Saya sependapat dengan Anda, tapi tidak semuanya.
Metta bhavana bisa diaplikasikan dalam tindakan. Tidak menyakiti makhluk lain dan penuh cinta pada semua makhluk. Misalnya : ketika saya dicopet, jika saya mengembangkan metta, seharusnya saya memakai landasan cinta universal ketika melihat pencopet itu. Bagaimanapun juga, semua makhluk pada dasarnya ingin berbahagia. Jadi pencopet itu sebenarnya ingin berbahagia. Dia ingin berbahagia dengan mencopet. Karena dengan memiliki barang itu, dia menjadi bahagia (secara duniawi). Dengan pengertian inilah saya seharusnya tidak marah pada pencopet. Saya seharusnya menanamkan cinta universal, dan melihat pencopet itu sebagai makhluk yang berhak untuk berbahagia. Sehingga saya tidak perlu geram. Di sini juga dipengaruhi oleh sifat keakuan diri untuk membendung hasrat marah pada pencopet itu. Berangkat dari sini, karuna (belas kasih) pun muncul. Saya seharusnya kasihan kepada pencopet itu. Saya kasihan karena dia meraih kebahagiaan dengan cara yang salah. Caranya akan membuat dia menderita. Karena atas dasar belas kasih, saya pun berusaha menjelaskan perbuatan salahnya... Di sini akan muncul lagi mudita (simpati). Ketika pencopet itu bahagia setelah mencopet; atau pencopet itu mengakui kesalahannya, saya seharusnya turut berbahagia padanya. Inilah wujud sikap turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain. Dan ketiganya ini juga harus bediri atas fondasi upekkha (keseimbangan batin). Karena jika tidak, maka metta-karuna-mudita saya hanyalah merupakan sensasi gabungan beberapa jenis emosi. Alias masih melekat pada duniawi; seperti ekspresi menangis, pilu di hati, nafsu-keinginan untuk berkorban demi pencopet itu, dsb.
Semangat Bodhicitta itu 90% dituntut dalam perbuatan. OK, mungkin persentase itu hanyalah statistik ngawur, karena saya bukan ahli sensus. Tapi setidaknya, semangat Bodhicitta itu adalah "untuk menolong semua makhluk". Apakah Anda ingin menyatakan bahwa kalimat itu maknanya konotatif? Jadi supaya terkesan elegan, Sang Bodhisattva berikrar untuk menolong semua makhluk, meski kenyataannya impossible...?
Perhatikan bedanya! Metta bhavana bisa dijalankan secara universal. Memancarkan metta dan mengaplikasikannya ke semua makhluk itu bisa dilakukan, sangat logis. Anda bisa kok mencintai semua makhluk. Sedangkan semangat Bodhicitta itu tidak bisa dijalankan secara universal. Menolong semua makhluk itu tidak bisa digenapi, tidak mungkin ada orang yang bisa menolong semua makhluk. Kalau Anda mengatakan bahwa hal itu bisa dilakukan, itu namanya Anda memakai iman. Tanyakan saja pada anak kecil...
- Apakah mengharapkan semua orang selamat itu bisa dilakukan?
- Apakah menyelamatkan semua orang itu bisa dilakukan?
Anak kecil akan memberikan jawaban yang jujur pada Anda.
Di sini saya melihat anda masih membedakan antara “mengharapkan” dan “melakukan”, seolah-olah keduanya memisahkan antara Metta Bhavana dan Ikrar Bodhisattva. Anda melupakan bahwa keinginan untuk menolong makhluk lain pada Bodhisattva juga dilandasi oleh Metta-karuna –mudita yang sama, yang tentunya juga dilandasi oleh Prajna sehingga tidak ada kemelakatan. Mengharapkan semua makhluk lepas dari samsara adalah aspirasi tertinggi dari kata “semoga makhluk berbahagia” karena ‘kebahagiaan’ tertinggi yang bisa diraih makhluk hidup adalah Nirvana. Selain itu, calon Bodhisattva juga memperkuat harapan tersebut dalam sebuah visi jelas.
Saya sudah mengatakan pada anda bahwa, pembangkitan pikiran “bodhicitta” adalah yang terpenting dalam Ikrar Bodhisattva bukan logika tentang mungkin atau tidaknya ikrar tersebut diwujudkan, seperti halnya dalam Metta Bhavana pembangkitan Metta itu paling penting dibandingkan apakah akhirnya semua makhluk hidup bebahagia seperti yang diharapkan atau tidak. Dalam hal ini, yang penting adalah kedua-duanya membangkitkan tekad dan semangat yang kurang lebih sama. Kalau anda kemudian mempertanyakan Ikrar Bodhisattva semata-mata agar terkesan elegan, maka anda seharusnya mempertanyakan hal yang sama pula pada Metta Bhavana. Di sini saya kembali bertanya pada anda, buat apa mengharapkan semua makhluk berbahagia padahal tidak ada kemungkinan hal ini terjadi?
Lagi-lagi Anda menyinggung masalah untung-rugi. Saya tidak membahas perihal ekonomi luar negeri, bro.
sebaliknya anda sering membahas dharma dengan kacamata ekonomi
saya perlu mengingatkan itu supaya anda tidak kembali terjebak pada perspektif yang sama.
Saya mau nanya neh.
Misalkan kita semua bercita-cita menjadi Samyaksambuddha. Di suatu masa, tibalah saatnya saya yang menjadi Samyaksambuddha. Saat itu saya membabarkan Dharma sampai saya akhirnya memasuki Parinirvana. Nah, meski saya membabarkan Dharma, tidak ada satu makhluk pun yang mengikuti langkah saya untuk memasuki Parinirvana. Karena semua orang bercita-cita untuk menjadi Samyaksambuddha... Lalu setelah melalui masa yang panjang, akhirnya Anda pun menjadi Samyaksambuddha. Anda membabarkan Dharma sampai Anda pun memasuki Parinirvana. Tapi tidak ada lagi yang mengikuti langkah Anda, karena semua bercita-cita ingin menjadi Samyaksambuddha. Jadi setelah menjadi Samyaksambuddha, sumbangsih seperti apa yang bisa diberikan untuk semua makhluk? Toh pada akhirnya Samyaksambuddha pun egois, karena memasuki Parinirvana sendirian. Nah loh...
Jika semua makhluk mulai memasuki Jalan Bodhisattva berarti cita-cita semua makhluk hidup merealisasi nirvana akan segera terwujud. Lalu apa yang harus dicemaskan? Koq pusing2 banget.
Bro Upasaka, logika demikian hanya menimbulkan keragu-raguan dan tidak bermanfaat, kenapa harus terus dipertahankan? Coba kalau anda bertanya terus dengan logika anda apa bukti logis bahwa Sakyamuni benar-benar mencapai Kebuddhaan dan terus meragukan hal tersebut atau apakah realisasi nirvana itu mungkin terjadi atau tidak, saya rasa pertanyaan demikian tidak ada gunanya. Dalam Dharma, tidak semua pertanyaan perlu dijawab saat ini juga.
Memangnya menurut Anda yang bisa membuat seseorang sukses itu apa?
- Karena orang itu memiliki kualitas untuk mencapai kesuksesan?
- Karena orang itu bekerja serabutan dan percaya bahwa rajin pada akhirnya akan sukses?
Kalau menurut saya, Anda akan memilih poin ke-2.
Realisasi nirvana tidak sama dengan” kesuksesan” sesaat di dunia ini. Dalam realisasi nirvana jika saat ini anda tidak memiliki kualitas kesuksesan, maka berusahalah untuk membangun kualitas itu terlebih dahulu. Untuk itu, setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mulai membangun kualitas sukses tersebut apalagi jika ia dibantu untuk membangun kualitas-kualitas tersebut. Jika paramita dalam kehidupan ini belum mencukupi, maka teruslah berlatih mengembangkannya meski dalam kehidupan selanjutnya.
"Saya mencintai kamu selama 10.000 tahun".
Itu adalah contoh kalimat gombal dari seorang pria pengemis cinta wanita.
Tergantung bagaimana kalimat ini diucapkan; apakah si pengucap mengatakannya dengan sungguh-sungguh atau diucapkan sekadar untuk merayu. Jika diucapkan dengan sungguh-sungguh, maka muncullah kemelekatan ia pada pasangannya yang sangat kuat, dengan adanya kelekatan tersebut maka tidak mungkin dalam kehidupan selanjutnya ia kembali mencintai orang yang sama. Ingat apa yang dialami oleh Yasodara. Bukan hanya 1.000 tahun saja, mungkin berkalpa-kalpa lamanya ia akan terus terikat pada orang yang sama.
Ada tingkat kemiripan yang cukup banyak dengan syair di Mahayana. Ini yang sering menghantarkan paradigma berpikir "ah puitis sekali, sungguh mulia..."
Saya katakan itu metafora , meski demikian kekuatan bodhicitta yang bangkit melalui tekad yang sungguh-sungguh bukannya hal yang tidak mungkin bertahan untuk waktu yang tak terhitung lamanya. Saya katakan kata “abadi” semata-mata adalah metafora karena pemahamannya bukan dalam makna permanen dan tetap sebagaimana yang dikira orang yang membacanya sepintas, namun kata tersebut berusaha menggambarkan kuatnya dampak yang muncul dari bodhicitta.
Tidak usah berkelit. Jawab saja dengan jujur...
Saya tidak sedang berkelit
Menurut Anda mungkinkah di suatu masa, hiduplah semua Buddha di dunia ini, dunia ini berjaya dengan Dharma yang indah di awal, tengah dan akhir. Semua makhluk mencapai Pembebasan. Tidak lagi ada gajah-gajah yang perkasa, tidak lagi ada cacing di usus manusia, tidak lagi ada belatung yang memakan bangkai; karena semuanya sudah menjadi Buddha.
Kalau sejak semula semua yang anda katakan memang “tidak ada”: penderitaan ada tapi tidak ada yang menderita, lalu apa yang perlu dicemaskan?
Kalau jawaban Anda adalah mungkin (atau bahkan "pasti ada"), well...
Kalau hanya masalah “mungkin” dan “tidak mungkin”, kita hanya berbicara tentang probabilitas bukan? Kalau gitu kita hanya bicara tentang sesuatu yang sangat acak. Konon, bahkan sebagian sainstis meyakini ada “kemungkinan” jika semua Alam Semesta hancur.
Saya menggunakan contoh ini bukan berarti saya setuju pandangan jika suatu saat alam semesta akan hancur. Namun saya hanya hendak berkata kalau sebatas “mungkin” atau “tidak mungkin”, probabilitas yang muncul dalam dunia ini adalah tidak terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, buat apa meributkan probabilitas semacam demikian?
Saya tidak habis pikir bagaimana kondisi dunia saat itu... di mana Hukum Relativitas Fisika tidak lagi eksis, di mana Hukum Rantai Makanan tidak lagi eksis, di mana Hukum Kausalitas tidak lagi eksis. Oya... Mungkinkah ini salah satu jenis alam kehidupan hasil karya pikiran yang pernah Anda katakan tempo hari yang lalu? Alam kehidupan yang tidak memiliki hukum keseimbangan alam...?
Anda terlalu banyak berpikir bro
Kalau Buddha bisa terbang, menembus tembok, menggandakan diri dan melakukan banyak keajaiban, mengapa kita bicara tentang hukum fisika lagi?
Dalam Konsep Aliran Theravada, menyelami realita anatta; tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu, adalah salah satu wujud orang yang bersangkutan sudah merealisasi Kesucian Tingkat Tertinggi / Arahat. Di titik itu, orang yang bersangkutan tidak lagi memiliki keakuan - dia tidak akan lagi membandingkan dirinya dengan orang lain.
Kalau ada orang yang bisa memberikan bantuan dengan pemahaman benar bahwa "tidak ada diri yang membantu dan tidak ada diri yang dibantu", maka saya akan dengan tegas menyatakan orang itu adalah orang Yang Tercerahkan / Buddha.
Kesimpulannya :
- Kalau benar dia Buddha, dia tidak akan lagi mengalami kelahiran berikutnya.
- Kalau benar bisa melakukan hal itu dengan sempurna, tidak mungkin ia hanya bergelar Bodhisattva. Memangnya Bodhisattva sudah tidak memiliki keakuan? Lucu sekali kalau begitu, kenapa sampai ada kisah Bodhisattva yang menangis pilu. Bukankah itu tandanya Beliau belum Tercerahkan. Lantas kalau belum Tercerahkan, statement "tidak ada yang membantu dan tidak ada yang dibantu" itu belum direalisasi. Sejujurnya masih ada modus keakuan yang halus sekali di sana. Dan ini yang disebut dalam Theravada sebagai vipallasa (halusinasi - persepsi, pikiran dan pandangan).
No komen deh soal ini
Ada orang yang sudah dewasa, dan ada yang belum. Apakah jika saya mengatakan anak berusia 12 tahun itu masih kanak-kanak lantas Anda menganggap perkataan saya sebaga diskriminasi??
Sifat Kebuddhaan tidak mengenal dewasa atau anak, bodoh atau pintar, suci atau awam. Mebeda-bedakannya berarti adalah tindakan diskriminatif (bersifat membeda-bedakan)
Kematangan spiritual tiap orang tidak sama. Ada yang mudah mengerti, namun ada juga yang sulit mengerti. Itu adalah kualitas intelektual batin, bro. Apakah lantas orang yang sudah matang harus menunggu semua makhluk sampai matang juga? Hati-hati, bro. Ingat Hukum Anitya, kalau kelamaan nganggur bisa expired.
Itu asumsi anda
Kalau Anda bilang menolong makhluk lain, apakah Anda bisa membuat seseorang mencapai Nirvana?
Lantas pertolongan apa yang sebenarnya Anda praktikkan?
Yaitu pertolongan atas azas moralitas. Menolong pengemis, menolong kucing yang terluka, menolong ibu yang sekarat. Itu semua pertolongan yang awam.
Dengan membantu seseorang meningkatkan kualitas-kualitas yang dibutuhkan untuk merealisasi nirvana, maka saya akan membantu seseorang merealisasi nirvana. Jika kualitas yang ada sudah terbentuk sempurna maka pada tahap tertentu seseorang pasti akan merealisasi nirvana.
Apakah Theravadin egois dan tidak mau berbuat hal itu? Tidak juga.
Atas azas apa Anda menyatakan bahwa dalam konsep Theravada tidak dikenal memberi pertolongan pada makhluk lain?
Saya tidak mengatakan dengan demikian Theravadin egois, saya hanya mengatakan jika sebagian Theravadin berpandangan bahwa realisasi nirvana tergantung pada kemampuan setiap individu berarti lebih mementingkan pencerahan yang sifatnya individual. Hal mana pandangan demikian tidak muncul dalam Mahayana karena selalu mementingkan pencerahan kolektif tanpa peduli apapun kemampuan yang dimilikinya. (Coba anda baca lagi posting saya sebelumnya)