MERCEDES:
tapi kenyataannya demikian....
seperti memainkan kata-kata saja.....coba perhatikan kornologisnya
buddha sebelum gotama nirvana ----- >>> memasuki parinirvana >>>>> menjelma sebagai pangeran sakya ( pangeran ini manusia loh... ) >>>>>> memasuki parnirvana >>>>> dikatakan akan menjelma entah di kalpa mana lagi....
dari peristiwa berantai, anda masih mau mengatakan buddha itu keluar dari "ADA dan tiada"
pandangan anda itu jelas mengatakan ADA
eternalis dan semi-eternalisme...
TAN:
Saya kira di sini diskusinya sudah mencapai jalan buntu ya. Telah saya uraikan sebelumnya bahwa istilah "penjelmaan" itu tidak seperti penjelmaan para makhluk samsara. Jadi tuduhan bahwa Mahayana eternalis atau semi eternalis sangat tidak tepat. Mahayana baru disebut eternalis atau semi eternalis bila "penjelmaan" itu sama dengan pengertian makhluk samsara. Tetapi pada kenyataannya tidak demikian.
Begitu juga dengan pengertian "ada." Keberadaan di sini hendaknya tidak diartikan sebagai "keberadaan" dalam artian makhluk samsara. Oleh karena itu sekali lagi semi eternalis atau eternalisme tidak berlaku bagi Mahayana. Kalau Anda tetap berpendapat demikian, diskusi tidak ada gunanya lagi dilanjutkan.
MERCEDES:
oh, saudara Tan yang memutar balik kata itu siapa?
jadi ada perbedaan menurut saya disini yang sangat jelas
mahayana(TAN) berpendapat bahwa ketika seseorang mencapai ke-buddha-an, segala hal penderitaan bisa di atasinya dengan berpikir "bahwa ini adalah proses"
tetapi kesakitan badan yang dialami nya bahkan tidak dianggap penderitaan...
berarti orang yang telah mencapai kebuddha-an itu seperti telah menjadi kebal menderita.
se-umpama ada seseorang yang telah berpengalaman dalam masalah,
ketika mendapat masalah, orang tersebut malah berpikir "oh cuma masalah, biasa lah"
gampang kok menyelesaikannya.....setelah itu orang tersebut beraksi menghadapi masalah tsb...
apa seperti ini saudara Tan yang anda maksudkan....coba perhatikan contoh saya....
kalau ya mohon di konfirmasikan...
TAN:
Saya kira kesalahan Anda adalah membandingkan antara pola pikir orang yang belum tercerahi dengan seorang Buddha. Mungkin bagi orang yang belum tercerahi dapat dianggap sebagai menggampangkan masalah. Tetapi sekali lagi hal ini tak dapat dibandingkan dengan seorang Buddha. Apakah Buddha kebal menderita? Yang jelas adalah Buddha tidak lagi menderita meski mengalami tua, sakit, dan mati. Kalau Anda menyanggahnya berarti nibanna bukan jalan keluar dari penderitaan. Selain itu, apakah penderitaan itu hanya tua, sakit, dan mati? Orang yang kalah judi apakah tidak menderita? Menderita kalau ia melekat pada kekalahannya itu. Tidak menderita kalau ia sanggup melepas.
Tetap bagaimanapun penderitaan itu erat dengan bagaimana seorang menyikapinya. Pandangan ini lebih universal. Kalau Anda tetap berpendapat demikian, saya kira diskusi ini sudah mencapai jalan buntu dan tidak ada gunanya diteruskan.
Amiduofo,
Tan