“Pencerahan tiba-tiba … Begitu nyaman menikmati … mengalir begitu saja …”
Hari pertama dan kedua berlalu. Saya merasa gak ada masalah. Tapi ketika interview pertama ditanya oleh Pak Hudoyo, “Bagaimana perkembangan meditasinya?”, saya bingung. Saya jawab, “Tidak tahu.” Dan kemudian kami tertawa. Tapi memang saya tidak tahu. Hehehe … Akhirnya saya hanya bercerita tentang kondisi fisik saya yang lagi beradaptasi dengan sakit dan pegel, juga mengantuk pada jam 5 pagi. Satu hal yang penting dari jawaban Pak Hudoyo saat itu tentang “saya tidur lagi jam 5-an gitu”: “Terserah Anda, gak masalah, waktu di sini Anda sendiri bebas mengatur.”
Jawaban ini justru membuat saya tidak terbebani lagi. Padahal tadi saya tertidur satu jam setengah dan terbangun tiba-tiba jam 7 pagi, pas jam makan pagi. Dan payahnya saya gak dengar sama sekali bunyi lonceng makan, sampai-sampai saya pergi ke ruang meditasi lagi, dan tidak ada orang!
(Ini gak saya ceritakan kepada Pak Hudoyo pada interview … hahaha … )
Hari ketiga berjalan biasa saja. Batin masih sering bernyanyi lagu-lagu pop macam-macam, kebiasaan sehari-hari saat kerja.
Tetapi malamnya setelah diskusi tentang pikiran, meditasi saya terasa nyaman. Tetap saja banyak ingatan dan hayalan. Tapi saya merasa damai setelah meditasi berakhir. Terima kasih penjelasannya, Romo, sangat membantu pemahaman saya.
Subuhnya, ketika lonceng bangun pagi jam 3 dibunyikan, saya kesal sekali. Saya merasa kurang tidur. Sudah dua malam ini saya terjaga dua-tiga kali gara-gara mimpi buruk. Saya pikir, “Ah, persetan dengan lonceng, saya mau tidur lagi!” Masak diatur-atur sama lonceng. Peduli amat! Dua puluh menit kemudian akhirnya saya bangun juga, dengan perasaan menang karena tetap tidur walau lonceng telah berbunyi. Kemarin-kemarin kepaksa sih.
Uniknya perasaan ini membawa saya ke suatu pemahaman baru, bahwa retret ini saya yang mengatur jadwalnya. Saya merasa baru saja melepaskan beban yang sudah saya pikul sehari-hari. Menggeletak begitu saja. Nyaman. Ringan rasanya menjalani meditasi, bahkan aktivitas apa pun selama jadwal satu harian yang itu-itu saja. Dan mulai pagi itu saya juga tidak pernah pergi tidur lagi (di waktu pagi). Ada yang lain rasanya dari makan pagi, mandi, dan pergi meditasi lagi jam 8. Tidak ada keharusan. Tak ada seperti disuruh menaati jadwal. Saya merasa ini adalah hari saya. Jadi terserah saya mau apa. Hari itu untuk pertama kalinya saya merasa bukan seperti ikut retret.
Justru di dalam kedamaian ini saya mengalami hal yang tak pernah saya alami. Saat bemeditasi dengan penuh kesadaran, tiba-tiba saja saya berdiri untuk pergi ke toilet. Biasanya ada pikiran menahan, “Nanti dulu, tunggu beberapa menit lagi.” Tapi itu tanpa disengaja. Saya berjalan dengan kebahagiaan. Tiba-tiba saya melihat langit yang mendung, pepohonan, lain dari biasanya. Ada yang berbeda, tapi tidak tahu apa. Saya berjalan, lalu kencing, dengan kesadaran yang berbeda. Ini aneh. Apa itu? Saya tetap tidak tahu. Saat masuk kembali ke ruang meditasi, tiba-tiba muncul suatu luapan perasaan bahagia yang luar biasa. Menyesakkan dada. Tak ada pikiran mau bermeditasi atau ngapain. Jalan begitu saja. Saya jalan bolak-balik di jalur yang berbeda tiap saya bermeditasi jalan. Tidak ada pola langkah seperti biasanya saat saya bermeditasi jalan. Kebahagiaan saya membuat mata berair seperti mau nangis. Itu hari pertama selama retret, saya bisa tersenyum alami. Semua rasa sakit di badan hilang seketika.
Tidak ada niatan menunggu lonceng makan berbunyi sampai dia berbunyi. Saya makan dengan bahagia. Makan apa yang saya lihat. Tanpa ada keinginan harus begini-begitu. Tidak ada rasa sungkan dan tidak enakan seperti biasa dengan teman-teman satu meja. Bahkan dengan Pak Hudoyo. Saya melihat mereka sama saja semua. Tidak ada penilaian. Semua mengalir dengan kesadaran yang berbeda dari biasanya yang saya alami.
Hari kelima saya jalani masih dengan perasaan yang sama. Tanpa beban. Saya merasa menikmati hidup. Damai. Ada satu petunjuk yang berkesan buat saya dari diskusi tadi malam: “Buka selebar-lebarnya semua panca indra. Sadari semua yang diterima oleh setiap indra.” Demikian seingat saya inti yang dikatakan Pak Hudoyo. Setelah mandi pagi, saya coba praktikkan ini. Dan ternyata lumayan sulit. Bagaimana itu maksudnya? Pagi itu meditasi saya agak kacau. Banyak hayalan dan ingatan yang muncul. Berlama-lama berada di masa lalu dan suka menghayal. Walau berusaha menyadarinya, tetap saja terseret. Sampai beberapa menit sebelum makan siang. Batin saya menjadi lelah. Saya merasa dipermainkan hingga saya menyerah, pasrah. Tapi justru saat yang gak disangka-sangka, tiba-tiba saja semua ingatan dan hayalan buyar. Tiba-tiba saja saya hanya mendengar suara-suara dengan cara yang berbeda. Kesadaran yang berbeda. Terjadi hanya beberapa detik. Tiba-tiba semua menjadi jernih. Saya mengerti! Pencerahan tiba-tiba. Saya tahu itu suara kendaraan, suara mesin genset, suara orang, suara burung. Saya “hanya” mendengar. Tidak ada celoteh batin. Setelah itu ada perasaan senang sekali. Bawaannya saya mau ketawa aja. Bahkan sampai di saat makan. Saya seperti seorang anak kecil yang sudah dari tadi berusaha membuka kotak mainan dengan segala cara, tapi gak bisa terbuka juga. Tapi saat dibiarkan begitu saja, klik! Terbuka sendiri. Horeee … Saya pikir mungkin inilah yang dimaksud Pak Hudoyo, “Hanya mendengar apa yang terdengar.”
Sudah hari keenam. Pagi setelah mandi, sudah jam 8.00. Sewaktu mau keluar kamar, saya merasa ada yang salah waktu mau membawa jam tangan. Saya membatin, “Gak usah dibawa deh, mungkin itu lebih baik.” Dan memang. Setelah itu saya tidak melihat-lihat jam lagi. Semua berjalan tanpa beban. Tanpa terikat dengan jam lagi. Saya begitu menikmatinya dari saat ke saat. Tidak seperti kemarin-kemarin, sewaktu bermeditasi sering terpikir, “Sudah berapa lama ya?”, “Sudah jam berapa ya?”, “Kapan lonceng makan berbunyi, ya?”, “Kayaknya sudah satu jam nih duduk.” Benar-benar diatur oleh Sang Waktu. Tapi saat itu bagi saya sudah tidak ada waktu lagi, hingga jam rehat siang. Tak ada yang mengikat saya lagi, benar-benar tidak ada beban. Saya bebas. Bebas mau duduk kapan saja dan berapa lama. Bebas tanpa waktu. Ternyata mudah saja caranya: “Tinggalkan saja jam tanganmu!” hehe …
Saat itu kesadaran saya bekerja dengan cara berbeda. Saya bisa mengamati dengan jelas semua sensasi pada tubuh. Ada daerah-daerah yang pegal, sakit, tegang, padat, berdenyut, nafas yang keluar masuk, detak jantung. Begitu pula dengan kerja telinga. Suara mobil, burung, orang yang bergerak, pijakan kaki. Jernih. Satu per satu berlalu. Kesadaran bergerak sendiri. Tanpa ada perintah. Tanpa ada usaha. bekerja dengan sendirinya dari saat ke saat.
Semua ingatan ataupun hayalan ke masa depan yang muncul tidak bertahan lama. Muncul dan kemudian hilang sendiri. Tidak seperti biasanya saya menjadi terseret. Kalau pun terseret, hanya sebentar saja. Batin begitu nyaman menikmati. Mengalir begitu saja. Bahkan di saat meditasi jalan maupun aktivitas lainnya, saya merasa seperti menjalani hari-hari biasa. Bukan sedang bervipassana. Semua kegiatan sepertinya sama saja.
O ya, ketika saya hendak pergi ke kamar kecil, ada satu pemandangan lagi yang berbeda sekali. Saat berjalan, mata ke arah 2-3 meter ke depan, secara tiba-tiba pada penglihatan saya, lantai paving menjadi bergelombang. Dengan posisi mata yang sama saya juga bisa mengetahui (melihat) sekeliling dengan jelas sekali. Ada bangunan, tiang lampu, pepohonan, semua kelihatan. Saat saya menoleh, jauh ke samping, saya melihat pepohonan nampak fokus, jelas. Terlihat tajam. Padahal saya lagi tidak berkacamata; saya penderita mata silinder dan sedikit rabun. Terjadi cepat sekali, beberapa detik. Lalu sirna saat batin bertanya, “Eh, kenapa ya?” Rupanya si aku yang mencari tahu.
Ada satu hal lagi yang saya rasakan berbeda hari ini. Selama retret saya merasa terpasung. Terkucilkan dari dunia luar dan sosialisasi dengan orang. Karena memang ada “aturan main” selama retret “tidak berkomunikasi lewat mata dengan siapa saja.” Saya cuma seperti kuda delman yang cuma bisa lihat ke depan. Tapi di saat jam makan siang, ketika ketemu dengan teman-teman peserta, dhamma-worker, atau pun dengan para tamu yang datang, bahkan dengan Pak Hudoyo sendiri, saya bisa memandang muka & mata tanpa beban. Ini bukan tentang “aturan main” lagi yang biasanya malah membuat saya berpikiran atau pun sungkan untuk langsung memandang orang. Hari ini saya merasa plong, bahkan ketika membalas senyuman orang. Tidak ada aturan lagi. No rule, brother, hehe …
Dari semua pengalaman hari ini, saya punya persepsi baru tentang “sadar setiap saat”. Sadar bukan karena kita berusaha untuk sadar. Seperti yang saya alami sebelumnya saat berjalan, mau makan, mandi, membuka pintu; yang semuanya mengandung usaha untuk tahu apa yang sedang dilakukan. Tapi sadar tanpa usaha, bekerja secara alami, mengalir begitu saja. Semua pancaindra tetap bekerja, dan kita tahu dia sedang menerima rangsangan dari luar. Luar biasa! Hanya sesederhana itu. Malamnya saya semakin mengerti dengan penjelasan Pak Hudoyo mengenai apa yang saya alami: diamnya pikiran, hening, melihat sebagaimana adanya. Dirangkum menjadi satu, tidak adanya aku.
Hari terakhir tidak ada yang istimewa. ada saat-saat tenang, ada saat-saat pikiran kacau. Pak Hudoyo bilang itu sih gak ada bedanya. Benar juga … Retret kali ini buat saya benar-benar memberikan pemahaman baru, pengetahuan baru. Ini benar-benar seni hidup. Di sini pula saya melihat banyaknya kesombongan dalam diri saya. Ego yang besar, hawa nafsu, ketidaktahuan dan kotornya batin saya. Terima kasih yang sedalam-dalamnya buat Pak Hudoyo yang sudah memberi petunjuk praktis, maupun bimbingan bermeditasi. Suatu pengalaman yang tak terlupakan bagi saya.