Logikanya memang demikian. Akan tetapi, logika terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Seseorang bisa mengatakan bahwa karena tiada DIRI yang menderita maka tiada penderitaan, tapi toh nyatanya ia masih merasa bahwa "IA" menderita. Kenapa? Karena ia masih memiliki kecenderungan akan adanya 'DIRI'.
Saya setuju karena adanya kecenderungan adanya "DIRI" maka seseorang merasa menderita. Namun, pandangan "adanya penderitaan" dan "tidak adanya penderitaan" sendiri adalah perangkap masuk dalam dualisme. Demikian juga pandangan "adanya DIRI" dan "tidak adanya DIRI". Karena kedua pandangan-pandangan di atas terperangkap dalam dualitas "ada" dan "tiada." Selama seseorang di dalam dirinya mengenal "ada" dan "tiada" maka muncul di dalam dirinya sebuah kondisi subyek dan obyek yang menghasilkan perspektif tertentu, sehingga berarti seseorang memiliki kedirian di dalam dirinya. cmiiw
Sesungguhnya, konsep anatta di atas diambil mengingat bahwa segala fenomena yang muncul hanya merupakan gejala sebab dan akibat. Sebuah fenomena muncul karena kondisi2 tertentu. Di sana tidak ada entitas atau diri tertentu yang mengatur fenomena bersangkutan untuk muncul dan lenyap. Pikiran yang seringkali dianggap sebagai entiti, diri atau atma bagi kebanyakan orang juga hanya sekedar fenomena. Pikiran muncul karena kondisi2 lain. Melihat bekerjanya hukum ini (Paticcasamuppāda), meskipun ada perbuatan dan hasil perbuatan, nibbāna dan Jalan untuk mencapainya, seseorang tidak bisa mengatakan akan adanya "DIRI' yang berbuat, merasa, mengalami dan menjalankan. Segalanya hanya merupakan fenomena2 yang saling bergantungan.
Sebab dan akibat atau fenomena yang saling bergantungan, menurut opiniku, tidak dilihat sebagai hakikat "sebenarnya". Karena bagaimanapun, jika kita menyakini hal tersebut sebagai "sebenarnya" demikian atau sebagai sebab maka kita akan terjebak dalam pandangan bahwa samsara itu obyektif ada. Padahal jika demikian, maka kembali kita masuk dalam dikotomi subyek dan obyek, dan sekali lagi pandangan adanya sebab dan akibat atau fenomena saling bergantungan juga berpotensi menjadi penghasil suatu "DIRI" terselubung, yaitu yang berangkat dari dualitas "yang sebenarnya" dan "yang palsu". Dualitas "yang sebenarnya" dan "yang palsu" tidak lain sama saja dengan dualitas "ada" dan "tiada." So bagaimana pendapat saudara peacemind mengenai ini?
Suatu kali ada seorang pertapa bertanya kepada Sang BUddha, "Apakah yang menjadi penyebab munculnya kebahagiaan dan penderitaan? Apakah mereka disebabkan oleh diri sendiri (sayaṃkataṃ), atau pihak lain (paraṃkataṃ) atau disebabkan oleh diri sendiri dan pihak lain (sayaṃkatañca paraṃkatañca) ataukah mereka muncul karena tanpa sebab (ahetuka)? Sang Buddha menolak empat argumentasi di atas. Alasannya, jika beliau menerima tiga argumentasi pertama, sama halnya beliau menerima keberadaan "DIRI" yang menjadi penyeban penderitaan dan kebahagiaan. Kemudian jika beliau menerima argumentasi yang terakhir, beliau akan dianggap sebagai guru nihilis yang mengajarkan segala sesuatu tanpa sebab. Untuk menghindari keduanya, beliau mengatakan bahwa kebahagiaan dan penderitaan muncul, secara sederhana, karena kontak (phassa). Jawaban ini sangat penting karena selain menghindari konsep nihilisme, juga menghindari konsep akan adanya "DIRI".
Jika demikian, mengapa phassa tidak disebut sebagai pihak lain (paraṃkataṃ) bagi kebahagiaan dan penderitan? Mohon pencerahannya. Terimakasih.
Anda benar bahwa pandangan
adanya penderitaan dan tidak adanya penderitaan dan pandangan akan
adanya diri dan tidak adanya diri bisa menjadi pandangan dualisme. Namun menurut hemat saya, yang menjadi masalah bukan pandangan2 tersebut, melainkan
kemelekatan terhadap pandangan2 tersebut. Jika pandangan tentang adanya penderitaan dan lenyapnya penderitaan akan menjebak pada pandangan dualisme, maka Sang Buddha juga sudah terjebak dengan pandangan dualisme karena beliau mengajarkan kedua pandangan ini. Namun Sang Buddha tetap tidak terjebak dengan pandangan ini karena beliau tidak memiliki
kemelekatan terhadap kedua pandangan ini. Ini juga mengapa Dhamma diibaratkan sebagai rakit. Pandangan adanya penderitaan dan lenyapnya penderitaan yang juga berasal dari Dhamma, ajaran Buddha, akan menjadi bumerang, menjadi pandangan dualisme, jika orang menggunakannya berbasis pada kemelekatan. Jika ia menggunakan
semata-mata sebagai rakit yang dipergunakan untuk menyeberangi lautan samsara, ia tidak akan terjebak pada pandangan tersebut. Dan perlu diingat di sini, jika anda melekat pada pandangan yang anda ungkapkan di sini, anda pun telah terjebak pada pandangan "tidak ada dualisme". Kemelakatan pada pandangn ini juga sama bahayanya dengan pandangan dualisme.
Kemelekatan pada pandangan 'tidak ada dualisme' sangat mirip dengan apa yng dikatakan oleh Nagarjuna dalam Mūlamadhayamikakārikā, "Segala sesuatu adalah kosong. Namun demikian, meskipun segala sesuatu kosong, seseorang yang melekat pandangan ini tidak akan disembuhkan. Tidak ada obat yg bisa menyembuhkan kemelekatan terhadap pandangn ini".
Mengenai argumen anda tentang hukum sebab musabab yang saling bergantungan (paticcasamuppāda), sebaiknya anda membaca kutipan saya di komen sebelumnya yang saya ambil dari Kaccānasutta dari Saṃyuttanikāya. Di sana akan ditemukan bahwa justru melalui pengertian khususnya dvadasangapaticcasamuppāda seseorang tidak akan terjebak pada pandangan dikotomi antara
ada dan tidak ada yang mana pada umumnya makhluk2 memegangnya. Dan dalam sutta ini, seseorang tidak dituntut lagi untuk sekedar
meyakini tetapi mengalaminya sendiri.
Dalam kitab Komentar, sayaṃkataṃ, paraṃkataṃ dan sayaṃkatañca paraṃkatañca mengacu pada "diri" atau "individu" atau "atma" baik keberadaan "diri" di dalam diri kita (sayaṃkatam), atau keberadaan "diri" di luar kita (paraṃkataṃ) atau keduanya (sayaṃkatañca paraṃkatañca). Jika Sang BUddha menerima salah satu dari mereka, maka beliau akan menerima keberadaan "diri". Sebaliknya, ketika Sang Buddha mengatakn bahwa phassa (kontak) merupakn penyebab kebahagiaan dan penderitaan, beliau tidak akan jatuh pada pandangan akan adanya "diri" ataupun pandangan "nihilis" pandangan yang menolak adanya hukum sebab akibat. Phassa tidak dianggap sebagai "diri" karena faktor ini hanya SEKEDAR FENOMENA. Phassa hanya sekedar fenomena yang muncul dan lenyap. Faktor ini muncul karena sebab, dan lenyap ketika sebabnya tidak ada. Jika seseorang menganggap "phassa" sebagai paraṃkataṃ atau sayaṃkataṃ, tentu ia akan kembali terjebak pandangan adanya "diri". Menganggap phassa sebagai "diri" tidak ada ubahnya seperti Bhikkhu Moliyaphagguna yang bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante, siapa yang membuat kontak? - Siapa yang membuat kontak? - ‘‘Ko nu kho, bhante, phusatī’’ti". Sang Buddha dengan tegas menjawab bahwa pertanyaan tersebut tidak absah. Alasannya, dalam sutta tersebut (Moliyaphaggunasutta dari Samyuttanikāya) Sang Buddha tidak menggunakan kata phassa dengan adanya intervensi "diri". Semoga anda jelas.
Be happy.