Karena jarak yang cukup dekat, sekitar jam 18.30 saya jalan dari rumah menggunakan motor tercinta.Sempat nyari2 alamat, karena sedikit terpelosok, dan jalan menuju k Rusun tersebut sangat gelap dan rusak. Dalam hati berpikir, waduh, berada di daerah gelap dan terkenal rawan begini, nanti klo pulang malam bahaya tidak yah?Tapi karena sudah dekat, kga mungkin saya mundur dan jalan pulang.
Sampai di kompleks rusun, sangat jelas terlihat tipikal rusun pemerintah yang selalu tampak kurang diurus.
Dan sampailah saya di cetiya tersebut.Walaupun tampak rapi, tetapi pemandangan yg saya lihat ini cukup mengagetkan.Ukuran cetiya tidak lebih dari 3x4 m
2.Hanya terdapat 1 Buddha rupang yg terbuat dari kayu sederhana,1 Bodhisatva Aalokitesvara, dan 1 rupang Maitreya.Jangan tanya dimanakah letak dhammasala ataupun tempat lainnya, karena hanya terdapat 1 ruangan.Bahkan, ketika saya ingin ke toilet, dengan sedikit sungkan pengurus cetiya mengatakan bahwa tidak ada toilet yg dapat digunakan, karena memank tidak tersedia toilet khusus, dan toilet umum yg ada jalannya cukup jauh dari lokasi cetiya.Well, karena saya tidak mungkin menahan kencing dan bisa konsen meditasi, akhirnya saya melakukan seperti zaman ketika masih kecil dlu, kencing di sebelah pohon dekat taman tersebut.
Karena masih ada waktu, saya menyempatkan diri untuk mengobrol dengan pengurus cetiya tersebut.Dari cerita, banyak hal yang sangat mengejutkan saya.
1.Pengurusan cetiya dilakukan secara swasemba, oleh para umat yg memank ingin menghidupkan Buddha Dhamma di tempat yg kecil tersebut.
2.Walaupun kecil, tapi para ibu2 di sekitar tempat tersebut secara rutin menyelenggaran sekolah minggu.Kelas sekolah minggu dapat dihadiri hingga 40 anak kecil.Bagaimana mungkin ruangan 3x4 bisa menampung 40 anak beserta alat2-nya? Ternyata pengurus dengan terpaksa menyediakan tikar di depan cetiya, sehingga anak2 bisa mengadakan sekolah minggu di halaman rusun.Saya sedikit berimajinasi, jika sekolah minggu diadakan sekitar jam 10, bearti anak2 bersekolah minggu dengan kondisi panas terik?
Itu pun kalo panas, bagaimana jika hujan?
3.Menjadi minoritas di kalangan minoritas menjadi hambatan tersendiri.Banyak warga sekitar rusun yang suka kurang menghargai kegiatan cetiya.Sebagai contoh, ada kejadian dimana ada warga dari atas, yg suka menyiram air ke arah kerumunan para umat yg sedang kebaktian.Belum lagi gangguan2 dimana anak2 abg sana yg suka bermain bola di dekat halaman, sehingga terkadang bola terlempar ke arah umat.
4.Kebetulan karena pengurus berlaku sebagai ketua RT, dy melihat dengan sendirinya, bahwa para pembuat KTP yang bukan terlihat Tionghua, jika memasukkan agama-nya sebagai Buddha, maka secara otomatis hasilnya akan menjadi "Islam".
Di zaman ketika hak2 asazi ditegakkan, ternyata diskriminasi masih begitu terasa terasa bagi masyarakat kecil!
Cerita terpotong karena adanya panggilan untuk memulai kelas.Dan kekagetan saya pun belum selesai.Ternyata, pada saat kelas akan dimulai, antusias umat begitu besar, bayangkan, dalam cetiya yang kecil tersebut, terdapat sekitar lebih dari 20 umat yg sangat antusias untuk mengikuti kelas meditasi.Dan umat2 yg ada disana tidak seperti gambaran vihara secara umum, dimana mayoritas Tionghua, yang bermata sipit hanya saya dan 1 pria di ruangan tersebut.Sisanya bagaikan miniatur etnis di Indonesia, ada yang dari Sumatra, Kalimantan, dan Jawa.Tidak tampak sedikitpun perlakuan diskriminasi di sana. Wahhh...Benar pengalaman yg berbeda!
Jgn berharap kita akan bermeditasi dengan kemewahan yg ada di vihara besar seperti ruangan AC yg nyaman, alas meditasi yg empuk, ruangan yg besar dan lega, dan ketenangan di dalam dharmasala vihara. Hanya dengan jendela yg cukup, dan karpet sederhana, terasa seperti kemewahan tersendiri.Bahkan agar tidak saling bersentuhan (bagi saya, berdempetan dengan umat laen menjadi hambatan tersendiri dlm bermeditasi) di dalam ceitya perlu usaha sendiri, karena tempat yg sangat terbatas.
Dan 2 jam pun berlalu, secara mengherankan, meditasi saya hari ini berjalan sangat lancar!Semua gangguan2 yg ada diluar sirna dengan sendirinya, bagaikan ilusi.Sesaat setalh kelas usai, beberapa umat masih berada di cetiya, untuk sekedar ngobrol dan merapikan dharmasala, termasuk saya. Ada kalimat yg cukup bikin saya lebih kaget lagi, katanya pengurus tidak berani mengumumkan bahwa diadakan kelas meditasi, karena takut bnyk umat yg datang.Umat yg sekarang ini datang bisa tahu karena berada dalam lingkar dalam pengurusan.Saat ditanya alasannya, pengurus takut, jika diumumkan, umat akan semakin bnyk yg datang, dan cetiya tidak akan cukup menampung para umat yg ingin belajar meditasi.
Sungguh pandangan yg kontras! Kita bisa melihat vihara2 besar yg tampak kekurangan umat ketika kelas meditasi, tetapi cetiya kecil ini malah harus sembunyi2 dalam menyelenggarakan kelas meditasi, karena keterbatasan tempat.
Well, pengalaman saya k cetiya kecil ini sangat memberikan saya pandangan yg lebih terbuka mengenai hidup ini.Kita yg dapat menikmati segala kemewahan fasilitas tetapi masih malas dalam berlatih diri, seharusnya malu dengan semangat umat di sebuah cetiya kecil yg sangat antusias dalam mempertahankan Buddha Dhamma di tempat yg sangat kekurangan fasilitas!