Benar Sdr Sumedho, saya juga sependapat dgn saran Sdr Morpheus... Jika dgn motiv ingin vihara ramai, maka tawarkan/sediakan apa yg menjadi "keinginan" umat ~ diselaraskan tentunya dgn "kebutuhan" spiritual; versi Buddhisme tentunya...
Kebijakan vihara masing² beda tentunya, ini yg menentukan kadar toleransinya utk mengakomodir "keinginan" umat... Konsekuensi toh? Cari tahu "keinginan" umat, bisa dgn cara sebarkan angket (pooling); sekalian konsensus umat: usia, gender, gol darah, dr mana kenal Buddhisme, hobby, media apa yg dipilih utk belajar Dhamma, penilaian ± ttg vihara, dll... Setelah data terkumpul, baru selaraskan dgn policy vihara, mana yg bisa diakomodir...
Mampukah vihara memfasilitasi "kebutuhan" umum umat, di luar kebutuhan primer (sandang, papan, & pangan), tentunya... Yaitu: pendidikan & kesehatan?
Contoh, sediakan kursus gratis/mumer, MIPA misalnya... Ini kan kebutuhan pendidikan. Inggris & Mandarin mungkin lumayan mahal kursusnya. Kalo ada muda-mudi yg komit mau ngajar (vihara kasih kompensasi dah); ini selling point, umat rasakan manfaatnya langsung... Umat yg finansialnya pas²an, pasti akan sangat apresiatif akan support dr vihara ini...
Jika mampu, vihara sediakan taman bermain atau lapangan badminton ato basket, buka sampe malem. Latihan wushu & barongsai utk kawula muda, thai-chi utk dewasa/manula (umumnya). Umat sekitar bisa main & vihara tdk hanya ramai kalo akhir pekan saja. Di taman, para manula bisa ngumpul, ngobrol, diskusi, sambil ngemil...
Adakan pusat konsultasi kesehatan, konseling remaja, masalah keluarga, dll... Yg semua ini sangat menyentuh langsung akan "kebutuhan" umat...
Mengapa gereja cenderung ramai? Beberapa alasan klasik utk remaja sdh dijawab di atas. Tapi over all, semua rentan usia... Mereka jago menjadi tuan-rumah yg excellent. Ramah/friendly & humble, saling mendengarkan & menguatkan di kala down. Ini merupakan kebutuhan psikologis, bukan cuma manusia, binatang pun suka diperlakukan demikian...
Singkatnya, secara psikologis mereka mendapatkan entertainment, full audio-visual...
Jika terdengar terlalu ideal, tentu saja, mulai bertahap saja... Paling kecil modal awal adalah: masing² aktivis mulai menjadi humble, friendly, mendengar dgn baik, saling mendukung... Ini sangat powerfull... Umat di rumah sdh sering dengar omongan kasar & tegang, di sekolah juga tensi PR & guru serem, di kantor juga sdh byk polemik, di pasar & jendela sering gosip sambil miris², dll... Masa sampe vihara juga demikian, seminggu sekali lho. Kalo di vihara, suasana bersih & asri, orgnya pada welcome, ramah menyapa, tutur katanya indah, bahasa tubuhnya humble, gak suka debat tapi dengerin... Siapa yg gak tergiur utk rutin datang?
keknya memang setiap orang punya motivasi berbeda2x kalau ke vihara. Seperti suhu moprh bilang, mesti palugada, "apa lu mau, gua ada"
Itu pasti rame, tapi tidak menjamin kualitas isinya.