Terima kasih seniya untuk tanggapannya.
Saya juga tidak sengaja mendapatkan penjelasan mengenai kesalahan transmisi mengenai Karajakaya Sutta. Selain Chinese Madhyama Agama, pararelnya juga ditemukan di sebuah kutipan sutra komentar Śamathadeva di Abhidharmakośa, masih eksis dalam bahasa Tibet tertanggal ke abad 11 and milik tradisi (Mūla-)Sarvāstivāda. Namun keduanya tidak mengatakan bahwa mengalami semua karma yang telah ditumpuk adalah suatu syarat untuk mencapai pembebasan.
Dikatakan bahwa kata yang digunakan sebenarnya adalah paṭisaṁviditvā daripada appaṭisaṁviditvā, yang mana statement-nya seharusnya berbunyi:
Bhikkhu, saya tidak mengatakan adanya akhir dari niat-niat perbuatan yang telah dilakukan dan ditumpuk, mengalami hasilnya, apakah di saat ini, kehidupan akan datang atau kehidupan lainnya di masa akan datang.
Tapi Bhikkhu, saya tidak mengatakan adanya akhir dari penderitaan dengan mengalami (paṭisaṁviditvā)(buah dari) perbuatan-perbuatan didasari oleh niat yang telah dilakukan dan ditumpuk.
Menurut Jainisme, karma adalah zat materi yang, sebagai akibat dari tindakan seseorang, menempel pada jiwa atau diri, dan hanya akan jatuh jauh (dhunat) ketika efeknya telah dialami.
Untuk mengusir atau membebaskan diri dari karma, memerlukan penebusan pembalasan karma melalui praktek asceticism (pertapaan). Singkatnya, kita harus menderita karena karma kita (semuanya), sehingga kita bisa bebas dari itu. Dasaveyāliya sutta (Daśavaikālika, sutra), salah satu dari empat naskah Jain akar utama (mūlasūtra), menyatakan pembebasan hanya dapat dicapai ketika perbuatan buruk di masa lampau telah dialami, menekankan bahwa tidak mungkin untuk menjadi bebas tanpa pembalasan/ retributsi ataupun memperbaiki kesalahan melalui pertapaan. Inilah
Ide yang ditolak oleh Sang Buddha di awal Karajakaya Sutta.
Sumber: http://dharmafarer.org/wordpress/wp-content/uploads/2009/12/2.10-Karajakaya-Brahmavihara-S-a10.208-piya.pdf (Pg. 3&4).
Mengingat Karajakaya Sutta telah berada di Pali Kanon dalam jangka waktu yg sangat lama. Dipercaya sejak jaman Buddhagosa (abad ke 5) sebagian dari Sutta ini telah hilang dan ditambal dari berbagai macam sumber. Paragraph ke 2 yang dimulai dengan "Siswa mulia itu..." seperti tidak pada tempatnya. Kehilangan tekstual ini bisa terlihat di antara paragraph 1 dan paragraph berikutnya serta di antara paragraph 2 dan berikutnya. Tapi saya juga kurang memahami, apakah kesalahan tekstual ini telah diklarifikasi oleh Para Bhikkhu?
Karena ada penjelasan lain yang tidak mengatakan adanya kesalahan transmisi. Sehingga dikatakan Angulimala mengalami semua penderitaannya sebelum mencapai pembebasan namun karena ia adalah seorang Arahat maka bagaikan segumpal garam yang tidak membuat Sungai Gangga menjadi asin (Lonaphala Sutta).