http://www.w****a.com/forum/topik-umum/4867-agama-buddha-dan-posisi-wanita.html
http://forum.dhammacakka.org/showthread.php?t=3907Sumber: The Mission Accomplished: A historical analysis of the Mahaparinibbana Sutta of the Digha Nikaya of the Pali Canon oleh Ven. Dr. Pategama Gnanarama, tepatnya dari bab 7 yang berjudul "The Dispensation and the Position of Women".Dalam Mahaparinibbana Sutta terdapat percakapan yang sangat singkat antara Sang Buddha dan Ananda yang mengungkapkan sikap para bhikkhu terhadap kaum wanita. Percakapan ini muncul tiba-tiba tanpa ada hubungan dengan narasi yang mendahului atau mengikutinya, ditempatkan setelah daftar empat tempat suci yang harus dikunjungi oleh para pengikut yang berkeyakinan.
Ananda meminta nasehat dari Sang Buddha:
"Bagaimana kami bersikap, Yang Mulia, berkenaan dengan kaum wanita?"
"Jangan melihat mereka, Ananda."
"Tetapi jika kami harus melihat mereka, apakah yang harus kami lakukan?"
"Jangan berbicara [dengan mereka], Ananda."
"Tetapi jika mereka harus berbicara dengan kami, Yang Mulia, apakah yang harus kami lakukan?"
"Tetaplah waspada, Ananda." (D. Ii, 141)
Ketika kita melihat jawaban pertama dan kedua yang diberikan Sang Buddha, kesan yang kita dapatkan adalah Sang Buddha menginginkan para bhikkhu menghindari berbagai jenis komunikasi dengan kaum wanita dengan tidak melihat mereka. Namun, jawaban ketiga yang diberikan atas pertanyaan Ananda mengingatkan para bhikkhu untuk tetap waspada ketika berkomunikasi dengan wanita. Jawaban pertama dan kedua disusun sedemikian rupa untuk membuat kita memahami bahwa keinginan Sang Buddha adalah menghindari berbagai jenis komunikasi apa pun dengan wanita. Tetapi jawaban ketiga memberitahukan para bhikkhu agar waspada ketika berkomunikasi dengan wanita.
Adalah bermanfaat untuk menemukan sikap Sang Buddha terhadap wanita secara umum seperti yang diungkapkan dalam kitab suci, dan menganalisa percakapan di atas yang berasal dari Sang Buddha dan Ananda.
Sikap yang harus dikembangkan dalam menanggapi objek-objek visual dan pendengaran dikemukakan dalam Indriyabhavana Sutta dari Majjhima Nikaya. Di sini Sang Buddha bertanya kepada Uttara, pemuda brahmana, bagaimana gurunya, Parasariya, melatih para muridnya dalam hal pengembangan pancaindera. Menjawab pertanyaan Sang Buddha, pemuda itu berkata bahwa Parasariya mengajarkan para muridnya untuk mengembangkan pancaindera mereka dengan tidak melihat bentuk-bentuk material melalui mata dan dengan tidak mendengarkan suara-suara melalui telinga. Kemudian Sang Buddha berkata, "Jika demikian halnya, menurut Parasariya, karena tidak melihat dan tidak mendengar, orang tuli dan orang buta pasti memiliki pancaindera yang telah dikembangkan!" Sang Buddha lalu menjelaskan metode pelatihan Buddhis yang berkenaan dengan pancaindera, dengan mengatakan bahwa penilaian yang kritis atas objek-objek indera dan mempertahankan keseimbangan [batin] merupakan metode di mana pengembangan pancaindera yang tiada bandingnya dapat dicapai (M. iii, 298 ff).
Dalam Samannaphala Sutta juga Sang Buddha mengatakan kepada Raja Ajatasattu, dengan menjelaskan sikap seorang bhikkhu terhadap objek visual sebagai berikut: "Ketika, O Raja, ia melihat sebuah objek dengan matanya, ia tidak terpesona olehnya yang dapat memberi kesempatan bagi keadaan yang buruk, ketamakan, dan kekesalan yang mengalir dalam dirinya, jika ia berdiam tanpa terkendali indera penglihatannya. Ia terus mengamati indera penglihatannya dan ia dengan demikian mencapai penguasaan atas indera penglihatannya." (D. I, 70 dan juga D. iii, 225, S. iv, 104, A. I, 113)
Sikap yang dikembangkan oleh siswa yang bijaksana terhadap dunia fenomenal dirangkum dengan baik dalam Samyutta Nikaya: "Pikiran yang penuh nafsu dalam seseorang itu sendirilah nafsu, bukan hal-hal indah yang ditemukan di dunia luar. Biarkanlah hal-hal yang indah seperti apa adanya. Orang bijaksana mendisiplinkan keinginan yang berhubungan dengan ini."
Dalam dialog lainnya antara Sang Buddha dan Chitta, sang perumah tangga, Chitta menjelaskan bagaimana ia memahami belenggu (samyojana) dan hal-hal yang cenderung ke arah belenggu, dengan mengatakan: "Andaikan, Yang Mulia, lembu jantan hitam dan putih diikat bersama oleh satu tali atau kuk. Sekarang ia yang mengatakan bahwa lembu hitam adalah belenggu bagi lembu putih, atau lembu putih adalah belenggu bagi lembu hitam, apakah ia yang berkata demikian mengatakannya dengan benar?"
Sang Buddha menjawab: "Tidaklah demikian, perumah tangga. Lembu hitam bukan belenggu bagi lembu putih, ataupun lembu putih bukan belenggu bagi lembu hitam. Kenyataannya keduanya diikat dengan satu tali atau kuk,[tali atau kuk] itulah belenggunya (samyojana)."
Kemudian Chitta mengembangkan kesimpulannya: "Demikianlah, Yang Mulia, seperti mata bukan belenggu bagi objek-objek, ataupun objek-objek bukan belenggu bagi mata. Namun nafsu dan keinginan yang timbul karena keduanya, itulah belenggu. Telinga bukan belenggu bagi suara... hidung bukan belenggu bagi bebauan... atau lidah bukan belenggu bagi rasa, ataupun rasa bukan belenggu bagi lidah, tetapi nafsu dan keinginan yang timbul karena keduanya, itulah belenggu. Seperti juga pikiran bukan belenggu bagi keadaan mental, ataupun keadaan mental bukan belenggu bagi pikiran, tetapi nafsu dan keinginan yang muncul karena keduanya, itulah belenggu."
Sang Buddha lalu memuji Chitta atas pemahamannya yang mendalam: "Bagus, perumah tangga. Sangat baik dipahami olehmu, perumah tangga, sehingga mata kebijaksanaanmu sesuai ajaran yang mendalam dari Sang Buddha." (S. iv, p. 163)
Berdasarkan bukti-bukti kuat dari kutipan kitab suci di atas, kiranya dua jawaban pertama yang dikatakan telah diberikan oleh Sang Buddha atas pertanyaan Ananda merupakan pernyataan yang berlebihan atas persoalan ini. Tetapi seperti yang dinyatakan Sang Buddha di mana-mana [dalam berbagai sutta], seseorang harus waspada dalam persepsi [pancainderanya] dan tidak tergoda oleh penampakan umum dan detail dari objek. Namun, cara pandang Buddhis yang digambarkan dalam jawaban ketiga sekiranya benar-benar diberikan oleh Sang Buddha. Dua pertanyaan pertama dan jawabannya yang dikatakan telah diberikan oleh Sang Buddha membawa kita kembali ke masa tiga abad berikutnya setelah wafatnya Sang Buddha. Penyelidikan atas kisah legenda yang berkaitan dengan pendirian Sangha Bhikkhuni mungkin layak dilakukan dalam kaitannya dengan masalah ini.
Bagaimanakah sikap Sang Buddha terhadap kaum wanita? Apakah sama seperti sikap masyarakat brahmana yang sezaman dengan Beliau? Atau berbeda? Seperti yang kita ketahui terdapat banyak referensi terhadap wanita dalam kitab suci yang mengungkapkan pendirian yang berbeda atas posisi sosial wanita saat itu. Seperti yang tercatat dalam Cullavagga Pali, Sang Buddha mendirikan Sangha Bhikkhuni atas permintaan Ananda yang mewakili Mahapajapati Gotami. Jika Sang Buddha ragu-ragu dan keberatan seperti yang tercatat di sini, dengan menetapkan Delapan Aturan Keras (atthagaru dhamma) yang harus ditaati oleh para wanita yang memasuki Sangha, mungkin percakapan yang ditunjukkan di sana dapat diterima tanpa mempertanyakan keasliannya. Prof. J. Dhirasekera telah menunjukkan bahwa walaupun terdapat pandangan yang berbeda-beda tentang pendirian Sangha Bhikkhuni, tidak lama setelah didirikan ia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Buddhis (Dhirasekera J - Buddhist Monastic Discipline, 142 ff). Lebih jauh lagi, para bhikkhu dan bhikkhuni, upasaka dan upasika dianggap sebagai komponen yang bersama-sama menerangi agama Buddha. Oleh karena itu ketika kita menganalisa catatan yang mengisahkan pendirian Sangha Bhikkhuni, beberapa ketidakcocokan dari catatan tersebut menjadi jelas.