//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - marcedes

Pages: 1 2 3 4 [5] 6
61
Tolong ! / mohon doa dan dukungannya
« on: 22 August 2009, 08:44:36 AM »
kemarin dapat kabar kalau sepupu saya, sudah tidak tertolong secara medis.....
dia terkena penyakit kanker dan tim medis sudah angkat tangan...

mohon kalau rekan-rekan meditasi di vihara atau sembahyang di klenteng, tolong doakan dan dukungan..
mudah-mudahan kekuatan pikiran cinta kasih dapat menolong...

 _/\_
anumodana

62
Theravada / mikirin apa ketika menjelang ajal?
« on: 20 July 2009, 06:01:19 PM »
kata orang jika detik detik ajal ,bagusnya membuat pikiran ini ke kusala-kamma, seperti mengingat perbuatan baik yg pernah di perbuat....hal ini katanya membawa ke alam kelahiran yg baik. [ tetapi hal ini membawa pada tumimbal lahir]

jadi kalau seorang arahat itu, mikir apa ketika dah mau menjelang ajal?
bisa kasih info, atau refrensi sutta.

63
Kesehatan / [req] buah-buahan yang banyak antioksidan
« on: 19 July 2009, 11:34:01 PM »
mohon informasi nya mengenai buah-buahan yg byk antioksidan -nya..

64
Theravada / emosi
« on: 09 July 2009, 07:21:42 PM »
ketika seseorang emosi akan menjadi reasonable...beribu-ribu alasan untuk membenarkan diri...
ketika seseorang emosi akan menjadi cerewet.....beribu-ribu makian di ucapkan
ketika seseorang emosi akan menjadi jelek...beribu-ribu ekspresi wajah jelek di bentuk
ketika seseorang emosi, akan menjadi busuk....beribu-ribu kebencian di keluarkan....

oh emosi emosi......ku harus berjuang keras melawan mu,kamu begitu kuat seakan-akan tidak mau pergi dari pikiran ku...
apakah yg harus kulakukan? ^^

semoga kita tidak emosi lagi..sekarang dan seterusnya...

salam metta.


65
Theravada / Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?
« on: 27 June 2009, 04:57:13 PM »
Datang dan Percaya Vs Datang dan Melihat ?

SADDHIDHA VITTAM PURISASSA SETTHAM
Keyakinan merupakan kekayaan yang utama di dunia
(Samyuta Nikâya, Sagâhavagga)

Bhikkhu Abhayanando



Bukan hanya pada jaman modern seperti sekarang ini orang menawarkan kebenaran. Jaman Sang Buddha pun banyak guru spiritual yang menawarkan kebenaran dan semua guru spiritual itu menganggap ajarannya yang benar dan yang lain salah dan jika mengikuti ajarannya akan dijamin mendapatkan kebahagiaan. Kasus di atas membuat mereka yang mencari kebenaran menjadi bingung dan ragu, kebenaran mana yang benar dan mana yang salah. Keragu-raguan ini kadang membuat banyak orang terjerumus pada pandangan salah dan bahkan ada yang putus asa mencari kebenaran. Dalam Kalama Sutta ada kisah menarik yang dapat menjawab keragu-raguan pencari kebenaran. Untuk itu penulis akan memaparkan ringkasan kisah dalam Kalama Sutta.

Dalam Kalama Sutta Sang Buddha mengatakan,

"O, kaum Kalama! Jangan menerima apapun hanya karena tradisi. Jangan menerima apapun hanya karena desas-desus. Jangan menerima apapun hanya karena sesuai dengan kitab sucimu. Jangan menerima apapun hanya karena itu memiliki daya tarik pribadi bagimu. Jangan menerima apapun hanya karena sesuai dengan anggapanmu. Jangan menerima apapun hanya karena diucapkan oleh orang terkenal. Jangan menerima apa pun hanya karena diucapkan orang yang dihormati.

"O, kaum Kalama! Jika engkau mengetahui sendiri hal-hal ini tidak bermoral; hal-hal ini tidak pantas; hal-hal ini dicela oleh orang bijaksana; hal-hal ini jika dijalankan dan dilakukan, membawa kehancuran dan kesedihan, maka seharusnya kalian menolaknya.

"O, kaum Kalama! Jika engkau mengetahui sendiri hal-hal ini bermoral; hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini jika dijalankan dan dilakukan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, maka hiduplah sesuai dengannya."

Ini bukanlah kata-kata seorang rasionalis dari abad dua puluh di mana begitu banyak percakapan tentang rasionalisme. Kata-kata yang pantas diingat ini diucapkan lebih dari 2500 tahun yang lalu oleh Sang Buddha-Yang Telah Tercerahkan - pada sekelompok orang desa di lembah Gangga. Ini bisa dikatakan sebagai Magna Charta bagi kebebasan pikiran yang diberikan oleh Sang Buddha. Sejalan dengan sikap rasional, Sang Buddha memberikan ajaran-Nya kepada dunia. Sehubungan dengan sikap rasional, dapat dipertanyakan, "Adakah tempat keyakinan dalam agama Buddha?"

Hal ini sering dipertanyakan oleh banyak orang, apakah agama Buddha adalah suatu agama? Jawabannya; jika yang dianggap suatu agama adalah kepercayaan pada eksistensi Tuhan dalam sosok pribadi, kebenaran akan suatu wahyu, dan kemujaraban sakramen atau dogma-dogma tertentu, maka dalam sudut pandang tersebut, agama Buddha bukanlah suatu agama. Namun, jika agama merupakan cara hidup luhur, sistem etika, disiplin spiritual, maka dalam sudut pandang yang lebih luas itu tentu saja agama Buddha merupakan suatu agama.

Hal yang sama dapat dikatakan mengenai keyakinan. Keyakinan sangat erat hubungannya dengan agama sehingga istilah keyakinan sendiri kadang dianggap sinonim dengan agama. Maka dapat dikatakan bahwa seperti halnya agama Buddha bukan dianggap agama dalam pengertian lain, demikian juga agama Buddha merupakan suatu keyakinan dalam suatu pengertian tetapi bukan merupakan keyakinan dalam pengertian lainnya. Dengan kata lain keyakinan mempunyai tempat dalam agama Buddha.

Pandangan agama Buddha memang sangat lain, umat Buddha diberi kebebasan untuk menyelidiki kebenaran yang akan dijadikan pedoman hidup. Bukan berarti dianjurkan untuk tidak percaya sama sekali dengan kebenaran yang ada tetapi lebih menekankan untuk melihat kebenaran secara obyektif sehingga hasilnya betul-betul membawa kemajuan batin bukan malah membawa kemerosotan. Dengan demikian kita menjadi lebih mantap mengikuti kebenaran itu dan tidak ada keragu-raguan lagi.

Keragu-raguan (Vicikicchâ) salah satu dari lima penghalang untuk mendapatkan pengertian yang terang tentang kesunyataan dan menjadi rintangan bagi kemajuan batiniah seseorang. Tetapi keragu-raguan bukan merupakan dosa, karena pada hakekatnya agama Buddha tidak mengenal dosa seperti yang dimaksud agama-agama lain. Menurut agama Buddha akar semua kejahatan ialah avijjâ (ketidaktahuan, kegelapan batin) dan micchâditthi (pandangan keliru).

Memang tidak dapat disangkal bahwa apabila masih ada keragu-raguan dan kebimbangan, tidaklah mungkin orang mendapatkan kemajuan. Tetapi tak dapat disangkal pula bahwa keragu-raguan itu justru diperlukan agar orang mau menyelidiki sesuatu untuk mendapatkan pengertian yang baik dan dapat melihat sesuatu dengan baik dan terang. Namun, untuk memperoleh kemajuan, mutlak diperlukan untuk menyingkirkan keragu-raguan sampai ke akarnya, sebab hanya dengan disingkirkannya keragu-raguan orang dapat melihat sesuatu persoalan dengan terang dan jelas.

Sebenarnya yang menjadi persoalan bukanlah apakah orang ragu-ragu atau percaya. Sebab dengan mengatakan, "Aku percaya" bukanlah berarti, bahwa kita sudah mengerti, atau sudah dapat melihat suatu persoalan dengan terang dan jelas. Untuk melihat kebenaran, pencari kebenaran seharusnya datang dan melihat dengan jelas kebenaran itu dan baru akan mendapatkan pemahaman tentang kebenaran .

Dalam Majjhima Nikâya 140, Dhatuvibhañga Sutta dibahas tentang bagaimana seseorang mencari kebenaran.

Pada suatu malam Sang Buddha bermalam di suatu pondok seorang pembuat guci tanah liat. Dalam pondok itu ada seorang pertapa muda bernama Pukkhusati yang telah lebih dulu datang ke tempat itu. Mereka tidak saling mengenal. Sang Buddha mengamat-amati pemuda itu dan berpikir, "Pertapa muda ini memiliki pembawaan yang menyenangkan sekali. Alangkah baiknya kalau Aku bicara satu dua patah kata dengan orang ini."

Sang Buddha kemudian bertanya, "Saudara-Ku, untuk apakah kamu meninggalkan rumahmu dan siapakah nama gurumu atau ajaran siapakah yang kamu anut?"

Pertapa muda itu menjawab, "Orang telah memberitahukan padaku tentang seorang pertapa bernama Gotama dari suku sakya yang menurut mereka telah mencapai kebijaksanaan sempurna. Beliau itulah yang membuat aku menjadi seorang pertapa dan Beliau juga yang menjadi Guruku dan aku menjunjung tinggi ajaran-Nya." "Tahukah Anda di mana Orang Bijaksana itu berada?"

"Aku dengar, bahwa Beliau sekarang berada di suatu tempat yang disebut Sâvatthi"

"Pernahkah Anda melihat Orang Bijaksana itu dan dapatkah Anda mengenal-Nya kalau sekiranya Anda bertemu dengan-Nya?"

"Sebenarnya aku belum pernah melihat Orang Bijaksana itu dan aku juga tidak dapat mengenalnya sekiranya aku bertemu dengannya."

Sang Buddha sekarang mengetahui bahwa pertapa muda itu sebenarnya menjadi pertapa karena menganut ajaran-Nya sendiri. Kemudian tanpa memperkenalkan diri, Sang Buddha lalu berkata "O, saudaraku, Aku akan memberimu suatu pelajaran. Dengar dan perhatikan baik-baik apa yang akan kukatakan."

"Baiklah, sahabat", jawab pertapa muda itu. Sesudah itu Sang Buddha menerangkan ajaran-Nya tentang Dhamma.

Akhirnya insaflah Pukkhusati bahwa orang yang sedang berbicara kepadanya adalah Sang Buddha sendiri. Lantas ia berdiri dan memberi hormat dengan berlutut di hadapan Sang Buddha sambil mohon ampun atas kekurangajarannya karena telah memanggil Sang Buddha dengan kata-kata 'sahabat', setelah itu ia juga memohon agar diterima sebagai murid. Namun, di tengah perjalanan untuk mencari perlengkapan menjadi bhikkhu, Pukkhusati diseruduk sapi dan akhirnya meninggal. Sang Buddha mengatakan bahwa Pukkhusati sudah mencapai tingkat Anagami.

Dari kisah ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ketika Pukkhusati mendengarkan Sang Buddha menguraikan ajaran-Nya, ia tidak tahu siapa sebenarnya yang bicara kepadanya atau ajaran siapa yang telah dibabarkan kepadanya. Ia hanya melihat kebenaran hakiki. Kalau obat itu baik tentunya dapat menyembuhkan orang sakit dan tidaklah perlu kita harus mengetahui siapa yang membuatnya atau dari mana obat itu datang.

Hampir semua agama didasarkan atas "percaya" yang sewaktu-waktu menjurus ke arah sifat "percaya" yang membuta. Tetapi agama Buddha justru menekankan pada "melihat", "mengetahui" dan "memahami" yang oleh sementara orang diterjemahkan menjadi "percaya".

Tetapi, "Saddhâ" bukanlah berarti "percaya" seperti yang lazim dipahami orang; ia berarti suatu "keyakinan" yang timbul dari suatu yang "nyata." Dalam agama Buddha memang harus diakui bahwa menurut pengertian umum, istilah "Saddhâ" juga mencakup pengertian "percaya" di dalamnya yang dimaksudkan sebagai "bakti" terhadap Tiratana; Buddha, Dhamma dan Sangha.

Sebenarnya pengertian Saddhâ itu sendiri seperti apa? Tidak mungkin bagi kita untuk hidup sesaat pun dengan apa yang bisa disebut keraguan universal. Ini tidak berarti kita harus memiliki keyakinan yang buta dalam suatu hal. Jika seorang murid tidak punya keyakinan terhadap gurunya, sulit baginya untuk menerima pelajaran dari guru itu. Oleh sebab itu, ia harus cukup pandai untuk membedakan mana guru yang baik dan mana guru yang tidak baik. Demikian juga, jika seseorang pasien tidak memiliki keyakinan terhadap dokternya,dia tidak dapat menerima manfaat pengobatan. Maka pasien itu harus cukup pandai untuk membedakan mana dokter yang asli dan mana dokter yang palsu.

Semangat menyelidiki ditekankan sekali dalam agama Buddha, sehingga kita mendapatkan sesuatu yang betul-betul baik. Jika mudah percaya begitu saja tidak membawa kemajuan bahkan nanti menjadikan batin diri kita merosot. Karena itu Sang Buddha menasihati kita untuk tidak menjadi korban skeptisisme atau mudah percaya. Kita harus tetap mempertahankan pikiran menyelidik untuk mencari kebenaran. Beliau mengajarkan kita untuk mengembangkan Pariyesanâ atau semangat menyelidik, dan pencaharian Beliau mencari kebenaran disebut Aryapariyesanâ atau Pencaharian Yang Agung. Untuk hal ini kita harus memiliki keyakinan yang merupakan keyakinan yang rasional, bukan keyakinan buta. Keyakinanlah yang memberikan kita dorongan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan yang kita canangkan.

Dalam bahasa Pâli, apa yang disebut keyakinan buta dikenal sebagai Okappana Saddhâ. Ini merupakan keyakinan orang biasa yang terbentuk dari desas-desus atau dari rasa hormat terhadap suatu tradisi yang sudah lama dihargai. Ini merupakan keyakinan profesional yang dihubungkan dengan kepercayaan semata. Sebaliknya, keyakinan rasional terlahir dari penghargaan, atau Pasaddha dalam bahasa Pâlinya. Ketika kita mengetahui nilai suatu hal, kita menghargainya. Maka dengan sendirinya keyakinan muncul.

Ada dua sifat utama dari keyakinan yang rasional. Salah satunya adalah Sampahansannalakkhana atau sifat ketenangan. Sesuai dengan kekuatan keyakinan itu, gangguan mental mereda dan ketenangan dicapai. Sifat lainnya adalah Sampakhanadalakkhana yang berarti melompat ke atas atau beraspirasi untuk mencapai apa yang belum dicapai. Hanya jika pikiran dalam keadaan seperti inilah energi dapat dilepaskan dan usaha dapat dikerahkan untuk mencapai apa yang belum dicapai sejauh ini. Jadi penting sekali memiliki Saddhâ atau keyakinan semacam ini di dalam agama Buddha.


Menurut Asañga, seorang pujanga Buddhis yang terkemuka pada abad ke-4 Masehi, "Saddhâ" mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Keyakinan yang kuat akan sesuatu
2. Kegembiraan yang dalam akan sifat-sifat yang baik
3. Harapan untuk memperoleh sesuatu di kemudian hari

Dapat disimpulkan dari tiga unsur Saddhâ di atas pengertian "percaya" tidak ada. Persoalan "percaya" akan timbul apabila kita tidak dapat melihat sesuatu dengan jelas dan terang, jika kita dapat melihat sesuatu dengan jelas dan terang maka "percaya " itu tidak ada lagi. Seorang siswa Sang Buddha bernama Musila pernah berkata kepada seorang bhikkhu lain, "Saudara Savitha, tanpa bakti atau percaya, tanpa suka atau melekat, tanpa hanya dapat mendengar dari orang lain atau tradisi, tanpa mempertimbangkan sebab-sebab yang nyata, tanpa kegembiraan dalam menerka-nerka pendapat, aku tahu dan melihat bahwa Nibbâna itu akhir dari lingkaran tumimbal lahir."

Sang Buddha pernah bersabda, "O, bhikkhu, telah Aku katakan bahwa pemusnahan kekotoran batin dan noda-noda hanya dapat dilakukan oleh orang yang 'tahu' dan 'dapat melihat' dan bukan oleh orang yang 'tidak tahu' dan 'tidak dapat melihat'. Persoalannya selalu adalah 'tahu' dan 'melihat' dan bukan 'percaya'. " Ajaran Sang Buddha juga dikenal sebagai Ehipassiko, yaitu mengundang untuk "datang dan melihat" dan bukan untuk "datang dan percaya."

Jadi jelas usaha untuk pemahaman dan penghayatan adalah proses-proses yang dengan sendirinya memakan waktu. Fakta harus dikumpulkan, disusun secara benar, dipertimbangkan dan mungkin ditata kembali secara teliti untuk menjadi fakta baru, yang tentunya tidak dengan cara tergesa-gesa. Kadang-kadang orang tertentu ingin mengalihkan keagamaan kita, mencoba secepatnya agar kita dapat menerima ajaran agamanya tanpa penelitian mendalam dan pemikiran terlebih dahulu. Mereka melakukan karena gairah yang berlebihan dan keyakinan mereka, tapi juga karena mereka berharap dapat mengalahkan kesetiaan pada keyakinan kita, sebelum kita sempat menemukan semua fakta, fakta yang diperkirakan menjadi kelemahan dari agamanya sendiri. Bagaimanapun juga, membuat keputusan secara terburu-buru adalah suatu kesalahan. Sang Buddha dalam riwayat hidupnya tidak pernah mendesak orang untuk secepatnya menerima ajaran-Nya. Beliau malahan menganjurkan untuk tidak tergesa-gesa menerima ajaran-Nya, Beliau berpendapat bahwa jika seseorang yang dihadapi-Nya menerima Dhamma hanya karena gairah berlebihan, bukan didasarkan pada pemikiran yang matang. Sekali waktu, setelah diskusi yang lama, seorang tokoh yang bernama Upali berharap agar dapat diterima menjadi siswa oleh Sang Buddha, tetapi justru sang Buddha berkata kepadanya, "Upali, telitilah secara mendalam terlebih dahulu. Penelitian yang mendalam sangat baik bagi orang terkenal seperti dirimu."

Sewaktu-waktu dalam kehidupan Sang Buddha, ada kelompok bhikkhu yang mulai mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan Dhamma. Umat awam dan siswa-siswa menjadi bingung, dan ketika mereka mempertanyakan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau memberikan jawaban yang sekaligus menunjukkan keyakinan-Nya. Akhirnya umat awam dan siswa-siswa dapat memahaminya. Beliau berkata kepada mereka, "Hendaknya engkau mendengarkan 'Dhamma' dari dua belah pihak, simaklah 'Dhamma' dari kedua belah pihak; lalu pilihlah pandangan, pihak ajakan dan ajaran dari Dhamma dari dia yang benar mengucapkan Dhamma"

Beliau tidak menekankan "siapa yang harus dipercaya", tetapi Beliau menyarankan agar mereka mendengarkan dulu kedua pendangan yang berbeda itu, mempertimbangkannya secara hati-hati dan terakhir baru menarik kesimpulan sendiri. Demikian pula hendaknya, kita dalam mencari kebenaran.

Walaupun kita telah berhasil membentuk keyakinan kita, namun sangatlah penting, bahwa kita meyakininya dengan luwes, dengan cara membiarkan pikiran kita tetap terbuka. Banyak orang berpendapat bahwa mereka baru dapat membuktikan keyakinan pada agama sendiri, dengan cara mempertahankan keyakinan sendiri secara dogmatis dan menolak untuk mendengarkan pandangan yang lain. Dari pandangan Buddhis, pendapat ini adalah salah. Sebab setelah menerima ajaran tertentu, mereka tidak dapat lagi mempelajari sesuatu yang baru, mereka hanya melihat kepercayaannya dari sudut pandangan mereka sendiri, atau memperoleh nilai-nilai wawasan yang rendah melalui tafsiran-tafsiran belaka. Alhasil, dalam usaha mencari kebenaran, mereka sering kali terlibat pertengkaran-pertengkaran kecil dengan yang lainnya. Sang Buddha menceritakan suatu perumpamaan yang sangat menarik untuk melukiskan masalah ini:

Pada suatu saat, ada seorang raja di Savatthi. Dia memanggil pengawalnya dan berkata, "Ke sini pengawalku yang baik, pergi dan kumpulkanlah mereka yang buta sejak lahir di Savatthi ini, pada satu tempat." "Baik, tuanku," sahut pengawalnya, lalu dia melaksanakan titah rajanya. Setelah selesai dikumpulkan, raja berseru lagi kepadanya. "Sekarang, pengawalku yang baik, tunjukkan orang-orang buta ini seekor gajah."

"Baik, tuanku", kata pengawalnya, lalu melaksanakan lagi titah rajanya.

Dia mendekatkan salah satu dari orang-orang buta itu di kepala gajah, seorang di telinganya, seorang di gadingnya, seorang di belalainya, seorang di kakinya, seorang di punggungnya, dan seorang lagi di ekornya. Lalu pengawalnya berseru, "Wahai, orang-orang buta, inilah yang disebut gajah." Setelah itu, sang pengawal menghadap raja kembali dan berkata, "Tuanku, gajah telah ditunjukkan kepada semua orang buta sesuai titah baginda."

"Sang raja kemudian menghampiri orang-orang buta tersebut dan berkata, "Wahai, orang-orang buta, sudahkah engkau tahu bagaimana gajah itu?" "Ya, tuanku, kita telah mengetahuinya," kata mereka. "Bila demikian, bagaimana yang disebut gajah. "Orang buta yang memegang kepala gajah berkata, "Gajah menyerupai tempayan." Yang memegang telinga berkata, "Gajah menyerupai kipas." Demikian seterusnya, mereka mengatakan gading seperti ujung bajak, belalai seperti pegangan bajak, badan gajah seperti lumbung padi, kaki seperti tiang, bokong seperti lesung dan ekor seperti alunya. Mereka mulai bertengkar, berteriak, "Ya, begitu!" Mereka kemudian berkelahi, dan raja malah menikmati apa yang dilihatnya.

Makna dari perumpamaan ini sangatlah jelas. Mereka yang menarik kesimpulan dengan tergesa-gesa, tanpa menelitinya dari segala sudut, adalah sama halnya mendapat sebagian sudut pandang dari suatu kebenaran, dan bila dia menutup mata batinnya dan tergantung pada pandangannya saja secara dogmatis, kecil kemungkinan mereka untuk mengerti sesuatu secara lengkap.

Pandangan atau pendapat tentang kebenaran tak ubahnya sebuah bayangan cermin seseorang. Pandangan atau pendapat itu bayangan cerminnya sedangkan kebenaran adalah orang itu sendiri. Pandangan mewakili kenyataan, namun bukanlah kenyataan itu sendiri. Bila kita senatiasa mengingat ini dalam batin, pandangan dapat menunjukan kita ke arah kebenaran, dan bila kita tetap berusaha maju, kita akan secara bertahap melepaskan pandangan itu dan mengantikannya dengan penghayatan langsung.

Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa agama Buddha lebih menekankan "datang untuk melihat" daripada sekedar "datang dan percaya." Menguji sebuah kebenaran akan mendapatkan keyakinan yang mantap karena berdasarkan pengertian atau pemahaman langsung. Keyakinan seperti inilah yang banyak membawa manfaat bagi kemajuan batin kita. Sebaliknya kalau kita hanya sekedar mempercayai sesuatu tanpa berdasarkan pengalaman langsung maka justru akan membuat keyakinan kita membuta sehingga akan berpendapat keyakinan lain yang tidak sama adalah tidak benar. Hal seperti inilah yang nantinya akan menimbulkan konflik.

Dalam agama Buddha, Saddhâ merupakan suatu indriya dan bala (kekuatan). Sebagai suatu indriya, Saddhâ ada pada setiap orang normal, paling tidak dalam bentuk yang tidak aktif. Sama seperti sifat luhur yang lain, Saddhâ harus dikembangkan. Jika telah dikembangkan, Saddhâ akan menjadi kekuatan. Terutama Saddha, terasa manfaatnya dalam tahap-tahap kehidupan spiritual yang lebih tinggi. Kita seharusnya demikian dalam mencari kebenaran, bukan hanya sekedar "datang dan percaya" tetapi seharusnya kita "datang dan melihat". Dengan penyelidikan inilah kita akan mendapatkan Saddha yang kuat dan tidak membuta, tetapi dilandasi dengan pemahaman langsung.


Sumber:

Dhammasari, MP. Sumedha Widyadharma
Dasar Pandangan Agama Buddha, Ven. S. Dhammika
Pengabdian Tiada Henti, Sañgha Theravâda Indonesia

---artikel yg diambil dari saudara Singthung----


Quote
Sorry, mau quote malah ke modify

66
Theravada / Ucapan Benar, Bermanfaat, dan Menyenangkan
« on: 19 June 2009, 12:09:32 AM »
Ucapan Benar, Bermanfaat, dan Menyenangkan


Hendaklah orang selalu menjaga rangsangan ucapannya, hendaklah ia mengendalikan ucapannya. Setelah menghentikan perbuatan-perbuatan jahat melalui ucapan, hendaklah ia giat melakukan perbuatan-perbuatan baik melalui ucapan. [Dhammapada 232]


Sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat, kita dituntut untuk menjaga tiga pintu perbuatan kita sendiri, yaitu pikiran, ucapan dan badan jasmani. Ketiga pintu perbuatan ini memang harus kita jaga setiap saat. Bisakah kita melakukan hal ini? Sebisa mungkin kita harus melakukan sehubungan dengan adanya relasi-relasi yang banyak antarsesama di sekitar kita.

Kita memang mengetahui bahwa pengucapan sebuah kata membawa pengaruh yang sangat kuat terhadap si pendengar di sekitar kita. Untuk itu marilah kita simak penjabaran secara rinci di bawah ini.

Ucapan benar itu dalam penyampaiannya tidak berarti secara terbuka penuh.

Dalam Abhayarajakumara Sutta, Majjhima Nikaya 58, Sang Buddha menunjukkan faktor-faktor yang turut menentukan suatu ucapan patut dan tidak patut dikemukakan. Faktor-faktor yang utama adalah: 1. Apakah pernyataan itu benar atau salah, 2. Apakah pernyataan itu bermanfaat atau tidak, 3. Apakah pernyataan itu dikehendaki/ disetujui oleh orang-orang lain atau tidak. Sang Buddha sendiri akan mengemukakan hal-hal yang benar dan bermanfaat, dan mengetahui saatnya yang tepat, sesuatu yang menyenangkan dan sesuatu yang tidak menyenangkan pun patut dikemukakan.

Diceritakan bahwa pada suatu saat, seorang bayi yang masih kecil sedang berbaring telungkup di pangkuan Pangeran Abhaya. Sang Buddha berkata kepada Pangeran Abhaya, “Bagaimana pendapatmu Pangeran? Karena kelalaianmu atau pun kelalaian perawat, kalau saja anak yang masih kecil itu memasukkan sebatang kayu atau sebutir batu ke dalam mulutnya sendiri, apa yang akan engkau lakukan terhadapnya?”

“Saya akan mengeluarkan kayu atau batu itu, Bhante. Jika saya tidak bisa mengeluarkannya, saya akan memegang kepalanya dengan tangan kiri saya dan membengkokkan jari tangan kanan saya, saya akan mengeluarkannya meskipun harus berdarah. Mengapa demikian? Karena saya memiliki welas kasih kepada anak itu.” Sang Buddha berkata: ‘Demikian juga Pangeran:

[1] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.

[2] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.

[3] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, berhubungan dengan tujuan, tetapi tidak dikehendaki dan tidak menyenangkan orang-orang lain, Tathagata mengetahui saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.

[4] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai bukan fakta, tidak benar, tidak berhubungan dengan tujuan, tetapi dikehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.

[5] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, tidak berhubungan dengam tujuan, tetapi dikehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata tidak mengemukakan ucapan-ucapan itu.

[6] Ucapan yang diketahui oleh Tathagata sebagai fakta, benar, berhubungan dengan tujuan, dan dikehendaki dan menyenangkan orang-orang lain, Tathagata mengetahui saat yang tepat untuk mengemukakan ucapan-ucapan itu.

Mengapa demikian? Karena Tathagata memiliki welas kasih kepada semua makhluk hidup.” (MN 58 )

Dalam Suta Sutta, Gradual Sayings (Anguttara Nikaya II. 179 ) diceritakan bahwa Brahmana Vassakara berkata kepada Sang Buddha, demikian: “Saya berpandangan, saya berpendapat bahwa, ketika seseorang berbicara hal-hal yang telah dilihat, dengan mengatakan, ‘Demikian telah saya lihat’, tidak ada salahnya hal semacam itu. Ketika seseorang berbicara hal-hal yang telah didengar, dengan mengatakan, ‘Demikian telah saya dengar’, tidak ada salahnya hal semacam itu. Ketika seseorang berbicara hal-hal yang telah diketahui, dengan mengatakan, ‘Demikian telah saya ketahui’, tidak ada salahnya hal semacam itu.”

Sang Buddha menanggapi pernyataan Brahmana Vassakara tersebut: “Saya tidak mengatakan, Brahmana, bahwa hal-hal yang telah dilihat…, hal-hal yang telah didengar…, hal-hal yang telah diketahui patut dikemukakan. Tetapi bukan berarti hal-hal yang telah dilihat, telah didengar, telah diketahui tidak patut dikemukakan.”

“Apabila seseorang mengemukakan hal-hal yang telah didengar, hal-hal yang telah dilihat, hal-hal yang telah diketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkembang dan kualitas batin yang baik merosot, maka hal semacam itu tidak patut dikemukakan. Akan tetapi, apabila seseorang mengemukakan hal-hal yang telah diketahui, mengakibatkan kualitas batin yang buruk berkurang dan kualitas batin yang baik berkembang, maka hal semacam itu patut dikemukakan.”

“Apabila, seseorang mengemukakan hal-hal yang telah dilihat, mengakibatkan kwalitas batin yang tidak baik berkembang dan kwalitas batin yang baik merosot, maka hal semacam itu tidak patut dikemukakan.” (AN 4.183)

Dalam menyampaikan segala sesuatu melalui ucapan apalagi mengenai Dhamma, memang ada cara-cara yang harus diketahui dengan baik, dan menggunakannya secara baik dan benar pula. Dalam menanggapi atau menjawab suatu pertanyaan pun kita harus berusaha memberikan jawaban yang sesuai. Dalam Pañha Sutta, Gradual Sayings (Anguttara Nikâya II. 53-54), Sang Buddha mengajarkan bagaimana cara menjawab suatu pertanyaan (AN 4.42).

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tentu harus dimengerti terlebih dahulu, baru memikirkan dan merancang jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. Dalam Pañha Sutta tersebut, dikatakan ada empat cara menjawab pertanyaan-pertanyaan, yaitu: 1]. Ada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab secara langsung dan singkat (misalnya: iya / tidak); 2]. Ada jenis pertanyaan yang harus dijawab secara analisis (mendefinisikan sebanyak mungkin dalam penjelasan dengan berbagai contoh); 3]. Ada jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan sebuah pertanyaan balik sebagai jawabannya; 4]. Ada pula jenis pertanyaan yang harus dijawab dengan diam/ tidak perlu dijawab.”

Siapa pun yang mengetahui hal tersebut dengan benar menghubungkan dengan Dhamma, maka ia dikatakan mahir dalam empat tipe pertanyaan tersebut. Sulit untuk mengalahkannya. Ia mengetahui hal-hal yang sesuai dan yang tidak sesuai, sehingga menolak hal-hal yang tidak memiliki makna dan menguasai hal-hal yang memiliki makna.

Menurut ayat Dhammapada tersebut di atas, tentu usaha dan perjuangan kita sendiri kuncinya. Berusaha dan berjuanglah. Sukses!

Sumber:

http://www.accesstoinsight.org/canon/sutta

Oleh Bhikkhu Cittagutto Thera
artikel yg saya ambil dari postingan saudara singthung.


-------------------------------------------------
btw saudara kaiyin saya cari-cari percakapan dengan pangeran ajatasattu tidak dapat-dapat....
ternyata dengan pangeran abhaya.

salam metta.

67
Theravada / [req] dhamma
« on: 17 June 2009, 06:25:01 PM »
dikatakan dalam sutta ada beberapa faktor pemicu menjadi pemenang arus ( sotapanna )

1.bergaul dengan orang tepat...
2.
3.


selanjut nya apa yah, soalnya lupa-lupa-lupa lagi syairnya...  ;D

 _/\_
metta




68
Kesehatan / alergi tradisional untuk alergi
« on: 14 June 2009, 12:16:25 AM »
bagaimana cara menghilangkan alergi gatal-gatal..
sejak lahir sampai sekarang belum pernah saya alergi gatal-gatal, semenjak panas di tahun 2009 bulan 3 sampai sekarang ga bisa hilang,
kalau makan obat seperti insidal paling tahan 3 hari. jadi 1 kapsul = 3 hari.
makan obat dokter 1 kapsul = 1 minggu...
tapi kalau obat dokter habis, waduh tunggu saja 1 bulan kemudian, timbul lagi...

takut-nya jadi kebal obat, apa resep tradisional alergi yg ampuh gitu?
btw, minggu lalu saya jalan-jalan ke sulteng, udara nya sejuk dan agak dingin, eh justru  alergi nya tidak muncul.....paling kalau alergi-nya muncul  dalam 1 minggu ada 1-2 kali saja..
tiba di kota, waduh panas polusi....1 hari muncul terussss.... T_T

apa karena pengaruh cuaca? dokter sih bilang bisa saja.......

69
Mahayana / Prilaku Buddha yang menyimpang?????
« on: 06 June 2009, 07:23:18 PM »
saya adalah emansipasi dari buddha loh....tapi nanti cari istri kemudian cari uang,pergi ke clubing,dsb-nya...
apakah itu masuk akal?

sama seperti anda mengatakan Siddharta adalah emansipasi,tapi kok hidup nya cari istri, kemudian butuh guru untuk di-ajarin meditasi?
tolong jangan langsung lihat dari sisi setelah mencapai.
cobalah lihat sebelum mencapai pencerahan di bawah pohon bodhi,bagaimana kehidupan Siddharta apakah seperti orang tercerahkan atau tidak...

jujur saja ini tambah aneh dan membingungkan.



Kalo tanpa melewati tahap2 seperti itu, bagaimana bisa meyakinkan para siswanya bahwa kita harus berlatih bertahap? 
Jadi walaupun merupakan manusia agung yg telah bisa mencapai level tinggi, pertunjukkan sebagai manusia biasa diperlukan utk menyadarkan orang bahwa kita harus berlatih melalui tahapan tahapan.
Kalo tanpa mempertunjukkan Siddharta melewati tahap awam lalu berlatih dan mencapai Kebuddhaan, apakah orang mau percaya dia telah merealisasi Pencerahan Sempurna?

saudara chingik,
jadi anda membenarkan buddha melakukan HUBUNGAN INTIM demi menyadarkan makhluk lain?
apa buddha begitu tidak menemukan "CARA" lain? bahkan sampai menjilat ludah sendiri melanggar aturan vinaya yang ditetapkannya.

ya,ajak teman anda mungkin bisa menambah wawasan kita disini.

salam metta.

70
Meditasi / [theravada]interview saya dengan seorang bhante.
« on: 24 May 2009, 12:19:20 AM »
bhante ini orang thailand dan telah lama bermasa-vassa di USA.
umur vassanya kalau tidak salah 35++ tahun lebih.
kurang lebih begini,

T:bhante, apakah yang terpenting dari mempelajari meditasi?
bhante : pertama anda belajar basic yang paling mudah, dengan menghirup nafas masuk katakan "budd" dan nafas keluar ucapakan "dho"
( mirip dengan metode acharn mun )
jangan lupa laksanakan panca-sila...


T:bhante, hanya itu?
bhante : mungkin jika bukan seorang buddhism, bisa memakai metode hitung nafas masuk hitung 1, nafas keluar hitung 1. berikut nya 2 sampai 10 ulangi lagi dari 1.
jangan lupa,pancarkan metta, karena semua mahkluk ingin bahagia termasuk kita, jadi bahagiakan diri anda dan pancarkanlah metta.
yg cukup penting adalah meditasi lah setiap malam sebelum tidur, dan selesai meditasi renungkan hari ini apa-apa saja yang anda lakukan.
setelah itu tidurlah, lepaskan semua keinginan anda lalu tidur.

T:pikiran ini masih begitu sulit di kendalikan, apakah bhante punya pengalaman dengan mengatasi-nya?
bhante : pikiran memang begitu sulit, suka loncat-loncat seperti monyet..saya juga sama, ingat tidak ada seseorang yg awam langsung perfect!!!
pastilah ada salah-nya.
kadang jika pikiran telah lari dan sangat sukar, cobalah tahan terus nafas anda, mungkin ketika anda berpikir saya akan mati jika tidak bernafas, barulah pikiran itu kembali jinak.
atau tidak, selalu lah renungkan "what i'm doing now"

T:bhante,saya melihat begitu banyak pratice meditasi ada dari aliran mahayana ada juga dari aliran theravada....manakah yang benar?
bhante : tidak perlu kamu memikirkan itu, kami para bikkhu hanya akan mempratekkan 8 jalan mulia, dan begitu juga mahayana.
saya makan 1 hari sekali, tetapi mahayana tidak, itu bukanlah masalah
tetapi siapa pun yang akan mempratekkan 8 jalan mulia, maka disitu akan ada buah pencapaian.
anda hanya perlu pratek meditasi,dan jangan pikirkan mana betul mana salah, buku atau diskusi tidak akan membantu banyak.
ketika latihan meditasi anda baik, maka anda tahu sendiri.

T:bhante, menurut mahayana kalau seorang buddha pasti akan terlahir kembali, bagaimana menurut bhante.
bhante: sesudah buddha parinibbana, buddha tidak mungkin terlahir kembali, jika mahayana berkata demikian, maka saya tidak percaya.

T:jadi menurut bhante mahayana itu salah?
bhante : kamu tidak usah bertanya demikian, yang jelas ketika kamu sudah mempratekkan meditasi, hal itu tidak akan kamu tanya lagi pada saya.

T:bhante,apakah yang dirasakan ketika seseorang mencapai sotapanna, atau sakadagami atau anagami atau arahat.
Bhante: ini pertanyaan gila, ketika anda berumur 8 tahun, dan anda bertanya bagaimana jika saya menjadi sarjana, atau menjadi ini atau itu...
itu hanya pikiran masa depan....tetap lah fokus pada "saat ini"

T:menurut bhante, apakah inti dari meditasi yang diajarkan buddha dhamma?
Bhante : hanya ada 2 hal penting, kesadaran dan kesabaran.
maka kemajuan anda akan meningkat.
bangunlah pagi-pagi, dan berjalanlah sambil meditasi, bukankah sangbuddha mengajarkan 4 postur/sikap badan meditasi.
jadi ketika anda jalan, mata melihat jalan, tetapi pikiran tetap sadar "what i'm doing now" yakni meditasi.
jangan biarkan pikiran berpetualang
jangan terlalu mempercayai buku, jangan terlalu banyak membaca sutta saja. tetapi pratekkan langsung meditasi, dan pratekkan 2 hal itu.

T:bhante, banyak metode yang dibuku satu bilang begini yang satu begitu...yg manakah benar?
bhante : jangan terlalu banyak membaca, pratekkan langsung saja maka kamu akan tahu.

T:bhante, sy melihat banyak bikkhu membuat semacam amulet, apakah maksud dari itu?
bhante : ini pertanyaan tidak penting, sebaiknya kamu tidak usah berpikir sejauh itu, pratekkan meditasi.
amulet apapun tidak akan membawa pada kesadaran dan kesabaran. itu tidak akan membantu.


-------------------------------------------------------------------------------------------------
saya banyak berbicara kepada bhante tetapi inilah hal-hal penting.

bhante selalu menekankan pratekk panca-sila dan meditasi....kesadaran dan kesabaran
oh yah...

bhante : apakah kamu punya pacar?
saya: tidak bhante.

bhante : "hati-hatilah terhadap wanita, wanita memiliki power yg kuat,  cantik, mulut manis, cerewet dan bahaya.
ketika anda tidak memahami dan melekat nya begitu kuat, meditasi anda tidak akan berjalan baik.
dan jadilah anak yang berbakti pada orang tua. bukan cerewet pada orang tua."

ini bukan diskriminasi, melainkan ada yang salah pada lelaki. ^^

salam metta.

71
Sutta Vinaya / Visuddhi magga versi milinda
« on: 20 May 2009, 11:31:57 AM »
Bhante Nagasena, apa sifat-sifat yang harus dimiliki seorang
bhikkhu agar dapat mencapai tingkat Arahat?"
1. Keledai
"Seperti halnya, O Baginda, seekor keledai, di mana pun ia berbaring ia tidak akan beristirahat lama; demikian juga seorang bhikkhu yang berniat mencapai tingkat Arahat tidak akan beristirahat lama."

2. Ayam
"Seperti halnya seekor ayam yang bertengger pada saat yang tepat; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu dengan cepat melaksanakan tugas-tugasnya setelah berpindapatta dan pergi ke tempat yang sunyi untuk bermeditasi.
"Seperti seekor ayam yang bangun pagi; demikian juga seorang bhikkhu harus bangun pagi.
"Seperti seekor ayam yang terus-menerus mengais tanah mencari makan; demikian juga seorang bhikkhu harus terus menerus merenungkan makanan yang dimakannya dengan mengingat: 'Saya makan bukan untuk kenikmatandan bukan
untuk keindahan melainkan hanya untuk meredakan sakit karena
rasa lapar dan memungkinkan diri ini menjalani kehidupan suci. Dengan demikian saya menghentikan penderitaan'.
"Seperti ayam yang meskipun mempunyai mata namun buta pada waktu malam; demikian juga seorang bhikkhu menjadi seolah-olah buta ketika sedang bermeditasi, tidak memperhatikan objek indra yang mungkin akan mengganggu konsentrasinya. "Dan seperti ayam yang meskipun diusir dengan tongkat dan batu tidak akan meninggalkan tempatnya bertengger; demikian juga seorang bhikkhu tidak meninggalkan perhatiannya walaupun dia sedang sibuk membuat
jubah, membangun, mengajar, mempelajari kitab suci, atau apa pun.

4. Panther betina
"Seperti seekor panther betina yang begitu hamil tidak berpaling lagi kepada yang  jantan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu. Setelah melihat penderitaan yang menjadi sifat kelahiran, seorang bhikkhu memutuskan untuk
tidak memasuki kelahiran yang mana pun di masa yang akan datang. Hal ini telah dikatakan oleh Sang Buddha, O Baginda raja, dalam Dhaniya Sutta di
Sutta Nipata:
      'Setelah mematahkan belenggu-belenggu seperti banteng, dan seperti gajah yang telah mematahkan tanaman-tanaman jalar, maka tidak akan ada lagi kelahiran bagiku. Jadi, curahkan hujan, O awan, semaumu!'
(Sn.v. 29)

7. Pohon Bambu
"Seperti pohon bambu yang berayun ke mana angin bertiup; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu, fleksibel dan menyesuaikan diri pada Ajaran.

10. Monyet
"Seperti seekor monyet yang tinggal di pohon besar yang rindang, tertutup rapat oleh dahannya; demikian juga seorang bhikkhu harus tinggal dengan guru yang terpelajar, yang patut dihormati dan mampu membimbingnya.

12. Teratai
"Seperti teratai yang tidak ternoda oleh air di mana ia dilahirkan dan bertumbuh; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak ternoda oleh sokongan, persembahan dan penghormatan umatnya. "Seperti teratai yang berada jauh di atas air; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berada jauh di atas keduniawian. "Dan seperti teratai yang bergetar terkena hembusan angin sepoi; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu gemetar walaupun hanya berpikir ingin
melakukun suatu yang jahat, karena melihat adanya bahaya dalam
kesalahan yang paling kecil pun.

20. Samudera
"Seperti samudera yang melemparkan mayat ke pantai; demikian juga seorang bhikkhu harus menyingkirkan kekotoran batin dari pikirannya. "Seperti samudera yang meskipun menyimpan banyak kekayaan tidak akan
mengangkatnya ke atas; demikiun juga seorang bhikkhu harus memiliki permata pencapaian tetapi tidak memamerkannya.
"Seperti samudera yang berhubungan dengun makhluk-makhluk yang besar; begitu
juga seharusnya seorang bhikkhu berhubungan dengan murid-murid yang hanya mempunyai sedikit keinginan, yang berbudi luhur, terpelajar dan bijaksana. "Seperti samudera yang tidak membanjiri pantainya; demikian juga seharusnya
seorang bhikkhu tidak pemah melanggar sila sekalipun demi kehidupannya. "Dan seperti samudera yang tidak penuh meskipun semua sungai
mengalir ke dalamnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak pernah bosan mendengarkan Ajaran dan instruksi Dhamma, Vinaya, dan Abhidhamma.


21. Bumi
"Seperti bumi yang besar yang tidak tergoyahkan oleh barang-barang, yang baik maupun yang busuk, yang dilemparkan kepadanya; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tetap tidak tergoyahkan bila dipuji atau dicaci, didukung atau diabaikan. "Seperti bumi yang besar yang tidak berhias tetapi mempunyai aroma sendiri; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak dihiasi oleh parfum tetapi memiliki keharuman nilai-nilai kemoralannya.
"Seperti bumi yang tidak pernah lelah menyangga beban yang sangat banyak;
demikian juga seorang bhikkhu tidak boleh lelah memberikan petunjuk, peringatan dan dorongan.
"Dan seperti bumi yang besar yang tidak mempunyai rasa benci atau rasa suka;
demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak mempunyai kebencian dan kesukaan.


22. Air
"Seperti air yang secara alami tetap tenang; demikian juga seorang bhikkhu memiliki sifat tidak munafik, tidak suka berkeluh-kesah, tidak berbicara dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, tidak berperilaku yang tercela, tetap tenang tak terganggu dan murni secara alami. "Seperti air yang selalu menyegarkan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu penuh dengun welas asih, selalu mencari yang baik dan bermanfaat
bagi semuanya. "Dan seperti air yang tidak pemah mencelakakan siapa pun;
demikian juga seorang bhikkhu bersungguh-sungguh berusaha, tidak pernah
melakukan kesalahan yang menyebabkan pertengkaran atau perselisihan,
kemarahan atau ketidakpuasan. Hal ini telah dikatakan oleh Sang Buddha dalam
Kanha Jataka:
     'O Sakka, raja seluruh dunia, sebuah pilihan kau nyatakan:
     Tidak seharusnya ada makhluk yang dilukai untukku,
     'O Sakka, di manapun, tidak di tubuh tidak pula di
pikiran:
     ini, Sakka, adalah doaku.' (Ja. iv. 14.PTS trnsl)


27. Bulan
"Seperti bulan yang berubah semakin besar dari hari ke hari; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya meningkatkan
sifat-sifatnya yang baik dari hari ke hari.

30. Raja semesta
"Seperti halnya raja semesta yang disenangi rakyatnya karena empat dasar
ketenaran yaitu kemurahan hati, keramah-tamahan, keadilan dan
sifatnya yang tidak memihak; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu yang disenangi oleh
para bhikkhu dan umat awam.
"Seperti raja semesta yang tidak mengijinkan para perampok berdiam di
alamnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak mengijinkan pikiran yang jahat, yang bernafsu atau yang kejam berdiam di dalam pikirannya. "Dan seperti raja semesta yang berkelana ke seluruh dunia
memeriksa yang baik dan jahat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memeriksa dirinya
dengan seksama dalam pikiran, perkataan dan perbuatannya.

40. Gajah.
"Seperti seekor gajah yang memutar seluruh tubuhnya ketika memandang sekelilingnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memutar tubuhnya
ketika memandang sekelilingnya. Tidak melihat ke sana sini melainkan mengendalikan matanya dengan baik.
"Seperti gajah yang mengangkat kakinya dan melangkah dengan hati-hati; demikian juga seorang bhikkhu harus selalu waspada dan sepenuhnya menyadari gerak jalannya.

46. Bangau India
"Seperti bangau India yang dengan jeritannya memperingatkan orang akan nasib mereka yang akan datang; demikian juga seorang bhikkhu harus
memperingatkan orang akan nasib mereka di masa mendatang dengan Ajaran Dhammanya.

47. Kelelawar
"Seperti kelelawar yang meskipun terkadang memasuki rumah orang dengan segera akan pergi; demikian juga seorang bhikkhu, meskipun dia memasuki rumah orang untuk berpindapatta, segera dia akan pergi.
"Dan seperti kelelawar yang tidak merugikan bila mengunjungi rumah
seseorang; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu. Ketika mengunjungi rumah orang dia tidak merugikan karena mudah dilayani dan penuh tenggang rasa melihat kesejahteraan mereka.

48. Lintah
"Seperti lintah yang menghisap sampai kenyang sebelum melepas; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu teguh kukuh dalam objek meditasinya dan menghirup sepuasnya nektar kebebasan yang lezat.

50. Ular batu
"Seperti ular batu yang dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa
makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya dapat terus
bertahan meskipun dia hanya menerima sedikit makanan. Hal ini telah dikatakan oleh
       Bhante Sariputta:
'Tak peduli makanan basah atau kering yang dia santap, tidak
pernah dia membiarkan dirinya makan kekenyangan. Pertapa yang baik
meninggalkan keduniawian dalam kekosongan, dan tetap makan secukupnya saja.
Jika dia hanya mendapat empat atau lima suap, biarlah dia minum air. Hal
itu bukan masalah bagi orang yang pikirannya tertuju ke tingkat
Arahat dan mencari ketenteraman.' (Thag. vv .982,983)


60. Tukang kayu
"Seperti tukang kayu yang membuang bagian kayu yang empuk dan hanya menggunakan bagian kerasnya saja; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya membuang pandangan-pandangan salah seperti misalnya keabadian,
kenihilan, jiwa adalah tubuh, jiwa adalah satu hal sedangkan tubuh adalah
hal lain, semua ajaran sama baiknya, yang tidak terkondisi merupakan ketidak-mungkinan, tindakan manusia tidak ada gunanya, tidak ada kehidupan suci, ketika satu makhluk mati maka lahirlah satu makhluk yang
baru, hal-hal yang terkondisi secara abadi ada, seseorang yang bertindak akan langsung
mengalami hasil daripadanya, seseorang bertindak dan orang lainlah yang akan
menerima akibamya, dan segala macam pandangan salah lainnya
mengenai buah dari kamma (niat) dan kiriya (perbuatan). Setelah
membuang segala macam jalan seperti itu, dia harus memahami ide tentang kekosongan
(void) yang merupakan keadaan yang sebenarnya dari hal-hal yang terkondisi.


61. Pot air
"Seperti halnya pot air yang penuh tidak menimbulkan suara; demikian juga
seharusnya seorang bhikkhu tidak menjadi banyak mulut meskipun
dia tahu banyak. Hal ini telah dikatakan oleh

Sang Buddha:
    "Dengarkanlah suara air. Dengarkanlah air yang mengalir
     melalui celah jurang dan bebatuan.
    Sungai yang kecillah yang menimbulkan suara yang keras. Sungai yang besar mengalir tanpa suara. Yang kosong bersuara  dan yang penuh tenang. Kebodohan seperti sebuah pot
yang berisi setengahnya; orang bijaksana bagaikan sebuah danau yang penuh air."(Sn. vv. 720, 721) 


72
Theravada / mengetahui tingkat kesucian lewat kesucian.
« on: 11 May 2009, 11:17:11 PM »
dulu pernah dibahas tentang

apakah arahat mampu mengetahui tingkat kesucian arahat,anagami,sakadagami,sotapanna.
jawabannya kebanyakan merujuk pada sutta dimana Sariputta tidak mengetahui tingkat kesucian lawan bicara-nya
( saya lupa namanya yang jelas membahas tentang kereta, dan lawan bicara Sariputta adalah arahat juga. )

ada beberapa bikkhu saat ini mengatakan sebaliknya, bahwa seorang arahat dapat mengetahui tingkat kesucian seseorang.
dan alasan bikkhu Sariputta tidak mengetahui, karena Sariputta belum masuk ke dalam jhana pada waktu itu.

dimana syarat bikkhu arahat untuk mengetahui harus memasuki jhana 4, persis dimana dalam RAPB dikatakan jika seorang arahat ingin membuat sebuah ke-ajaiban.
hal ini se-jalan dimana sebuah pertemuan antara bikkhu sangha, SangBuddha terdiam dan menyatakan "pertemuan ini tercemar"
dan YM monggalana dengan kemampuannya mencari orang tsb(bikkhu)

juga dimana se-waktu sidang sangha, Ananda belum mencapai kesucian arahat, seorang bikkhu sangha mengatakan "ada kotoran disini"  ini sekaligus memperkuat pernyataan bahwa "arahat mampu mengetahui tingkat kesucian orang lain"

apakah teman-teman disini punya rujukan lain?
mohon petunjuk

salam metta

73
Meditasi / berapa cepat memasuki jhana?
« on: 11 May 2009, 06:38:46 PM »
yang berpengalaman, mohon bagi info biasanya para meditator itu seberapa cepatkah memasuki jhana?

74
Pernah suatu kali seorang kenalan saya duduk dan mengeluh, lalu saya pun simpatik dan bertanya, "masalah apa?"

Dia pun menjelaskan betapa kompleks nya masalah yang dihadapi nya hingga stress, dan sambil menjelaskan masalah yang dihadapi nya,
fisik saya memang se-olah-olah mendengarkan dengan seksama, tetapi pikiran saya tidak di tempat dan melayang jauh...

apakah yang saya pikirkan?

dalam hidup sudah ada kondisi yang pasti terjadi dan itu N O R M A L sekali, alias Alamiah.
1.Tua,sakit,mati.....tentu semua sudah tahu. ^^
2.menghadapi lingkungan yang tidak sesuai keinginan.
3.menghadapi masalah-masalah baik masalah ringan sampai berat sekalian pun.

pertanyaan nya adalah, apakah yang disebut kenalan saya itu sebuah masalah?
sebenarnya jika melihat dari sisi lain, itu bukanlah masalah melainkan alamiah kehidupan, ketika kita lahir di bumi ini pastilah menghadapi masalah masalah...
lalu mengapa pusing, stress dengan kejadian alamaiah yang dihadapi?
pernahkah anda stress dengan pertambahan umur?....bahkan kalau ulang tahun malah dirayakan..
lalu mengapa stress kalau ada masalah?....sebenarnya hal ini sama saja.


jika saya menyampaikan apa yang saya pikirkan pada kenalan saya, tentu saya sudah di pukul langsung....
jadi saya hanya mendengarkan sambil senyum-senyum di pikiran. ^^


---------------------------------
Pernah juga suatu kali saya membaca buku AjahnBrahm

disitu dikatakan sebelum AjahnChah berangkat kesuatu tempat beliau mengatakan "gundungkan itu tidak terlihat baik disitu" jadi murid-murid termasuk AjahnBrahm bekerja untuk memindahkan gundukan tsb, kalau tidak salah kerja nya dari jam 2 siang sampai 9 malam dan sampai sekitar 2-3 hari

kemudian setelah selesai di pindahkan, wakil dari AjahnChah datang dan berkata, "guru menyuruh memindahkannya kembali"
para Bikkhu pun kembali bekerja,
setelah selesai lagi, Ajahn chah kembali dan berkata "mengapa kalian memindahkan ke sana, saya kan menyuruh ke sini"

AjahnBrahm yang terbakar emosi dengan gelagat nya memaki dengan bahasa inggris, orang Thai mungkin tidak mengerti tetapi dari bahasa tubuhnya itu sudah ketahuan,
seorang bikkhu senior pun memegang pundak AjahnBrahm dan berkata "mendorong gerobak, dan mengangkat pasir itu mudah, hanya memikirkan nya yang sulit"


begitulah kejadian kita didunia ini, memikirkan nya adalah yang sulit, begitu melepas-nya dan berjalan sesuai sifat alamiah nya. semua itu tidak ada yang masalah....sungguh namanya masalah itu benar-benar tidak ada.


semoga pengalaman ini bermanfaat
salam metta.

75
Theravada / Praktek dan Teori
« on: 29 April 2009, 05:52:24 PM »
Rekan Se-dhamma semoga kita semua dalam keadaan baik,

saya sering melihat beberapa orang yang begitu pandai selibat dengan kata-kata, bahkan mereka tidak sadar dengan apa saja yang mereka katakan itu betul atau tidak...lebih dekat nya pada pengertian "asbun" (asal bunyi)

mula-mula dari "dhamma itu tidak memiliki inti"
entah karena belajar konsep anatta yang begitu tinggi sehingga dikatakan dhamma itu tidak memiliki inti, inti apa yang dimaksudkannya?
apakah anda mengerti.....

kemudian ada pula berkata "dhamma bebas dari dualis"
entah dari mana belajar kata-kata ini, apa maksudnya? sederhana saja dhamma yah adalah dhamma "kenyataan"
 
kemudian ada yang berkata "kebenaran sejati"
sungguh terlalu luar biasa-nya pikiran ini melayang hingga entah ke mana, mungkin kebenaran sejati tidak pernah diperhatikan depan mata sendiri.
bahkan garam adalah terasa asin itu kebenaran sejati...

kemudian angka, ^^ mulai dari angka "84.000"
sudah-kah angka ini begitu terkenal?.. sampai-sampai ada yang mengatakan ada 84.000 cara untuk mencapai pencerahan.
padahal nyatanya cuma satu jalan berunsur 8.
jika kita minta babarkan 100 cara saja dari 84.000 itu, nanti juga sudah kelihatan bicara ngawur-nya.
kemudian simsapa sutta, yang putar balik menjadi bagian lain. sungguh 84.000 itu dibuat se-akan menjadi kenyataan.

masih banyak lagi hal-hal yang aneh diucapkan tetapi tidak pernah memahami apa yang di-katakan-nya.


semoga pelajaran teori dan pratek harus di kembangkan, agar memahami apa yang dimaksud "tanpa inti" "kebenaran sejati" dsb-nya.
agar kualitas kita umat buddha semakin meningkat, dan semakin berpengalaman....dan berbahagia.

satu hal lagi,
tanpa melihat penderitaan dan tanpa menyadari penderitaan, tidak ada pengetahuan tentang Jalan.


salam metta.

Pages: 1 2 3 4 [5] 6