang dan, dengan cara menugaskannya suatu tanggung jawab, raja menyerahkannya pedang [yang menyimbolkan jabatan] pengawal.

Pada waktu itu Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan kusirnya, “Persiapkanlah kereta, aku ingin pergi berburu.” Ketika menerima perintah ini, kusir langsung mempersiapkan kereta. Ketika ini telah siap, ia kembali dan berkata, “Kereta telah dipersiapkan dan siap melayani Baginda.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi, bersama dengan Guru Kehidupan Panjang, pergi keluar [dari Benares], dengan mengendarai kereta itu. Guru Kehidupan Panjang berpikir, “Raja Brahmadatta dari Kāsi ini adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, Raja Usia Panjang dari Kosala, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Biarlah aku sekarang mengendarai kereta dengan cara sedemikian sehingga ia menjadi terpisah dari armada pasukan berunsur empat, masing-masing menuju tempat yang berbeda.” Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang mengarahkan kereta itu sehingga ia terpisah dari armada pasukan berunsur empat, masing-masing menuju tempat yang berbeda.

Pada saat ini Raja Brahmadatta dari Kāsi, setelah menjumpai bagian jalan yang berlumpur dan tertekan oleh angin panas, merasa menderita dan kehausan. Lelah dan berharap untuk berbaring, ia turun dari kereta dan, menggunakan lutut Guru Kehidupan Panjang sebagai bantal, ia beristirahat.

Kemudian Guru Kehidupan Panjang berpikir lagi, “Raja Brahmadatt dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Sekarang ia berada dalam tanganku. Aku seharusnya membalas dendam.”

Setelah berpikir demikian, Guru Kehidupan Panjang mengeluarkan pisau tajamnya, memegangnya pada leher Raja Brahmadatta dari Kāsi, dan berkata, “Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu.” Kemudian Guru Kehidupan Panjang berpikir lagi, “Bagiku [membunuhnya] adalah salah. Mengapakah demikian? Aku ingat bagaimana ayahku, dulu sekali, ketika ia didudukkan di bawah papan tanda, saat menjelang kematian, berkata kepadaku, ‘Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’.” Mengingat hal ini, [Guru Kehidupan Panjang] menarik pisau itu dan menaruhnya kembali ke dalam sarungnya.

Pada waktu itu Raja Brahmadatta dari Kāsi sedang bermimpi di mana ia melihat hal ini, “Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, sedang memegang sebilah pisau tajam pada leherku, berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu’.” Ketika melihat hal ini, ia menjadi sangat ketakutan dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. Ia begitu terkejut sehingga ia terbangun. Terbangun, ia berkata kepada Guru Kehidupan Panjang, “Engkau harus mengetahui bahwa dalam mimpiku aku melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, memegang sebilah pisau tajam pada leherku dan berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu, sekarang aku akan membunuhmu’.”

Ketika mendengar hal ini, Guru Kehidupan Panjang berkata, “Baginda janganlah takut! Baginda janganlah takut! Mengapakah demikian? Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala itu, adalah diriku sendiri.<11> Baginda, aku berpikir demikian: ‘Raja Brahmadatta dari Kāsi adalah kejam dan tidak bermoral. Ia menangkap ayahku, seorang yang tidak bersalah; ia merebut kerajaannya dan kekayaan dalam tempat penyimpanannya; ia dengan bengis dan tidak adil telah memerintahkan agar ia dibunuh dan dipotong menjadi tujuh bagian. Sekarang ia berada dalam tanganku. Aku seharusnya membalas dendam.’

“Baginda, aku mengeluarkan pisau tajamku, memegangnya pada leher anda, dan berkata, ‘Sekarang aku akan membunuhmu. Sekarang aku akan membunuhmu.’ Baginda, aku berpikir lagi, ‘Bagiku [membunuhnya] adalah salah. Mengapakah demikian? Aku ingat bagaimana ayahku, dulu sekali, ketika ia sedang didudukkan di bawah papan tanda, saat menjelang kematian, berkata kepadaku, “Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih”.’ Mengingat hal ini, aku menarik pisau itu dan menaruhnya kembali ke dalam sarungnya.”

Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata, “Pangeran, engkau berkata hal ini, ‘Bersabarlah, Pangeran! Bersabarlah, Pangeran! – Aku memahami makna hal ini. [Tetapi,] Pangeran, engkau juga berkata, ‘Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’ – apakah makna dari hal ini?”

Pangeran Kehidupan Panjang menjawab, “Baginda, ‘Janganlah membiarkan belenggu kebencian muncul. Sebaliknya engkau seharusnya melatih cinta kasih’ bermakna seperti ini, [apa yang sedang kulakukan sekarang].”

Ketika mendengar hal ini, Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata, “Pangeran, sejak sekarang seluruh kerajaan kukuasai diberikan kepadamu, dan kerajaan awal ayahmu dikembalikan kepadamu. Mengapakah demikian? Apa yang telah engkau lakukan – yaitu, mengampuni hidupku – adalah sangat sulit dilakukan.”

Ketika mendengar hal ini, Pangeran Kehidupan Panjang berkata, “Kerajaan awal Baginda milik Baginda. Kerajaan awal ayahku dapat dianggap telah dikembalikan [kepadaku].”<12>

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi kembali dengan kereta bersama dengan Pangeran Kehidupan Panjang. Ia memasuki kota Benares, duduk di aula utama, dan berkata kepada menterinya, “Para menteri, jika kalian melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, apakah yang akan kalian lakukan?”

Ketika mendengar hal ini, beberapa menteri berkata, “Baginda, jika aku melihatnya, aku akan memotong tangannya.” Yang lain berkata, “Baginda, jika aku melihatnya, aku akan memotong kakinya.” Yang lain lagi berkata, “Aku akan membunuhnya.”
Raja Brahmadatta dari Kāsi berkata kepada para menterinya, “Para menteri, jika kalian ingin melihat Pangeran Kehidupan Panjang, putra Raja Usia Panjang dari Kosala, inilah dia. Janganlah memunculkan kehendak jahat terhadap pangeran ini! Mengapakah demikian? Apa yang telah dilakukan pangeran ini – yaitu, mengampuni hidupku – adalah sangat sulit dilakukan.”

Kemudian Raja Brahmadatta dari Kāsi memerintahkan agar Pangeran Kehidupan Panjang dimandikan seperti layaknya seorang raja, diminyaki dengan wewangian raja, dipakaikan pakaian kerajaan, dan duduk di atas sebuah tahta emas. Kemudian ia menikahkan putrinya dengan pangeran dan mengizinkannya kembali ke kerajaannya sendiri.

Para bhikkhu, semua penguasa, para raja ksatria yang dinobatkan, adalah para pemimpin kerajaan-kerajaan besar. Dalam memerintah kerajaan mereka, mereka sendiri melatih kesabaran dalam menghadapi cercaan dan juga memuji kesabaran; mereka sendiri melatih cinta kasih dan juga memuji cinta kasih; mereka sendiri melatih kebajikan dan juga memuji kebajikan.

Para bhikkhu, kalian juga seharusnya seperti demikian. Setelah meninggalkan rumah demi keyakinan dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan, kalian seharusnya melatih kesabaran dalam menghadapi cercaan dan juga memuji kesabaran; diri kalian sendiri melatih cinta kasih dan juga memuji cinta kasih; diri kalian sendiri melatih kebajikan dan juga memuji kebajikan.

Terhadap hal ini, beberapa orang bhikkhu [di Kosambī] yang mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha menjawab, “Sang Bhagavā adalah guru Dhamma [tetapi] biarlah beliau sekarang, untuk sementara, berhenti [ikut campur]. Mereka [dari kelompok lain] sedang memberitahukan kami apa yang harus dilakukan. Apakah kami [juga] tidak memberitahukan mereka apa yang harus dilakukan?”<13>

Kemudian Sang Bhagavā tidak bergembira dengan perilaku para bhikkhu dari Kosambī, dengan sikap mereka, dengan pelatihan mereka, atau dengan praktik mereka. Beliau bangkit dari tempat duduk beliau dan mengucapkan syair-syair ini:

Dengan sedikit kata-kata yang terucap
Mereka membelah Sangha yang paling dihormati.
Ketika Sangha yang mulia terbelah,
Tiada seorang pun dapat menegur dan menghentikan mereka.

[Raja Kāsi] membunuh [raja Kosala] dengan memotong tubuhnya;
Merebut gajah, hewan ternak, kuda, dan harta bendanya;
Menghancurkan kerajaannya, memusnahkannya sepenuhnya.
[Namun,] seperti di masa lampau, ia mencapai perdamaian.

Tetapi kalian, karena ucapan celaan sepele,
Tidak dapat menjalankan pengendalian [diri] dan [hidup] dalam kerukunan.
Jika kalian tidak mempertimbangkan apa yang benar-benar penting,
Bagaimanakah belenggu kebencian dapat dipadamkan?

Dengan banyak ucapan cacian, hardikan, dan celaan,
Seseorang [masih] dapat menjalankan pengendalian [diri] dan [hidup] dalam kerukunan.
Jika ia mempertimbangkan apa yang benar-benar penting,
Belenggu kebencian pasti dapat dipadamkan.

Jika seseorang [berusaha] mengakhiri perselisihan dengan perselisihan,
Ia tidak akan melihatnya berakhir.
Hanya melalui kesabaran seseorang dapat mengakhiri perselisihan.
Prinsip ini seharusnya dihormati.

Marah terhadap seorang bijaksana dan manusia sejati,
Mengucapkan kata-kata yang tidak bertanggung jawab,
Mencaci maki seorang bijaksana mulia –
Seseorang yang melakukan hal ini direndahkan dan bodoh,
[Berpikir,] “Orang lain tidak memahami apa yang penting;
Hanya aku sendiri yang dapat mengetahuinya!”

[Namun,] jika seseorang dapat memahami apa yang penting,
Maka kemarahannya akan padam.
Jika seseorang menemukan seorang teman yang tenang
Yang bijaksana dan juga melatih apa yang bermanfaat,
Masing-masing dapat melepaskan pemikiran tetapnya
Seraya mereka bergembira dalam selalu membantu satu sama lain.

Jika seseorang tidak menemukan seorang teman yang tenang
Yang bijaksana dan melatih hanya apa yang bermanfaat,
Maka [daripada] seperti seorang raja yang memerintah kerajaannya dengan tegas,<14>
Jadilah bagaikan seekor gajah yang sendirian di alam liar.

Berlatih sendiri, dengan tidak melakukan kejahatan,
Bagaikan seekor gajah yang sendirian di alam liar.
Berlatih sendiri, dengan melakukan apa yang bermanfaat dan unggul,
Menghindari pertemanan dengan mereka yang jahat.

[Jika seraya] berlatih, seseorang tidak menemukan seorang teman yang bajik,
Seseorang yang sama dengannya [dalam sikap],
Maka ia seharusnya berniat teguh untuk berdiam sendirian,
Dengan menghindari pertemanan dengan mereka yang jahat.

Ketika Sang Bhagavā telah mengucapkan syair-syair ini, beliau meninggalkan [tempat itu], dengan mengadakan perjalanan melalui angkasa dengan kekuatan batin beliau, dan beliau tiba di desa Bālakaloṇakāra.<15> Pada saat itu Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya, sedang berada di desa Bālakaloṇakāra. Siang dan malam ia tidak mengantuk; ia dengan penuh semangat berlatih sang jalan, berdiam dengan tekad untuk terus-menerus terkonsentrasi dan mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan.<16>

Yang Mulia [Bhagu], putra orang Sakya, melihat Sang Buddha datang dari kejauhan. Ketika melihat beliau, [Bhagu] mendekat untuk menyambut beliau. Ia membawakan jubah [luar] dan mangkuk Sang Buddha serta mengatur tempat duduk untuk Sang Buddha dan air untuk mencuci kaki beliau. Sang Buddha, setelah mencuci kakinya, duduk pada tempat duduk [yang dipersiapkan] oleh Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya. Setelah duduk, beliau berkata, “Bhikkhu Bhagu, apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Bhagu, putra orang Sakya, menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

Sang Bhagavā bertanya lagi, “Bhikkhu Bhagu, dengan cara bagaimanakah engkau dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Bhagu menjawab, “Sang Bhagavā, siang dan malam aku tidak mengantuk; aku dengan penuh semangat berlatih sang jalan, berdiam dengan tekad untuk terus-menerus terkonsentrasi dan mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan. Sang Bhagavā, dengan cara ini aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”<17>

Sang Bhagavā berpikir, “Anggota keluarga ini sedang berdiam dengan nyaman. Biarlah aku mengajarkannya Dharma.” Setelah berpikir demikian, beliau mengajarkan Dharma kepada Yang Mulia Bhagu, dengan mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya. Setelah mengajarkannya Dharma dengan berbagai cara terampil, setelah mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya, [Sang Buddha] bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan [tempat itu], menuju Hutan Rakkhitavana.<18> Memasuki Hutan Rakkhitavana, beliau pergi ke bawah sebatang pohon, membentangkan alas duduknya, dan duduk bersila.

Sang Bhagavā lebih lanjut berpikir, “Aku telah dapat menjauh dari para bhikkhu Kosambī itu dengan perselisihan-perselisihan mereka yang sering terjadi, sikap saling bermusuhan, membenci, dan kemarahan mereka, pertengkaran mereka di antara mereka sendiri. Aku tidak bergembira dalam mengingat daerah itu, tempat di mana para bhikkhu Kosambī berdiam.”

Tepat pada saat itu terdapat seekor gajah besar, pemimpin kawanan gajah, yang telah meninggalkan kawanannya dan, dengan mengembara sendirian, datang ke Hutan Rakkhitavana. Memasuki Hutan Rakkhitavana, ia pergi menuju sebatang pohon sāla yang mengagumkan dan berdiri bersandar pada pohon sāla yang mengagumkan itu.

Kemudian gajah besar itu berpikir, “Aku telah dapat menjauh dari kawanan gajah itu – para gajah betina, gajah jantan, anak gajah besar dan kecil. Kawanan gajah itu selalu berjalan di depanku, menginjak-injak rumput dan membuat air menjadi berlumpur. Pada waktu itu aku harus makan rumput yang terinjak-injak dan minum air berlumpur. Sekarang aku dapat makan rumput segar dan air jernih.”

Kemudian Sang Bhagavā, dengan pengetahuan atas pikiran makhluk lain, mengetahui pemikiran dari pikiran gajah itu. Beliau mengucapkan syair-syair itu:

Seekor gajah seperti para gajah [lainnya],
Dengan tubuh sempurna dan diberkahi dengan gading.
Pikiran seseorang juga seperti pikiran-pikiran [orang lain],
Jika ia bergembira dalam berdiam sendirian di hutan.

Kemudian Sang Bhagavā membawa jubah dan mangkuk beliau dan pergi dari Hutan Rakkhitavana menuju Hutan Pācīnavaṃsa. Pada waktu itu terdapat tiga orang anggota keluarga yang tinggal bersama di Hutan Pācīnavaṃsa: Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila. Para yang mulia itu sedang berlatih dengan cara ini.<19>

Siapa pun di antara mereka yang datang kembali pertama kali dari mengumpulkan dana makanan akan mengatur tempat-tempat duduk, mengambil air, dan meletakkan perlengkapan untuk mencuci kaki: alas kaki, kain untuk menyeka kaki, kendi air, dan mangkuk mandi. Jika ia dapat menghabiskan makanan yang telah ia terima, ia akan menghabiskannya, tetapi jika terdapat sisa makanan ia akan menaruhnya di dalam sebuah wadah dan menutupnya. Setelah menyelesaikan makannya, ia akan menyimpan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya, dan, dengan alas duduk di atas bahunya, pergi ke dalam gubuk untuk duduk bermeditasi.

Siapa pun di antara mereka yang datang kembali terakhir dari mengumpulkan dana makanan akan memakan semua makanan itu jika ia dapat melakukannya, dan jika makanan itu tidak cukup, ia akan mengambil dari makanan yang sebelumnya tersisa dan memakannya sampai ia merasa cukup. Jika masih terdapat sisa makanan, ia akan mengosongkannya pada tanah kosong atau ke dalam air yang tidak mengandung makhluk hidup.

Ia akan mengambil perlengkapan makan dan, setelah mencucinya dengan bersih dan menyekanya, ia akan menaruhnya pada satu sisi. Ia akan mengumpulkan dan menggulung alas duduk dan menyimpan perlengkapan untuk mencuci kaki, mengumpulkan alas kaki, kain untuk menyeka kaki, kendi air, dan mangkuk mandi. Setelah menyapu aula makan dan memercikinya [dengan air], sehingga lantai bersih dan bebas dari sampah, ia akan menyimpan jubah dan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya dan, dengan alas duduk di atas bahunya, pergi ke dalam gubuk untuk duduk bermeditasi.<20>

Pada sore hari, jika yang pertama dari para yang mulia ini bangkit dari duduk bermeditasi melihat bahwa kendi air atau mangkuk mandi kosong dari air, ia akan membawanya dan pergi mengambil [air]. Jika ia bisa, ia akan membawanya kembali dan menempatkannya pada satu sisi.

Jika ia tidak bisa [membawa kendi air yang penuh], ia akan memberi isyarat dengan tangannya pada bhikkhu lain, dan keduanya akan membawanya bersama dan menempatkannya pada satu sisi, tanpa berbicara satu sama lain, tanpa bertanya apa pun satu sama lain. Sekali dalam lima hari para yang mulia ini akan berkumpul mendiskusikan Dhamma bersama-sama atau mempertahankan keheningan luhur.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #4 on: 27 September 2020, 06:36:14 PM »
Kemudian penjaga taman [Hutan Pācīnavaṃsa], yang telah melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, menghentikan beliau, dengan berkata, “Pertapa, pertapa, janganlah memasuki taman ini. Mengapakah demikian? Dalam taman ini terdapat tiga orang anggota keluarga, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila. Jika mereka melihat anda, mereka mungkin menolak.”

Sang Bhagavā berkata, “Penjaga taman, jika mereka melihatku, mereka pasti akan mengizinkan. Mereka tidak akan menolak.”<21>

Kemudian Yang Mulia Anuruddha, yang telah melihat Sang Bhagavā datang dari kejauhan, menegur penjaga taman itu, dengan berkata, “Janganlah menolak Sang Bhagavā, penjaga taman! Janganlah menghentikan Sang Sugata! Mengapakah demikian? Ini adalah [guru] mulia kami yang datang; ini adalah Sang Sugata kami yang datang.”

Yang Mulia Anuruddha datang keluar untuk menyambut Sang Bhagavā. Ia membawa jubah [luar] dan mangkuk Sang Buddha. Yang Mulia Nandiya mengatur tempat duduk untuk Sang Buddha, dan Yang Mulia Kimbila membawakan air untuk Sang Buddha.

Pada waktu itu Sang Buddha, setelah mencuci tangan dan kakinya, duduk pada tempat duduk yang dipersiapkan oleh yang mulia itu. Setelah duduk, beliau bertanya, “Anuruddha, apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

Sang Bhagavā bertanya, “Anuruddha, dengan cara apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Adalah perolehan besar bagiku, adalah manfaat besar bagiku, bahwa aku berlatih bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.” Sang Bhagavā, terhadap teman-teman dalam kehidupan suci ini aku selalu melatih perbuatan jasmani dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan; aku melatih perbuatan ucapan dengan cinta kasih dan perbuatan pikiran dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan.

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini.” Kemudian, Sang Bhagavā, aku melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini. Sang Bhagavā, aku tidak pernah memiliki bahkan satu pun pemikiran yang menolak. Sang Bhagavā, adalah dengan cara ini sehingga aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.

[Sang Buddha] bertanya kepada Yang Mulia Nandiya [pertanyaan yang sama dan mendapat] jawaban yang serupa. Kemudian [Sang Buddha] juga bertanya kepada Yang Mulia Kimbila, “Apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Kimbila menjawab, “Sang Bhagavā, aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.”

[Sang Buddha] bertanya, “Kimbila, dengan cara apakah engkau selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun?”

Yang Mulia Kimbila menjawab:

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Adalah perolehan besar bagiku, adalah manfaat besar bagiku, bahwa aku berlatih bersama dengan teman-teman demikian dalam kehidupan suci.” Sang Bhagavā, terhadap teman-teman dalam kehidupan suci ini aku selalu melatih perbuatan jasmani dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan; aku melatih perbuatan ucapan dengan cinta kasih dan perbuatan pikiran dengan cinta kasih, baik terlihat maupun tidak terlihat, secara sama dan tanpa pembedaan.

Sang Bhagavā, aku berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini.” Kemudian, Sang Bhagavā, aku melepaskan pemikiranku sendiri dan mengikuti pemikiran teman-teman yang mulia ini. Sang Bhagavā, aku tidak pernah memiliki bahkan satu pun pemikiran yang menolak. Sang Bhagavā, adalah dengan cara ini sehingga aku selalu dalam kenyamanan, tidak kekurangan apa pun.

Sang Bhagavā memuji mereka:

Bagus, bagus, Anuruddha! Dengan cara ini engkau selalu bersama-sama dalam kerukunan, dalam kenyamanan dan tanpa pertentangan, dalam satu pikiran, dalam satu guru, bercampur [bagaikan] air dan susu. Apakah engkau [juga] mencapai suatu keadaan adi manusiawi, suatu keadaan istimewa, suatu kediaman yang damai dalam ketenangan?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Sang Bhagavā, dengan cara ini selalu bersama-sama dalam kerukunan, dalam kenyamanan dan tanpa pertentangan, dalam satu pikiran, dalam satu guru, bercampur [bagaikan] air dan susu, kami mencapai suatu keadaan adi manusiawi, suatu keadaan istimewa, suatu kediaman yang damai dalam ketenangan. Sang Bhagavā, aku mencapai cahaya [internal] dan kemudian penglihatan bentuk-bentuk; [tetapi] penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, engkau belum menembus tanda itu, yaitu tanda mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk. Maka penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] segera lenyap kembali.

Sebelumnya, Anuruddha, ketika aku belum mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku juga mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk; [tetapi] penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, dengan berlatih secara tekun, tanpa lalai, dengan jasmani tenang dan damai, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, tanpa kebingungan, aku mencapai konsentrasi dan keterpusatan pikiran.

Anuruddha, aku berpikir demikian, “Dengan berlatih secara tekun, tanpa lalai, dengan jasmani tenang dan damai, dengan perhatian benar dan pemahaman benar, tanpa kebingungan, aku telah mencapai konsentrasi dan keterpusatan pikiran.”
[Aku berpikir demikian,] “Apa yang tidak ada di dunia ini,<22> dapatkah aku melihatnya dan mengetahuinya?” Keragu-raguan ini, kekotoran ini, muncul dalam pikiranku. Karena kekotoran keragu-raguan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kurangnya perhatian muncul. Karena kekotoran kurangnya perhatian ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kurangnya perhatian juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi muncul.<23> Karena kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi muncul ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kelambanan dan ketumpulan muncul. Karena kekotoran kelambanan dan ketumpulan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kelambanan dan ketumpulan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran semangat berlebihan muncul. Karena kekotoran semangat berlebihan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang kuat menangkap seekor lalat dan menggenggamnya terlalu kuat, sehingga lalat itu akan mati, dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran semangat berlebihan muncul.<24> Karena kekotoran semangat berlebihan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran semangat berlebihan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kurangnya semangat muncul. Karena kekotoran kurangnya semangat ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang kuat menangkap seekor lalat dan menggenggamnya terlalu longgar, sehingga lalat itu akan terbang menjauh, dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran kurangnya semangat muncul. Karena kekotoran kurangnya semangat ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kurangnya semangat juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran ketakutan muncul. Karena kekotoran ketakutan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang mengadakan perjalanan sepanjang suatu jalan didekati dari keempat arah oleh para pencuri jahat. Setelah melihat mereka [mendekat], orang itu ketakutan dan bergemetar, dan semua rambut pada tubuhnya berdiri tegak. Dengan cara yang sama, Anuruddha, kekotoran ketakutan muncul dalam pikiranku. Karena kekotoran ketakutan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, dan kekotoran ketakutan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran kegirangan muncul. Karena kekotoran kegirangan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, seperti halnya seseorang yang awalnya telah mencari suatu harta karun tersembunyi menemukan empat harta karun tersembunyi.<25> Setelah melihat [harta karun itu] ia memunculkan kegirangan. Dengan cara yang sama, Anuruddha, dalam pikiranku kekotoran kegirangan muncul. Karena kekotoran kegirangan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #5 on: 27 September 2020, 06:45:57 PM »
Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran kegirangan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keangkuhan muncul.<26> Karena kekotoran keangkuhan ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, kekotoran kegirangan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran keangkuhan juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran persepsi keberagaman muncul. Karena kekotoran persepsi keberagaman ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, kekotoran kegirangan tidak seharusnya muncul, kekotoran keangkuhan tidak seharusnya muncul, dan kekotoran persepsi keberagaman juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk, tetapi penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Kekotoran apakah dalam pikiranku yang telah menyebabkan konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap? Dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran tidak merenungkan bentuk-bentuk muncul.<27> Karena kekotoran tidak merenungkan bentuk-bentuk ini, konsentrasiku jatuh dan mata [internal] lenyap; dengan lenyapnya mata [internal], [pengalaman] cahaya cemerlang dan penglihatan bentuk-bentuk yang sebelumnya telah kucapai, penglihatan bentuk-bentuk dan cahaya [internal] itu segera lenyap kembali.”

Anuruddha, saat itu juga aku tentunya berpikir demikian, “Dalam pikiranku kekotoran keragu-raguan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya perhatian tidak seharusnya muncul, kekotoran kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi tidak seharusnya muncul, kekotoran kelambanan dan ketumpulan tidak seharusnya muncul, kekotoran semangat berlebihan tidak seharusnya muncul, kekotoran kurangnya semangat tidak seharusnya muncul, kekotoran ketakutan tidak seharusnya muncul, kekotoran kegirangan tidak seharusnya muncul, kekotoran keangkuhan tidak seharusnya muncul, kekotoran persepsi keberagaman tidak seharusnya muncul, dan kekotoran tidak merenungkan bentuk-bentuk juga tidak seharusnya muncul!”

Anuruddha, karena aku bertekad untuk tidak memunculkan kekotoran ini, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan ketika berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, aku mencapai cahaya [internal] dan penglihatan bentuk-bentuk.

Anuruddha, jika kekotoran keragu-raguan muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya; jika kekotoran kurangnya perhatian, ... kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi, ... kelambanan dan ketumpulan, ... semangat berlebihan, ... kurangnya semangat, ... ketakutan, ... kegirangan, ... keangkuhan, ... persepsi keberagaman, ... tidak merenungkan bentuk-bentuk muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya.

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku akan melatih tiga [tingkatan] konsentrasi:<28> [aku akan] melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]; [aku akan] melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]; [aku akan] berlatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].”

Kemudian, Anuruddha, aku melatih tiga [tingkatan] konsentrasi ini: aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]; aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]; dan aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].

Jika aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan].

Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini. Jika aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Jika aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], maka pikiranku condong pada konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan]. Dengan cara ini aku yakin tidak kehilangan pengetahuan dan penglihatan itu.

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku menyadari tanda cahaya [internal] [tetapi] tidak menyadari tanda bentuk-bentuk, maka pada waktu itu aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk.”

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh pengetahuan cahaya [internal] tetapi tidak memperoleh penglihatan bentuk-bentuk. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh penglihatan bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal]. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh penglihatan bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal]?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku menyadari tanda bentuk-bentuk, maka aku tidak menyadari tanda cahaya [internal]. Pada waktu itu aku memperoleh [penglihatan] bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal].”<29>

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh [penglihatan] bentuk-bentuk tetapi tidak memperoleh pengetahuan cahaya [internal]. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku memasuki konsentrasi terbatas, maka karena memperoleh konsentrasi terbatas, mata [internal] memiliki kemurnian terbatas. Karena mata [internal] memiliki kemurnian terbatas, aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk.”

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh pengetahuan terbatas cahaya [internal] dan penglihatan terbatas bentuk-bentuk. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, kadang kala aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk. Anuruddha, aku berpikir demikian, “Karena alasan apakah, karena sebab apakah, aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk?”

Anuruddha, aku lebih lanjut berpikir demikian, “Jika aku memasuki konsentrasi tanpa batas, maka karena memperoleh konsentrasi tanpa batas, mata [internal] memiliki kemurnian tanpa batas. Karena mata [internal] memiliki kemurnian tanpa batas, aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk.”

Dengan cara ini, Anuruddha, setelah mengetahuinya demikian, selama sepanjang siang, selama sepanjang malam, selama sepanjang siang dan malam, aku memperoleh pengetahuan tanpa batas cahaya [internal] dan penglihatan tanpa batas bentuk-bentuk. Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Anuruddha, jika kekotoran keragu-raguan muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya; jika kekotoran kurangnya perhatian, ... kelembaman jasmani [yang mempengaruhi] persepsi, ... kelambanan dan ketumpulan, ... semangat berlebihan, ... kurangnya semangat, ... ketakutan, ... kegirangan, ... keangkuhan, ... persepsi keberagaman, ... tidak merenungkan bentuk-bentuk muncul dalam pikiranku, maka aku memurnikan pikiranku darinya.

Ketika melatih konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan hanya perenungan [berkelanjutan], aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], aku melatihnya secara penuh.
Ketika melatih konsentrasi yang tersendiri, aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi yang beranekaragam, aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi yang terbatas, aku melatihnya secara penuh. Ketika melatih konsentrasi yang tanpa batas dan tak terukur, aku melatihnya secara penuh.<30>

Aku membangkitkan pengetahuan dan penglihatan yang sepenuhnya jernih dan murni, dan aku maju menuju konsentrasi yang berkembang. Dengan penuh semangat mengembangkan hal-hal yang diperlukan [untuk berlatih] sang jalan, aku mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Anuruddha, pada waktu itu aku melakukan latihan berdiam dalam ketenangan ini.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #6 on: 27 September 2020, 06:55:58 PM »
73. Kotbah tentang Para Dewa<31>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Hutan Beting di negeri Ceti.
Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Pada masa lampau, ketika aku belum mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan [secara internal] cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk<32> Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan kemudian melihat bentuk-bentuk. Namun, aku tidak bertemu para dewa tersebut, tidak bertukar salam dengan mereka, tidak berbicara dengan mereka, dan tidak mendapatkan tanggapan dari mereka.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; dan [aku berharap] bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk, serta kemudian aku bertemu para dewa itu, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka. Namun, aku tidak mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, atau [sifat] kelahiran mereka.<33>

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; [aku berharap] bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, mendapatkan tanggapan mereka, dan mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; dan aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka. Namun, aku tidak mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri atau apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; serta mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; serta aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami. Namun, aku tidak mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; serta mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; serta aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir. Namun, aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini.<34>

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; serta mengetahui bahwa para dewa tersebut melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; serta aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini. Namun, aku tidak mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu.<35>

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; mengetahui bahwa para dewa tersebut melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; serta mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; serta aku mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu. Namun, aku tidak mengetahui apakah aku pernah sebelumnya memperoleh kelahiran di surga-surga tersebut atau tidak.

Aku lebih lanjut berpikir demikian, “Aku lebih baik memunculkan cahaya cemerlang dan, karena cahaya cemerlang itu, melihat bentuk-bentuk; bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan mereka; mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; mengetahui bahwa para dewa tersebut melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu; mengetahui apakah aku pernah sebelumnya memperoleh kelahiran di surga-surga tersebut atau tidak. Dengan cara ini pengetahuan dan penglihatanku akan menjadi sangat cemerlang dan murni.”

Agar pengetahuan dan penglihatanku menjadi sangat cemerlang dan murni, aku pergi berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, di mana aku berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Dengan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih secara tekun dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, aku mencapai cahaya cemerlang dan melihat bentuk-bentuk; aku bertemu para dewa tersebut, bertukar salam dengan mereka, berbicara dengan mereka, dan mendapatkan tanggapan dari mereka; aku mengetahui nama keluarga para dewa tersebut, nama yang diberikan pada mereka, dan [sifat] kelahiran mereka; aku mengetahui bagaimanakah para dewa tersebut memberi makan diri mereka sendiri dan apakah jenis kenikmatan dan kesakitan yang mereka alami; aku mengetahui masa kehidupan para dewa tersebut, berapa lamakah mereka akan berdiam, dan bagaimanakah kehidupan mereka akan berakhir; aku tidak mengetahui bahwa para dewa tersebut telah melakukan jenis perbuatan ini dan itu yang menyebabkan mereka terlahir kembali di sana setelah meninggal di sini; aku mengenali para dewa [individual] di antara para dewa ini dan itu; serta aku mengetahui apakah aku pernah sebelumnya memperoleh kelahiran di surga-surga tersebut atau tidak.

Selama aku belum dengan sepenuhnya mengetahui delapan jalan ini, aku tidak dapat menyatakan dengan pasti telah mencapainya.

[Karena] aku juga tidak memahami telah mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku tidak dapat melampaui dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, pertapa, dan brahmana; dan aku juga tidak dapat terbebaskan melalui berbagai pembebasan. Aku tidak terpisahkan dari semua penyimpangan dan tidak mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ketika aku telah sepenuhnya mengetahui delapan jalan ini, maka aku dapat menyatakan dengan pasti telah mencapainya.
[Karena] aku juga memahami telah mencapai realisasi pencerahan sempurna yang tiada bandingnya, aku melampaui dunia ini dengan para dewa, māra, Brahmā, pertapa, dan brahmana; dan aku juga terbebaskan melalui berbagai pembebasan. Aku terpisahkan dari semua penyimpangan dan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
« Last Edit: 27 September 2020, 06:57:59 PM by seniya »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #7 on: 27 September 2020, 07:05:24 PM »
74. Kotbah tentang Delapan Pemikiran<36>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra di negeri Bhagga.

Pada saat itu, Yang Mulia Anuruddha sedang berdiam di Hutan Beting di negeri Ceti. Pada waktu itu Yang Mulia Anuruddha sedang duduk bermeditasi di suatu tempat yang sunyi, dengan merenung. Ia memiliki [tujuh] pemikiran ini dalam pikirannya:

Sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu. Sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan. Sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan. Sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan. Sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah. Sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau. Sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi.

Kemudian, dengan pengetahuan [luar biasa] atas pikiran orang lain Sang Bhagavā mengetahui pemikiran, perenungan, dan aktivitas pikiran Yang Mulia Anuruddha. Setelah mengetahui hal ini memasuki keadaan konsentrasi yang sesuai. Melalui keadaan konsentrasi yang sesuai, [semudah dan secepat] seperti seseorang yang kuat dapat membengkokkan dan meluruskan lengannya, dengan cara yang sama Sang Bhagavā lenyap dari Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra di negeri Bhagga dan muncul di hadapan Yang Mulia Anuruddha di Hutan Beting di negeri Ceti.

Sang Bhagavā bangkit dari [keadaan] konsentrasi dan memuji Yang Mulia Anuruddha:

Bagus, bagus, Anuruddha bahwa, seraya duduk bermeditasi di suatu tempat sunyi, dengan merenung, engkau memiliki [tujuh] pemikiran ini: “Sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu. Sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan. Sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan. Sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan. Sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah. Sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau. Sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi.”

Anuruddha, engkau seharusnya menerima dari Sang Tathāgata pemikiran kedelapan seorang manusia agung. Setelah menerimanya, renungkanlah! “Sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi; bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi.”

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung ini, engkau pasti akan dapat mencapai [empat jhāna]: “Terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat.”

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri kerajaanyang memiliki sebuah peti bagus yang dipenuhi berbagai jenis pakaian: kapan pun ia ingin memakainya pada pagi hari, ia mengambil dan mengenakannya; kapan pun ia ingin memakainya pada siang hari atau pada sore hari, ia mengambil dan mengenakannya, secara bebas menurut keinginannya.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, dalam jubah kain usang yang engkau peroleh akan bagimu menjadi pakaian terbaik dan pikiranmu akan tanpa keinginan ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri kerajaan yang memiliki seorang kepala tukang masak yang baik [yang menyiapkan] berbagai jenis makanan dan hidangan yang murni, enak, dan lezat.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, dalam dana makanan di mana engkau secara teratur mengumpulkannya akan bagimu menjadi yang terbaik di antara semua makanan dan pikiranmu akan tanpa keinginan, ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri kerajaan yang memiliki sebuah rumah indah atau istana bertingkat.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, di bawah pohon di mana engkau berdiam akan bagimu menjadi yang terbaik di antara semua rumah dan pikiranmu akan tanpa keinginan, ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka ini akan bagimu seperti menjadi seorang raja atau menteri yang memiliki dipan dan tempat duduk indah, berlapiskan kain wol, dihiasi dengan brokat dan kain sutera bagus, dengan seprai bergaris-garis dan dilapisi dengan kapas, dan dengan bantal [terbuat dari] kulit antelop pada kedua ujungnya.

Anuruddha, engkau akan seperti ini, dalam tempat duduk dari rumput atau tempat duduk dari dedaunan akan bagimu menjadi yang terbaik di antara semua tempat duduk dan pikiranmu akan tanpa keinginan, ketika engkau melatih hal ini, berkembang dalam latihan ketenangan.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka, jika engkau mengembara seperti ini ke arah timur, engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari dukacita oleh berbagai penderitaan. Jika engkau mengembara ke arah selatan, ... arah barat, ... arah utara, engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari dukacita oleh berbagai penderitaan.<37>

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka aku tidak mengatakan bahwa engkau akan [semata-mata] mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, apalagi aku mengatakan bahwa engkau akan mengalami kemunduran; sebaliknya engkau akan, pada siang dan malam, berkembang dalam keadaan-keadaan bermanfaat dan tidak akan mengalami kemunduran.

Anuruddha, jika engkau terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung dan juga mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan, maka engkau pasti akan mencapai salah satu dari dua buah: engkau akan mencapai pengetahuan akhir di sini dan saat ini atau, jika terdapat sisa [kemelekatan], engkau akan mencapai yang tidak-kembali. Anuruddha, engkau seharusnya terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung ini dan engkau seharusnya mencapai empat keadaan pikiran yang lebih tinggi ini, kediaman yang menyenangkan pada masa sekarang, mencapainya dengan mudah dan tanpa kesulitan. Setelah itu, habiskanlah masa pengasingan musim hujan di Hutan Beting di negeri Ceti ini.

Kemudian Sang Bhagavā mengajarkan Dharma kepada Yang Mulia Anuruddha, mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya. Setelah dengan tak terhitung cara terampil mengajarkan Dharma kepada Anuruddha, setelah mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya, [Sang Buddha] memasuki keadaan konsentrasi yang sesuai. Melalui keadaan konsentrasi yang sesuai ini, [semudah dan secepat seperti] seseorang yang kuat dapat membengkokkan dan meluruskan lengannya, Sang Bhagavā lenyap dari Hutan Beting di negeri Ceti dan muncul di Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra di negeri Bhagga.

Kemudian Yang Mulia Ānanda, yang memegang bulu pengusir lalat, melayani Sang Buddha. Kemudian Sang Bhagavā, setelah bangkit dari [keadaan] konsentrasi, melihat ke sekeliling dan berkata, “Ānanda, siapa pun bhikkhu yang berada di sekitar Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra, suruhlah mereka semua berkumpul di aula perkumpulan. Ketika mereka berkumpul di aula pertemuan, kembalilah dan beritahukan aku.”

Setelah menerima instruksi dari Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda memberikan penghormatan pada kaki [Sang Buddha] dan pergi mengumumkan perintah bahwa semua bhikkhu semuanya harus berkumpul di aula pertemuan. Ketika mereka telah berkumpul di aula pertemuan, ia kembali kepada Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki beliau, dan, dengan berdiri pada satu sisi, berkata, “Sang Bhagavā, semua bhikkhu di sekitar Taman Rusa dalam Hutan Bhesakaḷa di Gunung Suṃsumāra semuanya sekarang berkumpul di aula pertemuan. Semoga Sang Bhagavā sendiri mengetahui waktu yang tepat.”

Kemudian Sang Bhagavā pergi ke aula perkumpulan, ditemani oleh Yang Mulia Ānanda. Beliau membentangkan alas duduknya di hadapan perkumpulan bhikkhu dan duduk. Setelah duduk, beliau berkata,<38> “Para bhikkhu, aku sekarang akan mengajarkan kalian delapan pemikiran seorang manusia agung. Dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik!”

Kemudian para bhikkhu mendengar untuk menerima ajaran itu.

Sang Buddha berkata:

Delapan pemikiran seorang manusia agung adalah sebagai berikut: “Sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu. Sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan. Sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan. Sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan. Sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah. Sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau. Sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi. Sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi; bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi.”

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu? Ini bermakna bahwa ketika seorang bhikkhu telah mencapai ketiadaan nafsu, ia sendiri mengetahui bahwa ia telah mencapai ketiadaan nafsu tetapi ia tidak membiarkan orang lain mengetahui, “Aku tanpa nafsu.” Ketika ia telah mencapai kepuasan, ... telah mencapai usaha, ... telah mencapai perhatian benar, ... telah mencapai konsentrasi benar, ... telah mencapai kebijaksanaan, ... dan telah mencapai ketiadaan proliferasi, ia sendiri mengetahui bahwa ia telah mencapai ketiadaan proliferasi dan nafsu tetapi ia tidak ingin membiarkan orang lain mengetahui, “Aku telah mencapai ketiadaan [proliferasi dan] nafsu.” Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui tanpa nafsu, bukan melalui nafsu.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan? Ini bermakna bahwa ketika seorang bhikkhu melatih kepuasan dengan menggunakan jubah [hanya] untuk menutupi kerangka fisiknya dan memakan [hanya secukupnya] makanan untuk memenuhi [kebutuhan] jasmani.<39> Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui kepuasan, bukan melalui ketidakpuasan.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu melatih keterasingan dengan menyempurnakan dua jenis keterasingan, keterasingan jasmani dan batin.<40> Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui keterasingan, bukan melalui bergembira dalam perkumpulan, berdiam dalam perkumpulan, bersama-sama dengan [orang lain dalam] perkumpulan.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu selalu berlatih dengan usaha untuk meninggalkan [keadaan-keadaan] jahat dan tidak bermanfaat serta mengembangkan keadaan-keadaan bermanfaat, dengan gigih membangkitkan pikirannya, secara terpusat dan mantap, tanpa meninggalkan tugas itu, demi kepentingan [mengembangkan] akar-akar yang bermanfaat. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui usaha, bukan melalui kemalasan.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu merenungkan jasmani sebagai jasmani secara internal, merenungkan perasaan, ... keadaan pikiran, ... dan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal.<41> Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui perhatian benar, bukan melalui perhatian salah.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu berdiam terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui pikiran terkonsentrasi, bukan melalui pikiran yang kacau.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi? Ini bermakna bahwa seorang bhikkhu berdiam dalam mengembangkan kebijaksanaan, dengan merenungkan muncul dan lenyapnya dharma-dharma, mencapai pengetahuan seperti ini, kebijaksanaan mulia yang secara cemerlang menembus, pemahaman yang membedakan, demi pelenyapan dukkha sepenuhnya. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui kebijaksanaan, bukan melalui delusi.

Bagaimanakah sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi, bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi? Ini bermakna bahwa pikiran seorang bhikkhu selalu memadamkan proliferasi dan menikmati berdiam dalam nirvana tanpa sisa.<42> Pikirannya selalu bergembira dalam kediaman ini, bergembira dalam kebebasan batin. Ini adalah bagaimana sang jalan dicapai melalui ketiadaan proliferasi, bergembira dalam ketiadaan proliferasi, dan melatih ketiadaan proliferasi, bukan melalui proliferasi, bukan melalui bergembira dalam proliferasi, bukan dengan melatih proliferasi.

Para bhikkhu, bhikkhu Anuruddha telah terampil dalam delapan pemikiran seorang manusia agung ini. Kemudian ia akan menghabiskan masa pengasingan musim hujan di Hutan Beting di negeri Ceti, setelah menerima ajaran ini dariku.

[Anuruddha] berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Setelah berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, [Anuruddha] menyempurnakan kehidupan suci tertinggi, demi tujuan di mana para anggota keluarga mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah karena keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan dan sepenuhnya mencapai puncak kehidupan suci. Dalam kehidupan ini juga, ia secara pribadi mencapai pemahaman dan pencerahan, dan berdiam setelah secara pribadi merealisasinya. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Kemudian Yang Mulia Anuruddha menjadi seorang arahant, pikirannya terbebaskan sepenuhnya, dan ia menjadi seorang sesepuh terkemuka. Pada waktu itu ia mengucapkan syair-syair ini:

Mengetahui dari jauh perenunganku,
Sang Guru Agung dunia,
Dengan tubuhnya tegak, pikirannya memasuki konsentrasi,
Melintasi angkasa, beliau tiba dengan segera.<43>

Beliau mengajarkanku tentang [tujuh] pemikiran dalam pikiranku
Dan kemudian menambahkan satu lagi:
Bahkan semua Buddha bergembira dalam ketiadaan proliferasi,
Jauh dari segala proliferasi.

Setelah mengetahui Dharma dari beliau,
Dengan gembira berkembang dalam Dharma sejati,
Aku mencapai konsentrasi dan kebijaksanaan yang menembus:
“Apa yang harus dilakukan dalam ajaran Buddha telah dilakukan.”<44>

Aku tidak bergembira dalam kematian
Dan aku tidak berharap untuk terlahir kembali.

Menurut waktu yang tepat,
Berkembang dalam perhatian benar dan pemahaman benar,
Di sebuah hutan bambu di Vesālī
Kehidupanku akan berakhir.

Di bawah pohon-pohon bambu di hutan itu
Aku akan mencapai nirvana akhir tanpa sisa.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Anuruddha dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #8 on: 27 September 2020, 07:17:02 PM »
75. Kotbah tentang Jalan Menuju Ketanpa-gangguan Murni<45>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di negeri Kuru, di kota Kuru [bernama] Kammāssadhamma.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Kenikmatan indria adalah tidak kekal, tidak nyata, palsu, bersifat palsu, yang sesungguhnya bersifat ilusi, menipu, dan delusif. Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk materi sekarang atau pada masa yang akan datang – semua ini adalah wilayah Māra;<46> mereka sesungguhnya umpan Māra, di mana karenanya tidak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, [seperti] ketamakan dan kemarahan, muncul dalam pikiran, yang membawa pada perselisihan, di mana [semuanya] menciptakan suatu rintangan bagi seorang siswa mulia yang masih berlatih.

Seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan, “Sang Bhagavā telah mengajarkan bahwa kenikmatan indria adalah tidak kekal, tidak nyata, palsu, bersifat palsu, yang sesungguhnya bersifat ilusi, menipu, dan delusif.

“Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk materi sekarang atau pada masa yang akan datang – semua ini adalah wilayah Māra; mereka sesungguhnya umpan Māra, karena disebabkan mereka tak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, [seperti] ketamakan dan kemarahan, muncul dalam pikiran, yang membawa pada perselisihan, di mana [semuanya] menciptakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang masih berlatih.

Ia merenungkan demikian, “Biarlah aku mencapai suatu keadaan pikiran yang berlimpah dan berdiam di dalamnya, dengan mengatasi keduniawian [dengan] mengendalikan pikiranku, lalu dengan cara ini tak terhitung keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, [seperti] ketamakan dan kemarahan, tidak akan muncul dalam pikiran, yang membawa pada perselisihan, di mana [semuanya] menciptakan rintangan bagi seorang siswa mulia yang masih berlatih.

Dengan cara latihan ini, dengan cara pelatihan ini, dengan mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu.

Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju ketanpa-gangguan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai ketanpa-gangguan. Ini disebut penjelasan pertama jalan menuju ketanpa-gangguan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan demikian, “Jika terdapat bentuk-bentuk materi, mereka semuanya [terbentuk] dari empat unsur dan apa yang diturunkan dari empat unsur.<47> Empat unsur adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”

Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju ketanpa-gangguan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai ketanpa-gangguan. Ini disebut penjelasan kedua jalan menuju ketanpa-gangguan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia merenungkan demikian, “Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”

Pada waktu itu ia pasti akan mencapai persepsi ketanpa-gangguan. Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyuruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju ketanpa-gangguan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai ketanpa-gangguan. Ini disebut penjelasan ketiga jalan menuju ketanpa-gangguan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia merenungkan demikian, “Persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang, dan persepsi ketanpa-gangguan – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”<48>

Pada waktu itu ia akan mencapai persepsi kekosongan. Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyuruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju <kekosongan> di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai <landasan kekosongan>.<49> Ini disebut penjelasan pertama jalan menuju kekosongan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan, “Dunia ini adalah kosong, kosong dari diri dan apa pun yang menjadi milik diri, kosong dari apa pun yang kekal, kosong dari kelangsungan yang berkesinambungan, kosong dari yang tidak berubah.”<50>

Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju landasan kekosongan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai landasan kekosongan. Ini disebut penjelasan kedua jalan menuju landasan kekosongan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan demikian, “Aku bukan milik yang lain dan aku tidak memiliki kepemilikan sendiri.”<51>

Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju landasan kekosongan tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai landasan kekosongan. Ini disebut penjelasan ketiga jalan menuju landasan kekosongan murni.

Selanjutnya, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan demikian: “Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk materi sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi ketanpa-gangguan, dan persepsi landasan kekosongan – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan.”<52>

Pada waktu itu ia akan mencapai [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi. Berlatih dengan cara ini, melatih dengan cara ini, mengembangkan dengan cara ini, secara luas dan menyeluruh, ia mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu. Setelah mencapai kemurnian pikiran sehubungan dengan landasan itu, seorang bhikkhu demikian akan memperoleh jalan masuk menuju [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi tepat di sini, atau jika tidak, menggunakan kebijaksanaan demi tujuan pembebasan. Kelak, ketika tubuhnya hancur dan kehidupan berakhir, karena kecenderungan batin sebelumnya itu, ia pasti akan mencapai landasan [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi. Ini disebut penjelasan jalan menuju landasan kekosongan murni.

Pada saat itu Yang Mulia Ānanda sedang mengipasi Sang Buddha. Kemudian Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:

Sang Bhagavā, seumpamanya seorang bhikkhu berlatih demikian: “Tidak ada aku, maupun apa pun yang menjadi milikku; aku tidak akan ada, apa yang menjadi milikku tidak akan ada. Jika [sesuatu] telah lebih dulu [menjadi] ada, ini akan padam,” dan ia mencapai keseimbangan [dengan berlatih dengan cara ini]. Sang Bhagavā, apakah seorang bhikkhu yang berlatih dengan cara ini pada akhirnya mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā menjawab, “Ānanda, hal ini tidak pasti. Terdapat beberapa yang mencapainya; terdapat beberapa yang tidak mencapainya.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, [melalui] berlatih dengan cara apakah seorang bhikkhu tidak mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, seumpamanya seorang bhikkhu berlatih dengan cara ini: “Tidak [ada] aku, maupun apa pun yang menjadi milikku; aku tidak akan ada, apa yang menjadi milikku tidak akan ada. Jika [sesuatu] telah terlebih dulu [menjadi] ada, ini akan padam,” dan ia mencapai keseimbangan [dengan berlatih dengan cara ini]. Ānanda, jika bhikkhu itu bergembira dalam keseimbangan itu, melekat pada keseimbangan itu, berkembang dalam keseimbangan itu, maka, Ānanda, dengan berlatih dengan cara ini bhikkhu itu pasti tidak akan mencapai nirvana akhir.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, jika seorang bhikkhu memiliki kemelekatan demikian, maka [apakah] ia tidak akan mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, jika seorang bhikkhu memiliki kemelekatan demikian, ia pasti tidak akan mencapai nirvana akhir.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, pada apakah bhikkhu itu melekat?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, dalam latihannya terdapat sisa [kemelekatan], yaitu, pada landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi. Di antara [keadaan-keadaan] kelangsungan, ini adalah yang terunggul, dan bhikkhu itu melekat padanya.”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, jadi [apakah] bhikkhu itu berlatih dengan sisa kemelekatan?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, dengan cara ini bhikkhu itu sesungguhnya berlatih dengan sisa kemelekatan.”
Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, dengan berlatih dengan cara apakah seorang bhikkhu pasti akan mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, seumpamanya seorang bhikkhu berlatih dengan cara ini: “Tidak [ada] aku, maupun apa pun yang menjadi milikku; aku tidak akan ada, dan apa yang menjadi milikku tidak akan ada. Jika [sesuatu] telah terlebih dulu [menjadi] ada, ini akan padam” dan ia [dengan demikian] mencapai keseimbangan. Ānanda, jika bhikkhu itu tidak bergembira dalam keseimbangan itu, tidak melekat pada keseimbangan itu, tidak berkembang dalam keseimbangan itu, maka, Ānanda, dengan berlatih dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai nirvana akhir.

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, jika seorang bhikkhu tidak melekat pada apa pun, maka apakah ia pasti akan mencapai nirvana akhir?”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, jika seorang bhikkhu tidak melekat pada apa pun, ia pasti akan mencapai nirvana akhir”

Kemudian Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:

Sang Bhagavā telah menjelaskan jalan menuju ketanpa-gangguan murni, beliau telah menjelaskan jalan menuju landasan ketiadaan murni, beliau telah menjelaskan jalan menuju [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi, beliau telah menjelaskan nirvana tanpa sisa.<53> Sang Bhagavā, apakah pembebasan mulia?”

Sang Bhagavā menjawab:

Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan dengan cara ini: “Kenikmatan indria sekarang atau pada masa yang akan datang, bentuk-bentuk sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi indria sekarang atau pada masa yang akan datang, persepsi ketanpa-gangguan, persepsi landasan kekosongan, dan persepsi [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi – semua persepsi ini adalah bersifat tidak kekal, dukkha, dan [tunduk] pada kelenyapan. Ini disebut kelangsungan orang itu sendiri (sakkāya). Jika terdapat kelangsungan orang itu sendiri, [maka] terdapat kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.”

Ānanda, jika terdapat realitas ini – padamnya sepenuhnya, lenyapnya tanpa sisa, tidak ada kelangsungan lebih jauh – maka tidak akan ada kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian.

Seorang [siswa] mulia merenungkan demikian: “Jika ini ada, ini pasti memiliki sifat pembebasan. Jika terdapat nirvana tanpa sisa, itu yang disebut keabadian.” Dengan perenungan demikian dan pandangan demikian ia pasti akan mencapai pembebasan pikiran dari noda-noda kenikmatan indria, pembebasan pikiran dari noda-noda kelangsungan dan dari noda-noda ketidaktahuan. Terbebaskan, ia mengetahui ia terbebaskan, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ānanda, aku sekarang telah menjelaskan kepada kalian jalan menuju ketanpa-gangguan murni, aku telah menjelaskan jalan menuju landasan kekosongan murni, aku telah menjelaskan jalan menuju [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi, aku telah menjelaskan nirvana tanpa sisa, dan aku telah menjelaskan pembebasan mulia.

Apa yang seharusnya dilakukan seorang guru untuk para siswanya demi belas kasih agung, kebaikan, simpati, dan perhatian, dengan mencari manfaat dan kesejahteraan mereka, mencari keamanan dan kebahagian mereka, itu telah kulakukan sekarang.

Kalian juga seharusnya melakukan tugas kalian. Pergilah dan duduk bermeditasi dan merenung di suatu tempat yang terpencil, di dalam hutan, di bawah sebatang pohon dan tempat yang tenang. Janganlah lalai, lakukan usaha yang tekun, agar kalian tidak [menjadi] menyesal kelak. Inilah instruksiku, inilah pengajaranku!”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #9 on: 27 September 2020, 07:20:01 PM »
76. Kotbah di Ukkācelā<54>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Ukkācelā, di tepi sebuah kolam di dekat Sungai Gangga.

Pada waktu itu, pada sore hari seorang bhikkhu tertentu bangkit dari duduk bermeditasi, mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, dan mengundurkan diri untuk duduk pada satu sisi. Ia berkata:

Semoga Sang Bhagavā dengan baik mengajarkanku Dharma. Setelah mendengarkan Dharma dari Sang Bhagavā, aku akan berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Melalui berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, semoga aku menyempurnakan kehidupan suci, demi tujuan di mana para anggota keluarga mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah demi keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan dan mencapai sepenuhnya puncak kehidupan suci. Semoga aku, dalam kehidupan ini juga, secara pribadi mencapai pemahaman dan pencerahan, dan berdiam setelah secara pribadi merealisasinya. Semoga aku mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Sang Bhagavā berkata:<55>

Bhikkhu, engkau seharusnya berlatih dengan cara sedemikian sehingga pikiran menjadi tenang, menyisakan ketanpa-gangguan di dalam, dengan mengembangkan faktor-faktor bermanfaat yang tak terukur. Selanjutnya, renungkanlah jasmani sebagai jasmani secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik, sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah jasmani sebagai jasmani secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah jasmani sebagai jasmani secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.<56>

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dikembangkan dengan baik ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, ketika duduk, ketika berbaring, ketika pergi tidur, ketika bangun, dan ketika baik tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan,<57> dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.<58>

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, maka, bhikkhu, engkau seharusnya lebih lanjut merenungkan perasaan sebagai perasaan secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah perasaan sebagai perasaan secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, renungkanlah perasaan sebagai perasaan secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dikembangkan dengan baik ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, duduk, berbaring, pergi tidur, bangun, dan ketika baik tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan; dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, maka, bhikkhu, engkau seharusnya lebih lanjut merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya merenungkan keadaan pikiran sebagai keadaan pikiran secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dengan baik dikembangkan ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, duduk, berbaring, pergi tidur, bangun, dan baik ketika tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan, dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, maka, bhikkhu, engkau seharusnya lebih lanjut merenungkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan dharma-dharma sebagai dharma-dharma secara internal dan eksternal, dengan berdiam dengan ketekunan sepenuhnya, dengan perhatian benar dan pemahaman benar terkembang, menjinakkan pikiranmu sendiri dengan baik sehingga ketamakan ditinggalkan dan pikiran tanpa kekesalan.

Bhikkhu, konsentrasi demikian seharusnya dengan baik dikembangkan ketika pergi dan datang. Engkau seharusnya mengembangkannya ketika berdiri, duduk, berbaring, pergi tidur, bangun, dan baik ketika tidur maupun bangun. Selanjutnya, engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi dengan kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan], ... konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] tetapi dengan hanya perenungan [berkelanjutan]; ... engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi tanpa kesadaran [terarah] dan tanpa perenungan [berkelanjutan]; dan engkau seharusnya mengembangkan konsentrasi yang disertai dengan sukacita, ... konsentrasi yang disertai dengan kenikmatan, ... konsentrasi yang disertai dengan keterpusatan, dan engkau seharusnya mengembangkan dengan baik konsentrasi yang disertai dengan keseimbangan.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, ketika engkau telah mengembangkannya dengan sangat baik, bhikkhu, engkau seharusnya berdiam meliputi satu arah dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, demikian juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, engkau seharusnya berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Dengan cara yang sama, engkau harus memenuhi pikiranmu dengan belas kasih, ... dengan kegembiraan empatik, ... dan dengan keseimbangan, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan; engkau seharusnya berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik.

Para bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, mengembangkannya dengan sangat baik, jika engkau mengembara ke arah timur, engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari berbagai penderitaan dan dukacita. Jika engkau mengembara ke arah selatan, ... arah barat, ... [atau] arah utara engkau pasti akan dalam kenyamanan, bebas dari berbagai penderitaan dan dukacita.<59>

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, mengembangkannya dengan sangat baik, maka, aku tidak mengatakan bahwa engkau akan [hanya] mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat, apalagi bahwa engkau akan mengalami kemunduran; sebaliknya [aku mengatakan] bahwa engkau akan, pada siang dan malam, berkembang dalam keadaan-keadaan bermanfaat ini tanpa kemunduran.

Bhikkhu, ketika engkau telah mengembangkan konsentrasi ini, mengembangkannya dengan sangat baik, maka engkau pasti akan mencapai salah satu dari dua buah: engkau akan mencapai pengetahuan akhir dalam kehidupan ini atau, [jika] terdapat sisa [kemelekatan], engkau akan mencapai yang tidak-kembali.<60>

Kemudian bhikkhu itu, setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, setelah menerimanya dengan baik dan mengingatnya dengan baik, bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengelilingi beliau tiga kali, dan pergi.

Mengingat instruksi dari Sang Buddha, ia berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil serta berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan. Melalui berdiam di suatu tempat yang jauh dan terpencil, berlatih dengan tekun, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, ia menyempurnakan kehidupan suci, demi tujuan di mana para anggota keluarga mencukur rambut dan janggut, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah demi keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian dan mencapai sepenuhnya puncak kehidupan suci. Dalam kehidupan ini juga ia secara pribadi mencapai pemahaman dan pencerahan serta berdiam setelah secara pribadi merealisasinya. Ia mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Yang mulia itu, setelah memahami Dharma, menjadi seorang arahant.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #10 on: 27 September 2020, 07:28:49 PM »
77. Kotbah tentang Tiga Anggota Keluarga di Sāketa<61>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāketa, di Hutan Anjana.

Pada waktu itu di Sāketa terdapat tiga anggota keluarga, Yang Mulia Anuruddha, Yang Mulia Nandiya, dan Yang Mulia Kimbila, yang baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini bersama-sama.

Pada waktu itu Sang Bhagavā bertanya kepada para bhikkhu:

Tiga anggota keluarga ini, yang baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini, apakah tiga anggota keluarga ini bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini?

Kemudian semua bhikkhu berdiam diri dan tidak menjawab.

Kedua dan ketiga kalinya Sang Bhagavā bertanya kepada para bhikkhu:

Tiga anggota keluarga ini, yang baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini, apakah tiga anggota keluarga ini bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini?

Kedua dan ketiga kalinya semua bhikkhu berdiam diri lagi dan tidak menjawab.

Kemudian Sang Bhagavā sendiri bertanya kepada tiga anggota keluarga itu, dengan berkata kepada Yang Mulia Anuruddha:

Kalian tiga anggota keluarga baru saja pergi meninggalkan keduniawian bersama-sama pada usia muda untuk berlatih, setelah baru-baru ini memasuki Dharma sejati ini. Anuruddha, apakah kalian semua bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini?

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Demikianlah, Sang Bhagavā. Kami bergembira dalam berlatih kehidupan suci dalam Dharma dan disiplin sejati ini.”

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, engkau dalam kemudaanmu, engkau adalah pemuda, dengan rambut hitam sepenuhnya dan jasmani yang sehat. Engkau [bisa saja] bergembira dalam rekreasi, bergembira dalam mandi dengan sering dan menghiasi tubuh, dikelilingi oleh para sana keluarga dan orang tua yang menyayangimu, yang dengan ratap tangis dan air mata tidak berharap engkau untuk pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan.

[Namun] engkau dapat mencukur rambut dan janggutmu, mengenakan jubah kuning, meninggalkan rumah demi keyakinan, dan pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan. Anuruddha, engkau tidak berlatih dalam sang jalan karena takut terhadap raja-raja, atau takut terhadap para perampok, atau takut terhadap hutang, atau ketakutan-ketakutan lainnya, maupun engkau berlatih dalam sang jalan karena engkau takut terhadap kemiskinan dan ketidakmampuan mencari nafkah. Bukankah ini alih-alih karena engkau bosan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dukacita dan kesedihan dan berharap untuk melampaui kumpulan besar dukkha ini? Anuruddha, bukankah karena pemikiran demikian sehingga engkau pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan?

[Yang Mulia Anuruddha] menjawab, “Demikianlah.”

[Sang Buddha berkata,] “Anuruddha, jika seorang anggota keluarga pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan karena pemikiran demikian, apakah ia mengetahui jalan untuk mencapai tak terhitung keadaan bermanfaat?”

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini dan, setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, jika seseorang diliputi oleh nafsu dan dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, maka ia tidak mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi. Ketika pikirannya memunculkan ketamakan, permusuhan, serta kelambanan dan ketumpulan, pikiran memunculkan ketidakpuasan, jasmani menjadi lesu, dan ia makan berlebihan dan menjadi gundah.

Seorang bhikkhu demikian tidak dapat menahan rasa lapar dan haus, dingin dan panas, nyamuk, serangga pengganggu, lalat dan kutu, serta gangguan oleh angin atau matahari. Ia juga tidak dapat menahan [menerima] ucapan jahat atau dipukuli dengan tongkat. [Jika] jasmani mengalami semua jenis penyakit, sedemikian menyakitkan sehingga ia berharap untuk mengakhiri hidupnya, atau apa pun [hal lain] yang tidak diinginkan – semua itu tidak dapat ia tanggung.

Mengapakah demikian? Karena ia diliputi oleh keinginan indria dan dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, ia tidak dapat mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi.

Jika ia terasing dari keinginan indria dan tidak dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi. Kemudian pikiran tidak akan memunculkan ketamakan, permusuhan, serta kelambanan dan ketumpulan. Pikiran tidak akan memunculkan ketidakpuasan, jasmani tidak akan menjadi lesu, dan ia tidak akan makan berlebihan dan menjadi gundah.

Seorang bhikkhu demikian dapat menahan rasa lapar dan haus, dingin dan panas, nyamuk, serangga pengganggu, lalat dan kutu, serta gangguan oleh angin dan matahari. Ia juga dapat menahan [menerima] ucapan jahat atau dipukuli dengan tongkat. Ketika jasmani mengalami semua jenis penyakit, sedemikian menyakitkan sehingga ia berharap untuk mengakhiri hidupnya, atau apa pun [hal lain] yang tidak diinginkan – semua itu dapat ia tanggung.

Mengapakah demikian? Karena ia tidak diliputi oleh nafsu dan tidak dalam cengkeraman keadaan-keadaan jahat, ia mencapai kebahagiaan pelepasan, kedamaian ketenangan tertinggi.

Sang Bhagavā bertanya, “Anuruddha, mengapakah Sang Tathāgatha menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa, dan menolak beberapa?”<62>

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini; setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, bukan karena Sang Tathāgata belum melenyapkan noda-noda dan kekotoran yang adalah akar penjelmaan yang akan datang, yang mengakibatkan dukacita dan penderitaan, yang adalah sebab kelahiran, usia tua, penyakit, dan kematian; serta bukan karena beliau tidak memiliki pengetahuan [telah mencapai pembebasan] sehingga beliau menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa, dan menolak beberapa.

Anuruddha, hanya karena jasmani ini, enam landasan indria, dan daya hidup sehingga Sang Tathāgata menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa dan menolak beberapa. Anuruddha, ini adalah alasan mengapa Sang Tathāgata menyingkirkan beberapa, menggunakan beberapa, menahan beberapa, menghentikan beberapa dan menolak beberapa.<63>

Sang Bhagavā bertanya:

Anuruddha, mengapakah Sang Tathāgata berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan, bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi?<64>

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini; setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.
Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, bukan karena Sang Tathāgata berharap untuk mencapai apa yang belum beliau capai, berharap untuk memperoleh apa yang belum beliau peroleh, berharap untuk merealisasikan apa yang belum beliau realisasikan sehingga beliau berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi.

Anuruddha, untuk dua alasan Sang Tathāgata berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi. Pertama adalah demi tujuan kediaman yang menyenangkan untuk diri beliau sendiri di sini dan saat ini. Kedua adalah karena beliau memiliki belas kasih terhadap generasi-generasi mendatang, dengan berpikir, “Mungkin generasi-generasi mendatang akan mengikuti teladan Sang Tathāgata dan berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi.”

Anuruddha, untuk alasan-alasan ini Sang Tathāgata berdiam di tempat sunyi, di bawah pohon dalam hutan gunung, bergembira dalam berdiam di atas tebing tinggi, di tempat yang damai tanpa kebisingan, tempat jauh yang bebas dari kejahatan dan bebas dari orang-orang, tempat yang kondusif untuk duduk bermeditasi.

Sang Bhagavā bertanya:

Anuruddha, mengapakah Sang Tathāgata menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian” dan “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian”?

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskan hal ini; setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Anuruddha, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik. Aku akan menganalisis makna hal ini untuk kalian.” Anuruddha dan teman-temannya mendengarkan untuk menerima ajaran tersebut.

Sang Bhagavā berkata:

Anuruddha, Sang Tathāgata tidak mengatakan hal ini untuk membuat orang-orang tertarik. Bukan untuk menipu orang-orang, atau demi harapan untuk membuat orang-orang senang, sehingga beliau menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian” dan “Si anu telah terlahir kembali di tempat demikian”

Anuruddha, Sang Tathāgata melakukan hal ini hanya agar para anggota keluarga pria dan wanita yang murni dan berkeyakinan, yang memiliki keyakinan besar dan ketaatan besar, dapat mengembangkan kegembiraan besar, sehingga ketika mendengar Dharma dan disiplin sejati ini mereka mungkin berharap untuk mengikuti teladan-teladan ini, cukup seperti itu. Adalah untuk alasan ini sehingga [Sang Tathāgata] menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa “Si anu telah terlahir di tempat demikian” dan “Si anu telah terlahir di tempat demikian.”

Seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia pada tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah mencapai pengetahuan akhir, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu, atau ia mungkin sering mendengar dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.” Setelah mendengar hal itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutnya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawanannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”
Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhu mungkin mendengar bahwa Yang Mulia Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri yang mulia itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Yang mulia itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan yang mulia itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhu itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhu itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhuni Anu telah meninggal dunia dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah mencapai pengetahuan akhir, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.” Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.” Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhu Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah; bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhu Anu telah meninggal di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #11 on: 27 September 2020, 07:33:02 PM »
Selanjutnya, Anuruddha, seorang bhikkhuni mungkin mendengar bahwa bhikkhuni Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri bhikkhuni itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Bhikkhuni itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan bhikkhuni itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, bhikkhuni itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini bhikkhuni itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, seorang umat awam pria mungkin mendengar bahwa umat awam pria Anu meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri umat awam pria itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam pria itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam pria itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam pria itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam pria mungkin mendengar bahwa umat awam pria Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan mendengar bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam pria itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam pria itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam pria itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam pria itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam pria mungkin mendengar bahwa umat awam pria Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan mendengar bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhum] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam pria itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam pria itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam pria itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam pria itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, seorang umat awam wanita mungkin mendengar bahwa seorang umat awam wanita Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah, bahwa ia akan terlahir di antara [di Kediaman Murni] dan [mencapai] nirvana di sana, dan, setelah mencapai keadaan tidak-kembali, ia tidak akan kembali ke dunia ini. Ia mungkin melihat sendiri umat awam wanita itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam wanita itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam wanita itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam wanita itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam pria itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam wanita mungkin mendengar bahwa umat awam wanita Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi; bahwa ia telah mencapai yang sekali-kembali di antara para dewa atau manusia; dan, setelah kembali [hanya] sekali, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam wanita itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam wanita itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam wanita itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam wanita itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam wanita itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Selanjutnya, Anuruddha, seorang umat awam wanita mungkin mendengar bahwa umat awam wanita Anu telah meninggal dunia di tempat demikian dan bahwa Sang Buddha menyatakan bahwa [almarhumah] telah melenyapkan tiga belenggu dan mencapai pemasuk-arus; bahwa, tanpa jatuh ke dalam keadaan-keadaan jahat, ia pasti akan maju menuju pencerahan sempurna; dan, setelah mengalami paling banyak tujuh kehidupan [lagi], terlahir kembali tujuh kali di antara para dewa dan manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Ia mungkin melihat sendiri umat awam wanita itu, atau ia mungkin sering mendengarnya dari orang lain, “Umat awam wanita itu memiliki keyakinan demikian, mengikuti aturan-aturan latihan demikian, memiliki pembelajaran luas demikian, melatih jenis kedermawanan demikian, memiliki kebijaksanaan demikian.”

Setelah mendengar itu, orang ini mengingat keyakinan umat awam wanita itu, aturan-aturan latihan yang diikutinya, pembelajaran luasnya, jenis kedermawannya, dan kebijaksanaannya. Setelah mendengar Dharma dan disiplin sejati ini, umat awam wanita itu mungkin bertekad untuk mengikuti teladan ini, cukup seperti itu. Anuruddha, dengan cara ini umat awam wanita itu pasti akan mencapai suatu tingkat keistimewaan dan dengan damai berdiam di dalamnya.

Anuruddha, untuk alasan ini Sang Tathāgata menyatakan para siswa yang telah meninggal dunia bahwa beberapa terlahir kembali di tempat demikian, dan beberapa [lainnya] terlahir kembali di tempat demikian.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Anuruddha dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #12 on: 27 September 2020, 07:44:46 PM »
78. Kotbah tentang Undangan Brahmā kepada Sang Buddha<65>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, tinggal di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu terdapat Brahmā tertentu yang berdiam di alam Brahmā yang memunculkan pandangan salah ini: “Alam ini adalah kekal, alam ini adalah abadi, alam ini bertahan selamanya, alam ini adalah intisarinya, alam ini adalah bersifat tanpa akhir. Alam ini adalah pembebasan; tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini. Ini adalah yang tertinggi, luhur, dan agung.”

Kemudian Sang Bhagavā, yang dengan pengetahuannya atas pikiran orang lain mengetahui pemikiran dalam pikiran Brahmā itu, memasuki keadaan konsentrasi yang sesuai. Melalui keadaan konsentrasi yang sesuai ini, [semudah dan secepat] seperti seseorang yang kuat membengkokkan dan meluruskan lengannya, beliau lenyap dari Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika di Sāvatthī, dan muncul di alam Brahmā.

Pada waktu itu, ketika melihat Sang Bhagavā tiba, Brahmā itu mengundang Sang Bhagavā:

Selamat datang, Pertapa Agung! Alam ini adalah kekal, alam ini adalah abadi, alam ini bertahan selamanya, alam ini adalah intisarinya, alam ini adalah bersifat tanpa akhir. Alam ini adalah pembebasan; tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini. Ini adalah yang tertinggi, luhur, agung.

Kemudian Sang Bhagavā berkata:

Brahmā, engkau memuji sebagai kekal apa yang tidak kekal; engkau memuji sebagai abadi apa yang tidak abadi; engkau memuji sebagai bertahan apa yang tidak bertahan; engkau memuji sebagai intisarinya apa yang bukan intisarinya; engkau memuji sebagai yang bersifat tanpa akhir apa yang bersifat [akan] berakhir. Engkau memuji sebagai pembebasan apa yang bukan pembebasan, [dengan menyatakan] bahwa tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, bahwa ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu.

Pada waktu itu, Māra, Si Jahat sedang berada di antara perkumpulan itu.<66> Kemudian Māra, Si Jahat, berkata kepada Sang Bhagavā:

Bhikkhu, janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini! Bhikkhu, jika engkau membantah apa yang dikatakan Brahmā ini, jika engkau menentang apa yang dikatakan Brahmā ini, maka, bhikkhu, ini akan seperti seseorang membawakanmu sesuatu yang menguntungkan tetapi engkau menolaknya. Apa yang engkau katakan, bhikkhu, adalah seperti itu.

Oleh sebab itu, bhikkhu, aku katakan padamu, “Janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini!” Bhikkhu, jika engkau membantah apa yang dikatakan Brahmā ini, jika engkau menentang apa yang dikatakan Brahmā ini, maka, bhikkhu, engkau akan seperti seseorang yang jatuh dari puncak gunung dan menangkap ruang kosong dengan tangan dan kakinya tetapi tidak menemukan apa pun untuk berpegangan. Apa yang engkau katakan, bhikkhu, adalah seperti itu.

Oleh sebab itu, bhikkhu, aku katakan padamu, “Janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini!” Bhikkhu, jika engkau membantah apa yang dikatakan Brahmā ini, jika engkau menentang apa yang dikatakan Brahmā ini, maka, bhikkhu, engkau akan seperti seseorang yang jatuh dari puncak pohon dan menangkap ranting-ranting dan dedaunan dengan tangan dan kakinya tetapi tidak menemukan apa pun untuk berpegangan. Apa yang engkau katakan, bhikkhu, adalah seperti itu.

Oleh sebab itu, bhikkhu, aku katakan padamu, “Janganlah membantah apa yang dikatakan Brahmā ini! Janganlah menentang apa yang dikatakan Brahmā ini!” Mengapakah demikian? Ini adalah Brahmā dari para Brahmā, yang berbahagia, yang mampu melakukan keajaiban-keajaiban. Ia adalah yang paling dihormati, dapat membuat, dapat menciptakan. Ia adalah ayah [semua makhluk hidup]; apa pun makhluk hidup yang telah muncul atau akan muncul, semuanya muncul dari dirinya. Ia mengetahui semua yang dapat diketahui; ia melihat semua yang dapat dilihat.

Pertapa Agung, jika seorang pertapa atau brahmana jijik terhadap [unsur] tanah dan mencela tanah, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah. Hal yang sama untuk [unsur] air, … api, … [dan] angin, … untuk para makhluk halus … dewa … Pajāpati, … jika ia jijik terhadap Brahmā dan mencela Brahmā, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah.

[Sebaliknya,] jika seorang pertapa atau brahmana bergembira dalam [unsur] tanah dan memuji tanah, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para Brahmā yang tertinggi dan paling dihormati.

Hal yang sama untuk [unsur] air, … api, … [dan] angin, … untuk para makhluk halus … dewa … Pajāpati, … jika ia bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka ketika hancurnya jasmani pada saat kematian ia pasti akan terlahir kembali di antara para Brahmā yang tertinggi dan paling dihormati. Pertapa Agung, apakah engkau tidak melihat perkumpulan besar pengiring Brahmā ini, yang duduk di sini pada posisi yang sama sepertiku?

Māra, Si Jahat itu, walaupun bukan seorang Brahmā atau salah seorang dari pengiring Brahmā, menyatakan dirinya sendiri, “Akulah seorang Brahmā.”

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berpikir demikian, “Māra, Si Jahat ini, walaupun ia bukan seorang Brahmā atau salah seorang dari pengiring Brahmā, menyatakan dirinya sendiri, ‘Akulah seorang Brahmā.’ Jika sesungguhnya terdapat seseorang yang disebut Māra, Si Jahat, maka ini hanyalah Māra, Si Jahat ini.”

Setelah memahami hal ini, Sang Bhagavā berkata:

Māra, Si Jahat, engkau bukanlah Brahmā ataupun engkau bukan salah seorang dari pengiring Brahmā, tetapi engkau menyatakan dirimu sendiri, “Akulah Brahmā.” Jika sesungguhnya terdapat seseorang yang disebut Māra, Si Jahat, maka engkau hanyalah Māra, Si Jahat.

Kemudian Māra, Si Jahat, berpikir, “Sang Bhagavā mengetahuiku; Sang Sugata melihatku.” Mengetahui hal ini, ia menjadi putus asa dan langsung menghilang tepat di sana.<67>

Kemudian Brahmā itu mengundang [lagi] Sang Bhagavā sampai tiga kali:

Selamat datang, Pertapa Agung. Alam ini adalah kekal, alam ini adalah abadi, alam ini bertahan selamanya, alam ini adalah intisarinya, alam ini adalah bersifat tanpa akhir. Alam ini adalah pembebasan; tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini. Ini adalah yang tertinggi, luhur, agung.

Sang Bhagavā juga berkata sampai tiga kali:

Brahmā, engkau memuji sebagai kekal apa yang tidak kekal; engkau memuji sebagai abadi apa yang tidak abadi; engkau memuji sebagai bertahan apa yang tidak bertahan; engkau memuji sebagai intisarinya apa yang bukan intisarinya; engkau memuji sebagai yang bersifat tanpa akhir apa yang bersifat [akan] berakhir. Engkau memuji sebagai pembebasan apa yang bukan pembebasan, [dengan menyatakan] bahwa tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, bahwa ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu. Brahmā, ini adalah ketidaktahuan pada pihakmu.

Kemudian Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, dahulu terdapat para pertapa dan brahmana dengan masa kehidupan sangat panjang yang tetap hidup selama waktu yang sangat panjang. Pertapa Agung, masa kehidupanmu sangat pendek, lebih singkat daripada lamanya satu kali duduk dalam keterasingan dari para pertapa dan brahmana itu.

Mengapakah demikian? Mereka mengetahui semua yang dapat diketahui, mereka melihat semua yang dapat dilihat. Jika sesungguhnya terdapat suatu pembebasan, maka tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, karena ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Dan jika sesungguhnya tidak ada pembebasan, maka tidak ada pembebasan lain yang lebih tinggi daripada pembebasan ini, karena ini adalah yang tertinggi, luhur, agung. Pertapa Agung, engkau memahami apa yang merupakan pembebasan sebagai bukan pembebasan; engkau memahami apa yang bukan pembebasan sebagai pembebasan. Dengan cara ini engkau tidak akan mencapai pembebasan; [sebaliknya] ini akan menjadi delusi besar [bagimu].

Mengapakah demikian? Karena ini di luar batasmu.

Pertapa Agung, jika seorang pertapa atau brahmana bergembira dalam tanah dan memuji tanah, maka berada dalam kekuasaanku; ia pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika ia bergembira dalam Brahmā, memuji Brahmā, maka ia berada dalam kekuasaanku; ia pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku.

Pertapa Agung, jika engkau bergembira dalam tanah dan memuji tanah, maka engkau juga berada dalam kekuasaanku; engkau pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika engkau bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka engkau juga berada dalam kekuasaanku; engkau pasti mengikuti keinginanku, pasti mengikuti perintahku.

Terhadap hal ini Sang Bhagavā berkata:

Demikianlah, Brahmā; apa yang dikatakan Brahmā adalah kebenaran. Jika seorang pertapa bergembira dalam [unsur] tanah dan memuji tanah, maka ia berada dalam kekuasaanmu; ia pasti akan mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika ia bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka ia berada dalam kekuasaanmu; ia pasti mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu.

Brahmā, jika aku bergembira dalam [unsur] tanah dan memuji unsur tanah, maka aku juga akan berada dalam kekuasaanmu; aku pasti akan mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu. Dengan cara yang sama untuk air, … api, … angin, … para makhluk halus, … dewa, … Pajāpati, … jika aku bergembira dalam Brahmā dan memuji Brahmā, maka aku juga akan berada dalam kekuasaanmu; ia pasti akan mengikuti keinginanmu dan mengikuti perintahmu.

Brahmā, sehubungan dengan delapan objek ini, [empat unsur dan empat kelompok makhluk surgawi,] jika aku mengikuti objek-objek ini, bergembira di dalamnya dan memuji mereka, maka ini akan menjadi jalan [apa yang engkau jelaskan].
[Namun,] Brahmā, aku mengetahui dari mana engkau datang dan ke mana engkau pergi, di mana engkau berdiam, di mana kehidupan berakhir, dan di mana engkau terlahir kembali. [Aku mengetahui bahwa] jika seseorang muncul sebagai seorang Brahmā, ia memiliki kekuatan batin yang besar, kebajikan yang besar dan hebat, jasa yang besar, kekuatan dewa yang besar.

Terhadap hal ini Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa agung, bagaimanakah engkau mengetahui apa yang kuketahui dan melihat apa yang kulihat? Bagaimanakah engkau sepenuhnya mengenali kekuasaanku, yang bagaikan matahari, yang dengan cemerlang menerangi semua arah dalam ribuan dunia ini? Apakah engkau [juga] telah memperoleh kekuasaan dalam ribuan dunia ini? Dalam mengetahui berbagai dunia di mana tidak ada siang dan malam itu, apakah engkau, Pertapa Agung, melewatinya? Apakah engkau sering melewatinya?

Sang Bhagavā menjawab:

Brahmā, kekuasaanmu bagaikan matahari, yang dengan cemerlang menerangi semua arah dalam ribuan dunia. Dalam ribuan dunia ini, aku [juga] telah mencapai kekuasaan dan aku juga mengetahui berbagai dunia di mana tidak terdapat siang dan malam itu. Brahmā, aku telah melewatinya. Aku sering melewatinya.

Brahmā, terdapat tiga kelompok para dewa [lebih lanjut]: para dewa bercahaya, pada dewa bercahaya murni, dan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas.<68> Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa ini, aku sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu dan para pengiring mereka, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa ini dan para pengiring mereka, aku sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu.

Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang engkau miliki, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan ini. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak engkau miliki, aku sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang engkau dan pengiringmu miliki, aku juga memiliki pengetahuan dan penglihatan ini. Brahmā, apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak engkau dan pengiringmu miliki, aku memiliki pengetahuan dan penglihatan ini. Brahmā, engkau tidak sama sepenuhnya denganku; engkau dengan cara apa pun tidak sama denganku. Alih-alih, aku lebih tinggi daripada dirimu; aku lebih agung daripada dirimu.

Kemudian, Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, bagaimanakah bahwa apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa itu, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki tiga kelompok dewa itu dan para pengiring mereka, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; dan apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki tiga kelompok dewa itu dan para pengiringnya, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu?

[Bagaimanakah bahwa] apa pun pengetahuan dan penglihatan yang kumiliki, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan ini; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak kumiliki, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; apa pun pengetahuan dan penglihatan yang dimiliki olehku dan pengiringku, engkau juga memiliki pengetahuan dan penglihatan itu; dan apa pun pengetahuan dan penglihatan yang tidak dimiliki olehku dan pengiringku, engkau sendiri memiliki pengetahuan dan penglihatan itu?

Pertapa Agung, apakah engkau tidak mengatakan hal ini karena nafsu? Dengan ditanyakan berulang-ulang engkau tidak akan mengetahui [bagaimana menjawabnya] dan menjadi lebih kebingungan. Mengapakah demikian? Karena aku menyadari tak terhitung dunia, aku memiliki tak terhitung pengetahuan, tak terhitung penglihatan, tak terhitung pembedaan, dan aku mengetahui masing-masing dan setiap hal dengan jelas. Tanah ini kuketahui sebagai tanah, ... air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā ini kuketahui sebagai Brahmā.”

Terhadap hal ini Sang Bhagavā berkata:

Brahmā, jika terdapat seorang pertapa atau brahmana yang sehubungan dengan [unsur] tanah memiliki persepsi tanah sebagai “tanah adalah aku”, “tanah adalah milikku”, “aku milik tanah”, maka, karena ia menganggap tanah sebagai diri, ia tidak [sepenuhnya] mengetahui [unsur] tanah. Dengan cara yang sama untuk air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā, ... [para dewa] tanpa gangguan, ... [para dewa] tanpa dukacita, ... jika sehubungan dengan kemurnian ia memiliki persepsi kemurnian sebagai “kemurnian adalah aku”, “kemurnian adalah milikku”, “aku milik kemurnian”, maka, karena ia menganggap kemurnian sebagai diri, ia tidak [sepenuhnya] mengetahui kemurnian.

Brahmā, jika terdapat seorang pertapa atau brahmana yang sehubungan dengan [unsur] tanah mengetahui tanah sebagai “tanah bukan aku”, “tanah bukan milikku”, “aku bukan milik tanah”, maka, karena ia tidak menganggap tanah sebagai diri, ia [sepenuhnya] mengetahui [unsur] tanah. Dengan cara yang sama untuk air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā, ... [para dewa] tanpa gangguan, ... [para dewa] tanpa dukacita, ... sehubungan dengan kemurnian ia mengetahui kemurnian sebagai “kemurnian bukan aku”, “kemurnian bukan milikku”, “aku bukan milik kemurnian”, maka, karena ia tidak menganggap kemurnian sebagai diri, ia [sepenuhnya] mengetahui kemurnian.

Brahmā, sehubungan dengan [unsur] tanah aku mengetahui tanah sebagai “tanah bukan aku”, “tanah bukan milikku”, “aku bukan milik tanah.” Karena aku tidak menganggap tanah sebagai diri, aku [sepenuhnya] mengetahui [unsur] tanah. Dengan cara yang sama untuk air, ... api, ... angin, ... para makhluk halus, ... dewa, ... Pajāpati, ... Brahmā, ... [para dewa] tanpa gangguan, ... [para dewa] tanpa dukacita, .... Sehubungan dengan kemurnian aku mengetahui kemurnian sebagai “kemurnian bukan aku”, “kemurnian bukan milikku”, “aku bukan milik kemurnian.” Karena ia tidak menganggap kemurnian sebagai diri, aku [sepenuhnya] mengetahui kemurnian.<69>

Kemudian Brahmā itu berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, makhluk-makhluk hidup ini menginginkan penjelmaan, bergembira dalam penjelmaan, terbiasa dengan penjelmaan. [Namun] engkau telah mencabut landasan penjelmaan. Mengapakah demikian? [Karena] engkau disebut sebagai seorang Tathāgata, bebas dari kemelekatan, yang tercerahkan sepenuhnya.

Kemudian [Sang Buddha] mengucapkan bait ini:<70>

Melihat ketakutan dalam penjelmaan
Dan tidak melihat ketakutan dalam tanpa-penjelmaan,
Oleh sebab itu janganlah bergembira dalam penjelmaan!
Mengapakah penjelmaan tidak seharusnya ditinggalkan?

[Brahmā itu berkata,] “Pertapa Agung, aku sekarang ingin membuat diriku menghilang.”

Sang Bhagavā berkata, “Brahmā, jika engkau ingin membuat dirimu menghilang, maka lakukanlah seperti keinginanmu.”
Kemudian, ke mana pun Brahmā membuat dirinya menghilang, Sang Bhagavā segera mengetahui, “Brahmā, engkau berada di sana. Engkau berada di sini. Engkau berada di antaranya.”

Kemudian Brahmā itu melakukan semua yang ia mampu untuk mewujudkan kekuatan batinnya. Ia ingin membuat dirinya menghilang tetapi tidak dapat menghilang. Ia kembali, dengan tetap berada dalam alam Brahmā. Kemudian, Sang Bhagavā berkata, “Brahmā, sekarang aku juga ingin membuat diriku menghilang.”

Kemudian Brahmā berkata kepada Sang Bhagavā, “Pertapa Agung, jika engkau ingin membuat dirimu menghilang, lakukanlah seperti keinginanmu.”

Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian, “Biarlah aku sekarang mewujudkan suatu kekuatan batin yang sesuai sedemikian sehingga aku memancarkan suatu cahaya yang sangat cemerlang, yang menerangi seluruh kekuasaan Brahmā selagi diriku sendiri tetap tidak terlihat, sehingga Brahmā dan pengiringnya hanya akan mendengar suaraku dan tidak melihat wujudku.”

Kemudian Sang Bhagavā mewujudkan suatu kekuatan batin yang sesuai sedemikian sehingga beliau memancarkan suatu cahaya yang sangat cemerlang, yang menerangi seluruh alam Brahmā selagi beliau sendiri tetap tidak terlihat, sehingga Brahmā dan pengiringnya hanya mendengar suara beliau dan tidak melihat wujud beliau.<71>

Kemudian Brahmā dan semua orang dalam pengiring Brahmā berpikir demikian, “Pertapa Gotama adalah yang paling mengagumkan, paling luar biasa. Ia memiliki kekuatan batin yang besar, kebajikan yang besar dan hebat, jasa yang besar, kekuatan dewa yang besar. Mengapakah demikian? Ia memancarkan suatu cahaya yang sangat cemerlang, yang menerangi seluruh alam Brahmā selagi ia sendiri tidak terlihat, sehingga aku dan pengiringku hanya mendengar suaranya dan tidak melihat wujudnya.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #13 on: 27 September 2020, 07:46:22 PM »
Kemudian Sang Bhagavā berpikir demikian, “Aku telah [melakukan] keajaiban-keajaiban untuk Brahmā ini dan pengiringnya. Sekarang biarlah aku menarik kekuatan batinku.”

Kemudian Sang Bhagavā menarik kekuatan batin beliau dan kembali untuk tetap berada dalam alam Brahmā. Kemudian Raja Māra kembali bergabung dalam perkumpulan itu, sampai dengan tiga kali.<72> Pada waktu itu Raja Māra berkata kepada Sang Bhagavā:

Pertapa Agung, engkau melihat dengan baik, engkau mengetahui dengan baik, engkau merealisasi dengan baik. Namun janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma!

Janganlah melekat untuk [memiliki] para siswa. Janganlah, melalui kemelekatan [untuk memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan dalam kehidupan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.

Pertapa Agung, pada masa lampau terdapat para pertapa dan brahmana yang menasihati para siswa, mengajar para siswa, dan mengajarkan Dharma kepada para siswa. Mereka bergembiran dan menjadi melekat untuk [memiliki] para siswa. Melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, mereka terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah, ketika hancurnya jasmani pada saat kematian.

Karena alasan ini, Pertapa Agung, aku katakan padamu, “Janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma kepada para siswa. Janganlah melekat untuk [memiliki] para siswa. Janganlah, melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata:

Māra, Si Jahat, bukan karena engkau mencari manfaat, kesejahteraan, kebahagiaan, atau kenyamanan bagiku sehingga engkau berkata kepadaku, “Janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma kepada para siswa. Janganlah melekat untuk [memiliki] para siswa. Janganlah, melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.”

Māra, Si Jahat, engkau berpikir demikian: “Pertapa Gotama ini akan mengajarkan Dharma kepada para siswa. Setelah mendengar Dharma, para siswa akan melepaskan diri dari wilayahku.” Māra, Si Jahat, adalah karena alasan ini sehingga engkau berkata kepadaku, “Janganlah mengajar dan menasihati para siswa, dan janganlah mengajarkan Dharma kepada para siswa. Janganlah menjadi melekat untuk [memiliki] para siswa, mengambil kelahiran kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian. Jalankanlah tanpa-berbuat. [Hanya] alamilah kebahagiaan masa sekarang. Mengapakah demikian? Pertapa Agung, engkau hanya akan menyulitkan dirimu sendiri dengan sia-sia.”

Māra, Si Jahat, seumpamanya terdapat para pertapa dan brahmana yang menasihati para siswa, mengajar para siswa, dan mengajarkan Dharma kepada para siswa, yang bergembira dalam dan melekat untuk [memiliki] para siswa, dan yang, melalui kemelekatan untuk [memiliki] para siswa, terlahir kembali di antara para bidadari yang rendah ketika hancurnya jasmani pada saat kematian.

Para pertapa dan brahmana tersebut mengaku sebagai pertapa tanpa menjadi pertapa, mereka mengaku sebagai brahmana tanpa menjadi brahmana, mereka mengaku sebagai arahant tanpa menjadi arahant, mereka mengaku sebagai yang tercerakan sempurna tanpa menjadi yang tercerahkan sempurna.

Māra, Si Jahat, aku mengaku sebagai seorang pertapa ketika sepenuhnya menjadi seorang pertapa, aku mengaku sebagai seorang brahmana ketika sepenuhnya menjadi seorang brahmana, aku mengaku sebagai seorang arahant ketika sepenuhnya menjadi seorang arahant, aku mengaku sebagai yang tercerahkan sempurna ketika sepenuhnya menjadi yang tercerahkan sempurna.

Māra, Si Jahat, sehubungan dengan apakah aku mengajarkan Dharma kepada para siswa atau tidak – engkau cukup menjauhlah dari hal itu! Aku sekarang mengetahui bagi diriku sendiri kapan waktu yang tepat untuk mengajarkan Dharma kepada para siswa.<73>

Demikianlah undangan oleh Brahmā dan bantahan oleh Māra, Si Jahat, pada apa yang dikatakan Sang Bhagavā sebagai tanggapannya. Karena alasan ini kotbah ini disebut “Undangan Brahmā kepada Sang Buddha.”

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Brahmā dan pengiringnya bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #14 on: 27 September 2020, 07:57:43 PM »
79. Kotbah tentang Kelangsungan para Dewa yang Lebih Tinggi<74>

Demikianlah telah kudengar. Pada satu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, tinggal di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Kemudian, pengurus istana Isidatta menginstruksikan seorang utusan:<75>

Mendekati Sang Buddha, berikanlah penghormatan atas namaku pada kaki Sang Bhagavā, dan tanyakan Sang Bhagavā apakah yang mulia sehat dan kuat jasmaninya, nyaman dan bebas dari penyakit, dan berdiam dengan nyaman, dengan kekuatan beliau yang biasanya. Katakanlah hal ini: “Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan bertanya kepada Sang Bhagavā apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman dan bebas dari penyakit, berdiam dengan nyaman, dengan kekuatan beliau yang biasanya.”

Ketika engkau telah bertanya kepada Sang Buddha dengan cara ini, engkau harus mendekati Yang Mulia Anuruddha dan, setelah memberikan penghormatan atas namaku pada kakinya, tanyakan yang mulia itu apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman dan bebas dari penyakit, dan berdiam dengan nyaman, dengan kekuatannya yang biasanya. Katakanlah hal ini: “Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Anuruddha dan bertanya kepada yang mulia apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman, dan bebas dari penyakit, berdiam dengan nyaman, dengan kekuatannya yang biasanya. Pengurus istana Isidatta mengundang Yang Mulia Anuruddha, bersama-sama [dengan tiga orang lainnya,] empat orang seluruhnya, untuk makan besok.”

Jika ia menerima undangan itu, maka katakanlah juga hal ini: “Yang Mulia Anuruddha, Pengurus istana Isidatta sangat sibuk dengan banyak urusan, berbagai urusan untuk dipertimbangkan dan dikelola demi raja.<76> Semoga Yang Mulia Anuruddha [dan teman-temannya], empat orang seluruhnya, demi belas kasih datang ke rumah Pengurus istana Isidatta besok pagi-pagi sekali.”

Kemudian, setelah menerima intruksi dari Pengurus istana Isidatta, utusan itu mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, dan, dengan mengundurkan diri pada satu sisi, berkata:

Sang Bhagavā, Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan bertanya apakah Sang Bhagavā sehat dan kuat, nyaman, dan bebas dari penyakit, berdiam dengan nyaman, dengan kekuatan beliau yang biasanya.

Pada waktu itu, Sang Bhagavā berkata kepada utusan itu, “Semoga Pengurus istana Isidatta menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan! Semoga semua dewa, manusia, asura, gandhabba, yakkha, dan semua bentuk kehidupan lainnya menemukan kesejahteraan dan kebahagiaan!”

Kemudian utusan itu, setelah menerima dengan baik dan mengingat dengan baik apa perkataan Sang Buddha yang ia dengar, memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengelilingi beliau tiga kali, dan pergi. Ia mendekati Yang Mulia Anuruddha, memberikan penghormatan pada kakinya, mengundurkan diri, duduk pada satu sisi, dan berkata:

Yang Mulia Anuruddha, Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Anuruddha dan bertanya kepada yang mulia apakah yang mulia sehat dan kuat, nyaman dan bebas dari penyakit, dan berdiam dengan nyaman, dengan kekuatannya yang biasanya. Pengurus istana Isidatta mengundang Yang Mulia Anuruddha [bersama-sama dengan tiga orang lainnya], empat orang seluruhnya, untuk makan besok.

Pada waktu itu Yang Mulia Kaccāna Sejati sedang duduk bermeditasi tidak jauh dari Yang Mulia Anuruddha. Kemudian Yang Mulia Anuruddha berkata kepada Yang Mulia Kaccāna:

Baru saja aku mengatakan bahwa kita akan pergi ke Sāvatthī besok pagi untuk mengumpulkan dana makanan, dan sekarang hal ini telah muncul. Pengurus istana Isidatta mengirim seorang utusan yang mengundang kita, empat orang semuanya, untuk makan besok.

Yang Mulia Kaccāna Sejati berkata:

Semoga Yang Mulia Anuruddha, demi kepentingan orang itu [Pengurus istana Isidatta], menerima undangan itu dengan tetap berdiam diri. Besok pagi kita akan meninggalkan Sītavana ini dan memasuki Sāvatthī [seakan-akan] untuk mengumpulkan dana makanan. Semoga Yang Mulia Anuruddha, demi kepentingan orang itu, menerima undangan itu dengan tetap berdiam diri.

Kemudian, ketika utusan itu memahami bahwa Yang Mulia Anuruddha telah menerima dengan tetap berdiam diri, ia juga mengajukan permintaan demikian:

Pengurus istana Isidatta berkata kepada Yang Mulia Anuruddha, “Pengurus istana Isidatta sangat sibuk dengan banyak urusan, berbagai urusan untuk diurus dan dikelola demi raja. Semoga Yang Mulia Anuruddha [dan teman-temannya], empat orang seluruhnya, demi belas kasih datang ke rumah Pengurus istana Isidatta besok pagi-pagi sekali.”

Yang Mulia Anuruddha berkata kepada utusan itu, “Engkau dapat kembali. Aku sendiri mengetahui waktu yang tepat.” Kemudian utusan itu bangkit dari tempat duduknya, memberikan penghormatan, mengelilingi [Yang Mulia Anuruddha] tiga kali, dan pergi.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, ketika fajar, Yang Mulia Anuruddha mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan [dengan teman-temannya], empat orang seluruhnya, mendekati rumah Pengurus istana Isidatta. Pada waktu itu, Pengurus istana Isidatta sedang berdiri di pintu masuk tengah [rumahnya], dikelilingi oleh para wanita [dari rumah tangganya], menanti Yang Mulia Anuruddha. Ia melihat Yang Mulia Anuruddha datang dari kejauhan. Ketika melihatnya, ia merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Yang Mulia Anuruddha dan dengan hormat berkata, “Selamat datang, Yang Mulia Anuruddha! Yang Mulia Anuruddha tidak kemari dalam waktu yang lama.” Kemudian, dengan hormat memapah Yang Mulia Anuruddha pada lengannya, Pengurus istana Isidatta membawanya ke dalam rumah dan mempersilakannya duduk pada tempat duduk bagus yang telah diatur untuknya.

Yang Mulia Anuruddha duduk pada tempat duduk itu. Pengurus istana Isidatta memberikan penghormatan pada kaki Yang Mulia Anuruddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi. Setelah duduk ia berkata, “Yang Mulia Anuruddha, aku ingin menanyakan suatu pertanyaan. Semoga anda mengizinkan hal ini!”

Yang Mulia Anuruddha berkata, “Pengurus istana, tanyakanlah apa yang engkau inginkan. Setelah mendengarnya, aku akan mempertimbangkannya.”

Pengurus istana Isidatta berkata:

Yang Mulia Anuruddha, beberapa pertapa dan brahmana datang dan berkata kepadaku, “Pengurus istana, engkau seharusnya mengembangkan pembebasan pikiran yang luhur (mahaggata).” Dan, Yang Mulia Anuruddha, para pertapa dan brahmana lainnya datang dan berkata kepadaku, “Pengurus istana, engkau seharusnya mengembangkan pembebasan pikiran yang tak terukur (appamāṇa).”<77> Yang Mulia, [sehubungan dengan] “pembebasan pikiran yang luhur” dan “pembebasan pikiran yang tak terukur”, apakah dua pembebasan ini berbeda baik dalam ungkapan maupun maknanya? Atau apakah keduanya berbeda hanya dalam ungkapan namun memiliki makna yang sama?”

Yang Mulia Anuruddha berkata, “Pengurus istana, sehubungan dengan pertanyaan yang baru saja engkau tanyakan ini, pertama-tama engkau jawablah sendiri; setelah itu aku akan menjawabnya.”

Pengurus istana Isidatta berkata:

Yang Mulia Anuruddha, [sehubungan dengan] “pembebasan pikiran yang luhur” dan “pembebasan pikiran yang tak terukur”, [aku berpikir] bahwa dua pembebasan ini berbeda hanya dalam ungkapan dan memiliki makna yang sama.

Pengurus istana Isidatta dengan demikian tidak dapat menjawab pertanyaan itu [dengan benar]. Yang Mulia Anuruddha berkata:

Pengurus istana, dengarkanlah selagi aku menjelaskan padamu apakah “pembebasan pikiran yang luhur” dan apakah “pembebasan pikiran yang tak terukur”. Sehubungan dengan “pembebasan pikiran yang luhur”, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Berdiam dengan bergantung pada satu pohon ini, ia, melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah di bawah pohon itu] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. Pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Seumpamanya bahwa berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu atau dua atau tiga pohon, [pertapa atau brahmana itu], melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah di bawah dua atau tiga pohon] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Seumpamanya bahwa berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga pohon tetapi [seluruh] hutan, ia, melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah itu] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu hutan tetapi dua atau tiga hutan, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga hutan tetapi satu desa, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu desa tetapi dua atau tiga desa, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga desa tetapi satu negeri, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu negeri tetapi dua atau tiga negeri, …. Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga negeri tetapi seluruh bumi yang besar ini, sampai sejauh samudera raya, [pertapa atau brahmana itu], melalui ketetapan hati, meliputi [wilayah yang luas] dengan pembebasan pikirannya yang luhur. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Ini adalah apa yang dimaksud dengan “pembebasan pikiran yang luhur”.

Pengurus istana, apakah “pembebasan pikiran yang tak terukur”? Seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Ia berdiam dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, meliputi satu arah, demikian juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Ia berdiam meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, tanpa belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, [pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Dengan cara yang sama ia berdiam dengan pikiran yang dipenuhi dengan belas kasih, … dengan kegembiraan empatik, … dengan keseimbangan, meliputi seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhnya dengan keseimbangan, tanpa belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, [pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Ini adalah apa yang dimaksud dengan “pembebasan pikiran yang tak terukur”.

Pengurus istana, “pembebasan pikiran yang luhur” ini dan “pembebasan pikiran yang tak terukur” ini – apakah dua pembebasan ini berbeda baik dalam ungkapan maupun maknanya, atau apakah keduanya berbeda hanya dalam ungkapan namun memiliki makna yang sama?

Pengurus istana Isidatta berkata kepada Yang Mulia Anuruddha, “Seperti [baru saja] aku telah mendengarnya sekarang dari yang mulia dan karenanya memahami maknanya, dua pembebasan ini berbeda dalam ungkapan dan juga dalam makna.”<78>

Yang Mulia Anuruddha berkata:

Pengurus istana, terdapat tiga kelompok dewa [ini]: para dewa bercahaya, para dewa bercahaya murni, dan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas.<79> Dari [ketiga] ini, para dewa bercahaya terlahir di satu alam [tertentu]. Mereka tidak berpikir, “Ini milikku, itu milikku”; alih-alih, ke mana pun para dewa bercahaya ini pergi, mereka bergembira di tempat itu.

Pengurus istana, seperti halnya seekor lalat pada sepotong daging yang tidak berpikir, “Ini milikku, itu milikku” dan alih-alih, ke mana pun lalat itu pergi dalam potongan daging itu, ia bergembira di tempat itu.<80> Dengan cara yang sama. Para dewa bercahaya tidak berpikir, “Ini milikku, itu milikku”; alih-alih, ke mana pun para dewa bercahay ini pergi, mereka bergembira di tempat itu. Ada kalanya ketika para bercahaya berkumpul di satu tempat. Maka, walaupun tubuh mereka adalah berbeda, cahaya mereka adalah sama.

Pengurus istana, seperti halnya ketika seseorang menyalakan banyak sekali pelita dan menempatkannya dalam satu ruangan; walaupun pelita-pelita itu adalah berbeda, cahayanya adalah sama. Dengan cara yang sama, ketika para dewa bercahaya berkumpul di satu tempat, maka, walaupun tubuh mereka berbeda, cahaya mereka adalah sama. Ada kalanya ketika para dewa bercahaya terpisah dari satu sama lainnya. Ketika mereka terpisah dari satu sama lainnya, tubuh mereka adalah berbeda dan cahaya mereka adalah juga berbeda.

Pengurus istana, seperti halnya ketika seseorang mengambil banyak sekali pelita dari satu ruangan dan menempatnya secara terpisah dalam banyak ruangan; pelita-pelita itu adalah berbeda dan cahayanya juga berbeda. Sama halnya ketika para dewa bercahaya terpisah dari satu sama lainnya; ketika mereka terpisah dari satu sama lainnya, tubuh mereka adalah berbeda dan cahaya mereka juga berbeda.

Kemudian Yang Mulia Kaccāna Sejati berkata, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan denga para dewa bercahaya itu yang terlahir di satu alam, apakah seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?”<81>
Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Yang Mulia Kaccāna, sehubungan dengan para dewa bercahaya itu yang terlahir dalam satu alam, dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka.”
Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya itu yang terlahir di satu alam, apakah sebabnya, apakah alasannya seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingka kehalusan mereka?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Berdiam dengan bergantung pada satu pohon ini, ia mencapai persepsi [atas wilayah di bawah pohon itu] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu pohon tetapi dua atau tiga pohon, ia mencapai persepsi [atas wilayah di bawah dua atau tiga pohon itu] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya.

Yang Mulia Kaccāna, dari dua pembebasan pikiran ini, manakah yang lebih tinggi, yang manakah yang lebih unggul, manakah yag lebih halus, manakah yang lebih baik?

Yang Mulia Kaccāna Sejati menjawab:

Yang Mulia Anuruddha, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu pohon tetapi dua atau tiga pohon, mencapai persepsi [atas wilayah di bawah dua atau tiga pohon itu] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Yang Mulia Anuruddha, dari dua pembebasan ini, pembebasan yang terakhir adalah lebih tinggi, lebih unggul, lebih halus, yang terbaik.

Yang Mulia Anuruddha bertanya lebih lanjut:

Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga pohon tetapi satu hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu hutan tetapi dua atau tiga hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga hutan tetapi satu desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu desa tetapi dua atau tiga desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga desa tetapi satu negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu negeri tetapi dua atau tiga negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga negeri tetapi seluruh bumi yang besar ini, sampai dengan samudera raya, ia mencapai persepsi [atas wilayah luas ini] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Yang Mulia Kaccāna, dari dua pembebasan pikiran [terakhir] itu, manakah yang lebih tinggi, lebih unggul, lebih halus, lebih baik?

Yang Mulia Kaccāna Sejati menjawab:

Yang Mulia Anuruddha, seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga pohon tetapi satu hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu hutan tetapi dua atau tiga hutan, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga hutan tetapi satu desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu desa tetapi dua atau tiga desa, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga desa tetapi satu negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] satu negeri tetapi dua atau tiga negeri, .... Seumpamanya bahwa, berdiam dengan bergantung pada tidak [hanya] dua atau tiga negeri tetapi seluruh bumi yang besar ini, sampai sejauh samudera raya, seorang pertapa atau brahmana mencapai persepsi [atas wilayah luas ini] dengan cahaya yang dihasilkan melalui ketetapan hati. Persepsinya dengan cahaya yang dihasilkan secara batin adalah sangat berlimpah. [Namun] pembebasan pikirannya memiliki batas ini dan tidak melampauinya. Yang Mulia Anuruddha, dari dua pembebasan [terakhir] itu, pembebasan terakhir adalah lebih tinggi, lebih unggul, lebih halus, lebih baik.

Yang Mulia Anuruddha berkata:

[Yang Mulia] Kaccāna, inilah sebabnya, inilah mengapa, sehubungan dengan para dewa bercahaya itu yang terlahir di satu alam, seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka. Mengapakah demikian? Ini disebabkan oleh keunggulan relatif pikiran mereka ketika mereka adalah manusia. Dalam pengembangan mereka terdapat tingkat kehalusan atau kekasaran. Karena tingkat kehalusan atau kekasaran dalam pengembangan mereka, para manusia memiliki tingkatan keungulan. Yang Mulia Kaccāna, Sang Bhagavā juga telah menjelaskan keunggulan relatif di antara para manusia dengan cara ini.<82>

Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni itu yang terlahir di satu alam, apakah dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Yang Mulia Kaccāna, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni itu yang terlahir di satu alam, dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka.”

Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni itu yang terlahir di satu alam, apakah sebabnya, apakah alasannya bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #15 on: 27 September 2020, 07:59:56 PM »
Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Melalui ketetapan hati ia meliputi surga bercahaya murni. [Tetapi,] ia tidak mengembangkan konsentrasi ini, tidak melatihnya, tidak memperluasnya, tidak menyempurnakannya sepenuhnya. Pada waktu belakangan, ketika jasmanunya hancur pada saat kematian, ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni. Setelah terlahir kembali [di sana] ia tidak mencapai ketenangan tertinggi, tidak mencapai kedamaian tertinggi, dan tidak menyelesaikan perjalanan hidupnya.

Yang Mulia Kaccāna, seperti halnya ketika sekuntum seroja biru, atau seroja merah atau merah tua, seroja putih lahir dalam air, tumbuh dalam air, dan tetap berada di bawah air. Akar, tangkai, bunga, dan dedaunannya sepenuhnya dibasahi oleh air; tidak ada bagian darinya yang tidak dibasahi dengan air.<83>

Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Melalui ketetapan hati ia meliputi surga bercahaya murni. [Tetapi,] ia tidak mengembangkan konsentrasi ini, tidak melatihnya, tidak memperluasnya, tidak menyempurnakannya sepenuhnya. Ketika jasmaninya hancur pada saat kematian, ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni. Setelah terlahir kembali [di sana], ia tidak mencapai ketenangan tertinggi, tidak mencapai kedamaian tertinggi, dan tidak menyelesaikan perjalanan hidupnya.

Selanjutnya, Yang Mulia Kaccāna, [seumpamanya] seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Melalui ketetapan hati ia meliputi surga bercahaya murni. Ia sering mengembangkan konsentrasi ini, sering melatihnya, sering memperluasnya, dan menyempurnakannya sepenuhnya. Ketika jasmaninya hancur pada saat kematian ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni. Setelah terlahir kembali disana, ia mencapai ketenangan tertinggi, mencapai kedamaian tertinggi, dan menyelesaikan perjalanan hidupnya.
Yang Mulia Kaccāna, seperti halnya ketika sekuntum seroja biru, atau teratai merah atau merah tua, atau teratai putih lahir dalam air, tumbuh dalam air, tetapi kemudian muncul di atas air, di mana ia tidak lagi dibasahi oleh air.

Dengan cara yang sama, Yang Mulia Kaccāna, seorang pertapa atau brahmana, melalui ketetapan hati meliputi surga bercahaya murni. Ia sering mengembangkan konsentrasi ini, sering melatihnya, sering memperluasnya, dan menyempurnakannya sepenuhnya. Ketika jasmaninya hancur pada saat kematian ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni. Setelah terlahir kembali di sana, ia mencapai ketenangan tertinggi, mencapai kedamaian tertinggi, dan menyelesaikan perjalanan hidupnya.

Yang Mulia Kaccāna, inilah sebabnya, inilah mengapa, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni yang terlahir di satu alam, seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka. Mengapakah demikian? Ini disebabkan oleh keunggulan relatif pikiran mereka ketika mereka adalah manusia. Dalam pengembangan mereka terdapat tingkat kehalusan atau kekasaran. Karena terdapat tingkat kehalusan atau kekasaran, para manusia memiiki tingkat keunggulan. Yang Mulia Kaccāna, Sang Bhagavā juga telah menjelaskan keunggulan relatif di antara para manusia dengan cara ini.

Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut, “Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas itu yang terlahir di satu alam, apakah seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?”

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Yang Mulia Kaccāna, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas itu yang terlahir di satu alam, dapat dikatakan bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif, tingkat kehalusan relatif.”

Yang Mulia Kaccāna Sejati bertanya lebih lanjut:

Yang Mulia Anuruddha, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas itu yang terlahir di satu alam, apakah sebabnya, apakah alasannya bahwa seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka?

Yang Mulia Anuruddha menjawab:

Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Melalui ketetapan hati ia meliputi surga bercahaya murni yang menyebar luas. [Namun] ia belum sepenuhnya mengakhiri kelambanan dan ketumpulan, ia belum dengan baik menenangkan kegelisahan dan kekhawatiran. Pada waktu belakangan, ketika jasmaninya hancur pada saat kematian, ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni yang menyebar luas. Ketika terlahir kembali [di sana], cahayanya tidak sepenuhnya murni.

Yang Mulia Kaccāna, seperti halnya sebuah pelita yang terbakar bergantung pada minyak dan sumbu. Jika terdapat ketidakmurnian dalam minyak dan sumbu tidak murni, cahaya yang muncul bergantung pada pelita ini tidak akan cemerlang dan murni.<84>

Dengan cara yang sama, Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Melalui ketetapan hati ia meliputi surga bercahaya murni yang menyebar luas, [tetapi] ia belum sepenuhnya mengakhiri kelambanan dan ketumpulan, ia belum dengan baik menenangkan kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika jasmaninya hancur pada saat kematian ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni yang menyebar luas. Setelah terlahir kembali [di sana] cahayanya tidak sepenuhnya murni.

Selanjutnya, Yang Mulai Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Melalui ketetapan hati ia meliputi surga bercahaya murni yang menyebar luas. Ia telah sepenuhnya mengakhiri kelambanan dan ketumpulan, dan ia telah dengan baik menenangkan kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika jasmaninya hancur pada saat kematian, ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni yang menyebar luas. Setelah terlahir [di sana] cahayanya sepenuhnya murni.

Yang Mulia Kaccāna, seperti halnya sebuah pelita yang terbakar bergantung pada minyak dan sumbu. Jika tidak ada ketidakmurnian dalam minyak dan sumbu juga sepenuhnya murni, cahaya yang muncul bergantung pada pelita ini akan sepenuhnya cemerlang dan murni.

Dengan cara yang sama, Yang Mulia Kaccāna, seumpamanya bahwa seorang pertapa atau brahmana, yang berdiam di wilayah hutan, pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan sunyi. Melalui ketetapan hati ia meliputi surga bercahaya murni yang menyebar luas. Ia telah sepenuhnya mengakhiri kelambanan dan ketumpulan, dan ia telah dengan baik menenangkan kegelisahan dan kekhawatiran. Ketika jasmaninya hancur pada saat kematian, ia terlahir kembali di antara para dewa bercahaya murni yang menyebar luas. Setelah terlahir kembali [di sana] cahayanya sepenuhnya murni.

Yang Mulia Kaccāna, inilah sebabnya, inilah alasannya mengapa, sehubungan dengan para dewa bercahaya murni yang menyebar luas itu yang terlahir di satu alam, seseorang dapat mengetahui keunggulan relatif mereka, tingkat kehalusan mereka. Mengapakah demikian? Ini disebabkan oleh keunggulan relatif pikiran mereka ketika mereka adalah manusia. Dalam pengembangan mereka terdapat tingkat kehalusan atau kekasaran. Karena tingkat kehalusan atau kekasaran dalam pengembangan mereka, para manusia memiliki tingkat keunggulan. Yang Mulia Kaccāna, Sang Bhagavā juga telah menjelaskan keunggulan relatif di antara para manusia dengan cara ini.

Kemudian Yang Mulia Kaccāna Sejati mengucapkan pujian [terhadap Anuruddha] kepada Pengurus istana Isidatta:

Bagus, bagus, Pengurus istana! Engkau telah sangat memberi manfaat kepada kami. Mengapakah demikian? Engkau pertama-tama bertanya kepada Yang Mulia Anuruddha tentang kelangsungan para dewa yang lebih tinggi. Kami tidak pernah sebelumnya mendengar dari Yang Mulia Anuruddha suatu penjelasan demikian tentang para dewa ini, yaitu bahwa para dewa ini ada dan bahwa para dewa ini adalah seperti ini.<85>

Kemudian Yang Mulia Anuruddha berkata:

Yang Mulia Kaccāna, terdapat banyak dewa demikian. [Bahkan] matahari dan bulan ini, yang memiliki kekuatan batin yang besar demikian serta kebajikan yang besar dan hebat demikian, jasa yang besar demikian, kekuatan dewa yang besar demikian, tetapi kecemerlangan mereka tidak sama dengan kecemerlangan [para dewa itu] yang telah secara pribadi kutemui, di mana dengannya aku telah bertukar salam dan berbicara, dan di mana aku telah menerima tanggapan darinya. Namun aku tidak pernah sebelumnya memberikan suatu penjelasan tentang para dewa ini, yaitu bahwa para dewa ini ada dan bahwa para dewa ini seperti ini.

Pada waktu itu, Pengurus istana Isidatta, yang memahami bahwa diskusi para yang mulia itu telah selesai, bangkit dari tempat duduknya dan secara pribadi membawakan air untuk mencuci. Dengan tangannya sendiri ia mempersiapkan bermacam-macam hidangan yang murni dan lezat untuk dimakan, dinikmati, dan dicerna, dengan memastikan terdapat cukup [makanan] untuk dimakan. Setelah [Yang Mulia Anuruddha] telah selesai makan, mengesampingkan mangkuknya, dan mencuci tangannya, [Pengurus istana Isidatta] mengambil tempat duduk yang rendah dan duduk pada satu sisi untuk mendengarkan Dharma. Ketika Pengurus istana Isidatta telah duduk, Yang Mulia Anuruddha mengajarkannya Dharma, mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya. Setelah mengajarkan [Pengurus istana Isidatta] Dharma dengan tak terhitung cara terampil, setelah mendorong dan menginspirasinya, sepenuhnya menggembirakannya, [Yang Mulia Anuruddha] bangkit dari tempat duduknya dan pergi.

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Anuruddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Anuruddha, Pengurus istana Isidatta dan para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan baik.<86>
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #16 on: 27 September 2020, 08:04:00 PM »
80. Kotbah tentang Kain untuk Jubah

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, tinggal di Hutan Jeva, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Yang Mulia Anuruddha juga sedang berada di Sāvatthī, berdiam di sebuah tebing gunung dengan pepohonan sāla. Kemudian, ketika malam berlalu, saat fajar, Yang Mulia Anuruddha mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki Sāvatthī untuk mengumpulkan dana makanan. Saat fajar Yang Mulia Ānanda juga mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki Sāvatthī untuk mengumpulkan dana makanan.

Yang Mulia Anuruddha melihat bahwa Yang Mulia Ānanda juga pergi mengumpulkan dana makanan. Setelah melihatnya, ia berkata, “Yang Mulia Ānanda, engkau seharusnya mengetahui bahwa tiga helai jubahku telah menjadi kasar, luntur, dan usang. Teman yang mulia, sekarang apakah engkau dapat mengundang para bhikkhu untuk membuat jubah untukku?” Yang Mulia Ānanda menerima permintaan Yang Mulia Anuruddha dengan tetap berdiam diri.

Kemudian, ketika Yang Mulia Ānanda telah selesai mengumpulkan dana makanan dan setelah ia menyantap makan siang, ia menyimpan jubah dan mangkuknya serta mencuci tangannya. Dengan alas duduk di atas bahunya dan membawa kunci pintu di tangannya, ia pergi dari gubuk ke gubuk dan berkata kepada setiap bhikkhu yang ia kunjungi, “Yang mulia, datanglah ke tebing gunung dengan pepohonan sāla untuk membuat jubah untuk Yang Mulia Anuruddha.”

Kemudian para bhikkhu, setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Ānanda, semuanya pergi ke tebing gunung dengan pepohonan sāla untuk membuat jubah untuk Yang Mulia Anuruddha.

Kemudian Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Ānanda pergi dari gubuk ke gubuk dengan kunci pintu di tangannya. Setelah melihatnya, beliau bertanya, “Ānanda, sehubungan dengan hal apakah engkau pergi dari gubuk ke gubuk dengan kunci pintu pada tanganmu?”

Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, aku baru saja meminta para bhikkhu untuk membuat jubah untuk Yang Mulia Anuruddha.”

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, mengapakah engkau tidak meminta Sang Tathāgata untuk [membantu] membuat jubah untuk bhikkhu Anuruddha?”

Kemudian Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata, “Semoga Sang Bhagavā datang ke tebing gunung dengan pepohonan sāla untuk membuat jubah untuk Yang Mulia Anuruddha.” Sang Bhagavā menerima undangan Yang Mulia Ānanda dengan tetap berdiam diri.

Kemudian, Sang Bhagavā, ditemani oleh Yang Mulia Ānanda, pergi ke tebing gunung dengan pepohonan sāla. Membentangkan alas duduknya, beliau duduk di hadapan perkumpulan para bhikkhu. Pada waktu itu, di tebing gunung dengan pepohonan sāla terdapat delapan ratus orang bhikkhu duduk bersama-sama dengan Sang Bhagavā untuk membuat jubah untuk Yang Mulia Anuruddha.

Pada waktu itu Yang Mulia Mahāmoggallāna juga terdapat di antara perkumpulan itu. Kemudian Sang Bhagavā berkata, “Moggallāna, aku dapat membentangkan kain dan memotongnya sesuai ukuran untuk Anuruddha, kemudian memotongnya menjadi potongan-potongan, menambalnya bersama, dan menjahitnya.”

Pada waktu itu Yang Mulia Mahāmoggallāna bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu, dan, dengan merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha, berkata kepada Sang Bhagavā, “Semoga Sang Bhagavā membentangkan kain dan memotongnya sesuai ukuran untuk Yang Mulia Anuruddha. Para bhikkhu kemudian akan memotongnya menjadi potongan-potongan, menambalnya bersama, dan menjahitnya.”

Kemudian Sang Bhagavā membentangkan kain dan memotongnya sesuai ukuran untuk Yang Mulia Anuruddha. Para bhikkhu bersama-sama memotongnya menjadi potongan-potongan, menambalnya bersama, dan menjahitnya. Dalam satu hari mereka menyelesaikan tiga helai jubah untuk Yang Mulia Anuruddha.

Pada waktu itu, ketika Sang Bhagavā mengetahui bahwa tiga helai jubah untuk Yang Mulia Anuruddha telah diselesaikan, beliau berkata, “Anuruddha, kotbahkanlah kepada para bhikkhu tentang sifat kain untuk jubah (kaṭhina) [dan tentang seseorang yang akan memakainya]. Aku mengalami sakit punggung sekarang dan ingin beristirahat sejenak.”

Yang Mulia Anuruddha menjawab, “Baik, Sang Bhagavā.”

Kemudian Sang Bhagavā melipat jubah luarnya menjadi empat dan menaruhnya di atas tempat tidur, melipat jubah dalamnya untuk digunakan sebagai bantal, dan berbaring pada sisi kanan, satu kaki di atas kaki lainnya, dengan membangkitkan persepsi cahaya, mengembangkan perhatian benar dan pemahaman benar, selalu mengingat pemikiran untuk bangkit kembali.

Pada waktu itu Yang Mulia Anuruddha berkata kepada para bhikkhu:

Teman-teman yang mulia, ketika aku belum pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan, aku [telah] menjadi bosan terhadap kelahiran, usia tua, penyakit, kematian, dukacita dan kesedihan, tangisan dan ratapan, dan aku bertekad untuk meninggalkan kumpulan besar dukkha ini. Teman-teman yang mulia, setelah menjadi bosan, aku merenungkan demikian: “Kehidupan berumah tangga adalah terpenjara, suatu tempat yang berdebu; pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan [bagaikan] keluar ke ruang terbuka yang luas. Sekarang bagiku di rumah, terbelenggu oleh belenggu demikian, adalah tidak mungkin untuk sepenuhnya mencurahkan kehidupanku pada latihan kehidupan suci. Biarlah aku meninggalkan kekayaanku, sedikit atau banyak, meninggalkan sanak keluargaku, sedikit atau banyak, mencukur janggut dan rambutku, mengenakan jubah kuning dan, demi keyakinan, meninggalkan kehidupan rumah dan memasuki [keadaan] tanpa rumah untuk berlatih dalam sang jalan.”

Teman-teman yang mulia, pada waktu belakangan aku meninggalkan kekayaanku, sedikit atau banyak, meninggalkan sanak keluargaku, sedikit atau banyak, mencukur janggut dan rambutku, mengenakan jubah kuning dan, demi keyakinan, meninggalkan kehidupan rumah dan memasuki keadaan tanpa rumah untuk berlatih dalam sang jalan. Teman-teman yang mulia, setelah pergi meninggalkan keduniawian untuk berlatih dalam sang jalan, setelah meninggalkan kehidupan keluarga, aku menerima pelatihan kebhikkhuan. Aku berlatih aturan-aturan latihan dan menjaga [terhadap pelanggaran] aturan disiplin. Aku juga dengan hati-hati mempertahankan sikap dan etika yang seharusnya, selalu takut akan kesalahan sekecil apa pun, menjunjung tinggi pelatihan dalam aturan-aturan latihan.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari membunuh, telah meninggalkan pembunuhan. Aku telah meninggalkan pedang dan tongkat pemukul, aku memiliki rasa malu dan takut [berbuat jahat], dan pikiran cinta kasih dan belas kasih, [dengan mengharapkan] memberi manfaat kepada semua [makhluk], termasuk serangga. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan pembunuhan makhluk hidup.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari mengambil apa yang tidak diberikan, telah meninggalkan pengambilan apa yang tidak diberikan. Aku mengambil [hanya] apa yang diberikan, bergembira dalam mengambil [hanya] apa yang diberikan. Aku selalu menyukai memberi secara murah hati, bergembira dalam ketidak-kikiran dan tidak mengharapkan imbalan apa pun. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan pengambilan apa yang tidak diberikan.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari aktivitas seksual, telah meninggalkan aktivitas seksual. Aku dengan tekun menjalankan latihan [hidup] selibat, dan dengan penuh semangat [mempertahankan] perbuatan suci [ini], murni, tanpa kekotoran, bebas dari keinginan indria, setelah meninggalkan keinginan seksual. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan aktivitas seksual.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari ucapan salah, telah meninggalkan ucapan salah. Aku mengucapkan kebenaran, bergembira dalam kebenaran, dengan tak tergoyahkan berkembang dalam kebenaran, sepenuhnya dapat dipercaya, tidak menipu [siapa pun di] dunia. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan ucapan salah.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari ucapan yang memecah belah, telah meninggalkan ucapan yang memecah belah. Aku tidak terlibat dalam ucapan yang memecah belah dan yang akan mencelakai orang lain. Mendengar sesuatu dari orang ini, aku tidak mengatakannya kepada orang itu untuk mencelakai orang ini; mendengar sesuatu dari orang itu, aku tidak mengatakannya kepada orang ini untuk mencelakai orang itu. Aku berharap untuk menyatukan mereka yang terpecah belah, bergembira dalam persatuan mereka. Aku tidak membuat golongan-golongan, tidak bergembira dalam atau memuji golongan-golongan. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan ucapan yang memecah belah.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari ucapan kasar, telah meninggalkan ucapan kasar. Apa pun ucapan di sana yang kasar dan keras dalam nada, yang terdengar menyakitkan hati dan menjengkelkan bagi telinga, di mana orang-orang tidak menikmati ataupun menginginkannya, yang menyebabkan penderitaan dan kekesalan orang lain, dan tidak membawa pada ketenangan – ucapan demikian telah kutinggalkan. Apa pun ucapan di sana yang murni, penuh kedamaian, lembut, dan bermanfaat, yang menyenangkan bagi telinga dan [dengan mudah] memasuki pikiran, yang menggembirakan dan diinginkan, yang memberikan orang lain kebahagiaan, ucapan yang memiliki makna, yang tidak membuat orang lain ketakutan, dan yang membawa pada ketenangan dalam diri orang lain – [jenis] ucapan demikian kuucapkan. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan ucapan kasar.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari ucapan omong kosong, telah meninggalkan ucapan omong kosong. Aku berbicara pada waktu [yang tepat], aku mengucapkan apa yang benar, apa yang merupakan Dharma, apa yang penuh makna, apa yang penuh kedamaian. Bergembira dalam ucapan yang penuh kedamaian dan berjenis pada waktu yang tepat dan dengan cara yang tepat, aku akan mengajar dengan baik dan menasihati dengan baik. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan ucapan omong kosong.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari mencari keuntungan, telah meninggalkan pencarian keuntungan. Aku telah meninggalkan timbangan dan pengukuran serta tidak menerima barang-barang [dalam komisi], aku tidak mengikat orang-orang [dengan hutang], aku tidak berusaha berbuat curang dengan pengukuran, ataupun aku tidak menipu orang lain demi tujuan beberapa keuntungan kecil. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan pencarian keuntungan.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menerima para janda atau gadis, telah meninggalkan menerima para janda dan gadis. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan menerima para janda dan gadis.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menerima budak laki-laki atau perempuan, telah meninggalkan menerima para budak laki-laki atau perempuan. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan menerima budak laki-laki atau perempuan.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba, telah meninggalkan menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan menerima gajah, kuda, hewan ternak, atau domba.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menerima ayam atau babi, telah meninggalkan menerima ayam atau babi. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan menerima ayam atau babi.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menerima tanah pertanian atau tempat pemasaran, telah meninggalkan menerima tanah pertanian atau tempat pemasaran. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan menerima tanah pertanian atau tempat pemasaran.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak, telah meninggalkan menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak. Aku memurnikan pikiranku sehubungan menerima beras, gandum, atau kacang polong yang belum dimasak.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari minuman keras, telah meninggalkan minuman keras. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan minuman keras.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari [berbaring pada] tempat tidur yang tinggi dan lebar, telah meninggalkan [berbaring pada] tempat tidur yang tinggi dan lebar. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan tempat tidur yang tinggi dan lebar.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari [menggunakan] kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan, telah meninggalkan [penggunaan] kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan kalungan bunga, kalung, wewangian, dan riasan.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menyanyi, menari, dan bersandiwara, serta pergi untuk melihat atau mendengar [nyanyian, tarian, dan sandiwara]; aku telah meninggalkan nyanyian, tarian, dan sandiwara, dan [meninggalkan] pergi untuk melihat atau mendengar [nyanyian, tarian, dan sandiwara]. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan nyanyian, tarian, dan sandiwara, dan [sehubungan dengan] pergi untuk melihat atau mendengar [nyanyian, tarian, dan sandiwara].

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari menerima emas dan perak, telah meninggalkan menerima emas dan perak. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan menerima emas dan perak.

Teman-teman yang mulia, aku menghindari diri dari makan setelah tengah hari, telah meninggalkan makan setelah tengah hari. Aku makan satu kali [setiap hari], tidak makan pada malam hari, berlatih dalam makan [hanya] pada waktu [yang tepat]. Aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan makan setelah tengah hari.

Teman-teman yang mulia, setelah menyempurnakan kelompok moralitas mulia ini, aku lebih lanjut berlatih dalam kepuasan tertinggi, dengan memakai jubah [hanya] untuk menutupi tubuhku, memakan [hanya secukupnya] makanan untuk menunjang tubuh jasmani. Kapan pun aku pergi, aku membawa [hanya] jubah dan mangkuk bersamaku, tanpa kekhawatiran atau keinginan. Seperti halnya seekor angsa liar terbang melalui udara dengan [hanya] dua sayapnya, teman-teman yang mulia, aku seperti demikian, ke mana pun aku pergi, membawa [hanya] jubah dan mangkuk bersamaku, tanpa kekhawatiran atau keinginan.

Teman-teman yang mulia, setelah menyempurnakan kelompok moralitas mulia ini dan kepuasan tertinggi ini, aku lebih lanjut berlatih dalam menjaga indria-indria. Selalu memperhatikan berhentinya pemikiran-pemikiran dengan keinginan, dengan pemahaman jernih, dengan berhasil menjaga pikiran melalui perhatian penuh, aku selalu membangkitkan pemahaman benar. Ketika melihat bentuk dengan mataku, aku tidak menggenggam wujudnya, ataupun aku tidak menikmati bentuk itu. Yaitu, demi tujuan pengendalian diri aku menjaga indria mata sehingga tidak ada ketamakan atau dukacita, keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, yang akan muncul dalam pikiran. Sampai akhir itu aku menjaga indria mata.
Dengan cara yang sama, ketika [mendengar suara] dengan telinga, ... [mencium bau] dengan hidung, ... [mengecap rasa] dengan lidah, ... [merasakan sentuhan] dengan badan, ... mengetahui suatu objek pikiran dengan pikiran; aku tidak menggenggam wujudnya ataupun aku tidak menikmati objek pikiran itu. Yaitu, demi tujuan pengendalian diri aku menjaga indria pikiran sehingga tidak ada ketamakan atau dukacita, keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, yang akan muncul dalam pikiran. Sampai akhir itu aku menjaga indria pikiran.

Teman-teman yang mulia, setelah menyempurnakan kelompok moralitas mulia ini, kepuasan tertinggi ini, dan penjagaan indria-indria ini, aku lebih lanjut berlatih dalam pemahaman benar ketika pergi dan datang, dengan merenungkan dan membedakan dengan baik ketika membengkokkan atau meluruskan [lenganku], ketika menundukkan atau mengangkat [kepalaku]; dengan perilaku dan penampilan yang teratur, aku dengan benar membawa jubah luar, jubah lainnya, dan mangkuk; ketika berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring, ketika pergi tidur atau bangun, ketika berbicara atau berdiam diri, aku selalu memiliki pemahaman benar.

Teman-teman yang mulia, setelah menyempurnakan kelompok moralitas mulia ini, kepuasan tertinggi ini, penjagaan indria-indria ini, dan pemahaman benar ketika pergi dan datang ini, aku lebih lanjut berlatih dengan berdiam sendirian dalam keterasingan. Aku berdiam di suatu wilayah hutan, atau di bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan tenang, di dalam gua gunung, di atas tumpukan jerami di tempat terbuka, di tengah-tengah hutan, atau di pekuburan.

Teman-teman yang mulia, dengan berdiam di dalam hutan, atau pergi ke bawah sebatang pohon di tempat yang kosong dan tenang, aku membentangkan alas dudukku dan duduk bersila, [dengan] tubuh tegak. Dengan tekad batin yang benar dan perhatian yang tidak terbagi, aku meninggalkan dan melenyapkan ketamakan. Dengan pikiranku bebas dari kecemasan, ketika melihat harta dan kebutuhan hidup orang lain, aku tidak memunculkan ketamakan, tidak berharap “Semoga aku mendapatkannya!” Aku memurnikan diriku sehubungan dengan ketamakan. Dengan cara yang sama aku meninggalkan permusuhan, ... kelambanan dan ketumpulan, ... kegelisahan dan kekhawatiran, ... keragu-raguan, mengatasi delusi, bebas dari kebimbangan sehubungan dengan keadaan-keadaan bermanfaat, aku memurnikan pikiranku sehubungan dengan keragu-raguan.

Teman-teman yang mulia, ketika aku telah meninggalkan lima rintangan ini, yang mengotori pikiran dan melemahkan kebijaksanaan, terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat.

Teman-teman yang mulia, setelah mencapai konsentrasi demikian, dengan pikiran yang dimurnikan dan tanpa kekotoran, tanpa noda, lunak, ditenangkan dengan baik, dengan pikiran yang telah mencapai ketanpa-gangguan, aku berlatih dalam realisasi kekuatan-kekuatan batin.

Teman-teman yang mulia, aku mencapai tak terhitung kekuatan batin – yaitu, [dari] satu, aku menjadi banyak; [dari] banyak, aku menjadi satu [lagi]. Satu, aku tetap satu, memiliki pengetahuan dan penglihatan. Aku tanpa terhalangi melewati tembok batu seakan-akan melewati ruang kosong. Aku menyelam ke dalam tanah seakan-akan ia adalah air; aku berhalan di atas air seakan-akan ia adalah tanah. Duduk bersila, aku naik ke angkasa bagaikan seekor burung. Dengan tangan aku menyentuh dan membelai matahari dan bulan, yang memiliki kekuatan batin yang besar demikian, kebajikan yang besar dan hebat demikian, jasa yang besar demikian, kekuatan dewa yang besar demikian. Dengan tubuh [batin]-ku aku mencapai sejauh alam Brahmā.

Teman-teman yang mulia, setelah mencapai konsentrasi dengan cara ini, dengan pikiran yang dimurnikan dan tanpa kekotoran, tanpa noda, lunak, ditenangkan dengan baik, pikiran yang telah mencapai ketanpa-gangguan, aku melatih dan merealisasi pengetahuan luar biasa telinga dewa. Teman-teman yang mulia, dengan telinga dewa aku mendengar suara-suara yang dibuat oleh para manusia dan bukan-manusia, dekat dan jauh, halus dan tidak halus.

Teman-teman yang mulia, setelah mencapai konsentrasi dengan cara ini, dengan pikiran yang dimurnikan dan tanpa kekotoran, tanpa noda, lunak, ditenangkan dengan baik, dengan pikiran yang telah mencapai ketanpa-gangguan, aku melatih dan merealisasi pengetahuan luar biasa atas pikiran orang lain.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #17 on: 27 September 2020, 08:13:08 PM »
Teman-teman yang mulia, melalui pengetahuan atas pikiran orang lain aku mengetahui pikiran-pikiran orang lain sebagaimana adanya: bagaimana makhluk-makhluk lain berpikir, berkehendak, berbuat, dan bertindak. Aku mengetahui pikiran dengan nafsu sebagai pikiran dengan nafsu, sebagaimana adanya; aku mengetahui pikiran tanpa nafsu sebagai pikiran tanpa nafsu, sebagaimana adanya, ... pikiran dengan kebencian, ... tanpa kebencian, ... dengan delusi, ... tanpa delusi, ... terkotori, ... tidak terkotori, ... mengerut, ... kacau, ... luhur, ... rendah, ... terbatas, ... luas, ... terkembang, ... tidak terkembang, ... terkonsentrasi, ... tidak terkonsentrasi; ... aku mengetahui pikiran yang tidak terbebaskan sebagai pikiran yang tidak terbebaskan, sebagaimana adanya; aku mengetahui pikiran yang terbebaskan sebagai pikiran yang terbebaskan, sebagaimana adanya.

Teman-teman yang mulia, setelah mencapai konsentrasi dengan cara ini, dengan pikiran yang dimurnikan dan tanpa kekotoran, tanpa noda, lunak, ditenangkan dengan baik, dengan pikiran yang telah mencapai ketanpa-gangguan, aku melatih dan merealisasi pengetahuan luar biasa atas ingatan kehidupan lampau.

Teman-teman yang mulia, aku mengingat tak terhitung kehidupan yang telah kulalui pada masa lampau, dengan aktivitas dan penampilan mereka: satu kelahiran, dua kelahiran, seratus kelahiran, seribu kelahiran, berkalpa-kalpa pengerutan [dunia], berkalpa-kalpa pengembangan [dunia], tak terhitung kalpa pengerutan dan pengembangan [dunia]. [Aku mengingat:] “[Aku adalah] makhluk hidup bernama Anu; pada kehidupan lampau itu aku menjalani pengalaman-pengalaman tersebut; aku [dulu] terlahir di sana, dengan nama keluarga ini dan nama yang diberikan ini; aku memiliki jenis penghidupan ini dan jenis makanan dan minuman ini; aku memliki jenis kenikmatan dan kesakitan ini; masa kehidupanku adalah seperti ini, aku bertahan hidup selama ini, dan kehidupanku berakhir seperti ini. Meninggal dari sini, aku terlahir kembali di sana; meninggal dari sana, aku terlahir kembali di sini. Aku terlahir kembali di sana dengan nama keluarga ini dan nama yang diberikan ini; aku memiliki jenis penghidupan ini dan jenis makanan dan minuman ini; aku mengalami jenis kenikmatan dan kesakitan ini; masa kehidupanku adalah seperti ini, aku bertahan hidup selama ini, dan kehidupanku berakhir seperti ini.”

Teman-teman yang mulia, setelah mencapai konsentrasi  dengan cara ini, dengan pikiran yang dimurnikan dan tanpa kekotoran, tanpa noda, lunak, ditenangkan dengan baik, dengan pikiran yang telah mencapai ketanpa-gangguan, aku melatih dan merealisasi pengetahuan luar biasa atas kelahiran dan kematian.

Teman-teman yang mulia, dengan mata dewa, yang dimurnikan dan melampaui [penglihatan] manusia, aku melihat makhluk-makhluk ketika mereka meninggal dan terlahir kembali. [Aku melihat mereka terlahir kembali] sebagai rupawan atau jelek, tinggi atau rendah, datang dan pergi di antara alam-alam kehidupan yang baik dan buruk, sesuai dengan perbuatan makhluk-makhluk hidup itu [sebelumnya]. Ini kulihat sebagaimana adanya.

Jika makhluk-makhluk ini melakukan perbuatan jasmani yang jahat, perbuatan ucapan dan pikiran yang jahat; jika mereka menghina orang-orang mulia, menganut pandangan salah, dan melakukan perbuatan-perbuatan [berdasarkan pada] pandangan salah, maka karena sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya jasmani pada saat kematian, [mereka] pasti pergi menuju alam kehidupan yang buruk, terlahir kembali di neraka.

[Namun,] jika makhluk-makhluk hidup ini melakukan perbuatan jasmani yang baik, perbuatan ucapan dan pikiran yang baik, jika mereka tidak menghina orang-orang mulia, menganut pandangan benar, dan melakukan perbuatan-perbuatan [berdasarkan pada] pandangan benar, maka karena sebab dan kondisi ini, ketika hancurnya jasmani pada saat kematian, [mereka] pasti pergi menuju alam kehidupan yang baik, naik untuk terlahir kembali di surga.

Teman-teman yang mulia, setelah mencapai konsentrasi dengan cara ini, dengan pikiran yang dimurnikan dan tanpa kekotoran, tanpa noda, lunak, ditenangkan dengan baik, dengan pikiran yang telah mencapai ketanpa-gangguan, aku melatih dan merealisasi pengetahuan luar biasa atas hancurnya noda-noda.

Teman-teman yang mulia, aku mengetahui dukkha sebagaimana adanya, mengetahui munculnya dukkha, … mengetahui lenyapnya dukkha, … dan mengetahui jalan menuju lenyapnya dukkha, sebagaimana adanya. Aku mengetahui noda-noda sebagaimana adanya, mengetahui munculnya noda-noda, … mengetahui lenyapnya noda-noda, … dan mengetahui jalan menuju lenyapnya noda-noda sebagaimana adanya. Mengetahui demikian, melihat demikian, pikiranku terbebaskan dari noda-noda keinginan indria, dari noda-noda kelangsungan dan dari noda-noda ketidaktahuan. Terbebaskan, aku mengetahui ini terbebaskan. Aku memahami sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri; kehidupan suci telah dikembangkan; apa yang harus dilakukan telah dilakukan; tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu melanggar aturan-aturan latihan, merusak aturan-aturan latihan, gagal memenuhi aturan-aturan latihan, tidak mematuhi aturan-aturan latihan, mengotori aturan-aturan latihan, mencemari aturan-aturan latihan; dan jika dengan bergantung pada aturan-aturan latihan, berkembang dalam aturan-aturan latihan, menggunakan aturan-aturan latihan sebagai tangganya ia ingin naik menuju aula kebijaksanaan yang tiada bandingnya, menuju paviliun Dharma sejati, itu adalah tidak memungkinkan.

Teman-teman yang mulia, ini seakan-akan tidak jauh dari sebuah desa terdapat menara pengawas yang berdiri di atas sebuah paviliun, dan di dalam menara itu sebuah tangga dengan sepuluh atau dua belas anak tangga telah dipersiapkan. Jika seseorang datang menginginkan untuk naik ke paviliun itu, maka jika ia tidak memanjat anak tangga pertama dari tangga itu, alih-alih ingin [langsung] memanjat anak tangga kedua, itu adalah tidak mungkin. Jika ia tidak memanjat anak tangga kedua, alih-alih ingin [langsung] memanjat anak tangga ketiga atau keempat untuk naik ke paviliun itu, itu adalah tidak memungkinkan.

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu melanggar aturan-aturan latihan, merusak aturan-aturan latihan, gagal memenuhi aturan-aturan latihan, tidak mematuhi aturan-aturan latihan, mengotori aturan-aturan latihan, mencemari aturan-aturan latihan; dan jika dengan bergantung pada aturan-aturan latihan, berkembang dalam aturan-aturan latihan, dan menggunakan aturan-aturan latihan sebagai tangganya ia ingin naik menuju aula kebijaksanaan yang tiada bandingnya, menuju paviliun Dharma sejati, itu adalah tidak memungkinkan.

Teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu tidak melanggar aturan-aturan latihan, merusak aturan-aturan latihan, gagal memenuhi aturan-aturan latihan, tidak mematuhi aturan-aturan latihan, mengotori aturan-aturan latihan, atau mencemari aturan-aturan latihan; dan jika dengan bergantung pada aturan-aturan latihan, berkembang dalam aturan-aturan latihan, dan menggunakan aturan-aturan latihan sebagai tangganya ia ingin naik menuju aula kebijaksanaan yang tiada bandingnya, menuju paviliun Dharma sejati, itu adalah pasti memungkinkan.

Teman-teman yang mulia, ini seakan-akan, tidak jauh dari sebuah desa terdapat menara pengawas yang berdiri di atas sebuah paviliun, dan di dalam menara itu sebuah tangga dengan sepuluh atau dua belas anak tangga telah dipersiapkan. Jika seseorang datang menginginkan untuk naik ke paviliun itu, maka jika ia memanjat anak tangga pertama dari tangga itu, dan kemudian ingin memanjat anak tangga kedua, itu adalah mungkin. Dan jika, setelah memanjat anak tangga kedua, ia ingin memanjat anak tangga ketiga, dan kemudian keempat, untuk naik ke paviliun itu, itu adalah pasti memungkinkan.

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, jika seorang bhikkhu tidak melanggar aturan-aturan latihan, merusak aturan-aturan latihan, gagal memenuhi aturan-aturan latihan, tidak mematuhi aturan-aturan latihan, mengotori aturan-aturan latihan, atau mencemari aturan-aturan latihan; dan jika dengan bergantung pada aturan-aturan latihan, berkembang dalam aturan-aturan latihan, dan menggunakan aturan-aturan latihan sebagai tangganya ia ingin naik menuju aula kebijaksanaan yang tiada bandingnya, menuju paviliun Dharma sejati, itu adalah pasti memungkinkan.

Teman-teman yang mulia, dengan bergantung pada aturan-aturan latihan, berkembang dalam aturan-aturan latihan, menggunakan aturan-aturan latihan sebagai tanggaku, aku naik menuju aula kebijaksanaan yang tiada bandingnya, menuju paviliun Dharma sejati dan, dengan sedikit usaha, aku mengamati seribu dunia.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya seseorang dengan penglihatan [yang baik] mungkin berdiri di atas bangunan tinggi dan, dengan sedikit usaha, mengamati tanah di bawahnya, melihat seribu batu bata.<87>

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, dengan bergantung pada aturan-aturan latihan, berkembang dalam aturan-aturan latihan, menggunakan aturan-aturan latihan sebagai tanggaku, aku naik menuju aula kebijaksanaan yang tiada bandingnya, menuju paviliun Dharma sejati dan, dengan sedikit usaha, aku mengamati seribu dunia.

Teman-teman yang mulia, [bagiku untuk berusaha] menyembunyikan enam pengetahuan luar biasa akan seperti menggunakan sehelai daun palem [untuk berusaha] menyembunyikan seekor gajah besar milik raja, atau tujuh harta karunnya, apalagi delapan dari mereka.

Teman-teman yang mulia, jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasiku dalam kekuatan-kekuatan batin, biarlah ia menanyakannya. Aku akan menjawab. Teman-teman yang mulia, jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasiku dalam pengetahuan luar biasa telinga dewa, biarlah ia menanyakannya. Aku akan menjawab. Teman-teman yang mulia, jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasiku dalam pengetahuan luar biasa atas pikiran orang lain, biarlah ia menanyakannya. Aku akan menjawab. Teman-teman yang mulia, jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasiku dalam pengetahuan luar biasa atas ingatan kehidupan lampau, biarlah ia menanyakannya. Aku akan menjawab. Teman-teman yang mulia, jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasiku dalam pengetahuan luar biasa atas kelahiran dan kematian, biarlah ia menanyakannya. Aku akan menjawab. Teman-teman yang mulia, jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasiku dalam pengetahuan luar biasa atas hancurnya noda-noda, biarlah ia menanyakannya. Aku akan menjawabnya.

Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata:

Yang Mulia Anuruddha, di tebing gunung dengan pepohonan sāla ini terdapat delapan ratus orang bhikkhu yang duduk bersama-sama dengan Sang Bhagavā di tengah-tengah mereka, untuk membuat jubah untuk Yang Mulia Anuruddha. Jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasi Yang Mulia Anuruddha dalam kekuatan-kekuatan batin, biarlah ia menanyakannya. Yang Mulia Anuruddha akan menjawab. Jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasi Yang Mulia Anuruddha dalam pengetahuan luar biasa telinga dewa, biarlah ia menanyakannya. Yang Mulia Anuruddha akan menjawab. Jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasi Yang Mulia Anuruddha dalam pengetahuan luar biasa atas pikiran orang lain, biarlah ia menanyakannya. Yang Mulia Anuruddha akan menjawab. Jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasi Yang Mulia Anuruddha dalam pengetahuan luar biasa atas ingatan kehidupan lampau, biarlah ia menanyakannya. Yang Mulia Anuruddha akan menjawab. Jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasi Yang Mulia Anuruddha dalam pengetahuan luar biasa atas kelahiran dan kematian, biarlah ia menanyakannya. Yang Mulia Anuruddha akan menjawab. Jika [siapa pun] memiliki keragu-raguan tentang realisasi Yang Mulia Anuruddha dalam pengetahuan luar biasa atas hancurnya noda-noda, biarlah ia menanyakannya. Yang Mulia Anuruddha akan menjawab.

Namun, kami telah lama mengetahui, dalam pikiran kami, pikiran Yang Mulia Anuruddha – yaitu bahwa Yang Mulia Anuruddha memiliki kekuatan batin yang besar, kebajikan yang besar dan hebat, jasa yang besar, kekuatan dewa yang besar.

Saat itu sakit Sang Bhagavā telah mereda dan beliau berada dalam kenyamanan, maka beliau bangkit dan duduk bersila. Setelah duduk, Sang Bhagavā memuji Yang Mulia Anuruddha:

Bagus, bagus, Anuruddha! Adalah luar biasa, Anuruddha, bagaimana engkau berkotbah kepada para bhikkhu tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya]. Anuruddha, kotbahkanlah kepada para bhikkhu lagi tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya]! Anuruddha, kotbahkanlah kepada para bhikkhu dengan sering tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya]!

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu:

Para bhikkhu, terimalah [ajaran] tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya]! Ulangilah [ajaran] tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya]! Ingatlah dengan baik [ajaran] tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya]! Mengapakah demikian? [Ajaran] tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya] adalah berhubungan dengan Dharma. Ini adalah dasar kehidupan suci, yang membawa pada pencapaian, yang membawa pada pencerahan, yang membawa pada nirvana. Seorang anggota keluarga yang telah mencukur janggut dan rambutnya, mengenakan jubah kuning, dan demi keyakinan meninggalkan kehidupan rumah, memasuki keadaan tanpa rumah untuk berlatih dalam sang jalan, seharusnya dengan penuh perhatian menerima [ajaran] tentang sifat kain untuk jubah [dan tentang seseorang yang akan memakainya] dan mengingatnya.

Mengapakah demikian? Karena aku tidak melihat bhikkhu mana pun pada masa lampau yang dibuatkan sehelai jubah demikian yang seperti bhikkhu Anuruddha. Ataupun aku tidak melihat pada masa yang akan datang atau pada masa sekarang yang akan dibuatkan atau sedang dibuatkan jubah demikian, seperti halnya untuk bhikkhu Anuruddha. Mengapakah demikian? Karena sekarang di tebing gunung dengan pepohonan sāla ini terdapat delapan ratus orang bhikkhu yang duduk bersama-sama dengan Sang Bhagavā di tengah-tengah mereka, untuk membuat jubah untuk Yang Mulia Anuruddha. Dalam hal ini, bhikkhu Anuruddha memiliki kekuatan batin yang besar, kebajikan yang besar dan hebat, jasa yang besar, kekuatan dewa yang besar.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Anuruddha dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #18 on: 07 October 2020, 08:11:11 PM »
81. Kotbah tentang Perhatian pada Jasmani<88>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha, yang sedang mengembara di negeri Anga dengan sekumpulan besar para bhikkhu, pergi menuju Āpaṇa, tempat kediaman Keṇiya [sang pemuja api].

Kemudian, ketika malam berlalu, saat fajar, Sang Bhagavā mengenakan jubahnya, membawa mangkuknya, dan memasuki Āpaṇa untuk mengumpulkan dana makanan. Setelah makan siang, beliau menyimpan jubah dan mangkuknya, mencuci tangan dan kakinya, meletakkan alas duduknya di atas bahunya, dan pergi ke dalam hutan. Memasuki hutan itu, beliau pergi ke bawah sebatang pohon, membentangkan alas duduknya, dan duduk bersila.

Pada waktu itu, setelah makan siang, banyak bhikkhu sedang duduk bersama di aula pertemuan mendiskusikan topik ini:

Teman-teman yang mulia, adalah menakjubkan, adalah sangat luar biasa bagaimana Sang Bhagavā telah menjelaskan pengembangan perhatian pada jasmani, dengan berulang-ulang melakukannya melalui pengetahuan sepenuhnya, perenungan sepenuhnya, pengembangan sepenuhnya, dan sepenuhnya menjaganya, sebagai sesuatu yang dimiliki dengan baik, yang dilatih dengan baik dengan pikiran yang terpusat. Sang Buddha telah menyatakan perhatian pada jasmani demikian membawa buah yang besar: perolehan penglihatan dan kepemilikan penglihatan yang melihat manfaat tertinggi.
Pada waktu itu Sang Bhagavā, yang sedang duduk bermeditasi, dengan mata dewa yang dimurnikan yang melampaui mata manusia, mendengar para bhikkhu yang sedang duduk bersama di aula pertemuan setelah makan siang, mendiskusikan topik ini:

Teman-teman yang mulia, adalah menakjubkan, adalah sangat luar biasa bagaimana Sang Bhagavā telah menjelaskan pengembangan perhatian pada jasmani, dengan berulang-ulang melakukannya melalui pengetahuan sepenuhnya, perenungan sepenuhnya, pengembangan sepenuhnya, dan sepenuhnya menjaganya, sebagai sesuatu yang dimiliki dengan baik, yang dilatih dengan baik dengan pikiran yang terpusat. Sang Buddha telah menyatakan perhatian pada jasmani demikian membawa buah yang besar: perolehan penglihatan dan kepemilikan penglihatan yang melihat manfaat tertinggi.

Setelah mendengar hal ini, pada sore hari Sang Bhagavā bangkit dari duduk bermeditasi, mendekati aula pertemuan, dan duduk di hadapan sangha para bhikkhu pada tempat duduk yang telah dipersiapkan. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu, “Topik apakah yang sedang kalian diskusikan? Karena topik apakah kalian duduk bersama dalam aula pertemuan?”

Kemudian para bhikkhu menjawab:

Sang Bhagavā, kami para bhikkhu sedang duduk bersama di aula pertemuan setelah makan siang, mendiskusikan topik ini: “Teman-teman yang mulia, adalah menakjubkan, adalah sangat luar biasa bagaimana Sang Bhagavā telah menjelaskan pengembangan perhatian pada jasmani, dengan berulang-ulang melakukannya melalui pengetahuan sepenuhnya, perenungan sepenuhnya, pengembangan sepenuhnya, dan sepenuhnya menjaganya, sebagai sesuatu yang dimiliki dengan baik, yang dilatih dengan baik dengan pikiran yang terpusat. Sang Buddha telah menyatakan perhatian pada jasmani demikian membawa buah yang besar: perolehan penglihatan dan kepemilikan penglihatan yang melihat manfaat tertinggi.”

Sang Bhagavā, inilah topik yang sedang kami diskusikan. Adalah karena topik ini sehingga kami duduk bersama di aula pertemuan,

Sang Bhagavā berkata lagi kepada para bhikkhu, “Bagaimanakah aku menjelaskan bahwa pengembangan perhatian pada jasmani, dengan berulang-ulang melakukannya, akan membawa pada buah besar?”

Kemudian, para bhikkhu berkata kepada Sang Bhagavā:

Sang Bhagavā adalah sumber Dharma, Sang Bhagavā adalah guru Dharma, Dharma berasal dari Sang Bhagavā. Semoga beliau menjelaskannya! Setelah mendengarnya, kami akan mengetahui maknanya sepenuhnya.

Sang Buddha berkata, “Dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik! Aku akan menjelaskan maknanya kepada kalian.” Kemudian para bhikkhu mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:<89>

Bagaimanakah seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani? Ketika berjalan, seorang bhikkhu mengetahui ia sedang berjalan; ketika berdiri, ia mengetahui ia sedang berdiri; ketika duduk, ia mengetahui ia sedang duduk; ketika berbaring, ia mengetahui ia sedang berbaring; ketika tidur, ia mengetahui ia sedang tidur; ketika bangun, ia mengetahui ia sedang bangun; ketika tidur atau bangun, ia mengetahui ia sedang tidur atau bangun.<90>

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahui seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam pada tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti ]yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.<91>

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Ketika pergi dan datang, seorang bhikkhu dengan jernih mengetahui, merenungkan, dan melihat [tindakannya] dengan baik; ketika membengkokkan atau meluruskan, menurunkan atau mengangkat [anggota tubuhnya yang mana pun], ia melakukannya dengan sikap yang seharusnya; ketika memakai jubah luarnya dan jubah lainnya serta [membawa] mangkuk[nya], ia melakukannya dengan tepat; ketika berjalan, berdiri, duduk, berbaring, tidur, bangun, berbicara, dan berdiam diri – semua [aktivitas ini] dengan jernih ia ketahui.<92>

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Ketika pikiran-pikiran jahat dan tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikannya dengan mengingat keadaan-keadaan bermanfaat.<93>

Seperti halnya seorang tukang kayu atau seorang murid tukang kayu dapat menerapkan seutas benang bertinta pada sepotong kayu [untuk menandai garis lurus] dan kemudian memotong kayu itu dengan sebuah kapak yang tajam untuk membuatnya lurus.<94> Dengan cara yang sama, ketika pikiran-pikiran jahat dan tidak bermanfaat muncul, seorang bhikkhu mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikannya dengan mengingat keadaan-keadaan bermanfaat.

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Dengan gigi yang digertakkan dan lidah yang ditekan terhadap langit-langit mulut, seorang bhikkhu menggunakan [kekuatan kemauannya sendiri] untuk mengendalikan pikiran, untuk mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikan [pikiran-pikiran jahat].

Seperti halnya dua orang yang kuat dapat mencengkeram seseorang yang lemah dan, dengan membalikkannya dengan cara ini dan itu, memukulnya sesuai dengan keinginan mereka. Dengan cara yang sama, dengan gigi yang digertakkan dan lidah yang ditekan terhadap langit-langit mulut, seorang bhikkhu menggunakan [kekuatan kemauannya sendiri] untuk mengendalikan pikirannya, untuk mengendalikan, meninggalkan, melenyapkan, dan menghentikan [pikiran-pikiran jahat].

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada pernapasan [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu memperhatikan napas masuk dan mengetahui ia sedang memperhatikan napas masuk; ia memperhatikan napas keluar dan mengetahui ia sedang memperhatikan napas keluar. Ketika menarik napas panjang, ia mengetahui ia sedang menarik napas panjang; ketika menghembuskan napas panjang, ia mengetahui ia sedang menghempuskan napas panjang. Ketika menarik napas pendek, ia mengetahui ia sedang menarik napas pendek; ketika menghembuskan napas pendek, ia mengetahui ia sedang menghembuskan napas pendek.

Ia berlatih [dalam mengalami] keseluruhan tubuh ketika menarik napas; ia berlatih [dalam mengalami] keseluruhan tubuh ketika menghembuskan napas. Ia berlatih dalam menenangkan aktivitias-aktivitas jasmani ketika menarik napas; ia berlatih dalam menenangkan aktivitas-aktivitas <jasmani> ketika menghembuskan napas.<95>

Dengan cara ini seorang bhikkhu, , bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan [yang dialami dalam jhāna pertama], sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan.<96>

Seperti halnya ketika seorang petugas pemandian, setelah memenuhi wadah dengan bubuk mandi, mencampurnya dengan air dan meremas-remasnya sehingga tidak ada bagian [dari bubuk itu] yang tidak sepenuhnya dibasahi dan diliputi oleh air. Dengan cara yang sama, seorang bhikhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan, sehingga tidak ada bagian tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari keterasingan.

Dengan cara ini seorang bhikkhu, , bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi [yang dialami dalam jhāna kedua], sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi.

Seperti halnya mata air gunung yang penuh dan meluap dengan air yang jernih dan bersih; air yang datang dari mana pun dari keempat arah tidak dapat memasukinya, dengan air mata air memancar ke atas dari bawah dengan sendirinya, mengalir keluar dan membanjiri sekelilingnya, sepenuhnya membasahi dan meliputi setiap bagian gunung itu. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi, sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak diliputi oleh sukacita dan kenikmatan yang lahir dari konsentrasi.

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita [yang dialami dalam jhāna ketiga], sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita.

Seperti halnya ketika seroja biru, merah, atau putih yang lahir di dalam air dan telah tumbuh besardalam air, tetap terendam dalam air, dengan setiap bagian dari akar, batang, bunga, dan daunnya sepenuhnya dibasahi dan diliputi [oleh air], dengan tidak ada bagian yang tidak diliputi olehnya. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya membasahi dan meliputi tubuhnya dengan kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak diliputi oleh kenikmatan yang lahir dari ketiadaan sukacita.

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu bertekad dalam batin untuk berdiam setelah meliputi dengan sempurna tubuhnya dengan kemurnian batin [yang dialami dalam jhāna keempat], sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak diliputi oleh kemurnian batin.

Seperti halnya seseorang dapat menutupi dirinya dari kepala sampai kaki dengan sehelai kain yang berukuran tujuh atau delapan hasta, sehingga setiap bagian tubuhnya tertutupi.<97> Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu sepenuhnya meliputi tubuhnya dengan kemurnian batin [yang dialami dalam jhāna keempat], sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak diliputi oleh kemurnian batin.

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani sebagai berikut. Seorang bhikkhu memperhatikan persepsi cahaya (ālokasannā), dengan baik memegangnya, dengan baik mempertahankannya, dan mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh [sehingga ia mengetahui bahwa] apa yang di belakang adalah seperti apa yang di depan, apa yang di depan adalah seperti apa yang di belakang, malam seperti siang, siang seperti malam, apa yang di atas seperti apa yang di bawah, dan apa yang di bawah seperti apa yang di atas. Dengan cara ini ia mengembangkan keadaan pikiran yang tidak menyimpang dan tidak terkotori yang cemerlang dan jernih, keadaan pikiran yang sepenuhnya tidak terhalangi oleh halangan-halangan.<98>

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu dengan baik menggenggam tanda peninjauan kembali,<99> mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh. Seperti halnya seseorang yang duduk dapat merenungkan orang lain yang berbaring, atau seseorang yang berbaring dapat merenungkan orang lain yang duduk. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu dengan baik menggenggam tanda peninjauan kembali, mengingatnya dengan baik dengan perhatian penuh.

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dari kepala sampai kaki, menurut posisinya serta [sifat]nya yang menarik dan menjijikkan, [dengan melihatnya] sebagai penuh dengan berbagai ketidakmurnian, [dengan merenungkan:] “Di dalam jasmani[ku] ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit ari kasar dan halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar dan kecil, limpa, perut, kotoran, otak dan batang otak, air mata, keringat, lendir, air liur, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, empedu, dan air seni.”

Seperti halnya seseorang yang memiliki penglihatan, ketika melihat sebuah wadah yang penuh dengan berbagai biji-bijian, dapat dengan jelas membedakannya semua, dengan mengenali [berbagai biji-bijian itu] sebagai biji padi, biji jawawut, jelai, gandum, biji rami, biji wijen, kacang, biji lobak, dan biji moster.<100> Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu merenungkan jasmani ini dari kepala sampai kaki, berdasarkan posisinya dan [sifat]nya yang menarik dan menjijikkan, [dengan melihatnya] sebagai penuh dengan berbagai jenis ketidakmurnian, [dengan merenungkan:] “Dalam jasmani[ku] ini terdapat rambut kepala, rambut tubuh, kuku, gigi, kulit ari kasar dan halus, kulit, daging, urat, tulang, jantung, ginjal, hati, paru-paru, usus besar dan kecil, limpa, perut, kotoran, otak dan batang otak, air mata, keringat, lendir, air liur, nanah, darah, lemak, sumsum, dahak, empedu, dan air seni.”
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #19 on: 07 October 2020, 08:17:34 PM »
Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu merenungkan jasmani [sebagai terbentuk dari] unsur-unsur: “Dalam jasmaniku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur udara, unsur ruang, dan unsur kesadaran.”<101>

Seperti halnya seorang tukang daging, setelah menyembelih dan menguliti seekor sapi, dapat membaginya menjadi enam bagian dan menghamparkannya di atas tanah [untuk menjualnya]. Dengan cara yang sama, seorang bhikkhu merenungkan jasmani [sebagai terbentuk dari] unsur-unsur: “Dalam jasmaniku ini terdapat unsur tanah, unsur air, unsur api, unsur angin, unsur ruang, dan unsur kesadaran.”

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seorang bhikkhu merenungkan sesosok mayat yang meninggal selama satu hari, atau dua, atau sampai dengan enam atau tujuh hari, yang dipatuk oleh burung gagak, dimangsa oleh anjing hutan dan serigala, terbakar oleh api, atau dikuburkan dalam tanah,<102> atau [sesosok mayat] yang sepenuhnya membusuk dan terurai. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan [mayat itu]: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seperti ia sebelumnya telah melihat [sesosok mayat] di tanah pekuburan, seorang bhikkhu [mengingat] bangkai berwarna kebiruan, yang terurai dan setengah dimakan [oleh hewan], dengan tulang yang tergeletak di atas tanah masih tersambung bersama. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan [mayat itu]: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seperti ia sebelumnya telah melihat [sesosok kerangka] di tanah pekuburan, seorang bhikkhu [mengingatnya] tanpa kulit, daging, atau darah, yang dipertahankan bersama hanya oleh urat. Melihat hal ini, ia membandingkan dirinya sendiri dengan [kerangka itu]: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seperti ia sebelumnya telah melihat [tulang-tulang] di tanah pekuburan, seorang bhikkhu [mengingat] tulang-tulang yang tidak tersambung berserakan ke segala arah: tulang kaki, tulang kering, tulang paha, tulang panggul, tulang belakang, tulang bahu, tulang leher, tulang tengkorak, semuanya di tempat-tempat yang berbeda. Melihat hal ini, ia membandingkan jasmaninya sendiri dengan [tulang-tulang itu]: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani [sebagai berikut]. Seperti ia sebelumnya telah melihat [tulang-tulang] di tanah pekuburan, seorang bhikkhu [mengingat] tulang-tulang yang berwarna putih seperti kulit kerang, atau kebiruan seperti warna seekor burung merpati, atau merah seakan-akan berlumuran darah, yang membusuk dan terurai, hancur menjadi debu. Melihat hal ini, ia membandingkan jasmaninya sendiri dengan [tulang-tulang itu]: “Jasmaniku sekarang ini juga seperti ini. Ia memiliki sifat yang sama dan pada akhirnya tidak dapat lolos [dari takdir ini].”

Dengan cara ini seorang bhikkhu, bagaimana pun ia bertindak dengan jasmaninya, ia mengetahuinya seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Dengan cara ini, berdiam di tempat yang terpencil, dengan pikiran yang bebas dari kemalasan, berlatih dengan penuh semangat, ia melenyapkan kekotoran-kekotoran apa pun dari pikiran dan mencapai konsentrasi pikiran. Setelah mencapai konsentrasi pikiran, ia mengetahui [jasmani] seperti [yang dijelaskan] di atas, sebagaimana adanya. Ini adalah bagaimana seorang bhikkhu mengembangkan perhatian pada jasmani.

Jika perhatian pada jasmani dikembangkan seperti ini, berulang-ulang dilakukan seperti ini, maka semua keadaan yang bermanfaat – yaitu, keadaan-keadaan yang berhubungan dengan pencerahan (bodhipakkhiya) – terkandung di dalamnya. Apa pun keadaan pikiran yang ia tekadkan [untuk dicapai] mencapai penyelesaian. Ini dapat dibandingkan dengan samudera raya: semua sungai kecil pada akhirnya tertampung dalam samudera. Jika perhatian pada jasmani dikembangkan seperti ini, berulang-ulang dilakukan seperti ini, maka semua keadaan yang bermanfaat terkandung di dalamnya, yaitu, keadaan-keadaan yang berhubungan dengan pencerahan.

Jika terdapat para pertapa dan brahmana yang tidak mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pasti akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu tidak memiliki perhatian pada jasmani.<103>

Seperti halnya terdapat sebuah kendi air kosong yang ditempatkan dengan mantap tegak lurus di atas tanah, dan seseorang membawa air dan menuangkannya ke dalam kendi itu. Apakah yang kalian pikirkan, para bhikkhu: dalam keadaan ini, akankah kendi itu menampung air tersebut?

Para bhikkhu menjawab:

Sang Bhagavā, kendi itu akan menampungnya. Mengapakah demikian? Karena [kendi itu] kosong, tanpa air, dan berdiri tegak lurus di atas tanah, ia pasti akan menampung [air itu].

[Sang Buddha berkata:]

Dengan cara yang sama, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang tidak mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang terbatas, maka Māra, Si Jahat, dalam mencari kesempatan dengan mereka, pasti akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu tidak memiliki perhatian pada jasmani.

Jika terdapat para pertapa dan brahmana yang telah mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang tak terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pada akhirnya tidak akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu memiliki perhatian pada jasmani.

Seperti halnya terdapat sebuah kendi air yang penuh dengan air, ditempatkan dengan mantap tegak lurus di atas tanah, dan seseorang membawa air dan menuangkannya ke dalam kendi itu. Apakah yang kalian pikirkan, para bhikkhu, dalam keadaan ini, akankah kendi itu menampung [lebih banyak] air?

Para bhikkhu menjawab:

Tidak, Sang Bhagavā. Mengapakah demikian? Karena [kendi itu] [sudah] penuh dengan air, berdiri dengan mantap tegak lurus di atas tanah, sehingga ia pasti tidak akan menampung [lebih banyak air lagi].

[Sang Buddha berkata:]

Dengan cara yang sama, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang telah mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang tak terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pada akhirnya tidak akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu memiliki perhatian pada jasmani.

Jika terdapat para pertapa dan brahmana yang tidak mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pasti akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu tidak memiliki perhatian pada jasmani.

Seperti halnya seseorang yang kuat akan melempat sebongkah batu yang berat dan besar pada sekumpulan lumpur basah. Apakah yang kalian pikirkan, para bhikkhu, akankah [batu itu] menembus lumpur itu?

Para bhikkhu menjawab:

[Batu itu] akan menembus [lumpur itu], Sang Bhagavā. Mengapakah demikian? Lumpur itu basah dan batu itu berat; oleh sebab itu [batu itu] pasti akan menembus [lumpur itu].

[Sang Buddha berkata:]

Dengan cara yang sama, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang tidak mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pasti akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu tidak memiliki perhatian pada jasmani.

Jika terdapat para pertapa dan brahmana yang telah mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang tak terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pada akhirnya tidak akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu memiliki perhatian pada jasmani.

Seperti halnya seseorang yang kuat akan melemparkan sebuah bola ringan yang terbuat dari rambut pada sebuah pintu lurus. Apakah yang kalian pikirkan, para bhikkhu, akankah [bola rambut itu] menembus [pintu itu]?

Para bhikkhu menjawab:

[Bola rambut itu] tidak akan menembus [pintu itu], Sang Bhagavā. Mengapakah demikian? Bola yang terbuat dari rambut adalah ringan dan lunak, sedangkan pintu berdiri lurus,<104> oleh sebab itu [bola rambut itu] pasti tidak akan menembus [pintu itu].

Sang Buddha berkata:

Dengan cara yang sama, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang telah mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang tak terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pada akhirnya tidak akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu memiliki perhatian pada jasmani.

Jika terdapat para pertapa dan brahmana yang tidak mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pasti akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu tidak memiliki perhatian pada jasmani.

Seperti halnya seseorang yang ingin membuat api dengan sepotong kayu yang kering sebagai landasan dan menggereknya dengan penggerek yang kering. Apakah yang kalian pikirkan, para bhikkhu, akankah orang itu akan mendapatkan api dengan cara ini?

Para bhikkhu menjawab, “Ia akan mendapatkan [api], Sang Bhagavā. Mengapakah demikian? Karena ia menggunakan penggerek yang kering untuk menggerek landasan kayu yang kering, ia pasti akan mendapatkan [api].”

[Sang Buddha berkata:]

Dengan cara yang sama, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang tidak mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pasti akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu tidak memiliki perhatian pada jasmani.

Jika terdapat para pertapa dan brahmana yang telah mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang tak terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pada akhirnya tidak akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu memiliki perhatian pada jasmani.

Seperti halnya seseorang yang membutuhkan api menggunakan kayu yang lembab sebagai landasan dan menggereknya dengan penggerek yang lembab. Apakah yang kalian pikirkan, para bhikkhu, akankah orang itu mendapatkan api dengan cara ini?

Para bhikkhu menjawab, “Ia tidak akan mendapatkan [api], Sang Bhagavā. Mengapakah demikian? Karena ia menggunakan penggerek yang lembab untuk menggerek kayu yang lembab, ia tidak akan mendapatkan [api].”

[Sang Buddha berkata:]

Dengan cara yang sama, jika terdapat para pertapa dan brahmana yang telah mengembangkan dengan benar perhatian pada jasmani, yang berdiam dengan pikiran yang tak terbatas, maka Māra, Si Jahat, ketika mencari kesempatan dengan mereka, pada akhirnya tidak akan mendapatkannya. Mengapakah demikian? Karena para pertapa dan brahmana itu memiliki perhatian pada jasmani.<105>

Mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, berulang-ulang melakukannya seperti ini, seharusnya dipahami membawa delapan belas manfaat.<106> Apakah delapan belas hal itu? Seorang bhikkhu dapat menahan rasa lapar dan hangus, dingin dan panas, nyamuk, serangga pengganggu, lalat, kutu, diserang oleh angin dan matahari, dicaci secara ucapan, dan dipukuli dengan tongkat – ia dapat menahan [semua ini]. [Bahkan jika] jasmaninya menderita penyakit yang menyebabkan kesakitan yang sedemikan luar biasa sehingga kehidupannya akan berakhir – apa pun yang tidak menyenangkan, ia dapat menahannya semua. Inilah yang disebut manfaat pertama mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.

Selanjutnya, seorang bhikkhu dapat menahan ketidakpuasan; jika ketidakpuasan muncul pikirannya tidak terjebak di dalamnya. Inilah yang disebut manfaat kedua mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.

Selanjutnya, seorang bhikkhu dapat menahan ketakutan; jika ketakutan muncul pikirannya tidak terjebak di dalamnya. Inilah yang disebut manfaat ketiga mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.

Selanjutnya, dalam diri seorang bhikkhu tiga [jenis] pikiran yang tidak bermanfaat dapat muncul – pikiran dengan nafsu, pikiran dengan kemarahan, dan pikiran mencelakai. Jika tiga [jenis] pikiran yang tidak bermanfaat ini muncul, pikirannya tidak terjebak di dalamnya. Inilah yang disebut manfaat keempat mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.<107>

Selanjutnya, seorang bhikkhu, terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan yang jahat dan tidak bermanfaat, ... sampai dengan berdiam setelah mencapai jhāna keempat. Inilah yang disebut manfaat kedelapan mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.<108>

Selanjutnya, seorang bhikkhu, melalui pelenyapan tiga belenggu, mencapai pemasuk-arus. Ia tidak akan jatuh ke keadaan-keadaan yang jahat dan pasti maju menuju pencerahan sempurna dalam paling banyak tujuh kehidupan lagi. Setelah melalui [paling banyak] tujuh kehidupan lagi di alam surga atau manusia,<109> ia akan mencapai akhir dukkha. Inilah yang disebut manfaat kesembilan mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.<108>

Selanjutnya, seorang bhikkhu yang telah melenyapkan tiga belenggu melemahkan nafsu indria, kemarahan, dan ketidaktahuan, dan mencapai yang sekali-kembali. Setelah melewati satu kehidupan lagi di alam surga atau manusia, ia akan mencapai akhir dukkha. Inilah yang disebut manfaat kesepuluh mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.

Selanjutnya, seorang bhikkhu yag telah melenyapkan lima belenggu yang lebih rendah akan terlahir kembali di alam lain dan di sana mencapai nirvana akhir, setelah mencapai kondisi yang tidak-kembali, dengan tidak kembali ke dunia ini. Inilah yang disebut manfaat kesebelas mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.

Selanjutnya, seorang bhikkhu mencapai pembebasan yang damai yang melampaui bentuk, setelah mencapai yang tanpa bentuk, dan dengan konsentrasi yang sesuai berdiam setelah mencapainya. Inilah yang disebut manfaat kedua belas mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini,<110> dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.

Selanjutnya, seorang bhikkhu memperoleh kekuatan-kekuatan batin, telinga dewa, pengetahuan atas pikiran orang lain, pengetahuan atas kehidupan lampau, dan pengetahuan kelahiran dan kematian [makhluk-makhluk]. [Inilah yang disebut manfaat ketiga belas, keempat belas, kelima belas, keenam belas, dan ketujuh belas.]
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #20 on: 07 October 2020, 08:17:48 PM »
[Selanjutnya, seorang bhikkhu,] dengan menggunakan kebijaksanaan dan pandangan terang, memahami noda-noda dan melenyapkannya. Setelah melenyapkan semua noda, ia mencapai pembebasan pikiran yang tanpa noda-noda dan pembebasan melalui kebijaksanaan, dengan mengetahui dan merealisasinya oleh dirinya sendiri di sini dan saat ini; dan ia berdiam setelah secara pribadi merealisasinya, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain!” Inilah yang disebut manfaat kedelapan belas mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, dengan berulang-ulang melakukannya seperti ini.

Mengembangkan perhatian pada jasmani seperti ini, berulang-ulang melakukannya seperti ini, seharusnya dipahami membawa delapan belas manfaat ini.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #21 on: 07 October 2020, 08:21:59 PM »
82. Kotbah tentang [Mendengar Suara] Jangkrik<111>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu di Tempat Perlindungan Tupai.

Pada waktu itu, setelah makan siang, banyak bhikkhu sedang duduk bersama di aula pertemuan untuk suatu masalah sepele. Mereka ingin menyelesaikan masalah perselisihan pendapat, yaitu, mendiskusikan Dharma dan disiplin, ajaran Sang Buddha. Pada waktu itu bhikkhu Citta Hatthisāriputta berada di antara perkumpulan itu. Kemudian, ketika banyak bhikkhu sedang mendiskusikan Dharma dan disiplin, ajaran Sang Buddha, bhikkhu Citta Hatthisāriputta terus-menerus menyela tanpa menunggu para bhikkhu itu menyelesaikan apa yang mereka katakan tentang Dharma, dengan tidak hormat dan tanpa pertimbangan mempertanyakan para bhikkhu senior yang sangat dihormati tersebut.

Pada waktu itu, Yang Mulia Mahākoṭṭhita berada di antara perkumpulan itu. Kemudian Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada bhikkhu Citta Hatthisāriputta:

Teman yang mulia, engkau seharusnya mengetahui bahwa ketika banyak bhikkhu sedang membicarakan tentang Dharma dan disiplin, ajaran Sang Buddha, engkau seharusnya tidak menyela. Hanya jika para bhikkhu telah menyelesaikan apa yang harus mereka katakan, engkau dapat berbicara. Engkau seharusnya bersikap hormat dan penuh pertimbangan dalam mempertanyakan para bhikkhu senior yang sangat dihormati. Janganlah tidak hormat atau tanpa pertimbangan dalam mempertanyakan para bhikkhu senior yang sangat dihormati.

Pada waktu itu semua teman dekat bhikkhu Citta Hatthisāriputta berada di antara perkumpulan itu. Kemudian teman-teman dekat bhikkhu Citta Hatthisāriputta berkata kepada Yang Mulia Mahākoṭṭhita:

Yang Mulia Mahākoṭṭhita, engkau tidak seharusnya dengan keras menegur bhikkhu Citta Hatthisāriputta. Mengapakah demikian? Bhikkhu Citta Hatthisāriputta adalah baik dan terpelajar. Ia mungkin tampak malas tetapi ia tidak angkuh. Yang Mulia Mahākoṭṭhita, bhikkhu Citta Hatthisāriputta dapat membantuk para bhikkhu lain dari waktu ke waktu [dalam diskusi mereka].

Atas hal ini Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada teman-teman dekat bhikkhu Citta Hatthisāriputta:

Teman-teman yang mulia, seseorang yang tidak memiliki pengetahuan atas pikiran orang lain tidak dapat dengan sembarangan menyatakan siapakah yang benar atau salah. Mengapakah demikian? Mungkin terdapat seseorang yang, ketika ia berada di hadapan Sang Bhagavā dan teman-teman senior yang sangat dihormati dalam kehidupan suci, bertindak dengan kerendahan hati, dengan perilaku yang menyenangkan dan menimbulkan rasa hormat, yang terkekang dengan baik dan terkendali dengan baik. Namun pada waktu belakangan, ketika ia pergi dari hadapan Sang Bhagavā dan teman-teman senior yang sangat dihormati dalam kehidupan suci, ia tidak lagi bertindak dengan kerendahan hati dan dengan perilaku yang menyenangkan dan menimbulkan rasa hormat.

Ia banyak bergaul dengan para umat awam,<112> membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan.

Teman-teman yang mulia, [seorang bhikkhu demikian] bagaikan seekor sapi jantan yang memasuki lahan orang lain. Penjaga lahan menangkap dan mengikatnya dengan tali atau menempatkannya di dalam kandang. Teman-teman yang mulia, jika seseorang berkata, “Sapi jantan ini tidak akan lagi memasuki lahan orang lain,” apakah itu dikatakan dengan benar?

Mereka menjawab:

Tidak. Mengapakah demikian? Sapi jantan itu mungkin merusak atau melepaskan tali di mana ia diikat, atau mungkin merusak atau keluar dari kandang di mana ia dikurung dan masuk lagi ke lahan orang lain, seperti sebelumnya.

[Mahākoṭṭhita berkata:]

[Dengan cara yang sama,] teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang, ketika berada di hadapan Sang Bhagavā dan teman-teman senior yang sangat dihormati dalam kehidupan suci, bertindak dengan kerendahan hati, dengan perilaku yang menyenangkan dan menimbulkan rasa hormat, yang terkekang dengan baik dan terkendali dengan baik. Namun pada waktu belakangan, ketika ia pergi dari hadapan Sang Bhagavā dan teman-teman senior yang sangat dihormati dalam kehidupan suci, ia tidak lagi bertindak dengan kerendahan hati dan dengan perilaku yang menyenangkan dan menimbulkan rasa hormat. Ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan. Teman-teman yang mulia, ini adalah satu jenis orang.

Selanjutnya, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna pertama. Setelah mencapai jhāna pertama, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut, berkeinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya ketika terjadi hujan lebat dan kolam desa menjadi penuh dengan air. Sebelumnya seseorang dapat melihat [dalam kolam itu] pasir, bebatuan, tumbuhan, kumbang, ikan, kura-kura, kodok, dan semua jenis makhluk yang berdiam dalam air, ketika mereka pergi ke sana kemari, bergerak atau tetap berdiam diri. Setelah itu, ketika [kolam itu] penuh dengan air, ia tidak melihatnya lagi. Teman-teman yang mulia, jika seseorang mengatakan, “Dalam kolam desa ini seseorang tidak akan pernah melihat lagi pasir, bebatuan, tumbuhan, kumbang, ikan, kura-kura, kodok, dan semua jenis makhluk yang berdiam dalam air ketika mereka pergi ke sana kemari, bergerak, atau tetap berdiam diri,” apakah itu dikatakan dengan benar?<113>

Mereka menjawab:

Tidak. Mengapa demikian? Gajah mungkin minum dari kolam itu; kuda, unta, sapi, keledai, babi, rusa, atau kerbau air mungkin minum air darinya. Orang-orang mungkin mengambil air darinya untuk mereka pakai, angin mungkin meniupnya dan matahari mungkin mengeringkannya. Bahkan jika seseorang sebelumnya tidak melihat [dalam kolam itu] pasir, bebatuan, tumbuhan, kumbang, ikan, kura-kura, kodok, dan semua jenis makhluk yang berdiam dalam air, ketika mereka pergi ke sana kemari, bergerak atau tetap berdiam diri, belakangan, ketika air telah berkurang, ia melihatnya lagi, seperti sebelumnya.

[Mahākoṭṭhita berkata:]

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna pertama. Setelah mencapai jhāna pertama, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan. Teman-teman yang mulia, ini adalah satu jenis orang.

Selanjutnya, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna kedua. Setelah mencapai jhāna kedua, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya selama waktu sering turun hujan, semua debu pada persimpangan jalan menjadi berlumpur.<114> Teman-teman yang mulia, jika seseorang mengatakan, “Lumpur pada persimpangan jalan ini tidak akan pernah kering dan tidak akan menjadi debu lagi,” apakah itu dikatakan dengan benar?

Mereka menjawab:

Tidak. Mengapakah demikian? Gajah mungkin berjalan pada persimpangan jalan ini, atau kuda, unta, sapi, keledai, babi, rusa, kerbau air, atau orang-orang mungkin berjalan pada persimpangan jalan ini; angin mungkin meniupnya atau matahari mungkin mengeringkannya. [Ketika] lumpur pada persimpangan jalan itu telah mengering, ia akan menjadi debu lagi.

[Mahākoṭṭhita berkata:]

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna kedua. Setelah mencapai jhāna kedua, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan. Teman-teman yang mulia, ini adalah satu jenis orang.

Selanjutnya, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna ketiga. Setelah mencapai jhāna ketiga, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya sebuah danau [yang disediakan] air dari sebuah mata air gunung, yang jernih dan murni, dengan pantai yang rata, tenang, tanpa gejolak dan tanpa gelombang. Teman-teman yang mulia, jika seseorang berkata, “Danau itu [yang disediakan] air dari sebuah mata air gunung tidak akan pernah lagi bergejolak dan tidak akan [lagi] memiliki gelombang apa pun,” apakah itu dikatakan dengan benar?<115>

Mereka menjawab:

Tidak. Mengapakah demikian? Angin kencang mungkin tiba-tiba datang dari arah timur dan bertiup pada [permukaan] air danau itu, yang membangkitkan gelombang. Dengan cara yang sama, angin kencang mungkin tiba-tiba datang dari arah selatan, dari arah barat, atau dari arah utara dan bertiup pada [permukaan] air danau itu, yang membangkitkan gelombang.

[Mahākoṭṭhita berkata:]

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna ketiga. Setelah mencapai jhāna ketiga, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan. Teman-teman yang mulia, ini adalah satu jenis orang.

Selanjutnya, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna keempat. Setelah mencapai jhāna keempat, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya ketika seorang perumah tangga atau seorang putra perumah tangga makan makanan yang lezat sampai ia kenyang. Sebelumnya ia ingin makan tetapi sekarang ia tidak lagi ingin makan lebih banyak.<116> Teman-teman yang mulia, jika seseorang berkata, “Perumah tangga atau putra perumah tangga itu tidak akan pernah lagi ingin mendapatkan makanan,” apakah itu dikatakan dengan benar?

Mereka menjawab:

Tidak. Mengapakah demikian? Perumah tangga atau putra perumah tangga itu akan menjadi lapar lagi dalam semalam. [Bahkan] jika ia sebelumnya tidak lagi membutuhkan makanan [setelah baru saja makan], belakangan ia akan ingin lagi mendapatkan beberapa makanan.

[Mahākoṭṭhita berkata:]

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai jhāna keempat. Setelah mencapai jhāna keempat, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan. Teman-teman yang mulia, ini adalah satu jenis orang.

Selanjutnya, teman-teman yang mulia, mungkin terdapat seseorang yang mencapai konsentrasi pikiran tanpa tanda (animitta cetosamādhi). Setelah mencapai konsentrasi pikiran tanpa tanda, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan.

Teman-teman yang mulia, seperti halnya ketika dalam sebuah hutan seseorang dapat mendengar suara jangkrik. Jika raja atau para menteri senior raja tinggal semalam dalam hutan itu, akan terdapat suara gajah, kuda, kereta, orang-orang yang berjalan, [terompet dari] kulit kerang, genderang, genderang kecil, genderang samping, tarian, nyanyian, kecapi, [orang-orang yang] minum, dan makan. Suara jangkrik yang sebelumnya dapat didengar tidak lagi terdengar. Teman-teman yang mulia, jika seseorang berkata, “Dalam hutan ini seseorang tidak akan pernah lagi mendengar suara jangkrik,” apakah itu dikatakan dengan benar?

Mereka menjawab:

Tidak. Mengapakah demikian? Setelah tinggal semalam, ketika fajar raja dan para menteri senior raja semuanya akan kembali ke tempat mereka [masing-masing]. Suara-suara yang dapat didengar seseorang dari gajah, kuda, kereta, orang-orang yang berjalan, [terompet dari] kulit kerang, genderang, genderang kecil, genderang samping, tarian, nyanyian, kecapi, [orang-orang yang] makan, dan minum, di mana karenanya seseorang tidak dapat mendengar suara jangkrik, akan lenyap dan ia akan mendengar [jangkrik itu] lagi seperti sebelumnya.

[Mahākoṭṭhita berkata:]

Dengan cara yang sama, teman-teman yang mulia, [mungkin terdapat seseorang yang] mencapai konsentrasi pikiran tanpa tanda. Setelah mencapai konsentrasi pikiran tanpa tanda, ia tetap merasa puas dengan hal itu dan tidak berjuang lebih lanjut dengan keinginan untuk mencapai apa yang belum dicapai, untuk memperoleh apa yang belum diperoleh, untuk merealisasikan apa yang belum direalisasikan. Pada waktu belakangan, ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh. Ketika ia banyak bergaul dengan para umat awam, membuat candaan, angkuh, dan terlibat dalam berbagai jenis pembicaraan yang riuh, nafsu muncul dalam pikirannya. Setelah nafsu muncul dalam pikirannya, jasmani dan batin menjadi penuh nafsu. Jasmani dan batin menjadi penuh nafsu, ia meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan. Teman-teman yang mulia, ini adalah satu jenis orang.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #22 on: 07 October 2020, 08:22:15 PM »

Kemudian, tak lama setelah itu, bhikkhu Citta Hatthisāriputta meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan. Teman-teman dekat bhikkhu Citta Hatthisāriputta, setelah mendengar bahwa bhikkhu Citta Hatthisāriputta telah meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan, mendekati Yang Mulia Mahākoṭṭhita. Setelah mendekatinya, mereka berkata:

Yang Mulia Mahākoṭṭhita, apakah engkau memiliki pengetahuan atas pikiran bhikkhu Citta Hatthisāriputta atau apakah engkau mengetahuinya dengan suatu cara lain? Mengapakah demikian? Bhikkhu Citta Hatthisāriputta baru saja meninggalkan aturan-aturan moralitas dan berhenti [berlatih] sang jalan.

Yang Mulia Mahākoṭṭhita berkata kepada teman-teman dekat [bhikkhu Citta Hatthisāriputta]:

Teman-teman yang mulia, pasti terjadi seperti ini. Mengapakah demikian? Karena [Citta Hatthisāriputta] tidak mengetahui [hal-hal] sebagaimana adanya, tidak melihat [hal-hal] sebagaimana adanya. Mengapakah demikian? Ini hanya karena tidak mengetahui hal-hal sebagaimana adanya, tidak melihat [hal-hal] sebagaimana adanya.<117>

Demikianlah yang diucapkan Yang Mulia Mahākoṭṭhita. Setelah mendengar apa yang dikatakan Yang Mulia Mahākoṭṭhita, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #23 on: 07 October 2020, 08:25:08 PM »
83. Kotbah tentang Rasa Kantuk Seorang Sesepuh yang Sangat Dihormati<118>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha, yang sedang berdiam di antara orang-orang Bhagga, sedang tinggal di Lembah Buaya di Taman Rusa di Hutan Bhesakaḷā.

Pada waktu itu Yang Mulia Mahāmoggallāna, yang sedang berdiam di negeri Magadha, sedang tinggal di desa Kallavāḷamutta. Kemudian Yang Mulia Mahāmoggallāna, ketika duduk bermeditasi di tempat yang terpencil dan sunyi, merasa mengantuk. Sang Bhagavā menyadari dari kejauhan bahwa Yang Mulia Mahāmoggallāna, yang sedang duduk bermeditasi di tempat yang terpencil dan sunyi, merasa mengantuk. Setelah menyadari hal ini, Sang Bhagavā memasuki konsentrasi yang sesuai sedemikian sehingga, dengan konsentrasi yang sesuai ini, [semudah dan secepat] seperti seseorang yang kuat dapat membengkokkan atau meluruskan lengannya, beliau lenyap dari Taman Rusa di Hutan Bhesakaḷā di Lembah Buaya di antara orang-orang Bhagga dan muncul di hadapan Yang Mulia Mahāmoggallāna di desa Kallavāḷamutta di negeri Magadha.

Kemudian Sang Bhagavā bangkit dari [keadaan] konsentrasi dan berkata, “Mahāmoggallāna, engkau terjebak dalam rasa kantuk. Mahāmoggallāna, engkau terjebak dalam rasa kantuk.”

Yang Mulia Mahāmoggallāna berkata kepada Sang Bhagavā, “Ya, benar, Sang Bhagavā.”

Sang Buddha berkata lebih lanjut:

Mahāmoggallāna, apa pun [meditasi] tanda (nimitta) yang membuatmu terjebak dalam rasa kantuk, janganlah mengembangkan tanda itu, janganlah berulang-ulang melakukannya. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya mengulangi secara penuh ajaran-ajaran seperti yang telah sebelumnya engkau dengar dan ingat. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya menjelaskan secara penuh kepada orang lain ajaran-ajaran seperti yang telah sebelumnya engkau dengar dan ingat. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya mempertimbangkan dan merenungkan dalam pikiranmu tentang ajaran-ajaran seperti yang telah sebelumnya engkau dengar dan ingat. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.<119>

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya menarik cuping telinga dengan kedua tangan. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya membasuh wajah dan matamu dengan air dingin dan memercikkan tubuhmu dengannya. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya pergi ke luar tempat kediaman, melihat keempat arah dan menatap konstelasi-konstelasi. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.<120>

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya pergi ke luar tempat kediaman, berjalan di depannya, dan berlatih meditasi berjalan di ruang terbuka, dengan indria-indriamu terjaga dan pikiran dengan tenang berkembang di dalamnya, dengan menyadari apa yang berada di depan dan di belakang. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya meninggalkan meditasi berjalan, berjalan menuju akhir jalur meditasi, membentangkan alas dudukmu, dan duduk bersila. Dengan cara ini rasa kantuk dapat diatasi.<121>

Jika karena suatu alasan rasa kantukmu tidak teratasi, Mahāmoggallāna, engkau seharusnya kembali ke tempat kediaman, melipat jubah luarmu menjadi empat dan membentangkannya di atas tempat tidur, melipat jubah dalam untuk digunakan sebagai bantal, dan berbaring pada sisi kanan, satu kaki di atas kaki lainnya, dengan membangkitkan persepsi cahaya dalam pikiran, mengembangkan perhatian benar dan pemahaman benar, terus-menerus dengan pikiran untuk bangun kembali.<122>

Mahāmoggallāna, janganlah memanjakan diri dalam berbaring dengan nyaman di tempat tidur. Janganlah menginginkan perolehan. Janganlah melekat pada kemasyhuran. Mengapakah demikian? Aku akan mengatakan kepadamu semua kondisi di mana seseorang tidak seharusnya berhubungan dengannya dan aku akan mengatakan kepadamu [kondisi-kondisi di mana] seseorang seharusnya berhubungan dengannya.<123> Mahāmoggallāna, apakah kondisi-kondisi yang kukatakan seseorang tidak seharusnya berhubungan dengannya? Mahāmoggallāna, berhubungan dekat dengan kondisi-kondisi cara duniawi yang biasa: aku katakan, bahwa seseorang tidak seharusnya berhubungan dengan kondisi-kondisi demikian. Mahāmoggallāna, dengan berhubungan dekat dengan kondisi-kondisi cara duniawi biasa, akan terdapat banyak pembicaraan. Jika terdapat banyak pembicaraan, terdapat kegelisahan. Jika terdapat kegelisahan, pikiran tidak tenang. Mahāmoggallāna, jika pikiran tidak tenang, maka pikiran kehilangan konsentrasi. Karena alasan ini, Mahāmoggallāna, aku katakan bahwa seseorang tidak seharusnya berhubungan dengan hal-hal ini.

Mahāmoggallāna, apakah kondisi-kondisi yang kukatakan seseorang seharusnya berhubungan dengannya? Mahāmoggallāna, tempat-tempat terpencil: aku katakan bahwa seseorang seharusnya berhubungan dengan kondisi-kondisi ini. Di bawah pepohonan dalam hutan gunung, tempat-tempat kosong dan tenang, tebing tinggi dan gua-gua berbatu tanpa kebisingan, tempat-tempat jauh yang bebas dari kejahatan, bebas dari orang-orang, tempat-tempat yang kondusif untuk meditasi: Mahāmoggallāna, aku katakan bahwa seseorang seharusnya berhubungan dengan kondisi-kondisi ini.

Mahāmoggallāna, jika engkau memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan, engkau seharusnya melakukan demikian [dengan pikiran] yang kecewa dengan perolehan, kecewa dengan persembahan dan penghormatan. Hanya ketika pikiranmu telah menjadi kecewa dengan perolehan, persembahan, dan penghormatan engkau seharusnya memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan. Mahāmoggallāna, janganlah memasuki desa untuk mengumpulkan dana makanan dengan pikiran yang bangga. Mengapakah demikian? Para keluarga perumah tangga sibuk dengan urusan-urusan rumah tangga dan ketika seorang bhikkhu datang mengumpulkan dana makanan, seorang perumah tangga mungkin tidak memperhatikannya. Kemudian bhikkhu itu berpikir, “Siapakah yang merusak [hubungan]ku dengan perumah tangga dalam rumah ini? Mengapakah demikian? Ketika aku memasuki rumah sang perumah tangga, perumah tangga itu tidak memperhatikan[ku].” Karena hal ini kesedihan muncul; karena kesedihan, terdapat kegelisahan; karena kegelisahan, pikiran tidak tenang; dan karena pikiran tidak tenang, pikiran kehilangan konsentrasi.

Mahāmoggallāna, ketika engkau mengajarkan Dharma, janganlah berbicara dengan cara yang menyebabkan perselisihan. Jika terdapat perselisihan, akan terdapat banyak pembicaraan. Karena banyak pembicaraan, kegelisahan muncul; karena kegelisahan, pikiran tidak tenang; dan karena pikiran tidak tenang, pikiran kehilangan konsentrasi.

Mahāmoggallāna, ketika engkau mengajarkan Dharma, janganlah bersifat memaksa tetapi ajarkan Dharma [tanpa gentar] bagaikan seekor singa. Mahāmoggallāna, ketika engkau mengajarkan Dharma, ajarkanlah dengan rendah hati; meninggalkan paksaan, melenyapkan paksaan, menghancurkan paksaan. Ajarkanlah Dharma tanpa memaksa, ajarkanlah Dharma [tanpa gentar] bagaikan seekor singa. Mahāmoggallāna, engkau seharusnya berlatih seperti ini.

Pada waktu itu Yang Mulia Mahāmoggallāna bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya untuk memperlihatkan satu bahu, merentangkan telapak tangannya yang disatukan terhadap Sang Buddha, dan berkata, “Sang Bhagavā, bagaimanakah seorang bhikkhu mencapai yang tertinggi, kemurnian tertinggi, kehidupan suci tertinggi, penyelesaian tertinggi kehidupan suci?”

Sang Bhagavā berkata:<124>

Mahāmoggallāna, jika seorang bhikkhu mengalami perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, atau perasaan netral, ia merenungkan perasaan ini sebagai tidak kekal, ia merenungkan muncul dan lenyapnya, penghancurannya, pemudarannya, pelenyapannya, dan pelepasannya. Setelah merenungkan perasaan sebagai tidak kekal, setelah merenungkan muncul dan lenyapnya, penghancurannya, pemudarannya, pelenyapannya, dan pelepasannya, ia tidak melekat pada dunia ini; karena tidak melekat pada dunia, ia tidak lelah; karena tidak lelah, ia mencapai nirvana akhir dan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan. Tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Mahāmoggallāna, dengan cara ini seorang bhikkhu mencapai yang tertinggi, kemurnian tertinggi, kehidupan suci tertinggi, penyelesaian tertinggi kehidupan suci.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Mahāmoggallāna bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #24 on: 07 October 2020, 08:27:08 PM »
84. Kotbah tentang Tanpa Duri<125>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Vesālī, di Aula Beratap Lancip di samping Kolam Monyet. Para sesepuh senior yang terkemuka dan baik, para siswa agung, seperti Cāla, Upacāla, Bhadda, Ariṭṭha, Upariṭṭha, dan Yasa yang sangat dipuji,<126> para sesepuh senior yang terkemuka dan baik, dan para siswa agung demikian juga sedang berdiam di Aula Beratap Lancip di samping Kolam Monyet. Mereka semua sedang tinggal di dekat Sang Buddha, di sebelah gubuk daun beliau.

Orang-orang Licchavi dari Vesālī mendengar bahwa Sang Bhagavā sedang berdiam di Vesālī di Aula Beratap Lancip di samping Kolam Monyet. Mereka berpikir, “Biarlah kita, dengan kekuatan besar dan keagungan kerajaan kita, dengan nyaring bernyanyi, pergi ke luar Vesālī dan mendekati Sang Buddha untuk memberikan penghormatan.”

Kemudian, para sesepuh senior yang terkemuka dan baik, para siswa agung itu, mendengar bahwa orang-orang Licchavi, dengan kekuatan besar dan keagungan kerajaan mereka, dan dengan nyaring bernyanyi, sedang keluar dari Vesālī untuk mendekati Sang Buddha dan memberikan penghormatan. Mereka berpikir, “Kebisingan adalah duri bagi jhāna. Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kebisingan adalah duri bagi jhāna. Marilah kita sebaiknya pergi ke Hutan Gosiṅga. Dengan berdiam di sana kita tidak akan terganggu, dan akan tinggal terasing dan sendirian untuk duduk bermeditasi.” Para sesepuh senior yang terkemuka dan baik, para siswa agung itu, pergi ke Hutan Gosiṅga. Di sana, tidak terganggu, mereka tinggal terasing dan sendirian untuk duduk bermeditasi.

Pada waktu itu orang-orang Licchavi dari Vesālī, dengan kekuatan besar dan keagungan kerajaan mereka, dengan nyaring bernyanyi, pergi ke luar Vesālī dan mendekati Sang Buddha untuk memberikan penghormatan.<127> Beberapa orang Licchavi dari Vesālī memberikan penghormatan dengan kepala mereka pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi; beberapa bertukar salam dengan Sang Buddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi; beberapa merentangkan tangan mereka dengan telapak tangan yang disatukan terhadap Sang Buddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi; dan beberapa, yang melihat Sang Buddha dari jauh, tetap berdiam diri, dan duduk.

Kemudian, ketika sejumlah besar orang Licchavi dari Vesālī semuanya telah menenangkan diri, Sang Bhagavā mengajarkan mereka Dharma. Beliau mendorong dan menginspirasi mereka, dengan sepenuhnya menggembirakan mereka, mengajarkan Dharma dengan tak terhitung cara terampil. Setelah mendorong dan menginspirasi mereka, dan sepenuhnya menggembirakan mereka, beliau berdiam diri. Kemudian sejumlah besar orang Licchavi dari Vesālī, setelah diajarkan Dharma oleh Sang Bhagavā, setelah didorong, terinspirasi, dan sepenuhnya bergembira, bangkit dari tempat duduk mereka, memberikan penghormatan dengan kepala mereka pada kaki Sang Buddha, mengelilingi beliau tiga kali, dan pergi.

Segera setelah orang-orang Licchavi dari Vesālī pergi, Sang Bhagavā bertanya kepada para bhikkhu, “Ke manakah para sesepuh senior, para siswa agung, pergi?”

Para bhikkhu menjawab:

Sang Bhagavā, para sesepuh senior, para siswa agung, mendengar bahwa orang-orang Licchavi dari Vesālī, dengan kekuatan besar dan keagungan kerajaan mereka, dengan nyaring bernyanyi, sedang keluar dari Vesālī untuk mendekati Sang Buddha dan memberikan penghormatan. Mereka berpikir, “Kebisingan adalah duri bagi jhāna. Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kebisingan adalah duri bagi jhāna. Marilah kita sebaiknya pergi ke Hutan Gosiṅga. Dengan berdiam di sana kita tidak akan terganggu, dan akan tinggal terasing dan sendiri untuk duduk bermeditasi.” Sang Bhagavā, para sesepuh senior, para siswa agung itu, semuanya pergi ke sana bersama-sama.

Ketika mendengar hal ini, Sang Bhagavā memuji mereka, dengan berkata:

Bagus, bagus bahwa para sesepuh senior, para siswa agung, seharusnya berkata seperti ini: “Kebisingan adalah duri bagi jhāna. Sang Bhagavā telah menyatakan bahwa kebisingan adalah duri bagi jhāna.” Mengapakah demikian? Aku memang benar berkata seperti ini, [Kebisingan sesungguhnya adalah] duri bagi jhāna.

Bagi seseorang yang menjaga moralitas, pelanggaran moralitas adalah duri; bagi seseorang yang menjaga indria-indria, hiasan jasmani adalah duri; bagi seseorang yang mengembangkan [persepsi] kejijikan, penampakan kemurnian adalah duri; bagi seseorang yang mengembangkan cinta kasih, kemarahan adalah duri; bagi seseorang yang menghindari diri dari minuman keras, meminum minuman keras adalah duri; bagi seseorang yang menjalankan kehidupan selibat, melihat pada bentuk wanita adalah duri; bagi seseorang yang memasuki jhāna pertama, kebisingan adalah duri; bagi seseorang yang memasuki jhāna kedua, kesadaran [terarah] dan perenungan [berkelanjutan] (vitakka-vicāra) adalah duri; bagi seseorang yang memasuki jhāna ketiga, sukacita adalah duri; bagi seseorang yang memasuki jhāna keempat, napas masuk dan napas keluar adalah duri; bagi seseorang yang memasuki landasan ruang [tanpa batas], persepsi bentuk adalah duri; bagi seseorang yang memasuki landasan kesadaran [tanpa batas], persepsi ruang [tanpa batas] adalah duri; bagi seseorang yang memasuki landasan kekosongan, persepsi landasan kesadaran [tanpa batas] adalah duri; bagi seseorang yang memasuki landasan [bukan-persepsi-juga-bukan-]tanpa-persepsi, persepsi landasan kekosongan adalah duri; bagi seseorang yang memasuki konsentrasi dengan pelenyapan persepsi dan perasaan, persepsi dan perasaan adalah duri.<128>

Selanjutnya, terdapat tiga duri: duri nafsu, duri kemarahan, dan duri ketidaktahuan. Seorang arahant, yang telah melenyapkan noda-noda telah memotong tiga duri ini, mengetahui bahwa mereka telah mencabut sampai ke akarnya dan menghancurkannya sehingga mereka tidak akan muncul kembali. Yaitu, seorang arahant adalah tanpa duri; seorang arahant terpisahkan dari duri; [demikianlah] seorang arahant adalah tanpa duri dan terpisahkan dari duri.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #25 on: 07 October 2020, 08:29:42 PM »
85. Kotbah tentang Manusia Sejati<129>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu, “Aku sekarang akan mengajarkan kalian sifat seorang manusia sejati dan sifat seorang bukan manusia sejati. Dengarkanlah dengan seksama, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik!” Kemudian para bhikkhu mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Buddha berkata:

Apakah sifat seorang bukan manusia sejati? Seumpamanya bahwa seseorang tertentu yang telah meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan berasal dari keluarga terpandang, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia berasal dari keluarga terpandang, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<130>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Bukan karena aku berasal dari keluarga terpandang sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang yang telah meninggalkan keduniawian untuk berlatih sang jalan bukan berasal dari keluarga terpandang [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji diri sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu adalah rupawan dan menyenangkan, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena rupawan dan menyenangkan, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<131>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Bukan karena aku rupawan dan menyenangkan sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang yang tidak rupawan dan menyenangkan [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu adalah fasih dan berkemampuan dalam berbicara, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia fasih dan berkemampuan dalam berbicara, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati. <132>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Adalah bukan karena aku fasih dan berkemampuan dalam berbicara sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang tidak fasih dan berkemampuan dalam berbicara, [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu adalah seorang sesepuh, yang dikenal raja, diakui oleh orang-orang, dan berjasa besar, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia seorang sesepuh, yang dikenal raja, diakui oleh orang-orang, dan berjasa besar, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<133>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Adalah bukan karena aku seorang sesepuh, yang dikenal raja, diakui oleh orang-orang, dan berjasa besar, sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang bukan seorang sesepuh, yang tidak dikenal raja, tidak diakui oleh orang-orang, dan tidak berjasa besar [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu mengulangi kotbah-kotbah, telah mengingat disiplin, dan terpelajar dalam Abhidharma, berpengetahuan dalam Āgama-Āgama, dan sangat terpelajar dalam kumpulan-kumpulan kotbah, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia berpengetahuan dalam Āgama-Āgama dan sangat terpelajar dalam kumpulan-kumpulan kotbah, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<134>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Adalah bukan karena aku berpengetahuan dalam Āgama-Āgama dan sangat terpelajar dalam kumpulan-kumpulan kotbah sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang tidak berpengetahuan dalam Āgama-Āgama dan tidak sangat terpelajar dalam kumpulan-kumpulan kotbah [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu memakai jubah usang, ... membatasi [dirinya sendiri dengan] tiga helai jubah, ... memiliki jubah yang sederhana, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia memiliki jubah yang sederhana ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<135>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Adalah bukan karena aku memiliki jubah yang sederhana sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang tidak memiliki jubah yang sederhana [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu selalu menjalankan latihan mengumpulkan dana makanan, secara terus-menerus menerima hanya lima takar nasi, dan mengumpulkan makanan tidak lebih dari tujuh rumah, ... makan hanya sekali [tiap hari], ... menghindari diri dari minuman kental setelah tengah hari, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia menghindari diri dari minuman kental setelah tengah hari, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<136>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Adalah bukan karena aku menghindari diri dari minuman kental setelah tengah hari sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang tidak menghindari diri dari minuman kental setelah tengah hari [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu berdiam di tempat terpencil, di bawah sebatang pohon di dalam hutan gunung, atau di tebing tinggi, atau di luar di tempat terbuka, atau di tanah pekuburan, dan bahwa ia mampu mengetahui waktu [yang tepat] [untuk berdiam di tempat-tempat demikian], sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia mampu mengetahui waktu [yang tepat] [untuk berdiam di tempat-tempat demikian], ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<137>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Adalah bukan karena aku mampu mengetahui waktu [yang tepat] [untuk berdiam di tempat-tempat demikian] sehingga aku melenyapkan nafsu indria, kemarahan, dan delusi. Seumpamanya bahwa seseorang tidak mampu mengetahui waktu [yang tepat] [untuk berdiam di tempat-tempat demikian] [tetapi] ia berlatih Dharma sesuai dengan Dharma, mengikuti Dharma, mematuhi arah Dharma, dan maju sejalan dengan Dharma. Karena hal ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang tertentu mencapai jhāna pertama, sedangkan orang lain tidak seperti itu. Karena ia telah mencapai jhāna pertama, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Sang Bhagavā telah mengatakan bahwa jhāna pertama adalah yang berjenis tak terukur; [namun,] jika seseorang mengukurnya, itu akan menjadi kemelekatan.<138> Karena [ketiadaan kemelekatan] ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”
Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Selanjutnya, seumpamanya bahwa seseorang orang tertentu mencapai jhāna kedua, ... ketiga, ... keempat, ... mencapai landasan ruang [tanpa batas], ... landasan kesadaran [tanpa batas], ... landasan kekosongan, ... landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, sementara itu orang lain tidak seperti itu. Karena ia telah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi, ia memuji dirinya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ini adalah sifat seorang bukan manusia sejati.<139>

Seseorang yang memiliki sifat seorang manusia sejati merenungkan seperti ini: “Sang Bhagavā telah mengatakan bahwa landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi adalah yang berjenis tak terukur; [namun,] jika seseorang mengukurnya, itu akan menjadi kemelekatan. Karena [ketiadaan kemelekatan] ini, ia [seharusnya] menerima sokongan dan penghormatan.”

Jika, berkembang dengan cara ini, ia mencapai Dharma sejati, tanpa memuji dirinya sendiri atau memandang rendah orang lain, maka ini adalah sifat seorang manusia sejati.

Para bhikkhu, ini adalah apa yang dimaksud dengan sifat seorang manusia sejati dan sifat seorang bukan manusia sejati. Kalian seharusnya mengetahui sifat seorang manusia sejati dan sifat seorang bukan manusia sejati. Setelah mengetahui sifat seorang manusia sejati dan sifat seorang bukan manusia sejati, meninggalkan sifat seorang bukan manusia sejati dan berlatih dalam sifat seorang manusia sejati. Kalian seharusnya berlatih seperti ini.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, para bhikkhu bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #26 on: 07 October 2020, 08:43:03 PM »
86. Kotbah yang Menjelaskan Landasan-Landasan<140>

Demikianlah telah kudengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī, di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.

Pada waktu itu Yang Mulia Ānanda bangkit dari duduk bermeditasi pada sore hari dan, dengan membawa sekumpulan bhikkhu muda, mendekati Sang Buddha. Ia memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha dan mengundurkan diri pada satu sisi. Para bhikkhu muda itu juga memberikan penghormatan pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi. Yang Mulia Ānanda berkata, “Sang Bhagavā, bagaimanakah aku seharusnya mengajar para bhikkhu muda ini? Bagaimanakah aku seharusnya menasihati mereka? Bagaimanakah aku seharusnya menjelaskan Dharma kepada mereka?”

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan kepada para bhikkhu muda ini landasan-landasan (āyatana), engkau seharusnya mengajarkan mereka landasan-landasan. Jika engkau menjelaskan kepada para bhikkhu muda ini landasan-landasan, jika engkau mengajarkan mereka landasan-landasan, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang kehidupan mereka.

Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannnya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:
Sang Bhagavā, sekarang adalah waktu yang tepat. Sang Sugata, sekarang adalah waktu yang tepat. Jika Sang Bhagavā akan menjelaskan kepada para bhikkhu muda landasan-landasan, mengajarkan mereka landasan-landasan, maka aku dan para bhikkhu muda, setelah mendengarnya dari Sang Bhagavā, akan mengingatnya dengan baik.

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik! Aku akan menjelaskannya secara lengkap kepadamu dan para bhikkhu muda.” Yang Mulia Ānanda dan yang lainnya mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati: kelompok bentuk yang dilekati, ... perasaan, ... persepsi, ... bentukan, dan kelompok kesadaran yang dilekati. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan lima kelompok unsur kehidupan yang dilekati ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam landasan indria internal: landasan indria mata, ... telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, dan landasan indria pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam landasan indria internal ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam landasan indria internal ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam landasan indria eksternal: landasan indria bentuk, suara, bebauan, rasa, sentuhan, dan landasan indria objek pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam landasan indria eksternal ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam landasan indria eksternal ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam jenis kesadaran: kesadaran mata, telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, ... dan kesadaran pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam jenis kesadaran ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam jenis kesadaran ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam jenis kontak: kontak [yang berhubungan dengan] mata, ... telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, dan kontak [yang berhubungan dengan] pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam jenis kontak ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam jenis kontak ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam jenis perasaan: perasaan [yang berhubungan dengan] mata, ... telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, dan perasaan [yang berhubungan dengan] pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam jenis perasaan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam jenis perasaan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam jenis persepsi: persepsi [yang berhubungan dengan] mata, ... telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, dan persepsi [yang berhubungan dengan] pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam jenis persepsi ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam jenis persepsi ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam jenis kehendak: kehendak [yang berhubungan dengan] mata, ... telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, dan kehendak [yang berhubungan dengan] pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam jenis kehendak ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam jenis kehendak ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam jenis ketagihan: ketagihan [yang berhubungan dengan] mata, ... telinga, ... hidung, ... lidah, ... badan, dan ketagihan [yang berhubungan dengan] pikiran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam jenis ketagihan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam jenis ketagihan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu enam unsur: unsur tanah, ... air, ... api, ... udara, ... ruang, dan unsur kesadaran. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan enam unsur ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan enam unsur ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu kemunculan bergantungan dan hal-hal yang muncul bergantungan. Dengan adanya ini, itu ada; dengan tidak adanya ini, itu tidak ada. Dengan munculnya ini, itu muncul; dengan lenyapnya ini, itu lenyap. Dikondisikan oleh ketidaktahuan terdapat bentukan, dikondisikan oleh bentukan terdapat kesadaran, dikondisikan oleh kesadaran terdapat nama-dan-bentuk, dikondisikan oleh nama-dan-bentuk terdapat enam landasan indria, dikondisikan oleh enam landasan indria terdapat kontak, dikondisikan oleh kontak terdapat perasaan, dikondisikan oleh perasaan terdapat ketagihan, dikondisikan oleh ketagihan terdapat kemelekatan, dikondisikan kemelekatan terdapat penjelmaan, dikondisikan oleh penjelmaan terdapat kelahiran, dikondisikan oleh kelahiran terdapat usia tua dan kematian.
Dengan lenyapnya ketidaktahuan, bentukan lenyap; dengan lenyapnya bentukan, kesadaran lenyap; dengan lenyapnya kesadaran, nama-dan-bentuk lenyap; dengan lenyapnya nama-dan-bentuk, enam landasan indria lenyap; dengan lenyapnya enam landasan indria, kontak lenyap; dengan lenyapnya kontak, perasaan lenyap; dengan lenyapnya perasaan, ketagihan lenyap; dengan lenyapnya ketagihan, kemelekatan lenyap; dengan lenyapnya kemelekatan, penjelmaan lenyap; dengan lenyapnya penjelmaan, kelahiran lenyap; dengan lenyapnya kelahiran, usia tua dan kematian lenyap.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan kemunculan bergantungan dan hal-hal yang muncul bergantungan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan kemunculan bergantungan dan hal-hal yang muncul bergantungan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat penegakan perhatian: merenungkan jasmani sebagai jasmani, merenungkan perasaan, ... keadaan pikiran, ... dharma-dharma sebagai dharma-dharma. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat penegakan perhatian ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat penegakan perhatian ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat usaha benar: Seorang bhikkhu membangkitkan ketekunan, mengerahkan usaha, mengembangkan semangat, dan memunculkan upaya pikiran untuk melenyapkan keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat yang telah muncul. Ia membangkitkan ketekunan, mengerahkan usaha, mengembangkan semangat, dan memunculkan upaya pikiran untuk tidak memunculkan keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat yang belum muncul. Ia membangkitkan ketekunan, mengerahkan usaha, mengembangkan semangat, dan memunculkan upaya pikiran untuk memunculkan keadaaan-keadaan bermanfaat yang belum muncul. Ia membangkitkan ketekunan, mengerahkan usaha, mengembangkan usaha, dan memunculkan upaya pikiran untuk mempertahankan keadaan-keadaan bermanfaat yang telah muncul, untuk tidak melupakannya, untuk tidak mundur, untuk peningkatannya, untuk berulang-ulang melakukannya, untuk pemenuhannya.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat usaha benar ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat usaha benar ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat landasan kekuatan batin: Seorang bhikkhu mengembangkan landasan kekuatan batin dengan mencapai konsentrasi melalui ketekunan yang disertai dengan bentukan berusaha, dengan bergantung pada kebosanan, dengan bergantung pada keterasingan, dengan bergantung pada lenyapnya, tidak berharap pada apa pun.

Dengan cara yang sama, ... konsentrasi melalui usaha, ... konsentrasi melalui pikiran, ....

[Seorang bhikkhu] mengembangkan landasan kekuatan batin dengan mencapai konsentrasi melalui penyelidikan yang disertai bentukan berusaha, dengan bergantung pada kebosanan, dengan bergantung pada keterasingan, dengan bergantung pada lenyapnya, tidak berharap pada apa pun.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat landasan kekuatan batin ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat landasan kekuatan batin ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat jhāna: Terasing dari keinginan indria, terasing dari keadaan-keadaan jahat dan tidak bermanfaat, seorang bhikkhu, ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai jhāna keempat. Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat jhāna ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat jhāna ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu Empat Kebenaran Mulia: kebenaran mulia tentang dukkha, kebenaran mulia tentang munculnya, kebenaran mulia tentang lenyapnya, kebenaran mulia tentang jalan menuju lenyapnya.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan Empat Kebenaran Mulia ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan Empat Kebenaran Mulia ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat persepsi: Seorang bhikkhu memiliki persepsi yang terbatas, persepsi yang luhur, persepsi yang tak terukur, atau persepsi kekosongan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat persepsi ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat persepsi ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat yang tak terukur: Dengan pikiran yang dipenuhi dengan cinta kasih, seorang bhikkhu berdiam meliputi satu arah demikian juga arah kedua, ketiga, dan keempat, dan juga empat arah di antaranya, atas, dan bawah, semua di sekelilingnya, di mana pun. Dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan berkembang dengan baik. Dengan cara yang sama, belas kasih, ... kegembiraan empatik, ... keseimbangan. Bebas dari belenggu-belenggu atau kebencian, tanpa permusuhan atau perselisihan, ia berdiam meliputi seluruh dunia [dengan pikiran] yang tidak terbatas, luhur, tak terukur, dan dikembangkan dengan baik.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat yang tak terukur ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat yang tak terukur ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat [pencapaian] tanpa bentuk: Dengan sepenuhnya melampaui persepsi bentuk, seorang bhikkhu, ... sampai dengan ... berdiam setelah mencapai landasan bukan-persepsi-juga-bukan-tanpa-persepsi.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat [pencapaian] tanpa bentuk ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat [pencapaian] tanpa bentuk ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat tradisi mulia (ariyavaṃsa): Seorang bhikkhu atau bhikkhuni tahu merasa puas dengan jubah yang kasar dan sederhana dan tidak memenuhi pikirannya dengan pencarian jubah. Jika mereka tidak menerima jubah mereka tidak khawatir, tidak meratap, tidak memukul dada mereka, dan tidak kebingungan. Jika mereka menerima jubah, mereka tidak terkotori, tidak terikat, tidak diliputi nafsu, tidak tamak, tidak terpengaruh, dan tidak memikirkannya. Mereka menggunakan jubah dengan melihat bahaya di dalamnya dan mengetahui jalan keluar darinya. Jika mereka tidak malas sehubungan dengan manfaat-manfaat latihan [menggunakan jubah] ini dan memiliki pemahaman benar, mereka disebut seorang bhikkhu atau bhikkhu yang dengan benar berkembang dalam tradisi mulia yang kuno. Dengan cara yang sama, makanan, ... tempat kediaman, ....

Mereka berkeinginan untuk melenyapkan [keadaan-keadaan pikiran yang tidak bermanfaat], bergembira dalam pelenyapannya; mereka ingin mengembangkan [keadaan-keadaan yang bermanfaat], bergembira dalam pengembangannya. Mereka tidak memuji diri mereka sendiri atau memandang rendah orang lain karena memiliki keinginan untuk melenyapkan itu, kegembiraan dalam pelenyapan itu, keinginan untuk mengembangkan itu, kegembiraan dalam pengembangan itu. Jika mereka tidak malas sehubungan dengan manfaat-manfaat latihan [pelenyapan dan pengembangan] ini dan memiliki pemahaman benar, mereka disebut seorang bhikkhu atau bhikkhuni yang dengan benar berkembang dalam tradisi mulia yang kuno.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat tradisi mulia ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat tradisi mulia ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu empat buah seorang pertapa: pemasuk-arus, yang sekali-kembali, yang tidak-kembali, dan buah tertinggi kearahantan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan empat buah seorang pertapa ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan empat buah seorang pertapa mulia ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu lima persepsi yang matang dalam pembebasan: persepsi ketidakkekalan, persepsi dukkha [dalam apa yang adalah] tidak kekal, persepsi bukan-diri [dalam apa yang adalah] dukkha, persepsi ketidakmurniaan dan kejijikan, dan persepsi tidak bergembira dalam seluruh dunia.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan lima persepsi yang matang dalam pembebasan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan lima persepsi yang matang dalam pembebasan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #27 on: 07 October 2020, 08:49:24 PM »
Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu lima landasan pembebasan, di mana karenanya para bhikkhu dan bhikkhuni dapat mencapai pembebasan pikiran yang belum terbebaskan, dapat mencapai penghancuran tanpa sisa noda-noda yang belum dihancurkan, dan dapat mencapai nirvana tiada bandingnya yang belum dicapai. Apakah lima hal itu?

Ānanda, Sang Bhagavā mengajarkan Dharma kepada para bhikkhu dan bhikkhuni, atau para sahabat yang berpengetahuan dalam kehidupan suci mengajarkan Dharma kepada para bhikkhu atau bhikkhuni.

Ānanda, ketika Sang Bhagavā mengajarkan Dharma kepada para bhikkhu atau bhikkhuni atau para sahabat yang berpengetahuan dalam kehidupan suci mengajarkan Dharma kepada para bhikkhu atau bhikkhuni, maka, ketika mendengar Dharma, [para bhikkhu atau bhikkhuni] mengetahui Dharma dan memahami maknanya. Karena mengetahui Dharma dan memahami maknanya, mereka memperoleh kegembiraan. Karena kegembiraan, mereka memperoleh sukacita. Karena sukacita, mereka memperoleh ketenangan jasmani. Karena ketenangan jasmani, mereka merasakan kebahagiaan. Karena merasakan kebahagiaan, mereka memperoleh konsentrasi pikiran.

Ānanda, karena pikiran terkonsentrasi, para bhikkhu dan bhikkhuni dapat melihat sebagaimana adanya, mengetahui sebagaimana adanya. Karena melihat sebagaimana adanya, mengetahui sebagaimana adanya, mereka mencapai kekecewaan. Karena kekecewaan, mereka mencapai kebosanan. Karena kebosanan, mereka mencapai pembebasan. Karena pembebasan, mereka mencapai pengetahuan pembebasan, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ānanda, ini disebut landasan pertama pembebasan, di mana karenanya para bhikkhu dan bhikkhuni dapat mencapai pembebasan pikiran yang belum terbebaskan, dapat mencapai penghancuran tanpa sisa noda-noda yang belum dihancurkan, dan dapat mencapai nirvana tiada bandingnya yang belum dicapai.

Selanjutnya, Ānanda, [mungkin bahwa] Sang Bhagavā tidak mengajarkan Dharma kepada para bhikkhu atau bhikkhuni, maupun para sahabat yang berpengetahuan dalam kehidupan suci tidak mengajarkan Dharma kepada para bhikkhu dan bhikkhuni, tetapi mereka mengulangi secara panjang lebar Dharma yang telah mereka dengar dan berlatih mengulangi sebelumnya ....

Mungkin bahwa mereka tidak mengulangi secara panjang lebar Dharma yang telah mereka dengar dan berlatih mengulangi sebelumnya, tetapi mereka mengajarkan secara panjang lebar kepada orang lain Dharma yang telah mereka dengar dan berlatih mengulangi sebelumnya ....

Mungkin bahwa mereka tidak mengajarkan secara panjang lebar Dharma yang telah mereka dengar dan berlatih mengulangi sebelumnya, tetapi mereka merenungkan dan menganalisis dalam pikiran mereka Dharma yang telah mereka dengar dan berlatih mengulangi sebelumnya ....

Mungkin bahwa mereka tidak merenungkan dan menganalisis dalam pikiran mereka Dharma yang telah mereka dengar dan berlatih mengulangi sebelumnya, tetapi mereka mempertahankan dengan baik tanda-tanda (nimitta) atas konsentrasi.

Ānanda, jika para bhikkhu dan bhikkhuni mempertahankan dengan baik tanda-tanda atas konsentrasi, maka mereka mengetahui Dharma dan memahami maknanya. Karena mengetahui Dharma dan memahami maknanya, mereka memperoleh kegembiraan. Karena kegembiraan, mereka memperoleh sukacita. Karena sukacita, mereka memperoleh ketenangan jasmani. Karena ketenangan jasmani mereka merasakan kebahagiaan. Karena merasakan kebahagiaan, mereka memperoleh konsentrasi pikiran.

Ānanda, karena pikiran terkonsentrasi, para bhikkhu dan bhikkhuni melihat sebagaimana adanya, mengetahui sebagaimana adanya. Karena melihat sebagaimana adanya, mengetahui sebagaimana adanya, mereka mencapai kekecewaan. Karena kekecewaan, mereka mencapai kebosanan. Karena kebosanan, mereka mencapai pembebasan. Karena pembebasan, mereka mencapai pengetahuan pembebasan, dengan mengetahui sebagaimana adanya: “Kelahiran telah diakhiri, kehidupan suci telah dikembangkan, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan mengalami kelangsungan lain.”

Ānanda, ini disebut landasan kelima pembebasan, di mana karenanya seorang bhikkhu atau bhikkhuni dapat mencapai pembebasan pikiran yang belum terbebaskan, dapat mencapai penghancuran tanpa sisa noda-noda yang belum dihancurkan, dan dapat mencapai nirvana tiada bandingnya yang belum dicapai.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan lima landasan pembebasan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan lima landasan pembebasan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu lima indria: indria keyakinan, ... semangat, ... perhatian, ... konsentrasi, dan indria kebijaksanaan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan lima indria ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan lima indria ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu lima kekuatan: kekuatan keyakinan, ... semangat, ... perhatian, ... konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan lima kekuatan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan lima kekuatan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu lima unsur kebebasan (nissaraṇa-dhātu). Apakah lima hal itu? Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan nafsu indria sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan nafsu indria sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada nafsu indria, tidak bergembira dalam nafsu indria, tidak mendekati nafsu indria, tidak ditentukan oleh nafsu indria. Ketika nafsu indria muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan nafsu indria, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap nafsu indria.

Ānanda, seperti halnya sehelai bulu atau sepotong urat ayam, ketika diletakkan dalam api, segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Dengan cara yang sama, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan nafsu indria sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan nafsu indria sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada nafsu indria, tidak bergembira dalam nafsu indria, tidak mendekati nafsu indria, tidak ditentukan oleh nafsu indria. Ketika nafsu indria muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan nafsu indria, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap nafsu indria.

[Siswa mulia itu] merenungkan kebosanan, pikirannya cenderung pada kebosanan, bergembira dalam kebosanan, mendekati kebosanan, bertekad pada kebosanan. Pikirannya bebas dari halangan dan bebas dari kekeruhan. Pikirannya memperoleh kebahagiaan, dapat mencapai kebahagiaan, jauh dari nafsu indria apa pun dan dari noda-noda, kekesalan, dan kekhawatiran yang muncul karena nafsu indria. [Pikirannya] bebas dari nafsu indria, terbebaskan darinya.

Setelah bebas dari nafsu indria, terbebaskan darinya, [siswa mulia itu] tidak lagi mengalami perasaan ini, yaitu perasaan yang muncul bergantung padanya. Demikianlah kebebasan dari nafsu indria. Ānanda, ini disebut unsur pertama kebebasan.

Selanjutnya, Ānanda, seorang siswa mulia merenungkan permusuhan sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan permusuhan sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada permusuhan, tidak bergembira dalam permusuhan, tidak mendekati permusuhan, tidak ditentukan oleh permusuhan. Ketika permusuhan muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan permusuhan, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap permusuhan.

Ānanda, seperti halnya sehelai bulu atau sepotong urat ayam, ketika diletakkan dalam api, segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Dengan cara yang sama, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan permusuhan sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan permusuhan sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada permusuhan, tidak bergembira dalam permusuhan, tidak mendekati permusuhan, tidak ditentukan oleh permusuhan. Ketika permusuhan muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan permusuhan, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap permusuhan.

[Siswa mulia itu] merenungkan ketiadaan permusuhan, pikirannya cenderung pada ketiadaan permusuhan, bergembira dalam ketiadaan permusuhan, mendekati ketiadaan permusuhan, bertekad pada ketiadaan permusuhan. Pikirannya bebas dari halangan dan kekeruhan. Pikirannya memperoleh kebahagiaan, dapat mencapai kebahagiaan, jauh dari permusuhan apa pun dan dari noda-noda, kekesalan, dan kekhawatiran yang muncul karena permusuhan. [Pikirannya] bebas dari permusuhan, terbebaskan darinya.

Setelah bebas dari permusuhan, terbebaskan darinya, [siswa mulia itu] tidak lagi mengalami perasaan ini, yaitu perasaan yang muncul bergantung padanya. Demikianlah kebebasan dari permusuhan. Ānanda, ini disebut unsur kedua kebebasan.

Selanjutnya, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan sifat mencelakai sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan sifat mencelakai sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada sifat mencelakai, tidak bergembira dalam sifat mencelakai, tidak mendekati sifat mencelakai, tidak ditentukan oleh sifat mencelakai. Ketika sifat mencelakai muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan sifat mencelakai, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap sifat mencelakai.

Ānanda, seperti halnya sehelai bulu atau sepotong urat ayam, ketika diletakkan dalam api, segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Dengan cara yang sama, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan sifat mencelakai sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan sifat mencelakai sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada sifat mencelakai, tidak bergembira dalam sifat mencelakai, tidak mendekati sifat mencelakai, tidak ditentukan oleh sifat mencelakai. Ketika sifat mencelakai muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan sifat mencelakai, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap sifat mencelakai.

[Siswa mulia itu] merenungkan ketiadaan sifat mencelakai, pikirannya cenderung pada ketiadaan sifat mencelakai, bergembira dalam ketiadaan sifat mencelakai, mendekati ketiadaan sifat mencelakai, bertekad pada ketiadaan sifat mencelakai. Pikirannya bebas dari halangan dan kekeruhan. Pikirannya memperoleh kebahagiaan, dapat mencapai kebahagiaan, jauh dari sifat mencelakai apa pun dan dari noda-noda, kekesalan, dan kekhawatiran yang muncul karena sifat mencelakai. Pikirannya bebas dari sifat mencelakai, terbebaskan darinya.

Setelah terbebaskan dari sifat mencelakai, terbebaskan darinya, [siswa mulia itu] tidak lagi mengalami perasaan ini, yaitu perasaan yang muncul bergantung padanya. Demikianlah kebebasan dari sifat mencelakai. Ānanda, ini disebut unsur ketiga kebebasan.

Selanjutnya, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan bentuk sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan bentuk sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada bentuk, tidak bergembira dalam bentuk, tidak mendekati bentuk, tidak ditentukan oleh bentuk. Ketika bentuk muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan bentuk, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap bentuk.

Ānanda, seperti halnya sehelai bulu atau sepotong urat ayam, ketika diletakkan dalam api, segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Dengan cara yang sama, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan bentuk sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan bentuk sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada bentuk, tidak bergembira dalam bentuk, tidak mendekati bentuk, tidak ditentukan oleh bentuk. Ketika bentuk muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan bentuk, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap bentuk.

[Siswa mulia itu] merenungkan tanpa bentuk, pikirannya cenderung pada tanpa bentuk, bergembira dalam tanpa bentuk, mendekati tanpa bentuk, bertekad pada tanpa bentuk. Pikirannya bebas dari halangan dan kekeruhan. Pikirannya memperoleh kebahagiaan, dapat mencapai kebahagiaan, jauh dari bentuk apa pun dan dari noda-noda, kekesalan, dan kekhawatiran yang muncul karena bentuk. Pikirannya bebas dari bentuk, terbebaskan darinya.

Setelah terbebaskan dari bentuk, terbebaskan darinya, [siswa mulia itu] tidak lagi mengalami perasaan ini, yaitu perasaan yang muncul bergantung padanya. Demikianlah kebebasan dari bentuk. Ānanda, ini disebut unsur keempat kebebasan.

Selanjutnya, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan [pandangan] identitas (sakkāya) sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan [pandangan] identitas sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada [pandangan] identitas, tidak bergembira dalam [pandangan] identitas, tidak mendekati [pandangan] identitas, tidak ditentukan oleh [pandangan] identitas. Ketika [pandangan] identitas muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan [pandangan] identitas, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap [pandangan] identitas.

Ānanda, seperti halnya sehelai bulu atau sepotong urat ayam, ketika diletakkan dalam api, segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Dengan cara yang sama, Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan [pandangan] identitas sepenuhnya dan dengan baik. Karena telah merenungkan [pandangan] identitas sepenuhnya dan dengan baik, pikirannya tidak cenderung pada [pandangan] identitas, tidak bergembira dalam [pandangan] identitas, tidak mendekati [pandangan] identitas, tidak ditentukan oleh [pandangan] identitas. Ketika [pandangan] identitas muncul dalam pikirannya, ia segera luluh dan mengerut, tidak dapat berkembang lagi. Meninggalkan [pandangan] identitas, [siswa mulia itu] tidak berdiam di dalamnya. Ia muak dan jijik terhadap [pandangan] identitas.

[Siswa mulia itu] merenungkan ketiadaan [pandangan] identitas, pikirannya cenderung pada ketiadaan [pandangan] identitas, bergembira dalam ketiadaan [pandangan] identitas, mendekati ketiadaan [pandangan] identitas, bertekad pada ketiadaan [pandangan] identitas. Pikirannya bebas dari halangan dan kekeruhan. Pikirannya memperoleh kebahagiaan, dapat mencapai kebahagiaan, jauh dari ketiadaan [pandangan] identitas apa pun dan dari noda-noda, kekesalan, dan kekhawatiran yang muncul karena ketiadaan [pandangan] identitas. Pikirannya bebas dari bentuk, terbebaskan darinya.

Setelah bebas dari [pandangan] identitas, terbebaskan darinya, [siswa mulia itu] tidak lagi mengalami perasaan ini, yaitu perasaan yang muncul bergantung padanya. Demikianlah kebebasan dari [pandangan] identitas. Ānanda, ini disebut unsur kelima kebebasan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan lima unsur kebebasan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan lima unsur kebebasan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu tujuh jenis harta: harta keyakinan, ... moralitas, ... rasa takut, ... rasa malu, ... pembelajaran, ... kedermawanan, dan harta kebijaksanaan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan tujuh jenis harta ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan tujuh jenis harta ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu tujuh kekuatan: kekuatan keyakinan, ... semangat, ... rasa takut, ... rasa malu, ... perhatian, ... konsentrasi, dan kekuatan kebijaksanaan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan tujuh kekuatan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan tujuh kekuatan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu tujuh faktor pencerahan: faktor pencerahan perhatian, penyelidikan dharma, ... semangat, ... sukacita, ... ketenangan, ... konsentrasi, dan faktor pencerahan keseimbangan.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan tujuh faktor pencerahan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan tujuh faktor pencerahan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku sebelumnya telah menjelaskan kepadamu jalan mulia berunsur delapan: pandangan benar, kehendak benar, ucapan benar, perbuatan benar, penghidupan benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar – ini adalah delapan hal itu.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan jalan mulia berunsur delapan ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan jalan mulia berunsur delapan ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Kemudian Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata, “Sang Bhagavā, adalah luar biasa, adalah mengagumkan, bagaimana Sang Bhagavā telah menjelaskan landasan-landasan dan mengajarkan landasan-landasan kepada para bhikkhu muda.”

Sang Bhagavā berkata:

Demikianlah, Ānanda, demikianlah. Adalah luar biasa, adalah mengagumkan, bagaimana aku telah menjelaskan landasan-landasan dan mengajarkan landasan-landasan kepada para bhikkhu muda. Ānanda, jika engkau mendengar puncak Dharma dan kejatuhan dari puncak Dharma dari Sang Tathāgata, maka engkau bahkan akan lebih berkeyakinan dan bergembira sehubungan dengan Sang Tathāgata.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #28 on: 07 October 2020, 08:50:31 PM »
Kemudian Yang Mulia Ānanda merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha dan berkata:

Sang Bhagavā, ini adalah waktu yang tepat. Sang Sugata, ini adalah waktu yang tepat. Jika Sang Bhagavā akan menjelaskan dan mengajarkan puncak Dharma dan kejatuhan dari puncak Dharma kepada para bhikkhu muda, para bhikkhu muda itu dan diriku sendiri juga, ketika mendengarnya dari Sang Bhagavā, akan mengingatnya dengan baik.

Sang Bhagavā berkata, “Ānanda, dengarkanlah dengan seksama dan perhatikan dengan baik! Aku akan menjelaskan kepadamu dan para bhikkhu muda puncak Dharma dan kejatuhan dari puncak Dharma.” Yang Mulia Ānanda mendengarkan untuk menerima pengajaran.

Sang Bhagavā berkata:

Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar, dengan pikiran yang benar-benar logis, merenungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, merenungkan dan menganalisis ketidakkekalan, dukkha, kekosongan, dan bukan-diri. Ketika ia merenungkan hal ini, mempertimbangkan hal ini, dengan seksama merenungkan dan menganalisis seperti ini, muncullah kesabaran, muncullah kebahagiaan, muncullah keinginan – keinginan terhadap pembelajaran, keinginan terhadap perhatian penuh, dan keinginan terhadap perenungan. Ānanda, ini disebut puncak Dharma.

Ānanda, jika, setelah mencapai puncak Dharma ini, ia kehilangannya lagi dan mengalami kemunduran karena tidak mengembangkan dan melindunginya, tidak mengembangkannya dengan penuh semangat, maka, Ānanda, ini disebut kejatuhan dari puncak Dharma.

Dengan cara yang sama, [landasan indria] internal dan eksternal, ... kesadaran, ... kontak, ... perasaan, ... persepsi, ... kehendak, ... ketagihan, ... unsur-unsur, ... dan kemunculan bergantungan. Ānanda, seorang siswa mulia yang terpelajar merenungkan dan mempertimbangkan kemunculan bergantungan dan hal-hal yang muncul bergantungan, dan dengan seksama merenungkan dan menganalisis ketidakkekalan, dukkha, kekosongan, dan bukan-diri. Ketika ia merenungkan seperti ini, mempertimbangkan seperti ini, dengan seksama merenungkan dan menganalisis seperti ini, muncullah kesabaran, muncullah kebahagiaan, muncullah keinginan – keinginan terhadap pembelajaran, keinginan terhadap perhatian penuh, dan keinginan terhadap perenungan. Ānanda, ini disebut puncak Dharma.

Ānanda, jika, setelah mencapai puncak Dharma ini, ia kehilangannya lagi dan mengalami kemunduran karena tidak mengembangkan dan melindunginya, tidak mengembangkannya dengan penuh semangat, maka, Ānanda, ini disebut kejatuhan dari puncak Dharma.

Ānanda, engkau seharusnya menjelaskan dan mengajarkan puncak Dharma dan kejatuhan dari puncak Dharma ini kepada para bhikkhu muda. Jika engkau menjelaskan dan mengajarkan puncak Dharma dan kejatuhan dari puncak Dharma ini kepada para bhikkhu muda, mereka akan memperoleh kenyamanan, mereka akan memperoleh kekuatan dan kebahagiaan, mereka tidak akan terganggu dalam jasmani dan batin, dan mereka akan menjalankan kehidupan suci sepanjang hidup mereka.

Ānanda, aku telah menjelaskan dan mengajarkan landasan-landasan kepada kalian semua, juga puncak Dharma dan kejatuhan dari puncak Dharma. Apa yang seharusnya dilakukan seorang guru untuk para siswanya demi belas kasih agung, kebaikan, simpati, dan perhatian, dengan mencari manfaat dan kesejahteraan mereka, mencari keamanan dan kebahagian mereka, itu telah kulakukan sekarang. Kalian juga seharusnya melakukan tugas kalian. Pergilah dan duduk bermeditasi dan merenung di suatu tempat yang terpencil, di gunung, di dalam hutan, di bawah sebatang pohon dan tempat yang tenang. Janganlah lalai, lakukan usaha yang tekun, agar kalian tidak menyesal kelak. Inilah instruksiku, inilah pengajaranku.

Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Ānanda dan para bhikkhu muda bergembira dan menerimanya dengan hormat.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #29 on: 07 October 2020, 08:54:50 PM »
Catatan Kaki:

<1> Padanan Pāli-nya adalah Upakkilesa-sutta, MN 128 dalam MN III 152 (lihat juga Mv 10.2 dalam Vin I 342); untuk studi perbandingan lihat Bhikkhu Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya (Taipei: Dharma Drum Publishing Corporation, 2011), hal. 731–741. Di sini dan tempat lain, informasi lebih lanjut tentang studi perbandingan yang diterbitkan sebelumnya dapat ditemukan dalam sumber ini.

<2> Dalam padanan Pāli, seorang bhikkhu memberitahukan Sang Buddha apa yang terjadi. Kisah raja Kosala yang berikutnya ditemukan hanya dalam Vinaya, bukan dalam Upakkilesa-sutta.

<3> Dalam versi Vinaya Pāli Raja Dīghīti dari Kosala segera melarikan diri ketika Raja Brahmadatta dari Kāsi menyerang untuk pertama kalinya, karena ia merasa tidak dapat menahan serangan itu.

<4> Versi Vinaya Pāli tidak menceritakan bahwa Raja Dīghīti dari Kosala melakukan pertunjukan musik dan dengan cara ini dapat tinggal bersama dengan brahmana penasihat.

<5> Dalam versi Vinaya Pāli Dīghīti secara langsung mendekati brahmana penasihat dan menceritakan permintaan istrinya.

<6> Versi Vinaya Pāli tidak menjelaskan pelatihan sang pangeran tetapi menceritakan bahwa ia dikirim untuk tinggal di luar kota, di luar kewaspadaan terhadap Raja Brahmadatta.

<7> Menurut versi Vinaya Pāli, tukang cukur Raja Dīghīti kebetulan melihat tuannya yang sebelumnya dan kemudian memberitahukan Raja Brahmadatta.

<8> Dalam versi Vinaya Pāli Raja Brahmadatta segera memerintahkan eksekusi Dīghīti dan istrinya. Putra mereka kebetulan mengunjungi kota tepat pada saat itu dan melihat mereka diarak di jalanan.

<9> Menurut versi Vinaya Pāli, Raja Dīghīti dan istrinya telah dieksekusi, dan adalah putra mereka yang mengurus sisa-sisa jenazah mereka.

<10> Dalam versi Vinaya Pāli, sang putra menemukan pekerjaan di kandang gajah. Ia tak sengaja terdengar oleh Raja Brahmadatta sedang bernyanyi dan memainkan kecapi di dalam kandang itu, dan raja kemudian memanggilnya.

<11> Dalam versi Vinaya Pāli pada titik ini Pangeran Kehidupan Panjang menarik lagi pedangnya, memegangnya pada leher Raja Brahmadatta dan menceritakan kemalangan yang dilakukan raja kepada orang tuanya.

<12> Dalam versi Vinaya Pāli mereka memberikan satu sama lain kehidupan mereka.

<13> Dalam Upakkilesa-sutta hanya seorang bhikkhu yang memberitahukan Sang Buddha tiga kali untuk menjauh dari perselisihan mereka.

<14> Sebuah bait dalam Upakkilesa-sutta alih-alih memiliki, sebelum baris tentang hidup sendiri bagaikan seekor gajah, sebuah baris yang menggambarkan seorang raja yang meninggalkan kerajaan yang telah ia taklukkan. Ini lebih sesuai dengan konteks dan menyatakan bahwa gagasan “memerintah dengan tegas” mungkin adalah akibat suatu kesalahan dalam penyebaran atau terjemahan.

<15> Dalam Upakkilesa-sutta Sang Buddha alih-alih pergi dengan berjalan menjauh.

<16> Upakkilesa-sutta tidak menggambarkan latihan Bhagu.

<17> Dalam Upakkilesa-sutta Bhagu melaporkan hanya bahwa ia tidak mengalami kesulitan memperoleh makanan.

<18> Persinggahan Sang Buddha di Hutan Rakkhitavana ditemani seekor gajah juga tercatat dalam Vin I 352, di mana menurut Vinaya Pāli ini terjadi setelah beliau telah mengunjungi Anuruddha dan teman-temannya.

<19> Penjelasan yang sebanding ditemukan dalam Upakkilesa-sutta, tetapi belakangan, sebagai laporan yang disampaikan Anuruddha kepada Sang Buddha.

<20> Penjelasan yang berhubungan dalam Upakkilesa-sutta tidak menunjuk pada latihan meditasi mereka, dan dalam kaitannya dengan pertemuan teratur mereka setiap lima hari menyebutkan bahwa mereka mendiskusikan Dharma, bukan bahwa mereka sebagai alternatifnya duduk bersama-sama dalam keheningan.

<21> Upakkilesa-sutta tidak menceritakan jawaban apa pun oleh Sang Buddha kepada sang penjaga; di sini Anuruddha menyela seketika.

<22> Mengambil varian 是, sesuai dengan pembacaan bacaan ini yang ditemukan dalam Abhidharmakośabhāṣya; lihat Prahlad Pradhan, Abhidharmakośabhāṣya of Vasubandhu (Patna: K. P. Jayaswal Research Institute, 1967), hal. 300: yat tat loka nāsti. Spesifikasi ini, yang tidak ditemukan dalam Upakkilesa-sutta, membantu menjelaskan mengapa keraguan dapat muncul, yaitu karena ketidakfamiliaran dengan pengalaman batin dari cahaya internal (sebagai hasil konsentrasi yang diperdalam).

<23> 身病, secara harfiah “penyakit jasmani”, yang mungkin menerjemahkan suatu bahasa India aslinya yang sebanding dengan bahasa Pāli kāyaduṭṭhulla, oleh sebab itu terjemahannya “kelembaman jasmani”.

<24> Upakkilesa-sutta menggambarkan semangat berlebihan, upakkilesa ketujuh dalam daftarnya, dengan contoh menggenggam seekor burung puyuh begitu kuat sehingga ia akan mati; perumpamaan yang sama, tetapi dengan menggenggam burung puyuh terlalu longgar, kemudian menggambarkan kurangnya semangat.

<25> Perumpamaan yang berhubungan dalam Upakkilesa-sutta menggambarkan pencarian atas satu jalan masuk ke suatu harta karun dan menemukan lima jalan masuk.

<26> Keangkuhan tidak disebutkan dalam Upakkilesa-sutta.

<27> Upakkilesa-sutta alih-alih mengatakan meditasi berlebihan terhadap bentuk-bentuk. Sedangkan sisa daftarnya, walaupun beberapa variasi dalam urutan, tampak secara keseluruhan sama, dalam hal item terakhir dalam kedua daftar, dua versi berlawanan secara langsung satu sama lain. Instruksi dalam MĀ 72 membuatnya tampak disarankan untuk merenungkan bentuk-bentuk, tetapi MN 128 memperingatkan perenungan bentuk-bentuk yang berlebihan.

<28> Tiga jenis konsentrasi ini muncul hanya pada akhir Upakkilesa-sutta sebagai bagian dari pernyataan ringkasan di mana Sang Buddha menjelaskan latihan konsentrasi beliau dengan vitakka dan vicāra, tanpa vittaka tetapi masih dengan vicāra, dan tanpa keduanya.

<29> Di sini dan di bawahnya, terjemahan didasarkan pada suatu perbaikan, yang diberikan dalam tanda kurung siku. Teks mengatakan alih-alih tentang “pengetahuan” bentuk-bentuk. Karena sebaliknya bacaan itu adalah tentang “penglihatan” bentuk-bentuk dan “pengetahuan” cahaya, tampaknya mungkin bahwa rumusan di sini adalah akibat suatu kesalahan tekstual.

<30> Alih-alih konsentrasi yang tersendiri, beranekaragam, terbatas, dan tanpa batas, Upakkilesa-sutta menyebutkan konsentrasi dengan dan tanpa sukacita, dengan kenikmatan, dan dengan keseimbangan.

<31> Padanan Pāli adalah Gayā-sutta, AN 8.64 dalam AN IV 302, yang memiliki Gayāsīsa di Gayā sebagai lokasinya.

<32> Menurutu Gayā-sutta, Sang Buddha melihat cahaya, tetapi tidak melihat bentuk-bentuk.

<33> Dalam Gayā-sutta item yang setelah dapat berbicara dengan para dewa adalah mengetahui dari kelompok (nikāya) mana para dewa berasal.

<34> Dalam Gayā-sutta mengetahui karma yang membawa para dewa pada kelahiran kembali mereka mendahului mengetahui kenikmatan atau kesakitan mereka dan mengetahui masa kehidupan mereka.

<35> Pengenalan para dewa individual tidak disebutkan dalam Gayā-sutta.

<36> Padanan Pāli adalah Anuruddha-sutta, AN 8.30 dalam AN IV 228.

<37> Alih-alih kemampuan untuk mengembara dengan bebas dalam empat arah, Anuruddha-sutta membandingkan obat yang terbuat dari air seni sapi yang difermentasi dengan berbagai pengobatan dari ghee, mentega, minyak, madu, dan sirup gula. Anuruddha-sutta juga tidak menceritakan prediksi apa pun tenang peningkatan dalam keadaan-keadaan bermanfaat atau pencapaian salah satu dari dua buah; alih-alih ia secara langsung melanjutkan dengan nasihat Sang Buddha bahwa Anuruddha seharusnya menghabiskan musim hujan di tempat yang sama.

<38> Dalam Anuruddha-sutta Sang Buddha berkotbah kepada para bhikkhu segera ketika beliau kembali tanpa meminta Ānanda mengumpulkan mereka.

<39> Anuruddha-sutta sebagai tambahan menyebutkan kepuasan terhadap tempat tinggal dan obat-obatan.

<40> Alih-alih keterasingan jasmani dan batin, Anuruddha-sutta menjelaskan suatu sikap tidak melekat terhadap orang-orang yang berkunjung.

<41> Alih-ali empat satipaṭṭhāna, Anuruddha-sutta hanya menyebutkan perhatian yang berjenis yang memungkinkan mengingat kembali apa yang telah dikatakan dan dilakukan pada waktu yang telah lama berlalu.

<42> Anuruddha-sutta hanya menyebutkan kecenderungan pikiran terhadap padamnya proliferasi.

<43> Anuruddha-sutta menyatakan bahwa Sang Buddha telah datang melalui tubuh ciptaan pikiran (manomayena kāyena).

<44> Dua bait berikutnya dalam MĀ 74 tidak ditemukan dalam Anuruddha-sutta; yang terakhir memiliki padanan dalam Th 919.

<45> Padanan Pāli adalah Ānenjasappāya-sutta, MN 106 dalam MN II 261; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 613–623; Madhyama-āgama Studies, (Taipei: Dharma Drum Publishing Corporation, 2012), hal. 195–222.

<46> Alih-alih kenikmatan indria dan bentuk-bentuk materi, Ānenjasappāya-sutta mengambil kenikmatan indria dan persepsi indria.

<47> Sebagai tambahan pada bentuk-bentuk materi, Ānenjasappāya-sutta juga menyebutkan kenikmatan indria dan persepsi indria.

<48> Sebagai tambahan pada persepsi yang berhubungan, Ānenjasappāya-sutta juga menyebutkan kenikmatan indria dan bentuk-bentuk materi; dan ia berkomentar bahwa pelenyapan semua hal ini dipandang sebagai damai.

<49> Terjemahan didasarkan pada perbaikan teks. Untuk kata-kata yang diberikan dalam kurung sudut (<>) teks alih-alih memiliki, dalam setiap kasus, “ketanpa-gangguan”. Konteksnya menunjukkan bahwa ini pasti suatu kesalahan tekstual.

<50> Pendekatan kedua pada kekosongan dalam Ānenjasappāya-sutta adalah hanya tentang kosong dari diri dan dari apa yang menjadi milik diri, tanpa secara eksplisit menyebutkan kosong dari kekekalan.

<51> Dalam Ānenjasappāya-sutta pendekatan ketiga pada kekosongan adalah merenungkan: “Aku bukan apa pun yang dimiliki oleh siapa pun di mana pun,” dst.

<52> Menurut Ānenjasappāya-sutta, pelenyapan semua persepsi ini dipandang sebagai damai.

<53> Dalam Ānenjasappāya-sutta Ānanda menyoroti bahwa Sang Buddha mengajarkan penyeberangan banjir dengan bergantung pada dukungan satu sama lain.

<54> Padanan Pāli adalah Bhikkhu-sutta, SN 47.3 dalam SN V 142, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya, dan Saṅkhitta-sutta, AN 8.63 dalam AN IV 299, yang tidak menyebutkan lokasi.

<55> Dalam dua versi Pāli, Sang Buddha pertama-tama menolak dengan kasar bhikkhu itu sebelum memberikan pengajaran.

<56> Nasihat untuk menenangkan pikiran di dalam memiliki padanan dalam Saṅkhitta-sutta (di mana ini diikuti oleh pengajaran tentang brahmavihāra); latihan empat satipaṭṭhāna secara internal dan eksternal dijelaskan dalam Bhikkhu-sutta (di mana ini didahului dengan perlunya memurnikan moralitas dan memiliki pandangan lurus).

<57> Implikasi dari ungkapan ini adalah tidak jelas; mempertimbangkan dari padanan Pāli, ini mungkin suatu kesalahan tekstual.

<58> Saṅkhitta-sutta menyarankan mengembangkan konsentrasi dengan vitakka dan vicāra, tanpa vitakka tetapi dengan sisa vicāra, tanpa vitakka dan vicāra, dengan sukacita, tanpa sukacita, dengan kenikmatan, dan dengan keseimbangan.

<59> Saṅkhitta-sutta mengambil brahmavihāra pertama kali dan hanya setelah itu empat satipaṭṭhāna (yang tidak secara eksplisit ditunjukkan membutuhkan latihan internal dan eksternal), dan dalam hubungan pada keduanya ia menginstruksikan bahwa konsentrasi demikian seharusnya dengan vitakka dan vicāra, tanpa vitakka tetapi denga sisa vicāra, tanpa vitakka atau vicāra, dengan sukacita, tanpa sukacita, dengan kenikmatan, dan dengan keseimbangan. Hanya dalam hubungannya dengan empat satipaṭṭhāna Saṅkhitta-sutta menyebutkan kenyamanan dalam setiap posisi tubuh.

<60> Prediksi pencapaian demikian tidak ditemukan dalam dua padanan Pāli, walaupun keduanya menceritakan bahwa bhikkhu yang menerima instruksi masing-masing, setelah berlatih dalam keterasingan, menjadi seorang arahant.

<61> Padanan Pāli adalah Naḷakapāna-sutta, MN 68 dalam MN I 462, yang memiliki Naḷakapāna di negeri Kosala sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan, lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 370–373.

<62> Dalam Naḷakapāna-sutta Sang Buddha alih-alih bertanya apakah mereka berpikir beliau melatih pengendalian diri karena beliau belum melenyapkan noda-noda.

<63> Menurut Naḷakapāna-sutta, adalah karena Sang Buddha telah melenyapkan noda-noda sehingga beliau melatih pengendalian diri.

<64> Gaya hidup menyendiri Sang Buddha tidak dibahas dalam Naḷakapāna-sutta.

<65> Padanan Pāli adalah Brahmanimantaṇika-sutta, MN 49 dalam MN I 326; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 294–299.

<66> Menurut Brahmanimantaṇika-sutta, Māra sebenarnya telah merasuki salah satu anggota perkumpulan itu.

<67> Brahmanimantaṇika-sutta tidak menceritakan bahwa Māra menghilang.

<68> Dalam Brahmanimantaṇika-sutta Sang Buddha menambahkan bahwa Brahmā sebelumnya telah meninggal dari alam surga Ābhassarā dan pada waktu itu telah melupakannya.

<69> Dalam Brahmanimantaṇika-sutta Sang Buddha juga menunjuk pada kesadaran yang tidak berwujud atau tidak terlihat, anidassana vinnāṇa.

<70> Teks memberikan kesan bahwa Brahmā masih yang berbicara. Edisi Pāli berbeda-beda dan hanya beberapa menandai bagian yang berhubungan sebagai yang diucapkan oleh Sang Buddha; sebagai pembahasan lihat Anālayo, “The Luminous Mind in Theravāda and Dharmaguptaka Discourses”, Journal of the Oxford Centre for Buddhist Studies 13 (2017): 10–50.

<71> Menurut Brahmanimantaṇika-sutta, Sang Buddha mengucapkan bait tentang melihat ketakutan dalam penjelmaan selagi beliau membuat dirinya tidak terlihat.

<72> Penunjukan pada bergabung dalam perkumpulan “sampai tiga kali” tidak jelas. Menurut kisah sebelumnya ia telah pergi sekali, maka baginya kembali sekarang merupakan hanya kedua kalinya bergabung dengan perkumpulan.

<73> Alih-alih memberitahukan Māra untuk menjauh dari topik pengajaran Sang Buddha, dalam Brahmanimantaṇika-sutta Sang Buddha menegaskan pelenyapan noda-noda beliau, yang membandingkannya dengan sebatang pohon palem yang telah terpotong.

<74> Pandanan Pāli adalah Anuruddha-sutta, MN 127 dalam MN III 144; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 726–731.

<75> Protagonis dalam Anuruddha-sutta alih-alih adalah perumah tangga Pancakaṅga.

<76> Mengambil varian 料 alih-alih 斷.

<77> Dalam Anuruddha-sutta mereka yang telah mengajarnya alih-alih adalah para bhikkhu senior, therā bhikkhū. Sama halnya belakangan dalam penjelasan Anuruddha, mereka yang telah melatih pembebasan ini adalah para bhikkhu, bukan para pertapa dan brahmana.

<78> Anuruddha-sutta tidak menceritakan suatu tanya-jawab pada titik ini. Perbedaan lainnya adalah bahwa dalam bagian sebelumnya ia pertama-tama mengambil pembebasan pikiran yang tak terukur dan kemudian pembebasan pikiran yang luhur.

<79> Alih-alih tiga ini, Anuruddha-sutta membedakan empat jenis: para dewa bercahaya terbatas, bercahaya tak terukur, bercahaya ternoda, dan bercahaya murni.

<80> Perumpamaan lalat dalam Anuruddha-sutta, di mana lalat berada pada tongkat pemikul atau keranjang, menggambarkan bahwa para dewa tidak menganggap diri mereka sendiri sebagai kekal.

<81> Dalam Anuruddha-sutta Kaccāna alih-alih bertanya apakah para dewa semuanya bercahaya terbatas atau apakah beberapa agak bercahaya tak terukur, dan belakangan ia bertanya pertanyaan yang sama untuk para dewa bercahaya ternoda dan murni.

<82> Anuruddha-sutta tidak memiliki penunjukan pada posisi Sang Buddha atas hal ini.

<83> Perumpamaan seroja tidak ditemukan dalam Anuruddha-sutta.

<84> Dalam Anuruddha-sutta perumpamaan pelita minyak yang tidak murni menggambarkan para dewa bercahaya ternoda.

<85> Dalam Anuruddha-sutta Kaccāna alih-alih berkata kepada Anuruddha, dan tampaknya dalam suatu cara yang tidak sopan.

<86> Anuruddha-sutta tidak menceritakan baik persembahan makanan maupun kegembiraan pendengarnya.

<87> Mengadopsi varian 墩 alih-alih 塹.

<88> Padanan Pāli adalah Kāyagatāsati-sutta, MN 119 dalam MN III 88, yang memiliki Hutan Jeta di Sāvatthī sebagai lokasinya; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 673–678.

<89> Urutan perenungan jasmani dalam Kāyagatāsati-sutta berbeda, berlanjut dari perhatian pada pernapasan menuju posisi tubuh, aktivitas tubuh, bagian-bagian anatomis, unsur-unsur, perenungan tanah pekuburan, dan empat jhāna.

<90> Kāyagatāsati-sutta tidak menyebutkan tidur atau bangun sebagai bagian dari perenungan posisi tubuh.

<91> Kāyagatāsati-sutta menyatakan bahwa ingatan dan kehendak yang berhubungan dengan kehidupan rumah tangga ditinggalkan dan pikiran menjadi terkonsentrasi.

<92> Kāyagatāsati-sutta juga menyebutkan makan, minum, mencerna makanan, mengecap, buang air besar, dan buang air kecil.

<93> Latihan ini dan berikutnya tidak disebutkan dalam Kāyagatāsati-sutta.

<94> Mengambil varian 絣 alih-alih 拼.

<95> Terjemahan didasarkan pada perbaikan apa yang dalam aslinya adalah penunjukan pada “aktivitias ucapan” ketika menghembuskan napas, jelas suatu kesalahan tekstual.

<96> Dalam setiap kasus dari empat jhāna, Kāyagatāsati-sutta juga menjelaskan pencapaian jhāna sebenarnya yang berhubungan sebelum menggambarkan bagaimana ia mempengaruhi jasmani.

<97> Kāyagatāsati-sutta tidak memberikan ukuran kain, di mana ia menggambarkannya sebagai berwarna putih.

<98> Latihan ini dan berikutnya tidak disebutkan dalam Kāyagatāsati-sutta.

<99> Guanxiang 觀相, yang mungkin sama dengan paccavekkhaṇanimitta.

<100> Daftar biji-bijian ini berbeda dari biji-bijian dalam perumpamaan yang sama dalam MĀ 98, padanan dari Satipaṭṭhāna-sutta.

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Madhyama Agama vol. II (Bagian 7)
« Reply #30 on: 07 October 2020, 08:57:14 PM »
<101> Kāyagatāsati-sutta mendaftarkan hanya empat unsur tanah, air, api, dan udara.

<102> Kremasi atau penguburan tidak disebutkan dalam Kāyagatāsati-sutta.

<103> Dalam Kāyagatāsati-sutta penjelasan ini dan berikutnya sebaliknya tentang para bhikkhu yang telah atau tidak mengembangkan perhatian pada jasmani. Versi Pāli juga memiliki urutan yang berbeda: ia pertama-tama memiliki tiga perumpamaan melempar bola, kayu api, dan kendi air yang menggambarkan tidak mengembangkan perhatian pada jasmani, dan kemudian tiga pasangan mereka yang menggambarkan adanya perhatian pada jasmani.

<104> Mengambil varian 搏 alih-alih 闡.

<105> Kāyagatāsati-sutta memiliki tiga perumpamaan lagi, yang menggambarkan memiringkan kendi air yang penuh, melepaskan tanggul sebuah kolam yang penuh air, dan mengendarai kereta ke mana pun seseorang inginkan.

<106> Kāyagatāsati-sutta menjabarkan dan mendaftarkan sepuluh manfaat. Ia tidak menunjuk pada tidak terjebak dalam tiga pikiran yang tidak bermanfaat, ataupun mencapai pemasuk-arus, yang sekali-kembali, yang tidak-kembali, dan empat pencapaian tanpa bentuk.

<107> Mengambil varian yang tidak memiliki penunjukkan pada hal ini sebagai juga “kelima, keenam, dan ketujuh,” 五六七. Karena mengatasi tiga jenis pikiran yang tidak bermanfaat tidak dapat menghasilkan empat manfaat, penunjukan pada manfaat kelima, keenam, dan ketujuh pasti salah penempatan, mungkin milik item berikutnya dalam daftar itu.

<108> Mengambil varian yang menambahkan第五至.

<109> Mengambil varian yang mengatakan “tujuh” alih-alih “satu” kehidupan.

<110> Mengambil varian yang hanya menyebutkan manfaat kedua belas pada titik ini dan karenanya menghapus bacaan yang berlebihan tentang pelenyapan noda-noda.

<111> Padanan Pāli adalah Hatthisāriputta-sutta, AN 6.60 dalam AN III 392, yang memiliki Isipatana di Vārāṇasī sebagai lokasinya.

<112> Hatthisāriputta-sutta menyebutkan tidak hanya bergaul dengan para umat awam tetapi bergaul dengan para monastik, pengikut awam, raja, dan menteri, serta praktisi non-Buddhis dan para siswanya.

<113> Dalam Hatthisāriputta-sutta perumpamaan tidak lagi melihat hewan-hewan dalam sebuah danau menggambarkan akibat setelah mencapai jhāna kedua, sedangkan perumpamaan debu pada persimpangan jalan menjadi lumpur setelah hujan menggambarkan akibat jhāna pertama.

<114> Mengambil varian yang membaca 咸 alih-alih 滅.

<115> Dalam Hatthisāriputta-sutta perumpamaan danau tanpa gelombang menggambarkan akibat setelah mencapai jhāna keempat, sedangkan perumpamaan yang berhubungan dengan makanan menggambarkan jhāna ketiga.

<116> Perumpamaan dalam Hatthisāriputta-sutta menggambarkan seseorang yang baru saja selesai makan makanan yang lezat dan diberikan sisa makanan dari hari sebelumnya.

<117> Dalam Hatthisāriputta-sutta Mahākoṭṭhita menyatakan bahwa ia mengetahui pikiran Citta dan juga telah diberitahukan tentangnya oleh para dewa. Kotbah Pāli melanjutkan dengan menceritakan teman-teman Citta juga memberitahukan Sang Buddha tentang lepas jubahnya Citta, yang kemudian meramalkan bahwa Citta akan pergi meninggalkan keduniawian lagi. Ini benar-benar terjadi, Citta pergi meninggalkan keduniawian lagi dan akhirnya menjadi seorang arahant.

<118> Padanan Pāli adalah Pacalāyamāna-sutta, yang adalah bagian pertama dari AN 7.58 dalam AN IV 85; bagian kedua dari kotbah ini dalam edisi PTS, dimulai dalam AN IV 88, adalah kotbah yang berbeda yang sebaliknya adalah padanan pada MĀ 138.

<119> Alih-alih tiga cara yang berhubungan dengan ajaran – pengulangan, pengajaran orang lain, dan perenungan – Pacalāyamāna-sutta hanya menyarakan dua, perenungan dan pengulangan.

<120> Pacalāyamāna-sutta menggabungkan hal ini dan yang sebelumnya menjadi satu cara pencegahan dengan mencuci mata dengan air dan melihat pada konstelasi-konstelasi. Saran berikutnya dalam Pacalāyamāna-sutta adalah mengembangkan ālokasannā, “persepsi cahaya” (atau “kejernihan persepsi”?), suatu metode yang tidak disebutkan dalam MĀ 83.

<121> Pacalāyamāna-sutta tidak menyarakan melanjutkan kembali meditasi duduk setelah selesai meditasi berjalan. Menurut penyajiannya, jika setelah melakukan meditasi berjalan seseorang masih merasa lelah, ini adalah waktunya untuk berbaring dan beristirahat.

<122> Secara keseluruhan Pacalāyamāna-sutta mendaftarkan hanya delapan saran: menghindari persepsi yang membawa pada rasa kantuk, merenungkan ajaran-ajaran, mengulangi ajaran-ajaran, menarik cuping telinga, membilas mata dengan air dan melihat konstelasi-konstelasi, mengembangkan persepsi cahaya, berlatih meditasi berjalan, dan berbaring.

<123> Setelah daftar metode untuk mengatasi rasa kantuknya, Pacalāyamāna-sutta memperingatkan terhadap keangkuhan ketika mengumpulkan dana makanan, terlibat dalam pembicaraan yang menyebabkan perselisihan, dan terikat pada para monastik atau umat awam.

<124> Dalam Pacalāyamāna-sutta Sang Buddha mendahului pengajarannya dengan pernyataan bahwa “tidak ada di dunia yang layak dilekati.”

<125> Padanan Pāli adalah Kaṇṭaka-sutta, AN 10.72 at AN V 133, yang memiliki sebagai lokasinya Aula Beratap Lancip di Hutan Besar pada lokasi yang sama, Vesālī.

<126> Rekonstruksi dari empat yang terakhir dari enam nama ini hanyalah bersifat tentatif.

<127> Kaṇṭaka-sutta tidak menceritakan kunjungan oleh orang-orang Licchavi yang sebenarnya.

<128> Kaṇṭaka-sutta menyatakan dan kemudian menjelaskan sepuluh duri: bergaul sebagai duri bagi keterasingan, mengejar kecantikan (fisik) sebagai duri bagi pengembangan asubha, hiburan sebagai duri bagi pengendalian indria, teman wanita sebagai duri bagi kehidupan selibat (bagi pria), suara sebagai duri bagi jhāna pertama, vitakka-vicāra sebagai duri bagi jhāna kedua, sukacita sebagai duri bagi jhāna ketiga, napas masuk dan napas keluar sebagai duri bagi jhāna keempat, persepsi dan perasaan sebagai duri bagi pencapaian lenyapnya, dan terakhir nafsu (keinginan indria), kebencian (kemarahan), dan delusi (ketidaktahuan) sebagai duri secara umum.

<129> Padanan Pāli adalah Sappurisa-sutta, MN 113 dalam MN III 37; untuk studi perbandingan lihat Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 639–643.

<130> Sappurisa-sutta mengambil beberapa jenis keluarga yang terkemuka, yang dalam penyajiannya menjadi empat landasan yang berbeda bagi keangkuhan.

<131> Sappurisa-sutta tidak menyebutkan menawana dan menyenangkan sebagai landasan potensial bagi keangkuhan.

<132> Kualitas yang berkaitan dalam Sappurisa-sutta adalah menjadi seorang pengajar Dharma (dhammakathika).

<133> Sebagai tambahan pada kemasyhuran, yang dengan sama disorot dalam Sappurisa-sutta, landasan lain yang terkait bagi keangkuhan dalam penyajiannya adalah perolehan kebutuhan-kebutuhan, yang tidak disebutkan dalam MĀ 85.

<134> Sappurisa-sutta menyebutkan terpelajar dan berpengetahuan dalam Vinaya sebagai dua landasan potensial yang terpisah bagi keangkuhan; ia tidak menunjuk pada Abhidharma.

<135> Sappurisa-sutta hanya menyebutkan memakai jubah usang sebagai landasan potensial bagi keangkuhan.

<136> Sappurisa-sutta menyebutkan mengumpulkan dana makanan dan makan satu kali sebagai dua landasan potensial bagi keangkuhan.

<137> Landasan bagi keangkuhan yang berkaitan dalam Sappurisa-sutta adalah berdiam di dalam hutan, di bawah sebatang pohon, di tanah pekuburan, dan di luar di tempat terbuka; landasan tambahan bagi keangkuhan, yang tidak disebutkan dalam MĀ 85, adalah latihan tidak pernah berbaring untuk beristirahat dan menerima tempat tidur apa pun.

<138> Mengambil varian 受 alih-alih 愛. Dalam Sappurisa-sutta manusia sejati merenungkan bahwa Sang Buddha telah menyarankan non-identifikasi (atammayatā) dengan jhāna pertama; hal yang sama berlaku untuk jhāna-jhāna lainnya dan pencapaian tanpa bentuk.

<139> Sappurisa-sutta sebagai tambahan mengambil pencapaian lenyapnya, di mana ia secara implisit menunjukkan tidak lagi dalam jangkauan bukan manusia sejati.

<140> Kotbah ini bukan padanan dari Chachakka-sutta, MN 148 at MN III 280; cf. Anālayo, A Comparative Study of the Majjhima-nikāya, hal. 838, catatan no. 96.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

 

anything