Mencapai VipashyanaSetelah mencapai shamatha, bermeditasilah pada vipashyana, dengan berpikir sebagai berikut: Semua ajaran Buddha adalah ajaran-ajaran sempurna, dan ajaran-ajaran tersebut secara langsung atau tidak langsung menjelaskan dan mengarahkan pada realitas (tathata; suchness) dengan kejelasan paling tinggi. Jika kita memahami realitas (tathata; suchness), kita akan terbebas dari semua jaring cara pandang keliru, seperti hilangnya kegelapan begitu cahaya muncul. Hanya dengan meditasi shamatha, tidak dapat mempurifikasi kesadaran murni (jnana), juga tidak dapat menghilangkan kegelapan dari halangan-halangan mental. Ketika saya bermeditasi secara tepat mengenai realitas (tathata; suchness) dengan prajna, maka kesadaran murni akan dipurifikasi. Hanya dengan prajna, saya dapat merealisasi realitas (tathata; suchness). Hanya dengan prajna, saya dapat menghilangkan halangan-halangan mental secara
efektif. Oleh karena itu, dengan bersemayam dalam meditasi shamatha, saya akan menganalisa realitas (tathata; suchness) dengan prajna. Dan saya tidak akan merasa puas diri hanya dengan shamatha saja.
Seperti apa realitas (tathata; suchness) itu? Yaitu sifat keberadaan dari semua fenomena bahwa tidak ada yang bersifat hakiki baik dari diri orangnya (pudgala-nairatmya) maupun fenomenanya (dharma-nairatmya). Ini terealisasi melalui prajna paramita dan bukan lainnya. Sutra Sandhinirmocahana (The Unraveling of the Thought Sutra) menyatakan, "O Tathagata, dengan paramita apa, para Bodhisattva memahami sifat ketidak-hakikian (nissvabhavata) dari fenomena?’ 'Avalokiteshvara, hal ini dipahami dengan prajna paramita.’ "Oleh karena itu, bermeditasilah tentang prajna saat berada dalam shamatha.
Sifat Ketidak-hakikian dari Diri (Pudgala-nairatmya)Para yogi harus menganalisa dengan cara berikut: diri seseorang (pudgala) tidak diamati secara terpisah dari skandha mental (nama skandha) dan skandha wujud (rupa skandha), unsur-unsur (dhatu) dan daya-daya inderawi (ayatana). Juga diri tidak sama dengan skandha-skandha dan sebagainya, karena skandha-skandha dan sebagainya memiliki keberadaan sebagai banyak dan berubah-ubah (anitya). Makhluk-makhluk lain telah memberi label diri seseorang sebagai sesuatu yang permanen dan tunggal. Diri seseorang sebagai fenomena tidak ada kecuali sebagai satu atau banyak, karena tidak ada cara lain bagi keberadaannya. Oleh karena itu, kita harus menyimpulkan bahwa pernyataan duniawi mengenai “saya” dan “milik saya” sepenuhnya keliru.
Sifat Ketidak-hakikian dari Fenomena (Dharma-nairatmya)Meditasi tentang Dharma-nairatmya juga harus dilakukan dengan cara berikut: fenomena, singkatnya, termasuk dalam lima skandha, dua belas sumber persepsi (ayatana), dan delapan belas unsur. Aspek-aspek fisik dari skandha-skandha, sumber-sumber persepsi, dan unsur-unsur, dalam pengertian tertinggi, itu tidak lain daripada aspek-aspek kesadaran. Ini karena ketika mereka dipecah-pecah menjadi partikel-partikel halus dan ketika sifat dari bagian-bagian partikel halus ini masing-masing diperiksa, maka tidak dapat ditemukan identitas yang hakiki (svabhava).
Orang-orang biasa telah salah mengerti mengenai wujud fisik sejak masa tak berawal, sehingga rupa dan sebagainya tampak muncul terpisah dan ada di luar kesadaran, sama seperti wujud-wujud fisik yang muncul dalam mimpi-mimpi. Dalam pengertian tertinggi, wujud-wujud fisik dan sebagainya tidak lain daripada aspek-aspek kesadaran. Mempertimbangkan hal ini, kita harus berpikir: "Alam semesta ini hanyalah kesadaran." Oleh karena itu, analisa mengenai kenyataan bahwa semua fenomena yang terbentuk hanyalah kesadaran adalah esensi investigasi dari semua fenomena. Sekarang kita harus menyelidiki esensi dari kesadaran.
Dalam pengertian tertinggi, kesadaran juga tidak dapat bersifat konkret atau nyata. Bagaimana mungkin kesadaran yang hanya mengerti sifat wujud fisik yang keliru dan sebagainya, dan muncul dalam berbagai aspek, bersifat konkret dan nyata? Sama seperti wujud-wujud fisik dan sebagainya adalah keliru, karena keberadaan kesadaran tidak terpisah dari wujud-wujud fisik dan sebagainya, yang bersifat keliru, maka kesadaran juga keliru. Sama seperti wujud-wujud fisik dan sebagainya memiliki berbagai aspek, dan identitas mereka bukan satu ataupun banyak, sama halnya, karena kesadaran tidak berbeda dengan hal-hal tersebut, maka identitas kesadaran juga bukan satu ataupun banyak. Oleh karena itu, sifat kesadaran adalah seperti ilusi. Analisalah bahwa, sama seperti kesadaran, sifat semua fenomena juga adalah seperti ilusi.
Dengan cara ini, ketika identitas kesadaran diamati secara khusus dengan prajna, di mana dalam pengertian tertinggi tidak dipersepsi di dalam maupun di luar kesadaran. Juga tidak dipersepsi bukan tidak di dalam maupun bukan tidak di luar. Bukan kesadaran masa lampau, kesadaran masa mendatang, atau kesadaran masa sekarang yang dipersepsi. Ketika kesadaran muncul, ia tidak datang dari mana pun, dan ketika kesadaran berhenti ia tidak beranjak ke mana pun karena kesadaran tidak dapat dipahami, tidak dapat didemonstrasikan, dan tidak bersifat fisik. Jika engkau bertanya, "Apa itu keberadaan yang tidak dapat dipahami, tidak dapat didemonstrasikan, dan tidak bersifat fisik?" Sutra Ratnakuta (The Heap of Jewels) menyatakan: "O Kashyapa, ketika kesadaran dicari secara seksama, ia tak dapat ditemukan. Apa yang tidak ditemukan tidak dapat dipersepsi [terjemahan Sharma dari bahasa Sansekerta mengandung makna ”tidak dapat menjadi sebuah alambana (dasar yang objektif)"]. Dan apa yang tidak dipersepsi ["bukan sebuah alambana"] adalah bukan masa lampau atau masa mendatang atau masa sekarang." Melalui analisa demikian, dalam pengertian tertinggi, awal dari kesadaran tidak tampak, akhir dari kesadaran tidak tampak, dan pertengahan dari kesadaran tidak tampak.
Harus dimengerti bahwa semua fenomena tidak memiliki akhir dan pertengahan, seperti halnya kesadaran tidak memiliki akhir atau pertengahan. Dengan pengetahuan bahwa kesadaran adalah tanpa akhir atau pertengahan, maka tidak ada identitas kesadaran yang dipersepsi. Apa yang disadari secara seksama oleh kesadaran, juga disadari sebagai bersifat shunya. Dengan menyadari hal ini, maka identitas keberadaan itu sendiri, yang dipersepsi sebagai aspek kesadaran (citta vipathana svabhava), seperti identitas dari wujud fisik, dan sebagainya, juga tidak dipersepsi dalam pengertian tertinggi. Dengan cara ini, ketika seseorang tidak melihat identitas dari semua fenomena dengan prajna dalam pengertian tertinggi, ia tidak akan menganalisa (vikalpa) apakah wujud fisik (rupa) bersifat permanen atau berubah-ubah, shunya atau tidak shunya, terkontaminasi atau tidak terkontaminasi, dihasilkan atau tidak dihasilkan, dan ada atau tidak ada. Seperti halnya wujud fisik tidak diamati, demikian juga perasaan (vedana), kebisaan membeda-bedakan (samjna), faktor-faktor lain yang terbentuk (samskara), dan kesadaran (vijnana) juga tidak diamati. Ketika objek tidak ada, karakteristik-karakteristiknya juga tidak ada. Sehingga, bagaimana mereka dapat diamati (vikalpa)?
Dengan cara ini, jika seseorang tidak menggenggam keberadaan suatu fenomena secara hakiki, setelah menyelidikinya dengan prajna, praktisi tersebut bersemayam dalam konsentrasi tunggal non-konseptual (nirvikalpa-samadhi). Dan dengan demikian ketiadaan identitas yang hakiki (nissvabhavata) dari semua fenomena disadari.
Mereka yang tidak bermeditasi dengan menganalisa keberadaan fenomena-fenomena secara khusus dengan prajna, tetapi hanya bermeditasi bagaimana menghilangkan aktivitas mental, mereka tidak dapat mencegah munculnya pikiran-pikiran konseptual dan juga tidak dapat menyadari ketiadaan identitas yang hakiki karena mereka tidak memiliki cahaya prajna. Jika api dari kesadaran yang mengetahui fenomena sebagaimana adanya dihasilkan dari analisa individu mengenai realitas (tathata; suchness), maka seperti api yang dihasilkan dari menggosok kayu, itu akan membakar kayu dari pikiran konseptual (kalpana). Guru Buddha telah bersabda demikian.
Sutra Ratnamegha (The Cloud of Jewels) juga menyatakan, "Ia yang mahir mendeteksi kekeliruan-kekeliruan, melakukan yoga meditasi tentang shunyata untuk menghilangkan semua proyeksi konseptual. Orang yang demikian, karena bermeditasi tentang shunyata secara berulang-ulang, ketika ia mencari objek dan identitas objek secara seksama, baik yang menyebabkan kegembiraan maupun gangguan, ia menyadari bahwa semua bersifat shunya. Ketika kesadaran tersebut juga diamati, maka disadari kesadaran juga bersifat shunya. Ketika identitas dari apa yang disadari oleh kesadaran ini dicari secara seksama, ini juga disadari bersifat shunya. Menyadari hal demikian, ia memasuki yoga tanpa tanda (animitta yoga)." Ini menunjukkan bahwa hanya mereka yang telah melakukan analisa lengkap yang dapat memasuki yoga tanpa noda (nirnimittata).
Telah dikemukakan dengan sangat jelas bahwa hanya menghilangkan aktivitas mental (mansikarita), tanpa memeriksa identitas fenomena-fenomena dengan prajna, maka tidak mungkin memasuki meditasi non-konseptual (nirvikalpa). Dengan demikian, konsentrasi dilakukan setelah identitas sesungguhnya dari fenomena-fenomena seperti wujud fisik dan sebagainya telah dianalisa secara sempurna dengan prajna, dan bukan dengan berkonsentrasi pada wujud fisik, dan sebagainya. Konsentrasi (dhyana) juga bukan dilakukan dengan bersemayam di dunia ini maupun di luar dunia ini, karena wujud-wujud fisik dan sebagainya tidak dipersepsi. Dengan demikian, ini disebut konsentrasi yang tidak menetap (apratisthata dhyana).
[Praktisi demikian] disebut meditator dengan prajna tertinggi (prajnottara dhyana; supreme wisdom), karena dengan secara khusus memeriksa identitas dari semua hal dengan prajna maka ia tidak mempersepsi apapun (anupalambha dhyana). Ini seperti dinyatakan dalam Sutra Harta Karun Ruang (The Space Treasure Sutra) dan Sutra Permata Dalam Mahkota (The Jewel in Crown Sutra), dan sebagainya.
Dengan cara ini, dengan memasuki realitas (tathata; suchness) dari pudgala-nairatmya dan dharma-nairatmya, kita terbebas dari konsep-konsep dan analisa karena tidak ada yang diperiksa dan diamati secara seksama. Kita terbebas dari ekspresi, dan dengan penambatan mental pada satu objek, secara otomatis kita memasuki meditasi tanpa upaya. Dengan demikian, kita bermeditasi tentang realitas (tathata; suchness) dengan sangat jelas dan bersemayam di dalamnya. Selama bersemayam dalam meditasi ini, kesinambungan kesadaran jangan sampai terganggu. Ketika kesadaran terganggu oleh objek-objek eksternal karena keterikatan, dan sebagainya, gangguan demikian harus diperhatikan. Dengan cepat tenangkan gangguan dengan bermeditasi tentang aspek menjijikkan (memuakkan) dari objek tersebut dan kembali fokuskan kesadaran pada realitas (tathata; suchness) dengan segera.
Jika kesadaran tampak enggan melakukannya, renungkan keuntungan-keuntungan dari konsentrasi pada satu objek (samadhi), bermeditasilah dengan gembira. Keengganan harus ditaklukkan juga dengan melihat kekurangan-kekurangan dari gangguan tersebut.
Jika fungsi dari kesadaran menjadi tidak jelas dan mulai muncul keloyoan (laya), atau ketika ada resiko loyo karena dikuasai ketumpulan (styana; mental torpor) atau mengantuk, maka seperti sebelumnya, cepatlah berupaya mengatasi keloyoan (laya) ini dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang sangat menggembirakan. Kemudian objek realitas (tathata; suchness) harus diperhatikan dengan sangat ketat. Jika pikiran yang diamati menjadi bergejolak (auddhatya; mental agitation) atau terganggu oleh ingatan kejadian-kejadian masa lampau yang menggembirakan, maka seperti dalam kasus-kasus sebelumnya, tenangkan gangguan dengan merenungkan hal-hal seperti anitya dan sebagainya, yang akan membantu untuk menenangkan pikiran. Kemudian, sekali lagi berusahalah memusatkan perhatian pada realitas (tathata; suchness) tanpa menggunakan daya penawar.
Jika dan ketika kesadaran secara spontan berada dalam meditasi tentang realitas (tathata; suchness), bebas dari keloyoan (laya) dan gejolak (auddhatya; mental agitation), kesadaran harus dibiarkan apa adanya dan upaya kita harus dikendorkan. Jika upaya dikerahkan ketika kesadaran berada dalam keseimbangan meditatif (samahita), itu akan mengganggu kesadaran. Tetapi jika upaya tidak dikerahkan ketika pikiran loyo (laya), itu akan seperti orang buta jika muncul laya yang ekstrim dan kita tidak akan mencapai vipashyana. Jadi, ketika pikiran loyo (laya), kerahkanlah upaya, dan ketika terserap dalam keadaan meditatif (samapatti), upaya harus dikendorkan. Sewaktu bermeditasi tentang vipashyana, jika dibarengi dengan prajna yang kuat sedangkan shamatha lemah, pikiran akan berkelana seperti pelita mentega di tengah angin dan kita tidak akan melihat realitas (tathata; suchness) dengan sangat jelas. Oleh karena itu, pada waktu itu bermeditasilah tentang shamatha. Ketika meditasi shamatha menjadi kuat, bermeditasilah tentang prajna.
Menyatukan Upaya dan PrajnaKetika kedua-duanya (upaya dan prajna) berjalan secara bersamaan, janganlah bergeming, tetap tanpa upaya (usaha keras), selama tidak muncul ketidak-nyamanan mental atau fisik. Jika ketidaknyamanan mental atau fisik muncul, lihatlah seluruh dunia seperti ilusi, fatamorgana, mimpi, pantulan bulan di air, dan penampakan. Dan berpikirlah: ”Makhluk-makhluk ini mengalami kesulitan dalam samsara karena tidak memahami realitas yang mendalam. Kemudian, bangkitkan mahakaruna dan Bodhicitta, dengan berpikir: “Saya akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membantu mereka memahami realitas (tathata; suchness). Beristirahatlah. Sekali lagi, dengan cara yang sama, berkonsentrasilah pada satu objek tentang ketidak-tampakan dari semua fenomena (sarva-dharam-nirabhasa-samadhi). Jika pikiran menjadi tidak bersemangat, dengan cara yang sama, beristirahatlah. Ini adalah cara menjalankan penyatuan meditasi shamatha dan vipashyana. Ini memusatkan perhatian pada gambaran secara konseptual (savikalpa) dan non-konseptual (nirvikalpa).
Diterjemahkan ke Indonesia oleh Potowa Center
The Siddha Wanderer