Retret MMD akhir pekan di Vihara Mendut kemarin, tgl 13 - 15 Juni 2008, diikuti oleh 24 peserta. Di antara peserta sebanyak itu, yang Buddhis cuma 4 orang. Yang terbanyak Islam (13 orang), diikuti Katholik (4), tidk menyebut agamanya (2), dan "universalist" (1).
Peserta termuda berusia 17 tahun, seorang gadis yang sudah duduk di perguruan tinggi (ia mengikuti program 2 tahun di sebuah SMU di Yogya). Peserta tertua seorang bapak berusia 60 tahun.
Retret MMD kali ini diikuti oleh dua orang tokoh senior Kejawen, seorang di antaranya mengikuti retret MMD untuk kedua kalinya. Adanya kedua tokoh itu membuat sesi-sesi diskusi menjadi dialog yang menarik.
Yang paling menarik adalah diskusi tetang "jatidiri". Menurut para pakar Kejawen pada umumnya, "manunggaling kawulo gusti" (penyatuan dengan Tuhan) adalah jatidiri yang tertinggi. Kalau KONSEP itu dihadapi dengan KONSEP "pencapaian nibbana", di mana diri ini lenyap, kemungkinan besar dialog akan macet, karena akan terjadi penolakan berdasarkan rasa keagamaan yang berbeda.
Tetapi ketika diceritakan pengalaman pencerahan Bernadette Roberts, yang Katholik, di mana terlihat bahwa "penyatuan dengan Tuhan" baru merupakan "separuh perjalanan", para pakar Kejawen itu mulai melihat kemungkinan adanya suatu titik temu. Dua puluh tahun setelah Bernadette Roberts mencapai "penyatuan dengan Tuhan" dalam usia remaja sebagai biarawati, pada usia 40 tahunan secara tiba-tiba ia mengalami lenyapnya dirinya untuk selamanya. Dan yang menarik ialah bahwa bersama dengan lenyapnya diri lenyap pula Tuhan. Sebagai gantinya ia melihat ada SESUATU yang seperti "kabut" ada di mana-mana, meresapi segala sesuatu yang ada, atau lebih tepat dikatakan, segala sesuatu yang ada berada di dalam SESUATU itu. Ia juga langsung secara intuitif tahu bahwa segala sesuatu yang ada berasal dari, dan akan kembali kepada, SESUATU itu. Karena pikiran/aku telah berakhir, maka SESUATU itu tidak mungkin dikenali dan dikonsepsikan lagi; oleh Bernadette, SESUATU itu dinamakannya "Yang Tak Dikenal" (The Unknown). Pengalaman Bernadette Roberts ini membuka wawasan para pendengar akan kemungkinan bahwa semua kata-kata dan pikiran bukanlah apa yang dikatakan.
Retret diawali dengan pemberian attha-sila kepada peserta yang Buddhis, dilanjutkan dengan wejangan kepada seluruh peserta oleh YM Sri Pannyavaro Mahathera, kepala Vihara Mendut. Wejangan Bhante Pannya sangat menarik dan mengherankan bagi orang yang menyimaknya dengan teliti. Baru kali ini saya mendengar seorang bhikkhu memberi wejangan tanpa sekalipun menyebut sebuah kata Pali atau konsep yang khas Buddhis, namun apa yang dikatakannya sesungguhnya adalah intisari ajaran Sang Buddha. Bhante Pannya menguraikan dengan sangat pas apa yang disadari dalam MMD, di mana orang menyadari keinginan dalam batin sendiri, yang menjadi sumber dari konflik dan penderitaan. Beliau juga mengingatkan agar pemeditasi waspada akan berkembangnya keinginan untuk melenyapkan keinginan yang ada, keinginan untuk bebas, keinginan untuk mencapai nibbana, dsb, setelah berhasil mengatasi keinginan yang semula. Oleh karena itu, Bhante Pannya menyatakan bahwa di dalam meditasi ini tidak ada usaha apa pun untuk melenyapkan keinginan, tidak ada konsentrasi untuk mencapai sesuatu, tidak ada ritual apa pun. Yang ditekankan dalam meditasi ini adalah sadar akan gerak-gerik batin sendiri, terus-menerus; bahkan sadar bila muncul keinginan untuk sadar.
Baru kali ini saya mendengar seorang bhikkhu bicara seperti itu. Sayang saya tidak membawa tape recorder. Tetapi keesokan harinya saya sempat bertemu dengan Bhante Pannya, ketika beliau sedang menunggu kendaraan yang akan membawa beliau ke Solo. Saya sampaikan kesan saya tentang wejangan beliau, dan mohon pada retret MMD yang akan datang (bulan Oktober) agar beliau berkenan memberikan wejangan yang serupa lagi, karena saya akan merekamnya. Rekaman itu akan saya transkripsikan ke dalam tulisan, dan beliau akan saya mohon mengeditnya kembali, untuk dijadikan kata pengantar bagi buku "Panduan MMD" yang sedang saya tulis.
Lalu kami berbincang-bincang sedikit tentang MMD. Bhante Pannya memahami sepenuhnya bahwa MMD ini sangat berbeda dengan berbagai versi meditasi vipassana yang saya katakan "tradisional"; beliau menggunakan istilah "konvensional" untuk itu. Bhante Pannya memahami bahwa di dalam MMD tidak ada teknik apa pun yang dilatih, tidak ada tujuan yang dipertahankan. Saya menyampaikan bahwa sudah tiba waktunya ditulis sebuah buku panduan untuk MMD. Sasaran buku panduan itu ada dua: masyarakat luas non-Buddhis, dan umat Buddhis sendiri. Hal ini disebabkan karena semakin lama semakin banyak umat Buddhis yang mendengar tentang MMD ini, dan karena MMD ini sangat berbeda dengan versi-versi meditasi vipassana yang "tradisional/konvensional", maka sering kali timbul pertanyaan, keraguan, bahkan penolakan dari sementara kalangan umat Buddhis. Keraguan itu diperkuat lagi oleh kenyataan bahwa MMD ini diajarkan oleh seorang awam (non-bhikkhu), sedangkan semua versi meditasi vipassana yang lain pada umumnya diajarkan oleh bhikkhu. Bhante Pannya bersedia menulis kata pengantar untuk buku panduan itu.
Mudah-mudahan buku panduan itu bisa terbit menjelang akhir tahun ini.
Salam,
hudoyo