//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...  (Read 655405 times)

0 Members and 3 Guests are viewing this topic.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #975 on: 05 May 2009, 03:01:35 PM »
^
^

begitu tah?

trus kemana kah sang api tersebut
kenapa kalau kita mo pake api bisa, muncul lagi tuh api
padahal kan tuh api sudah mati?

berarti parinibbana tidak beda dengan RIP donk (alias Rest In Peace)???
saudara naviscope yg bijak

telah di ibaratkan oleh sang buddha, nibbana seperti api lilin yang padam karena sumbu dan lilinnya telah habis...

jadi apa bisa dengan sumbu dan lilin yang habis membuat api menyala?

kalau anda membakar lilin lain, itu sudah beda ceritanya....

salam metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline naviscope

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.084
  • Reputasi: 48
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #976 on: 05 May 2009, 03:17:41 PM »
^
^

xixixi,
aku ga bijak bro, masi jauh dari bijak.... :P
aku kan jd malu... ;D

berarti dengan kata lain, sang buddha sudah RIP, sudah dibebas tugaskan.....
sudah tidak bisa menyinari lagi, hehehe...

timpuk bro marcedes benz, pake metta juga....

Tinggalkan masa lalu, lepaskan beban akan masa depan, tidak terikat dengan yang sekarang maka kamu akan merasakan kedamain batin.

Leave the past alone, do not worry about the future, do not cling to the present and you will achieve calm.

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #977 on: 05 May 2009, 11:07:27 PM »
MERCEDES:

sekedar informasi saudara Tan,

sekali lagi saya ulangi, seseorang yg belum meninggal baik itu seorang arahat, tetap akan mengalami P E N D E R I T A A N

karena, sesuai konsekuesni pasal 4 kesunyataan mulia.
begitu lahir anda tidak akan bisa lolos dari P E N D E R I T A A N.
kecuali tidak lahir barulah sepenuh nya bebas dari penderitaan....
dan penderitaan yang di alami adalah P E N D E R I T A A N    F I S I K....
bukan penderitaan batin..

semoga anda bisa memahami penderitaaan fisik dan penderitaan batin itu berbeda...

TAN:

Saya punya definisi beda dengan Anda tentang arti "penderitaan." Menurut saya "penderitaan" adalah "rasa tidak puas, senang, atau enggan terhadap suatu kondisi." Ini lebih konsisten dengan apa yang Buddha katakan. Mengapa jaramaranam disebut sebagai "penderitaan"? Karena para makhluk menganggapnya demikian. Sangat simpel.
Karena itu, walaupun seseorang mengalami kesakitan, ia belum tentu menderita. Banyak kasus tentang hal ini dalam santo santa ka****k [masa kalah dengan santo santa ka****k?]
Ingat pembedaan menjadi penderitaan fisik maupun mental sebenarnya tidak diperlukan. Intinya penderitaan adalah penderitaan. Penderitaan itu ada kalau Anda menganggapnya demikian. Buddha mengalami penyakit, tetapi Beliau tidak menderita. Buddha sama-sama mengalami usia tua, tetapi Beliau tidak menderita.

Anda mengatakan: "sekali lagi saya ulangi, seseorang yg belum meninggal baik itu seorang arahat, tetap akan mengalami P E N D E R I T A A N"

Saya katakan, pandangan ini tidak sesuai dengan agama Buddha. Orang yang telah merealisasi nirvana tidak lagi menderita. Meskipun orang awam menganggapnya menderita. Bila arahat masih mengalami penderitaan, itu artinya keyakinan bahwa nirvana adalah jalan keluar bagi penderitaan adalah omong kosong.
Jadi jelas saya menolak dengan tegas pandangan Anda itu. Tidak sesuai dengan agama Buddha yang saya pahami.

MERCEDES:

astaga, saudara Tan,
anda kira ketika seseorang mencapai pencerahan dapat melawan hukum alam?
jadi menurut anda ketika seseorang mencapai ke-buddha-an sudah menjadi makhluk superpower like god? bahkan tidak butuh obat dan makanan?

anda kira buddha itu sudah seperti Tuha* ?

pantas saja anda bilang " buddha di luar logika pikir manusia"
pantas saja anda bilang kalau buddha bisa memancarkan metta tanpa pikiran.
karena buddha sudah out of human logic sampai anda menyatakan hal ouf of human logic juga.....

ternyata anda menganut paham seperti itu...ya ampun...

TAN:

Anda memutar balikkan apa yang saya katakan. Anda dan saya mempunya pandangan yang berbeda terhadap penderitaan. Saya tidak pernah mengatakan bahwa orang yang mencapai pencerahan dapat melawan hukum alam. Tentu seorang Buddha masih butuh makanan dan pakaian. Masih pula mengalami penyakit dan penuaan. Ini adalah proses yang alami. Penyakit dan penuaan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya membawa penderitaan. Tergantung bagaimana seseorang menyikapinya.
Kapan pula saya mengatakan bahwa Buddha dapat memancarkan metta tanpa pikiran? Silakan baca posting2 saya sebelumnya agar tidak mengulang-ulang.
Nah, semoga pada kesempatan selanjutnya, Anda tidak mengubah-ubah lagi esensi yang saya katakan. Saya kira itu bukan cara berdiskusi yang sehat apalagi cerdas.

MERCEDES:

ketika buddha mencapai pencerahan, beliau itu menjadi MENGERTI hukum alam, bahwa apapun yang lahir, pastilah mengalami kelapukan,sakit dan mati

 ( apapun itu yang artinya biar Tuha* sekalipun ketika lahir pasti mengalami kelapukan, contoh nya YESU* yg dianggap Tuha* nasran* juga bisa Tua)


sakit/tua
ketika sesuatu itu "berkondisi ( sankhara) itu muncul maka suatu saat pasti akan berubah dan lenyap.
oleh itu umat buddha yang mengerti ketika mengalami sakit keras/tua, bukannya malah mental jatuh atau stress karena kondisi fisik nya berubah dari ganteng jadi jelek....melainkan telah mengerti ini adalah sebuah PROSES ALAMIAH dari HUKUM ALAM


segala apa yang di-inginkan tidak mungkin terpenuhi.
Buddha menyadari apapun ke-inginan beliau tidak mungkin terpenuhi sepenuh-nya
berbeda dengan umat awam yang menghayal se-tinggi langit, jadi buddha yang tercerahkan bukan tukang ber-angan-angan tinggi.
buddha menyadari inilah PROSES ALAMIAH dari HUKUM ALAM...

dan bukan berarti menjadi buddha/mencapai pencerahan 
"APAPUN yang di-inginkan pasti terkabulkan"  >>> ini adalah anggapan salah.


hidup dengan lingkungan yang tidak diharapkan....
apakah anda mengira ketika orang yang tercerahkan bisa "se-mau enak-enaknya" ?
justru orang yang tercerahkan mengerti "keinginan" adalah sumber penderitaan...

bukan menjadi bebas berkeinginan........ >>>> ini adalah anggapan salah


salam metta.

TAN:

Nah! Anda juga mengerti khan bahwa kalau orang memahami semuanya sebagai proses yang alamiah, ia tak menganggapnya sebagai penderitaan bukan? Semoga Anda jangan memutar balik lagi apa yang saya ungkapkan.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #978 on: 05 May 2009, 11:11:47 PM »
HENDRA SUSANTO:

ini menarik... seorang buddha itu sama dengan kita manusia biasa yang bisa sakit, perbedaannya dengan kita... waktu kita sakit, kita akan sangat menderita seperti meraung2, menangis kesakitan, sedangkan sang buddha hanya merasa sakit tetapi tidak membuat pikirannya menjadi terpengaruh oleh sakit tersebut.

sang buddha mempunyai kemampuan kesadaran yang tinggi, sehingga beliau sakit tetapi dapat menyadari kesakitannya dan tidak terpengaruh oleh sakit itu, singkatnya sakit itu ada dan tiada.

klo kita sakit itu ada dan ada...

TAN:

Benar. Dengan kata lain, Buddha tidak "menderita." Penyakit dan usia tua itu sendiri bukanlah "penderitaan"nya, tetapi bagaimana sikap seseorang menanggapinya. Dalam doktrin Mahayana penyakit, kematian, dan usia tua itu sendiri bersifat netral. Tidak baik ataupun buruk.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #979 on: 05 May 2009, 11:16:46 PM »
UPASAKA:

Masalahnya Nirvana tidak memiliki elemen apapun, termasuk kaya alias "tubuh". Jadi saya pikir tidak semudah itu untuk merumuskan bahwa Nirvana = Trikaya.

TAN:

Hmm... Anda menyatakan "nirvana tidak memiliki elemen apapun, termasuk kaya alias tubuh" bukanlah adalah suatu "kondisi" pula? Dengan kata lain, Anda seolah-olah hendak menyatakan bahwa nirvana itu berkondisi. Kedua, saya perlu mengulangi lagi bahwa yang dimaksud dengan "tubuh" di sini tidak sama dengan tubuh dalam pengertian makhluk yang belum tercerahi. Saya sebenarnya tidak menolak ungkapan bahwa "nirvana tidak memiliki elemen apapun" asalkan yang Anda maksud "elemen" di sini adalah "elemen" dalam pengertian makhluk samsara. Nirvana memang tidak dapat diungkapkan dengan kosa kata umat awam.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #980 on: 05 May 2009, 11:23:28 PM »
UPASAKA:

Kita akan memandang bahwa hakikat anitya adalah nitya (kekal) ketika kita membicarakannya di tataran samsara. Namun kita juga memandang bahwa hakikat anitya adalah anitya (tidak kekal) karena anitya tidak akan ada lagi dalam Nirvana.

TAN:

Anda telah terjebak di sini. Oke anggap saja anitya tidak berlaku lagi bagi seseorang yang telah merealisasi nirvana. Tetapi ini tidak berarti anitya tidak ada lagi. Anitya tetap berlaku bagi para makhluk yang telah mencapai pencerahan, meskipun ada yang telah merealisasi nirvana. Sebagai contoh, saya beri kasus sebagai berikut. Seseorang berada dalam rumah yang tertutup rapat, sehingga ia tidak lagi melihat matahari. Namun apakah matahari itu hilang seiring dengan hal itu? Jawabannya tidak! Orang yang berada di luar rumah masih dapat melihat matahari. Nah, apakah kini anitya atau nitya itu kekal?
Kalau pertanyaan ini dianggap tidak valid atau ditolak menjawabnya dengan alasan apapun, maka saya juga boleh menyatakan bahwa segenap pertanyaan dan kritikan terhadap Mahayana juga tidak patut, layak, ataupun valid.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #981 on: 05 May 2009, 11:28:48 PM »
Saya mencoba menjawab yang ini dulu:

Anda memandang bahwa setelah Parinirvana, Buddha itu masih ada, tapi tidak ada lagi dalam Samsara bukan?
   -> Saya pikir jawabannya : "Ya"

TAN:

Hmmm.. kalau saya jawab "ada" juga tidak tepat. Karena Anda masih menggunakan definisi "ada" berdasarkan pandangan seseorang yang masih belum tercerahi. Apa yang disebut "keberadaan" di sini hendaknya tidak didasari oleh pandangan kita yang masih ada dalam samsara ini. Iya Buddha "ada" tetapi berada dalam kondisi yang di luar "keberadaan" makhluk samsarik. Inilah bedanya dengan eternalisme ataupun semi eternalisme. Apakah Anda melihat bedanya?
Mahayana boleh dicap eternalisme atau semi eternalis asalkan penganut pandangan "ada" sama seperti makhluk samsarik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.

Amiduofo,

Tan

Offline Tan

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 510
  • Reputasi: 31
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #982 on: 05 May 2009, 11:31:12 PM »
MERCEDES:

pantas saja anda bilang " buddha di luar logika pikir manusia"

TAN:

Anda bisa melogika Buddha? Hebat sekali kalau begitu.

Amiduofo,

Tan

Offline N1AR

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 930
  • Reputasi: 22
  • Yui
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #983 on: 06 May 2009, 12:19:04 AM »
HENDRA SUSANTO:

ini menarik... seorang buddha itu sama dengan kita manusia biasa yang bisa sakit, perbedaannya dengan kita... waktu kita sakit, kita akan sangat menderita seperti meraung2, menangis kesakitan, sedangkan sang buddha hanya merasa sakit tetapi tidak membuat pikirannya menjadi terpengaruh oleh sakit tersebut.

sang buddha mempunyai kemampuan kesadaran yang tinggi, sehingga beliau sakit tetapi dapat menyadari kesakitannya dan tidak terpengaruh oleh sakit itu, singkatnya sakit itu ada dan tiada.

klo kita sakit itu ada dan ada...

TAN:

Benar. Dengan kata lain, Buddha tidak "menderita." Penyakit dan usia tua itu sendiri bukanlah "penderitaan"nya, tetapi bagaimana sikap seseorang menanggapinya. Dalam doktrin Mahayana penyakit, kematian, dan usia tua itu sendiri bersifat netral. Tidak baik ataupun buruk.

Amiduofo,

Tan

sepertinya yg saya tangap itu bergini
buddha sakit tapi dia mampu mengatasinya dengan pikiran nya saja.

kalau pikiran bergitu hebat dan bisa mengatasi penderitaannya. tapi apa pikiran itu bisa mengatasi penderitaan orang lain yg berada disampingnya?
istilahnya kalau ada yg sakit dan meninggal, bukanya pikiran yg lain juga ada pengaruhnya. selain pikiran orang pertama
ya istilah lagi.
kalau kita lahir kita menangis untuk dunia, kalau kita mati dunia menangis untuk kita
dan bagai mana tanpa sisa kalau masih ada yg menangis untuk kita

thanks

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #984 on: 06 May 2009, 11:27:24 AM »
MERCEDES:

pantas saja anda bilang " buddha di luar logika pikir manusia"

TAN:

Anda bisa melogika Buddha? Hebat sekali kalau begitu.

Amiduofo,

Tan
saudara Tan yang bija,

bacalah sampasadaniya sutta,
di situ sariputta bisa melogika-kan Buddha.....


Quote
Hmm... Anda menyatakan "nirvana tidak memiliki elemen apapun, termasuk kaya alias tubuh" bukanlah adalah suatu "kondisi" pula?
semakin menarik diskusi dengan anda..^^

tahukah arti dari kondisi ( sankkhara )

coba definisikan donk dan beri sedikit perumpamaan....soalnya mungkin ada ke-salah pahaman arti Sankhara....
sampai anda mengeluarkan jawaban seperti itu.


Quote
Mahayana boleh dicap eternalisme atau semi eternalis asalkan penganut pandangan "ada" sama seperti makhluk samsarik, tetapi pada kenyataannya tidak demikian.
tapi kenyataannya demikian....
seperti memainkan kata-kata saja.....coba perhatikan kornologisnya

buddha sebelum gotama nirvana ----- >>> memasuki parinirvana >>>>> menjelma sebagai pangeran sakya ( pangeran ini manusia loh... )  >>>>>> memasuki parnirvana >>>>> dikatakan akan menjelma entah di kalpa mana lagi....

dari peristiwa berantai, anda masih mau mengatakan buddha itu keluar dari "ADA dan tiada"
pandangan anda itu jelas mengatakan ADA
eternalis dan semi-eternalisme...



Quote
Anda telah terjebak di sini. Oke anggap saja anitya tidak berlaku lagi bagi seseorang yang telah merealisasi nirvana. Tetapi ini tidak berarti anitya tidak ada lagi. Anitya tetap berlaku bagi para makhluk yang telah mencapai pencerahan, meskipun ada yang telah merealisasi nirvana. Sebagai contoh, saya beri kasus sebagai berikut. Seseorang berada dalam rumah yang tertutup rapat, sehingga ia tidak lagi melihat matahari. Namun apakah matahari itu hilang seiring dengan hal itu? Jawabannya tidak! Orang yang berada di luar rumah masih dapat melihat matahari. Nah, apakah kini anitya atau nitya itu kekal?
Kalau pertanyaan ini dianggap tidak valid atau ditolak menjawabnya dengan alasan apapun, maka saya juga boleh menyatakan bahwa segenap pertanyaan dan kritikan terhadap Mahayana juga tidak patut, layak, ataupun valid.
saudara Tan bijak,
contoh anda tidak sesuai dengan kasusnya.

Quote
Benar. Dengan kata lain, Buddha tidak "menderita." Penyakit dan usia tua itu sendiri bukanlah "penderitaan"nya, tetapi bagaimana sikap seseorang menanggapinya. Dalam doktrin Mahayana penyakit, kematian, dan usia tua itu sendiri bersifat netral. Tidak baik ataupun buruk.


Nah! Anda juga mengerti khan bahwa kalau orang memahami semuanya sebagai proses yang alamiah, ia tak menganggapnya sebagai penderitaan bukan? Semoga Anda jangan memutar balik lagi apa yang saya ungkapkan.

Quote
Buddha yang mereliasasi “nirvana dengan sisa” juga merasakan penderitaan karena sakit dan mati?  Kalau Buddha masih merasakan “penderitaan” (dukkha) waktu Beliau menderita sakit, hingga harus dirawat oleh Tabib Jivaka, maka apakah artinya Penerangan di bawah Pohon Bodhi? Semoga Saudara Mercedes memahami hal itu.

oh, saudara Tan yang memutar balik kata itu siapa?


jadi ada perbedaan menurut saya disini yang sangat jelas

mahayana(TAN) berpendapat bahwa ketika seseorang mencapai ke-buddha-an, segala hal penderitaan bisa di atasinya dengan berpikir "bahwa ini adalah proses"
tetapi kesakitan badan yang dialami nya bahkan tidak dianggap penderitaan...


berarti orang yang telah mencapai kebuddha-an itu seperti telah menjadi kebal menderita.

se-umpama ada seseorang yang telah berpengalaman dalam masalah,
ketika mendapat masalah, orang tersebut malah berpikir "oh cuma masalah, biasa lah"
gampang kok menyelesaikannya.....setelah itu orang tersebut beraksi menghadapi masalah tsb...

apa seperti ini saudara Tan yang anda maksudkan....coba perhatikan contoh saya....
kalau ya mohon di konfirmasikan...



metta.
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #985 on: 06 May 2009, 12:02:22 PM »
MERCEDES:

pantas saja anda bilang " buddha di luar logika pikir manusia"

TAN:

Anda bisa melogika Buddha? Hebat sekali kalau begitu.

Amiduofo,

Tan



Ryu

Menarik sekali, apa kita sebagai Buddhist lebih Mempercayai Buddha sebagai Manusia atau sosok yang diluar Logika?

IMO Menariknya ajaran Buddha itu bukan hal2 yang gaib atau diluar logika, tapi seperti menuntun orang menjadi lebih baik+ suatu pencapaian Nibbana yang merupakan jalan untuk lepas dari penderitaan :)
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #986 on: 06 May 2009, 01:16:42 PM »
[at] cogan ryu...

walaupun reputasi anda sudah tinggi, tapi musti saya kudu kasih GRP sent lagi buat pernyataan di atas...

GRP Sent
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #987 on: 06 May 2009, 01:42:10 PM »
Saya sependapat dengan Anda, tapi tidak semuanya.
Metta bhavana bisa diaplikasikan dalam tindakan. Tidak menyakiti makhluk lain dan penuh cinta pada semua makhluk. Misalnya : ketika saya dicopet, jika saya mengembangkan metta, seharusnya saya memakai landasan cinta universal ketika melihat pencopet itu. Bagaimanapun juga, semua makhluk pada dasarnya ingin berbahagia. Jadi pencopet itu sebenarnya ingin berbahagia. Dia ingin berbahagia dengan mencopet. Karena dengan memiliki barang itu, dia menjadi bahagia (secara duniawi). Dengan pengertian inilah saya seharusnya tidak marah pada pencopet. Saya seharusnya menanamkan cinta universal, dan melihat pencopet itu sebagai makhluk yang berhak untuk berbahagia. Sehingga saya tidak perlu geram. Di sini juga dipengaruhi oleh sifat keakuan diri untuk membendung hasrat marah pada pencopet itu. Berangkat dari sini, karuna (belas kasih) pun muncul. Saya seharusnya kasihan kepada pencopet itu. Saya kasihan karena dia meraih kebahagiaan dengan cara yang salah. Caranya akan membuat dia menderita. Karena atas dasar belas kasih, saya pun berusaha menjelaskan perbuatan salahnya... Di sini akan muncul lagi mudita (simpati). Ketika pencopet itu bahagia setelah mencopet; atau pencopet itu mengakui kesalahannya, saya seharusnya turut berbahagia padanya. Inilah wujud sikap turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Dan ketiganya ini juga harus bediri atas fondasi upekkha (keseimbangan batin). Karena jika tidak, maka metta-karuna-mudita saya hanyalah merupakan sensasi gabungan beberapa jenis emosi. Alias masih melekat pada duniawi; seperti ekspresi menangis, pilu di hati, nafsu-keinginan untuk berkorban demi pencopet itu, dsb.
Semangat Bodhicitta itu 90% dituntut dalam perbuatan. OK, mungkin persentase itu hanyalah statistik ngawur, karena saya bukan ahli sensus. Tapi setidaknya, semangat Bodhicitta itu adalah "untuk menolong semua makhluk". Apakah Anda ingin menyatakan bahwa kalimat itu maknanya konotatif? Jadi supaya terkesan elegan, Sang Bodhisattva berikrar untuk menolong semua makhluk, meski kenyataannya impossible...?
Perhatikan bedanya! Metta bhavana bisa dijalankan secara universal. Memancarkan metta dan mengaplikasikannya ke semua makhluk itu bisa dilakukan, sangat logis. Anda bisa kok mencintai semua makhluk. Sedangkan semangat Bodhicitta itu tidak bisa dijalankan secara universal. Menolong semua makhluk itu tidak bisa digenapi, tidak mungkin ada orang yang bisa menolong semua makhluk. Kalau Anda mengatakan bahwa hal itu bisa dilakukan, itu namanya Anda memakai iman. Tanyakan saja pada anak kecil...
- Apakah mengharapkan semua orang selamat itu bisa dilakukan?
- Apakah menyelamatkan semua orang itu bisa dilakukan?
Anak kecil akan memberikan jawaban yang jujur pada Anda.
 
Di sini saya melihat anda masih membedakan antara “mengharapkan” dan “melakukan”, seolah-olah keduanya memisahkan antara Metta Bhavana dan Ikrar Bodhisattva.  Anda melupakan bahwa keinginan untuk menolong makhluk lain pada Bodhisattva juga dilandasi oleh Metta-karuna –mudita yang sama, yang tentunya juga dilandasi oleh Prajna sehingga tidak ada kemelakatan. Mengharapkan semua makhluk lepas dari samsara adalah aspirasi tertinggi dari kata “semoga makhluk berbahagia” karena ‘kebahagiaan’ tertinggi yang bisa diraih makhluk hidup adalah Nirvana. Selain itu, calon Bodhisattva juga memperkuat harapan tersebut dalam sebuah visi  jelas.
Saya sudah mengatakan pada anda bahwa, pembangkitan pikiran “bodhicitta” adalah yang terpenting dalam Ikrar Bodhisattva bukan logika tentang mungkin atau tidaknya ikrar tersebut diwujudkan, seperti halnya dalam Metta Bhavana pembangkitan Metta itu paling penting dibandingkan apakah akhirnya semua makhluk hidup bebahagia seperti yang diharapkan atau tidak. Dalam hal ini, yang penting adalah kedua-duanya membangkitkan tekad dan semangat yang kurang lebih sama.  Kalau anda kemudian mempertanyakan Ikrar Bodhisattva semata-mata agar terkesan elegan, maka anda seharusnya mempertanyakan hal yang sama pula pada Metta Bhavana. Di sini saya kembali bertanya pada anda, buat apa mengharapkan semua makhluk berbahagia padahal tidak ada kemungkinan hal ini terjadi?

Lagi-lagi Anda menyinggung masalah untung-rugi. Saya tidak membahas perihal ekonomi luar negeri, bro.
:) sebaliknya anda sering membahas dharma dengan kacamata ekonomi :) saya perlu mengingatkan itu supaya anda tidak kembali terjebak pada perspektif yang sama.

Saya mau nanya neh.
Misalkan kita semua bercita-cita menjadi Samyaksambuddha. Di suatu masa, tibalah saatnya saya yang menjadi Samyaksambuddha. Saat itu saya membabarkan Dharma sampai saya akhirnya memasuki Parinirvana. Nah, meski saya membabarkan Dharma, tidak ada satu makhluk pun yang mengikuti langkah saya untuk memasuki Parinirvana. Karena semua orang bercita-cita untuk menjadi Samyaksambuddha... Lalu setelah melalui masa yang panjang, akhirnya Anda pun menjadi Samyaksambuddha. Anda membabarkan Dharma sampai Anda pun memasuki Parinirvana. Tapi tidak ada lagi yang mengikuti langkah Anda, karena semua bercita-cita ingin menjadi Samyaksambuddha. Jadi setelah menjadi Samyaksambuddha, sumbangsih seperti apa yang bisa diberikan untuk semua makhluk? Toh pada akhirnya Samyaksambuddha pun egois, karena memasuki Parinirvana sendirian. Nah loh...
Jika semua makhluk mulai memasuki Jalan Bodhisattva berarti cita-cita semua makhluk hidup merealisasi nirvana akan segera terwujud. Lalu apa yang harus dicemaskan? Koq pusing2 banget.
Bro Upasaka, logika demikian hanya menimbulkan keragu-raguan dan tidak bermanfaat, kenapa harus terus dipertahankan? Coba kalau anda bertanya terus dengan logika anda apa bukti logis bahwa Sakyamuni benar-benar mencapai Kebuddhaan dan terus meragukan hal tersebut atau apakah realisasi nirvana itu mungkin terjadi atau tidak, saya rasa pertanyaan demikian tidak ada gunanya.  Dalam Dharma, tidak semua pertanyaan perlu dijawab saat ini juga.

Memangnya menurut Anda yang bisa membuat seseorang sukses itu apa?
- Karena orang itu memiliki kualitas untuk mencapai kesuksesan?
- Karena orang itu bekerja serabutan dan percaya bahwa rajin pada akhirnya akan sukses?
Kalau menurut saya, Anda akan memilih poin ke-2.
Realisasi nirvana tidak sama dengan” kesuksesan” sesaat di dunia ini. Dalam realisasi nirvana jika saat ini anda tidak memiliki kualitas kesuksesan, maka berusahalah untuk membangun kualitas itu terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mulai membangun kualitas sukses tersebut apalagi jika ia dibantu untuk membangun kualitas-kualitas tersebut.  Jika paramita dalam kehidupan ini belum mencukupi, maka teruslah berlatih mengembangkannya meski dalam kehidupan selanjutnya.

"Saya mencintai kamu selama 10.000 tahun".
Itu adalah contoh kalimat gombal dari seorang pria pengemis cinta wanita.
Tergantung bagaimana kalimat ini diucapkan; apakah si pengucap mengatakannya dengan sungguh-sungguh atau diucapkan sekadar untuk merayu. Jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka muncullah kemelekatan ia pada pasangannya yang sangat kuat, dengan adanya kelekatan tersebut maka tidak mungkin dalam kehidupan selanjutnya ia kembali mencintai orang yang sama. Ingat apa yang dialami oleh Yasodara. Bukan hanya 1.000 tahun saja, mungkin berkalpa-kalpa lamanya ia akan terus terikat pada orang yang sama.



Ada tingkat kemiripan yang cukup banyak dengan syair di Mahayana. Ini yang sering menghantarkan paradigma berpikir "ah puitis sekali, sungguh mulia..."
Saya katakan itu metafora , meski demikian kekuatan bodhicitta yang bangkit melalui  tekad yang sungguh-sungguh bukannya hal yang tidak mungkin bertahan untuk waktu yang tak terhitung lamanya. Saya katakan kata “abadi” semata-mata adalah metafora karena pemahamannya bukan dalam makna permanen dan tetap sebagaimana yang dikira orang yang membacanya sepintas, namun kata tersebut berusaha menggambarkan kuatnya dampak yang muncul dari bodhicitta.

Tidak usah berkelit. Jawab saja dengan jujur... :)
Saya tidak sedang berkelit :)

Menurut Anda mungkinkah di suatu masa, hiduplah semua Buddha di dunia ini, dunia ini berjaya dengan Dharma yang indah di awal, tengah dan akhir. Semua makhluk mencapai Pembebasan. Tidak lagi ada gajah-gajah yang perkasa, tidak lagi ada cacing di usus manusia, tidak lagi ada belatung yang memakan bangkai; karena semuanya sudah menjadi Buddha.
Kalau sejak semula semua yang anda katakan memang “tidak ada”: penderitaan ada tapi tidak ada yang menderita, lalu apa yang perlu dicemaskan?

Kalau jawaban Anda adalah mungkin (atau bahkan "pasti ada"), well...
Kalau hanya masalah “mungkin” dan “tidak mungkin”, kita hanya berbicara tentang probabilitas bukan? Kalau gitu kita hanya bicara tentang sesuatu yang sangat acak. Konon, bahkan sebagian sainstis meyakini ada “kemungkinan” jika semua Alam Semesta hancur. :) Saya menggunakan contoh ini bukan berarti saya setuju pandangan jika suatu saat alam semesta akan hancur. Namun saya hanya hendak berkata kalau sebatas “mungkin” atau “tidak mungkin”, probabilitas yang muncul dalam dunia ini adalah tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, buat apa meributkan probabilitas semacam demikian?

Saya tidak habis pikir bagaimana kondisi dunia saat itu... di mana Hukum Relativitas Fisika tidak lagi eksis, di mana Hukum Rantai Makanan tidak lagi eksis, di mana Hukum Kausalitas tidak lagi eksis. Oya... Mungkinkah ini salah satu jenis alam kehidupan hasil karya pikiran yang pernah Anda katakan tempo hari yang lalu? Alam kehidupan yang tidak memiliki hukum keseimbangan alam...?
Anda terlalu banyak berpikir bro :) 
Kalau Buddha bisa terbang, menembus tembok, menggandakan diri dan melakukan banyak keajaiban, mengapa kita bicara tentang hukum fisika lagi?

Dalam Konsep Aliran Theravada, menyelami realita anatta; tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu, adalah salah satu wujud orang yang bersangkutan sudah merealisasi Kesucian Tingkat Tertinggi / Arahat. Di titik itu, orang yang bersangkutan tidak lagi memiliki keakuan - dia tidak akan lagi membandingkan dirinya dengan orang lain.
Kalau ada orang yang bisa memberikan bantuan dengan pemahaman benar bahwa "tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu", maka saya akan dengan tegas menyatakan orang itu adalah orang Yang Tercerahkan / Buddha.
Kesimpulannya :
- Kalau benar dia Buddha, dia tidak akan lagi mengalami kelahiran berikutnya.
- Kalau benar bisa melakukan hal itu dengan sempurna, tidak mungkin ia hanya bergelar Bodhisattva. Memangnya Bodhisattva sudah tidak memiliki keakuan? Lucu sekali kalau begitu, kenapa sampai ada kisah Bodhisattva yang menangis pilu. Bukankah itu tandanya Beliau belum Tercerahkan. Lantas kalau belum Tercerahkan, statement "tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu" itu belum direalisasi. Sejujurnya masih ada modus keakuan yang halus sekali di sana. Dan ini yang disebut dalam Theravada sebagai vipallasa (halusinasi - persepsi, pikiran dan pandangan).
No komen deh soal ini :)
Ada orang yang sudah dewasa, dan ada yang belum. Apakah jika saya mengatakan anak berusia 12 tahun itu masih kanak-kanak lantas Anda menganggap perkataan saya sebaga diskriminasi??
Sifat Kebuddhaan tidak mengenal dewasa atau anak, bodoh atau pintar, suci atau awam. Mebeda-bedakannya berarti adalah tindakan diskriminatif (bersifat membeda-bedakan)
Kematangan spiritual tiap orang tidak sama. Ada yang mudah mengerti, namun ada juga yang sulit mengerti. Itu adalah kualitas intelektual batin, bro. Apakah lantas orang yang sudah matang harus menunggu semua makhluk sampai matang juga? Hati-hati, bro. Ingat Hukum Anitya, kalau kelamaan nganggur bisa expired. :))
:) Itu asumsi anda :))

Kalau Anda bilang menolong makhluk lain, apakah Anda bisa membuat seseorang mencapai Nirvana?
Lantas pertolongan apa yang sebenarnya Anda praktikkan?
Yaitu pertolongan atas azas moralitas. Menolong pengemis, menolong kucing yang terluka, menolong ibu yang sekarat. Itu semua pertolongan yang awam.
Dengan membantu seseorang meningkatkan kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk merealisasi nirvana, maka saya akan membantu seseorang merealisasi nirvana. Jika kualitas yang ada sudah terbentuk sempurna maka pada tahap tertentu seseorang pasti akan merealisasi nirvana.

Apakah Theravadin egois dan tidak mau berbuat hal itu? Tidak juga.
Atas azas apa Anda menyatakan bahwa dalam konsep Theravada tidak dikenal memberi pertolongan pada makhluk lain?
Saya  tidak mengatakan dengan demikian Theravadin egois, saya hanya mengatakan jika sebagian Theravadin berpandangan bahwa realisasi nirvana  tergantung pada kemampuan setiap individu berarti lebih mementingkan pencerahan yang sifatnya individual. Hal mana pandangan demikian tidak muncul dalam Mahayana karena selalu mementingkan pencerahan kolektif tanpa peduli apapun kemampuan yang dimilikinya. (Coba anda baca lagi posting saya sebelumnya)
Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #988 on: 06 May 2009, 01:50:41 PM »
[at] cogan ryu...

walaupun reputasi anda sudah tinggi, tapi musti saya kudu kasih GRP sent lagi buat pernyataan di atas...

GRP Sent


Di tunggu GRP dari yang lain nih =)) Lobha mode = on
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline sobat-dharma

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.286
  • Reputasi: 45
  • Gender: Male
  • sharing, caring, offering
Re: Pertanyaan kritis mengenai Mahayana menurut pandangan yg berbeda...
« Reply #989 on: 06 May 2009, 01:57:01 PM »

Menarik sekali, apa kita sebagai Buddhist lebih Mempercayai Buddha sebagai Manusia atau sosok yang diluar Logika?

IMO Menariknya ajaran Buddha itu bukan hal2 yang gaib atau diluar logika, tapi seperti menuntun orang menjadi lebih baik+ suatu pencapaian Nibbana yang merupakan jalan untuk lepas dari penderitaan :)

Tentu saja Sakyamuni adalah manusia, tapi Buddha adalah sosok yang melampaui logika pemahaman manusia biasa.

Adalah salah jika anda menyamakan apa yang di luar logika sedarajat dengan kegaiban, justru konsep "gaib" muncul semata-mata karena adanya hal yang tidak bisa dipahami oleh logika. Kegaiban adalah bias yang muncul dari kacamata logika yang memang terbatas. Dalam hal ini, logika bahkan adalah salah satu sumber penderitaan yang harus dilepas jika ingin merealisasi nibbana.

Banyak hal yang dulu dipahami sebagai "gaib" oleh logika, namun setelah akhirnya logika bisa menerimanya maka kegaiban tidak lagi berarti.  Dengan demikian, permasalah gaib atau tidaknya sesuatu semat-mata tergantung pada kemampuan logika untuk menjelaskannya. Jika tidak mampu menjelaskannya oleh kacamata logika yang naif itu lantas disebut sebagai "misterius", "gaib", dll. Jika ternyata sudah dijangkau oleh logika maka ia akan menyebutnya sebagai "masuk akal". Dengan demikian logika semata-mata bekerja dengan kaidah-kaidah yang akrab dan dikenalnya belaka. Kaidah-kaidah dalam logika adalah sejumlah aturan-aturan yang disepakati bersama sebagai kebenaran dan harus diterima.

saya perlu menulis ini, karena saya menangkap adanya kesalahpahaman bahwa segala sesuatu yang berada di luar logika adalah gaib.


Mereka yang melihat-Ku dari wujud dan mengikuti-Ku dari suara terlibat dalam upaya salah. Mereka takkan melihat Aku. Dari Dharma-lah mestinya ia melihat Para Buddha. Dari Dharmakaya datang tuntunan baginya. Namun hakikat sejati Dharma tak terlihat dan tiada seorangpun bisa menyadarinya sebagai obyek

 

anything