menurut Buddha Dhamma tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai "aku", "jiwa" atau "ego" sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran (viññana) janganlah sekali-kali dianggap sebagai "jiwa" yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani. Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalah pahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran sebagai semacam "jiwa" dan "ego" yang bersifat kekal abadi.
Salah seorang siswa Sang Buddha bernama Sati bersikeras mengatakan bahwa Sang Guru pernah berkata: "Kesadaran yang samalah yang keluar dan masuk dan berkeliling." Ketika mendengar ini Sang Buddha lalu bertanya kepada Sati apa yang dimaksudkan dengan "kesadaran" itu? Jawaban Sati adalah klasik: "Sesuatu yang melakukan, yang merasakan dan yang mengalami akibat dari pada perbuatan baik dan buruk yang dilakukannya, di dunia ini dan alam sana."
"Orang bodoh", jawab Sang Guru, "dari siapakah pernah engkau dengar Aku menerangkan ajaran seperti yang engkau katakan itu? Berulang kali Aku menerangkan bahwa kesadaran itu timbul karena satu kondisi; tak ada kesadaran yang timbul tanpa kondisi. Kesadaran diberi nama dari kondisi yang menimbulkannya; oleh karena ada mata dan benda-benda yang terlihat oleh mata, maka timbullah kesadaran yang diberi nama kesadaran-mata; oleh karena ada telinga dan suara yang didengarnya, maka timbul kesadaran yang diberi nama kesadaran-telinga; dst.dst.
Sesudah itu, Sang Buddha menerangkan lebih lanjut dengan mengambil perumpamaan.
Api diberi nama menurut benda yang membuatnya menyala; misalnya, api yang menyala dari kayu diberi nama api-kayu, api yang menyala dari jerami diberi nama api-jerami. Begitu pula kesadaran diberi nama menurut kondisi yang membuat ia timbul (Majjhima Nikaya, Maha Tanhasankhaya Sutta).
Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut: "… api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kenbali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll. … dan menjadi api jerami dst…. Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ke telinga, dll. … dan menjadi kesadaran telinga dst. …
Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerlukan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya mereka itu. Beliau berkata: "Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara (rupapayang), benda sebagai obyek (ruparammanang), benda sebagai pembantu (rupapatitthang) dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara … atau pencerapan sebagai perantara … atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang.
Andaikata ada orang yang berkata: aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada."