//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Agama Buddha dan Posisi Wanita  (Read 3369 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Agama Buddha dan Posisi Wanita
« on: 17 January 2010, 07:21:15 PM »
http://www.w****a.com/forum/topik-umum/4867-agama-buddha-dan-posisi-wanita.html
http://forum.dhammacakka.org/showthread.php?t=3907

Sumber:  The Mission Accomplished: A historical analysis of the Mahaparinibbana Sutta of the Digha Nikaya of the Pali Canon oleh Ven. Dr. Pategama Gnanarama, tepatnya dari bab 7 yang berjudul "The Dispensation and the Position of Women".

Dalam Mahaparinibbana Sutta terdapat percakapan yang sangat singkat antara Sang Buddha dan Ananda yang mengungkapkan sikap para bhikkhu terhadap kaum wanita. Percakapan ini muncul tiba-tiba tanpa ada hubungan dengan narasi yang mendahului atau mengikutinya, ditempatkan setelah daftar empat tempat suci yang harus dikunjungi oleh para pengikut yang berkeyakinan.
Ananda meminta nasehat dari Sang Buddha:
"Bagaimana kami bersikap, Yang Mulia, berkenaan dengan kaum wanita?"
"Jangan melihat mereka, Ananda."
"Tetapi jika kami harus melihat mereka, apakah yang harus kami lakukan?"
"Jangan berbicara [dengan mereka], Ananda."
"Tetapi jika mereka harus berbicara dengan kami, Yang Mulia, apakah yang harus kami lakukan?"
"Tetaplah waspada, Ananda." (D. Ii, 141)

Ketika kita melihat jawaban pertama dan kedua yang diberikan Sang Buddha, kesan yang kita dapatkan adalah Sang Buddha menginginkan para bhikkhu menghindari berbagai jenis komunikasi dengan kaum wanita dengan tidak melihat mereka. Namun, jawaban ketiga yang diberikan atas pertanyaan Ananda mengingatkan para bhikkhu untuk tetap waspada ketika berkomunikasi dengan wanita. Jawaban pertama dan kedua disusun sedemikian rupa untuk membuat kita memahami bahwa keinginan Sang Buddha adalah menghindari berbagai jenis komunikasi apa pun dengan wanita. Tetapi jawaban ketiga memberitahukan para bhikkhu agar waspada ketika berkomunikasi dengan wanita.

Adalah bermanfaat untuk menemukan sikap Sang Buddha terhadap wanita secara umum seperti yang diungkapkan dalam kitab suci, dan menganalisa percakapan di atas yang berasal dari Sang Buddha dan Ananda.

Sikap yang harus dikembangkan dalam menanggapi objek-objek visual dan pendengaran dikemukakan dalam Indriyabhavana Sutta dari Majjhima Nikaya. Di sini Sang Buddha bertanya kepada Uttara, pemuda brahmana, bagaimana gurunya, Parasariya, melatih para muridnya dalam hal pengembangan pancaindera. Menjawab pertanyaan Sang Buddha, pemuda itu berkata bahwa Parasariya mengajarkan para muridnya untuk mengembangkan pancaindera mereka dengan tidak melihat bentuk-bentuk material melalui mata dan dengan tidak mendengarkan suara-suara melalui telinga. Kemudian Sang Buddha berkata, "Jika demikian halnya, menurut Parasariya, karena tidak melihat dan tidak mendengar, orang tuli dan orang buta pasti memiliki pancaindera yang telah dikembangkan!" Sang Buddha lalu menjelaskan metode pelatihan Buddhis yang berkenaan dengan pancaindera, dengan mengatakan bahwa penilaian yang kritis atas objek-objek indera dan mempertahankan keseimbangan [batin] merupakan metode di mana pengembangan pancaindera yang tiada bandingnya dapat dicapai (M. iii, 298 ff).

Dalam Samannaphala Sutta juga Sang Buddha mengatakan kepada Raja Ajatasattu, dengan menjelaskan sikap seorang bhikkhu terhadap objek visual sebagai berikut: "Ketika, O Raja, ia melihat sebuah objek dengan matanya, ia tidak terpesona olehnya yang dapat memberi kesempatan bagi keadaan yang buruk, ketamakan, dan kekesalan yang mengalir dalam dirinya, jika ia berdiam tanpa terkendali indera penglihatannya. Ia terus mengamati indera penglihatannya dan ia dengan demikian mencapai penguasaan atas indera penglihatannya." (D. I, 70 dan juga D. iii, 225, S. iv, 104, A. I, 113)

Sikap yang dikembangkan oleh siswa yang bijaksana terhadap dunia fenomenal dirangkum dengan baik dalam Samyutta Nikaya: "Pikiran yang penuh nafsu dalam seseorang itu sendirilah nafsu, bukan hal-hal indah yang ditemukan di dunia luar. Biarkanlah hal-hal yang indah seperti apa adanya. Orang bijaksana mendisiplinkan keinginan yang berhubungan dengan ini."

Dalam dialog lainnya antara Sang Buddha dan Chitta, sang perumah tangga, Chitta menjelaskan bagaimana ia memahami belenggu (samyojana) dan hal-hal yang cenderung ke arah belenggu, dengan mengatakan: "Andaikan, Yang Mulia, lembu jantan hitam dan putih diikat bersama oleh satu tali atau kuk. Sekarang ia yang mengatakan bahwa lembu hitam adalah belenggu bagi lembu putih, atau lembu putih adalah belenggu bagi lembu hitam, apakah ia yang berkata demikian mengatakannya dengan benar?"

Sang Buddha menjawab: "Tidaklah demikian, perumah tangga. Lembu hitam bukan belenggu bagi lembu putih, ataupun lembu putih bukan belenggu bagi lembu hitam. Kenyataannya keduanya diikat dengan satu tali atau kuk,[tali atau kuk] itulah belenggunya (samyojana)."

Kemudian Chitta mengembangkan kesimpulannya: "Demikianlah, Yang Mulia, seperti mata bukan belenggu bagi objek-objek, ataupun objek-objek bukan belenggu bagi mata. Namun nafsu dan keinginan yang timbul karena keduanya, itulah belenggu. Telinga bukan belenggu bagi suara... hidung bukan belenggu bagi bebauan... atau lidah bukan belenggu bagi rasa, ataupun rasa bukan belenggu bagi lidah, tetapi nafsu dan keinginan yang timbul karena keduanya, itulah belenggu. Seperti juga pikiran bukan belenggu bagi keadaan mental, ataupun keadaan mental bukan belenggu bagi pikiran, tetapi nafsu dan keinginan yang muncul karena keduanya, itulah belenggu."

Sang Buddha lalu memuji Chitta atas pemahamannya yang mendalam: "Bagus, perumah tangga. Sangat baik dipahami olehmu, perumah tangga, sehingga mata kebijaksanaanmu sesuai ajaran yang mendalam dari Sang Buddha." (S. iv, p. 163)

Berdasarkan bukti-bukti kuat dari kutipan kitab suci di atas, kiranya dua jawaban pertama yang dikatakan telah diberikan oleh Sang Buddha atas pertanyaan Ananda merupakan pernyataan yang berlebihan atas persoalan ini. Tetapi seperti yang dinyatakan Sang Buddha di mana-mana [dalam berbagai sutta], seseorang harus waspada dalam persepsi [pancainderanya] dan tidak tergoda oleh penampakan umum dan detail dari objek. Namun, cara pandang Buddhis yang digambarkan dalam jawaban ketiga sekiranya benar-benar diberikan oleh Sang Buddha. Dua pertanyaan pertama dan jawabannya yang dikatakan telah diberikan oleh Sang Buddha membawa kita kembali ke masa tiga abad berikutnya setelah wafatnya Sang Buddha. Penyelidikan atas kisah legenda yang berkaitan dengan pendirian Sangha Bhikkhuni mungkin layak dilakukan dalam kaitannya dengan masalah ini.

Bagaimanakah sikap Sang Buddha terhadap kaum wanita? Apakah sama seperti sikap masyarakat brahmana yang sezaman dengan Beliau? Atau berbeda? Seperti yang kita ketahui terdapat banyak referensi terhadap wanita dalam kitab suci yang mengungkapkan pendirian yang berbeda atas posisi sosial wanita saat itu. Seperti yang tercatat dalam Cullavagga Pali, Sang Buddha mendirikan Sangha Bhikkhuni atas permintaan Ananda yang mewakili Mahapajapati Gotami. Jika Sang Buddha ragu-ragu dan keberatan seperti yang tercatat di sini, dengan menetapkan Delapan Aturan Keras (atthagaru dhamma) yang harus ditaati oleh para wanita yang memasuki Sangha, mungkin percakapan yang ditunjukkan di sana dapat diterima tanpa mempertanyakan keasliannya. Prof. J. Dhirasekera telah menunjukkan bahwa walaupun terdapat pandangan yang berbeda-beda tentang pendirian Sangha Bhikkhuni, tidak lama setelah didirikan ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Buddhis (Dhirasekera J - Buddhist Monastic Discipline, 142 ff). Lebih jauh lagi, para bhikkhu dan bhikkhuni, upasaka dan upasika dianggap sebagai komponen yang bersama-sama menerangi agama Buddha. Oleh karena itu ketika kita menganalisa catatan yang mengisahkan pendirian Sangha Bhikkhuni, beberapa ketidakcocokan dari catatan tersebut menjadi jelas.
« Last Edit: 17 January 2010, 07:34:15 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Agama Buddha dan Posisi Wanita
« Reply #1 on: 17 January 2010, 07:22:50 PM »
Seperti yang diberikan dalam Bhikkhuni Khandaka dari Cullavagga Pali, Mahapajapati Gotami mendekati Sang Buddha di Nigrodharama di Kapilavatthu dan memohon penahbisan untuk wanita bahkan sampai tiga kali. Setelah itu, dengan menolak permohonan tersebut, Sang Buddha melanjutkan perjalanan ke Vesali. Gotami, setelah memotong rambutnya, mengenakan jubah kuning dan datang ke Vesali dengan beberapa wanita Sakya dan berdiri di beranda pintu gerbang. Ananda, yang melihat Pajapati Gotami, yang "kakinya bengkak, anggota tubuhnya ditutupi debu, dengan wajah yang menyedihkan dan menangis, sambil berdiri di luar beranda pintu gerbang" menanyakan maksud kedatangannya. Ketika diberitahukan tentang keinginannya untuk memasuki Sangha, Ananda mendekati Sang Buddha dan memohon penahbisan untuk Gotami. Di sini, Sang Buddha dikatakan menolak penahbisan untuk wanita bahkan sampai tiga kali. Kemudian Ananda memohon dengan cara yang berbeda dengan menanyakan kepada Sang Buddha apakah para wanita setelah memasuki Sangha dapat mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami, dan Arahat. Sang Buddha menjawab hal tersebut dapat terjadi. Kisah dalam Cullavagga kemudian mencatat Delapan Aturan Keras untuk para wanita agar dipatuhi oleh mereka yang ingin memasuki Sangha. Aturan ini sendiri sudah cukup bagi Mahapajapati Gotami sebagai bhikkhuni yang pertama ditahbiskan dalam Sangha.

Kedelapan Aturan Keras tersebut adalah:
1. Seorang bhikkhuni yang telah ditahbiskan (bahkan) selama satu abad harus memberi salam dengan hormat, berdiri dari kursinya, memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan, melakukan penghormatan yang layak kepada seorang bhikkhu yang baru ditahbiskan hari itu juga.
2. Seorang bhikkhuni tidak boleh menghabiskan masa vassa di mana tidak ada bhikkhu.
3. Setiap setengah bulan seorang bhikkhuni harus meminta dua hal dari Sangha Bhikkhu: meminta penetapan hari Uposatha dan pemberian nasehat (ovada).
4. Setelah masa vassa, seorang bhikkhuni harus "mengundang" kedua Sangha atas tiga hal: apa yang dilihat, apa yang didengar, dan apa yang dicurigai.
5. Seorang bhikkhuni yang melanggar salah satu aturan keras (garu dhamma) harus menjalani hukuman manatta selama setengah bulan di hadapan kedua Sangha.
6. Ketika sebagai bhikkhuni dalam masa percobaan, seorang bhikkhuni harus berlatih enam sila selama dua tahun dan mendapatkan penahbisan dari kedua Sangha.
7. Seorang bhikkhu tidak boleh dicaci maki dalam cara apa pun oleh seorang bhikkhuni.
8. Sejak hari itu, seorang bhikkhuni tidak boleh menasehati para bhikkhu. Para bhikkhu boleh menasehati bhikkhuni. Semua peraturan ini harus dihormati dan tidak boleh dilanggar seumur hidup bhikkhuni tersebut (Vin. ii, 252 ff. dan juga A.I.V. 272 ff).

Pada kesempatan lain Gotami meminta izin dari Sang Buddha melalui Ananda untuk menetapkan pemberian salam dan penghormatan antara para bhikkhu dan bhikkhuni sesuai dengan senioritasnya, yang ditolak Sang Buddha dengan mengatakan bahwa pengikut agama lain juga tidak memiliki kebiasaan menghormati dan menyalami para wanita. Yang paling patut diperhatikan adalah Sang Buddha menetapkan sebuah aturan yang melarang para bhikkhu memberi salam dan penghormatan kepada wanita!

Sekarang pernyataan yang paling aneh dari catatan ini adalah perkataan Sang Buddha yang menyebutkan bahwa karena didirikannya Sangha Bhikkhuni, usia Saddhamma (Dhamma yang sejati) telah berkurang menjadi setengahnya. Yaitu, Saddhamma yang akan bertahan secara normal selama seribu tahun akan hanya bertahan selama lima ratus tahun karena diterimanya para wanita ke dalam Sangha! Di sini Sang Buddha mengungkapkan bahwa bahkan rumah tangga yang memiliki banyak wanita dan sedikit pria akan mudah menjadi sasaran para perampok, bagaikan seluruh sawah yang diserang oleh wabah cendawan tidak akan bertahan lama, bagaikan seluruh ladang tebu yang diserang oleh wabah karat merah tidak akan bertahan lama, demikian juga ajaran dan tata tertib mana pun di mana kaum wanita ditahbiskan tidak akan bertahan lama. Bagaikan seseorang yang melihat ke depan membangun tanggul untuk sebuah waduk agar air tidak meluap, demikian juga Delapan Aturan Keras ditetapkan oleh Sang Buddha agar tidak dilanggar seumur hidup oleh bhikkhuni yang bersangkutan (Vin. ii, 254 ff).

Ketika mengomentari kutipan ini, Buddhaghosa memberitahukan kita bahwa karena penetapan aturan keras tersebut yang bagaikan tanggul bagi sebuah waduk, Saddhamma akan bertahan sepenuhnya selama lima ribu tahun. Selama seribu tahun pertama, dunia akan diberkahi dengan para Arahat yang memiliki empat pengetahuan analitis (catupanisambhida). Kemudian dalam empat periode seribu tahun berikutnya masing-masing, para Arahat yang telah memusnahkan semua kekotoran (khinasava), para Anagami, para Sakadagami, dan para Sotapanna akan muncul di dunia. "Dengan cara ini," ia melanjutkan: "penembusan ajaran (pativedha sasana) bersama-sama dengan pembelajaran ajaran (pariyatti sasana) akan bertahan selama lima ribu tahun. Kehidupan suci akan bertahan selama waktu yang lama bahkan setelah penembusan ajaran." (Bhikkhuni Khandhaka Vannana - Vin A)
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Agama Buddha dan Posisi Wanita
« Reply #2 on: 17 January 2010, 07:24:05 PM »
Nilai historis catatan mengenai pendirian Sangha Bhikkhuni dan penetapan Delapan Aturan Keras yang tercatat dalam Cullavagga dipertanyakan karena beberapa alasan.

Pertama, Buddhaghosa dengan menyesal mengatakan bahwa Sang Buddha telah menolak enam kali permintaan Gotami karena dengan demikian para wanita akan secara alamiah lebih berhati-hati ketika menerima penahbisan dengan kesulitan melalui permintaan yang berulang-ulang, sehingga mereka akan berusaha berperilaku dengan baik. Seberapa masuk akalkah untuk memakai pendekatan negatif yang demikian melalui langkah-langkah yang diambil secara singkat?

Kedua, dalam kisah yang belakangan mengapa Dhammavinaya (ajaran dan tata tertib) diubah menjadi Saddhamma (ajaran yang benar)?

Ketiga, apakah kekuatan aturan tersebut tidak ditiadakan oleh pernyataan bahwa agama Buddha akan bertahan hanya selama lima ratus tahun bahkan sebuah tindakan pencegahan yang diibaratkan bendungan dari sebuah waduk telah diambil ketika menetapkan peraturan tersebut?

Keempat, tidakkah penyataan yang ditemukan dalam Cullavagga menjadi tidak berarti ketika dibandingkan dengan perhitungan Buddhaghosa tentang usia agama Buddha sepanjang 5.000 tahun?

Kelima, ketika Mahapajapati Gotami ingin melonggarkan peraturan yang mengharuskan adanya penghormatan dan pemberian salam berdasarkan senioritas antara para bhikkhu dan bhikkhuni, mengapa kisah tersebut mengalihkan penekanan dari "para bhikkhuni" menjadi "para wanita" dengan mengatakan bahwa para pengikut agama lain juga tidak menghormati dan menyalami wanita?

Keenam, jika Sangha Bhikkhuni didirikan dengan menetapkan Delapan Aturan Keras sebagai tindakan pencegahan oleh Sang Buddha sendiri, seberapa masuk akalkah bagi para thera untuk mendesak Ananda untuk mengakui sebuah pelanggaran atas perbuatan salah (dukkhata) saat konsili pertama [karena memohon agar para wanita diterima ke dalam Sangha]?

Ketujuh, jika Sangha Bhikkhuni didirikan semata-mata didirikan atas bujukan Ananda, apakah ia tidak dipercayakan pada saat konsili atas inisiatif yang diambilnya dalam merintis jalan pencapaian bagi kaum wanita dari status sosial yang berbeda-beda?

Kedelapan, mengapa kisah Cullavagga menyebutkan bahwa Mahapajapati Gotami sendirilah yang mencapai Penahbisan yang Lebih Tinggi dengan menerima aturan-aturan tersebut?
Berdasarkan catatan Cullavagga, para wanita Sakya sisanya ditahbiskan oleh para bhikkhu, bukan oleh Sang Buddha; ataupun mereka tidak mengklaim ketaatan untuk mengikuti peraturan tersebut.

Kesembilan, seperti yang diberikan dalam aturan keenam, seorang wanita harus menerima penahbisan dari kedua Sangha. Apakah ini memungkinkan karena Sangha Bhikkhuni belum didirikan pada awalnya?
Berdasarkan catatan, terdapat tiga fase dalam evolusi Penahbisan yang Lebih Tinggi untuk para bhikkhuni. Dalam fase pertama para bhikkhu-lah yang menahbiskan mereka. Namun dalam fase ledua para bhikkhuni diberikan dua kali Penahbisan yang Lebih Tinggi oleh kedua Sangha Bhikkhu dan Bhikkhuni masing-masing. Dalam fase ketiga, para bhikkhuni sendiri, sebagai organisasi yang berdiri sendiri, memberikan Penahbisan yang Lebih Tinggi. Ini menunjukkan bahwa Sangha Bhikkhuni dibuat menjadi institusi yang berdiri sendiri setelah pelatihan yang mereka peroleh di bawah pengawasan institusi kebiaraan yang lebih senior.

Kesepuluh, apakah alasannya mengulangi lagi beberapa aturan ini sebagai aturan Patimokkha yang harus diikuti oleh para bhikkhuni sedangkan semua kedelapan aturan tersebut telah ditetapkan sebagai aturan yang tidak boleh dilanggar seumur hidup?
Aturan kedua berbunyi sama dengan pelanggaran yang ditemukan dalam aturan keenam dari Aramavagga dari Bhikkhuni Vibhanga. Aturan ketiga telah dikatakan dalam aturan kesembilan dari Vagga yang sama. Aturan ketujuh dan kedelapan dapat dianggap sebagai gema dari pertikaian antara kedua Sangha dan tidak ditetapkan atas dasar pelanggaran yang belum terjadi. Khususnya aturan ketujuh ditemukan sebagai sebuah peraturan dalam Aramavagga.

Keduabelas, apakah alasannya untuk menetapkan aturan-aturan ini kepada para bhikkhuni hanya berdasarkan pelanggaran yang belum pernah terjadi sebelumnya?
Peraturan disiplin baik dalam Bhikkhu Patimokkha dan Bhikkhuni Patimokkha telah ditetapkan sebagai hasil dari kasus nyata dari kelakuan buruk para anggota Sangha, bukan berdasarkan atas pelanggaran yang dibayangkan akan terjadi pada masa yang akan datang.

Ketigabelas, terdapat kontradiksi yang jelas dalam catatan atas sikap Mahapajapati Gotami. Jika ia pertama kali mau menerima aturan-aturan tersebut dengan mengakui untuk mematuhinya seumur hidupnya, kemudian mengapa ia belakangan meminta pengubahan atas aturan pertama?

Keempat belas, seberapa benar secara historis untuk meminta para bhikkhuni agar menanyakan hari uposatha dari para bhikkhu sedangkan peraturan Bhikkhuni Patimokkha belum ditetapkan?
Aturan Patimokkha harus dibacakan pada perkumpulan dua mingguan yang diadakan untuk uposatha atau pengakuan kesalahan antara satu bhikkhu dengan bhikkhu lainnya. Namun, pada awalnya tidak ada peraturan demikian yang ditetapkan Sang Buddha untuk para bhikkhuni. Oleh karena itu pertanyaan atas penyelenggaraan uposatha tidak akan muncul.

Kelimabelas, tidakkah pemberian Penahbisan yang Lebih Tinggi kepada para wanita Sakya yang tersisa merupakan pelanggaran atas aturan keenam yang menyatakan bahwa hanya setelah dua tahun pelatihan dalam enam sila seorang [calon] bhikkhuni dapat menerima Penahbisan yang Lebih Tinggi.
Penahbisan para wanita tersebut dilakukan oleh para bhikkhu setelah penahbisan Gotami.
Enam sila yang disebutkan disini adalah: menghindari pembunuhan, pencurian, hubungan seksual, berdusta, mengkonsumsi minuman keras, dan makan pada waktu yang salah. Jika mereka telah menerima delapan aturan, sehingga aturan itu sendiri telah menjadi Penahbisan yang Lebih Tinggi. Karena mereka belum menerima Penahbisan yang Lebih Tinggi, mereka mungkin telah ditahbiskan sesuai dengan ketentuan dalam aturan keenam.
« Last Edit: 17 January 2010, 07:43:48 PM by bond »
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline bond

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.666
  • Reputasi: 189
  • Buddhang Saranam Gacchami...
Re: Agama Buddha dan Posisi Wanita
« Reply #3 on: 17 January 2010, 07:25:09 PM »
Jika kedelapan aturan tersebut benar-benar terjadi dalam sejarah, kita akan menganggap bahwa Bhikkhuni Vinaya muncul lebih dulu dari Bhikkhu Vinaya, karena Sang Buddha mulai menetapkan aturan disiplin untuk para bhikkhu hanya setelah dua puluh tahun perjalanan karir Beliau, sedangkan berdasarkan bukti yang tidak langsung, Sangha Bhikkhuni didirikan kira-kira lima tahun setelah Pencerahan. Bagaimana pun kata-kata seperti upasampada, vassa, uposatha, pavarana, garudhamma, dan manatta yang ditemukan dalam aturan tersebut jelas sekali mengindikasikan masa sesudah penetapan Vinaya dari Sangha Bhikkhuni.

Prof. Dhammapala Kosambi menolak Delapan Aturan Keras dan ramalan dalam Cullvagga [tentang usia agama Buddha yang hanya lima ratus tahun] dan menyebut keduanya tidak otentik. "Bahkan sebelum pelanggaran terjadi," ia berkata, "bukan contoh yang baik untuk menetapkan aturan-aturan ini kepada para bhikkhuni." Ia berpendapat bahwa ini menyimpang dari cara yang biasanya dilakukan untuk menetapkan aturan Vinaya. Menurutnya, dari kata "saddhamma" dalam kisah tersebut, Theravada-lah yang dimaksud. Para bhikkhu mungkin telah menyusun aturan-aturan ini di suatu tempat pada abad ke-2 atau abad pertama SM ketika Mahayana berkembang dengan pesat dan telah menyisipkan [aturan-aturan baru ke dalam] Vinaya Pitaka dalam rangka membenarkan nama baik mereka dalam agama Buddha. Impor dari ramalan ini adalah bahwa Mahayana muncul dan terkemuka dalam lima ratus tahun setelah wafatnya Sang Buddha. Ia lebih lanjut menekankan, kenyataan bahwa Sangha Bhikkhuni telah didirikan oleh Sang Buddha, catatan ini layak mendapat perhatian kita. Tetapi seperti yang terungkap dalam sejarah agama-agama di India terdapat banyak jenis biarawati pra-Buddhis termasuk perkumpulan biarawati Jain.

Agaknya, keaslian dari laporan pendirian Sangha Bhikkhuni dipertanyaan dalam banyak hal. Anakronisme dalam catatan tersebut lebih nyata daripada kelihatannya (Kosambi Dhammanada-Bhagavan Buddha 166-8).

Setelah wafatnya Sang Buddha, para thera memiliki tanggung jawab mempertahankan aturan disiplin dengan rapi pada satu sisi, serta memperkuat dan menjaga ajaran dari polemik yang berbeda-beda pada sisi lain. Walaupun terdapat para bhikkhuni terkemuka yang ahli dalam Dhamma dan Vinaya, kita tidak memiliki catatan keikutsertaan mereka pada konsili pertama. Ataupun kita tidak memiliki laporan atas langkah-langkah yang mereka ambil setelah konsili. Karena pergaulan yang dekat antara para anggota kedua Sangha, banyak masalah pasti telah muncul yang mengakibatkan reaksi yang merugikan pada ajaran secara keseluruhan.

Dikatakan bahwa ketika para bhikkhu mengunjungi vihara para bhikkhuni untuk pembacaan Patimokkha yang telah diperintahkan Sang Buddha, orang-orang biasanya menyindir dengan tajam bahwa para bhikkhu merupakan para kekasih dan para bhikkhuni adalah para selir (Vin. ii, 256). Kecaman ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan yang baik dari kedua Sangha yang bergantung sepenuhnya kemurahan hati para umat awam. Di samping itu terdapat banyak contoh perilaku yang tidak layak antara para bhikkhu dan bhikkhuni. Bhikkhuni Khandaka memberikan kita banyak contoh demikian.

Beberapa aturan Patimokkha juga ditetapkan untuk mencegah situasi ini. Sebagai contoh: Nissaggiya keempat dan ketujuh telah ditetapkan pada saat kejadian para bhikkhu mendapatkan pelayanan dari para bhikkhuni. Pacittiya no.26 telah ditetapkan karena melayani wanita. Pacittiya 25, 29 dan Nissaggiya 5 berhubungan dengan pertukaran jubah oleh para bhikkhu dan bhikkhuni. Pacittiya 29 dan Patidesaniya 1 dan 2 berbicara tentang komunikasi yang intim atas perasaan seorang bhikkhuni kepada para bhikkhu. Pacittiya 27, 28, dan 30 telah ditetapkan untuk mencegah hubungan sosial yang tidak pantas dengan para bhikkhuni. Karena para umat awam tidak mentolerir pelanggaran atas kelakuan standar yang diharapkan dari para pertapa, mereka kelihatannya telah mengecam mereka dalam perkataan yang tajam.

Dalam kehidupan kebiaraan agama Jain para biarawati dianggap lebih rendah daripada para biarawan. Kebebasan gerak mereka juga lebih ketat daripada rekan pria mereka (Deo SB - History of Jain Monachism, 52). Bagaimana pun kecenderungan ini merupakan pencerminan dari sikap kuno para brahmana terhadap wanita. Para wanita dihilangkan haknya untuk mengikuti "upacara inisiasi" (upanayana) sehingga para pembuat hukum brahmana merendahkan para wanita ke posisi Sudra. Mereka tidak diizinkan melakukan upacara korban. Tidak ada ikrar religius ataupun aturan suci untuk mereka; kepatuhan kepada suami sudah cukup bagi mereka agar dapat terlahir di surga (Manusmrti, V, 155). Dalam Bhagavadgita juga, jejak pemikiran yang sama telah disebutkan dalam kata-kata Krishna yang mengatakan bahwa wanita seperti juga kasta Vaisya dan Sudra lahir dari kejahatan (Bhagavadgita, x 32). Manu menekankan kewajiban wanita terhadap suami mereka sedemikian sehingga mereka harus menghormati suami mereka seperti dewa walaupun suami tersebut tidak bermoral dan sama sekali tidak memiliki sifat baik yang dapat dipuji (Manusmrti, V, 154).

Para brahmana yang telah tumbuh dalam lingkungan budaya yang demikian pasti telah memiliki perasaan yang kuat terhadap para wanita walaupun mereka telah ditahbiskan [sebagai bhikkhu Buddhis]. Demikian banyak pandangan tradisional India terhadap wanita yang diwariskan oleh masyrakat India telah memiliki dampak pada Sangha secara umum. Oleh karena itu, daripada mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki ketegangan antara kedua institusi, para thera kelihatannya mengembangkan sikap yang negatif terhadap Sangha Bhikkhuni.

Sang Buddha menginginkan Sangha Bhikkhuni menjadi lebih maju dibawah bimbingan, pengawasan, dan perlindungan Sangha Bhikkhu, organisasi kebiaraan yang lebih senior. Suatu ketika, para bhikkhuni bertanya kepada Sang Buddha bagaimana mereka harus bersikap terhadap aturan-aturan yang telah ditetapkan untuk para bhikkhu. Sang Buddha kemudian meminta mereka untuk memegang aturan tersebut sebagai aturan umum di mana pun dapat dijalankan dan [Sang Buddha] melanjutkan menetapkan aturan-aturan baru untuk para bhikkhuni. Seperti yang tercatat dalam Bhikkhuni Khandaka, secara perlahan-lahan Sangha Bhikkhuni dibuat menjadi unit yang berdiri sendiri dengan sendirinya dengan membuat ketentuan bagi mereka untuk melakukan semua aktivitas kebiaraan oleh mereka sendiri. Dengan berjalannya waktu, perilaku yang tidak menyenangkan antara anggota kedua Sangha telah memperumit hubungan antara kedua organisasi ini.

Dengan mempertimbangkan latar belakang ini kita dapat memahami percakapan yang dianggap berasal dari Sang Buddha dan Ananda dalam Mahaparinibbana Sutta. Para bhikkhuni merupakan wanita di mata para thera. Mereka kelihatannya berpikir bahwa dalam kondisi yang memungkinkan para wanita harus "dikucilkan" sepenuhnya. Apa yang tampaknya pesan asli Sang Buddha masih dipertahankan dalam jawaban ketiga yang diberikan kepada Ananda, tetapi dengan segala kemungkinan, percakapan yang direka-reka tersebut kelihatannya telah berbaur ke dalam teks [kitab suci] yang memperlebar jurang antara pria dan wanita, yang telah diperkecil oleh Sang Buddha dengan memberikan kesamaan status kepada para wanita secara sosial dan secara keagamaan dengan pendirian Sangha Bhikkhuni.
Natthi me saranam annam, Buddho me saranam varam, Etena saccavajjena, Sotthi te hotu sabbada

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Agama Buddha dan Posisi Wanita
« Reply #4 on: 17 January 2010, 07:32:13 PM »
_/\_
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...