Pengusaha yang ingat budi.
Sebuah pengalaman menarik saat saya bekerja di sebuah perusahaan farmasi sebagai manajer produksi. Perusahaan tersebut sedang pada masa peralihan dari sistem manajemen keluarga menjadi manajemen profesional dengan merekrut manajer muda yang selain S1, juga telah mendapat pendidikan manajemen; dan saya adalah salah satu dari belasan manajer muda tsb.
Dalam upaya peningkatan mutu, diberlakukan pengendalian mutu yang lebih ketat, termasuk pada kemasan produk, yang antara lain toleransi mis-print/salah cetak/cetakan berbayang tidak boleh lebih dari 5%.
Kejadian ini bermula dari perubahan peraturan dari DirJen POM (Sekarang BPOM) yang mengharuskan pada setiap kemasan obat bebas terbatas (yang bisa dibeli tanpa resep dokter) diberi lingkaran biru tua dengan batas lingkaran berwarna hitam.
Sudah bertahun tahun kemasan sebuah produk yang laris, hanya terdiri dari 2 warna + hitam untuk tulisan, dan 2 supplier yang memasok juga sudah bertahun tahun memasuk tanpa ada masalah.
Setelah peraturan ini berlaku, pengiriman salah satu suplier – sebut saja sebagai S - menjadi bermasalah, jika diperiksa oleh bagian Pengendali Mutu, maka jumlah misprint/salah cetak rata rata diatas 7% bahkan kadang kadang lebih dari 15%. Jika lingkaran biru dicetak sesuai, warna paduan yang lain berbayang , jika warna yang lain sesuai, warna birunya meluber keluar lingkaran. Sesuai peraturan yang berlaku, saya menolak menggunakan pengiriman yang salah cetaknya lebih dari batas toleransi 5% dan meminta bagian gudang untuk meretour/mengembalikan kepada Supplier S.
Bagian gudang karena orang yg sudah lama bekerja, dan tahu bahwa supplier tsb adalah kawan lama alias hopeng boss owner, tidak berani meretour, maka terjadilah penumpukan di gudang; karena saya berpegang teguh pada peraturan toleransi yang ditandatangani sendiri si boss owner.
Otomatis kemasan mis print tersebut memenuhi gudang dan tidak bisa ditagih oleh supplier S.
Suatu hari pemilik supplier S, datang ke pabrik dan ingin bertemu saya. Setelah saya temui, si boss supplier S orang nya sudah lanjut sekitar 65 tahun. Setelah berbasa basi, beliau meminta maaf karena banyak salah cetak dan menjelaskan bahwa mesin cetaknya selain sudah tua hanya mampu mencetak 2 warna. Jika mau mencetak tulisan hitam, harus naik cetak sekali lagi dan itu tidak ada masalah. Tetapi sejak ada penambahan lingkaran biru, maka terjadilah salah cetak/ber bayang. Beliau memohon dengan sangat agar pengirimannya bisa diterima supaya perusahaan bisa terus berlangsung.
Dan saya pun berpegang teguh pada peraturan yang ditanda tangani si boss owner.
Maka pulanglah supplier S dengan kecewa, apa boleh buat, saya tidak bisa membantu.
Seminggu kemudian saya dipanggil oleh boss owner.
Saya pikir :”Wah, saya bisa dipecat nih.”
Setelah saya duduk, si Boss bilang begini : “Kamu betul, saya mau kualitas barang dari perusahaan saya bagus bagus , tidak ada yang cacat. Tapi saya mau cerita , dulu waktu saya merintis perusahaan ini, saya sering telat tidak bisa membayar kepada supplier S karena tagihan saya ke pedagang grosir macet atau belum bisa tertagih. Suatu saat, begitu sulitnya keuangan perusahaan, semua supplier lain sudah tidak ada yang mau mensupplai ke perusahaan ini, saya datang ke rumah supplier S meminta tolong agar tetap dikirimi kemasan yang kita butuhkan. Dan beliau percaya kepada saya, sehingga perusahaan kita ini menjadi sebesar sekarang, punya pabrik baru yang besar dan bisa menggaji kalian para manajer profesional. Nah saya ingin membalas budi beliau, tolong kamu pikirkan bagaimana caranya agar kualitas produk tetap baik, dan hubungan saya dengan supplier S tetap baik.”
Saya menjawab : “Pak, jika kita bantu , tetap akan terjadi lagi karena mesin cetaknya hanya mampu mencetak 2 warna, karena itu terjadi misprint”
Si boss tertawa , dan lalu berkata : “Oh gitu ya , mesinnya sudah ketinggalan jaman. Begini saja, kamu cari jalan keluar untuk barang yang sudah ada di gudang, untuk yang berikutnya saya akan bicarakan dengan supplier S”
Setelah putar otak, saya menjawab : “Kalau saya lemburkan karyawan untuk mensortir kemasan dari S, dan biaya lembur dibebankan kepada supplier S dan kita hanya membayar yang layak pakai , kira kira supplier S setuju, pak?”
Beliau mengangguk, dan berkata : “Saya setuju dan beliau juga pasti setuju, kan daripada uangnya jadi abu”.
Maka, mulailah kerja lembur untuk mensortir kemasan cacat tersebut sampai habis.
Sebulan kemudian, saya iseng iseng bertanya kepada manajer keuangan rekan kerja saya, bagaimana potongan pembayaran terhadap supplier S atas biaya lembur dan barang yang ditolak.
Saya terkejut waktu dikatakan bahwa semuanya dibayar penuh. Saya menjawab dengan kesal :”Wah bagaimana ini, kan kesepakatannya tidak begitu”.
Dengan senyum senyum si manajer keuangan : “Boss kita lebih canggih, perusahaan membayar sesuai perhitungan kamu, selisih tagihan yang berupa barang yang rusak dan biaya lembur, dibayar lewat kantong pribadi boss sendiri”
“Bukan cuma itu, beliau menjamin kredit pembelian mesin cetak baru yang 5 warna untuk perusahaan S, supaya tidak misprint lagi, aku tahu persis karena yang membereskan administrasi dengan bank”
Saya terdiam dan berpikir “Boss ini orang yang ingat utang budi”
Saya keluar dari perusahaan tersebut karena suasana kerja yang terlalu santai dan saya ingin karir yang lebih cepat.
Kejadian mirip seperti ini juga terjadi dengan perusahaan transport yang sudah berpuluh tahun menjadi rekanan, dan karena truk angkutan yang sudah tua, sering mogok dan pengiriman terlambat. Boss ini yang menjamin kredit pengadaan truk baru untuk rekanan tersebut.
Beberapa tahun yang lalu, mantan boss saya ini terpilih menjadi Asian Entrepreneur of the Year , tentunya karena attitude bisnisnya yang baik.