Sangat benar, kita tidak mentolerir kesalahan, tapi ini harus disikapi dengan bijaksana, jika tidak, maka kita seakan-akan menghukum diri sendiri karena tidak mentolerir kesalahan dan sering menyebabkan stress atau depressi oleh kesalahan sendiri atau orang lain, karena ketakutan berlebihan terhadap berbuat kesalahan.
Memaafkan kesalahan ini juga diperlukan didalam kehidupan, karena ini adalah salah satu cara untuk mengembangkan metta ( cinta kasih ), apapun kata positif yang kita kombinasikan untuk kata kesalahan, maka anda selalu ingat “ Takut berbuat “kesalahan” tidak boleh menghentikan KEBERANIAN ANDA untuk “mencoba ( berusaha ) lagi”
Kalau anda menghentikan semangat anda untuk mencoba dan berusaha ( hal positif ), maka sebenarnya ini adalah “KESALAHAN” yang membuat anda tidak berkembang. Belajar dari kesalahan diri sendiri dan orang lain merupakan salah satu cara untuk men DEWASA kan MENTALITAS ( pola pikir ) kita.
Dan yang tidak kalah penting adalah MENGAKU KESALAHAN SECARA TULUS, tentu ini dilakukan juga dengan bijaksana yakni sesuai waktu, tempat dan kondisi, dll. Untuk yang ini saya kutip artikel
BOBOT SEBUAH BUKU Saya mempunyai seorang teman, ketika dia kuliah sangat tergila-gila dengan bahasa Inggris. Suatu ketika, dia meminjam buku di perpustakaan sekolah yang berjudul "100 contoh kesalahan bahasa Inggris yang sering dijumpai".
Setelah dibaca dia merasa tertarik dengan buku itu. Untuk bisa membeli buku ini, dia telah pergi mencari di semua toko buku yang berada di dalam kota, tetapi tidak berhasil dia dapatkan buku itu.
Karenanya dia memutuskan mengambil langkah yang sangat berisiko, yaitu buku yang dipinjam dari sekolah ini dijadikan sebagai miliknya sendiri.
Suatu hari, dia mengambil kesempatan ketika petugas perpustakaan tidak siaga, mempergunakan stempel khusus yang dipergunakan oleh petugas perpustakaan menyetempelkan huruf "sudah kembali" di atas kartu perpustakaan miliknya. Semula dia mengira, persoalan ini akan selesai sampai di situ.
Akan tetapi dia tidak menyangka, sejak saat itu, dia selalu berada di dalam keadaan yang sangat panik dan gelisah.
Ketika guru memanggil dia, dia mengira kasus meminjam buku tidak dikembalikan terbongkar. Ketika teman-teman sekelas sedang merembukkan sesuatu, dia juga mengira berhubungan dengan masalahnya itu. Dia bahkan tidak berani pergi ke perpustakaan lagi, kadang kala jika berjumpa dengan petugas perpustakaan, denyut jantungnya menjadi berdetak cepat.
Gejala tidak bisa tidur akut yang dia alami sejak saat itu dan seterusnya sering kali mengganggunya. Prestasinya sejak saat itu juga berangsur-angsur merosot.
Akhirnya setelah lulus, dia mengajukan permohonan untuk ditugaskan di luar daerah. Pada Minggu pertama setelah dia lulus, buku yang sangat ia hargai itu dikembalikannya ke perpustakaan universitas melalui kantor pos, dengan tertera nama pengirim: Seorang siswa yang merasa bersalah dan malu.
Setelah lewat 20 tahun, dia menceritakan peristiwa itu kepada saya, harga dari buku itu tidak mahal, dan berat buku itu sendiri tidak lebih dari 250 gram. Tetapi setelah ia mengembalikan buku itu, dia merasa hatinya terasa plong, ringan sekali, ibarat telah melepas beban dengan berat ribuan kilo.
Dia mengatakan, saat itu untuk kali pertama dia memahami secara mendalam betapa pentingnya menjadi manusia yang tanpa punya perasaan bersalah di dalam hati dan pikiran.
Semoga Bermanfaat.