//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Apakah semua kamma yang pernah dilakukan harus dialami?  (Read 1490 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline steve19800

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 27
  • Reputasi: 0
Apakah semua kamma yang pernah dilakukan harus dialami?
« on: 20 May 2016, 02:13:42 PM »
Halo temen2,

Pengertian kita pada umumnya kamma adalah seperti suatu bibit. Ia akan berbuah jika ada kondisi yang tepat. Beberapa kamma harus dialami, beberapa kamma tidak harus dialami, tidak semua kamma harus dialami. Sebagai contoh, Angulimala telah memutus tumimbal lahir, maka ia tidak akan mengalami buah dari membunuh banyak orang.

Tetapi di dalam Karajakā­ya­sutta (https://suttacentral.net/id/an10.219) Buddha mengatakan:
Quote
"Tetapi Aku tidak mengatakan bahwa ada mengakhiri penderitaan selama seseorang belum mengalami [akibat dari] kamma kehendak yang telah dilakukan dan dikumpulkan."

Membaca keduanya, manakah yang benar, apakah mereka kontradiksi satu sama lain?

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Apakah semua kamma yang pernah dilakukan harus dialami?
« Reply #1 on: 20 May 2016, 07:05:07 PM »
Halo temen2,

Pengertian kita pada umumnya kamma adalah seperti suatu bibit. Ia akan berbuah jika ada kondisi yang tepat. Beberapa kamma harus dialami, beberapa kamma tidak harus dialami, tidak semua kamma harus dialami. Sebagai contoh, Angulimala telah memutus tumimbal lahir, maka ia tidak akan mengalami buah dari membunuh banyak orang.

Tetapi di dalam Karajakā­ya­sutta (https://suttacentral.net/id/an10.219) Buddha mengatakan:
Membaca keduanya, manakah yang benar, apakah mereka kontradiksi satu sama lain?

Penjelasan Bhikkhu Bodhi berdasarkan komentar Pali:

Quote
Pernyataan Sang Buddha bahwa tidak ada penghentian kamma kehendak yang telah dilakukan dan dikumpulkan selama ia belum mengalami akibatnya tampaknya bertentangan dengan salah satu prinsip utama ajaranNya, yaitu, untuk mencapai kebebasan – “mengakhiri penderitaan” – seseorang tidak perlumengalami akibat-akibat dari semua kamma yang telah ia kumpulkan di masa lalu. Prinsip ini (setidaknya menurut Nikāya-nikāya) dianut oleh kaum Jain, seperti disebutkan pada MN 14.17, I 92,35-93,10; MN 101.10, II 218,1-12. Akan tetapi, karena lingkaran kelahiran kembali adalah “tanpa awal yang dapat ditemukan” (anamatagga saṃsāra), dan dalam rentang waktu ini kita semua telah mengumpulkan kamma yang sangat banyak, hal ini memerlukan waktu yang tak terhingga untuk menghabiskan kamma demikian dengan mengalami akibatnya. Sang Buddha mengajarkan bahwa kunci menuju kebebasan bukanlah lenyapnya kamma masa lalu (apakah dengan mengalami akibatnya atau melalui pertapaan keras) melainkan dengan melenyapkan kekotoran-kekotoran. Para Arahant, dengan menghentikan kekotoran-kekotoran, memadamkan potensi matangnya kamma masa lalu mereka yang melebihi sisa-sisa yang akan matang dalam kehidupan terakhir mereka. Mp menjelaskan bahwa pernyataan teks ini memiliki makna tersirat: “Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa selama saṃsāra masih berlanjut, jika ada kamma yang telah memperoleh kapasitas untuk matang (paṭiladdhavipākārahakamma) ‘tidak ada tempat di bumi ini di mana seseorang dapat melarikan diri dari perbuatan jahatnya’” (kutipannya, na vijjati so jagatippadeso, yattaṭṭhito mucceyya pāpakammā, berasal dari Dhp 127). Intinya, dengan kata lain, bukanlah bahwa semua kamma yang telah dilakukan harus menjadi matang, melainkan bahwa kamma apa pun yang telah dilakukan dan dikumpulkan menyimpan potensi untuk matang selama ia mengembara di dalam lingkaran kelahiran kembali.

Tetapi padanan sutta ini dalam Madhyama Agama (MA) kotbah 15 tidak menyebutkan tentang penghentian kamma masa lampau tanpa mengalami akibatnya ini:

“Jika seseorang melakukan suatu perbuatan dengan kehendak, maka ia akan mengalami akibatnya, baik dalam kehidupan ini atau dalam kehidupan berikutnya, aku katakan. Jika seseorang melakukan suatu perbuatan tanpa kehendak, maka ia tidak akan mengalami akibatnya, aku katakan.
https://suttacentral.net/id/ma15/

Dengan demikian, pernyataan tentang penghentian kamma itu tampaknya suatu kesalahan tekstual atau mungkin tambahan yang belakangan....
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline steve19800

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 27
  • Reputasi: 0
Re: Apakah semua kamma yang pernah dilakukan harus dialami?
« Reply #2 on: 21 May 2016, 01:37:08 PM »
Terima kasih seniya untuk tanggapannya.

Saya juga tidak sengaja mendapatkan penjelasan mengenai kesalahan transmisi mengenai Karajakaya Sutta. Selain Chinese Madhyama Agama, pararelnya juga ditemukan di sebuah kutipan sutra komentar Śamathadeva di Abhidharmakośa, masih eksis dalam bahasa Tibet tertanggal ke abad 11 and milik tradisi (Mūla-)Sarvāstivāda. Namun keduanya tidak mengatakan bahwa mengalami semua karma yang telah ditumpuk adalah suatu syarat untuk mencapai pembebasan.

Dikatakan bahwa kata yang digunakan sebenarnya adalah paṭisaṁviditvā daripada appaṭisaṁviditvā, yang mana statement-nya seharusnya berbunyi:

Quote
Bhikkhu, saya tidak mengatakan adanya akhir dari niat-niat perbuatan yang telah dilakukan dan ditumpuk, mengalami hasilnya, apakah di saat ini, kehidupan akan datang atau kehidupan lainnya di masa akan datang.

Tapi Bhikkhu, saya tidak mengatakan adanya akhir dari penderitaan dengan mengalami (paṭisaṁviditvā)(buah dari) perbuatan-perbuatan didasari oleh niat yang telah dilakukan dan ditumpuk.

Menurut Jainisme, karma adalah zat materi yang, sebagai akibat dari tindakan seseorang, menempel pada jiwa atau diri, dan hanya akan jatuh jauh (dhunat) ketika efeknya telah dialami.

Untuk mengusir atau membebaskan diri dari karma, memerlukan penebusan pembalasan karma melalui praktek asceticism (pertapaan). Singkatnya, kita harus menderita karena karma kita (semuanya), sehingga kita bisa bebas dari itu. Dasaveyāliya sutta (Daśavaikālika, sutra), salah satu dari empat naskah Jain akar utama (mūlasūtra), menyatakan pembebasan hanya dapat dicapai ketika perbuatan buruk di masa lampau telah dialami, menekankan bahwa tidak mungkin untuk menjadi bebas tanpa pembalasan/ retributsi ataupun memperbaiki kesalahan melalui pertapaan. Inilah
Ide yang ditolak oleh Sang Buddha di awal Karajakaya Sutta.
Sumber: http://dharmafarer.org/wordpress/wp-content/uploads/2009/12/2.10-Karajakaya-Brahmavihara-S-a10.208-piya.pdf (Pg. 3&4).

Mengingat Karajakaya Sutta telah berada di Pali Kanon dalam jangka waktu yg sangat lama. Dipercaya sejak jaman Buddhagosa (abad ke 5) sebagian dari Sutta ini telah hilang dan ditambal dari berbagai macam sumber. Paragraph ke 2 yang dimulai dengan "Siswa mulia itu..." seperti tidak pada tempatnya. Kehilangan tekstual ini bisa terlihat di antara paragraph 1 dan paragraph berikutnya serta di antara paragraph 2 dan berikutnya. Tapi saya juga kurang memahami, apakah kesalahan tekstual ini telah diklarifikasi oleh Para Bhikkhu?

Karena ada penjelasan lain yang tidak mengatakan adanya kesalahan transmisi. Sehingga dikatakan Angulimala mengalami semua penderitaannya sebelum mencapai pembebasan namun karena ia adalah seorang Arahat maka bagaikan segumpal garam yang tidak membuat Sungai Gangga menjadi asin (Lonaphala Sutta).



« Last Edit: 21 May 2016, 01:39:00 PM by steve19800 »

 

anything