//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah  (Read 55207 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #135 on: 21 March 2010, 04:46:01 PM »
bagian keempat :

Sebagian umat budhis juga kadang-kadang memiliki persepsi yang berlebihan tentang seseorang yang telah mencapai jhana ke-4. ini bukan kata saya saja, dalam suatu naskah budhis, sya membaca bahwa seorang bikhu pun menyatakan hal serupa itu. seakan-akan orang yang telah mencapai jhana ke-4 harus sehebat superman. Atau memiliki suatu perilaku yang sangat sempurna. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah tentang para bikhu yang telah mencapai tahapan meditasi yang tinggi. Tapi mungkin mereka tidak begitu menyadari bahwa tentunya dalam kisah-kisah tersebut, hanya bagian-bagian hebatnya saja yang ditampilkan ke permukaan. faktanya, seseorang yang telah tembus hingga jhana ke-4 juga masih memiliki banyak kelemahan sebagai manusia, tetapi tentunya tidak perlu dicatat dalam kisah-kisah. Hanya hal-hal baik itu saja yang harus diangkat agar menjadi contoh bagi umat.
 
Memang benar, orang dengan jhana ke-4 itu memiliki kekuatan-kekuatan adhie alami, tapi tidaklah sehebat dalam khayalan umat yang tidak tahu keadaan sebenarnya. Kalaulah seseorang tidak sehabat yang dibayangkan umat, maka umat akan dinilainya “belum tembus hingga ke jhana ke-4”.

Mungkin juga diantara mereka jarang yang bisa tembus hingga jhana ke-4, karena mereka sendiri yang medudukan jhana ke – 4 di tempat yang terlalu tinggi.  Dan mungkin juga sebenarnya lebih banyak orang / bikhu yang telah mencapai jhana ke -4 dari yang diketahui umat, tetapi mereka lebih suka merahasiakannya dari pada mengemukakannya, menimbang persepsi yang berlebihan dari umat tentang kehebatan orang dengan jhana ke-4.

tapi ini hnya dugaan-dugaan saya. mohon maaf apabila tidak ssuai dengan kenyataannya.

bersambung.....

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #136 on: 21 March 2010, 04:46:23 PM »
cepat banget anda tulis...itu tidak ngopek?? :P
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #137 on: 21 March 2010, 04:47:30 PM »
bagian kelima :

Kesimpulan bahwa saya telah sampai ke jhana ke – 4 tidak saya buat sendiri, tetapi melalui proses diskusi dan konsultasi dengan kawan-kawan budhis yang berada di dhammacitta.org dan vihara.com. suatu waktu, saya menceritakan pengalaman meditasi saya kepada salah satu kawan diskusi saya, kemudian mereka menyimpulkan bahwa saya telah mencapai jhana pertama. Saya masih ingat-ingat yang dia katakan kepada saya, “memang seperti itulah pengalaman jhana”. Intinya, mereka setuju bahwa saya telah mencapai jhana. Sedangkan pengalaman yang saya ceritakan tersebut bukanlah pengalaman meditasi saya yang tertinggi. Dengan demikian, maka saya menyimpulkan bahwa pencapaian konsentrasi saya telah lebih dari jhana pertama.

Tetapi, kesetjuan dan kepercayaan kawan diskusi tersebut, bukan satu-satunya premis bagi kesimpulan saya, masih banyak premis-premis lainnya. Diantaranya, melalui studi banding antara pengalaman meditasi saya dengan teori-teori jhana dalam budhisme, maka dapat saya simpulkan bahwa saya telah mencapai jhana ke – 4.

Jauh-jauh sebelum mengenal istilah jhana-jhana, saya sudah menekuni meditasi dan mencapai tahapan-tahapan yang tinggi dan puncak konsentrasi, dalam aliran meditasi tersebut konsentrasi dibagai kepada 7 tahapan konsentrasi. Dan saya telah mencapai konsentrasi tahap ke 7. hal ini berdasarkan perrnyataan dari guru meditasi saya sendiri. Suatu ketika, ketika saya usai bermeditasi, beliau berkata kepada saya, “masih tersisa 5 % lagi”. Maksudnya, jika saya dapat meningkatkan konsentrasi sedikit lagi, maka saya berada di puncak konsentrasi tahap ke 7. dalam istilah jhana, itu artinya saya telah mencapai jhana ke 3, sedang menuju jhana ke 4.

bersambung...

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #138 on: 21 March 2010, 04:48:58 PM »
bagian ke enam :

samaggi-phala.or.id

Saya mengenal istilah jhana-jhana setelah secara kebetulan saya menemukan website agama budha, samaggi-phala.or.id. Saya takjub dengan ajaran meditasi budhisme yang sangat kaya akan teori dan perbendaharaan istilah. Berbeda dengan aliran meditasi kami, yang sangat miskin dengan teori dan perbendaharaan istilah. Banyak hal yang saya fahami dari pengalaman meditasi saya, tapi saya tidak tahu bagaimana cara menyebut dan menjelaskannya kepada orang lain. Dengan teori-teori meditasi agama budha benar-benar dapat menjadi “wakil” dari pengalaman-pengalaman meditasi saya tersebut.

Walaupun saya telah menemukan sistem meditasi agama budha di website samagi-phala.or.id, tapi saya tidak tertarik untuk menyelami meditasi samatha dan jhana-jhana secara teori. Saya lebih tertarik untuk mempelajari teori meditasi vipasanna dan mempraktikannya sedikit demi sedikit. Walaupun dalam teori budhisme samatha-vipasana identik sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang harus dipraktikan bersama-sama, tetapi kedua bentuk meditasi itu memang berbeda dan terpisah. Bisa saja, orang hanya mempraktikan meditasi samatha saja, tanpa mempraktikan vipassana.

Selain merupakan inspirasi kepada saya tentang bagaimana cara mengungkapkan pengalaman meditasi saya, banyak pula pengajaran yang benar-benar baru di dalam ajaran meditasi budhisme, terutama meditasi vipasanna. Meditasi samatha bagi saya, hanyalah nama lain dan bentuk lain dari meditasi cakra dan meditasi pranayama yang dulu pernah saya pelajari. Tetapi meditasi vipasanna adalah benar-benar merupakan ajaran yang baru bagi saya. Setelah saya praktikan sendiri, meditasi vipasanna tersebut sangat luar biasa hasilnya.  Tetapi, hal yang mungkin akan dianggap aneh, saya mengalami penurunan daya konsentrasi dari sebelumnya setelah banyak mempraktikan meditasi vipasanna. Mungkin dalam keyakinan umat budhis, seorang yang mempraktikan vipassana itu tentu konsentrasinya akan terus meningkat, bukan menurun. Entahlah, tapi begitulah pengalaman saya, saya ungkapkan sebagaimana adanya.

bersambung....

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #139 on: 21 March 2010, 04:49:40 PM »
bagian ketujuh :

sistem meditasi sebelumnya

Dalam sistem meditasi sebelumnya, saya tidak pernah mengerahkan energi untuk “melihat dhamma”.  Semua usaha dan energi, dikerahkan untuk terus menerus mengembangkan kekuatan konsentrasi. Tetapi, dalam meditasi vipasanna, lebih banyak usaha dikerahkan untuk dapat “melihat dhamma”, dan konsentrasi dikembangkan cukup sampai pada batas “dhamma yang terlihat”. Sebenarnya masuk akal, kenapa setelah menekuni meditasi vipassana, justru kekuatan konsentrasi saya menurun dari sebelumnya. Tetapi, saya kira hal ini agak berbeda dengan keyakinan umat budhis pada umumnya.

Guru kami tidak memberikan nama untuk masing-masing tahapan konsentrasi yang dicapai dalam meditasi-meditasi, tetapi beliau memberikan selendang berwarna warni seturut dengan warna pelangi untuk menandai tingkat konsentrasi mana yang telah mampu dicapai oleh seorang murid. Warna-warni tersebut adalah merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu. Semuanya ada 7 warna. Maka saya menyimpulkan bahwa tinkatkan konsentrasi utama di aliran meditasi kami ada 7 tingkatan. Prinsipnya ada tingkat kosentrasi yang lebih tinggi dari tingkat konsentrasi ke 7, tetapi semua tahapan konsentrasi diatas ke 7 digolongkan ke tahapan ke 7 saja, dengan beberapa alasan yang tidak dapat saya uraian di sini.

7 tingkatan konsentrasi ini juga berhubungan dengan 7 tingkatan cakra pada tubuh. Pada setiap tingkatan, satu cakra akan terbuka. Dan orang yang telah mencapai konsentrasi tahap ke 7, artinya ke tujuh cakra di dalam tubuhnya telah terbuka. (Ajaran tentang cakra-cakra ini tidak dapat saya temukan dalam budhisme. Dalam beberapa artikel, saya menemukan bahwa sebagian dari umat budhis mengangap cakra-cakra seperti itu hanyalah khayalan saja).

Pada tahun 2001 saya telah mendapatkan selendang berwarna ungu dari guru saya dalam sebuah upacara pengesahan, menandakan bahwa saya telah mencapai konsentrasi tahap ke 7. pada tahun 2002, saya telah mendapatkan selendang warna ungu polet hitam 1, menandakan bahwa saya telah menyelesaikan konsentrasi tahap ke 7, dan sedang menekuni pencapai konsentrasi yang lebih tinggi dari itu. Dan pada tahun 2003, saya mendapatkan selendang ungu polet hitam II.

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #140 on: 21 March 2010, 04:52:23 PM »
bagian ke delapan :

pengalaman Jhana

Kemudian setelah saya membeli dan membaca buku Angutara Nikaya, saya tertarik untuk mempelajari jhana-jhana secara teori. Lalu saya menyimpulkan bahwa jhana ke-1 itu sama dengan konsentrasi tahap ke 3 dalam aliran meditasi cakra yang saya pelajari sebelumnya, jhana ke 2 sama dengan tahap konsentrasi ke 4,  jhana ke 3 = konsentrasi ke 6, jhana ke 4 = konsentrasi ke 7.

Ini adalah teori budhisme tentang jhana ke-4 :

Quote
bersama lenyapnya kesenangan dan penderitaan, dan karena telah lenyapnya suka-cita dan kesedihan, dia masuk dan berdiam di jhana keempat-yang tidak menyakitkan pun tidak menyenangkan- dan mencakup pemurnian kewaspadaan lewat ketenang seimbangan

(Petikan Angutara Nikaya, hal 216)

Dan ini adalah pengalaman meditasi  saya untuk dibandingkan dengan teori budhisme tentang jhana ke -4 :

Apa yang dikatakan sang Budha dalam Angutara Nikaya tersebut, itulah yang menjelaskan pengalaman saya dalam meditasi-meditasi yang saya lakukan.

Apakah lagi sebenarnya yang harus diceritakan. Justru sebelumnya saya sangat kesulitan dalam menceritakan pengalaman alam meditasi itu, dan teori-teori budhisme itu lah yang membantu saya menggambarkan apa yang saya alami. Kata-kata yang saya kutip dari Petikan Angutara Nikaya tersebut telah benar-benar mewakili apa yang saya alami dalam meditasi.

Tetapi sebagaimana yang saya katakan, bila saya mengutarakan pengalaman jhana hanya dari kata-kata sang budha, tentu saya hanya akan dianggap menyontek, oleh karena itu, saya akan mencoba mengingat pengalaman jhana saya dan menggambarkannya dengan bahasa sendiri.

Ketenang seimbangan, tanpa perasaan menyakitkan pun menyenangkan, merupakan hal yang benar-benar telah saya alami setelah pencapaian sutau tahap konsentrasi dalam meditasi. Dan saya mengalami bahwa ketenang seimbangan ini tidak hanya terjadi pada saat jhana tersebut tercapai, tetapi sebelum dan sesudahnyapun terjadi. Ketenang seimbangan menjadi syarat kelayakan batin untuk masuk ke jahan ke-4. dan ketenangan seimbanganpun merupakan hasil dari pencapaian jhana ke-4. di sini berarti ketenang seimbangan tidak hanya merupakan akibat dari pencapaian jhana ke-4, tetapi juga sebab. Inilah yang saya alami. 

Sejenak setelah pencapaian jhana keempat, batin sangat tenang, seperti danau yang airnya sangat tenang, dan tetap tenang terjaga, walaupun kemudian ada bagai angin yang mengamuk. Ketika orang marah dan mencaci maki saya, tidak ada sedikitpun suatu perubahan ketenangan di dalam diri saya. Batin ini tidak terpegaruh oleh persoalan-persoalan eksternal, sebaliknya batin ini sangat berpengaruh kepada persoalan-persoalan eksternal. Seakan-akan sebuah batu pun akan berpindah sendiri, ketika pikiran saya membayangkan bahwa batu tersebut berpindah tempat.

Semua nafsu ragawi ditinggalkan, tak sedikitpun menginginkan dan merindukannya, tidak muncul bentuk-bentuk keserakahan dan kebencian yang mendorong kepada perbuatan jahat, dan batin terasa sangat suci. Suka maupun benci telah benar-benar mereda. Tetapi mereda nya, tidak benar-benar hilang, melainkan tertekan oleh pikiran yang terkonsentrasi.

Hanya satu yang membuat seseorang keluar dari kondisi upekha tersebut, yaitu keputusan salah yang muncul dari pandangan yang salah. Bagaimana ini maksudnya? Sulit bagi saya untuk menjelaskannya. Tapi saya dapat memperumpakan bahwa setelah pencapaian jhana ke-4, saya tidak lagi tertarik dengan kenikmatan seksual, sebagaimana yang saya alami. Seandainya perempuan cantik jelita menari bertelanjang di hadapanku, maka batin ini tidak akan mengalami perubahan ketenangan sama sekali. Sperti tulah yang aku alami, dalam suatu kasus lain yang agak berbeda. Tetapi, walaupun memiliki ketenangan yang tinggi, bisa jadi muncul pandangan yang salah, misalnya, “walapun aku bersentuhan dengan wanita itu, tapi batinku tidak akan tersentuh oleh hal-hal duniawi, maka bukanlah suatu masalah bila aku menyentuh wanita itu.” Tetapi, ketika menyentuh wanita itu, kewaspadaan mulai lengah, dan nafsu-nafsu yang telah ditekan kuat-kuat, mengendap di dasar hati, tergoncang lagi, walaupun sedikit demi sedikit. Dengan demikian, saya mulai menempuh jalan yang menurun kembali. Mungkin tidaklah terlalu tepat, bagaimana saya menggambarkan hal-hal yang menyebabkan penurunan batin seseorang dari tingkatan jhana yang tinggi. Semua ini hanya keterbatasan perbendaharaan kata-kata yang saya miliki.

Bagi seorang yang mencai jhana yang tinggi, suatu pandangan yang salah, tentu muncul dari suatu kebodohan spiritual, bentuk lobha dan dosa yang sangat halus. Segala sesuatu terus berubah, termasuk kondisi konsentrasi (jhana) di dalam batin kita. Tidak mudah mempertahankan keseimbangan batin. Ketika ketenang seimbangan memudar sedikit saja, maka itu merupakan celah bagi moha, loba dan dosa untuk tampil ke permukaan. Itulah kemudian mengapa Jhana tidak dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang cukup lama.

Walaupun demikian, pengalaman jhana membuat saya ingin kembali ke kondisi jhana sebagai kondisi batin yang lebih baik, memahami apa yang penting untuk ditemukan dari pada kesenangan-kesenangan ragawi.

bersambung.....

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #141 on: 21 March 2010, 04:53:39 PM »
bagian ke sembilan :

kekuatan supranatural

Selain itu juga, munculnya kekuatan-kekuatan adhi alami merupakan pertanda tercapainya jhana ke-4. mungkin saya perlu menceritakan kekuatan-kekuatan adhie alami yang muncul setelah pencapaian jhana-jhana tersebut, walaupun tidak disertai oleh “saksi-saksi”, tapi sebenarnya manusia memiliki feeling yang dapat menerka, apakah suatu cerita itu hanya sekedar hasil imajinasi saja, atau muncul dari suatu fakta yang ada. Sang Budha sendiri, ketika beliau melihat kebenaran dan memperoleh pencerahan sempurna, tidak ada saksi lain kecuali dirinya sendiri. Tapi kebenaran peristiwa pencerahan tersebut dapat difahami melalui kebenaran ajrannya.

Demikian pula dengan kebenaran kekuatan-kekuatan adhie alami yang saya alami dan  muncul setelah pencapaian jhana-jhana tersebut, tidak ada saksi lain yang dapat di sodorkan ke arena diskusi, kcuali diri saya sendiri, sehinga sangat mungkin bagi orang lain menganggapnya fiktif.

Bila saat ini saya mengaku sedang melihat hantu peta kelaparan sedang berdiri berdesakan di luar kamar saya, lalu siapa yang dapat dijadikan saksi yang dapat membenarkan bahwa diri saya sedang melihat hantu peta. Tidak ada saksi yang dapat dijadikan saksi, kecuali orang yang bisa melihat peta itu sendiri. Dan itu sangat jarang. Itlah mengapa, persoalan mistik sulit sekali dicarikan saksinya.

Walaupun demikian, saya ingin menceritakan peristiwa-peristiwa mistik yang saya alami, seandainya kisah-kisah tersebut tidak dapat dianggap sebagai suatu kejujuran dan bukti bahwa saya telah mencapai suatu tahapan konsentrasi yang tinggi setingkat dengan jhana ke-4, maka pembaca dapat menjadikah kisah-kisah tersebut sebagai hiburan saja, mudah-mudahan menghibur. Lagi pula, tidaklah terlalu penting untuk membuktikan bahwa diri saya sudah sampai kepada tahapan jhana ke-4. katakanlah, tak satupun jhana-jhana itu yang telah saya raih, dan saya tidak akan kebenaratan dengan penilaian seperti itu.

Pengalaman pertama : kesadaran di luar waktu
Sedetik setelah pencapain suatu kosentrasi, Tiba-tiba saya mengalami suatu kesadaran di luar waktu. Waktu berhenti untuk saya. Sulit bagi saya menjelaskan hal ini dengan kata-kata. Tentunya, jam di dinding masih terus berdetak, dan matahari menuju ke barat, tetapi saya telah berada di luar waktu. Seandainya saya berada di sana lebih lama, maka walaupun waktu dunia terus berjalan, dan pepohonan sudah meniggi, tentulah saya tidak akan menjadi tua, karena saya tidak bergerak mengikuti waktu. Sangat sulit dijabarkan. Tapi yang jelas, pengalaman ini mustahil tercapai tanpa suatu pencapaian konsentrasi yang tinggi.

Pengalaman Kedua : melayang di angkasa
Suatu sore di hari kamis, saya bermeditasi sendiri di rumah. Saya sangat asyik tenggelam dalam meditasi, sampai pada suatu ke dalaman. Ketika saya usai bermeditasi, dan mulai membuka mata saya, saya sadar bahwa saya tidak menyentuh lantai, melainkan melayang diangkasa. Biasanya kejadian seperti itu cukup mengagetkan, mengherankan dan menggembirakan. Tetapi pada waktu itu, tidak ada rasa terkejut, heran atau gembira. Hal-hal seperti itu tidak dapat lagi menyentuh batin saya. Tetapi jauh di dalam batin, ada suatu bentuk kegembiraan yang halus sekali, yang bagaiman bakteri yang mustahil terlihat apabila tanpa mikroskop. Dan kegembiraan yang halus tersebut telah menurunkan saya ke lantai secara perlahan-lahan. Bukan hanya menurunkan, melainkan juga melenyapkan kemampuan berlevitasi secara seketika itu juga.

Pengalaman ketiga : menembus alam-alam gaib
Suatu hari, seorang pria mendatangi rumah saya. Dia meminta tolong, karena istrinya tiba-tiba kejang dan keluar tiga (or dua) bilah paku dari kepalanya. Saya segera mendatangi perempuan tersebut. Sesampainya di sana, sayapun tidak tahu apa yang harus dilakukan, sementara keadaan semakin mendesak, perempuan itu seakan-akan hendak melepaskan nyawa.

Akhirnya saya memutuskan untuk bermeditasi. Tak lama kemudian, seakan lenyaplah semua kesadaran tubuh, saya tenggelam di alam konsentrasi. Tidak lagi terdengar suara rintihan dari yang sakit atau tangisan dari keluarga si pasien, karena saya sepenuhnya berada pada satu titik konsentrasi.

Sejenak setelah keluar dari konsentrasi, tiba-tiba saya berada di suatu alam yang gelap, sperti gua yang dalam, luas dan gelap. Namun di bawah sana terdapat api yang menyala-nyala. Sebagaimana yang digambarkan orang tentang neraka. Saya melihat perempuan yang sakit tadi berada di jurang neraka tersebut, terhimpit oleh dua batu besar. Lalu, saya menghampiri dia untuk menolongnya. Tetapi kemudian muncul 8 orang manusia yang mencegah saya untuk menolongnya, dan mereka berkata, “biarkan saja dia di sana, itu akibat dosa-dosanya terhadap kami!”

Melalui suatu negosiasi, akhirnya ke 8 manusia tersebut memperbolehkan saya menolongnya. Saya dapat mengeluarkanya dari himpitan batu. Lalu arwah perempuan itu melesat ke angkasa. Setelah itu, kesadaran saya kembali berada dalam tubuh. Saya membuka mata, bersamaan dengan itu si wanita berhenti kejang-kejang dan siuman.

Pengalaman Keempat : berbicara dengan hewan dan tumbuhan
Bila saya telah bermeditasi dengan mencapai titik konsentrasi yang tinggi, maka kemudian saya dapat mendengar tumbuhan dan hewan berbicara seperti manusia.

Suatu hari, saya berjalan melewati pesawahan. Tiba-tiba terdengar ramai ada yang berbicara. Setelah saya dengarkan secara seksama, ternyata kata-kata itu tertuju pada saya. Mereka berkata, “terima kasih anda telah lewat ke mari. Kami adalah padi-padi di sawah, kedatanganmu menebakan cahaya yang membahagiakan bagi kami, sehingga kami menjadi gembira dan dapat bertumbuh dengan lebih baik dan subur.” Ternyata itu suara padi-padi di sawah.

Penglaman Kelima : Teringat pada kehidupan lampau
Saya seorang muslim sunni, yang dari kecil di didik akidah Islam sunni yang tidak meyakini adanya reinkarnasi. Dalam ajaran Islam, setelah kematian, orang hanya dihadapkan kepada dua kemungkinan, yaitu apakah ke surga ataukah ke neraka, dan tidak ada kemungkinan terlahir kembali menjadi seorang manusia atau makhluk lainnya.

Tetapi saya, karena pencapaian konsentrasi yang tinggi tadi, akhirnya dapat mengingat kehidupan-kehidupan di masa lampau. Saya ingat, siapakah saya dikehidupan lampu, dan apa yang menyebabkan kematian saya, dan mengapa saya terlahir kembali. Tentang hal ini, telah banyak saya ceritakan di forum dhammacitta.org.

Pengalaman ketujuh : masih banyak lagi

bersambung....

Offline Deva19

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 821
  • Reputasi: 1
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #142 on: 21 March 2010, 04:56:05 PM »
Bagian Akhir :

Silahkan analisis uraian saya diatas, kalau memang anda mau menganalisis.  apakah itu berasal dari perrnyataan orang lain yang saya kutip, atau murni dari pengalaman pribadi, kisah nyata atau fiksi, dilukiskan oleh orang yang memiliki konsentrasi rendah atau oleh orang yang memiliki konsentrasi tinggi, apakah dijelaskan oleh orang awam terhadap ajaran budha ataukah oleh orang yang mengerti, oleh orang yang melihat dhamma ataukah yang buta dari dhamma. Dan saya tidak akan membantah hasil penilaian dari anda, apapun hasilnya. Silahkan saja.

Dan saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, bila sebagian atau semua urian tersebut diatas tidak berkenan di hati anda. Tidak sedikitpun ada maksud untuk sombong atau merendahkan pihak lain. Dan semua itu diungkapkan atas dasar permintaan seseorang.


tamat

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #143 on: 21 March 2010, 05:01:37 PM »
sipp..giliran saya berkomentar.. ^^
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #144 on: 21 March 2010, 05:02:13 PM »
aduh gk cukup..waktu tinggal 3menit saya quotekan dulu semua tulisan anda mencegah anda memodify nya
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #145 on: 21 March 2010, 05:06:08 PM »
Bagian Pertama :

Ungkapan Terima Kasih
Sebelumnya, saya ungkapan rasa terima kasih saya kepada Sang Budha, dimana ajarannya telah membawa diri saya kepada suatu pencerahan yang tinggi. Dan juga saya ucapkan terima kasih kepada Para Bikhu, kaum Cendikiawan Budhis, umat Budhis dan kawan-kawan diskusi saya di media internet. Dimana, melalui merekalah ajaran sang budha telah sampai kepada saya, melalui naskah-naskah yang ditulis dan dipublikasikan di internet, dan naskah-naskah yang dibukukan, baik karya asli cendikiawan budhis Indonesia, maupun luar negeri yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Saya merasa sangat beruntung dapat mempelajari ajaran-ajaran mulia sang Budha.

Baik para bikhu, para cendikian budhis, dan kawan-kawan budhis yang yang selama ini sering berdiskusi dengan saya di internet, mereka semua saya anggap sebagai guru-guru saya, dimana saya belajar dan berkonsultasi tentang meditasi dan budhisme kepada mereka.

Perbedaan Faham
Tetapi, kemudian dalam diskusi, terasa bahwa saya memiliki banyak faham yang berbeda dengan umumnya umat budhis. Lalu, bagaimana bisa, bila saya belajar dari mereka, tapi kemudian bertentangan faham dengan mereka? Hal itu disebabkan oleh kesimpulan-kesimpulan yang saya buat dan pengalaman-pengalaman spiritual saya yang berbeda dengan kesimpulan dan pengalaman spiritual mereka.

Perbedaan faham sebenarnya bukanlah suatu masalah, karena setiap manusia satu sama lain sudah pasti memiliki perbedaan faham. Bahkan menurut seorang kawan budhis, 1000 kepala itu artinya 1000 pemahaman yang berbeda. Dan jika kita mau membesar-besarkan perbedaan, maka pipi kiri dan kanan sekalipun itu memiliki banyak perbedaan. Yang menjadi masalah bukanlah perbedaan faham tersebut, tapi “rasa pertentangan” yang muncul karena perbedaan. Saya pikir, rasa pertentangan ini dapat dihindari bila kita dapat melakukan diskusi dengan cara yang terbaik.

Sebuah Pengakuan
Belakangan ini, saya mengaku telah dapat menembus jhana ke-4. Dan saya tidak menyangka pengakuan saya tersebut mendorong kawan-kawan budhis di dhammacitta.org untuk menyelidiki kebenarannya secara lebih mendalam.

Penyelidikan Terhadap Diri Saya
Rupanya, kawan-kawan  Budhis sangat tertarik dengan pengakuan saya, dan ingin memastikan benar atau kah salah pernyataan saya tersebut. Kemudian mereka berusaha mengidentifikasi, menganalisa dan menyimpulkan hasil dari penyelidikan terhadap saya. Di sini, saya merasa menjadi sebuah objek penyelidikan.  Tak masalah, jika memang mereka menginginkan hal tersebut.

Beberapa kawan diskusi saya di dhammacitta tampaknya telah menyimpulkan bahwa saya bukanlah orang yang telah menembus jhana ke-4, dan ingin membuktikan kebenaran kesimpulannya tersebut. Sebenarnya, saya tidak terlalu peduli, apakah saya sudah mencapai jhana-jhana di dalam meditasi ataukah tidak. Seandainya mereka mempunya keyakinan bahwa saya bukanlah orang yang tembus hingga jhana ke-4, maka saya dapat menerima penilaian tersebut dengan berlapang dada. Tetapi, rupanya mereka juga bukan hanya sekedar menyatakan bahwa saya bukanlah seorang pencapai jhana ke-4, tetapi juga ingin meyakinkan diri saya tentang hal tersebut. Jika hal ini benar, maka tentulah mereka perlu mengemukakan argumentasi-argumentasi yang dapat meyakinkan diri saya. Tetapi jika mereka sekedar ingin menyampaikan pendapat dan hasil kesimpulan mereka tentang saya, tentu tidak perlulah mereka melelahkan diri dengan cara menyampaikan argument-argument yang meyakinkan diri saya.

bersambung.....

bagian dua :

Saksi
Ketika seorang bikhu telah tembus hingga jhana ke-4, siapa orang yang dapat dijadikan saksi, dan barang apa yang dapat dijadikan bukti, dan apakah mungkin orang-orang yang belum sampai ke tahapan jhana tersebut dapat menilai benar tidaknya pencapaian bikhu tersebut?

Di zaman sang budha, tidak ada yang lebih terampil dan lebih objektif dalam menilai sampai dimana tahap pencapaian para bikhu, selain dari sang Budha sendiri sebagai orang yang waspada dan “yang tercerahkan sepenuhnya”. Bila saja masih ada kekotoran di dalam batin kita, maka mungkinkah kita dapat menilai secara objektif sampai di mana tahap pencapaian jhana seseorang? Prinspinya, seseorang yang memiliki kebijaksaan yang tinggi dapat menilai dengan tepat orang yang kualitas batinya lebih rendah, tetapi sseorang tidak akan dapat menilai dengan benar orang yang kualitas batinnya lebih tinggi.

Sang Budha adalah orang yang memiliki “pandangan yang menembus”. Dan sang Budha menilai tahap pencapai para bikhu melalui pandangan yang menembus tersebut, dan tidak semata-mata menilainya dari apa yang dikatakan dan dilakukan oleh bikhu tersebut. Banyaklah orang yang tampak “jahat” dalam lahirnya, tetapi sang Budha menyatakan kesucian bathinnya. Maka, ketika ada orang menilai keadaan bathin saya, melalui apa yang saya katakan di forum diskusi, sungguh itu tidak sesuai dengan bagaimana cara sang Budha melakukan penilaian. Mereka harus memiliki pandangan bathin yang menembus ke dalam batin saya sendiri dan kepada kehidupan lampau, untuk melihat kebenaran, apakah betul atau tidak saya telah mencapai jhana ke-4, dan tidak semata-mata menjadikan “apa yang nyatakan di forum” sebagai tolak ukur benar tidaknya pencapaian jhana ke 4. tetapi, untuk memenuhi rasa ingin tahu seseorang, saya mempersilahkan mereka untuk menganalisa keadaan batin saya melalui kata-kata yang saya sampaikan. Sayapun tidak mengharapkan hasil penilaian yang objektif dan adil. Saya pasrah saja dengan apapun dari hasil penilaian mereka terhdap saya.


bagian tiga :

Tidak Terampil Menyenangkan Orang Lain
Berikut ini, terlebih dahulu saya menceritakan perasaan saya. Sekali lagi, ini soal perasaan, yang belum tentu benar dan objektif. Tetapi apa yang dirasakan oleh saya, belum tentu pula salah. Tapi saya mohon maaf, bila apa yang dirasakan oleh saya, jauhlah ari kebenaran.

Pendapat umat budhis terhadap saya itu berubah-ubah dan berbeda-beda. Dalam suatu diskusi, kadang mereka percaya bahwa saya telah mencapai jhana-jhana. Di lain diskusi, mereka sangat tidak percaya kalau saya sudah mencapai jhana. Dan saya merasa bahwa standar mereka untuk percaya atau tidak itu bergantung dari “apakah mereka sedang menyukai saya atau tidak”. Hal yang sama terjadi pada persoalan “ingatan saya tentang kehidupan masa lampau”. Thread pertama  saya di forum budhis mengupas tentang kemampuan saya mengingat kehidupan lampau. Hampir semua kawan budhis yang diskusi dengan saya waktu itu mendukung, setuju dan percaya bahwa saya memang dapat mengingat kehidupan lampau. Tapi, belakangan, setelah “mereka tidak suka dengan saya” karena perdebatan saya yang kasar dengan beberapa orang, kepercayaan mereka berubah menjadi ketidak percayaan, dan ingatan saya terhadap kehidupan lampau dianggap sebagai khayalan saja.

Sang Budha mengatakan bahwa kalau orang merasa suka terhadap sesuatu, maka ia akan menilainya baik dan benar. Semakin suka, berarti semakin baik dan benar. Kalau orang benci sesuatu, maka ia akan menilainya buruk dan salah. Semakin benci pada sesuatu itu, berari sesuatu itu dinilainya lebih buruk dan salah. Dan benarlah kata sang Budha, seharusnya kita menjelaskan dhamma dengan cara yang menyenangkan. Tetapi saya tidak terlalu terampil dalam hal ini.
bagian keempat :

Sebagian umat budhis juga kadang-kadang memiliki persepsi yang berlebihan tentang seseorang yang telah mencapai jhana ke-4. ini bukan kata saya saja, dalam suatu naskah budhis, sya membaca bahwa seorang bikhu pun menyatakan hal serupa itu. seakan-akan orang yang telah mencapai jhana ke-4 harus sehebat superman. Atau memiliki suatu perilaku yang sangat sempurna. Hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh kisah-kisah tentang para bikhu yang telah mencapai tahapan meditasi yang tinggi. Tapi mungkin mereka tidak begitu menyadari bahwa tentunya dalam kisah-kisah tersebut, hanya bagian-bagian hebatnya saja yang ditampilkan ke permukaan. faktanya, seseorang yang telah tembus hingga jhana ke-4 juga masih memiliki banyak kelemahan sebagai manusia, tetapi tentunya tidak perlu dicatat dalam kisah-kisah. Hanya hal-hal baik itu saja yang harus diangkat agar menjadi contoh bagi umat.
 
Memang benar, orang dengan jhana ke-4 itu memiliki kekuatan-kekuatan adhie alami, tapi tidaklah sehebat dalam khayalan umat yang tidak tahu keadaan sebenarnya. Kalaulah seseorang tidak sehabat yang dibayangkan umat, maka umat akan dinilainya “belum tembus hingga ke jhana ke-4”.

Mungkin juga diantara mereka jarang yang bisa tembus hingga jhana ke-4, karena mereka sendiri yang medudukan jhana ke – 4 di tempat yang terlalu tinggi.  Dan mungkin juga sebenarnya lebih banyak orang / bikhu yang telah mencapai jhana ke -4 dari yang diketahui umat, tetapi mereka lebih suka merahasiakannya dari pada mengemukakannya, menimbang persepsi yang berlebihan dari umat tentang kehebatan orang dengan jhana ke-4.

tapi ini hnya dugaan-dugaan saya. mohon maaf apabila tidak ssuai dengan kenyataannya.

bersambung.....bagian kelima :

Kesimpulan bahwa saya telah sampai ke jhana ke – 4 tidak saya buat sendiri, tetapi melalui proses diskusi dan konsultasi dengan kawan-kawan budhis yang berada di dhammacitta.org dan vihara.com. suatu waktu, saya menceritakan pengalaman meditasi saya kepada salah satu kawan diskusi saya, kemudian mereka menyimpulkan bahwa saya telah mencapai jhana pertama. Saya masih ingat-ingat yang dia katakan kepada saya, “memang seperti itulah pengalaman jhana”. Intinya, mereka setuju bahwa saya telah mencapai jhana. Sedangkan pengalaman yang saya ceritakan tersebut bukanlah pengalaman meditasi saya yang tertinggi. Dengan demikian, maka saya menyimpulkan bahwa pencapaian konsentrasi saya telah lebih dari jhana pertama.

Tetapi, kesetjuan dan kepercayaan kawan diskusi tersebut, bukan satu-satunya premis bagi kesimpulan saya, masih banyak premis-premis lainnya. Diantaranya, melalui studi banding antara pengalaman meditasi saya dengan teori-teori jhana dalam budhisme, maka dapat saya simpulkan bahwa saya telah mencapai jhana ke – 4.

Jauh-jauh sebelum mengenal istilah jhana-jhana, saya sudah menekuni meditasi dan mencapai tahapan-tahapan yang tinggi dan puncak konsentrasi, dalam aliran meditasi tersebut konsentrasi dibagai kepada 7 tahapan konsentrasi. Dan saya telah mencapai konsentrasi tahap ke 7. hal ini berdasarkan perrnyataan dari guru meditasi saya sendiri. Suatu ketika, ketika saya usai bermeditasi, beliau berkata kepada saya, “masih tersisa 5 % lagi”. Maksudnya, jika saya dapat meningkatkan konsentrasi sedikit lagi, maka saya berada di puncak konsentrasi tahap ke 7. dalam istilah jhana, itu artinya saya telah mencapai jhana ke 3, sedang menuju jhana ke 4.

Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Sumedho

  • Kebetulan
  • Administrator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 12.406
  • Reputasi: 423
  • Gender: Male
  • not self
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #146 on: 21 March 2010, 09:32:34 PM »
tambahan, bisa mencapai jhana ke 4 belum tentu langsung punya idhi, perlu dilatih lagi. contohnya saja sariputta yg sebagai siswa utama yg memiliki jhana 1-4 dan arupajhana, sepertinya tidak ada abhinna. cmiiw

penilaian terhadap orang yg mengaku mencapai jhana biasanya bisa negatif yah bisa saja karena iri?

imo, memang jhana ini sudah terlalu dianggap "tinggi", terlalu high expectation. contohnya dalam anupada sutta dijelaskan bagaimana pada jhana 4 masih terdapat analisa.
There is no place like 127.0.0.1

Offline Sunkmanitu Tanka Ob'waci

  • Sebelumnya: Karuna, Wolverine, gachapin
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 5.806
  • Reputasi: 239
  • Gender: Male
  • 会いたい。
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #147 on: 21 March 2010, 10:05:35 PM »
jhana 1 saja sudah dibilang uttari manussa dhammo, pengalaman di luar pengalaman manusia biasa
wajar aja kalau dibilang superman ;D
HANYA MENERIMA UCAPAN TERIMA KASIH DALAM BENTUK GRP
Fake friends are like shadows never around on your darkest days

Offline ryu

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 13.403
  • Reputasi: 429
  • Gender: Male
  • hampir mencapai penggelapan sempurna ;D
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #148 on: 21 March 2010, 10:37:19 PM »
tambahan, bisa mencapai jhana ke 4 belum tentu langsung punya idhi, perlu dilatih lagi. contohnya saja sariputta yg sebagai siswa utama yg memiliki jhana 1-4 dan arupajhana, sepertinya tidak ada abhinna. cmiiw

penilaian terhadap orang yg mengaku mencapai jhana biasanya bisa negatif yah bisa saja karena iri?

imo, memang jhana ini sudah terlalu dianggap "tinggi", terlalu high expectation. contohnya dalam anupada sutta dijelaskan bagaimana pada jhana 4 masih terdapat analisa.

tetapi bukan jhana yang terpenting khan ;D
Janganlah memperhatikan kesalahan dan hal-hal yang telah atau belum dikerjakan oleh diri sendiri. Tetapi, perhatikanlah apa yang telah dikerjakan dan apa yang belum dikerjakan oleh orang lain =))

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Ketenangan Sebagai Suatu Masalah
« Reply #149 on: 21 March 2010, 11:31:29 PM »
Sekedar OOT... Apakah Devadatta bisa mencapai jhana IV ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

 

anything