Hmmm.... Kalo kita mengacu pd kehidupan spiritual Sang Buddha yg terdpt dlm sutta2 Pali, misalnya dlm Ariyapariyesana Sutta (bukan karya belakangan spt Jataka, Buddhavamsa, Cariyapitaka, dst), sesungguhnya pada awal masa pencarian pencerahan Beliau sbg Bodhisatta, beliau mencari Nibbana yg bebas dr kelahiran, usia tua dan kematian untuk dirinya sendiri. Oleh sebab itu, dlm perkataan Sang Buddha sendiri, Beliau mengatakan:
Kemudian Aku merenungkan: ‘Mengapa, dengan diriku sendiri tunduk pada kelahiran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada kelahiran? Mengapa, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari apa yang juga tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran? Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri tunduk pada kelahiran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada kelahiarn, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak terlahirkan, Nibbāna. Bagaimana jika, dengan diriKu sendiri yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, setelah memahami bahaya dalam apa yang tunduk pada penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Aku mencari keamanan tertinggi dari belenggu yang tidak mengalami penuaan, penyakit, kematian, dukacita, dan kekotoran, Nibbāna.’
Di sini tidak tersurat maupun tersirat bhw beliau melakukan pencarian itu utk kepentingan makhluk lain, walaupun tdk bisa dikatakan egois jg, krn bagaimana pun utk memberikan obat kelahiran, usia tua, dan kematian itu Beliau sendiri harus terlebih dahulu mendptkan obat tsb utk dirinya sendiri. Setelah mendptkan dan membuktikan sendiri bhw obat tsb manjur, barulah diberikan kpd makhluk lain. Oleh sebab itu, dlm pendapat pribadi saya, inilah motivasi Sravaka seorg Sidhattha Gotama itu pada awal masa pencariannya dan ini tidak bisa dicap sbg egois.
Selanjutnya setelah mendapatkan apa yg dicarinya, Sang Buddha merasa apa yg dicapainya sangat mendalam, sebab akibat yg saling bergantungan yg sulit dipahami kebanyakan makhluk. Hampir saja beliau menjadi Pratyekabuddha, Buddha yg tidak mengajar. Oleh sebab itu, dlm kata2 Beliau sendiri dikatakan:
Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya dengan pemikiran logis, halus, untuk dialami oleh para bijaksana. Tetapi generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian. Adalah sulit bagi generasi demikian untuk melihat kebenaran ini, yaitu, kondisionalitas spesifik, sebab-akibat yang saling bergantungan. Dan adalah sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala kemelekatan, hancurnya keinginan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna. [168] Jika Aku harus mengajarkan Dhamma, orang-orang lain tidak akan memahamiKu, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan bagiKu.’ Setelah itu muncullah padaKu secara spontan syair-syair ini yang tidak pernah didengar sebelumnya:
‘Cukuplah dengan mengajarkan Dhamma
Yang bahkan Kuketahui sulit untuk dicapai;
Karena tidak akan pernah dilihat
Oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian.
Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan
Tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini
Yang mengalir melawan arus duniawi.
Halus, dalam, dan sulit dilihat.’
Dengan merenungkan demikian, batinKu lebih condong pada tidak melakukan apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.
Ini mungkin dicap egois jika Beliau benar2 tdk mengajarkan Dhamma, tetapi kenyataannya Beliau tetap mengajarkan Dhamma.
Nah dlm pengajaran2 Sang Buddha berikutnya, Beliau sering kali mengatakan bahwa Dhamma yg Beliau ajarkan adl demi kepentingan dan kesejahteraan para dewa dan manusia, demi belas kasih kpd semua makhluk, dst. Inilah motivasi Mahayana yg kemudian muncul dlm diri Beliau.
Dlm teks2 Pali kita juga menemukan para bhikkhu Arahat juga menjalankan tahapan Sravaka menuju Mahayana ini. Ketika seorg perumah tangga menyadari kesia-siaan kehidupan duniawi, ia meninggalkan keluarganya utk mencari apa yg bebas dari kelahiran, usia tua, dan kematian. Ia menjadi bhikkhu yg menjalankan sila yg ketat dan tekun bermeditasi di hutan atau gua. Kemudian tujuan akhir kehidupan suci, Nibbana, tercapai, tetapi ia tidak berhenti di sana. Ia kembali ke masyarakat, mengajarkan Dhamma demi belas kasih kpd semua makhluk. Kita bisa melihat hal ini dlm kehidupan Bhikkhu Sariputta dan Mahakassapa.
Jadi, walaupun tidak memakai konsep Sravaka-Pratyeka-Mahayana, tetapi tidak tepat mengatakan bhw ajaran dlm teks Pali tdk mendukung konsep Mahayana. Just IMO. Cmiiw....