//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - GandalfTheElder

Pages: 1 [2] 3 4 5
16
Nantikan kehadirannya !!

Akan Diselenggarakan Festival Seni Budaya Buddhis 2011. di Mall Of Kelapa Gading (MOI), Kelapa Gading, Jakarta, 26 Januari - 20 Februari 2011. Dinding relief Borobudur, ruang Tipitaka, pameran Diorama riwayat Buddha, tempat2 bersejarah agama Buddha di India, Ajaran2 Inti Buddha, patung Buddha berbagai negara, pameran Relik Buddha n Para Arahat , Candi2 Buddha di Indonesia. sejarah kerajaan Buddhis di Nusantara, dan masih banyak yang lainnya......Nantikan dan Tunggu informasi berikutnya !!

17


Sabtu, 31 Juli 2010
Peresmian Dharmasala di Villa Metta, Trawas

Peringatan HUT ke-7 Buddhist Education Centre (BEC), Pelantikan Pengurus Dharma Rangsi,
Ceramah Dharma di Convention Hall B GRAMEDIA EXPO, Surabaya (Doorprize, Konsumsi, dsb)

Minggu, 1 Agustus 2010
Ceramah Dharma "Manfaat Belajar Dharma"
Gedung Panca Dharma, Kelenteng (TITD) Eng An Kiong, Malang

Senin, 2 Agustus 2010
Jau Du di Makam Umum Desa Manyung, Nganjuk
Ceramah di Kelenteng Hwie Ing Kiong, Madiun

Selasa 3 Agustus 2010
Kunjungan ke Vihara Mahavihara Mojopahit, Bejijong, Mojokerto
Ceramah Dharma di Vihara Buddhayana Surabaya

Dapatkan Majalah Sinar Dharma 25 dengan cuma-cuma di acara-acara tersebut serta buku "Bodhisattva Sangharama: Guan Yu dalam Mahayana Buddhisme".

Info hubungi (031)7345135

 _/\_
The Siddha Wanderer


18
PREPARE YOURSELF FOR THE FILM ABOUT THE GREATEST MAN IN THE HISTORY....

COMING OUT ON 2011!!!  ;D  ;D  ;D  With Famous Hollywood Film Crews!!!

"BUDDHA"


Disutradari oleh Ashutosh Gowariker
(Lagaan, Jodhaa Akbar, What's Your Rashee?)


Penulis Naskah oleh David S. Ward
(The Sting, Sleepless in Seattle, pemenang Oscar)

Eksekutif Produser oleh Michael Shane
(I Robot, Catch Me If You Can)


Direktur Fotografi oleh Karl Walter Lindenlaub
(Independence Day, The Jackal, The Princess Diaries, Maid in Manhattan, The Chronicles of Narnia: Prince Caspian, Ninja Assassin)
 

Desainer Kostum oleh April Ferry
(Terminator 3: Rise of the Machines, Maverick, Free Willy, Frailty, National Security)


Koordinator Stunt oleh Glenn Boswell
(X-Men Wolverine, I, Robot, all three Matrix films, Dark City, The Island of Dr. Moreau, Thin Red Line)


Previz Supervisor oleh Jarrod Linton
(Harry Potter and the Order of the Phoenix, The Da Vinci Code, Charlie and the Chocolate Factory, Troy, The Spirit, X-Men Wolverine)


Storyboard oleh David Russell
(Star Wars, X-Men Wolverine, Batman, Terminator II, Who Framed Roger Rabbit, Tombstone, Romeo & Juliet, Moulin Rouge)


Konsultan Produser oleh His Holiness Dalai Lama Tenzin Gyatso


Based on Kyra Pahlen's book Siddharta: The Warrior Prince!!

CAN'T WAIT!
Habis Passion of the Christ, Confucius, sekarang Buddha!!  ;D ;D ;D

 _/\_
tHE sIDDHA wANDERER

19


Poster Designed By Me...  ;D

Dateng yah...

 _/\_
The Siddha Wanderer

20
Ini ada salah satu tulisan dari pihak K, yang kebetulan adalah dosen filsafat agama yang pernah ngajar saya di UK Petra...... (katanya sih udah baca buku Beyond Belief, Studi Banding agama Buddha kr****n dsb!!))  8) 8) 8)

http://www.gkri-exodus.org/image-upload/APO%2017%20Penderitaan%20Menurut%20Agama%20Buddha.pdf
By: Bedjo Lie, S.E., M.Div
Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen tetap Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas kr****n Petra

Banyak sekali kekeliruan tentang agama Buddha di sana dan sangat mudah untuk disangkal.

Gimana menurut pendapat teman2?

 _/\_
The Siddha Wanderer

21
DhammaCitta Press / Shurangama Sutra
« on: 29 January 2010, 10:58:01 AM »
Cuma mau saran, denger2 kan nanti Shurangama Sutra bakal diterbitin DC Press.

Apa tidak lebih bagus pakai terjemahan yang baru ini?? Karena setahu saya kan bro sobat dharma nerjemahin yang terjemahan lama dari Charles Luk??

http://surangama.drba.org



Announcing the publication of:
The Śūraṅgama Sūtra:
A New Translation
With Excerpts from the Commentary
by the Venerable Master Hsüan Hua.
Talmage, CA: Buddhist Text Translation Society, 2009.

“A must for anyone interested in gaining a deeper understanding of the Buddhist teaching.”
Huston Smith (author of The World’s Religions and Why Religion Matters)

The Śūraṅgama Sūtra is now available in an entirely new English translation.

It is the first single-volume translation of the complete text.

The Śūraṅgama Sūtra has been held in great esteem in the Mahayana Buddhist countries of East and Southeast Asia for over a thousand years. Its appeal lies in the broad scope of its teachings and in the depth and clarity of its prescriptions for contemplative practice. Its wealth of theoretical and practical instruction in the spiritual life often made it the first major text to be studied by newly ordained monks, particularly in the Chan School. The new translation, prepared by members of the Buddhist Text Translation Society, is enhanced by excerpts from the commentary by the Venerable Master Hsuan Hua (Xuanhua)

More advance praise for the new translation:

“The Śūraṅgama Sūtra is one of the seminal scriptures of Chinese Buddhism, particularly influential among followers of the Chan (Zen) school. This new translation by long-term Buddhist practitioners combines scholarly rigor with the flavor of personal commitment. The translation is further enhanced by inclusion of the lucid commentary on the sutra by the Tripitaka Master Hsuan Hua, one of the pioneers in bringing Chinese Buddhism to the West.”
Ven. Bhikkhu Bodhi (translator of the Middle Length Discourses (Majjhima Nikaya) and the Connected Discourses (Samyutta Nikaya)

“When people ask about the Buddha’s teachings on meditation, in addition to the core texts on the subject in the Pali Canon (the scriptures of the Southern School), I frequently cite the Śūraṅgama Sūtra as being of inestimable value. It spells out certain aspects of the meditative process in uniquely clear and helpful ways. …In particular I have employed the Sutra’s teachings concerning the meditation on hearing as a central element of my spiritual training for more than twenty-five years…. This lucid, accessible and reliable translation of the Śūraṅgama Sūtra, with its commentarial notes by the highly esteemed Master Hsüan Hua, will be a distinctive and precious addition to the bookshelves of not only those interested in Buddhist philosophy as an academic discipline but, more importantly, to those who wish to liberate their own hearts and minds for the benefit of themselves and all other living beings.”
Ajahn Amaro Bhikkhu (co-abbot of Abhayagiri Buddhist Monastery)

Over the years, when I have needed advice in cultivation, I have referred to the Śūraṅgama Sutra for authoritative information. I go to the “Fifty Demonic States of Mind” (part 10) to check on strange states in medita­tion. I go to the “Twenty-Five Sages” (part 6) for encouragement on the path from the voices of Bodhisattvas. I go to the “Four Clear and Defini­tive Instructions on Purity” (part 7) for clarity on interaction with the world; for example, there I find the Buddha’s reasons for advocating a harmless, plant-based diet.
— Reverend Heng Sure, President of Dharma Realm Buddhist Association and Director of Berkeley Buddhist Monastery

“The Buddhist Text Translation Society has given us a greatly improved rendering of one of the most important and profound Mahayana texts in the entire Buddhist Canon. During the past thousand years, the Śūraṅgama Sūtra has been used perhaps more than any other single text in the transmission of the Dharma by Chinese and other East Asian masters. This eminently readable and clearly annotated English translation constitutes a significant contribution not only to the study but also to the practice of Buddhism in the West.”
Bill Porter (“Red Pine”) (translator of the works of Chinese poets and Buddhist masters, including The Collected Poems of Cold Mountain and The Zen Teachings of Bodhidharma)

554 pages, with an extensive introduction, explanatory footnotes, and index.

Publication date: August 15, 2009.
ISBN-13: 978-0-88139-962-2
Price: Hardcover edition $30; with slipcover $50.

Available directly from the Buddhist Text Translation Society (bttsonline.org),  Amazon.com,  and your independent bookseller.

 _/\_
The Siddha Wanderer

22
Cukup banyak saya membaca buku2 dan tulisan Kristiani yang berusaha menyanggah agama Buddha. Semuanya itu bisa dirangkum ke dalam 10 pertanyaan:

1. Agama Buddha mengajarkan Anatta = Kegagalan Untuk Mengajarkan Suatu Pribadi Manusia Yang Unik???
Karena kesadaran kita dibentuk oleh panca khanda... so...... batin / pribadi kita ini hanya suatu "impersonal" tanpa ada sesuatu yang unik. Maka dari itu menurut umat K, Buddhis tidak manusiawi, mirip seperti robot impersonal.

2. Hukum karma = Suatu Hukum yang mengajarkan Fatalisme???
Mereka menganngap agama Buddha mengatakan bahwa semua adalah Karma dan kita harus menanggungnya bagaimanapun beratnya. Take responsibility of the karma and NO HOPE. Bagi mereka doktrin karma = meniadakan harapan, semua ditentukan oleh karma.

3. Hukum Sebab Akibat = Kegagalan Untuk Memperoleh Keselamatan
Mengajarkan tidak ada harapan bagi orang jahat sekali untuk bertobat dan masuk surga. Yang ditekankan di sini adalah Tidak Adanya Harapan, mis: ketika manusia melakukan Pancanantrya Karma (5 Karma Buruk Berat), maka tidak ada harapan lagi baginya???? So agama Buddhis tidak dapat memberikan ketenangan hati pada pengikutnya, karena tidak mampu memberikan HOPE.

4. Penderitaan = Apakah "Pelenyapan" adalah satu2nya Jalan?
Menurut umat K, umat Buddhis itu mengatasi penderitaan dengan "extinction of our humanbeingness"
Sedangkan agama K, mengajarkanm untuk " rejoice our humanbeingness"
Penderitaan bukanlah seusatu untuk dihindari, demikian menurut umat K.

5. Nirvana = Siapa Yang Mau Lenyap ke dalam Ketiadaan??
Krn Nirvana = Anatta, mereka menganggap hal itu sebagai "penghilangan akan keberadaan kita sebagai manusia". Maka dari itu mereka mengatakan: "Siapa yang mau menjadi Bukan Apa-Apa / Kekosongan?" Hidup ini harus berisi dan penuh makna, bukan "KOSONG".

6. Tindakan Bajik = Sia-sia
Krn agama Buddha mengajarkan doktrin Anatta, tidak ada diri yang kekal, maka tidak memiliki fondasi etika yang jelas. Apakah kita ini menyelamatkan suatu "kesadaran impersonal yang dihasilkan oleh panca khanda?" Bila tidak ada pribadi, apa yg kita kultivasi? Bila tidak ada pribadi, lantas metta (cinta kasih) itu ditujukan pada apa?

7. Umat Buddhis gagal menjawab mengapa hukum Dharma itu berjalan seperti itu? Kenapa berjalannya hukum itu harus seperti ini dan itu? Kenapa dunia ini harus eksis, mengapa bukan tidak eksis?
Mengapa berjalannya Dhamma Niyama itu harus seperti ini bukan seperti yang lain? Mengapa dunia ini tampak tertata? Mengapa "the way it is" itu menjadi "the way it is"? Bagi umat K, semuanya tentu memiliki sebuah causal, tidak mesti first causal, tetapi sebuah causal (sebab) mengapa dunia itu "seperti ini" bukan "seperti itu"?

8. Buddha menjauhkan diri kita dari-Nya, sedangkan Yesus menerima kita. Yesus adalah jalan itu sendiri. Buddha hanya bisa menunjukkan Jalan. Buddha mengatakan diri kita sendiri yg bertanggung jawab, tapi Yesus mampu menghapus dosa, menghibur hati yang sakit dan menanggung dosa-dosa manusia. Seems better for a weak person huh??

===============================================================================

Saya ingin mengetahui pendapat rekan2 mengenai pertanyaan dan pernyataan2 dari umat Kristiani di atas.

Benernya saya sih sudah ada jawabannya, tetapi sy ingin tahu dari temen2 spy bisa dibuat perbandingan.

Dan saya juga ingin memunculkan pertanyaan2 ini agar umat Buddhis semakin kebal thd Evangelis yg tak kenal lelah....  ;D  ;D.... bisa tau cara menjawab mereka semua.

Sekali kedelapan pertanyaan di atas mampu dijawab baik oleh umat Buddhis, maka saya yakin apapun usaha Evangelis akan sia-sia saja.

 _/\_
The Siddha Wanderer

23
Diskusi Umum / Kosmologi Non-Saintifik dalam Agama Buddha
« on: 31 December 2009, 12:31:29 PM »
Visuddhi-magga mengatakan diameter bulan itu 49 yojana dan diameter matahari 50 yojana.

Abhidharmakosa mengatakan diameter bulan itu 50 yojana dan diameter matahari 51 yojana.

Bayangkan diameter matahari dan bulan cuma beda 1 yojana, padahal 1 yojana = 10 km.

Secara perhitungan saja sudah salah.
50 yojana x 10 km = 500 km (kira2 diameter matahari / bulan)

Padahal kita tahu diameter bulan itu sekitar 3500 km dan matahari jauh lebih besar lagi.

Jarak antara bulan dan bumi yaitu 42,000 yojana memang sesuai dengan sains, seperti dalam buku bro. Ivan Taniputera.

Namun masalahnya jarak bumi dengan matahari menurut Buddhis juga 42,000 yojana, lebih sedikit (satu sumber mengatakan 8000 wah saja), padahal kita tahu bahwa jarak bumi dan matahari ya jauh sekali.

Bagaimana menurut pendapat temen2?

Kalau menurut Dalai Lama:

"Jika kita meneliti secara ilmiah,.. contohnya matahari dan bulan. Aku tidak ingat berapa persisnya, namun diameter matahari jauh lebih besar daripada bulan. Kita dapat melihatnya dengan persepsi visual yang valid; ini telah dapat dilihat kasat mata. Namun, Abhidharmakosa mengatakan bahwa diameter bulan 50 yojana dan matahari 51 yojana - hanya bebreda 1 yojana."

"Ketika Abhidharmakosa berkata bahwa diameter bulan dan matahari adalah 50 dan 51 yojana, maka ini harus disangkal sebagai makna yang perlu diinterpretasi. Untuk mengatakan 'apa yang kita lihat dalam konteks perhitungan matematis bukanlah permasalahan di sini - ini adalah penampakan yang menipu - dan apa yang dikatakan Vasubandhu di dalam Kosha tentang diameter 50 dan 51 yojana itu adalah benar', kita tentu tidak dapat berkata seperti itu. Ini adalah sikap Buddhis yang mendasar: bila ada penemuan sains yang telah dibuktikan, kita harus menerimanya."

 _/\_
The Siddha Wanderer

24
Diskusi Umum / POLYGAMY IN BUDDHISM
« on: 20 December 2009, 06:29:56 AM »
POLIGAMI MENURUT BUDDHA DHARMA
Oleh: Hendrick
   
Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya,
Namo Sakyamuni Buddhaya,

Kesetiaan pada seorang pasangan adalah suatu kondisi ideal bagi seorang Buddhis. Agama Buddha sangat menganjurkan monogami dan tidak mendukung poligami, meskipun agama Buddha tidak melarangnya. Pernikahan adalah tempat di mana suami dan istri saling membahagiakan satu sama lainnya. Tidak ada pasangan yang ingin dimadu, karena bayangkan betapa sakit hati seseorang yang diduakan itu. Melakukan poligami secara langsung maupun tak langsung menyakiti perasaan pasangan hidup kita, sehingga perbuatan tersebut tentulah merupakan akusala karma [karma negatif].

Perbuatan poligami biasanya dimotivasi dengan rasa tidak puas terhadap satu istri dan lobha yang besar. Namun ada lagi alasan karena istri pertama tidak dapat mempunyai anak, lantas menikah lagi untuk mendapatkan anak. Kalau seperti itu, maka apa bedanya seseorang dengan hewan? Hakekat utama pernikahan adalah rasa cinta dan kesetiaan satu sama lain, komitmen untuk hidup bersama-sama berdua, bukan “produksi anak” saja.

Sebagai contoh adalah suku Shakya di mana Pangeran Siddharta dilahirkan memiliki kebudayaan di mana pernikahan dilangsungkan secara monogami baik di antara anggota keluarga kerajaan maupun masyarakat suku Shakya. Arya Maha-Maudgalyayana [Mogallana] menjelaskan bahwa tradisi monogami ini dimulai dari seorang putra yang terlahir dari istri kedua dari Raja Ikhsvaku [Okkaka] Virudhaka yang bernama Rajyananda Sakya:
“Hukuman yang telah menimpa kita disebabkan oleh karena diambilnya permaisuri kedua dari keluarga yang sederajat dalam status. Karenanya kita harus menghindari mengambil istri kedua dari keluarga yang sederajat, dan harus merasa puas hanya dengan seorang istri.” (Mulasarvastivada Vinaya dan Catatan Sejarah Biru, ditulis oleh Go Lotsawa Zhonnu Pel pada tahun 1476 M)

Uniknya tradisi monogami ini terus berlanjut di kalangan masyarakat Newar di Nepal yang dikenali sebagai salah satu keturunan suku Shakya. Walaupun poligami dilegalkan di Nepal, namun pernikahan tetap paling banyak dilangsungkan secara monogami.

Di Thailand sekarang pernikahan kebanyakan monogami. Raja Rama VI, yang berperan besar dalam perkembangan Buddha Dhamma di Thailand juga melarang praktik poligami yang sudah mengakar dalam budaya turun temurun di Negeri Gajah tersebut. Ia sendiri menikah secara monogami. Literatur Buddhis Khun di Siam (Thailand) sendiri sebenarnya juga menekankan pada  praktik monogami.

Demikian juga di Tibet sebagian besar masyarakat di sana menikah secara monogami, meskipun di negara salju tersebut cukup banyak pasangan yang berpoligami, khususnya poliandri.

Poligami = Gen di Dalam Tubuh?

Beberapa ahli biologis mengkritik pernikahan monogami sebagai tidak alami. Mereka meneliti bahwa sebagian besar mamalia dan manusia, memiliki gen poligami dalam diri mereka. Dari sekitar beribu-ribu hewan spesies mamalia, hanya 3 sampai 5 persen yang setia dengan satu pasangan saja. Bahkan sangat jarang ada hewan yang mampu bermonogami baik secara seksual maupun sosial, yang hanya dapat ditemukan dalam spesies burung bangkai dan berang-berang / tikus prairi.

Menurut para ahli, kebanyakan hewan melakukan poligami karena ingin menghasilkan keturunan yang banyak nan berkualitas. Bahkan spesies burung yang melakukan monogami secara sosial, ternyata berpoligami secara seksual. Namun apakah hanya karena ada gen poligami dalam diri kita maka kita dapat membenarkan poligami?

Penelitian menunjukkan bahwa anak akan mewarisi gen orang tuanya. Apabila orang tuanya suka mabuk-mabukkan, kekerasan dan mencuri, maka gen negatif dari orang tua itu akan menurun ke anak-anaknya, sehingga dengan kata lain anak itu mewarisi gen alkoholik, kekerasan dan pencurian. Namun apakah dengan demikian maka kita akan membenarkan tindakan sang anak apabila ia mulai mabuk-mabukkan dan mencuri seperti kedua orang tuanya? Tentu tidak bukan?

Pancasila dalam agama Buddha seharusnya dijalankan oleh semua umat Buddhis, baik yang memiliki gen alkoholik, gen mencuri maupun yang tidak memiliki satu atau dua gen tersebut. Demikian juga nasehat untuk bermonogami dalam ajaran Buddha seharusnya diterapkan dalam kehidupan kita meskipun mungkin sebagai manusia kita memiliki gen poligami. Manusia tidak sama dengan hewan. Kelahiran sebagai hewan diliputi oleh moha, maka tidak heran apabila mereka melakukan poligami. Sedangkan manusia memiliki kebijaksanaan dan akal budi untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, oleh karena itu sepantasnyalah umat manusia menjauhi poligami.

Bahkan penelitian juga menunjukkan bahwa ada juga hormon atau gen dalam tubuh manusia yang mendukung kesetiaan dan ikatan monogami yaitu oxytocin - RS3 334. Gen inilah yang turut berperan dalam kehidupan monogami sepasang manusia.

Kesetiaan Monogami

Tentang kesetiaan, Sang Buddha bersabda dalam Canda-Kinnara Jataka:
"Tidak heran, Maharaja! bahwa dalam kehidupanku yang terakhir Ia (Yasodhara) mencintai-Ku, dan setianya hanya kepada-Ku saja. Dalam kehidupan yang lampau, ketika terlahir sebagai Kinnara, ia setia hanya kepadaku seorang."

Ketika hendak Parinibbana, Bhaddakaccana Theri juga berkata: “Aku telah bertekad bahwa selama di samsara, aku  mendevosikan diriku hanya padamu [Sang Buddha],… di berbagai kehidupan yang tak terhitung.” (Yasodharapadanaya)

Ya, Yasodhara hanya setia pada satu orang saja, yaitu Pangeran Siddharta. Ketika Yasodhara ditinggalkan oleh Pangeran Siddharta, banyak raja dan pangeran yang ingin melamarnya, namun semuanya ditolak oleh Yasodhara. Ketika Pangeran Sudhana [kelahiran lampau Buddha] ditawari  wanita-wanita cantik oleh ayahnya, ia menolaknya semua, karena hatinya tetap setia pada Manohara yang merupakan kelahiran lampau Yasodhara. Kecantikan wanita-wanita kerajaan tidak dapat mengubah hati Pangeran Sudhana terhadap Manohara.

Ketika dalam kehidupan lampau Yasodhara terlahir sebagai istri Kuddabodhi (kelahiran lampau Siddharta – Kuddabodhi Jataka), ia juga mengikuti jejak suaminya dalam meninggalkan keduniawian. Rambut pun dipotongnya dan pakaian yang indah ditanggalkannya. Sungguh agung kesetiaan dan kasih sayang antara Yasodhara dan Sang Bodhisattva, yang terjalin sejak pertemuan mereka di masa Buddha Dipamkara.

Kehidupan pernikahan perumah tangga Nakulapita dan Nakulamata yang telah mencapai tingkat kesucian Sotapanna juga merupakan contoh kesetiaan pasangan sampai akhir hayat mereka. Nakulamata berkata pada suaminya. “Mungkin anda cemas bahwa saya akan menikah lagi setelah kematian anda. Mohon jangan berpikiran demikian. Kita berdua menjalani kehidupan suci menurut peraturan mulia perumah tangga. Maka jangan cemaskan hal ini.” (Anguttara Nikaya III:295). Bila Nakulamata sendiri tidak akan menikah lagi setelah suaminya meninggal, maka ketika suaminya masih hidup, lebih tidak mungkin lagi bagi Nakulamata untuk menikah lagi. Oleh karena itu poligami merupakan suatu bentuk pernikahan yang tidak mengikuti peraturan mulia perumah tangga.

Dalam Dasaratha Jataka, dikisahkan pada masa lampau Sang Bodhisattva Siddharta terlahir sebagai Rama dan Yasodhara sebagai Sita. Kisah romantis dan kesetiaan antara Rama dan Sita telah tersebar di seluruh dunia melalui kisah Ramayana dan tetap popular hingga sekarang. Di naskah-naskah India kuno, Rama dikenal sebagai pribadi yang menjalankan pernikahan monogami [ekapatnivratadhara] dengan Sita. Bahkan semua pria di kerajaan yang diperintah oleh Rama turut mengambil ikrar monogami [ekanarivrata].

Poligami Membawa Penderitaan

Dalam kitab Therigatha, dikisahkan Kisagotami yang telah mencapai tingkatan Arahat mengatakan bahwa tinggal bersama dengan istri-istri lain adalah penderitaan: “Menyedihkan ketika tinggal bersama istri lain(co-wives) milik suaminya” (sapattikam pi dukkham), karena dapat menimbulkan kecemburuan antar istri. Ini bisa dilihat pada berbagai kisah dalam kitab-kitab Buddhis seperti Petavatthu dan Dhammapada Atthakata di mana istri pertama berusaha menggugurkan kandungan istri kedua atau berusaha mencelakai istri yang lain karena cemburu. “Yang terburuk dari semua kebencian adalah kebencian di antara seorang istri dan seorang selir (istri kedua), dan sang ibu tiri tentu akan mencari cara untuk membunuh anak (dari istri saingannya).” (Kangyur)

Uppalavanna, murid Sang Buddha juga pernah mengalami penderitaan kehidupan poligami yang tragis karena ternyata istri kedua suaminya adalah anaknya sendiri: Penderitaan dalam kenikmatan indrawi, yang tidak murni, berbau busuk, dengan banyak masalah, di mana kami, ibu dan anak sama-sama adalah istri [dari seorang suami] (ubho mata ca dhita ca mayam asum sapattiyo) (Therigatha 225)

Menuruti biografi seorang Mahasiddha Buddhis Tibetan tertulis: “Istri membenci istri muda suaminya.” Poligami atau mendua akan menyebabkan suatu keluarga penuh dengan kebencian dan kesedihan. Dan juga tidak ada seorang pria/ wanita yang ingin dimadu (diduakan), seperti sabda Sang Buddha: “Seorang pria, O brahmana, adalah tujuan seorang wanita, yang dicari adalah perhiasan, penopangnya adalah putra-putra, keinginannya adalah tidak dimadu, dan cita-citanya adalah mendominasi." (Anguttara Nikaya VI, 52)

“Ambillah contoh kisah tentang istri yang menderita karena putra dari istri lainnya dirawat dengan sangat baik. Istri pertama dari dua istri telah memiliki anak namun sudah meninggal. Istri lainnya masih memiliki anak. Sekarang perempuan yang anaknya meninggal melihat istri yang lain dengan lembut merawat anaknya dan ia sangat menderita. Ia ditanyai, “Apakah kamu menangis karena putramu yang tercinta meninggal?” “Aku tidak menangisinya.” Jawabnya, “Aku menangis karena putranya masih hidup.” Sesudah itu, ketika putra dari istri kedua sakit, istri pertama tersebut pergi ke desa lain. Setelah beberapa hari berlalu, ia kembali ke desanya dan melihat sesosok mayat digotong keluar. Ia mengimajinasikan bahwa mayat itu adalah putra istri kedua yang mati.” (Catuhsataka-tika oleh Candrakirti)

Sang Buddha menjelaskan bahwa ada tujuh macam harapan yang dihasilkan oleh rasa benci seorang istri yang dimadu [dipoligami] terhadap istri lain suaminya: “Di sini bhikkhu, seorang istri lain berharap musuhnya (istri lainnya lagi): “O, ia seharusnya menjadi jelek…tidak dapat tidur…tidak berkelimpahan….tidak memiliki kekayaan… tidak menjadi terkenal… tidak punya teman…masuk ke neraka setelah kematian! Apa alasannya? Para bhikkhu, seorang istri lain tidak menyukai [kalau] istri yang lainnya cantik… tidur nyenyak…berkelimpahan…kaya raya…terkenal…banyak teman… maupun masuk ke surga.” (Kodhana Sutta, Anguttara Nikaya)

Dalam kisah Suruci Jataka, ketika Raja Brahmadatta yang merupakan raja Benares hendak menikahkan putrinya dengan Pangeran Suruci, ia bertanya terlebih dahulu pada istrinya. “Ratu, apa penderitaan yang paling menyedihkan bagi seorang wanita?” “Bertengkar dengan sesama istri.” Setelah mendengar jawabannya, Raja Brahmadatta lalu berkata:
“Kalau begitu, ratuku, untuk menyelamatkan putri kita satu-satunya, putri Sumedha, dari penderitaan ini, kita akan menikahkannya dengan orang yang hanya akan memiliki satu istri.”

Layaknya seorang ayah yang mengasihi anaknya dan tidak ingin anaknya menderita karena suaminya berpoligami, maka seorang suami hendaknya juga berperilaku demikian, ia harus sadar bahwa apabila dirinya memiliki istri kedua, ketiga, keempat; ini hanya akan membawa kesedihan bagi para istrinya sendiri. Kalau memang seorang suami benar-benar mencintai dan mengasihi istrinya sendiri, tidak mungkin ia melakukan poligami.

Arya Candrakirti, salah satu tokoh penting dalam Prasangika Madhyamika, menggunakan perumpamaan rumah tangga seorang pria poligamis yang diisi dengan pertengkaran dan perbedaan pendapat antar istri untuk menggambarkan elemen-elemen tubuh manusia yang saling bertentangan: “Satu dari istri-istri yang saling bertentangan selalu bertindak dengan cara yang arogan. Yang kedua selalu menangis. Yang ketiga selalu marah dan yang keempat selalu bertindak gila. Mereka tidak dapat sepakat bagaimana memberikan perhatian yang sesuai pada tubuh suami mereka ketika suami mereka itu meminta pelayanan mereka. Karena pertentangan mutual mereka, mereka tidak dapat melayani suami mereka dengan tepat. Mereka juga melakukan tindakan lain dengan tidak benar.” (Catuhsataka-tika).

Bahkan di dunia modern ini, kita tahu bahwa multiple sex partner dapat meningkatkan potensi menularnya penyakit-penyakit seksual seperti HIV atau AIDS. Praktik poligami termasuk dalam kategori multiple sex partner. Apabila sang suami melakukan hubungan dengan istrinya yang terkena HIV, maka otomatis ia akan tertular dan ketika ia berhubungan dengan istri-istrinya yang lain, maka mereka akan tertular juga. Pemerintah Uganda pernah menggalakkan pernikahan monogami (single sex partner) dan menekan praktik multiple sex partner seperti poligami, prostitusi dan promiskuitas, dan sebagai hasilnya penderita penyakit AIDS di sana menurun drastis.

 _/\_
The Siddha Wanderer

25
Ada yang mau nerjemahin?  ;D  ;D







 _/\_
The Siddha Wanderer

26
Diskusi Umum / SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
« on: 15 December 2009, 12:28:43 PM »
SEX BEFORE MARRIED??? NO WAY!!
Oleh: Hendrick

Namo Buddhaya, Namo Dharmaya, Namo Sanghaya,

Bagi kehidupan pasangan suami istri, seks dipandang sebagai suatu ungkapan cinta mereka. Tindakan seks yang benar dapat digunakan dalam mengharmoniskan kehidupan pernikahan seseorang. Namun sayangnya, pada zaman sekarang ini banyak remaja yang tidak sabar menunggu ataupun karena salah pengertian, bahwa seks sebagai ungkapan cinta ini boleh dilakukan tanpa ikatan pernikahan. Pada malam Valentine, mereka bersedia melepaskan keperawanan mereka. Para gadis cenderung melepas keperawanan mereka disebabkan mereka takut kehilangan pria yang mereka cintai dan ingin mendapatkan cinta yang sepenuhnya dari sang pacar. Sedangkan para pria cenderung ingin memuaskan hasrat cinta seksual mereka pada sang gadis. Kecenderungan hidup yang bertentangan dengan norma susila itu terjadi akibat tidak ada landasan agama yang kuat. Hal ini sungguh amat memprihatinkan, yang memang merupakan kecenderungan pada masa akhir Dharma:

“Pada masa akhir Dharma… umur manusia akan berkurang, kegelapan akan menguasai… para pria akan menjadi penuh dengan nafsu seks dan tidak terkendali, para wanita akan berhubungan seks bebas dan tidak setia.” (Legenda Stupa Maha Buddha oleh Guru Padmasambhava)

Banyak istilah-istilah untuk mendeksripsikan tindakan semacam itu mulai dari pergaulan bebas, seks bebas, seks pranikah, promiskuitas ataupun seks di luar nikah. Bahkan istilah-istilah tersebut sering terdengar bersamaan dengan kata-kata “aborsi” dan “hamil di luar nikah”. Di masa modern ini, kerap kali kita mendengar perbincangan pun membaca wacana mengenai kata-kata di atas.

Mental para remaja tergolong masih labil, pada saat remaja dorongan seksual dan berkembangnya organ seksual mencapai puncak kematangannya. Didorong oleh rasa ingin tahu dan gairah seksual yang tinggi, maka akan besar kemungkinan terjadinya seks pranikah terutama di kalangan remaja. Apalagi mereka telah dipengaruhi budaya seks bebas dari film-film yang mereka tonton. Sebagai faktanya kita bisa melihat bahwa sebagian besar film-film bioskop yang hadir di tanah air kita ini hampir selalu mengandung unsur adegan seks bebas. Baru bertemu beberapa kali, sudah langsung nge-seks. Tayangan film tentu sangat mempengaruhi pola pikir remaja pun juga masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu kita juga sering menjumpai generasi tua yang melakukan seks bebas. Mereka menganggap seks pranikah adalah sangat wajar dan diterima oleh lingkungan. Kesadaran serta mental yang bersih dan sehat adalah poin penting untuk menghindarkan seseorang dari tindakan seks bebas yang tidak bertanggung jawab.

Lantas bagaimanakah tanggapan sang Buddha maupun agama Buddha sendiri terhadap tindakan seks bebas atau seks pranikah (seks sebelum menikah)? Sang Buddha berkata dalam Upasaka Sila Sutra: “Jika seorang pria berhubungan seksual di waktu yang tidak tepat (siang hari) atau di tempat yang tidak sesuai (tempat umum, tempat ibadah), atau melakukannya dengan bukan-perempuan (pria, hewan), atau melakukannya dengan perempuan yang bukan istrinya sendiri, atau melakukan masturbasi, tindakan tersebut termasuk tindakan seksual yang salah.”

Hubungan seks pra nikah merupakan pelanggaran sila. Sang Buddha dengan sangat jelas berkata dalam Sutra Upasaka Sila bahwa hubungan seks dengan seseorang yang bukan istrinya, termasuk pelanggaran sila ke-3. Ini termasuk dengan pacar kita, karena pacar kita bukanlah suami / istri kita.

“Tipe ketiga dari karma negatif adalah tindakan seks yang menyimpang – yaitu berhubungan seksual dengan siapapun yang bukan pasangan yang telah engkau nikahi, dengan siapapun yang engkau sendiri tidak punya konsep yang jelas bahwa “orang ini adalah pasangan nikahku, istriku atau suamiku.” Seseorang yang bukan pasangan nikahmu… tidak dianggap sebagai partner atau ‘objek’ seksual yang tepat. (Tiga Tingkat Persepsi Spiritual oleh Kunga Tenpay Nyima, Deshung Rinpoche)

Dan menurut komentar Gyudzhi (Empat Tantra Pengobatan yang diajarkan oleh Sang Buddha) yang ditulis oleh Sangye Gyamtso, juga dikatakan bahwa tindakan seksual yang salah meliputi hubungan seksual dengan wanita selain istrinya. Ini berarti bahwa berhubungan dengan pacar atau tunangan kita adalah hubungan seksual yang salah, karena mereka belum menjadi istri kita.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pelanggaran sila ke-3 (kamesumicchaccara):
1. Alat kelamin pria masuk ke dalam tiga lubang yaitu mulut, anus dan alat kelamin wanita yang tidak patut disetubuhi
2. Tangan bersentuhan dengan alat kelamin pria maupun wanita [dengan tujuan membangkitkan gairah seksual atau masturbasi]
3. Terjadi orgasme ketika dilakukan tahap 1 dan 2 di atas

Untuk memperjelas objek yang tidak patut disetubuhi (yang melanggar sila) dapat dilihat pada kitab Anguttara Nikaya dan Majjhima Nikaya: “Dia berperilaku salah di dalam hal seks; dia berhubungan seks dengan mereka yang berada di bawah perlindungan ayah, ibu, saudara laki laki, saudara perempuan, sanak saudara atau suku, atau komunitas agamanya.” [b](Anguttara Nikaya bab Dasaka)[/b]

Dalam naskah Theravada yaitu Saleyyaka Sutta, Majjhima Nikaya dengan sangat jelas juga disebutkan mengenai kriteria orang yang tidak pantas disetubuhi:
Bagaimana halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar itu? Di sini, seseorang adalah pembunuh makhluk-makhluk hidup……..la pengambil apa yang tidak diberikan …… ia menyerah pada perbuatan keliru dalam keinginan seksual; ia berzinah dengan wanita-wanita, seperti yang dilindungi oleh ibu, ayah (ibu dan ayah), saudara lelaki, saudara perempuan, sanak keluarga … Itulah halnya mengenai tiga macam perbuatan jasmani yang tidak sesuai dengan Dhamma, perbuatan yang tidak benar.

Ucapan yang mirip ditemukan dalam naskah aliran Sarvastivada: “Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha menjauhi tindakan seksual yang menyimpang, mengakhiri perzinahan dan melindungi semua orang – yaitu mereka yang berada di bawah asuhan ayah, ibu, atau ayah ibu mereka, kakak perempuan atau kakak laki-laki mereka, mertua dan saudara ipar mereka,….. anak gadis orang lain,.. anak laki-laki orang lain. Siswa awam (upasaka/upasika) Sang Buddha mencabut niat melakukan penyimpangan seksual dari dalam diri mereka.” (Upasaka Sutra, Madhyama Agama 128)

Uraian yang lebih lengkap mengenai mereka yang tidak patut disetubuhi ada dalam kitab Vinaya. Ada 20 macam wanita-wanita yang tidak patut disetubuhi (Agamaniya-vatthu), kelompok 1-8 di bawah ini adalah mereka yang belum menikah:
1. Dibawah perlindungan ibunya (maturakkhita)
2. Dibawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)
3. Dalam perlindungan ibu dan ayahnya (matapiturakkhita)
4. Dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhaginirakkhita)
5. Dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita)
6. Dalam perlindungan sanak keluarganya (natirakkhita)
7. Dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhita)
8. Dalam perlindungan dhamma (dhammarakkhita), mis: bhiksuni [perlindungan Vinaya]

Dari daftar di atas, nomor 1-8 adalah mereka yang masih berada di bawah perlindungan orang lain, dalam hal ini misalnya seorang perempuan berada dalam perlindungan orang tua maupun saudara dan orang sebangsa dan sebagainya. Seseorang yang masih belum menikah otomatis masih berada di bawah perlindungan orang lain, entah itu orang tua, saudara, sanak keluarga atau orang sebangsanya.

Maka dari itu perilaku seks bebas, yang didasari atas mau sama mau antara dua orang pasangan yang belum menikah adalah termasuk melakukan hubungan badan yang tidak pantas. Ini ditegaskan sendiri oleh sabda Guru agung tradisi Vajrayana:
“Di India, tidak pantas untuk berhubungan seks (bebas/pranikah) dengan seseorang yang berada dalam perlindungan orang tuanya, karena pria dan wanita yang belum berumah tangga, [masih] dilindungi oleh orang tua mereka.” (Ajaran Dakini oleh Guru Padmasambhava)

Ketatnya perlindungan orang tua menjaga keperawanan anak gadisnya terlihat dalam kisah Dhammapada Atthakatha dan Saddharmaratnavaliya. Dikisahkan Patacara adalah anak gadis dari pedagang kaya di Savatthi. Ayahnya berharga empat ratus juta dan Patacara sangatlah cantik. “Ketika ia berumur enam belas tahun, kedua orang tuanya memberikan tempat tinggal padanya di sebuah istana bertingkat tujuh dan di sanalah mereka menjaga Patacara, di lantai yang paling atas, dikelilingi oleh para penjaga”. Kedua orang tuanya melakukan hal tersebut demi “menghindarkan terjadinya segala bentuk tindakan seksual yang salah (berzinah)” (Saddharmaratnavaliya). “Namun meskipun dijaga sedemikian rupa, Patacara tetap berzinah dan itu dilakukannya dengan pelayan prianya.” (Dhammapada Atthakatha 53) Patacara jatuh cinta terhadap pelayan pria yang masih muda di rumahnya dan merelakan dirinya berhubungan seks pranikah dengannya. Ketika orang tuanya berniat menikahkannya dengan laki-laki muda lain dari keluarga yang status sosialnya sama, Patacara malah melarikan diri bersama dengan kekasihnya, sang pembantu pria itu. Sebagai akibat dari hubungan seks pranikahnya, maka kehidupan yang dijalaninya bersama pembantu muda tersebut tidaklah bahagia, tetapi malah menderita dan hidup serba susah. “Sang istri (yaitu Patacara) mengambil air dengan pot airnya, dan dengan tangannya sendiri menumbuk beras, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Maka Patacara memetik buah karma buruknya sendiri.” (Dhammapada Atthakatha 53), Selain itu, “Sebagai seseorang yang sebelumnya memakan nasi, namun sekarang harus hidup dengan Amu grain, maka ia mulai mendapatkan konsekuensi yang menyakitkan oleh karena tindakan ketidakbajikan yang dilakukannya di masa lampau.” (Saddharmaratnavaliya). Disebabkan hubungan terlarang sebelum menikah dengan pelayan pria yang dicintainya itu, Patacara menuai karma buruknya. Tindakan orang tuanya yang menjaganya di istana tingkat ketujuh seharusnya dapat menjaga keperwanan sekaligus menghindarkannya dari karma buruk, namun apa daya nafsu cinta memabukkan dua insan muda yang masih belum dewasa untuk melakukan hal yang tidak senonoh.

Pada prinsipnya memang di India, seseorang yang belum bertunangan / menikah masih dilindungi orang tuanya ataupun dilindungi saudara-saudaranya. Kitab Mahavibhasa aliran Sarvastivada menyebutkan: “Berhubungan seks dengan gadis muda merupakan perzinahan karena sudah ada pria yang dengannya ia bertunangan, dan jika gadis muda itu tidak bertunangan, maka ia berada di bawah perlindungan  pelindungnya.” (Vibhasa TD 27, p585a20) Pelindung yang dimaksud adalah orang tua dan para saudara gadis muda tersebut.

Namun masih timbul pertanyaan, bagaimana kalau seseorang berhubungan seks dengan perempuan yang belum menikah namun tidak di bawah perlindungan orang lain (misalnya perempuan tersebut sudah tidak memiliki orang tua lagi, tidak memiliki saudara dan sanak keluarga) alias benar-benar sendiri? Jawabannya tentu saja: tetap melanggar sila. Di Asia, mereka yang benar-benar mandiri dan sendiri [tidak ada sanak keluarga sama sekali], tetap saja berada di bawah perlindungan norma / hukum dunia – dhammarakkhita*, dengan kata lain dilindungi oleh norma yang berlaku dalam masyarakat Asia. Di mata bangsa Asia, seks bebas adalah suatu bentuk perzinahan. Maka dari itu, di Asia, berhubungan seks dengan perempuan seperti itu juga termasuk melanggar sila. (* Dhamma bisa berarti kebenaran, ajaran, hukum, norma).

“Membahas mengenai sila menghindari perbuatan asusila / seksual yang menyimpang, jika seorang perempuan berada di bawah perlindungan ayah, ibu…., hukum dunia, atau hukum raja, jika seseorang berhubungan seksual dengan mereka, maka ini termasuk tindakan asusila / seksual yang menyimpang.” (Mahaprajnaparamita Upadesha karya Nagarjuna)

Pendiri Dinasti Ming di Tiongkok yaitu raja Zhu Yuanzhang yang seorang Buddhis membuat satu set kode etik kenegaraan (Daming Lu – Kode Dinasti Ming) di mana pelaku seks bebas atau seks yang dilakukan di luar ikatan pernikahan akan dijatuhi hukuman. Pada masa Dinasti Yuan, terdapat sebuah “Tabel Bajik dan Tak Bajik” yang diterima oleh baik umat Buddhis, Taois maupun Konfusianis. Teks Buddhis yang berkenaan dengan itu diberi nama Shih-chieh Kung-kuo-ku dan Chingshih Kungkuo-ko. Di sana disebutkan tindakan seks yang menyimpang termasuk hubungan seksual pra nikah mau sama mau dengan seorang perawan wanita. Bersetubuh dengan seorang gadis perawan akan menjadi perawan tersebut tidak pantas menjadi seorang istri, maka dari itu tindakan seks pranikah dianggap tak bajik.

Di negara-negara Buddhis Asia seperti Kamboja dan Thailand, seks di luar nikah dianggap sebagai hal yang tabu. Sangat jarang terdengar kasus seks di luar nikah di negara Kamboja, namun apabila terjadi demikian, maka ini akan dianggap memalukan keluarga sang perempuan. Sedangkan di Thailand, apabila ada remaja yang melakukan seks di luar nikah, maka ia harus mengakui kesalahannya pada orang tuanya dan pada para leluhurnya. Kritikus sosial Sukanya Hantrakul berkata, “Di Thailand, perempuan dikehendaki untuk tetap perawan sampai akhirnya menikah dan secara monogami.” Seks pranikah antara dua orang yang berpacaran seharusnya dihindari. Di desa-desa Thailand sangat jarang terjadi seks di luar nikah, namun di kota-kota besar jumlahnya cukup banyak disebabkan oleh pengaruh gaya hidup Barat.

Di negara-negara Barat seks bebas atau seks pra-nikah sudah diterima oleh umum, namun sebenarnya di negara Barat juga kalau seseorang terlalu bebas dalam hubungan seks, maka akan dianggap tak pantas. Baik dari segi kesehatan, psikologi (mental health), dan hubungan sosial, seks bebas telah membawa banyak kerugian. Meskipun menurut budaya barat diperbolehkan, namun agama Buddha tetap menganggap seks bebas / pra-nikah membawa pada kemerosotan batin dan merupakan pelanggaran sila. Menghindari potensi terjadinya seks pranikah seharusnya dilakukan oleh umat Buddhis baik yang berasal dari timur (Asia) maupun barat (Amerika/Eropa).

“Jika mereka (para Bodhisattva) memasuki rumah orang lain, ia tidak seharusnya berbicara [privat] dengan gadis-gadis muda, gadis yang belum menikah (perawan) ataupun janda.” (Saddharmapundarika Sutra)

Di sini yang dimaksud “berbicara” adalah berbicara secara privat, sendirian, di mana tidak ada orang yang mendengar ataupun melihat. Seorang Bodhisattva pria hendaknya menghindari berbicara seperti itu dengan gadis yang belum menikah ataupun janda di rumah orang lain, misalnya seorang pria berbicara berduaan dengan pacarnya di kamarnya. Ini dilakukan untuk mencegah agar para Bodhisattva tidak melakukan perzinahan. Secara tidak langsung Saddharmapundarika Sutra juga menyatakan bahwa seks pra-nikah seperti berhubungan seks dengan mereka yang masih belum menikah ataupun janda, adalah suatu bentuk perzinahan atau tindakan seksual yang salah.

YM Asanga dalam karyanya Bodhisattva-bhumi Sastra menggolongkan seks pra nikah (seks dengan perempuan yang belum menikah) sebagai tindakan seksual yang tidak pantas. Tsongkhapa dalam komentarnya Byang-chub sems-dpa'i tshul-khrims-kyi rnam-bshad byang-chub gzhung-lam juga menambahkan dengan mengatakan bahwa apabila sang perempuan perawan yang belum menikah itu jomblo / belum mempunyai pasangan, maka berhubungan seks dengannya juga termasuk tindakan seksual yang tidak pantas. Baik masih jomblo ataupun tidak, berhubungan dengan perempuan / pria secara pranikah adalah pelanggaran sila ketiga. Santaraksita dan Bodhibhadra dalam komentarnya juga mengaitkan tindakan tersebut sebagai tindakan yang tidak bajik.

Seks pra-nikah hanya dapat memancing emosi-emosi negatif lainnya, bahkan dapat menimbulkan hal yang tidak diinginkan seperti aborsi yang kalau kita melakukannya, berarti kita juga melanggar sila jangan membunuh. Gunakanlah hubungan seksual di waktu yang tepat, yaitu pada saat kita telah berkomitmen dengan pasangan kita dalam ikatan pernikahan.

“Kebudayaan Buddhis tradisional dengan stigma sosialnya menentang seks pranikah dan seks di luar nikah yang dihubungkan atas kesadaran akan kemungkinan terjadinya kehamilan dan aborsi sebagai konsekuensinya.” (Bhiksuni Karma Lekshe Tsomo)

Beberapa suku di Himalaya cukup bebas pergaulannya. Seks pranikah di sana sudah menjadi kasus yang eksis dan umum sejak zaman dahulu. Namun beberapa suku Tibet sebaliknya, ada juga yang menentang seks pranikah. Karma Lekshe Tsomo berkata: “Kebiasaan tindakan seks yang liberal di masyarakat Himalaya (Tibet, Bhutan, Ladakh) sangat berbeda dengan mereka yang merupakan Hindu konservatif, yang menganggap insiden poligami dan poliandri sebagai hal yang menjijikkan…. Meskipun ada stigma menentang seks pranikah, terutama karena tindakan tersebut dapat mengakibatkan kehamilan dan menghambat pernikahan formal, kehamilan di luar nikah dianggap sebagai kesalahan daripada suatu tindakan yang amoral. Namun ideal keperawanan untuk para wanita tetap, sebagian karena seks di luar nikah bertentangan dengan sila-sila Buddhis dan sebagian karena hubungan seperti itu membahayakan keharmonisan dan integritas sebuah keluarga.” (Buddhist Women Across Cultures oleh Ven. Karma Lekshe Tsomo)

 _/\_
The Siddha Wanderer

27
Ulasan Buku, Majalah, Musik atau Film / New Sinar Dharma Magazine!
« on: 28 September 2009, 06:36:32 PM »
Dapatkan Majalah Sinar Dharma terbaru!

Vol.7 No. 2 / 2553 BE



- BUDDHISME MEMBLUDAK DI TIONGKOK
- Second World Buddhist Forum
- Mao Zedong dan Buddhisme
- Buddhisme Dikenal oleh Qin Shihuang?

- Ah Du dan Hong Junyang
- Buddha Birthday Song, 50 Artis Hongkong Memuja Sang Buddha

- Joko Dolog, Aksobhya Buddha [Cokhor Duchen - Asadha di Joko Dolog]
- Waisak di Vihara Dhamma Jaya
- Peresmian Vihara Mahavira Graha Surabaya

- Yang Arya Kumarajiva
- Bodhisattva Akasagarbha

dan banyak lagi yang lain....

Pemesanan dan info lebih lanjut hubungi: (031) 7345135 [Buddhist Education Center Surabaya]

Dan info gembira, Majalah Sinar Dharma edisi-edisi lalu rencananya akan segera dapat diupload di Dhammacitta.  ;D  ;D

 _/\_
The Siddha Wanderer

28
Mahayana / Silsilah Mahayana dan Vajrayana dari Sakyamuni Buddha
« on: 07 August 2009, 08:28:56 AM »
Hormatku pada Nirmanakaya Agung Śākyamuni Buddha, Sumber Semua Ajaran!
Hormatku pada Sambhogakaya Śākyamuni Buddha, Maha-Vairocana Tathagata!
Hormatku pada Dharmakaya Śākyamuni Buddha, Vajradhara-Samantabhadra Adi Buddha!

Hormatku pada Dharma Yang Jaya dan Sangha Guru-Guru Silsilah yang Tak Terputus!

Silsilah Chan (Zen)
Dari Denkoroku, Baolin chuan, Jingde Chuandeng Lu, dan Wudeng Huiyuan:
Śākyamuni Buddha, 1. Mahakashyapa, 2. Ananda, 3. Madhyantika, 4. Sanavasa, 5. Upagupta, 6. Dhritaka, 7. Micchaka, 8. Buddhanandi, 9. Buddhamitra, 10. Bhikshu Parshva, 11. Punyayasas, 12. Asvaghosha, 13. Bhikshu Kapimala, 14. Nagarjuna, 15. Kanadeva, 16. Arya Rahulata, 17. Samghanandi, 18. Samghayasas (Gayashata), 19. Kumarata, 20. Jayata, 21. Vasubandhu, 22. Manura (Manorhita), 23. Haklenayasas, 24. Bhikshu Simha, 25. Vasasita (Basiasita), 26. Punyamitra, 27. Prajnatara, 28. Bodhidharma, 29. Dazu Huike, 30. Jianzhi Sengcan, 31. Dayi Daoxin, 32. Daman Hongren, 33. Dajian Huineng, 34. Nanyue Huairang dan Qingyuan Xingsi

Silsilah Nanyue Huairang - Linji
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Baizhang Huaihai, 3. Huangbo Xiyun, 4. Linji Yixuan

Silsilah Nanyue Huairang – Guiyang
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Baizhang Huaihai, 3. Guishan Lingyu

Silsilah Nanyue Huairang – Puhua
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Panshan Baoji, 3. Puhua

Silsilah Qingyuan Xingsi – Caodong
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yunyan Tansheng, 3. Dongshan Liangjie, 4. Caoshan Benji

Silsilah Qingyuan Xingsi – Yunmen
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yaoshan Weiyen, 3. Tianhuang Daowu, 4. Longtan Chongxin, 5. Deshan Xuanjian, 6. Xuefeng Yicun, 7. Yunmen Wenyan

Silsilah Qingyuan Xingsi - Fayen
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yaoshan Weiyen, 3. Tianhuang Daowu, 4. Longtan Chongxin, 5. Deshan Xuanjian, 6. Xuefeng Yicun, 7. Changqing Huileng, 8. Xuansha Shibei, 9. Fayan Wenyi

Silsilah Rinzai Jepang
Linji Yixuan, 1. Xinghua Cunjiang, 2. Nanyuan Huiyong, 3. Fengxue Yanzhao, 4. Shoushan Shengnian, 5. Shishuang Qingzhu, 6. Yangzhi Fanghui, 7. Baiyun Shouduan, 8. Wuzu Fayan, 9. Yuanwu Keqin, 10. Huqiu Shaolong, 11. Yingan Tanhua, 12. Mian Xianjie, 13. Songyuan Chongyue, 14. Yunan Puyan, 15. Xutang Zhiyu, 16. Shomyo (Daio Kokushi)

Silsilah Soto Jepang

Dongshan Liangjie, 1. Yunju Daoying, 2. Tongan Daopi, 3. Tongan Guanzhi, Liangshan Yuanguan, 4. Dayang Jixuan, 5. Touzi Yiqing, 6. Furong Daokai, 7. Danxia Zichun, 8. Zhenxie Qingliao, 9. Tiantong Zongjue, 10. Xuedou Zhijian, 11. Tiantong Rujing, 12. Eihei Dogen

Silsilah Seon Korea

I. Silsilah Gunung Huiyang

Bodhidharma, 1. Dazu Huike, 2. Jianzhi Sengcan, 3. Dayi Daoxin, 4 Beomnang (Pomnang), 5. Shinaeng
II. Silsilah Gunung Gaji
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Xitang Zhizang, 3. Toui (Jilin Daoyi), 4. Chejing
III. Silsilah Gunung Seongju
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Magu Baozhe, 2. Muyeom
IV. Silsilah Gunung Silsang
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Xitang Zhizang, 3. Hongcheok (Hongshe)
V. Silsilah Gunung Dongni
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Xitang Zhizang, 3. Hyejeol
VI. Silsilah Gunung Bongnim
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Zhangjing Huaihui, 3. Weongnam
VII. Silsilah Gunung Sagul
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Yanguan Qian, 3. Beomil
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yaoshan Weiyan, 3. Beomil
VIII. Silsilah Gunung Saja
Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Nanquan Puyuan, 3. Doyun
IX. Silsilah Gunung Sumi
Qingyuan Xingsi, 1. Shitou Xiqian, 2. Yunyan Tansheng, 3. Dongshan Liangjie, 4. Yunju Daoying, 5. Ieom

Silsilah Thien Vietnam
I. Dharmadeva, 1. Thich Hue Thang
II. Bodhidharma, 1. Dazu Huike, 2. Jianzhi Sengcan, 3. Vinitaruci (Ty Ni Da Lu Chi)
III. Nanyue Huairang, 1. Mazu Daoyi, 2. Baizhang Huaihai, 3. Wu Yen Tung (Vo Ngon Thong)
IV. Yunmen Wenyan, 1. Xianglin Chengyuan, 2. Xuetou Chongxian, 3. Thao Dong

 _/\_
The Siddha Wanderer

29
Kemaren ada omong2 sedikit sama Bhante Teja.....

Gimana kalau buat buku yg isinya profil2 bhikkhu2 STI?

Jadi bisa diterbitkan dan diberikan pada Sangha dan khalayak umum pada saat ulang tahun STI......

How2?

Kalau yang bhikkhu2 Jatim saya bisa coba tangani............, mis: Bhante Dhammavijayo, Bhante Tejapunno, Bhante Viriyadharo, atau Bhante Uttamo

Untuk di Jkt..... mohon bantuannya... dan saya lihat di sini banyak rekan2 dari Theravada... otomatis bisa banyak membantu.... ;D ;D

Tapi yah... ini masih hanya sebatas omong2 aja sih.........

 _/\_
The Siddha Wanderer

30
Diskusi Umum / Versi Lain dari "Buddha Gemuk"??
« on: 24 July 2009, 07:33:20 PM »
Di kalangan Theravada Thai, dikenal figur bernama Phra Sangkadchai.

Phra Sangkadchai katanya dikenal pula sebagai Arahat Mahakaccayana.

Kalau di Mahayana, Arhat yang ditampilin gemuk itu Ajita...........hmmmm............

Gambar-gambar Phra Sangkadchai






Perbandingan Budai dan Phra Sangkadchai


Saya masih kurang begitu jelas soal figur satu ini..........

 _/\_
The Siddha Wanderer

Pages: 1 [2] 3 4 5