//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: MMD (Meditasi Mengenal Diri)  (Read 571152 times)

0 Members and 2 Guests are viewing this topic.

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #630 on: 31 July 2008, 07:19:59 AM »
Quote
sebagai awal dan akhir

Sadarilah, bahwa perkataan anda tersebut tiada lain hanyalah celoteh pikiran. Dan itu tidak ada artinya sama sekali buat pembebasan.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #631 on: 31 July 2008, 07:21:16 AM »
Quote
sebagai awal dan akhir

Sadarilah, bahwa perkataan anda tersebut tiada lain hanyalah celoteh pikiran. Dan itu tidak ada artinya sama sekali buat pembebasan.

hehhhehehhe.... pembebasan pun hanya celoteh pikiran

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #632 on: 31 July 2008, 07:23:12 AM »
Quote
apa ya kebebasan itu? Smiley

Kebebasan adalah sesuatu yang tak bisa didefinisikan oleh bahasa, karena bahasa adalah selalu suatu fenomena dari gerak pikiran.

Quote
menggunakan keinginan/product dari pikiran sebagai landasan agar tidak "nyasar"

Justru menurut saya, malah menjadi nyasar.
Oleh krn itu jangan heran dikatakan bahwa utk mencapai pembebasan dengan agama Buddha itu membutuhkan waktu berkalpa-kalpa..... sampai suatu saat menyadari bahwa segala macam produk pikiran itu (=agama) tidak ada artinya sama sekali.
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #633 on: 31 July 2008, 07:26:22 AM »
Quote
hehhhehehhe.... pembebasan pun hanya celoteh pikiran

Ya, pembebasan itu bagi anda memang tiada lain hanyalah celoteh pikiran. Karena anda terus berputar-putar berkutat disitu tanpa bisa keluar dari pusaran itu. Saya disini cuman mencoba membantu, bukan berkeinginan berdebat sama sekali. Maaf bila memang tidak berkenan, saya akan diam.

Saya tidak menyalahkan anda atau siapapun yg memiliki keinginan. Tetapi saya mengajak anda untuk menyadari bahwa keinginan untuk pembebasan itu adalah keinginan, suatu gerak pikiran ke masa depan. Sesuatu yg tidak akan pernah berhenti bila tanpa disadari. Yg selayaknya anda lakukan --seperti yg sudah saya tuliskan di komen2 di depan-- adalah menyadari keinginan itu sendiri. Melihat secara langsung bahwa itu adalah rekayasa dan tiada artinya sama sekali. Bila bisa spt itu, disitulah anda akan merasakan sejenak pembebasan.
« Last Edit: 31 July 2008, 07:30:17 AM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Untuk diam tidak perlu Buddha-dhamma
« Reply #634 on: 31 July 2008, 07:28:28 AM »
apa ya kebebasan itu? :)
menggunakan keinginan/product dari pikiran sebagai landasan agar tidak "nyasar"

'Kebebasan' itu BERHENTI, DIAM. ...
Bagaimana bisa "nyasar" kalau orang berhenti/diam? ...
Untuk diam tidak perlu kitab suci apa pun, tidak perlu Buddha-Dhamma ...

Orang hanya bisa "nyasar" kalau ia MENCARI SESUATU ...
« Last Edit: 31 July 2008, 07:30:19 AM by hudoyo »

Offline Hendra Susanto

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.197
  • Reputasi: 205
  • Gender: Male
  • haa...
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #635 on: 31 July 2008, 07:32:53 AM »
wah bisa makin panjang ini "diam" ahhh :D

Offline Suchamda

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 556
  • Reputasi: 14
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #636 on: 31 July 2008, 07:34:04 AM »
Quote
wah bisa makin panjang ini "diam" ahhh

Bro,......
diam berarti bukan tidak berbicara atau tidak melakukan sesuatu.

Dalam agama Buddha Mahayan dikenal konsep bodhisattva, yaitu mahluk yang sudah bisa 'diam' tapi sengaja 'tidak diam' krn perlu menolong mahluk lain. Walaupun kelihatannya tidak diam di luarnya, tapi sebenarnya dia sudah diam. Mudah2an bisa membantu pemahaman dari segi teoritisnya.

Anda lihat Siddharta Gautama dan Krishnamurti? Beliau-beliau ini berceramah dimana-mana puluhan tahun. Buat apa? Apakah menurut anda mereka belum bisa diam?

Justru sebaliknya, sikap anda yang reaktif untuk "diam" itulah sebenarnya adalah merupakan hasil gerak reaktif dari suatu rentetan sebab-akibat. Itu bukan diam.
« Last Edit: 31 July 2008, 07:45:32 AM by Suchamda »
"We don't use the Pali Canon as a basis for orthodoxy, we use the Pali Canon to investigate our experience." -- Ajahn Sumedho

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #637 on: 31 July 2008, 07:47:48 AM »
wah bisa makin panjang ini "diam" ahhh :D

Di dalam DIAM tidak ada waktu, tidak ada "panjang" dan "pendek".

"Aku sudah lama berhenti/diam. Kamulah yang masih berlari terus. Apa yang kamu cari?" (Buddha Gautama)

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #638 on: 31 July 2008, 09:08:25 AM »
hush, sesama celoteh pikiran dilarang saling menuduh..... hehehehe

seperti dua orang yg mlihat 1 barang dari sudut yg berbeda ajah..
There is no place like 127.0.0.1

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #639 on: 31 July 2008, 09:25:42 AM »
Begitu pula, ketika batin Anda mengamati segala sesuatu yang ada dengan penuh perhatian, tanpa campur tangan pikiran/si aku, maka si pengamat tidak ada ... Tapi sebentar lagi, seperti Anda ceritakan di atas, ketika pikiran/aku Anda bergerak, maka muncul si pengamat/subyek yang menyadari tengah mengamati pikirannya/obyek . ...

Bukankah ketika kita hanya menyadari ada "pikiran (yg merupakan bagian dari batin) sedang mengamati" itu juga termasuk bekerjanya "aku"?
Karena apapun yg berseliweran adalah juga pikiran termasuk "pikiran sedang mengamati", yg penting bukankah hanya sadar saja(just that)?

Setau saya apapun yg muncul hanya disadari saja termasuk pikiran ttg pengamat pikiran dan dalam hal ini "tidak ada aku" dan hanya ada "aku" ketika kita mulai mengikuti atau terpaku bahkan berpikir "aku sedang mengamati"
 
Bagaimana menurut Pak Hud?Ada saran?

 _/\_

Lalu, apa bedanya yang Anda tulis dengan yang saya tulis (yang Anda bold)? ... Saya berkata: "... ketika batin Anda mengamati segala sesuatu yang ada dengan penuh perhatian, tanpa campur tangan pikiran/si aku, maka si pengamat tidak ada ..."

Saya tidak mengerti ... Tolong dijelaskan apa bedanya yang Anda tulis dengan yang saya tulis.

Salam,
hudoyo

Maksud saya ketika menyadari pikiran yg ttg pengamat pikiran yg saya tangkap dari Pak Hud adalah disana ada "aku" yg dianggap sebagai pengamat. (mungkin saya salah tangkap). Bisa pak Hud jelaskan contoh pikiran yg munculnya "aku" sebagai pengamat tadi? Dan  apakah ketika kita mengamati dan menyadari pikiran sebenarnya pikiran juga bergerak tidak diam, berarti apakah masih ada "aku" atau "tidak ada aku" . Apakah yg dimaksud padamnya "aku" selama ini adalah padamnya citta atau kilesa(LDM)? . Apakah ketika tidak ada campur tangan aku maka pikiran diam dan berarti padam?(Maaf banyak nanya Pak Hud)_/\_
« Last Edit: 31 July 2008, 09:41:15 AM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #640 on: 31 July 2008, 07:54:13 PM »
Quote
Menurut saya, yang terjadi adalah: bila 'keinginan untuk bebas' itu sendiri disadari ... sehingga berhenti dengan sendirinya ... di situlah muncul 'kebebasan' itu tanpa diinginkan. ...
'Kebebasan' itu muncul bila orang tidak melekat lagi pada 'keinginan untuk bebas'. ...
"keinginan" disadari...
Apakah "keinginan yang disadari" itu sama dengan "melebur" atau "menyatu" didalam "keinginan" itu sendiri?
Seperti Dukkha,untuk "memahami" Dukkha,kita perlu "menyelam/melebur/menyatu" dalam Dukkha itu sendiri,merasakan esensi dr Dukkha,apa itu Dukkha,Awal dukkha,Akhir Dukkha,dll....
Mungkin banyak orang yang "mengerti teori" tentang "dukkha" bahkan tidak jarang orang "mengerti secara pikiran" tentang Dukkha itu...
Tapi saya rasa itu belum "cukup" karena dia "masih" belum benar2 "memahami" apa itu "dukkha?"

Salam,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #641 on: 03 August 2008, 01:33:09 AM »
Begitu pula, ketika batin Anda mengamati segala sesuatu yang ada dengan penuh perhatian, tanpa campur tangan pikiran/si aku, maka si pengamat tidak ada ... Tapi sebentar lagi, seperti Anda ceritakan di atas, ketika pikiran/aku Anda bergerak, maka muncul si pengamat/subyek yang menyadari tengah mengamati pikirannya/obyek . ...

Bukankah ketika kita hanya menyadari ada "pikiran (yg merupakan bagian dari batin) sedang mengamati" itu juga termasuk bekerjanya "aku"?
Karena apapun yg berseliweran adalah juga pikiran termasuk "pikiran sedang mengamati", yg penting bukankah hanya sadar saja(just that)?

Setau saya apapun yg muncul hanya disadari saja termasuk pikiran ttg pengamat pikiran dan dalam hal ini "tidak ada aku" dan hanya ada "aku" ketika kita mulai mengikuti atau terpaku bahkan berpikir "aku sedang mengamati"
 
Bagaimana menurut Pak Hud?Ada saran?

Maksud saya ketika menyadari pikiran yg ttg pengamat pikiran yg saya tangkap dari Pak Hud adalah disana ada "aku" yg dianggap sebagai pengamat. (mungkin saya salah tangkap). Bisa pak Hud jelaskan contoh pikiran yg munculnya "aku" sebagai pengamat tadi? Dan  apakah ketika kita mengamati dan menyadari pikiran sebenarnya pikiran juga bergerak tidak diam, berarti apakah masih ada "aku" atau "tidak ada aku" . Apakah yg dimaksud padamnya "aku" selama ini adalah padamnya citta atau kilesa(LDM)? . Apakah ketika tidak ada campur tangan aku maka pikiran diam dan berarti padam?(Maaf banyak nanya Pak Hud)_/\_

Akan saya coba jelaskan -- mula-mula perlu dipahami beberapa prinsip dasar batin manusia:

(1) 'si aku' adalah 'pikiran', karena 'pikiran' menciptakan 'si aku' (Mulapariyaya-sutta) -- secara praktis bisa dibilang 'si aku' dan 'pikiran' adalah sinonim;
(2) 'sadar' itu lain -- ketika 'sadar' muncul, maka 'pikiran'/'si aku' berhenti -- dengan kata lain, di dalam 'sadar' itu tidak ada 'pikiran/si aku';
(3) 'si aku' adalah 'si pengamat' -- jadi, 'pikiranlah' yang menciptakan 'si pengamat', yang berhadapan dengan 'yang diamati', 'pikiran' menciptakan dualitas antara 'subyek' dan 'obyek' (Mulapariyaya-sutta);
(4) ketika 'pikiran'/'si aku' diam, maka 'si pengamat' pun lenyap -- dualitas lenyap;
(5) lenyapnya 'pikiran'/'si aku'/'si pengamat' terjadi di dalam 'sadar' dan 'diam'.

Nah, silakan cari sendiri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Anda itu dalam lima poin yang saya kemukakan di atas. Bisa saya bantu:

(a) Bond: Bukankah ketika kita hanya menyadari ada "pikiran (yg merupakan bagian dari batin) sedang mengamati" itu juga termasuk bekerjanya "aku"?
Hudoyo: Di dalam 'sadar' 'aku' & 'pikiran' justru berhenti: jadi, ketika orang 'sadar' akan 'pikiran yang sedang mengamati', 'pikiran' itu langsung berhenti.

(b) Bond: Karena apapun yg berseliweran adalah juga pikiran termasuk "pikiran sedang mengamati", yg penting bukankah hanya sadar saja(just that)?
Hudoyo: Betul. Di dalam 'sadar', seketika itu juga 'pikiran' yang berseliweran, yang mengamati, dsb langsung lenyap.

(c) Bond: Setau saya apapun yg muncul hanya disadari saja termasuk pikiran ttg pengamat pikiran dan dalam hal ini "tidak ada aku" dan hanya ada "aku" ketika kita mulai mengikuti atau terpaku bahkan berpikir "aku sedang mengamati".
Hudoyo: Betul. 'Aku' muncul ketika ada konsentrasi (pemusatan perhatian terus-menerus pada satu obyek).

(d) Bond: ketika menyadari pikiran yg ttg pengamat pikiran yg saya tangkap dari Pak Hud adalah disana ada "aku" yg dianggap sebagai pengamat.
Hudoyo: Ketika 'sadar', maka dengan segera 'pikiran' & 'si aku' lenyap, juga 'pengamat' lenyap.

(e) Bond: apakah ketika kita mengamati dan menyadari pikiran sebenarnya pikiran juga bergerak tidak diam, berarti apakah masih ada "aku" atau "tidak ada aku" .
Hudoyo: Hati-hati dengan kata "mengamati", "menyadari" ... Yang benar, itu bukan tindakan aktif, melainkan keadaan batin yang pasif, di situ tidak ada konsentrasi. Di situ tidak ada 'aku'. 'Aku' baru muncul kalau ada 'pikiran'. ('Pikiran' adalah tanggapan terhadap rangsangan dari luar dan dari dalam.) ... Di sinilah salah satu kesulitan memberikan instruksi/tuntunan meditasi. Instruksi "amati" atau "sadari" mudah diterima sebagai tindakan aktif, sebagai konsentrasi, padahal yang dimaksud adalah keadaan batin yang pasif, tanpa konsentrasi, di mana tidak ada pikiran, tidak ada pelabelan, tidak ada pengenalan, tidak ada 'aku'.

(f) Bond: Apakah yg dimaksud padamnya "aku" selama ini adalah padamnya citta atau kilesa(LDM)?
Hudoyo: Saya tidak tahu apa itu citta, apakah itu sama dengan pikiran atau tidak -- saya sudah lama meninggalkan Abhidhamma. Yang dapat diketahui dalam vipassana versi MMD adalah 'pikiran' (seperti diuraikan di atas).
Tentang kilesa (lobha, dosa, moha -- segala keadaan batin yang "negatif"), dalam keadaan 'sadar' memang itu tidak muncul dalam kesadaran (tapi jangan lupa bahwa akarnya tetap ada di bawah sadar/anusaya-bhumi sebelum tercabut seluruh akarnya.) -- Namun, perlu pula dipahami bahwa di dalam 'sadar', semua keadaan batin yang dikenal sebagai "baik" (kusala) juga tidak muncul. Di dalam 'sadar' orang bebas dari 'akusala' dan 'kusala', bebas dari 'karma'.

(g) Bond: Apakah ketika tidak ada campur tangan aku maka pikiran diam dan berarti padam?
Hudoyo: Yang tepat adalah, ketika 'pikiran' diam, 'si aku' tidak ada dalam kesadaran; di atas telah dikatakan bahwa 'pikiran' menciptakan 'si aku', 'pikiran' bersinonim dengan 'aku' (Mulapariyaya-sutta). Yang ada hanyalah batin yang diam (dan jasmani yang berfungsi), tapi batin itu bukan milik aku lagi, karena sesungguhnya 'si pemilik' tidak ada.

(h) Bond: Bisa pak Hud jelaskan contoh pikiran yg munculnya "aku" sebagai pengamat tadi?
Hudoyo: Kalau Anda minta contoh, sering saya kemukakan contoh yang sangat mudah karena sering dialami oleh semua orang:


Quote from: doddymobile;38876937
Eyang Semar apa mungkin mengamati tanpa si pengamat, sekarang sewaktu saya mulai menyadari pikiran saya merasa kembali mengamati menjadi kembali terpecah antara subyek dan obyek...

Mas Doddy,

Saya ambil sebuah contoh yang sederhana, yang sering kita lakukan: pada saat Anda menonton sebuah film yang bagus di sebuah bioskop ... film itu sangat bagus dan ceritanya memukau, menyita perhatian Anda ... apakah ada si pengamat? Maksudnya, apakah Anda sadar akan 'diri' Anda tengah menonton film? ... Tidak, bukan. ... Di situ tidak ada si pengamat dan yang diamati, tidak ada subyek dan obyek. ...
Nah, pada suatu saat, ketika pikiran/aku Anda bergerak, Anda baru sadar bahwa Anda sedang menonton sebuah film, bahwa Anda berada di sebuah bioskop menghadap ke layar putih, bahwa di kanan-kiri Anda ada penonton lain ... dsb dsb. Pada saat itu, Anda sebagai si pengamat muncul ... dan Anda menyadari situasi Anda berada di dalam bioskop itu ... Di situlah baru ada si pengamat dan yang diamati, ada subyek dan obyek. ...

Begitu pula, ketika batin Anda mengamati segala sesuatu yang ada dengan penuh perhatian, tanpa campur tangan pikiran/si aku, maka si pengamat tidak ada ... Tapi sebentar lagi, seperti Anda ceritakan di atas, ketika pikiran/aku Anda bergerak, maka muncul si pengamat/subyek yang menyadari tengah mengamati pikirannya/obyek ... muncullah dualitas subyek-obyek sebagai akibat dari gerak pikiran; Anda bilang, batin terpecah antara subyek & obyek ... terpecah itu akibat pikiran yang bergerak kembali ... Sebetulnya, pada saat itu Anda sudah tidak lagi "mengamati pikiran" ... "mengamati pikiran" itu sudah lampau sedikit (mungkin 1-2 detik) ... Sekarang pikiran/aku Anda memikirkan apa yang sudah lampau itu ... ia berkata: "Saya mengamati pikiran," tapi sebetulnya yang dimaksudkannya adalah: "[Baru saja] saya mengamati pikiran." ... Kalau orang betul-betul berada dalam keadaan mengamati batin, maka tidak ada si aku yang menyadari dirinya tengah mengamati batin ... tidak ada dualitas antara subyek-obyek. ... Tapi bagi seorang pemula, biasanya keadaan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. ...  Pikiran/aku ini begitu licin bagai belut, sehingga ia cepat sekali menyela ketika orang sedang benar-benar dalam keadaan sadar/mengamati, sehingga muncullah apa yang Anda alami itu ...
Bagaimana, ini bisa dipahami dan dilihat/disadari dalam meditasi Anda?

Salam,
semar

DODDYMOBILE: Terima kasih Eyang Semar...
« Last Edit: 16 October 2008, 08:10:22 PM by Sumedho »

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Re: MMD (Meditasi Mengenal Diri)
« Reply #642 on: 03 August 2008, 01:43:22 AM »
Quote
Menurut saya, yang terjadi adalah: bila 'keinginan untuk bebas' itu sendiri disadari ... sehingga berhenti dengan sendirinya ... di situlah muncul 'kebebasan' itu tanpa diinginkan. ...
'Kebebasan' itu muncul bila orang tidak melekat lagi pada 'keinginan untuk bebas'. ...
"keinginan" disadari...
Apakah "keinginan yang disadari" itu sama dengan "melebur" atau "menyatu" didalam "keinginan" itu sendiri?

Keinginan yang disadari akan lenyap dengan seketika.


Quote
Seperti Dukkha,untuk "memahami" Dukkha,kita perlu "menyelam/melebur/menyatu" dalam Dukkha itu sendiri,merasakan esensi dr Dukkha,apa itu Dukkha,Awal dukkha,Akhir Dukkha,dll....

Dukkha adalah aku, kita; dukkha adalah pikiran. Barang siapa memahami pikiran/aku, maka ia memahami dukkha; dan barang siapa memahami dukkha, pada saat itu juga, sekaligus, ia memahami sebab dukkha, pada saat itu juga ia memahami lenyapnya dukkha, pada saat itu juga ia bebas dari dukkha, sekalipun hanya untuk sesaat, dan saat berikutnya dukkha itu--yang adalah pikiran/aku--muncul kembali.


Quote
Mungkin banyak orang yang "mengerti teori" tentang "dukkha" bahkan tidak jarang orang "mengerti secara pikiran" tentang Dukkha itu...
Tapi saya rasa itu belum "cukup" karena dia "masih" belum benar2 "memahami" apa itu "dukkha?"

Betul. "Memahami dukkha" berarti memahami 'pikiran', memahami 'aku'. Jadi, kalau orang memahami 'dukkha' dengan pikirannya (secara intelektual), ia tidak sungguh-sungguh memahami dukkha, ia tetap berada dalam dukkha, karena dukkha adalah pikiran/aku itu sendiri. Sebaliknya, kalau orang sungguh-sungguh memahami dukkha, yang adalah pikiran/akunya, maka seketika itu juga pikiran/aku itu lenyap, dan ia bebas dari dukkha, sekalipun hanya untuk sementara, sebelum bebas sempurna.

Ayah

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Retret MMD seminggu di Samarinda: 24 Juli s.d. 1 Agustus 2008
« Reply #643 on: 03 August 2008, 06:00:02 AM »
Kemarin, tgl 24 Juli s.d. 1 Agustus telah diselenggarakan retret MMD seminggu di Samarinda, bertempat di Vihara Muladharma. Tidak banyak peserta retret kali ini, cuma lima orang. Itu pun dua orang mengundurkan diri setelah dua malam. Alasannya karena ternyata MMD tidak cocok dengan harapannya: yang satu, perempuan 16 tahun, mengharapkan ketenangan (bukan 'panna'/kearifan), yang lain mengharapkan bisa melihat alam gaib.

Jadi ada 3 orang yang mengikuti retret sampai selesai. Di tengah jalan ikut pula dua orang lagi selama 3 hari. Selain itu, pada setiap diskusi pada jam 19 beberapa umat datang ikut mendengarkan diskusi.

Dalam satu segi, retret yang hanya diikuti 3 orang itu memberikan keuntungan besar bagi pesertanya. Ketiga orang itu memperoleh pengalaman bermeditasi dalam suasana yang relatif sepi; berbeda dengan menjalani retret yang diikuti oleh 20 orang misalnya.

Hasilnya pun cukup mencengangkan. Dua dari ketiga peserta mengalami 'berhentinya pikiran' (khanika samadhi) yang cukup lama. Sedangkan yang ketiga, anak muda 19 tahun, salah seorang anak-Dhamma saya, mengalami keadaan hening itu hanya untuk beberapa saat saja.

Melihat perkembangan itu, saya membagikan kertas untuk menuliskan testimoni sebagai umpan balik dua malam sebelum retret berakhir. Jadi pada hari ketujuh, peserta mempunyai waktu satu hari penuh untuk menuliskan pengalamannya. Hasilnya dapat diduga: dua dari ketiga peserta menulis berlembar-lembar testimoni, dan peserta ketiga menulis 2 halaman testimoni.

Secara terpisah, testimoni-testimoni itu akan saya tayangkan di forum ini.

Salam,
hudoyo

Offline hudoyo

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.919
  • Reputasi: 20
Testimoni dari retret MMD seminggu di Samarinda: FERY, 29 th., Buddhis
« Reply #644 on: 03 August 2008, 06:13:50 AM »
“Pencerahan tiba-tiba … Begitu nyaman menikmati … mengalir begitu saja …”

Hari pertama dan kedua berlalu. Saya merasa gak ada masalah. Tapi ketika interview pertama ditanya oleh Pak Hudoyo, “Bagaimana perkembangan meditasinya?”, saya bingung. Saya jawab, “Tidak tahu.” Dan kemudian kami tertawa. Tapi memang saya tidak tahu. Hehehe … Akhirnya saya hanya bercerita tentang kondisi fisik saya yang lagi beradaptasi dengan sakit dan pegel, juga mengantuk pada jam 5 pagi. Satu hal yang penting dari jawaban Pak Hudoyo saat itu tentang “saya tidur lagi jam 5-an gitu”: “Terserah Anda, gak masalah, waktu di sini Anda sendiri bebas mengatur.”

Jawaban ini justru membuat saya tidak terbebani lagi. Padahal tadi saya tertidur satu jam setengah dan terbangun tiba-tiba jam 7 pagi, pas jam makan pagi. Dan payahnya saya gak dengar sama sekali bunyi lonceng makan, sampai-sampai saya pergi ke ruang meditasi lagi, dan tidak ada orang! :)  (Ini gak saya ceritakan kepada Pak Hudoyo pada interview … hahaha … )

Hari ketiga berjalan biasa saja. Batin masih sering bernyanyi lagu-lagu pop macam-macam, kebiasaan sehari-hari saat kerja. :) Tetapi malamnya setelah diskusi tentang pikiran, meditasi saya terasa nyaman. Tetap saja banyak ingatan dan hayalan. Tapi saya merasa damai setelah meditasi berakhir. Terima kasih penjelasannya, Romo, sangat membantu pemahaman saya.

Subuhnya, ketika lonceng bangun pagi jam 3 dibunyikan, saya kesal sekali. Saya merasa kurang tidur. Sudah dua malam ini saya terjaga dua-tiga kali gara-gara mimpi buruk. Saya pikir, “Ah, persetan dengan lonceng, saya mau tidur lagi!” Masak diatur-atur sama lonceng. Peduli amat! Dua puluh menit kemudian akhirnya saya bangun juga, dengan perasaan menang karena tetap tidur walau lonceng telah berbunyi. Kemarin-kemarin kepaksa sih. :)

Uniknya perasaan ini membawa saya ke suatu pemahaman baru, bahwa retret ini saya yang mengatur jadwalnya. Saya merasa baru saja melepaskan beban yang sudah saya pikul sehari-hari. Menggeletak begitu saja. Nyaman. Ringan rasanya menjalani meditasi, bahkan aktivitas apa pun selama jadwal satu harian yang itu-itu saja. Dan mulai pagi itu saya juga tidak pernah pergi tidur lagi (di waktu pagi). Ada yang lain rasanya dari makan pagi, mandi, dan pergi meditasi lagi jam 8. Tidak ada keharusan. Tak ada seperti disuruh menaati jadwal. Saya merasa ini adalah hari saya. Jadi terserah saya mau apa. Hari itu untuk pertama kalinya saya merasa bukan seperti ikut retret.

Justru di dalam kedamaian ini saya mengalami hal yang tak pernah saya alami. Saat bemeditasi dengan penuh kesadaran, tiba-tiba saja saya berdiri untuk pergi ke toilet. Biasanya ada pikiran menahan, “Nanti dulu, tunggu beberapa menit lagi.” Tapi itu tanpa disengaja. Saya berjalan dengan kebahagiaan. Tiba-tiba saya melihat langit yang mendung, pepohonan, lain dari biasanya. Ada yang berbeda, tapi tidak tahu apa. Saya berjalan, lalu kencing, dengan kesadaran yang berbeda. Ini aneh. Apa itu? Saya tetap tidak tahu. Saat masuk kembali ke ruang meditasi, tiba-tiba muncul suatu luapan perasaan bahagia yang luar biasa. Menyesakkan dada. Tak ada pikiran mau bermeditasi atau ngapain. Jalan begitu saja. Saya jalan bolak-balik di jalur yang berbeda tiap saya bermeditasi jalan. Tidak ada pola langkah seperti biasanya saat saya bermeditasi jalan. Kebahagiaan saya membuat mata berair seperti mau nangis. Itu hari pertama selama retret, saya bisa tersenyum alami. Semua rasa sakit di badan hilang seketika.

Tidak ada niatan menunggu lonceng makan berbunyi sampai dia berbunyi. Saya makan dengan bahagia. Makan apa yang saya lihat. Tanpa ada keinginan harus begini-begitu. Tidak ada rasa sungkan dan tidak enakan seperti biasa dengan teman-teman satu meja. Bahkan dengan Pak Hudoyo. Saya melihat mereka sama saja semua. Tidak ada penilaian. Semua mengalir dengan kesadaran yang berbeda dari biasanya yang saya alami.

Hari kelima saya jalani masih dengan perasaan yang sama. Tanpa beban. Saya merasa menikmati hidup. Damai. Ada satu petunjuk yang berkesan buat saya dari diskusi tadi malam: “Buka selebar-lebarnya semua panca indra. Sadari semua yang diterima oleh setiap indra.” Demikian seingat saya inti yang dikatakan Pak Hudoyo. Setelah mandi pagi, saya coba praktikkan ini. Dan ternyata lumayan sulit. Bagaimana itu maksudnya? Pagi itu meditasi saya agak kacau. Banyak hayalan dan ingatan yang muncul. Berlama-lama berada di masa lalu dan suka menghayal. Walau berusaha menyadarinya, tetap saja terseret. Sampai beberapa menit sebelum makan siang. Batin saya menjadi lelah. Saya merasa dipermainkan hingga saya menyerah, pasrah. Tapi justru saat yang gak disangka-sangka, tiba-tiba saja semua ingatan dan hayalan buyar. Tiba-tiba saja saya hanya mendengar suara-suara dengan cara yang berbeda. Kesadaran yang berbeda. Terjadi hanya beberapa detik. Tiba-tiba semua menjadi jernih. Saya mengerti! Pencerahan tiba-tiba. Saya tahu itu suara kendaraan, suara mesin genset, suara orang, suara burung. Saya “hanya” mendengar. Tidak ada celoteh batin. Setelah itu ada perasaan senang sekali. Bawaannya saya mau ketawa aja. Bahkan sampai di saat makan. Saya seperti seorang anak kecil yang sudah dari tadi berusaha membuka kotak mainan dengan segala cara, tapi gak bisa terbuka juga. Tapi saat dibiarkan begitu saja, klik! Terbuka sendiri. Horeee … Saya pikir mungkin inilah yang dimaksud Pak Hudoyo, “Hanya mendengar apa yang terdengar.”

Sudah hari keenam. Pagi setelah mandi, sudah jam 8.00. Sewaktu mau keluar kamar, saya merasa ada yang salah waktu mau membawa jam tangan. Saya membatin, “Gak usah dibawa deh, mungkin itu lebih baik.” Dan memang. Setelah itu saya tidak melihat-lihat jam lagi. Semua berjalan tanpa beban. Tanpa terikat dengan jam lagi. Saya begitu menikmatinya dari saat ke saat. Tidak seperti kemarin-kemarin, sewaktu bermeditasi sering terpikir, “Sudah berapa lama ya?”, “Sudah jam berapa ya?”, “Kapan lonceng makan berbunyi, ya?”, “Kayaknya sudah satu jam nih duduk.” Benar-benar diatur oleh Sang Waktu. Tapi saat itu bagi saya sudah tidak ada waktu lagi, hingga jam rehat siang. Tak ada yang mengikat saya lagi, benar-benar tidak ada beban. Saya bebas. Bebas mau duduk kapan saja dan berapa lama. Bebas tanpa waktu. Ternyata mudah saja caranya: “Tinggalkan saja jam tanganmu!” hehe …

Saat itu kesadaran saya bekerja dengan cara berbeda. Saya bisa mengamati dengan jelas semua sensasi pada tubuh. Ada daerah-daerah yang pegal, sakit, tegang, padat, berdenyut, nafas yang keluar masuk, detak jantung. Begitu pula dengan kerja telinga. Suara mobil, burung, orang yang bergerak, pijakan kaki. Jernih. Satu per satu berlalu. Kesadaran bergerak sendiri. Tanpa ada perintah. Tanpa ada usaha. bekerja dengan sendirinya dari saat ke saat.

Semua ingatan ataupun hayalan ke masa depan yang muncul tidak bertahan lama. Muncul dan kemudian hilang sendiri. Tidak seperti biasanya saya menjadi terseret. Kalau pun terseret, hanya sebentar saja. Batin begitu nyaman menikmati. Mengalir begitu saja. Bahkan di saat meditasi jalan maupun aktivitas lainnya, saya merasa seperti menjalani hari-hari biasa. Bukan sedang bervipassana. Semua kegiatan sepertinya sama saja.

O ya, ketika saya hendak pergi ke kamar kecil, ada satu pemandangan lagi yang berbeda sekali. Saat berjalan, mata ke arah 2-3 meter ke depan, secara tiba-tiba pada penglihatan saya, lantai paving menjadi bergelombang. Dengan posisi mata yang sama saya juga bisa mengetahui (melihat) sekeliling dengan jelas sekali. Ada bangunan, tiang lampu, pepohonan, semua kelihatan. Saat saya menoleh, jauh ke samping, saya melihat pepohonan nampak fokus, jelas. Terlihat tajam. Padahal saya lagi tidak berkacamata; saya penderita mata silinder dan sedikit rabun. Terjadi cepat sekali, beberapa detik. Lalu sirna saat batin bertanya, “Eh, kenapa ya?” Rupanya si aku yang mencari tahu. :)

Ada satu hal lagi yang saya rasakan berbeda hari ini. Selama retret saya merasa terpasung. Terkucilkan dari dunia luar dan sosialisasi dengan orang. Karena memang ada “aturan main” selama retret “tidak berkomunikasi lewat mata dengan siapa saja.” Saya cuma seperti kuda delman yang cuma bisa lihat ke depan. Tapi di saat jam makan siang, ketika ketemu dengan teman-teman peserta, dhamma-worker, atau pun dengan para tamu yang datang, bahkan dengan Pak Hudoyo sendiri, saya bisa memandang muka & mata tanpa beban. Ini bukan tentang “aturan main” lagi yang biasanya malah membuat saya berpikiran atau pun sungkan untuk langsung memandang orang. Hari ini saya merasa plong, bahkan ketika membalas senyuman orang. Tidak ada aturan lagi. No rule, brother, hehe …

Dari semua pengalaman hari ini, saya punya persepsi baru tentang “sadar setiap saat”. Sadar bukan karena kita berusaha untuk sadar. Seperti yang saya alami sebelumnya saat berjalan, mau makan, mandi, membuka pintu; yang semuanya mengandung usaha untuk tahu apa yang sedang dilakukan. Tapi sadar tanpa usaha, bekerja secara alami, mengalir begitu saja. Semua pancaindra tetap bekerja, dan kita tahu dia sedang menerima rangsangan dari luar. Luar biasa! Hanya sesederhana itu. Malamnya saya semakin mengerti dengan penjelasan Pak Hudoyo mengenai apa yang saya alami: diamnya pikiran, hening, melihat sebagaimana adanya. Dirangkum menjadi satu, tidak adanya aku.

Hari terakhir tidak ada yang istimewa. ada saat-saat tenang, ada saat-saat pikiran kacau. Pak Hudoyo bilang itu sih gak ada bedanya. Benar juga … Retret kali ini buat saya benar-benar memberikan pemahaman baru, pengetahuan baru. Ini benar-benar seni hidup. Di sini pula saya melihat banyaknya kesombongan dalam diri saya. Ego yang besar, hawa nafsu, ketidaktahuan dan kotornya batin saya. Terima kasih yang sedalam-dalamnya buat Pak Hudoyo yang sudah memberi petunjuk praktis, maupun bimbingan bermeditasi. Suatu pengalaman yang tak terlupakan bagi saya.

 

anything