//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Bhavanakrama (Tahapan Meditasi Samatha-Vipashyana) karya YA Kamalashila  (Read 3481 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Bodhicitta tertinggi sangat jelas, merupakan objek dari yang tertinggi, tanpa noda, tidak goyah, seperti api pelita yang tak tergoyahkan oleh hembusan angin. Ini dicapai melalui upaya yang terus-menerus, menghargai dan membiasakan diri dengan yoga meditasi Ketenangan (shamatha) dan Pengamatan Tajam (vipashyana) untuk waktu yang lama. Sutra Sandhinirmochana (The Unraveling of the Thought Sutra) menyatakan, "O Maitreya, engkau harus tahu bahwa semua Dharma bajik dari para Shravaka, Bodhisattva, atau Tathagata, baik duniawi maupun yang di luar duniawi adalah hasil-hasil dari meditasi shamatha dan vipashyana." Karena semua jenis konsentrasi (samadhi) dapat digolongkan dalam kedua hal ini, semua yogi harus mengembangkan meditasi shamatha dan vipashyana sepanjang waktu. Sutra Sandhinirmochana (The Unraveling of the Thought Sutra) menyatakan lagi, "Guru Buddha mengatakan bahwa ajaran-ajaran mengenai berbagai jenis konsentrasi yang diinginkan oleh para Shravaka, Bodhisattva, dan Tathagata semuanya tercakup dalam meditasi shamatha dan vipashyana.”

.......

Sutra Pelita Bulan (The Moon Lamp Sutra) menyatakan: "Dengan daya meditasi shamatha, pikiran akan menjadi kokoh, dan dengan vipashyana, pikiran akan menjadi seperti gunung." Oleh karena itu, pertahankanlah bersama kedua praktik yogik ini.

......

Prasyarat-prasyarat Umum untuk Mengembangkan Shamatha dan Vipashyana
Sebagai langkah awal, seorang yogi harus memahami prasyarat-prasyarat yang dapat membantunya dalam mencapai meditasi shamatha dan vipashyana secara cepat dan mudah. Prasyarat-prasyarat yang dibutuhkan untuk mengembangkan meditasi shamatha adalah sebagai berikut:
Hidup di lingkungan yang kondusif;
Membatasi keinginan-keinginan dan merasa berkecukupan;
Tidak terlibat dalam banyak aktivitas;
Menjaga sila secara murni;
dan secara menyeluruh menghilangkan keterikatan (raga) dan semua jenis pikiran konseptual lainnya.

Lingkungan yang kondusif ditandai dengan lima karakteristik, yaitu: mempunyai akses yang mudah untuk memperoleh makanan dan pakaian; tempat yang bebas dari makhluk-makhluk jahat dan musuh-musuh; tempat yang bebas dari penyakit; mempunyai teman-teman bajik yang menjaga sila dan yang memiliki cara pandang yang sama; dan tempat yang tidak banyak dikunjungi orang pada siang hari dan tidak banyak kebisingan pada malam hari.

Membatasi keinginan-keinginan berarti tidak terikat secara berlebihan pada jumlah atau bagusnya pakaian-pakaian seperti jubah religius, dan sebagainya. Merasa berkecukupan berarti selalu puas dengan hal-hal sederhana, seperti jubah religius berkualitas rendah, dan sebagainya. Tidak terlibat dalam banyak aktivitas berarti meninggalkan aktivitas-aktivitas biasa seperti bisnis; menghindari terlalu banyak pergaulan dengan para perumahtangga dan para bhikshu, dan sepenuhnya meninggalkan praktik pengobatan dan ilmu nujum (astrologi). Walaupun jika ada pernyataan bahwa pelanggaran terhadap sila Shravaka tidak dapat dipurifikasi, [tetapi] jika ada penyesalan dan daya janji untuk tidak mengulanginya, dan kesadaran bahwa pikiran yang melakukan tindakan adalah bersifat shunya (tidak memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri), atau mengenali bahwa semua fenomena bersifat shunya (tidak memiliki sifat hakiki dari sisinya sendiri), maka sila moralitas orang tersebut dapat dimurnikan. Ini harus dipahami dari Sutra Menghilangkan Penyesalan Ajatashatru (The Sutra on the Elimination of Ajatashatru's Regret). Kita harus mengatasi penyesalan kita dan berupaya keras dalam meditasi (bhavana).

Mengembangkan perhatian penuh tentang berbagai kekurangan yang disebabkan keterikatan dalam kehidupan ini dan kehidupan-kehidupan mendatang, akan membantu untuk menghilangkan cara pandang keliru dalam hal ini. Beberapa karakteristik umum, baik hal-hal yang indah maupun hal-hal yang buruk dalam samsara adalah bahwa semuanya tidak stabil dan berubah-ubah (anitya). Kita pasti akan berpisah dari semua hal ini dengan segera. Jadi bermeditasilah mengapa kita begitu terikat pada hal-hal ini, dan kemudian hilangkanlah semua konsep keliru (vikalpa).

Apa prasyarat-prasyarat dari vipashyana? Prasyarat-prasyaratnya adalah:
Mengandalkan orang-orang suci;
Secara tekun mencari petunjuk yang mendalam dan menyeluruh;
Dan kontemplasi yang tepat.

Apa ciri orang suci yang harus kita andalkan? Seseorang yang telah mendengar berbagai ajaran, yang mengekspresikan dirinya dengan jelas, dipenuhi dengan welas asih, dan sanggup menanggung kesukaran. Apa yang dimaksud dengan secara tekun mencari petunjuk yang mendalam dan menyeluruh? Yaitu mendengarkan secara tekun mengenai makna definitif (nitartha) dan makna interpretatif (neyartha) dari dua belas bagian ajaran Buddha. Sutra Sandhinirmochana (The Unraveling of the Thought Sutra) menyatakan: "Tidak mendengarkan ajaran-ajaran para Arya sesuka hati kita merupakan hambatan dalam vipashyana." Sutra yang sama menyatakan, "Vipashyana muncul melalui penyebabnya, yaitu pandangan benar, dan pandangan benar muncul dari mendengarkan dan merenungkan ajaran." Sutra Pertanyaan-pertanyaan Narayana (The Questions of Narayana Sutra) menyatakan, "Melalui pengalaman mendengarkan ajaran-ajaran, kita memperoleh prajna, dan dengan prajna maka klesha-klesha akan dihilangkan seluruhnya." Apa yang dimaksud dengan kontemplasi yang tepat (yonisha mansikara)? Yaitu memahami sutra-sutra yang bermakna definitif dan bermakna interpretatif. Ketika para Bodhisattva bebas dari keragu-raguan, mereka dapat bermeditasi tentang konsentrasi pada satu objek. Jika tidak, ketika keragu-raguan dan kebimbangan menyerang mereka, mereka akan seperti berada di persimpangan, tidak yakin jalan mana yang akan mereka tempuh.

Para yogi harus menghindari memakan ikan, daging, dan sebagainya sepanjang waktu; harus makan secara tidak berlebihan; dan menghindari makanan yang tidak baik untuk kesehatan. Dengan demikian, para Bodhisattva yang telah mengumpulkan semua prasyarat mengenai shamatha dan vipashyana harus memasuki meditasi (bhavana). Ketika bermeditasi, pertama-tama yogi tersebut harus menyelesaikan semua praktik persiapan. Ia harus pergi ke toilet; dan di lokasi yang nyaman serta bebas dari suara yang mengganggu ia harus berpikir, "Saya akan menghantarkan semua makhluk mencapai penggugahan." Kemudian ia harus membangkitkan mahakaruna, keinginan untuk membebaskan semua makhluk, dan bersujud namaskara kepada semua Buddha dan Bodhisattva di sepuluh penjuru dengan menyentuhkan lima bagian tubuhnya di lantai. Ia harus meletakkan representasi dari para Buddha dan Bodhisattva, misalnya gambar lukisan, di hadapannya atau di tempat lain. Ia harus membuat persembahan-persembahan dan puji-pujian sebanyak mungkin. Ia harus menyesali karma-karma negatifnya dan bermudita atas semua punya dari semua makhluk lainnya.

Kemudian, ia harus duduk dalam postur padmasana penuh dari Vairochana, atau posisi setengah padma, di atas bantalan yang nyaman. Mata tidak dibuka terlalu lebar atau ditutup terlalu rapat. Biarkan mata berfokus pada ujung hidung. Tubuh tidak dibungkukkan ke depan atau terlalu ke belakang. Tegakkan tubuh dan perhatian diarahkan ke dalam. Kedua bahu harus rileks dalam posisi yang alami dan kepala tidak terlalu mengarah ke belakang, ke depan atau ke samping. Hidung harus segaris dengan pusar. Gigi dan bibir harus rileks dalam keadaan apa adanya dengan lidah menyentuh langit-langit mulut bagian atas. Bernapaslah dengan sangat halus dan lembut tanpa menimbulkan suara, tanpa dibuat-buat, dan teratur. Tarik dan keluarkan napas secara apa adanya, perlahan, dan tanpa suara.

Praktik Shamatha
Meditasi shamatha harus dicapai terlebih dahulu. Shamatha adalah pikiran yang telah mengatasi gangguan-gangguan yang disebabkan oleh objek-objek eksternal, dan secara spontan dan terus-menerus tertambat pada objek meditasi (alambana) dengan kenyamanan (priti) dan kelenturan (prasrabdhi). Yang menganalisa realitas (tathata;suchness) dalam keadaan shamatha secara benar adalah vipashyana. Sutra Ratnamegha (The Cloud of Jewels Sutra) menyatakan, "Meditasi shamatha adalah perhatian yang terkonsentasi pada satu objek; sedangkan vipashyana adalah melakukan analisa khusus tentang realitas tertinggi."

Juga dari Sutra Sandhinirmochana (The Unraveling of the Thought Sutra): "Maitreya bertanya, 'O Buddha, bagaimana seharusnya [orang] mengembangkan meditasi shamatha dan mahir dalam vipashyana?' Buddha menjawab, 'Maitreya, saya telah membabarkan ajaran-ajaran berikut kepada para Bodhisattva: Sutra, Geya (pujian-pujian), Vyakarana (ajaran-ajaran ramalan), Gatha (syair-syair), Udana (petunjuk-petunjuk khusus), Nidana (nasihat dari pengalaman-pengalaman khusus), Avadana (ungkapan-ungkapan pencapaian spiritual), Itivrttaka (cerita-cerita masa lampau), Jataka (cerita mengenai kehidupan lampau Buddha, Vaipulya (risalat-risalat ekstensif), Adbhutadharma (keajaiban-keajaiban), dan Upadesa (petunjuk-petunjuk). Para Bodhisattva harus mendengarkan ajaran-ajaran ini dengan benar, mengingat isinya, melatih pelafalan lisan, dan menganalisanya secara seksama. Dengan pemahaman sempurna, mereka harus pergi ke tempat terpencil seorang diri dan merenungkan ajaran-ajaran ini serta memusatkan perhatian pada ajaran-ajaran tersebut secara terus-menerus. Secara mental, mereka harus berfokus hanya pada topik-topik yang mereka renungkan dan mengingatnya terus-menerus. Ini disebut penambatan mental (manaskara).

"Ketika pikiran ditambatkan dengan cara ini secara berulang-ulang serta kelenturan fisik (kaya-prasrabdhi) dan kelenturan mental (citta-prasrabdhi) telah tercapai, pikiran dalam keadaan ini disebut shamatha. Inilah cara para Bodhisattva mencapai shamatha secara benar.

"Ketika Bodhisattva telah mencapai kelenturan fisik dan mental dan bersemayam di dalamnya, ia menghilangkan gangguan mental. Fenomena-fenomena yang telah dikontemplasikan sebagai objek konsentrasi tunggal harus dianalisa dan dianggap seperti sebuah pantulan. Pantulan atau gambaran ini, yang merupakan objek dari konsentrasi tunggal, harus diamati sebagai objek pengetahuan secara seksama. Objek pengetahuan ini harus diselidiki secara lengkap dan diperiksa secara menyeluruh. Praktikkan kesabaran dan bergembiralah dalam melakukannya. Dengan analisa yang tepat, amati dan pahamilah. Ini disebut vipashyana. Demikianlah, para Bodhisattva terlatih dalam cara-cara vipashyana."
Para yogi yang tertarik untuk mencapai shamatha pada mulanya harus berkonsentrasi mengenai kenyataan bahwa dua belas kelompok kitab ajaran, yaitu sutra-sutra, puji-pujian, dan lain sebagainya – dapat diringkas sebagai semua ajaran yang mengarahkan pada realitas (tathata; suchness), bahwa ajaran-ajaran tersebut akan mengarahkan pada realitas (tathata; suchness), dan bahwa ajaran-ajaran tersebut memang telah mengarahkan pada realitas (tathata; suchness).
Salah satu cara melakukan meditasi ini adalah memusatkan perhatian pada skandha mental (nama skandha) dan skandha wujud (rupa skandha), sebagai objek yang mencakup semua fenomena (Dharma). Cara lain adalah memusatkan perhatian pada gambaran seorang Buddha. Sutra Samadhiraja (The King of Meditative Stabilization Sutra) menyatakan:
"Dengan tubuh berwarna emas,
Bhagavan luar biasa indahnya.
Bodhisattva yang memusatkan perhatian pada objek ini
Dikatakan terserap dalam keadaan meditatif (samapatti)."

Dengan cara ini tambatkan kesadaran pada objek (alambana) pilihan kita dan setelah melakukannya, tambatkan kesadaran secara berulang-ulang dan terus-menerus. Setelah menambatkan kesadaran dengan cara ini, selidikilah dan periksalah apakah kesadaran ditambatkan pada objek tersebut secara tepat. Juga periksalah keloyoan mental (laya) dan amatilah apakah pikiran terganggu oleh objek-objek eksternal.

Jika pikiran loyo karena mengantuk dan adanya ketumpulan (styana; mental torpor) atau jika kita khawatir keloyoan mental sedang muncul, pikiran harus diarahkan pada objek yang menyenangkan seperti gambaran seorang Buddha, atau secercah cahaya. Dalam proses ini, setelah menghilangkan keloyoan, kesadaran harus mencoba untuk mengamati objek dengan sangat jelas. Kita harus mengenali munculnya keloyoan ketika kesadaran tidak dapat melihat objek dengan sangat jelas, ketika kita merasa seolah-olah buta atau berada di tempat yang gelap atau ketika kita menutup kedua mata kita.
Jika saat bermeditasi, pikiran kita tertarik pada kualitas-kualitas dari objek-objek eksternal seperti bentuk, atau perhatian teralih pada fenomena lain, atau terganggu oleh keinginan terhadap objek yang telah kita alami sebelumnya, atau jika kita menduga gangguan sedang muncul, renungkanlah bahwa semua fenomena yang terbentuk bersifat anitya. Renungkanlah tentang duhkha, topik-topik yang menenangkan pikiran, dan sebagainya.

Dalam proses ini, gangguan harus dihilangkan dan dengan tali perhatian penuh (smrti) dan introspeksi (samprajnaya), pikiran yang seperti gajah liar harus diikat pada pohon pilar objek meditasi. Jika kita tahu bahwa pikiran bebas dari keloyoan (laya) dan gejolak (auddhatya; mental agitation) serta pikiran bersemayam pada objek secara apa adanya, maka kita harus mengendurkan usaha kita dan pertahankan kondisi netral selama hal ini terus berlanjut.

Kita harus mengerti bahwa shamatha baru tercapai ketika kita dapat memusatkan perhatian pada objek meditasi dalam waktu yang berkepanjangan dan mengalami kelenturan fisik dan mental, serta kesadaran mempunyai daya untuk berkonsentrasi pada objek yang dipilih.

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 19 July 2009, 07:32:47 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavanakrama (Tahapan Meditasi) karya YA Kamalashila
« Reply #1 on: 19 July 2009, 07:31:50 PM »
Mencapai Vipashyana
Setelah mencapai shamatha, bermeditasilah pada vipashyana, dengan berpikir sebagai berikut: Semua ajaran Buddha adalah ajaran-ajaran sempurna, dan ajaran-ajaran tersebut secara langsung atau tidak langsung menjelaskan dan mengarahkan pada realitas (tathata; suchness) dengan kejelasan paling tinggi. Jika kita memahami realitas (tathata; suchness), kita akan terbebas dari semua jaring cara pandang keliru, seperti hilangnya kegelapan begitu cahaya muncul. Hanya dengan meditasi shamatha, tidak dapat mempurifikasi kesadaran murni (jnana), juga tidak dapat menghilangkan kegelapan dari halangan-halangan mental. Ketika saya bermeditasi secara tepat mengenai realitas (tathata; suchness) dengan prajna, maka kesadaran murni akan dipurifikasi. Hanya dengan prajna, saya dapat merealisasi realitas (tathata; suchness). Hanya dengan prajna, saya dapat menghilangkan halangan-halangan mental secara
efektif. Oleh karena itu, dengan bersemayam dalam meditasi shamatha, saya akan menganalisa realitas (tathata; suchness) dengan prajna. Dan saya tidak akan merasa puas diri hanya dengan shamatha saja.
Seperti apa realitas (tathata; suchness) itu? Yaitu sifat keberadaan dari semua fenomena bahwa tidak ada yang bersifat hakiki baik dari diri orangnya (pudgala-nairatmya) maupun fenomenanya (dharma-nairatmya). Ini terealisasi melalui prajna paramita dan bukan lainnya. Sutra Sandhinirmocahana (The Unraveling of the Thought Sutra) menyatakan, "O Tathagata, dengan paramita apa, para Bodhisattva memahami sifat ketidak-hakikian (nissvabhavata) dari fenomena?’ 'Avalokiteshvara, hal ini dipahami dengan prajna paramita.’ "Oleh karena itu, bermeditasilah tentang prajna saat berada dalam shamatha.

Sifat Ketidak-hakikian dari Diri (Pudgala-nairatmya)
Para yogi harus menganalisa dengan cara berikut: diri seseorang (pudgala) tidak diamati secara terpisah dari skandha mental (nama skandha) dan skandha wujud (rupa skandha), unsur-unsur (dhatu) dan daya-daya inderawi (ayatana). Juga diri tidak sama dengan skandha-skandha dan sebagainya, karena skandha-skandha dan sebagainya memiliki keberadaan sebagai banyak dan berubah-ubah (anitya). Makhluk-makhluk lain telah memberi label diri seseorang sebagai sesuatu yang permanen dan tunggal. Diri seseorang sebagai fenomena tidak ada kecuali sebagai satu atau banyak, karena tidak ada cara lain bagi keberadaannya. Oleh karena itu, kita harus menyimpulkan bahwa pernyataan duniawi mengenai “saya” dan “milik saya” sepenuhnya keliru.

Sifat Ketidak-hakikian dari Fenomena (Dharma-nairatmya)
Meditasi tentang Dharma-nairatmya juga harus dilakukan dengan cara berikut: fenomena, singkatnya, termasuk dalam lima skandha, dua belas sumber persepsi (ayatana), dan delapan belas unsur. Aspek-aspek fisik dari skandha-skandha, sumber-sumber persepsi, dan unsur-unsur, dalam pengertian tertinggi, itu tidak lain daripada aspek-aspek kesadaran. Ini karena ketika mereka dipecah-pecah menjadi partikel-partikel halus dan ketika sifat dari bagian-bagian partikel halus ini masing-masing diperiksa, maka tidak dapat ditemukan identitas yang hakiki (svabhava).

Orang-orang biasa telah salah mengerti mengenai wujud fisik sejak masa tak berawal, sehingga rupa dan sebagainya tampak muncul terpisah dan ada di luar kesadaran, sama seperti wujud-wujud fisik yang muncul dalam mimpi-mimpi. Dalam pengertian tertinggi, wujud-wujud fisik dan sebagainya tidak lain daripada aspek-aspek kesadaran. Mempertimbangkan hal ini, kita harus berpikir: "Alam semesta ini hanyalah kesadaran." Oleh karena itu, analisa mengenai kenyataan bahwa semua fenomena yang terbentuk hanyalah kesadaran adalah esensi investigasi dari semua fenomena. Sekarang kita harus menyelidiki esensi dari kesadaran.

Dalam pengertian tertinggi, kesadaran juga tidak dapat bersifat konkret atau nyata. Bagaimana mungkin kesadaran yang hanya mengerti sifat wujud fisik yang keliru dan sebagainya, dan muncul dalam berbagai aspek, bersifat konkret dan nyata? Sama seperti wujud-wujud fisik dan sebagainya adalah keliru, karena keberadaan kesadaran tidak terpisah dari wujud-wujud fisik dan sebagainya, yang bersifat keliru, maka kesadaran juga keliru. Sama seperti wujud-wujud fisik dan sebagainya memiliki berbagai aspek, dan identitas mereka bukan satu ataupun banyak, sama halnya, karena kesadaran tidak berbeda dengan hal-hal tersebut, maka identitas kesadaran juga bukan satu ataupun banyak. Oleh karena itu, sifat kesadaran adalah seperti ilusi. Analisalah bahwa, sama seperti kesadaran, sifat semua fenomena juga adalah seperti ilusi.

Dengan cara ini, ketika identitas kesadaran diamati secara khusus dengan prajna, di mana dalam pengertian tertinggi tidak dipersepsi di dalam maupun di luar kesadaran. Juga tidak dipersepsi bukan tidak di dalam maupun bukan tidak di luar. Bukan kesadaran masa lampau, kesadaran masa mendatang, atau kesadaran masa sekarang yang dipersepsi. Ketika kesadaran muncul, ia tidak datang dari mana pun, dan ketika kesadaran berhenti ia tidak beranjak ke mana pun karena kesadaran tidak dapat dipahami, tidak dapat didemonstrasikan, dan tidak bersifat fisik. Jika engkau bertanya, "Apa itu keberadaan yang tidak dapat dipahami, tidak dapat didemonstrasikan, dan tidak bersifat fisik?" Sutra Ratnakuta (The Heap of Jewels) menyatakan: "O Kashyapa, ketika kesadaran dicari secara seksama, ia tak dapat ditemukan. Apa yang tidak ditemukan tidak dapat dipersepsi [terjemahan Sharma dari bahasa Sansekerta mengandung makna ”tidak dapat menjadi sebuah alambana (dasar yang objektif)"]. Dan apa yang tidak dipersepsi ["bukan sebuah alambana"] adalah bukan masa lampau atau masa mendatang atau masa sekarang." Melalui analisa demikian, dalam pengertian tertinggi, awal dari kesadaran tidak tampak, akhir dari kesadaran tidak tampak, dan pertengahan dari kesadaran tidak tampak.

Harus dimengerti bahwa semua fenomena tidak memiliki akhir dan pertengahan, seperti halnya kesadaran tidak memiliki akhir atau pertengahan. Dengan pengetahuan bahwa kesadaran adalah tanpa akhir atau pertengahan, maka tidak ada identitas kesadaran yang dipersepsi. Apa yang disadari secara seksama oleh kesadaran, juga disadari sebagai bersifat shunya. Dengan menyadari hal ini, maka identitas keberadaan itu sendiri, yang dipersepsi sebagai aspek kesadaran (citta vipathana svabhava), seperti identitas dari wujud fisik, dan sebagainya, juga tidak dipersepsi dalam pengertian tertinggi. Dengan cara ini, ketika seseorang tidak melihat identitas dari semua fenomena dengan prajna dalam pengertian tertinggi, ia tidak akan menganalisa (vikalpa) apakah wujud fisik (rupa) bersifat permanen atau berubah-ubah, shunya atau tidak shunya, terkontaminasi atau tidak terkontaminasi, dihasilkan atau tidak dihasilkan, dan ada atau tidak ada. Seperti halnya wujud fisik tidak diamati, demikian juga perasaan (vedana), kebisaan membeda-bedakan (samjna), faktor-faktor lain yang terbentuk (samskara), dan kesadaran (vijnana) juga tidak diamati. Ketika objek tidak ada, karakteristik-karakteristiknya juga tidak ada. Sehingga, bagaimana mereka dapat diamati (vikalpa)?

Dengan cara ini, jika seseorang tidak menggenggam keberadaan suatu fenomena secara hakiki, setelah menyelidikinya dengan prajna, praktisi tersebut bersemayam dalam konsentrasi tunggal non-konseptual (nirvikalpa-samadhi). Dan dengan demikian ketiadaan identitas yang hakiki (nissvabhavata) dari semua fenomena disadari.

Mereka yang tidak bermeditasi dengan menganalisa keberadaan fenomena-fenomena secara khusus dengan prajna, tetapi hanya bermeditasi bagaimana menghilangkan aktivitas mental, mereka tidak dapat mencegah munculnya pikiran-pikiran konseptual dan juga tidak dapat menyadari ketiadaan identitas yang hakiki karena mereka tidak memiliki cahaya prajna. Jika api dari kesadaran yang mengetahui fenomena sebagaimana adanya dihasilkan dari analisa individu mengenai realitas (tathata; suchness), maka seperti api yang dihasilkan dari menggosok kayu, itu akan membakar kayu dari pikiran konseptual (kalpana). Guru Buddha telah bersabda demikian.

Sutra Ratnamegha (The Cloud of Jewels) juga menyatakan, "Ia yang mahir mendeteksi kekeliruan-kekeliruan, melakukan yoga meditasi tentang shunyata untuk menghilangkan semua proyeksi konseptual. Orang yang demikian, karena bermeditasi tentang shunyata secara berulang-ulang, ketika ia mencari objek dan identitas objek secara seksama, baik yang menyebabkan kegembiraan maupun gangguan, ia menyadari bahwa semua bersifat shunya. Ketika kesadaran tersebut juga diamati, maka disadari kesadaran juga bersifat shunya. Ketika identitas dari apa yang disadari oleh kesadaran ini dicari secara seksama, ini juga disadari bersifat shunya. Menyadari hal demikian, ia memasuki yoga tanpa tanda (animitta yoga)." Ini menunjukkan bahwa hanya mereka yang telah melakukan analisa lengkap yang dapat memasuki yoga tanpa noda (nirnimittata).

Telah dikemukakan dengan sangat jelas bahwa hanya menghilangkan aktivitas mental (mansikarita), tanpa memeriksa identitas fenomena-fenomena dengan prajna, maka tidak mungkin memasuki meditasi non-konseptual (nirvikalpa). Dengan demikian, konsentrasi dilakukan setelah identitas sesungguhnya dari fenomena-fenomena seperti wujud fisik dan sebagainya telah dianalisa secara sempurna dengan prajna, dan bukan dengan berkonsentrasi pada wujud fisik, dan sebagainya. Konsentrasi (dhyana) juga bukan dilakukan dengan bersemayam di dunia ini maupun di luar dunia ini, karena wujud-wujud fisik dan sebagainya tidak dipersepsi. Dengan demikian, ini disebut konsentrasi yang tidak menetap (apratisthata dhyana).

[Praktisi demikian] disebut meditator dengan prajna tertinggi (prajnottara dhyana; supreme wisdom), karena dengan secara khusus memeriksa identitas dari semua hal dengan prajna maka ia tidak mempersepsi apapun (anupalambha dhyana). Ini seperti dinyatakan dalam Sutra Harta Karun Ruang (The Space Treasure Sutra) dan Sutra Permata Dalam Mahkota (The Jewel in Crown Sutra), dan sebagainya.
Dengan cara ini, dengan memasuki realitas (tathata; suchness) dari pudgala-nairatmya dan dharma-nairatmya, kita terbebas dari konsep-konsep dan analisa karena tidak ada yang diperiksa dan diamati secara seksama. Kita terbebas dari ekspresi, dan dengan penambatan mental pada satu objek, secara otomatis kita memasuki meditasi tanpa upaya. Dengan demikian, kita bermeditasi tentang realitas (tathata; suchness) dengan sangat jelas dan bersemayam di dalamnya. Selama bersemayam dalam meditasi ini, kesinambungan kesadaran jangan sampai terganggu. Ketika kesadaran terganggu oleh objek-objek eksternal karena keterikatan, dan sebagainya, gangguan demikian harus diperhatikan. Dengan cepat tenangkan gangguan dengan bermeditasi tentang aspek menjijikkan (memuakkan) dari objek tersebut dan kembali fokuskan kesadaran pada realitas (tathata; suchness) dengan segera.
Jika kesadaran tampak enggan melakukannya, renungkan keuntungan-keuntungan dari konsentrasi pada satu objek (samadhi), bermeditasilah dengan gembira. Keengganan harus ditaklukkan juga dengan melihat kekurangan-kekurangan dari gangguan tersebut.

Jika fungsi dari kesadaran menjadi tidak jelas dan mulai muncul keloyoan (laya), atau ketika ada resiko loyo karena dikuasai ketumpulan (styana; mental torpor) atau mengantuk, maka seperti sebelumnya, cepatlah berupaya mengatasi keloyoan (laya) ini dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang sangat menggembirakan. Kemudian objek realitas (tathata; suchness) harus diperhatikan dengan sangat ketat. Jika pikiran yang diamati menjadi bergejolak (auddhatya; mental agitation) atau terganggu oleh ingatan kejadian-kejadian masa lampau yang menggembirakan, maka seperti dalam kasus-kasus sebelumnya, tenangkan gangguan dengan merenungkan hal-hal seperti anitya dan sebagainya, yang akan membantu untuk menenangkan pikiran. Kemudian, sekali lagi berusahalah memusatkan perhatian pada realitas (tathata; suchness) tanpa menggunakan daya penawar.

Jika dan ketika kesadaran secara spontan berada dalam meditasi tentang realitas (tathata; suchness), bebas dari keloyoan (laya) dan gejolak (auddhatya; mental agitation), kesadaran harus dibiarkan apa adanya dan upaya kita harus dikendorkan. Jika upaya dikerahkan ketika kesadaran berada dalam keseimbangan meditatif (samahita), itu akan mengganggu kesadaran. Tetapi jika upaya tidak dikerahkan ketika pikiran loyo (laya), itu akan seperti orang buta jika muncul laya yang ekstrim dan kita tidak akan mencapai vipashyana. Jadi, ketika pikiran loyo (laya), kerahkanlah upaya, dan ketika terserap dalam keadaan meditatif (samapatti), upaya harus dikendorkan. Sewaktu bermeditasi tentang vipashyana, jika dibarengi dengan prajna yang kuat sedangkan shamatha lemah, pikiran akan berkelana seperti pelita mentega di tengah angin dan kita tidak akan melihat realitas (tathata; suchness) dengan sangat jelas. Oleh karena itu, pada waktu itu bermeditasilah tentang shamatha. Ketika meditasi shamatha menjadi kuat, bermeditasilah tentang prajna.

Menyatukan Upaya dan Prajna
Ketika kedua-duanya (upaya dan prajna) berjalan secara bersamaan, janganlah bergeming, tetap tanpa upaya (usaha keras), selama tidak muncul ketidak-nyamanan mental atau fisik. Jika ketidaknyamanan mental atau fisik muncul, lihatlah seluruh dunia seperti ilusi, fatamorgana, mimpi, pantulan bulan di air, dan penampakan. Dan berpikirlah: ”Makhluk-makhluk ini mengalami kesulitan dalam samsara karena tidak memahami realitas yang mendalam. Kemudian, bangkitkan mahakaruna dan Bodhicitta, dengan berpikir: “Saya akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membantu mereka memahami realitas (tathata; suchness). Beristirahatlah. Sekali lagi, dengan cara yang sama, berkonsentrasilah pada satu objek tentang ketidak-tampakan dari semua fenomena (sarva-dharam-nirabhasa-samadhi). Jika pikiran menjadi tidak bersemangat, dengan cara yang sama, beristirahatlah. Ini adalah cara menjalankan penyatuan meditasi shamatha dan vipashyana. Ini memusatkan perhatian pada gambaran secara konseptual (savikalpa) dan non-konseptual (nirvikalpa).

Diterjemahkan ke Indonesia oleh Potowa Center

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Triyana2009

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 756
  • Reputasi: 4
  • Gender: Male
Namo Buddhaya,

Terima kasih banyak buat terjemahannya, excellent post.

 _/\_

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Untuk PDF-nya silahkan download di sini:
www.potowa.org/januari/index.php/text/download/1/20
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek