Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Topik Buddhisme => Pengalaman Pribadi => Jurnal Pribadi => Topic started by: K.K. on 18 June 2009, 10:16:52 AM

Title: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 10:16:52 AM
Karena sekarang ini thread bisa tiba-tiba hilang, penuh junk atau di-lock, saya melanjutkan diskusi saya di sini.
Bagi yang mau melanjutkan atau memulai diskusi dengan saya, silahkan.



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 10:18:55 AM
Quote from: marcedes
saya juga setuju dengan anda, akan tetapi ada beberapa hal yah menurut saya relatif..
saya ingat milinda panha, apabila seseorang berdiskusi mencari pembenaran, maka semua menjadi susah...
akan tetapi mencari kebenaran maka relatif cara-nya...

dalam sutta "penyerangan" yang dimaksud Buddha itu seperti apa dulu....
dalam Upali Sangbuddha langsung memberikan pertanyaan berupa inti dan langsung ke kenyataan.
dalam upali sutta sendiri, guru upali "muntah darah" jadi apa bisa dikatakan Upali melakukan "penyerangan"?
maka dari itu saya katakan semua itu relatif,

sangBuddha juga pernah berdebat dengan seorang pertapa masalah jasmani adalah "aku"
Betul, memang semua itu relatif. Karena itu juga saya berusaha tidak kaku dan tidak menerapkan 1 cara untuk semua orang. Ada orang yang dibilangin baik-baik bisa belajar, ada yang harus diberi tahu dengan tegas, ada juga yang sudah dikasarin masih tidak mengerti. Tetapi memberitahu secara baik-baik selalu jadi pilihan pertama saya.
Kembali ke Upali Sutta, guru dari Upali, Nigantha Nataputta, tidak muntah darah karena Upali menjelek-jelekkan ajarannya, tetapi karena tidak bisa menerima kenyataan penunjang utama alirannya memuji begitu tingginya ajaran Buddha. Jadi tetap Buddha atau pun Upali, tidak menyerang kelompok Nigantha.

Saya juga bukan katakan tidak boleh membahas ajaran lain dalam kondisi apa pun juga. Membahas ajaran orang lain adalah etis JIKA orang itu memang mengundang. Jadi jika ada seseorang masuk ke forum Buddhis, memberikan "Raungan Singa" tentang ajarannya, maka itu saatnya anda bertanya dan mempertanyakan segala tentang ajarannya. Berbeda dengan orang yang masuk, lalu bertanya tentang ajaran "tuan rumah", sudah sepantasnya "tuan rumah" tidak membahas ajaran si "tamu".



Quote from: marcedes
dalam berdiskusi maupun berdebat kita tidak mungkin bisa merubah langsung pemikiran orang dengan kehendak kita.....
kita semua hanya memperlihatkan bukti-bukti dan pandangan yang nyata di terapkan.
apabila mereka menerima ataupun menolak itu merupakan hak mereka.......
dan tidak mungkin kita memaksakan saat itu...

ibarat kita memperlihatkan barang bagus merek buddha, terserah mereka mau tertarik atau tidak.
dari pada tidak ada usaha sama sekali,bukankah hal itu juga berbuat baik.^^
Seperti saya katakan, mengatakan kebenaran juga ada caranya, ada waktunya. Saya tidak protes niat baik anda mengenalkan dhamma ke orang lain, tapi saya protes caranya.



Quote from: marcedes
yah relatif saja, tergantung dari lawan bicara....
dan juga jika lawan bicara memang mencari kebenaran.....kalau mencari pembenaran yah sebaiknya di stop....kadang-kadang win-win solution itu tidak ada...^^ relatif saja...
betul yang anda bilang, saya juga sependapat.
hanya memperlihatkan barang merek buddha, terserah mereka tertarik atau tidak........
Jika seseorang tidak mengembangkan dendam atau kebencian karena satu diskusi, itu sudah win-win solution bagi saya. Masalah orang itu cari pembenaran, masuk telinga kanan keluar telinga kiri, itu sudah masalah lain. Kalau seseorang memang ingin berdana dhamma, sudah sewajarnya bertahan dari orang-orang macam itu.



Quote from: marcedes
masalah semoga semua makhluk berbahagia.
saya balik bertanya pada anda...
apakah anda setuju melihat orang yang senang dan gembira karena dirinya dibohongi...
Bagaimana saya bisa mengatakan seseorang "dibohongi" sementara saya sendiri belum merealisasikan ajaran, juga tidak mampu membuktikan "kebohongan" ajaran lain?
Kalau dari sudut pandang saya, ada dua jenis orang: yang bisa melihat dhamma dan yang tidak bisa melihat dhamma. Jika seseorang bisa melihat dhamma, alangkah baiknya dia mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang ia lihat. Bagi yang tidak bisa melihat dhamma, alangkah baiknya dia tidak menambah keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang sudah ada.
Jadi, jika seseorang tidak bisa melihat suatu kebenaran sebagai kebenaran, ia akan bergembira dalam kebohongan dan ilusi. Tidak ada yang bisa saya lakukan tentang hal itu. Tetapi setidaknya jika ia berbahagia dan tidak menambah kebencian dan dendam, saya pun berbahagia untuknya, ketimbang ia bergembira dalam kebohongan dan ilusi ++ benci & dendam.


Quote from: marcedes
jadi semoga semua makhluk berbahagia itu artinya seperti apa....^^
saya tidak meminta atau berharap semua beragama buddha, akan tetapi semua berprilaku sesuai buddha dhamma......
dan itu tidak akan tercapai tanpa usaha bukan...setidaknya seperti apa yang saya katakan,
lihat barang saya, lihat barang kamu mana kualitas bagus anda memilih.
dibanding barang kita tidak dilihat sama sekali...tentu pilihan cuma 1. ^^
Sama seperti jawaban di atas. Setiap mahluk terbelenggu keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Bagi yang bisa melihat dhamma, saya harapkan ia berkesempatan mengenalnya. Bagi yang tidak bisa melihat dhamma, semoga ia tidak menambah keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang sudah ada dengan cara memuaskan ego diskusinya.



Quote from: marcedes
masalah menyinggung atau menyerang, sebaik-nya dibicarakan dari awal
karena kalau bicara konsep berbeda sudah pasti akan ada kemungkinan emosi keluar....
sangBuddha mengajarkan Dhamma ada kan korbannya, hitung-hitung sudah cukup banyak yang muntah darah...jadi walau kita berbicara sebaik mungkin, tidak menutup ada pertengkaran yang keluar dikarenakan perbedaan....hanya saja jika dibicarakan dari awal setidaknya masih lebih baik
maka dari itu
cari pembenaran / kebenaran?
Setahu saya, "korban-korban" muntah darah itu bukan karena berdebat dengan Buddha, tetapi kehilangan murid (Nigantha Nataputta yang kehilangan Upali; Sanjaya Belatthaputta yang kehilangan Sariputta & Moggallana). Buddha selalu mengajar dengan belas kasih, bukan menimbulkan bencana bagi orang lain. Seperti saya katakan, Buddha mengajarkan 5 syarat mengajar dhamma, dan sejauh yang pernah saya baca, Buddha sendiri tidak pernah melanggar ajarannya sendiri.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 10:34:05 AM
Quote from: Samita
1. apa reinkarnasi dalam agama Buddha sama artinya dengan mengenal konsep anatta/tanpa inti/roh toh?
Jika seseorang mengaitkan konsep Anatta atau tanpa diri, hanya dengan teori kelahiran kembali, maka selalu terjadi kebinungan. Anatta berlaku sekarang, bukan hanya pada saat kematian/kelahiran kembali. Walaupun sekarang kita bisa berpikir, merasakan, dan lain-lain, tetap tidak ada sesuatu yang bisa ditunjuk sebagai inti diri yang kekal dan tidak berubah.
Jadi di dalam kehidupan yang sama pun, tidak ada suatu yang tidak berubah dalam diri kita, bagaimana mungkin setelah kematian, ada sesuatu yang tetap, yang bisa disebut sebagai "diri"?


Quote from: Samita
2. Sewaktu kehidupan Sang Buddha tidak ada rupang, apakah para Sangha telah melakukan kebaktian seperti kita sekarang ini?
Ini saya tidak tahu.


Quote from: Samita
3. .SAKYAMUNI BUDDHA meninggal karena apa rekan rekan toh, saya sedang membaca sedikit sedikit ajaran buddha, jadi yang saya ingin tanyakan , segera saya tanyakan toh.
Meninggal karena umur kehidupannya memang sudah habis.


Quote from: Samita
4. .Untuk masuk agama buddha toh (misal ada yang mau pindah agama ke buddha) apakah ada syaratnya toh? misal kalo di I**** kan ada pengucapan dua kalimat syahadat baru "resmi" jadi islam. Di buddha ada juga kagak?
Dalam dhamma, tidak ada yang disebut "Buddhis" atau "non-Buddhis". Setahu saya, Buddha hanya membedakan seseorang berdasarkan caa pandang dan perilakunya. Cara pandang dan perilaku yang dianjurkan Buddha adalah menjaga kemoralan (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak bicara tidak benar, tidak mabuk2an), mengembangkan konsentrasi (menghancurkan penghalang berupa kemalasan, keraguan, kegelisahan, pikiran kejam, nafsu indriah) dan kebijaksanaan (melihat segala fenomena sebagaimana adanya).

Berkenaan dengan keorganisasian, setahu saya masyarakat India jaman dahulu jika memeluk satu ajaran, maka ia menyatakannya dengan "berlindung pada guru, ajaran, dan komunitas" maka tradisi itu pun terbawa oleh pemeluk Buddhis yang menyatakan berlindung pada "Buddha, Dhamma, dan Sangha". Kalau bagaimana birokrasinya sekarang, saya tidak tahu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Forte on 18 June 2009, 10:49:58 AM
Sedikit intermezzo..

Saya kagum dengan ketenangan bro kainyn..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Samita on 18 June 2009, 11:24:15 AM
kamsiah Kamsiah , saya pun kagum dengan bro kainyn toh, ini salah satu yang dapat membuat orang tertarik dengan agama budha toh, bukan hanya teori nya saja toh, tapi benar benar sesuai yang diajarkan budha toh.

Bro apa yang harus dilakukan pemula toh dalam belajar agama budha toh? walaupun saya toh bukan budhis?
Bila saya toh, ingin belajar dhama, tapi saya toh tetep dalam agama saya toh, apa itu toh bisa bermasalah toh?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Hendra Susanto on 18 June 2009, 11:46:52 AM
yang saya pelajari waktu pertama kali adalah mengenai hukum kamma, siapa menanam dia yang menuai

tidak masalah... dhamma bukan hanya milik umat buddha
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 18 June 2009, 11:48:43 AM
hukum tabur tuai pun ada di kr****n ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Forte on 18 June 2009, 11:51:47 AM
Bro apa yang harus dilakukan pemula toh dalam belajar agama budha toh? walaupun saya toh bukan budhis?
Bila saya toh, ingin belajar dhama, tapi saya toh tetep dalam agama saya toh, apa itu toh bisa bermasalah toh?
kayaknya seh gak masalah ya bro karena agama adalah kebebasan Anda..
Mengambil dhamma walau bukan Buddhis juga gak ada yang mempermasalahkannya..

Ibaratnya seperti ini, misal saya puasa / melakukan sunat.. walau saya bukan Islam
atau bisa juga melakukan puasa garam seperti agama Anda, ada kalanya sehat u/ orang penderita hipertensi karena kebanyakan garam..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 12:29:43 PM
Bro apa yang harus dilakukan pemula toh dalam belajar agama budha toh? walaupun saya toh bukan budhis?
Bila saya toh, ingin belajar dhama, tapi saya toh tetep dalam agama saya toh, apa itu toh bisa bermasalah toh?

Seperti saya bilang, sebetulnya tidak ada ukurannya orang itu "Buddhis" atau "non-Buddhis". Buddhisme menawarkan suatu cara pandang terhadap hidup secara keseluruhan. Keseluruhan pandangan ini sangat luas, ada yang mungkin cocok, dan sebagian lagi tidak cocok. Tentu saja kalau tidak cocok, seseorang tidak perlu menerimanya.

Menjalankan dhamma itu intinya adalah mencapai kebahagiaan dengan mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin.
-Jika seseorang mengurangi keserakahan, maka ia tidak banyak keinginan dan mudah puas. Seseorang yang cepat puas akan lebih berbahagia.

-Jika seseorang mengurangi kebencian, maka ia tidak menghabiskan waktu untuk mendendam, membenci, dan marah-marah. Orang yang demikian hatinya menjadi damai, kondusif untuk lebih sehat. Oleh karena itu, ia berbahagia.

-Jika seseorang karena dihalangi delusi, menggenggam bahwa "keabadian adalah milikku", maka ia tidak bisa menerima perubahan. Ia tidak bisa menerima kehilangan sebagai kehilangan, perpisahan sebagai perpisahan. Ia akan berputar-putar dan mencari pembenaran akan ilusinya tersebut. Ketika ia menghilangkan kebodohan bathin, tidak lagi terjebak dalam delusi, maka ia bisa melihat kenyataan bahwa ada pertemuan, pasti ada perpisahan; ada awal kebahagiaan, pasti ada akhir dari kebahagiaan, maka ia tidak lagi "disesatkan" oleh pikirannya. Demikian dia melepas pandangan kelirunya dan menjadi bahagia.

Dilihat dari sini, apakah status agama berpengaruh? Apakah berbahagia dengan mengikis keserakahan hanya milik orang berstatus "Buddhis", ataukah "non-Buddhis" juga berbahagia karena tidak serakah? Rasanya bisa dijawab sendiri. Begitu pula dengan kebencian dan kebodohan bathin.

Selain dari hal-hal pokok tersebut, Buddhisme juga menawarkan suatu cara pandang terhadap hidup. Misalnya dari Agama Nasrani, memercayai dosa turunan (original sin) sebagai penyebab orang terlahir dengan kondisi berbeda; Muslim percaya pada takdir baik dan buruk; Buddhisme menawarkan satu konsep yang disebut hukum kamma yang berhubungan dengan tumimbal lahir.

Hukum kamma berbeda dengan hukum tabur-tuai dalam Galatia 6:7, walaupun sekilas adalah mirip. Dalam dhamma, seberapa banyak yang bisa kita "tabur" adalah akibat dari perbuatan kita sendiri di masa lampau, sedangkan dalam ajaran Kr1sten, merupakan sebuah "talenta". Demikian juga kita selalu menuai apa yang kita tabur, baik di kehidupan sekarang, kehidupan berikut, atau kehidupan-kehidupan setelahnya; sedangkan dalam ajaran Kr1sten, ada yang namanya penebusan, api penyucian (di Katholik), dan hanya ada kehidupan sekarang dan 1 kehidupan berikut (Sorga, Neraka, atau Purgatorium).

Pandangan kepercayaan demikian, sangat sulit dibuktikan yang mana bener dan salah, oleh sebab itu, maka kita memilihnya berdasarkan kecocokan dengan pandangan kita, bukan karena yang mana benar dan yang lain salah, seperti ilmu pasti. Jadi tidak masalah anda masih memeluk ajaran Kr1sten tetapi ingin mengambil manfaat dari metode2 dhamma untuk mendapatkan kebahagiaan, yaitu dengan mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 18 June 2009, 12:37:59 PM
Toh..toh...toh Bobo toh....;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Reiko Chan on 18 June 2009, 12:45:28 PM
hukum tabur tuai pun ada di kr****n ;D

Yup, Ko ryu tau aja   :-[

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 18 June 2009, 01:16:44 PM
Postingan kainyn sungguh mencerahkan...

Boleh tanya pak?
Bagaimana pandangan om kainyn mengenai "aliran2 kontroversi"??
Dan bagaimana om menyikapinya.

Kamsia
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 01:30:26 PM
Postingan kainyn sungguh mencerahkan...

Boleh tanya pak?
Bagaimana pandangan om kainyn mengenai "aliran2 kontroversi"??
Dan bagaimana om menyikapinya.

Kamsia

Aliran kontroversi, maksudnya seperti Maitreya, Su Ma Ching Hai dan lain-lain?
Kalau mengenai ajarannya, mereka juga punya hak mengatakan ajaran mereka yang benar. Jadi saya pribadi membiarkan saja mereka apa adanya.

Jika ada yang bertanya tentang Buddhisme tapi belum kenal sama sekali, saya selalu menjelaskan tentang adanya aliran-aliran dalam Buddhisme, supaya yang bertanya tidak bingung. Saya akan jelaskan sedikit yang saya tahu tentang semua aliran itu. Biasanya dengan begitu cukup jelas.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 18 June 2009, 02:39:32 PM
Two thumbs buat bro Kainyn_Kutho  ^:)^ ^:)^ ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 02:52:52 PM
Thanx buat teman2 yang mendukung pendapat saya!

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 18 June 2009, 03:01:32 PM
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 18 June 2009, 03:17:49 PM
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D

Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik.  ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 18 June 2009, 03:53:54 PM
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D

Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik.  ^:)^

ya itu BUDDHA DHAMMA, emang ada yang lain lagi ?

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 04:04:32 PM
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D

Kalau menurut saya pribadi sih, satu ajaran dikatakan "benar" itu adalah subjektif, tergantung dari yang memandangnya. Seperti saya pernah pakai analogi pelangi, bagi orang buta warna parsial, warna pelangi cuma 6 (atau kurang) adalah kebenaran baginya. Bagi orang dengan mata normal, kita katakan 7. Tetapi kalau burung bisa ngomong, mereka bilang kita semua buta warna (beberapa keluarga burung ada yang memiliki sel kerucut di mata yang lebih sensitif). Jadi yang manakah yang kita bilang benar?

Kalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.

Jadi kalau kembali menurut pendapat saya, makin sempit ruang lingkup satu ajaran, maka semakin subjektif kebenarannya. Dan kebalikannya, semakin luas cakupan satu ajaran, semakin mendekati kebenaran pula ajaran itu.  


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 04:08:57 PM
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D

Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik.  ^:)^

Ya, kira-kira begitu. Kalau kita lihat seseorang sejak punya agama "baru" jadi lebih baik, damai, peduli dengan orang lain, maka kita bilang "agama"-nya itu bermanfaat. Kalau kita lihat orang semenjak punya agama "baru" sering menimbulkan keresahan, nakut2in orang, tukang berantem, maka boleh dibilang ajaran "agama"-nya kurang bermanfaat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 18 June 2009, 04:28:35 PM
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D

Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik.  ^:)^

ya itu BUDDHA DHAMMA, emang ada yang lain lagi ?

 _/\_
BUDDHA dhamma nya versi yang mana? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 18 June 2009, 04:36:51 PM
Quote
Kalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.

Apakah ada penjelasan "apakah yg satu"? (dalam sutta)
Jika bisa berlaku pada setiap orang mengapa kenyataannya tidak setiap orang bisa memberlakukan kebenaran? Dan banyak pendapat. Jika kebenaran setiap orang subjektif maka kebenaran itu tidak ada yg mutlak dan subjektif pula? bagaimana ini? Berarti Dhamma yg diajarkan Sang Buddha subjektif?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 18 June 2009, 04:39:47 PM
ada yang mau eaye tanya nih, bagaimana menurut bro kainyn mengenai ajaran Buddha yang menyebar demikian banyak aliran2 sehingga membingungkan mana yang bisa disebut "ajaran Buddha" yang paling Murni, nah manakah yang paling murni itu? apa pandangan masing2 individu yang paling murni atau ada sesuatu tolak ukur yang "paling" benar? ;D

Bila suatu ajaran itu setelah dipelajari dan dilatih dapat membantu kita mengikis LDM, maka ajaran itu dapat dikatakan baik.  ^:)^

Ya, kira-kira begitu. Kalau kita lihat seseorang sejak punya agama "baru" jadi lebih baik, damai, peduli dengan orang lain, maka kita bilang "agama"-nya itu bermanfaat. Kalau kita lihat orang semenjak punya agama "baru" sering menimbulkan keresahan, nakut2in orang, tukang berantem, maka boleh dibilang ajaran "agama"-nya kurang bermanfaat.


Bagaimana kalau, memang agamanya mengajarkan begitu ? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 18 June 2009, 04:40:58 PM
Quote
Kalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.

Apakah ada penjelasan "apakah yg satu"? (dalam sutta)
Jika bisa berlaku pada setiap orang mengapa kenyataannya tidak setiap orang bisa memberlakukan kebenaran? Dan banyak pendapat. Jika kebenaran setiap orang subjektif maka kebenaran itu tidak ada yg mutlak dan subjektif pula? bagaimana ini? Berarti Dhamma yg diajarkan Sang Buddha subjektif?
Betul, tapi tidak semua orang bisa cocok dengan ajaran itu iya tohhh (Samita mode=on) ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 04:52:29 PM
Quote
Kalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.

Apakah ada penjelasan "apakah yg satu"? (dalam sutta)
Jika bisa berlaku pada setiap orang mengapa kenyataannya tidak setiap orang bisa memberlakukan kebenaran? Dan banyak pendapat. Jika kebenaran setiap orang subjektif maka kebenaran itu tidak ada yg mutlak dan subjektif pula? bagaimana ini? Berarti Dhamma yg diajarkan Sang Buddha subjektif?

Dari yang saya pernah baca, saya menafsirkan bahwa yang "satu" berlaku bagi semua orang adalah kenyataan tentang Dukkha, juga berhentinya Dukkha.

Setiap orang pasti tahu bahwa dirinya akan "mati". Tetapi seberapa orang yang sadar (mindful) akan kenyataan tersebut? Ada lagi yang tidak bisa menerima kenyataan tentang perubahan, maka mencari suatu "kekekalan". Itu sebabnya tidak semua orang menerima dan menjalankan dhamma. Sama seperti anak yang mulai tumbuh dewasa diajarkan orang-tuanya, "Santa Claus tidak ada, semua hanya rekayasa". Sebagian anak bisa menerima, sebagian anak yang begitu melekatnya pada Santa Claus belum bisa menerima dan tetap "memelihara" Santa Claus agar tetap hidup di pikirannya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 04:57:30 PM
Ya, kira-kira begitu. Kalau kita lihat seseorang sejak punya agama "baru" jadi lebih baik, damai, peduli dengan orang lain, maka kita bilang "agama"-nya itu bermanfaat. Kalau kita lihat orang semenjak punya agama "baru" sering menimbulkan keresahan, nakut2in orang, tukang berantem, maka boleh dibilang ajaran "agama"-nya kurang bermanfaat.
Bagaimana kalau, memang agamanya mengajarkan begitu ? ;D

Maka kembali pada kebijaksanaan kita masing-masing untuk menilainya.
Itulah sebabnya dalam dhamma juga Buddha tidak menyetujui orang asal percaya saja, karena Buddha melihat kita sebagai manusia (yang mengutamakan akal), bukan keledai pandir.  :)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 18 June 2009, 05:53:02 PM
kalau ada yg tanya pada Mr. Johnz,

apakah Su Ma Ching Hai itu cantik ?

bagaimana pula jawaban bro Johnz ? :)

(yg lain mau jawab.... silahkan)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 18 June 2009, 06:46:08 PM
Quote
Kalau menurut saya pribadi, kebenaran yang benar-benar "benar" adalah jika berlaku bagi semua orang.
Mungkin kita pernah mendengar kisah Theri Kundala Kesa yang begitu terkenal di seluruh Jambudvipa karena keahlian berdebatnya. Ia menanyakan Sariputta seribu pertanyaan seputar dhamma, dan semua dijawab. Kemudian Sariputta hanya menanyakan 1 pertanyaan, "Apakah yang satu?" maksudnya apakah kebenaran yang berlaku mutlak bagi semua orang. Kundala Kesa tidak bisa menjawabnya, dan kemudian Sariputta membawanya kepada Buddha.

Apakah ada penjelasan "apakah yg satu"? (dalam sutta)
Jika bisa berlaku pada setiap orang mengapa kenyataannya tidak setiap orang bisa memberlakukan kebenaran? Dan banyak pendapat. Jika kebenaran setiap orang subjektif maka kebenaran itu tidak ada yg mutlak dan subjektif pula? bagaimana ini? Berarti Dhamma yg diajarkan Sang Buddha subjektif?

Dari yang saya pernah baca, saya menafsirkan bahwa yang "satu" berlaku bagi semua orang adalah kenyataan tentang Dukkha, juga berhentinya Dukkha.

Setiap orang pasti tahu bahwa dirinya akan "mati". Tetapi seberapa orang yang sadar (mindful) akan kenyataan tersebut? Ada lagi yang tidak bisa menerima kenyataan tentang perubahan, maka mencari suatu "kekekalan". Itu sebabnya tidak semua orang menerima dan menjalankan dhamma. Sama seperti anak yang mulai tumbuh dewasa diajarkan orang-tuanya, "Santa Claus tidak ada, semua hanya rekayasa". Sebagian anak bisa menerima, sebagian anak yang begitu melekatnya pada Santa Claus belum bisa menerima dan tetap "memelihara" Santa Claus agar tetap hidup di pikirannya.



"apakah yg satu" pernah ditanyakan kepada arahat yg baru berumur 7 tahun yaitu sopaka...jawabannya adalah

"What is one?"

All beings subsist on food. [There are these four nutriments for the establishing of beings who have taken birth or for the support of those in search of a place to be born. Which four? Physical food, gross or refined; contact as the second, intellectual intention the third, and consciousness the fourth. -- SN XII.64"    http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1515.0.html

 Tulisan bro paragraf kedua--- Artinya dan sebenarnya kebenaran itu sendiri tidak subjektif tapi orangnya yg subjektif karena persepsinya sendiri berada dalam pandangan yang salah karena kotoran batin yg membelenggunya dan ia tidak bisa melihat kenyataan. Kebenaran itu adalah kenyataan itu sendiri.  Oleh karena  itu Dhamma memiliki dasar dan acuannya. Acuannya adalah seperti yg diajarkan Sang Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 18 June 2009, 07:01:45 PM
Quote
Bagaimana saya bisa mengatakan seseorang "dibohongi" sementara saya sendiri belum merealisasikan ajaran, juga tidak mampu membuktikan "kebohongan" ajaran lain?
Kalau dari sudut pandang saya, ada dua jenis orang: yang bisa melihat dhamma dan yang tidak bisa melihat dhamma. Jika seseorang bisa melihat dhamma, alangkah baiknya dia mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang ia lihat. Bagi yang tidak bisa melihat dhamma, alangkah baiknya dia tidak menambah keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin yang sudah ada.
Jadi, jika seseorang tidak bisa melihat suatu kebenaran sebagai kebenaran, ia akan bergembira dalam kebohongan dan ilusi. Tidak ada yang bisa saya lakukan tentang hal itu. Tetapi setidaknya jika ia berbahagia dan tidak menambah kebencian dan dendam, saya pun berbahagia untuknya, ketimbang ia bergembira dalam kebohongan dan ilusi ++ benci & dendam.
saudara kaiyin,
kalau anda belum merealisasikan itu hak anda, tapi kenapa anda bisa mengatakan protes akan cara saya?...kalau bs sebagai bahan koreksi saya minta kutipan dari cara saya yang salah dimata anda.

masalah kutipan "semoga semua makhluk berbahagia"
memang betul kata anda, tetapi sekarang mungkin posisi saya dan anda berbeda...saya mungkin merealisasikan beberapa kebenaran sebagai kebenaran dan ilusi sebagai ilusi...
jika anda sebagai saya, mengetahui seseorang itu berbahagia karena di bohongi...
salahkah jika berniat mengutarakan kebenaran pada dirinya? > saya rasa tidak salah...tergantung sikon (situasi dan kondisi pada waktu itu)

saya jadi teringat percakapan buddha dengan pangeran ( well walau tidak seperti asli nya, ini kira-kira lah soalnya juga lupa-lupa ingat ), mengenai bayi...
jika ada Bayi menelan sebuah biji besar yang dapat membuat nya mati menderita, dengan cara apakah pangeran menolong-nya....
dengan memasukkan jari atau tangan saya..
kemudian buddha berkata, tetapi itu akan membuat bayi tersebut menderita....
pangeran kemudian berkata, tetapi saya lakukan itu bukan dengan kebencian, tetapi sebagai metta.
buddha pun berkata,...........................

kadang-kadang seperti terjadi pada upali dan nigantha,upali memang tidak berniat mencelakai guru-nya....akan tetapi karena pandangan konsep yang bertolak belakang....kadang memang tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal itu..
sama hal nya membahas dhamma dan ajaran lain.....walau katanya telah mencari kebenaran bukan pembenaran tidak menutup adanya emosi atau lainnya keluar..
akan tetapi dilakukan itu bukan semata-mata demi kesombongan....

jadi yang anda katakan bahwa tidak berbuat apa-apa...oke-oke saja..
tetapi yang saya katakan bahwa berbuat sesuatu...saya rasa oke-oke saja.....

saudara kaiyin,perumpamaan anda tentang pelangi itu perumpamaan secara samuthi...jelas saja bagi semua orang berbeda-beda....
saya sependapat dengan saudara bond,

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 18 June 2009, 07:27:51 PM
kalau ada yg tanya pada Mr. Johnz,

apakah Su Ma Ching Hai itu cantik ?

bagaimana pula jawaban bro Johnz ? :)

(yg lain mau jawab.... silahkan)
karena ini thread berbobot
terlalu sayang jika dirusak dengan hal2 tidak bermanfaat..

Maka sy hanya akan menjawab
--> cantik itu relatif,kecuali maria ozawa ;D

:backtotopic:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 08:20:41 PM
"apakah yg satu" pernah ditanyakan kepada arahat yg baru berumur 7 tahun yaitu sopaka...jawabannya adalah

"What is one?"

All beings subsist on food. [There are these four nutriments for the establishing of beings who have taken birth or for the support of those in search of a place to be born. Which four? Physical food, gross or refined; contact as the second, intellectual intention the third, and consciousness the fourth. -- SN XII.64"    http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,1515.0.html
Saya tidak tahu apakah kedua pertanyaan itu merujuk pada konteks yang sama, karena yang saya pernah baca bahwa Kundala Kesa pun awalnya ingin menjawab hal tersebut (mahluk terdiri dari 4 unsur yang ditunjang makanan, dst dst) namun tetap merasa jawaban itu tidak tepat. Kalau tidak salah karena ada mahluk yang tidak memiliki rupa (Arupa-Brahma). Tapi saya tidak ingat. Thanx untuk rujukannya, nanti saya coba baca-baca.



Quote
Tulisan bro paragraf kedua--- Artinya dan sebenarnya kebenaran itu sendiri tidak subjektif tapi orangnya yg subjektif karena persepsinya sendiri berada dalam pandangan yang salah karena kotoran batin yg membelenggunya dan ia tidak bisa melihat kenyataan. Kebenaran itu adalah kenyataan itu sendiri.  Oleh karena  itu Dhamma memiliki dasar dan acuannya. Acuannya adalah seperti yg diajarkan Sang Buddha.
Kebenaran mutlak, secara teori, memang tidak subjektif. Itulah yang berusaha direalisasikan dan memang bisa direalisasikan oleh semua orang-orang yang mencari kebenaran. Mengapa saya bilang secara teori? Karena saya belum mencapainya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2009, 08:40:59 PM
saudara kaiyin,
kalau anda belum merealisasikan itu hak anda, tapi kenapa anda bisa mengatakan protes akan cara saya?...kalau bs sebagai bahan koreksi saya minta kutipan dari cara saya yang salah dimata anda.
Saya tidak setuju dengan cara anda membahas kelemahan agama orang lain ketika orang lain bertanya tentang agama anda. Kalau anda tidak terima, tinggal diabaikan saja. Saya tidak ingin dan memang tidak bisa memaksakan apapun.


Quote
masalah kutipan "semoga semua makhluk berbahagia"
memang betul kata anda, tetapi sekarang mungkin posisi saya dan anda berbeda...saya mungkin merealisasikan beberapa kebenaran sebagai kebenaran dan ilusi sebagai ilusi...
jika anda sebagai saya, mengetahui seseorang itu berbahagia karena di bohongi...
salahkah jika berniat mengutarakan kebenaran pada dirinya? > saya rasa tidak salah...tergantung sikon (situasi dan kondisi pada waktu itu)
Seperti saya bilang, ada cara dan waktunya. Mungkin cara anda menyampaikan dan pemilihan waktunya memang demikian, yah tidak masalah. Seperti saya bilang, saya menyampaikan, tidak memaksa. Saya memperlakukan anda dan umat lain dengan cara yang sama demikian.


Quote
saya jadi teringat percakapan buddha dengan pangeran ( well walau tidak seperti asli nya, ini kira-kira lah soalnya juga lupa-lupa ingat ), mengenai bayi...
jika ada Bayi menelan sebuah biji besar yang dapat membuat nya mati menderita, dengan cara apakah pangeran menolong-nya....
dengan memasukkan jari atau tangan saya..
kemudian buddha berkata, tetapi itu akan membuat bayi tersebut menderita....
pangeran kemudian berkata, tetapi saya lakukan itu bukan dengan kebencian, tetapi sebagai metta.
buddha pun berkata,...........................
Percakapan Buddha dengan Pangeran Ajatasattu tersebut adalah mengenai "penderitaan yang memang harus dilalui untuk perubahan yang lebih baik". Kalau tidak salah, berkenaan dengan kasus Devadatta di Abhayarajakumara Sutta. Buddha Gotama di sini, mengetahui bahwa perkataannya pada Devadatta menyebabkan Devadatta ditelan bumi, namun dengan perkataan itu juga, menyebabkan Devadatta menyadari kebenaran. Menurut Milinda Panha, Devadatta akan menjadi Pacceka Buddha bernama Athissara (kalau tidak salah).

Saya pribadi, tidak bisa mengetahui pencapaian orang lain di kemudian hari seperti halnya Buddha Gotama dalam kasus Devadatta. Kalau anda memang bisa meramalkan pencapaian kesucian orang lain di kemudian waktu, silahkan saja. Saya memang menilai hanya dari keterbatasan saya.


Quote
kadang-kadang seperti terjadi pada upali dan nigantha,upali memang tidak berniat mencelakai guru-nya....akan tetapi karena pandangan konsep yang bertolak belakang....kadang memang tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal itu..
sama hal nya membahas dhamma dan ajaran lain.....walau katanya telah mencari kebenaran bukan pembenaran tidak menutup adanya emosi atau lainnya keluar..
akan tetapi dilakukan itu bukan semata-mata demi kesombongan....
Memang betul, kadang konflik tidak terhindarkan. Tetapi seperti saya katakan, saya tetap memprioritaskan yang "tanpa konflik".


Quote
jadi yang anda katakan bahwa tidak berbuat apa-apa...oke-oke saja..
tetapi yang saya katakan bahwa berbuat sesuatu...saya rasa oke-oke saja.....
Kalau begitu, silahkan mengenalkan dhamma dengan cara anda. Saya minta maaf telah mengkritik anda.
Saya janjikan tidak terulang lagi.


Quote
saudara kaiyin,perumpamaan anda tentang pelangi itu perumpamaan secara samuthi...jelas saja bagi semua orang berbeda-beda....
saya sependapat dengan saudara bond,

salam metta.

Mengulang kembali jawaban ke saudara bond, karena saya belum merealisasikan "paramatha sacca", jadi hanya bicara lingkup samuthi.

Salam Metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 18 June 2009, 10:02:06 PM
saudara kaiyin,
kalau anda belum merealisasikan itu hak anda, tapi kenapa anda bisa mengatakan protes akan cara saya?...kalau bs sebagai bahan koreksi saya minta kutipan dari cara saya yang salah dimata anda.
Saya tidak setuju dengan cara anda membahas kelemahan agama orang lain ketika orang lain bertanya tentang agama anda. Kalau anda tidak terima, tinggal diabaikan saja. Saya tidak ingin dan memang tidak bisa memaksakan apapun.
saudara kaiyin,
yang saya maksudkan disitu ketika seseorang mengisi cangkirnya dengan A...
maka ketika kita menyebutkan kelemahan/kesalahan pada konsep-nya....setidaknya A itu bisa berkurang...

seperti biasa umat nasran1 biasanya mengatakan mr.T adalah awal.....kalau sudah tertanam konsep ini....mau bilang A b c pun semua nya jadi sesuai pandangannya...
kadang saya menggunakan sedikit pemutar balik kata guna menyadarkan kalau mr.T awal itu adalah bertabrakan dengan kenyataan.
ada jg kadang saya menggunakan kata "maha-pengasih" sebagai penyadar....contoh nya sudah pernah sy post.

well, ada kasus tertentu saya bisa membuat pikiran lawan diskusi menjadi sedikit open mind dan akhirnya mulai lah berpikir kritis ttg kepercayaan di anut-nya......
tetapi ada juga yg tidak.....sy rasa mencoba tidak ada salah-nya...selama sikon masih bisa....
ada juga beberapa kasus kalau lawan bicara kita orang termuka, mau tidak mau kita angguk kepala saja apa yg di katakannya.....
relatif lah...

terima kasih banyak,anda mau mengkritik saya...setidak nya bisa menjadi masukan bagi saya sendiri....

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 18 June 2009, 10:53:07 PM
1. apakah itu

   kenyataan (fact)
   kebenaran (truth)
   realitas (reality)

dlm ajaran/pandangan Buddha Gautama... ?

2. adalah perbedaan kebenaran dgn kebenaran absolute?


(semoga pertanyaan ini cukup berbobot ya bro Johnz!)

mohon senior2 membantunya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: wen78 on 19 June 2009, 01:45:23 AM
cobalah sekali2 untuk menertawakan thread ini dan thread "Kagak Ngerti, Saya mau bertanya".

mudah2an mengerti maksud saya  :)

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 09:05:31 AM
saudara kaiyin,
yang saya maksudkan disitu ketika seseorang mengisi cangkirnya dengan A...
maka ketika kita menyebutkan kelemahan/kesalahan pada konsep-nya....setidaknya A itu bisa berkurang...
Kalau saya pribadi, lebih memilih mengosongkan cangkir A itu dengan anjuran, bukan menunjukkan kelemahannya. Ada banyak cara mengarahkan pandangan seseorang, dan itu tidak selalu memerlukan pernyataan bahwa "ajaranmu ada yang salah". 

Saya beri contoh ketika Buddha berdebat soal kasta, Buddha tidak mengatakan "membedakan orang berdasarkan kasta adalah salah" tetapi mengarahkan pola pikir lawan bicaranya agar berpikir, "apakah benar kasta membuat perbedaan?" dari sudut pandang yang dapat dimengerti lawan bicaranya. Ketika para Brahmana mengatakan bahwa Brahmana terlahir dari mulut Brahma, kasta rendah hanya terlahir dari kaki Brahma, Buddha tidak mengatakan pandangan itu salah, atau memaksakan pandangannya sendiri tentang kesamaan derajat.
Buddha hanya menanyakan pertanyaan sederhana:

"Jika menjalankan sila, apakah hanya Brahmana yang terlahir di alam bahagia setelah kematian, sedangkan kasta lain tidak? Sebaliknya seseorang melanggar sila dan berbuat jahat, apakah hanya kasta rendah yang terlahir di alam celaka, sedangkan Brahmana tidak?"

Sebagai orang awam, pasti masih memiliki ego. Kadang seseorang bisa menerima dirinya salah, tetapi tidak mau mengakuinya secara verbal. Kita tidak perlu menekannya untuk mengakuinya. Kadang orang belum bisa menerima, tetapi lambat laun dia mencerna dan mengerti. Kalau kita berikan rasa nyaman dalam diskusi, maka ia tidak segan untuk kembali lagi berdiskusi dengan kita. Saya pun enggan diskusi kalau saya di-"bego-bego"-in atau di-"salah-salah"-in terus. Kadang orang memang tidak cocok dengan dhamma, ya sudah tidak apa-apa. Setidaknya jangan sampai memberikan gambaran "umat Buddha itu kasar" dalam diri orang lain. Satu orang berpikir begitu, cerita ke teman2nya, keluarganya, akhirnya semua tidak ada yang minat dengar dhamma, bahkan mengembangkan permusuhan. Bayangkan seberapa banyak kesusahan yang kita berikan pada orang lain.


Quote
seperti biasa umat nasran1 biasanya mengatakan mr.T adalah awal.....kalau sudah tertanam konsep ini....mau bilang A b c pun semua nya jadi sesuai pandangannya...
kadang saya menggunakan sedikit pemutar balik kata guna menyadarkan kalau mr.T awal itu adalah bertabrakan dengan kenyataan.
ada jg kadang saya menggunakan kata "maha-pengasih" sebagai penyadar....contoh nya sudah pernah sy post.
Bagi saya, menyimak pembicaraan umat lain tentang kepercayaannya juga penting, karena dengan begitu kita bisa lebih mengenal pola pikirnya. Dengan mengetahui pola pikir seseorang, maka kita bisa memilah kira-kira topik dhamma apa yang sesuai, yang dapat diterima olehnya. Kalau kita mau berdana dhamma, kita tidak bisa menuntut orang yang mengerti omongan kita, tetapi harus kita yang mencoba mengerti bagaimana mereka berpikir. Walaupun satu agama, satu gereja/vihara, satu kelompok sel, tetap saja dua orang memiliki 2 pandangan berbeda.



Quote
well, ada kasus tertentu saya bisa membuat pikiran lawan diskusi menjadi sedikit open mind dan akhirnya mulai lah berpikir kritis ttg kepercayaan di anut-nya......
tetapi ada juga yg tidak.....sy rasa mencoba tidak ada salah-nya...selama sikon masih bisa....
ada juga beberapa kasus kalau lawan bicara kita orang termuka, mau tidak mau kita angguk kepala saja apa yg di katakannya.....
relatif lah...

terima kasih banyak,anda mau mengkritik saya...setidak nya bisa menjadi masukan bagi saya sendiri....

salam metta.
Ya, dengan orang dan kondisi berbeda, hasilnya pasti juga berbeda.
Terima kasih kembali.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 09:33:54 AM
1. apakah itu

   kenyataan (fact)
   kebenaran (truth)
   realitas (reality)

dlm ajaran/pandangan Buddha Gautama... ?
Saya rasa ketiga hal itu adalah sama. Semuanya adalah segala sesuatu yang dipersepsi oleh enam indera.


Quote
2. adalah perbedaan kebenaran dgn kebenaran absolute?

Terkait dengan jawaban pertama, karena keterkondisian panca khanda, maka kebenaran/realita/fakta seseorang adalah berbeda dengan yang lain. Demikianlah itu disebut kebenaran relatif. Sebaliknya kebenaran mutlak adalah yang tidak terkondisi. Setahu saya, kebenaran mutlak adalah direalisasikan oleh diri sendiri dan tidak bisa diajarkan ke orang lain. Yang bisa diajarkan adalah kebenaran relatif yang membantu seseorang untuk merealisasi kebenaran mutlak.

Dalam satu diskusi di forum ini dulu, saya pernah berkata bahwa semua yang Buddha ajarkan adalah kebenaran relatif, namun bukan sembarang kebenaran relatif tetapi yang dapat mendukung para murid untuk merealisasikan sebuah kebenaran mutlak yang adalah "entah apa" dan tidak terkatakan.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 19 June 2009, 10:16:48 AM
Nanya lg,
bagaimana pandangan om kainy tentang kesunyataan mulia yg dibolak balik urutannya,demi sebuah kepentingan "marketing"
dan itu dilakukan oleh bhikku yg di yakini telah mencapai anagami.


Maaf jika terkesan terlalu vulgar
Kamsia.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 10:35:28 AM
Nanya lg,
bagaimana pandangan om kainy tentang kesunyataan mulia yg dibolak balik urutannya,demi sebuah kepentingan "marketing"
dan itu dilakukan oleh bhikku yg di yakini telah mencapai anagami.


Maaf jika terkesan terlalu vulgar
Kamsia.

Ini saya pernah bahas. Saya tidak setuju sama sekali, karena memang jadi tidak "nyambung".
Saya pernah berikan perumpamaan peta bagi yang mau pergi dari kota A ke kota B.
Buddha memberikan urutan peta dari pintu kota A, perjalanan, lalu akhirnya menuju pintu kota B.
Sementara Bhikkhu yang diyakini Anagami (bahkan sebagian lain meyakini sebagai Arahat) memberikan peta dimulai dari pintu masuk kota B, jalan mundur ke pintu A.

Seandainya anda dari perempatan Grogol mau ke Mega Mall Pluit buat KopDar, tapi anda tidak tahu jalan.
A memberikan petunjuk: Depan Mega Mall ada sungai, sebelum ke Mega Mall ada perempatan, sebelumnya lagi ada perempatan di mana sebelah kiri ada Pluit Junction dan jalan menuju Bandara Soekarno Hatta.
B memberikan petunjuk: di perempatan Grogol ada 4 jalan, ambil arah di mana sebelah kiri anda Mal Ciputra dan sebelah kanan anda, jauh di seberang ada Universitas Tarumanegara.
Saya tanya anda, yang mana yang lebih memudahkan anda sampai di tujuan?


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 19 June 2009, 10:45:48 AM
kebenaran relatif itu kebenaran yang terikat waktu dan tempat...
misalkan,
apakah warna merah itu merah delima atau merah muda......
apakah makanan pangsit itu enak atau tidak enak....
batu tenggelam di dasar kolam....( karena di bumi.)
kebenaran ini pasti menimbulkan beberapa pandangan.......


kebenaran absolut seperti...
semua yang terbentuk tidaklah kekal......baik dibulan di bumi atau diplanet lain semua sama..
manusia terdiri dari 5 khandha.


tetapi hendaknya bisa dimengerti...
misalkan "semua binatang sama yakni terdiri dari jasmani dan batin" ( paramatha ) disini bisa saja di salah artikan menjadi kambing = anjing.
padahal dalam samuthi kambing tidak sama dengan anjing....

harap kedua kebenaran ini bisa di pahami.^^

metta.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: naviscope on 19 June 2009, 10:53:05 AM
^
Kebenaran adalah hal yg dipercaya, merupakan kebenaran.. tidak dipercaya pun tetap merupakan kebenaran (Hasil Talk Show: Hidup bukan hanya AKU) ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 10:54:41 AM
kebenaran relatif itu kebenaran yang terikat waktu dan tempat...
misalkan,
apakah warna merah itu merah delima atau merah muda......
apakah makanan pangsit itu enak atau tidak enak....
batu tenggelam di dasar kolam....( karena di bumi.)
kebenaran ini pasti menimbulkan beberapa pandangan.......


kebenaran absolut seperti...
semua yang terbentuk tidaklah kekal......baik dibulan di bumi atau diplanet lain semua sama..
manusia terdiri dari 5 khandha.


tetapi hendaknya bisa dimengerti...
misalkan "semua binatang sama yakni terdiri dari jasmani dan batin" ( paramatha ) disini bisa saja di salah artikan menjadi kambing = anjing.
padahal dalam samuthi kambing tidak sama dengan anjing....

harap kedua kebenaran ini bisa di pahami.^^

metta.
Itu adalah teori dari kebenaran mutlak. Memang benar. Tetapi sebelum kita mencapai kesucian, maka kita hanya memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang kebenaran relatif. Sama seperti unsur Tilakkhana lainnya juga demikian.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 19 June 2009, 11:00:36 AM
Nanya lg,
bagaimana pandangan om kainy tentang kesunyataan mulia yg dibolak balik urutannya,demi sebuah kepentingan "marketing"
dan itu dilakukan oleh bhikku yg di yakini telah mencapai anagami.


Maaf jika terkesan terlalu vulgar
Kamsia.

Ini saya pernah bahas. Saya tidak setuju sama sekali, karena memang jadi tidak "nyambung".
Saya pernah berikan perumpamaan peta bagi yang mau pergi dari kota A ke kota B.
Buddha memberikan urutan peta dari pintu kota A, perjalanan, lalu akhirnya menuju pintu kota B.
Sementara Bhikkhu yang diyakini Anagami (bahkan sebagian lain meyakini sebagai Arahat) memberikan peta dimulai dari pintu masuk kota B, jalan mundur ke pintu A.

Seandainya anda dari perempatan Grogol mau ke Mega Mall Pluit buat KopDar, tapi anda tidak tahu jalan.
A memberikan petunjuk: Depan Mega Mall ada sungai, sebelum ke Mega Mall ada perempatan, sebelumnya lagi ada perempatan di mana sebelah kiri ada Pluit Junction dan jalan menuju Bandara Soekarno Hatta.
B memberikan petunjuk: di perempatan Grogol ada 4 jalan, ambil arah di mana sebelah kiri anda Mal Ciputra dan sebelah kanan anda, jauh di seberang ada Universitas Tarumanegara.
Saya tanya anda, yang mana yang lebih memudahkan anda sampai di tujuan?

Quote
Jadi, Sang Buddha mengajarkan:
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha

dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).

Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
kalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...

pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^

salam metta.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 19 June 2009, 11:03:23 AM
kebenaran relatif itu kebenaran yang terikat waktu dan tempat...
misalkan,
apakah warna merah itu merah delima atau merah muda......
apakah makanan pangsit itu enak atau tidak enak....
batu tenggelam di dasar kolam....( karena di bumi.)
kebenaran ini pasti menimbulkan beberapa pandangan.......


kebenaran absolut seperti...
semua yang terbentuk tidaklah kekal......baik dibulan di bumi atau diplanet lain semua sama..
manusia terdiri dari 5 khandha.


tetapi hendaknya bisa dimengerti...
misalkan "semua binatang sama yakni terdiri dari jasmani dan batin" ( paramatha ) disini bisa saja di salah artikan menjadi kambing = anjing.
padahal dalam samuthi kambing tidak sama dengan anjing....

harap kedua kebenaran ini bisa di pahami.^^

metta.
Itu adalah teori dari kebenaran mutlak. Memang benar. Tetapi sebelum kita mencapai kesucian, maka kita hanya memahami kebenaran mutlak itu dari sudut pandang kebenaran relatif. Sama seperti unsur Tilakkhana lainnya juga demikian.
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 11:26:07 AM
Quote
Jadi, Sang Buddha mengajarkan:
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha

dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).

Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
kalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...

pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^

salam metta.


Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.

Mengenai kisah Thera Nanda, sepupu Buddha yang dijanjikan bidadari kaki merah, yang menyebabkan perubahan adalah rasa malu dari Nanda. Rasa malu yang ditimbulkan dari penghinaan rekan-rekan bhikkhu begitu besar sehingga menekan nafsunya. Jadi memang bukan karena mengejar-ngejar bidadari (kebahagiaan) itu, lalu tiba-tiba nafsu hilang dan jadi arahat. Ketika seseorang menyadari dukkha, maka penghentian nafsu adalah mungkin. Ketika penghentian nafsu ada, maka keengganan dan kebebasan dari belenggu adalah mungkin.

Dan kembali lagi, kapasitas saya dalam dhamma, dibandingkan dengan Buddha, setetes air banding samudera pun masih kurang cocok perbandingannya. Oleh karena itu saya tidak memberikan dhamma dengan menyuruh orang menghadap matahari, mengusap wajah sambil berkata "Rajoharanam" kemudian membenarkan metode itu dengan mengatakan, "Buddha juga dulu begitu".

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 11:36:53 AM
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?

salam metta.

Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.

Saya berikan contoh Kisa Gotami, salah satu kisah favorit saya.
Apakah dalam kisah Kisa Gotami, ia hanya satu-satunya orang yang tahu bahwa semua orang pasti mati? Jelas tidak. Semua orang juga tahu (makanya menertawakan dia). Lalu mengapa hanya Kisa Gotami yang merealisasi Sotapatti-phala?
Sekarang saya tahu, anda juga tahu, bahwa semua orang pasti mati, tanpa perlu cari biji sawi keliling kota. Anda sudah Sotapanna? Kalau anda memang Sotapanna, berarti lupakan saja semuanya karena saya memang tidak seharusnya berdebat dengan anda.
Tetapi kalau anda belum Sotapanna, saya mau bertanya: anda tahu dhamma yang sama juga dimengerti oleh Kisa Gotami, mengapa Kisa Gotami saat itu mencapai Sotapanna, sedangkan anda tidak?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 19 June 2009, 12:59:38 PM
Quote
Kainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.

Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?

udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.

Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.

bagaimana menurut yg lain ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 01:13:25 PM
Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?

udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.

Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.

bagaimana menurut yg lain ?

Ya, betul sekali. Pola pikir "mengejar kebahagiaan" adalah pola pikir duniawi, sedangkan kebahagiaan yang "melampaui duniawi" adalah terhentinya dukkha. Terhentinya dukkha dimulai dari mengetahui apa itu dukkha, bukan apa itu kebahagiaan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 19 June 2009, 02:24:51 PM
Quote
Kainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.

Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?

udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.

Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.

bagaimana menurut yg lain ?

 :jempol: :jempol: :jempol:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 19 June 2009, 03:01:42 PM
Quote
Kainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.

Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?

udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.

Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.

bagaimana menurut yg lain ?
apakah karena dunia sudah berubah(sebenarnya pola pikir manusia yg berubah)..
Sehingga jika anda sekarang meletakan dukha di point 1,maka anda akan dicemooh,dan di vonis pemistik...
Makanya si bhikku barat ini meletakan kebahagian dipoint 1,
agar dapat memberikan kesan pertama yg menarik(karena tuntutan zaman),

Apalagi individu zaman sekarang,lebih mengejar sesuatu yg lebih real,yg langsung dapat dirasakan,lebih mengutamakan kebahagian duniawi..ambil contoh pratek perdukunan,walaupun zaman sekarang perkembangan teknologi sudah sangat maju(bayi tabung,cloning,dll) dan beberapa agama dgn tegas mengharamkan pratek perdukunan
tapi hal2 yang masi berbau mistis;santet,pasang susuk,pesugihan,mak erot... Masi menjamur di masyarakat,

jadi kesimpulannya si bhikku barat itu cuma mengikuti perkembangan zaman,alias beradaptasi dgn lingkungan...
Tapi kenyataannya perkembangan buddhis di dunia barat berkembang pesat,jika dibandingan perkembangan buddhis diasia...

CMIIW
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 19 June 2009, 03:36:27 PM
Quote
Jadi, Sang Buddha mengajarkan:
(1) Dukkha
(2) Penyebab Dukkha
(3) Lenyapnya Dukkha
(4) Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha

dan Ajahn Brahm mengajarkan:
(1) Kebahagiaan (Lenyapnya Dukkha)
(2) Jalan Menuju Kebahagiaan (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha)
(3) Tidak adanya Kebahagiaan (Dukkha)
(4) Penyebab tidak adanya Kebahagiaan (Penyebab Dukkha).

Alasan beliau, ini adalah siasat bagi promosi Buddhisme di Barat, karena orang Barat sering bilang Buddhisme itu agama pesimistik.
kalau saya melihat nya nyambung kok...walau pintu masuk berbeda...

pernah ada cerita dimana seorang yang menjadi bikkhu untuk mengejar gadis surgawi yang di tampakkan oleh buddha....akan tetapi se-iring berlatih akhirnya orang tersebut mengerti dan tidak meminta janji sang buddha untuk -nya.
bukankah sama saja, motivasi awal mengejar kebahagiaan akan tetapi akhir nya mengerti tentang dukkha.^^

salam metta.


Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.

Mengenai kisah Thera Nanda, sepupu Buddha yang dijanjikan bidadari kaki merah, yang menyebabkan perubahan adalah rasa malu dari Nanda. Rasa malu yang ditimbulkan dari penghinaan rekan-rekan bhikkhu begitu besar sehingga menekan nafsunya. Jadi memang bukan karena mengejar-ngejar bidadari (kebahagiaan) itu, lalu tiba-tiba nafsu hilang dan jadi arahat. Ketika seseorang menyadari dukkha, maka penghentian nafsu adalah mungkin. Ketika penghentian nafsu ada, maka keengganan dan kebebasan dari belenggu adalah mungkin.

Dan kembali lagi, kapasitas saya dalam dhamma, dibandingkan dengan Buddha, setetes air banding samudera pun masih kurang cocok perbandingannya. Oleh karena itu saya tidak memberikan dhamma dengan menyuruh orang menghadap matahari, mengusap wajah sambil berkata "Rajoharanam" kemudian membenarkan metode itu dengan mengatakan, "Buddha juga dulu begitu".

Sang Buddha bertanya kepada Nanda, "Siapakah yang lebih cantik, putri Janapadakalyani atau para dewi yang berdiri di hadapanmu itu?"

"Tentu saja mereka jauh lebih cantik dibandingkan dengan putri Janapadakalyani," jawab Nanda.

Sang Buddha berkata lagi kepada Nanda, "Apabila engkau tekun dalam mempraktekkan Dhamma, Aku berjanji untuk membantumu memiliki dewi-dewi itu."

Mendengar pernyataan itu, Nanda tertarik dan sekali lagi berjanji akan mematuhi Sang Buddha.

Bhikkhu-bhikkhu yang lain menertawakan Nanda, dengan berkata bahwa ia seperti orang bayaran, yang mempraktekkan Dhamma demi memperoleh wanita cantik, dan sebagainya.

Nanda merasa sangat tertekan dan malu. Karena itu dalam kesendirian, ia mencoba dengan keras mempraktekkan Dhamma, dan akhirnya mencapai tingkat kesucian arahat.

Sebagai seorang arahat, batinnya bebas dari semua ikatan dan keinginan. Dan Sang Buddha juga bebas dari janji-Nya kepada Nanda. Semua ini telah diketahuiNya sejak awal.


--------------
menurut saya relatif sekali pandangan AjahnBrahm,
disitu Ajahn memakai cara agar dunia barat lebih gampang menerima buddhis mengenai dukkha.

sama seperti Buddha memakai cara memperlihatkan dan menawarkan bidadari cantik...
tetapi sei-iring orang belajar buddha dhamma, mereka sendiri akan mengetahui.....

kalau pandangan anda bahwa Ajahn mengajarkan secara terbalik yah itu hak anda....yah moggo.
kalau saya berpandangan dimana Ajahn berusaha membuat dunia barat tertarik belajar buddhism.....
dan ketika se-iring belajar disitu mereka akan mengetahui yg sebenarnya.

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 19 June 2009, 03:47:16 PM
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?

salam metta.

Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.

Saya berikan contoh Kisa Gotami, salah satu kisah favorit saya.
Apakah dalam kisah Kisa Gotami, ia hanya satu-satunya orang yang tahu bahwa semua orang pasti mati? Jelas tidak. Semua orang juga tahu (makanya menertawakan dia). Lalu mengapa hanya Kisa Gotami yang merealisasi Sotapatti-phala?
Sekarang saya tahu, anda juga tahu, bahwa semua orang pasti mati, tanpa perlu cari biji sawi keliling kota. Anda sudah Sotapanna? Kalau anda memang Sotapanna, berarti lupakan saja semuanya karena saya memang tidak seharusnya berdebat dengan anda.
Tetapi kalau anda belum Sotapanna, saya mau bertanya: anda tahu dhamma yang sama juga dimengerti oleh Kisa Gotami, mengapa Kisa Gotami saat itu mencapai Sotapanna, sedangkan anda tidak?
saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..

andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?

apakah rasa garam itu "asin" dan yang menyatakan adalah asin adalah hanya kapasitas para ariya?
well,well......
anak SD saja jika sadar rasa garam adalah "asin" maka anak SD juga telah menembus sebuah paramatha dhamma.

masalah kisah gotami, memang semua orang tahu mesti mati akan tetapi ( ketika di-ingatkan )
misalkan masalah dukkha....tentang 4KM
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"

tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?

orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...

btw,kita membahas paramatha dhamma dari awal,bukan penembusan akan buddha-dhamma.
penembusan buddha-dhamma itu sama memang dengan merealisasikan paramatha dhamma...
akan tetapi "paramatha dhamma itu cakupannya luas"

garam rasa asin tidak pernah dibahas sebagai buddha-dhamma ( ajaran buddha ) karena ajaran buddha mengajarkan bagaimana merealisasikan kebahagiaan....
sedangkan yang saya bahas disini merealisasikan paramatha dhamma.....atau kebenaran absolut.

kalau kita membahas penembusan paramatha dhamma tentang ajaran buddha, memang disitu hanya orang ariya yang telah merealisasikan akan tetapi.......seperti yang saya katakan..
buddha dhamma bukan hanya mengajarkan 1.

ada 10 belenggu  yg harus dihancurkan, dan jika kita menghancurkan 1 saja...walau belum 9  nya, tetap saja merealisasikan buddha dhamma sebagai paramatha dhamma.

jadi kata "merealisasikan" disini merealisasikan 1 saja atau semua, karena kalau "semua" yang anda maksudkan yah jelas pasti tidak connect karena dari awal saya membahas merealisasikan 1 saja.
karena kalau merealisasikan "semua" saya juga setuju dgn anda....

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 04:27:17 PM
apakah karena dunia sudah berubah(sebenarnya pola pikir manusia yg berubah)..
Sehingga jika anda sekarang meletakan dukha di point 1,maka anda akan dicemooh,dan di vonis pemistik...
Makanya si bhikku barat ini meletakan kebahagian dipoint 1,
agar dapat memberikan kesan pertama yg menarik(karena tuntutan zaman),

Apalagi individu zaman sekarang,lebih mengejar sesuatu yg lebih real,yg langsung dapat dirasakan,lebih mengutamakan kebahagian duniawi..ambil contoh pratek perdukunan,walaupun zaman sekarang perkembangan teknologi sudah sangat maju(bayi tabung,cloning,dll) dan beberapa agama dgn tegas mengharamkan pratek perdukunan
tapi hal2 yang masi berbau mistis;santet,pasang susuk,pesugihan,mak erot... Masi menjamur di masyarakat,

jadi kesimpulannya si bhikku barat itu cuma mengikuti perkembangan zaman,alias beradaptasi dgn lingkungan...
Tapi kenyataannya perkembangan buddhis di dunia barat berkembang pesat,jika dibandingan perkembangan buddhis diasia...

CMIIW

Jika benar bahwa sekarang lebih cocok begitu, maka semboyan "Dhamma tidak lapuk oleh waktu" cuma omong kosong. Jika dhamma memang berubah-ubah, maka tidak beda pula dengan aliran Maitreya yang mengatakan dhamma Buddha Gotama udah "basi".

Melihat perkembangan ajaran Buddha, bukan semata-mata dari jumlah umatnya. Kalau memang mau cuma dari jumlah umat, sekalian beri jaminan Tavatimsa atau paling tidak "mantra Buddha Hoki pencari uang"  atau takut-takuti dengan Avici, dan juga jangan lupa sering2 jelekin agama orang lain biar kesannya nomor 1. Saya jamin jumlahnya bertambah. Namun dengan cara itu, apakah bisa dikatakan Buddhisme berkembang?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 04:40:28 PM
menurut saya relatif sekali pandangan AjahnBrahm,
disitu Ajahn memakai cara agar dunia barat lebih gampang menerima buddhis mengenai dukkha.

sama seperti Buddha memakai cara memperlihatkan dan menawarkan bidadari cantik...
tetapi sei-iring orang belajar buddha dhamma, mereka sendiri akan mengetahui.....

kalau pandangan anda bahwa Ajahn mengajarkan secara terbalik yah itu hak anda....yah moggo.
kalau saya berpandangan dimana Ajahn berusaha membuat dunia barat tertarik belajar buddhism.....
dan ketika se-iring belajar disitu mereka akan mengetahui yg sebenarnya.

salam metta.

Ya, seperti dulu pernah saya bahas. Kalau saya nanti nyebarin Buddhisme di kaum Gypsy, mata pencaharian benar saya taruh di nomor 8, sila ke 2 pancasila saya taruh di sila ke 6 (hanya dilakukan saat athasila).
Kalau saya menyebarkan dhamma di kalangan penjagal, maka samma sankappa saya taruh di nomor 8, sila pertama pancasila, saya taruh di nomor 6 (lagi2 hanya pada saat athasila).


Bagaimana? Mungkin sekalian di kalangan orang-orang yang membenci tubuh mereka sendiri, diajarkan Jhana mundur dari Arupa-Jhana ke Rupa-Jhana?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Shining Moon on 19 June 2009, 05:01:20 PM
Ehm...
What ever you may said, but for me, ajahn brahm has so much metta...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 05:18:42 PM
saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..

andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?

Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".


Quote
apakah rasa garam itu "asin" dan yang menyatakan adalah asin adalah hanya kapasitas para ariya?
well,well......
anak SD saja jika sadar rasa garam adalah "asin" maka anak SD juga telah menembus sebuah paramatha dhamma.
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.


Quote
masalah kisah gotami, memang semua orang tahu mesti mati akan tetapi ( ketika di-ingatkan )
misalkan masalah dukkha....tentang 4KM
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"

tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?

orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?


Quote
btw,kita membahas paramatha dhamma dari awal,bukan penembusan akan buddha-dhamma.
penembusan buddha-dhamma itu sama memang dengan merealisasikan paramatha dhamma...
akan tetapi "paramatha dhamma itu cakupannya luas"

garam rasa asin tidak pernah dibahas sebagai buddha-dhamma ( ajaran buddha ) karena ajaran buddha mengajarkan bagaimana merealisasikan kebahagiaan....
sedangkan yang saya bahas disini merealisasikan paramatha dhamma.....atau kebenaran absolut.
kalau kita membahas penembusan paramatha dhamma tentang ajaran buddha, memang disitu hanya orang ariya yang telah merealisasikan akan tetapi.......seperti yang saya katakan..
buddha dhamma bukan hanya mengajarkan 1.
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).


Quote
ada 10 belenggu  yg harus dihancurkan, dan jika kita menghancurkan 1 saja...walau belum 9  nya, tetap saja merealisasikan buddha dhamma sebagai paramatha dhamma.

jadi kata "merealisasikan" disini merealisasikan 1 saja atau semua, karena kalau "semua" yang anda maksudkan yah jelas pasti tidak connect karena dari awal saya membahas merealisasikan 1 saja.
karena kalau merealisasikan "semua" saya juga setuju dgn anda....

salam metta.
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.

Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 June 2009, 05:22:34 PM
Ehm...
What ever you may said, but for me, ajahn brahm has so much metta...

I never said he is a bad person. In fact, I helped my friends translating his talk and recommend his book.
Doesn't mean I have to agree with him for all he said, or to prefer his teaching than Buddha's teaching. The same way I do towards other great bhikkhus.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 19 June 2009, 07:14:55 PM
Ehm...
What ever you may said, but for me, ajahn brahm has so much metta...

I never said he is a bad person. In fact, I helped my friends translating his talk and recommend his book.
Doesn't mean I have to agree with him for all he said, or to prefer his teaching than Buddha's teaching. The same way I do towards other great bhikkhus.


   
Agree, just like ajahn chan call insect exterminator to kill insect, not the action that seems wise (pake google translate nih ;D =)) )
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 19 June 2009, 07:50:45 PM
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?

salam metta.

Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.
Sory koreksi dikit bro Kainyn :)
IMO, kurang cocok yah pemakaian bahasanya. Seolah2 merealisasikan Buddha dhamma adl eksklusif bagi para ariya. Saat orang awam merealisasikan Buddha-dhamma itulah orang tsb adalah ariya. Jadi bukan karena ariya maka bisa merealisasikan Buddha-dhamma, melainkan merealisasikan Buddha-dhamma maka disebut ariya.

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 19 June 2009, 08:12:29 PM
Om kainy
anumodana atas pandangan om tentang 4kesunyataan mulia diatas,jangan diperpanjang lagi...

Pertanyaan selanjutnnya,
kita tahu bahwa sang buddha tidak pernah mengajarkan kita untuk meminta2,tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi pengemis,dan sang buddha selalu mengajarkan kita untuk mengandalkan diri sendiri,
kenyataannya,di sebagian besar kalanggan buddhis masih terjadi praktek meminta-minta...
Parahnya,praktek meminta-minta ini diajarkan oleh guru2 besar,sehingga praktek meminta(make a wish) ini sudah menjadi bagian dari buddhisme..
Yang jadi masalah,jika kita coba memberi pengertian kepada mereka,mereka malah menyerang balik,dengan mengatakan kita fanatik,sampai menyerang aliran  buddhis tertentu...
Bagaimana pandangan om kainy mengenai masalah ini...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 19 June 2009, 08:31:46 PM
Quote
Kainyn_Kutho
...
Mungkin bagi anda nyambung, silahkan saja. Bagi saya pribadi, saya tidak cocok dengan orang yang memberikan peta jalan mundur. Ajaran Buddha dimulai dari menyadari Dukkha, bukan keinginan mengejar Kebahagiaan.

Kenapa Buddha tidak mempromosikan kebahagiaan ?

udah jelas... itu cuma kebahagiaan duniawi, dan bisa menjadi masalah kalau anda melekat di kebagiaan tsb. Kebahagiaan tsb adalah hasil samping dari tujuan. Sedangkan tujuan utama adalah melenyapkan/menghentikan Dhukka.

Makanya Dhukka diletakkan point no.1 dan tidak menyebutkan kata bahagia.

bagaimana menurut yg lain ?
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'

Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'

Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.

Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 19 June 2009, 10:50:47 PM
menurut saya relatif sekali pandangan AjahnBrahm,
disitu Ajahn memakai cara agar dunia barat lebih gampang menerima buddhis mengenai dukkha.

sama seperti Buddha memakai cara memperlihatkan dan menawarkan bidadari cantik...
tetapi sei-iring orang belajar buddha dhamma, mereka sendiri akan mengetahui.....

kalau pandangan anda bahwa Ajahn mengajarkan secara terbalik yah itu hak anda....yah moggo.
kalau saya berpandangan dimana Ajahn berusaha membuat dunia barat tertarik belajar buddhism.....
dan ketika se-iring belajar disitu mereka akan mengetahui yg sebenarnya.

salam metta.

Ya, seperti dulu pernah saya bahas. Kalau saya nanti nyebarin Buddhisme di kaum Gypsy, mata pencaharian benar saya taruh di nomor 8, sila ke 2 pancasila saya taruh di sila ke 6 (hanya dilakukan saat athasila).
Kalau saya menyebarkan dhamma di kalangan penjagal, maka samma sankappa saya taruh di nomor 8, sila pertama pancasila, saya taruh di nomor 6 (lagi2 hanya pada saat athasila).


Bagaimana? Mungkin sekalian di kalangan orang-orang yang membenci tubuh mereka sendiri, diajarkan Jhana mundur dari Arupa-Jhana ke Rupa-Jhana?
aduh, anda tidak mengerti yah...^^
begini saja...saya analogikan begini..

ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 19 June 2009, 11:13:47 PM
saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..

andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?

Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".


Quote
apakah rasa garam itu "asin" dan yang menyatakan adalah asin adalah hanya kapasitas para ariya?
well,well......
anak SD saja jika sadar rasa garam adalah "asin" maka anak SD juga telah menembus sebuah paramatha dhamma.
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.


Quote
masalah kisah gotami, memang semua orang tahu mesti mati akan tetapi ( ketika di-ingatkan )
misalkan masalah dukkha....tentang 4KM
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"

tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?

orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?


Quote
btw,kita membahas paramatha dhamma dari awal,bukan penembusan akan buddha-dhamma.
penembusan buddha-dhamma itu sama memang dengan merealisasikan paramatha dhamma...
akan tetapi "paramatha dhamma itu cakupannya luas"

garam rasa asin tidak pernah dibahas sebagai buddha-dhamma ( ajaran buddha ) karena ajaran buddha mengajarkan bagaimana merealisasikan kebahagiaan....
sedangkan yang saya bahas disini merealisasikan paramatha dhamma.....atau kebenaran absolut.
kalau kita membahas penembusan paramatha dhamma tentang ajaran buddha, memang disitu hanya orang ariya yang telah merealisasikan akan tetapi.......seperti yang saya katakan..
buddha dhamma bukan hanya mengajarkan 1.
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).


Quote
ada 10 belenggu  yg harus dihancurkan, dan jika kita menghancurkan 1 saja...walau belum 9  nya, tetap saja merealisasikan buddha dhamma sebagai paramatha dhamma.

jadi kata "merealisasikan" disini merealisasikan 1 saja atau semua, karena kalau "semua" yang anda maksudkan yah jelas pasti tidak connect karena dari awal saya membahas merealisasikan 1 saja.
karena kalau merealisasikan "semua" saya juga setuju dgn anda....

salam metta.
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.

Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.
jika demikian, seorang sotapatti-anagami pun belum merealisasikan paramatha dhamma....
karena belum mencapai arahat....

Quote
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
ini sama saja anda berkata "coba ajarkan buddha-dhamma pada yg tidak memiliki pikiran"

rasa garam itu relatif? coba panggil 10 orang...dan suruh makan garam banyak-banyak....pasti terjadi dehidrasi bukan....
disitu lah yg dimaksud paramatha......tidak mungkin ada manusia memakan garam seperti nasi putih.
contoh anda makin ngaco..... ;)

Quote
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
terkait sotapatti atau tidak, bukan itu point pembahasannya...
masalah pembahasannya adalah ketika berhadapan dengan realita di depan dengan yang dipikirkan atau yang belum terpikirkan itu berbeda rasa.

sama halnya kadang orang suka ngebut liar....walau mendengar banyak kecelakaan karena ngebut liar....tetap suka ngebut liar..
akan tetapi ketika telah mendapat-kan masalah misalkan jatuh atau cacat, disitu lah baru berhenti ngebut liar....
inilah point-nya..

Quote
Kembali lagi, bagi saya Paramatha Dhamma hanya satu, dan tidak bisa dibahas, tidak bisa dibagi-ilmukan, hanya bisa ditembus oleh diri sendiri dengan pengembangan kebijaksanaan. Itulah mengapa saya tidak pernah bahas meditasi dan pengalaman meditasi.
Yang bisa dibahas adalah kebenaran relatif yang bisa mengarahkan orang pada penembusan kebenaran mutlak. Rasa garam adalah asin tidak dibahas oleh Buddha karena kebenaran relatif itu tidak mengarahkan orang pada penembusan. Kecuali mungkin jika ada yang mempunyai kecenderungan tertentu akan garam (sepert halnya kain kotor pada Cula-Panthaka).
hak anda...silahkan..
kalau saya,  yang telah saya pahami saya bagikan kepada orang lain.
yang belum saya pahami ,maka saya belum bagikan kepada orang lain.

kalau anda berpendapat lain/sebaliknya, mengapa anda masih bisa berkata-kata disini? mengapa anda memberikan nasihat kepada user lain yg membutuhkan?
kalau anda telah menembus arahat, maka saya tidak memiliki kapasitas lagi bertukar pendapat..
tetapi jika belum, mengapa anda mengajarkan beberapa saran/nasehat? bukankah anda belum merealisasikan paramatha dhamma.
apakah anda mau menyesatkan orang lain , karena diri sendiri saja belum merealisasikan....jadi anda sendiri tidak tahu yang anda pegang itu benar atau salah...

saya rasa tidak demikian bukan  ;) kita disini pasti telah menembus suatu paramatha,akan tetapi paramatha yg gampang di pahami dan diselami.
marah marah kepada orang lain tidak baik,karena bisa menyebabkan kesehatan memburuk bagi yg marah >> ini juga paramatha.

kalau semua menurut anda semua ini relatif, buat apa anda memberi masukan kepada orang lain yang anda pegang/pandangan sendiri masih tidak diketahui "benar" atau "ilusi" bukankah bisa saja menjadi relatif maksud saya berubah menjadi buruk/salah.
saya harap bisa dipahami maksud saya...no offense  _/\_ murni diskusi open mind.

Quote
Ini juga berbeda dengan pendapat saya. Jika seseorang merealisasikan kebenaran mutlak, maka meski ada penghalang lainnya, ia tidak akan mundur. Demikianlah ia disebut seorang ariya. Saya juga tidak selalu menggunakan tolok ukur 10 belenggu ataupun membahas penembusan seorang ariya, karena bahkan walau hanya membahas teorinya pun, sungguh sulit sekali mendeskripsikan fenomena bathin seseorang, apalagi hancurnya belenggu tersebut. Saya beri contoh seorang Pacceka Buddha, adalah susah sekali (kalau bukan tidak mungkin) membahas jalan pikirannya ketika menembus paramatha Dhamma, walaupun hanya sebatas teori. Membahas hal-hal itu, tidak mungkin terhindar dari spekulasi.

Jadi kalau anda mau berdiskusi dengan saya, terpaksa saya katakan saya hanya mampu membahas bagian yang saya sebut sebagai kebenaran relatif itu. Itu juga yang saya katakan pada umat lain ketika bertanya pada saya tentang "nibbana" yang mutlak.

tidak perlu lah membahas paccekabuddha atau sammasambuddha terlalu jauh de...
mari bahas dekat-dekat saja...seperti yg saya katakan..

mengapa anda mau memberi nasehat kepada orang padahal anda sendiri tidak "Yakin"/relatif dengan kebenaran yg anda beri.
kalau ternyata anda beri itu sebuah ke-sesatan.?

apakah perlu mencapai arahat baru bisa menasehati seseorang untuk tidak mencuri?
justru ketika kita tahu perbuatan mencuri itu tidak baik dan membawa kepada masalah...maka kita menembus paramatha...
salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 June 2009, 09:11:22 AM
kata-kata anda sama dengan saudara coedabgf,
apakah harus sampai mencapai sotapanna-arahat untuk mengerti dhamma? tanpa itu semua...sekarang lebih baik di lihat langsung.
ketika kita memakan garam dan dengan kondisi sadar mengetahui rasa garam "asin"
apakah masih harus meragukan rasa dari garam itu.
apakah meragukan kondisi sadar dari diri sendiri?

salam metta.

Mengerti Buddha-dhamma? Semua orang bisa mengerti Buddha-dhamma. Merealisasikan Buddha-dhamma? Itu kapasitas para ariya.
Sory koreksi dikit bro Kainyn :)
IMO, kurang cocok yah pemakaian bahasanya. Seolah2 merealisasikan Buddha dhamma adl eksklusif bagi para ariya. Saat orang awam merealisasikan Buddha-dhamma itulah orang tsb adalah ariya. Jadi bukan karena ariya maka bisa merealisasikan Buddha-dhamma, melainkan merealisasikan Buddha-dhamma maka disebut ariya.

_/\_

Ya, betul. Thanx koreksinya.
Benar, maksud saya adalah yang telah merealisasikan Buddha-dhamma, adalah seorang ariya. Jadi Buddha-dhamma yang telah terealisasi hanya ada dalam kapasitas para ariya. Yang ada dalam kapasitas orang biasa adalah pengertian akan Buddha-dhamma.

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 June 2009, 09:11:39 AM
Agree, just like ajahn chan call insect exterminator to kill insect, not the action that seems wise (pake google translate nih ;D =)) )

Most people judgment, obstructed by irrelevant things like "who said that". If it's the one with good reputation, then it must be true. If it's from "just ordinary person", then it's itself doubtable.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 June 2009, 09:26:30 AM
Om kainy
anumodana atas pandangan om tentang 4kesunyataan mulia diatas,jangan diperpanjang lagi...

Pertanyaan selanjutnnya,
kita tahu bahwa sang buddha tidak pernah mengajarkan kita untuk meminta2,tidak pernah mengajarkan kita untuk menjadi pengemis,dan sang buddha selalu mengajarkan kita untuk mengandalkan diri sendiri,
kenyataannya,di sebagian besar kalanggan buddhis masih terjadi praktek meminta-minta...
Parahnya,praktek meminta-minta ini diajarkan oleh guru2 besar,sehingga praktek meminta(make a wish) ini sudah menjadi bagian dari buddhisme..
Yang jadi masalah,jika kita coba memberi pengertian kepada mereka,mereka malah menyerang balik,dengan mengatakan kita fanatik,sampai menyerang aliran  buddhis tertentu...
Bagaimana pandangan om kainy mengenai masalah ini...


Kalau mengenai hal ini, seperti saya bilang susah sekali menentukan yang mana benar dan mana yang salah. Setiap orang klaim "saya paling benar". Jadi kalau saya pribadi lebih cenderung menawarkan pandangan kita pada orang lain, mungkin disertai rujukan dalam tipitaka, mudah-mudahan ada yang terima. Tetapi kalau orang tidak mau terima, ya sudah tidak apa. Sungguh buang waktu bicara dengan orang keras kepala.
Mungkin sebagian orang menyebut sikap ini egois atau apa, tetapi kembali lagi bagi saya, ajaran Buddha adalah ajaran mengubah diri sendiri, bukan mengubah orang lain atau mengubah dunia. Hanya orang yang merasa dirinya paling benar yang mau mengubah orang lain, bukan? (Karena saya "benar", maka saya mengubah kamu yang "salah" ikut jalan saya yang "benar".)

Salah satu inti ajaran Buddha adalah Brahma-Vihara, tetapi ini sering, seringkali cuma diterapkan sebagian. Kita mungkin mengasihi orang lain dan tidak mau mereka menderita karena perbuatan mereka sendiri, tetapi jangan lupa untuk menjaga keseimbangan bathin (upekkha) sehingga tidak goyah dan menjadi menderita karena melihat kenyataan yang ada. Inilah kenyataan hidup.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 June 2009, 09:35:47 AM
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'

Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'

Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.

Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.

Ya, cocok sekali. Hampir semua ajaran yang pernah saya temui juga menjanjikan "kebahagiaan". Ketika saya bertanya, "mana kebahagiaan yang dimaksud?" maka dijawab "nanti" dengan seribu satu alasan dan prosedur yang panjang. Kalau semua ajaran yang ajarin "nanti" saya cobain satu-satu, mau sampai berapa kali saya mati supaya tahu yang benar?

Berbeda dengan ajaran Buddha yang bisa menunjukkan "dukkha" saat ini. Disayangkan sekali justru malah kualitas istimewa ini dibuang.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 20 June 2009, 09:45:38 AM
Menurutku Sang Buddha dengan tepat mengajarkan dan memakai terminologi Dukkha alih2 Sukha dlm 'Ariya Sacca' yg diterjemahkan sbg Kebenaran Mulia. Kenapa dpt diartikan 'mulia'? Karena utk mengakui kenyataan hidup adl penderitaan, tdk memuaskan tidaklah mudah. Butuh keberanian, kesiapan mental, kepasrahan utk mengakui bahwa 'iya, hidup tdk memuaskan adanya.'

Karena secara naluri sbg manusia kita selalu mencari dan mencari kebahagiaan demi kebahagiaan hingga titik ultimate kebahagiaan yg kita yakini ada dng mengejar keinginan2 kita dan mengingkari bahwa hidup ini penuh ketidakpuasan.
Bahkan jika kita telah dihadapkan pada kenyataan 'hal ini tidak memuaskan adanya' pun kita masih tetap mencari dan membuat pembelaan, 'pasti ada yg memuaskan yg akan ku dapatkan dng cara lain yg lebih baik lagi.'

Jadi Sang Buddha tidak mengiming2i kebahagiaan sebagaimana yg ada di benak manusia pada umumnya. Melainkan kebahagiaan yg didapat dari menyadari hidup adl penderitaan dan melepas darinya. Jika memakai 'kebahagiaan' ditakutkan bukannya pencarian kebenaran benar2 dilakukan, melainkan hanya pemuasan khayalan semata dlm mencari kebahagiaan yg bersifat sementara.
Dan hanya mereka yang berani mengakui hidup adl menderita yg akan menerima ajaran beliau. Bukan mereka yg mencari kesenangan dan kebahagiaan.

Jadi pandangan saya bahwa dhamma ajaran Sang Buddha ini pun subyektif, selagi masih bersifat kebenaran menurut pengalaman empirikal dan konvensional. Mengena hanya pada mereka yg berkenan utk mencari tahu. Dan tidak akan diakui oleh mereka yg belum bersedia mengakui. Tp mengawali dng subyektifitas ini lah seharusnya dpt dicapai kebenaran yg obyektif, ini menurut saya secara teori.

Ya, cocok sekali. Hampir semua ajaran yang pernah saya temui juga menjanjikan "kebahagiaan". Ketika saya bertanya, "mana kebahagiaan yang dimaksud?" maka dijawab "nanti" dengan seribu satu alasan dan prosedur yang panjang. Kalau semua ajaran yang ajarin "nanti" saya cobain satu-satu, mau sampai berapa kali saya mati supaya tahu yang benar?

Berbeda dengan ajaran Buddha yang bisa menunjukkan "dukkha" saat ini. Disayangkan sekali justru malah kualitas istimewa ini dibuang.
jadi teringat cerita "nanti saya akan bahagia" ^^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 June 2009, 09:59:19 AM
aduh, anda tidak mengerti yah...^^
begini saja...saya analogikan begini..

ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.

salam metta.
Analogi ini tidak tepat.
Kebenaran Mulia bukan diubah kemasannya, tetapi diubah isinya, yaitu urutannya.
Anda tidak tepat menganalogikan "appetizer - main course - dessert" yang diubah menjadi "dessert - main course - appetizer" dengan perumpamaan "appetizer kemasan dessert - main course - dessert kemasan appetizer".

Kalau mengubah kemasan itu seperti ini:
tidak bahagia - sebab ketidakbahagiaan - akhir penderitaan - jalan menuju akhir penderitaan. Di sini analogi anda tepat. Dan jika memang begitu, saya rasa tidak masalah.



Kebenaran mulia: dari dukkha menuju akhir dukkha
Bagi orang yang ga suka "pesimis", diganti kebahagiaan (akhir dukkha) mundur ke dukkha

Urutan jhana: dari rupa menuju arupa
bagi orang yang "pembenci keterbatasan tubuh", diganti arupa mundur ke rupa.

Apa bedanya? Seberapa manis anda katakan alasannya, menurut saya itu tetap menjadi urutan mundur.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 June 2009, 10:27:30 AM
jika demikian, seorang sotapatti-anagami pun belum merealisasikan paramatha dhamma....
karena belum mencapai arahat....
Menurut saya sudah, itulah sebabnya mereka tidak bisa lagi "mundur". Bedanya, karena masih ada belenggu lainnya, maka mereka masih terkondisi kelahiran kembali.


Quote
Quote
Rasa garam itu asin adalah paramatha dhamma? Coba tanyakan pada mereka yang tidak memiliki indera pengecap.
ini sama saja anda berkata "coba ajarkan buddha-dhamma pada yg tidak memiliki pikiran"

rasa garam itu relatif? coba panggil 10 orang...dan suruh makan garam banyak-banyak....pasti terjadi dehidrasi bukan....
disitu lah yg dimaksud paramatha......tidak mungkin ada manusia memakan garam seperti nasi putih.
contoh anda makin ngaco..... ;)
Coba panggil 10 orang sakti, suruh makan garam banyak-banyak. Nanti anda lihat apa itu paramatha dhamma versi anda tetap paramatha.


Quote
Quote
Lalu mengapa ketika orang diingatkan dan sadar, tidak jadi Sotapanna pada saat itu?
terkait sotapatti atau tidak, bukan itu point pembahasannya...
masalah pembahasannya adalah ketika berhadapan dengan realita di depan dengan yang dipikirkan atau yang belum terpikirkan itu berbeda rasa.

sama halnya kadang orang suka ngebut liar....walau mendengar banyak kecelakaan karena ngebut liar....tetap suka ngebut liar..
akan tetapi ketika telah mendapat-kan masalah misalkan jatuh atau cacat, disitu lah baru berhenti ngebut liar....
inilah point-nya..
Ya, berarti sampai dia sendiri mati, baru jadi Sotapanna.
Definisi anda sih lain dengan yang saya baca.


Quote
hak anda...silahkan..
kalau saya,  yang telah saya pahami saya bagikan kepada orang lain.
yang belum saya pahami ,maka saya belum bagikan kepada orang lain.

kalau anda berpendapat lain/sebaliknya, mengapa anda masih bisa berkata-kata disini? mengapa anda memberikan nasihat kepada user lain yg membutuhkan?

Saya di sini merespon semua pertanyaan terhadap saya pribadi. Siapa bilang saya di sini sebagai penasihat? Saya bukan siapa-siapa kok.


Quote
kalau anda telah menembus arahat, maka saya tidak memiliki kapasitas lagi bertukar pendapat..
tetapi jika belum, mengapa anda mengajarkan beberapa saran/nasehat? bukankah anda belum merealisasikan paramatha dhamma.
apakah anda mau menyesatkan orang lain , karena diri sendiri saja belum merealisasikan....jadi anda sendiri tidak tahu yang anda pegang itu benar atau salah...
Karena yang saya bagikan ke orang, bukan berkenaan dengan paramatha dhamma, tetapi masih yang relatif. Oleh karena itu seringkali saya bilang kecocokan, kalau tidak cocok ya ga usah dihiraukan.


Quote
saya rasa tidak demikian bukan  ;) kita disini pasti telah menembus suatu paramatha,akan tetapi paramatha yg gampang di pahami dan diselami.
marah marah kepada orang lain tidak baik,karena bisa menyebabkan kesehatan memburuk bagi yg marah >> ini juga paramatha.

kalau semua menurut anda semua ini relatif, buat apa anda memberi masukan kepada orang lain yang anda pegang/pandangan sendiri masih tidak diketahui "benar" atau "ilusi" bukankah bisa saja menjadi relatif maksud saya berubah menjadi buruk/salah.
saya harap bisa dipahami maksud saya...no offense  _/\_ murni diskusi open mind.

Karena relatif itu bukan berarti "selalu berbeda". Cantik itu relatif, orang-orang bilang. Tetapi bukan berarti tiap orang pasti berbeda pendapatnya. Kalau saya bilang "cantik" anda bilang "cantik", itu yang saya bilang cocok. Tapi kalau saya bilang "cantik" anda bilang "jelek", yah tidak apa, itu namanya tidak cocok. Saya bisa katakan alasannya saya bilang cantik, anda pun bisa katakan alasannya anda bilang jelek. Tapi tidak perlu saling memaksakan pandangan, bukan?


Quote
tidak perlu lah membahas paccekabuddha atau sammasambuddha terlalu jauh de...
mari bahas dekat-dekat saja...seperti yg saya katakan..

mengapa anda mau memberi nasehat kepada orang padahal anda sendiri tidak "Yakin"/relatif dengan kebenaran yg anda beri.
kalau ternyata anda beri itu sebuah ke-sesatan.?

apakah perlu mencapai arahat baru bisa menasehati seseorang untuk tidak mencuri?
justru ketika kita tahu perbuatan mencuri itu tidak baik dan membawa kepada masalah...maka kita menembus paramatha...
salam metta.
Ini tidak saya jawab karena tidak sesuai dengan pandangan saya akan kebenaran mutlak & relatif. Saya bilang itu semua relatif, dan anda bilang mutlak, jadi tidak mungkin nyambung.
Title: Buddhisme = Pesimistik?
Post by: K.K. on 20 June 2009, 01:29:40 PM
A bertemu dengan B menanyakan tentang ajaran Buddha.

A: Benarkah Buddha mengajarkan hidup ini adalah dukkha?
B: Benar

A: Banyak yang bisa dilakukan dalam hidup, bukankah mengatakan hakikat hidup adalah dukkha adalah pandangan pesimis?

B: Apa kerjaan anda?
A: Saya seorang manager perusahaan

B: Untuk apa anda bekerja?
A: Untuk mendapatkan uang, memenuhi kebutuhan

B: Setelah dapat uang cukup, lalu apa yang anda lakukan?
A: Saya akan mencari istri yang sesuai, punya keluarga, dan membahagiakan mereka

B: Setelah itu?
A: Saya akan mempertahankan kebahagiaan itu seumur hidup

B: Dengan begitu, anda katakan hakikat hidup adalah bahagia?
A: Ya, hidup saya bahagia

B: Jika pada dasarnya, hidup anda adalah kepuasan, mengapa engkau masih mencari uang untuk mengejar pemuasan kebutuhan?
A: ...

B: Jika pada dasarnya, hidup anda ini adalah kebahagiaan, mengapa anda membutuhkan seorang istri dan keluarga untuk melengkapi kekosongan?
A: ...

B: Jika pada dasarnya, hidup ini adalah bukan dukkha, mengapa kita masih saja selalu mengejar kebahagiaan?
A: ...

----

Ketika orang mengabaikan kebaikan dalam satu fakta, maka orang itu disebut pesimisik. Jika seseorang mengabaikan risiko dalam satu fakta, maka orang itu disebut optimistik.

Orang pesimis tidak mampu berkembang karena tidak bisa melihat kesempatan, sedangkan orang optimis berada di ambang kejatuhan.
Seorang yang bisa melihat kenyataan bukanlah seorang optimis maupun pesimis; tetapi ia tahu kapan untuk maju ketika ada kesempatan dan kapan untuk menahan diri ketika ada bahaya mengancam.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tula on 20 June 2009, 03:55:06 PM
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 20 June 2009, 04:08:24 PM
aduh, anda tidak mengerti yah...^^
begini saja...saya analogikan begini..

ketika anak kecil mau makan eskrim, tetapi kita hanya punya permen...bisa saja anakkecil itu menolak langsung tanpa mau mencoba permen tersebut....
nah,disitu sedikit di ubah,tetap permen dengan model seperti eskrim...

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

tidak seperti yang anda katakan....mengubah dari arupa-jhana duluan ,kemudian mengubah-ubah sila lalu apalah....
jika nelayan langsung disuruh berhenti membunuh/tangkap ikan, mungkin belum mendengar penjelasan kita....malahan langsung kita yg diceramahi.

salam metta.
Analogi ini tidak tepat.
Kebenaran Mulia bukan diubah kemasannya, tetapi diubah isinya, yaitu urutannya.
Anda tidak tepat menganalogikan "appetizer - main course - dessert" yang diubah menjadi "dessert - main course - appetizer" dengan perumpamaan "appetizer kemasan dessert - main course - dessert kemasan appetizer".

Kalau mengubah kemasan itu seperti ini:
tidak bahagia - sebab ketidakbahagiaan - akhir penderitaan - jalan menuju akhir penderitaan. Di sini analogi anda tepat. Dan jika memang begitu, saya rasa tidak masalah.



Kebenaran mulia: dari dukkha menuju akhir dukkha
Bagi orang yang ga suka "pesimis", diganti kebahagiaan (akhir dukkha) mundur ke dukkha

Urutan jhana: dari rupa menuju arupa
bagi orang yang "pembenci keterbatasan tubuh", diganti arupa mundur ke rupa.

Apa bedanya? Seberapa manis anda katakan alasannya, menurut saya itu tetap menjadi urutan mundur.
saudara kaiyin, apakah anda tahu persis mental Ajahn mengubah disitu? tidak bukan.
jadi apabila yang dimaksudkan Ajahn mengubah untuk merangsang dunia barat "mau" memegang buku buddhis saja dan membacanya itu sudah bagus..
ketimbang baru melihat buku buddhis malah langsung di simpan tanpa dibuka.

jadi kalau saya berpikir bahwa Ajahn berusaha membuat seseorang mencicipi rasa dari buddhism, terkait suka atau tidak suka urusan belakang.
ketimbang baru berbicara ttg buddhism, orang sudah menolak mencoba...bukankah sayang.

Quote
Menurut saya sudah, itulah sebabnya mereka tidak bisa lagi "mundur". Bedanya, karena masih ada belenggu lainnya, maka mereka masih terkondisi kelahiran kembali.

loh,dari tadi saya katakan apabila seseorang menghancurkan 1 belenggu,
memangnya belenggu setelah dihancurkan bisa timbul lagi?.......
jadi ketika seseorang telah menghancurkan 1 belenggu,orang itu juga telah merealisasikan paramatha dhamma.

ketika anda tidak setuju dengan kata contoh saya,sekarang anda mengatakan "tidak bisa mundur" atau dengan kata lain anda setuju....^^

Quote
Quote
saudara kaiyin,
paramatha dhamma, itu banyak yang harus direalisasikan....bukan berarti merealisasikan 1 saja semua menjadi bisa....
misalkan dalam mencapai tingkat sotapanna disitu menghancurkan 3 belenggu..

andaikata seseorang telah menghancurkan belenggu tentang miccha-dhitti saja..apakah bisa dikatakan diri-nya belum menghancurkan miccha-dhitti yang sesungguh-sungguh-nya walau karena belum mencapai sotapatti?
Kalau menurut saya, semua dhamma termasuk samma-ditthi dan miccha-ditthi bukanlah paramatha dhamma, itu tetaplah kebenaran relatif. Paramatha dhamma hanyalah satu, kalau boleh di-numerik-kan. Ketika seseorang merealisasikannya, maka ia melihat pandangan salah sebagai pandangan salah, pandangan benar sebagai pandangan benar, namun ia sudah bukan lagi keduanya. Pandangan apa pun sudah tidak memiliki landasan dalam bathinnya. Itu yang disebut "telah menyeberangi arus dan meninggalkan rakit".

Quote
Coba panggil 10 orang sakti, suruh makan garam banyak-banyak. Nanti anda lihat apa itu paramatha dhamma versi anda tetap paramatha.
sy berbicara sesuai keadaan saja, silahkan anda yang pilih orang sakti-nya....nanti saya yang beri garam-nya..
kita lihat hasilnya apa makan garam itu bisa dehidrasi-kehausan, atau kekenyangan dan bertenaga seperti makan nasi putih yg notabane nya karbohidrat.  :P

Quote
Definisi anda sih lain dengan yang saya baca.
silahkan dibaca ulang,

Quote
coba tanyakan pada orang awam yg hidup nyaman, apakah kamu sedang menderita?
mereka tentu akan menjawab "tidak, saya bahagia kok"

tetapi ketika kita mengingatkan bahwa kamu akan menderita tua, menderita sakit, menderita kematian...barulah disadari nya "oh iya masih ada dukkha"
apakah pada saat dijawab "saya bahagia" itu mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengetahui akan menderita tua,sakit,mati?

orang bersenang-senang dengan apa yang dimiliki-nya hingga lupa akan kematian, namun ketika berhadapan dengan kematian, dirinya baru mengetahui realita.
tetapi ketika masih bersenang-senang, orang tersebut juga mengetahui bahwa diri-nya pasti akan mati...

Quote
Karena relatif itu bukan berarti "selalu berbeda". Cantik itu relatif, orang-orang bilang. Tetapi bukan berarti tiap orang pasti berbeda pendapatnya. Kalau saya bilang "cantik" anda bilang "cantik", itu yang saya bilang cocok. Tapi kalau saya bilang "cantik" anda bilang "jelek", yah tidak apa, itu namanya tidak cocok. Saya bisa katakan alasannya saya bilang cantik, anda pun bisa katakan alasannya anda bilang jelek. Tapi tidak perlu saling memaksakan pandangan, bukan?
gini aja, "perbuatan mencuri itu perbuatan tercela" >> apakah pernyataan ini disebut kebenaran relatif?

metta
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 20 June 2009, 04:14:11 PM
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
ada 2 jawaban
ketika kita bahagia misalkan mendapat-kan jackpot USD1juta...saat itu kita bahagia dan kita tidak menderita...
akan tetapi ketika kita bukan jackpot malah merugi USD1juta, kesedihan(dukkha) timbul dan kebahagiaan lenyap.

maksud pikiran saudara mungkin bahwa berakhir nya permainan USD1juta ( jackpot dan merugi ) malahan kebahagiaan juga berakhir...
kebahagiaan yang dimaksudkan adalah kebahagiaan ter-kondisi


tetapi kalau berakhir dukkha yg dimaksud buddhism,
itu kebahagiaan yang tidak pernah bisa berubah, tidak ter-ikat waktu dan tempat dan tidak ter-ikat hukum niyama-niyama seperti anicca.
atau dengan kata lain tidak-berkondisi...

kebahagiaan melebihi kebahagiaan terkondisi...itulah buddhism.
maaf kalau saya masih bodoh menjelaskan....

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 20 June 2009, 04:20:56 PM
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
Justru harusnya, berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan tertinggi lho
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 20 June 2009, 04:28:26 PM
A bertemu dengan B menanyakan tentang ajaran Buddha.

A: Benarkah Buddha mengajarkan hidup ini adalah dukkha?
B: Benar

A: Banyak yang bisa dilakukan dalam hidup, bukankah mengatakan hakikat hidup adalah dukkha adalah pandangan pesimis?

B: Apa kerjaan anda?
A: Saya seorang manager perusahaan

B: Untuk apa anda bekerja?
A: Untuk mendapatkan uang, memenuhi kebutuhan

B: Setelah dapat uang cukup, lalu apa yang anda lakukan?
A: Saya akan mencari istri yang sesuai, punya keluarga, dan membahagiakan mereka

B: Setelah itu?
A: Saya akan mempertahankan kebahagiaan itu seumur hidup

B: Dengan begitu, anda katakan hakikat hidup adalah bahagia?
A: Ya, hidup saya bahagia

B: Jika pada dasarnya, hidup anda adalah kepuasan, mengapa engkau masih mencari uang untuk mengejar pemuasan kebutuhan?
A: ...

B: Jika pada dasarnya, hidup anda ini adalah kebahagiaan, mengapa anda membutuhkan seorang istri dan keluarga untuk melengkapi kekosongan?
A: ...

B: Jika pada dasarnya, hidup ini adalah bukan dukkha, mengapa kita masih saja selalu mengejar kebahagiaan?
A: ...

----

Ketika orang mengabaikan kebaikan dalam satu fakta, maka orang itu disebut pesimisik. Jika seseorang mengabaikan risiko dalam satu fakta, maka orang itu disebut optimistik.

Orang pesimis tidak mampu berkembang karena tidak bisa melihat kesempatan, sedangkan orang optimis berada di ambang kejatuhan.
Seorang yang bisa melihat kenyataan bukanlah seorang optimis maupun pesimis; tetapi ia tahu kapan untuk maju ketika ada kesempatan dan kapan untuk menahan diri ketika ada bahaya mengancam.

percakapan ini bisa terjadi ketika seseorang berniat membahas buddhism.

akan tetapi kalau dengar buddha saja sudah enggan  membahas?...apa yg mau d bahas?
untuk itu Ajahn mungkin saja berniat membuat pemicu terjadi percakapan membahas buddhism.

karena saya juga dulu demikian, dulu berpikir bahwa di vihara itu juga mengenal mr.T....seperti mr.T dalam nasran1
akan tetapi begitu dengar tidak mengenal mr.T, tanpa bertanya mengapa dan bagaimana sy langsung pergi dan men-cap agama sesat......

andaikata orang tersebut berkata mengenal mr.T akan tetapi sedikit berbeda..^^ dan begini-begitu saya jadi lebih cepat lagi mengenal the real buddhism, bukan perlu 2-3 tahun mengembara di aliran maitrey4. ^^


tetapi kalau anda berpikir Ajahn keliru,yah itu hak anda jg, saya hanya mengeluarkan pendapat saya juga...
oke...cukup de.
----------------------------------------

saudara kaiyin, masalah kecocokan...

ketika anda memberikan orang sebuah nasehat, misalkan jangan mencuri apakah anda yakin ini benar 100% ( sudah absolut/paramatha )
atau hanya 50% ( masih relatif ) dimata orang lain, karena bisa saja pencuri bilang benar.

sy tunggu jawaban anda. ^^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 20 June 2009, 06:33:02 PM
Quote
Marcedes ....

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

Bagaimana kalau kita ngajak orang barat itu party dulu....
nanti baru diajarkan dhamma apa juga boleh ?

sejauh manakah boleh diperbuat (dipromosikan) utk mencapai tujuan ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 20 June 2009, 09:34:55 PM
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
Kebahagiaan sepertinya terlalu bersifat duniawi dhe.Kebahagiaan indentiknya senang, kebahagiaan juga sifatnya terkondisi dhe.dan sepertinya dimana ada kebahagian disitu ada kesedihan.cmiiw..

Gimana kalo diganti dgn
berakhirnya dukha=perasaan tawar(netral)
nah..kalo perasaan tawar(netral) itu terkesan cocok untuk mengambarkan lenyapnya dukha,karena perasaan tawar ini bebas dari kondisi sedih maupun senang,dan sifat tawar(netral) ini bebas dari segala sensasi
Dan kalo ga salah ciri seorang arahat adalah tidak penah tertawa,
dimana tertawa indektiknya adalah kondisi bahagia,jadi 'tidak tertawa' disini mengambarkan perasaan tawar(netral) sang arahat
harap dikoreksi
^
^
dan kalo terkesan konyol,jangan dianggap serius ya,lagi ga konsentrasi ni,jadi asbun/asal bunyi dhe
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 21 June 2009, 12:21:20 AM
Quote
Marcedes ....

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

Bagaimana kalau kita ngajak orang barat itu party dulu....
nanti baru diajarkan dhamma apa juga boleh ?

sejauh manakah boleh diperbuat (dipromosikan) utk mencapai tujuan ?
sulit dijelaskan dengan kata-kata mengenai standard tersebut,akan tetapi bisa di gambarkan/di renungkan mengenai "sifat-sifat" bikkhu yang berlatih selama beberapa tahun.
you know saja lah ,what i mean.  :P

mana ada para bikkhu party ^.^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 21 June 2009, 08:43:37 AM
Quote
Marcedes ....

orang barat mungkin jika di ajarkan tentang dukkha langsung "ah malas pesimistik amat"
nah disitu diajarkan dengan cara berbeda....sehingga mereka merasa tertarik...setelah mencoba baru mengerti...

Bagaimana kalau kita ngajak orang barat itu party dulu....
nanti baru diajarkan dhamma apa juga boleh ?

sejauh manakah boleh diperbuat (dipromosikan) utk mencapai tujuan ?
sulit dijelaskan dengan kata-kata mengenai standard tersebut,akan tetapi bisa di gambarkan/di renungkan mengenai "sifat-sifat" bikkhu yang berlatih selama beberapa tahun.
you know saja lah ,what i mean.  :P

mana ada para bikkhu party ^.^

Tapi bagaimana kalau gw yg mengadakan partynya...

sebelum acara berikutnya Bhiku mengajar ?

(agama lain ada yg pakai celebrity lho, dsb)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 21 June 2009, 08:47:43 AM
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....
apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
Kebahagiaan sepertinya terlalu bersifat duniawi dhe.Kebahagiaan indentiknya senang, kebahagiaan juga sifatnya terkondisi dhe.dan sepertinya dimana ada kebahagian disitu ada kesedihan.cmiiw..

Gimana kalo diganti dgn
berakhirnya dukha=perasaan tawar(netral)
nah..kalo perasaan tawar(netral) itu terkesan cocok untuk mengambarkan lenyapnya dukha,karena perasaan tawar ini bebas dari kondisi sedih maupun senang,dan sifat tawar(netral) ini bebas dari segala sensasi
Dan kalo ga salah ciri seorang arahat adalah tidak penah tertawa,
dimana tertawa indektiknya adalah kondisi bahagia,jadi 'tidak tertawa' disini mengambarkan perasaan tawar(netral) sang arahat
harap dikoreksi
^
^
dan kalo terkesan konyol,jangan dianggap serius ya,lagi ga konsentrasi ni,jadi asbun/asal bunyi dhe


Quote
dimana tertawa indektiknya adalah kondisi bahagia
;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D

kalau begitu, coba ketawa aja terus, jangan berhenti, dan semangkin besar suara ketawanya... nah apakah mendatangkan bahagia ?  (paling2 setelah beberapa jam mulutnya bisa cramp)...  :'( :'(

Apakah menurut yg lain ketawa dpt mendatangkan kebahagiaan yg sebenarnya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 21 June 2009, 08:56:38 AM
Tapi kata anonim "tertawa adalah liburan sekejap"
btw,anonim itu siapa ya?

Tertawa sepertinya bukan kebahagiaan yg sebenarnnya dhe...
 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 21 June 2009, 01:20:22 PM
Ada yang saya mau tanyakan pada kainyn, dari dulu kita tidak pernah sepakat nih, bagaimana tentang pimpinan / pendiri / guru ajaran (agama) yang ternyata ajarannya juga perilakunya tidak sesuai dan tidak menuju pengikisan LDM.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 June 2009, 05:58:42 PM
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)

tp ada 1 hal yg tula mau tau pendapat yg lain ...
menurut temen2 (kainyn, ryu, marcedes, jhonz, yuri, dll dll dll dll ... ) ... apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?

kalo yg tula pahami .. berakirnya dukha jg termasuk berakhirnya kebahagiaan, dll , semua berakhir ....

Terima kasih, tula!  _/\_

Buat saya, ketika seseorang tidak lagi digenggam dukkha, maka ia tidak lagi mendiskriminasikan apa itu bahagia, dan apa itu tidak bahagia. Sebetulnya tidak ada istilah untuk itu, tetapi untuk kesepakatan bersama, disebut "berakhirnya dukkha" ataupun "kebahagiaan tertinggi".

Kalau mau dianalogikan, mungkin sama seperti uang. Banyak uang kita bahagia, kurang uang kita menderita. Tetapi ketika kita sudah tidak lagi dibelenggu oleh keinginan, maka tidak tepat kita dibilang "orang kaya" atau "berakhirnya sebagai orang miskin". Tetapi untuk istilah duniawi, maka kita sebut orang itu "kaya" karena puas. 


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 June 2009, 06:08:31 PM
saudara kaiyin, apakah anda tahu persis mental Ajahn mengubah disitu? tidak bukan.
jadi apabila yang dimaksudkan Ajahn mengubah untuk merangsang dunia barat "mau" memegang buku buddhis saja dan membacanya itu sudah bagus..
ketimbang baru melihat buku buddhis malah langsung di simpan tanpa dibuka.

jadi kalau saya berpikir bahwa Ajahn berusaha membuat seseorang mencicipi rasa dari buddhism, terkait suka atau tidak suka urusan belakang.
ketimbang baru berbicara ttg buddhism, orang sudah menolak mencoba...bukankah sayang.
Kembali lagi, saya seringkali "mengenalkan" dhamma kepada orang lain tanpa perlu menonjolkan embel2 Buddhisme, terutama bagi mereka yang saya tahu ada "pengalaman buruk" dengan Buddhisme.
Saya memang tidak tahu bathin Ajahn di sana, dan saya pun tidak demonstrasi menentangnya. Hanya menurut saya, saya tidak setuju. Itu saja.


Quote
loh,dari tadi saya katakan apabila seseorang menghancurkan 1 belenggu,
memangnya belenggu setelah dihancurkan bisa timbul lagi?.......
jadi ketika seseorang telah menghancurkan 1 belenggu,orang itu juga telah merealisasikan paramatha dhamma.

ketika anda tidak setuju dengan kata contoh saya,sekarang anda mengatakan "tidak bisa mundur" atau dengan kata lain anda setuju....^^
Seperti saya katakan, saya tidak melihat 10 belenggu sebagaimana anda menilainya. Bagi saya, ketika seseorang melihat paramatha dhamma, maka ia tidak bisa mundur lagi, dan akhirnya terlepas dari kelahiran kembali.

Perbedaan saya dengan anda, tetap dalam cakupan paramatha dhamma-nya. Bagi saya, sebelum merealisasi paramatha dhamma, tidak ada belenggu yang dihancurkan, hanya ditekan, seperti hal-nya nafsu dan kebencian yang ditekan dalam jhana (demikian juga para mahluk Brahma).


Quote
sy berbicara sesuai keadaan saja, silahkan anda yang pilih orang sakti-nya....nanti saya yang beri garam-nya..
kita lihat hasilnya apa makan garam itu bisa dehidrasi-kehausan, atau kekenyangan dan bertenaga seperti makan nasi putih yg notabane nya karbohidrat.  :P
Terserah anda saja. Anda mau bilang kebenaran seperti itu adalah Paramatha Dhamma, silahkan. Saya menghormatinya. Saya tidak melanjutkan lagi tentang ini.


Sepertinya pembahasan kita memang tidak nyambung, jadi saya hargai kalau anda tidak meneruskan yang memang sudah tidak nyambung ini. Saya tidak bilang saya benar, anda salah. Saya hanya bilang kita berbeda. Silahkan anda jalankan yang anda percaya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 June 2009, 06:22:32 PM
percakapan ini bisa terjadi ketika seseorang berniat membahas buddhism.

akan tetapi kalau dengar buddha saja sudah enggan  membahas?...apa yg mau d bahas?
untuk itu Ajahn mungkin saja berniat membuat pemicu terjadi percakapan membahas buddhism.
Karena pengalaman setiap orang berbeda, maka mengenalkan dhamma pun harus dengan cara yang sesuai, dan mungkin berbeda bagi tiap orang. Ajahn memilih membolak-balik 4 Kebenaran Mulia, itu haknya. Anda mau bolak-balik juga tidak apa.
Saya memilih cara yang berbeda. Itu saja.



Quote
karena saya juga dulu demikian, dulu berpikir bahwa di vihara itu juga mengenal mr.T....seperti mr.T dalam nasran1
akan tetapi begitu dengar tidak mengenal mr.T, tanpa bertanya mengapa dan bagaimana sy langsung pergi dan men-cap agama sesat......

andaikata orang tersebut berkata mengenal mr.T akan tetapi sedikit berbeda..^^ dan begini-begitu saya jadi lebih cepat lagi mengenal the real buddhism, bukan perlu 2-3 tahun mengembara di aliran maitrey4. ^^

tetapi kalau anda berpikir Ajahn keliru,yah itu hak anda jg, saya hanya mengeluarkan pendapat saya juga...
oke...cukup de.
----------------------------------------
Berbeda dengan anda, saya tidak melakukan sesuatu dengan tolok ukur diri saya sendiri.
Kalau menurut anda, dengan metode anda sekarang bisa lebih baik mengenalkan Buddhism, silahkan saja.
Bagi semua orang punya cara masing2 dalam mengenalkan dhamma. Itu sah-sah saja, saya tidak melarang. Tetapi kembali lagi kalau ada orang bertanya saya setuju atau tidak, yah saya jawab sesuai pendapat saya.



Quote
saudara kaiyin, masalah kecocokan...

ketika anda memberikan orang sebuah nasehat, misalkan jangan mencuri apakah anda yakin ini benar 100% ( sudah absolut/paramatha )
atau hanya 50% ( masih relatif ) dimata orang lain, karena bisa saja pencuri bilang benar.

sy tunggu jawaban anda. ^^

Saya tidak pernah menganggap kebenaran demikian adalah absolut.

Saya juga tidak memberikan nasihat dengan mengatakan "ini kebenaran absolut", "saya sudah realisasi/punya pengalaman langsung" atau lain-lain sebagainya. Saya berikan orang lain nasihat sebagaimana layaknya teman, bukan menggurui. Teman boleh menerima atau menolak nasihat temannya, tergantung kecocokannya.



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 June 2009, 06:24:38 PM
apakah berakhirnya dukha itu adalah kebahagiaan ?
Kebahagiaan sepertinya terlalu bersifat duniawi dhe.Kebahagiaan indentiknya senang, kebahagiaan juga sifatnya terkondisi dhe.dan sepertinya dimana ada kebahagian disitu ada kesedihan.cmiiw..

Gimana kalo diganti dgn
berakhirnya dukha=perasaan tawar(netral)
nah..kalo perasaan tawar(netral) itu terkesan cocok untuk mengambarkan lenyapnya dukha,karena perasaan tawar ini bebas dari kondisi sedih maupun senang,dan sifat tawar(netral) ini bebas dari segala sensasi
Dan kalo ga salah ciri seorang arahat adalah tidak penah tertawa,
dimana tertawa indektiknya adalah kondisi bahagia,jadi 'tidak tertawa' disini mengambarkan perasaan tawar(netral) sang arahat
harap dikoreksi
^
^
dan kalo terkesan konyol,jangan dianggap serius ya,lagi ga konsentrasi ni,jadi asbun/asal bunyi dhe

Entahlah, saya tidak menspekulasikan pikiran para ariya.

Bagi saya sederhana. Kalau anda menjadikan "senyum dan tertawa" sebagai tolok ukur, maka anda bisa menemukan banyak Arahat di RSJ. :)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 June 2009, 06:57:44 PM
Ada yang saya mau tanyakan pada kainyn, dari dulu kita tidak pernah sepakat nih, bagaimana tentang pimpinan / pendiri / guru ajaran (agama) yang ternyata ajarannya juga perilakunya tidak sesuai dan tidak menuju pengikisan LDM.

Seorang guru yang ideal adalah yang perbuatan dan tingkah lakunya sempurna, mengetahui fenomena dan dapat mengajarkannya pada orang lain. Menurut teorinya, manusia demikian hanyalah Samma Sambuddha seorang.

Seandainya, sekarang ini muncul seorang Samma Sambuddha, kita melihat sepak-terjangnya dan hasil ajarannya yang nyata, tetapi kita berpaling mencari guru yang tidak sempurna perbuatan dan tingkah lakunya, serta tidak sempurna mengajarkan dhamma, maka saya bilang perbuatan seperti itu sangat sangat mubazir. (Istilah Maha Kacayana: seperti orang yang mencari kayu di hutan, bertemu kayu jati, tetapi bukan mengambil inti batangnya, malah mengambil rantingnya.)

Nah, setahu saya, sekarang ini saya tidak melihat adanya Samma Sambuddha (kecuali beberapa yang gadungan), yang sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya. Maka yang dapat kita peroleh hanyalah guru-guru yang bukan guru "sejati" (=sudah tidak ada rotan, hanya akar saja).

Di antara guru-guru yang ada sekarang ini, -namanya juga orang biasa- pasti ada saja "noda" dalam ajaran dan perbuatannya. Tetapi bukan karena hal demikian, lalu kita tolak mentah-mentah semua ajaran dari guru itu.
Saya kasih contohnya, seorang bhikkhu ataupun romo bisa saja masih diliputi kebencian dan hawa nafsu. Kemudian misalkan ada umat non-Buddhis yang telah mencapai jhana, dan oleh karena itu, dalam hal sila, ia lebih tinggi daripada bhikkhu atau romo tersebut. Apakah karena hal itu, otomatis romo/bhikkhu itu tidak pantas jadi guru orang tersebut? Apakah juga dengan sendirinya romo atau bhikkhu itu berarti tidak bisa mengajarkan/mengenalkan Buddha-dhamma? Tidak juga, bukan?

Kalau saya pribadi, saya percaya dengan adanya mahluk sempurna yang disebut Samma Sambuddha, tetapi saya tidak/belum beruntung menemukannya dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, semua orang yang berpotensi membagikan sesuatu pada saya, saya hormati juga sebagai guru, terlepas dari segala macam kekurangannya.

Bagi orang yang mau mencari guru, saya sarankan terimalah kekurangannya, tetapi jangan ditiru. Kembali lagi, kita harus mengembangkan kebijaksanaan dalam diri, bukan bergantung pada orang lain. Dengan begitu, kita bisa lihat "bagus sebagai bagus; jelek sebagai jelek". Juga jangan mengkultuskan seorang guru. Bahkan dalam Sutta pun, Buddha tidak pernah menyuruh para murid mengkultuskan dirinya. 


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 21 June 2009, 08:48:03 PM
Ada yang saya mau tanyakan pada kainyn, dari dulu kita tidak pernah sepakat nih, bagaimana tentang pimpinan / pendiri / guru ajaran (agama) yang ternyata ajarannya juga perilakunya tidak sesuai dan tidak menuju pengikisan LDM.

Seorang guru yang ideal adalah yang perbuatan dan tingkah lakunya sempurna, mengetahui fenomena dan dapat mengajarkannya pada orang lain. Menurut teorinya, manusia demikian hanyalah Samma Sambuddha seorang.

Seandainya, sekarang ini muncul seorang Samma Sambuddha, kita melihat sepak-terjangnya dan hasil ajarannya yang nyata, tetapi kita berpaling mencari guru yang tidak sempurna perbuatan dan tingkah lakunya, serta tidak sempurna mengajarkan dhamma, maka saya bilang perbuatan seperti itu sangat sangat mubazir. (Istilah Maha Kacayana: seperti orang yang mencari kayu di hutan, bertemu kayu jati, tetapi bukan mengambil inti batangnya, malah mengambil rantingnya.)

Nah, setahu saya, sekarang ini saya tidak melihat adanya Samma Sambuddha (kecuali beberapa yang gadungan), yang sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya. Maka yang dapat kita peroleh hanyalah guru-guru yang bukan guru "sejati" (=sudah tidak ada rotan, hanya akar saja).

Di antara guru-guru yang ada sekarang ini, -namanya juga orang biasa- pasti ada saja "noda" dalam ajaran dan perbuatannya. Tetapi bukan karena hal demikian, lalu kita tolak mentah-mentah semua ajaran dari guru itu.
Saya kasih contohnya, seorang bhikkhu ataupun romo bisa saja masih diliputi kebencian dan hawa nafsu. Kemudian misalkan ada umat non-Buddhis yang telah mencapai jhana, dan oleh karena itu, dalam hal sila, ia lebih tinggi daripada bhikkhu atau romo tersebut. Apakah karena hal itu, otomatis romo/bhikkhu itu tidak pantas jadi guru orang tersebut? Apakah juga dengan sendirinya romo atau bhikkhu itu berarti tidak bisa mengajarkan/mengenalkan Buddha-dhamma? Tidak juga, bukan?

Kalau saya pribadi, saya percaya dengan adanya mahluk sempurna yang disebut Samma Sambuddha, tetapi saya tidak/belum beruntung menemukannya dalam kehidupan ini. Oleh karena itu, semua orang yang berpotensi membagikan sesuatu pada saya, saya hormati juga sebagai guru, terlepas dari segala macam kekurangannya.

Bagi orang yang mau mencari guru, saya sarankan terimalah kekurangannya, tetapi jangan ditiru. Kembali lagi, kita harus mengembangkan kebijaksanaan dalam diri, bukan bergantung pada orang lain. Dengan begitu, kita bisa lihat "bagus sebagai bagus; jelek sebagai jelek". Juga jangan mengkultuskan seorang guru. Bahkan dalam Sutta pun, Buddha tidak pernah menyuruh para murid mengkultuskan dirinya. 



Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 21 June 2009, 09:46:47 PM
Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?
Nyela.. Kalo nurut saya susah yah.. dr yg salah gmn bisa timbul yg benar? sebuah deviasi bersudut kecil dari garis lurus, akan menjadi perbedaan yg besar pd satu jarak tertentu, meski di awal pembelokannya perbedaan tsb tidak terlihat signifikan.
Contoh kasus: Y.A Sariputta sendiri tdk mengalami kemajuan yg berarti dibawah ajaran Sanjaya. Hanya dari keterbukaan dia mendengar sebait dhamma dari Y.A Assaji, barulah terealisasikan sebuah pandangan benar. Sesudahnya beliau tdk 'kekeuh' tetap memelihara pandangan benarnya dibawah ajaran Sanjaya yg berpandangan keliru. Tapi tidak berarti beliau tdk lagi menaruh hormat pd mantan gurunya. Malah Y.A Sariputta mencoba mengajak gurunya utk mengambil perlindungan dlm Buddha sasana.
Saya rasa itu pula sebabnya pandangan benar diletakkan sebagai dasar dlm Jalan Mulia Berunsur 8.
Demikian pula deviasi yg terjadi dlm ajaran Mr.J. Ungkapan yg cukup mengena 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari.'
Apa yg baik belum tentu benar. Dan menyikapi kebenaran ini pun hendaknya berhati-hati, krn jika tidak akan menjadi fanatisme yg tdk membawa kemajuan pula.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 21 June 2009, 10:06:52 PM
Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?
Nyela.. Kalo nurut saya susah yah.. dr yg salah gmn bisa timbul yg benar? sebuah deviasi bersudut kecil dari garis lurus, akan menjadi perbedaan yg besar pd satu jarak tertentu, meski di awal pembelokannya perbedaan tsb tidak terlihat signifikan.
Contoh kasus: Y.A Sariputta sendiri tdk mengalami kemajuan yg berarti dibawah ajaran Sanjaya. Hanya dari keterbukaan dia mendengar sebait dhamma dari Y.A Assaji, barulah terealisasikan sebuah pandangan benar. Sesudahnya beliau tdk 'kekeuh' tetap memelihara pandangan benarnya dibawah ajaran Sanjaya yg berpandangan keliru. Tapi tidak berarti beliau tdk lagi menaruh hormat pd mantan gurunya. Malah Y.A Sariputta mencoba mengajak gurunya utk mengambil perlindungan dlm Buddha sasana.
Saya rasa itu pula sebabnya pandangan benar diletakkan sebagai dasar dlm Jalan Mulia Berunsur 8.
Demikian pula deviasi yg terjadi dlm ajaran Mr.J. Ungkapan yg cukup mengena 'guru kencing berdiri, murid kencing berlari.'
Apa yg baik belum tentu benar. Dan menyikapi kebenaran ini pun hendaknya berhati-hati, krn jika tidak akan menjadi fanatisme yg tdk membawa kemajuan pula.

Nah makanya dari situ bisa di ambil kesimpulan semua agama tidak sama, karena dari ajaran, goalnya pun sudah berbeda, kebenarannya pun berbeda ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 21 June 2009, 11:37:22 PM
Quote
saudara kaiyin, masalah kecocokan...

ketika anda memberikan orang sebuah nasehat, misalkan jangan mencuri apakah anda yakin ini benar 100% ( sudah absolut/paramatha )
atau hanya 50% ( masih relatif ) dimata orang lain, karena bisa saja pencuri bilang benar.

sy tunggu jawaban anda. ^^

Quote
Saya tidak pernah menganggap kebenaran demikian adalah absolut.

Saya juga tidak memberikan nasihat dengan mengatakan "ini kebenaran absolut", "saya sudah realisasi/punya pengalaman langsung" atau lain-lain sebagainya. Saya berikan orang lain nasihat sebagaimana layaknya teman, bukan menggurui. Teman boleh menerima atau menolak nasihat temannya, tergantung kecocokannya.

anda tidak menangkap poin yg saya maksudkan....
yg saya maksudkan adalah "dari mana anda tahu standard akan suatu hal, apabila berdasarkan rasa cocok/tidak cocok...karena rasa cocok/tidak cocok bagi orang relatif, bahkan bagi anda juga seperti kata anda.
hingga anda membagikannya kepada orang lain. :P

jadi pernyataan
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela adalah sebuah kebenaran relatif
apakah ini pernyataan anda maksudkan?

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 June 2009, 10:08:48 AM
Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?

Wah, kalau sampai sejauh itu sih saya tidak tahu yah. Kalau mau dispekulasikan juga sudah terlalu luas.
Tapi kalau saya 'kan percayanya setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan harus bergantung pada guru untuk mencapai kemajuan. Jadi bisa saja bagi mereka yang tidak ketemu ajaran Buddha, tetap mengambil jalur Pacceka Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 22 June 2009, 10:17:04 AM
Ok, nah bagaimana menurut anda mengenai tokoh agamanya nih seperti Mr. J. beliau sendiri saja LDM nya belum tentu terkikis nih, bagaimana ke umatnya/yang mengimaninya apakah bisa?

Wah, kalau sampai sejauh itu sih saya tidak tahu yah. Kalau mau dispekulasikan juga sudah terlalu luas.
Tapi kalau saya 'kan percayanya setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, bukan harus bergantung pada guru untuk mencapai kemajuan. Jadi bisa saja bagi mereka yang tidak ketemu ajaran Buddha, tetap mengambil jalur Pacceka Buddha.
bukan spekulasi, bisa dilihat koq di kitab mengenai ajaran dan prilakunya khan ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 June 2009, 10:21:34 AM
anda tidak menangkap poin yg saya maksudkan....
yg saya maksudkan adalah "dari mana anda tahu standard akan suatu hal, apabila berdasarkan rasa cocok/tidak cocok...karena rasa cocok/tidak cocok bagi orang relatif, bahkan bagi anda juga seperti kata anda.
hingga anda membagikannya kepada orang lain. :P

jadi pernyataan
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela adalah sebuah kebenaran relatif
apakah ini pernyataan anda maksudkan?

salam metta.
Saya tidak menerapkan standard "ini kebenaran, ini bukan kebenaran". Ketika saya sharing, saya lebih membahas apakah suatu perbuatan bermanfaat baginya atau tidak.

Saya beri contoh yang terakhir, yang semoga bisa nyambung.

Anda katakan mencuri perbuatan tercela = kebenaran mutlak. Atas dasar apakah?  

Di sini kita melihat orang mencuri, ada yang tertangkap dan dipenjara, dihina, dipukuli bahkan mati dihakimi massa; ada juga yang tidak ketahuan dan bisa menikmati hasil curian secara sembunyi-sembunyi; ada lagi yang walaupun ketahuan mencuri, tetap bisa bebas karena kekuasaan yang dimilikinya, bahkan dipuji oleh orang lain.

Dari fakta seperti ini, anda mau bagaimana bilang mencuri itu PASTI berakibat buruk bagi semua orang?

Paling-paling anda kembali pada teori kamma yang berbuah di kehidupan mendatang. Itu pun KALAU berbuah 1 kehidupan sesudahnya. Terlebih lagi, itu pun KALAU yang anda ajak bicara percaya tumimbal lahir dan teori kamma. Ujung-ujungnya spekulasi juga.

Bagi saya, hal seperti itu adalah tidak mutlak. Namun kembali lagi anda mau bilang hal itu adalah kebenaran mutlak, tidak masalah bagi saya. Saya hargai kalau anda juga tidak memaksakan pandangan itu ke saya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 June 2009, 10:30:04 AM
bukan spekulasi, bisa dilihat koq di kitab mengenai ajaran dan prilakunya khan ;D

Kalau hanya dari buku, saya pikir tidak ada artinya. Kalau dari sisi Buddhisme, pasti melihat dari sudut LDM, sedangkan kalau dari sisi "seberang" pasti lihatnya dari sisi lain, misalnya Buddha hanya manusia biasa yang mati lalu selesai, sedangkan Mr. J ini bisa bangkit dari kematian. Tidak ada habisnya.

Bagaimana seorang melihat satu ajaran itu sangat relatif sekali. Misalnya ajaran Buddha yang sudah jelas-jelas menentang pembunuhan, tapi kita tahu ada orang yang menyikapinya dengan "ada pembunuhan yang diperbolehkan", semacam pembunuhan suci begitu. Jadi kalau saya bilang, ajaran, walaupun memang sangat berpengaruh bagi perkembangan seseorang, bukanlah hal yang utama. Hal yang paling utama dan terpenting adalah dari diri orang itu sendiri. Terlepas dari ajaran agama, umat agama apa pun pasti ada yang baik, ada yang bejad.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 22 June 2009, 10:33:15 AM
bukan spekulasi, bisa dilihat koq di kitab mengenai ajaran dan prilakunya khan ;D

Kalau hanya dari buku, saya pikir tidak ada artinya. Kalau dari sisi Buddhisme, pasti melihat dari sudut LDM, sedangkan kalau dari sisi "seberang" pasti lihatnya dari sisi lain, misalnya Buddha hanya manusia biasa yang mati lalu selesai, sedangkan Mr. J ini bisa bangkit dari kematian. Tidak ada habisnya.

Bagaimana seorang melihat satu ajaran itu sangat relatif sekali. Misalnya ajaran Buddha yang sudah jelas-jelas menentang pembunuhan, tapi kita tahu ada orang yang menyikapinya dengan "ada pembunuhan yang diperbolehkan", semacam pembunuhan suci begitu. Jadi kalau saya bilang, ajaran, walaupun memang sangat berpengaruh bagi perkembangan seseorang, bukanlah hal yang utama. Hal yang paling utama dan terpenting adalah dari diri orang itu sendiri. Terlepas dari ajaran agama, umat agama apa pun pasti ada yang baik, ada yang bejad.


IMO justru ajaran itu paling berpengaruh lho, kalau dari ajarannya saja sudah tidak benar apalagi yang prakteknya, memang betul ajaran benar belum tentu yang prakteknya benar, tapi bukankah lebih baik ajarannya dahulu yang benar khan ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 June 2009, 10:45:14 AM
IMO justru ajaran itu paling berpengaruh lho, kalau dari ajarannya saja sudah tidak benar apalagi yang prakteknya, memang betul ajaran benar belum tentu yang prakteknya benar, tapi bukankah lebih baik ajarannya dahulu yang benar khan ;D

Mungkin bagi sebagian orang, ya.
Memang ada dua jenis manusia yang belajar. Jenis pertama adalah jenis "bayi" yang hanya mau "disuapi" sesuatu yang hampir tidak perlu dicerna. Orang bilang A, yah dia lakukan A. Bagi orang seperti ini, memang ajaran lebih penting. Baginya, hidup seperti "jackpot". Kalau lahir dengan lingkungan yang ngajarin bener, yah masuk sorga. Kalau lahir di antara orang-orang ga bener, yah celakalah dia.

Jenis ke dua adalah orang dewasa yang bisa memilah makanan. Ia bisa mencoba, menerapkan dan mencerna sendiri manfaat dari ajaran itu. Ketika ada yang bilang A, dia menyelidiki apakah A itu benar. Orang seperti ini tidak bisa dikadali atau ditakut-takuti. Bagi orang seperti ini, ajaran apa pun yang didengar, hanya yang bermanfaat yang diambil, yang tidak bermanfaat, ditinggalkan. 

Nah, kenapa saya bilang ajaran bukan hal utama? Karena bagi tipe "bayi", ajaran apa pun "yang sudah jadi nasibnya" tetap ditelan. Bagi orang "dewasa" ajaran apa pun tetap dipilah. Jadi tidak masalah.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 22 June 2009, 11:58:57 AM
anda tidak menangkap poin yg saya maksudkan....
yg saya maksudkan adalah "dari mana anda tahu standard akan suatu hal, apabila berdasarkan rasa cocok/tidak cocok...karena rasa cocok/tidak cocok bagi orang relatif, bahkan bagi anda juga seperti kata anda.
hingga anda membagikannya kepada orang lain. :P

jadi pernyataan
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela adalah sebuah kebenaran relatif
apakah ini pernyataan anda maksudkan?

salam metta.
Saya tidak menerapkan standard "ini kebenaran, ini bukan kebenaran". Ketika saya sharing, saya lebih membahas apakah suatu perbuatan bermanfaat baginya atau tidak.

bukan itu yg saya maksudkan, lebih dari pada diri anda.
pegangan mana yg anda ancungkan sebagai hal pasti.

pencuri share ke sesama mereka dengan mengatakan bahwa mencuri adalah baik. > mereka anggap bermanfaat.
anda share ke sesama teman, mencuri di anggap tidak bermanfaat.

nah standar apa yg anda pakai dalam menembus realita dhamma bahwa mencuri itu tidak bermanfaat?
sekedar cocok tidak cocok saja kah? ^^

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 June 2009, 01:13:41 PM
bukan itu yg saya maksudkan, lebih dari pada diri anda.
pegangan mana yg anda ancungkan sebagai hal pasti.

pencuri share ke sesama mereka dengan mengatakan bahwa mencuri adalah baik. > mereka anggap bermanfaat.
anda share ke sesama teman, mencuri di anggap tidak bermanfaat.

nah standar apa yg anda pakai dalam menembus realita dhamma bahwa mencuri itu tidak bermanfaat?
sekedar cocok tidak cocok saja kah? ^^

salam metta.


Ya. Hanya cocok-cocokan saja.
Saya tidak menawarkan doktrin, apalagi dogma. Hanya berbincang-bincang saja.

Dengan menempatkan "standar saya sudah benar" dalam satu perbincangan, maka yang ada hanya pemaksaan ide kepada orang lain. Hal itu juga tidak bermanfaat bagi diri sendiri karena dengan menggenggam pola pikir demikian, seseorang tidak akan merasa dirinya salah. Kalau memang dia benar, itu bagus. Tapi kalau ternyata dia sendiri salah, sampai kapan bisa berubah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 22 June 2009, 05:40:19 PM
bukan itu yg saya maksudkan, lebih dari pada diri anda.
pegangan mana yg anda ancungkan sebagai hal pasti.

pencuri share ke sesama mereka dengan mengatakan bahwa mencuri adalah baik. > mereka anggap bermanfaat.
anda share ke sesama teman, mencuri di anggap tidak bermanfaat.

nah standar apa yg anda pakai dalam menembus realita dhamma bahwa mencuri itu tidak bermanfaat?
sekedar cocok tidak cocok saja kah? ^^

salam metta.


Ya. Hanya cocok-cocokan saja.
Saya tidak menawarkan doktrin, apalagi dogma. Hanya berbincang-bincang saja.

Dengan menempatkan "standar saya sudah benar" dalam satu perbincangan, maka yang ada hanya pemaksaan ide kepada orang lain. Hal itu juga tidak bermanfaat bagi diri sendiri karena dengan menggenggam pola pikir demikian, seseorang tidak akan merasa dirinya salah. Kalau memang dia benar, itu bagus. Tapi kalau ternyata dia sendiri salah, sampai kapan bisa berubah?


jadi bisa saya simpulkan menjadi..........
"pernyataan mencuri adalah baik" merupakan pemaksaan ide dari orang yg hidup sesuai sila kepada pencuri.
apa begitu?

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tula on 22 June 2009, 09:41:43 PM
GRP for kainyn ... tar 1 1 deh utk yg lainnya ... karena diskusi di thread ini memang .. seolah beda gitu .... dan bener2 "mengingatkan" kembali bermacam2 hal ...

terima kasi kainyn .. terima kasih yg lain2 :)


ok smua sudah beres (sampe post di atas itu), tp terus terang baru tau hari ini .. di DC bisa kasi grp lebih dari 1 ya dalam sehari .. asal tidak ke orang yg sama ....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 June 2009, 09:58:47 AM
jadi bisa saya simpulkan menjadi..........
"pernyataan mencuri adalah baik" merupakan pemaksaan ide dari orang yg hidup sesuai sila kepada pencuri.
apa begitu?

salam metta.

Maksudnya "pernyataan mencuri adalah tidak baik"?
Ya, betul. Pemaksaan ide tersebut cocoknya untuk anak kecil yang belum ngerti apa-apa, atau orang dewasa tipe "bayi" (yang saya bahas dengan ryu di atas).

Bagi orang yang mengutamakan pengertian, maka pernyataan demikian tidak berarti apa pun selain suatu "pemaksaan ide". Yang berarti bagi orang "dewasa" adalah analisa, bukan kesimpulan orang lain.

Buddha sendiri dalam mengajar, jika ingin membuat orang itu mengerti, mengajak menganalisa satu masalah bersama-sama, BUKAN menawarkan kesimpulan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 23 June 2009, 02:50:40 PM
jadi bisa saya simpulkan menjadi..........
"pernyataan mencuri adalah baik" merupakan pemaksaan ide dari orang yg hidup sesuai sila kepada pencuri.
apa begitu?

salam metta.

Maksudnya "pernyataan mencuri adalah tidak baik"?
Ya, betul. Pemaksaan ide tersebut cocoknya untuk anak kecil yang belum ngerti apa-apa, atau orang dewasa tipe "bayi" (yang saya bahas dengan ryu di atas).

Bagi orang yang mengutamakan pengertian, maka pernyataan demikian tidak berarti apa pun selain suatu "pemaksaan ide". Yang berarti bagi orang "dewasa" adalah analisa, bukan kesimpulan orang lain.

Buddha sendiri dalam mengajar, jika ingin membuat orang itu mengerti, mengajak menganalisa satu masalah bersama-sama, BUKAN menawarkan kesimpulan.
aduh, sekali lagi bukan point yg saya maksudkan disitu...
tapi sudah lah saya tidak akan membahas lagi.....karena tidak connect2 yg saya tanyakan dan jawaban yg anda berikan.
terima kasih

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: markosprawira on 26 June 2009, 12:31:16 PM
anda tidak menangkap poin yg saya maksudkan....
yg saya maksudkan adalah "dari mana anda tahu standard akan suatu hal, apabila berdasarkan rasa cocok/tidak cocok...karena rasa cocok/tidak cocok bagi orang relatif, bahkan bagi anda juga seperti kata anda.
hingga anda membagikannya kepada orang lain. :P

jadi pernyataan
perbuatan mencuri adalah perbuatan tercela adalah sebuah kebenaran relatif
apakah ini pernyataan anda maksudkan?

salam metta.
Saya tidak menerapkan standard "ini kebenaran, ini bukan kebenaran". Ketika saya sharing, saya lebih membahas apakah suatu perbuatan bermanfaat baginya atau tidak.

Saya beri contoh yang terakhir, yang semoga bisa nyambung.

Anda katakan mencuri perbuatan tercela = kebenaran mutlak. Atas dasar apakah? 

Di sini kita melihat orang mencuri, ada yang tertangkap dan dipenjara, dihina, dipukuli bahkan mati dihakimi massa; ada juga yang tidak ketahuan dan bisa menikmati hasil curian secara sembunyi-sembunyi; ada lagi yang walaupun ketahuan mencuri, tetap bisa bebas karena kekuasaan yang dimilikinya, bahkan dipuji oleh orang lain.

Dari fakta seperti ini, anda mau bagaimana bilang mencuri itu PASTI berakibat buruk bagi semua orang?

Paling-paling anda kembali pada teori kamma yang berbuah di kehidupan mendatang. Itu pun KALAU berbuah 1 kehidupan sesudahnya. Terlebih lagi, itu pun KALAU yang anda ajak bicara percaya tumimbal lahir dan teori kamma. Ujung-ujungnya spekulasi juga.

Bagi saya, hal seperti itu adalah tidak mutlak. Namun kembali lagi anda mau bilang hal itu adalah kebenaran mutlak, tidak masalah bagi saya. Saya hargai kalau anda juga tidak memaksakan pandangan itu ke saya.

dear Kai,

kalau saya boleh masuk, Kamma bukanlah TEORI mengenai vipaka yang akan menimpa melainkan sebenarnya setelah dilakukan, sudah berdampak langsung ke batin (silahkan baca tulisan bro william di perpus DC mengenai KAMMA CASH BASIS) dimana ini sesungguhnya selaras dengan apa anda sebut bermanfaat atau tidak

Sedikit penjelasan
Saat 1 perbuatan dilakukan, saat itu juga sebenarnya ada proses yg sama di dalam batinnya.
Jika melakukan perbuatan akusala maka secara batin, akan masuk trend baru yg akusala juga
demikian juga jika melakukan perbuatan kusala, di batin masuk trend yg kusala

Jadi secara buddhism (dan secara logika juga), sudah jelas bahwa itu bukanlah spekulasi

End of Selingan dikit
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 June 2009, 12:55:45 PM
dear Kai,

kalau saya boleh masuk, Kamma bukanlah TEORI mengenai vipaka yang akan menimpa melainkan sebenarnya setelah dilakukan, sudah berdampak langsung ke batin (silahkan baca tulisan bro william di perpus DC mengenai KAMMA CASH BASIS) dimana ini sesungguhnya selaras dengan apa anda sebut bermanfaat atau tidak

Sedikit penjelasan
Saat 1 perbuatan dilakukan, saat itu juga sebenarnya ada proses yg sama di dalam batinnya.
Jika melakukan perbuatan akusala maka secara batin, akan masuk trend baru yg akusala juga
demikian juga jika melakukan perbuatan kusala, di batin masuk trend yg kusala

Jadi secara buddhism (dan secara logika juga), sudah jelas bahwa itu bukanlah spekulasi

End of Selingan dikit

Ya, betul. Secara awam-sederhana, orang lebih kenal teori kamma tentang perbuatan tertentu menghasilkan akibat tertentu, namun sebetulnya hasil nyata kamma itu sudah "dinikmati" saat suatu kehendak muncul. Baru berikutnya, akibat-akibat lain bermunculan jika kondisi mendukung.

Tetapi kembali lagi, kita bisa bicara demikian karena menggunakan teori kamma sebagai kerangka konsepnya. Belum tentu bagi orang lain.
Misalnya bagi orang skeptis, bisa menggolongkannya sebagai sebuah efek psikologis karena kita menganut suatu kepercayaan tertentu. Kalau dari penelitian, diambil sample populasi 1 yang menganut paham "mencuri tidak baik' dan populasi 2 yang menganut paham "mencuri tidak apa2", maka di populasi 1 cenderung muncul efek2 sampingan semacam guilty feeling atau penyesalan, namun dalam populasi 2, cenderung tidak muncul. Dengan orang kepercayaan lain, bisa dikatakan hal tersebut adalah suatu "bisikan nurani" dari Tuhan.

Jika kita berbicara pada orang awam yang belum mengenal teori Buddhism, maka kita golongkan sesuatu itu "kusala" sementara yang lain "akusala" juga belum tentu nyambung, boro-boro bisa sepakat sampai trend bathin kusala/akusala yang timbul. Begitu maksud saya mengatakannya sebagai kebenaran relatif. Bukan berarti itu salah atau tidak sesuai logika.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: markosprawira on 26 June 2009, 01:39:55 PM
Dear Kai,

Saat org masih senang dgn akusala, batinnya biasanya jadi miccha ditthi. Miccha ditthi adalah lobha/ignorance/ketidak tahuan yg dilekati

Betul kebenaran itu adalah relatif (pannati dhamma) namun kebenaran relatif pada org yg batinnya miccha ditthi, hasilnya juga akan "menyakitkan" bagi dia, secara batin loh
Mungkin dia merasa perbuatan mencurinya benar, tetapi mgkn dia akan sakit hati sewkt anaknya diejek sebagai anak pencuri
Atau misal istrinya yg ga bs berbelanja di warung sebelah krn dibilang uang hasil curian

Perbuatan mungkin bisa dianggap benar tapi batinnya tetap akan terasa "sakit"

Saya rasa hendaknya mengingat kita berbicara di forum buddhis, marilah kita semua melihatnya dari sudut pandang buddhism juga karena sesuatu yg "relatif" itu, akan relatif juga untuk didiskusikan alias muter2

metta
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 June 2009, 03:58:36 PM
Dear Kai,

Saat org masih senang dgn akusala, batinnya biasanya jadi miccha ditthi. Miccha ditthi adalah lobha/ignorance/ketidak tahuan yg dilekati

Betul kebenaran itu adalah relatif (pannati dhamma) namun kebenaran relatif pada org yg batinnya miccha ditthi, hasilnya juga akan "menyakitkan" bagi dia, secara batin loh
Mungkin dia merasa perbuatan mencurinya benar, tetapi mgkn dia akan sakit hati sewkt anaknya diejek sebagai anak pencuri
Atau misal istrinya yg ga bs berbelanja di warung sebelah krn dibilang uang hasil curian

Perbuatan mungkin bisa dianggap benar tapi batinnya tetap akan terasa "sakit"

Saya rasa hendaknya mengingat kita berbicara di forum buddhis, marilah kita semua melihatnya dari sudut pandang buddhism juga karena sesuatu yg "relatif" itu, akan relatif juga untuk didiskusikan alias muter2

metta

Ya, saya tidak bilang mencuri itu benar. Hanya saya bilang itu kebenaran relatif.
Rasanya masih sesuai dengan Buddhisme.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 26 June 2009, 05:29:34 PM
spt suatu negara, yg pemerintah/pejabat/eksekutif dst
yg korupsi dlm hal uang, perencanaan, design, bahan, dst, dst..

contoh spt membangun jalan tanpa membuat saluran pembuangan
air yg bener. ... nah jalannya akan cepat sekali rusak...

Bukankah kita (sebagai rakyat) udah dicuri SETIAP HARI ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 26 June 2009, 09:11:23 PM
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Hendra Susanto on 26 June 2009, 09:21:10 PM
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?

penjelasan cara gw: jangan diliat... ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 26 June 2009, 09:34:26 PM
^
^ ga usah punya mata aja om,biar ga keliatan ;D
kadang lingkungan juga ikut berperan,
contoh,kita lg ngerjain sesuatu dgn serius,tiba2 teman disebelah tepok2 punggung kita,dan ngmg "ada setan lewat..."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Hendra Susanto on 26 June 2009, 09:36:08 PM
^
^ ga usah punya mata aja om,biar ga keliatan ;D
kadang lingkungan juga ikut berperan,
contoh,kita lg ngerjain sesuatu dgn serius,tiba2 teman disebelah tepok2 punggung kita,dan ngmg "ada setan lewat..."

klo gt jangan didengar ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 26 June 2009, 09:55:14 PM
^
^ kadang juga pakai bahasa tubuh(dicolek,disikut,ditendang) ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 27 June 2009, 12:08:02 AM
Om kainy,  sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?

Hallo Johnz, pertama mohon maaf kalau lancang menjawab.

jawaban menurut saya: ShowHide

1. Pertama-tama bila anda menganggap wanita cantik, seksi, mulus, dst
    itu mengiurkan adalah BUKANLAH KEBENARAN MUTLAK.
2. Object itu Netral (menurut sis Lily) adalah KEBENARAN.
3. Menganggap object luar yg dpt mengganggu pikiran adalah TIDAK TEPAT.
4. Orang yg terlatih pikirannya berupa daun teratai yg tak dpt dikotorin
    oleh lumpur2 dlm kolam ADALAH BENAR.

Maksudnya apa?

kasih bocoran ya...
Kenapa kita2 pada takut sama ular kobra yg kalau kegigit bisa mati,
tetapi penjual ular kobra di India melihat ulat tsb sebagai peluang yg
mendatangkan UANG...... cobra=UANG, sedangkan kita coba=MEMATIKAN.

ularnya sama kenapa tanggapannya lain?

A-Mild : tanya KENAPA, KENAPA, KENAPA?
 ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D


 _/\_

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 June 2009, 10:05:18 AM
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?

Kalau menjelaskan pikiran itu, rada susah, karena pikiran itu tidak tetap, jadi cara menyikapinya yang cocok, juga berbeda.
Buat saya, intinya, kalau perasaan melekat itu sangat kuat, hindari kontak apapun juga (baik melihat, mendengar, sentuhan, dsb, terutama kontak dengan pikiran). Jangan memfasilitasi terjadinya kontak-kontak tersebut. Dengan tidak dipupuknya pikiran2 serakah, maka perlahan pun kemelekatan itu berkurang. Kontak dengan pikiran adalah yang terpenting, karena kalau kita menghindari melihat, mendengar, sentuhan, aroma yang menyenangkan dari wanita, tetapi tidak menghindari pikiran menyenangkan itu, maka jadilah kita orang ekstrim yang munafik. Oleh sebab itu, pikiran selalu yang terutama.

Jika sudah lumayan terbiasa, maka sikap ekstrim itu kita tinggalkan, lalu kita ubah pola pikir kita. Tidak usah yang hebat-hebat dulu macam "tubuh adalah kotor" atau "pemadaman nafsu" dan lain-lain. Dimulai dari mengganti pola pikir dengan moralitas seperti komitmen pada satu istri, bersikap selalu sopan dan menghargai wanita tidak sebagai objek seksual, atau mengutamakan kesehatan dengan mengecilkan risiko penularan penyakit kelamin dari gonta-ganti pasangan, dan lain sebagainya. Dengan pola pikir demikian yang berkembang, maka kontak dengan wanita, tidak pada kecenderungan menimbulkan nafsu.

Pola pikir yang bermanfaat ini biasa didapatkan dari belajar (mulai dari spiritualisme, sains, sosial-budaya, dan lain-lain), juga lingkungan dan pergaulan yang baik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 27 June 2009, 02:20:41 PM
Apakah solusi dgn kata


menghindarin


dpt diganti dgn kata

melampauin ?

 ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 June 2009, 02:29:46 PM
Apakah solusi dgn kata


menghindarin


dpt diganti dgn kata

melampauin ?

 ;D
Tergantung diri masing-masing, tetapi memang bisa.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 27 June 2009, 03:34:52 PM
Saya ingin melanjutkan diskusi tentang Saddhā : Fanatisme Dalam Eufemisme?  (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11027.msg183922.html#msg183922) di sini dengan Bro Kainyn_Kutho... :)


Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, memang jelas Sariputta di sini memiliki kekaguman dan keyakinan terhadap Assaji. Nah, yang jadi pertanyaan adalah:
Bila seseorang memiliki kebijaksanaan yang cukup, mendengarkan dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, akankah dhamma itu memberi manfaat baginya?

Seseorang yang memiliki kebijaksanaan yang cukup, bila mendengarkan Dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, sebenarnya bisa memetik manfaat dari Dhamma itu bagi dirinya.


Quote from: Kainyn_Kutho
Jangan disalah-artikan pernyataan saya sebagai "para ariya belum tentu punya Saddha". Siapa pun yang sudah merealisasikan dhamma, sudah pasti memiliki Saddha minimal kepada dhamma. Dengan begitu, secara tidak langsung, ia akan memiliki Saddha kepada "pembabar dhamma" (Buddha) dan "rekan lain yang juga merealisasi" (Sangha), JIKA ia cukup beruntung menemukannya.
Saya ibaratkan bahwa saya seorang dari masyarakat yang terisolasi, sedang mencari jawaban atas pergerakan benda. Lalu entah bagaimana ada kertas yang terbang nyasar entah dari mana, yang isinya hukum Newton, "mendarat" dekat saya. Kemudian, saya mengikuti teori di kertas itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan berhasil. Dengan begitu, saya punya keyakinan bahwa "kertas" itu mengandung kebenaran. Dengan sendirinya, secara tidak langsung keyakinan bahwa "ada guru yang mengajarkan hal itu" atau "ada orang lain yang juga mengerti", timbul di pikiran.

Pertanyaan saya sederhana. Apakah kalau saya tidak tahu siapa itu Newton, tidak percaya ia adalah fisikawan besar, maka saya tidak bisa mengerti teorinya?

Baik sekali. Kali ini akan saya perjelas...

Saddha diartikan sebagai kepercayaan. Dalam Buddhisme, saddha (kepercayaan) ini adalah percaya setelah mempraktikkan; atau percaya setelah melihat dan mengalaminya sendiri. Karena itu, kontekstual saddha dengan sendirinya akan beridiri dalam pilar-pilarnya masing-masing; antara Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Savaka Buddha.

Dalam kontekstual Sammasambuddha dan Pacceka Buddha, saddha yang berkembang adalah saddha (kepercayaan) pada Dhamma. Karena 2 tipe Buddha ini adalah tipe otodidak; yakni menembus Dhamma (Kebenaran) dengan usaha sendiri.

Sedangkan dalam kontekstual Savaka Buddha, saddha yang berkembang adalah saddha (kepercayaan) pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Karena tipe Buddha ini adalah tipe pelajar; yakni menembus Dhamma (Kebenaran) dengan mendapat instruksi maupun mempelajari ajaran dari "sang penemu" (Sammasambuddha).

Kembali ke pertanyaan Anda, maka jawabannya adalah...

Jika Anda tidak mengenal siapa itu Isaac Newton, tidak pula percaya bahwa ia adalah Fisikawan besar, sebenarnya Anda bisa memahami teorinya.


Quote from: Kainyn_Kutho
Memang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha  (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).

Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.

Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?

Saya sependapat dengan Anda. Saddha pada hakikatnya adalah kepercayaan setelah mengalami kebenaran dari praktik Dhamma. Oleh karena itu, jika putthujjana percaya akan adanya 31 Alam Kehidupan namun belum melihatnya sendiri, itu namanya bukan saddha. Lebih tepatnya itu adalah wujud dari kepercayaan awam.

Benar. Setelah Anda mengerti arti dari secarik kertas itu, seharusnya keyakinan Anda pada ajaran Isaac Newton tidak lagi bisa digoyahkan. Namun... meski Anda tidak mengenal siapa itu Isaac Newton dan tidak pula mengenal fisikawan lainnya yang sudah mengerti ajarannya, Anda bukanlah tipe otodidak. Anda hanyalah seorang fisikawan tipe pelajar. Dan karena Anda adalah seorang tipe pelajar, secara tidak langsung Anda turut mengembangkan keyakinan pada Isaac Newton (guru) dan fisikawan lain (rekan lain yang sudah mengerti).

Ini yang perlu diingat. Ketika kita berdiri di atas pilar sebagai pelajar / murid, maka dalam proses pembelajaran sampai penembusan Dhamma, saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha akan berkembang dengan sendirinya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 June 2009, 06:46:18 PM
Saya ingin melanjutkan diskusi tentang Saddhā : Fanatisme Dalam Eufemisme?  (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11027.msg183922.html#msg183922) di sini dengan Bro Kainyn_Kutho... :)
Silahkan lanjut :) Udah lama ga kelihatan...


Quote
Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, memang jelas Sariputta di sini memiliki kekaguman dan keyakinan terhadap Assaji. Nah, yang jadi pertanyaan adalah:
Bila seseorang memiliki kebijaksanaan yang cukup, mendengarkan dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, akankah dhamma itu memberi manfaat baginya?

Seseorang yang memiliki kebijaksanaan yang cukup, bila mendengarkan Dhamma dari orang yang tidak ia kagumi atau anggap sebagai guru ataupun superior, sebenarnya bisa memetik manfaat dari Dhamma itu bagi dirinya.

Ya, ini seperti dalam kisah Pukkusati yang tidak mengetahui lawan bicaranya adalah Buddha Gotama, tetapi mendengarkan uraian tentang unsur dan mencapai Anagami-phala.
Beberapa brahmana juga kadang datang ke Buddha untuk "cari ribut" menganggap Buddha sebagai musuh. Tetapi karena memang kebijaksanaan mereka cukup, maka mendengar jawaban dari Buddha, baru mereka mengerti dan berbalik menghormati Buddha.


Quote
Quote from: Kainyn_Kutho
Jangan disalah-artikan pernyataan saya sebagai "para ariya belum tentu punya Saddha". Siapa pun yang sudah merealisasikan dhamma, sudah pasti memiliki Saddha minimal kepada dhamma. Dengan begitu, secara tidak langsung, ia akan memiliki Saddha kepada "pembabar dhamma" (Buddha) dan "rekan lain yang juga merealisasi" (Sangha), JIKA ia cukup beruntung menemukannya.
Saya ibaratkan bahwa saya seorang dari masyarakat yang terisolasi, sedang mencari jawaban atas pergerakan benda. Lalu entah bagaimana ada kertas yang terbang nyasar entah dari mana, yang isinya hukum Newton, "mendarat" dekat saya. Kemudian, saya mengikuti teori di kertas itu dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan berhasil. Dengan begitu, saya punya keyakinan bahwa "kertas" itu mengandung kebenaran. Dengan sendirinya, secara tidak langsung keyakinan bahwa "ada guru yang mengajarkan hal itu" atau "ada orang lain yang juga mengerti", timbul di pikiran.

Pertanyaan saya sederhana. Apakah kalau saya tidak tahu siapa itu Newton, tidak percaya ia adalah fisikawan besar, maka saya tidak bisa mengerti teorinya?

Baik sekali. Kali ini akan saya perjelas...

Saddha diartikan sebagai kepercayaan. Dalam Buddhisme, saddha (kepercayaan) ini adalah percaya setelah mempraktikkan; atau percaya setelah melihat dan mengalaminya sendiri. Karena itu, kontekstual saddha dengan sendirinya akan beridiri dalam pilar-pilarnya masing-masing; antara Sammasambuddha, Pacceka Buddha dan Savaka Buddha.

Dalam kontekstual Sammasambuddha dan Pacceka Buddha, saddha yang berkembang adalah saddha (kepercayaan) pada Dhamma. Karena 2 tipe Buddha ini adalah tipe otodidak; yakni menembus Dhamma (Kebenaran) dengan usaha sendiri.

Sedangkan dalam kontekstual Savaka Buddha, saddha yang berkembang adalah saddha (kepercayaan) pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Karena tipe Buddha ini adalah tipe pelajar; yakni menembus Dhamma (Kebenaran) dengan mendapat instruksi maupun mempelajari ajaran dari "sang penemu" (Sammasambuddha).

Kembali ke pertanyaan Anda, maka jawabannya adalah...

Jika Anda tidak mengenal siapa itu Isaac Newton, tidak pula percaya bahwa ia adalah Fisikawan besar, sebenarnya Anda bisa memahami teorinya.
Ya, kira-kira begitu. Jika seseorang telah melihat kebenaran tetapi tidak bertemu dengan guru sejati yang mengajarkan kebenaran, maka tentu tidak ada semacam keyakinan terhadap guru. Namun jika seseorang telah melihat kebenaran dan bertemu guru dan ajaran yang mengajarkan kebenaran juga, sudah pasti ia memiliki keyakinan pada guru tersebut.



Quote
Quote from: Kainyn_Kutho
Memang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha  (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).

Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.

Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?

Saya sependapat dengan Anda. Saddha pada hakikatnya adalah kepercayaan setelah mengalami kebenaran dari praktik Dhamma. Oleh karena itu, jika putthujjana percaya akan adanya 31 Alam Kehidupan namun belum melihatnya sendiri, itu namanya bukan saddha. Lebih tepatnya itu adalah wujud dari kepercayaan awam.
Ya, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.



Quote
Benar. Setelah Anda mengerti arti dari secarik kertas itu, seharusnya keyakinan Anda pada ajaran Isaac Newton tidak lagi bisa digoyahkan. Namun... meski Anda tidak mengenal siapa itu Isaac Newton dan tidak pula mengenal fisikawan lainnya yang sudah mengerti ajarannya, Anda bukanlah tipe otodidak. Anda hanyalah seorang fisikawan tipe pelajar. Dan karena Anda adalah seorang tipe pelajar, secara tidak langsung Anda turut mengembangkan keyakinan pada Isaac Newton (guru) dan fisikawan lain (rekan lain yang sudah mengerti).

Ini yang perlu diingat. Ketika kita berdiri di atas pilar sebagai pelajar / murid, maka dalam proses pembelajaran sampai penembusan Dhamma, saddha pada Buddha, Dhamma dan Sangha akan berkembang dengan sendirinya.
Kalau dipaksakan fisika itu ke dhamma, memang benar, itu masih cenderung pada kapasitas Savaka.
Dan lagi-lagi saya setuju. Kita tidak perlu semacam usaha khusus untuk mengembangkan "saddha" yang tanpa dasar, atau hanya karena dengar-dengar Buddha-Dhamma-Sangha hebat. Nanti malah hanya akan jadi orang fanatik buta. Dengan menjalankan hidup sesuai dhamma, membuktikan sendiri kebenarannya, otomatis suatu keyakinan yang kuat pada Buddha-Dhamma-Sangha pasti akan tumbuh.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 27 June 2009, 08:50:51 PM
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?

Kalau menjelaskan pikiran itu, rada susah, karena pikiran itu tidak tetap, jadi cara menyikapinya yang cocok, juga berbeda.
Buat saya, intinya, kalau perasaan melekat itu sangat kuat, hindari kontak apapun juga (baik melihat, mendengar, sentuhan, dsb, terutama kontak dengan pikiran). Jangan memfasilitasi terjadinya kontak-kontak tersebut. Dengan tidak dipupuknya pikiran2 serakah, maka perlahan pun kemelekatan itu berkurang. Kontak dengan pikiran adalah yang terpenting, karena kalau kita menghindari melihat, mendengar, sentuhan, aroma yang menyenangkan dari wanita, tetapi tidak menghindari pikiran menyenangkan itu, maka jadilah kita orang ekstrim yang munafik. Oleh sebab itu, pikiran selalu yang terutama.

Jika sudah lumayan terbiasa, maka sikap ekstrim itu kita tinggalkan, lalu kita ubah pola pikir kita. Tidak usah yang hebat-hebat dulu macam "tubuh adalah kotor" atau "pemadaman nafsu" dan lain-lain. Dimulai dari mengganti pola pikir dengan moralitas seperti komitmen pada satu istri, bersikap selalu sopan dan menghargai wanita tidak sebagai objek seksual, atau mengutamakan kesehatan dengan mengecilkan risiko penularan penyakit kelamin dari gonta-ganti pasangan, dan lain sebagainya. Dengan pola pikir demikian yang berkembang, maka kontak dengan wanita, tidak pada kecenderungan menimbulkan nafsu.

Pola pikir yang bermanfaat ini biasa didapatkan dari belajar (mulai dari spiritualisme, sains, sosial-budaya, dan lain-lain), juga lingkungan dan pergaulan yang baik.

thank,atas pandangannya om..

Moga2 istriku ga baca postingan ini ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 27 June 2009, 10:45:24 PM
Nanya lg om,
*menurut anda apa rumus bijaksana dalam praktek kehidupan sehari-hari...
*apa tolak ukur sehingga seseorang dikatakan bijaksana(dlm praktek sehari-hari)..
*bagaimana cara melatih diri agar menjadi seseorang yg bijaksana...

"Tidak sulit menjadi orang baik,tapi
sangat sulit untuk menjadi seorang baik yang bijak.."<-- itu yg sy temukan di praktek kehidupan sehari-hari..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 June 2009, 08:07:20 PM
Nanya lg om,
*menurut anda apa rumus bijaksana dalam praktek kehidupan sehari-hari...
*apa tolak ukur sehingga seseorang dikatakan bijaksana(dlm praktek sehari-hari)..
*bagaimana cara melatih diri agar menjadi seseorang yg bijaksana...
Karena saya bukan seorang ariya, jadi yang saya bahas adalah masih porsi "orang biasa".
Saya pribadi menilai orang bijaksana bila ia bisa memutuskan dan melakukan hal-hal yang bermanfaat dan menghindari yang tidak bermanfaat, yang pertama dan terutama adalah bagi dirinya sendiri, dan yang ke dua, adalah untuk sesama. Dengan begitu, ia terus-menerus memperbaiki kualitas diri dan orang lain.

Kalau rumusnya, yang terlintas dalam pikiran saya: peka terhadap kenyataan, selalu menambah pengetahuan & pengalaman, peduli dengan sesama, dan tidak membiarkan diri dikuasai emosi/perasaan. Bagi saya, cara melatih diri adalah dengan mengembangkan hal-hal tersebut.


Quote
"Tidak sulit menjadi orang baik,tapi
sangat sulit untuk menjadi seorang baik yang bijak.."<-- itu yg sy temukan di praktek kehidupan sehari-hari..
Betul. Tetapi memang menjadi orang baik dan bijak juga ada prosesnya. Ada orang baik yang tidak bijak, tetapi tidak ada orang bijak yang tidak baik. Oleh karena itu, prosesnya memang dimulai dengan menjadi orang baik dulu, lalu melalui banyak pengalaman yang dialami, yang dilewati dengan perhatian, bukan acuh tak acuh, maka seseorang belajar untuk memperbaiki dan berangsur-angsur menjadi bijaksana.
Jadi memang demikian faktanya, tidak perlu khawatir :) Kalau menjadi orang baik dan bijaksana itu mudah, maka dunia sudah damai.
---

BTW, Mr.Jhonz ini sama dengan Chikennn di forum sebelah yah? Kita pernah bertemu, nama saya di sana adalah Irkuiem, kalau anda ingat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 28 June 2009, 08:24:20 PM
Dan ketika harus mengambil keputusan(diantara 2 pilihan)..hal2 apa yang harus dipertimbangkan sehingga dapat mengambil keputusan dgn bijak...

________
iya om,kalo ga salah kita ketemu di thread pembahasan soal buddha bar ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 June 2009, 08:37:59 PM
Dan ketika harus mengambil keputusan(diantara 2 pilihan)..hal2 apa yang harus dipertimbangkan sehingga dapat mengambil keputusan dgn bijak...
Yang menimbulkan kerugian minimal, dan memberikan manfaat maksimal bagi, terutama bagi diri sendiri dan ke dua untuk orang lain. Kadang juga keputusan pasti ada "biaya"-nya. Bisa merugikan diri sendiri, tapi menguntungkan banyak orang, misalnya. Pilihlah keputusan yang sesuai dengan kerelaan dan keikhlasan kita. Jika kita berkorban demi orang lain dengan ikhlas, maka itulah "dana" yang sebenarnya.


Quote
________
iya om,kalo ga salah kita ketemu di thread pembahasan soal buddha bar ya?
Iya, betul. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tula on 29 June 2009, 02:27:07 PM

Quote
Quote from: Kainyn_Kutho
Memang betul tidak ada harga mati. Maka dalam debat delapan bulan lalu itu, saya katakan bahwa ada orang terbebaskan oleh Saddha  (seperti Thera Vakkali, Kali Kururagharika, Theri Sigalamata, dll), dan ada yang terbebaskan dengan kebijaksanaan (seperti Thera Sariputta, Theri Kisa Gotami, dll).

Lebih jauh lagi saya katakan bahwa seorang Sotapanna dengan sendirinya memiliki Saddha tak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, namun keyakinan tidak tergoyahkan terhadap Buddha, Dhamma, dan Sangha, BUKAN suatu syarat yang menjadikan seorang Sotapanna. Keyakinan tak tergoyahkan dari putthujjana demikian, hanyalah wujud fanatisme, baik kasar maupun halus.

Kalau dalam analogi di atas, keyakinan tak tergoyahkan bahwa kertas itu dikirim oleh guru atau bahkan dewa, tidak menjadikan saya mengerti hukum Newton yang tertera. Namun setelah mengerti arti kertas itu, maka bagaimanakah mungkin orang bisa menggoyahkan keyakinan saya bahwa yang tertulis memang benar?

Saya sependapat dengan Anda. Saddha pada hakikatnya adalah kepercayaan setelah mengalami kebenaran dari praktik Dhamma. Oleh karena itu, jika putthujjana percaya akan adanya 31 Alam Kehidupan namun belum melihatnya sendiri, itu namanya bukan saddha. Lebih tepatnya itu adalah wujud dari kepercayaan awam.
Ya, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.




nimbrung dikit ye ... jgn di tendang  ;D
kalo gitu nibbana itu jg faktor kecocokan ya ... kita kan blon membuktikan sendiri ?
tp apakah yg dimaksud dgn kecocokan ?
apakah, karena selama ini ajarannya banyak yg dibuktikan bener adanya, maka dianggap cocok ?
walaupun bisa aja di balik, pasti ada kesalahannya, (kesalahan bisa dari berbagai sumber), tp tetep masi lebih bener dari pada yg lain ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 June 2009, 04:29:30 PM
nimbrung dikit ye ... jgn di tendang  ;D
kalo gitu nibbana itu jg faktor kecocokan ya ... kita kan blon membuktikan sendiri ?
Ya, begitu. Sebelum kita sendiri merealisasinya, semua masih dalam cakupan teori dan konsep.


Quote
tp apakah yg dimaksud dgn kecocokan ?
Definisi bakunya saya tidak tahu, tetapi kira-kira diartikan bahwa adanya kesamaan dan kesesuaian antara subjek dan objek, dalam hal ini adalah pola pikir seseorang dan objek ajaran.


Quote
apakah, karena selama ini ajarannya banyak yg dibuktikan bener adanya, maka dianggap cocok ?
walaupun bisa aja di balik, pasti ada kesalahannya, (kesalahan bisa dari berbagai sumber), tp tetep masi lebih bener dari pada yg lain?

Kecocokan itu sangat condong pada pola pikir seseorang. Misalnya jika seseorang sudah punya pola pikir hidup ditakdirkan oleh pihak lain, maka teori kamma tidak cocok. Demikian sebaliknya, bagi orang yang memang punya pandangan jalan hidup bisa diubah oleh diri sendiri, maka pandangan suratan takdir tidak cocok.

Sementara itu, pola pikir seseorang dipengaruhi oleh pengalaman dan pengaruh lingkungan, dan tentu saja juga berubah. Karena berubah, maka bisa saja yang dulu salah jadi bener, yang dulu bener jadi salah, seperti orang pindah agama 'kan pasti ada pandangan begitu. Melihat fakta2 ini, sepertinya susah mengatakan ajaran2 mana yang benar dan salah.

Ajaran mana pun, tidak mungkin 100% sesuai bagi seseorang, pasti ada sesuai dan ada tidaknya. Namun yang menurutnya paling masuk logikanya, paling sama mendekati pengalamannya, itulah yang dibilang cocok.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 01 July 2009, 12:21:42 AM
Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, ini seperti dalam kisah Pukkusati yang tidak mengetahui lawan bicaranya adalah Buddha Gotama, tetapi mendengarkan uraian tentang unsur dan mencapai Anagami-phala.
Beberapa brahmana juga kadang datang ke Buddha untuk "cari ribut" menganggap Buddha sebagai musuh. Tetapi karena memang kebijaksanaan mereka cukup, maka mendengar jawaban dari Buddha, baru mereka mengerti dan berbalik menghormati Buddha.

Betul. Setelah mendengar penjelasan yang baik dari seseorang, kita cenderung akan menghormati orang tersebut. Kecenderungan itu pun akan memunculkan "keyakinan" bahwa orang itu adalah orang yang baik.


Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, kira-kira begitu. Jika seseorang telah melihat kebenaran tetapi tidak bertemu dengan guru sejati yang mengajarkan kebenaran, maka tentu tidak ada semacam keyakinan terhadap guru. Namun jika seseorang telah melihat kebenaran dan bertemu guru dan ajaran yang mengajarkan kebenaran juga, sudah pasti ia memiliki keyakinan pada guru tersebut.


Betul. Dengan kata lain, kita sebagai pelajar / murid sebaiknya tidak terlalu menitikberatkan "keyakinan" pada Sang Guru (Sang Buddha). Keyakinan (saddha) pada Buddha, Dhamma dan Sangha akan berbuah dengan sendirinya ketika kita mengalami hakikat kebenaran dari praktik Dhamma. Jadi yang terpenting adalah memfokuskan diri pada Dhamma. Seperti yang dinyatakan oleh Sang Buddha kepada Ananda di Mahaparinibbana Sutta :

[154] 6.1. Dan Sang Bhagava berkata kepada Ananda: 'Ananda, engkau mungkin berpikir: "nasihat-nasihat Sang Guru telah tiada, sekarang kita tidak memiliki guru!" Jangan berpikiran seperti itu, Ananda, karena apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan disiplin akan, saat Aku tiada, menjadi guru kalian.'

Courtesy : Digha Nikaya, DhammaCitta Press -  2009


Quote from: Kainyn_Kutho
Ya, itu lebih pada kecocokan, karena belum dibuktikan sendiri. Ketika kita menggenggam erat apa yang belum kita buktikan, maka hasilnya adalah fanatisme. Belum lagi jika memang ada perubahan, nanti jumlah alam ada lebih dari 31, kita malah terpaku "HARUS" 31. (Sebelum Sakka membuang Asura ke kaki Gunung Sineru, kita ga kenal alam Asura.) Mungkin ada juga yang tetap bersikeras kalau sudah ada dalam kitab suci, sudah kudu pasti adalah kebenaran. Kembali lagi itu kecocokan.

Bagi saya, yang berperan dalam hal itu adalah kematangan batin. Ketika seseorang menggenggam keyakinan akan adanya 31 Alam Kehidupan, yang beroperasi adalah kematangan batinnya untuk menerima konsep itu. Demikian pula sebaliknya jika orang itu tidak menggenggam keyakinan tersebut. Apapun keyakinan yang digenggam oleh orang-orang, yang jelas realitas dunia tetap ada. Dan apakah benar ada 31 Alam Kehidupan itu atau tidak, itu masih menjadi "doktrin".

Mungkin tidak berbeda jauh dengan "kecocokan" dalam versi Anda. Mungkin memang keduanya hanya sebatas vocabulary saja. :)


Quote from: Kainyn_Kutho
Kalau dipaksakan fisika itu ke dhamma, memang benar, itu masih cenderung pada kapasitas Savaka.
Dan lagi-lagi saya setuju. Kita tidak perlu semacam usaha khusus untuk mengembangkan "saddha" yang tanpa dasar, atau hanya karena dengar-dengar Buddha-Dhamma-Sangha hebat. Nanti malah hanya akan jadi orang fanatik buta. Dengan menjalankan hidup sesuai dhamma, membuktikan sendiri kebenarannya, otomatis suatu keyakinan yang kuat pada Buddha-Dhamma-Sangha pasti akan tumbuh.

Betul juga. Inilah yang sering ditangkap salah oleh sebagian Umat Buddha. Ukiran-ukiran emas di Tipitaka itu hanyalah sebuah tulisan dokumentasi tentang apa yang terjadi di zaman Sang Buddha. Seiring perjalanan waktu, mungkin saja beberapa isinya sudah hilang atau bergeser. Karena itulah Umat Buddha sebaiknya tidak mematok harga mati pada isi Tipitaka. Namun sebaiknya, Umat Buddha menjadikan Tipitaka sebagai panduan dalam menjalani penghidupan sesuai kebenaran.


Sampai sejauh ini, saya rasa kita berdua sependapat... :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 July 2009, 09:06:19 AM
 [at]  upasaka

Iya, hanya masalah penggunaan bahasa. Sebetulnya saya memilih istilah "kecocokan" karena lebih universal. "Kecocokan" ini adalah "kematangan bathin", jika diterjemahkan ke dalam kamus Buddhisme; bisa jadi "umat terpilih", jika diterjemahkan ke dalam kamus agama lain.

Dari sudut pandang Buddhist, kita akan mengatakan orang lain "bathinnya belum matang", dan dari sudut pandang umat lain, kita akan mengatakan orang lain "umat buangan". :D Dari sudut pandang saya, hanya masalah "cocok dan tidak cocok". Dan hal itu bergantung pada pola pikir dan pengalaman hidup seseorang.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: markosprawira on 01 July 2009, 09:41:56 AM
Sedikit melengkapi mengenai SADDHA :

Sobhanasadharana cetasika 19: 19 cetasika indah yang terdapat di semua jenis sobhana citta

Saddha
Sati
Hiri
Ottappa
Alobha
Adosa
Tatramajjhattatata
Kaya passadhi
Cittapassadhi
Kaya lahuta
Citta lahuta
Kaya muduta
Citta muduta
Kaya kammannata
Citta kammannata
Kaya pagunnata
Citta pagunnata
Kayujukata
Cittajukata

Dari 19 cetasika indah yang muncul, saddha merupakan pelopornya. Disini dapat dilihat bhw fanatisme bukanlah saddha
Fanatisme adalah miccha ditthi yaitu melekat pada konsep yg keliru.

Dalam hal ini, bukan ajarannya yang dilekati, melainkan pada konsep/pemikiran bhw ajarannya yang benar, itulah yang dilekatinya

Namun ajarannya itu sendiri tetap merupakan kebenaran

Semoga bs memperjelas mengenai SADDHA agar tidak didegradasi nilainya seolah hanya menjadi keyakinan/iman semata

semoga bermanfaat

metta
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: savana_zhang on 03 July 2009, 01:22:01 PM
Om kainy
sy mau tanya lg,
sebagian pria sangat menyukai(melekat) pada objek mengiurkan(wanita cantik)
bagaimana caranya agar tidak melekat pada objek mengiurkan tersebt..
*penjelasan ala om kainy ya?
bermeditasi obyek asubha
atau dg vipasana
Title: Buddha dan Tradisi
Post by: K.K. on 11 July 2009, 11:37:19 AM
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".

Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.

Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)

Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.

Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: savana_zhang on 14 July 2009, 12:49:35 PM
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".

Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.

Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)

Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.

Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.


betul,pandangan seperti itu adalah bijaksana
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 14 July 2009, 01:07:16 PM
Kebetulan thread sebelah sedang bahas pertobatan dari agama "sesat" masuk ke agamanya, dan mengambil langkah-langkah tertentu seperti menghancurkan altar dan simbol-simbol dari ajaran lamanya yang "sesat".

Ada orang bertanya kepada saya apakah dengan memeluk Buddhisme, tradisi dan budaya harus ditinggalkan.
Saya katakan, ada yang harus ditinggalkan, dan ada yang tidak perlu ditinggalkan.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang ditinggalkan adalah yang tidak bersesuaian dengan moralitas Buddhis, yaitu: pembunuhan, pencurian, perbuatan asusila, berbohong, dan mabuk-mabukan. Harus ditinggalkan di sini maksudnya bukanlah untuk menyenangkan Buddha, bhikkhu, atau sesama umat Buddha lainnya, tetapi adalah demi keuntungan dirinya sendiri sebab perbuatan-perbuatan tersebut hanya memberikan akibat yang buruk bagi diri sendiri.

Kebiasaan, adat, tradisi, dan budaya yang tidak perlu ditinggalkan adalah yang tidak bertentangan dengan moralitas Buddhis, dengan catatan, hendaknya ia memiliki pengertian benar akan hal tersebut.

Ada kisah di mana ketika buddha sedang memberikan khotbah kepada para bhikkhu, Buddha bersin. Menurut kepercayaan orang-orang dulu, kalau bersin itu berarti "roh"-nya meninggalkan tubuhnya dan bisa menyebabkan umur pendek/kematian, maka ketika ada orang bersin, mereka "memantrai" dengan ucapan "semoga panjang umur". Kebiasaan ini juga ada di mana-mana sampai sekarang, di mana orang barat sering berkata "Bless you!" ketika ada orang bersin. (Di Jerman, "mantranya" adalah "Gesundheit!" yang mengharapkan agar sehat selalu.)

Kemudian Buddha bertanya kepada para bhikkhu tersebut, "apakah ungkapan 'semoga panjang umur' yang ditujukan kepada orang bersin bisa menyebabkan orang itu hidup atau mati?" Para bhikkhu menjawab, "tidak". Inilah pengertian benar yang diajarkan Buddha kepada para murid.

Lalu bagaimana dengan kebiasaan masyarakat yang demikian? Buddha menetapkan aturan yang memperbolehkan bhikkhu ketika bersin dan didoakan "panjang umur", membalas dengan "semoga anda juga panjang umur" sesuai adat yang berlaku. Inilah sikap Buddha terhadap kebiasaan, adat, tradisi dan budaya.

Jadi sebagai umat Buddha, kita harus memiliki pengertian yang benar tentang ajaran Buddha. Di samping itu, tidaklah perlu menjajah budaya orang lain, tidak perlu melakukan hal-hal ekstrim seperti penghancuran simbol-simbol, dan lain-lain yang tidak bermanfaat.



Sumbernya dari mana Bro? Sutta apa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 July 2009, 02:26:50 PM
Itu kisah penjelasan dari Vinaya Pitaka, Cv.V.33.3, tentang aturan bhikkhu mengenai "jimat" dan "tanda-tanda".

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 14 July 2009, 02:34:48 PM
Itu kisah penjelasan dari Vinaya Pitaka, Cv.V.33.3, tentang aturan bhikkhu mengenai "jimat" dan "tanda-tanda".



rewarded, sorry...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 July 2009, 02:37:12 PM
Itu kisah penjelasan dari Vinaya Pitaka, Cv.V.33.3, tentang aturan bhikkhu mengenai "jimat" dan "tanda-tanda".



rewarded, sorry...


 :)  _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 14 July 2009, 09:31:36 PM
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..

*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..

Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 14 July 2009, 11:58:05 PM
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..

*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..

Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?
kalau saya sih, pertama kita coba menutup semampu kita peluang kesempatan melakukan tindakan kriminal nya, misalkan dengan menambah lapisan pintu,
kemudian tidak terlalu banyak menaruh barang di depan toko, kalau toko kelihatan ramai yah jelas pasti jadi sasaran empuk.

kalau mau yah bisa juga menyewa jasa security seperti satpam atau minta kepada kepolisian setempat sering patrol [ memang pasti ujung-ujung nya biaya ]

sy jadi teringat Anathapdindika yang sering pergi ke kota-kota demi usaha dagang...
dan kadang harus melewati malam di hutan,....
SangBuddha menasehati nya untuk selalu waspada dan sering berpindah-pindah,
jangan menunjukkan kepahlawan palsu.  liat-liat sikon lah...[situasi dan kondisi]
jangan jadi jagoan, malah jadi buntung.

salam metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 15 July 2009, 06:14:56 AM
Thank om merce atas sarannya..
kalau saya sih, pertama kita coba menutup semampu kita peluang kesempatan melakukan tindakan kriminal nya, misalkan dengan menambah lapisan pintu,

iya,itu sudah dilakukan dgn 2 lapis pintu.dan ada yg jaga malam..tapi penjaga malam cuma tahu terima gaji saja(ga pernah jaga lg), ;D
Quote
kemudian tidak terlalu banyak menaruh barang di depan toko, kalau toko kelihatan ramai yah jelas pasti jadi sasaran empuk.
waduh!!memajang barang di depan toko salah satu jurus marketing om,untuk menarik pelangan..

Quote
kalau mau yah bisa juga menyewa jasa security seperti satpam atau minta kepada kepolisian setempat sering patrol [ memang pasti ujung-ujung nya biaya ]

kalo siang securitynya kami para karyawan... ;D

Quote
sy jadi teringat Anathapdindika yang sering pergi ke kota-kota demi usaha dagang...
dan kadang harus melewati malam di hutan,....
SangBuddha menasehati nya untuk selalu waspada dan sering berpindah-pindah,
jangan menunjukkan kepahlawan palsu.  liat-liat sikon lah...[situasi dan kondisi]
jangan jadi jagoan, malah jadi buntung.

salam metta.
maksud 'melawan' disini bukan sekonyong-konyong ketika ditodong senjata langsung melawan(bukan keluarin jurus kungfu panda) tapi mencari kesempatan untuk mencari bantuan(berteriak)

tapi kalo melawan(baca;berteriak) kemungkinan terjadi hanya ada 3,
1.pelaku kejahatan yg celaka
2.korban(kita) yg celaka

apakah mencelakai(resiko terbesar mati di amuk masa) perampok disini termasuk karma buruk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: 7 Tails on 15 July 2009, 08:23:27 AM
baru kemaren kemalingan :(
kayaknya maling sekarang pada cangih deh, jangan pakai gembok abal2. mendingan beli yg mahal sekalian
gembok rumah pada hilang , waspadalah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 July 2009, 10:03:17 AM
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..

*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..

Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?

Kalau menurut saya, kita perlu mengusahakan sesuatu, jadi bukan "pasrah".
Dilihat dari ceritanya, berarti banyak juga toko yang jadi korban. Mungkin bisa bekerja sama dengan mereka untuk menyewa tenaga keamanan di sana. Biasanya pelaku kejahatan memilih tempat yang "empuk" untuk dijadikan mangsa. Cobalah untuk mengubah kondisi di sana agar kesan "empuk"-nya berubah. Kadang keberadaan seekor anjing (garang) saja bisa mengubah persepsi "empuk" seseorang.

Jika meninggalkan toko, mungkin bisa disarankan agar sebagian barang2 yang paling berharga juga dibawa pulang. Perampok tidak mungkin membawa seisi toko, tetapi hanya mencari yang paling berharga. Jika hasil yang mereka dapatkan kurang "setimpal" dengan risiko yang mereka hadapi, maka mereka cenderung enggan.

Rasanya kalau orang sudah nekat merampok, tidak segan-segan melukai dan membunuh korban, jadi sebisa mungkin, jangan sampai terjadi perlawanan. Saya lebih memilih tindakan pencegahan seperti di atas.
Namun kenyataan memang tidak selalu semanis itu. Kalau memang terpaksa melawan, lawanlah dengan bijak. Kalau golok dapur Vs senjata api, tentu saja tidak bijak. Kalau punya kenalan aparat, mungkin juga bisa minta bantuan jika ada hal-hal yang mencurigakan. (Urusan aparat ini juga harus hati-hati, karena sering kali orang bilang "hilang ayam + lapor polisi = hilang kambing".)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: savana_zhang on 15 July 2009, 03:40:04 PM
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..

*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..

Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?

          jika tindakkan preventif sudah tidak efektif menurut saya tentu kita harus melawan bila perlu bunuh dia daripada kita yg mati tp harus dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa dan tanpa kebencian.karena kita harus berfikir bahwa kalo kita mati bgm dg sanak keluarga kita?bgm anak kita?
          dan klo tidak dilawan penjahat itu akan besar kepala dan makin merajalela,dia akan mengulangi perbuatannya lg dan makin banyak jatuh korban2 yg tidak berdosa

              dr sudut pandang hukum karma kerampokan adalah karma buruk yg menguatkan karma kita untuk mati dibunuh oleh perampok tp kita bisa menumpas kondisi itu dg membunuh perampok dan membikin karma buruk baru lagi(yg diusahakan tidak sekuat karma sebelumnya).karena waktu kita membunuh tidak melibatkan LDM maka karma kita jd tidak lengkap(lihat syarat2 karma lengkap"karma theory by dagpo rinpoce")

              sama dg suatu alasan berperang bila diinvasi
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 15 July 2009, 04:13:08 PM
^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: markosprawira on 15 July 2009, 04:53:08 PM
Jika kondisi batin kita akusala, akan mengkondisikan munculnya akusala vipaka juga

demikian juga sebaliknya, kondisi batin yg kusala, akan mengkondisikan munculnya kusala vipaka

Secara citta, sebenarnya proses ini sudah dapat terlihat hanya saja, jarang buddhist yg mau melihat kedalam diri sendiri
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 15 July 2009, 04:55:45 PM
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..

*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..

Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?

          jika tindakkan preventif sudah tidak efektif menurut saya tentu kita harus melawan bila perlu bunuh dia daripada kita yg mati tp harus dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa dan tanpa kebencian.karena kita harus berfikir bahwa kalo kita mati bgm dg sanak keluarga kita?bgm anak kita?
          dan klo tidak dilawan penjahat itu akan besar kepala dan makin merajalela,dia akan mengulangi perbuatannya lg dan makin banyak jatuh korban2 yg tidak berdosa

              dr sudut pandang hukum karma kerampokan adalah karma buruk yg menguatkan karma kita untuk mati dibunuh oleh perampok tp kita bisa menumpas kondisi itu dg membunuh perampok dan membikin karma buruk baru lagi(yg diusahakan tidak sekuat karma sebelumnya).karena waktu kita membunuh tidak melibatkan LDM maka karma kita jd tidak lengkap(lihat syarat2 karma lengkap"karma theory by dagpo rinpoce")

              sama dg suatu alasan berperang bila diinvasi

Yang namanya membunuh itu tidak dibenarkan, mau alasan apapun tetap yang namanya membunuh itu salah.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 July 2009, 05:06:14 PM
^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy

Seperti saya bilang memang sulit sih, karena kita sendiri masih belum orang suci yang bisa merelakan semuanya.
Tapi saya bilang membunuh, atau merugikan orang lain (walaupun mereka duluan yang mulai) selalu akan menyisakan dendam. Mungkin benar di hidup ini mereka tidak bisa balas, tapi bagaimana dengan kehidupan2 berikutnya?
Sebisa mungkin, sila dipegang teguh, karena itulah yang membawa manfaat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: andry on 15 July 2009, 05:32:51 PM
ahh teori semuaaaaaaaaaa
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 15 July 2009, 07:10:29 PM
^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy

Seperti saya bilang memang sulit sih, karena kita sendiri masih belum orang suci yang bisa merelakan semuanya.
Tapi saya bilang membunuh, atau merugikan orang lain (walaupun mereka duluan yang mulai) selalu akan menyisakan dendam. Mungkin benar di hidup ini mereka tidak bisa balas, tapi bagaimana dengan kehidupan2 berikutnya?
Sebisa mungkin, sila dipegang teguh, karena itulah yang membawa manfaat.
memang si membunuh melanggar sila..
Thanks dhe om..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 16 July 2009, 11:36:27 AM
^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy

Seperti saya bilang memang sulit sih, karena kita sendiri masih belum orang suci yang bisa merelakan semuanya.
Tapi saya bilang membunuh, atau merugikan orang lain (walaupun mereka duluan yang mulai) selalu akan menyisakan dendam. Mungkin benar di hidup ini mereka tidak bisa balas, tapi bagaimana dengan kehidupan2 berikutnya?
Sebisa mungkin, sila dipegang teguh, karena itulah yang membawa manfaat.
memang si membunuh melanggar sila..
Thanks dhe om..


Sama2, senang kalau bisa membantu.
Tapi itu pendapat saya lho, sekadar masukan, bukan berarti yang terbaik dan sesuai dengan dhamma. Yang tahu situasinya 'kan anda sendiri, jadi ambillah keputusan yang menurut Mr.Jhonz paling baik.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 16 July 2009, 05:15:31 PM
Om mau tanya pendapat om lg ni...
Dari tahun ke tahun tingkat kriminalitas semakin tinggi,
sy baru sadar,bahwa kenyataan ini sangat dekat dgn lingkungan sy...
Dulu toko bos hampir dibobol maling pada saat malam hari,dan toko sebelah bosku berhasil dibobol maling,minggu lalu toko yg cuma berjarak -/+ 50meter dr toko bosku di rampok orang pada saat sore hari(jam 6),perampoknya mengunakan senjata api bersama 5orang(kalo ga salah ingat) setelah beraksi kabur mengunakan mobil ..
Sebenarnya dgn kondisi kota tangerang(dekat jakarta) yg lalu lintasnya sangat padat,akan sangat mudah mengejar perampok itu..

*incaran pelaku kejahatan adalah grosir2 sembako dan rokok..

Pertanyaan sy,
sebagai buddhis yg baik,bagaimana menyikapi masalah seperti ini(katakanlah kita sebagai korbannya)
apakah kita harus pasrah?
Apakah kita bijak jika melawan?

          jika tindakkan preventif sudah tidak efektif menurut saya tentu kita harus melawan bila perlu bunuh dia daripada kita yg mati tp harus dilakukan dalam keadaan sangat terpaksa dan tanpa kebencian.karena kita harus berfikir bahwa kalo kita mati bgm dg sanak keluarga kita?bgm anak kita?
          dan klo tidak dilawan penjahat itu akan besar kepala dan makin merajalela,dia akan mengulangi perbuatannya lg dan makin banyak jatuh korban2 yg tidak berdosa

              dr sudut pandang hukum karma kerampokan adalah karma buruk yg menguatkan karma kita untuk mati dibunuh oleh perampok tp kita bisa menumpas kondisi itu dg membunuh perampok dan membikin karma buruk baru lagi(yg diusahakan tidak sekuat karma sebelumnya).karena waktu kita membunuh tidak melibatkan LDM maka karma kita jd tidak lengkap(lihat syarat2 karma lengkap"karma theory by dagpo rinpoce")

              sama dg suatu alasan berperang bila diinvasi


manusia terlalu banyak, lahan, makanan, persediaan tambah sedikit...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 16 July 2009, 05:35:09 PM
utk yg khawatir dengan maling...

pasang cctv... jadi kalo kemalingan masih bisa mengejar penjahat dan juga dapat mempersempit para penjahat serta juga membuat para penjahat menjadi khawatir utk melakukan aksi jahat...

gak mahal keknya modal 3 jeti juga cukup keknya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 16 July 2009, 05:55:42 PM
Oot..Bro hatred yg 3juta itu,sudah otomatis merekam blom?
Banyak jenis lho..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 16 July 2009, 06:05:51 PM
-----
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 17 July 2009, 08:23:48 AM
Bagaimana pandangan/tanggapan Buddha tentang suatu kesalahan ?
kesalahan yg lakukan oleh orang umum maupun muridnya ?


kalau anak kecil sedang belajar berjalan,
ortu kan tidak pernah berkata oh... ini cara jalannya salah,
atau gimana... tetapi mendukung dan memberi kesempatan
pada anak utk mencoba, dan lebih sering mencoba lagi
sampai bisa berjalan!... (ya itu utk anak kecil sih)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 24 July 2009, 07:35:21 PM
^
^savana anda membuat statement yg sangat BEDA..
Tapi bagaimana dari sudut pandang buddhist?
Kita tunggu respon om kainy

Seperti saya bilang memang sulit sih, karena kita sendiri masih belum orang suci yang bisa merelakan semuanya.
Tapi saya bilang membunuh, atau merugikan orang lain (walaupun mereka duluan yang mulai) selalu akan menyisakan dendam. Mungkin benar di hidup ini mereka tidak bisa balas, tapi bagaimana dengan kehidupan2 berikutnya?
Sebisa mungkin, sila dipegang teguh, karena itulah yang membawa manfaat.
memang si membunuh melanggar sila..
Thanks dhe om..


Sama2, senang kalau bisa membantu.
Tapi itu pendapat saya lho, sekadar masukan, bukan berarti yang terbaik dan sesuai dengan dhamma. Yang tahu situasinya 'kan anda sendiri, jadi ambillah keputusan yang menurut Mr.Jhonz paling baik.



;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D
masa depan memang ga bisa ditebak..baru saja minggu lalu membahasnya..
Sekarang gw udah menjadi saksi mata..
Tapi celakanya aye seakan jadi saksi,tersangka sekaligus korban...
Aye ga tahu mau nangis apa mau tertawa...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 24 July 2009, 07:46:13 PM
 [at]  ^
emang gitu prosedur hukum di indo.. makanya jarang yg maw jadi saksi. soalnya ngga diperlakukan sesuai proporsinya, gw juga pernah jadi saksi tapi perasaan kaya tersangka aja diinterogasi berlebihan. santai aja bro ;)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 25 July 2009, 02:37:57 PM
^ kejadiaannya si ga ampe kantor polisi,cuma maling ga ketangkap..aye yg di marahin(seakan2 tersangka).. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 25 July 2009, 03:35:50 PM
^ kejadiaannya si ga ampe kantor polisi,cuma maling ga ketangkap..aye yg di marahin(seakan2 tersangka).. ;D
ooh.. beda kasus lah.. bukan soal kemalingan yg aye mah ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 25 July 2009, 04:09:42 PM
;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D ;D
masa depan memang ga bisa ditebak..baru saja minggu lalu membahasnya..
Sekarang gw udah menjadi saksi mata..
Tapi celakanya aye seakan jadi saksi,tersangka sekaligus korban...
Aye ga tahu mau nangis apa mau tertawa...

Dulu saya pernah mengatakan hidup ini adalah komedi yang tragis.
Turut prihatin atas kejadian tersebut.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 29 July 2009, 09:03:46 PM
Om kainy,mau tahu pendapat om dan teman2 soal ini,

Quote from: rj_tan;45022
Tiba2 teringat sebuah cerita yg ku dengar, tapi lupa namanya...
So pakai karang2 aja ya....:D

Di jaman kerajaan Cina dulu ada seorang raja yg mempunyai 2 putera, yg pertama namanya Pangeran A & kedua namanya Pangeran B. Ratu sangat membenci anak pertamanya Pangeran A, karena waktu melahirkan Pangeran A, ratu sakit2an. Setiap hari Ratu hanya mengatakan bertapa rajin, pintar & hebatnya Pangeran B.
Setelah sang Raja meninggal dunia, Raja mengwariskan tahta ke putera pertamanya, Pangeran A. Karena Pangeran B bukanlah seorang yg bijaksana. Lalu sang Ratu meminta pangeran A memberikan sebuah kota yg sangat penting ke Pangeran B. Walau keberatan Pangeran A tetap menuruti permintaan Ibunya.
Pangeran B tidak puas dengan sebuah kota saja, dia memperkuat tentaranya dan merampas kota2 Pangeran A. Karena sangat berbakti kepada ibunya Pangeran A hanya bisa diam2 saja.....
Daerah Kekuasaan Pangeran B semakin lama semakin besar, tentaranya juga semakin banyak.Lalu Sang Ratu menulis sebuah surat kepada Pangeran B, dia menyuruh Pangeran B menyerang ibu kota, tempat tinggalnya Pangeran A, & dia akan membantu dari dalam. Sehingga Pangeran B bisa menjadi Raja.
Berita tersebut sampai ke telinga Pangeran A, Pangeran A cepat2 menyiapkan tentara untuk melawan serangan Pangeran B. Setelah pertempuran yg dasyat, tentara Pangeran A dapat memukul mundur tentara Pangeran B.
Pangeran A memanggil Ibunya, tapi Sang Ratu sama tidak merasa bersalah. Karena sangat marah, Pangeran A mengusir ibunya keluar dari istana dan bilang kita tidak akan bertemu sebelum sampai ke akhirat.
Setelah beberapa waktu, Pangeran A merasa sedih karena telah mengusir ibunya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa2, karena perkataan seoranga raja tak bisa di tarik.
& Para pejabat juga tidak setuju, karena kehadiran Sang Ratu sangat membahayakan negara.

Menurut teman2 berdosakah Pangeran A yg mengusir ibunya????

Saya rasa sih tidak, karena Ibunya sangat keterlaluan. Dia sudah menuruti semua permintaan ibunya, tetapi ibunya mesih tega mau mencelakan dia. Lagipun sebagai seorang Raja tentu dia harus mengutamakan kepentingan negara, Right??

*nb,ini pertanyaan rekan forum sebelah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 30 July 2009, 09:38:31 AM
Om kainy,mau tahu pendapat om dan teman2 soal ini,

Quote from: rj_tan;45022
Tiba2 teringat sebuah cerita yg ku dengar, tapi lupa namanya...
So pakai karang2 aja ya....:D

Di jaman kerajaan Cina dulu ada seorang raja yg mempunyai 2 putera, yg pertama namanya Pangeran A & kedua namanya Pangeran B. Ratu sangat membenci anak pertamanya Pangeran A, karena waktu melahirkan Pangeran A, ratu sakit2an. Setiap hari Ratu hanya mengatakan bertapa rajin, pintar & hebatnya Pangeran B.
Setelah sang Raja meninggal dunia, Raja mengwariskan tahta ke putera pertamanya, Pangeran A. Karena Pangeran B bukanlah seorang yg bijaksana. Lalu sang Ratu meminta pangeran A memberikan sebuah kota yg sangat penting ke Pangeran B. Walau keberatan Pangeran A tetap menuruti permintaan Ibunya.
Pangeran B tidak puas dengan sebuah kota saja, dia memperkuat tentaranya dan merampas kota2 Pangeran A. Karena sangat berbakti kepada ibunya Pangeran A hanya bisa diam2 saja.....
Daerah Kekuasaan Pangeran B semakin lama semakin besar, tentaranya juga semakin banyak.Lalu Sang Ratu menulis sebuah surat kepada Pangeran B, dia menyuruh Pangeran B menyerang ibu kota, tempat tinggalnya Pangeran A, & dia akan membantu dari dalam. Sehingga Pangeran B bisa menjadi Raja.
Berita tersebut sampai ke telinga Pangeran A, Pangeran A cepat2 menyiapkan tentara untuk melawan serangan Pangeran B. Setelah pertempuran yg dasyat, tentara Pangeran A dapat memukul mundur tentara Pangeran B.
Pangeran A memanggil Ibunya, tapi Sang Ratu sama tidak merasa bersalah. Karena sangat marah, Pangeran A mengusir ibunya keluar dari istana dan bilang kita tidak akan bertemu sebelum sampai ke akhirat.
Setelah beberapa waktu, Pangeran A merasa sedih karena telah mengusir ibunya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa2, karena perkataan seoranga raja tak bisa di tarik.
& Para pejabat juga tidak setuju, karena kehadiran Sang Ratu sangat membahayakan negara.

Menurut teman2 berdosakah Pangeran A yg mengusir ibunya????

Saya rasa sih tidak, karena Ibunya sangat keterlaluan. Dia sudah menuruti semua permintaan ibunya, tetapi ibunya mesih tega mau mencelakan dia. Lagipun sebagai seorang Raja tentu dia harus mengutamakan kepentingan negara, Right??

*nb,ini pertanyaan rekan forum sebelah

Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 30 July 2009, 10:28:42 AM
Thank jawabannya,
sy pikir masalah ini tidak ada pemecahannya,ternyata om kainy mengemasnya dgn sederhana,
mohon izin,sy sampaikan sebelah ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 30 July 2009, 11:03:14 AM
Thank jawabannya,
sy pikir masalah ini tidak ada pemecahannya,ternyata om kainy mengemasnya dgn sederhana,
mohon izin,sy sampaikan sebelah ;D

Silahkan. Sekali lagi, hanya pendapat yah, bukan kebenaran.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: HokBen on 30 July 2009, 11:15:40 AM
Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.

Bagaimana dengan kasus terpaksa aborsi demi menyelamatkan nyama sang Ibu?
Dan juga berbohong demi kebaikan?

sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 30 July 2009, 11:59:57 AM
Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.

Bagaimana dengan kasus terpaksa aborsi demi menyelamatkan nyama sang Ibu?
Dan juga berbohong demi kebaikan?

sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
saudara hokkben,
saya pernah diberikan pertanyaan oleh seorang bikkhu,
jika anda bikkhu, sedang duduk dibawah pohon, kemudian ada pencuri sedang lari dan tiba-tiba,
sujud dan minta izin mau sembunyi di belakang pohon tersebut,
dan berpesan pada bikkhu, apabila ada orang yg bertanya ttg saya maupun ciri-ciri saya, mohon bikkhu jangan beritahukan, saya bisa mati di keroyok.

kemudian datang segerombolan massa membawa golok ,pisau,[sajam], terus bertanya pada ANDA[bikkhu]
ada liat orang yang lari lewat sini tidak?

jika anda[bikkhu] apa yang anda jawab?
melihat situasi massa yang begitu emosi dan panas......seperti ingin membunuh..

1.menjawab jujur sama saja mengizinkan terjadi nya pembunuhan.
2.menjawab tidak jujur, maka bisa-bisa melanggar sila...
3.menasehati massa, [ seperti biasa orang  yg emosi tidak mungkin bisa di nasehati ]
4.dijawab dengan diam saja...[ mungkin ini terbaik ]
-------

kadang suatu hal, dimana kita tidak memungkinkan untuk berbuat baik secara UTUH.
pasti ada pihak yang tdk senang dengan apapun jawaban kita.....
ketika kita bisa memilih mana terbaik saat itu, maka jalankan saja......keputusan tepat dan salah bukan di nilai "dimasa depan" tapi di nilai "saat ini."

karena kalau memakai patokan masa depan, semua nya menjadi abu-abu,karena masa depan merupakan ketidakpastian, dan ketidakpastian adalah hal pasti.

metta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: N1AR on 30 July 2009, 12:32:22 PM
kalau mencoba kan gak salah yah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 30 July 2009, 02:02:05 PM
Bagaimana dengan kasus terpaksa aborsi demi menyelamatkan nyama sang Ibu?
Untuk ini, saya tidak punya jawaban langsung. Tergantung keadaan.


Quote
Dan juga berbohong demi kebaikan?
Contohnya bagaimana?


Quote
sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
Bukan tidak salah. Pembunuhan tetap pembunuhan, namun pembunuhan karena benci dan pembunuhan karena terpaksa, dalam agama Buddha tidak sama.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: HokBen on 30 July 2009, 04:09:01 PM
Quote
Dan juga berbohong demi kebaikan?
Contohnya bagaimana?

contohnya misal seperti yg ditulis oleh bro marcedes...
seorang biku yang ditanya oleh sekawanan orang yg sedang emosi mengenai orang yg bersembunyi. sedangkan biku yang bersangkutan tau lokasi persembuyian orang tsb.

Quote
sama aja yah berarti? kalo didasari dengan niat menyelamatkan nyawa sang ibu atau boongnya untuk menyelamatkan orang lain, itu bisa dianggap "tidak salah" ?
Bukan tidak salah. Pembunuhan tetap pembunuhan, namun pembunuhan karena benci dan pembunuhan karena terpaksa, dalam agama Buddha tidak sama.

berarti karma buruk dari perbuatan membunuhnya tetap ada, tetapi mungkin buahnya akan berbeda?

Thx
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 August 2009, 02:57:12 PM
contohnya misal seperti yg ditulis oleh bro marcedes...
seorang biku yang ditanya oleh sekawanan orang yg sedang emosi mengenai orang yg bersembunyi. sedangkan biku yang bersangkutan tau lokasi persembuyian orang tsb.

Dalam sila dilarang untuk berbohong, tetapi tidak ada larangan untuk bersikap diam ketika ditanya. Ini adalah pilihan pertama. Lainnya adalah tergantung kemampuan dan kebijaksanaan si bhikkhu itu sendiri untuk "mengelak" dari pertanyaan atau bernegosiasi. Sebetulnya banyak jalan selain berbohong, tetapi kalau memang karena keterbatasan dan kondisi, sebaiknya seseorang bisa memilih dengan bijak antara "sila" dan "kehidupan orang lain".


Quote
berarti karma buruk dari perbuatan membunuhnya tetap ada, tetapi mungkin buahnya akan berbeda?
Ya, tentu saja sangat berbeda. Buah kamma ditentukan oleh subjek (si pelaku) dan objek (si penderita).
Dari si pelaku, membunuh karena terpaksa dan karena untuk bersenang-senang, akibatnya adalah berbeda.
Dari si penderita, membunuh orang biasa dan orang suci, juga tentu hasilnya berbeda.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 09 August 2009, 01:30:00 AM
pada intinya...
di timbang [ pakai timbangan yang bagus alias kebijaksanaan ]

ke arah mana lebih baik ke arah baik atau ke arah buruk....itu saja...
kadang kita tidak bisa berbuat baik 100% benar dimata orang.....tetapi setidaknya baik dimata sendiri dan tidak merugikan orang lain.

metta
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Shining Moon on 09 August 2009, 01:37:12 AM
Sebenarnya terjemahan Pancasila kan 'Aku bertekad untuk melatih diri ....', bukan 'tidak boleh...'?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 August 2009, 01:40:35 AM
Sebenarnya terjemahan Pancasila kan 'Aku bertekad untuk melatih diri ....', bukan 'tidak boleh...'?

meskipun benar tapi argumentasi ini bisa berbahaya, bisa diartikan tidak apa2.
"aku bertekad untuk melatih ..." kalau dilanggar berarti meninggalkan latihan, meninggalkan tekad.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2009, 11:10:23 AM
Bagi Sangha, ADA aturan yang berlaku, maka ada larangan. Oleh karena itu, para bhikkhu mengucapkan "saya bertekad untuk tidak..." dan ketika mereka melanggar, maka ada hukumannya. Untuk kasus yang berat, bisa dikeluarkan dari sangha.

Berbeda dengan orang awam, tidak terikat aturan tertentu (kecuali hukum masyarakat & hukum negara), jika mereka melakukan pelanggaran sila, tidak menjadikannya "bukan Buddhis". Juga jika tertangkap melanggar sila, tidak ada aturan hukuman yang dijatuhkan padanya berdasarkan dhamma (misalnya jika orang ketahuan berbohong harus ditampar atau kena denda baca Metta Sutta 1000x). Paling-paling hanya berurusan dengan hukum masyarakat & negara. Oleh karena itu pengucapannya berupa "saya bertekad untuk melatih diri untuk tidak ...".
Title: Teori & Praktek: Guyonan Khas Komunitas Buddhis
Post by: K.K. on 31 August 2009, 11:29:06 AM
Entah bagaimana mulanya komunitas Buddhis cenderung membagi sikap dhamma ke dalam "Praktek" dan "Teori", dan kalau satu hal dilakukan, berarti "praktek", sementara kalau dibicarakan, berarti "teori". Dari sini kemudian berkembang pemikiran kalau teoritis, berarti NATO (No Action Talk Only).

Suatu saat, saya pernah bertemu orang yang katanya tidak mau bicara dhamma, karena itu semua teori. Ia hanya mau praktek saja. Menarik sekali sikap demikian. Jika bertemu lubang, tidak perlu teori, masuki saja lubang tersebut (praktek dengan pengalaman pribadi). Berarti kalau dalam perjalanan bertemu 100 macam lubang, dia perlu terperosok minimal 100x untuk mencapai tujuan. Sungguh ide 'cemerlang'.

Jadi apakah teori dan praktek?
-Ketika tukang pikul berkeliling membawa bebannya, ia tahu untuk menghemat energi harus memberi beban yang seimbang di kedua ujung pikulan dan mengangkatnya di pundak. Apakah berarti ia sedang praktek tuas-pengungkit dan mekanika tulang-otot tubuh?
-Ketika seorang arsitek merancang bangunan, ia tahu di mana harus meletakkan tiang penyangga, tahu jenis bahan yang digunakan dan beban yang bisa ditahan, tetapi ia belum tentu mampu membangunnya sendiri. Apakah ini berarti ia teoritis?

Berbicara ilmu (juga dhamma), adalah berbicara mengenai pemahaman/pengertian.
Teori adalah suatu pemahaman yang dikomunikasikan secara teratur, sistematis dan terstruktur agar orang lain dapat memahami apa yang disampaikan. Dalam contoh tukang pikul, ia tahu bagaimana memikul yang efisien, tetapi ia tidak dapat menjelaskan kenapa demikian. Jika ia mampu menuangkan pengertiannya ke dalam satu penjelasan teratur, sistematis dan terstruktur agar orang lain dapat mengerti hal tersebut, maka ia dapat dikatakan teoritis. Berbeda definisi teoritis dalam artian "suka mengambil kesimpulan berdasarkan asumsi sendiri" atau definisi dalam artian "menafikan hal-hal praktikal".

Sedangkan Praktek adalah suatu perbuatan yang didasari dengan pengertian. Perbuatan berdasarkan pengertian tersirat tidak hanya dengan tubuh fisik, tetapi juga ucapan dan terutama adalah pikiran. Misalkan seorang dokter mengamati dan mendengar keluhan pasien, lalu ia mengenali gangguan pasien tersebut dan menulis resep, itu juga dikatakan berpraktek karena memang ia melakukan itu berdasarkan suatu pengertian.

Lalu mengapa saya sebut guyonan? Karena saya melihat komunitas Buddhis cenderung melihat orang yang kurang mampu komunikasi dan rajin malpraktek sebagai Praktisi tulen. Di lain pihak, Buddha adalah seorang "NATO" yang mengatakan bunuh orang tua adalah tidak bermanfaat dan bisa masuk Avici, padahal sendirinya belum praktek. Belum lagi banyak "omongan" lainnya di antara 84.000 sutta, yang belum dipraktekkan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 31 August 2009, 11:47:22 AM
Ketika seseorang mulai memunculkan gagasan "ah, gue praktisi, ente teoris" atau "saya cuma tau teori, anda kan praktisi", nah saat itu sebenarnya sudah muncul keangkuhan, yang dipicu oleh sikap membanding2kan, sebagai buddhis hendaknya kita berusaha untuk menghindari ini.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 31 August 2009, 01:01:09 PM
MAHAVIYUHA SUTTA

Penyebab-penyebab Utama Perselisihan
 

Mereka yang amat melekati pandangan-pandangan mereka sehingga mengatakan: 'Hanya inilah yang merupakan kebenaran', akan menyebabkan dirinya disalahkan atau akan memperoleh pujian karenanya.

Hasil dari pujian itu sangat kecil dan tidak cukup untuk menghasilkan ketenangan. Aku nyatakan ada dua akibat perselisihan [yaitu menang atau kalah]. Setelah melihat hal ini, hendaknya tak seorang pun berselisih, demi untuk mewujudkan Nibbana di mana tidak ada perselisihan.

Orang bijaksana tidak memeluk erat-erat semua pandangan yang telah muncul di antara orang-orang duniawi. Apakah orang yang telah terbebas dari pandangan harus merasa gembira karena apa yang dilihat dan didengar, dan tetap tergantung pada pandangan-pandangan itu?

Mereka yang menganggap bahwa praktek-praktek moral merupakan yang tertinggi akan mengatakan: 'Kesucian datang melalui pengendalian diri. Setelah menjalani praktek kesucian, marilah kita berlatih di dalamnya. Dari situlah kesucian muncul.' Tetapi mereka yang disebut ahli itu pun masih tetap terbenam dalam Samsara.

Jika dia menyeleweng dari perilaku moral dan praktek kesucian, dia gemetar karena telah gagal dalam tindakannya. Di sini dia merindukan kesucian bagaikan musafir yang kehilangan karavan ketika sedang bepergian dari rumahnya.

Setelah sepenuhnya meninggalkan praktek-praktek keagamaan dan tindakan-tindakan yang 'baik' dan 'buruk', serta tidak lagi merindukan 'kesucian' atau pun 'ketidakmurnian', dia berkelana sendiri tanpa melakukan kedua hal itu, tanpa melekati ekstrim yang mana pun.

Dengan mempraktekkan penyiksaan-penyiksaan diri yang menjijikkan atau melekati apa yang telah didengar, dilihat, atau dipikirkan, orang-orang itu memuji-muji kemurnian dengan suara lantang. Tetapi mereka belum terbebas dari nafsu keinginan untuk terlahir kembali.

Bagi orang yang bernafsu, akibatnya adalah lebih banyak nafsu; dia gemetar karena dikuasai kebodohan lewat pandangan-pandangan khayal. Bagi orang yang telah menaklukkan kematian dan kelahiran, mengapa dia harus gemetar dan apa pula yang dia rindukan?

Apa yang dianggap oleh beberapa orang sebagai pandangan tertinggi, oleh orang lain dianggap sebagai tak bernilai. Namun mereka semuanya menyatakan sebagai ahli. Yang mana dari mereka yang sungguh-sungguh benar?

Setiap orang menyatakan bahwa pandangannya sendirilah yang sempurna sedangkan kepercayaan orang lain lebih rendah. Dengan begitu, mereka masuk ke dalam perselisihan. Demikianlah masing-masing menyatakan bahwa pandangan mereka sendirilah yang benar.

Jika suatu pandangan menjadi tak berharga karena dikecam oleh orang lain, maka semuanya tak ada bedanya karenaa masing-masing bersikukuh menganggap pandangan orang lain sebagai yang rendah dan pandangan mereka sendirilah yang dianggap benar.

Seperti halnya mereka meninggikan pandangan-pandangan mereka, demikian pula mereka memuji-muji cara-cara mereka. Jika semua pandangan mereka benar, maka kemurnian mereka juga harus khusus bagi mereka saja.

Orang bijaksana tidak dipimpin orang lain, tidak mengukuhi pandangan-pandangan setelah menyelidikinya. Akibatnya, dia telah melampaui perselisihan karena dia tidak melihat pandangan orang lain sebagai yang terbaik.

'Saya mengetahui dan melihat, ini hanyalah demikian' -dengan berkata demikian, beberapa orang menyatakan kesucian melalui pandangan itu. Apa gunanya mengatakan bahwa seseorang telah 'melihat' (kebenaran) ketika pandangan-pandangan lawan dikemukakan?

Orang melihat batin dan materi, dan setelah melihat itu mereka menganggapnya kekal. Biarlah dia melihat sedikit atau banyak, karena para ahli tidak mengatakan: 'kesucian muncul lewat itu.'

Tidaklah mudah mendisiplinkan orang yang berpegang teguh pada dogma, yang mengatakan inilah kebenaran, padahal mereka disesatkan oleh pandangan-pandangan. Dengan mengatakan bahwa ada kebaikan dalam prasangka semacam ini, dia cenderung mengatakan bahwa kesucian bersifat pembawaan seperti yang telah dilihatnya.

Orang bijaksana yang telah memahami segala sesuatu melalui pengetahuan, tidak akan masuk ke dalam spekulasi. Setelah mempelajari berbagai teori yang telah muncul di antara orang-orang lain, dia tidak peduli terhadap teori-teori itu walaupun orang-orang lain bersusah payah mengukuhinya.

Orang bijaksana ini, karena telah terbebas dari ikatan-ikatan duniawi, tetap damai di antara mereka yang gelisah. Dia tidak peduli pada perselisihan sekte, dan tidak melekatinya walaupun orang-orang lain tetap melekat.

Setelah melenyapkan kekotoran-kekotoran batin yang dahulu ada, dan tidak menyebabkan timbulnya yang baru serta tidak menjadi pengikut, dia terbebas dari pandangan-pandangan dogmatis. Karena bijaksana, dia tidak melekat pada dunia, serta tidak menyalahkan diri sendiri.

Dengan mengatasi semua teori yang berdasar pada apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana yang telah menaruh bebannya dan telah terbebas. Dia tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak menginginkan apa pun juga -- demikianlah Sang Buddha berkata.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 31 August 2009, 01:15:30 PM
Saya hanya coba sharing mengenai artikel cerita saja ( karena hanya ini yang saya miliki ), karena pemahaman dhamma saya masih dalam proses belajar,  saya mulai belajar sesuatu yang saya anggap bermanfaat untuk diri sendiri dan orang lain, minimal tidak merugikan orang lain, walaupun terkesan lamban, sehingga proses pembelajaran menjadi nyata dalam kehidupan. Semoga berkenan dengan artikel ini.

"Buddha Dhamma adalah sekotak harta karun, tetapi mempraktekkannya  adalah kuncinya."

"Sikap toleran hanya akan muncul jika anda mempraktekkannya, bukan saat anda membicarakannya."
 


Mahasiswa dan Pemburu

Pernah suatu ketika seorang dosen bercerita di kelas. Ceritanya tentang seorang teoritis (kita sebut saja Mahasiswa) dan seorang praktisi (kita sebut dengan pemburu). Begini ceritanya:

Ada seorang mahasiswa yang setiap harinya diisi dengan belajar berbagai disiplin ilmu. Pelajaran yang sangat disukainya adalah tentang berburu kijang. Begitu tekunnya sang mahasiswa sampai-sampai dia mengetahui untuk menembak seekor kijang jarak idealnya adalah x meter. Bagian tubuh yang paling tepat untuk dijadikan sasaran tembak pun diketahui di luar kepala. Intinya sang mahasiswa mengetahui apapun yang terbaik untuk berburu kijang. Tetapi dia jarang sekali (baca:malas) berlatih untuk menembak binatang buruannya.

Di sisi lain ada seorang pemburu. Setiap hari kerjanya hanya berburu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan yang paling sering diburu adalah kijang. Selain dagingnya enak dimakan, tanduk dan kulitnya dapat dijual dengan harga tinggi. Berbeda dengan mahasiswa, sang pemburu tak pernah belajar cara berburu yang terbaik untuk berburu seekor kijang. Semua ilmu diperolehnya melalui pengalaman. Bukan di bangku kuliah ataupun dalam pelatihan berburu kijang.

Suatu ketika ada seseorang yang meminta sang mahasiswa bertarung dengan pemburu untuk menangkap seekor kijang dalam keadaan hidup. Sang mahasiswa tahu betul apa yang harus dilakukan. Dia tahu semua prosedur yang memungkinkannya untuk dapat menangkap kijang dengan cara yang sangat efektif. Sang pemburu tak mau kalah, dengan berbekal segudang pengalaman, dia pun maju untuk bertanding dengan mahasiswa tadi.

Pertandingan dimulai. Sesuai dugaan, sang pemburu berhasil menangkap kijang tetapi kijang sudah dalam keadaan mati dengan banyak luka tembak di sekujur tubuhnya. Akhirnya tidak ada yang memenangan pertandingan.

Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik cerita di atas. Dalam kasus pertama sebenarnya sang mahasiswa begitu paham apa yang seharusnya ia lakukan untuk menangkap kijang itu dalam keadaan hidup. Tetapi ia tak bisa menembak. Kurang latihan adalah salah satu yang menjadi penghalangnya. Sedangkan pada kasus kedua, walaupun sang pemburu berhasil menangkap kijang, tetapi kijang sudah tidak dalam keadaan hidup lagi. Sang pemburu hanya mengandalkan pengalamannya saja. Tentu saja kita tidak dapat mengatakan bahwa belajar dari pengalaman itu tidak baik, tetapi bukanlah lebih bijaksana jika kita belajar dari pengalaman orang lain. Jika kita telah belajar dari pengalaman orang lain -bisa dengan bertanya ataupun membaca di buku- kita tidak perlu untuk selalu memulai pekerjaan dari tangga ke-nol.

Jika saja sang mahasiswa sering berlatih tentu dia akan dapat memenangkan pertandingan; dan jika saja sang pemburu mau belajar selain dari pengalamannya sendiri, tentu ia akan berburu dengan lebih efektif dan dapat menangkap kijang dalam keadaan hidup.

Kebanyakan kita adalah tipikal pemburu atau mahasiswa. Kita yang bertipe “mahasiswa” sering mengikuti berbagai pelatihan, mulai dari pelatihan publik speaking, pelatihan enterpreneur, dan banyak pelatihan lain. Tetapi begitu kita diminta ‘action’ kita tidak bisa banyak berbuat.

Adapun kita yang bertipe pemburu, kebanyakan kerja kita tidak baik dalam penyelesaian akhir. Memang kerjaan beres tetapi hasilnya tidak bisa disebut bagus (kalau tidak boleh disebut jelek).

Semoga mulai detik ini kita dapat melakukan segala sesuatu dengan arah yang benar dan prosedur yang benar. Tidak seperti mahasiswa dalam cerita ini dan tidak seperti pemburu dalam cerita ini juga tentunya; tetapi kita akan berusaha menjadi perpaduan antara kedua tokoh kita di atas.

Semoga Bermanfaat.


KATA-KATA BIJAK DARI DALAI LAMA


1.   Kebahagian tidak terjadi begitu saja. Itu muncul dari hasil perbuatan kita.
2.   Jika Mampu, Tolong & Bantulah Orang Lain. Jika Tidak, Setidaknya jangan mencelakakan orang lain.
3.   Jika kamu ingin orang lain bahagia, praktekan welas asih. Jika kamu sendiri mau bahagia, praktekan welas asih.
4.   Agama saya sangat sederhana. Agama saya adalah Kebajikan.
5.   Ingat !!! Tidak mendapatkan apa yang kamu inginkan, kadang-kadang adalah sebuah berkah.
6.   Kekuasaan utama mesti tidak mengutamakan alasan dan analisa kritis individu itu sendiri saja.
7.   Kita bisa hidup tanpa agama dan meditasi, tetapi kita tidak bisa hidup tanpa kasih sayang sesama manusia.
8.   Kita tidak akan pernah mendapatkan kedamaian diluar diri kita sendiri sampai kita damai dengan diri kita sendiri.
9.   Berbuat baiklah jika memungkinkan. Sebenarnya, Itu selalu mungkin.
10.   Jika kamu takut akan rasa sakit atau penderitaan, kamu seharusnya cari cara, apa yang dapat kamu lakukan untuk mengatasinya. Jika kamu bisa, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jika kamu tidak bisa berbuat banyak, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan juga.
11.   Jika kamu tidak mencintai dirimu sendiri, Kamu tidak akan bisa mencintai orang lain. Kamu tidak akan mampu. Jika kamu tidak punya welas asih terhadap dirimu sendiri, maka kamu tidak akan bisa mengembangkan welas asih terhadap orang lain.
12.   Potensi seluruh manusia adalah sama. Perasaan kamu yang bilang ” Aku tidak berharga” adalah salah. Salah sama sekali. Kamu menipu dirimu sendiri. Kita semua memiliki kekuatan dalam batin kita, jadi apa yang kurang ? Jika kamu punya tekad, kamu dapat mengubah apapun. Kamu adalah guru bagi dirimu sendiri.
13.   Kita mesti menyadari, Penderitaan satu orang atau satu bangsa adalah Penderitaan bagi seluruh umat manusia. Kebahagiaan satu orang atau satu bangsa adalah Kebahagiaan bagi seluruh umat manusia.
14.   Melalui kekerasan, kamu mungkin “mengatasi” masalah, Tetapi kamu telah “menanam” benih kemunculan masalah-masalah baru.
15.   Sebagaimana kita bisa hidup di zaman sekarang, maka kita mesti juga memikirkan generasi mendatang : Sebuah lingkungan yang bersih & sehat adalah layaknya seperti sebuah hak azasi. Merupakan tanggung jawab kita kepada generasi penerus untuk menjaga bumi, melestarikan lingkungan.
16.   Menaklukkan diri sendiri adalah lebih baik dari pada menaklukkan ribuan musuh dalam peperangan.
17.   Ada sebuah istilah di tibet, “Musibah seharusnya dimanfaatkan menjadi sumber kekuatan”. Tidak perduli seberapa kesulitan yang kita alami, betapa menyakitkkan keadaan tersebut, Jika kita sampai kehilangan harapan, maka itu benar-benar merupakan musibah.
18.   Makhluk apa pun yang berdiam di bumi, apakah manusia atau hewan, masing-masing memiliki peran, masing-masing dengan jalannya sendiri, untuk memperindah dan memperkaya dunia ini.
19.   Sebuah sendok tidak dapat merasakan nikmatnya makanan. Sebagaimana orang bodoh yang tidak mengerti kebijaksanaan seseorang, walapun dia bergaul dengan orang suci.
20.   Dalam memperjuangkan kebebasan, Kebenaran adalah satu-satunya senjata / pegangan.


Semoga Bermanfaat

 _/\_

Semoga Semua Makhluk Berbahagia
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 31 August 2009, 03:01:50 PM
Ketika seseorang mulai memunculkan gagasan "ah, gue praktisi, ente teoris" atau "saya cuma tau teori, anda kan praktisi", nah saat itu sebenarnya sudah muncul keangkuhan, yang dipicu oleh sikap membanding2kan, sebagai buddhis hendaknya kita berusaha untuk menghindari ini.

Ya, memunculkan ide "saya seorang intelektual/teoritis" atau "saya adalah orang lapangan/praktisi" sebetulnya adalah tidak tepat. Ketika seseorang memiliki pemahaman, maka pemahaman itu dengan sendirinya terintegrasi dengan dirinya. Ia tidak lagi melihat sesuatu hal sebagai teori atau praktik, tapi ia memandang hal tersebut sebagaimana adanya saja. Seperti perumpamaan tukang pikul sebelumnya, ia tidak melihat teori2 fisika dan hafalan biologi ketika memikul, juga tidak melihat dirinya sebagai praktisi biofisika yang benar. Ia hanya mengetahui sebagaimana adanya pikulan itu saja.

Sederhana sebetulnya, hanya sering dibuat ruwet.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 31 August 2009, 03:35:10 PM
Ada seorang mahasiswa yang setiap harinya diisi dengan belajar berbagai disiplin ilmu. Pelajaran yang sangat disukainya adalah tentang berburu kijang. Begitu tekunnya sang mahasiswa sampai-sampai dia mengetahui untuk menembak seekor kijang jarak idealnya adalah x meter. Bagian tubuh yang paling tepat untuk dijadikan sasaran tembak pun diketahui di luar kepala. Intinya sang mahasiswa mengetahui apapun yang terbaik untuk berburu kijang. Tetapi dia jarang sekali (baca:malas) berlatih untuk menembak binatang buruannya.

Di sisi lain ada seorang pemburu. Setiap hari kerjanya hanya berburu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hewan yang paling sering diburu adalah kijang. Selain dagingnya enak dimakan, tanduk dan kulitnya dapat dijual dengan harga tinggi. Berbeda dengan mahasiswa, sang pemburu tak pernah belajar cara berburu yang terbaik untuk berburu seekor kijang. Semua ilmu diperolehnya melalui pengalaman. Bukan di bangku kuliah ataupun dalam pelatihan berburu kijang.

Suatu ketika ada seseorang yang meminta sang mahasiswa bertarung dengan pemburu untuk menangkap seekor kijang dalam keadaan hidup. Sang mahasiswa tahu betul apa yang harus dilakukan. Dia tahu semua prosedur yang memungkinkannya untuk dapat menangkap kijang dengan cara yang sangat efektif. Sang pemburu tak mau kalah, dengan berbekal segudang pengalaman, dia pun maju untuk bertanding dengan mahasiswa tadi.

Pertandingan dimulai. Sesuai dugaan, sang pemburu berhasil menangkap kijang tetapi kijang sudah dalam keadaan mati dengan banyak luka tembak di sekujur tubuhnya. Akhirnya tidak ada yang memenangan pertandingan.

Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik cerita di atas. Dalam kasus pertama sebenarnya sang mahasiswa begitu paham apa yang seharusnya ia lakukan untuk menangkap kijang itu dalam keadaan hidup. Tetapi ia tak bisa menembak. Kurang latihan adalah salah satu yang menjadi penghalangnya. Sedangkan pada kasus kedua, walaupun sang pemburu berhasil menangkap kijang, tetapi kijang sudah tidak dalam keadaan hidup lagi. Sang pemburu hanya mengandalkan pengalamannya saja. Tentu saja kita tidak dapat mengatakan bahwa belajar dari pengalaman itu tidak baik, tetapi bukanlah lebih bijaksana jika kita belajar dari pengalaman orang lain. Jika kita telah belajar dari pengalaman orang lain -bisa dengan bertanya ataupun membaca di buku- kita tidak perlu untuk selalu memulai pekerjaan dari tangga ke-nol.

Jika saja sang mahasiswa sering berlatih tentu dia akan dapat memenangkan pertandingan; dan jika saja sang pemburu mau belajar selain dari pengalamannya sendiri, tentu ia akan berburu dengan lebih efektif dan dapat menangkap kijang dalam keadaan hidup.

Cerita ini sekilas mirip dengan yang saya bicarakan, namun sebetulnya sedikit berbeda.
Dalam topik saya, yang dibahas adalah tentang pemahaman akan sesuatu.
Dalam cerita ini, ada dua hal yang dibahas, yaitu keahlian dan pemahaman. Keahlian didapat dengan latihan. Seperti menembak, berlari dan sebagainya, jika dilakukan berulang-ulang, maka tubuh melakukan penyesuaian terhadap aktifitas tersebut, sehingga seseorang menjadi mahir.
Pemahaman didapatkan dari penghayatan dan kematangan pikiran. Seseorang bisa mengulang rumus fisika sehari 1000x, namun belum tentu memahaminya. Mahasiswa dalam kisah ini memiliki pemahaman, namun tanpa keahlian. Ibaratnya software bagus, hardware jelek. Si pemburu sebaliknya memiliki keahlian, namun tidak punya pemahaman, ibarat hardware bagus, softwarenya ngaco.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 31 August 2009, 03:51:09 PM
[...]
Mereka yang menganggap bahwa praktek-praktek moral merupakan yang tertinggi akan mengatakan: 'Kesucian datang melalui pengendalian diri. Setelah menjalani praktek kesucian, marilah kita berlatih di dalamnya. Dari situlah kesucian muncul.' Tetapi mereka yang disebut ahli itu pun masih tetap terbenam dalam Samsara.
Jadi ingat thread sebelah tentang relevansi moral dan kesucian. :)


Quote
Setelah melenyapkan kekotoran-kekotoran batin yang dahulu ada, dan tidak menyebabkan timbulnya yang baru serta tidak menjadi pengikut, dia terbebas dari pandangan-pandangan dogmatis. Karena bijaksana, dia tidak melekat pada dunia, serta tidak menyalahkan diri sendiri.

Dengan mengatasi semua teori yang berdasar pada apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana yang telah menaruh bebannya dan telah terbebas. Dia tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak menginginkan apa pun juga -- demikianlah Sang Buddha berkata.

Juga tentang pandangan-pandangan tentang kebenaran yang "dikhayalkan" secara intelektual berdasarkan apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, sebagai kebenaran sejati. Semakin seorang mempertahankan pandangannya, maka semakin jauh dirinya dari kedamaian.

Inilah Buddha-Dhamma.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 31 August 2009, 03:59:12 PM
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?

mo nanya dunk om,  bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 31 August 2009, 04:28:24 PM
Bro Kainyn,
Apakah ini berarti

Inti yang terdalam pemahaman antara teori dan praktek Buddha Dhamma adalah MENYATU ATAU MELEBUR. Inilah Kebenaran Sejati.

Dalam pemahamannya berarti kebenaran sejati tersebut, jika boleh diperumpamakan adalah :

Misalnya ;

Contoh ungkapan dalam Taoism dikatakan “Tao adalah alam semesta, Alam semesta adalah Tao. Menpertanyakan Tao berarti anda belum memahami Tao.

Dalam cerita silat, pernah dikatakan bahwa   untuk menjadi ahli dalam ilmu pedang berarti kita harus sampai taraf “Badan adalah Pedang, dan Pedang adalah Badan”, yang artinya setiap gerakan merupakan kesatuan dengan antara badan dan pedang. Gerakan pedang yang baik tanpa memikirkan jurus berikutnya, berarti telah mencapai taraf tersebut.

Dalam Dhamma berarti setiap pikiran, ucapan dan perbuatan adalah Dhamma, jika telah menyatu dan melebur Dhamma. Maka seperti perumpanaan Rakit akan ditinggalkan, jika telah mencapai seberang, berarti kita telah melebur bersama rakit/Dhamma,.sehingga rakit tersebut ditinggalkan.

Benarkah pendapat ini ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 31 August 2009, 04:32:59 PM
[...]
Mereka yang menganggap bahwa praktek-praktek moral merupakan yang tertinggi akan mengatakan: 'Kesucian datang melalui pengendalian diri. Setelah menjalani praktek kesucian, marilah kita berlatih di dalamnya. Dari situlah kesucian muncul.' Tetapi mereka yang disebut ahli itu pun masih tetap terbenam dalam Samsara.
Jadi ingat thread sebelah tentang relevansi moral dan kesucian. :)


Quote
Setelah melenyapkan kekotoran-kekotoran batin yang dahulu ada, dan tidak menyebabkan timbulnya yang baru serta tidak menjadi pengikut, dia terbebas dari pandangan-pandangan dogmatis. Karena bijaksana, dia tidak melekat pada dunia, serta tidak menyalahkan diri sendiri.

Dengan mengatasi semua teori yang berdasar pada apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, dia menjadi orang bijaksana yang telah menaruh bebannya dan telah terbebas. Dia tidak berkhayal dalam pandangan-pandangan, tidak menginginkan apa pun juga -- demikianlah Sang Buddha berkata.

Juga tentang pandangan-pandangan tentang kebenaran yang "dikhayalkan" secara intelektual berdasarkan apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan, sebagai kebenaran sejati. Semakin seorang mempertahankan pandangannya, maka semakin jauh dirinya dari kedamaian.

Inilah Buddha-Dhamma.

bukan khayalan koq, memang pada mulanya kebenaran secara intelektual berdasarkan apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan harus dijalankan, nah setelah berjalan dengan sendirinya semoga saja kebijaksanaan dapat muncul ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 31 August 2009, 04:34:30 PM
Bro Kainyn,
Apakah ini berarti

Inti yang terdalam pemahaman antara teori dan praktek Buddha Dhamma adalah MENYATU ATAU MELEBUR. Inilah Kebenaran Sejati.

Dalam pemahamannya berarti kebenaran sejati tersebut, jika boleh diperumpamakan adalah :

Misalnya ;

Contoh ungkapan dalam Taoism dikatakan “Tao adalah alam semesta, Alam semesta adalah Tao. Menpertanyakan Tao berarti anda belum memahami Tao.

Dalam cerita silat, pernah dikatakan bahwa   untuk menjadi ahli dalam ilmu pedang berarti kita harus sampai taraf “Badan adalah Pedang, dan Pedang adalah Badan”, yang artinya setiap gerakan merupakan kesatuan dengan antara badan dan pedang. Gerakan pedang yang baik tanpa memikirkan jurus berikutnya, berarti telah mencapai taraf tersebut.

Dalam Dhamma berarti setiap pikiran, ucapan dan perbuatan adalah Dhamma, jika telah menyatu dan melebur Dhamma. Maka seperti perumpanaan Rakit akan ditinggalkan, jika telah mencapai seberang, berarti kita telah melebur bersama rakit/Dhamma,.sehingga rakit tersebut ditinggalkan.

Benarkah pendapat ini ?

intinya
1. menerima
2. memberi
3. melepas
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 31 August 2009, 09:23:50 PM
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?

mo nanya dunk om,  bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?

Bagaimana menjelaskan anatta kepada anak SD ?

trims sebelumnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 31 August 2009, 09:27:05 PM
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?

mo nanya dunk om,  bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?

Bagaimana menjelaskan anatta kepada anak SD ?

trims sebelumnya

pakai ilustrasi batang pohon pisang atau bawang
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 31 August 2009, 09:36:27 PM
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?

mo nanya dunk om,  bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?

Bagaimana menjelaskan anatta kepada anak SD ?

trims sebelumnya

pakai ilustrasi batang pohon pisang atau bawang

maksudnya gak ada "inti" nya? trus gimana bro lagi bro Indra ?

mohon bantuannya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 31 August 2009, 09:49:44 PM
yg manakah batang pisang itu? si anak nunjuk "ini", then kupas satu per satu sambil tanya "mana? mana?" sampe habis
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 31 August 2009, 10:12:44 PM
anak SD sekarang dah pintar semua,dulu2 bisa dibohong-bohongin, seakarang mah terbalik...

gw pernah di undang acara ultah anak SD...waktu itu ada orang jagoan sulap datang main,
salah satu show nya gw ingat waktu itu pesulap itu gerakan tangan cepat menghilangkan kain kuning di tangannya..

anak-anak dulu mungkin cuma tepuk tangan sambil kagum, kalau sekarang mah waktu itu tukang sulap nya langsung di keroyok sama semua anak-anak disitu...salah satu anak bahkan menemukan kain itu dibelakang kantong si pesulap..

gw mah geleng2 kepala liat....kasihan pesulap nya...hahaha..tapi begitulah anak sekarang, ga gampang di tipu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Hendra Susanto on 31 August 2009, 10:54:11 PM
belum waktunya menjelaskan anatta kepada anak2

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 09:10:12 AM
ini thread, anda bertanya, kainyn menjawab ya?

mo nanya dunk om,  bagaimana cara untuk yakin pada Anatta?

Bukan "anda bertanya, kainyn menjawab". Lebih tepatnya tempat mengobrol bebas dengan saya.

Buat saya, ajaran Buddha bukan untuk diyakini, namun untuk dimengerti. Dan untuk mengerti tidaklah perlu memelajari sesuatu ajaran yang sifatnya filosofis tingkat tinggi, susah dimengerti, tetapi pelajari sesuatu yang nyata. Di sini, ajaran "anatta" adalah filosofi sulit yang penjelasannya rumit ke mana-mana. Namun "atta" adalah sesuatu yang dekat, yang nyata di pikiran kita.

Dengan begitu, cara yang saya anjurkan adalah: jangan fokus di "anatta", tapi pelajarilah "atta" secara terus menerus! Jika itu dilakukan terus menerus, suatu saat pasti kita akan melihat apa itu "atta", dan dengan sendirinya, kita tahu apa itu "anatta".

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 09:39:06 AM
Bro Kainyn,
Apakah ini berarti

Inti yang terdalam pemahaman antara teori dan praktek Buddha Dhamma adalah MENYATU ATAU MELEBUR. Inilah Kebenaran Sejati.

Dalam pemahamannya berarti kebenaran sejati tersebut, jika boleh diperumpamakan adalah :

Misalnya ;

Contoh ungkapan dalam Taoism dikatakan “Tao adalah alam semesta, Alam semesta adalah Tao. Menpertanyakan Tao berarti anda belum memahami Tao.

Dalam cerita silat, pernah dikatakan bahwa   untuk menjadi ahli dalam ilmu pedang berarti kita harus sampai taraf “Badan adalah Pedang, dan Pedang adalah Badan”, yang artinya setiap gerakan merupakan kesatuan dengan antara badan dan pedang. Gerakan pedang yang baik tanpa memikirkan jurus berikutnya, berarti telah mencapai taraf tersebut.

Ya, betul. Maksud saya begitu.
Jika kita belajar bela diri, misalnya, sebetulnya yang dibentuk adalah keseluruhan fisik dan mental. Apakah seorang ahli bela diri yang tidak bertarung disebut "pendekar teoritis"? Apakah bajingan jalanan yang setiap hari berantem bisa dibilang "pendekar praktis"?

Seorang dikatakan mengerti bela diri bukan karena sudah pakai sabuk hitam atau tubuhnya kapalan penuh luka, namun karena ia mengerti integrasi hukum alam dan penerapannya dalam kehidupan, termasuk bela diri. Misalnya seorang Judoka memiliki banyak pengertian tentang titik berat, mekanisme tuas-pengungkit. Dalam hal sederhana seperti mengangkat karung beras pun, dia tahu bagaimana dan dari mana ia harus mulai mengangkat, walaupun ia tidak sedang mengingat-ingat Judo-nya. Apakah ia bisa dikatakan sedang praktek atau berteori Judo? Menurut saya tidak.


Quote
Dalam Dhamma berarti setiap pikiran, ucapan dan perbuatan adalah Dhamma, jika telah menyatu dan melebur Dhamma. Maka seperti perumpanaan Rakit akan ditinggalkan, jika telah mencapai seberang, berarti kita telah melebur bersama rakit/Dhamma,.sehingga rakit tersebut ditinggalkan.

Benarkah pendapat ini ?

Kalau bagi seorang yang belajar, kita menggunakan rakit (pandangan) sebagai panduan, kemudian rakit itu harus ditinggalkan untuk mencapai pembebasan, karena memang bukan pandangan yang membawa kita pada kebebasan, namun melepaskan pandanganlah yang membawa kita pada kebebasan. Dengan demikian, ada masanya bahkan rakit pun akan ditinggalkan.

Namun berbeda bagi seorang ariya, di mana sudah tidak ada lagi rakit yang digunakan atau rakit yang ditinggalkan. Mereka telah terbebas dari belenggu pikiran demikian.

Pendapat bro CHANGE benar atau tidak, saya tidak tahu karena saya bukan Buddha. Tetapi menurut pendapat pribadi saya, memang benar.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 10:02:18 AM
bukan khayalan koq, memang pada mulanya kebenaran secara intelektual berdasarkan apa yang dilihat, didengar atau dipikirkan harus dijalankan, nah setelah berjalan dengan sendirinya semoga saja kebijaksanaan dapat muncul ;D

Mulanya memang seseorang mengerti secara intelektual mengenai apa yang dilihat, didengar, atau dipikirkan. Kemudian dengan kebijaksanaan, seseorang akan mengerti bahwa pengertian intelektual tersebut hanyalah terbatas dan tergantung pada apa yang dilihat, didengar, atau dipikirkan. Menyadari hal itu, maka ia melihat semuanya hanyalah pikiran khayal yang suñña. Maka ia tidak lagi melekat pada landasan apa pun. Di situlah dikatakan ada pembebasan sejati.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 01 September 2009, 10:05:39 AM
kalau saya pribadi merasa penjelasan tentang karakteristik anatta itu tidaklah terlalu rumit atau membutuhkan filosofi tinggi. Hanya saja ketika di coba di elaborasi dengna pemikiran2x "kreatif" jadilah makin ribet dan jauh dari intinya. Strategi Sang Buddha itu Anatta langsung, tidak perlu mencari2x atta yg bahkan memang tidak ada.

dalam Anatta-Lakkhana Sutta (http://dhammacitta.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html), menurut saya sangat pendek tapi "nendang" sekali. Sisanya tinggal "melihat" apa isi penjelasan karakteristik tersebut saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 10:25:13 AM
kalau saya pribadi merasa penjelasan tentang karakteristik anatta itu tidaklah terlalu rumit atau membutuhkan filosofi tinggi. Hanya saja ketika di coba di elaborasi dengna pemikiran2x "kreatif" jadilah makin ribet dan jauh dari intinya. Strategi Sang Buddha itu Anatta langsung, tidak perlu mencari2x atta yg bahkan memang tidak ada.

dalam Anatta-Lakkhana Sutta (http://dhammacitta.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html), menurut saya sangat pendek tapi "nendang" sekali. Sisanya tinggal "melihat" apa isi penjelasan karakteristik tersebut saja.


Kalau Suhu (atau siapapun) mau, cobalah eksperimen diskusi lintas kepercayaan dengan menunjukkan sutta tersebut. Atau setidaknya mintalah mereka membaca dan tanyakan pendapatnya. Nanti kita bahas apa yang terjadi.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 01 September 2009, 10:45:22 AM
bro kainyn_ktho,

bolehkah sharing bagaimana mengajarkan anatta pada anak SD ?

thanks sebelumnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 01 September 2009, 11:08:54 AM
kalau saya pribadi merasa penjelasan tentang karakteristik anatta itu tidaklah terlalu rumit atau membutuhkan filosofi tinggi. Hanya saja ketika di coba di elaborasi dengna pemikiran2x "kreatif" jadilah makin ribet dan jauh dari intinya. Strategi Sang Buddha itu Anatta langsung, tidak perlu mencari2x atta yg bahkan memang tidak ada.

dalam Anatta-Lakkhana Sutta (http://dhammacitta.org/tipitaka/sn/sn22/sn22.059.than.html), menurut saya sangat pendek tapi "nendang" sekali. Sisanya tinggal "melihat" apa isi penjelasan karakteristik tersebut saja.


Kalau Suhu (atau siapapun) mau, cobalah eksperimen diskusi lintas kepercayaan dengan menunjukkan sutta tersebut. Atau setidaknya mintalah mereka membaca dan tanyakan pendapatnya. Nanti kita bahas apa yang terjadi.


Sudah saya pernah coba koq beberapa kali. Yah tidak berakhir dengn mereka langsung menerima karena yah memang masih belum siap saja. Yah hal serupa sama seperti ketika antara melepas tuhan, buat saya sendiri yg dari kecil telah terkondisi membutuhkan waktu lama sampai saya benar2x lepas.

Nah demikian juga ketika umat sebelah ketika diberikan hal ini. Dari sudut pandang tentu juga berbeda, bahkan bertentangan. Tentu tidak bisa diterima demikian langsung. Tergantung kondisi mental si penerimanya.

Tapi IMO saya tetap lebih setuju dengan strategi Anatta - Bukan diri, dibanding mencoba mencari si Atta yg nota bene tidak ada.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 11:29:54 AM
bro kainyn_ktho,

bolehkah sharing bagaimana mengajarkan anatta pada anak SD ?

thanks sebelumnya.

Kalau saya pribadi tidak menganut satu cara pengajaran ampuh buat semua orang. Yang terutama adalah mengerti pola pikir orang tersebut dan mengajak berpikir, BUKAN mengisi dengan doktrin.

Juga dengan anak SD, kita perlu tahu bagaimana ia berpikir. Bagaimana ia memandang dirinya itu ada, kita mengarahkan ia berpikir sendiri. Misalnya ketika kita tanya "siapakah kamu?" dan dijawab "saya adalah pemimpin kelas ini". Lalu kita tanya "jika kamu masuk kelas lain, siapakah kamu?" mungkin akan dijawab lain lagi. Demikianlah kita mengajarkan bahwa jawaban dari "siapa aku?" ini adalah karena suatu kondisi. Kita tidak perlu mengajarkan khanda yang belum tentu mereka paham, tidak perlu hafalkan "sabbe dhamma anatta", tetapi mengajak mereka terus berpikir kritis tentang "siapa aku".
Itulah cara yang saya pilih, ketimbang menunjukkan Anatta-Lakkhana Sutta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 11:37:37 AM
Sudah saya pernah coba koq beberapa kali. Yah tidak berakhir dengn mereka langsung menerima karena yah memang masih belum siap saja. Yah hal serupa sama seperti ketika antara melepas tuhan, buat saya sendiri yg dari kecil telah terkondisi membutuhkan waktu lama sampai saya benar2x lepas.

Nah demikian juga ketika umat sebelah ketika diberikan hal ini. Dari sudut pandang tentu juga berbeda, bahkan bertentangan. Tentu tidak bisa diterima demikian langsung. Tergantung kondisi mental si penerimanya.

Tapi IMO saya tetap lebih setuju dengan strategi Anatta - Bukan diri, dibanding mencoba mencari si Atta yg nota bene tidak ada.

Jika seseorang memiliki kotak kosong yang ia percaya berisi sebuah harta yang paling berharga di alam semesta, kita tidak bisa memaksanya meninggalkan kotak tersebut atau membujuknya dengan harta lain yang baginya kurang berharga dibanding isi kotak itu. Pertama-tama, buatlah ia membuka kotak tersebut untuk melihat isinya. 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 01 September 2009, 12:18:24 PM
bro kainyn_ktho,

bolehkah sharing bagaimana mengajarkan anatta pada anak SD ?

thanks sebelumnya.

Kalau saya pribadi tidak menganut satu cara pengajaran ampuh buat semua orang. Yang terutama adalah mengerti pola pikir orang tersebut dan mengajak berpikir, BUKAN mengisi dengan doktrin.

Juga dengan anak SD, kita perlu tahu bagaimana ia berpikir. Bagaimana ia memandang dirinya itu ada, kita mengarahkan ia berpikir sendiri. Misalnya ketika kita tanya "siapakah kamu?" dan dijawab "saya adalah pemimpin kelas ini". Lalu kita tanya "jika kamu masuk kelas lain, siapakah kamu?" mungkin akan dijawab lain lagi. Demikianlah kita mengajarkan bahwa jawaban dari "siapa aku?" ini adalah karena suatu kondisi. Kita tidak perlu mengajarkan khanda yang belum tentu mereka paham, tidak perlu hafalkan "sabbe dhamma anatta", tetapi mengajak mereka terus berpikir kritis tentang "siapa aku".
Itulah cara yang saya pilih, ketimbang menunjukkan Anatta-Lakkhana Sutta.


thanks bro,... rasanya gak gampang mengajarkan anak SD deh...

bisa lebih lanjut menjelaskan....

"sesuatu yg tidak memuaskan" bukan diri (kita) ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tula on 01 September 2009, 12:27:17 PM
Jika seseorang memiliki kotak kosong yang ia percaya berisi sebuah harta yang paling berharga di alam semesta, kita tidak bisa memaksanya meninggalkan kotak tersebut atau membujuknya dengan harta lain yang baginya kurang berharga dibanding isi kotak itu. Pertama-tama, buatlah ia membuka kotak tersebut untuk melihat isinya. 


 _/\_
terima kasih atas kalimat ini ....  :) mengena banget ....

tp gimana ya kalo orang yg memiliki kotak itu yg di kasi tau .. ini kotak pandora, jgn di buka, nanti kamu akan celaka karena menguak hal yg tidak pantas kamu ketahui (rahasia ilahi ... ilahi pake main rahasia .... wuiw)
bukannya itu lah kekuasaan makluk super itu, tidak boleh di pertanyakan ? termasuk kenapa ada jiwa, karena di ciptakan oleh super human tsb, dan ga boleh di pertanyakan (kotak pandora) ...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 01 September 2009, 04:21:28 PM
imo sih dari sudut pandang anatta-lakkhana sutta, itu membuka kotak. Mencoba melihat apakah komponen2x itu si Atta. Jadi dicoba mengupas satu-persatu, membuka satu-persatu melihat apakah itu adalah diri. Bukankah begitu?

Mungkin hanya bahasa saja yg berbeda dalam penyampaian?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Kelana on 01 September 2009, 05:49:56 PM
Mengenai anatta, saya lebih cenderung mendahuluinya dengan observasi terhadap anicca, ketidakkekalan, perubahan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 06:52:47 PM
thanks bro,... rasanya gak gampang mengajarkan anak SD deh...

bisa lebih lanjut menjelaskan....

"sesuatu yg tidak memuaskan" bukan diri (kita) ?
Sama2. Memang bukan hanya "gak gampang", tetapi sulit sekali.

Kalau menurut saya, atta (sejati) dipandang sebagai tetap, kekal, sempurna. Jika sesuatu adalah berubah, tidak tetap, dan akan hancur, maka tidak cocok disebut sebagai diri. Untuk apa pula kita bersandar pada sesuatu yang tidak kekal demikian?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 07:08:49 PM

 _/\_
terima kasih atas kalimat ini ....  :) mengena banget ....

tp gimana ya kalo orang yg memiliki kotak itu yg di kasi tau .. ini kotak pandora, jgn di buka, nanti kamu akan celaka karena menguak hal yg tidak pantas kamu ketahui (rahasia ilahi ... ilahi pake main rahasia .... wuiw)
bukannya itu lah kekuasaan makluk super itu, tidak boleh di pertanyakan ? termasuk kenapa ada jiwa, karena di ciptakan oleh super human tsb, dan ga boleh di pertanyakan (kotak pandora) ...

 _/\_ Sama-sama.

Dalam hal ini, seseorang harus memilih antara "percaya" dan "mengetahui". Jika seseorang memilih percaya tanpa mengetahui, berarti kita tidak bisa berbuat lebih jauh dari situ. Membagikan sesuatu yang kita tahu adalah perlu, tapi menghargai kepercayaan orang lain adalah lebih penting lagi.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 07:23:44 PM
imo sih dari sudut pandang anatta-lakkhana sutta, itu membuka kotak. Mencoba melihat apakah komponen2x itu si Atta. Jadi dicoba mengupas satu-persatu, membuka satu-persatu melihat apakah itu adalah diri. Bukankah begitu?

Mungkin hanya bahasa saja yg berbeda dalam penyampaian?

Membahas tentang Anatta-Lakkhana Sutta menurut saya seperti menawarkan harta lain, bukan membuka kotak yang digenggam orang tersebut. Mengapa demikian? Karena sebelum bahasan Anatta-Lakkhana Sutta bisa jalan, kita harus terlebih dahulu menyetujui asumsi mahluk memang hanya terdiri dari 5 khanda, dan lima khanda memang berubah. Namun apakah seorang yang percaya tentang roh akan menyetujui asumsi 5 khanda tersebut? Saya rasa tidak. Mau tidak mau, ia akan membahas tentang "khanda ke 6", yang adalah "isi" dari kotak kosong tersebut.

Juga mengenai ketidak-kekalan, penganut pandangan (semi-)eternalisme akan mengatakan, "sekarang memang tidak kekal dan fana, tetapi nanti akan kekal." Jadi menurut saya, mengarahkan orang yang paling efektif, dimulai dari membahas sudut pandangnya, apa yang dipercayainya, bukan sudut pandang kita, apa yang kita percaya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 September 2009, 07:31:44 PM
Mengenai anatta, saya lebih cenderung mendahuluinya dengan observasi terhadap anicca, ketidakkekalan, perubahan.

Ya, jika bicara tentang anatta, memang sudah tidak bisa terpisah dengan anicca. Di sini maksud saya adalah bagaimana cara kita menyampaikannya agar seseorang bisa menerima. Dari pada memberi tahu tentang anicca dan anatta (memberikan suatu paham baru dari kita, yang mungkin asing bagi pendengar), saya lebih cenderung mengajak seseorang berpikir: menurutnya apakah yang nicca dan apakah yang disebut atta? (membahas suatu paham yang ia genggam, namun mungkin belum pernah diselidiki lebih jauh.)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 01 September 2009, 08:11:57 PM
justru disaat itulah paling tepat momentnya utk menguak apa "isi" itu. Memang pendekatan cara kita berbeda.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tula on 01 September 2009, 08:25:48 PM

 _/\_
terima kasih atas kalimat ini ....  :) mengena banget ....

tp gimana ya kalo orang yg memiliki kotak itu yg di kasi tau .. ini kotak pandora, jgn di buka, nanti kamu akan celaka karena menguak hal yg tidak pantas kamu ketahui (rahasia ilahi ... ilahi pake main rahasia .... wuiw)
bukannya itu lah kekuasaan makluk super itu, tidak boleh di pertanyakan ? termasuk kenapa ada jiwa, karena di ciptakan oleh super human tsb, dan ga boleh di pertanyakan (kotak pandora) ...

 _/\_ Sama-sama.

Dalam hal ini, seseorang harus memilih antara "percaya" dan "mengetahui". Jika seseorang memilih percaya tanpa mengetahui, berarti kita tidak bisa berbuat lebih jauh dari situ. Membagikan sesuatu yang kita tahu adalah perlu, tapi menghargai kepercayaan orang lain adalah lebih penting lagi.



bukannya kalo seseorang uda memilih ajaran tetangga tersebut, secara tidak langsung uda menutup option nya utk mengetahui ?, karena mereka kan cuman di tuntun utk percaya, jgn cari2 tau isi dari kotak pandora ini .. gue maha kuasa, gue maha tau, maha maha, elo elo nurut aja .. kalo kaga .. silakan jojing di neraka ... ?

kalo mereka bisa berusaha mencari tau sendiri isi kotak pandora nya itu ... bukannya sejak awal uda bertanya2 ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 01 September 2009, 09:00:54 PM
Apa yang dilakukan Sang Buddha untuk mengajarkan Rahula yang masih kecil?

Sang Buddha tidak membabarkan Anatta-lakkhana Sutta ataupun mengarahkan pikiran Rahula untuk memeriksa siapa dirinya sendiri. Yang dilakukan oleh Sang Buddha adalah menekankan pentingnya moralitas dan kedisiplinan. Oleh karena itu, YA. Rahula dikenal sebagai siswa yang unggul dalam kebaikannya.

Barulah ketika Rahula berusia 20 tahun, Sang Buddha melihat bahwasannya pikiran Rahula sudah matang, kemudian Sang Buddha mengajaknya masuk ke dalam hutan. Di sana Sang Buddha membabarkan Culla-rahulovada Sutta, yaitu nasihat kecil untuk Rahula. Sutta ini berbicara mengenai analisa 6 landasan indria, beserta mekanismenya masing-masing yang terdiri dari perasaan, pencerapan, bentukan pikiran dan kesadaran; yang pada hakikatnya adalah tidak kekal, membawa penderitaan dan tidak layak disebut sebagai "aku" atau "milikku". Setelah nasihat ini selesai dibabarkan, YA. Rahula pun mencapai tingkat Arahat.

Kita tidak perlu repot-repot mengajarkan apa yang belum bisa dipahami oleh anak kecil yang belum cukup matang pikirannya. Anicca dan dukkha lebih mudah dipahami secara awam. Tapi tidak demikian dengan anatta. Yang perlu kita lakukan adalah mengajarkan pada anak kecil untuk tidak bersifat egois dan sombong. Jauhkan anak kecil dari perilaku amoral. Dan tekankan mereka untuk tidak tumbuh bersama dengan sifat-sifat yang penuh dengan keakuan. Selanjutnya, biarkan ia tumbuh dewasa dengan masa kanak-kanak yang penuh cinta dan kasih sayang. Sehingga kelak ketika ia cukup dewasa, ia bisa memahami sendiri apa itu anatta.

Menyadari anatta butuh keberanian besar untuk mengakui bahwa "diri ini memang bukan aku". Tugas kita yang lebih tua ini adalah membimbingnya untuk menghimpun keberanian, agar kelak ia bisa membuka sendiri fakta dunia bahwa "aku" ini tidak pernah ada.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Kelana on 01 September 2009, 09:49:56 PM
Mengenai anatta, saya lebih cenderung mendahuluinya dengan observasi terhadap anicca, ketidakkekalan, perubahan.

Ya, jika bicara tentang anatta, memang sudah tidak bisa terpisah dengan anicca. Di sini maksud saya adalah bagaimana cara kita menyampaikannya agar seseorang bisa menerima. Dari pada memberi tahu tentang anicca dan anatta (memberikan suatu paham baru dari kita, yang mungkin asing bagi pendengar), saya lebih cenderung mengajak seseorang berpikir: menurutnya apakah yang nicca dan apakah yang disebut atta? (membahas suatu paham yang ia genggam, namun mungkin belum pernah diselidiki lebih jauh.)



Benar Sdr. Kainyn, oleh karena itu saya katakan observasi (pengamatan secara cermat) akan anicca, tentu saja dengan istilah yang membumi.
Agama tetangga juga mengajarkan ketidakkekalan, tapi hanya sebatas penampilan luar, observasi terhadap batin bisa dikatakan jarang disentuh. Why? Saya rasa pola pikir manusia itu mempengaruhi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 01 September 2009, 11:47:02 PM
Mengenai anatta, saya lebih cenderung mendahuluinya dengan observasi terhadap anicca, ketidakkekalan, perubahan.

Ya, jika bicara tentang anatta, memang sudah tidak bisa terpisah dengan anicca. Di sini maksud saya adalah bagaimana cara kita menyampaikannya agar seseorang bisa menerima. Dari pada memberi tahu tentang anicca dan anatta (memberikan suatu paham baru dari kita, yang mungkin asing bagi pendengar), saya lebih cenderung mengajak seseorang berpikir: menurutnya apakah yang nicca dan apakah yang disebut atta? (membahas suatu paham yang ia genggam, namun mungkin belum pernah diselidiki lebih jauh.)


Jika berangkat dari nicca dan atta pun, toh pd akhirnya bisa jadi orang tsb tetap berpegang pd kesimpulan akhir sbgmn yg ada dlm agamanya, yaitu ada yg nicca dan atta sejati, Tuhan atau apapun istilahnya. Karena yg benar2 berani bersikap terbuka dan mengritisi pemikiran agamanya sendiri bisa dihitung jari, kebanyakan tidak akan berani, takut oleh ancaman yg ada dalam doktrin agamanya.
Kalau sudah gini? End of story.

Dalam beberapa sutta yg saya lihat, misalnya Potthapada, pertanyaan2 Vacchagotta, pembahasan2 demikian justru tidak dianggap penting oleh Sang Buddha, apalagi jika berangkat dari posisi yg berbeda, doktrin yg berbeda. Drpd menjawab, Sang Buddha lebih memilih diam. Krn berangkat dr pandangan yg berbeda, maka jawaban akhirnya pun akan berbeda, apalagi bila jawaban itu telah dipatok, yaitu ada sesuatu yg kekal dan merupakan atta sejati. Sebenarnya pendapat saya ini sudah Bro Kain tuliskan utk Suhu yg saya quote di bwh ini.

imo sih dari sudut pandang anatta-lakkhana sutta, itu membuka kotak. Mencoba melihat apakah komponen2x itu si Atta. Jadi dicoba mengupas satu-persatu, membuka satu-persatu melihat apakah itu adalah diri. Bukankah begitu?

Mungkin hanya bahasa saja yg berbeda dalam penyampaian?

Membahas tentang Anatta-Lakkhana Sutta menurut saya seperti menawarkan harta lain, bukan membuka kotak yang digenggam orang tersebut. Mengapa demikian? Karena sebelum bahasan Anatta-Lakkhana Sutta bisa jalan, kita harus terlebih dahulu menyetujui asumsi mahluk memang hanya terdiri dari 5 khanda, dan lima khanda memang berubah. Namun apakah seorang yang percaya tentang roh akan menyetujui asumsi 5 khanda tersebut? Saya rasa tidak. Mau tidak mau, ia akan membahas tentang "khanda ke 6", yang adalah "isi" dari kotak kosong tersebut.

Juga mengenai ketidak-kekalan, penganut pandangan (semi-)eternalisme akan mengatakan, "sekarang memang tidak kekal dan fana, tetapi nanti akan kekal." Jadi menurut saya, mengarahkan orang yang paling efektif, dimulai dari membahas sudut pandangnya, apa yang dipercayainya, bukan sudut pandang kita, apa yang kita percaya.


Tanggapan soal ini, saya liat sih pendekatan awalnya beda, tp ujung2nya mengarah pada muara yg sama jg. Yg satu langsung dg Anatta, yg 1 lagi dg atta dulu utk menunjukkan yg bukan atta. Situational aja kali yah tergantung orangnya..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 02 September 2009, 10:58:39 AM

 _/\_
terima kasih atas kalimat ini ....  :) mengena banget ....

tp gimana ya kalo orang yg memiliki kotak itu yg di kasi tau .. ini kotak pandora, jgn di buka, nanti kamu akan celaka karena menguak hal yg tidak pantas kamu ketahui (rahasia ilahi ... ilahi pake main rahasia .... wuiw)
bukannya itu lah kekuasaan makluk super itu, tidak boleh di pertanyakan ? termasuk kenapa ada jiwa, karena di ciptakan oleh super human tsb, dan ga boleh di pertanyakan (kotak pandora) ...

 _/\_ Sama-sama.

Dalam hal ini, seseorang harus memilih antara "percaya" dan "mengetahui". Jika seseorang memilih percaya tanpa mengetahui, berarti kita tidak bisa berbuat lebih jauh dari situ. Membagikan sesuatu yang kita tahu adalah perlu, tapi menghargai kepercayaan orang lain adalah lebih penting lagi.



bukannya kalo seseorang uda memilih ajaran tetangga tersebut, secara tidak langsung uda menutup option nya utk mengetahui ?, karena mereka kan cuman di tuntun utk percaya, jgn cari2 tau isi dari kotak pandora ini .. gue maha kuasa, gue maha tau, maha maha, elo elo nurut aja .. kalo kaga .. silakan jojing di neraka ... ?

kalo mereka bisa berusaha mencari tau sendiri isi kotak pandora nya itu ... bukannya sejak awal uda bertanya2 ?

Sekedar sharing cerita mengenai pikiran yang terbuka dan tertutup, sehingga kenapa lawan bicara tidak dapat atau dapat  menerima pandangan kita.

AIR KEHIDUPAN

Alkisah, ada tiga orang sedang mencari air kehidupan, untuk meminumnya dan hidup selamanya.

Orang yang pertama adalah seorang ksatria. Ia menduga bahwa air kehidupan ini akan sangat kuat, sangat deras, sehingga ia pergi mencari dengan pakaian perang lengkap dengan senjatanya. Ia percaya bahwa ia akan mampu menaklukkannya dengan begitu.

Orang kedua adalah seorang penyihir. Ia menduga bahwa air kehidupan adalah air yang sangat penuh dengan sihir, mungkin akan berupa air berputer atau air yang menyembur dari bumi seperti geyser. Maka kemudian ia berbekal dengan jubahnya yang panjang bergambar bintang, dia berharap dengan itu ia bisa menguasai air itu.

Orang ketiga adalah pedagang. Ia menduga air itu akan berupa pancuran permata bahkan berlian, tentunya akan sangat mahal. Dia memenuhi kantong dan tasnya dengan uang dan berharap bisa membeli air itu.

Ketika ketiga orang itu mencapai tujuan mereka, mereka menemukan sumber air itu tidak seperti yang mereka duga.

Tiga seganas yang dikira sehingga dibutuhkan tenaga besar untuk menaklukkannya

Tidak berupa pusaran air yang harus disihir.

Tidak juga berupa pancuran permata dan berlian yang harus diperoleh dengan menggunakan uang.

SUMBER AIR ITU HANYA PANCURAN KECIL, GRATIS, TETAPI SESEORANG HARUS BERLUTUT UNTUK DAPAT MEMINUMNYA.

Hal ini membuat para pengelana itu kebingungan.

Sang ksatria berpakaian lengkap ( bathin yang tertutup ), sehingga tak mungkin baginya untuk berlutut ( keegoan ).

Sang penyihir memakai jubah panjang ( bathin yang tertutup ), dan jubah itu tidak boleh tersentuh tanah karena akan menhilangkan kesaktiannya ( keegoan ).

Sang pedagang pun tidak dapat berbuat lebih dari menunduk ( keegoan ) karena apabila ia berlutut semua uang logamnya akan berjatuhan, keluar dari sudut dan celah baju dan tasnya ( bathin yang tertutup ).

Semua orang berpakaian lengkap dengan segala bawaan mereka, sehingga tak mungkin bagi mereka untuk meminum air itu.

Hanya ada satu jalan yaitu dengan mencopot semua yang menempel di badan mereka ( membuka kotak pikiran sendiri dengan tulus ).

Sang satria menaruh baju perangnya, sipenyihir menaruh jubahnya, dan si pedagang melepas bajunya dengan penuh uang.

Mereka semua telanjang ( bathin dan pikiran yang terbuka lebar atas kemauan sendiri ) dan dengan begitu mereka bisa berlutut dan menikmati segar, dingin, dan nikmatnya air kehidupan mereka.

Pesan yang ingin disampaikan :

Kadang-kadang kita sendiri juga selalu mengunci pikiran kita untuk tidak menerima sesuatu pendapat atau ide yang baik. Demikian juga halnya lawan bicara kita. Jika kita sendiri dapat mengetahui dan menyadari kenapa dan mengapa diri sendiri juga melakukan hal ini ( bathin yang tertutup ), maka kita akan lebih bijaksana dalam menghadapi lawan bicara yang berbeda. Walaupun saya pribadi sangat setuju bahwa ajaran SANG GURU AGUNG adalah luar biasa. Suatu nasehat atau pendapat akan lebih lancar jika pikiran atau bathin lawan bicara terbuka atas kemauan sendiri bukan paksaan.

Semoga Bermanfaat
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 02 September 2009, 11:03:46 AM
IMO

Untuk menyampaikan suatu pandangan, yang sangat penting diperhatikan adalah CARA MENYAMPAIKAN, karena tidak semua orang menpunyai sifat dan karakteristik yang sama, misalnya anak kecil, umat yang terdokrin dengan agama K, lelaki dan perempuan, dll. Saya pribadi berpendapat bahwa untuk menyampaikan suatu pandangan yang baik, maka yang harus dilakukan adalah kita sendiri yang harus BELAJAR BAGAIMANA CARA MENYAMPAIKAN, yang artinya mengasah kemampuan diri sendiri dalam berkomunikasi, sehingga tidak menyalahkan lawan bicara yang tidak menerima. Kita tidak terpaku pada SATU CARA , tetapi konsentrasi pada BERBAGAI CARA untuk menyampaikan pandangan.

Ungkapan “ Banyak Jalan Menuju Ke Roma yang artinya Banyak Cara Menyampaikan Pandangan”

Bagaimana menyampaikan suatu maksud yang baik, maka saya berprinsip seperti AIR, karena :

AIR selalu mengalir kearah rendah ( kerendahan hati ) sehingga selalu bermuara ke laut ( membesar karena tidak sombong ),
AIR selalu menyesuaikan diri dengan wadahnya ( tempatnya ), sehingga diterima dimanapun karena fleksible.
AIR dapat memberikan manfaat sesuai fungsinya dimana ia ditempatkan.
AIR selalu berada pada posisi seimbang dimanapun ia berada.
DLL

KISAH BESI DAN AIR

Ada dua benda yang bersahabat karib yaitu besi dan air. Besi seringkali berbangga akan dirinya sendiri. Ia sering menyombong kepada sahabatnya : "Lihat ini aku, kuat dan keras. Aku tidak seperti kamu yang lemah dan lunak" Air hanya diam saja mendengar tingkah sahabatnya.

Suatu hari besi menantang air berlomba untuk menembus suatu gua dan mengatasi segala rintangan yang ada di sana . Aturannya : "Barang siapa dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan menang" Besi dan air pun mulai berlomba : Rintangan pertama mereka ialah mereka harus melalui penjaga gua itu yaitu batu-batu yang keras dan tajam. Besi mulai menunjukkan kekuatannya, Ia menabrakkan dirinya ke batu-batuan itu.Tetapi karena kekerasannya batu-batuan itu mulai runtuh menyerangnya dan besipun banyak terluka di sana sini karena melawan batu-batuan itu.

Air melakukan tugasnya ia menetes sedikit demi sedikit untuk melawan bebatuan itu, ia lembut mengikis bebatuan itu sehingga bebatuan lainnya tidak terganggu dan tidak menyadarinya, ia hanya melubangi seperlunya saja untuk lewat tetapi tidak merusak lainnya.

Score air dan besi 1 : 0 untuk rintangan ini. Rintangan kedua mereka ialah mereka harus melalui berbagai celah sempit untuk tiba di dasar gua. Besi merasakan kekuatannya, ia mengubah dirinya menjadi mata bor yang kuat dan ia mulai berputar untuk menembus celah-celah itu. Tetapi celah-celah itu ternyata cukup sulit untuk ditembus, semakin keras ia berputar memang celah itu semakin hancur tetapi iapun juga semakin terluka.

Air dengan santainya merubah dirinya mengikuti bentuk celah-celah itu. Ia mengalir santai dan karena bentuknya yang bisa berubah ia bisa dengan leluasa tanpa terluka mengalir melalui celah-celah itu dan tiba dengan cepat didasar gua. Score air dan besi 2 : 0

Rintangan ketiga ialah mereka harus dapat melewati suatu lembah dan tiba di luar gua besi kesulitan mengatasi rintangan ini, ia tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya ia berkata kepada air : "Score kita 2 : 0, aku akan mengakui kehebatanmu jika engkau dapat melalui rintangan terakhir ini !"

Airpun segera menggenang sebenarnya ia pun kesulitan mengatasi rintangan ini,tetapi kemudian ia membiarkan sang matahari membantunya untuk menguap. Ia terbang dengan ringan menjadi awan, kemudian ia meminta bantuan angin untuk meniupnya kesebarang dan mengembunkannya. Maka air turun sebagai hujan. Air menang telak atas besi dengan score 3 : 0.

Jadikanlah hidupmu seperti air. Ia dapat memperoleh sesuatu dengan kelembutannya tanpa merusak dan mengacaukan karena dengan sedikit demi sedikit ia bergerak tetapi ia dapat menembus bebatuan yang keras. Ingat hati dan PIKIRAN seseorang hanya dapat dibuka dengan kelembutan dan cinta kasih bukan dengan paksaan dan kekerasan. Kekerasan hanya menimbulkan dendam dan paksaan hanya menimbulkan keinginan untuk membela diri. Air selalu merubah bentuknya sesuai dengan lingkungannya, ia flexibel dan tidak kaku karena itu ia dapat diterima oleh lingkungannya dan tidak ada yang bertentangan dengan dia. Air tidak putus asa, Ia tetap mengalir meskipun melalui celah terkecil sekalipun. Ia tidak putus asa. Dan sekalipun air mengalami suatu kemustahilan untuk mengatasi masalahnya, padanya masih dikaruniakan kemampuan untuk merubah diri menjadi uap 

Semoga Bermanfaat
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 02 September 2009, 11:28:38 AM
Kemampuan kita untuk menyampaikan suatu maksud yang baik sangat tergantung kepada kemampuan kita dalam mengolah komunikasi tersebut, tentu sebagai umat Buddhis selalu bangga dengan kemampuan komunikasi yang dilakukan oleh YM Bhikkhu Sri Pannavaro, YM Bhikkhu Uttamo, dan beberapa Bhikkhu lainnya. Dhamma yang sangat rumit yang disampaikan dengan sederhana  adalah begitu mudah diserap, dicerna dan dimengerti. Kadang-kadang tidak kita sadari perhatian kita tersedot ke dalam komunikasi tersebut. Ini adalah cara yang sangat luar biasa. Dan saya pribadi melihat berbagai cara penyampaian yang dilakukan untuk topik yang lebih kurang sama. Dan begitu luas pengetahuan yang dimiliki oleh YM Bhikkhu tersebut ( bukan hanya dhamma yang dikuasai )

Kadang kala kita menyalahkan orang lain yang tidak setuju dengan penyampaian kita, tetapi kita tidak pernah instropeksi diri apakah cara penyampaian yang kita lakukan tersebut telah sesuai dengan karakteristik lawan bicara. Memang ini butuh waktu untuk belajar, belajar dan belajar untuk lebih baik dalam berkomunikasi. Karena saya pribadi sangat menyadari kelemahan diri sendiri dalam hal komunikasi yang dapat diterima lawan bicara. Saya hanya berbagi dan harap jangan ditanggapi secara negatif, jika ada menanggapi secara negatif maka saya minta maaf duluan. :)

Ini hanya sekedar sharing cerita dalam hal FLEKSIBLE mengenai cara menyampaikan sesuatu maksud. 

Tiga Saat Fajar dan Empat Saat Senja
Oleh: Lie Zi

Di negara Song terdapat seorang pria yang memelihara monyet. Ia menyayangi monyet-monyet itu dan memelihara dalam jumlah banyak.

Ia dapat memahami monyet-monyet itu dan monyet-monyet itu dapat memahami dirinya. Ia mengurangi jumlah makanan untuk keluarganya demi memuaskan kebutuhan monyet-monyet itu.

Beberapa lama kemudian keluarganya tidak memiliki cukup makanan, maka ia ingin membatasi makanan untuk monyet-monyet itu. Namun ia cemas apabila monyet-monyet itu tidak patuh lagi kepadanya. Sebelum melakukan hal itu ia bermain tipu muslihat dengan para monyet itu.

“Jika saya memberi tiga makanan pada pagi hari dan empat pada sore hari, apakah itu cukup?”, tanya pria itu kepada para monyet.

Semua monyet sangat marah.

Setelah beberapa saat dia berkata, “Jika saya memberi kamu empat makanan pada pagi hari dan tiga pada sore hari, apakah itu cukup?”

Semua monyet berbaring di lantai, sangat gembira atas usul sang pria.

Apakah makna dari cerita ini?

Dalam menyampaikan suatu maksud, yang dibutuhkan adalah FLEKSIBLE, tidak terpaku pada satu cara saja, karena setiap manusia menpunyai karakteristik yang berbeda dalam menyerap pandangan tersebut.

Semoga Bermanfaat

 _/\_

Semoga Semua Makhluk Berbahagia
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 September 2009, 12:12:43 PM
bukannya kalo seseorang uda memilih ajaran tetangga tersebut, secara tidak langsung uda menutup option nya utk mengetahui ?, karena mereka kan cuman di tuntun utk percaya, jgn cari2 tau isi dari kotak pandora ini .. gue maha kuasa, gue maha tau, maha maha, elo elo nurut aja .. kalo kaga .. silakan jojing di neraka ... ?

kalo mereka bisa berusaha mencari tau sendiri isi kotak pandora nya itu ... bukannya sejak awal uda bertanya2 ?

Seseorang memilih untuk tidak mau tahu itu bukan hanya agama "tetangga" saja, Buddhis pun bisa terjebak dalam sikap yang sama.
Sikap menutup diri disebabkan karena suatu kondisi. Jika kita peka, kadang kita bisa mengertinya dan mengubahnya. Salah satunya adalah cara berdiskusi. Tidak usah jauh-jauh, saya rasa banyak Buddhis di sini yang antipati jika dikenalkan agama tertentu karena ditakut-takuti tentang neraka atau pun agamanya dijelek-jelekkan. Mungkin umat lain juga ada yang mengalami hal serupa dari pendekatan umat Buddhis.

Bagi saya, jika kita mengerti kondisi seseorang, sebuah diskusi yang baik bisa diusahakan. Namun kalau kita tidak/belum tahu, maka biarkan saja semua orang berbahagia dengan apa yang dipercayainya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 September 2009, 01:47:54 PM
Benar Sdr. Kainyn, oleh karena itu saya katakan observasi (pengamatan secara cermat) akan anicca, tentu saja dengan istilah yang membumi.
Agama tetangga juga mengajarkan ketidakkekalan, tapi hanya sebatas penampilan luar, observasi terhadap batin bisa dikatakan jarang disentuh. Why? Saya rasa pola pikir manusia itu mempengaruhi.

Ya, saya rasa bahkan pola pikir seseoranglah yang paling mempengaruhi observasinya, bukan agama atau kepercayaannya.
Mengapa observasi bathin jarang disentuh, menurut saya, adalah karena pembatasan kepada diri sendiri saja. Misalnya ide-ide seperti "pikiran manusia yang kerdil dan terbatas, tidak akan mengerti Tuhan", atau contoh sikap seperti menetapkan cloning sebagai "playing God". Dengan demikian, bathinnya sendiri sudah membatasi agar observasi tidak dilakukan melewati batas-batas tertentu. Jika observasi dilakukan sampai pada tahap "menyalahi agama", maka mekanisme defensif pun terjadi. Dan sesungguh-sungguhnya, observasi bathin itu paling "bahaya" bagi iman.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 September 2009, 02:21:19 PM
Jika berangkat dari nicca dan atta pun, toh pd akhirnya bisa jadi orang tsb tetap berpegang pd kesimpulan akhir sbgmn yg ada dlm agamanya, yaitu ada yg nicca dan atta sejati, Tuhan atau apapun istilahnya. Karena yg benar2 berani bersikap terbuka dan mengritisi pemikiran agamanya sendiri bisa dihitung jari, kebanyakan tidak akan berani, takut oleh ancaman yg ada dalam doktrin agamanya.
Kalau sudah gini? End of story.
Betul sekali. Itulah sebabnya Buddha yang memiliki kemampuan mengajar pun, pada zamannya, tidak mampu membuat semua orang melihat kebenaran. Makanya dalam berdiskusi, yang dicari adalah diskusi yang baik, walaupun pendapat boleh berbeda. Jika dari awal tujuan kita sudah "mengubah pandangan orang lain", kebanyakan hasilnya adalah kekecewaan saja.


Quote
Dalam beberapa sutta yg saya lihat, misalnya Potthapada, pertanyaan2 Vacchagotta, pembahasan2 demikian justru tidak dianggap penting oleh Sang Buddha, apalagi jika berangkat dari posisi yg berbeda, doktrin yg berbeda. Drpd menjawab, Sang Buddha lebih memilih diam. Krn berangkat dr pandangan yg berbeda, maka jawaban akhirnya pun akan berbeda, apalagi bila jawaban itu telah dipatok, yaitu ada sesuatu yg kekal dan merupakan atta sejati. Sebenarnya pendapat saya ini sudah Bro Kain tuliskan utk Suhu yg saya quote di bwh ini.

Membahas tentang Anatta-Lakkhana Sutta menurut saya seperti menawarkan harta lain, bukan membuka kotak yang digenggam orang tersebut. Mengapa demikian? Karena sebelum bahasan Anatta-Lakkhana Sutta bisa jalan, kita harus terlebih dahulu menyetujui asumsi mahluk memang hanya terdiri dari 5 khanda, dan lima khanda memang berubah. Namun apakah seorang yang percaya tentang roh akan menyetujui asumsi 5 khanda tersebut? Saya rasa tidak. Mau tidak mau, ia akan membahas tentang "khanda ke 6", yang adalah "isi" dari kotak kosong tersebut.


Juga mengenai ketidak-kekalan, penganut pandangan (semi-)eternalisme akan mengatakan, "sekarang memang tidak kekal dan fana, tetapi nanti akan kekal." Jadi menurut saya, mengarahkan orang yang paling efektif, dimulai dari membahas sudut pandangnya, apa yang dipercayainya, bukan sudut pandang kita, apa yang kita percaya.
Potthapada Sutta menunjukkan sesuatu yang sangat menarik. Di sini Potthapada membahas tentang "atta", namun Buddha tidak membahas "anatta", namun melayani bahasan dengan baik, sampai pada akhirnya Potthapada sendiri melihat inkonsistensi dalam pandangan "atta" tersebut. Inilah yang selalu saya maksud "membahas dari sudut pandang orang lain, bukan sudut pandang sendiri".


Quote
Tanggapan soal ini, saya liat sih pendekatan awalnya beda, tp ujung2nya mengarah pada muara yg sama jg. Yg satu langsung dg Anatta, yg 1 lagi dg atta dulu utk menunjukkan yg bukan atta. Situational aja kali yah tergantung orangnya..
Ya, ketika seseorang dengan pandangan "anatta" membicarakan "atta", sebetulnya yang dibahas adalah "anatta" juga. Contohnya yang terjadi dalam Potthapada Sutta. Demikian pula sebaliknya jika seseorang dengan pandangan "atta" membicarakan "anatta", sebetulnya tetap bahasannya adalah "atta". Contohnya... mungkin kita semua pernah mengalaminya. :)

Lalu tentang apa yang dibahas, tentu saja situasional. Jika seseorang sudah tidak melekat pada paham "atta", maka tentu saja kita tidak perlu membahas apa itu "atta" dan bisa mengenalkannya langsung pada "anatta". Jika seseorang sudah tidak terbebani oleh "harta" dalam kotak kosong, maka kita tidak perlu membahas lagi kotak kosong tersebut. Berikan langsung "harta" yang kita miliki.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 September 2009, 02:26:43 PM
justru disaat itulah paling tepat momentnya utk menguak apa "isi" itu. Memang pendekatan cara kita berbeda.

Momen yang tepat bagi seseorang, bisa berbeda dengan orang lainnya. Metode dasar pendekatan kita memang berbeda, tapi untuk situasi tertentu, dengan orang tertentu, bisa juga sama.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 03 September 2009, 08:26:28 PM
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..

Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 September 2009, 10:53:12 AM
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..

Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D

Kalau menurut saya, untuk satu kasus, harus melihat semua kemungkinan untuk mencari solusi yang terbaik.
Apakah benar semua jenis pengobatan tidak mampu didapatkan, termasuk pengobatan alternatif? Berapakah kemungkinan sembuhnya? Jika kemungkinan sembuhnya besar, maka bisa dikatakan ia punya potensi untuk membayar (hutang) biaya pengobatannya di kemudian hari. Kalau kemungkinannya juga tidak jelas, maka yang ada hanya menambah kesusahan keluarga yang ditinggalkan. Namun ada juga keluarga yang tetap memilih berkorban demi anggota keluarganya. Mereka mau menerima dengan ikhlas kalaupun mereka harus kehilangan semuanya. Maka untuk hal ini, ada baiknya ia bicarakan dengan keluarganya.

Bagi saya, jika seseorang telah mencoba sebaik mungkin semua hal yang dia tahu, gagal dan kemudian memilih bersikap pasif, itu bukan pasrah, tapi "tahu diri". Jika seseorang tidak mencoba apa-apa, tidak mengusahakan sesuatu, lalu menunggu dan berharap perubahan terjadi dengan sendirinya, itu namanya pasrah.

Mengenai pandangan salah akan "anicca" itu, sangat susah untuk mengetahui jalan pikiran orang lain. Biasanya saya hanya bisa lihat dari bentuk luarnya saja, misalnya seseorang yang (menurut saya) mengerti "anicca" tidak melekat pada satu keadaan baik, namun menghargai keadaan baik tersebut; tidak menjadi putus asa karena keadaan buruk, namun terus berjuang membuatnya lebih baik.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 04 September 2009, 11:29:07 AM
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..

Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D

Ada jenis pengobatan alternatif yang tidak memerlukan biaya didalam menjalaninya hanya butuh tekad dan niat saja...yaitu dengan meditasi kesehatan...

timbulnya penyakit juga karena adanya kondisi yang mendukung timbulnya penyakit tersebut.... karena terkondisi maka penyakit tersebut akan berubah.... jd kalo kondisinya kita ubah mungkin saja akan membuat penyakit tersebut berubah menjadi sembuh....

Kadang kita pasrah terhadap kondisi yang ada tetapi apakah benar bathin kita benar2 pasrah??....


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 04 September 2009, 11:37:39 AM
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..

Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D

bro coba total diet aja...
tidak mengkonsumsi segala jenis makanan yg tidak alami (diproses oleh pabrik).

wheatgrass tuh katanya baik utk melawan kanker.

dan bisa dicatat apa yg dimakan, serta hasilnya, mana tau bisa buat eBook utk dijual?
kan lumayan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 04 September 2009, 08:04:47 PM
Jadi masalahnya "apakah penyakitnya masih mungkin disembuhkan?" dan berunding dgn keluarga..
Tapi,ini penyakit kanker lho om.. ;D

Ok,thank atas sharenya
 [at] wiliam & johan
thank juga
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 05 September 2009, 10:01:46 AM
Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..

Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D

Kalau menurut saya, untuk satu kasus, harus melihat semua kemungkinan untuk mencari solusi yang terbaik.
Apakah benar semua jenis pengobatan tidak mampu didapatkan, termasuk pengobatan alternatif? Berapakah kemungkinan sembuhnya? Jika kemungkinan sembuhnya besar, maka bisa dikatakan ia punya potensi untuk membayar (hutang) biaya pengobatannya di kemudian hari. Kalau kemungkinannya juga tidak jelas, maka yang ada hanya menambah kesusahan keluarga yang ditinggalkan. Namun ada juga keluarga yang tetap memilih berkorban demi anggota keluarganya. Mereka mau menerima dengan ikhlas kalaupun mereka harus kehilangan semuanya. Maka untuk hal ini, ada baiknya ia bicarakan dengan keluarganya.

Bagi saya, jika seseorang telah mencoba sebaik mungkin semua hal yang dia tahu, gagal dan kemudian memilih bersikap pasif, itu bukan pasrah, tapi "tahu diri". Jika seseorang tidak mencoba apa-apa, tidak mengusahakan sesuatu, lalu menunggu dan berharap perubahan terjadi dengan sendirinya, itu namanya pasrah.

Mengenai pandangan salah akan "anicca" itu, sangat susah untuk mengetahui jalan pikiran orang lain. Biasanya saya hanya bisa lihat dari bentuk luarnya saja, misalnya seseorang yang (menurut saya) mengerti "anicca" tidak melekat pada satu keadaan baik, namun menghargai keadaan baik tersebut; tidak menjadi putus asa karena keadaan buruk, namun terus berjuang membuatnya lebih baik.  

Om kainy,mau minta pendapat om soal ini..
Contoh kasus,
ada seorang buddhis yg tergolong muda(remaja),mengidap penyakit kanker,latarbelakangnya dari keluarga sederhana,
dgn alasan tidak ingin membebani keluarganya dgn biaya pengobatan yg relatif mahal dan alasan memahami anicca,dukha,dll..
Dia memilih untuk tidak melakukan upaya pengobatan apapun..
Dan menunggu ajalnya(dalam artian pasrah)..

Bagaimama menurut om,apakah orang tersebut terjerat dalam pandangan salah?
Thank ;D

Ada jenis pengobatan alternatif yang tidak memerlukan biaya didalam menjalaninya hanya butuh tekad dan niat saja...yaitu dengan meditasi kesehatan...

timbulnya penyakit juga karena adanya kondisi yang mendukung timbulnya penyakit tersebut.... karena terkondisi maka penyakit tersebut akan berubah.... jd kalo kondisinya kita ubah mungkin saja akan membuat penyakit tersebut berubah menjadi sembuh....

Kadang kita pasrah terhadap kondisi yang ada tetapi apakah benar bathin kita benar2 pasrah??....




Saya sangat setuju dengan yang bold merah, dalam beberapa kasus yang saya dengar, kenal, lihat dan berdasarkan pengalaman sendiri, bahwa pilihan hidup yang paling tepat adalah SEMANGAT, tidak pasrah negative. Dalam beberapa kasus secara medis telah divonis mati oleh dokter ahli ( luar negeri ), dan sampai sekarang mereka masih hidup.

Seperti pasien penderita kanker ( tinggal beberapa bulan), lupus ( tinggal beberapa bulan ), infeksi radang batang otak ( tinggal 12 hari ), leukemia ( tinggal beberapa minggu ), dan kasus yang punya hubungan dengan saya pribadi ( tidak etis diceritakan ). Bahkan penderita AIDS Thailand ( yang saya dengar ) dll.

Karena telah mengenal Buddha Dhamma, maka saddha ( keyakinan ) terhadap ajaran sang GURU AGUNG, mereka ( pasien sendiri jika mampu dan keluarga ) melaksanakan KEBAJIKAN-KEBAJIKAN baik yang materi maupun non materi untuk meng KONDISI kan ke arah yang lebih baik misalnya meditasi, meditasi kesehatan, pelepasan makhluk/fangsen, berdana ke Bhikkhu Sangha, Membaca paritta untuk orang sakit,  Membantu kegiatan amal, menjalankan sila dengan baik ( tidak membunuh walaupun nyamuk, dll ), menjaga pola makan dan pola hidup, memancarkan metta kepada diri sendiri dan makhluk yang menderita, dll.

Apapun kondisinya, setiap orang mewarisi kamma nya sendiri.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 September 2009, 10:17:32 AM
Jadi masalahnya "apakah penyakitnya masih mungkin disembuhkan?" dan berunding dgn keluarga..
Tapi,ini penyakit kanker lho om.. ;D

Kanker juga bisa sembuh kok, biasanya tergantung jenis dan tingkat penyebarannya (stage). Saya pernah baca tentang testimoni seseorang menghilangkan kanker sampai ke akarnya dengan konsumsi ekstrak jamur Maitake (Grifola frondosa) dan Shiitake (Lentinula edodes), yang tentu saja jauh lebih murah daripada operasi.  
Seringkali seseorang "kalah" terhadap penyakit (termasuk kanker) bukan hanya karena masalah biaya, namun kurangnya pengetahuan dan semangat berjuang untuk tetap hidup melawan penyakit.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 05 September 2009, 05:27:34 PM
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.

setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 23 September 2009, 10:12:54 PM
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.

setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.

Yg terjadi di dunia hanyalah process yg berkelanjutan....(perubahan dari 31 alam) tanpa berhenti (sebelum nibana).

Nah apakah org yg telah mengerti ajaran Buddha akan sedih maupun nangis bila penyakitnya gak bakal sembuh (nunggu kematian)?

Bukankah fisik yg ditinggalan, tetapi kesadarannya melanjutkan ke alam lain? Jadi perlukah sedih, nangis, bahkan menyesal ?

mohon masukannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 23 September 2009, 10:20:23 PM
Kalau orang sakit (termasuk penyakit parah juga) dan dia memilih tidak mengobatin dgn pertimbangan memakan biaya yg sangat besar.

Apakah tindakan tsb juga dikategorikan bunuh diri?
apakah syarat2 yg harus dipenuhin disebut bunuh diri?

apakah dgn bunuh diri, dikehidupan akan datang org tsb
akan mendptkan tubuh yg sehat (dgn asumsi dia memiliki karma utk lahir menjadi manusia lagi) ?

thanks sebelumnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 23 September 2009, 11:21:40 PM
Kalau orang sakit (termasuk penyakit parah juga) dan dia memilih tidak mengobatin dgn pertimbangan memakan biaya yg sangat besar.

Apakah tindakan tsb juga dikategorikan bunuh diri?
apakah syarat2 yg harus dipenuhin disebut bunuh diri?

apakah dgn bunuh diri, dikehidupan akan datang org tsb
akan mendptkan tubuh yg sehat (dgn asumsi dia memiliki karma utk lahir menjadi manusia lagi) ?

thanks sebelumnya.

Saya coba memberi pendapat ya.

Kalo dia sakit berat, dia punya uang tapi tidak digunakan karena 'pelit' (makan bny biaya), akhirnya memutuskan utk mati saja
= Ya itu bunuh diri. Dia punya niat utk mati saja (bunuh diri saja)

Kalo dia sakit berat, tidak punya uang dan sudah berusaha mati-matian tp tetap tidak dpt uang utk obat,
= bukan bunuh diri. Dia tidak punya niat utk bunuh diri

Bunuh diri adalah tindakan yang dilakukan seseorang utk lari dari penderitaannya saat ini dan berharap kehidupan selanjutnya bisa lebih baik. Padahal bila seseorang meninggal dalam keadaan pikiran kacau dan menderita, masih bisakah dikatakan kelahirannya akan lebih baik? tentu tidak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 23 September 2009, 11:26:50 PM
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.

setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.

Yg terjadi di dunia hanyalah process yg berkelanjutan....(perubahan dari 31 alam) tanpa berhenti (sebelum nibana).

Nah apakah org yg telah mengerti ajaran Buddha akan sedih maupun nangis bila penyakitnya gak bakal sembuh (nunggu kematian)?

Bukankah fisik yg ditinggalan, tetapi kesadarannya melanjutkan ke alam lain? Jadi perlukah sedih, nangis, bahkan menyesal ?

mohon masukannya.

Saya mau nimbrung sedikit...

Dalam Buddhadhamma, tidak dikatakan bahwa kesadaran yang berpindah pada kehidupan berikutnya. Kesadaran itu muncul dan timbul karena sebab, dan kesadaran tidak bisa berpindah. Kesadaran hanya akan muncul lagi ketika faktor-faktor pendukungnya masih ada.

Semoga bisa meluruskan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 24 September 2009, 12:59:03 AM
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.

setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.

Yg terjadi di dunia hanyalah process yg berkelanjutan....(perubahan dari 31 alam) tanpa berhenti (sebelum nibana).

Nah apakah org yg telah mengerti ajaran Buddha akan sedih maupun nangis bila penyakitnya gak bakal sembuh (nunggu kematian)?

Bukankah fisik yg ditinggalan, tetapi kesadarannya melanjutkan ke alam lain? Jadi perlukah sedih, nangis, bahkan menyesal ?

mohon masukannya.

Saya mau nimbrung sedikit...

Dalam Buddhadhamma, tidak dikatakan bahwa kesadaran yang berpindah pada kehidupan berikutnya. Kesadaran itu muncul dan timbul karena sebab, dan kesadaran tidak bisa berpindah. Kesadaran hanya akan muncul lagi ketika faktor-faktor pendukungnya masih ada.

Semoga bisa meluruskan.

bro Upasaka,

maksudnya berpindah dari fisiknya yg udah rusak.

apakah begitu (artinya berpindah) ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 28 September 2009, 12:29:36 AM
kebetulan ada sepupu saya kena kanker stadium akhir, terakhir saya tahu dokter sudah angkat tangan...yg saya dengar paling lama 1-2 bulan juga.

setahu sy tidak ada yang selamat dari kanker jika sudah stadium akhir, karena telah menyebar ke seluruh tubuh....
memang semangat juga butuh tetapi bukan berarti semangat = sembuh
tapi kita realistis saja...walau semangat 45 tetap saja tubuh ini demikian.

Yg terjadi di dunia hanyalah process yg berkelanjutan....(perubahan dari 31 alam) tanpa berhenti (sebelum nibana).

Nah apakah org yg telah mengerti ajaran Buddha akan sedih maupun nangis bila penyakitnya gak bakal sembuh (nunggu kematian)?

Bukankah fisik yg ditinggalan, tetapi kesadarannya melanjutkan ke alam lain? Jadi perlukah sedih, nangis, bahkan menyesal ?

mohon masukannya.

Saya mau nimbrung sedikit...

Dalam Buddhadhamma, tidak dikatakan bahwa kesadaran yang berpindah pada kehidupan berikutnya. Kesadaran itu muncul dan timbul karena sebab, dan kesadaran tidak bisa berpindah. Kesadaran hanya akan muncul lagi ketika faktor-faktor pendukungnya masih ada.

Semoga bisa meluruskan.

bro Upasaka,

maksudnya berpindah dari fisiknya yg udah rusak.

apakah begitu (artinya berpindah) ?

Fisik jasmani terbentuk dan terurai. Demikian juga kesadaran; timbul dan tenggelam.
Namun karena nafsu keinginan dan kemelekatan masih ada, proses penerusan kehidupan akan tetap berlangsung. Dengan bentuk fisik jasmani yang baru, kesadaran yang baru, .... maka paduan ini disebut sebagai makhluk yang baru. Namun makhluk ini terlahir karena ada makhluk (orang) lalu yang pernah mati dalam keadaan masih memiliki kotoran batin. Makhluk yang baru terlahir ini bukanlah makhluk lalu itu; namun ia sebenarnya juga bukan makhuk yang lain.

Demikianlah proses ini berlangsung.

Seperti air di teko yang menguap menjadi uap air, dan kelak mengembun kembali menjadi air. Air embun itu bukanlah air di teko; namun air embun itu bukan air yang lain juga dari air di teko itu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 29 September 2009, 09:20:01 AM
Thanks bro Upasaka atas penjelasannya.
(masalah itu memang agak rumit dehhh)


Bila memiliki karma baik utk menjadi manusia di kehidupan yg akan datang,
berarti meninggalkan fisik yg rusak pada kehidupan ini adalah bukan
sesuatu yg menyedihkan ataupun DIPERTAHANKAN.

Spt Mobil baru kan naiknya lebih wueenak.

Apakah Begitu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: HokBen on 01 October 2009, 10:28:06 AM
Kalau yang saya baca, Buddha tidak menerimanya karena memang seorang Buddha tidak menerima makanan karena berkhotbah (seorang Bhikkhu menerima dana makanan, bukan upah dari pembabaran dhamma). Makanan itu kemudian dibuang karena semua makanan yang sudah diniati untuk diberikan kepada seorang Samma Sambuddha, tidak akan bisa dimakan oleh siapa pun (sama seperti kasus makanan yang diberikan pandai-besi Cunda khusus untuk Buddha).

tadinya mau langsung gw reply di topik ybs, tapi jadinya OOT (itu kan thread ttg "pasal menghina & avici"...

bro Kai,
untuk yang dibold itu, boleh tau alasannya?
kadang kita mempersembahkan makanan di altar Buddha (ada niat untuk dipersembahkan ke Sang Buddha) apa itujuga tidak bisa/tidak boleh dikonsumsi?

thanks
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 October 2009, 01:06:18 PM
Kalau yang saya baca, Buddha tidak menerimanya karena memang seorang Buddha tidak menerima makanan karena berkhotbah (seorang Bhikkhu menerima dana makanan, bukan upah dari pembabaran dhamma). Makanan itu kemudian dibuang karena semua makanan yang sudah diniati untuk diberikan kepada seorang Samma Sambuddha, tidak akan bisa dimakan oleh siapa pun (sama seperti kasus makanan yang diberikan pandai-besi Cunda khusus untuk Buddha).

tadinya mau langsung gw reply di topik ybs, tapi jadinya OOT (itu kan thread ttg "pasal menghina & avici"...

bro Kai,
untuk yang dibold itu, boleh tau alasannya?
kadang kita mempersembahkan makanan di altar Buddha (ada niat untuk dipersembahkan ke Sang Buddha) apa itujuga tidak bisa/tidak boleh dikonsumsi?

thanks

Kalau menurut saya, itu berbeda. Makanan yang ditaruh di altar hanyalah sebagai simbol. Kita tahu bahwa Buddha sudah Parinibbana dan tidak akan makan makanan tersebut. Itu hanya merupakan sebuah penghormatan saja. Konon kalau makanan sudah ditetapkan untuk dimakan oleh Buddha, para deva menambahkan makanan deva ke dalam makanan tersebut. Makanan kasar dimakan oleh manusia, tetapi tidak bisa dimakan deva; sebaliknya makanan halus deva tidak bisa dimakan oleh manusia. Campuran keduanya hanya bisa dimakan oleh seorang Samma Sambuddha.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: HokBen on 01 October 2009, 01:12:56 PM
Kalau yang saya baca, Buddha tidak menerimanya karena memang seorang Buddha tidak menerima makanan karena berkhotbah (seorang Bhikkhu menerima dana makanan, bukan upah dari pembabaran dhamma). Makanan itu kemudian dibuang karena semua makanan yang sudah diniati untuk diberikan kepada seorang Samma Sambuddha, tidak akan bisa dimakan oleh siapa pun (sama seperti kasus makanan yang diberikan pandai-besi Cunda khusus untuk Buddha).

tadinya mau langsung gw reply di topik ybs, tapi jadinya OOT (itu kan thread ttg "pasal menghina & avici"...

bro Kai,
untuk yang dibold itu, boleh tau alasannya?
kadang kita mempersembahkan makanan di altar Buddha (ada niat untuk dipersembahkan ke Sang Buddha) apa itujuga tidak bisa/tidak boleh dikonsumsi?

thanks

Kalau menurut saya, itu berbeda. Makanan yang ditaruh di altar hanyalah sebagai simbol. Kita tahu bahwa Buddha sudah Parinibbana dan tidak akan makan makanan tersebut. Itu hanya merupakan sebuah penghormatan saja. Konon kalau makanan sudah ditetapkan untuk dimakan oleh Buddha, para deva menambahkan makanan deva ke dalam makanan tersebut. Makanan kasar dimakan oleh manusia, tetapi tidak bisa dimakan deva; sebaliknya makanan halus deva tidak bisa dimakan oleh manusia. Campuran keduanya hanya bisa bisa dimakan oleh seorang Samma Sambuddha.


Ooo.. itu toh alasannya.... gw baru tau tuh....
Thanks.. :)
_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: markosprawira on 01 October 2009, 01:38:01 PM
Thanks bro Upasaka atas penjelasannya.
(masalah itu memang agak rumit dehhh)


Bila memiliki karma baik utk menjadi manusia di kehidupan yg akan datang,
berarti meninggalkan fisik yg rusak pada kehidupan ini adalah bukan
sesuatu yg menyedihkan ataupun DIPERTAHANKAN.

Spt Mobil baru kan naiknya lebih wueenak.

Apakah Begitu.

yg pasti, sebelum meninggal nanti, mari kita berharap bahwa jika kita nanti terlahir sebagai mahluk apapun, semoga kita bisa menjadi mahluk yg lebih bijaksana, yg tetap bisa menjalankan buddha dhamma
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 01 October 2009, 02:28:08 PM
Thanks bro Upasaka atas penjelasannya.
(masalah itu memang agak rumit dehhh)


Bila memiliki karma baik utk menjadi manusia di kehidupan yg akan datang,
berarti meninggalkan fisik yg rusak pada kehidupan ini adalah bukan
sesuatu yg menyedihkan ataupun DIPERTAHANKAN.

Spt Mobil baru kan naiknya lebih wueenak.

Apakah Begitu.

yg pasti, sebelum meninggal nanti, mari kita berharap bahwa jika kita nanti terlahir sebagai mahluk apapun, semoga kita bisa menjadi mahluk yg lebih bijaksana, yg tetap bisa menjalankan buddha dhamma

bro kebetulan jawab bro persis seperti pandita Abhidhamma. :)
Title: Untuk Bro g.citra
Post by: K.K. on 19 October 2009, 10:05:09 AM
Quote from: g.citra
[at]  bro Kainyn ...

Mulailah menyampaikan ... toh saya akan mendengar ... mgkn di thread berbeda ... gak ada yang salah koq ... semua cuma proses dari bentuk pikiran kita yang terhubung dengan obyek ... berlalu dengan sendirinya ...  :)

Kalau ada yang menganggap anda sebagai "penoda dhamma" (hanya karena thread ini), maka yang pertama kali merespon hal itu adalah saya (kalau saya pas lagi OL...   ;D) , mengapa ?

Alasan saya, TAK ADA SATU ORANG PUN (BAHKAN SAMMA SAM BUDDHA SEKALIPUN) YANG DAPAT MENGUTAK-ATIK DHAMMA ... Semua itulah Dhamma ...  :)

Semoga tidak menjadi salah mengerti yah ...  :)

 _/\_

Saya coba uraikan di sini.
Bagi saya, bahkan seorang Samma Sambuddha pun tidak bisa membuat orang lain mengeri proses dari hukum kamma. Misalnya seperti saya katakan sebelumnya, ada suatu akibat, lalu dijelaskan oleh Buddha sebabnya di masa lampau. Semua orang yang mendengar hal tersebut TETAP TIDAK TAHU APA-APA tentang Hukum Kamma dan cara bekerjanya.

Sekarang cobalah kita pandang dari sudut pandang skeptis di mana kita tidak percaya tentang adanya seorang Buddha. Kemudian ada 2 orang yang mengaku Samma Sambuddha. Mengenai satu akibat, misalnya seseorang dirampok, terdapat 2 pendapat. Satu "Buddha" mengatakan karena dia pernah merampok rumah orang, sedangkan "Buddha" yang lain mengatakan dia pernah mencopet Arahat. Ada yang bisa buktikan yang mana yang benar? Saya rasa tidak. Berdasarkan hal ini, maka saya bilang Hukum Kamma tidak bisa dibuktikan ke orang lain, bahkan oleh seorang Samma Sambuddha pun tidak.

Lalu kepada diri sendiri, walaupun belum ada buktinya, saya percaya seorang Samma-Sambuddha BISA membuktikan hukum kamma dan juga mekanismenya. Lalu, apakah kita masing-masing juga mampu membuktikannya?

Pertanyaan saya sederhana: Bagi yang mengatakan bisa, apakah kita tahu sebab apa saja di masa lampau yang menyebabkan akibat tertentu sekarang? Apakah kita tahu perbuatan yang dilakukan sekarang ini mengakibatkan akibat apa di masa depan? Apakah mengetahui mekanismenya sehingga juga mengetahui berapa kali lipat buahnya dan kapan berbuahnya? Apakah juga mengetahui interaksi kamma lain yang mendukung dan menghambat sehingga mempengaruhi buah kamma tersebut?

Kalau memang ada yang jawab "YA", berarti mungkin memang saya keliru.
Tetapi kalau kita sepakat mengatakan "TIDAK", lalu pembuktian apa yang sudah terjadi sementara apa mengakibatkan apa tidak ada yang tahu?

Hukum kamma bagi saya bukanlah hukum tebak-tebakan berdasarkan logika yang kita ketahui. Bukan tebak-tebakan berdasarkan ilmu sosial, etika, dan sebagainya. Itu adalah probabilitas. Ada orang-orang yang memang bisa "meramalkan" masa depan, walaupun ia bukan seorang Buddha, bahkan bukan orang suci sekalipun. Tetapi itu hanya sebatas "penglihatan" saja. Ia tidak tahu bagaimana itu berproses dan apa saja penyebabnya. Dan yang paling penting, ia pun belum tentu kenal hukum kamma, namun memang dia punya "penglihatan" itu saja. Mungkin analogi paling sederhana adalah seperti orang yang punya pengetahuan "kalau isi bensin, mobil bisa jalan" tetapi tidak tahu mekanismenya.
Hukum kamma adalah berkenaan dengan niat dan pikiran. Jika memang bisa memahami hukum kamma, ketika sebuah niat terlintas di pikiran pun orang tersebut sudah mengetahui akibatnya.

Maksud saya adalah sederhana. Orang percaya pada Tuhan sama sekali bukanlah hal yang konyol. Namun menjadi sangat konyol kalau dia mengatakan sudah memahami Tuhan (seolah-olah mengerti kompleksitas pikiran Tuhan), apalagi mencoba membuktikannya kepada orang lain. Sama halnya dengan hukum kamma. Namun tentu saja hal konyol bagi saya, mungkin adalah sakral bagi orang lain dan saya harus menghargainya. Oleh karena itu saya tidak melanjutkannya.

Title: Untuk Bro xuvie
Post by: K.K. on 19 October 2009, 10:51:45 AM
Quote from: xuvie
Belum tentu, ada juga orang2 yg tidak percaya meski telah dijelaskan Sang Buddha dan Sang Buddha tidak pernah memaksakan kebenaran tsb. Karena kebenaran, diterima atau tidak, tetaplah tidak mengurangi nilai kebenaran tsb. Dlm beberapa kesempatan Sang Buddha menekankan pentingnya utk melihat dg kacamata yg sama utk mengerti Dhamma yg beliau ajarkan (bukan hanya soal proses hukum kamma dlm thread ini). Bukan mencoba mengerti melalui kacamata yg berbeda, melalui ajaran yg berbeda, melalui guru yg berbeda.
Jika pun mereka menerima dan percaya setelah diberitahu Sang Buddha, belum tentu mereka otomatis dpt mengingat perbuatan2 terdahulu mereka dlm kehidupan sebelumnya. Tapi ada bbrp kasus, yg setelah diberitahu, mereka dpt mengingat kelahiran terdahulu dan perbuatan yg mereka lakukan tsb.

Ini salah satu yang ingin saya bahas. "Mengosongkan cangkir teh sebelum mencoba teh yang baru."
1. Seseorang punya background Nasrani yang memercayai dosa awal, penebusan, hidup hanya sekali dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

2. Seseorang punya pengetahuan logis, pengetahuan umum, psikologi dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

Pertanyaan saya: "mengosongkan cangkir teh" itu diperlukan untuk yang mana? Apakah salah satu, keduanya atau bukan keduanya?


Quote
Utk paragraf ke-2,
Soal pembuktian, seberapapun kompetennya mereka dpt membuktikan, selama masih sebuah teori, maka tidak pernah dpt diterima oleh pihak berseberangan. Penerimaan bumi berbentuk bulat scr penuh hanya stlh pendaratan manusia di bulan. Itu pun hingga hari ini masih ada saja yg tetap kekeuh berpandangan bumi datar. So, what to do?
Hanya info saja, Aryabhata pada abad 5 masehi sudah mengukur keliling bumi. Hasilnya meleset hanya 0.02% dari perhitungan modern. Saat itu, manusia belum ke bulan.


Quote
Korelasinya dg Hukum Kamma adalah, hukum kamma merupakan proses yg terjadi yg tak-kasat-mata. Berbeda dg pembuktian soal bentuk bumi yg konkret. Bagaimana kita dpt membuktikan scr konkret sesuatu yg abstrak spt Hukum Kamma? Tesis apapun akan menghasilkan anti-tesis lagi yg terus terjadi scr sinambung menuju penyempurnaan tesis. Tapi bagaimanapun sempurnanya, tetap saja hanya tesis. Bukan sebuah realisasi pengalaman pribadi. Utk itu, saya lebih memilih berusaha mengalami saja. Sedangkan soal tesis, lebih baik jadi penonton saja yg menyaksikan Anda-Anda sekalian menyempurnakan tesis ini.  ;)
Kalau untuk pembuktian, memang selalu harus ada batasannya untuk diterima. Jika tidak ada batasannya, maka akan ada sanggahan seperti tidak adanya lengkung permukaan air yang membuktikan bumi bulat, atau fosil dinosaurus sengaja diletakkan Tuhan untuk menguji iman kaum kreasionist. Saya sudah membuat batasan. Berikan satu contoh perbuatan tertentu yang menghasilkan suatu akibat tertentu secara pasti, berdasarkan hukum kamma. Saya tidak akan katakan itu kuasa Tuhan atau apa, cukup ditunjukkan saja dan saya akan terima bahwa pembuktian adalah mungkin.

Quote
Dan YA. Memang tidak cukup hanya beralasan, "bisa dibuktikan kalau ada Samma-Sambuddha". Saya pribadi setuju dg pendapat Bro InJulia dan Bro Kain ttg tidak perlu mencoba membuktikan dgn memaksa yg mengakibatkan diri sendiri terperosok. Krn itu saya tulis bahwa jika demikian, saya memilih utk menganggap ini iman. Dan wilayah iman selalu personal dan privat. Jika tidak ingin disentuh, maka tidak perlu menyentuh pula wilayah iman orang lain. Pendapat Bro InJulia dan Bro Kain seharusnya sedikit banyak cukup membuat bbrp teman2 utk mendefinisikan ulang arti Saddha yg selama ini dikenal.  :)

Ya, sepertinya kita sepakat ini sebatas "iman". Di sini, rasanya saya punya "iman" yang sama dengan rekan-rekan di sini. Namun memiliki sikap yang berbeda terhadap "iman" tersebut.


Quote
Oya, harap ingat bahwa pembuktian tsb bukan sekali saja, melainkan melewati proses waktu yg demikian lama dan begitu byk peristiwa yg menghasilkan bukti yg sekarang kita terima scr penuh. Demikian jg ttg Hukum Karma, mari sempurnakan meskipun hanya secara hipotesis belaka.

mettacittena
 _/\_
Saya terbuka untuk pembuktian kamma yang berbuah langsung di kehidupan ini. Boleh dipilih yang paling cepat berbuah, semua akan saya catat, jika memang ada yang bisa menunjukkannya.
 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 19 October 2009, 11:13:29 PM
Ini salah satu yang ingin saya bahas. "Mengosongkan cangkir teh sebelum mencoba teh yang baru."
1. Seseorang punya background Nasrani yang memercayai dosa awal, penebusan, hidup hanya sekali dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

2. Seseorang punya pengetahuan logis, pengetahuan umum, psikologi dan sebagainya. Ia ingin belajar teori tentang Buddhisme.

Pertanyaan saya: "mengosongkan cangkir teh" itu diperlukan untuk yang mana? Apakah salah satu, keduanya atau bukan keduanya?
Menurut saya sih kosongkan cangkir nasraninya, pengetahuan umum dsb dan jg pengetahuannya semula ttg buddhisme. Anggaplah seperti belajar dr awal. Memulai kembali dr awal, bukan hal sia2. :)

Ini seperti saya seorang pengemudi truk sampah yg mewarisi profesi dr ayah saya, sedari kecil dunia saya hanya seputar dunia sampah di Bantar Gebang. Guncangan saat mengendarai truk, bau, bising, dlsb suasana yg tidak enak sudah menjadi teman akrab saya. Dan saya tidak pernah naik katakanlah mobil mercy. Jika saya hanya mendengar enaknya mobil mercy ini-itu dari orang lain sementara saya tidak pernah menaikinya tentu akan timbul berbagai pikiran, utamanya sih 2: antara percaya dan berpikir berlebihan bahwa naik mercy serasa di surga, atau sebaliknya tidak percaya dan menolak mentah2. Yg manapun, hanya konsep dan ide, bukan realitasnya hingga saya mencoba naik mercy dan mengetahui kalau lebih 90% pemikiran saya sebelumnya tidak benar. Utk itu, kosongkan cangkirnya dan minum tehnya, kesampingkan perbandingan dan prasangka sementara dan coba selami.

Quote
Hanya info saja, Aryabhata pada abad 5 masehi sudah mengukur keliling bumi. Hasilnya meleset hanya 0.02% dari perhitungan modern. Saat itu, manusia belum ke bulan.
Dan sekedar info juga, hingga hari ini, bbrp kelompok2 fundamentalis Islam salah 1 nya jamaah islamiah di Pakistan (pernah dipost di DC terjemahan wawancara dg wakil pimpinan kelompok tsb) menolak kenyataan bahwa Bumi bulat. Saat itu (berita diluncurkan), manusia sudah lama mendarat di bulan. ;D

Quote
Kalau untuk pembuktian, memang selalu harus ada batasannya untuk diterima. Jika tidak ada batasannya, maka akan ada sanggahan seperti tidak adanya lengkung permukaan air yang membuktikan bumi bulat, atau fosil dinosaurus sengaja diletakkan Tuhan untuk menguji iman kaum kreasionist. Saya sudah membuat batasan. Berikan satu contoh perbuatan tertentu yang menghasilkan suatu akibat tertentu secara pasti, berdasarkan hukum kamma. Saya tidak akan katakan itu kuasa Tuhan atau apa, cukup ditunjukkan saja dan saya akan terima bahwa pembuktian adalah mungkin.
Karena Bro Kain sudah memiliki "iman" yg sama, tentu saya tidak perlu bersusah payah membuktikan lagi bukan? Bukannya saya sudah katakan sebelumnya kalau kekuatan Kamma itu subtil dan tak-kasat-mata? Kalau mau contoh kerja Hukum Kamma yg mutlak terjadi dan dalam waktu singkat, dari segi tindakan, akan susah menemukan 1, jika saya katakan A membunuh B dan akibatnya A dipenjara. Hal ini tdk mutlak, krn ada pula kejadian di mana pembunuh A berhasil meloloskan diri dg cerdiknya dr kejaran hukum. Krn tdk mutlak terjadi dlm kehidupan ini juga, akan susah membuktikan bahwa akibatnya pasti akan terjadi dan diterima A di waktu mendatang. Selagi saya tidak dpt membuktikan, selalu akan ada sanggahan.

Btw, gimana dg contoh dari Mba' Samaneri di thread lain itu? Tidak cukup membuktikankah? Karena Samaneri menanam kebaikan, maka terhindar dr marabahaya. Jangan katakan kalau temannya itu memang cuma berniat makan di Bakmi GM dan merampok di tempat lain (BRI). Apalagi  Sebaliknya krn temannya menanam kejahatan (hingga 3x, dimana sempat mengambil nyawa petugas bank lain), akhirnya dibedil.
Sekadar mengingatkan, di sini saya hanya mencoba mengajak diskusi dg harapan kita dapat menyempurnakan pengertian buddhis ttg Hukum Kamma, bukan utk "menjatuhkan" dlsb. Jadi saya tidak tertarik utk berputar-putar, berkelit dan mencari2 pembenaran.

Quote
Ya, sepertinya kita sepakat ini sebatas "iman". Di sini, rasanya saya punya "iman" yang sama dengan rekan-rekan di sini. Namun memiliki sikap yang berbeda terhadap "iman" tersebut.
Sikap apa yg Bro Kain ambil sehingga berbeda? Mohon jelaskan krn saya ngga mengikuti thread yg berlembar2 itu secara keseluruhan. Lagian lebih enak kalau dikatakan eksplisit. :)

Quote
Saya terbuka untuk pembuktian kamma yang berbuah langsung di kehidupan ini. Boleh dipilih yang paling cepat berbuah, semua akan saya catat, jika memang ada yang bisa menunjukkannya.
 _/\_
Coba kita kembali ke definisi Kamma lagi (jangan cape ya Om) ;D
Di Nibbedhika Sutta, dikatakan oleh Sang Buddha ttg definisi Kamma, "bahwa cetana (kehendak) itulah yg dinamakan kamma (perbuatan). Dan melalui kehendak, orang melakukan kamma melalui 3 saluran perbuatan: pikiran, ucapan dan tindakan."
Karena semua perbuatan dilakukan diawali oleh kehendak, maka perbuatan apapun itu adlh kamma. Saya ambil contoh yg baik2 saja deh. Misal menabung di banknya Samaneri. Dengan niat (kehendak) mengumpulkan uang, maka saya menabung. Akibat dr menabung, uang terkumpul dan saya bisa jadi kaya jika perbuatan ini saya kondisikan menjadi sebuah kebiasaan. Apakah ini bukan termasuk Kamma? Saya sih melihat ini bagian kamma, krn diawali oleh kehendak dan ada perbuatan. Lebih lanjut ada hasil/akibat dr perbuatan ini. CMIIW. :)

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 20 October 2009, 12:41:46 AM
Ups ... sorry bro Kai ... baru tau anda post disini ... :)

Saya coba uraikan di sini.
Bagi saya, bahkan seorang Samma Sambuddha pun tidak bisa membuat orang lain mengeri proses dari hukum kamma. Misalnya seperti saya katakan sebelumnya, ada suatu akibat, lalu dijelaskan oleh Buddha sebabnya di masa lampau. Semua orang yang mendengar hal tersebut TETAP TIDAK TAHU APA-APA tentang Hukum Kamma dan cara bekerjanya.

Bagi yang masih diliputi KETIDAK TAHUAN, ya saya setuju ... :)
Tapi ada juga yang setelah mengetahui penjelasan Sang Buddha, sudah terbebas dari keraguan terhadap Tiratana ... Dasar dari KEIMANAN BUDDHIS adalah Saddha, dimana prosesnya perlu adanya pembuktian (bukan kepercayaan membuta) ... Dengan terbebasnya batin dari KERAGU-RAGUAN terhadap Tiratana, tentu bisa anda bayangkan saddha yang dimiliki orang tersebut bukan (pastinya telah membuktikan) ? :)

Sekarang cobalah kita pandang dari sudut pandang skeptis di mana kita tidak percaya tentang adanya seorang Buddha. Kemudian ada 2 orang yang mengaku Samma Sambuddha. Mengenai satu akibat, misalnya seseorang dirampok, terdapat 2 pendapat. Satu "Buddha" mengatakan karena dia pernah merampok rumah orang, sedangkan "Buddha" yang lain mengatakan dia pernah mencopet Arahat. Ada yang bisa buktikan yang mana yang benar? Saya rasa tidak. Berdasarkan hal ini, maka saya bilang Hukum Kamma tidak bisa dibuktikan ke orang lain, bahkan oleh seorang Samma Sambuddha pun tidak.

Ya ... hal ini saya setuju ... :)
Bro Kai, sayapun tidak memaksa anda untuk percaya dengan proses pembuktian yang saya jabarkan pada thread lalu ... Tapi karena ada sebuah keyakinan pada diri saya, bahwa anda termasuk orang yang sudah bisa membuktikan cara kerja sederhana dari hukum kamma, dan saya melihat anda membuat tulisan bahwa hukum kamma tidak dapat dibuktikan, disitulah proses pikiran saya bereaksi untukl mengetahui lebih lanjut tentang apa yang anda telah pelajari (maaf, bukan mau ngetes yah ... :) ...)
Dan ternyata, dugaan saya semula TEPAT ... Diskusi kita berdua hanya beda masalah penafsiran dari pembuktian diri sendiri atau dengan orang lain ... itu aja koq ... Boleh saya bilang, ini hanya salah paham ... :)

Lalu kepada diri sendiri, walaupun belum ada buktinya, saya percaya seorang Samma-Sambuddha BISA membuktikan hukum kamma dan juga mekanismenya. Lalu, apakah kita masing-masing juga mampu membuktikannya?

Yup ... anda sudah bisa, saya dan beberapa rekan disini pun demikian ... TAPI, hanya terbatas kepada persoalan-persoalan kecil saja, karena harus kita akui bahwa ketidak tahuan kita itulah yang menyebabkan rangkaian kamma ini terjalin begitu panjangnya dan ketidak tahuan kitalah sebuah bukti konkrit yang seharusnya kita akui sebagai bekal untuk menuju sebuah kesudah tahuan nantinya (dalam hal ini kalau itu tidak diketahui, ini sebenarnya kerja dari sang aku yang tidak mengakuinya) ... :)

Pertanyaan saya sederhana: Bagi yang mengatakan bisa, apakah kita tahu sebab apa saja di masa lampau yang menyebabkan akibat tertentu sekarang? Apakah kita tahu perbuatan yang dilakukan sekarang ini mengakibatkan akibat apa di masa depan? Apakah mengetahui mekanismenya sehingga juga mengetahui berapa kali lipat buahnya dan kapan berbuahnya? Apakah juga mengetahui interaksi kamma lain yang mendukung dan menghambat sehingga mempengaruhi buah kamma tersebut?

Kalau kita mau sama-sama jujur, saya ulangi statement saya bahwa Ketidak tahuan ini yang menyebabkan akibat-akibat saat ini dari masa-masa lampau (sebelum kelahiran sekarang) ... :)

Kalau memang ada yang jawab "YA", berarti mungkin memang saya keliru.
Tetapi kalau kita sepakat mengatakan "TIDAK", lalu pembuktian apa yang sudah terjadi sementara apa mengakibatkan apa tidak ada yang tahu?

Saran saya, jangan terlalu jauh untuk mempertanyakan hal dalam membuktikan sebuah proses sebab-akibat ... Saya pikir, andapun akan setuju kalau ini jelas akan merupakan 'penghambat' kemajuan batin kita yang masih belajar ... Bukan begitu Bro Kai ? :)

Hukum kamma bagi saya bukanlah hukum tebak-tebakan berdasarkan logika yang kita ketahui. Bukan tebak-tebakan berdasarkan ilmu sosial, etika, dan sebagainya. Itu adalah probabilitas. Ada orang-orang yang memang bisa "meramalkan" masa depan, walaupun ia bukan seorang Buddha, bahkan bukan orang suci sekalipun. Tetapi itu hanya sebatas "penglihatan" saja. Ia tidak tahu bagaimana itu berproses dan apa saja penyebabnya. Dan yang paling penting, ia pun belum tentu kenal hukum kamma, namun memang dia punya "penglihatan" itu saja. Mungkin analogi paling sederhana adalah seperti orang yang punya pengetahuan "kalau isi bensin, mobil bisa jalan" tetapi tidak tahu mekanismenya.
Hukum kamma adalah berkenaan dengan niat dan pikiran. Jika memang bisa memahami hukum kamma, ketika sebuah niat terlintas di pikiran pun orang tersebut sudah mengetahui akibatnya.

Saya tidak menolak statement anda bila itu menyangkut pembuktian sebuah proses panjang dari rangkaian kamma (baik masa lampau ataupun yang akan datang) ... Tapi jelas saya akan mendiskusikan kalau saja anda masih meragukan apa yang telah anda buktikan dari sebuah sebab akibat sederhana yang terjadi saat sekarang ... :)

Maksud saya adalah sederhana. Orang percaya pada Tuhan sama sekali bukanlah hal yang konyol. Namun menjadi sangat konyol kalau dia mengatakan sudah memahami Tuhan (seolah-olah mengerti kompleksitas pikiran Tuhan), apalagi mencoba membuktikannya kepada orang lain. Sama halnya dengan hukum kamma. Namun tentu saja hal konyol bagi saya, mungkin adalah sakral bagi orang lain dan saya harus menghargainya. Oleh karena itu saya tidak melanjutkannya.

Nah untuk itulah, sering kali saya menulis diluar DC kurang lebih intinya seperti ini:
JANGAN DEFINISIKAN TUHAN ... karena dengan mendefinisikanNya, orang itu sudah "menyekat" Tuhan kedalam 'Aku' nya dan sudah banyak sekali pro-kontra timbul yang nyata hanya merupakan pembenaran dari ego diri dari yang mencoba mendefinisikannya ... Dengan begini apakah Tuhan masih bisa dikatakan "Yang Universal" atau malah menjadi Tuhan yang "tersekat" oleh ego diri ?

Apakah anda setuju dengan tulisan saya diatas ? :)
Title: Untuk Bro xuvie II
Post by: K.K. on 20 October 2009, 10:02:55 AM
Menurut saya sih kosongkan cangkir nasraninya, pengetahuan umum dsb dan jg pengetahuannya semula ttg buddhisme. Anggaplah seperti belajar dr awal. Memulai kembali dr awal, bukan hal sia2. :)
Kalau begitu kita tidak sependapat dalam hal ini.
Buat saya, hal bersifat doktriniah harus dibuang jika mau belajar doktrin lain. Namun hal non-doktriniah seperti logika dan pengetahuan umum, selalu berlaku, KECUALI dalam mempelajari suatu doktrin yang bertentangan dengan logika tersebut yang biasanya bersifat "cuci otak". Logika dan common sense inilah yang menjaga kita dari cengkeraman dogma.


Quote
Ini seperti saya seorang pengemudi truk sampah yg mewarisi profesi dr ayah saya, sedari kecil dunia saya hanya seputar dunia sampah di Bantar Gebang. Guncangan saat mengendarai truk, bau, bising, dlsb suasana yg tidak enak sudah menjadi teman akrab saya. Dan saya tidak pernah naik katakanlah mobil mercy. Jika saya hanya mendengar enaknya mobil mercy ini-itu dari orang lain sementara saya tidak pernah menaikinya tentu akan timbul berbagai pikiran, utamanya sih 2: antara percaya dan berpikir berlebihan bahwa naik mercy serasa di surga, atau sebaliknya tidak percaya dan menolak mentah2. Yg manapun, hanya konsep dan ide, bukan realitasnya hingga saya mencoba naik mercy dan mengetahui kalau lebih 90% pemikiran saya sebelumnya tidak benar. Utk itu, kosongkan cangkirnya dan minum tehnya, kesampingkan perbandingan dan prasangka sementara dan coba selami.
Perumpamaan ini bagi saya tidak tepat. Dalam hal hukum kamma, kita menganggap hukum kamma berlaku untuk semua orang, baik dia kenal teorinya atau pun tidak. Namun dalam perumpamaan ini, si tukang sampah tidak mengalami mobil Mercedes dan hanya tebak-tebakan saja.


Quote
Dan sekedar info juga, hingga hari ini, bbrp kelompok2 fundamentalis Islam salah 1 nya jamaah islamiah di Pakistan (pernah dipost di DC terjemahan wawancara dg wakil pimpinan kelompok tsb) menolak kenyataan bahwa Bumi bulat. Saat itu (berita diluncurkan), manusia sudah lama mendarat di bulan. ;D
Ya, saya tahu mengenai hal tersebut. Itu yang saya singgung mengenai mengukur lengkung permukaan air yang dilakukan oleh pembela doktrin ekstremis bahwa bumi adalah datar.


Quote
Karena Bro Kain sudah memiliki "iman" yg sama, tentu saya tidak perlu bersusah payah membuktikan lagi bukan? Bukannya saya sudah katakan sebelumnya kalau kekuatan Kamma itu subtil dan tak-kasat-mata? Kalau mau contoh kerja Hukum Kamma yg mutlak terjadi dan dalam waktu singkat, dari segi tindakan, akan susah menemukan 1, jika saya katakan A membunuh B dan akibatnya A dipenjara. Hal ini tdk mutlak, krn ada pula kejadian di mana pembunuh A berhasil meloloskan diri dg cerdiknya dr kejaran hukum. Krn tdk mutlak terjadi dlm kehidupan ini juga, akan susah membuktikan bahwa akibatnya pasti akan terjadi dan diterima A di waktu mendatang. Selagi saya tidak dpt membuktikan, selalu akan ada sanggahan.
Itu karena anda dan kebanyakan rekan lain melihat hukum sebab-akibat secara logika sebagai hukum kamma.
Bagi saya, seseorang membunuh, menurut hukum kamma akibatnya adalah berumur pendek, entah lewat penyakit, entah dibunuh orang lain, entah kecelakaan atau apa pun, baik di sini mau pun di kehidupan mendatang, tidak ada yang tahu waktunya. Orang memberi, maka ia pun akan mendapatkan kemurahan, baik di kehidupan ini, bisa juga di kehidupan mendatang.
Sedangkan anda dan kebanyakan rekan di sini melihat konsekwensi logis sebagai hukum kamma. Membunuh = ditangkap. Memberi = ucapan terima kasih. Sekali lagi di sini kita berbeda.


Quote
Btw, gimana dg contoh dari Mba' Samaneri di thread lain itu? Tidak cukup membuktikankah? Karena Samaneri menanam kebaikan, maka terhindar dr marabahaya. Jangan katakan kalau temannya itu memang cuma berniat makan di Bakmi GM dan merampok di tempat lain (BRI). Apalagi  Sebaliknya krn temannya menanam kejahatan (hingga 3x, dimana sempat mengambil nyawa petugas bank lain), akhirnya dibedil.
Sekadar mengingatkan, di sini saya hanya mencoba mengajak diskusi dg harapan kita dapat menyempurnakan pengertian buddhis ttg Hukum Kamma, bukan utk "menjatuhkan" dlsb. Jadi saya tidak tertarik utk berputar-putar, berkelit dan mencari2 pembenaran.
Point ke 3 perbedaan kita, anda mengambil satu contoh sebagai pembuktian universal (pars pro toto). Sedangkan kalau diambil contoh yang bertentangan, anda anggap sebagai sanggahan yang mencari celah. Apalah bedanya dengan kesembuhan rohani yang bisa menyembuhkan sebagian sangat kecil saja, namun meng-klaim bisa menyembuhkan siapa saja asal percaya? Ketika disanggah bahwa banyak yang tidak sembuh, tinggal bilang, "imannya kurang." Beres 'kan? Jika ingin membuktikan suatu hukum, meleset 1 saja dari antara 1 juta orang, maka hukum itu tidak berlaku.


Quote
Sikap apa yg Bro Kain ambil sehingga berbeda? Mohon jelaskan krn saya ngga mengikuti thread yg berlembar2 itu secara keseluruhan. Lagian lebih enak kalau dikatakan eksplisit. :)
Setelah membahas lebih jauh, saya ingin mengubah kesimpulan, yaitu bahwa sebetulnya "iman" saya dan kebanyakan rekan lain (dan mungkin juga anda) adalah sudah berbeda jauh. Saya melihat kamma sebagai sesuatu yang pasti (membunuh mengakibatkan umur pendek), namun tidak mengerti prosesnya (termasuk interaksi dengan kamma lain), hasilnya, dan kapan berbuahnya, dan oleh sebab itu saya katakan saya tidak bisa membuktikannya; sedangkan rekan lain menganggap kamma sebagai hukum konsekwensi logis sederhana saja seperti probabilitas (membunuh: ditangkap, merasa bersalah, dll), yang oleh karena itu jika probabilitasnya kebetulan benar, diklaimlah sebagai bukti hukum kamma. Sedangkan kalau contoh yang tidak mendukung (membunuh tidak tertangkap, tidak merasa bersalah) dianggap suatu usaha mencari celah.

Perbedaan yang paling menonjol adalah seperti yang saya singgung di thread sebelah (dan saya lengkapi satu lagi):
-seseorang memberi "angpau" dengan tulus namun tidak tahu tradisi sehingga menyinggung penerima dan mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan.
-seseorang melakukan pembunuhan terhadap seorang enemy of the states, yang karenanya, bukan hanya bebas dari hukuman penjara, juga mendapatkan hadiah.

Mengikuti pendapat yang menganggap kamma bisa dibuktikan (memberi = ucapan terima kasih), maka kamma memberi, vipakanya bisa jadi suatu penderitaan; kamma membunuh, bisa jadi vipakanya adalah dapat hadiah.
Menurut pendapat saya, kamma memberi dan membunuh, kapan berbuahnya dan apa buahnya tidak bisa dibuktikan. Namun untuk memberi, vipakanya PASTI baik, dan untuk membunuh, vipakanya PASTI buruk. Penolakan pemberian dan keadaan orang itu adalah enemy of the state adalah Vipaka dari kamma lain, BUKAN kamma pemberi dan pembunuh seperti pendapat rekan-rekan lain. Itulah "iman" saya dan perbedaannya.



Quote
Coba kita kembali ke definisi Kamma lagi (jangan cape ya Om) ;D
Di Nibbedhika Sutta, dikatakan oleh Sang Buddha ttg definisi Kamma, "bahwa cetana (kehendak) itulah yg dinamakan kamma (perbuatan). Dan melalui kehendak, orang melakukan kamma melalui 3 saluran perbuatan: pikiran, ucapan dan tindakan."
Karena semua perbuatan dilakukan diawali oleh kehendak, maka perbuatan apapun itu adlh kamma. Saya ambil contoh yg baik2 saja deh. Misal menabung di banknya Samaneri. Dengan niat (kehendak) mengumpulkan uang, maka saya menabung. Akibat dr menabung, uang terkumpul dan saya bisa jadi kaya jika perbuatan ini saya kondisikan menjadi sebuah kebiasaan. Apakah ini bukan termasuk Kamma? Saya sih melihat ini bagian kamma, krn diawali oleh kehendak dan ada perbuatan. Lebih lanjut ada hasil/akibat dr perbuatan ini. CMIIW. :)

_/\_
Saya beri kasusnya orang ingin menabung namun punya pengeluaran tak terduga seperti orang tua sakit, atau usahanya merugi, atau kerampokan, atau mungkin kena bencana alam, yang akhirnya tidak jadi menabung bahkan kehilangan uang. Niat (kamma) menabung sudah ada, bagaimana mungkin anda katakan kemiskinan adalah Vipakanya?

Saya melihat niat menabung memang sebagai kamma. Namun saya tidak melihat tabungan yang bertambah sebagai Vipaka dari niat menabung tersebut, setidaknya bukan vipaka tunggal. Bahkan dari suatu pikiran paling sederhana saja, saya tidak tahu vipakanya, karena saya pun tidak tahu interaksinya dengan kamma lain di masa lalu. Dari pandangan tersebut, saya mengakui bahwa saya tidak bisa membuktikan hukum kamma.

Title: Untuk Bro g.citra II
Post by: K.K. on 20 October 2009, 10:55:15 AM
Ups ... sorry bro Kai ... baru tau anda post disini ... :)
Tidak apa, saya memang tidak kasih tahu di thread sebelah karena OOT. :)


Quote
Bagi yang masih diliputi KETIDAK TAHUAN, ya saya setuju ... :)
Tapi ada juga yang setelah mengetahui penjelasan Sang Buddha, sudah terbebas dari keraguan terhadap Tiratana ... Dasar dari KEIMANAN BUDDHIS adalah Saddha, dimana prosesnya perlu adanya pembuktian (bukan kepercayaan membuta) ... Dengan terbebasnya batin dari KERAGU-RAGUAN terhadap Tiratana, tentu bisa anda bayangkan saddha yang dimiliki orang tersebut bukan (pastinya telah membuktikan) ? :)
Saya tanya kembali. Ketika Buddha menjelaskan suatu kejadian di masa lalu yang menyebabkan suatu vipaka muncul, apakah dengan sendirinya para bhikkhu yang di antaranya adalah Arahat, orang yang tanpa keraguan pada Tiratana, memiliki kesaktian melihat masa lampau dan membuktikan bahwa adalah benar di masa lalu ia melakukan perbuatan tersebut?   


Quote
Ya ... hal ini saya setuju ... :)
Bro Kai, sayapun tidak memaksa anda untuk percaya dengan proses pembuktian yang saya jabarkan pada thread lalu ... Tapi karena ada sebuah keyakinan pada diri saya, bahwa anda termasuk orang yang sudah bisa membuktikan cara kerja sederhana dari hukum kamma, dan saya melihat anda membuat tulisan bahwa hukum kamma tidak dapat dibuktikan, disitulah proses pikiran saya bereaksi untukl mengetahui lebih lanjut tentang apa yang anda telah pelajari (maaf, bukan mau ngetes yah ... :) ...)
Dan ternyata, dugaan saya semula TEPAT ... Diskusi kita berdua hanya beda masalah penafsiran dari pembuktian diri sendiri atau dengan orang lain ... itu aja koq ... Boleh saya bilang, ini hanya salah paham ... :)
Untuk pembuktian pada orang lain mungkin kita sudah sepaham. Namun untuk diri sendiri, masih ada sedikit perbedaan.
Saya percaya hukum kamma, namun tidak ada satu cetana yang paling sederhana pun yang saya ketahui vipakanya. Saya hanya tahu secara keseluruhan, kebaikan yang dilakukan, bersama berlalunya waktu, menghasilkan kebahagiaan. Namun itu sama sekali tidak cukup untuk mengatakan hukum kamma bisa dibuktikan. 


Quote
Yup ... anda sudah bisa, saya dan beberapa rekan disini pun demikian ... TAPI, hanya terbatas kepada persoalan-persoalan kecil saja, karena harus kita akui bahwa ketidak tahuan kita itulah yang menyebabkan rangkaian kamma ini terjalin begitu panjangnya dan ketidak tahuan kitalah sebuah bukti konkrit yang seharusnya kita akui sebagai bekal untuk menuju sebuah kesudah tahuan nantinya (dalam hal ini kalau itu tidak diketahui, ini sebenarnya kerja dari sang aku yang tidak mengakuinya) ... :)
Seperti saya bilang, tidak bisa, bro g.citra. Bahkan yang paling sederhana pun tidak. Kalau sebab akibat secara logis, saya memang bisa "meramal", diukur dari segala macam segi dan kemungkinan. Namun itu bukan hukum kamma.


Quote
Kalau kita mau sama-sama jujur, saya ulangi statement saya bahwa Ketidak tahuan ini yang menyebabkan akibat-akibat saat ini dari masa-masa lampau (sebelum kelahiran sekarang) ... :)
Seandainya saya mengetahui kelahiran-kelahiran saya di masa lampau, belum tentu saya tahu perbuatan satu menyebabkan akibat satu. Demikian juga untuk kamma sekarang yang berbuah dalam kehidupan ini pun, saya tidak tahu kamma apa saja yang menyebabkan vipaka tertentu.


Quote
Saran saya, jangan terlalu jauh untuk mempertanyakan hal dalam membuktikan sebuah proses sebab-akibat ... Saya pikir, andapun akan setuju kalau ini jelas akan merupakan 'penghambat' kemajuan batin kita yang masih belajar ... Bukan begitu Bro Kai ? :)
Anda keliru. Saya tidak mempermasalahkan pembuktian harus ada. Justru saya menyarankan agar kita menerima kenyataan bahwa kita tidak mampu membuktikannya. Janganlah karena ego "ehipassiko", semua berkenaan dengan dhamma dianggap harus bisa dibuktikan. Kamma secara sangat sederhana BISA dilogikakan dan dikemas dalam suatu konsep. Konsep tersebutlah yang kita peluk berdasarkan kecocokan.



Quote
Saya tidak menolak statement anda bila itu menyangkut pembuktian sebuah proses panjang dari rangkaian kamma (baik masa lampau ataupun yang akan datang) ... Tapi jelas saya akan mendiskusikan kalau saja anda masih meragukan apa yang telah anda buktikan dari sebuah sebab akibat sederhana yang terjadi saat sekarang ... :)
Proses sederhana apa? :) Berdana ("angpau" tanpa pengetahuan tradisi) menghasilkan vipaka penolakan? Kalau anda jelaskan hukum kamma seperti itu pada non-Buddhis, ia akan mengatakan Buddha mengajarkan suatu perbuatan baik hasilnya tidak tentu.
Jika sudah menyangkut kamma, tidak ada yang sederhana sama sekali, Bro g.citra. Sebatas itulah yang telah saya ketahui.


Quote
Nah untuk itulah, sering kali saya menulis diluar DC kurang lebih intinya seperti ini:
JANGAN DEFINISIKAN TUHAN ... karena dengan mendefinisikanNya, orang itu sudah "menyekat" Tuhan kedalam 'Aku' nya dan sudah banyak sekali pro-kontra timbul yang nyata hanya merupakan pembenaran dari ego diri dari yang mencoba mendefinisikannya ... Dengan begini apakah Tuhan masih bisa dikatakan "Yang Universal" atau malah menjadi Tuhan yang "tersekat" oleh ego diri ?

Apakah anda setuju dengan tulisan saya diatas ? :)
Yang ini saya sangat setuju.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 20 October 2009, 11:44:40 AM
Saya tanya kembali. Ketika Buddha menjelaskan suatu kejadian di masa lalu yang menyebabkan suatu vipaka muncul, apakah dengan sendirinya para bhikkhu yang di antaranya adalah Arahat, orang yang tanpa keraguan pada Tiratana, memiliki kesaktian melihat masa lampau dan membuktikan bahwa adalah benar di masa lalu ia melakukan perbuatan tersebut?   

Yah begitulah bro Kai ... :)
Seperti telah kita ketahui, tidak semua Arahat mempunyai abhina, tapi mereka telah mengerti sepenuhnya karena mereka telah 'melihat' segala sesuatu perwujudan yang ada (paling nggak diri mereka sendiri), mereka 'melihat' perwujudan itu tidak kekal dimana selalu ada dukkha yang menyelimuti bentuk perubahan tersebut dan mereka telah 'melihat' tak ada suatu inti dari materi yang berwujud itu bersifat kekal ... :)

Dengan mengetahui hal ini, sesungguhnya mereka telah paham (karena telah membuktikan) akan sifat 'timbul ternggelam' dari setiap bentuk perbuatan yang dilandasi keinginan berdasar dari ketidak tahuan akan selalu berakibat (walaupun tidak harus mengetahui hal-hal yang terlalu lampau ataupun kedepan) ... :)

Untuk pembuktian pada orang lain mungkin kita sudah sepaham. Namun untuk diri sendiri, masih ada sedikit perbedaan.
Saya percaya hukum kamma, namun tidak ada satu cetana yang paling sederhana pun yang saya ketahui vipakanya. Saya hanya tahu secara keseluruhan, kebaikan yang dilakukan, bersama berlalunya waktu, menghasilkan kebahagiaan. Namun itu sama sekali tidak cukup untuk mengatakan hukum kamma bisa dibuktikan. 

Bro Kai ... :)
Definisi dari kebaikan akan berakibat kebahagiaan itu hanya terbatas untuk segala macam kegiatan duniawi belaka ... Dalam hal ini tidak ada ukuran pasti mengenai kebaikan ataupun kebahagiaan dari tiap pribadi ... :)

Lepaskan dahulu konsep dualisme yang nyata ini ... baru akan didapati bahwa setiap bentuk cetana yang timbul berdasar dari ketidak tahuan ini akan selalu menimbulkan akibat ... Saya pikir itu saja koq ... :)

Seperti saya bilang, tidak bisa, bro g.citra. Bahkan yang paling sederhana pun tidak. Kalau sebab akibat secara logis, saya memang bisa "meramal", diukur dari segala macam segi dan kemungkinan. Namun itu bukan hukum kamma.

Coba anda mulai perhatikan (dengan kewaspadaan tentunya) saat anda berkeinginan ... saat itu juga akan tampak hasil dari keinginan anda yang anda perbuat dari pikiran, ucapan dan perbuatan ... Butuh proses memang, tapi saya yakin setiap orang akan bisa menyelami ini sepanjang ia sungguh-sungguh memperhatikannya ... :)

Makanya pada thread lalu saya menuliskan, coba perhatikan perasaan yang timbul setelah anda memberi uang kepada orang yang anda ingin berikan ... :) ...

Perasaan apapun itu, itu hasil dari perbuatan kita yang secara langsung kita dapat sebagai akibat dari perbuatan memberi ... Akibat-akibat lainnya itu memang sangat bergantung pada 2 hal lainnya seperti, akibat dari saat anda memberi, dan akibat setelah anda memberi ... tapi akibat karena anda bercetana memberi pastinya anda sudah rasakan akibatnya ... itu saja koq ... :)

Seandainya saya mengetahui kelahiran-kelahiran saya di masa lampau, belum tentu saya tahu perbuatan satu menyebabkan akibat satu. Demikian juga untuk kamma sekarang yang berbuah dalam kehidupan ini pun, saya tidak tahu kamma apa saja yang menyebabkan vipaka tertentu.

Yah karena memang ini ketidak tahuan kita bro ... :))
Makanya saya selalu mengusahakan diri saya untuk tidak berpikir terlalu jauh (kedepan/kebelakang) ... :)

Anda keliru. Saya tidak mempermasalahkan pembuktian harus ada. Justru saya menyarankan agar kita menerima kenyataan bahwa kita tidak mampu membuktikannya. Janganlah karena ego "ehipassiko", semua berkenaan dengan dhamma dianggap harus bisa dibuktikan. Kamma secara sangat sederhana BISA dilogikakan dan dikemas dalam suatu konsep. Konsep tersebutlah yang kita peluk berdasarkan kecocokan.

Dalam berdiskusi membahas hukum kamma atau apapun, sepanjang itu bisa ditangkap oleh logika, sepanjang itulah kita bisa membuktikan (lewat berpikir) kenyataannya sepanjang itu berada dalam logika kita ... :)

Bukti sesungguhnya (kalau kamma yang dilakukan lewat ucapan dan perbuatan), adalah berucap dan berbuat!
Gak ada jalan lain ... :)

Proses sederhana apa? :) Berdana ("angpau" tanpa pengetahuan tradisi) menghasilkan vipaka penolakan? Kalau anda jelaskan hukum kamma seperti itu pada non-Buddhis, ia akan mengatakan Buddha mengajarkan suatu perbuatan baik hasilnya tidak tentu.
Jika sudah menyangkut kamma, tidak ada yang sederhana sama sekali, Bro g.citra. Sebatas itulah yang telah saya ketahui.

Nah karena itulah bro Kai ...
Lambat laun Dhamma yang ditemukan olehNya akan menunjukkan bukti nyatanya kalau segala yang terbentuk, dibentuk, ditemukan akan mengalami perubahan ... :)

Dualisme kenyataan yang sangat nyata di dunia ... kita demikian terobsesi oleh sebuah perhitungan matematis tentang pertambahan dimana plus + plus = plus dan sebaliknya ...

Seharusnya dengan menyadari hal ini, kita semua akan menjadi maklum karena tidak semua Buddhis akan bisa melepaskan diri dari dualisme dan juga tidak semua non Buddhis tidak bisa melepaskan konsep dualisme dimana dalam memperhatikan penjelasan saya pasti tidak akan puas ... :)

Kalau kenyataannya tidak ada yang puas, tidak akan ada pengaruh apa-apa pada saya, karena saya memaklumi tentang hal-hal diatas ... :)
Title: Untuk Bro g.citra III
Post by: K.K. on 20 October 2009, 03:55:03 PM
Yah begitulah bro Kai ... :)
Seperti telah kita ketahui, tidak semua Arahat mempunyai abhina, tapi mereka telah mengerti sepenuhnya karena mereka telah 'melihat' segala sesuatu perwujudan yang ada (paling nggak diri mereka sendiri), mereka 'melihat' perwujudan itu tidak kekal dimana selalu ada dukkha yang menyelimuti bentuk perubahan tersebut dan mereka telah 'melihat' tak ada suatu inti dari materi yang berwujud itu bersifat kekal ... :)

Dengan mengetahui hal ini, sesungguhnya mereka telah paham (karena telah membuktikan) akan sifat 'timbul ternggelam' dari setiap bentuk perbuatan yang dilandasi keinginan berdasar dari ketidak tahuan akan selalu berakibat (walaupun tidak harus mengetahui hal-hal yang terlalu lampau ataupun kedepan) ... :)
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.


Quote
Bro Kai ... :)
Definisi dari kebaikan akan berakibat kebahagiaan itu hanya terbatas untuk segala macam kegiatan duniawi belaka ... Dalam hal ini tidak ada ukuran pasti mengenai kebaikan ataupun kebahagiaan dari tiap pribadi ... :)
Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.

Quote
Lepaskan dahulu konsep dualisme yang nyata ini ... baru akan didapati bahwa setiap bentuk cetana yang timbul berdasar dari ketidak tahuan ini akan selalu menimbulkan akibat ... Saya pikir itu saja koq ... :)
Betul, menimbulkan akibat tertentu, yang mana kita tidak tahu apa hasilnya.


Quote
Coba anda mulai perhatikan (dengan kewaspadaan tentunya) saat anda berkeinginan ... saat itu juga akan tampak hasil dari keinginan anda yang anda perbuat dari pikiran, ucapan dan perbuatan ... Butuh proses memang, tapi saya yakin setiap orang akan bisa menyelami ini sepanjang ia sungguh-sungguh memperhatikannya ... :)

Makanya pada thread lalu saya menuliskan, coba perhatikan perasaan yang timbul setelah anda memberi uang kepada orang yang anda ingin berikan ... :) ...

Perasaan apapun itu, itu hasil dari perbuatan kita yang secara langsung kita dapat sebagai akibat dari perbuatan memberi ... Akibat-akibat lainnya itu memang sangat bergantung pada 2 hal lainnya seperti, akibat dari saat anda memberi, dan akibat setelah anda memberi ... tapi akibat karena anda bercetana memberi pastinya anda sudah rasakan akibatnya ... itu saja koq ... :)
(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.


Quote
Yah karena memang ini ketidak tahuan kita bro ... :))
Makanya saya selalu mengusahakan diri saya untuk tidak berpikir terlalu jauh (kedepan/kebelakang) ... :)
Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".


Quote
Dalam berdiskusi membahas hukum kamma atau apapun, sepanjang itu bisa ditangkap oleh logika, sepanjang itulah kita bisa membuktikan (lewat berpikir) kenyataannya sepanjang itu berada dalam logika kita ... :)

Bukti sesungguhnya (kalau kamma yang dilakukan lewat ucapan dan perbuatan), adalah berucap dan berbuat!
Gak ada jalan lain ... :)
Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.


Quote
Nah karena itulah bro Kai ...
Lambat laun Dhamma yang ditemukan olehNya akan menunjukkan bukti nyatanya kalau segala yang terbentuk, dibentuk, ditemukan akan mengalami perubahan ... :)

Dualisme kenyataan yang sangat nyata di dunia ... kita demikian terobsesi oleh sebuah perhitungan matematis tentang pertambahan dimana plus + plus = plus dan sebaliknya ...

Seharusnya dengan menyadari hal ini, kita semua akan menjadi maklum karena tidak semua Buddhis akan bisa melepaskan diri dari dualisme dan juga tidak semua non Buddhis tidak bisa melepaskan konsep dualisme dimana dalam memperhatikan penjelasan saya pasti tidak akan puas ... :)

Kalau kenyataannya tidak ada yang puas, tidak akan ada pengaruh apa-apa pada saya, karena saya memaklumi tentang hal-hal diatas ... :)

Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.

Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 20 October 2009, 06:07:52 PM
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.

Namun bisa dibuktikan ... Pembahasan diskusi antara saya dan anda ini lah salah satu buktinya ... :)

Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.

Baiklah bro Kai ... dengan demikian contoh apalagi (yang sederhana tentunya) yang bisa kita gali pada diskusi kita ini ? :)

(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.

Tulisan yang dibold itu, bukti atau bukan bro ? darimana anda berasumsi begitu ? bukankah itu sebuah bukti kalau ada kamma cetana (pengembangan mudita) ada vipaka (bahagia) ? :)

Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".

:)) ... bro Kai ... lihat tulisan anda diatas ... :)) ... Jangan terlalu pesimis dengan menganggap sesuatu serba ribet dan komplekslah bro ... :))

Namun bila itu memang memotivasi anda untuk kemajuan batin anda, monggo aja koq ... Banyak jalan yang ditempuh orang-orang dalam memajukan spiritualnya ... :)

Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.


Kalau contoh kasus itu dikembangkan ... ya saya setuju ! ... Kalau tidak dikembangkan ? Apakah masih begitu kompleks ?

Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.

Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.

Mengenai tulisan yang anda bold:
Kata "baik" dan "menyenangkan" inilah yang menyekat anda sehingga anda begitu terobsesi olehnya... :)
Dari sini bisa saya simpulkan, bahwa kata itulah yang mendefinisikan Hukum kamma sehingga kehilangan ke-universal-annya (ini sama halnya dengan definisi tentang Tuhan) ... Ukuran baik dan menyenangkan menurut anda, belum tentu sama dengan baik dan menyenangkan menurut ukuran saya ... gak universal kan ?

Sementara sebab-akibat yang saya buktikan, lebih kepada sebab-akibat langsung (dimana bisa menimbulkan saddha pada diri saya) dan saya mengimaninya karena merasakan bukti nyata dari proses sebab-akibat tersebut ...

Mungkin hal ini sangat sulit (atau semakin sulit) anda terima (misal saja di pikiran anda saat baca tulisan saya: "ini orang koq au-ban banget yah" atau dll), wajar ... :) ... itu akibat yang saya terima berbuahnya dari sebab yang anda buat (berpikir) ... Akibat dari apa ? Akibat dari sebuah sebab yang saya perbuat >>> menulis dan berdiskusi dengan anda ...

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 October 2009, 09:12:06 AM
Demikianlah ajaran Buddha adalah mengenai timbul dan tenggelamnya fenomena yang bisa dibuktikan di sini dan sekarang. Buddha juga mengajarkan bahwa hukum kamma itu ada, namun tidak untuk dibuktikan karena demikian kompleksnya.

Namun bisa dibuktikan ... Pembahasan diskusi antara saya dan anda ini lah salah satu buktinya ... :)

Saya memang tidak membahas hukum kamma dari segi meninggalkan duniawi, apalagi adi-duniawi, karena di situ lebih kompleks lagi dan mungkin akan menyinggung Acinteyya satunya lagi, yaitu "jalan pikiran Arahat". Marilah bahas yang sederhana (namun sudah sangat kompleks ini), yaitu berkisar duniawi saja.

Baiklah bro Kai ... dengan demikian contoh apalagi (yang sederhana tentunya) yang bisa kita gali pada diskusi kita ini ? :)

(1) Niat memberi, belum tentu disertai dengan pemberian karena keadaan belum tentu mendukung, misalnya mau berdana tapi tidak punya uang, dihalangi orang lain, atau punya uang namun tidak punya akses.
(2) Terdukungnya pemberian tersebut terjadi adalah juga vipaka kamma lampau yang entah apa.
(3) Ketika pemberian dilakukan, maka terjadi lagi persepsi atas situasi yang terjadi, yaitu adanya pemberian. Jika anda bahagia, itu BUKAN vipaka dari pemberian, namun vipaka dari kamma pengembangan mudita bahwa dana telah terjadi.
Lalu apakah niat memberi tersebut tidak membuahkan vipaka?
(4) Niat tersebut TETAP membuahkan hasil, hanya saja saya tidak tahu apa itu.

Tulisan yang dibold itu, bukti atau bukan bro ? darimana anda berasumsi begitu ? bukankah itu sebuah bukti kalau ada kamma cetana (pengembangan mudita) ada vipaka (bahagia) ? :)

Bagi saya, membuktikan kamma sekarang yang berbuah pada kehidupan sekarang pun terlalu kompleks, maka saya meninggalkan konsep "mampu membuktikan hukum kamma".

:)) ... bro Kai ... lihat tulisan anda diatas ... :)) ... Jangan terlalu pesimis dengan menganggap sesuatu serba ribet dan komplekslah bro ... :))

Namun bila itu memang memotivasi anda untuk kemajuan batin anda, monggo aja koq ... Banyak jalan yang ditempuh orang-orang dalam memajukan spiritualnya ... :)

Kita berbeda lagi di sini. Seperti saya bilang, kita bisa melogikakan secara sederhana konsep hukum kamma, karena "di atas kertas" kita bisa membuat satu keadaan yang tidak kompleks. Ibaratnya kita mengukur debit air secara sederhana tanpa perhitungan gesekan air dengan pipa, tekanan udara penghambat, dlsb. Sementara kenyataannya, sesederhana apapun kamma yang kita lakukan, akan dipengaruhi variable kamma lainnya (yang bisa sedikit, bisa banyak, tergantung masing-masing orang) yang jumlahnya tidak berhingga. Karena itulah pembuktiannya tidak mungkin dilakukan.


Kalau contoh kasus itu dikembangkan ... ya saya setuju ! ... Kalau tidak dikembangkan ? Apakah masih begitu kompleks ?

Saya pribadi tidak menerima penjelasan bahwa suatu perbuatan baik akan berakibat tidak baik adalah karena pengaruh dualisme. Itu akan menjadi seperti "escape mechanism" sesuatu yang baik berakibat tidak baik karena Tuhan punya rencana lain.

Seperti kita tahu perasaan bathin ada menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral. Kita bisa berkelit mengenai dualisme dan lain-lain. Ini akan sangat kompleks kalau dibahas, maka saya tidak menyinggungnya dan membahas perasan jasmani yang hanya dua, yaitu menyenangkan dan tidak menyenangkan.

Apapun yang anda atau rekan lain katakan mengenai dualisme, suatu kamma baik tidak akan mengakibatkan vipaka yang tidak menyenangkan. Jadi jika seseorang memberi dengan ikhlas namun kemudian mendapatkan tamparan (rasa sakit jasmani), itu bukan masalah dualisme dan non-dualisme (atau pun Tuhan punya rencana lain). Itu adalah kamma berbeda dan vipaka yang berbeda, yang tidak saling berhubungan, namun berinteraksi dalam suatu integrasi kamma yang kompleks. Itulah yang saya percaya.

Mengenai tulisan yang anda bold:
Kata "baik" dan "menyenangkan" inilah yang menyekat anda sehingga anda begitu terobsesi olehnya... :)
Dari sini bisa saya simpulkan, bahwa kata itulah yang mendefinisikan Hukum kamma sehingga kehilangan ke-universal-annya (ini sama halnya dengan definisi tentang Tuhan) ... Ukuran baik dan menyenangkan menurut anda, belum tentu sama dengan baik dan menyenangkan menurut ukuran saya ... gak universal kan ?

Sementara sebab-akibat yang saya buktikan, lebih kepada sebab-akibat langsung (dimana bisa menimbulkan saddha pada diri saya) dan saya mengimaninya karena merasakan bukti nyata dari proses sebab-akibat tersebut ...

Mungkin hal ini sangat sulit (atau semakin sulit) anda terima (misal saja di pikiran anda saat baca tulisan saya: "ini orang koq au-ban banget yah" atau dll), wajar ... :) ... itu akibat yang saya terima berbuahnya dari sebab yang anda buat (berpikir) ... Akibat dari apa ? Akibat dari sebuah sebab yang saya perbuat >>> menulis dan berdiskusi dengan anda ...



Seperti saya duga, anda memang tidak mengerti maksud saya. Saya tidak bilang anda lebih "bodoh" atau apa, tetapi memang kita tidak nyambung. Itu saja.

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 21 October 2009, 11:23:22 AM
^ Disini asumsi anda timbul lagi bro Kai ...

Penilaian, itu proses pikiran anda ... Menjudge saya tidak mengerti ataupun mengerti akan maksud anda merupakan cetana anda ... dan itulah akibat yang saya terima karena kita disini sama-sama menghadapi sebuah obyek (diskusi) ...

Ini saya anggap bukti dan anda mungkin menganggapnya lain ... Itu semua pilihan masing-masing dari kita ... :)

Hanya saja, kalau memang Hukum kamma tidak bisa dibuktikan, berarti ada kesalahan dalam penulisan PARITTA DHAMMANUSSATI ... "Mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko)" ... Karena tentunya anda sepakat bahwa Hukum Kamma juga bagian dari Dhamma ... :)

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 21 October 2009, 11:51:22 AM
dhammanussati yang dimaksud hukum kamma atau dukkha dan lenyapnya dukkha?
gw minum kopi tadi pagi juga dhamma...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 21 October 2009, 12:10:31 PM
dhammanussati yang dimaksud hukum kamma atau dukkha dan lenyapnya dukkha?
gw minum kopi tadi pagi juga dhamma...

Apa dengan begini hukum kamma bukan termasuk Dhammanussati yah bro ? :D

Jadi kalau begitu, saya salah pemahaman yah ?
Oke deh ... yang diatas saya biarin, tapi yang dibawah saya rubah jadi pertanyaan ... :))

Sebelum Pangeran Siddharta lahir, orang-orang juga mengenal hukum kamma, tapi Sang Buddhalah yang menemukan dan merumuskannya dengan sempurna dan masih dikenal sampai sekarang ini ...

Ada sebuah buku yang disusun oleh Bhante Narada (Sang Buddha dan Ajaran-ajaranNya jilid 2) menuliskan, bahwa hukum kamma juga merupakan dasar ajaran Buddha (bukunya kuning tulisannya dihal. 49), nah dari hal ini apakah hukum kamma tidak merupakan dhammanussati ?

btw, gw juga ngopi dulu ah ... :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 October 2009, 02:32:42 PM
^ Disini asumsi anda timbul lagi bro Kai ...

Penilaian, itu proses pikiran anda ... Menjudge saya tidak mengerti ataupun mengerti akan maksud anda merupakan cetana anda ... dan itulah akibat yang saya terima karena kita disini sama-sama menghadapi sebuah obyek (diskusi) ...

Ini saya anggap bukti dan anda mungkin menganggapnya lain ... Itu semua pilihan masing-masing dari kita ... :)

Hanya saja, kalau memang Hukum kamma tidak bisa dibuktikan, berarti ada kesalahan dalam penulisan PARITTA DHAMMANUSSATI ... "Mengundang untuk dibuktikan (ehipassiko)" ... Karena tentunya anda sepakat bahwa Hukum Kamma juga bagian dari Dhamma ... :)

_/\_


Baiklah, saya coba untuk yang terakhir kalinya. Semoga memang saya yang hanya "asumsi".
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.

(2) Saya pergi untuk mencari alat kebutuhan saya sehari-hari dan mendapatkannya.

Dari kedua hal ini, menurut anda, bagaimanakah kamma dan vipakanya?


Dan anda juga tidak mengerti maksud gachapin. Kamma memang tidak terpisah dari ajaran Buddha, tetapi Dhammanussati merujuk pada Buddha-dhamma, bukan semua dhamma. 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 21 October 2009, 03:03:55 PM
Baiklah, saya coba untuk yang terakhir kalinya. Semoga memang saya yang hanya "asumsi".
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.

(2) Saya pergi untuk mencari alat kebutuhan saya sehari-hari dan mendapatkannya.

Dari kedua hal ini, menurut anda, bagaimanakah kamma dan vipakanya?

#1. Yang memberi makan itu siapa bro ? anda atau emaknya ?
#2. cetananya : Anda ingin mecari ... vipakanya : anda mendapatkannya ... Lalu bagaimana kalau tidak mendapatkan ? itu juga vipaka anda karena anda bercetana mencari ... itu saja yang bisa saya tuliskan ...
Kalau anda menanyakan kamma-kamma apa yang menyebabkan anda mendapatkan/tidak mendapatkan, itulah yang saya asumsikan sebagai muter-muter pada thread sebelah ... Semoga memberikan kejelasan (cetana saya) ... Puas atau enggak respon anda itu vipaka saya ... itu aja koq ... gak ribet-ribet ... :)

Dan anda juga tidak mengerti maksud gachapin. Kamma memang tidak terpisah dari ajaran Buddha, tetapi Dhammanussati merujuk pada Buddha-dhamma, bukan semua dhamma.  

Dear bro Kai ... :)
Kamma yang telah di rumuskan dengan sempurna itulah yang saya asumsikan bagian dari Buddha-Dhamma ...
Lalu dari sini dimana lagi ke tidak-nyambungan saya mengenai tulisan bro Gachapin ?
Kalau Hukum Kamma yang telah dirumuskan dengan sempurna oleh Sang Bhagava itu bukan termasuk Buddha-Dhamma, lalu mengapa ada pembahasan-pembahasan mengenai cara bekerjanya, waktu berbuahnya dsb dalam Buddha-Dhamma ?

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 October 2009, 05:02:27 PM
#1. Yang memberi makan itu siapa bro ? anda atau emaknya ?
Yang memberi makan adalah saya. Silahkan dijelaskan, nanti saya lanjut.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 21 October 2009, 10:23:56 PM
Quote
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan saya memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.

#1. Anda melihat anak kucing kelaparan (itu vipaka anda ... dari mana? saya tidak menjawab karena saya tidak tahu dan saya pikir kita cukup menganalisa yang ini saja) ... Anda merespon obyek dengan sebuah keinginan untuk memberi makan (cetana anda) ... kucing itu mendapat makanan (itu vipakanya) ... kucing itu dapat makan dan anda pastinya timbul perasaan dalam melihat kejadian itu ... (itu vipaka anda) ... itu saja ...

Kalau ternyata kucing itu meninggal karena belum cukup mendapat makanan, itu vipaka akibat keinginannya (cetananya) memakan makanan yang anda berikan ... Koq makan bisa meninggal yah ? Yah itulah ketidak-tahuan yang menyebabkan sebuah cetana berbuah demikian ... Lalu kamma apa yang membuat kucing itu meninggal ? ia makan makanan karena disertai ketidak-tahuan sebagai pengiringnya ...

Kucing itu sama halnya seperti orang yang terlena akan ketidak-tahuannya dalam menerima berbuahnya kamma baik yang menyebabkan ia jatuh seketika ... Misalnya anak orang kaya yang terkena pergaulan negatif, sehingga ia terperosok masuk penjara saat mempergunakan harta kekayaannya untuk menjalani sebuah bentuk kegiatan terlarang ... Dalam hal ini saya tidak membahas secara detail hal-hal yang membuat ribet dalam pembuktian sebuah proses kamma sederhana ...

Nah untuk kesekian kalinya saya tulis ... Ini cetana yang saya perbuat lewat pikiran dan saya tuliskan pada thread ini ... Anda membaca sebagai obyek dan reaksi apapun yang timbul dalam pikiran anda, itu vipaka anda ... Anda repost, anda membuat cetana baru yang bisa menghasilkan akibat baru, atau anda menghentikannya yang secara otomatis kamma cetana-vipaka anda di thread ini selesai ...

Bagaimana kalau post anda tidak ada komentar balasan lagi dari saya atau yg lainnya ? Itupun vipaka anda sebagai akibat anda dalam bercetana menuliskan sesuatu membuat pihak lain tidak merepost ... itu saja yang saya ketahui ... :)

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Tekkss Katsuo on 21 October 2009, 10:26:58 PM
 _/\_

wew pembahasan Kamma juga dibahas disini rupanya  :))

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 21 October 2009, 10:33:22 PM
 ^ :-$ ... TST ajalah ... ;) ...  :))

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 October 2009, 09:24:48 AM
Quote
(1) Saya melihat anak kucing kelaparan dan saya memberi makan daging. Namun ternyata umurnya belum cukup untuk mencerna makanan tersebut dan meninggal.

#1. Anda melihat anak kucing kelaparan (itu vipaka anda ... dari mana? saya tidak menjawab karena saya tidak tahu dan saya pikir kita cukup menganalisa yang ini saja) ... Anda merespon obyek dengan sebuah keinginan untuk memberi makan (cetana anda) ... kucing itu mendapat makanan (itu vipakanya) ... kucing itu dapat makan dan anda pastinya timbul perasaan dalam melihat kejadian itu ... (itu vipaka anda) ... itu saja ...
Di sini kita sepaham. Saya punya niat memberi makan, namun vipakanya kita tidak tahu. Demikian kamma apa yang pernah dilakukan kucing itu kita tidak tahu, namun vipakanya adalah dapat makanan.


Quote
Kalau ternyata kucing itu meninggal karena belum cukup mendapat makanan, itu vipaka akibat keinginannya (cetananya) memakan makanan yang anda berikan ... Koq makan bisa meninggal yah ? Yah itulah ketidak-tahuan yang menyebabkan sebuah cetana berbuah demikian ... Lalu kamma apa yang membuat kucing itu meninggal ? ia makan makanan karena disertai ketidak-tahuan sebagai pengiringnya ...

Kucing itu sama halnya seperti orang yang terlena akan ketidak-tahuannya dalam menerima berbuahnya kamma baik yang menyebabkan ia jatuh seketika ... Misalnya anak orang kaya yang terkena pergaulan negatif, sehingga ia terperosok masuk penjara saat mempergunakan harta kekayaannya untuk menjalani sebuah bentuk kegiatan terlarang ... Dalam hal ini saya tidak membahas secara detail hal-hal yang membuat ribet dalam pembuktian sebuah proses kamma sederhana ...
Namun di sini anda menjelaskan sesuatu yang fatal. Anda bilang kucing meninggal adalah vipaka dari cetana memakan makanan yang saya berikan. Tanpa menguraikan jauh-jauh, demikian pernyataan anda berarti Buddha juga sakit perut luar biasa adalah vipaka dari cetana memakan makanan yang diberikan oleh Cunda, si pandai besi. Itulah perbedaan kita.


Quote
Nah untuk kesekian kalinya saya tulis ... Ini cetana yang saya perbuat lewat pikiran dan saya tuliskan pada thread ini ... Anda membaca sebagai obyek dan reaksi apapun yang timbul dalam pikiran anda, itu vipaka anda ... Anda repost, anda membuat cetana baru yang bisa menghasilkan akibat baru, atau anda menghentikannya yang secara otomatis kamma cetana-vipaka anda di thread ini selesai ...

Bagaimana kalau post anda tidak ada komentar balasan lagi dari saya atau yg lainnya ? Itupun vipaka anda sebagai akibat anda dalam bercetana menuliskan sesuatu membuat pihak lain tidak merepost ... itu saja yang saya ketahui ... :)

_/\_
Akan kita bahas selanjutnya.


(2) Saya pergi untuk mencari alat kebutuhan saya sehari-hari dan mendapatkannya.

Dari kedua hal ini, menurut anda, bagaimanakah kamma dan vipakanya?

#2. cetananya : Anda ingin mecari ... vipakanya : anda mendapatkannya ... Lalu bagaimana kalau tidak mendapatkan ? itu juga vipaka anda karena anda bercetana mencari ... itu saja yang bisa saya tuliskan ...
Kalau anda menanyakan kamma-kamma apa yang menyebabkan anda mendapatkan/tidak mendapatkan, itulah yang saya asumsikan sebagai muter-muter pada thread sebelah ... Semoga memberikan kejelasan (cetana saya) ... Puas atau enggak respon anda itu vipaka saya ... itu aja koq ... gak ribet-ribet ... :)
Jadi anda katakan cetananya mencari, vipaka: tidak mendapatkan, namun bisa juga mendapatkan. Mungkin mau dilanjutkan vipakanya bisa mendapatkan dan tidak mendapatkan; namun bisa juga bukan mendapatkan dan bukan tidak mendapatkan? Dengan begitu anda bisa mewakili mereka dari penganut pandangan berbelit-belit.


Kita membahas satu hukum, yaitu hukum kamma di mana sebuah perbuatan (X) menghasilkan akibat (X').
Sekarang di satu sisi anda bilang:
jika saya bercetana mencari (A), maka vipakanya adalah mendapatkan (A'); namun bisa juga tidak mendapatkan (juga A'). Jadi hukum kamma ini mengatur apa? Jangan-jangan berbuat baik bisa mendapatkan celaka? 

Yang saya katakan adalah, kita melihat bermacam-macam akibat adalah integrasi dari kamma lainnya di masa lampau (atau setelah cetana A tersebut) dan hasilnya bervariasi karena yang kita lihat bisa jadi:
(1) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) +B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan apa yang dicari>
(2) A (mencari) -> (kemudian terjadi) B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan walaupun dia belum melakukan pencarian>
(3) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) + B' (misal: akibat mencuri) + C' (akibat lain), dst. <mencari, namun tidak mendapatkan>

Mempertimbangkan bahwa sesungguhnya saya tidak tahu apakah yang terjadi kemudian itu adalah A' dan apakah vipaka lain yang menyertainya (B', C', dst), saya katakan saya tidak bisa membuktikannya. Di lain pihak anda melihat akibat langsungnya sebagai Vipaka, dan itu anda buktikan sebagai hukum kamma. Di sinilah kita berbeda lagi. 


Kemudian anda menyempitkan dari hasilnya ke pikiran yang menyertai satu perbuatan, yaitu apa pun yang saya rasakan setelah posting, itulah vipakanya. Dengan demikian misalnya seseorang punya dendam membara, tidak bisa makan dan tidur dengan tenang karena begitu murkanya dia pada orang, jika suatu saat ia punya kesempatan membalas, apakah memukul, menyakiti, menganiaya, atau membunuh yang menyebabkannya puas dan bisa makan-tidur dengan tenang, perasaan itulah vipakanya. Singkatnya: cetana membalas dendam kesumat memberikan vipaka pikiran puas. Demikianlah anda katakan cetana yang jahat menghasilkan pikiran menyenangkan. Inilah perbedaan kita lainnya. Demikianlah lagi-lagi kita berbeda, dan itu bukan asumsi.

Oleh karena itu, saya rasa diskusi tidak bisa berjalan lebih jauh dan sekali lagi saya hentikan (karena cetana saya menghentikan diskusi pada posting sebelumnya ternyata vipakanya bukan terhentinya diskusi seperti yang anda jabarkan). Kita tidak mengatakan mana benar dan salah di sini, cukup terima kita berbeda saja, setuju?


Quote
Dear bro Kai ... :)
Kamma yang telah di rumuskan dengan sempurna itulah yang saya asumsikan bagian dari Buddha-Dhamma ...
Lalu dari sini dimana lagi ke tidak-nyambungan saya mengenai tulisan bro Gachapin ?
Kalau Hukum Kamma yang telah dirumuskan dengan sempurna oleh Sang Bhagava itu bukan termasuk Buddha-Dhamma, lalu mengapa ada pembahasan-pembahasan mengenai cara bekerjanya, waktu berbuahnya dsb dalam Buddha-Dhamma ?

Bro g.citra, seperti saya bilang, Aganna sutta juga dirumuskan dengan baik oleh Buddha Gotama, termasuk disinggung kappa pengembangan dan penyusutan. Memang anda bisa buktikan? Atau apa Buddha pernah suruh buktikan?
Yang dimaksud Bro gachapin adalah dhammanussati adalah perenungan sifat Buddha-dhamma, yaitu kenyataan tentang Dukkha. Atau supaya lebih pasti, silahkan tanya sendiri ke Bro gachapin, karena bisa saja saya juga salah mengerti.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 22 October 2009, 10:10:58 AM
Quote
(1) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) +B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan apa yang dicari>
(2) A (mencari) -> (kemudian terjadi) B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan walaupun dia belum melakukan pencarian>
(3) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) + B' (misal: akibat mencuri) + C' (akibat lain), dst. <mencari, namun tidak mendapatkan>

Analisa yang anda tulis diatas membuktikan, saya bahas kamma dari hanya 1 moment tanpa ada disertai tambahan definisi baik buruk, dan anda mengembangkannya jadi panjang x lebar dan mengatakan saya berbelit-belit ... :))

Itu vipaka yang saya dapat dari cetana saya menuliskan hal diatas sebelumnya! Dah simpel bagi saya dan gak berbelit-belit (karena saya gak mau MUTER-MUTER mikirin kamma apa lagi yang saya lakukan sehingga saya bisa mendapat repost dari anda)  ... 8)

Bukti lainnya bahwa anda menambahkan panjang x lebar!
Quote
Dengan demikian misalnya seseorang punya dendam membara, tidak bisa makan dan tidur dengan tenang karena begitu murkanya dia pada orang, jika suatu saat ia punya kesempatan membalas, apakah memukul, menyakiti, menganiaya, atau membunuh yang menyebabkannya puas dan bisa makan-tidur dengan tenang, perasaan itulah vipakanya.

Dendam membara >>> tidak bisa makan dan tidur  >>> 1 moment ini cukup membuktikan hukum kamma ... Diatas nyata anda merangkai kalimatnya jadi banyak moment

Dari diskusi ini sebenarnya apa yang anda cari bro ? Kemenangan berdebat dengan saya ?! :))
Kalau cuma itu, khusus buat anda saya bilang : SAYA KALAH dah ... :))

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 October 2009, 10:30:22 AM
Quote
(1) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) +B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan apa yang dicari>
(2) A (mencari) -> (kemudian terjadi) B' (misal: akibat berdana) + C' (akibat lain), dst. <mendapatkan walaupun dia belum melakukan pencarian>
(3) A (mencari) -> (kemudian terjadi) A' (akibat mencari) + B' (misal: akibat mencuri) + C' (akibat lain), dst. <mencari, namun tidak mendapatkan>

Analisa yang anda tulis diatas membuktikan, saya bahas kamma dari hanya 1 moment tanpa ada disertai tambahan definisi baik buruk, dan anda mengembangkannya jadi panjang x lebar dan mengatakan saya berbelit-belit ... :))

Itu vipaka yang saya dapat dari cetana saya menuliskan hal diatas sebelumnya! Dah simpel bagi saya dan gak berbelit-belit (karena saya gak mau MUTER-MUTER mikirin kamma apa lagi yang saya lakukan sehingga saya bisa mendapat repost dari anda)  ... 8)

Bukti lainnya bahwa anda menambahkan panjang x lebar!
Quote
Dengan demikian misalnya seseorang punya dendam membara, tidak bisa makan dan tidur dengan tenang karena begitu murkanya dia pada orang, jika suatu saat ia punya kesempatan membalas, apakah memukul, menyakiti, menganiaya, atau membunuh yang menyebabkannya puas dan bisa makan-tidur dengan tenang, perasaan itulah vipakanya.

Dendam membara >>> tidak bisa makan dan tidur  >>> 1 moment ini cukup membuktikan hukum kamma ... Diatas nyata anda merangkai kalimatnya jadi banyak moment

Dari diskusi ini sebenarnya apa yang anda cari bro ? Kemenangan berdebat dengan saya ?! :))
Kalau cuma itu, khusus buat anda saya bilang : SAYA KALAH dah ... :))

_/\_


Mengapa posting anda jadi demikian berantakan? Tidak ingin mengakui kesalahan sendiri? Baiklah, saya yang mengaku salah saja.
Saya minta maaf. Semoga berkenan. :)
 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 22 October 2009, 11:34:55 AM
Mengapa posting anda jadi demikian berantakan? itu pendapat anda
Tidak ingin mengakui kesalahan sendiri? Ini relatif, dualisme dan tidak akan punya nilai mutlak

Baiklah, saya yang mengaku salah saja.
Saya minta maaf. Semoga berkenan. :)
 _/\_

Mengapa anda minta maaf bro ? :)
Tolong dipikirkan dahulu motivasinya (tapi jangan ribet-ribet yah bro) ... ;D

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 22 October 2009, 11:58:40 AM
:)) dua2nya mengaku salah, jadi siapa yang benar? :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Tekkss Katsuo on 22 October 2009, 12:07:44 PM
 _/\_

dalam diskusi tdk mencari siapa yg benar siapa yg salah  :)) .. yg dicari adalah penjelasan dan jalan keluar agar bisa saling memahami satu sama lain... semoga kita saling paham memahami  :)) 
treadnya belum habis jg hahahaha

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 October 2009, 01:51:37 PM
Mengapa posting anda jadi demikian berantakan? itu pendapat anda
Tidak ingin mengakui kesalahan sendiri? Ini relatif, dualisme dan tidak akan punya nilai mutlak

Baiklah, saya yang mengaku salah saja.
Saya minta maaf. Semoga berkenan. :)
 _/\_

Mengapa anda minta maaf bro ? :)
Tolong dipikirkan dahulu motivasinya (tapi jangan ribet-ribet yah bro) ... ;D

_/\_


Saya minta maaf karena melakukan posting yang tidak berkenan buat anda.
Cukup?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 October 2009, 01:58:45 PM
_/\_

dalam diskusi tdk mencari siapa yg benar siapa yg salah  :)) .. yg dicari adalah penjelasan dan jalan keluar agar bisa saling memahami satu sama lain... semoga kita saling paham memahami  :)) 
treadnya belum habis jg hahahaha

 _/\_

Di thread ini adalah tempat saya berdiskusi tertutup, biasanya dengan satu pribadi. Tidak selalu ada kesimpulan dalam akhir diskusi. Misalnya dengan Bro xuvie, walaupun mungkin ada perbedaan pendapat, tapi telah dicapai saling pengertian, alias nyambung. (Diskusinya lewat PM, tidak diposting di forum.) Saya mengerti maksudnya, Bro xuvie juga mengerti maksud saya. Dengan Bro g.citra, saya sudah tahu sebelumnya bahwa persepsi saya dan persepsinya tentang hukum kamma sudah berbeda, sehingga diskusi tidak dapat berlanjut.

Kalau anda mau mulai diskusi dengan saya, silahkan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Tekkss Katsuo on 22 October 2009, 02:05:19 PM
 _/\_

^
^ :))  ntah mao berdiskusi soal apa.. haha nga ada topic. hahaha

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 October 2009, 02:20:20 PM
:)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 22 October 2009, 03:08:03 PM
Quote
Oleh karena itu, saya rasa diskusi tidak bisa berjalan lebih jauh dan sekali lagi saya hentikan (karena cetana saya menghentikan diskusi pada posting sebelumnya ternyata vipakanya bukan terhentinya diskusi seperti yang anda jabarkan).

Itu karena cetana anda disertai pamrih (bayangan/asumsi/dugaan) yang bersifat sepihak bro ...
Cetana A vipaka harus A ... demikian jalan pemikiran anda (ini sifat khas dari si Aku) ... :)

Seperti yang saya tulis di thread sebelah, asumsi saya tentang hukum kamma hanya sebagai hukum sebab (cetana) - akibat (vipaka) ... tanpa definisi lain ...

Quote
Kita tidak mengatakan mana benar dan salah di sini, cukup terima kita berbeda saja, setuju?

Setuju ...

Quote
Saya minta maaf karena melakukan posting yang tidak berkenan buat anda.
Cukup?

Cukup ...

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 October 2009, 04:06:30 PM
Quote
Oleh karena itu, saya rasa diskusi tidak bisa berjalan lebih jauh dan sekali lagi saya hentikan (karena cetana saya menghentikan diskusi pada posting sebelumnya ternyata vipakanya bukan terhentinya diskusi seperti yang anda jabarkan).

Itu karena cetana anda disertai pamrih (bayangan/asumsi/dugaan) yang bersifat sepihak bro ...
Cetana A vipaka harus A ... demikian jalan pemikiran anda (ini sifat khas dari si Aku) ... :)

Seperti yang saya tulis di thread sebelah, asumsi saya tentang hukum kamma hanya sebagai hukum sebab (cetana) - akibat (vipaka) ... tanpa definisi lain ...

Quote
Kita tidak mengatakan mana benar dan salah di sini, cukup terima kita berbeda saja, setuju?

Setuju ...

Quote
Saya minta maaf karena melakukan posting yang tidak berkenan buat anda.
Cukup?

Cukup ...

 _/\_


Nah, itu lagi perbedaan kita. Anda bahas cetana A dan vipaka B, merasa sudah bahas hukum kamma. Buat saya, hukum kamma yang dibahas adalah cetana A dan vipakanya.

Omong-omong, anda berkali-kali menghakimi saya, apakah tentang pamrih, bahkan menyinggung "aku/ego" tanpa anda sendiri berkaca. Anda tidak seperti g.citra yang saya kenal dan saya hormati sebelumnya. Seperti orang yang berbeda sama sekali.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 22 October 2009, 08:41:10 PM

Di thread ini adalah tempat saya berdiskusi tertutup, biasanya dengan satu pribadi. Tidak selalu ada kesimpulan dalam akhir diskusi. Misalnya dengan Bro xuvie, walaupun mungkin ada perbedaan pendapat, tapi telah dicapai saling pengertian, alias nyambung. (Diskusinya lewat PM, tidak diposting di forum.) Saya mengerti maksudnya, Bro xuvie juga mengerti maksud saya. Dengan Bro g.citra, saya sudah tahu sebelumnya bahwa persepsi saya dan persepsinya tentang hukum kamma sudah berbeda, sehingga diskusi tidak dapat berlanjut.

Kalau anda mau mulai diskusi dengan saya, silahkan.
Tidak mungkin menyamakan persepsi 100%, yg penting saling mengerti. Diskusi yg menyenangkan. _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 22 October 2009, 09:57:05 PM
Nah, itu lagi perbedaan kita. Anda bahas cetana A dan vipaka B, merasa sudah bahas hukum kamma. Buat saya, hukum kamma yang dibahas adalah cetana A dan vipakanya.

Omong-omong, anda berkali-kali menghakimi saya, apakah tentang pamrih, bahkan menyinggung "aku/ego" tanpa anda sendiri berkaca. Anda tidak seperti g.citra yang saya kenal dan saya hormati sebelumnya. Seperti orang yang berbeda sama sekali.

Dear bro Kai ... :)
Anda kaget yah bro ... ?
Bukan berharap untuk dihormati kembali, saya minta maaf telah membuat anda kaget ...

Cuma saya tanya 1 hal saja ... Kalau gaya saya sudah berubah dan akibatnya saya tidak lagi mendapat respek dari anda, itu vipaka dari langsung yang terbukti bukan ? :)

Semuanya saya kembalikan pada anda ... :)
Sebut saja ini cara saya (jujur, ini kebetulan) untuk membuktikan hukum kamma untuk anda ... Semoga dimengerti yah bro Kai ... :)

 [at] Xuvie ... Setuju ... yang penting saling mengeti ... tx bro dah mengingatkan ... ;)

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 22 October 2009, 11:05:33 PM

Dear bro Kai ... :)
Anda kaget yah bro ... ?
Bukan berharap untuk dihormati kembali, saya minta maaf telah membuat anda kaget ...

Cuma saya tanya 1 hal saja ... Kalau gaya saya sudah berubah dan akibatnya saya tidak lagi mendapat respek dari anda, itu vipaka dari langsung yang terbukti bukan ? :)

Semuanya saya kembalikan pada anda ... :)
Sebut saja ini cara saya (jujur, ini kebetulan) untuk membuktikan hukum kamma untuk anda ... Semoga dimengerti yah bro Kai ... :)



_/\_


Saya hanya bertanya tanpa bermaksud berdiskusi lebih lanjut:

Apakah Anda mempercayai kebenaran hukum kamma disebabkan karena dapat dibuktikan dengan bukti sebagaimana yg anda jelaskan di atas dan post2 sebelumnya termasuk thread yg lain tentang kamma? Atau ada sebab lainnya?

Terima kasih sebelumnya


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 22 October 2009, 11:08:28 PM
Kepada Bro Kainyn:

Sama dengan di atas saya hanya bertanya dan tidak akan mendiskusikannya lebih lanjut:

Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?

Terima kasih sebelumnya

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 22 October 2009, 11:58:02 PM
Saya hanya bertanya tanpa bermaksud berdiskusi lebih lanjut:
Apakah Anda mempercayai kebenaran hukum kamma disebabkan karena dapat dibuktikan dengan bukti sebagaimana yg anda jelaskan di atas dan post2 sebelumnya termasuk thread yg lain tentang kamma? Atau ada sebab lainnya?

Terima kasih sebelumnya

Yah begitulah kira-kira bro Hendrako ...
Dari definisi saya tentang hukum kamma diatas, saya hanya membatasi pembuktian kamma itu pada sebab-akibatnya saja (tidak dikembangkan seperti contohnya: baik mendapat baik, atau sebaliknya) ... karena menurut saya tambahan kata apapun dari kata sebab-akibat, akan 'menyekat' hukum itu kepada sebuah pandangan baik-buruk, benar-salah dimana tolok ukurnya menjadi sangat berbeda dari tiap pribadi (sebagai contohnya: baik menurut saya, belum tentu baik menurut anda bukan ? ) dan ini sama sekali menjadikannya  'tidak universal' (sama seperti tulisan saya di atas pada thread ini mengenai Tuhan) ...  

Karena alasan ini, saya tidak mau membahasnya lebih lanjut disini karena jujur, saya tidak berkemampuan untuk itu ...

Sedikit rangkaian kata dari saya (kalau belepotan, maklum aja yah pendidikan rendah) ... ;D

Hukum kamma sangat rumit, karenanya ditetapkan dalam salah satu acinteyya oleh Sang Bhagava...
Namun tidak semua bentuk kamma sangat rumit sehingga dapat dibuktikan kebenaran oleh murid-muridNya ...

Seluruh proses kamma sangat simpel, bagi orang-orang yang telah tahu dari ketidak-tahuan yang telah dikikisnya ...
Namun proses kamma sederhanapun tidak menjadi simpel bagi orang-orang tidak-tahu yang terus menerus menggeluti ketidak-tahuannya ...

Kerja hukum kamma jadi rumit, bagi orang-orang yang hanya 'tertarik untuk membuktikan' tanpa melihat manfaat dari ketertarikannya ...
Kerja hukum kamma lebih simpel, bagi orang-orang yang 'tertarik untuk melihat manfaat' disaat mulai belajar membuktikannya ...

Itu aja bro Hendrako ...
Terima kasih juga sesudahnya ... :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: char101 on 22 October 2009, 11:59:55 PM
Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?

Sudah dijawab di Millinda Panha

Quote
1. “Have you or your teachers seen the Buddha?”
“No, great king.”
“Then, Nàgasena, there is no Buddha!”
“Have you or your father seen the River Uhà in the Himalayas?”
“No venerable sir.”
“Then would it be right to say there is no river Uhà?”
“You are dexterous, Nàgasena, in reply.”

(Chapter 5: The Buddha)

Kalau sungai bisa dilihat di peta, hukum kamma bisa dibaca di tipitaka. Mengapa kita lebih percaya dengan pembuat peta dibanding tipitaka? Mungkin karena sadar atau tidak sadar, akan lebih aman (need of survival) untuk diri kita kalau tidak ada akibat dari kamma, karena zaman sekarang lebih mudah untuk berbuat tidak baik dibanding berbuat baik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 October 2009, 10:55:18 AM
Dear bro Kai ... :)
Anda kaget yah bro ... ?
Bukan berharap untuk dihormati kembali, saya minta maaf telah membuat anda kaget ...

Cuma saya tanya 1 hal saja ... Kalau gaya saya sudah berubah dan akibatnya saya tidak lagi mendapat respek dari anda, itu vipaka dari langsung yang terbukti bukan ? :)

Semuanya saya kembalikan pada anda ... :)
Sebut saja ini cara saya (jujur, ini kebetulan) untuk membuktikan hukum kamma untuk anda ... Semoga dimengerti yah bro Kai ... :)

Saya tidak masalah dibuat "kaget". Yang saya harapkan adalah semoga perbedaan pendapat dalam sebuah debat tidak menyebabkan kemunduran dalam bathin kita.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 October 2009, 10:58:57 AM
Kepada Bro Kainyn:

Sama dengan di atas saya hanya bertanya dan tidak akan mendiskusikannya lebih lanjut:

Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?

Terima kasih sebelumnya

Kawan saya suatu saat pernah ditanya tentang hukum kamma. Jawabannya adalah kira-kira seperti ini:

"Saya tidak tahu manakah yang paling benar dari semua agama. Namun bagi saya, walaupun semua adalah kebohongan, hukum kamma adalah kebohongan yang paling adil dan paling bisa diterima oleh logika. Itulah sebabnya saya memilih percaya hukum kamma."

Saya sependapat dengannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 23 October 2009, 11:04:41 AM
Terima kasih kepada bro G.citra dan Kainyn atas jawabannya.

 _/\_

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Equator on 23 October 2009, 11:11:31 AM
Kepada Bro Kainyn:

Sama dengan di atas saya hanya bertanya dan tidak akan mendiskusikannya lebih lanjut:

Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?

Terima kasih sebelumnya

Kawan saya suatu saat pernah ditanya tentang hukum kamma. Jawabannya adalah kira-kira seperti ini:

"Saya tidak tahu manakah yang paling benar dari semua agama. Namun bagi saya, walaupun semua adalah kebohongan, hukum kamma adalah kebohongan yang paling adil dan paling bisa diterima oleh logika. Itulah sebabnya saya memilih percaya hukum kamma."

Saya sependapat dengannya.



 =D> =D> =D> =D> =D> =D> =D> =D> the good answer >:)<
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 October 2009, 11:19:09 AM
Mengapa Anda mempercayai/ berkeyakinan terhadap kebenaran hukum Kamma sementara kebenarannya tidak dapat dibuktikan?

Sudah dijawab di Millinda Panha

Quote
1. “Have you or your teachers seen the Buddha?”
“No, great king.”
“Then, Nàgasena, there is no Buddha!”
“Have you or your father seen the River Uhà in the Himalayas?”
“No venerable sir.”
“Then would it be right to say there is no river Uhà?”
“You are dexterous, Nàgasena, in reply.”

(Chapter 5: The Buddha)

Kalau sungai bisa dilihat di peta, hukum kamma bisa dibaca di tipitaka. Mengapa kita lebih percaya dengan pembuat peta dibanding tipitaka? Mungkin karena sadar atau tidak sadar, akan lebih aman (need of survival) untuk diri kita kalau tidak ada akibat dari kamma, karena zaman sekarang lebih mudah untuk berbuat tidak baik dibanding berbuat baik.

Pendapat yang menarik.
Anda tahu perbedaan ajaran Buddha dan pandangan lain? Walaupun pandangan Buddha memercayai hukum kamma, namun pembuktian Buddha-dhamma tidak berdasarkan pada pembuktian hukum kamma. Contoh yang paling sederhana misalnya mencuri. Menurut hukum kamma, orang mencuri akan berakibat kekurangan dalam hidupnya. Namun dalam Buddha-dhamma, pembahasan mencuri adalah mengenai akarnya yang tidak lain adalah Lobha-Dosa-Moha, di mana biasanya yang dominan adalah Lobha.

Pembuktian hukum kamma mencuri tersebut amat susah dilakukan, karena mungkin berbuahnya di lain waktu, lain tempat, lain kehidupan.
Namun kenyataan bahwa keserakahan, tidak bisa menerima kenyataan apa adanya, menimbulkan keinginan, ketidakpuasan. Ketidakpuasan inilah penderitaan. Di mana pun, kapan pun, keserakahan menimbulkan ketidakpuasan adalah nyata. Inilah dukkha, yang dibuktikan di sini dan sekarang, sesuai dengan sifatnya, ehipassiko.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 23 October 2009, 11:38:20 AM
Dalam dunia nyata kita mengset goal ....
membeli rumah, mobil, nikah, dst, dst...
dan juga memiliki tabungan (rekening bank yg dpt dihitung duitnya)...

sebagai seorang Buddhist,

Goal seperti apa yg tepat/baik utk di set,
dan bagaimana mengolah tabungan tsb ?

Dapatkah di kelolah/set per minggu, per bulan dst ?

thanks sebelumnya..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Tekkss Katsuo on 23 October 2009, 11:39:01 AM
 _/\_

ckckckc Bro Kai ckckckckc, patent

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: char101 on 23 October 2009, 12:43:39 PM
Pendapat yang menarik.
Anda tahu perbedaan ajaran Buddha dan pandangan lain? Walaupun pandangan Buddha memercayai hukum kamma, namun pembuktian Buddha-dhamma tidak berdasarkan pada pembuktian hukum kamma. Contoh yang paling sederhana misalnya mencuri. Menurut hukum kamma, orang mencuri akan berakibat kekurangan dalam hidupnya. Namun dalam Buddha-dhamma, pembahasan mencuri adalah mengenai akarnya yang tidak lain adalah Lobha-Dosa-Moha, di mana biasanya yang dominan adalah Lobha.

Memang perbuatan mencuri kemungkinan besar disebabkan oleh akusala-mula tapi saya rasa tidak akan memuaskan si penanya yang menanyakan apa bukti dari hukum kamma kalau yang kita jelaskan adalah sebabnya, karena lobha-dosa-moha itu adalah hetu-paccaya (hubungan sebab) [1] sedangkan kamma itu kamma-paccaya [2] (ada 24 jenis hubungan antara hal-hal)

[1] http://www.dhammastudy.com/Conditions1.html
[2] http://www.dhammastudy.com/Conditions11.html

Terlalu tergantung pada pembuktian sebelum percaya itu berbahaya seperti yang diajarkan di Cula-Malukyaputta Sutta

Quote
"It's just as if a man were wounded with an arrow thickly smeared with poison. His friends & companions, kinsmen & relatives would provide him with a surgeon, and the man would say, 'I won't have this arrow removed until I know whether the man who wounded me was a noble warrior, a priest, a merchant, or a worker.' ...

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/mn/mn.063.than.html

Padahal kalau sama dokter kayanya kita percaya-percaya aja kan mau dikasih obat apa pun.

Quote
Pembuktian hukum kamma mencuri tersebut amat susah dilakukan, karena mungkin berbuahnya di lain waktu, lain tempat, lain kehidupan.
Namun kenyataan bahwa keserakahan, tidak bisa menerima kenyataan apa adanya, menimbulkan keinginan, ketidakpuasan. Ketidakpuasan inilah penderitaan. Di mana pun, kapan pun, keserakahan menimbulkan ketidakpuasan adalah nyata. Inilah dukkha, yang dibuktikan di sini dan sekarang, sesuai dengan sifatnya, ehipassiko.

Iya, menurut saya juga ehipasiko itu dikatakan dalam konteks 8 jalan utama dan 4 kesunyataan mulia. Tidak semua hal itu ehipassiko. Apalagi cara kerja kamma itu tidak dapat dimengerti manusia biasa

Quote
Only a Buddha has full knowledge of the true nature of kamma and vipaka and this knowledge is not shared by his disciples (Visuddhimagga XIX, 17).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 October 2009, 01:03:07 PM
Dalam dunia nyata kita mengset goal ....
membeli rumah, mobil, nikah, dst, dst...
dan juga memiliki tabungan (rekening bank yg dpt dihitung duitnya)...

sebagai seorang Buddhist,

Goal seperti apa yg tepat/baik utk di set,
dan bagaimana mengolah tabungan tsb ?

Dapatkah di kelolah/set per minggu, per bulan dst ?

thanks sebelumnya..
Kalau menurut saya, tujuan seseorang dengan orang lain tidak bisa disamakan. Ada yang puas dengan gaji Rp.1jt per bulan, misalnya, tetapi koruptor sendiri tidak akan puas walaupun sudah punya kekayaan bermilyar-milyar.

Sebagai seorang Buddhist, selain cara mendapatkan kekayaan diperhatikan (sesuai dengan pencaharian benar) juga tidak lupa untuk senantiasa mengikis keserakahan dalam dirinya. Tidak masalah seseorang menjadi kaya. Yang masalah adalah jika seseorang kehilangan kemampuan untuk puas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 13 November 2009, 09:50:41 PM
Om mau tanya,
apakah vinaya bersifat kaku(lawan kata fleksibel)
maksudnya,apakah dalam keadaan tertentu vinaya boleh di langgar?
Bagaimana dgn koan Zen,soal biksu yg mengendong wanita menyebrangi sungai?
Disatu sisi bisku tersebut telah melanggar vinaya,disatu sisi telah melakukan kusala kamma..
Bagaimana pandangan om ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 13 November 2009, 10:15:12 PM
Utk Mr. Chikennn
Ada tulisan mengenai Tanzan menggendong wanita itu dari tulisannya Bro Piya Tan. So, saya share sedikit ya ;)

Spoiler: ShowHide

ARE BODHISATTVAS SELFISH?

While I was having a meal at a mixed rice stall, a person comes up to me and asked me to pay for his meal. I agreed and asked him to order what he wanted to eat. However, he said he wanted to buy his meal elsewhere: he was asking for money, and I don’t think he’s honest about it. So I said no. It is wrong because the message would be that it is all right to lie.

This set me thinking about some of the Bodhisattva stories we read or hear about. The Vyaghri Jataka, a Sanskrit tale from the Jatakamala, for example, tells of how the Bodhisattva sacrifices his own life to a hungry tigress that was too weak to even attack him. So he cut himself up so that the tigress drinking his blood, would gain strength and devour him.

So the Bodhisattva, it is said, practises his perfection of giving to the highest level, giving his own life away to others. The question now is, what happens to the tigress? What is her karma? Isn’t it karmically horrible to eat a Bodhisattva’s flesh. The tigress will face even more painful rebirth on account of the Bodhisattva’s giving. Anyway, this is just a story, which should help us think deeply.

Compassion unguided by wisdom easily make pious fools of us, fearing bad karma even in criticizing evil and wrong, and so become easy lackeys of the cunning and canny. Wisdom untempered by compassion turns us into clever talking heads who would give the best explanations for a problem without raising a finger to solve it. We need to have a right balance of wisdom and compassion when examining or executing a skillful means.

With such an understanding let us now examine an oft-quoted Zen story; indeed, popular enough to be cited by even non-Buddhist writers as their own.
       
Two Zen monks, Tanzan and Ekido, traveling on pilgrimage, came to a muddy river crossing. There they saw a lovely young woman dressed in her kimono and finery, obviously not knowing how to cross the river without ruining her clothes. Without further ado, Tanzan graciously picked her up, held her close to him, and carried her across the muddy river, placing her onto the dry ground.
Then he and Ekido continued on their way. Hours later they found themselves at a lodging temple. And here Ekido could no longer restrain himself and gushed forth his complaints:
“Surely, it is against the rules what you did back there…. Touching a woman is simply not allowed…. How could you have done that? … And to have such close contact with her! … This is a violation of all monastic protocol…”
Thus he went on with his verbiage. Tanzan listened patiently to the accusations.
Finally, during a pause, he said, “Look, I set that girl down back at the crossing. Are you still carrying her?”
(Based on an autobiographical story by Japanese Zen master Tanzan)

Tanzan (1819-1892) was a Japanese Buddhist priest and professor of philosophy at the Japanese Imperial University (now the University of Tokyo) during the Meiji period. He was regarded as a Zen master, and figured in several well-known koans, and was also well-known for his disregard of many of the precepts of everyday Buddhism, such as dietary laws. I’m not sure if there is anything virtuous in this.

The first thing we should note is that this is an autobiographical Zen story; it probably did not happen, not exactly in this manner, anyway. For if it did, then it has a serious ethical problem, where one is good at the cost of the perceived evil or foolishness of another. I think it was the Irish playwright, George Bernard Shaw (1856-1950) who quipped, “There are bad women because there are good women.”

Indeed, a bodhisattva who is regarded as good or compassionate on account of the evil or lack in others, would actually be a selfish person, as the bodhisattva is not independently good. A true bodhisattva is one who, being himself highly virtuous, is capable of inspiring goodness in another, even if it is to the bodhisattva’s apparent disadvantage.

Tanzan’s self-told tale has a serious moral flaw if he made himself appear virtuous on account of Ekido’s concern for the Vinaya. Such a person as Ekido, however, was simply rare in Meiji Japan, where priests were as a rule non-celibate (on account of the nikujiki saitaiior “meat-eating and marriage” law of 1872). As such, it was likely than Tanzan had invented a Vinaya-respecting monk as a foil for his self-righteousness.

On the other hand, Tanzan’s tale also evinces his serious lack of understanding of the Vinaya rules. For, in a real life situation, even a Vinaya-observing orthodox Theravada monk would help this lady in every way he could, or he would ask his colleague or some other suitable persons to help the woman. If a Vinaya-keeping monk has helped the woman, he has done a good deed by breaking a minor rule, for which he only needs to confess before another monk, and remind himself not to wander into improper places the next time. There is no need of any skillful means here, only common sense.

Piya Tan © 2009

This is a slightly excerpt from Piya Tan’s article “Skillful Means” (SD 30.8).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 13 November 2009, 10:33:06 PM
Thank,
btw,puyeng bacanya,ada versi indonya ga?aye ga fasih english.. :'(
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 13 November 2009, 10:48:48 PM
translate ke indo via google translator lah :D

http://translate.google.co.id (http://translate.google.co.id)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 November 2009, 11:15:25 AM
Om mau tanya,
apakah vinaya bersifat kaku(lawan kata fleksibel)
maksudnya,apakah dalam keadaan tertentu vinaya boleh di langgar?
Bagaimana dgn koan Zen,soal biksu yg mengendong wanita menyebrangi sungai?
Disatu sisi bisku tersebut telah melanggar vinaya,disatu sisi telah melakukan kusala kamma..
Bagaimana pandangan om ;D

Kalau menurut saya, vinaya, sama juga seperti aturan-aturan lainnya, hanya memberikan kurang-lebih saja, sama sekali bukan harga mati.
Pada kasus dua bhiksu Zen, memang vinaya dilanggar, tetapi jika bhiksu itu memang tidak melakukannya berdasarkan lobha-dosa-moha, sepertinya bukan sesuatu yang patut dipersalahkan. Mungkin hanya akan ada pengakuan pelanggaran, dan diterima oleh sangha tanpa berlarut-larut.

Namun pada kenyataannya, susah sekali mengetahui pikiran seseorang, apakah dipenuhi nafsu atau tidak. Seorang penjaga vinaya yang baik, selain memerhatikan "kusala kamma", juga tidak boleh melupakan imbas yang akan dihasilkan. Jika semata-mata membenarkan hanya karena tidak ada nafsu yang timbul, maka nanti akan jadi "kebiasaan" untuk melakukan pelanggaran tersebut. Apa jadinya nanti jika orang melihat secara rutin sekumpulan bhiksu menggendong sekumpulan wanita menyeberang sungai? Apakah kemudian klaim "kami tidak melakukannya dengan nafsu" cukup mayakinkan?
Bukankah dengan begitu, yang memiliki keyakinan akan kehidupan suci Sangha menjadi goyah dan yang belum memiliki keyakinan akan Buddha-dharma akan semakin jauh darinya?

Jadi bagaimana kesimpulannya? Kembali lagi tidak ada jawaban langsung "boleh" atau "tidak" untuk dilanggar. Semua kembali kepada kebijaksanaan masing-masing. Namun untuk bhikkhu, 4 Parajika (berhubungan seksual, pencurian, pembunuhan, pengakuan magga-phala yang sebetulnya belum dicapai) tidak seharusnya dilanggar dengan alasan apa pun.

Seseorang pernah berkata apabila seorang bhikkhu bertemu dengan anjing liar yang akan membunuh penduduk desa dan ia bisa membunuhnya, ia seharusnya membunuhnya. Saya tidak setuju. Menurut saya sederhana, jika seseorang masih terikat dengan dunia, pikiran menyelamatkan orang lain walaupun dengan jalan membunuh, sebaiknya dia menjadi ksatria, bukan bhikkhu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Jerry on 14 November 2009, 05:04:25 PM
Nice answer Bro Kain :jempol:

Tindakan seorang bhikkhu seharusnya memandang dari berbagai sisi dan mengambil jalan keluar terbaik. Sang Buddha sendiri telah mengajarkan jalan tengah utk menjembatani antar berbagai hal yg tampak berseberangan, kebenaran yg diajarkan beliau dengan kebenaran konvensional spt norma sosial dan etika yg ada di masyarakat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 14 November 2009, 07:40:14 PM
Thank atas pendapatnya om _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 15 November 2009, 12:57:32 AM
 [at] Kainyn, kayaknya parajika yang membunuh orang deh. kalau masih anjing belum parajika.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 16 November 2009, 10:26:13 AM
Nice answer Bro Kain :jempol:

Tindakan seorang bhikkhu seharusnya memandang dari berbagai sisi dan mengambil jalan keluar terbaik. Sang Buddha sendiri telah mengajarkan jalan tengah utk menjembatani antar berbagai hal yg tampak berseberangan, kebenaran yg diajarkan beliau dengan kebenaran konvensional spt norma sosial dan etika yg ada di masyarakat.
Ya, mengenai peraturan, Buddha tidak mengeluarkan aturan-aturan aneh, tidak "menjajah budaya", melainkan hanya mengajarkan bersikap wajar dan menghindari ekstrem.


Thank atas pendapatnya om _/\_
Sama-sama.  _/\_


[at] Kainyn, kayaknya parajika yang membunuh orang deh. kalau masih anjing belum parajika.
Saya memang tidak tahu detail objek dari Parajika dan juga tidak bermaksud mengatakan membunuh anjing itu merupakan pelanggaran parajika. Itu hanya sekadar contoh saja bahwa kadang kita masih melekat pada satu hal, lalu dengan alasan macam-macam, digunakan untuk melanggar vinaya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 16 November 2009, 12:25:08 PM
Thank atas pendapatnya om _/\_

bro pertanyaan gendong mengendong pun bisa membuat pikiran gw gusar....

tapi saya akan sangat menderita kalau setiap hari harus menggendong
1000 gadis cantik menyeberangin sungai yg ada buaya kecil2
(kalau besar yg habis dehhh).............

bagaimana tanggapan bro Kainyn_Kutho
1. tentang perusahaan yg mengharuskan karyawannya
   menjalankan aktivitas agama bersama2 pada pagi hari ?
2. hanya agama tertentu yg bekerja di perusahaan itu ?

3. Kenapa kadang kala pikiran kita.... wuuuuhh wuuenak yg menggendong
   seorang gadis cantik menyeberangin sungai............
   tetapi pikiran "senang" tersebut pun cepat hilang... kalau itu merupakan
   pekerjaan/kewajiban utk menggendong 1000 gadis menyeberangin sungai...
   selama beberapa tahun gitu ???

(kedua kasus utk di Indonesia bro)

trims sebelumnya...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 16 November 2009, 01:33:57 PM
bagaimana tanggapan bro Kainyn_Kutho
1. tentang perusahaan yg mengharuskan karyawannya
   menjalankan aktivitas agama bersama2 pada pagi hari ?
Tanggapan saya, wajar-wajar saja. Setiap pemilik perusahaan boleh mengatur bagaimana perusahaannya berjalan, selama tidak melanggar hukum. Sama saja dengan sekolah agama tertentu yang mewajibkan siswa-siswinya beribadah menurut agamanya. Bagi karyawan, sudah menjadi konsekwensi dia memilih perusahaan tersebut.

Quote
2. hanya agama tertentu yg bekerja di perusahaan itu ?
Kira-kira sama dengan yang pertama. Tetapi menurut saya, perusahaan tersebut akan lebih susah maju karena membatasi potensi SDM hanya sebatas orang-orang agama tertentu, sementara kita tahu orang berpotensi tidak terbatas pada satu agama.


Quote
3. Kenapa kadang kala pikiran kita.... wuuuuhh wuuenak yg menggendong
   seorang gadis cantik menyeberangin sungai............
   tetapi pikiran "senang" tersebut pun cepat hilang... kalau itu merupakan
   pekerjaan/kewajiban utk menggendong 1000 gadis menyeberangin sungai...
   selama beberapa tahun gitu ???
Karena memang apa yang menyenangkan dan tidak menyenangkan sifatnya relatif. Sama seperti kalau anda makan makanan favorit anda 1 piring. Coba makan makanan yang paling nikmat itu pagi-siang-malam selama 3 bulan penuh. Nanti nilai-nilai favorit dan tidak favorit akan bergeser, padahal rasa makanan itu tetap sama, tidak berubah.

Pikiran kita senantiasa "dibohongi" dan dipenuhi ide-ide oleh pikiran kita sendiri, sehingga timbul perasaan-perasaan tersebut. "Terapi"-nya, Buddha mengajarkan kita untuk senantiasa sadar agar "melihat" bagaimana pikiran bergerak. Sederhana sekali, bukan yang aneh-aneh, walaupun penerapannya tidaklah semudah yang dibicarakan. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 16 November 2009, 02:53:53 PM
gw tanya lagi deh.... (mungkin udah pernah ditanyakan)

1. bagaimana pandangan Buddhist tentang mencari nafkah dari
stock trading (permainan saham, option maupun FOREX)...

2. apakah ketiga-tiganya sama atau beda?

3. adakah defenisi utk JUDI dari suatu kegiatan ?

mencari nafkah :
  disini artinya biaya kehidupan diambil dari keuntung disini.

trims sebelumnya
 _/\_ 8)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 16 November 2009, 03:31:50 PM
gw tanya lagi deh.... (mungkin udah pernah ditanyakan)

1. bagaimana pandangan Buddhist tentang mencari nafkah dari
stock trading (permainan saham, option maupun FOREX)...
Saya tidak tahu detail mengenai ketiga hal tersebut, jadi hanya akan jawab secara umum saja.
Prinsip dari ketiga hal itu adalah kita hanya investasi, kita tidak bekerja, kita tidak bisa berusaha, lalu menikmati hasil. Silahkan koreksi jika salah.

Secara umum, dilihat dari pemilihan, ada dua macam orang yang berinvestasi:
1. yang berdasarkan analisa, melihat "kesehatan" perusahaan, sentimen pasar, dll.
2. yang tidak berdasarkan analisa. Biasanya pakai insting, perasaan, takhyul, dan sejenisnya. Jenis ini tidak ada bedanya dengan judi.

Dilihat dari partisipasinya, juga ada dua macam orang yang berinvestasi di usaha orang lain:
1. yang peduli, mendukung dan ingin memajukan usaha tersebut
2. yang hanya mau mengambil keuntungan saja. Yang jenis terakhir ini peduli pada satu perusahaan sebatas "untung-rugi". Kalau menguntungkan, dia masuk dan ikut merasakan. Kalau rugi, dia pergi begitu saja. Bahasa halusnya: habis manis sepah dibuang. Kebanyakan yang saya lihat, semua "investor" adalah jenis ini.

Sekarang bagaimana pendapat anda sendiri, yang mana yang sesuai?


Quote
2. apakah ketiga-tiganya sama atau beda?
Karena saya hampir 'buta ekonomi', saya tidak bisa jawab. Secara umum, menurut saya sama saja.


Quote
3. adakah defenisi utk JUDI dari suatu kegiatan ?

mencari nafkah :
  disini artinya biaya kehidupan diambil dari keuntung disini.

Definisi judi sendiri saya tidak tahu pasti. Jika dikatakan peluang, semua usaha pun ada risikonya. Kalau menurut saya, judi adalah jika kita mempertaruhkan milik kita untuk keuntungan yang tidak kita usahakan di mana keberhasilannya juga tidak bisa kita perjuangkan, bukan masalah peluang.

Saya sendiri tidak setuju dengan produk-produk kapitalisme di mana segelintir orang bisa bersenang-senang dengan usaha semu dan banyak orang lainnya dirugikan. Oleh sebab itu, main saham atau sejenisnya juga saya katakan sebagai judi. Investasi yang saya setuju adalah jika seseorang memang menjadikan miliknya sebagai modal bagi perkembangan suatu usaha dan juga mau menanggung risiko ruginya. Tapi saya sangat-sangat ragu ada yang mau main saham dengan cara demikian.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 16 November 2009, 05:09:22 PM
1. bagaimana pandangan Buddhist tentang mencari nafkah dari
stock trading (permainan saham, option maupun FOREX)...

setahu saya sah-sah saja seorang buddhism bermain saham, option, maupun valuta asing...
yang penting bisa di lihat ke dalam batin, sewaktu bermain....tenang atau tidak tenang? ;D

dulu teman saya waktu main index...waduh, menang 50 juta, hari ini....kemudian 2 harinya karena hongkong gempa...rugi 100 juta...langsung habis....
sakit kepala selama 1 minggu..

kalau anda main lantas kalah, mungkin sebagai manusia yg masih LDM boleh lah kecewa...asalkan ga sampai dibawa stress gila  ;D ataupun menang kaga kek orang gila teriak-teriak....inti nya jangan berlebihan.


Quote
2. apakah ketiga-tiganya sama atau beda?
imo, sih semua baik berdagang barang, tapi kalau batin gelisah mikir rugi, mikir untung tidak menambah ketenangan...malah selalu terbawa pikiran...ini sama saja.

Quote
3. adakah defenisi utk JUDI dari suatu kegiatan ?

mencari nafkah :
  disini artinya biaya kehidupan diambil dari keuntung disini.

trims sebelumnya
 _/\_ 8)
sebuah judi yang di maksud sang Buddha ada dalam sigalovada sutta..


‘Ada enam bahaya yang terdapat dalam perjudian: pemenangnya akan dimusuhi, yang kalah meratapi kekalahannya, ia menghilangkan kekayaannya yang ada sekarang, kata-katanya tidak dipercaya di dalam suatu perkumpulan, ia dipandang rendah oleh teman-teman dan rekan-rekannya, tidak ada orang yang mau menikah dengannya,964 karena seorang penjudi tidak akan mampu memelihara seorang istri.’

jadi kira-kira permainan apa yang di maksud sang buddha?  :)
Buddha memang jenius, beliau memaparkan faktor-faktor atau ciri-ciri sebagai vipaka disebut judi...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 17 November 2009, 09:11:21 AM
thanks bro Kainyn_Kutho dan marcedes,

kalau tanya mereka yg berinvestasi... ya katanya max 20 % kekayaan yg dimainkan...

Dlm ajaran Buddhist diajarkan berpikir n berkata benar....

biasanya kalau orang sudah/akan cerai... sering menyebutkan
   TIDAK ADA KECOCOKAN LAGI...

sedangkan sewaktu pacaran.... kata PENUH PENGERTIAN, dan COCOK...

pertanyaan :

apa sih itu arti sebenarnya dari COCOK, atau TIDAK COCOK dlm sebuah perkawinan?

apakah itu sesutu yg sangat bisa berubah-ubah? dan apakah itu menjadi
pertimbangan yg BENAR utk menceraikan pasangannya?

trims sebelumnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 November 2009, 09:25:58 AM
biasanya kalau orang sudah/akan cerai... sering menyebutkan
   TIDAK ADA KECOCOKAN LAGI...

sedangkan sewaktu pacaran.... kata PENUH PENGERTIAN, dan COCOK...

pertanyaan :

apa sih itu arti sebenarnya dari COCOK, atau TIDAK COCOK dlm sebuah perkawinan?

Kalau dari agama Buddha, memiliki kesamaan keyakinan, kemoralan, kedermawanan, dan kebijaksanaan. Kalau dari "bahasa umum", menurut saya adalah sepadan, punya visi yang sama dan bisa saling menerima kekurang masing-masing.

Quote
apakah itu sesutu yg sangat bisa berubah-ubah? dan apakah itu menjadi
pertimbangan yg BENAR utk menceraikan pasangannya?

trims sebelumnya
Tentu saja hal tersebut sangat rentan dan berubah. Karena itu, pasangan yang berpikir keadaan akan sama selamanya telah keliru. Menurut saya, penceraian itu juga bukan benar bukan salah. Ada penceraian yang sebetulnya tidak perlu, ada juga yang perlu, tergantung kasusnya. Demikian pula pertimbangannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 25 December 2009, 10:53:08 PM
Om,mau tanya pendapat om lg

banyak orang(tua maupun muda,kebanyakan orang tua ;D) yg mengatakan kepada sy bahwa 'sesunguhnya (jadi orang)hidup itu ga ada maknanya' bahasa tionghuanya 'co nang bo ishe' ;D

*orangnya yg bicara begitu bukan buddhis,

bagaimana menurut om dan rekan2 lainya ttg statement di atas?

_/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 26 December 2009, 09:18:30 AM
Tanya balik :

Kalo ngak ada makna kenapa lu mau jalanin hidup? bunuh diri kan beres..... ^-^


Hidup jadi manusia harusnya bersyukur, karena ada kesempatan untuk membina diri ataupun menjalankan Dhamma. Orang yg tidak mengenal Dhamma pun ada yg memaknai hidup agar bisa bersenang-senang (sekalipun pandangan salah dengan memanjakan indriawi).

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 December 2009, 10:26:16 AM
Om,mau tanya pendapat om lg

banyak orang(tua maupun muda,kebanyakan orang tua ;D) yg mengatakan kepada sy bahwa 'sesunguhnya (jadi orang)hidup itu ga ada maknanya' bahasa tionghuanya 'co nang bo ishe' ;D

*orangnya yg bicara begitu bukan buddhis,

bagaimana menurut om dan rekan2 lainya ttg statement di atas?

_/\_
Menurut saya, "arti hidup" seseorang itu dibuat oleh diri sendiri. Bagi orang yang berdedikasi untuk "menolong orang lain", maka itulah arti hidup bagi mereka. Bagi kaum Hedonist, maka "kesenangan indriah" adalah tujuan hidupnya. Jadi memang sebetulnya "arti hidup" itu memang "tidak ada" kalau kita tidak berpikir itu ada. Tetapi sebagian besar "arti hidup" seseorang berasal dari "sesuatu yang menurutnya pantas diperjuangkan".

Orang secara umum memiliki tujuan hidup yang berdasarkan "opini masyarakat", misalnya: sekolah yang tinggi lalu cari kerja/karir yang mapan, menikah, punya anak, dst. Itu yang paling umum. Ketika sudah tua, jika sudah memenuhi "tujuan hidup" tersebut, melihat kematian sudah tidak jauh, akan berpikir, "sekarang apa lagi?" Di situlah kepercayaan mempengaruhi seseorang. Yang paling umum: "mau masuk sorga" atau "bertumimbal lahir di kondisi berbahagia".


Sedangkan dari sisi "tidak punya tujuan hidup", menurut saya ada 2 jenis. Yang pertama adalah orang yang tidak menyadari dan memahami gejolak yang timbul dalam bathinnya. Ia tidak tenang, tapi tidak tahu apa yang mengganggunya. Ia tidak puas, tetapi tidak tahu apa yang diinginkan. Biasanya sebab dari hal ini adalah 1. tujuannya sudah tercapai, sehingga bingung apa lagi yang mau dicapai; 2. dia menyadari tujuannya ternyata sia-sia, misalnya mau mengubah dunia; 3. menyerah, baik karena faktor internal atau pun karena kondisi tidak memungkinkan.

Yang ke dua adalah yang memang orang yang memiliki sedikit keinginan, memiliki keinginan yang masuk akal, tidak mengutamakan ego, dan selalu berusaha menerima perubahan. Mereka hidup demi hidup itu sendiri, walaupun menyadari hidup adalah suka dan duka.
Saya rasa yang seperti inilah yang sesuai dengan Ajaran Buddha, karena sangat berpotensi untuk senantiasa bahagia.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 26 December 2009, 11:41:42 AM
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).

adalah kalimat tidak lengkap.

seharusnya

keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...


soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 December 2009, 12:03:43 PM
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).

adalah kalimat tidak lengkap.

seharusnya

keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...


soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?


Hal seperti ini pernah saya lihat juga di salah satu website Is1am yang mengatakan ajaran Buddha itu paradoks karena dikatakan Dukkha disebabkan keinginan, namun untuk menghentikan dukkha juga memerlukan "keinginan" untuk menjalani Jalan Mulia Berunsur 8.

Saya pikir sebetulnya hanya masalah bahasa saja, yang menimbulkan dukkha itu adalah kemelekatan, bukan keinginan. Contoh gampangnya, orang berkeinginan makan tidak menimbulkan dukkha, tetapi kemelekatan pada hal makan di mana ia menjadi senang ketika makan dan menjadi tidak senang ketika tidak bisa makan itulah yang menimbulkan dukkha. Kalau tidak salah, keinginan istilahnya adalah "chanda" dan kemelekatan adalah "tanha".

Dalam perumpamaan lain adalah seperti orang yang kecanduan obat terlarang. Ketika ia ingin sembuh, ingin melepas ketergantungan obat, maka ia menjalani terapi dan juga makan obat. Lalu apakah kemudian kita mengatakan melepas kecanduan dengan obat terapi adalah sesuatu yang paradoksikal? Saya rasa bagi orang yang bukan pandir akan mengerti bahwa tujuan dari terapi dan obat itu bukan ketergantungan, namun dalam prosesnya memang masih tergantung pada terapi dan obat tersebut.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 26 December 2009, 12:58:36 PM
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).

adalah kalimat tidak lengkap.

seharusnya

keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...


soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 December 2009, 01:41:33 PM
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).

adalah kalimat tidak lengkap.

seharusnya

keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...


soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?


Secara umum memang bisa saja dikatakan "keinginan duniawi" atau keinginan yang berhubungan dengan nafsu inderawi. Kalau untuk yang lengkap, mau tidak mau harus kembali kepada Paticca Samuppada, tidak bisa dirangkum langsung begitu karena akan menimbulkan kerancuan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 26 December 2009, 02:15:31 PM
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).

adalah kalimat tidak lengkap.

seharusnya

keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...


soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?


Secara umum memang bisa saja dikatakan "keinginan duniawi" atau keinginan yang berhubungan dengan nafsu inderawi. Kalau untuk yang lengkap, mau tidak mau harus kembali kepada Paticca Samuppada, tidak bisa dirangkum langsung begitu karena akan menimbulkan kerancuan.


Selama masih INGIN, berati tidak puas
Kalo tidak puas, berati penderitaan
Kalo tidak ada ingin, berati puas
Kalo puas, berati tidak ada penderitaan

Tepat pada saat seseorang ingin, tepat pada titik itu pula orang tersebut tidak puas dengan keadaannya yg sekarang.
Termasuk keinginan luhur sekalipun.
Namun keinginan luhur itu tetap diperlukan untuk mengawali jalan menuju pada tanpa keinginan.

Dari tampilan luar memang terlihat paradoksal.
Namun dari segi praktek memang begitulah alaminya dan apabila benar2 diperhatikan justru sangat bersifat logis.
Sebagai contoh adalah meditasi ketenangan.
Awalnya mau tidak mau harus ada keinginan untuk berlatih meditasi.
Kalau tidak ada keinginan bagaimana seseorang bisa berlatih?
Namun di dalam prosesnya, apabila masi ada keinginan untuk tenang,
Maka pikiran tidak dapat tenang.
Setelah keinginan untuk tenang tidak ada.
Maka pikiran menjadi tenang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 26 December 2009, 08:13:52 PM
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).

adalah kalimat tidak lengkap.

seharusnya

keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...


soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?

lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
"Jangan menjadi Bodhisatta,jangan menjadi Arahat,jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita."

bagaimana menurut om joh dan om kainyt?
Apakah keinginan menjadi makhluk suci juga termasuk dukkha?
Ato
mungkin maksud Ajahn Chah jangan [menjadi]melekat pada Label makhluk suci?

Mohon pencerahannya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 26 December 2009, 09:49:14 PM
keinginan menimbulkan penderitaan (dukkha).

adalah kalimat tidak lengkap.

seharusnya

keinginan (duniawi) menimbulkan penderitaan,
kecuali keinginan mencapai nirvana (kebebasan lahir kembali)...


soalnya Gautama sendiri juga memiliki keinginan utk melenyapkan pendiritaan.
apakah begitu ? gimana kalimat yg bener ya bro ?

lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
"Jangan menjadi Bodhisatta,jangan menjadi Arahat,jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita."

bagaimana menurut om joh dan om kainyt?
Apakah keinginan menjadi makhluk suci juga termasuk dukkha?
Ato
mungkin maksud Ajahn Chah jangan [menjadi]melekat pada Label makhluk suci?

Mohon pencerahannya

akan = maksudnya perjalanan itu tidak mudah... dan akan menderita...
           prosesnya tentu "menderita"... tapi hasilnya...

pertanyaan begini ini lebih pas bro Kainyn_Kutho yg menjawab saja....
gw masih harus banyak belajar sama MOD2 disini....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2009, 09:04:08 AM
Selama masih INGIN, berati tidak puas
Kalo tidak puas, berati penderitaan
Kalo tidak ada ingin, berati puas
Kalo puas, berati tidak ada penderitaan

Tepat pada saat seseorang ingin, tepat pada titik itu pula orang tersebut tidak puas dengan keadaannya yg sekarang.
Termasuk keinginan luhur sekalipun.
Namun keinginan luhur itu tetap diperlukan untuk mengawali jalan menuju pada tanpa keinginan.

Dari tampilan luar memang terlihat paradoksal.
Namun dari segi praktek memang begitulah alaminya dan apabila benar2 diperhatikan justru sangat bersifat logis.
Sebagai contoh adalah meditasi ketenangan.
Awalnya mau tidak mau harus ada keinginan untuk berlatih meditasi.
Kalau tidak ada keinginan bagaimana seseorang bisa berlatih?
Namun di dalam prosesnya, apabila masi ada keinginan untuk tenang,
Maka pikiran tidak dapat tenang.
Setelah keinginan untuk tenang tidak ada.
Maka pikiran menjadi tenang.

Ya, setuju secara umum memang begitu. Hal-hal seperti ini sulit dimengerti jika hanya melihat kalimat begitu saja tanpa ada penjelasan. Kalau dibilang semata-mata "tidak punya keinginan", nanti akan dikritik sebagai apatis, tidak peduli, "hidup segan mati tak mau", dsb.
Yang menjadikan logis adalah karena Ajaran Buddha percaya segala sesuatu memiliki sebab, jadi semua ada prosesnya. Seperti contoh Bro hendrako, kita mau tenang tetapi juga tidak bisa menjadi tenang hanya karena kita menginginkannya. Ketika kita berlatih membuang ego yang menuntut ketenangan, berusaha menerima kenyataan, maka dengan sendirinya kita menjadi tenang. Itulah meditasi.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2009, 09:13:08 AM
lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
"Jangan menjadi Bodhisatta,jangan menjadi Arahat,jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita."

bagaimana menurut om joh dan om kainyt?
Apakah keinginan menjadi makhluk suci juga termasuk dukkha?
Ato
mungkin maksud Ajahn Chah jangan [menjadi]melekat pada Label makhluk suci?

Mohon pencerahannya

Terus terang saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan Ajahn Chah karena saya juga tidak pernah tahu tentangnya. Tetapi saya menafsirkan perkataan tersebut adalah ketika kita mengejar "status" tersebut, maka tetap tidak akan bahagia.
Mungkin kalau "versi" saya seperti "mencari cinta sejati". Ketika seseorang mencari "cinta sejati" yang konon tidak berkondisi, maka ia akan menderita. Ia tidak akan menemukannya dan akan jatuh pada kemelekatan konsep "cinta sejati". Sebaliknya kalau orang berusaha menyadari dan membuang semua kebencian yang timbul, maka ia tidak memandang segala sesuatu dengan kebencian lagi. Itulah yang bisa disebut "cinta sejati".

Jadi menurut saya, maksud hal itu adalah ketika orang mengejar pencapaian (apakah Bodhisatta, Arahat, dll) maka ia tidak akan mencapainya. Ketika orang bisa "melupakan" konsep tersebut, menyadari penderitaan sebagaimana adanya, maka baru ia bisa bahagia.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2009, 09:16:19 AM
akan = maksudnya perjalanan itu tidak mudah... dan akan menderita...
           prosesnya tentu "menderita"... tapi hasilnya...

pertanyaan begini ini lebih pas bro Kainyn_Kutho yg menjawab saja....
gw masih harus banyak belajar sama MOD2 disini....

Bro johan, kita di sini sebetulnya saling mengajar dan belajar, bukan belajar pada orang/pihak tertentu. Moderator tugasnya adalah memoderasi diskusi agar berjalan sehat, tetapi sama sekali bukan berarti lebih benar dari member biasa. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 28 December 2009, 11:19:10 AM
akan = maksudnya perjalanan itu tidak mudah... dan akan menderita...
           prosesnya tentu "menderita"... tapi hasilnya...

pertanyaan begini ini lebih pas bro Kainyn_Kutho yg menjawab saja....
gw masih harus banyak belajar sama MOD2 disini....

Bro johan, kita di sini sebetulnya saling mengajar dan belajar, bukan belajar pada orang/pihak tertentu. Moderator tugasnya adalah memoderasi diskusi agar berjalan sehat, tetapi sama sekali bukan berarti lebih benar dari member biasa. :)


Thanks bro Kainyn_Kutho atas penjelasannya....
dlm terminology  ...  saling belajar

pingin tanya bro Kainyn_Kutho,

dlm ajaran Buddhist tidak dianjurkan mengkonsumsi hal2 yg menurunkan kewaspadaan...

nah dalam hal "sedikit" alkohol dlm :
   1. masakan
   2. es cream
   3. chocolate, dll..........
   4. tape umbi, tape ketan hitam

Apakah juga dihindarin ? Apakah sedikit percikan alkohol menjadi permasalahan ?
bagaimana juga dgn vegetarian dimasak dari bekas kwali yg baru selesai goreng sio bak tapi tidak dicuci ?

Apakah penerapan ajaran mempermasalahkan hal2 "kecil" ?

thanks sebelumnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2009, 02:26:34 PM
dlm ajaran Buddhist tidak dianjurkan mengkonsumsi hal2 yg menurunkan kewaspadaan...

nah dalam hal "sedikit" alkohol dlm :
   1. masakan
   2. es cream
   3. chocolate, dll..........
   4. tape umbi, tape ketan hitam

Apakah juga dihindarin ? Apakah sedikit percikan alkohol menjadi permasalahan ?
Kalau saya pribadi lebih menekankan pada tujuan/niat dari konsumsi zat tersebut. Yang dihindari adalah sikap yang mencari "mabuk-mabukan"-nya, bukan mempermasalahkan zat-nya. Ada makanan dan minuman yang memang dibuat dengan tujuan memabukkan, maka memiliki kadar alkohol atau zat lain yang tinggi sehingga konsumsi dalam jumlah normal saja cukup untuk membuat mabuk. Makanan/minuman seperti ini sebaiknya dihindari, tidak dimakan walaupun dalam jumlah sedikit atau tidak memabukkan. Kecuali terpaksa misalnya dalam kasus kelaparan setengah mati dan hanya itu yang tersedia.

Mengenai makanan lain yang mengandung alkohol dalam kadar sangat rendah, saya rasa itu memang tidak dibuat untuk mabuk-mabukan. Dikonsumsi dalam jumlah dikit atau pun banyak tidak menyebabkan mabuk. Oleh karena itu saya rasa tidak masalah untuk dikonsumsi.


Quote
bagaimana juga dgn vegetarian dimasak dari bekas kwali yg baru selesai goreng sio bak tapi tidak dicuci ?

Apakah penerapan ajaran mempermasalahkan hal2 "kecil" ?
Saya tidak begitu tahu masalah vegetarian, jadi tidak tahu aturan2nya. Soal "hal-hal kecil" tersebut, tentu saja tergantung "ajaran" dan orang yang menyikapi "ajaran" tersebut. Kadang hal-hal kecil bagi orang tertentu bisa jadi hal besar, dan di lain pihak hal-hal besar bagi orang tertentu bisa dianggap tidak ada.

Kembali ke pendapat saya pribadi, yang penting adalah kuali tersebut bersih dan higienis. Bekas dipakai untuk apa saja tidak mengurangi atau menambah nilai kuali tersebut. Namun dalam kehidupan sosial, kita mempertimbangkan orang lain, jadi ada kalanya kita perlu mengurusi "hal-hal kecil" tersebut sekadar untuk menghormati orang lain.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 28 December 2009, 03:54:55 PM
lalu bagaimana dengan pesan YM Ajahn Chah mengenai penderitaan,
"Jangan menjadi Bodhisatta,jangan menjadi Arahat,jangan menjadi apapun juga.
Bila Anda seorang Bodhisatta, Anda akan menderita;
bila Anda seorang Arahat, Anda akan menderita;
bila Anda menjadi apapun juga, Anda akan menderita."

bagaimana menurut om joh dan om kainyt?
Apakah keinginan menjadi makhluk suci juga termasuk dukkha?
Ato
mungkin maksud Ajahn Chah jangan [menjadi]melekat pada Label makhluk suci?

Mohon pencerahannya

Terus terang saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan Ajahn Chah karena saya juga tidak pernah tahu tentangnya. Tetapi saya menafsirkan perkataan tersebut adalah ketika kita mengejar "status" tersebut, maka tetap tidak akan bahagia.
Mungkin kalau "versi" saya seperti "mencari cinta sejati". Ketika seseorang mencari "cinta sejati" yang konon tidak berkondisi, maka ia akan menderita. Ia tidak akan menemukannya dan akan jatuh pada kemelekatan konsep "cinta sejati". Sebaliknya kalau orang berusaha menyadari dan membuang semua kebencian yang timbul, maka ia tidak memandang segala sesuatu dengan kebencian lagi. Itulah yang bisa disebut "cinta sejati".

Jadi menurut saya, maksud hal itu adalah ketika orang mengejar pencapaian (apakah Bodhisatta, Arahat, dll) maka ia tidak akan mencapainya. Ketika orang bisa "melupakan" konsep tersebut, menyadari penderitaan sebagaimana adanya, maka baru ia bisa bahagia.

Mungkin yg dimaksud oleh Ajahn Chah adalah salah satu jenis dari nafsu keinginan atau tanha, yaitu Bhavatanha,
nafsu keinginan untuk menjadi.....
Menjadi apapun merupakan penderitaan.
Tidak menjadi......, dikarenakan pada hakikatnya tidak ada substansi apa2.....apa lagi yg dapat menderitakan...??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2009, 04:55:05 PM
Mungkin yg dimaksud oleh Ajahn Chah adalah salah satu jenis dari nafsu keinginan atau tanha, yaitu Bhavatanha,
nafsu keinginan untuk menjadi.....
Menjadi apapun merupakan penderitaan.
Tidak menjadi......, dikarenakan pada hakikatnya tidak ada substansi apa2.....apa lagi yg dapat menderitakan...??

Mungkin begitu. Selama orang mau "menjadi" sesuatu, maka otomatis melekat pada "atta", maka jadilah penderitaan.
Secara pastinya mungkin harus ditanyakan ke orang yang lebih kenal Ajahn Chah.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 28 December 2009, 05:05:04 PM
Mungkin yg dimaksud oleh Ajahn Chah adalah salah satu jenis dari nafsu keinginan atau tanha, yaitu Bhavatanha,
nafsu keinginan untuk menjadi.....
Menjadi apapun merupakan penderitaan.
Tidak menjadi......, dikarenakan pada hakikatnya tidak ada substansi apa2.....apa lagi yg dapat menderitakan...??

Mungkin begitu. Selama orang mau "menjadi" sesuatu, maka otomatis melekat pada "atta", maka jadilah penderitaan.
Secara pastinya mungkin harus ditanyakan ke orang yang lebih kenal Ajahn Chah.

                                              Masalahnya adalah,
            Ajahn Chah sendiri di dalam banyak dokumen ceramahnya mengatakan bahwa....
                                            "tidak ada hal yg pasti."
                                                        ~o)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 06 January 2010, 10:35:06 PM
Om kainyt mau tahu pendapat om lg ;D

kita tahu di agama tetangga sebagian umatnya akan rela mati demi mempertahankan/membela agama yg di anutnya..
Pertanyaanya utk om kainy dan rekan2 ;
bagaimana sikap umat buddha yg bijak Andai dipaksa(oleh penguasa) untuk  meninggalkan keyakinannya..

thank

;D

*edit,baru ingat bhante Uttamo pernah ngomong "agama untuk hidup,bukan hidup untuk agama"
silahkan di tambahkan om ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 January 2010, 09:56:14 AM
Om kainyt mau tahu pendapat om lg ;D

kita tahu di agama tetangga sebagian umatnya akan rela mati demi mempertahankan/membela agama yg di anutnya..
Pertanyaanya utk om kainy dan rekan2 ;
bagaimana sikap umat buddha yg bijak Andai dipaksa(oleh penguasa) untuk  meninggalkan keyakinannya..

thank

;D

*edit,baru ingat bhante Uttamo pernah ngomong "agama untuk hidup,bukan hidup untuk agama"
silahkan di tambahkan om ;D
Nah, ini menarik. :) Kalau menurut saya, tidak mungkin seseorang "memaksakan kepercayaan" pada orang lain, karena itu sifatnya pribadi. Paling yang bisa dilakukan adalah memaksa orang agar "tampilan luarnya" seperti beragama tertentu.
Kalau muncul penguasa yang lalim demikian, maka tentu daerah kekuasaannya bukanlah tempat yang cocok untuk ditinggali. Kita lihat semua pemimpin agama apa pun yang berkuasa, tidak akan berjaya jika tidak memiliki toleransi. Karena itu, yang terbaik adalah mencari cara untuk pergi dari sana.

Saya tidak tahu bagaimana seharusnya Umat Buddha bersikap, bagaimana ketentuannya, tetapi kalau saya pribadi, jika memang "terperangkap" di sana, maka tidak masalah pindah "agama" selama yang dijalankan memang tidak bertentangan dengan moralitas. Kalau kita menyia-nyiakan hidup hanya karena tampilan agama, rasanya tidak penting.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 07 January 2010, 09:46:06 PM
Thank jawabannya om ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 January 2010, 10:41:29 AM
Sama-sama, Mr.Jhonz. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 08 January 2010, 12:22:19 PM
nambahin ya, kalau gak salah Sang Buddha mengajarkan ada 4 jenis daerah tempat tinggal,
daerah yang bhikkhu hidupnya tidak sulit mendapat dana, dan menunjang latihan.
deerah yang bhikkhu hidupnya sulit mendapat dana, tapi cocok untuk latihan
daerah yang bhikkhu hidupnya tidak sulit mendapat dana, tapi tidak menunjang latihan
daerah yang bhikkhu hidupnya udah sulit dapat dana, dan tidak cocok untuk latihan pula

kalau yang pertama sebaiknya bhikkhu menetap di situ
kalau yang kedua, diusahakan menetap di situ sebisa mungkin
kalau yang ketiga, sebaiknya ditinggalkan
kalau yang keempat, langsung ditinggalkan

kalau kasus penguasa lalim, mungkin termasuk daerah yang tidak cocok untuk berlatih, dan paling nggak sebaiknya ditinggalkan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 January 2010, 01:25:35 PM
nambahin ya, kalau gak salah Sang Buddha mengajarkan ada 4 jenis daerah tempat tinggal,
daerah yang bhikkhu hidupnya tidak sulit mendapat dana, dan menunjang latihan.
deerah yang bhikkhu hidupnya sulit mendapat dana, tapi cocok untuk latihan
daerah yang bhikkhu hidupnya tidak sulit mendapat dana, tapi tidak menunjang latihan
daerah yang bhikkhu hidupnya udah sulit dapat dana, dan tidak cocok untuk latihan pula

kalau yang pertama sebaiknya bhikkhu menetap di situ
kalau yang kedua, diusahakan menetap di situ sebisa mungkin
kalau yang ketiga, sebaiknya ditinggalkan
kalau yang keempat, langsung ditinggalkan

kalau kasus penguasa lalim, mungkin termasuk daerah yang tidak cocok untuk berlatih, dan paling nggak sebaiknya ditinggalkan

Ya, betul. Sesuai dengan Vanapattha Sutta (Majjhima Nikaya 17). Thx buat infonya!

Dalam kasus penguasa lalim, boro-boro menunjang latihan, tidak dibunuh saja sudah bagus. Misalnya pada abad pertengahan, bagi yang mengenal istilah "inquisition" pasti paham itu adalah masa yang sulit dan serba salah.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Brado on 08 January 2010, 02:05:47 PM
Om kainyt mau tahu pendapat om lg ;D

kita tahu di agama tetangga sebagian umatnya akan rela mati demi mempertahankan/membela agama yg di anutnya..
Pertanyaanya utk om kainy dan rekan2 ;
bagaimana sikap umat buddha yg bijak Andai dipaksa(oleh penguasa) untuk  meninggalkan keyakinannya..

thank

;D

*edit,baru ingat bhante Uttamo pernah ngomong "agama untuk hidup,bukan hidup untuk agama"
silahkan di tambahkan om ;D
Nah, ini menarik. :) Kalau menurut saya, tidak mungkin seseorang "memaksakan kepercayaan" pada orang lain, karena itu sifatnya pribadi. Paling yang bisa dilakukan adalah memaksa orang agar "tampilan luarnya" seperti beragama tertentu.
Kalau muncul penguasa yang lalim demikian, maka tentu daerah kekuasaannya bukanlah tempat yang cocok untuk ditinggali. Kita lihat semua pemimpin agama apa pun yang berkuasa, tidak akan berjaya jika tidak memiliki toleransi. Karena itu, yang terbaik adalah mencari cara untuk pergi dari sana.

Saya tidak tahu bagaimana seharusnya Umat Buddha bersikap, bagaimana ketentuannya, tetapi kalau saya pribadi, jika memang "terperangkap" di sana, maka tidak masalah pindah "agama" selama yang dijalankan memang tidak bertentangan dengan moralitas. Kalau kita menyia-nyiakan hidup hanya karena tampilan agama, rasanya tidak penting.

IMHO
Selama pola pandang kita berpatokan pada ajaran "Dhamma", dalam situasi demikian memang terpaksa kita pindah keyakinan terlebih dahulu, ibarat kata.. raga boleh agama lain, tetapi pikiran dan pola pandang tetap mengacu pada "Buddha Dhamma", inilah yang mereka tidak bisa curi dari diri kita..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 08 January 2010, 02:15:00 PM
maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 January 2010, 02:20:36 PM
IMHO
Selama pola pandang kita berpatokan pada ajaran "Dhamma", dalam situasi demikian memang terpaksa kita pindah keyakinan terlebih dahulu, ibarat kata.. raga boleh agama lain, tetapi pikiran dan pola pandang tetap mengacu pada "Buddha Dhamma", inilah yang mereka tidak bisa curi dari diri kita..

Ya, betul sekali. Menurut saya, orang bertemu dan menjalani Ajaran Buddha adalah orang yang sangat beruntung karena diajarkan bahwa yang terpenting adalah pikiran. Boleh badan kita dipaksa membungkuk menyembah batu. Boleh juga kita dipaksa mengucapkan doa/mantra bentuk apa pun, tetapi selama kita berpikiran sesuai dengan jalan dhamma, maka pikiran kita terlepas total dari perasaan bersalah.

Keuntungan ke dua dalam hal ini adalah Ajaran Buddha sudah mengajarkan bahwa "ritual" tidak berarti apa pun. Jadi juga terbebas dari ketakutan jika misalnya, terpaksa "di-visuddhi" di agama lain.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 January 2010, 02:22:04 PM
maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.

Numpang tanya lagi, kalau Buddha Bar beroperasi, memang apa pengaruhnya sih buat Umat dan Ajaran Buddha?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 08 January 2010, 09:04:03 PM
maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.
salah tempat bro :)
om kainy_t netral mengenai masalah buddha bar ;D


_______
om kainyt nanya lg,
masih mengenai masalah diatas,
katakanlah ada desa/kampung yg coba bertahan dari gempuran2 penguasa dgn cara angkat senjata.
Apa itu termasuk perbuatan yg patut dihindari(dlm pandangan buddhis)?

*seperti yg terjadi di Thailand,konflik pattani,puluhan warga sipil menjaga vihara dgn senjata otomatis/senapan mesin.
bagamaina menurut om kainy? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 January 2010, 10:22:26 AM
om kainyt nanya lg,
masih mengenai masalah diatas,
katakanlah ada desa/kampung yg coba bertahan dari gempuran2 penguasa dgn cara angkat senjata.
Apa itu termasuk perbuatan yg patut dihindari(dlm pandangan buddhis)?

*seperti yg terjadi di Thailand,konflik pattani,puluhan warga sipil menjaga vihara dgn senjata otomatis/senapan mesin.
bagamaina menurut om kainy? ;D

Saya pernah dengar kisah bahwa di India, Buddhisme itu kembali menjadi minoritas karena sewaktu invasi ke sana yang masih mayoritas Buddhist, kebanyakan tidak melawan balik demi menjaga sila. Karena itu akhirnya sebagian kembali lagi ke non-Buddhis dan melawan para penjajah itu.

Kalau kita mau bilang idealisme Buddhis, tentu mengacu pada kehidupan petapa. Dalam kehidupan petapa, orang berlatih agar tidak ada "aku". Bagi orang yang tidak mengerti, sepertinya pesimis dan apatis sekali, namun sebetulnya bukan itu. Tidak ada "aku" bukan berarti ga perlu jaga kesehatan, makan sembarangan, tetapi tidak menggenggam sesuatu sebagai "aku", karena segala sesuatu selalu berubah, dan jika "aku" yang memuaskan itu berubah, timbullah dukkha. Itulah sebabnya petapa yang berlatih "tanpa aku", tidak punya kepemilikan, tidak ikut politik, dan sebagainya. Para bhikkhu berkewajiban selalu mendukung ketenteraman dan kesejahteraan rakyat, tetapi selalu netral dalam pandangan duniawi, termasuk politik. (Pendapat saya adalah berdasarkan Kitab Pali, tradisi lain mungkin berbeda.) Jadi kalau dari segi "petapa" sudah jelas, diperjuangkan semua yang baik, namun tidak mempertahankan sesuatu dengan cara yang salah.

Kalau dari segi perumahtangga saya juga tidak tahu ketentuan dari Agama Buddha, tapi kalau menurut saya pribadi, walaupun sama sekali tidak menjadi pembenaran, perlawanan yang berdasarkan bela diri murni, bukanlah hal yang sepenuhnya tercela. Masalahnya, seringkali yang terjadi adalah "bela gengsi", "bela dogma", "bela harta" atau "bela lain-lain dengan kulit bela diri". Jadi kalau hal-hal seperti ini, sudah susah dinilai karena menyangkut bathin masing-masing orang.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 12 January 2010, 10:21:40 AM
maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.
salah tempat bro :)
om kainy_t netral mengenai masalah buddha bar ;D

yang bener nanya k mana bro ???


maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.

Numpang tanya lagi, kalau Buddha Bar beroperasi, memang apa pengaruhnya sih buat Umat dan Ajaran Buddha?

pengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 12 January 2010, 11:05:35 AM
maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.
salah tempat bro :)
om kainy_t netral mengenai masalah buddha bar ;D

yang bener nanya k mana bro ???
Tanya langsung ke Buddha barnya dan kepala pendemo Buddha barnya , info dijamin valid
  ;D

maaaap nyelak tolong ada yg bisa bantu ga kenapa BUDDHA BAR MASIH BEROPERASI ??? padhal yang da g denger da ga boleh n menang kasusnya.

Numpang tanya lagi, kalau Buddha Bar beroperasi, memang apa pengaruhnya sih buat Umat dan Ajaran Buddha?

pengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 January 2010, 11:55:58 AM
yang bener nanya k mana bro ???
Kurang tahu, mungkin kalau yang aktif di komunitas vihara lebih tahu.



Quote
pengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
Kalo Bro kusalaputto merasa dizolimi, maka berarti tidak ada untungnya menjadi Umat Buddha. Mengapa saya bilang begitu?
Seandainya kita seorang non-Buddhis, maka dengan adanya Buddha Bar, walaupun kita prihatin, namun tidak merasa dizolimi. Setelah menjadi Buddhis, dengan adanya Buddha Bar, lalu merasa terzolimi, bukankah itu berarti dengan menjadi Umat Buddha, malah menambah dukkha? Belajar Ajaran Buddha adalah agar kita mengikis dukkha dan mencapai kebahagiaan, bukan menambah kesusahan yang tadinya tidak ada. Jika kita bertambah kemelekatan dan penderitaan karena beragama Buddha, maka di situlah Agama Buddha menjadi tidak bermanfaat.

Lambang Agama Buddha ada pada moralitas dan kebijaksanaan umatnya, bukan pada patung atau simbol lainnya. Orang boleh-boleh saja membuka "Buddha Slaughterhouse" atau bahkan "Buddha Brothel," tetapi kalau tidak ada umat Buddha yang membunuh atau berzinah, apakah ada yang bisa dipersalahkan dari Ajaran Buddha?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: darwin hua on 12 January 2010, 12:34:33 PM

Yupe semuanya relatif...so kita tidak judge orang tersebut baik or buruk
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: darwin hua on 12 January 2010, 12:36:02 PM


Patung hanyalah melambangkan rasa hormat ke Guru kita(Sang Buddha Gotama),Agama Buddha adalah agama praktek yang harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari,yang harus sadar setiap saat.Prakteklah Jalan Beruas 8 tersebut yach....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 12 January 2010, 12:38:03 PM
yang bener nanya k mana bro ???
Kurang tahu, mungkin kalau yang aktif di komunitas vihara lebih tahu.



Quote
pengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
Kalo Bro kusalaputto merasa dizolimi, maka berarti tidak ada untungnya menjadi Umat Buddha. Mengapa saya bilang begitu?
Seandainya kita seorang non-Buddhis, maka dengan adanya Buddha Bar, walaupun kita prihatin, namun tidak merasa dizolimi. Setelah menjadi Buddhis, dengan adanya Buddha Bar, lalu merasa terzolimi, bukankah itu berarti dengan menjadi Umat Buddha, malah menambah dukkha? Belajar Ajaran Buddha adalah agar kita mengikis dukkha dan mencapai kebahagiaan, bukan menambah kesusahan yang tadinya tidak ada. Jika kita bertambah kemelekatan dan penderitaan karena beragama Buddha, maka di situlah Agama Buddha menjadi tidak bermanfaat.

Lambang Agama Buddha ada pada moralitas dan kebijaksanaan umatnya, bukan pada patung atau simbol lainnya. Orang boleh-boleh saja membuka "Buddha Slaughterhouse" atau bahkan "Buddha Brothel," tetapi kalau tidak ada umat Buddha yang membunuh atau berzinah, apakah ada yang bisa dipersalahkan dari Ajaran Buddha?


nih se benernya teggang rasa umat buddha yg kelwatan n ga mau cari masalah besok2 coba d buka [(yesus bar & allah bar/ muhammad bar) mod klo kelewatan boleh d edit kok] menurut anda apakah ada yang tenggang rasa menerima ??? yang ada anarkis langsung :whistle: :whistle: :whistle:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 12 January 2010, 12:40:37 PM
yang bener nanya k mana bro ???
Kurang tahu, mungkin kalau yang aktif di komunitas vihara lebih tahu.



Quote
pengaruh banget buat gue ;D ;D ;D g mersa d zolimi ;D ;D ;D.
klo buat umat awam bisa jd pertanyaan loh knp lambang agama gue kok jd bar ???
n buat ajaran bagi yang ga tau ooh agama buddha menggajarkan minum minumman keras ya ??? kan bisa muncul persepsi yg lain2 8)
Kalo Bro kusalaputto merasa dizolimi, maka berarti tidak ada untungnya menjadi Umat Buddha. Mengapa saya bilang begitu?
Seandainya kita seorang non-Buddhis, maka dengan adanya Buddha Bar, walaupun kita prihatin, namun tidak merasa dizolimi. Setelah menjadi Buddhis, dengan adanya Buddha Bar, lalu merasa terzolimi, bukankah itu berarti dengan menjadi Umat Buddha, malah menambah dukkha? Belajar Ajaran Buddha adalah agar kita mengikis dukkha dan mencapai kebahagiaan, bukan menambah kesusahan yang tadinya tidak ada. Jika kita bertambah kemelekatan dan penderitaan karena beragama Buddha, maka di situlah Agama Buddha menjadi tidak bermanfaat.

Lambang Agama Buddha ada pada moralitas dan kebijaksanaan umatnya, bukan pada patung atau simbol lainnya. Orang boleh-boleh saja membuka "Buddha Slaughterhouse" atau bahkan "Buddha Brothel," tetapi kalau tidak ada umat Buddha yang membunuh atau berzinah, apakah ada yang bisa dipersalahkan dari Ajaran Buddha?


postingan2 begini ni yg patut direnungkan
postingan teladan!

Anumodana om kainyt _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: darwin hua on 12 January 2010, 12:41:26 PM
Kita harus mengerti dan memahami Dukkha tersebut,yang tercantum dalam 4 Kebenaran Mulia,yang I dalam pertama tersebut juga dibagi 3 lagi yaitu tentang dukkha,tentang dukkha harus dipahami,tentang dukkha telah dipahami.Siapapun juga mengalami penderitaan tersebut,Jadi kita harus memahami..supaya bathin kita tetap tenang,walaupun jasmani kita menderita,makanya kita harus melatih diri. dalam vipassana bhavana,supaya kita bisa menerima apa adanya dan bisa melepas sedikit demi sedikit kekotoran bathin tersebut.sekarang banyak orang menderita dua2nya baik bathin maupun jasmaniah


thanks
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 January 2010, 12:42:09 PM
Sama-sama, Mr.Jhonz!

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 12 January 2010, 12:44:21 PM
 [at] kusalaputto
simple aja bro jawabanya,karna kita buddhis.."ini buddhism bung!"
ajaran yg beda dan paling unik.. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 12 January 2010, 12:47:49 PM
[at] kusalaputto
simple aja bro jawabanya,karna kita buddhis.."ini buddhism bung!"
ajaran yg beda dan paling unik.. ;D
kita bener2 agama paling sabar ye cap cay deh :x
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: The Ronald on 12 January 2010, 12:53:00 PM
agama damai ??? lol
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 January 2010, 01:04:40 PM
kita bener2 agama paling sabar ye cap cay deh :x

"Sabar" itu juga sebetulnya relatif. Orang sering bilang "orang sabar juga ada batesnya." Padahal sebetulnya batesnya sendiri siapa yang bikin kalau bukan pikiran kita sendiri?

Sabar itu toleransi terhadap hal yang kita benci. Jadi panjang sabar itu kalau toleransinya besar. Kalau Ajaran Buddha, bukan suruh kita "panjang-panjangan sabar" tetapi menghilangkan akar kebencian itu sendiri. Jika kebencian sudah hilang, maka tidak ada kata "sabar/tidak sabar", tidak ada "toleransi/tidak toleransi" lagi. Yang ada hanya kedamaian saja.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 January 2010, 01:14:01 PM
nih se benernya teggang rasa umat buddha yg kelwatan n ga mau cari masalah besok2 coba d buka [(yesus bar & allah bar/ muhammad bar) mod klo kelewatan boleh d edit kok] menurut anda apakah ada yang tenggang rasa menerima ??? yang ada anarkis langsung :whistle: :whistle: :whistle:

Tenggang rasa yang saya sebutkan, belum ada sepersejuta tenggang rasa yang diajarkan Buddha Gotama berikut:
"... bila ada penjahat yang dengan buas memotong tangan dan kaki dengan gergaji, ia yang membangkitkan kebencian karena hal itu tidak akan dapat melaksanakan ajaranku..."

Jadi saya sebetulnya ingin tahu juga, Umat Buddha versi anda itu tenggang rasanya dibatasi bagaimana.


Mengenai orang lain melakukan tindakan tidak baik, ini ajaran Buddha:
"...Orang lain kejam; kita tidak akan kejam.
Orang lain membunuh; kita menghindar dari membunuh.
Orang lain mengambil barang yang tak diberikan, kita tidak mengambil barang yang tidak diberikan.
Orang lain tidak mau hidup brahmacari, kita hidup brahmacari.
Orang lain bicara bohong, kita menghindarkan diri untuk bohong.
Orang lain memfitnah, kita menghindarkan diri untuk memfitnah.
Orang lain bicara kasar, kita menghindarkan diri untuk bicara kasar.
Orang lain melakukan gosip, kita menghindarkan diri untuk melakukan gosip.
Orang lain serakah, kita tidak serakah.
Orang lain iri hati, kita tidak iri hati.
Orang lain berpandangan salah, kita berpandangan benar.
Orang lain berpikir salah, kita berpikir benar.
Orang lain berucap salah, kita berucap benar.
Orang lain berperbuatan salah, kita berperbuatan benar.
Orang lain bermata pencaharian salah, kita bermata pencaharian benar.
Orang lain berusaha salah, kita berusaha benar.
Orang lain berperhatian salah, kita berperhatian benar ...
Orang lain bermeditasi salah, kita bermeditasi benar ...
Orang lain berpengetahuan salah, kita berpengetahuan benar...
Orang lain berpembebasan salah, kita berpembebasan benar ...
Orang lain dikuasai ngantuk dan tidur, kita tidak dikuasi ngantuk dan tidur ...
Orang lain kacau, kita tidak kacau ...
Orang lain tak tentu, kita pasti ...
Orang lain marah, kita tidak marah...
Orang lain bermusuhan, kita bersahabat ...
Orang lain menghina, kita tidak menghina ...
Orang lain menguasai, kita tidak menguasai ...
Orang lain cemburu, kita tidak cemburu ...
Orang lain kikir, kita tidak kikir ...
Orang lain penipu, kita tidak menipu ...
Orang lain pembohong, kita tidak membohong...
Orang lain keras kepala (bandel), kita tidak keras kepala...
Orang lain angkuh, kita tidak angkuh ...
Orang lain sulit dinasehati, kita mudah dinasehati ...
Orang lain berkawan dengan orang jahat, kita berkawan dengan orang baik ...
Orang lain lalai, kita rajin ...
Orang lain tak berkeyakinan, kita berkeyakinan ...
Orang lain tidak hati-hati, kita hati-hati ...
Orang lain tidak tahu malu, kita tahu malu ...
Orang lain belajar sedikit, kita belajar banyak ...
Orang lain malas, kita bersemangat ...
Orang lain tak waspada, kita waspada ...
Orang lain berpengertian kurang, kita berpengertian ...
Orang lain salah mengerti sesuai dengan pandangan-pandangan pribadinya, ngotot, mempertahankan pandangan seperti itu dan sulit memusnahkan pandangan itu; kita tidak akan salah mengerti pada pandangan-pandangan pribadi itu dan akan mudah memusnahkan pandangan-pandangan itu; ...


Kalau menurut Ajaran Buddha versi anda, seberapa jauh kita harus mengikuti orang lain?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 14 January 2010, 10:16:15 AM
 [at] kainyn
ini bukan buddhism versi g tapi pendapat pribadi dr g yg msh memiliki LDM :whistle:. ajran sang buddha memang luar biasa mengajarkan kita dalam hal toleransi n tenggang rasa  ^:)^ namun sebagai mahluk yang masih memiliki  LDM  g msh berat n tetep kesel  :ngomel: ketika ada sekelompok orang yang menurut g dengan kekayaannya  $-) membuat sebuah bar dengan unsur agama yg g anut ternyata agama yg g anut pun ter masuk minoritas dalam negara ini  :-SS dan ketika bar ini berjalan hanya sebagian dari minoritas ini yang menolak  :-w :-w :-w n tentu saja tidak di anggap se akan2 angin lalu |-) . seharusnya semua kalangan dari buddhis menolaknya  :>- namun pada kenyataannya malah ada orang yang notabene adalah pemuka dalam agama buddha indonesia ini ikut meresmikannya :o :o :o , maka makin kacau lah bahkan sebagian memilih untuk diam n tiidak mau tahu n menggangap ini tidak penting :'(. anda boleh mengatakan bahwa saya fanatik n melekat pada sosok buddha itu mungkin lahir dari lingkungan g yg semuanya kr****n n berusaha mengkr****n kan g jd g pun minorits dalam keluarga jadi kalau ada yang mengganggu agama g selama g bisa g akan mencoba membela semampu g n sesempat g ;D ;D ini hanya pendapat pribadi lo ga bermaksud offense kepada siapa pun termasuk bro kainyn >:)< >:)< >:)<
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 January 2010, 10:47:12 AM
[at] kainyn
ini bukan buddhism versi g tapi pendapat pribadi dr g yg msh memiliki LDM :whistle:. ajran sang buddha memang luar biasa mengajarkan kita dalam hal toleransi n tenggang rasa  ^:)^ namun sebagai mahluk yang masih memiliki  LDM  g msh berat n tetep kesel  :ngomel: ketika ada sekelompok orang yang menurut g dengan kekayaannya  $-) membuat sebuah bar dengan unsur agama yg g anut ternyata agama yg g anut pun ter masuk minoritas dalam negara ini  :-SS dan ketika bar ini berjalan hanya sebagian dari minoritas ini yang menolak  :-w :-w :-w n tentu saja tidak di anggap se akan2 angin lalu |-) . seharusnya semua kalangan dari buddhis menolaknya  :>- namun pada kenyataannya malah ada orang yang notabene adalah pemuka dalam agama buddha indonesia ini ikut meresmikannya :o :o :o , maka makin kacau lah bahkan sebagian memilih untuk diam n tiidak mau tahu n menggangap ini tidak penting :'(. anda boleh mengatakan bahwa saya fanatik n melekat pada sosok buddha itu mungkin lahir dari lingkungan g yg semuanya kr****n n berusaha mengkr****n kan g jd g pun minorits dalam keluarga jadi kalau ada yang mengganggu agama g selama g bisa g akan mencoba membela semampu g n sesempat g ;D ;D ini hanya pendapat pribadi lo ga bermaksud offense kepada siapa pun termasuk bro kainyn >:)< >:)< >:)<
Pertama-tama, saya pun sudah jelas masih larut dalam LDM, jadi saya bukan berkata demikian karena saya lebih baik dari anda atau siapa pun, tetapi karena berdasarkan perbedaan pola pikir. Mengenai Buddha Bar, jika saya pakai pola pikir ajaran lain, mungkin saya akan mengusahakan agar "penodaan" itu dihentikan. Namun karena saya cocok dengan Ajaran Buddha, maka saya tidak melihat hal tersebut sebagai "penodaan". Hanya sebatas gedung, merk, dan permainan pikiran saja.

Jika anda lahir dan hidup di kalangan Kr1sten namun mengenal Agama Buddha, justru itu adalah kesempatan besar untuk promosi Ajaran Buddha. Tunjukkan bahwa Umat Buddha bukan umat yang melekat pada simbol. Seperti kita tahu banyak dari Umat Nasrani yang salah kaprah mengatakan Buddhis menyembah berhala. Dengan kita menunjukkan sikap kita yang tidak melekat pada patung/simbol dll, maka dengan sendirinya kita sudah membuktikan mereka salah.

Seperti saya bilang, "lambang" Ajaran Buddha ada di moralitas dan kebijaksanaan umatnya. Jika dibuat semua bangunan yang bagus-bagus dan "suci-suci" bermerk Buddha, saya tidak merasa bangga sama sekali. Tetapi jika saja ada bahkan hanya segelintir Umat Buddha yang menunjukkan perilaku sesuai dhamma walaupun berada di bawah tekanan komunitas yang beragama lain, maka itulah yang menurut saya membanggakan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 14 January 2010, 11:05:24 AM
ga ikut lagi ahh nanti di brp lg :)) :'( :)) :'( :)) :'( :hammer:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 14 January 2010, 12:03:38 PM
Pertama-tama, saya pun sudah jelas masih larut dalam LDM, jadi saya bukan berkata demikian karena saya lebih baik dari anda atau siapa pun, tetapi karena berdasarkan perbedaan pola pikir. Mengenai Buddha Bar, jika saya pakai pola pikir ajaran lain, mungkin saya akan mengusahakan agar "penodaan" itu dihentikan. Namun karena saya cocok dengan Ajaran Buddha, maka saya tidak melihat hal tersebut sebagai "penodaan". Hanya sebatas gedung, merk, dan permainan pikiran saja.

Sudut pandang anda memang 'lain' dari kebanyakan umat pada umumnya bro ...
Toh tetap pada kenyataannya masih banyak orang yang memerlukan 'pembelajaran' yang bermulai dari sebuah 'sosok' yang bersifat 'kebendaan' bukan ? ... dan itu pilihan yang sesuai dengan standard mereka yang jelas berbeda dengan anda ... :)

Jika anda lahir dan hidup di kalangan Kr1sten namun mengenal Agama Buddha, justru itu adalah kesempatan besar untuk promosi Ajaran Buddha. Tunjukkan bahwa Umat Buddha bukan umat yang melekat pada simbol. Seperti kita tahu banyak dari Umat Nasrani yang salah kaprah mengatakan Buddhis menyembah berhala. Dengan kita menunjukkan sikap kita yang tidak melekat pada patung/simbol dll, maka dengan sendirinya kita sudah membuktikan mereka salah.

Promosi adalah sebuah 'pertahanan' untuk merawat apa yang telah ada (dibabarkan) ... Tentunya banyak cara dalam mempraktekannya ... Salah satunya termasuk dari wujud protes tersebut ... Toh alasan protesnya juga kan ditujukan supaya kelestarian ajaran tetap terjaga (yang pada kenyataannya banyak umat yang masih perlu 'sosok/figur' tersebut) ... :)

Tentunya andapun setuju kalau pengikisan noda batin harus ditempuh oleh cara dengan tidak 'mengikuti' apalagi 'larut' kedalam pergerakan noda tersebut bukan ?

salam,
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 14 January 2010, 12:23:45 PM
^
hoooreee ada yg belain  :P ;D ;D ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 January 2010, 05:30:50 PM
Sudut pandang anda memang 'lain' dari kebanyakan umat pada umumnya bro ...
Toh tetap pada kenyataannya masih banyak orang yang memerlukan 'pembelajaran' yang bermulai dari sebuah 'sosok' yang bersifat 'kebendaan' bukan ? ... dan itu pilihan yang sesuai dengan standard mereka yang jelas berbeda dengan anda ... :)
:) Sudah lama ga lihat Bro Citra.

Ya, memang orang berbeda-beda. Bukan hanya mereka, saya pun masih perlu 'sosok' berwujud fisik tersebut. Walaupun demikian, jangan sampai "kebutuhan" tersebut mengarahkan kita pada pikiran yang tidak bermanfaat.


Quote
Promosi adalah sebuah 'pertahanan' untuk merawat apa yang telah ada (dibabarkan) ... Tentunya banyak cara dalam mempraktekannya ... Salah satunya termasuk dari wujud protes tersebut ... Toh alasan protesnya juga kan ditujukan supaya kelestarian ajaran tetap terjaga (yang pada kenyataannya banyak umat yang masih perlu 'sosok/figur' tersebut) ... :)
Saya pernah katakan, saya setuju kita membuat semacam surat keberatan yang sesuai hukum, atau menyebarkan di media massa.
Dalam artian, secara terbuka, kita (Umat Buddha) tidak mendukung dicampurnya simbol agama dengan Bar. Tetapi untuk lebih jauh dari itu, sepertinya sudah tercampur oleh emosi/perasaan.


Kalau kita mau bicara fair, ada umat yang mungkin perlu 'sosok' simbol tersebut, namun tentu ada juga sebagian lain yang mendapatkan manfaat lewat teladan "ketidakmelekatan", seperti saya sendiri pertama tertarik belajar Buddhisme karena melihat perilaku Bhante Uttamo yang sudah jelas adalah seorang bhikkhu yang mengabdikan diri untuk Agama Buddha, tetapi tidak ada "bau" fanatisme dalam dirinya sama sekali. Karena dengan cara demikian saya tertarik pada Buddhisme, maka dengan cara yang sama pula saya akan berusaha membuat Buddhisme menarik bagi orang lain.

Jadi bagi yang ingin promosi Buddhisme dengan perjuangan simbol tersebut, silahkan. Mungkin juga banyak yang berminat dari sikap penuh pengabdian namun tetap mengutamakan kedamaian dari Umat Buddha tersebut.
Di lain pihak, saya mengambil jalan yang berbeda, dan bertujuan menarik minat dari orang-orang berpola pikir berbeda juga.


Quote
Tentunya andapun setuju kalau pengikisan noda batin harus ditempuh oleh cara dengan tidak 'mengikuti' apalagi 'larut' kedalam pergerakan noda tersebut bukan ?
Ya, saya setuju.






^
hoooreee ada yg belain  :P ;D ;D ;D
Saya ga maksa lho... :) Bro kusalaputto mau "bom bunuh diri" di Buddha Bar juga saya tidak bisa dan tidak berhak melarang. Di sini saya hanya mengemukakan pendapat pribadi saja, dan tentu saja tidak mewakili kebenaran.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 14 January 2010, 06:46:41 PM
Jika anda lahir dan hidup di kalangan Kr1sten namun mengenal Agama Buddha, justru itu adalah kesempatan besar untuk promosi Ajaran Buddha. Tunjukkan bahwa Umat Buddha bukan umat yang melekat pada simbol. Seperti kita tahu banyak dari Umat Nasrani yang salah kaprah mengatakan Buddhis menyembah berhala. Dengan kita menunjukkan sikap kita yang tidak melekat pada patung/simbol dll, maka dengan sendirinya kita sudah membuktikan mereka salah.
marketing buddhis gitu lho.. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 15 January 2010, 11:28:52 AM
^
hoooreee ada yg belain  :P ;D ;D ;D
Saya ga maksa lho... :) Bro kusalaputto mau "bom bunuh diri" di Buddha Bar juga saya tidak bisa dan tidak berhak melarang. Di sini saya hanya mengemukakan pendapat pribadi saja, dan tentu saja tidak mewakili kebenaran.

ogah kale g jihad mending demo secara damai aja dah. kan klo jihad g da ngelanggar sila 1 uey klo demo g kan ga melaggar sila maupun dhamma. (pdhl waktu demo kemaren ga ikut :-[ :-[ :-[ jam kerja seh ;D)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 17 January 2010, 06:11:36 PM
selain rokok, minuman keras juga membayar cukai. Dan pemerintah mengizinkan penjualan minuman keras maupun rokok (tidak melanggar hukum).

Apakah kebanyakan agama tidak menganjurkan berbisnis di dua hal tsb? dan Bagaimana juga dgn Buddhist? Bagaimana kalau usaha menjual arak utk MASAK? arak utk masakan ibu yg melahirkan? arak utk pengobatan, penyembuhan (terkilir, dll) ? Karma buruk apakah yg diterima seseorang yg menjual ARAK ?

trims sebelumnya!
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 17 January 2010, 07:13:20 PM
Om kainy mau tanya lg..
Om Pasti kenal Albert Einstein dunk?
IMO.Kenapa sy merasa beberapa umat buddha sepertinya "ingin" membuddhis-kan Einstein,
contohnya perpustakaan di vihara banyak berjejer buku2,beberapa buku mengangkat topik tentang teori Einstein yg selaras dgn teori buddhism,bahkan ada cover buku yg mengdekripsikan einstein mengunakan jubah putih lengkap dgn simbol dan bendera buddhis
bagaimana tanggapan om kainyt?

*Bhante Utammo pernah berkata; kebenaran bukan milik suatu kelompok/agama
*maaf bahasa sy agak kacau.. ;D

thank

 [at] johan 3000
apa kabar om? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 17 January 2010, 08:25:21 PM
kalau cermah biksu/bante dalam rekaman vcd/dvd ataupun yg di youtube...
itu sebaiknya termasuk dalam kategori apa ya ?

utk kalangan sendiri, copy dgn izin, hak cipta, bebas didistribusikan, dst....

trus kalau kita senang sama satu ceramah, bolehkah audio tsb kita ambil...
dan dijalankan dgn animasi kita? dan bila itu bukan utk dijual....sebaiknya pakai izin
dari pencipta tsb atau tidak ?..................
(mengambil dubing suara ceramah Buddhist apakah sebaiknya minta izin ?

maaf pertanyaan agak kacau juga...... (mungkin gara2 bro Jhonz...)...

trims sebeleumnyyaa.....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: platinumbyakko on 18 January 2010, 10:33:26 AM
ask bagusan jadi bikkhu atau ikut retret meditasi untuk pengembangan batin ?>????
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 January 2010, 01:53:12 PM
selain rokok, minuman keras juga membayar cukai. Dan pemerintah mengizinkan penjualan minuman keras maupun rokok (tidak melanggar hukum).

Apakah kebanyakan agama tidak menganjurkan berbisnis di dua hal tsb? dan Bagaimana juga dgn Buddhist? Bagaimana kalau usaha menjual arak utk MASAK? arak utk masakan ibu yg melahirkan? arak utk pengobatan, penyembuhan (terkilir, dll) ? Karma buruk apakah yg diterima seseorang yg menjual ARAK ?

trims sebelumnya!

Sepertinya memang kebanyakan agama tidak menganjurkan bisnis yang berhubungan dengan minuman keras tersebut.

Kalau arak untuk memasak dan pengobatan, sepertinya tidak merupakan kamma buruk karena arak tersebut memang tidak dibuat untuk mabuk-mabukkan. Jika memang kemudian digunakan dengan cara lain untuk mabuk-mabukkan, itu adalah tanggung jawab si pelaku, sama saja seperti lem atau spidol yang dibuat "nge-fly".



kalau cermah biksu/bante dalam rekaman vcd/dvd ataupun yg di youtube...
itu sebaiknya termasuk dalam kategori apa ya ?

utk kalangan sendiri, copy dgn izin, hak cipta, bebas didistribusikan, dst....
Mengenai hal ini, saya kurang tahu.


Quote
trus kalau kita senang sama satu ceramah, bolehkah audio tsb kita ambil...
dan dijalankan dgn animasi kita? dan bila itu bukan utk dijual....sebaiknya pakai izin
dari pencipta tsb atau tidak ?..................
(mengambil dubing suara ceramah Buddhist apakah sebaiknya minta izin ?

maaf pertanyaan agak kacau juga...... (mungkin gara2 bro Jhonz...)...

trims sebeleumnyyaa.....
Menurut saya, kalau kita mengutip atau bahkan menggunakan perkataan orang lain, dan diedit/ubah untuk satu keperluan, ada baiknya meminta izin terlebih dahulu, baik dijual atau pun tidak. Dengan demikian, minimal si penceramah tahu ceramahnya dimanfaatkan untuk apa saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 January 2010, 02:00:09 PM
Om kainy mau tanya lg..
Om Pasti kenal Albert Einstein dunk?
IMO.Kenapa sy merasa beberapa umat buddha sepertinya "ingin" membuddhis-kan Einstein,
contohnya perpustakaan di vihara banyak berjejer buku2,beberapa buku mengangkat topik tentang teori Einstein yg selaras dgn teori buddhism,bahkan ada cover buku yg mengdekripsikan einstein mengunakan jubah putih lengkap dgn simbol dan bendera buddhis
bagaimana tanggapan om kainyt?

Menurut saya, itulah kebodohan manusia.
Albert Einstein adalah salah satu orang terpandai abad 20 yang tentu saja "keagamaannya" menjadi rebutan semua umat. Ada beredar kisah Albert Einstein bilang teori Buddhisme yang paling selaras dengan perkembangan zaman, ada juga cerita Albert Einstein yang masih mahasiswa "mempermalukan" dosen atheis, tetapi saya tidak menemukan sumber resmi yang menyatakan hal tersebut. Jadi sepertinya hanya "iklan-iklan" murahan saja dengan "Albert Einstein" sebagai modelnya. Di kalangan orang-orang yang tidak peduli, "bintang iklan" adalah segalanya.

Sekarang kita coba pikirkan seandainya semua orang hebat beragama Buddha, apakah itu membuat perbedaan dalam Agama Buddha itu sendiri? Apakah kalau misalnya rata-rata IQ manusia Buddhis naik 10%, otomatis Agama Buddha jadi lebih mudah dicerna ataukah lebih terbukti kebenarannya? Tidak, bukan?!
Nah, jika Agama Buddhanya saja tidak berubah, bagaimana mungkin pengaruh Agama Buddha tersebut ke diri sendiri juga berubah?

Sikap itu sebetulnya hanya kemelekatan saja karena menganggap "agama milikku", "umat milikku", "aku bagian dari umat", dan sebagainya. Karena tidak menyadari kemelekatan tersebut, jika ada idola masuk agama yang sama, kita senang. Jika kemudian idola tersebut nikah dengan kepercayaan berbeda dan pindah agama, maka kita jadi tidak senang. Inilah dukkha.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 January 2010, 02:01:41 PM
ask bagusan jadi bikkhu atau ikut retret meditasi untuk pengembangan batin ?>????

Menjadi bhikkhu adalah pilihan hidup, begitu pula ikut retret meditasi. Keduanya hanyalah salah satu variable yang bisa mendukung perkembangan bathin, namun relatif tergantung pribadi yang menjalani.

Ada orang yang menjadi bhikkhu untuk status, pelarian, atau hal lain yang bukan bertujuan untuk mengembangkan bathin. Dengan begitu, menjadi bhikkhu belum tentu lebih baik daripada tidak menjadi bhikkhu.
Ada orang yang ikut retret meditasi, mengalami fenomena yang belum dirasakan sebelumnya, malah menjadi angkuh, merasa hebat, dan sebagainya yang juga bukan mengarah pada perkembangan bathin. Jadi ikut retret meditasi juga belum tentu bagus.

Yang paling baik adalah dalam menjalani hidup, keputusan apa pun yang kita pilih, jalan apa pun yang kita tempuh, berusaha selalu sadar atas apa yang kita lakukan, apakah baik atau buruk. Jika sudah baik, dibuat lebih baik atau setidaknya dipertahankan. Jika ada yang buruk, dikurangi atau setidaknya dijaga agar tidak bertambah buruk.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 18 January 2010, 07:31:49 PM
Om kainy mau tanya lg..
Om Pasti kenal Albert Einstein dunk?
IMO.Kenapa sy merasa beberapa umat buddha sepertinya "ingin" membuddhis-kan Einstein,
contohnya perpustakaan di vihara banyak berjejer buku2,beberapa buku mengangkat topik tentang teori Einstein yg selaras dgn teori buddhism,bahkan ada cover buku yg mengdekripsikan *ralat,menggambarkan einstein mengunakan jubah putih lengkap dgn simbol dan bendera buddhis
bagaimana tanggapan om kainyt?

Menurut saya, itulah kebodohan manusia.
Albert Einstein adalah salah satu orang terpandai abad 20 yang tentu saja "keagamaannya" menjadi rebutan semua umat. Ada beredar kisah Albert Einstein bilang teori Buddhisme yang paling selaras dengan perkembangan zaman, ada juga cerita Albert Einstein yang masih mahasiswa "mempermalukan" dosen atheis, tetapi saya tidak menemukan sumber resmi yang menyatakan hal tersebut. Jadi sepertinya hanya "iklan-iklan" murahan saja dengan "Albert Einstein" sebagai modelnya. Di kalangan orang-orang yang tidak peduli, "bintang iklan" adalah segalanya.

Sekarang kita coba pikirkan seandainya semua orang hebat beragama Buddha, apakah itu membuat perbedaan dalam Agama Buddha itu sendiri? Apakah kalau misalnya rata-rata IQ manusia Buddhis naik 10%, otomatis Agama Buddha jadi lebih mudah dicerna ataukah lebih terbukti kebenarannya? Tidak, bukan?!
Nah, jika Agama Buddhanya saja tidak berubah, bagaimana mungkin pengaruh Agama Buddha tersebut ke diri sendiri juga berubah?

Sikap itu sebetulnya hanya kemelekatan saja karena menganggap "agama milikku", "umat milikku", "aku bagian dari umat", dan sebagainya. Karena tidak menyadari kemelekatan tersebut, jika ada idola masuk agama yang sama, kita senang. Jika kemudian idola tersebut nikah dengan kepercayaan berbeda dan pindah agama, maka kita jadi tidak senang. Inilah dukkha.



thank atas komentarnya om _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Forte on 18 January 2010, 07:43:12 PM
komentarnya bro kainyn cukup menarik..
sering kali kita mengidolakan seseorang sebagai landasan dalam beragama.. hal ini memang akan berakibat fatal apabila seseorang itu bertindak di luar yang kita mau.. dari bentuk idola.. lahirlah kemelekatan baru.. hendaknya suatu idola juga dianggap sebagai manusia yang masih berbuat salah sehingga ketika bertindak di luar kemauan kita, kita bisa dengan tenang melihat ini sebagai fenomena dukkha.

contoh kasus : umat agama I, yang biasanya ibu2 dulunya sangat mengagumi sosok seorang. Dan ketika seseorang tersebut menikahi perempuan yang lebih muda dan lebih cantik padahal sudah beristri.. maka timbul kekecewaan yang mendalam.. Akibatnya juga dirasakan.. adanya kontra sehingga membuat seseorang tersebut yang awalnya kerap muncul di TV sekarang kian tenggelam dan kurang terdengar lagi.
 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: platinumbyakko on 18 January 2010, 09:44:27 PM
ask bagusan jadi bikkhu atau ikut retret meditasi untuk pengembangan batin ?>????

Menjadi bhikkhu adalah pilihan hidup, begitu pula ikut retret meditasi. Keduanya hanyalah salah satu variable yang bisa mendukung perkembangan bathin, namun relatif tergantung pribadi yang menjalani.

Ada orang yang menjadi bhikkhu untuk status, pelarian, atau hal lain yang bukan bertujuan untuk mengembangkan bathin. Dengan begitu, menjadi bhikkhu belum tentu lebih baik daripada tidak menjadi bhikkhu.
Ada orang yang ikut retret meditasi, mengalami fenomena yang belum dirasakan sebelumnya, malah menjadi angkuh, merasa hebat, dan sebagainya yang juga bukan mengarah pada perkembangan bathin. Jadi ikut retret meditasi juga belum tentu bagus.

Yang paling baik adalah dalam menjalani hidup, keputusan apa pun yang kita pilih, jalan apa pun yang kita tempuh, berusaha selalu sadar atas apa yang kita lakukan, apakah baik atau buruk. Jika sudah baik, dibuat lebih baik atau setidaknya dipertahankan. Jika ada yang buruk, dikurangi atau setidaknya dijaga agar tidak bertambah buruk.



terima kasih saran sesepuh namaste
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 January 2010, 10:03:07 AM
thank atas komentarnya om _/\_

Sama2, Mr.Jhonz!
 _/\_





terima kasih saran sesepuh namaste
Sama2, tetapi saya bukan sesepuh dan itu hanya pendapat pribadi, BELUM TENTU benar.
 _/\_


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 January 2010, 10:03:18 AM
komentarnya bro kainyn cukup menarik..
sering kali kita mengidolakan seseorang sebagai landasan dalam beragama.. hal ini memang akan berakibat fatal apabila seseorang itu bertindak di luar yang kita mau.. dari bentuk idola.. lahirlah kemelekatan baru.. hendaknya suatu idola juga dianggap sebagai manusia yang masih berbuat salah sehingga ketika bertindak di luar kemauan kita, kita bisa dengan tenang melihat ini sebagai fenomena dukkha.

contoh kasus : umat agama I, yang biasanya ibu2 dulunya sangat mengagumi sosok seorang. Dan ketika seseorang tersebut menikahi perempuan yang lebih muda dan lebih cantik padahal sudah beristri.. maka timbul kekecewaan yang mendalam.. Akibatnya juga dirasakan.. adanya kontra sehingga membuat seseorang tersebut yang awalnya kerap muncul di TV sekarang kian tenggelam dan kurang terdengar lagi.

Ya, ini seringkali diabaikan orang-orang. Seperti saya pernah beri perumpamaan orang yang kecanduan rokok, tidak mampu berhenti walaupun tahu rokok itu merugikan, ketika memberi orang lain nasihat agar jangan merokok, maka orang cenderung mencibir, "Lu sendiri ngerokok!" Padahal pribadi yang menyampaikan ajaran dan ajaran itu sendiri adalah 2 hal yang berbeda.
Seperti tokoh yang disinggung Bro Forte, saya memang tidak setuju poligami, tetapi menurut saya keputusannya untuk berpoligami tidak mengurangi kualitas kebenaran yang ia sampaikan. Saya pun akan tetap senang mendengarkan dakwahnya, namun sayang memang tiba-tiba hilang dari media.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 19 January 2010, 10:46:51 AM
komentarnya bro kainyn cukup menarik..
sering kali kita mengidolakan seseorang sebagai landasan dalam beragama.. hal ini memang akan berakibat fatal apabila seseorang itu bertindak di luar yang kita mau.. dari bentuk idola.. lahirlah kemelekatan baru.. hendaknya suatu idola juga dianggap sebagai manusia yang masih berbuat salah sehingga ketika bertindak di luar kemauan kita, kita bisa dengan tenang melihat ini sebagai fenomena dukkha.

contoh kasus : umat agama I, yang biasanya ibu2 dulunya sangat mengagumi sosok seorang. Dan ketika seseorang tersebut menikahi perempuan yang lebih muda dan lebih cantik padahal sudah beristri.. maka timbul kekecewaan yang mendalam.. Akibatnya juga dirasakan.. adanya kontra sehingga membuat seseorang tersebut yang awalnya kerap muncul di TV sekarang kian tenggelam dan kurang terdengar lagi.

Ya, ini seringkali diabaikan orang-orang. Seperti saya pernah beri perumpamaan orang yang kecanduan rokok, tidak mampu berhenti walaupun tahu rokok itu merugikan, ketika memberi orang lain nasihat agar jangan merokok, maka orang cenderung mencibir, "Lu sendiri ngerokok!" Padahal pribadi yang menyampaikan ajaran dan ajaran itu sendiri adalah 2 hal yang berbeda.
Seperti tokoh yang disinggung Bro Forte, saya memang tidak setuju poligami, tetapi menurut saya keputusannya untuk berpoligami tidak mengurangi kualitas kebenaran yang ia sampaikan. Saya pun akan tetap senang mendengarkan dakwahnya, namun sayang memang tiba-tiba hilang dari media.


kalau menurut pandangan saya, tetap saja kualitas seorang Guru tetap dibutuhkan, teori dan praktek harus bisa selaras, apabila ada yang timpang salah satunya maka orang itu tidak pantas disebut guru yang baik, apakah dia disebut pakar praktek atau pakar teori baru boleh lah timpang salah satu.

sama seperti umat buddhist yang bertisarana, dia berlindung pada Buddha dan melihat Buddha sebagai sosok sempurna yang mengajarkan dhamma, berlindung pada sangha sebagai orang yang menjalankan ajaran Buddha, dan berlindung pada dhamma sebagai pegangan ajaran Buddha untuk di praktekan, apabila ada yang cacad maka orang tidak akan mungkin mau berlindung dong pada 3 itu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Forte on 19 January 2010, 07:26:40 PM
masing2 ada benarnya seh.. bro kainyn lebih melihat ke sisi objek yang disampaikan.. sedangkan bro ryu berpegangan pada prinsip "tak kenal maka tak sayang" :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 19 January 2010, 07:47:18 PM
komentarnya bro kainyn cukup menarik..
sering kali kita mengidolakan seseorang sebagai landasan dalam beragama.. hal ini memang akan berakibat fatal apabila seseorang itu bertindak di luar yang kita mau.. dari bentuk idola.. lahirlah kemelekatan baru.. hendaknya suatu idola juga dianggap sebagai manusia yang masih berbuat salah sehingga ketika bertindak di luar kemauan kita, kita bisa dengan tenang melihat ini sebagai fenomena dukkha.

contoh kasus : umat agama I, yang biasanya ibu2 dulunya sangat mengagumi sosok seorang. Dan ketika seseorang tersebut menikahi perempuan yang lebih muda dan lebih cantik padahal sudah beristri.. maka timbul kekecewaan yang mendalam.. Akibatnya juga dirasakan.. adanya kontra sehingga membuat seseorang tersebut yang awalnya kerap muncul di TV sekarang kian tenggelam dan kurang terdengar lagi.

Ya, ini seringkali diabaikan orang-orang. Seperti saya pernah beri perumpamaan orang yang kecanduan rokok, tidak mampu berhenti walaupun tahu rokok itu merugikan, ketika memberi orang lain nasihat agar jangan merokok, maka orang cenderung mencibir, "Lu sendiri ngerokok!" Padahal pribadi yang menyampaikan ajaran dan ajaran itu sendiri adalah 2 hal yang berbeda.
Seperti tokoh yang disinggung Bro Forte, saya memang tidak setuju poligami, tetapi menurut saya keputusannya untuk berpoligami tidak mengurangi kualitas kebenaran yang ia sampaikan. Saya pun akan tetap senang mendengarkan dakwahnya, namun sayang memang tiba-tiba hilang dari media.


yg om bold itu benar2 nendang gw banget :'(

dulu sy begitu mengagguminya karena dakwahnya yg universal,tapi stlah ada kabar beliau berpoligami,langsung terjadi penolakan dlm diri..

Akan sy renungkan postingan om. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 19 January 2010, 08:01:44 PM
postingan terakhir kainyn hilang ya..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 January 2010, 08:33:08 AM
kalau menurut pandangan saya, tetap saja kualitas seorang Guru tetap dibutuhkan, teori dan praktek harus bisa selaras, apabila ada yang timpang salah satunya maka orang itu tidak pantas disebut guru yang baik, apakah dia disebut pakar praktek atau pakar teori baru boleh lah timpang salah satu.

sama seperti umat buddhist yang bertisarana, dia berlindung pada Buddha dan melihat Buddha sebagai sosok sempurna yang mengajarkan dhamma, berlindung pada sangha sebagai orang yang menjalankan ajaran Buddha, dan berlindung pada dhamma sebagai pegangan ajaran Buddha untuk di praktekan, apabila ada yang cacad maka orang tidak akan mungkin mau berlindung dong pada 3 itu.

Kualitas guru BUKAN tidak diperlukan, tetapi merupakan 2 hal yang berbeda. Jika seorang guru selain mampu mengajar dengan baik, juga memiliki tingkah laku yang baik juga, maka ia selain memberikan pengetahuan, juga memberikan teladan yang bisa ditiru.

Jadi intinya secara garis besar dibagi begini:
Bagi orang yang tidak objektif, ajaran baik/buruk diabaikan, lebih cenderung pada "pengkultusan" si guru.
Jadi jika ajarannya memang baik tapi tampilan si guru kurang meyakinkan, maka ia akan melewatkan kebaikan ajaran tersebut. Jika guru meyakinkan tapi ajarannya bejad, terjerumuslah dia.

Bagi orang objektif,
-Jika ajaran baik tapi tingkah laku guru buruk, maka dia bisa mengambil manfaat dari ajaran, tetapi tidak ikut2an keburukan guru
-Jika ajaran baik dan tingkah laku guru juga baik, maka dia bisa mengambil manfaat dari ajaran, dan juga teladan dari guru

Saya berusaha dan menganjurkan agar kita menjadi yang objektif karena lebih berpotensi melihat manfaat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 20 January 2010, 08:41:01 AM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 January 2010, 09:02:47 AM
postingan terakhir kainyn hilang ya..

Saya paste lagi:

Melanjutkan tentang orang terkenal dan agama, ada kisah yang sangat menarik dari Upali Sutta (Majjhima Nikaya 56).
Kisahnya tentang Upali Gahapati, seorang perumahtangga pendukung aliran Nigantha yang mendengar kehadiran Buddha Gotama di kotanya, Nalanda. Sebagai pengikut setia Nigantha, maka ia mau membuktikan Ajaran Buddha itu salah, maka ia berdebat tentang perbuatan manakah yang paling berpengaruh, apakah pikiran, ucapan, atau jasmani, karena memang Nigantha menganut perbuatan jasmani yang paling berpengaruh, sedangkan dalam Ajaran Buddha, tentu saja pikiranlah sebagai pelopor.

Setelah berkali-kali diberikan perumpamaan yang tidak mungkin ditolak oleh orang berakal, Upali ini mengaku sejak perumpamaan pertama sudah mengerti, namun masih ingin melihat kehebatan Buddha membabarkan dhamma, maka sengaja bersikeras bahwa perbuatan jasmani yang paling berpengaruh. Kemudian ia menyatakan berlindung pada Buddha. Nah, inilah bagian yang menarik. Ketika ia menyatakan berlindung, Buddha mengatakan, "Perumahtangga, selidikilah dahulu sebelum bertindak. Orang terkenal sepertimu harus berpikir hati-hati sebelum bertindak!" Mendengar hal ini, keyakinan Upali justru membesar. Ia mengatakan, "Kalau sekte lain memberikan perlindungan kepadaku, maka mereka akan membawa saya keliling Nalanda dan menyerukan bahwa bahwa saya telah menerima perlindungan dari mereka. Sekarang Bhagava malah menyuruh saya menyelidiki lagi." Maka ia mengatakan untuk kedua kalinya berlindung kepada Buddha. Lalu Buddha mengatakan bahwa Upali sudah lama menjadi penyokong aliran Nigantha, maka sebaiknya terus menyokong mereka. Mendengar ini, Upali tambah yakin lagi pada Buddha karena biasanya aliran lain justru melarang memberikan dana makanan pada petapa aliran berbeda. Karena itu, ia menyatakan perlindungan untuk ke tiga kali. 

Dari contoh yang mudah ini kita bisa melihat bahwa Umat Buddha yang menggembar-gemborkan si "idola" yang mendukung atau masuk Agama Buddha, sebetulnya sedang mengamalkan sikap "sekte lain" dalam cerita ini. Sama sekali tidak mencerminkan teladan dari Buddha.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 20 January 2010, 09:03:02 AM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P

Guru yg baik tsb (pinter ngajar) itu sebaiknya dibuat menjadi cartoon......
dan sih cartoon tidak berpoligami,.. sehingga muridnya gak bisa nyontoh....


apakah konsep Buddha ? apa bedanya dgn PANDANGAN TERANG dlm (8 jalan) ?

trims sebelumnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 January 2010, 09:18:47 AM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P

Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.

Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 20 January 2010, 10:50:13 AM
Sharing artikel yang menurut saya menpunyai pengertian dan pemahaman lebih kurang sama seperti yang disampaikan oleh Bro Kainyn.

Kebijakan Sebuah Kata
Oleh: Fr. John F.Demartini

Satu percakapan bersama orang bijak sama nilainya dengan belajar sebulan dengan membaca buku. -Peribahasa Cina  

Bukankah luar biasa bagaimana seorang yang memberikan gagasannya pada waktu dan tempat yang tepat dapat mengubah jalan sejarah hidupmu? Ini terjadi pada hidupku. Waktu aku berumur 14, aku menumpang dari Houston, Texas, melalui El Paso menuju California. Aku sedang mengikuti impianku, berkelana bersama matahari. Aku drop-out dari sekolah menengah karena memiliki cacat-belajar dan ingin berselancar dia atas ombak terbesar di dunia, mula-mula di California, lantas di Hawaii, tempat tinggalku di kemudian hari.

Saat tiba di tengah kota El Paso, aku bertemu dengan seorang gelandangan tua di tikungan jalan. Ia melihatku berjalan, menghentikanku, lalu bertanya padaku waktu aku lewat. Ia bertanya apakah aku kabur dari rumah, mungkin karena aku kelihatan masih muda. Kukatakan padanya, "Tidak juga, Pak," karena ayahku mengantarku ke jalan raya di Houston dan merestuiku dengan mengatakan, "Yang penting adalah mengikuti impianmu dan hati nuranimu, Nak".

Pak gelandangan itu kemudian bertanya apakah aku mau dibelikan secangkir kopi. Aku bertanya padanya, "Tak usah, Pak, tapi kalau soda, aku mau". Kami berjalan ke sebuah toko di pojok jalan dan duduk di bangku putar sambil menikmati minuman.

Setelah mengobrol selama beberapa menit, Pak gelandangan yang ramah itu menyuruhku mengikutinya. Ia berkata padaku bahwa ia ingin menunjukkan dan berbagi sesuatu yang hebat denganku. Kami berjalan beberapa blok sampai ke Perpustakaan Umum El Paso. Kami menaiki tangga depan dan berhenti di stand penerangan kecil. Di sini Pak gelandangan berbicara dengan seorang wanita tua yang suka tersenyum, dan bertanya padanya apakah dia mau mengawasi barang-barangku sebentar selagi aku dan dia masuk ke perpustakaan. Aku meninggalkan barang milikku pada nenek baik ini dan masuk ke dalam ruang belajar yang besar dan indah.

Pak gelandangan mula-mula mengajakku ke sebuah meja dan memintaku duduk dan menunggu sebentar sementara ia mencari sesuatu yang istimewa dalam rak buku. Tidak berapa lama kemudian, ia kembali mengepit dua buah buku tua dan menaruhnya di meja. Lalu ia duduk di sebelahku dan berbicara.

Ia mulai dengan beberapa pernyataan yang sangat istimewa yang mengubah hidupku. Katanya, "Ada dua hal yang ingin saya ajarkan padamu, anak muda." "Nomor satu, jangan menilai buku dari sampulnya, karena sampul bisa menipumu."   Ia meneruskannya dengan berkata,"Kamu pasti mengira saya ini gelandangan, betul tidak, anak muda ?" Kataku, "Eh, betul, rasanya, Pak." "Anak muda, saya punya kejutan untukmu. Saya adalah salah seorang terkaya di dunia. Saya mungkin memiliki apa saja yang diinginkan orang. Saya berasal dari daerah Timur Laut dan memiliki apa saja yang dapat dibeli dengan uang. Tapi setahun yang lalu, istri saya meninggal, dan sejak itu saya banyak berpikir tentang hidup. Saya sadar bahwa ada beberapa hal yang belum pernah saya alami dalam hidup ini, salah satunya adalah apa rasanya hidup sebagai gelandangan di jalanan. Saya berjanji pada diri sendiri untuk melakukan hal itu selama setahun. Selama setahun ini, saya berkelana dari kota ke kota. Jadi, kamu lihat, jangan pernah menilai buku dari sampulnya, karena sampul bisa menipumu".

"Nomor dua adalah belajar cara membaca, nak. Karena hanya ada satu hal yang tak dapat direnggut dari dirimu, yaitu kebijakanmu".   Pada saat itu , ia meraih ke depan mengenggam tangan kananku dan menaruhnya di atas buku yang diambilnya dari rak. Buku itu adalah buah tangan Plato dan Aristoteles - karya klasik abadi dari zaman kuno.

Pak gelandangan itu kemudian mengajakku kembali pada wanita tua yang tersenyum di dekat jalan masuk itu, menuruni tangga, dan kembali ke jalan dekat tempat kami bertemu tadi. Permintaan perpisahannya adalah agar aku tidak melupakan apa yang diajarkannya. Aku tak pernah lupa.

Semoga Bermanfaat

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 20 January 2010, 10:58:01 AM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P

Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.

Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.


ya memang hal ini bisa terjadi, cuma yang saya ingin sampaikan adalah, alangkah baiknya bisa memilih guru yang sesuai dengan teori dan praktek.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 20 January 2010, 11:09:46 AM
Menjadi atau Tidak Menjadi karena Persepsi

Ada seorang gadis yang bercita-cita untuk menjadi seorang penari terkenal. Ia bermimpi untuk menjadi seorang yang tenar, yang akan menunjukkan kemampuannya didepan ribuan orang, di atas panggung yang megah. Setiap hari ia berlatih dengan keras, untuk menjadikan tariannya sempurna. Suatu saat ada sebuah perlombaan tari, gadis tersebut mengikutinya, ini merupakan sebuah kesempatan baginya untuk dapat meraih cita-citanya. Ribuan penari mengikuti perlombaan ini,namun gadis ini tidak gentar.

Ia mendapatkan nomor urut sekian ribu, setelah menunggu berjam-jam akhirnya waktu yang selama ini nantikan tiba, gadis itu berjalan menuju sebuah ruangan yang disitu sudah menunggu sesosok pria yang tidak lain adalah sang juri, yang akan menilai kemampuannya dan menentukan langkahnya. Dengan percaya diri gadis tersebut memulai tariannya, sangat luar biasa sekali, gerakannya gemulai dan lincah. Namun baru beberapa menit ia menari, sang juri meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun, sang gadis tersebut terkejut, bagai disambar petir disiang bolong, “ Begitu burukkah tarianku sampai-sampai dia mencampakkanku begitu saja, tanpa meninggalkan kata sedikitpun,” kata sang gadis dalam hati. Begitu kesalnya sang gadis, mimpinya hancur, cita-citanya musnah. Sejak saat itu sang gadis tidak pernah mau untuk menari lagi.

Beberapa tahun berlalu, Tanpa sengaja sang gadis melihat sebuah pengumunan, di kota tersebut akan diadakan pertunjukan tari, sang gadis tersebut bermaksud membawa anaknya untuk menonton pertunjukan tersebut, di pertunjukan tersebut ia bertemu dengan sesosok yang sudah tidak asing bagi dirinya, juri dalam perlombaan tari yang pernah ia ikuti beberapa waktu yang lalu, pria tersebut sudah tua, tampak dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dan kepalanya yang botak. Gadis tersebut menghampiri pria itu.

“Anda masih ingat saya?” Tanya si gadis,

“ Saya orang yang anda tinggalkan begitu saja pada perlombaan tari beberapa tahun yang lalu.” Tambah si gadis itu.

“ Ooo, kemana saja Anda selama ini?” Kata pria itu.

“ Saya menjadi penjaga toko,” Jawab sang gadis singkat.

Sang gadis pun menanyakan sebuah pertanyaan besar, yang selama ini menggangunya,

“ Kenapa waktu itu meninggalkan saya begitu saja? Begitu burukkah penampilan saya? Mungkin jika waktu itu saya diberikan kesempatan, saat ini saya yang akan ada diatas panggung itu, bukan menjadi seorang penjaga toko.”

Pria itu menjawab “ Ooo Anda menari dengan sangat hebat sekali waktu itu, tapi waktu itu saya lelah sekali, setelah beribu-ribu penari yang saya nilai, mengenai saya meninggalkanmu, saya bermaksud untuk mengambil kartu nama saya, untuk saya berikan kepada Anda dan saya berharap Anda menghubungi saya keesokan harinya. Saya benar-benar lelah, namun setelah saya kembali, Anda sudah tidak ada. Untuk mengetahui sebuah rasa masakan yang lezat, Anda tidak harus memakan semua masakan tersebut.”

Andai saja gadis itu tetap konsisten dengan apa yang ia lakukan, ia tetap konsentrasi dengan cita-citanya, ia tetap menyelesaikan tariannya hingga usai, mungkin ia sudah menjadi penari yang tenar, bukan sebagai seorang penjaga toko.

Catatan : Kadang-kadang kita terlalu mengandalkan penilaian berdasarkan persepsi pribadi, yang belum tentu benar. "Sesuatu yang berkilauan, belum tentu emas"

Semoga Bermanfaat

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 20 January 2010, 11:31:57 AM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P

Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.

Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.



Ikutan share akh..keknya pengalaman om kainyn mirip nih...

Saya pernah bertemu orang seperti tipe om Kainyn ceritakan...ada seorang guru ,dia mengajarkan kadangkala keras apalagi mengomeli..saya juga pernah kena...omelan bukan sekali saja....tetapi yang lucunya beberapa menit dia bisa bersahabat seakan-akan tidak terjadi apa2 dan ini bisa tercermin dari sikapnya...karena orang ini juga sangat disiplin . Saat itu rasa kesal tetapi saya terus belajar kepadanya. Akhirnya saya tau maksud dari guru tersebut dan ilmu pengetahuannya jadi menular ke saya.. Tetapi dilain sisi ada yg langsung sakit hati, dan tidak datang lagi, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa..Setelah diteliti lebih lanjut ternyata memang kadang dia suka ngetes batin kita...

Ada lagi saya pernah melihat seorang bhikkhu angkat kaki sambil baca koran, dan ada satu bhikkhu beranjali dihadapannya begitu lama. Dan kadangkala bhikkhu itu ketus terhadap bhkkhu yg beranjali. pertama saya bingung kenapa ya, bhikkhu itu sangat tidak sopan....Lalu setelah saya teliti kembali masa sih begitu, ternyata sebuah pengetesan terhadap bhikkhu yunior ^-^ Saya tidak tau apa isi hati bhkkhu yunior tersebut, tapi dia sabar terus beranjali...Kejadian ini di salah satu vihara terkenal di Jakarta daerah Sunter.

Ada lagi kasus saya pernah dengar tentang Ajahn Chah berteriak memarahi muridnya...orang berpikir dia bhikkhu yg tak pantas marah2 dan teriak2...usut punya usut rupanya memang dia lagi menguji murid2nya . Dan ajahn Chah berkata lihat bagaimana pikiran mereka berkeliaran ;D

Dari contoh2 diatas akhirnya saya menyadari bahwa mempelajari Dhamma tidak perlu muluk2, lemah lembut dan sesuai dengan selera kita tetapi dari Tahi Anjing pun kita bisa mempelajari Dhamma.  _/\_

Just share aja...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 20 January 2010, 11:47:26 AM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P

Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.

Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.



Ikutan share akh..keknya pengalaman om kainyn mirip nih...

Saya pernah bertemu orang seperti tipe om Kainyn ceritakan...ada seorang guru ,dia mengajarkan kadangkala keras apalagi mengomeli..saya juga pernah kena...omelan bukan sekali saja....tetapi yang lucunya beberapa menit dia bisa bersahabat seakan-akan tidak terjadi apa2 dan ini bisa tercermin dari sikapnya...karena orang ini juga sangat disiplin . Saat itu rasa kesal tetapi saya terus belajar kepadanya. Akhirnya saya tau maksud dari guru tersebut dan ilmu pengetahuannya jadi menular ke saya.. Tetapi dilain sisi ada yg langsung sakit hati, dan tidak datang lagi, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa..Setelah diteliti lebih lanjut ternyata memang kadang dia suka ngetes batin kita...

Ada lagi saya pernah melihat seorang bhikkhu angkat kaki sambil baca koran, dan ada satu bhikkhu beranjali dihadapannya begitu lama. Dan kadangkala bhikkhu itu ketus terhadap bhkkhu yg beranjali. pertama saya bingung kenapa ya, bhikkhu itu sangat tidak sopan....Lalu setelah saya teliti kembali masa sih begitu, ternyata sebuah pengetesan terhadap bhikkhu yunior ^-^ Saya tidak tau apa isi hati bhkkhu yunior tersebut, tapi dia sabar terus beranjali...Kejadian ini di salah satu vihara terkenal di Jakarta daerah Sunter.

Ada lagi kasus saya pernah dengar tentang Ajahn Chah berteriak memarahi muridnya...orang berpikir dia bhikkhu yg tak pantas marah2 dan teriak2...usut punya usut rupanya memang dia lagi menguji murid2nya . Dan ajahn Chah berkata lihat bagaimana pikiran mereka berkeliaran ;D

Dari contoh2 diatas akhirnya saya menyadari bahwa mempelajari Dhamma tidak perlu muluk2, lemah lembut dan sesuai dengan selera kita tetapi dari Tahi Anjing pun kita bisa mempelajari Dhamma.  _/\_

Just share aja...
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 20 January 2010, 12:07:53 PM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P

Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.

Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.



Ikutan share akh..keknya pengalaman om kainyn mirip nih...

Saya pernah bertemu orang seperti tipe om Kainyn ceritakan...ada seorang guru ,dia mengajarkan kadangkala keras apalagi mengomeli..saya juga pernah kena...omelan bukan sekali saja....tetapi yang lucunya beberapa menit dia bisa bersahabat seakan-akan tidak terjadi apa2 dan ini bisa tercermin dari sikapnya...karena orang ini juga sangat disiplin . Saat itu rasa kesal tetapi saya terus belajar kepadanya. Akhirnya saya tau maksud dari guru tersebut dan ilmu pengetahuannya jadi menular ke saya.. Tetapi dilain sisi ada yg langsung sakit hati, dan tidak datang lagi, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa..Setelah diteliti lebih lanjut ternyata memang kadang dia suka ngetes batin kita...

Ada lagi saya pernah melihat seorang bhikkhu angkat kaki sambil baca koran, dan ada satu bhikkhu beranjali dihadapannya begitu lama. Dan kadangkala bhikkhu itu ketus terhadap bhkkhu yg beranjali. pertama saya bingung kenapa ya, bhikkhu itu sangat tidak sopan....Lalu setelah saya teliti kembali masa sih begitu, ternyata sebuah pengetesan terhadap bhikkhu yunior ^-^ Saya tidak tau apa isi hati bhkkhu yunior tersebut, tapi dia sabar terus beranjali...Kejadian ini di salah satu vihara terkenal di Jakarta daerah Sunter.

Ada lagi kasus saya pernah dengar tentang Ajahn Chah berteriak memarahi muridnya...orang berpikir dia bhikkhu yg tak pantas marah2 dan teriak2...usut punya usut rupanya memang dia lagi menguji murid2nya . Dan ajahn Chah berkata lihat bagaimana pikiran mereka berkeliaran ;D

Dari contoh2 diatas akhirnya saya menyadari bahwa mempelajari Dhamma tidak perlu muluk2, lemah lembut dan sesuai dengan selera kita tetapi dari Tahi Anjing pun kita bisa mempelajari Dhamma.  _/\_

Just share aja...
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?

Om ryu,

Disini bukan masalah pembenaran terhadap semuanya...seringkali kita takut menghadapi suatu kejadian dijadikan pembenaran...kita hidup punya akal budi , dalam melihat kasus perkasus seharusnya kita nilai dari kebijaksannan kita. Semua masalah penangananya harus CASE BY CASE., lihat bagaimana Buddha melihat kasus case by case.
Kalau tokoh aslinya adalah Buddha. Maka tidak ada yang dapat yang menandinginya. semua pasti dibawah itu...Misal anda menghadapi kasus itu, Misal dalam diri anda merasa telah menaklukan kemarahan dan merasa silanya sempurna, nah sang guru tau Anda belum benar2 seperti itu lalu dites seperti itu, apakah anda langsung pergi dan bilang wah..nih guru ngak bener?,  gimana? Pengajaran2 seperti itu bukanlah kita yang mengatur tetapi bisa muncul setiap saat...nah kembali anda mau menyikapi gimana? mau dilihat luarnya saja atau dalamnya yang sesungguhnya. Kembali kepada pilihan. Katakan anda bertemu guru yang selama ini anda agung2kan, lalu satu waktu ia berlaku seperti itu, apakah anda terus pergi? kemudian seterusnya? dan anda terus mengharapkan setiap orang sempurna..nyatanya tak ada yang sempurna...sesuai impian anda..karena hidup berdasarkan pikiran kita sendiri bukan melihat fakta apa adanya...kembali kepada pilihan Anda...tentu tindakan pengajaran seperti diatas harus diteliti dengan seksama...makanya saya bilang lihat masalah case by case...Dan saya yakin guru yang bijaksana tidak memperlakukan semua muridnya seperti itu, ia melihat sesuai karakternya dan penanganannya.Seperti kasus Ajahn Chah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 20 January 2010, 12:11:45 PM
Iya ko, makanya dibutuhkan tool2 untuk melihat hal itu, JMB 8.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bond on 20 January 2010, 12:21:08 PM
Iya ko, makanya dibutuhkan tool2 untuk melihat hal itu, JMB 8.


Ya itu pointnya... ;D _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 January 2010, 12:34:08 PM
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?

Sebetulnya ada sedikit perbedaan. Dalam kasus saya, memang gurunya "tidak mampu" karena suatu keterbatasan. Dalam kasus Bro bond, guru itu sengaja kelihatan jelek untuk mengajar. Persamaannya adalah bahwa pembelajaran itu sebetulnya kembali lagi pada diri kita sendiri, apakah kita mampu belajar terlepas dari subjektifitas sosok guru tersebut? Guru itu tidak mampu atau pura-pura tidak mampu juga sesungguhnya kita tidak akan tahu. Yang kita tahu sebatas benar atau tidakkah, bermanfaat atau tidakkah ajaran guru itu kepada saya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 20 January 2010, 12:40:45 PM
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?

Sebetulnya ada sedikit perbedaan. Dalam kasus saya, memang gurunya "tidak mampu" karena suatu keterbatasan. Dalam kasus Bro bond, guru itu sengaja kelihatan jelek untuk mengajar. Persamaannya adalah bahwa pembelajaran itu sebetulnya kembali lagi pada diri kita sendiri, apakah kita mampu belajar terlepas dari subjektifitas sosok guru tersebut? Guru itu tidak mampu atau pura-pura tidak mampu juga sesungguhnya kita tidak akan tahu. Yang kita tahu sebatas benar atau tidakkah, bermanfaat atau tidakkah ajaran guru itu kepada saya.
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 20 January 2010, 12:55:54 PM
Bila ada guru yang kelakuannya buruk tapi ajarannya baik tetap aye tinggalkan, bisa cari guru yg lain yg lebih baik khan ;D
tambahan, bila ada guru yang kelakuannya buruk itu tetap akan berpengaruh terhadap perkembangan muridnya malah bisa jadi pembenaran atas kelakuan gurunya dan di contoh oleh muridnya seperti kasus poligami :P

Begitu ya? Kalau saya sih merasa sayang lho.
Saya cerita dikit, dulu saya belajar bela diri kebanyakan ilmu kuno, orangnya sudah tua-tua. Mereka juga galak-galak. Karena mereka sudah tua, maka sedikit yang bisa mereka perlihatkan karena keterbatasan tubuhnya. Jadi saya sering diomeli "salah, bukan gitu!" tapi saya sendiri ga tahu yang bener itu persisnya seperti apa, karena hanya mendengar lewat kata-kata saja. Tapi lama kelamaan saya mulai paham apa yang dimaksud dan mendapatkan banyak manfaat.

Nah, dari situ saya sadar bahwa kadang orang tidak bisa memberi contoh karena keterbatasan dirinya, tetapi bukan berarti karena keterbatasan itu, orang tersebut tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa. Dan sekadar info, saya mengenal Buddhisme dari orang yang menurut saya kurang baik untuk diteladani. Jika saya dulu langsung menolak referensinya ketika dikenalkan, maka mungkin sampai sekarang saya tidak kenal Ajaran Buddha.



Ikutan share akh..keknya pengalaman om kainyn mirip nih...

Saya pernah bertemu orang seperti tipe om Kainyn ceritakan...ada seorang guru ,dia mengajarkan kadangkala keras apalagi mengomeli..saya juga pernah kena...omelan bukan sekali saja....tetapi yang lucunya beberapa menit dia bisa bersahabat seakan-akan tidak terjadi apa2 dan ini bisa tercermin dari sikapnya...karena orang ini juga sangat disiplin . Saat itu rasa kesal tetapi saya terus belajar kepadanya. Akhirnya saya tau maksud dari guru tersebut dan ilmu pengetahuannya jadi menular ke saya.. Tetapi dilain sisi ada yg langsung sakit hati, dan tidak datang lagi, akhirnya tidak mendapatkan apa-apa..Setelah diteliti lebih lanjut ternyata memang kadang dia suka ngetes batin kita...

Ada lagi saya pernah melihat seorang bhikkhu angkat kaki sambil baca koran, dan ada satu bhikkhu beranjali dihadapannya begitu lama. Dan kadangkala bhikkhu itu ketus terhadap bhkkhu yg beranjali. pertama saya bingung kenapa ya, bhikkhu itu sangat tidak sopan....Lalu setelah saya teliti kembali masa sih begitu, ternyata sebuah pengetesan terhadap bhikkhu yunior ^-^ Saya tidak tau apa isi hati bhkkhu yunior tersebut, tapi dia sabar terus beranjali...Kejadian ini di salah satu vihara terkenal di Jakarta daerah Sunter.

Ada lagi kasus saya pernah dengar tentang Ajahn Chah berteriak memarahi muridnya...orang berpikir dia bhikkhu yg tak pantas marah2 dan teriak2...usut punya usut rupanya memang dia lagi menguji murid2nya . Dan ajahn Chah berkata lihat bagaimana pikiran mereka berkeliaran ;D

Dari contoh2 diatas akhirnya saya menyadari bahwa mempelajari Dhamma tidak perlu muluk2, lemah lembut dan sesuai dengan selera kita tetapi dari Tahi Anjing pun kita bisa mempelajari Dhamma.  _/\_

Just share aja...
kalau melihat begitu berarti nanti orang2 malakukan pembenaran dong om, seperti kasus bhiku meludahi orang misalnya katanya bisa mencapai kesucian, kemudian orang2 mengikuti hal itu, bagaimana?
Intinya saya rasa kita melihat tokoh aslinya, apakah Buddha melakukan hal begitu? Mengajar cara begitu?

Om ryu,

Disini bukan masalah pembenaran terhadap semuanya...seringkali kita takut menghadapi suatu kejadian dijadikan pembenaran...kita hidup punya akal budi , dalam melihat kasus perkasus seharusnya kita nilai dari kebijaksannan kita. Semua masalah penangananya harus CASE BY CASE., lihat bagaimana Buddha melihat kasus case by case.
Kalau tokoh aslinya adalah Buddha. Maka tidak ada yang dapat yang menandinginya. semua pasti dibawah itu...Misal anda menghadapi kasus itu, Misal dalam diri anda merasa telah menaklukan kemarahan dan merasa silanya sempurna, nah sang guru tau Anda belum benar2 seperti itu lalu dites seperti itu, apakah anda langsung pergi dan bilang wah..nih guru ngak bener?,  gimana? Pengajaran2 seperti itu bukanlah kita yang mengatur tetapi bisa muncul setiap saat...nah kembali anda mau menyikapi gimana? mau dilihat luarnya saja atau dalamnya yang sesungguhnya. Kembali kepada pilihan. Katakan anda bertemu guru yang selama ini anda agung2kan, lalu satu waktu ia berlaku seperti itu, apakah anda terus pergi? kemudian seterusnya? dan anda terus mengharapkan setiap orang sempurna..nyatanya tak ada yang sempurna...sesuai impian anda..karena hidup berdasarkan pikiran kita sendiri bukan melihat fakta apa adanya...kembali kepada pilihan Anda...tentu tindakan pengajaran seperti diatas harus diteliti dengan seksama...makanya saya bilang lihat masalah case by case...Dan saya yakin guru yang bijaksana tidak memperlakukan semua muridnya seperti itu, ia melihat sesuai karakternya dan penanganannya.Seperti kasus Ajahn Chah

Pembicaraan antara umat yang telah menjalani kehidupan Buddhis dengan baik, sehingga terjadi perbincangan yang mengarah kepada kemajuan yang telah dicapai dalam menpelajari Buddhism selama piluhan tahun. Cerita ini merupakan salah satu contoh yang mungkin sering didengar. Pembicaran lanjutan tersebut adalah :

"Apakah anda tidak pernah berbohong? "tanya saya kepadanya.

"Tidak, tidak pernah !" jawabnya.

"Apakah anda tidak pernah mencuri sesuatu atau membenci seseorang?"

"Tidak, sekalipun tidak pernah !"

"Pernahkan anda berzinah ?"

"Tidak !"

"Tidak mematuhi orang tua?"

"Tidak !"

"Pernahkah anda minum minuman keras ?"

"Tidak, tidak pernah !"

Kemudian saya memikirkan pertanyaan lain "Apakah anda bangga dengan fakta bahwa anda tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar salah satu sila Pancasila  Buddhism setelah mengenal Buddhism puluhan tahun?" tanya saya nakal.

"Oh ya, " jawabnya "Sangat bangga, sangat bangga."

"Nah, itulah kilesa anda" ujar saya "Anda adalah orang yang angkuh".

Dia tertawa terbahak-bahak dan mengucapkan selamat kepada saya karena saya berhasil menjebaknya dengan munculnya kesombongan. Akhirnya masing-masing menyadari kebenarannya. Yakni masih harus lebih giat belajar.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 20 January 2010, 02:13:04 PM
Menjadi atau Tidak Menjadi karena Persepsi

Ada seorang gadis yang bercita-cita untuk menjadi seorang penari terkenal. Ia bermimpi untuk menjadi seorang yang tenar, yang akan menunjukkan kemampuannya didepan ribuan orang, di atas panggung yang megah. Setiap hari ia berlatih dengan keras, untuk menjadikan tariannya sempurna. Suatu saat ada sebuah perlombaan tari, gadis tersebut mengikutinya, ini merupakan sebuah kesempatan baginya untuk dapat meraih cita-citanya. Ribuan penari mengikuti perlombaan ini,namun gadis ini tidak gentar.

Ia mendapatkan nomor urut sekian ribu, setelah menunggu berjam-jam akhirnya waktu yang selama ini nantikan tiba, gadis itu berjalan menuju sebuah ruangan yang disitu sudah menunggu sesosok pria yang tidak lain adalah sang juri, yang akan menilai kemampuannya dan menentukan langkahnya. Dengan percaya diri gadis tersebut memulai tariannya, sangat luar biasa sekali, gerakannya gemulai dan lincah. Namun baru beberapa menit ia menari, sang juri meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun, sang gadis tersebut terkejut, bagai disambar petir disiang bolong, “ Begitu burukkah tarianku sampai-sampai dia mencampakkanku begitu saja, tanpa meninggalkan kata sedikitpun,” kata sang gadis dalam hati. Begitu kesalnya sang gadis, mimpinya hancur, cita-citanya musnah. Sejak saat itu sang gadis tidak pernah mau untuk menari lagi.

Beberapa tahun berlalu, Tanpa sengaja sang gadis melihat sebuah pengumunan, di kota tersebut akan diadakan pertunjukan tari, sang gadis tersebut bermaksud membawa anaknya untuk menonton pertunjukan tersebut, di pertunjukan tersebut ia bertemu dengan sesosok yang sudah tidak asing bagi dirinya, juri dalam perlombaan tari yang pernah ia ikuti beberapa waktu yang lalu, pria tersebut sudah tua, tampak dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dan kepalanya yang botak. Gadis tersebut menghampiri pria itu.

“Anda masih ingat saya?” Tanya si gadis,

“ Saya orang yang anda tinggalkan begitu saja pada perlombaan tari beberapa tahun yang lalu.” Tambah si gadis itu.

“ Ooo, kemana saja Anda selama ini?” Kata pria itu.

“ Saya menjadi penjaga toko,” Jawab sang gadis singkat.

Sang gadis pun menanyakan sebuah pertanyaan besar, yang selama ini menggangunya,

“ Kenapa waktu itu meninggalkan saya begitu saja? Begitu burukkah penampilan saya? Mungkin jika waktu itu saya diberikan kesempatan, saat ini saya yang akan ada diatas panggung itu, bukan menjadi seorang penjaga toko.”

Pria itu menjawab “ Ooo Anda menari dengan sangat hebat sekali waktu itu, tapi waktu itu saya lelah sekali, setelah beribu-ribu penari yang saya nilai, mengenai saya meninggalkanmu, saya bermaksud untuk mengambil kartu nama saya, untuk saya berikan kepada Anda dan saya berharap Anda menghubungi saya keesokan harinya. Saya benar-benar lelah, namun setelah saya kembali, Anda sudah tidak ada. Untuk mengetahui sebuah rasa masakan yang lezat, Anda tidak harus memakan semua masakan tersebut.”

Andai saja gadis itu tetap konsisten dengan apa yang ia lakukan, ia tetap konsentrasi dengan cita-citanya, ia tetap menyelesaikan tariannya hingga usai, mungkin ia sudah menjadi penari yang tenar, bukan sebagai seorang penjaga toko.

Catatan : Kadang-kadang kita terlalu mengandalkan penilaian berdasarkan persepsi pribadi, yang belum tentu benar. "Sesuatu yang berkilauan, belum tentu emas"

Semoga Bermanfaat

 _/\_

Paling tidak gadis penari itu bisa BERTANYA..............

1. juri mau kemana ?
2. Apakah saya nari terus ?
3. kapan juri kembali ?
4. bagaimana hasil nilai tarianku ?
5. Apakah juri kebelet kencing ?

Tidak ada salahnya bertanya sebelum membuat penilaian sendiri?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 January 2010, 02:51:46 PM
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.

Ya, jadi kira-kira begitu. Juga guru2 yang baik biasanya mengetahui kekurangan dirinya sendiri. Salah satu guru terbaik saya ahli dalam berbagai bidang, berpengalaman dan boleh dibilang sukses. Dalam mengajar, ia bilang boleh mengikuti jejaknya yang baik-baik, tapi jangan yang jelek (misalnya ia kecanduan rokok) dan menghimbau untuk jangan sekadar "menjadi dirinya" namun "melebihi dirinya".
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 20 January 2010, 03:10:58 PM
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.

Ya, jadi kira-kira begitu. Juga guru2 yang baik biasanya mengetahui kekurangan dirinya sendiri. Salah satu guru terbaik saya ahli dalam berbagai bidang, berpengalaman dan boleh dibilang sukses. Dalam mengajar, ia bilang boleh mengikuti jejaknya yang baik-baik, tapi jangan yang jelek (misalnya ia kecanduan rokok) dan menghimbau untuk jangan sekadar "menjadi dirinya" namun "melebihi dirinya".
apakah kasusnya bisa disamakan seperti ini ? :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,6988.msg126992.html#msg126992
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 20 January 2010, 04:17:06 PM
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.

Ya, jadi kira-kira begitu. Juga guru2 yang baik biasanya mengetahui kekurangan dirinya sendiri. Salah satu guru terbaik saya ahli dalam berbagai bidang, berpengalaman dan boleh dibilang sukses. Dalam mengajar, ia bilang boleh mengikuti jejaknya yang baik-baik, tapi jangan yang jelek (misalnya ia kecanduan rokok) dan menghimbau untuk jangan sekadar "menjadi dirinya" namun "melebihi dirinya".

Kalo kecanduan posting gimana tuh ? Jelek gak ? :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 January 2010, 04:54:25 PM
apakah kasusnya bisa disamakan seperti ini ? :
http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,6988.msg126992.html#msg126992

Maksudnya "kelihatan jelek untuk mengajarkan yang sebenarnya" yah? Dari sisi mengajarnya memang bisa disamakan seperti itu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 January 2010, 04:55:01 PM
kalau soal tidak mampu saya bisa maklumi, memang semuanya kembali ke diri sendiri apa itu bisa membawa manfaat atau tidak seperti kasus Buddha yang menemukan jalan oleh diri sendiri karena gurunya tidak mampu memberikan jalan yang di cari.

Ya, jadi kira-kira begitu. Juga guru2 yang baik biasanya mengetahui kekurangan dirinya sendiri. Salah satu guru terbaik saya ahli dalam berbagai bidang, berpengalaman dan boleh dibilang sukses. Dalam mengajar, ia bilang boleh mengikuti jejaknya yang baik-baik, tapi jangan yang jelek (misalnya ia kecanduan rokok) dan menghimbau untuk jangan sekadar "menjadi dirinya" namun "melebihi dirinya".

Kalo kecanduan posting gimana tuh ? Jelek gak ? :))
Kecanduan sih, apa pun bentuknya juga kurang bagus. :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 21 January 2010, 01:01:15 AM
Quote
rombongan 5 orang bhikkhu dan 3 meici dari Thailand.

meici itu apa ya? dari bahasa mana?

thanks
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 21 January 2010, 10:41:31 AM
Menjadi atau Tidak Menjadi karena Persepsi

Ada seorang gadis yang bercita-cita untuk menjadi seorang penari terkenal. Ia bermimpi untuk menjadi seorang yang tenar, yang akan menunjukkan kemampuannya didepan ribuan orang, di atas panggung yang megah. Setiap hari ia berlatih dengan keras, untuk menjadikan tariannya sempurna. Suatu saat ada sebuah perlombaan tari, gadis tersebut mengikutinya, ini merupakan sebuah kesempatan baginya untuk dapat meraih cita-citanya. Ribuan penari mengikuti perlombaan ini,namun gadis ini tidak gentar.

Ia mendapatkan nomor urut sekian ribu, setelah menunggu berjam-jam akhirnya waktu yang selama ini nantikan tiba, gadis itu berjalan menuju sebuah ruangan yang disitu sudah menunggu sesosok pria yang tidak lain adalah sang juri, yang akan menilai kemampuannya dan menentukan langkahnya. Dengan percaya diri gadis tersebut memulai tariannya, sangat luar biasa sekali, gerakannya gemulai dan lincah. Namun baru beberapa menit ia menari, sang juri meninggalkannya tanpa mengucapkan sepatah katapun, sang gadis tersebut terkejut, bagai disambar petir disiang bolong, “ Begitu burukkah tarianku sampai-sampai dia mencampakkanku begitu saja, tanpa meninggalkan kata sedikitpun,” kata sang gadis dalam hati. Begitu kesalnya sang gadis, mimpinya hancur, cita-citanya musnah. Sejak saat itu sang gadis tidak pernah mau untuk menari lagi.

Beberapa tahun berlalu, Tanpa sengaja sang gadis melihat sebuah pengumunan, di kota tersebut akan diadakan pertunjukan tari, sang gadis tersebut bermaksud membawa anaknya untuk menonton pertunjukan tersebut, di pertunjukan tersebut ia bertemu dengan sesosok yang sudah tidak asing bagi dirinya, juri dalam perlombaan tari yang pernah ia ikuti beberapa waktu yang lalu, pria tersebut sudah tua, tampak dari wajahnya yang sudah keriput, rambutnya yang memutih dan kepalanya yang botak. Gadis tersebut menghampiri pria itu.

“Anda masih ingat saya?” Tanya si gadis,

“ Saya orang yang anda tinggalkan begitu saja pada perlombaan tari beberapa tahun yang lalu.” Tambah si gadis itu.

“ Ooo, kemana saja Anda selama ini?” Kata pria itu.

“ Saya menjadi penjaga toko,” Jawab sang gadis singkat.

Sang gadis pun menanyakan sebuah pertanyaan besar, yang selama ini menggangunya,

“ Kenapa waktu itu meninggalkan saya begitu saja? Begitu burukkah penampilan saya? Mungkin jika waktu itu saya diberikan kesempatan, saat ini saya yang akan ada diatas panggung itu, bukan menjadi seorang penjaga toko.”

Pria itu menjawab “ Ooo Anda menari dengan sangat hebat sekali waktu itu, tapi waktu itu saya lelah sekali, setelah beribu-ribu penari yang saya nilai, mengenai saya meninggalkanmu, saya bermaksud untuk mengambil kartu nama saya, untuk saya berikan kepada Anda dan saya berharap Anda menghubungi saya keesokan harinya. Saya benar-benar lelah, namun setelah saya kembali, Anda sudah tidak ada. Untuk mengetahui sebuah rasa masakan yang lezat, Anda tidak harus memakan semua masakan tersebut.”

Andai saja gadis itu tetap konsisten dengan apa yang ia lakukan, ia tetap konsentrasi dengan cita-citanya, ia tetap menyelesaikan tariannya hingga usai, mungkin ia sudah menjadi penari yang tenar, bukan sebagai seorang penjaga toko.

Catatan : Kadang-kadang kita terlalu mengandalkan penilaian berdasarkan persepsi pribadi, yang belum tentu benar. "Sesuatu yang berkilauan, belum tentu emas"

Semoga Bermanfaat

 _/\_

Paling tidak gadis penari itu bisa BERTANYA..............

1. juri mau kemana ?
2. Apakah saya nari terus ?
3. kapan juri kembali ?
4. bagaimana hasil nilai tarianku ?
5. Apakah juri kebelet kencing ?

Tidak ada salahnya bertanya sebelum membuat penilaian sendiri?

Berarti sekarang Bro Johan telah menjadi penari terkenal, karena telah mengetahui caranya ( bercanda ya,  :)) :)) :)) )

Dan memang kenyataan adalah demikian kehidupan ini adalah pilihan, kadang-kadang ada yang mengatakan "kesempatan atau peluang " ini seperti seekor burung hinggap ditelapak tangan, jika tidak secara cepat dan tepat ( penilaian ), maka burung ( dibaca : peluang ) akan terbang dan tidak kembali untuk kedua kalinya. Maka pepatah yang menpunyai makna mendalam " menyesal kemudian tidak berguna " adalah sangat tepat.

Bagaimana membuat pilihan dan dilihat dari sisi yang yang bagaimana, mungkin perumpamaan dibawah ini lebih mengambarkan realita kehidupan
 
Ada sepasang saudara kembar, yang satu sangat periang, satunya lagi sangat pemurung. Suatu hari, ayahnya telah membeli banyak sekali mainan baru dengan beraneka warna mencolok. Anaknya yang pemurung dibiarkan bermain ditumpukan mainan itu. Sebaliknya si anak periang ditempatkan ke dalam kandang kuda yang penuh dengan kotoran. Sang ayah nampaknya ingin mengubah karakter kedua anak tersebut.

Keesokan paginya, sang ayah melihat si anak pemurung sedang menangis tersedu-sedu lantas bertanya: “Kenapa, apa tidak menyukai mainan baru itu?” Anak itu dengan lugu menjawab, “Kalau mainan kan bisa rusak.” Sang ayah menghela napas, lantas melangkah masuk ke kandang kuda, ia menemukan si anak periang itu sedang bersemangat entah mengorek-ngorek apa dari kotoran kuda. “Tahukah, papa, saya rasa di dalam tumpukan kotoran ini pasti tersembunyi seekor kuda kecil,” celoteh anak itu dengan bangganya

Sehari kemudian, sang ayah memberi kedua anak tersebut masing-masing minuman ½ botol, si anak pemurung tidak mau meminumnya, karena ia melihat hanya tinggal ½ botol saja. Sedang si anak periang mengangkatnya dengan gembira, “Sangat bagus! Masih ada ½ botol!”

Perumpaan diatas menunjukkan keduanya berbeda cara menyikapi kehidupan ( PILIHAN ), satu anak adalah periang, yang lainnya pemurung. Ini telah menunjukkan sifat perbedaan dari cara berpikir umat manusia ( penilaian ), yakni membagi segala hal menjadi dua sisi yang saling bertentangan, misalnya positif negative, periang dan pemurung, memuji satu sisi, menghujat sisi lainnya. Manusia yang bersikap periang atau optimis, pada setiap situasi dan kondisi yang runyam kebanyakan akan menemukan peluang, sedangkan manusia yang bersikap pemurung atau pesimis, pada setiap peluang malah melihat situasi dan kondisi yang runyam.

Ini dikarenakan dalam setiap sisi optimisme kebanyakan terdapat bagian yang pesimis, dalam setiap sisi pesimisme juga terdapat bagian dari optimis, segala hal adalah berpadanan dan realitis, hanya melihat manusianya mau berdiri di sisi yang mana dan inilah REALITA KEHIDUPAN  yang berbeda tipis ( KACAMATA KEHIDUPAN ), dan terkadang TIDAK DISADARI oleh kita. Dan artikel dibawa ini lebih menreflesikan


REALITA KEHIDUPAN

Saya dapat merasakan sedikit.. mungkin sedikit saja.. Ketidak bahagiaan yang sedang kamu alami. Itu semua karena kamu tidak belajar dari pengalaman hidupmu, sehingga kamu harus mengulang pelajaran ini. Aku pun mengalaminya, dan aku tahu betapa tidak menyenangkan hal ini.

Hanya satu masukan dari saya, Apapun yang harus terjadi, tidak dapat kamu hindari. Cepat atau lambat, hal-hal tersebut akan datang, dan datang dengan kondisi yang sama bahkan lebih.

Maka itu terimalah, Apapun yang terjadi dalam hidup mu. Hidup ini tidak bisa selalu dalam sisi menyenangkan. Pelajari dan ambil hikmahnya. Pesan apa yang hendak disampaikan Hukum Alam Semesta ini kepadamu.

Belajar mendengarkan pesan ini, susah-susah gampang. Bisa juga dibilang sangat sulit, bila kita belum bersedia untuk membuka hati dan pikiran kita.

Jika kita mengalami situasi sulit, situasi yang tidak menyenangkan. Apa yang dapat kita lakukan ? Aku tidak tahu jawaban pasti. Tapi mungkin saja bagi kamu, menyimpan sebuah harapan.. harapan akan adanya Terang setelah Gelap bisa memicu untuk tetap semangat dalam menjalankan hidup ini. Habis Gelap Terbitlah Terang. Itulah kata-kata yang pernah dikumandangkan Ibu Kita, Ibu Kartini.

Tidak Ada Terang, tanpa Gelap. Tidak Ada Kesenangan, tanpa Penderitaan. Terang adalah Gelap itu sendiri. Gelap itu sendiri adalah Terang. Terang tidak berbeda dengan Gelap. Demikian Gelap tidak berbeda dengan Terang. Kesenangan adalah penderitaan itu sendiri. Penderitaan itu adalah Kesenangan. Mereka berdua tidak berbeda.

Di dunia relatif ini, kita melihat segala sesuatu dari sisi Dualitas. Padahal Dualitas adalah ILUSI . Bagi Orang yang punya kekayaan 100 miliar dollar, bisa jadi menganggap orang yang punya duit 1 milliar rupiah adalah bukan orang kaya. Bagi seorang pembantu, bisa mempunyai duit 1 milliar rupiah adalah sangat kaya. Bukankah 1 milliar rupiah itu adalah nilai yang sama ? Tetapi mengapa bisa jadi ada perbedaan ?

Bagi mereka yang punya duit 100 milliar dollar. Tiba-tiba, karena sesuatu hal, duitnya hanya tersisa 1 Milliar Rupiah. Dan mungkin saja, orang yang tadinya punya duit 100 milliar dollar, menjadi stress berat. Tetapi di sisi lain, bagi seseorang yang tidak punya 1 milliar, tiba-tiba mempunyai duit 1 milliar, mungkin dia akan kegirangan.

Dan di sisi lain yang lain, bagi mereka yang tidak ambil pusing, duit 100 milliar dollar = 1 milliar rupiah = 0 rupiah. Sehingga punya duit 100 milliar, punya duit 1 miliar, duit 0 rupiah, dia tetap tidak terganggu.

Lalu, kita termasuk yang mana diantara 3 pilihan ?
Setiap pilihan tentu memberikan konsekuensinya yang harus diterima ( sebab akibat )

Semoga Bermanfaat

 _/\_
 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: g.citra on 21 January 2010, 10:50:33 AM
^ Nah, kalo begitu, buat yang milih pilihan ketiga, harap catat no. Rek. DC yah ... biar proyek-proyeknya bisa jalan lancar banget ... :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 22 January 2010, 02:34:52 PM
^ Nah, kalo begitu, buat yang milih pilihan ketiga, harap catat no. Rek. DC yah ... biar proyek-proyeknya bisa jalan lancar banget ... :))

Gak pilih yg manapun dehhhhh (lagi males milih)... cuma menikmatin cerita2
yg inspiratif dan menghibur dari bro Change....(terutama kotoran kuda itu...
hahahaaa )

Tadi siang dengar radio......reporter mengatakan bahwa...
jalan layang turun ke Sidoarjo rusak (lubang besar) dan telah memakan korban kemarin (meninggal),
saat itu obnum yg mengurusin jalan di telp langsung..........ditanya apakah udah diperbaikin.. katanya sebagian udah tapi yg ITU belum... trus kapan diperbaikin.... katanya oknum tsb harus nunggu oknum yg di departemen lain.....

Menurut Buddhist, Bukankah itu juga JELAS2 salah satu pembunuhan yg disengajakan ? (ada suatu keadaan yg bisa membunuh koq dibiarkan) ? seberapa besar karma jelek yg diterima oleh oknum yg tidak segera memperbaikin jalan tsb ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 January 2010, 03:18:28 PM
Mengenai kisah 2 anak kembar, sebetulnya baik sikap pesimis dan optimis menghalangi perhitungan objektif. Tetapi entah mengapa, kebanyakan dari kisah-kisah yang beredar, biasanya "pesimis" yang jadi antagonis dan salah perhitungan, sedangkan si "optimis" yang jadi jagoan dan berhasil.

Sekarang saya beri cerita dari sudut pandang lain. :)
2 orang berangkat bersama naik mobil untuk perjalanan jauh yang melewati daerah terpencil. Si pesimis bilang, "isi bensin dulu, udah TINGGAL setengah." Si optimis, "ga usah, MASIH ada setengah." Akhirnya mobil mogok di daerah terpencil dan harus jalan ke SPBU terdekat yaitu 60 KM. Si pesimis ngoceh, "jauh sekali!" Si optimis bilang, "ah, cuma 60 KM doang..." Setelah jalan 3 jam, akhirnya di tengah jalan ada mobil lewat dan membantu mereka. Si pesimis bilang, "kenapa lama sekali baru lewat?!" Si optimis bilang, "untung baru lewat 3 jam!"

Pesimis meninggal terlahir di Tavatimsa: "yah... CUMA Tavatimsa..."
Optimis meninggal terlahir di alam Peta: "UNTUNG bukan Avici..."

Entahlah dengan rekan-rekan lain di sini, tapi saya pribadi tidak ingin dan tidak menganjurkan orang lain menjadi salah satu dari mereka.
-----

Dalam perumpamaan "ilusi dualisme," yang diambil Rp. 1 Milyar. Coba kalau Variablenya "Gaji Rp. 1.000.000,- per bulan."
Orang pertama, tinggal sendiri, gaya hidup "setengah petapa". Gaji 1 juta/bln = berlebihan.
Orang ke dua, tinggal bersama orang tua yang sakit, jadi tulang punggung keluarga membantu menyekolahkan adik-adiknya. Gaji 1 juta/bln = sangat kurang.

Apakah ini juga ilusi dualitas? Jika bukan, apa batasan "ilusi" tersebut?


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 22 January 2010, 04:30:26 PM
Mengenai kisah 2 anak kembar, sebetulnya baik sikap pesimis dan optimis menghalangi perhitungan objektif. Tetapi entah mengapa, kebanyakan dari kisah-kisah yang beredar, biasanya "pesimis" yang jadi antagonis dan salah perhitungan, sedangkan si "optimis" yang jadi jagoan dan berhasil.

Sekarang saya beri cerita dari sudut pandang lain. :)
2 orang berangkat bersama naik mobil untuk perjalanan jauh yang melewati daerah terpencil. Si pesimis bilang, "isi bensin dulu, udah TINGGAL setengah." Si optimis, "ga usah, MASIH ada setengah." Akhirnya mobil mogok di daerah terpencil dan harus jalan ke SPBU terdekat yaitu 60 KM. Si pesimis ngoceh, "jauh sekali!" Si optimis bilang, "ah, cuma 60 KM doang..." Setelah jalan 3 jam, akhirnya di tengah jalan ada mobil lewat dan membantu mereka. Si pesimis bilang, "kenapa lama sekali baru lewat?!" Si optimis bilang, "untung baru lewat 3 jam!"

Pesimis meninggal terlahir di Tavatimsa: "yah... CUMA Tavatimsa..."
Optimis meninggal terlahir di alam Peta: "UNTUNG bukan Avici..."

Entahlah dengan rekan-rekan lain di sini, tapi saya pribadi tidak ingin dan tidak menganjurkan orang lain menjadi salah satu dari mereka.
-----

Dalam perumpamaan "ilusi dualisme," yang diambil Rp. 1 Milyar. Coba kalau Variablenya "Gaji Rp. 1.000.000,- per bulan."
Orang pertama, tinggal sendiri, gaya hidup "setengah petapa". Gaji 1 juta/bln = berlebihan.
Orang ke dua, tinggal bersama orang tua yang sakit, jadi tulang punggung keluarga membantu menyekolahkan adik-adiknya. Gaji 1 juta/bln = sangat kurang.

Apakah ini juga ilusi dualitas? Jika bukan, apa batasan "ilusi" tersebut?




Mengenai optimis dan pesimis, menurut saya pribadi hanya suatu kondisi " menghibur " diri sendiri, dalam arti 'semangat" selalu muncul karena pengkondisian karena berpikir positif, sama seperti konsep " untung ". Makanya saya katakan beda tipis, karena suatu peristiwa yang dapat dikatakan sebagai baik dan buruk selalu berdasarkan sudut pandang. Karena yang perlu diperhatikan adalah realita kehidupan.

-----------
Bagaimana pandangan Bro Kainyn mengenai batasan "ilusi" ini ? Karena secara duniawi, semuanya adalah relatif.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 22 January 2010, 05:18:06 PM
Mengenai optimis dan pesimis, menurut saya pribadi hanya suatu kondisi " menghibur " diri sendiri, dalam arti 'semangat" selalu muncul karena pengkondisian karena berpikir positif, sama seperti konsep " untung ". Makanya saya katakan beda tipis, karena suatu peristiwa yang dapat dikatakan sebagai baik dan buruk selalu berdasarkan sudut pandang. Karena yang perlu diperhatikan adalah realita kehidupan.
Dalam hidup, ada hal-hal yang bisa diperkirakan dan ada yang tidak bisa. Sebaiknya kita selalu berpegang pada yang bisa diperkirakan, namun tidak menutup diri dari kemungkinan terjadinya hal-hal yang tak terduga. Orang pesimis itu cenderung mengecilkan keuntungan yang ada dan otomatis membesar-besarkan kerugian yang sebetulnya belum tentu ada. Sebaliknya orang optimis cenderung mengecilkan kerugian yang ada dan membesar-besarkan keuntungan yang sebetulnya belum tentu ada.

Kalau kebanyakan motivator mendorong kita berpikir dari sudut pandang positif, saya menganjurkan kita berpikir dari sudut pandang netral, selalu berusaha melihat hal-hal positif dan negatif apa adanya. Yang positif, walaupun diusahakan, kadang tidak berhasil. Begitu juga yang negatif, walaupun dihindari, kadang tetap terjadi juga. Namun yang terpenting adalah kita telah mengambil keputusan dengan pertimbangan, bukan tanpa dasar. Pikiran positif tidak akan mengisi gelas setengah kosong, sebagaimana pikiran negatif juga tidak akan mengosongkan gelas setengah terisi. Yang terbaik adalah mengetahui kapan harus mengisi yang setengah kosong, dan kapan harus menggunakan yang setengah terisi.


Mengenai "menghibur diri," saya pikir adalah baik jika kita menyadari suatu kesedihan sebagai kesedihan, karena dengan menyadarinya, kita bisa menghentikan "akar permasalahan" dan memperbaiki diri. Menghibur diri justru mengalihkan kita dari kenyataan kesedihan yang kita alami. Misalnya putus dengan pacar dan merasa sedih. Alangkah baiknya kita menyadari kesedihan yang terjadi karena kemelekatan kita. Bukan berarti kita besok jadi bhikkhu, tetapi agar kita tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Penghiburan diri seperti "saya akan bertemu yang lebih baik" ataupun "nanti kami pasti akan dipersatukan lagi" adalah sebuah gambaran harapan dan pelarian kita dari masalah sebab kita pada hakekatnya ingin mencari bahagia dan tidak mau menerima kenyataan. Dengan menghibur diri, maka fokus kita lari dari akar permasalahan yang ada.



Quote
Bagaimana pandangan Bro Kainyn mengenai batasan "ilusi" ini ? Karena secara duniawi, semuanya adalah relatif.
Kalau pandangan saya, diukur dari kebutuhan yang nyata, dan kebutuhan yang sebetulnya tidak nyata bagi orang tersebut.
Dan untuk ini juga tidak ada rumus sama buat semua orang.

Misalnya baju, pada hakekatnya baju sekadar melindungi tubuh. Baju mahal adalah kebutuhan "tidak nyata" buat kebanyakan orang, tetapi untuk performer (misalnya entertainer) bisa menjadi kebutuhan nyata (kalau bajunya butut, ga ada yang mau kasih kerjaan untuk tampil).

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 23 January 2010, 09:56:20 AM
 [at]  Kainyn

Saya setuju dengan pandangan anda, dan saya ingin mengatakan pandangan anda adalah sangat mendalam dalam hal untuk memahaminya, jika seseorang yang tidak pernah mengalami pasang surut kehidupan, maka menurut saya, tidak mudah untuk mencernanya. Dan mungkin mudah bagi yang telah memahami dhamma ( spekulasi) tidak berkata demikian.

Menurut saya pribadi berpikir positif ‘HANYA’ sebagai dasar untuk memicu niat atau kehendak secara berkesinambungan untuk mengikuti proses yang berlangsung dengan semangat, sehingga tidak putus asa. Karena kita tahu bahwa positif-negatif ( relative ) tidak muncul berbarengan dalam pola pikir. Sehingga berpikir positif menekan yang negative. Dan biasanya ini dilakukan oleh rata-rata setiap manusia ( yang tidak mengenal Dhamma ) dalam menghadapi masalah. Sehingga metode berpikir positif sebagai awal bahkan sangat awal bagi kita untuk belajar lebih jauh untuk mendalami proses kehidupan. Tentu cara pandang yang Buddhistik yang anda sajikan lebih mengena dan benar.


Ada satu hal yang sangat menarik mengenai Yin-Yang dan lima elemen kayu, api, tanah, logam dan air yang membahas keseimbangan dan selalu dalam bentuk dualisme atau ilusi.Yin Yang merupakan perlambangan dari Tao dengan bulatan yang dibagi menjadi dua garis lengkung warna hitam dan putih , Yin (sisi warna hitam dengan titik putih) membawa arti konotasi kejahatan, lemah, negatif, wanita. Sedangkan Yang (sisi warna putih dengan titik hitam) membawa arti konotasi kebaikan, kuat, positif, lelaki. Dalam dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, dalam kebenaran ada kesalahan begitu juga sebaliknya dalam kejahatan ada kebaikan yang dikandung. Berarti suatu keseimbangan duniawi selalu terjadi karena adanya sisi positif  dan sisi negative.

Dan dikatakan ( kutipan ) :
 Yin mutlak bila sampai terjadi sama bahayanya dengan Yang mutlak. Contohnya, seorang laki-laki seyogyanya dilahirkan dengan lebih banyak sifat Yang (maskulin) dari pada Yin. Namun bila ia tidak memiliki sedikitpun sifat Yin ia tidak memiliki daya imbang dan ini akan sangat merugikannya .

Sebaliknya, Yin dan Yang tidak boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium) karena sesuatu yang terlalu seimbang tidak mendatangkan perubahan atau kemajuan. Equilibrium = stagnant = tidak ada kegairahan = kematian .

contoh ; seperti yang anda katakan dithread lain. jika terjadi keseimbangan, maka tidak akan terjadi evolusi dari setiap makhluk ( jika saya tidak salah ingat )

Bagaimana pandangan Buddha Dhamma mengenai dualism Yin Yang ini ?
 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 23 January 2010, 10:48:55 PM
mohon jangan diskusi mengenai kepercayaan lain di diskusi umum.
kebijakannya adalah diskusi umum membahas mengenai apa yang dipercaya seorang pengikut ajaran Sang Buddha berdasarkan tiga mazhab besar.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: platinumbyakko on 25 January 2010, 09:40:25 AM
mau tanya tadi meditasi
ada tanda2 kayak gini :
- tubuh seperti ditekan sampai gepeng
- tubuh bergetar hebat kayak digoncang gempa
- keluar air mata
ini maksudnya apa yah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 25 January 2010, 09:45:25 AM
mohon jangan diskusi mengenai kepercayaan lain di diskusi umum.
kebijakannya adalah diskusi umum membahas mengenai apa yang dipercaya seorang pengikut ajaran Sang Buddha berdasarkan tiga mazhab besar.

Terima Kasih anda telah mengingatkan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 25 January 2010, 10:16:18 AM
[at]  Kainyn

Saya setuju dengan pandangan anda, dan saya ingin mengatakan pandangan anda adalah sangat mendalam dalam hal untuk memahaminya, jika seseorang yang tidak pernah mengalami pasang surut kehidupan, maka menurut saya, tidak mudah untuk mencernanya. Dan mungkin mudah bagi yang telah memahami dhamma ( spekulasi) tidak berkata demikian.

Menurut saya pribadi berpikir positif ‘HANYA’ sebagai dasar untuk memicu niat atau kehendak secara berkesinambungan untuk mengikuti proses yang berlangsung dengan semangat, sehingga tidak putus asa. Karena kita tahu bahwa positif-negatif ( relative ) tidak muncul berbarengan dalam pola pikir. Sehingga berpikir positif menekan yang negative. Dan biasanya ini dilakukan oleh rata-rata setiap manusia ( yang tidak mengenal Dhamma ) dalam menghadapi masalah. Sehingga metode berpikir positif sebagai awal bahkan sangat awal bagi kita untuk belajar lebih jauh untuk mendalami proses kehidupan. Tentu cara pandang yang Buddhistik yang anda sajikan lebih mengena dan benar.


Ada satu hal yang sangat menarik mengenai Yin-Yang dan lima elemen kayu, api, tanah, logam dan air yang membahas keseimbangan dan selalu dalam bentuk dualisme atau ilusi.Yin Yang merupakan perlambangan dari Tao dengan bulatan yang dibagi menjadi dua garis lengkung warna hitam dan putih , Yin (sisi warna hitam dengan titik putih) membawa arti konotasi kejahatan, lemah, negatif, wanita. Sedangkan Yang (sisi warna putih dengan titik hitam) membawa arti konotasi kebaikan, kuat, positif, lelaki. Dalam dunia ini tidak ada kebenaran mutlak, dalam kebenaran ada kesalahan begitu juga sebaliknya dalam kejahatan ada kebaikan yang dikandung. Berarti suatu keseimbangan duniawi selalu terjadi karena adanya sisi positif  dan sisi negative.

Dan dikatakan ( kutipan ) :
 Yin mutlak bila sampai terjadi sama bahayanya dengan Yang mutlak. Contohnya, seorang laki-laki seyogyanya dilahirkan dengan lebih banyak sifat Yang (maskulin) dari pada Yin. Namun bila ia tidak memiliki sedikitpun sifat Yin ia tidak memiliki daya imbang dan ini akan sangat merugikannya .

Sebaliknya, Yin dan Yang tidak boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium) karena sesuatu yang terlalu seimbang tidak mendatangkan perubahan atau kemajuan. Equilibrium = stagnant = tidak ada kegairahan = kematian .

contoh ; seperti yang anda katakan dithread lain. jika terjadi keseimbangan, maka tidak akan terjadi evolusi dari setiap makhluk ( jika saya tidak salah ingat )

Bagaimana pandangan Buddha Dhamma mengenai dualism Yin Yang ini ?
 


Unsur-unsur alam adalah hal yang universal. Buddhisme juga menggunakan pembagian 4 elemen dalam alam yaitu tanah (kepadatan), air (fluida), angin (pergerakan), dan api (panas) yang membentuk fenomena. Makhluk, memiliki tambahan unsur yaitu bathin yang adalah kesadaran, pikiran, ingatan, dan perasaan. Sepertinya fakta yang memang ada di alam memang bukan milik kelompok tertentu, apakah Buddhist, Taoist, dsb. Hanya saja setiap ajaran mungkin menyikapinya dengan sudut pandang berbeda.

Mengenai dualisme "Yin-Yang", saya sendiri tidak tahu detailnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 25 January 2010, 10:16:29 AM
mohon jangan diskusi mengenai kepercayaan lain di diskusi umum.
kebijakannya adalah diskusi umum membahas mengenai apa yang dipercaya seorang pengikut ajaran Sang Buddha berdasarkan tiga mazhab besar.

Tadinya saya buat thread ini untuk bicara dengan topik bebas dengan saya sendiri, tetapi sepertinya memang bisa melebar ke mana-mana. Bisa tolong bantu pindahkan ke board yang cocok? Kafe jongkok, barangkali?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 25 January 2010, 10:16:40 AM
mau tanya tadi meditasi
ada tanda2 kayak gini :
- tubuh seperti ditekan sampai gepeng
- tubuh bergetar hebat kayak digoncang gempa
- keluar air mata
ini maksudnya apa yah

Maaf, Bro platinum, saya bukan pakar meditasi, jadi salah alamat :) Coba ditanyakan di board meditasi saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kusalaputto on 25 January 2010, 10:22:38 AM
mau tanya tadi meditasi
ada tanda2 kayak gini :
- tubuh seperti ditekan sampai gepeng
- tubuh bergetar hebat kayak digoncang gempa
- keluar air mata
ini maksudnya apa yah
klo menurut saya yang no 1 & 2 hanya permainan pikiran kita seakan2 seperti itu saya sendiri pernah mengalami seakan2 kaki lumpuh karena tidak merasa lagi tapi ga da yg lumpuh karena meditasi jadi hanya perasaan.
no.3. itu memang mata akan mengeluarkan air mata ketika memejamkan mata dan mengantuk, mungkin anda menggantuk ketika meditasi
saya bukan ahli meditasi hanya berbagi pengalaman saja
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 25 January 2010, 10:37:23 AM
mau tanya tadi meditasi
ada tanda2 kayak gini :
- tubuh seperti ditekan sampai gepeng
- tubuh bergetar hebat kayak digoncang gempa
- keluar air mata
ini maksudnya apa yah

kalo menurut buku essential of visudhimagga karangan Dr.Mohn, ini termasuk piti...
cm berdasarkan pengalaman untuk pemula biasanya cuma perasaan aja...krn kita baru belajar meditasi sering terasa hal gini kayak badan membesar ato mengecil dan juga badan bergoyang... saran saya sih di sadari aja dan jgn diikuti sensasi ini... ini akan cepat berlalu dengan sendirinya...

Kl sampai keluar air mata mgkn kita terlalu memaksa untuk fokus juga bisa terjadi menurut pengalaman saya... tp ada orang yang mengalami ketenangan yang dalam juga bisa mengeluarkan air mata krn bathinnya berbahagia dengan ketenangan tersebut...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 12 February 2010, 10:58:03 PM
Om,mau tanya pendapat om lg,

tadi liat kick Andy,topiknya 'korban peradilan sesat'.
Mengenai orang2 yg di paksa mengakui kejahatan yg tidak di lakukannya,dalam prosesnya hukumnya para korban di intimidasi baik fisik maupun psikis oleh oknum2 penyidik untuk (*di paksa)mengakui kejahatan yg tidak di lakukannya,

pertanyannya;
sebagai umat buddha yg bijak,apa yg harus di lakukan jika di kondisikan sebagai "korban" peradilan sesat?
A. Mengaku,karena disiska terus menerus
B. Tidak mengaku,walaupun taruhannya nyawa karena di pukuli terus.

*nb,para korban biasanya rakyat jelata,yg buta soal hukum
*liat contoh kasus Astrori di jombang.

Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 February 2010, 01:43:02 PM
Om,mau tanya pendapat om lg,

tadi liat kick Andy,topiknya 'korban peradilan sesat'.
Mengenai orang2 yg di paksa mengakui kejahatan yg tidak di lakukannya,dalam prosesnya hukumnya para korban di intimidasi baik fisik maupun psikis oleh oknum2 penyidik untuk (*di paksa)mengakui kejahatan yg tidak di lakukannya,

pertanyannya;
sebagai umat buddha yg bijak,apa yg harus di lakukan jika di kondisikan sebagai "korban" peradilan sesat?
A. Mengaku,karena disiska terus menerus
B. Tidak mengaku,walaupun taruhannya nyawa karena di pukuli terus.

*nb,para korban biasanya rakyat jelata,yg buta soal hukum
*liat contoh kasus Astrori di jombang.

Thank

Wah, kalau sampai seperti itu sih, sepertinya apa pun juga sudah salah. Sama seperti dulu waktu jaman "Witch-hunting", ada cara yang super efektif. Seseorang yang dicurigai sebagai praktisi sihir (apakah wajahnya kurang cantik, di rumahnya ada kucing hitam, menyimpan tanaman obat, atau apa pun alasannya), akan diinterogasi. Caranya adalah diikat pada batu super gede, lalu diceburkan ke sungai. Kalau bisa lolos, berarti penyihir dan akan dibakar hidup-hidup. Kalau tidak bisa lolos, alias mati tenggelam, yah berarti bukan penyihir. Gampang 'kan?! ;D
Nah, kalau sudah begitu, apakah pilihan kita ada pengaruhnya?

Jawabannya saya pikir tergantung masing-masing aja. "Tenggelam" atau "dibakar". Tetapi apapun keputusan yang diambil, selalu menyadari bahwa itu adalah akibat dari masa lampau, dan jaga agar jangan timbul pikiran yang tidak baik.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 13 February 2010, 10:19:58 PM
;D serem bener cerita om,

ok,kalo yg di hadapi seperti kasus astrori Jombang?
Dgn ancaman hukumnya penjara belasan tahun(kasusnya beda ama witch hunting)
apakah lebih baik memilih hidup tapi di cap pembunuh,ato memilih tidak mengaku tapi nyawa terancam akibat di siksa.
Thank sebelumnya

btw,selamet tahun baru imlek om ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 February 2010, 08:22:31 PM
;D serem bener cerita om,

ok,kalo yg di hadapi seperti kasus astrori Jombang?
Dgn ancaman hukumnya penjara belasan tahun(kasusnya beda ama witch hunting)
apakah lebih baik memilih hidup tapi di cap pembunuh,ato memilih tidak mengaku tapi nyawa terancam akibat di siksa.
Thank sebelumnya

btw,selamet tahun baru imlek om ;D

Kasus itu juga saya pikir kembali lagi ke pilihan masing-masing. Mungkin ada yang memiliki idealisme tidak akan mengaku walaupun harus mati, maka dia tidak akan mengaku. Ada juga mungkin yang berpikiran lain, misalnya dengan memilih "hidup" maka masih ada harapan baginya atau keluarganya. Untuk hal-hal seperti ini, harus orang yang menjalani yang menilai, dan juga subjektif nilainya. Jadi tidak ada "yang lebih baik", yang ada hanyalah pilihan dan alasan orang menempuh pilihan tersebut.

Selamat Tahun Baru Imlek juga, Mr.Jhonz!

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 15 February 2010, 09:12:40 PM
Thank penjelasannya om.. _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 18 March 2010, 07:28:44 PM
Om mau tanya lg dunk..

Kita tahu perkembangan dunia dalam berbagai bidang sudah sangat maju(modern),dari bidang teknologi sampai budaya sudah mengalami evolusi yg dahsyat.
Alat2 yg diciptakan untuk memanjakan panca indra sudah tidak terhitung lagi jumlahnya,
Pertanyaannya; *apakah etis disatu sisi kita berusaha menlenyapkan LMD,di sisi lain kita terhanyut dgn gaya hidup pemuasan panca indra?
*Apakah bisa kita melenyapkan LMD,jika [di satu sisi]masih menikmati peralatan2 pemuas panca indra?
*segitu dulu om ;D

Thank,
bagaimana pandangan om2 yg lain?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 18 March 2010, 08:11:36 PM
duh pertanyaan kayak gini coba dibalik yah di tanyakan kebalikan nya nih jaman dah maju penyebaran dhamma( buku dhamma dimana mana), internet, forum buddhis, ada tv (daai tv), dvd, retreat  dll tapi kok arahat nya ada berapa banyak yah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 March 2010, 11:05:00 AM
Om mau tanya lg dunk..

Kita tahu perkembangan dunia dalam berbagai bidang sudah sangat maju(modern),dari bidang teknologi sampai budaya sudah mengalami evolusi yg dahsyat.
Alat2 yg diciptakan untuk memanjakan panca indra sudah tidak terhitung lagi jumlahnya,
Pertanyaannya; *apakah etis disatu sisi kita berusaha menlenyapkan LMD,di sisi lain kita terhanyut dgn gaya hidup pemuasan panca indra?
*Apakah bisa kita melenyapkan LMD,jika [di satu sisi]masih menikmati peralatan2 pemuas panca indra?
*segitu dulu om ;D

Thank,
bagaimana pandangan om2 yg lain?
Kalau mengenai etis atau tidak, saya pikir tidak relevan karena ini hubungannya dengan pribadi masing-masing. Mungkin saya lebih melihat dari sudut manfaatnya. Selama kita ada usaha untuk mengikis LDM yang didasari pandangan benar, maka selalu lebih baik. Apakah walaupun kita masih menikmati kesenangan indera, usah mengikis LDM bermanfaat? Ya, selalu bermanfaat.

Dalam hal orang yang menikmati kesenangan indera, yang tidak berpandangan benar, tidak mengetahui akibat dari pemuasan tersebut yang akhirnya membawa pada keinginan yang lebih besar, ketidakpuasan yang lebih besar yang tidak ada habisnya. Maka ia terus menerus mencari dan mengembangkan keinginan tersebut.
Bagi yang berpandangan benar, mengetahui penderitaan yang akan dialami jika keinginan terus bertambah, maka akan timbul penahanan diri. Sedikit atau banyaknya penahanan diri yang timbul itu memang relatif, tergantung dari kematangan bathin masing-masing, namun tetap saja berarti bermanfaat dan merupakan latihan juga. 

Lalu apakah kita bisa melenyapkan LDM sementara masih menikmati kesenangan itu?
Karena saya pun belum melenyapkan LDM, jadi no comment. :) Tapi coba kita pikir dari sisi lain. Ada kelompok yang disebut petapa penyiksa diri yang melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan panca indera. Apakah kemudian dengan cara itu LDM mereka berkurang?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 19 March 2010, 07:25:27 PM
Lalu apakah kita bisa melenyapkan LDM sementara masih menikmati kesenangan itu?
Karena saya pun belum melenyapkan LDM, jadi no comment. :) Tapi coba kita pikir dari sisi lain. Ada kelompok yang disebut petapa penyiksa diri yang melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan panca indera. Apakah kemudian dengan cara itu LDM mereka berkurang?

menurut pendapat pribadi om apakah mungkin ada orang yg dapat melenyapkan LMD sementara orang tersebut masih menikmati kesenagan inderanya? ;D
Soal petapa penyiska diri,sy berpendapat; "para bhikku yg dihutan aja¤ ada yg ga bisa melnyapkan LMD,apalagi kita yg dikota(yg dari bangun tidur sudah dimanjakan indranya)"
Sy makin bingung om...

Thank sebelumnya ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 March 2010, 10:43:33 AM
menurut pendapat pribadi om apakah mungkin ada orang yg dapat melenyapkan LMD sementara orang tersebut masih menikmati kesenagan inderanya? ;D
Menurut saya, ini rumit, tapi saya coba berikan point-point menurut pendapat saya.
Yang sering dapat kita lihat adalah hanya sepotong kecil kehidupan seseorang saja. Contohnya kita lihat kisah semua Bodhisatta yang pada bagian awal kehidupannya menikmati semua kesenangan duniawi yang ada, namun sebentar saja bertapa, langsung mencapai Kebuddhaan. Bodhisatta Gotama di masa kita ini memang memerlukan waktu 6 tahun, namun itu adalah kasus "khusus".
Bodhisatta Kassapa hidup menikmati kesenangan duniawi selama 2000 tahun, kemudian meninggalkannya dan dalam 7 hari langsung mencapai Kebuddhaan.

Kadang kita lihat kok menikmati kesenangan indera begitu lama, tetapi kok bisa langsung mengikis LDM? Itu karena kita "mengabaikan" latihan mereka yang MINIMAL 4 Asankhyeyya + 100.000 Kappa.

Contoh lainnya yang lebih "ekstrem" adalah kisah dalam Dhammapada Atthakatha 142, tentang seorang menteri bernama Santati yang berjasa dan diberikan semua kesenangan duniawi oleh raja. Ia menikmatinya selama 7 hari-7 malam. Keesokan harinya ia bertemu Buddha Gotama, dan pada hari itu juga ia mencapai Arahat dan parinibbana di hadapan Buddha.

Nah, jadi kembali ke pertanyaannya, saya bilang bisa saja JIKA ia memang telah memiliki kematangan bathin yang diperoleh dari latihan moralitas dan pandangan terang. Jika ditanya apakah latihan moralitas dan pandangan terang didukung kondisi menikmati atau menghindari kesenangan indera, maka saya katakan latihan memperoleh kematangan bathin didukung oleh menghindari kesenangan indera, bukan dengan memuaskan kesenangan indera. Namun apakah padamnya LDM tergantung pada keadaan pada saat itu masih menikmati kesenangan indera atau tidak, saya rasa tidak.


Quote
Soal petapa penyiska diri,sy berpendapat; "para bhikku yg dihutan aja¤ ada yg ga bisa melnyapkan LMD,apalagi kita yg dikota(yg dari bangun tidur sudah dimanjakan indranya)"
Sy makin bingung om...
Nah, mengenai hal ini, saya pikir itu karena bawaan dari kamma lampau yang berbeda, maka kita kecocokan latihannya juga berbeda. Jika ada orang yang menjadi bhikkhu hutan karena "gengsi", lalu kehidupan kebhikkhuan itu hanya membuatnya menderita, susah meditasi karena takut dipagut ular atau bertemu hantu, apakah menjadi bhikkhu hutan begitu mendukung atau menghambat kemajuan? Sebaliknya kalau orang menjadi perumahtangga tetapi selalu melatih puas diri, biarpun di tengah fasilitas pemuasan indera tetap menahan diri, bukankah kemajuannya adalah mungkin?

Buddha bukanlah guru ekstrem, tetapi yang membimbing berdasarkan keterkondisan orang tersebut. Jika memang seseorang cocok menjadi bhikkhu, maka Buddha akan mendukung kondisinya agar jadi bhikkhu. Contohnya adalah sepupunya, Nanda (yang kemudian dibawa ke Tavatimsa melihat bidadari) yang "diculik" pada hari perkawinannya untuk jadi bhikkhu. Sebaliknya jika memang cocok dan bisa berkembang dalam kehidupan perumahtangga, Buddha tidak mengajak atau menganjurkan masuk kebhikkhuan. Misalnya Ayahnya, Suddhodana yang juga akhirnya mencapai Arahatta dalam kondisi sebagai perumah-tangga.

Saya pikir kita tidak perlu bingung. Metode praktek dhamma tidak akan pernah bisa diteorikan ke dalam 1 pakem mutlak. Apapun keterkondisian kita, tetap selalu berlatih menyadari fenomena itu.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 21 March 2010, 06:28:37 AM
Thankk om
sy pelajarin dulu.._/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 03 May 2010, 10:00:01 PM
Om,mau tanya pendapat om lg ;D
Di buddhism selalu ditekankan panna dan mempraktikan JALAN TENGAH
Lalu,bagaimana dengan praktek "keras" bhikkhu dhutanga?
*mereka terkenal keras dalam berlatih,menghadapi rasa takut dgn berlatih di tempat2 berbahaya(seperti sarang2 harimau,ditepi jurang,di gua2 yg banyak setannya)
*mereka rela mati demi dhamma(*maksudnya,demi melatih diri mereka rela mengorbankan nyawa)
mereka tidak takut akan malaria,bahkan [kadang] ketika terserang malaria mereka lebih memilh memakai dhamma sebagi obatnya(perenungan),daripada obat konvensional..

Bagaimana menurut om dan teman2 lain??
Apakah di buddhism ada istilah "rela mati demi latihan dhamma"?

Thank sebelumnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 May 2010, 04:52:10 PM
Om,mau tanya pendapat om lg ;D
Di buddhism selalu ditekankan panna dan mempraktikan JALAN TENGAH
Lalu,bagaimana dengan praktek "keras" bhikkhu dhutanga?
*mereka terkenal keras dalam berlatih,menghadapi rasa takut dgn berlatih di tempat2 berbahaya(seperti sarang2 harimau,ditepi jurang,di gua2 yg banyak setannya)
*mereka rela mati demi dhamma(*maksudnya,demi melatih diri mereka rela mengorbankan nyawa)
mereka tidak takut akan malaria,bahkan [kadang] ketika terserang malaria mereka lebih memilh memakai dhamma sebagi obatnya(perenungan),daripada obat konvensional..

Bagaimana menurut om dan teman2 lain??
Jalan tengah adalah yang menghindari kenikmatan dan penyiksaan indera. Walaupun ada beberapa praktek yang sama, misalnya makan benar-benar hanya sekali, atau tidur di tempat terbuka, saya pikir perbedaan yang paling mendasar antara dhutanga/praktek bhikkhu hutan dan petapaan menyiksa diri adalah pandangannya. Petapaan menyiksa diri adalah untuk menghabiskan kamma buruk masa lampau sehingga mencapai kesucian, sementara praktek bhikkhu hutan tidak bertujuan untuk menyiksa diri, apalagi menghabiskan kamma buruk, namun menjalankan disiplin yang lebih keras untuk mendukung kemajuan mereka dalam melepaskan kemelekatan.

Kalau saya tidak salah, 13 sila tambahan bagi bhikkhu hutan adalah menyangkut: memakai jubah dari kain bekas, tidak menyimpan jubah cadangan, tidak menerima undangan makan, tidak mendatangi lagi tempat yang menyajikan makanan enak, hanya makan sekali dan tidak menerima tambahan, tinggal di tempat sepi, tinggal di tempat terbuka, tidak tinggal di bawah pohon, tinggal di kuburan, tinggal di mana pun (dalam perjalanan) selama layak ditinggali, tidak berbaring.

Kalau menurut saya pribadi, praktik demikian yang dilakukan oleh orang sehat, tidak membahayakan kesehatan, juga jika dengan kebijaksanaan (tidak tidur di sebelah harimau yang baru melahirkan) juga tidak merusak tubuh. Secara garis besar, mereka menghindari kenyamanan, namun tidak pada sampai merusak tubuh, dan yang terpenting, didasari dengan pandangan benar, yaitu bukan beranggapan dengan melakukan petapaan itu, orang jadi lebih suci, namun karena melihat petapaan itu lebih mendukung bagi dirinya untuk menuju lenyapnya kemelekatan. 


Quote
Apakah di buddhism ada istilah "rela mati demi latihan dhamma"?

Thank sebelumnya
Sering terdengar kutipan dari dhammapada: "kesehatan adalah berkah terbesar, kepuasan adalah kekayaan terbesar, teman terpercaya adalah yang terbaik di antar semua hubungan, Nibbana adalah kebahagiaan  tertinggi." Dalam Magandiya Sutta (Majjhima Nikaya 75), Buddha menjelaskan bagaimana ungkapan itu lambat laun disalahartikan sebagai kesehatan fisik. Kesehatan yang dimaksud adalah kesehatan bathin, yaitu tercapainya magga-phala yang menuju pada berakhirnya kelahiran kembali. Apalah artinya kesehatan tubuh yang fana dibanding dengan berakhirnya penderitaan? Setiap kelahiran selalu ada kebahagiaan, kesedihan, dan kematian; namun tidak di setiap kelahiran ada kesempatan menjalankan Buddha-dhamma.

Namun demikian, juga perlu diperhatikan agar jangan sampai terjerumus pada sikap ekstrem yang masih terjebak pada pandangan salah, mengabaikan kesehatan demi petapaan keras.Hasilnya kesehatan bathin tidak dapat, kesehatan fisik juga hancur. Ini keputusan yang tidak bijaksana. Seseorang harus mengenal dirinya sendiri, mengetahui kekuatan dan potensi, serta kelemahan dan keterbatasannya sendiri, baru kemudian bisa menentukan dengan benar apa yang bermanfaat bagi dirinya. Begitu menurut saya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 05 May 2010, 07:05:48 PM
thank atas pandangannya om :)

Quote
Kalau saya tidak salah, 13 sila
tambahan bagi bhikkhu hutan adalah
menyangkut: memakai jubah dari kain
bekas, tidak menyimpan jubah
cadangan, tidak menerima undangan
makan, tidak mendatangi lagi tempat
yang menyajikan makanan enak, hanya
makan sekali dan tidak menerima
tambahan, tinggal di tempat sepi,
tinggal di tempat terbuka, tidak
tinggal di bawah pohon, tinggal di
kuburan, tinggal di mana pun (dalam
perjalanan) selama layak ditinggali,
tidak berbaring.
Kalo boleh tahu itu vinaya tradisi mana om?
Sepengetahuan sy tradisi acariya man tidak demikian ketatnya..

Thank sebelumnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunkmanitu Tanka Ob'waci on 05 May 2010, 09:57:35 PM
duthanga gak ada di vinaya manapun. tapi duthanga diijinkan oleh Sang Buddha sendiri loh.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: marcedes on 06 May 2010, 12:03:42 AM
tapi ada beberapa bikkhu lebih memilih mati ketimbang melanggar sila...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 06 May 2010, 05:53:21 AM
Btw, bagaimana cara bhikkhu dhutanga bertahan hidup di hutan atau gua2 yg tidak terdapat pemukiman penduduknya?
*apakah bhikkhu dhutanga diperbolehkan mencari umbi-umbian atau buah-buahan?
*keknya bhikkhu hutan ga di perbolehkan membawa bekal.cmiiw

Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 May 2010, 08:40:37 AM
thank atas pandangannya om :)

Quote
Kalau saya tidak salah, 13 sila tambahan bagi bhikkhu hutan adalah menyangkut: memakai jubah dari kain bekas, tidak menyimpan jubah cadangan, tidak menerima undangan makan, tidak mendatangi lagi tempat yang menyajikan makanan enak, hanya makan sekali dan tidak menerima
tambahan, tinggal di tempat sepi, tinggal di tempat terbuka, tidak tinggal di bawah pohon, tinggal di
kuburan, tinggal di mana pun (dalam perjalanan) selama layak ditinggali, tidak berbaring.
Kalo boleh tahu itu vinaya tradisi mana om?
Sepengetahuan sy tradisi acariya man tidak demikian ketatnya..

Thank sebelumnya
Setahu saya itu dari Tradisi Theravada, tetapi bukan vinaya. Itu semacam peraturan tambahan yang boleh dijalankan, boleh juga tidak. Jika menjalankan, juga boleh sebagian, boleh keseluruhan. Mungkin juga tradisi yang berkembang sekarang juga ada perbedaan minor.


Btw, bagaimana cara bhikkhu dhutanga bertahan hidup di hutan atau gua2 yg tidak terdapat pemukiman penduduknya?
*apakah bhikkhu dhutanga diperbolehkan mencari umbi-umbian atau buah-buahan?
*keknya bhikkhu hutan ga di perbolehkan membawa bekal.cmiiw

Thank
Kalau tidak salah, mereka memang harus berjalan jauh untuk pindapata. Jika telat sampai atau tidak dapat makanan, mereka tidak makan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 May 2010, 09:02:50 AM
tapi ada beberapa bikkhu lebih memilih mati ketimbang melanggar sila...
Jika ia memiliki pandangan benar, maka ia kehilangan nyawa, namun merupakan pawaris dhamma.
Jika ia tidak memiliki pandangan benar, maka ia kehilangan nyawa, namun hanya memiliki kekayaan sejauh sila itu saja.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: fabian c on 06 May 2010, 06:49:20 PM
Btw, bagaimana cara bhikkhu dhutanga bertahan hidup di hutan atau gua2 yg tidak terdapat pemukiman penduduknya?
*apakah bhikkhu dhutanga diperbolehkan mencari umbi-umbian atau buah-buahan?
*keknya bhikkhu hutan ga di perbolehkan membawa bekal.cmiiw

Thank
Bro Jhonz yang baik, seorang bhikkhu tidak dianjurkan memilih tempat meditasi yang terlalu jauh dari desa, karena bila terjadi sesuatu sulit meminta pertolongan.
Menurut Vinaya, bhikkhu dilarang bercocok tanam atau memetik tanaman.
Bhikkhu tidak diperbolehkan membawa bekal makanan (hanya boleh digunakan sebelum jam 12.00).
Gula dan madu boleh disimpan selama seminggu karena dianggap setengah obat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sukuhong on 07 May 2010, 06:42:02 AM
Btw, bagaimana cara bhikkhu dhutanga bertahan hidup di hutan atau gua2 yg tidak terdapat pemukiman penduduknya?
*apakah bhikkhu dhutanga diperbolehkan mencari umbi-umbian atau buah-buahan?
*keknya bhikkhu hutan ga di perbolehkan membawa bekal.cmiiw
Thank
Bro Jhonz yang baik, seorang bhikkhu tidak dianjurkan memilih tempat meditasi yang terlalu jauh dari desa, karena bila terjadi sesuatu sulit meminta pertolongan.
Menurut Vinaya, bhikkhu dilarang bercocok tanam atau memetik tanaman.
Bhikkhu tidak diperbolehkan membawa bekal makanan (hanya boleh digunakan sebelum jam 12.00).
Gula dan madu boleh disimpan selama seminggu karena dianggap setengah obat.

Setuju bang Fabian
Memang demikian seharusnya kalau Vinaya/Sila di praktekkan dengan Benar

Sekilas cerita ttg Achan Chop Bhikkhu dhutanga dari Thailand dimana perjalanan dari Myanmar menuju perbatasan Thailand melalui hutan pada masa peperangan.
Karena bertekad mematuhi Sila dalam perjalanan.
Beliau menderita kelaparan selama 4 hari tanpa makanan
Pada hari terakhir beliau mendapat dana makanan dari seorang lelaki (masih didalam hutan) dengan makanan yang enak sekali dan luar biasa harumnya makanan itu.
Menurut Beliau diyakini, lelaki penderma itulah adalah Mahluk Dewata yang menyamar jadi manusia untuk membantu seorang Bhikkhu yang sedang menderita kelaparan selama 4 hari dalam perjalanan hutan.
Dan pada waktu menderita kelaparan beliau sempat berpikir bahwa harusnya para Dewata sekarang diyakin dan sehati dengan dewata jaman Buddha karena kehidupan dewata berumur panjang. Diwaktu jaman sang Buddha para dewata sering ke Bumi utk mempersembahkan makanan kepada para Bhikkhu Sangha.

Dan pada waktu jaman Sang Buddha ada beberapa Bhikkhu Ariya yang menderita kelaparan sehingga menyebabkan terjadi kematian (karena kamma buruk berbuah).

IMO
Didalam cerita Achan Chop, intinya saya melihat begitu patuhnya seorang Bihkkhu Sangha mempraktekkan Vinaya & Sila dengan baik sehingga dapat terhindar dari kelaparan.
Dalam hal ini tentunya Beliau juga punya kamma baik berbuah sehingga dapat terhindar dari kelaparan dengan bantuan makhluk Dewa.

kam sia
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 09 May 2010, 08:01:42 PM
Ada yg bilang praktek kehidupan selibat-bhikkhu dhutanga adalah praktek penyangkalan(cth:tidak memakan makanan enak,tidur di kuburan,hidup serba kekurangan) diri..
Bagaimana menurut om??

Thank sebelumnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 May 2010, 11:53:34 AM
Ada yg bilang praktek kehidupan selibat-bhikkhu dhutanga adalah praktek penyangkalan(cth:tidak memakan makanan enak,tidur di kuburan,hidup serba kekurangan) diri..
Bagaimana menurut om??

Thank sebelumnya
Mengenai penilaian orang tentang itu, tentunya subjektif. Misalnya ada orang yang karena sakit pencernaan, ia punya banyak pantangan makanan. Ketika diajak makan, ia hanya makan bubur polos saja. Mungkin saja orang melihatnya sebagai penyangkalan diri. Ditraktir makan enak, pilih yang tidak enak. Hanya makan bubur polos. Mungkin sebagian lain melihat dia sebagai orang tolol yang tidak tahu makanan enak. Mungkin juga yang lain mengira dia petapa yang dikekang oleh silanya.

Apakah kemudian berarti orang yang memilih makan bubur polos menyangkal diri? Apakah ia tidak tahu banyak makanan lain yang lebih enak? Dia tahu. Apakah ia boleh makan enak? Boleh saja, tidak ada yang melarang. Hanya saja, dia menyadari kesehatannya lebih berharga daripada kepuasan lidahnya. Sama halnya dengan bhikkhu hutan mengenali dan mengetahui kesenangan indriah, tidak menyangkalnya, namun melihat terbebas dari hausnya kemelekatan indriah lebih berarti ketimbang memuaskan kesenangan indriah itu sendiri.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr. pao on 10 May 2010, 12:09:13 PM
sekedar bahan renungan bagi kita semua agar bisa mengurangi keterikatan pada makanan enak:

Makanan se-enak apapun, yang terasa hanya tiga inci lidah saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 10 May 2010, 12:57:34 PM
sekedar bahan renungan bagi kita semua agar bisa mengurangi keterikatan pada makanan enak:

Makanan se-enak apapun, yang terasa hanya tiga inci lidah saja.

setuju, trus mr. Pao. nyari isteri yg manis, aerodynamic... atau yg over size ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: fabian c on 10 May 2010, 05:29:47 PM
Ada yg bilang praktek kehidupan selibat-bhikkhu dhutanga adalah praktek penyangkalan(cth:tidak memakan makanan enak,tidur di kuburan,hidup serba kekurangan) diri..
Bagaimana menurut om??

Thank sebelumnya

Bro Jhonz yang baik, penyangkalan atau bukan tergantung dari sisi mana kita menilai, bagi umat Islam selibat adalah penyangkalan, bagi orang ka****k tidak makan daging babi adalah penyangkalan.
Bagi mereka hidup sebagai bhikkhu adalah penyangkalan, terlebih bila hidup sebagai bhikkhu dhutanga.

Ada kebahagiaan yang mungkin hanya dirasakan oleh para bhikkhu dhutanga, umpamanya perasaan bebas merdeka yang tidak terikat kepada para perumah tangga, sesuai dengan isi salah satu syair dalam Sutta (mungkin Dhammapada) yang isinya kurang lebih begini: "seorang bhikkhu yang berkelana berpindapatta dari desa satu ke desa yang lainnya tanpa melekat kepada perumah tangga,  hidup bagaikan kumbang yang menikmati manisnya madu tanpa merusak keindahan kembang tersebut".

Ketika Y.A. Maha Kassapa ditanyakan mengapa beliau hidup ber-dhutanga dengan keras bukankah hal itu tidak diperlukan dan bagi seorang Arahat tak ada lagi yang perlu dipelajari? Beliau menjawab bahwa beliau memberi contoh untuk generasi muda.

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 29 January 2011, 08:15:03 PM
Om kainy,mau tahu pendapat om dan teman2 soal ini,
*nb,ini pertanyaan rekan forum sebelah

Tiba2 teringat sebuah cerita yg ku dengar, tapi lupa namanya...
So pakai karang2 aja ya....

Di jaman kerajaan Cina dulu ada seorang raja yg mempunyai 2 putera, yg pertama namanya Pangeran A & kedua namanya Pangeran B. Ratu sangat membenci anak pertamanya Pangeran A, karena waktu melahirkan Pangeran A, ratu sakit2an. Setiap hari Ratu hanya mengatakan bertapa rajin, pintar & hebatnya Pangeran B.
Setelah sang Raja meninggal dunia, Raja mengwariskan tahta ke putera pertamanya, Pangeran A. Karena Pangeran B bukanlah seorang yg bijaksana. Lalu sang Ratu meminta pangeran A memberikan sebuah kota yg sangat penting ke Pangeran B. Walau keberatan Pangeran A tetap menuruti permintaan Ibunya.
Pangeran B tidak puas dengan sebuah kota saja, dia memperkuat tentaranya dan merampas kota2 Pangeran A. Karena sangat berbakti kepada ibunya Pangeran A hanya bisa diam2 saja.....
Daerah Kekuasaan Pangeran B semakin lama semakin besar, tentaranya juga semakin banyak.Lalu Sang Ratu menulis sebuah surat kepada Pangeran B, dia menyuruh Pangeran B menyerang ibu kota, tempat tinggalnya Pangeran A, & dia akan membantu dari dalam. Sehingga Pangeran B bisa menjadi Raja.
Berita tersebut sampai ke telinga Pangeran A, Pangeran A cepat2 menyiapkan tentara untuk melawan serangan Pangeran B. Setelah pertempuran yg dasyat, tentara Pangeran A dapat memukul mundur tentara Pangeran B.
Pangeran A memanggil Ibunya, tapi Sang Ratu sama tidak merasa bersalah. Karena sangat marah, Pangeran A mengusir ibunya keluar dari istana dan bilang kita tidak akan bertemu sebelum sampai ke akhirat.
Setelah beberapa waktu, Pangeran A merasa sedih karena telah mengusir ibunya. Tetapi dia tidak bisa berbuat apa2, karena perkataan seoranga raja tak bisa di tarik.
& Para pejabat juga tidak setuju, karena kehadiran Sang Ratu sangat membahayakan negara.

Menurut teman2 berdosakah Pangeran A yg mengusir ibunya?

Saya rasa sih tidak, karena Ibunya sangat keterlaluan. Dia sudah menuruti semua permintaan ibunya, tetapi ibunya mesih tega mau mencelakan dia. Lagipun sebagai seorang Raja tentu dia harus mengutamakan kepentingan negara, Right??

Kalau dalam Buddhisme, yang menentukan suatu hal "salah" adalah pikiran dan niat, bukan tindakan. Kalau ia mengusir ibunya demi keselamatan diri dan negaranya, bukan karena memang ingin mencelakai ibunya, saya rasa merupakan hal yang wajar.
Kerugian tindakan tersebut adalah ia tidak punya kesempatan membahagiakan dan membimbing ibunya.

Bro Kainyn, apa yang saya alami tidak se-sederhana itu. Misalnya contoh Pangeran A di atas. Anggap saja pikiran dan niat awalnya memang bukan ingn mencelakai ibunya. Tapi kompleksitas pikiran yang liar ini bisa bercampur dengan pikiran lain yang tidak mau tahta-nya direbut. Bahkan mungkin muncul juga pikiran yang menghalalkan tindakannya itu karena terpikir olehnya bahwa ibunya ini jahat, dan dia melakukan ini semua demi kebaikan. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mengusir ibunya.

Saya juga kadang demikian. Sebelum dan setelah mengambil keputusan, saya sering bingung dan bertanya-tanya apakah saya melakukan kesalahan atau tidak. Seolah pikiran saya terlalu kompleks, yang membuat saya bingung apa pikiran dan niat saya yang sebenarnya.

Bagaimana menurut bro Kainyn?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 29 January 2011, 09:28:20 PM
well sebenarnya aku ada sebuah pertanyaan karena (entah dihalaman berapa ada menyinggung idola).

bagaimana dengan Panchen Lhamma made in china?
juga bagaimana dengan Dalai Lhamma made in tibet?( termasuk yang di amankan oleh china).

bukan kah mereka semu ini korban?

Ini semua bukan kah mahakarya buatan kebudayaan tibet yang hidup yang bahan dasarnya adalah manusia dan di buat untuk tujuan merekatkan tibet, juga untuk tempat bergantung /cling/ melekat pada Dalai lhamma?  apakah semua ini sesuai dengan ajaran Buddhis?

tentu nya aku dulu nya termasuk dalam deret orang yang mengagumi Dalai Lhamma tetapi setelah tahu bahwa semua itu memang di buat dan di bentuk untuk di kagumi terutama oleh masyarakat tibet? menjadi pertanyan apa yang sebenarnya yah yang harus di kagumi dari Dalai lhamma? pengetahuan para master master tibet yang di pompakan /dimasukan kedalam pikiran dan tubuhnya hingga menciptakan Mahakarya manusia seperti ini?



 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 31 January 2011, 09:04:59 AM
Bro Kainyn, apa yang saya alami tidak se-sederhana itu. Misalnya contoh Pangeran A di atas. Anggap saja pikiran dan niat awalnya memang bukan ingn mencelakai ibunya. Tapi kompleksitas pikiran yang liar ini bisa bercampur dengan pikiran lain yang tidak mau tahta-nya direbut. Bahkan mungkin muncul juga pikiran yang menghalalkan tindakannya itu karena terpikir olehnya bahwa ibunya ini jahat, dan dia melakukan ini semua demi kebaikan. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mengusir ibunya.

Saya juga kadang demikian. Sebelum dan setelah mengambil keputusan, saya sering bingung dan bertanya-tanya apakah saya melakukan kesalahan atau tidak. Seolah pikiran saya terlalu kompleks, yang membuat saya bingung apa pikiran dan niat saya yang sebenarnya.

Bagaimana menurut bro Kainyn?
Memang pikiran itu kompleks, jadi yang bisa dinilai adalah pikiran pada satu saat saja. Dalam kasus ini, pada saat Pangeran A mengusir ibunya (yang jadi mata-mata dan membahayakan kerajaan). Kalau dilihat secara detail, pada saat itu memang ada kemarahan, tapi yang mendorongnya melakukan itu bukanlah rasa benci atau dendam, tapi mengutamakan kepentingan kerajaan dan rakyatnya. Ia menjadi seorang raja, tidak hanya bertanggung jawab pada orang tua, tetapi juga pada seluruh rakyatnya.

Apakah benar menuruti orang tua selalu berarti berbakti? Misalkan orang tua punya kebencian pada banyak orang, punya niat jahat mencelakai mereka. Lalu sebagai anak yang berkuasa, selalu menuruti perkataan orang tuanya dan mencelakakan semua orang tersebut (walaupun orang tersebut itu adalah orang baik). Apakah ini disebut berbakti? Ya, dari satu sisi mungkin terlihat berbakti sekali, sampai mau potong orang demi orang tua. Tapi kalau kita tinjau dari segi manfaat, apakah si anak ini akan membawa kebahagiaan atau malah 'memuluskan' jalan ke alam sengsara bagi orang tua dan dirinya sendiri?

Pikiran itu memang kompleks. Maka kita diajarkan satipatthana oleh Buddha untuk berusaha menyadari pikiran-pikiran yang timbul, termasuk juga kecenderungan untuk mencari pembenaran atau penyalahan. Dengan menyadarinya, kita bisa melihat apakah satu pemikiran timbul dari indoktrinasi, hasutan, keserakahan, kebencian dan lain-lain. Jadi menurut saya, niat kita sebenar-benarnya itu hanya bisa diketahui oleh diri kita sendiri. Dan untuk 'menangkap' kebenaran itu, kita perlu sikap 'jujur' sejujur-jujurnya untuk melihat jalan pikiran kita. Kalau salah, jangan dibenarkan. Kalau benar, juga jangan disalah-salahkan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 31 January 2011, 09:48:16 AM
well sebenarnya aku ada sebuah pertanyaan karena (entah dihalaman berapa ada menyinggung idola).

bagaimana dengan Panchen Lhamma made in china?
juga bagaimana dengan Dalai Lhamma made in tibet?( termasuk yang di amankan oleh china).

bukan kah mereka semu ini korban?
Saya bukan penganut Tibetan, jadi tidak bisa menjawab dari sisi Buddhisme-Tantrayana. Secara pribadi, saya MERAGUKAN semua "Lama" itu karena melihat seperti bermuatan politik.


Quote
Ini semua bukan kah mahakarya buatan kebudayaan tibet yang hidup yang bahan dasarnya adalah manusia dan di buat untuk tujuan merekatkan tibet, juga untuk tempat bergantung /cling/ melekat pada Dalai lhamma?  apakah semua ini sesuai dengan ajaran Buddhis?

tentu nya aku dulu nya termasuk dalam deret orang yang mengagumi Dalai Lhamma tetapi setelah tahu bahwa semua itu memang di buat dan di bentuk untuk di kagumi terutama oleh masyarakat tibet? menjadi pertanyan apa yang sebenarnya yah yang harus di kagumi dari Dalai lhamma? pengetahuan para master master tibet yang di pompakan /dimasukan kedalam pikiran dan tubuhnya hingga menciptakan Mahakarya manusia seperti ini?
Saya ada baca tentang berita belum lama ini Dalai Lama ada meng-'embargo' aliran lain (Dorje shugden, kalau tidak salah) sampai para Lama dari aliran itu susah mendapatkan kebutuhan hidup. Seolah jadi 'kasta terbuang' di sana, sampai akhirnya ada aliran lain mengabaikan 'embargo' tersebut, dan kemudian diikuti juga oleh lainnya. (Perlu diperhatikan bahwa Dalai Lama juga bukan pemimpin dari semua Buddhisme Tibet, tetapi hanya diakui penuh oleh tradisi 'topi kuning'.) Hal ini banyak mengundang pertanyaan tentang definisi 'kebebasan' yang biasa diutamakan oleh sang Dalai Lama, terutama jika menyangkut 'kebebasan Tibet dari China'.

Saya tidak ingin mendiskreditkan siapa pun, namun untuk mencari 'idola', ada baiknya kita selalu berpikiran terbuka. Jangan sampai mengkultuskan seseorang yang sebetulnya tidak bisa menyelamatkan kita juga. (Karena seperti kita tahu, oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula pikiran disucikan, bukan oleh orang lain/idola.)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 01 February 2011, 01:32:16 PM
Namo buddhaya
Nanya soal euthanasia,
Contoh kasus;si B memasang perangkap tikus berupa 'lem-tikus',satu tikus menempel pada perangkap,*si B ingin menyiksa dulu tangkapannya(dgn cara membiarkannya & menjemurnya),
Dgn alasan kasihan dgn penderitaan si tikus,maka si A segera membunuh si tikus..
Bagaimana menurut om?
*apakah si A melakukan karma buruk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 01 February 2011, 01:32:46 PM
Namo buddhaya
Nanya soal euthanasia,
Contoh kasus;si B memasang perangkap tikus berupa 'lem-tikus',satu tikus menempel pada perangkap,*si B ingin menyiksa dulu tangkapannya(dgn cara membiarkannya & menjemurnya),
Dgn alasan kasihan dgn penderitaan si tikus,maka si A segera membunuh si tikus..
Bagaimana menurut om?
*apakah si A melakukan karma buruk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 February 2011, 02:41:12 PM
Namo buddhaya
Nanya soal euthanasia,
Contoh kasus;si B memasang perangkap tikus berupa 'lem-tikus',satu tikus menempel pada perangkap,*si B ingin menyiksa dulu tangkapannya(dgn cara membiarkannya & menjemurnya),
Dgn alasan kasihan dgn penderitaan si tikus,maka si A segera membunuh si tikus..
Bagaimana menurut om?
*apakah si A melakukan karma buruk?
Kalau menurut karma, sepertinya adalah karma buruk. Tapi intensitas dan akibat dari membunuh karena terpaksa, dengan membunuh karena kebencian atau kesenangan sinting, tentu berbeda.

Mercy killing ini juga sebetulnya rumit dan rawan terhadap kebencian halus (terhadap fenomena makhluk menderita). Kita tidak bisa menerima makhluk tersebut tersiksa dan kita tidak mampu lagi memberikan kebaikan, maka kita membunuhnya dengan asumsi: setelah mati, selesai penderitaannya. Memang itu yang kita lihat dari sudut pandang kita. Namun pada kenyataannya, kita tidak tahu juga apa yang akan terjadi.

Misalnya ada 2 orang tua dari keluarga berbeda dalam keadaan koma, ditopang oleh mesin penyokong hidup. Setelah beberapa lama, akhirnya para anak2 sepakat dilakukan euthanasia. Orang tua yang satu berpikir, "dasar kumpulan anak tidak berbakti. Benar-benar sia-sia saya membesarkan kalian. Saya akan menggentayangi kalian sampai mati!" Sedangkan orang tua yang satu lagi berpikir, "untung kalian cepat-cepat melakukannya, kalau kalian pasang mesin bodoh ini sampai kalian jatuh miskin, saya bisa merasa bersalah dan jadi hantu penasaran."
Di sini bisa kita lihat bagi yang satu bermanfaat, bagi yang lain tidak.

Kembali ke masalah karma, kita senantiasa melakukan karma baik dan buruk dari waktu ke waktu. Tidak perlu menjadi 'phobia' dengan merk 'karma buruk', tapi lakukan saja yang terbaik dengan pertimbangan manfaat yang matang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 01 February 2011, 05:23:42 PM
Kalau menurut karma, sepertinya adalah karma buruk. Tapi intensitas dan akibat dari membunuh karena terpaksa, dengan membunuh karena kebencian atau kesenangan sinting, tentu berbeda.
imo yah, karma baik, karena niatnya adalah karuna. ;D
bagaimanapun kehendak yg menentukan, bukan aksi...

Quote
Mercy killing ini juga sebetulnya rumit dan rawan terhadap kebencian halus (terhadap fenomena makhluk menderita). Kita tidak bisa menerima makhluk tersebut tersiksa dan kita tidak mampu lagi memberikan kebaikan, maka kita membunuhnya dengan asumsi: setelah mati, selesai penderitaannya. Memang itu yang kita lihat dari sudut pandang kita. Namun pada kenyataannya, kita tidak tahu juga apa yang akan terjadi.
benci thd fenomena -> karma satu
kasihan -> karma satu lagi hehe...

Quote
Misalnya ada 2 orang tua dari keluarga berbeda dalam keadaan koma, ditopang oleh mesin penyokong hidup. Setelah beberapa lama, akhirnya para anak2 sepakat dilakukan euthanasia. Orang tua yang satu berpikir, "dasar kumpulan anak tidak berbakti. Benar-benar sia-sia saya membesarkan kalian. Saya akan menggentayangi kalian sampai mati!" Sedangkan orang tua yang satu lagi berpikir, "untung kalian cepat-cepat melakukannya, kalau kalian pasang mesin bodoh ini sampai kalian jatuh miskin, saya bisa merasa bersalah dan jadi hantu penasaran."
Di sini bisa kita lihat bagi yang satu bermanfaat, bagi yang lain tidak.
imo karma si anak ya tergantung niat si anak. tidak perduli orang yg menerima perbuatannya kadang bisa merespon berbeda. (kayanya ditipitaka bahkan arahat "seolah" akan berterimakasih pada orang yg membunuhnya, tetapi orang yg membunuh tetap aja garuka kamma kan?)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: williamhalim on 01 February 2011, 05:39:33 PM
Mercy killing memang rumit.
Tapi sebaiknya kita analisa moment per moment dorongan batin kita.

Pertama-tama timbul karuna, kasihan melihat penderitaan si makhluk. Seterusnya timbul niat ingin mengakhiri penderitaan tsb secepatnya. Disini mulai timbul dorongan dan beberapa pilihan. Pilihan yg susah tentu saja menolong membersihkan lem dari tubuh si tikus dan melepaskannya di hutan / ditempat yg jauh, pilihan lainnya membunuhnya. Dari segi kamma kedua tindakan ini tentu memberikan efek masing2 baik pada kecenderungan batin kita dan pada lingkungan.

Tapi, kita tidak selalu dihadapkan pada banyak pilihan, disini dibutuhkan kebijaksanaan untuk memilih yg terbaik dari yg terburuk. Hidup kita tidak selalu bisa terlepas dari kamma baik dan buruk.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 February 2011, 05:42:22 PM
imo yah, karma baik, karena niatnya adalah karuna. ;D
bagaimanapun kehendak yg menentukan, bukan aksi...


saya masih belum bisa memahami bagaimana niat karuna bisa diwujudkan dalam membunuh untuk skenario di atas, IMO seharusnya adalah menyelamatkan tikus itu bukan malah membunuhnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mahadeva on 01 February 2011, 05:45:06 PM
 [at]  bro tesla: hmm..kata Buddha karma kan niat si pelakunya bukan respon si korban, namun kalau misalnya si A mencuri barang si B dengan niat ingin cepat2 menghabiskan buah karma buruk si B, apakah ini termasuk karma buruk? Atau Si A menipu Si B sampai usaha si B bangkrut dengan tujuan mengajari bahwa hidup ini aniccam, apakah itu termasuk karma buruk? dan masih banyak lagi, misal menyakiti hewan bukan karena didasari rasa benci namun rasa puas dan bahagia, sehingga setelah melakukan itu si pelaku malah bisa tidur lebih pulas, apakah jika ditinjau dari niat si pelaku maka hal itu karma buruk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 01 February 2011, 05:46:08 PM
Pertama-tama timbul karuna, kasihan melihat penderitaan si makhluk. Seterusnya timbul niat ingin mengakhiri penderitaan tsb secepatnya. Disini mulai timbul dorongan dan beberapa pilihan. Pilihan yg susah tentu saja menolong membersihkan lem dari tubuh si tikus dan melepaskannya di hutan / ditempat yg jauh, pilihan lainnya membunuhnya.
dalam kasus mr. johnz orang yg nangkap cuma kasih jalan kematian pada tikus tsb & emg hidup mati tikus tsb udah secara lumrah menjadi hak si penangkap. jadi kalau mo membebaskan tikus tsb, mr johnz harus ngotot (merebut hak hidup tikus td) dg orang di rumah yg udah susah payah menangkap.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 February 2011, 05:49:44 PM
dalam kasus mr. johnz orang yg nangkap cuma kasih jalan kematian pada tikus tsb & emg hidup mati tikus tsb udah secara lumrah menjadi hak si penangkap. jadi kalau mo membebaskan tikus tsb, mr johnz harus ngotot (merebut hak hidup tikus td) dg orang di rumah yg udah susah payah menangkap.

dalam kasus Pangeran Siddhattha vs Devadatta, hak atas angsa yg terpanah adalah jatuh pada si penyelamat bukan pada si pembunuh
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: williamhalim on 01 February 2011, 06:12:16 PM
dalam kasus mr. johnz orang yg nangkap cuma kasih jalan kematian pada tikus tsb & emg hidup mati tikus tsb udah secara lumrah menjadi hak si penangkap. jadi kalau mo membebaskan tikus tsb, mr johnz harus ngotot (merebut hak hidup tikus td) dg orang di rumah yg udah susah payah menangkap.

Biasanya selalu ada pilihan Bro, tergantung seringnya kita melatih memilih beberapa kemungkinan sebelum mengambil tindakan.

Semakin sering kita menimbang2 bbrp kemungkinan sblm mengambil keputusan dalam setiap situasi, semakin banyak kemungkinan yg bisa kita sediakan dimasa yg akan datang.

::
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 February 2011, 06:41:18 PM
imo yah, karma baik, karena niatnya adalah karuna. ;D
Di satu sisi adalah karuna, di sisi lain adalah kemelekatan pada suatu keadaan/kebencian pada keadaan sebaliknya, yang sifatnya halus. Maka selain karma buruk, disertai pula karma baik.


Quote
bagaimanapun kehendak yg menentukan, bukan aksi...
Betul, tapi tidak sesederhana itu. Baik atau buruk itu sebetulnya lebih tepat bermanfaat/tidak bermanfaat. Seseorang yang berpandangan salah, membunuh orang lain dengan maksud mengirim ke sorga, mungkin secara duniawi punya maksud baik. Tetapi menurut dhamma, itu adalah tidak bermanfaat dan akan menghasilkan penderitaan.


Quote
benci thd fenomena -> karma satu
kasihan -> karma satu lagi hehe...
Betul, bukan hanya di kasus seperti ini saja, tapi di hampir semua kejadian sehari-hari, banyak sekali karma yang menyertai satu keputusan. Saya pikir itu sebabnya mustahil bagi orang biasa mengukur jalannya karma.


Quote
imo karma si anak ya tergantung niat si anak. tidak perduli orang yg menerima perbuatannya kadang bisa merespon berbeda. (kayanya ditipitaka bahkan arahat "seolah" akan berterimakasih pada orang yg membunuhnya, tetapi orang yg membunuh tetap aja garuka kamma kan?)
Memang demikian. Itu hanya sebagai contoh saja bahwa selain niat baik dari pelaku, banyak hal yang perlu diperhitungkan, termasuk pengaruhnya terhadap si penerima perbuatan. Kita tidak bisa berpikiran "ah, yang penting niatnya baik" lalu mengabaikan imbasnya.

(Tentang Arahat yang berterima kasih pada pembunuhnya adalah kisah Punna yang minta izin untuk menetap di Sunaparanta, di mana orang-orangnya penuh kekerasan. Buddha bertanya kalau dihina gimana? Dijawab: masih untung ga dipukul. Kalau dipukul gimana? Masih untung ga ditinju. Kalau ditinju gimana? Masih untung ga dipentung. Kalau dipentung gimana? Masih untung ga ditebas. Kalau ditebas gimana? "Banyak siswa Sang Bhagava yang jijik terhadap tubuh dan kehidupan, mencari pembunuh. Di sini saya mendapat pembunuh tanpa harus mencarinya." Sepertinya ini bukan mengatakan Arahat tukang cari mati, tapi apapun yang terjadi, Punna siap menerima dan mengambil sisi positifnya. Maka Buddha mengizinkannya tinggal di sana, dan di sana ia mengajar dan membimbing 500 umat awam mencapai Arahatta-phala.)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 February 2011, 06:48:05 PM
saya masih belum bisa memahami bagaimana niat karuna bisa diwujudkan dalam membunuh untuk skenario di atas, IMO seharusnya adalah menyelamatkan tikus itu bukan malah membunuhnya.
Kemampuan tiap orang dalam membantu adalah berbeda. Ada kalanya kita tidak bisa apa-apa untuk membantu, dan hanya bisa meringankan penderitaan makhluk yang mati perlahan dengan membunuhnya. Misalnya dalam kasus Yin-Yang fish (makanan bagi orang sakit jiwa berupa ikan hidup yang badannya digoreng, tapi kepalanya masih berusaha bernafas), apalah yang bisa kita lakukan? Biarpun kita culik ikannya dan dilepas, dia tidak akan hidup dengan badan setengah crispy itu. Maka dibanding penderitaan hebat yang ujungnya juga pasti mati, saya lebih memilih melakukan 'mercy killing'.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 February 2011, 07:02:26 PM
Kemampuan tiap orang dalam membantu adalah berbeda. Ada kalanya kita tidak bisa apa-apa untuk membantu, dan hanya bisa meringankan penderitaan makhluk yang mati perlahan dengan membunuhnya. Misalnya dalam kasus Yin-Yang fish (makanan bagi orang sakit jiwa berupa ikan hidup yang badannya digoreng, tapi kepalanya masih berusaha bernafas), apalah yang bisa kita lakukan? Biarpun kita culik ikannya dan dilepas, dia tidak akan hidup dengan badan setengah crispy itu. Maka dibanding penderitaan hebat yang ujungnya juga pasti mati, saya lebih memilih melakukan 'mercy killing'.

saya pun akan bertindak serupa dalam kasus ikan untuk makanan orang sakit jiwa itu, itulah sebabnya maka saya membatasi hanya pada skenario yg dibawakan oleh Mr. John. Tikus itu hanya terkena "lem tikus", ada banyak cara untuk menyelamatkan tikus itu daripada membunuhnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 February 2011, 07:20:18 PM
saya pun akan bertindak serupa dalam kasus ikan untuk makanan orang sakit jiwa itu, itulah sebabnya maka saya membatasi hanya pada skenario yg dibawakan oleh Mr. John. Tikus itu hanya terkena "lem tikus", ada banyak cara untuk menyelamatkan tikus itu daripada membunuhnya.
Kalau dalam skenario Mr.Jhonz, tikusnya ditangkap orang lain dan sengaja mau disiksa dengan dijemur. Memang tidak dijelaskan detail juga sih bagaimana kondisinya, tapi dalam bayangan saya, kita tidak bisa mengambil tikusnya karena yang tangkap orang lain.

BTW, kalau sudah kena lem, bagaimana caranya melepaskan si tikus? Apa perlu zat kimia tertentu? Dulu saya pernah lihat orang berusaha melepaskan, tapi kakinya hampir putus dan tikusnya kesakitan. Akhirnya jadi 'mercy killing' juga.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 01 February 2011, 07:27:59 PM
coba pakai serbuk gergaji kering aja... utk bercampur dgn lem tikus tsb... dan akhirnya lem tsb melengket di serbuk gergaji sehingga tikusnya bisa lepas...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 February 2011, 07:29:57 PM
Kalau dalam skenario Mr.Jhonz, tikusnya ditangkap orang lain dan sengaja mau disiksa dengan dijemur. Memang tidak dijelaskan detail juga sih bagaimana kondisinya, tapi dalam bayangan saya, kita tidak bisa mengambil tikusnya karena yang tangkap orang lain.

BTW, kalau sudah kena lem, bagaimana caranya melepaskan si tikus? Apa perlu zat kimia tertentu? Dulu saya pernah lihat orang berusaha melepaskan, tapi kakinya hampir putus dan tikusnya kesakitan. Akhirnya jadi 'mercy killing' juga.

saya pernah melepaskan lem tikus dari kaki seekor anjing. tidak tahu apakah lem tikus hanya efektif pada tikus dan tidak efektif pada hewan lain.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 01 February 2011, 07:38:59 PM
Kemampuan tiap orang dalam membantu adalah berbeda. Ada kalanya kita tidak bisa apa-apa untuk membantu, dan hanya bisa meringankan penderitaan makhluk yang mati perlahan dengan membunuhnya. Misalnya dalam kasus Yin-Yang fish (makanan bagi orang sakit jiwa berupa ikan hidup yang badannya digoreng, tapi kepalanya masih berusaha bernafas), apalah yang bisa kita lakukan? Biarpun kita culik ikannya dan dilepas, dia tidak akan hidup dengan badan setengah crispy itu. Maka dibanding penderitaan hebat yang ujungnya juga pasti mati, saya lebih memilih melakukan 'mercy killing'.

Saya rasa tidak ada yang namanya mercy killing, apakah pada saat membunuh, cetananya adalah untuk meringankan penderitaan ? Hmmm, saya rasa kecil kemungkinannya bahkan mungkin tidak ada...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 01 February 2011, 08:31:09 PM
[at]  bro tesla: hmm..kata Buddha karma kan niat si pelakunya bukan respon si korban, namun kalau misalnya si A mencuri barang si B dengan niat ingin cepat2 menghabiskan buah karma buruk si B, apakah ini termasuk karma buruk? Atau Si A menipu Si B sampai usaha si B bangkrut dengan tujuan mengajari bahwa hidup ini aniccam, apakah itu termasuk karma buruk? dan masih banyak lagi, misal menyakiti hewan bukan karena didasari rasa benci namun rasa puas dan bahagia, sehingga setelah melakukan itu si pelaku malah bisa tidur lebih pulas, apakah jika ditinjau dari niat si pelaku maka hal itu karma buruk?

begini bro... mo ngukur sesuatu "baik" atau "buruk" itu akan relatif.
satu hal baik bagi orang ini, belum tentu baik bagi orang lain.
misal saja rasa puas setelah menyakiti hewan, baik atau buruk?
jadi imo niat itu tolak ukurnya adalah LDM... niat "baik"(menuju ke akhir dukkha) itu kalau tujuannya LDM makin kecil.
seperti ingin tidur pulas sendiri, ya berarti demi keserakahan pribadi, ya berarti ga baik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 01 February 2011, 09:15:33 PM
saya pun akan bertindak serupa dalam kasus ikan untuk makanan orang sakit jiwa itu, itulah sebabnya maka saya membatasi hanya pada skenario yg dibawakan oleh Mr. John. Tikus itu hanya terkena "lem tikus", ada banyak cara untuk menyelamatkan tikus itu daripada membunuhnya.
Kasusnya tidak sesederhana itu pak,
Si penangkap disini berperan sebagai seorang raja,si pembunuh hanya seorang rakyat jelata..
btw,postur seokor anjing berbeda jauh dgn tikus..
beberapa tikus ketika berusaha melepaskan diri,kadang matanya sampai mau copot..

Sekarang pertanyaan sy,
Jika kalian di posisikan sebagai rakyat jelata,ketika melihat raja mendapat tikus,
Bagaimana kalian bersikap?
A.membiarkan saja
B.mercy killing
C. ... ...
*mohon dijawab,karena masih banyak tikus yg terperangkap :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 February 2011, 09:26:00 PM
Kasusnya tidak sesederhana itu pak,
Si penangkap disini berperan sebagai seorang raja,si pembunuh hanya seorang rakyat jelata..
btw,postur seokor anjing berbeda jauh dgn tikus..
beberapa tikus ketika berusaha melepaskan diri,kadang matanya sampai mau copot..

Sekarang pertanyaan sy,
Jika kalian di posisikan sebagai rakyat jelata,ketika melihat raja mendapat tikus,
Bagaimana kalian bersikap?
A.membiarkan saja
B.mercy killing
C. ... ...
*mohon dijawab,karena masih banyak tikus yg terperangkap :)

kalau melawan raja, saya pikir lebih bijaksana untuk tidak melawan raja, jadi saya akan membiarkan saja daripada menghadapi kemarahan raja, mungkin setelah melakukan upaya persuasif spt meminta tikus itu dari raja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 01 February 2011, 09:39:52 PM
 [at] pak indra
Maaf sedikit kritis,bukannya ketika kita "membiarkannya" sama saja kita egois??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 February 2011, 09:42:50 PM
[at] pak indra
Maaf sedikit kritis,bukannya ketika kita "membiarkannya" sama saja kita egois??

benar tapi saya pribadi memilih egois saja, toh kematian saya akibat hukuman raja juga belum tentu dapat menyelamatkan tikus itu
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 01 February 2011, 09:49:01 PM
thank,komentarnya..
jadi menurut bapak apapun yg terjadi tidak ada kata "membunuh"?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 February 2011, 10:07:16 PM
thank,komentarnya..
jadi menurut bapak apapun yg terjadi tidak ada kata "membunuh"?

kalau tikus itu mati, tentu saja itu membunuh tapi raja yg melakukan bukan saya, dan saya tidak berkuasa untuk mencegahnya.  Apalah yg dapat dilakukan seorang rakyat jelata di hadapan seorang raja?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 07:45:38 AM
Kasusnya tidak sesederhana itu pak,
Si penangkap disini berperan sebagai seorang raja,si pembunuh hanya seorang rakyat jelata..
btw,postur seokor anjing berbeda jauh dgn tikus..
beberapa tikus ketika berusaha melepaskan diri,kadang matanya sampai mau copot..

Sekarang pertanyaan sy,
Jika kalian di posisikan sebagai rakyat jelata,ketika melihat raja mendapat tikus,
Bagaimana kalian bersikap?
A.membiarkan saja
B.mercy killing
C. ... ...
*mohon dijawab,karena masih banyak tikus yg terperangkap :)

Coba nasehati raja untuk menangkap tikus dengan cara lain, misalnya perangkap tikus. Ada perangkap tikus yang modelnya sederhana dan tidak menyakitkan. Tinggal letakkan makanan sebagai umpan dan pemberat. Ketika makanan diambil tikus, otomatis pemberat hilang dan pintu tertutup (bisa dibayangkan?)

Kalo pake perangkap seperti ini, rakyat jelata bisa menawarkan jasa untuk melepaskan tikus ini ke tempat lain yang jauh dari kerajaan ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 February 2011, 07:48:20 AM
Coba nasehati raja untuk menangkap tikus dengan cara lain, misalnya perangkap tikus. Ada perangkap tikus yang modelnya sederhana dan tidak menyakitkan. Tinggal letakkan makanan sebagai umpan dan pemberat. Ketika makanan diambil tikus, otomatis pemberat hilang dan pintu tertutup (bisa dibayangkan?)

Kalo pake perangkap seperti ini, rakyat jelata bisa menawarkan jasa untuk melepaskan tikus ini ke tempat lain yang jauh dari kerajaan ;D

rakyat jelata menasihati raja? bisa kena penggal. raja punya penasihat sendiri kan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 07:55:27 AM
^ ^ ^ cekidot dulu deh apakah rajanya lalim atau tidak..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 February 2011, 08:03:21 AM
^ ^ ^ cekidot dulu deh apakah rajanya lalim atau tidak..

coba kita perhatikan setting panggungnya, raja sedang menyiksa tikus di kelilingi oleh para pengawal, penasihat dan hulubalang. rakyat jelata hanya bisa melihat dari jauh, mungkin pada jarak 2km, seseorang yg berbudi dan bercinta kasih kepada tikus memiliki pandangan tajam dan melihat raja sedang menyiksa tikus. orang baik ini tentu akan menghadapi serangkaian birokrasi untuk bisa sampai menghadap raja, walaupun si raja adalah seorang yg tidak lalim. apakah tikus mau menunggu?

tapi seorang raja yg tega menyiksa tikus tentu dapat diperkirakan tingkat kelalimannya bukan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 08:11:56 AM
^ ^ ^ kalo pertanyaannya: "apakah tikus mau menunggu?". Jawabannya, yah pastilah... kan dia tidak bisa berkutik alias tidak berdaya lagi ;D Tapi ya, rakyat jelata tetap harus sopan dan tidak memaksakan kehendak. Mungkin bisa menawarkan beberapa keuntungan pemakaian perangkap vs lem tikus. Misalnya, keuntungan perangkap: tidak bau, murah (bisa dipake berulang-ulang), tidak repot (tidak perlu selalu mencari karton sebagai alas lem), dan tidak berbahaya bagi anak-anak atau orang yang lalu-lalang, atau mungkin binatang peliharaan raja (kalau ada).

Saya menganjurkan perangkap tikus karena kalo pake lem tikus, tidak tertutup kemungkinan binatang lain pun ikut jadi korban seperti cicak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 February 2011, 08:16:44 AM
^ ^ ^ kalo pertanyaannya: "apakah tikus mau menunggu?". Jawabannya, yah pastilah... kan dia tidak bisa berkutik alias tidak berdaya lagi ;D Tapi ya, rakyat jelata tetap harus sopan dan tidak memaksakan kehendak. Mungkin bisa menawarkan beberapa keuntungan pemakaian perangkap vs lem tikus. Misalnya, keuntungan perangkap: tidak bau, murah (bisa dipake berulang-ulang), tidak repot (tidak perlu selalu mencari karton sebagai alas lem), dan tidak berbahaya bagi anak-anak atau orang yang lalu-lalang.

Saya menganjurkan perangkap tikus karena kalo pake lem tikus, tidak tertutup kemungkinan binatang lain pun ikut jadi korban seperti cicak.

pertanyaan saya kurang lengkap. saya ralat, "apakah tikus mau menunggu untuk tidak mati dulu karena disiksa?", tentu saja si orang baik memang mau memberikan beberapa alternatif, tapi kondisi pada saat itu, sudah ada tikus yg sedang disiksa, bukan situasi di mana raja sedang mempersiapkan lem untuk menangkap tikus. permasalahan adalah apa yg harus dilakukan oleh si orang baik pada situasi tersebut, bukan sebelum tikus ditangkap.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 08:22:11 AM
coba pakai serbuk gergaji kering aja... utk bercampur dgn lem tikus tsb... dan akhirnya lem tsb melengket di serbuk gergaji sehingga tikusnya bisa lepas...
Ditaburkan sekitar tikusnya gitu?





saya pernah melepaskan lem tikus dari kaki seekor anjing. tidak tahu apakah lem tikus hanya efektif pada tikus dan tidak efektif pada hewan lain.
Kalau anjing atau hewan yang besar, sepertinya tidak terlalu masalah. Kalau tikus, karena posturnya demikian, maka seluruh badannya kena.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 02 February 2011, 08:27:18 AM
coba kita perhatikan setting panggungnya, raja sedang menyiksa tikus di kelilingi oleh para pengawal, penasihat dan hulubalang. rakyat jelata hanya bisa melihat dari jauh, mungkin pada jarak 2km, seseorang yg berbudi dan bercinta kasih kepada tikus memiliki pandangan tajam dan melihat raja sedang menyiksa tikus. orang baik ini tentu akan menghadapi serangkaian birokrasi untuk bisa sampai menghadap raja, walaupun si raja adalah seorang yg tidak lalim. apakah tikus mau menunggu?

tapi seorang raja yg tega menyiksa tikus tentu dapat diperkirakan tingkat kelalimannya bukan?

belum tentu, bisa jadi tikus itu udah lebih dulu menyerang lumbung padi kerajaan dan menyebabkan kelaparan dan defisit ekonomi pada kerajaan tsb. jadi begitu dapat tangkap tikus tsb, rasanya nyawa tikus tsb belum cukup utk menggantikan kerugian yg diakibatkan... maka disiksalah :P

sama saja... kalau di indonesia, kalau ada yg lagi mengebukin maling (bisa sampe mati), jgn coba2 deh jadi hero...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 09:02:54 AM
pertanyaan saya kurang lengkap. saya ralat, "apakah tikus mau menunggu untuk tidak mati dulu karena disiksa?", tentu saja si orang baik memang mau memberikan beberapa alternatif, tapi kondisi pada saat itu, sudah ada tikus yg sedang disiksa, bukan situasi di mana raja sedang mempersiapkan lem untuk menangkap tikus. permasalahan adalah apa yg harus dilakukan oleh si orang baik pada situasi tersebut, bukan sebelum tikus ditangkap.

Kalo tikus sedang disiksa (tikus yang dilem, sedang dijemur), mungkin bisa ditanya baik-baik ke raja, apa tujuannya. Sudah jelas-jelas dia pasti mati, kenapa pulak dijemur lagi? Saya rasa sih, kita perlu mengenal sedikit kepribadian raja jadi tau cara-cara pendekatan yang tepat.

Spoiler: ShowHide
Untuk orang yang lalim (tidak mau diperintah), kita bisa bersikap polos saja. Misalnya dia bilang: "biarin dijemur, saya kesal!" Kita bilang saja: "iya sih betul juga mengesalkan, tapi kasian juga ya tikusnya..."

Tapi kalo orangnya tidak lalim, kita bisa bilang: "kerusakan yang ditimbulkan tikus itu kepada kita, tidak membuat kita mati. IMHO, tidak setimpal bila diganti dengan nyawanya."


Untuk selanjutnya kita beri ide-ide untuk mencegah penggunaan lem tikus.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 09:03:20 AM
Saya rasa tidak ada yang namanya mercy killing, apakah pada saat membunuh, cetananya adalah untuk meringankan penderitaan ? Hmmm, saya rasa kecil kemungkinannya bahkan mungkin tidak ada...
Bro rooney tahu Seppuku? Dalam ritual memotong perut tersebut, ada yang disebut Kaishaku (介錯), yaitu asisten yang memenggal kepala segera setelah sang pelaku ritual memotong perutnya. Tujuannya adalah agar si pelaku ritual tidak perlu lama merasakan penderitaan itu terlalu lama. Bagaimana menurut Bro rooney?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 09:22:43 AM
Kalo tikus sedang disiksa (tikus yang dilem, sedang dijemur), mungkin bisa ditanya baik-baik ke raja, apa tujuannya. Sudah jelas-jelas dia pasti mati, kenapa pulak dijemur lagi? Saya rasa sih, kita perlu mengenal sedikit kepribadian raja jadi tau cara-cara pendekatan yang tepat.

Spoiler: ShowHide
Untuk orang yang lalim (tidak mau diperintah), kita bisa bersikap polos saja. Misalnya dia bilang: "biarin dijemur, saya kesal!" Kita bilang saja: "iya sih betul juga mengesalkan, tapi kasian juga ya tikusnya..."

Tapi kalo orangnya tidak lalim, kita bisa bilang: "kerusakan yang ditimbulkan tikus itu kepada kita, tidak membuat kita mati. IMHO, tidak setimpal bila diganti dengan nyawanya."


Untuk selanjutnya kita beri ide-ide untuk mencegah penggunaan lem tikus.
Intinya sih memang tergantung situasi, kadang ada hal-hal yang bisa kita lakukan, kadang memang tidak ada. Jika masih ada hal yang bisa kita lakukan, 'mercy-killing' ini dihindari. Kalau memang sudah mentok bener-bener mentok, baru dilakukan.

Kadang kita terjebak ekstrem 'karma bisa berubah' maka memaksakan mengubah hasil yang sebetulnya tidak bisa dihindari; Kadang kita terjebak ekstrem satu lagi, 'udah karmanya begitu' maka tidak mau berusaha sementara mungkin sebetulnya ada jalan. Ekstrem satu cenderung pada menghalalkan segala cara, bahkan cara-cara bodoh dan jahat. Ekstrem satu lagi cenderung pada apatisme (keseimbangan bathin yang tidak bermanfaat).

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 02 February 2011, 09:40:08 AM
Quote from: johan3000 on Yesterday at 07:27:59 PM
coba pakai serbuk gergaji kering aja... utk bercampur dgn lem tikus tsb... dan akhirnya lem tsb melengket di serbuk gergaji sehingga tikusnya bisa lepas...

Kainyn : Ditaburkan sekitar tikusnya gitu?

Bener Bro, ditaburkan semua bagian tikus tsb dan juga semua lem...
kemudian sedikit diaduk/pencet2 lemnya...bagaikan membuat roti....
maka lem2 tsb akan bercampur dgn serbuk gergaji...dan karna serbuk gergajinya
lebih banyak maka lem akan kehilangan daya lekatnya....

prinsip mirip menaburkan tepung kering pada adonan kue yg basah....

ada yg mau nyoba ?  :P
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 02 February 2011, 10:18:38 AM
asl plz ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 02 February 2011, 10:27:05 AM
^ ^ ^ kalo pertanyaannya: "apakah tikus mau menunggu?". Jawabannya, yah pastilah... kan dia tidak bisa berkutik alias tidak berdaya lagi ;D Tapi ya, rakyat jelata tetap harus sopan dan tidak memaksakan kehendak. Mungkin bisa menawarkan beberapa keuntungan pemakaian perangkap vs lem tikus. Misalnya, keuntungan perangkap: tidak bau, murah (bisa dipake berulang-ulang), tidak repot (tidak perlu selalu mencari karton sebagai alas lem), dan tidak berbahaya bagi anak-anak atau orang yang lalu-lalang, atau mungkin binatang peliharaan raja (kalau ada).

Saya menganjurkan perangkap tikus karena kalo pake lem tikus, tidak tertutup kemungkinan binatang lain pun ikut jadi korban seperti cicak.
Perangkap tikus yg sis maksudkan sudah ada dua buah(tapi anehnya,tikus sekarang sudah ga mau masuk  lg)..

Sang raja disini menganut konsep "segala sesuatu diciptakan untuk dinikmati manusia"..
Bayangkan saja,ketika raja sudah mengalami kerugian besar akibat serangan hama tikus..rakyat malah berusaha membela tikus..

menurut sis mayvise dan yg lain,apakah masih ada jalan lain?selain membunuh tikus..

Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 02 February 2011, 10:51:01 AM
Perangkap tikus yg sis maksudkan sudah ada dua buah(tapi anehnya,tikus sekarang sudah ga mau masuk  lg)..

Sang raja disini menganut konsep "segala sesuatu diciptakan untuk dinikmati manusia"..
Bayangkan saja,ketika raja sudah mengalami kerugian besar akibat serangan hama tikus..rakyat malah berusaha membela tikus..

menurut sis mayvise dan yg lain,apakah masih ada jalan lain?selain membunuh tikus..

Thank

oh.. tikus itu punya otak kok (bisa mikir)
tapi ga pintar2 amat lah...

perangkap juga dia tau kok, kalau udah kena sekali biasa ga kena lagi
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 02 February 2011, 11:25:36 AM
membunuh tikus, menyiksa tikus ataupun menyelamatkan tikus tidak akan memberikan manfaat apapun selain pemuasan nafsu saja ;D. yang terpentingkan tindakan pencegahannya, agar tidak terulang kembali kondisi yang seperti ini ;D.

asl plz ;D
a=29 s=male l=jakarta  :-[ :x :-[ :x :-[ :x

asl plz ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 11:27:57 AM
 [at]  Mr Jhonz: setau sy, kalo ada umpan (makanan kesukaan tikus) di perangkap itu, tikus pasti masuk. Btw, kalo gak salah ada alat pengusir tikus yang pake ultrasonik.
Ada yang sudah pernah coba? kalo memang manjur, bisa disarankan ke raja. Bilang saja, bahwa lem/perangkap hanya akan mengatasi tikus setelah tikus melakukan pengrusakan. Tapi alat tersebut bisa mengatasi tikus sebelum tikus merusak (IMHO, ini poin yang menggiurkan bagi raja).

Tapi kalo memang gak bisa, ya sudah, pasrah saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 February 2011, 11:30:10 AM
[at]  Mr Jhonz: setau sy, kalo ada umpan (makanan kesukaan tikus) di perangkap itu, tikus pasti masuk. Btw, kalo gak salah ada alat pengusir tikus yang pake ultrasonik.
Ada yang sudah pernah coba? kalo memang manjur, bisa disarankan ke raja. Bilang saja, bahwa lem/perangkap hanya akan mengatasi tikus setelah tikus melakukan pengrusakan. Tapi alat tersebut bisa mengatasi tikus sebelum tikus merusak. (IMHO, ini poin yang menggiurkan bagi raja)

maaf, raja tidak percaya sama produk cina
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 11:55:21 AM
maaf, raja tidak percaya sama produk cina

:hammer:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 02 February 2011, 12:18:23 PM
[at]  Mr Jhonz: setau sy, kalo ada umpan (makanan kesukaan tikus) di perangkap itu, tikus pasti masuk. Btw, kalo gak salah ada alat pengusir tikus yang pake ultrasonik.
saya pernah pakai racun tikus utk mengatasi hama tikus :hammer: (tikusnya bahkan udah mengerogoti mobil, karpet, saluran ac, jok semua bolong2 --- juga tutup rice cooker jebol, barang dagangan lho, bukan rice cooker yg dipakai & dalamnya ada nasi... saya kira tempat saya lumayan bersih, jadi ga ada makanan, sepertinya tikusnya bisa makan bahan karet & plastik kalau udah ga ada makanan lagi)

jadi racun tsb baunya sangat kuat (kaya ikan teri) dijamin tikus dari jauh pun bisa cium baunya.
makanan (racun) tsb saya taruh di mangkuk dan tunggu tikusnya datang... ternyata tikusnya ga datang (ga makan) udah selang bbrp hari.
makanan dalam mangkok itu utuh ga tersentuh... jadi ya udahlah akhirnya ga jadi diracun...

kan saya taruhnya cuma dikit di mangkuk, eh ternyata setelah beberapa hari, kemasan racun tsb jebol (bungkus plastik + kotak karton) & pagi saya lihat racunnya udah berserakan di mana2...

moral cerita, tikus jg bisa curiga kalau dapat makanan terlalu mudah (:hammer:)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 02 February 2011, 01:06:13 PM
saya pernah pakai racun tikus utk mengatasi hama tikus :hammer: (tikusnya bahkan udah mengerogoti mobil, karpet, saluran ac, jok semua bolong2 --- juga tutup rice cooker jebol, barang dagangan lho, bukan rice cooker yg dipakai & dalamnya ada nasi... saya kira tempat saya lumayan bersih, jadi ga ada makanan, sepertinya tikusnya bisa makan bahan karet & plastik kalau udah ga ada makanan lagi)

jadi racun tsb baunya sangat kuat (kaya ikan teri) dijamin tikus dari jauh pun bisa cium baunya.
makanan (racun) tsb saya taruh di mangkuk dan tunggu tikusnya datang... ternyata tikusnya ga datang (ga makan) udah selang bbrp hari.
makanan dalam mangkok itu utuh ga tersentuh... jadi ya udahlah akhirnya ga jadi diracun...

kan saya taruhnya cuma dikit di mangkuk, eh ternyata setelah beberapa hari, kemasan racun tsb jebol (bungkus plastik + kotak karton) & pagi saya lihat racunnya udah berserakan di mana2...

moral cerita, tikus jg bisa curiga kalau dapat makanan terlalu mudah (:hammer:)
saran (bikin karma buruk nih) kalau mau dicampur makanan sama racunnya di tumbuk jadi satu ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 02:30:27 PM
Tikus memang hewan yang belajar, jadi tidak mudah dikibuli. Untuk racun, memang biasanya tidak bisa racun 'murni' harus dicampur dengan makanan favorit mereka. Saya pernah dengar juga tips kalau rumah banyak tikus, usahakan tangkap satu hidup-hidup, potong buntutnya lalu lepaskan. Hal ini tidak membahayakan si tikus (walaupun tetap saja penganiayaan) dan akan membuat tikus yang lain juga ketakutan dan menghindari rumah itu. Justru kalau kita bunuh tikusnya, kadang kerabatnya bisa datang untuk balas dendam. Saya pernah dengar cerita tikus yang suka masuk dan curi makanan. Selalu hanya makanan. Suatu hari, tikus itu ditangkap dan dibunuh, maka hari-hari berikutnya tikus-tikus datang dan 'merusuh'. Kali ini bukan makanan sasarannya, tapi kabel, meja, alat-alat dan benda apapun yang bisa mereka gigit.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 02 February 2011, 02:59:01 PM
Tikus memang hewan yang belajar, jadi tidak mudah dikibuli. Untuk racun, memang biasanya tidak bisa racun 'murni' harus dicampur dengan makanan favorit mereka. Saya pernah dengar juga tips kalau rumah banyak tikus, usahakan tangkap satu hidup-hidup, potong buntutnya lalu lepaskan. Hal ini tidak membahayakan si tikus (walaupun tetap saja penganiayaan) dan akan membuat tikus yang lain juga ketakutan dan menghindari rumah itu. Justru kalau kita bunuh tikusnya, kadang kerabatnya bisa datang untuk balas dendam. Saya pernah dengar cerita tikus yang suka masuk dan curi makanan. Selalu hanya makanan. Suatu hari, tikus itu ditangkap dan dibunuh, maka hari-hari berikutnya tikus-tikus datang dan 'merusuh'. Kali ini bukan makanan sasarannya, tapi kabel, meja, alat-alat dan benda apapun yang bisa mereka gigit.



wait... justru saya yg diserang lebih dulu :)) bukan saya yg bunuh mereka dulu...
soal pikiran tikus2 itu saya ga tau... mungkin mereka marah kok orang rumah ini ga ada makanan di rumah :hammer: (maklum, makan di luar terus & emg ga stok makanan)

soal racun, justru penjual racun sekarang juga belajar :)) jadi kita beli kemasan itu udah bentuk pelet (makanan) yg sangat harum :hammer:

saya pernah coba juga, ya udahlah kasih roti tiap hari, maksudnya biar ga gigit barang2. tapi tentunya taruh di lantai... kampretnya tikus tsb ga mau, tapi kalau taruh di atas meja baru doyan dia... sebagai bonus dia eek & pipis juga di atas meja. haduh
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 03:14:01 PM
wait... justru saya yg diserang lebih dulu :)) bukan saya yg bunuh mereka dulu...
soal pikiran tikus2 itu saya ga tau... mungkin mereka marah kok orang rumah ini ga ada makanan di rumah :hammer: (maklum, makan di luar terus & emg ga stok makanan)
Soal itu memang saya ga bilang bro tesla yang agresi duluan, tapi maksudnya memang tikus-tikus itu lumayan kompleks. Sepertinya lain (grup) tikus, maka lain pula perilakunya.

Quote
soal racun, justru penjual racun sekarang juga belajar :)) jadi kita beli kemasan itu udah bentuk pelet (makanan) yg sangat harum :hammer:
Hati-hati, jauhkan dari jangkauan anak-anak dan orang tua. ;D

Quote
saya pernah coba juga, ya udahlah kasih roti tiap hari, maksudnya biar ga gigit barang2. tapi tentunya taruh di lantai... kampretnya tikus tsb ga mau, tapi kalau taruh di atas meja baru doyan dia... sebagai bonus dia eek & pipis juga di atas meja. haduh
Sepertinya mereka hanya yakin untuk makan apa yang kita makan. Karena orang tidak ada yang makan di lantai, maka dia juga tidak makan yang di lantai tersebut. Kalau soal 'bayaran' di atas meja... no comment :D Mungkin kebetulan tikusnya ga tau terima kasih.

Baru ingat lagi, saya pernah diberitahu kucing congkok (mungkin nama latinnya Prionailurus bengalensis) sangat ditakuti oleh tikus. Kehadirannya saja bisa mengusir tikus sampai bersih karena tikus bisa mencium baunya. Belum konfirmasi tentang ini sih.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 February 2011, 03:18:00 PM
Baru ingat lagi, saya pernah diberitahu kucing congkok (mungkin nama latinnya Prionailurus bengalensis) sangat ditakuti oleh tikus. Kehadirannya saja bisa mengusir tikus sampai bersih karena tikus bisa mencium baunya. Belum konfirmasi tentang ini sih.

lebih efektif piara ular sawah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rina Hong on 02 February 2011, 03:26:37 PM
ga usah kucing jenis itu, kucing biasa aja udah bisa mengusir tikus,
kalo ada kucing di sekitar rumah tikus ga bakal muncul dhe...soalnya katanya sih karna ada bau nya gitu. tp ga disarankan ada kucing dalam rumah.. (kucing kan lebih kotor dari tikus bulunya suka kemana2 ga baik buat anak kecil)

tutup aja semua lubang supaya tikus ga bisa masuk.

dirumah w juga ada tikus (tapi tikus kecil gitu) ga pernah dibunuh sih..tp lucu nya tikus ini hanya kencing dan eek di toilet, sesekali kalo lg makan didapur dia lewat nginjak kaki gw,dan tikus ini hanya makan makanan sisa yg di tong sampah dan westafel, kalo tikus dirumah bro yg jenis gede itu yah... tutup semua lobang aja sudah beres bro..g usah diracuni.(pelihara kucing / mopi diluar rumah (misalnya di teras atau halaman)pasti tikusnya ga berani dhe.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 02 February 2011, 03:29:28 PM
kucing kucing di tanjung duren ini kalau ketemu sama tikus nya tuh kucing nya yang kabur bukan tikusnya saking gedenya tuh tikus( tetap gedean kucing nya tapi kok pada takut tah sama tikus nya yahh).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rina Hong on 02 February 2011, 03:33:11 PM
kucing kucing di tanjung duren ini kalau ketemu sama tikus nya tuh kucing nya yang kabur bukan tikusnya saking gedenya tuh tikus( tetap gedean kucing nya tapi kok pada takut tah sama tikus nya yahh).

kalo gitu pelihara mopi aja...

kalo tikus gede di jalan itu biasany ga masuk kedalam rumah mereka tinggal di selokan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 03:35:32 PM
lebih efektif piara ular sawah
Ular sawah sepertinya ga tangkas untuk main di dalam rumah ngejar tikus genteng. Medan perburuannya berbeda.




ga usah kucing jenis itu, kucing biasa aja udah bisa mengusir tikus,
kalo ada kucing di sekitar rumah tikus ga bakal muncul dhe...soalnya katanya sih karna ada bau nya gitu. tp ga disarankan ada kucing dalam rumah.. (kucing kan lebih kotor dari tikus bulunya suka kemana2 ga baik buat anak kecil)

tutup aja semua lubang supaya tikus ga bisa masuk.

dirumah w juga ada tikus (tapi tikus kecil gitu) ga pernah dibunuh sih..tp lucu nya tikus ini hanya kencing dan eek di toilet, sesekali kalo lg makan didapur dia lewat nginjak kaki gw,dan tikus ini hanya makan makanan sisa yg di tong sampah dan westafel, kalo tikus dirumah bro yg jenis gede itu yah... tutup semua lobang aja sudah beres bro..g usah diracuni.(pelihara kucing / mopi diluar rumah (misalnya di teras atau halaman)pasti tikusnya ga berani dhe.
Kalau kucing peranakan biasa memang bisa tangkap tikus rumah, tapi kalau tikus got yang gede-gede, biasanya kucingnya ga berani. Sepertinya memang tidak termasuk dalam diet-nya mereka juga sih. Kalau kucing congkok itu, memang pemburu di alam liar, jadi cukup galak.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 03:37:38 PM
kalo gitu pelihara mopi aja...

kalo tikus gede di jalan itu biasany ga masuk kedalam rumah mereka tinggal di selokan.
Mopi apa yah?
Tikus got itu suka masuk rumah juga lewat saluran air. Mereka memang ga tinggal di dalam, tapi masuk dan 'belanja' di dalam rumah, lalu keluar lagi. Di rumah saya dulu, pernah ada tikus got masuk dan curi tripang (haisom) lalu ngabur lagi keluar. Tikus pintar yang beruntung. ;D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 02 February 2011, 03:38:49 PM
mopi itu apa tah? kucing?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 03:44:34 PM
Percaya gak percaya, dulu ada temen yang gak tega liat tikus di dalam perangkap tikus yang dipasang papanya. Lalu dia bicara dengan tikus itu, memberitahu cara membuka pintu perangkap (seandainya pengaitnya berhasil diangkat, tikus bisa keluar). Keesokan harinya, tikusnya sudah tidak ada (tikusnya berhasil keluar) :|
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 February 2011, 03:48:12 PM
Percaya gak percaya, dulu ada temen yang gak tega liat tikus di dalam perangkap tikus yang dipasang papanya. Lalu dia bicara dengan tikus itu, memberitahu cara membuka pintu perangkap (seandainya pengaitnya berhasil diangkat, tikus bisa keluar). Keesokan harinya, tikusnya sudah tidak ada (tikusnya berhasil keluar) :|

gue pilih gak percaya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 03:49:19 PM
^ ^ ^ hahaha...  :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 February 2011, 03:53:19 PM
Percaya gak percaya, dulu ada temen yang gak tega liat tikus di dalam perangkap tikus yang dipasang papanya. Lalu dia bicara dengan tikus itu, memberitahu cara membuka pintu perangkap (seandainya pengaitnya berhasil diangkat, tikus bisa keluar). Keesokan harinya, tikusnya sudah tidak ada (tikusnya berhasil keluar) :|
Sepertinya tikus itu memang bisa mencoba-coba (tanpa perlu diajak ngomong). Banyak percobaan di lab menunjukkan tikus bisa coba-coba mekanisme benda dan belajar menggunakannya untuk ngabur atau cari makanan. Dulu waktu masih kecil, saya melihat yang lebih 'sakti' lagi. Daging ditaruh di perangkap tikus jepret yang sangat sensitif. Taruh sebentar, perangkapnya tidak berubah (masih siap menjepret), dagingnya hilang. :|

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 02 February 2011, 03:55:26 PM
tikus punya genome lebih panjang lohh dari manusia.

Quote
Sequencing of the mouse genome was completed in late 2002. The haploid genome is about three billion bases long (3000 Mb distributed over 20 chromosomes) and therefore equal to the size of the human genome.[26] Estimating the number of genes contained in the mouse genome is difficult, in part because the definition of a gene is still being debated and extended. The current estimated gene count is 23,786. This estimate takes into account knowledge of molecular biology as well as comparative genomic data. For comparison, humans are estimated to have 23,686 genes.

http://en.wikipedia.org/wiki/Laboratory_mouse#Laboratory_mice (http://en.wikipedia.org/wiki/Laboratory_mouse#Laboratory_mice)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 02 February 2011, 04:02:26 PM
kalo tikus dirumah bro yg jenis gede itu yah... tutup semua lobang aja sudah beres bro..g usah diracuni.

justru tikus yg ukurannya sangat kecil, kata orang sini namanya curut. & emg tikus paling jahat < kata orang2 sini yg pernah dijarah mungkin :hammer:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 02 February 2011, 04:03:45 PM
Sepertinya tikus itu memang bisa mencoba-coba (tanpa perlu diajak ngomong). Banyak percobaan di lab menunjukkan tikus bisa coba-coba mekanisme benda dan belajar menggunakannya untuk ngabur atau cari makanan. Dulu waktu masih kecil, saya melihat yang lebih 'sakti' lagi. Daging ditaruh di perangkap tikus jepret yang sangat sensitif. Taruh sebentar, perangkapnya tidak berubah (masih siap menjepret), dagingnya hilang. :|



wah ini sih udah terjadi berkali2 di tempat gw...
yg lebih hebatnya lagi kadang perangkapnya udah dalam posisi tertutup, makanan dah hilang, tikus ga ada. padahal gw lom bisikin cara buka pintunya lho
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 02 February 2011, 04:08:55 PM
Sepertinya tikus itu memang bisa mencoba-coba (tanpa perlu diajak ngomong). Banyak percobaan di lab menunjukkan tikus bisa coba-coba mekanisme benda dan belajar menggunakannya untuk ngabur atau cari makanan. Dulu waktu masih kecil, saya melihat yang lebih 'sakti' lagi. Daging ditaruh di perangkap tikus jepret yang sangat sensitif. Taruh sebentar, perangkapnya tidak berubah (masih siap menjepret), dagingnya hilang. :|

Mungkin alatnya kurang sensitif, atau gerakan tikusnya terlalu cepat :|

Spoiler: ShowHide
sori sebelumnya karena postingan saya kali ini tidak serius, padahal ini adalah thread serius.


Intermezzo biar tidak stress. Untuk mengubah paradigma kita tentang tikus, sering2lah nonton "Ratatouille", atau "Alvin and the chipmunks". hehe...

(edited: eh chipmunk bukan tikus dink)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 02 February 2011, 10:02:08 PM
 [at] mayvise
Alat pengusir tikus yg mengeluarkan suara ultrasonic,sudah dicoba kakak-ku..
Tikusnya hanya kabur sementara,lama kelamaan tikusnya kebal dgn suara ultrasonic

Soal itu memang saya ga bilang bro tesla yang agresi duluan, tapi maksudnya memang tikus-tikus itu lumayan kompleks. Sepertinya lain (grup) tikus, maka lain pula perilakunya.
Hati-hati, jauhkan dari jangkauan anak-anak dan orang tua. ;D
Sepertinya mereka hanya yakin untuk makan apa yang kita makan. Karena orang tidak ada yang makan di lantai, maka dia juga tidak makan yang di lantai tersebut. Kalau soal 'bayaran' di atas meja... no comment :D Mungkin kebetulan tikusnya ga tau terima kasih.

Baru ingat lagi, saya pernah diberitahu kucing congkok (mungkin nama latinnya Prionailurus bengalensis) sangat ditakuti oleh tikus. Kehadirannya saja bisa mengusir tikus sampai bersih karena tikus bisa mencium baunya. Belum konfirmasi tentang ini sih.
Kucing coungkok bukannya yang sering dirazia itu om?? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 February 2011, 10:15:07 AM
wah ini sih udah terjadi berkali2 di tempat gw...
yg lebih hebatnya lagi kadang perangkapnya udah dalam posisi tertutup, makanan dah hilang, tikus ga ada. padahal gw lom bisikin cara buka pintunya lho
Kalau perangkap jepit itu jalan, tapi tikusnya ga kena, itu sudah biasa. Mungkin si tikus pakai benda atau digoyang-goyang entah gimana supaya trigger perangkapnya, lalu setelah itu dia bisa ambil makanannya dengan tenang. Kalau yang kandang tutup itu, kalo tikusnya gede atau masuknya berdua, bisa dorong pintunya. Jadi masuk, makan enak, lalu keluar lagi. Perangkap yang djaman doeloe sih begitu yah, entah kalau yang sekarang sudah dimodif.


Mungkin alatnya kurang sensitif, atau gerakan tikusnya terlalu cepat :|

Spoiler: ShowHide
sori sebelumnya karena postingan saya kali ini tidak serius, padahal ini adalah thread serius.


Intermezzo biar tidak stress. Untuk mengubah paradigma kita tentang tikus, sering2lah nonton "Ratatouille", atau "Alvin and the chipmunks". hehe...

(edited: eh chipmunk bukan tikus dink)
Alatnya sensitif, hanya kena gaya sedikit, langsung jepret. Kalau tikusnya cepat, makanannya hilang, perangkapnya jepret, tikusnya ga kena. Kalau ini kasusnya makanan hilang tapi perangkap ga jepret (boro-boro tikusnya kena). Sakti mandraguna tikusnya.

Spoiler: ShowHide
Ini bukan thread serba serius juga karena topiknya bebas, yang penting waras. Dulu saya pernah minta dipindah ke kafe jongkok, tapi belum dipindahkan.




Alat pengusir tikus yg mengeluarkan suara ultrasonic,sudah dicoba kakak-ku..
Tikusnya hanya kabur sementara,lama kelamaan tikusnya kebal dgn suara ultrasonic
Mirip alarm. Kalau baru dipasang, begitu bunyi, kita langsung bangun. Lama-lama kebiasa sama frekuensi itu, otak sudah mulai abaikan sedikit-sedikit, akhirnya jadi 'kebal'.

Quote
Kucing coungkok bukannya yang sering dirazia itu om?? ;D
Itu sih 'ayam' co[e]ngkok a.k.a 'Panda' kali, bukan kucing.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 04 February 2011, 11:33:49 AM
ta' pindahkan ke jurnal pribadi yah. anggap aja jurnal tanya jawab :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 04 February 2011, 11:44:59 AM
Tentang makanan terakhir Sang Buddha yang diberikan Cunda. Walaupun makanan tersebutlah yang menyebabkan Sang Buddha sakit perut, tapi dikatakan bahwa dana tersebut setara dengan dana pemberian Sujata. Dalam diri Cunda pasti merasa bersalah karena mengira dirinya adalah penyebab meninggalnya Sang Buddha. (saya tidak tau apakah Cunda cukup puas dengan pernyataan bahwa dananya setara dengan dana Sujata).

Misalnya ada kisah yang mirip dengan kisah Cunda tsb di kehidupan nyata. Seseorang tau betul dia menyebabkan hal buruk terjadi, dan dia membawa-bawa perasaan bersalah itu seumur hidupnya (padahal sebenarnya dia tidak bersalah sama sekali, malah perbuatan itu adalah bajik). Kalo dalam kasus Cunda, dia mungkin saja berpikir bahwa dia pasti akan terjerumus ke Avici.

Pertanyaannya, seberapa besarkah pengaruh feel of guilty terhadap kelahiran mendatang seseorang? Kalo perasaan atau pikiran ini membayanginya saat meninggal, dia tidak akan lahir di alam bahagia?

Spoiler: ShowHide
Kalo pertanyaan ini sebetulnya hanya pertanyaan spekulasi saja, tidak dijawab juga tidak apa.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 04 February 2011, 11:50:20 AM
Tentang makanan terakhir Sang Buddha yang diberikan Cunda. Walaupun makanan tersebutlah yang menyebabkan Sang Buddha sakit perut, tapi dikatakan bahwa dana tersebut setara dengan dana pemberian Sujata. Dalam diri Cunda pasti merasa bersalah karena mengira dirinya adalah penyebab meninggalnya Sang Buddha. (saya tidak tau apakah Cunda cukup puas dengan pernyataan bahwa dananya setara dengan dana Sujata).

Misalnya ada kisah yang mirip dengan kisah Cunda tsb di kehidupan nyata. Seseorang tau betul dia menyebabkan hal buruk terjadi, dan dia membawa-bawa perasaan bersalah itu seumur hidupnya (padahal sebenarnya dia tidak bersalah sama sekali, malah perbuatan itu adalah bajik). Kalo dalam kasus Cunda, dia mungkin saja berpikir bahwa dia pasti akan terjerumus ke Avici.

Pertanyaannya, seberapa besarkah pengaruh feel of guilty terhadap kelahiran mendatang seseorang? Kalo perasaan atau pikiran ini membayanginya saat meninggal, dia tidak akan lahir di alam bahagia?

Spoiler: ShowHide
Kalo pertanyaan ini sebetulnya hanya pertanyaan spekulasi saja, tidak dijawab juga tidak apa.


sebelum Mas Kainyn menjawab, izinkan saya menyalib sejenak. Benarkah bahwa makanan persembahan Cunda yg menyebabkan Sang Buddha sakit perut?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: No Pain No Gain on 04 February 2011, 11:55:07 AM
sebelum Mas Kainyn menjawab, izinkan saya menyalib sejenak. Benarkah bahwa makanan persembahan Cunda yg menyebabkan Sang Buddha sakit perut?

mungkin bukan penyebab kali ya...tapi memperparah..cmiiw..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 04 February 2011, 12:02:42 PM
sebelum Mas Kainyn menjawab, izinkan saya menyalib sejenak. Benarkah bahwa makanan persembahan Cunda yg menyebabkan Sang Buddha sakit perut?

Saya taunya begitu, salah ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 04 February 2011, 02:14:30 PM
dalam banyak buku (bahkan pelajaran sekolah) seperti itu meski Buddha menjelaskan bahwa hal itu bukan salah cunda. hal ini mempunyai kemungkinnan bahwa Buddha membiarkan salah satu kamma buruk nya berbuah sebagaimana ada nya dan meyebabkan chain reaction yang menyebabkan sang Buddha Parinibbana kemudian, seperti perjanjian nya dengan mara.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rina Hong on 04 February 2011, 03:57:18 PM
Mopi = anjing
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 February 2011, 09:26:29 AM
Tentang makanan terakhir Sang Buddha yang diberikan Cunda. Walaupun makanan tersebutlah yang menyebabkan Sang Buddha sakit perut, tapi dikatakan bahwa dana tersebut setara dengan dana pemberian Sujata. Dalam diri Cunda pasti merasa bersalah karena mengira dirinya adalah penyebab meninggalnya Sang Buddha. (saya tidak tau apakah Cunda cukup puas dengan pernyataan bahwa dananya setara dengan dana Sujata).

Misalnya ada kisah yang mirip dengan kisah Cunda tsb di kehidupan nyata. Seseorang tau betul dia menyebabkan hal buruk terjadi, dan dia membawa-bawa perasaan bersalah itu seumur hidupnya (padahal sebenarnya dia tidak bersalah sama sekali, malah perbuatan itu adalah bajik). Kalo dalam kasus Cunda, dia mungkin saja berpikir bahwa dia pasti akan terjerumus ke Avici.

Pertanyaannya, seberapa besarkah pengaruh feel of guilty terhadap kelahiran mendatang seseorang? Kalo perasaan atau pikiran ini membayanginya saat meninggal, dia tidak akan lahir di alam bahagia?

Spoiler: ShowHide
Kalo pertanyaan ini sebetulnya hanya pertanyaan spekulasi saja, tidak dijawab juga tidak apa.


Saya rasa perasaan bersalah yang tidak benar ini tidak akan membawa pada kelahiran kembali seperti yang ia pikirkan (misalnya rasa bersalah Cunda membawa pada Avici), tetapi sebatas mengkondisikan karma buruk lain berbuah (karena pikiran tidak bermanfaatnya itu). Sama juga kebalikannya, orang yang (juga berpandangan salah) menganggap setelah membunuh 1000 orang non-Buddhis, dia bisa terlahir di Tavatimsa. Menjelang kematian, dia sangat berbahagia akan terlahir di Tavatimsa, tapi apakah kira-kira pikiran bahagianya bisa membawanya ke alam bahagia? Mungkin juga, jika memang dia ada timbunan karma baik yang sudah waktunya berbuah, tapi bukan pikiran ngaconya yang menyebabkannya terlahir di alam bahagia.

Title: manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
Post by: johan3000 on 05 February 2011, 10:26:31 AM
(http://technabob.com/blog/wp-content/uploads/2009/09/coffin-mousetrap-2.jpg)

mulai yg muda, tua, kaya, miskin, yg punya isteri atau tidak
kematian bisa datang setiap saat....

nahhh :

manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
mohon sharingnya..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 05 February 2011, 02:48:02 PM
Saya pernah dengar juga tips kalau rumah banyak tikus, usahakan tangkap satu hidup-hidup, potong buntutnya lalu lepaskan. Hal ini tidak membahayakan si tikus (walaupun tetap saja penganiayaan) dan akan membuat tikus yang lain juga ketakutan dan menghindari rumah itu.

ngebaca buntut tikus, saya jadi inget suatu ingetan dari belasan tahun yang lalu ;D.

yang pertama, tikus yang ditangkep diberi cat yang terang, seperti warna putih ;D.
cara kedua, tikus yang ditangkap diganduli dengan krincingan ;D.
dengan begitu tidak ada tikus yang lain yang berani mendekati tikus itu, pada kabur semua dari sarangnya ;D.
tapi itu cuma cara jaman dulu, ngak tahu masih berlaku ngak untuk saat ini ;D.
Title: Re: manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
Post by: bawel on 05 February 2011, 02:55:51 PM
(http://technabob.com/blog/wp-content/uploads/2009/09/coffin-mousetrap-2.jpg)

mulai yg muda, tua, kaya, miskin, yg punya isteri atau tidak
kematian bisa datang setiap saat....

nahhh :

manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
mohon sharingnya..

kalo menurut saya sih ada banyak kondisi,

misalnya orang yang sakit parah, maka ada yang pasrah dengan kematian ;D.
atau orang yang harga dirinya tinggi, dia siap juga berjuang sampai tetes darah terakhir ;D.
atau orang yang sudah dicuci otaknya dengan konsep-konsep atau doktrin-doktrin ;D.
dan yang pasti, orang yang sudah benar-benar sadar akan inti dari kehidupan ini ;D.
dll ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 February 2011, 03:05:32 PM
(http://technabob.com/blog/wp-content/uploads/2009/09/coffin-mousetrap-2.jpg)

mulai yg muda, tua, kaya, miskin, yg punya isteri atau tidak
kematian bisa datang setiap saat....

nahhh :

manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
mohon sharingnya..

Manusia yang siap menyambut kematian itu ada 2 macam:
1. Yang tukang cari mati (em cai si)
2. Yang memang sadar bahwa hidup pasti mati

Kalau Ajaran Buddha mengajarkan kita mencapai kebahagiaan dalam hidup, menghargai hidup, tapi tetap sadar bahwa semua yang berkondisi pasti berubah, yang hidup juga pasti suatu saat mati. Jadi siap jika memang saatnya tiba. Jadi type no. 1 dihindari. :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 05 February 2011, 06:49:26 PM
Apakah seorang Buddhist yg benar2 mengerti ajaran Sang Buddha setiap saat siap menghadapin kematiannya ?

contoh : kalau si A, yg baru memenangkan undian bank sekian M rupiah... dia pikir ingin keliling dunia dulu dehhh, bila kematian begitu cepat datang, dia bakal tidak rela.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 05 February 2011, 07:34:55 PM
Manusia yang siap menyambut kematian itu ada 2 macam:
1. Yang tukang cari mati (em cai si)
2. Yang memang sadar bahwa hidup pasti mati

Kalau Ajaran Buddha mengajarkan kita mencapai kebahagiaan dalam hidup, menghargai hidup, tapi tetap sadar bahwa semua yang berkondisi pasti berubah, yang hidup juga pasti suatu saat mati. Jadi siap jika memang saatnya tiba. Jadi type no. 1 dihindari. :D
Artinya,teroris yg bernama amrozi setelah mati terlahir di alam bahagia?
Dan,sy pernah melihat video pemenggalan kepala oleh mafia meksiko,korban terlihat panik ketika mau dieksekusi..
apa si korban karena kepanikannya akan terlahir dialam menderita?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 February 2011, 10:18:57 AM
Apakah seorang Buddhist yg benar2 mengerti ajaran Sang Buddha setiap saat siap menghadapin kematiannya ?

contoh : kalau si A, yg baru memenangkan undian bank sekian M rupiah... dia pikir ingin keliling dunia dulu dehhh, bila kematian begitu cepat datang, dia bakal tidak rela.
Kalau Buddhist yang benar-benar mengerti Ajaran Buddha, saya pikir seharusnya memang selalu sadar kematian itu tidak terhindarkan. Dapat 1 M atau 1 T, tetap saja bukan berarti kematian bisa ditunda. Sama juga seperti orang yang baru ketemu pasangan hidup yang didambakan atau baru akan menikah, lalu tiba-tiba harus kehilangan. Ini penderitaan yang berat karena baru bertemu sesuatu yang sangat menyenangkan namun harus segera berpisah.
Harus ekstra hati-hati dan berusaha sadar setiap saat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rice cooker rusak on 08 February 2011, 10:20:53 AM
Kalau Buddhist yang benar-benar mengerti Ajaran Buddha, saya pikir seharusnya memang selalu sadar kematian itu tidak terhindarkan. Dapat 1 M atau 1 T, tetap saja bukan berarti kematian bisa ditunda. Sama juga seperti orang yang baru ketemu pasangan hidup yang didambakan atau baru akan menikah, lalu tiba-tiba harus kehilangan. Ini penderitaan yang berat karena baru bertemu sesuatu yang sangat menyenangkan namun harus segera berpisah.
Harus ekstra hati-hati dan berusaha sadar setiap saat.

bagaimana cara menghadapi kematian versi buddha?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 February 2011, 10:30:33 AM
Artinya,teroris yg bernama amrozi setelah mati terlahir di alam bahagia?
Entahlah, bisa iya, bisa tidak. Pastinya perbuatan membunuh orang lain tidak menyebabkan orang terlahir di alam bahagia, tapi bukan berarti membunuh orang lain pasti menyebabkan orang tidak terlahir di alam bahagia.
Buddha Gotama mengatakan bahwa ada kasus di mana orang jahat terlahir di sorga dan orang baik terlahir di alam menderita. Ini disebabkan BUKAN karena kejahatan atau kebaikannya itu, tetapi karma masa lampau lain yang berbuah.


Quote
Dan,sy pernah melihat video pemenggalan kepala oleh mafia meksiko,korban terlihat panik ketika mau dieksekusi..
apa si korban karena kepanikannya akan terlahir dialam menderita?
Saya rasa bisa jadi demikian jika ada karma buruk yang mendukung.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 February 2011, 10:32:08 AM
bagaimana cara menghadapi kematian versi buddha?
Cara menghadapi kematian tidak ada versi Buddha atau non-buddha. Semua hanya menyadari bahwa kematian adalah tidak terhindarkan, maka sebaiknya tidak melekat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rice cooker rusak on 08 February 2011, 10:33:11 AM
Cara menghadapi kematian tidak ada versi Buddha atau non-buddha. Semua hanya menyadari bahwa kematian adalah tidak terhindarkan, maka sebaiknya tidak melekat.

melekat terhdap kematian?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 February 2011, 10:35:24 AM
melekat terhdap kematian?
Melekat terhadap apapun, karena semua hal adalah berkondisi dan berubah. Apa yang berubah, berpotensi menimbulkan penderitaan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rice cooker rusak on 08 February 2011, 10:40:59 AM
Melekat terhadap apapun, karena semua hal adalah berkondisi dan berubah. Apa yang berubah, berpotensi menimbulkan penderitaan.

kalo hati dari sedih jd senang kok disebut menderita ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 February 2011, 10:49:30 AM
kalo hati dari sedih jd senang kok disebut menderita ya?
Bisa dicontohkan kasus yang menggambarkan 'dari sedih jadi senang' tersebut?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rice cooker rusak on 08 February 2011, 10:57:43 AM
Bisa dicontohkan kasus yang menggambarkan 'dari sedih jadi senang' tersebut?

kasus mati suri... ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 February 2011, 11:04:32 AM
kasus mati suri... ;D
Bagaimana maksudnya kasus mati suri memberikan kesenangan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 08 February 2011, 03:52:56 PM
nahhh :

manusia dgn kondisi (pikiran) spt apa yg siap menyambut kematian ?
mohon sharingnya..


yg tidak memiliki apapun & tidak ada apa2 lagi yg harus dikerjakannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 08 February 2011, 03:54:51 PM
kalo hati dari sedih jd senang kok disebut menderita ya?

karena setiap kita mengambil kesenangan, ada mara yg berdiri disamping kita sambil tersenyum... >:D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 08 February 2011, 03:57:27 PM
Bisa dicontohkan kasus yang menggambarkan 'dari sedih jadi senang' tersebut?

mis: si miskin tiba2 dapat harta, yg kesepian tiba2 dapat pacar, dll... intinya bertemu dg yg diinginkan, berpisah dg yg tidak diinginkan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 February 2011, 04:13:15 PM
mis: si miskin tiba2 dapat harta, yg kesepian tiba2 dapat pacar, dll... intinya bertemu dg yg diinginkan, berpisah dg yg tidak diinginkan
OK, ini baru nyambung dengan kepala saya.

Miskin mendapat harta, kesepian dapat pacar. Yang mengkondisikan di sini adalah harta dan pacar. Ketika pikiran orang melekat pada harta/pacar, maka timbullah keadaan yang menyenangkan (dapat harta/pacar) dan tidak menyenangkan (tidak ada harta/pacar). Karena kehidupan selalu berubah, maka ada yang namanya dapat harta/pacar, ada juga kehilangan harta/pacar. Maka hidup tidak lepas dari kesedihan dan kesenangan tersebut.

Dukkha bukanlah merujuk pada 'kesedihan' (kehilangan harta/pacar) semata, namun pada keseluruhan keterkondisian 'kesedihan' dan 'kesenangan' tersebut yang datang silih-berganti tanpa akhir.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: tesla on 08 February 2011, 04:16:28 PM
OK, ini baru nyambung dengan kepala saya.

Miskin mendapat harta, kesepian dapat pacar. Yang mengkondisikan di sini adalah harta dan pacar. Ketika pikiran orang melekat pada harta/pacar, maka timbullah keadaan yang menyenangkan (dapat harta/pacar) dan tidak menyenangkan (tidak ada harta/pacar). Karena kehidupan selalu berubah, maka ada yang namanya dapat harta/pacar, ada juga kehilangan harta/pacar. Maka hidup tidak lepas dari kesedihan dan kesenangan tersebut.

Dukkha bukanlah merujuk pada 'kesedihan' (kehilangan harta/pacar) semata, namun pada keseluruhan keterkondisian 'kesedihan' dan 'kesenangan' tersebut yang datang silih-berganti tanpa akhir.




sadhu sadhu sadhu
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 08 February 2011, 07:44:06 PM
"The happiness of your life depends upon the quality of your thoughts...

But the quality of your thought depends on ?

Kira-kira apa yang tepat ?

1. Bertemu dengan siapa
2. Pengalaman
3. Cara memandang segala fenomena
4...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 February 2011, 08:44:25 AM
"The happiness of your life depends upon the quality of your thoughts...

But the quality of your thought depends on ?

Kira-kira apa yang tepat ?

1. Bertemu dengan siapa
2. Pengalaman
3. Cara memandang segala fenomena
4...
Menurut saya, cara pandang yang menentukan pola pikir seseorang. Itu sebabnya Jalan Mulia Berunsur 8 didahului dengan 'Pandangan Benar' yang mendasari hal-hal lainnya. Pandangan itu dibentuk dari proses belajar yang bisa berupa merenungkan pengalaman atau jika beruntung, bertemu dengan 'guru' yang bisa mengarahkan.

Kebahagiaan sendiri juga sangat variatif. Orang sering mendambakan kebahagiaan tanpa mencari kebenaran. Ini juga bisa, tapi jadinya seperti orang bodoh yang bahagia seperti kata pepatah, 'ignorance is bliss'. Jadi sebenarnya memang pilihan. Mau bahagia memang tidak sulit, tapi mau bahagia yang bijaksana dan dengan bathin seimbang, itu yang sulit.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 09 February 2011, 06:44:25 PM
Menurut saya, cara pandang yang menentukan pola pikir seseorang. Itu sebabnya Jalan Mulia Berunsur 8 didahului dengan 'Pandangan Benar' yang mendasari hal-hal lainnya. Pandangan itu dibentuk dari proses belajar yang bisa berupa merenungkan pengalaman atau jika beruntung, bertemu dengan 'guru' yang bisa mengarahkan.

Kebahagiaan sendiri juga sangat variatif. Orang sering mendambakan kebahagiaan tanpa mencari kebenaran. Ini juga bisa, tapi jadinya seperti orang bodoh yang bahagia seperti kata pepatah, 'ignorance is bliss'. Jadi sebenarnya memang pilihan. Mau bahagia memang tidak sulit, tapi mau bahagia yang bijaksana dan dengan bathin seimbang, itu yang sulit.

Hmmm, bukannya yang paling awal itu moralitas ya ? Logikanya sebelum tembus magga-phala, seseorang belum punya pandangan benar kan ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 February 2011, 06:50:20 PM
Hmmm, bukannya yang paling awal itu moralitas ya ? Logikanya sebelum tembus magga-phala, seseorang belum punya pandangan benar kan ?
Kalau menurut saya tidak. Di negara-negara non-religius, orang-orangnya tidak diajarkan agama, tapi tetap ada yang baik, ada yang tidak. Ini tergantung cara pandangnya masing-masing terhadap hidup. Betul, sebelum mencapai magga-phala, pandangan benar masih berupa 'pengetahuan' saja, belum benar-benar direalisasikan.

Berhubungan juga, sering menjadi klaim bahwa agama adalah mutlak penting bagi kehidupan karena tanpa agama, orang tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Klaim ini juga otomatis dipatahkan dengan teraturnya sistem masyarakat yang tanpa agama seperti negara non-religius ataupun masyarakat pra-sejarah.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 09 February 2011, 07:15:27 PM
Kalau menurut saya tidak. Di negara-negara non-religius, orang-orangnya tidak diajarkan agama, tapi tetap ada yang baik, ada yang tidak. Ini tergantung cara pandangnya masing-masing terhadap hidup. Betul, sebelum mencapai magga-phala, pandangan benar masih berupa 'pengetahuan' saja, belum benar-benar direalisasikan.

Berhubungan juga, sering menjadi klaim bahwa agama adalah mutlak penting bagi kehidupan karena tanpa agama, orang tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Klaim ini juga otomatis dipatahkan dengan teraturnya sistem masyarakat yang tanpa agama seperti negara non-religius ataupun masyarakat pra-sejarah.

Iya, kalo zaman dulu kan masi belum berkembang pemikiran. Jadi, yang namanya moralitas katanya adalah perintah agama. Padahal cukup dengan bersekolah saja sebenarnya kita bakal tau prosedur-prosedur moralitas yang disokong oleh hukum. Contohnya : Singapore, USA, UK . Mereka kebanyakan kasus kriminalnya daripada HAM. Bandingkan dengan salah satu negara beragama yang karena kekakuannya justru malah mudah terprovokasi dan menjadi tidak tahu menahu dengan moralitas lagi (kalangan menengah ke bawah).

Btw, pandangan benar tentang dukkha sama pandangan benar yang didapat dari pengalaman hidup dan pendidikan beda kan ya ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2011, 09:00:15 AM
Iya, kalo zaman dulu kan masi belum berkembang pemikiran. Jadi, yang namanya moralitas katanya adalah perintah agama. Padahal cukup dengan bersekolah saja sebenarnya kita bakal tau prosedur-prosedur moralitas yang disokong oleh hukum. Contohnya : Singapore, USA, UK . Mereka kebanyakan kasus kriminalnya daripada HAM. Bandingkan dengan salah satu negara beragama yang karena kekakuannya justru malah mudah terprovokasi dan menjadi tidak tahu menahu dengan moralitas lagi (kalangan menengah ke bawah).
Saya rasa bukan karena belum berkembang pemikirannya, tapi karena sudah terindoktrinasi (bahwa agamanya paling 'wah' dan mengajarkan kebenaran), maka tidak bisa berpikir dengan akal sehat. Kalau kita lihat anthropologi, tanpa agama pun budaya manusia berkembang sehingga melahirkan adat dan tata cara yang juga mirip dengan aturan moralitas. Ini adalah proses sebab akibat yang alami. Misalnya mencuri, tanpa agama pun orang tahu perbuatan mencuri itu menyebabkan ketidak-teraturan dalam masyarakat. Yang kerja tidak makan, yang tidak kerja tapi mencuri, justru bisa makan. Maka mencuri dihindari.

Agama itu sebetulnya tambahan yang sifatnya netral saja. Di masyarakat yang memang mengutamakan kebaikan, maka agama apapun yang masuk, perilakunya tetap baik. Sedangkan di masyarakat yang memang bodoh dan brutal, agama apa pun yang dipeluk, perilakunya tetap saja tidak keruan, ajaran baik juga diolah-tafsir untuk memenuhi nafsu mereka saja. 

Quote
Btw, pandangan benar tentang dukkha sama pandangan benar yang didapat dari pengalaman hidup dan pendidikan beda kan ya ?
Pengalaman hidup dan pendidikan/ajaran orang lain, sebetulnya sama-sama hanyalah input. Pandangan benar bisa timbul jika kita memahami input itu dengan benar, tidak masalah inputnya dialami langsung atau lewat ajaran orang lain, sama saja. Menurut saya begitu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 10 February 2011, 11:20:44 AM
Nanya bos..
Walaupun masyarakat indonesia tidak menaganut paham KASTA,tapi prakteknya di masyarakat sangat kental budaya peng-kastaan..
Apa benar budaya peng-kasta-an ini adalah warisan kolonial belanda?
Konon,di China tidak ada budaya "kasta" benar kah?

*Apa benar dunia semakin lama semakin bobrok moralnya?
Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2011, 12:26:46 PM
Nanya bos..
Walaupun masyarakat indonesia tidak menaganut paham KASTA,tapi prakteknya di masyarakat sangat kental budaya peng-kastaan..
Apa benar budaya peng-kasta-an ini adalah warisan kolonial belanda?
Konon,di China tidak ada budaya "kasta" benar kah?

*Apa benar dunia semakin lama semakin bobrok moralnya?
Thank
Setahu saya kasta itu ada di setiap budaya, hanya saja intensitasnya mungkin berbeda. Di negara raja berkuasa, biasa 'kasta' lebih kental, ada bangsawan dan rakyat biasa, sedangkan di negara komunis yang prinsipnya sama rata, 'kasta' lebih tidak kentara. Tapi intinya itu timbul dari pikiran yang diskriminatif. Misalnya kalangan intelektual merasa dirinya lebih pintar, berbeda dari kaum buruh, maka mereka melihatnya sebagai 'kasta' berbeda. Kalangan banyak duit terhadap orang elit (ekonomi sulit) juga melihatnya sebagai 'kasta' berbeda.

Kalau warisan kolonial adalah pandangan kesukuan. Penjajah Eropa kebanyakan negaranya kecil, jadi tidak punya kekuatan untuk menguasai daerah besar, maka menggunakan taktik devide et impera. Misalnya dulu orang Tionghoa dan pribumi itu berbaur sama rata, tidak ada diskriminasi sama sekali. Lalu Belanda membagi perdagangan hanya boleh melalui orang Tionghoa, jadi semacam dibuat kasta terpisah. Belakangan Orde Baru juga melanjutkan 'prestasi' ini, sehingga punya 'kambing hitam'.

Moralitas kalau saya pribadi lihat memang makin parah. Mungkin karena memang tidak ada pemimpin yang bisa membimbing dan memberi teladan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 February 2011, 12:35:02 PM
Setahu saya kasta itu ada di setiap budaya, hanya saja intensitasnya mungkin berbeda. Di negara raja berkuasa, biasa 'kasta' lebih kental, ada bangsawan dan rakyat biasa, sedangkan di negara komunis yang prinsipnya sama rata, 'kasta' lebih tidak kentara. Tapi intinya itu timbul dari pikiran yang diskriminatif. Misalnya kalangan intelektual merasa dirinya lebih pintar, berbeda dari kaum buruh, maka mereka melihatnya sebagai 'kasta' berbeda. Kalangan banyak duit terhadap orang elit (ekonomi sulit) juga melihatnya sebagai 'kasta' berbeda.

Kalau warisan kolonial adalah pandangan kesukuan. Penjajah Eropa kebanyakan negaranya kecil, jadi tidak punya kekuatan untuk menguasai daerah besar, maka menggunakan taktik devide et impera. Misalnya dulu orang Tionghoa dan pribumi itu berbaur sama rata, tidak ada diskriminasi sama sekali. Lalu Belanda membagi perdagangan hanya boleh melalui orang Tionghoa, jadi semacam dibuat kasta terpisah. Belakangan Orde Baru juga melanjutkan 'prestasi' ini, sehingga punya 'kambing hitam'.

Moralitas kalau saya pribadi lihat memang makin parah. Mungkin karena memang tidak ada pemimpin yang bisa membimbing dan memberi teladan.


gak perlu terlalu jauh, di sekeliling kita, coba di lingkungan perkantoran, lihat bagaimana sikap para direktur/manager dan para office boy/cleaning service/supir
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2011, 12:53:39 PM
gak perlu terlalu jauh, di sekeliling kita, coba di lingkungan perkantoran, lihat bagaimana sikap para direktur/manager dan para office boy/cleaning service/supir
Betul sekali, itu yang saya maksud. Memang bukan dikastakan dengan jelas, tapi pikiran itu selalu ada.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 February 2011, 05:17:55 PM
Betul sekali, itu yang saya maksud. Memang bukan dikastakan dengan jelas, tapi pikiran itu selalu ada.

tapi menurut saya, pengkastaan ini gak selalu berdampak negatif, dalam banyak kasus, pengkastaan ini malah diperlukan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2011, 05:20:23 PM
tapi menurut saya, pengkastaan ini gak selalu berdampak negatif, dalam banyak kasus, pengkastaan ini malah diperlukan
Diskriminasi/pengelompokan yang objektif memang diperlukan (karena perbedaan nyata ada), tetapi jika dikelompokkan dengan salah, maka tidak bermanfaat.

Kalo menurut bro Indra, bagaimana contohnya 'pengkastaan' ini diperlukan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 February 2011, 05:30:11 PM
Diskriminasi/pengelompokan yang objektif memang diperlukan (karena perbedaan nyata ada), tetapi jika dikelompokkan dengan salah, maka tidak bermanfaat.

Kalo menurut bro Indra, bagaimana contohnya 'pengkastaan' ini diperlukan?


misalnya, dalam lingkungan kerja, seperti contoh saya tadi antara kelompok office boy dan kelompok direktur/manager, ke dua kelompok ini dalam banyak hal memang harus dibedakan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2011, 05:39:44 PM
misalnya, dalam lingkungan kerja, seperti contoh saya tadi antara kelompok office boy dan kelompok direktur/manager, ke dua kelompok ini dalam banyak hal memang harus dibedakan.
Ya dalam hal gaji dan fasilitas, sudah jelas harus dibedakan ;D

Kalau kita ngomong 'kasta', mungkin lebih cenderung pada sesuatu yang dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Dalam hal ini, seringkali pendiskriminasian adalah hal yang keliru karena memang diklasifikasikan berdasarkan fakta yang salah.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 February 2011, 05:48:58 PM
Ya dalam hal gaji dan fasilitas, sudah jelas harus dibedakan ;D

Kalau kita ngomong 'kasta', mungkin lebih cenderung pada sesuatu yang dibawa sejak lahir dan tidak bisa diubah. Dalam hal ini, seringkali pendiskriminasian adalah hal yang keliru karena memang diklasifikasikan berdasarkan fakta yang salah.



kalau dalam hal kasta sejak lahir, saya harus meralat statement saya sebelumnya, karena saya memang tidak setuju pengkastaan berdasarkan kelahiran
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2011, 06:06:48 PM
kalau dalam hal kasta sejak lahir, saya harus meralat statement saya sebelumnya, karena saya memang tidak setuju pengkastaan berdasarkan kelahiran

Iya, tadi sih saya bicaranya 'pengkastaan' secara keseluruhan. Karena kita lihat saja misalnya orang dengan hobby tertentu yang mahal2, mereka merasa exclusive. Ini juga seperti 'pengkastaan'. Tapi kalau yang lebih sempit istilahnya, seperti yang dari lahir. Jadi seumur hidup apapun yang dilakukannya tidak akan menaikkan derajatnya. Dulu jaman Buddha 'kan begitu, entah sekarang masih ada yang begitu atau tidak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 February 2011, 06:46:51 PM
Iya, tadi sih saya bicaranya 'pengkastaan' secara keseluruhan. Karena kita lihat saja misalnya orang dengan hobby tertentu yang mahal2, mereka merasa exclusive. Ini juga seperti 'pengkastaan'. Tapi kalau yang lebih sempit istilahnya, seperti yang dari lahir. Jadi seumur hidup apapun yang dilakukannya tidak akan menaikkan derajatnya. Dulu jaman Buddha 'kan begitu, entah sekarang masih ada yang begitu atau tidak.

kalau pengkastaan spt yg di agama hindu, sptnya masih ada sampai sekarang, dalam negara berbudaya hindu bahkan di bali juga pengkastaan ini masih ada, walaupun untuk bali sudah tidak terlalu kuat lagi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 10 February 2011, 07:00:45 PM
Iya, tadi sih saya bicaranya 'pengkastaan' secara keseluruhan. Karena kita lihat saja misalnya orang dengan hobby tertentu yang mahal2, mereka merasa exclusive. Ini juga seperti 'pengkastaan'. Tapi kalau yang lebih sempit istilahnya, seperti yang dari lahir. Jadi seumur hidup apapun yang dilakukannya tidak akan menaikkan derajatnya. Dulu jaman Buddha 'kan begitu, entah sekarang masih ada yang begitu atau tidak.
Masih ada om..
Ada etnis(keturunan) tertentu yg merasa derajatnya lebih tinggi dari etnis lainnya
mau sy sebutkan etnisnya om?

*katanya,pelayanan pramusaji rumah makan di china sangat jelek,katanya,pelayan mengambil piring/mangkok dari meja konsumen(kondisi meja masih ditempati konsumen)  tanpa satu katapun,dan dilakukan dgn terges-gesa..
Bagaimana menurut sikap ini?
*kalo di indonesia,pelayan idonesia sangat segan dan ramah kepada yg bertampang tajir.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 February 2011, 09:29:42 AM
Masih ada om..
Ada etnis(keturunan) tertentu yg merasa derajatnya lebih tinggi dari etnis lainnya
mau sy sebutkan etnisnya om?
Sebaiknya jangan deh, Mr.Jhonz. Takutnya berpotensi menyinggung.
Saya juga melihat memang ada pihak tertentu yang begitu, dan sesungguhnya saya merasa kasihan dengan mereka.


Quote
*katanya,pelayanan pramusaji rumah makan di china sangat jelek,katanya,pelayan mengambil piring/mangkok dari meja konsumen(kondisi meja masih ditempati konsumen)  tanpa satu katapun,dan dilakukan dgn terges-gesa..
Bagaimana menurut sikap ini?
*kalo di indonesia,pelayan idonesia sangat segan dan ramah kepada yg bertampang tajir.
Dulu waktu saya ke Hong Kong memang banyak yang seperti itu (namun tidak semuanya, ada beberapa yang ramah juga). Bahkan menurut orang setempat, kalau mereka merasa orangnya terlalu lama, belum habispun makanannya, sudah diangkat. Ini memang 'keramahan' ciri khas mereka. Belakangan lagi saya dengar pemerintah China menggalakkan turismenya sekaligus persiapan untuk Olympiade kemarin, dan rakyatnya dihimbau untuk menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang bikin "takut" turis. Seharusnya sikap begitu sudah makin sedikit.

Kalau dilihat, mungkin mereka demikian karena cara hidup mereka saja. Mereka punya cara pandang "uang adalah yang terpenting" dan orang yang kelamaan duduk itu berpotensi mengurangi omzet. Orang sana bilang lebih baik mengaku pelacur daripada orang yang tidak punya uang. Dengan cara pandang yang begitu, saya pikir tidak heranlah mereka kurang bisa menghargai orang lain.

Ramah kepada calon pelanggan yang terlihat tajir bukan hanya di sini, di hampir semua tempat juga begitu, kecuali Jepang. Di Jepang masuk keluar toko disambut penghormatan. Lirik barang sedikit, walau tidak diminta, barang diambilkan, dibukakan untuk kita lihat. Pegang-pegang, tidak jadi beli, tetap tidak apa-apa. Perbedaan demikian muncul karena memang perbedaan budaya saja. Bagaimana orang memandang dirinya, pekerjaan, dan orang lain menentukan sikapnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 11 February 2011, 11:03:41 AM
kalau pengkastaan spt yg di agama hindu, sptnya masih ada sampai sekarang, dalam negara berbudaya hindu bahkan di bali juga pengkastaan ini masih ada, walaupun untuk bali sudah tidak terlalu kuat lagi.
dari sumber pihak yg pernah bekerja dengan orang india... ada bawahan dari kasta ksatria, atasannya kasta bawahnya (lupa). Atasannya yg canggung dan takut ama bawahan. Aneh kan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 February 2011, 11:08:23 AM
dari sumber pihak yg pernah bekerja dengan orang india... ada bawahan dari kasta ksatria, atasannya kasta bawahnya (lupa). Atasannya yg canggung dan takut ama bawahan. Aneh kan?

bahkan untuk India kelahiran Indonesia? hmmm...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 11 February 2011, 11:36:11 AM
kalo itu mesti dikonfirmasi dahulu apakah kelahiran indo ato bukan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 11 February 2011, 12:19:34 PM
dari sumber pihak yg pernah bekerja dengan orang india... ada bawahan dari kasta ksatria, atasannya kasta bawahnya (lupa). Atasannya yg canggung dan takut ama bawahan. Aneh kan?
ndak seluruhnya bener. jaman udah berubah sekarang terutama untuk yg migrasi keluar india.
orang india yg terpelajar udah gak terlalu memperhatikan ini di tempat kerja.
yg masih orthodox memang sangat peduli dan fanatik dengan kasta ini dan sampai berpuluh2 tahun ini masih menjadi masalah besar bagi pemerintah india hingga sekarang.

malahan sekarang ada semacam kesadaran baru di kalangan india dravida / selatan / hitam. mereka berpendapat india itu penduduk aslinya adalah bangsa dravida. ras aria (tinggi, putih) itu datang belakangan dari utara. lama2 ras aria menciptakan mitos2 yg bermaksud untuk menyatakan ras aria lebih superior dengan adanya figur2 dewa2 yg rata2 tinggi dan putih dan menciptakan sistem kasta. sistem kasta diciptakan untuk kepentingan kaum religius. jadi mereka yg punya akses kepada dewa2 dikategorikan brahmana, perlu perlindungan dari mereka yg jago berantem (ksatriya), dilayani kasta2 lain dibawahnya. jadi semacam eksploitasi...

dengan latar belakang ini, ras dravida yang biasanya berkasta rendah jadi lebih pede dan merasa sejajar dengan aria.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 11 February 2011, 01:33:20 PM
mungkin india yg itu india kolot kali :P

kalo aye jadi itu india, pasti nda peduli jg dengan kasta2an
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 February 2011, 01:45:09 PM
yg bikin malu kalo india ksatria yg peduli kasta ketemu sama india sudra yg gak peduli kasta ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 11 February 2011, 07:38:53 PM
tanya; gimana cara bedain antara kasta brahmana dan kasta sudra?*dapat dibedain secara kasat mata?

Pertanyaan teknis;misal memasak ubi dengan api kecil perlu waktu lebih lama dari memasak ubi dengan api besar,pertanyaannya,energi(misal gas LPG) mana yg lebih terpakai/terkuras memasak dengan api kecil atau besar??

Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 23 May 2011, 12:18:27 PM
Om tanya dunk..
Gimana cara menghadapi "kucing betina" yg doyan kabur?
Kucing betina ini sudah mempunyai rekor lebih dari 12 kali kabur..
Dan mempunyai 4 anak yg masih kecil..
Kucing betina ini dikabarkan biasa kabur ketempat lelaki(yg belum diketahui identitas-nya
Ironisnya muka si kucing betina sudah sering babak belur(di pukul sang suami) tapi tetap nekat melakukan aksinya..
*kedua pasangan ini kurang berpendidikan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 23 May 2011, 12:26:04 PM
Om tanya dunk..
Gimana cara menghadapi "kucing betina" yg doyan kabur?
Kucing betina ini sudah mempunyai rekor lebih dari 12 kali kabur..
Dan mempunyai 4 anak yg masih kecil..
Kucing betina ini dikabarkan biasa kabur ketempat lelaki(yg belum diketahui identitas-nya
Ironisnya muka si kucing betina sudah sering babak belur(di pukul sang suami) tapi tetap nekat melakukan aksinya..
*kedua pasangan ini kurang berpendidikan

ikat dan gembok kandangnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 May 2011, 02:47:36 PM
tanya; gimana cara bedain antara kasta brahmana dan kasta sudra?*dapat dibedain secara kasat mata?

Pertanyaan teknis;misal memasak ubi dengan api kecil perlu waktu lebih lama dari memasak ubi dengan api besar,pertanyaannya,energi(misal gas LPG) mana yg lebih terpakai/terkuras memasak dengan api kecil atau besar??

Thank
Wah, ini saya terlewatkan.
Kalau dalam Sonadandasutta, dikatakan salah satu (dari lima) ciri Brahmana adalah vanna, yaitu tampilan fisiknya. Tapi ternyata dari diskusi tersebut, kualitas kasat mata ini walaupun dihilangkan, tetap seseorang bisa dikatakan brahmana, asalkan orang itu memiliki Sila & Kebijaksanaan.
Dua hal lain adalah keturunan dan kemahiran dalam pengetahuan & ritual.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 May 2011, 02:52:28 PM
Om tanya dunk..
Gimana cara menghadapi "kucing betina" yg doyan kabur?
Kucing betina ini sudah mempunyai rekor lebih dari 12 kali kabur..
Dan mempunyai 4 anak yg masih kecil..
Kucing betina ini dikabarkan biasa kabur ketempat lelaki(yg belum diketahui identitas-nya
Ironisnya muka si kucing betina sudah sering babak belur(di pukul sang suami) tapi tetap nekat melakukan aksinya..
*kedua pasangan ini kurang berpendidikan
Kalau cuma dengar singkat, tentu saya ga tahu, apalagi saya bukan ahli 'kucing-kucingan' begini ;D
Tapi kalau 'kucing' kabur biasanya ada yang tidak menyenangkan di 'kandang'. Coba si suami introspeksi hal-hal apa saja yang tidak menyenangkan. Hal lain adalah karena si 'kucing' memang doyan 'jajan', dan kalau ini memang harus diajak tobat. Tapi gimanapun juga sepertinya harus menempuh cara baik-baik, jangan sampai dipukuli. Kalau memang benar sudah tidak bisa hidup bersama, yah di-fangsheng saja itu 'kucing', daripada setiap hari bikin heboh dan dampaknya akan buruk bagi 4 anaknya itu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 09 June 2011, 04:46:10 PM
oh.. disni tempat tanya2 y?

saya mau tanya apakah dlm ajaran Buddha Bumi itu bernyawa?

trmksh.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 June 2011, 05:04:52 PM
oh.. disni tempat tanya2 y?

saya mau tanya apakah dlm ajaran Buddha Bumi itu bernyawa?

trmksh.  :)
Bukan hanya tanya-jawab, mengobrol biasa juga tidak masalah. Tapi kalau di sini, kebanyakan saya saja yang respon (karena ini jurnal pribadi), walaupun kadang banyak juga yang ikutan diskusi di sini. 

Dalam Ajaran Buddha, yang disebut makhluk hidup (secara umum) adalah yang memiliki bathin & jasmani. Bathin terdiri dari 4 unsur: kesadaran, pencerapan, perasaan, ingatan.

Bumi tidak memiliki bathin, maka tidak dikatakan hidup.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 09 June 2011, 07:37:11 PM
Mungki maksudnya dewa bumi kali...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 09 June 2011, 08:20:05 PM
Tapi dicerita2 kok ada bumi yang menganga dan menelan orang. Kalau gak salah cerita soal Devadatta dan Cinca yang ditelan bumi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 June 2011, 09:16:03 AM
Mungki maksudnya dewa bumi kali...
Menurut saya sepertinya Dewa Bumi adalah dewa yang tinggal dan masih mengurusi tentang bumi. Dewa Bumi juga bukan cuma satu, tapi banyak. Jadi mungkin kira-kira sama saja seperti manusia yang peduli dengan bumi, tapi buminya sendiri tidak hidup. Kalau bumi seperti bisa marah dan 'memberikan' bencana, sebetulnya hanyalah interaksi hukum alam, baik secara alami, ataupun akibat perbuatan manusia.


Tapi dicerita2 kok ada bumi yang menganga dan menelan orang. Kalau gak salah cerita soal Devadatta dan Cinca yang ditelan bumi.
Di Milinda Panha dikatakan selain Devadatta dan Cinca, ada juga Suppabuddha (ayah Devadatta yang menghalangi pindapata Buddha), Nanda (Brahmana yang memperkosa Aggasavika Upalavanna), dan Yakkha Nandaka (yang memukul kepala Sariputta), juga ditelan bumi.

Saya tidak jelas juga prosesnya bagaimana. Kalau menurut dhamma, bukan buminya hidup, tapi karena kekuatan kamma yang begitu berat, maka bumi dikatakan terbuka dan menelan mereka.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 10 June 2011, 01:08:23 PM
hehe, ga apa2.. asal msh dijawab dan jgn di musuhin, saya udh seneng.. :)

Hm.. apa berarti kl kaya sekarang Bumi gundul (yg bs jd bikin manusia krg oksigen) krn karma manusia?

nanti, kl manusia baiknya ikut kena dampak tsb gmn?

menurut penelitian, kan bumi X thn lg bkl musnah... (tp ya msh misteri sih)

kl bener, bgmn dg lingkaran samsara nya?

Trmksh.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 June 2011, 01:51:06 PM
hehe, ga apa2.. asal msh dijawab dan jgn di musuhin, saya udh seneng.. :)
Tenang saja, saya cuma alergi pada orang-orang "suci" dan/atau "pintar" tapi tidak bisa memberikan manfaat bagi orang lain.

Quote
Hm.. apa berarti kl kaya sekarang Bumi gundul (yg bs jd bikin manusia krg oksigen) krn karma manusia?

nanti, kl manusia baiknya ikut kena dampak tsb gmn?
Memang ada akibat yang mempengaruhi banyak manusia atau bahkan secara global. Meski begitu, tetap akibat bagi setiap orang berbeda. Misalnya Jakarta sering banjir, tapi antara sesama warga Jakarta saja berbeda nasibnya. Ada daerah yang memang datarannya tinggi, jadi tidak banjir. Di antara sesama warga di dataran rendah, juga ada yang rumahnya lebih tinggi, jadi secara teknis, rumahnya tidak banjir, walaupun jalanannya banjir.
Bahkan terhadap sesama orang yang kebanjiran, ada yang menjadi stress, ada yang malah main banjir sambil ketawa-ketawa.

Jadi di sini memang efeknya massal, tapi tetap bagaimana hal tersebut berpengaruh pada setiap orang, tetap berbeda, yang kalau menurut Ajaran Buddha, adalah pengaruh kamma masing-masing.


Spoiler: ShowHide
Seseorang menanam kamma lewat niat yang terwujud melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan badan. Buah/akibat kamma terwujud di perasaan. Kamma baik berbuah perasaan menyenangkan, kamma buruk berbuah perasaan menderita.



Quote
menurut penelitian, kan bumi X thn lg bkl musnah... (tp ya msh misteri sih)

kl bener, bgmn dg lingkaran samsara nya?

Trmksh.  :)
Kalau dalam Ajaran Buddha, alam manusia tidak hanya ada di bumi ini saja. Di alam semesta yang tidak terukur ini, terdapat jumlah tata surya yang tidak terhingga banyaknya, masing-masing juga dengan alam manusia dan dewanya. Jadi bisa saja ketika misalnya matahari 'meledak' dan tata surya ini hancur, maka makhluk di bumi sini terlahir di tata surya lain, yang sesuai dengan kammanya. Selain terlahir di alam manusia, tentu juga bisa terlahir di alam lain, karena kalau bumi hancur, belum tentu alam sorga juga ikut hancur.

Kemudian walaupun hancur, bukan berarti akhir dari segalanya, sebab kehancuran dan pembentukan hanyalah bagian dari siklus. Setelah waktu yang sangat-sangat lama, maka galaksi akan terbentuk lagi, dan dimulai lagi siklusnya. Tentu jangan dibandingkan dengan paham creationisme di mana bumi tercipta dalam 6 hari dan sudah berjalan 6000 tahun sekarang, hitungan siklus Buddhis (yang juga berakar dari perhitungan Hindu), sejak dimulainya kehidupan sampai kehancuran, lamanya sekitar 8.64 Milyar tahun manusia.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 10 June 2011, 03:00:27 PM
mudah2 an yg 'suci' dan 'pintar' itu bkn saya..  ;)

oh, jd dldm buddha mempercayai adanya galaksi lain dng kehidupannya msg2 y?
apa ini termasuk mempercayai adanya alien? (mahluk asing dg berbagai wujudnya)

nah, kl mendapat 'pencerahan' itu berarti sdh mjd Buddha kah? kl sdh mjd Buddha di bumi ini, apa mjd Buddha jg di bumi lain?

trmksh.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 June 2011, 03:37:01 PM
mudah2 an yg 'suci' dan 'pintar' itu bkn saya..  ;)

oh, jd dldm buddha mempercayai adanya galaksi lain dng kehidupannya msg2 y?
apa ini termasuk mempercayai adanya alien? (mahluk asing dg berbagai wujudnya)

nah, kl mendapat 'pencerahan' itu berarti sdh mjd Buddha kah? kl sdh mjd Buddha di bumi ini, apa mjd Buddha jg di bumi lain?

trmksh.  :)
Iya, Buddhisme percaya adanya kehidupan di luar bumi, tapi tidak dijelaskan apakah bentuk/modelnya mirip di sini atau bagaimana.

Pencerahan itu bukan 'didapat' (karena memang bukan seperti prinsip wahyu), tapi 'dicapai' (karena diusahakan oleh diri sendiri).
Dalam Buddhisme, pencerahan adalah memahami dhamma yang mutlak, yaitu mengenai dukkha dan akhir dari dukkha. Dhamma ini berlaku di mana saja di semua alam. Maka ketika dikatakan mencapai pencerahan, tidak akan terlahir lagi di alam manapun, galaksi manapun juga.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 10 June 2011, 03:41:07 PM
oh.. bgt.. Thx bgt..

hm, 1 lg.. apa bedanya Hindu dan Buddha?

mengapa ada peleburan spt Hindu Dharma ? bs kah hal ini terjadi sebaliknya? (mis. Buddha-Hindu)

Tmksh.  :)

NB: Anjati itu apa y?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 June 2011, 04:02:59 PM
oh.. bgt.. Thx bgt..

hm, 1 lg.. apa bedanya Hindu dan Buddha?

mengapa ada peleburan spt Hindu Dharma ? bs kah hal ini terjadi sebaliknya? (mis. Buddha-Hindu)

Tmksh.  :)

NB: Anjati itu apa y?
Definisi Hindu itu terlalu luas karena menyangkut cara hidup yang sangat luas. Tapi kalau Hindu secara umum, berbeda dengan Buddhisme itu misalnya dalam hal "atman/atta" di mana dalam Hinduisme dipahami ada satu substansi yang ketika mencapai moksha (pencerahan versi Hindu), maka akan bergabung dengan Maha-atman. Karena dikenal 'atman', maka teori kelahiran kembalinya juga berbeda. Dalam Hinduisme dikenal sebagai reinkarnasi yang kalau diibaratkan seperti mutiara yang terbungkus 'kulit' yang berbeda. Di satu inkarnasi seseorang bisa berbeda dengan inkarnasi lain, tapi memiliki inti yang tetap sama. Kalau dalam Buddhisme, tidak ada 'mutiara' tersebut, semua hanyalah kumpulan yang berproses. Hal lain yang cukup berbeda adalah Buddhisme menolak sistem kasta. Buddha memang membagi 4 kelompok (kasta) perumahtangga, tapi tidak menganggap satu kelompok lebih mulia. Buddha mengatakan seseorang lebih mulia karena moralitas dan kebijaksanaannya, bukan karena kelahiran atau status di masyarakat.

Untuk meditasi ketenangan (samatha) dan moralitas secara umum, Hinduisme dan Buddhisme sangat mirip karena memang Buddhisme muncul di antara masyarakat Hinduisme.

"Anjati" saya tidak tahu. Barangkali Anjali (merangkapkan tangan di dada sebagai tanda penghormatan seperti:  _/\_ )?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 10 June 2011, 04:49:04 PM
oh.. TQ2.. wah, mkn tau lbh dlm nih... ;D

tp, saya krg paham ttg 'mutiara yg dibungkus' bisa kasih contohnya seperti apa?

trmksh.  _/\_ (Anjali y? ^^)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 June 2011, 05:18:31 PM
oh.. TQ2.. wah, mkn tau lbh dlm nih... ;D

tp, saya krg paham ttg 'mutiara yg dibungkus' bisa kasih contohnya seperti apa?

trmksh.  _/\_ (Anjali y? ^^)
Kalau saya menggambarkan, atman itu seperti batu baterai. Batu baterai bisa masuk ke senter, maka senter itu menyala; bisa juga dimasukkan ke bel, maka bel itu berbunyi. Senter menyala dan bel berbunyi itu seperti hidup dalam satu inkarnasi. Berbeda bentuk, namun tetap 'baterai' yang sama yang berpindah ke kehidupan lain.

Kalau dalam Buddhisme, kelahiran kembali itu seperti padi yang menjadi beras, beras jadi nasi, nasi jadi bubur, dst. Padi berproses menjadi beras, maka tidak ada bagian dari beras yang bisa disebut sebagai padi. Begitu pula nasi berasal dari beras, tapi ketika telah menjadi nasi, tidak ada bagian yang bisa disebut sebagai beras. Tidak ada suatu inti yang tetap.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 11 June 2011, 10:12:41 AM
Tanya om,bagaimana cara mengenalkan/mengajarkan buddhism kepada mereka yg kurang berpendidikan/pas2an pendidikannya?

Thank sebelumnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 11 June 2011, 10:54:49 AM
Thx. Kainyn_kutho..

sebenernya msh banyak list bingungnya di otak.. tp saya takut malahan jd kesel.. Hehehe...

jd yg ini aja deh.. msh nyambung sm yg kmrn... kl bedanya sama Buddha dg Kong hu chu juga Taoisme apa? koq, tmn saya yg Biddhsit, ada yg ikut imlek an jg?


Trmksh.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 June 2011, 11:29:53 AM
Tanya om,bagaimana cara mengenalkan/mengajarkan buddhism kepada mereka yg kurang berpendidikan/pas2an pendidikannya?

Thank sebelumnya
Bodoh dalam hal intelektual bukan berarti bodoh dalam pemahaman. Kalau untuk yang bodoh dalam pemahaman (seperti keras kepala, 'cangkir penuh'), maka menurut saya itu tidak bisa dijangkau dengan orang biasa.

Kalau hanya masalah kurang pendidikan, itu tidak masalah. Tidak semua orang sekolah, tidak semua orang kerja, tidak semua orang menikah, dsb, namun setiap orang pasti menjalani hidup, mengalami apa yang membuatnya bahagia dan sedih. Pengenalan dhamma bisa dimulai dari sudut pandangnya dalam menjalankan hidup tersebut, seputar apa yang ia pahami. Jangan berikan istilah-istilah sulit/membingungkan, tapi bahaslah dengan bahasa apa adanya yang dimengerti. Menurut saya, selama orang itu tidak bodoh pemahaman atau bodoh spiritual, hanya bodoh secara intektual tidak terlalu menyulitkan.

Menurut saya juga, walaupun orangnya sesuai, tapi tidak selalu waktunya sesuai untuk mengenalkan dhamma. Kalau orang tidak dalam kondisi siap menerima, maka yang terjadi adalah penolakan. Yang bisa kita lakukan adalah sebatas mengembangkan ketertarikannya akan dhamma. Jika tertarik, maka dengan sendirinya ia akan menyelidiki. Dengan cara begini, orang tidak akan merasa 'terindoktrinasi'.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 June 2011, 11:47:49 AM
Thx. Kainyn_kutho..

sebenernya msh banyak list bingungnya di otak.. tp saya takut malahan jd kesel.. Hehehe...
Sama-sama.
Kalau masih bingung, tanya saja terus, jadi saya juga belajar memahami pertanyaan orang lain.


Quote
jd yg ini aja deh.. msh nyambung sm yg kmrn... kl bedanya sama Buddha dg Kong hu chu juga Taoisme apa? koq, tmn saya yg Biddhsit, ada yg ikut imlek an jg?
Saya juga kurang tahu (=sudah banyak lupa) tentang Kong Hu Cu & Taoisme. Kalau Kong Hu Cu, fokusnya adalah kemanusiaan, bagaimana seseorang menjadi manusia yang baik, berguna bagi keluarga dan negara. Nilai-nilai yang diajarkan juga universal seperti seseorang harus menjunjung tinggi kebenaran, punya integritas, dan lain-lain. Jadi selain dari ritual (yang adalah pengaruh budaya setempat), nilai-nilainya seharusnya bisa diterima oleh siapapun (yang menjunjung tinggi kebaikan juga, tentunya), termasuk Buddhis.

Taoisme seingat saya ada menyinggung tentang macro-cosmos (keseimbangan semesta secara keseluruhan) dan micro-cosmos (manusia). Taoisme juga mengutamakan 3 hal yang menurut saya sangat sejalan dengan Buddhisme: belas kasih, moderasi (sifat tidak berlebihan/ekstrem), dan kerendahan hati. Tujuan dari Taoisme itu memahami keseimbangan semesta itu lewat pemahaman akan dirinya, dengan begitu maka kita menjadi bagian dari "Tao" itu sendiri.



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 11 June 2011, 11:55:22 AM
[at] Kainyn_Kutho

Penjelasan "kenapa teman saya yang Biddhsit ikut Imlekan juga" belum nih. :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 June 2011, 12:00:24 PM
[at] Kainyn_Kutho

Penjelasan "kenapa teman saya yang Biddhsit ikut Imlekan juga" belum nih. :D
Thanks sudah diingatkan.

Quote
koq, tmn saya yg Biddhsit, ada yg ikut imlek an jg?
Imlek itu bukan ritual dan tidak ada hubungannya dengan agama/kepercayaan, tapi perayaan dimulainya musim semi, saat orang mulai bertanam. Perayaan ini adalah tradisi setempat, dan sama sekali tidak bertentangan dengan Ajaran Buddha, maka tidaklah heran seorang Buddhist merayakan imlek.



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 11 June 2011, 07:56:31 PM
*pertanyaan tambahan,
pikiran tidak bisa diandalkan(karena sering mengelabui),perasaan/vedana tidak bisa diandalkan(karena sering "mendramatisir" kondisi)..
Pertanyaannya,lalu apa yg diandalkan??
?citta-kah??
Citta
Quote
↑ Citta : lebih kurang sinonim dengan mano ‘pikiran’, tetapi lebih sering digunakan seperti ‘hati’ dalam bahasa Indonesia (mengetahui isi hati seseorang, dan sebagainya)
apakah citta bisa digolongkan ke vedana? Atau ke bentuk2 pikiran?

2. Om pernah menyinggung mengenai koan zen mengenai bendera dan pikiran yg bergerak,dan menyindir dgn bertanya "jika tidak ada yg menderita lalu siapa yg tercerahkan??"cmiiw
Mohon jelaskan lg..


**btw,harap yg ber ID upasaka dan lainnya juga ikut memberikan pandangannya [todong mode on] ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 12 June 2011, 03:47:37 PM
Quote from: Mr.Jhonz
*pertanyaan tambahan,
pikiran tidak bisa diandalkan(karena sering mengelabui),perasaan/vedana tidak bisa diandalkan(karena sering "mendramatisir" kondisi)..
Pertanyaannya,lalu apa yg diandalkan??
?citta-kah??

Pikiran (akal sehat / logika) dan perasaan tidak bisa dipercaya begitu saja; bukan tidak bisa diandalkan. Kita perlu menggunakan keduanya. Dan Karena pikiran dan perasaan sangat subjektif, kita perlu menguji mereka dari berbagai sisi untuk lebih memastikan keobjektifannya.


Quote from: Mr.Jhonz
Citta
apakah citta bisa digolongkan ke vedana? Atau ke bentuk2 pikiran?

Perasaan dan bentukan-bentukan kehendak adalah bagian dari pikiran.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 June 2011, 12:02:27 PM
*pertanyaan tambahan,
pikiran tidak bisa diandalkan(karena sering mengelabui),perasaan/vedana tidak bisa diandalkan(karena sering "mendramatisir" kondisi)..
Pertanyaannya,lalu apa yg diandalkan??
?citta-kah??
Pikiran yang mengelabui adalah pikiran yang tidak terkendali, yang dikuasai oleh noda-noda. Jadi bukan kita tidak mengandalkan pikiran, tapi mengandalkan pikiran yang terkendali, yang tidak dikelabui oleh noda-noda pikiran. Perasaan pikiran juga muncul dari kontak pikiran dengan objek pikiran. Bagaimana objek pikiran ini muncul juga tergantung pada pikiran (terkendali atau tidak).

Misalnya kita mendengar musik, ada kontak antara telinga dan suara, dan menimbulkan perasaan telinga. Perasaan tersebut berhubungan lagi dengan pikiran yang memunculkan bentuk pikiran dan dipersepsi lagi. Prosesnya sangat cepat, bahkan tidak disadari. Misalnya ketika mendengar musik, orang bisa berjingkrakan, bergoyang, atau menangis. Ia tidak hanya sedang mendengar musik, tapi sedang terbawa oleh objek pikiran yang muncul ketika musik terdengar telinga.

Bagi seorang yang pikirannya terkendali, objek pikiran yang menipu tidaklah muncul, ataupun ketika muncul, ia sadari, maka ia tidak terbawa lebih jauh lagi dan terbuai dalam permainan pikiran & perasaan tersebut. Begitu juga dengan objek lainnya (mata, hidung, dsb), ketika pikiran terkendali, tidak cenderung pada kemelekatan, kebencian, dan kebodohan bathin, maka pikiran tersebut bisa diandalkan.

Quote
Citta
Quote
↑ Citta : lebih kurang sinonim dengan mano ‘pikiran’, tetapi lebih sering digunakan seperti ‘hati’ dalam bahasa Indonesia (mengetahui isi hati seseorang, dan sebagainya)
apakah citta bisa digolongkan ke vedana? Atau ke bentuk2 pikiran?
Citta bukan vedana, tapi proses jalannya persepsi tersebut. Untuk lebih jelasnya, bisa dibaca dalam (Maha-)Satipatthana Sutta (DN 22 atau MN 10) bagian perenungan perasaan (vedanupassana) & pikiran (cittanupassana).

Quote
2. Om pernah menyinggung mengenai koan zen mengenai bendera dan pikiran yg bergerak,dan menyindir dgn bertanya "jika tidak ada yg menderita lalu siapa yg tercerahkan??"cmiiw
Mohon jelaskan lg..
Saya tidak ingat pernah bilang tentang itu, ada referensinya? Yang saya ingat adalah menyindir pemakaiannya yang salah, yaitu tentang pikiran bergerak & mengatakan salah, maka berarti salah; kalau pikiran bergerak & mengatakan benar, berarti benar. Jadi sebetulnya tidak ada yang benar & salah, semua hanyalah pikiran yang bergerak.
Pandangan lucu ini saya sindir dengan mengatakan tentang meditasi di tengah rel kereta. Kereta bukan bergerak atau tidak bergerak, semua hanyalah pikiran yang bergerak. Nanti kalau meditasi dan pikiran berhenti, saya mau lihat keretanya berhenti atau tidak.

Kalau soal tidak ada yang menderita, mungkin maksudnya dari 'anatta' jadi tidak ada makhluk/diri? Berarti sama saja tidak ada perbuatan jahat, tidak ada yang berbuat jahat. Sebaliknya juga tidak ada perbuatan baik, tidak ada yang berbuat baik. Jadi sama juga tidak ada yang menderita, tidak ada yang mengalami akhir dari penderitaan (=mencapai pencerahan). Sama saja antara penjahat dan Buddha.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 13 June 2011, 03:56:20 PM
seputar pikiran jg... kita kenal dg Hipnotis-hipnoterapi, pandangan Buddha pada fenomena ini bagaimana?  :)

Trmksh.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 June 2011, 04:18:26 PM
seputar pikiran jg... kita kenal dg Hipnotis-hipnoterapi, pandangan Buddha pada fenomena ini bagaimana?  :)

Trmksh.
Kalau pandangan Buddha sendiri saya tidak tahu karena belum pernah baca sutta tentang itu. Saya juga tidak mendalami Abhidhamma, jadi tidak bisa membahas secara detail tentang klasifikasi pikiran.

Secara umum, keadaan terhipnotis hanyalah sebuah kondisi kesadaran yang berbeda. Hipnotis juga bukan pasti benar, seperti yang dipercaya orang pada umumnya. Bahkan orang dalam keadaan terhipnotis pun masih bisa dipengaruhi untuk 'mengingat' apa yang sebetulnya terjadi. Inilah sebabnya badan intelijen juga tidak bisa menghipnotis mata-mata untuk mengaku. Jadi kalau menurut saya, itu hanyalah sebuah kondisi kesadaran yang berbeda dengan saat kita beraktifitas biasa. Sama 'wajar'-nya dengan kondisi pikiran lain seperti dalam mimpi atau dalam kondisi mabuk/fly.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 13 June 2011, 04:52:56 PM
Maaf tanya2 ya om Kainyn ;D
kalau cahaya yang semakin menyilaukan saat meditasi itu apaan ya? ;D. Soalnya uda 2 hari cahaya silau itu muncul dalam meditasi saya. Karena pertamanya tidak silau jadi saya masih bisa memusatkan pikiran pada keluar masuk napas. Tapi lama2 makin silau, dan karena terlalu silau (padahal tutup mata dan dikamar juga gak ada lampu) jadi saya hentikan meditasi saya ;D. Maaf kalo ada salah kata ya om. Terima kasih ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 June 2011, 05:27:08 PM
Maaf tanya2 ya om Kainyn ;D
kalau cahaya yang semakin menyilaukan saat meditasi itu apaan ya? ;D. Soalnya uda 2 hari cahaya silau itu muncul dalam meditasi saya. Karena pertamanya tidak silau jadi saya masih bisa memusatkan pikiran pada keluar masuk napas. Tapi lama2 makin silau, dan karena terlalu silau (padahal tutup mata dan dikamar juga gak ada lampu) jadi saya hentikan meditasi saya ;D. Maaf kalo ada salah kata ya om. Terima kasih ;D.
Wah, saya bukan ahli meditasi, jadi sebetulnya kurang tepat juga kalau tanya ke saya.
Tapi setahu saya, cahaya seperti itu biasa disebut nimmita yang memang umum muncul. Kalau cahaya tersebut muncul, cukup disadari, tapi jangan mengalihkan konsentrasi dari objek meditasi (walaupun memang meditasinya dengan objek cahaya). Kalau saya sendiri, ketika saya sadari dan perhatian saya kembalikan ke objek, maka 'cahaya' tersebut akan berangsur hilang. Seandainya tidak hilang pun tidak lagi saya hiraukan. Dengan cara itu juga saya mengabaikan suara yang bising pada waktu meditasi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 13 June 2011, 06:45:59 PM
Oh, gitu ya om. Terima kasih atas jawabannya ya om Kainyn ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 18 June 2011, 12:57:50 PM
om,mau tanya soal sosial-politik..
samakah kualitas produk elektronik yg bermerk SERUPA tapi beda negara pembuatannya?
Contoh, ac tosibha made china,dan ac tosibha made jepang..
*fenomena di masyarakat baik sales elektronik,teknisi,maupun pedagang selalu pesimistis terhadap produk buatan negara berkembang(china,indonesia) padahal merknya merk jepang/eropa

Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 June 2011, 02:16:35 PM
om,mau tanya soal sosial-politik..
samakah kualitas produk elektronik yg bermerk SERUPA tapi beda negara pembuatannya?
Contoh, ac tosibha made china,dan ac tosibha made jepang..
*fenomena di masyarakat baik sales elektronik,teknisi,maupun pedagang selalu pesimistis terhadap produk buatan negara berkembang(china,indonesia) padahal merknya merk jepang/eropa

Thank
Setahu saya, kalau produsen yang terkenal biasanya menjaga kualitas karena tidak mau merusak nama baiknya. Walaupun misalnya dirakit di negara yang tenaga kerjanya lebih murah, tapi mereka tetap punya Quality Control yang ketat, harus sesuai standard mereka.

Stigma barang buatan China di sini juga sebagian besar karena permainan dagang kurang sehat di mana pihak tertentu sengaja memasukkan barang 'rongsokan' dari China untuk didistribusikan di sini, sehingga timbul stigma di masyarakat bahwa barang China (seperti Motor China) adalah barang jelek. Dengan begitu, produsen lama (non-China) bisa bertahan tidak langsung tergerus habis.

Kita gunakan akal sehat saja. Indonesia juga mengekspor barang ke negara-negara maju, tapi hanya barang-barang kualitas terbaik yang bisa masuk ke sana. Kalau memang barang China jelek, maka tidak mungkin negara-negara barat kebanjiran produk China dan khawatir dominasi pasarnya akan bergeser. Untuk apa khawatir tersaingi barang rongsokan? Yang dikhawatirkan adalah tersaingi produksi yang lebih besar, lebih murah, tapi kualitas sama, atau paling tidak, mendekati sama.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 18 June 2011, 08:45:49 PM
Sebenarnya yg sy kesalkan disini,sebagian masyarakat indonesia yg malah ketakutan memakai produk buatannya negerinya sendiri(walaupun punya licency dr merk terkenal)

Thank jawabanya om :)
Related Topics
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 18 June 2011, 11:29:58 PM
Setahu saya, kalau produsen yang terkenal biasanya menjaga kualitas karena tidak mau merusak nama baiknya. Walaupun misalnya dirakit di negara yang tenaga kerjanya lebih murah, tapi mereka tetap punya Quality Control yang ketat, harus sesuai standard mereka.

Stigma barang buatan China di sini juga sebagian besar karena permainan dagang kurang sehat di mana pihak tertentu sengaja memasukkan barang 'rongsokan' dari China untuk didistribusikan di sini, sehingga timbul stigma di masyarakat bahwa barang China (seperti Motor China) adalah barang jelek. Dengan begitu, produsen lama (non-China) bisa bertahan tidak langsung tergerus habis.

Kita gunakan akal sehat saja. Indonesia juga mengekspor barang ke negara-negara maju, tapi hanya barang-barang kualitas terbaik yang bisa masuk ke sana. Kalau memang barang China jelek, maka tidak mungkin negara-negara barat kebanjiran produk China dan khawatir dominasi pasarnya akan bergeser. Untuk apa khawatir tersaingi barang rongsokan? Yang dikhawatirkan adalah tersaingi produksi yang lebih besar, lebih murah, tapi kualitas sama, atau paling tidak, mendekati sama.

Sekadar menambahkan opini Bro Kainyn...

China adalah negara produsen dan eksportir handal. China bisa memproduksi barang segala macam kualitas. Prinsip mereka adalah menjual barang sesuai dengan kualitas. Kebanyakan importir meminta barang kualitas bagus dengan harga murah. Semua orang pasti mau seperti itu, bukan? Nah, China memakai teknik dagang para leluhur mereka:

"berikan barang sesuai dengan kemampuan pembeli untuk membayar".

Jika pembeli (importir) mau bayar dengan harga murah, sudah tentu China akan mengekspor produk kualitas jelek ke negara importir. Tentu saja eksportir dari China tidak akan bilang to the point seperti: "eh owe kasih barang jelek yah, soalnya loe mei you qian la...". ^-^

Jadi tolong jangan lagi mencap bahwa produk-produk "Made in China" pasti barang kualitas jelek dan murah. China punya banyak produk berkualitas dunia dan harganya tentu tidak murah.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: wang ai lie on 19 June 2011, 12:27:43 AM
Sekadar menambahkan opini Bro Kainyn...

China adalah negara produsen dan eksportir handal. China bisa memproduksi barang segala macam kualitas. Prinsip mereka adalah menjual barang sesuai dengan kualitas. Kebanyakan importir meminta barang kualitas bagus dengan harga murah. Semua orang pasti mau seperti itu, bukan? Nah, China memakai teknik dagang para leluhur mereka:

"berikan barang sesuai dengan kemampuan pembeli untuk membayar".

Jika pembeli (importir) mau bayar dengan harga murah, sudah tentu China akan mengekspor produk kualitas jelek ke negara importir. Tentu saja eksportir dari China tidak akan bilang to the point seperti: "eh owe kasih barang jelek yah, soalnya loe mei you qian la...". ^-^

Jadi tolong jangan lagi mencap bahwa produk-produk "Made in China" pasti barang kualitas jelek dan murah. China punya banyak produk berkualitas dunia dan harganya tentu tidak murah.

apakah dalam artian , produk yang di buat adalah hasil permintaan dari pemesan itu sendiri. dengan menyesuaikan kekuatan keuangan dari perusahaan itu?

kalau hal ini saya setuju, karena kebanyakan penjual/pembuat mengikuti selera pemesan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 19 June 2011, 12:49:16 AM
apakah dalam artian , produk yang di buat adalah hasil permintaan dari pemesan itu sendiri. dengan menyesuaikan kekuatan keuangan dari perusahaan itu?

kalau hal ini saya setuju, karena kebanyakan penjual/pembuat mengikuti selera pemesan

Ada yang mengikuti selera pesanan pembeli. Ada juga yang memang menjual "barang murah" karena untuk menyesuaikan anggaran belanja sang pembeli.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: wang ai lie on 19 June 2011, 01:40:36 AM
Ada yang mengikuti selera pesanan pembeli. Ada juga yang memang menjual "barang murah" karena untuk menyesuaikan anggaran belanja sang pembeli.
setuju bro  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 June 2011, 08:57:42 AM
Sekadar menambahkan opini Bro Kainyn...

China adalah negara produsen dan eksportir handal. China bisa memproduksi barang segala macam kualitas. Prinsip mereka adalah menjual barang sesuai dengan kualitas. Kebanyakan importir meminta barang kualitas bagus dengan harga murah. Semua orang pasti mau seperti itu, bukan? Nah, China memakai teknik dagang para leluhur mereka:

"berikan barang sesuai dengan kemampuan pembeli untuk membayar".

Jika pembeli (importir) mau bayar dengan harga murah, sudah tentu China akan mengekspor produk kualitas jelek ke negara importir. Tentu saja eksportir dari China tidak akan bilang to the point seperti: "eh owe kasih barang jelek yah, soalnya loe mei you qian la...". ^-^

Jadi tolong jangan lagi mencap bahwa produk-produk "Made in China" pasti barang kualitas jelek dan murah. China punya banyak produk berkualitas dunia dan harganya tentu tidak murah.
Iya, saya dengar mereka memang membuat produk sesuai pesanan, sesuai harga. Produk sepintas mirip, tapi kualitas bahan dan pembuatan beda2 tergantung 'budget' pemesan. Jadi pesen kualitas "top" dilayani, pesen kualitas "sampah" juga dilayani. Begitu juga mereka eksport berdasarkan demand sesuai standard masing-masing negara. Berhubung Quality Control di Indonesia ini sangat "mengagumkan", maka barang jelek buatan China di sini juga sangat umum ditemui.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Nevada on 20 June 2011, 10:21:51 AM
Iya, saya dengar mereka memang membuat produk sesuai pesanan, sesuai harga. Produk sepintas mirip, tapi kualitas bahan dan pembuatan beda2 tergantung 'budget' pemesan. Jadi pesen kualitas "top" dilayani, pesen kualitas "sampah" juga dilayani. Begitu juga mereka eksport berdasarkan demand sesuai standard masing-masing negara. Berhubung Quality Control di Indonesia ini sangat "mengagumkan", maka barang jelek buatan China di sini juga sangat umum ditemui.

Evam me suttam.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 28 June 2011, 12:04:09 PM
Bro kayin, saya coba baca2 tentang Buddha, sejarahnya.. ada yang dr kemaren ingin saya tanyakan tentang "5 sammasam Buddha"

1. Apakah ajaran masing2 Buddha pasti sama?
2. lalu, mengapa saya menemukan kalimat "Ajaran Buddha Gotama sdh kadaluarsa krn era Buddha Mateya dst.."?
3. mengapa Ajaran Buddha bisa memudar? apakah ini membuktikan sesuatu yg baik itu tdk memiliki kekekalan?
4. Jika Buddha Mateya lahir dengan ajaran yg dibawanya.. apakah manusia masih bisa mengenali bahwa itu adalah ajaran Buddha? apa ciri2nya?
5. Bagaimana Proses seorang Sammasam Buddha? mengapa Buddha Gotama jg mengalami reinkarnasi?
(poin ini sy benar2 tdk mengerti jd kl memang panjang penjelasan nya boleh dikasih linknya aja ^^)
6. Apakah pada saat lahirnya Buddha Gotama pada masa lalu itu.. ajaran Buddha sebelumnya sudah terlupakan?
7. Mengapa hanya ada 5 sammasam Buddha? apakah mahluk lain tdk ada yg berkompeten?
8. Apakah sammasam Buddha mengetahui segala-galanya? (seperti konsep keTuhanan)

Trmksh. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 June 2011, 02:06:09 PM
Bro kayin, saya coba baca2 tentang Buddha, sejarahnya.. ada yang dr kemaren ingin saya tanyakan tentang "5 sammasam Buddha"

1. Apakah ajaran masing2 Buddha pasti sama?
Menurut Tradisi Theravada, semua ajaran Buddha adalah sama persis, yaitu tentang 4 Kebenaran Mulia.


Quote
2. lalu, mengapa saya menemukan kalimat "Ajaran Buddha Gotama sdh kadaluarsa krn era Buddha Mateya dst.."?
Sebab ada orang kurang beruntung yang menganut ajaran yang lapuk oleh waktu dan terus mencari 'kebenaran' yang baru.

Dalam Ajaran Buddha Tradisi Theravada diajarkan dhamma selalu berlaku apakah seorang Buddha muncul atau tidak. Itu sebabnya walaupun tidak muncul Samma Sambuddha, seseorang tetap bisa memahami dan menembus kebenaran dukkha & lenyapnya dukkha, dan disebut Pacceka Buddha.


Quote
3. mengapa Ajaran Buddha bisa memudar? apakah ini membuktikan sesuatu yg baik itu tdk memiliki kekekalan?
Buddha sasana adalah berkondisi; muncul ketika seorang Samma Sambuddha ada dan memutar roda dhamma, tenggelam ketika orang tidak lagi menjalankan hidup sesuai dhamma-vinaya, dan memilih hidup sesuai nafsu dan egonya saja. Betul, ini pun membuktikan bahwa semua fenomena berkondisi adalah tidak kekal.


Quote
4. Jika Buddha Mateya lahir dengan ajaran yg dibawanya.. apakah manusia masih bisa mengenali bahwa itu adalah ajaran Buddha? apa ciri2nya?
Kalau dari Tradisi Theravada, seorang Samma Sambuddha muncul hanya pada masa tidak ada Buddha-sasana, ketika semua Ajaran Buddha (terdahulu) sudah dilupakan secara total. Jadi sekarang ini, tidaklah mungkin Bodhisatta Metteyya muncul.

Spoiler: ShowHide
Menurut Cakkavatisihanadasutta, seiring merosotnya moralitas, umur manusia akan terus menurun (waktu jaman Buddha Gotama umur rata-rata manusia adalah 100 tahun), sampai pada umur rata-rata 10 tahun di mana umur 5 tahun manusia sudah dikawinkan. Setelah mencapai titik terendah tersebut, manusia mulai mengembangkan moralitas lagi dan umur mereka terus bertambah. Ketika umur rata-rata manusia 80.000 tahun, maka saat itulah Bodhisatta Metteyya akan lahir, mencapai pencerahan sempurna dan memutar roda dhamma sebagai Buddha terakhir di Kappa Bhadda (kappa sangat beruntung di mana 5 Buddha muncul) ini.



Quote
5. Bagaimana Proses seorang Sammasam Buddha? mengapa Buddha Gotama jg mengalami reinkarnasi?
(poin ini sy benar2 tdk mengerti jd kl memang panjang penjelasan nya boleh dikasih linknya aja ^^)
Proses seorang Samma Sambuddha ini maksudnya proses apa?
Semua yang telah mencapai kesucian Arahat, tidak lagi mengalami proses tumimbal lahir. Mereka tidak lagi terlahir di alam mana pun, tidak lagi terbelenggu dukkha. Mereka dikatakan telah 'mencapai nibbana'.


Quote
6. Apakah pada saat lahirnya Buddha Gotama pada masa lalu itu.. ajaran Buddha sebelumnya sudah terlupakan?
Betul, Ajaran dari Samma Sambuddha sebelumnya (Buddha Kassapa), sudah lama terlupakan sama sekali. Tidak ada Buddha-dhamma yang 'beredar' saat itu.


Quote
7. Mengapa hanya ada 5 sammasam Buddha? apakah mahluk lain tdk ada yg berkompeten?
Samma Sambuddha jumlahnya TIDAK TERHINGGA, karena selain Buddhisme mempercayai kehidupan bukan hanya di galaksi ini, waktu yang telah berlalu juga adalah tidak terhingga, sehingga kalau mau ditelusuri Buddha yang pernah ada di galaksi ini saja, tetap jumlahnya tak berhingga.

Dalam Tradisi Theravada, kebanyakan dibahas sebanyak 24 Samma Sambuddha karena itu adalah masa antara Petapa Sumedha (yang akan jadi Buddha Gotama), menerima ramalan pasti dari Samma Sambuddha Dipankhara, dan menyempurnakan 10 Parami. 

Menjadi seorang Samma Sambuddha bukanlah eksklusif milik orang tertentu. Anda atau saya, atau siapapun di sini bisa saja bertekad dan menempuh perjuangan tersebut untuk menjadi seorang Samma Sambuddha di masa depan. Sekitar 20 Asankhyeyya Kappa lalu, "Buddha Gotama" hanyalah seorang miskin biasa yang mencari penghidupan dengan menjual kayu & daun sebagai bahan bakar. Tapi kemudian ia bertekad menyelamatkan orang lain dari bahaya yang perlahan-lahan mengkondisikannya bertemu dengan banyak Buddha yang membimbingnya.


Quote
8. Apakah sammasam Buddha mengetahui segala-galanya? (seperti konsep keTuhanan)

Trmksh. :)
Betul, Samma Sambuddha memiliki Sabbannuta-ñana yang mengenal segenap fenomena. Bedanya dengan konsep Ketuhanan personal dari kepercayaan lain adalah seorang Buddha TIDAK mahakuasa. Itulah sebabnya Buddha TIDAK BISA menyucikan orang lain, hanya bisa membimbing saja.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 28 June 2011, 05:46:40 PM
untuk poin 5 : maksudnya proses saat Buddha Gotama belum mencapai pencerahan... (maap kl bkn bingung hehe)

untuk poin 7 : yg saya baca Samma SamBuddha itu Buddha no.1 dan ada 5 (tp hrs cr lagi link nya) yg terkahir adalah Buddha Mateya

untuk spoiernya : dr situs yg sama.. dibahas katanya saat manusia mencapai usia terendah barulah sang Buddha yg Baru muncul jika Mateya adalah yg terakhir maka terjadilah kesudahan bumi CMIIW

Trmksh.  :) :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 30 June 2011, 09:24:42 AM
untuk poin 5 : maksudnya proses saat Buddha Gotama belum mencapai pencerahan... (maap kl bkn bingung hehe)
Untuk kemudahan, saya berikan penjelasan istilah sedikit.
Kalau kita merujuk pada "Gotama" yang belum jadi Buddha, biasa digunakan istilah 'bodhisatta'. Kalau untuk yang sudah mencapai pencerahan sempurna, baru disebut 'Buddha'.

Mungkin maksudnya proses dari orang yang bukan siapa-siapa sampai jadi seorang Buddha Gotama?
Saya coba rangkum dengan sangat singkat.

Dari kisah 'orang miskin yang menjual kayu & daun untuk hidup', ia naik kapal dan terkena badai. Ia berjuang di laut dengan membawa ibunya selama 3 hari-3 malam. Akhirnya mereka selamat dan bodhisatta bertekad akan 'membawa orang lain juga selamat dari bahaya'. Di beberapa kehidupan berikut, ia terlahir sebagai raja dan suatu ketika ia melihat gajah kerajaan yang terlatih menjadi tidak terkendali karena dikuasai nafsu indriah, menginginkan gajah betina. Ia menyadari bahayanya nafsu keinginan. Ia bertekad akan 'membantu orang lain bebas dari nafsu keinginan juga'. Di beberapa kehidupan lagi, ia hidup sebagai petapa di mana Bodhisatta Metteya adalah murid utamanya. Suatu ketika ia melihat seekor harimau betina yang lemah dan kelaparan. Bodhisatta Gotama berpikir bahwa bisa saja anak-anak harimau itu dimakan sendiri oleh induknya. Ia juga berpikir bahwa ia harus melakukan pengorbanan besar untuk mencapai tujuannya (mencapai kesempurnaan). Ia menyuruh muridnya mencari makanan sisa, lalu setelah mereka pergi, ia melompat mengorbankan dirinya agar menjadi makanan harimau betina tersebut.

Perbuatan-perbuatan ini mengkondisikannya dalam kehidupan-kehidupan berikutnya untuk bertemu dengan para Samma Sambuddha. Buddha Purana-Dipankara adalah Buddha pertama di mana Bodhisatta menyatakan tekadnya untuk menjadi seorang Samma-Sambuddha. Waktu itu, ia adalah saudari tiri (ya, Bodhisatta dalam kehidupan ini adalah wanita) dari petapa bernama Pacchima-Dipankara, yang pada saat itu menerima ramalan pasti. Buddha Purana-Dipankhara memberikan ramalan bahwa setelah 16 Asankhyeyya + 100.000 kappa, Pacchima-Dipankhara akan menjadi seorang Buddha bernama Dipankhara dan saudari tirinya akan menerima ramalan pasti dari Buddha Dipankhara tersebut. Singkat cerita, 16 Asankhyeyya + 100.000 kappa berlalu di mana Bodhisatta bertemu dengan 512 Samma Sambuddha dan menyatakan tekadnya.

Setelah waktu tersebut berlalu, maka terlahirlah Bodhisatta sebagai Petapa Sumedha dan menerima ramalan pasti dari Buddha Dipankhara seperti telah diramalkan. Setelah itu, Bodhisatta menjalani latihan untuk mencapai 10 kesempurnaan selama 4 Asankhyeyya + 100.000 kappa yang dalam kurun waktu tersebut, bertemu dengan 24 Buddha (dari Buddha Dipankhara sampai terakhir Buddha Kassapa). Setelah lengkap latihannya, maka ia terakhir terlahir sebagai Pangeran Siddhatta dan menjadi Buddha Gotama pada masa kita ini.


Quote
untuk poin 7 : yg saya baca Samma SamBuddha itu Buddha no.1 dan ada 5 (tp hrs cr lagi link nya) yg terkahir adalah Buddha Mateya
Samma Sambuddha adalah jenis dari seseorang yang mencapai pencerahan, jadi bukan merujuk pada satu persona.
Dalam Kappa ini, dikatakan 5 Samma Sambuddha muncul: Kakusandha, Konagamana, Kassapa, dan masa kita Gotama. Satu yang belum muncul adalah Metteyya.


Quote
untuk spoiernya : dr situs yg sama.. dibahas katanya saat manusia mencapai usia terendah barulah sang Buddha yg Baru muncul jika Mateya adalah yg terakhir maka terjadilah kesudahan bumi CMIIW

Trmksh.  :) :)
Setelah manusia mencapai usia terendah, baru manusia 'bertobat' dan usia manusia memanjang kembali. Pada saat usia rata-rata manusia 80.000 tahun, barulah Bodhisatta Metteyya lahir. Kalau tidak salah ingat, seorang Buddha tidak akan muncul di mana usia rata-rata manusia kurang dari 100 tahun atau lebih dari 100.000 tahun. Kurang dari 100 tahun berarti kondisi dan moralitas manusia kurang mendukung untuk memahami Ajaran Buddha; lebih dari 100.000 tahun juga sulit memahami dukkha karena usia yang terlampau panjang dan kehidupan yang bahagia.

Setelah era Buddha Metteyya, baru dikatakan dimulai periode kehancuran galaksi ini, di mana nanti 7 'matahari' akan muncul dan membakar bumi. Tetapi ini pun bukanlah akhir dari segalanya karena setelah periode kehancuran ini berakhir, dimulai lagi periode pembentukan lagi. Semua proses berlangsung bukan hanya 1-2 abad, tapi dalam hitungan trilyunan tahun.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 30 June 2011, 10:48:58 AM
Maaf tanya2 ya om Kainyn ;D
kalau cahaya yang semakin menyilaukan saat meditasi itu apaan ya? ;D. Soalnya uda 2 hari cahaya silau itu muncul dalam meditasi saya. Karena pertamanya tidak silau jadi saya masih bisa memusatkan pikiran pada keluar masuk napas. Tapi lama2 makin silau, dan karena terlalu silau (padahal tutup mata dan dikamar juga gak ada lampu) jadi saya hentikan meditasi saya ;D. Maaf kalo ada salah kata ya om. Terima kasih ;D.

Saya coba jawab ya krn saya juga cuma dari hasil mendengar....

Cahaya yang terang ketika konsentrasi sudah mendalam itu dinamakan nimmita... ketika cahaya terang ini muncul tetap konsentrasi pada napas aja..dan lama kelamaan cahaya terang ini akan mengkristal didepan hidung.... kalo sudah mengkristal baru mengalihkan perhatian ke cahaya terang tersebut untuk absorrbtion....dgn demikian bisa mencapai Jhana.... Untuk cahaya terang ini dpt di baca disini:

http://www.what-buddha-taught.net/Books10/Pa_Auk_Sayadaw-Light_of_Wisdom.pdf

dan untuk detailnya bisa dengar disini:

http://www.cakkavala.org/res/eDharma/Anapanasati_II-Concentration.mp3

Semoga membantu
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 30 June 2011, 12:10:53 PM
Thx.. Bro Kainyn

untuk bodhisatta Gotama... berarti dia jg ttp menerima karma dlm tumimbal lahir ya? dan itu diakumulasi seiring proses dia mjd Buddha bgt?
dan untuk yg kiamat itu.. yg saya baca katanya bisa terbentuk kembali di bumi / galaksi lain.. benarkah?

Pertanyaan lainnya:
1. Apakah serial Film serial Kera Sakti itu bagian dr ajaran Buddha?
2. Apakah benar ada siluman? golongan manakah mereka?
3. Bisakah siluman mjd setara dng dewa (dr Filmnya)
4. Apakah benar ada Dewa langit, bumi dkk? Apakah maksudnya Dewa penguasa teritorial langit-bumi? apa fungsi-tugasnya?
5. Siapa yg menetapkan mereka mjd dewa? Siapa Dewa utamanya sebelum para dewa lainnya ada?
6. dlm seri Kera sakti, dikatakan juga ada seorang dewi menciptakan bumi... apakah ini ajaran menyimpang?

Thx.  _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 30 June 2011, 01:33:52 PM
untuk bodhisatta Gotama... berarti dia jg ttp menerima karma dlm tumimbal lahir ya?
Bukan hanya bodhisatta, Buddha pun masih menerima akibat dari karma masa lalu, maka kita lihat dalam kehidupan terakhirnya, masih sering mendapat berbagai masalah. Bedanya, seorang Buddha tidak menanam karma yang baru.

Quote
dan itu diakumulasi seiring proses dia mjd Buddha bgt?
Ya, betul, bisa memiliki kemampuan demikian adalah akumulasi dari latihan dan kebajikan yang sudah tidak terhitung lagi banyaknya. Maka itu jangan menganggap 'Buddha' adalah orang yang terpilih, beruntung, atau bagaimana, tapi dimengerti bahwa semua kemuliaan dan kesempurnaannya adalah hasil dari perjuangannya sendiri yang tidak kenal lelah, dalam kurun waktu yang sulit terpikirkan lamanya.


Quote
dan untuk yg kiamat itu.. yg saya baca katanya bisa terbentuk kembali di bumi / galaksi lain.. benarkah
Betul, jika sesuai kammanya sesosok makhluk akan lahir di alam manusia, tapi di satu galaksi sedang mengalami masa kehancuran, maka bisa saja ia terlahir di alam manusia galaksi lain, yang sesuai dengan kammanya.


Quote
Pertanyaan lainnya:1. Apakah serial Film serial Kera Sakti itu bagian dr ajaran Buddha?
Bukan, itu adalah adaptasi dari novel fiksi. Tokoh Tong Sam Cong-nya memang ada, ia mencari kitab suci di India karena Tripitaka yang beredar di masanya tidak lengkap. Tapi karakter lain dan kejadian-kejadiannya sepertinya hanya 'bumbu' saja.


Quote
2. Apakah benar ada siluman? golongan manakah mereka?
Kalau ini masih kurang jelas karena tidak ada penjelasannya. "Siluman" yang pernah saya dengar ada 2 jenis: yang pertama adalah manusia yang menggunakan ilmu kebathinan, dan ke dua adalah memang hewan yang memiliki kesaktian (apakah sebagai sisa kamma masa lalu, atau mungkin memang mengembangkannya lewat samadhi).


Quote
3. Bisakah siluman mjd setara dng dewa (dr Filmnya)
Ini saya kurang tahu, tapi setahu saya tetap tidak. Bisa saja ia setara setelah tumimbal lahir menjadi dewa karena kebaikannya.

Quote
4. Apakah benar ada Dewa langit, bumi dkk? Apakah maksudnya Dewa penguasa teritorial langit-bumi? apa fungsi-tugasnya?
Benar ada atau tidaknya saya belum buktikan sendiri, tapi kalau menurut dhamma, memang ada. Sepertinya mereka memang menjalani kehidupan saja sebagaimana kita hidup, masing-masing dengan tugasnya sendiri dalam kehidupan sosialnya. Bedanya, mereka ada di dimensi berbeda dan memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari manusia. (Mungkin perbandingannya seperti hewan : manusia = manusia : dewa.)


Quote
5. Siapa yg menetapkan mereka mjd dewa? Siapa Dewa utamanya sebelum para dewa lainnya ada?
Makhluk terlahir menjadi dewa atau apapun adalah sesuai dengan kammanya. Bagaimana seseorang menjadi pemimpin dewa juga juga adalah sesuai kammanya. Misalnya sekarang ini dipercaya Sakka (penguasa Tavatimsa) adalah bekas manusia bernama Magha dari marga Kosiya. Ia bersama 33 temannya melakukan kebajikan yang sangat besar sehingga ia terlahir menjadi penguasa sorga bersama 33 temannya, maka sorga tersebut dikenal dengan Tavatimsa (tavati = 33).

Untuk perbandingan sederhana, sama saja seperti di alam manusia, seseorang terlahir menjadi anak raja, meneruskan tahta ayahnya. Tidak ada yang mengaturnya, tapi ia lahir sesuai kammanya.

Quote
6. dlm seri Kera sakti, dikatakan juga ada seorang dewi menciptakan bumi... apakah ini ajaran menyimpang?
Dalam dhamma yang saya pelajari, tidak ada dewi demikian. Alam semesta berproses sesuai hukum alam, demikian pula terbentuk dan hancurnya bumi. Tidak ada pencipta/penghancur di sini.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 30 June 2011, 04:48:40 PM
Tanya;
bodhisattva metteya belum jadi buddha tapi kenapa alirannya sudah ada ya, om?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 30 June 2011, 04:53:07 PM
Tanya;
bodhisattva metteya belum jadi buddha tapi kenapa alirannya sudah ada ya, om?
Jawaban dari itu sama saja seperti kalau saya tanya: film bioskop Transformers baru ada 2, dan akan keluar yang ke 3. Kenapa kalau lapak DVD bisa ketemu 'Transformers 4"?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 30 June 2011, 04:54:52 PM
Tanya;
bodhisattva metteya belum jadi buddha tapi kenapa alirannya sudah ada ya, om?

nih baca:

http://dhammacitta.org/perpustakaan/bagaimana-saya-melepaskan-diri-dari-yi-kuan-tao/


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 30 June 2011, 05:00:13 PM
Bro Kainyn, apakah perpisahan adalah dukkha atau keinginan untuk terus bersamanya yang adalah dukkha ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 30 June 2011, 05:50:38 PM
Bro Kainyn, apakah perpisahan adalah dukkha atau keinginan untuk terus bersamanya yang adalah dukkha ?

Perpisahan bukanlah dukkha, kemelekatan/keinginan untuk terus bersama seseorang yang menyebabkan perpisahan itu menimbulkan perasaan tidak menyenangkan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 30 June 2011, 11:53:18 PM
Bro Kainyn, apakah perpisahan adalah dukkha atau keinginan untuk terus bersamanya yang adalah dukkha ?


menurut Dhammacakkappavatana Sutta, "perpisahan dengan yg dicinta adalah dukkha"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 July 2011, 08:24:01 AM
menurut Dhammacakkappavatana Sutta, "perpisahan dengan yg dicinta adalah dukkha"
Demikianlah mencintai menimbulkan dukkha ketika ada perpisahan, membenci menimbulkan dukkha ketika ada pertemuan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 01 July 2011, 10:03:37 AM
Belajar dari diskusi di atas,

Berpisah dengan yang dicintai adalah dukkha (ingin tetap bersama yg dicinta)
Berpisah dengan yg dibenci adalah sukha (ingin berpisah dengan yg dibenci)

Jadi, bukan perpisahan yang menyebabkan dukkha, tetapi keinginan yang menyebabkan dukkha.
Tapi.... sebelum ada rasa ingin (baik berpisah atau bertemu)......rasa cinta atau benci timbul duluan....berarti perasaan mendahului keinginan.......
Jadi inget paticca samuppada.......,bisa jadi karena hal inilah dijelaskan tentang perlunya pandangan terang....perasaan disadari sebagai perasaan agar tidak berkembang menjadi keinginan........ timbulnya keinginan dihadang dengan pengetahuan jernih tentang perasaan...... sehingga tidak berlanjut pada ratap tangis.....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 July 2011, 10:30:00 AM
Belajar dari diskusi di atas,

Berpisah dengan yang dicintai adalah dukkha (ingin tetap bersama yg dicinta)
Berpisah dengan yg dibenci adalah sukha (ingin berpisah dengan yg dibenci)
Betul, menurut saya begitu. Pertemuan dan perpisahan adalah fenomena yang wajar. Saat kita tidak melekat pada apapun, maka segala fenomena yang 'mendatangi' kita, tidak lagi menyebabkan kebahagiaan maupun penderitaan.


Quote
Jadi, bukan perpisahan yang menyebabkan dukkha, tetapi keinginan yang menyebabkan dukkha.
Tapi.... sebelum ada rasa ingin (baik berpisah atau bertemu)......rasa cinta atau benci timbul duluan....berarti perasaan mendahului keinginan.......
Jadi inget paticca samuppada.......,bisa jadi karena hal inilah dijelaskan tentang perlunya pandangan terang....perasaan disadari sebagai perasaan agar tidak berkembang menjadi keinginan........ timbulnya keinginan dihadang dengan pengetahuan jernih tentang perasaan...... sehingga tidak berlanjut pada ratap tangis.....
Paticca samuppada ini adalah sebuah rantai yang terjadi terus-menerus dan sangat rumit, bukan satu rangkaian proses sederhana. Misalnya ketika indera bertemu objek, maka timbullah perasaan. Namun sebetulnya dalam kenyataannya, bagaimana perasaan itu timbul juga telah dipengaruhi kemelekatan.

Secara sederhana: kontak (indera & objek) -> perasaan -> keinginan -> kemelekatan
Secara nyata: kontak (indera & objek) telah dipengaruhi kemelekatan, maka perasaan yang timbul bisa sangat bervariasi.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 01 July 2011, 10:44:14 AM
Betul, menurut saya begitu. Pertemuan dan perpisahan adalah fenomena yang wajar. Saat kita tidak melekat pada apapun, maka segala fenomena yang 'mendatangi' kita, tidak lagi menyebabkan kebahagiaan maupun penderitaan.

Paticca samuppada ini adalah sebuah rantai yang terjadi terus-menerus dan sangat rumit, bukan satu rangkaian proses sederhana. Misalnya ketika indera bertemu objek, maka timbullah perasaan. Namun sebetulnya dalam kenyataannya, bagaimana perasaan itu timbul juga telah dipengaruhi kemelekatan.

Secara sederhana: kontak (indera & objek) -> perasaan -> keinginan -> kemelekatan
Secara nyata: kontak (indera & objek) telah dipengaruhi kemelekatan, maka perasaan yang timbul bisa sangat bervariasi.



Keknya yang "nyata" justru yang sederhana deh,.... pada saat kontak belum timbul kemelekatan, karena kemelekatan timbul sesudah ada keinginan. Tapi hal ini hanya bisa kita buktikan lewat bhavana..... paccatam. Ajahn Chah mengingatkan kejadiannya sangat cepat bagaikan orang yg jatuh dari atas pohon, ....gedubrak.... kita hanya merasakan rasa sakitnya...padahal sebenarnya melewati beberapa dahan dan ranting sebelum sampai ke permukaan tanah.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 01 July 2011, 12:23:02 PM
Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?

Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.

Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 01 July 2011, 01:10:00 PM
Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?

Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.

Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Misal seorang konsultan pajak yg harus "menyetir" laporan pajak klaiennya
Menurut om apa harus ditinggalkan pekerjaan sebagai konsultan pajaknya??

Mau tanya pertanyaan klise om,

Apa makna kehidupan bagi om kainyt-kutho?

Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 July 2011, 01:29:33 PM
Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?

Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.

Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Kalau menurut saya, menjadi ambisius atau tidak adalah pilihan, bukan sebuah jalan yang pasti dilalui oleh seorang umat awam. Memang kondisi setiap orang beda-beda, tapi saya ada teman yang sangat tidak ambisius tapi kerjanya benar, malah diangkat untuk posisi penting walaupun dia sendiri justru minta agar tidak diberikan posisi itu.
Orang ambisius sikut kiri-kanan memang kadang (bukan selalu) lebih mendapatkan kesempatan, tapi menurut saya, keuntungan yang didapat tidaklah sebanding dengan karakter buruk yang dibangun. Belum lagi kita perhitungkan kamma.

Bertentangan dengan banyak pendapat umum yang sering saya dengar bahwa berlatih itu adalah sewaktu kita meditasi*, saya berpendapat bahwa kita berlatih dalam keseluruhan hidup kita. Tidak akan terjadi kita menikmati kesenangan indriah di siang hari, lalu berdiam dalam jhana di malam hari. Sepanjang hari, senantiasa adalah latihan kita. Meditasi 'hanyalah' refleksi jernih atas apa yang kita lakukan sehari-hari. Jadi kalau ditanya apakah bisa misalnya orang mengalami kemajuan dengan meditasi di satu waktu dan mengembangkan ego di waktu lain, menurut saya tidak bisa. Ketika ia meninggalkan egonya, barulah bisa mengalami kemajuan dalam latihan.


*Beberapa orang berpendapat dirinya telah mahir dalam meditasi setelah jam terbang meditasi atau retret meditasi tertentu, namun perilaku kesehariannya adalah mengumbar ego, tidak ada bedanya atau bahkan lebih buruk dibanding dengan orang biasa.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 01 July 2011, 02:18:53 PM
Kalau menurut saya, menjadi ambisius atau tidak adalah pilihan, bukan sebuah jalan yang pasti dilalui oleh seorang umat awam. Memang kondisi setiap orang beda-beda, tapi saya ada teman yang sangat tidak ambisius tapi kerjanya benar, malah diangkat untuk posisi penting walaupun dia sendiri justru minta agar tidak diberikan posisi itu.
Orang ambisius sikut kiri-kanan memang kadang (bukan selalu) lebih mendapatkan kesempatan, tapi menurut saya, keuntungan yang didapat tidaklah sebanding dengan karakter buruk yang dibangun. Belum lagi kita perhitungkan kamma.

Bertentangan dengan banyak pendapat umum yang sering saya dengar bahwa berlatih itu adalah sewaktu kita meditasi*, saya berpendapat bahwa kita berlatih dalam keseluruhan hidup kita. Tidak akan terjadi kita menikmati kesenangan indriah di siang hari, lalu berdiam dalam jhana di malam hari. Sepanjang hari, senantiasa adalah latihan kita. Meditasi 'hanyalah' refleksi jernih atas apa yang kita lakukan sehari-hari. Jadi kalau ditanya apakah bisa misalnya orang mengalami kemajuan dengan meditasi di satu waktu dan mengembangkan ego di waktu lain, menurut saya tidak bisa. Ketika ia meninggalkan egonya, barulah bisa mengalami kemajuan dalam latihan.


*Beberapa orang berpendapat dirinya telah mahir dalam meditasi setelah jam terbang meditasi atau retret meditasi tertentu, namun perilaku kesehariannya adalah mengumbar ego, tidak ada bedanya atau bahkan lebih buruk dibanding dengan orang biasa.


 _/\_

Jawaban yang sangatttttt... baik dan mengetuk bathin serta realitis  ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 July 2011, 02:25:04 PM
Mau tanya pertanyaan klise om,

Apa makna kehidupan bagi om kainyt-kutho?
Menurut saya, kehidupan adalah sebuah perjalanan komedi tragis yang sinis.
Disebut perjalanan sebab memang semua akan berlalu, walaupun pikiran kita menetap di masa lalu, kehidupan tetap melangkah ke depan.
Tragis karena sesungguhnya apa yang kita miliki adalah sementara, kita mendapatkannya hanya untuk kehilangan lagi bagaimanapun kita mempertahankannya. Setelah hilang, maka kita terus mencarinya lagi.
Sinis karena nuansa kehidupan seringkali tidak selaras dengan kehendak hati, bahkan kadang membentuk kontras yang ironis.
Tapi semua itu hanyalah komedi yang hambar ketika kita tidak tenggelam di dalamnya. Terlihatlah semua sebagai rangkaian anekdot yang mengundang senyum, tapi tidak cukup menghibur untuk mengundang tawa.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 01 July 2011, 09:33:48 PM
Tanya lg om,
Bagaimana menjelaskan nirwana(bukan nibbana) kepada umat awam(yg betul2 awam)
*yg mereka tahu nirwana itu sebuah alam surga*
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 01 July 2011, 09:35:46 PM
Tanya lg om,
Bagaimana menjelaskan nirwana(bukan nibbana) kepada umat awam(yg betul2 awam)
*yg mereka tahu nirwana itu sebuah alam surga*


numpang jawab, mana tau dapat GRP

nirwana adalah salah satu tempat tujuan bagi orang yg sudah meninggal dunia.
nama lengkapnya adalah Krematorium Nirwana, berlokasi di Marunda, Jakarta
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: andry on 01 July 2011, 10:05:00 PM
Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: wang ai lie on 02 July 2011, 01:04:08 AM
om tanya om... bagaimana mengembalikan kepercayaan diri kita.
dan bagaimana cara kita melatih kepekaan kita terhadap keinginan konsumen

xie2 om  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: andry on 02 July 2011, 01:14:49 AM
om tanya om... bagaimana mengembalikan kepercayaan diri kita.
dan bagaimana cara kita melatih kepekaan kita terhadap keinginan konsumen

xie2 om  ;D
share pengalaman,
mengenai kepercayaan diri, harus timbul suatu pandangan benar, mengenai
apa itu PD? dan penyadaran akan ego, hal ini dapat di realisasikan melalui perhatian yg terus menerus terhadap gerak pikiran, dan harus terus bersosialisasi dgn masyarakat, baik dr kalangan atas/bawah.

sehingga percaya diri secara internal itu keluar, kalau di lukiskan, anda berbicara di depan CEO untuk menawarkan produk anda dengan menggunakan celana pendek,sendal jepit,kaos oblong pun, anda berani.!

mengenai kepekaan, berlatihlah satipathana...
akan sangat membantu dalam menganalisa pikiran lawan dan gerak gerik lawan.(konumen mksdnye)

*kalo ngaco, mangga di babat
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 02 July 2011, 06:27:37 AM
numpang jawab, mana tau dapat GRP

nirwana adalah salah satu tempat tujuan bagi orang yg sudah meninggal dunia.
nama lengkapnya adalah Krematorium Nirwana, berlokasi di Marunda, Jakarta
Walupun :hammer:
Tapi...
Kasih dha...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 08:34:04 AM
Tanya lg om,
Bagaimana menjelaskan nirwana(bukan nibbana) kepada umat awam(yg betul2 awam)
*yg mereka tahu nirwana itu sebuah alam surga*
Jelaskan mulai dari apa yang terlihat:
1. keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin adalah nyata, dan ketiganya menyebabkan penderitaan adalah bisa dibuktikan dan dijelaskan.
2. ketika semua itu terhenti, tidak ada lagi penyebab penderitaan. Inilah nibbana.

---

numpang jawab, mana tau dapat GRP

nirwana adalah salah satu tempat tujuan bagi orang yg sudah meninggal dunia.
nama lengkapnya adalah Krematorium Nirwana, berlokasi di Marunda, Jakarta
Jawaban ini memang harus dianugerahi "Babi Rica-rica Panggang".

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 July 2011, 08:36:45 AM
Jawaban ini memang harus dianugerahi "Babi Rica-rica Panggang".

:hammer: malah dapat BRP
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 08:46:25 AM
om tanya om... bagaimana mengembalikan kepercayaan diri kita.
dan bagaimana cara kita melatih kepekaan kita terhadap keinginan konsumen

xie2 om  ;D
Kepercayaan diri kita maksudnya di hadapan orang lain? Kalau secara umum, menurut saya, orang tidak percaya diri adalah karena pikirannya menempatkan dirinya dalam posisi yang canggung dan tidak nyaman. Saya pikir bisa dibiasakan untuk membiasakan diri berbicara pada semua orang dengan suasana pikiran seperti mengobrol saja, tapi mungkin topik dan tata bahasanya lebih serius tergantung keadaan.

Untuk membangkitkan kepercayaan diri, jangan menanam kesombongan sepertinya "ah gue juga ga minta makan ama loe!" atau "ga ada loe juga gue masih bisa cari yang laen", dan lain sebagainya. Percaya diri dibangun dari pikiran yang bebas dari kekhawatiran, bukan pikiran yang diisi kesombongan. Menurut saya begitu.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 08:47:03 AM
:hammer: malah dapat BRP
;D Memangnya beneran ada yang setega itu? Yang pasti bukan saya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 08:51:59 AM
share pengalaman,
mengenai kepercayaan diri, harus timbul suatu pandangan benar, mengenai
apa itu PD? dan penyadaran akan ego, hal ini dapat di realisasikan melalui perhatian yg terus menerus terhadap gerak pikiran, dan harus terus bersosialisasi dgn masyarakat, baik dr kalangan atas/bawah.

sehingga percaya diri secara internal itu keluar, kalau di lukiskan, anda berbicara di depan CEO untuk menawarkan produk anda dengan menggunakan celana pendek,sendal jepit,kaos oblong pun, anda berani.!

mengenai kepekaan, berlatihlah satipathana...
akan sangat membantu dalam menganalisa pikiran lawan dan gerak gerik lawan.(konumen mksdnye)

*kalo ngaco, mangga di babat
Saya setuju bahwa Satipatthana adalah kunci dari memahami kesombongan/keminderan, over-PD/under-PD. Hanya saja ketika kita 'keluar' dari satipatthana dan menjalani kehidupan sehari-hari, maka kecenderungan pola pikir yang lebih menentukan.

Satipatthana juga membuat kita peka terhadap pikiran sendiri, bukan pikiran orang lain. Untuk 'memahami' orang lain sebetulnya susah-susah-gampang. Bagian yang gampangnya adalah: 'bersedialah mendengarkan, menerima input dari dia'. Menurut saya begitu.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 02 July 2011, 10:01:00 AM
Bro Kainyn,

dalam berkomunikasi dengan seseorang terkadang kita berusaha untuk bersikap lebih luwes dan komunikatif, namun malah menerima suatu perlakuan yang mungkin agak berbeda, Misal disepelekan, diacuhkan, dinomorduakan, dll. Dalam hal ini, tentunya bisa saja hal ini benar adanya dan bisa juga hal ini hanya perasaan belaka. Berefleksi dan aktif mendengarkan saran tentu saja harus dilakukan. Namun, tidak selamanya kita dapat mengaplikasikan saran yang diterima apabila bertentangan dengan karakter dan prinsip.

Bagaimana kira-kira cara menganggulangi hal ini ?
Apakah kira-kira bisa dievaluasi karakter dan prinsip yang tidak bermanfaat ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 10:32:53 AM
Q: Bagaimanakah membedakan pergaulan baik & buruk?

A: Walaupun memiliki seribu teman, namun tidak ada yang memahami. Bagaikan berkelana di negeri asing yang ramai dan ramah, begitu pula walaupun mereka tersenyum, namun tidak memahami isi hatimu. Mereka datang untuk mengajakmu bersenang-senang. Ketika kau jatuh dan lemah, mereka memanfaatkannya demi keuntungan mereka. Mereka singgah di hidupmu hanya sebagai kenangan yang indah. Itulah pergaulan yang buruk.

Walaupun memiliki sedikit teman, namun mereka membuat hidup bermakna. Bagaikan ibu memahami anaknya hanya lewat raut wajah, begitu pula ia memahamimu walaupun tanpa kata terucap. Mereka datang untuk menanyakan kesedihanmu. Ketika kau jatuh dan lemah, mereka merangkul dan ikut menanggung bebanmu. Mereka singgah di hidupmu demi tujuan di masa depan. Itulah pergaulan yang baik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 02 July 2011, 10:44:46 AM
Bro kainyn, apakah ego diperlukan dalam kehidupan awam ?

Katakanlah dalam bekerja, situasi pekerjaan mengharuskan kita harus rebutan "lahan" agar kemampuan pengalaman dan popularitas kita menanjak sehingga bisa ditunjuk untuk pekerjaan-pekerjaan yang lebih berat lagi, juga agar orang-orang lebih sering meminta bantuan kita. Dalam kondisi ini tentu saja amarah, dendam, dan kebencian akan sulit sekali dihindari.

Apakah memungkinkan dalam situasi seperti ini seseorang tetap berlatih sementara kondisi lapangan mengharuskan dia untuk menjadi ambisius ?
Jadi teringat kata JK...pikiran ini bersifat 'dualitas' diperlukan dlm kehidupan sehari2 namun juga sbg sumber konflik/penderitaan..jd dia membuat tantangan 'mampukah 'pikiran' ini berhenti dan hanya 'digunakan' jika 'diperlukan'...
Bagaimana pendapat om kainyn?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 10:45:01 AM
Bro Kainyn,

dalam berkomunikasi dengan seseorang terkadang kita berusaha untuk bersikap lebih luwes dan komunikatif, namun malah menerima suatu perlakuan yang mungkin agak berbeda, Misal disepelekan, diacuhkan, dinomorduakan, dll. Dalam hal ini, tentunya bisa saja hal ini benar adanya dan bisa juga hal ini hanya perasaan belaka. Berefleksi dan aktif mendengarkan saran tentu saja harus dilakukan. Namun, tidak selamanya kita dapat mengaplikasikan saran yang diterima apabila bertentangan dengan karakter dan prinsip.

Bagaimana kira-kira cara menganggulangi hal ini ?
Apakah kira-kira bisa dievaluasi karakter dan prinsip yang tidak bermanfaat ?

Mungkin harus lihat situasi juga. Manusia karakternya beragam, kita tidak bisa menggunakan pendekatan yang sama pada setiap orang, atau dalam setiap komunitas. Jadi kita menilai bagaimana karakter orang atau komunitas, lalu melihat apakah yang mereka bicarakan, apakah tujuannya, apakah bermanfaat (bagi kita atau bagi mereka) jika kita bergaul di sana, dan lain-lain. Jika memang setelah kita menilai tidak ada manfaatnya bicara, tidak perlulah bicara.

Selain dari membedakan karakter pergaulan, kita juga harus siap dengan reaksi orang lain ketika kita mulai berkomunikasi. Ada kalanya kita salah omong, tapi tetap dipuji. Ada kalanya kita omong benar, tapi malah dipersalahkan. Ini adalah hal yang wajar dalam berkomunikasi, jangan jadi congkak karena pujian kosong, juga jangan jadi rendah diri karena cacian bodoh. Dan terpenting juga, jangan jatuh pada keseimbangan bathin tak bermanfaat. Kadang kita melekat pada kebodohan dan membebalkan diri. Orang bebal itu bathinnya seimbang, dimarahi tidak marah, dicela juga tidak goyah. Teguh pada kebebalannya. Tetap renungkan semua input dan output, coba nilai apakah sudah benar dan bermanfaat. Saya pikir hal-hal tersebut yang perlu direfleksikan. Menurut saya, tidak ada satu penilaian 'karakter' atau 'prinsip' bermanfaat/tidak, yang berlaku universal bagi semua orang. Pasti berbeda, walaupun ada yang sama secara umum.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: andry on 02 July 2011, 10:52:07 AM
Saya setuju bahwa Satipatthana adalah kunci dari memahami kesombongan/keminderan, over-PD/under-PD. Hanya saja ketika kita 'keluar' dari satipatthana dan menjalani kehidupan sehari-hari, maka kecenderungan pola pikir yang lebih menentukan.

Satipatthana juga membuat kita peka terhadap pikiran sendiri, bukan pikiran orang lain. Untuk 'memahami' orang lain sebetulnya susah-susah-gampang. Bagian yang gampangnya adalah: 'bersedialah mendengarkan, menerima input dari dia'. Menurut saya begitu.


jika memang ingin mengetahui orang lain (khusus bro wal) belajar objek kasina,
tp saya tidak menganjurkannya, karena ntar hidup tdk tenang
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 11:05:28 AM
Jadi teringat kata JK...pikiran ini bersifat 'dualitas' diperlukan dlm kehidupan sehari2 namun juga sbg sumber konflik/penderitaan..jd dia membuat tantangan 'mampukah 'pikiran' ini berhenti dan hanya 'digunakan' jika 'diperlukan'...
Bagaimana pendapat om kainyn?
Saya kurang paham karena bagaimana 'berhenti' dan 'penggunaan pikiran' ini tidak detail. Tapi kalau menurut yang saya persepsi, saya tetap tidak setuju bahwa ada kalanya pikiran 'dualistik, lalu ada kalanya pikiran 'non-dualistik'. Ketika seseorang telah terbebas dari pandangan 'dualistik', maka pandangan tersebut sudah tidak lagi ada di sana.

Saya contohkan misalnya saya tidak memeluk pandangan personal-theism. Maka dalam segala aspek hidup, pandangan tersebut tidak 'menggerakkan' saya, termasuk ketika saya membahas personal-theism dan menempatkan diri di posisi seorang theist.

Jadi saya tidak melihat pikiran (dualistik) berhenti itu seperti ada on-off, tapi sekali pikiran itu berhenti, maka tidak ada lagi di sana, walaupun dalam kehidupan sehari-hari, intelektualitasnya mengarahkan dia beraktivitas seperti halnya orang yang masih berpikiran dualistik.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 11:08:58 AM
jika memang ingin mengetahui orang lain (khusus bro wal) belajar objek kasina,
tp saya tidak menganjurkannya, karena ntar hidup tdk tenang
Sorry, menyanggah sedikit.
Seseorang yang ingin mengembangkan kesaktian (dengan cara yang benar, bukan pakai instant), tidak perlu khawatir akan hidup tidak tenang, gelisah, banyak gejolak bathin. Mengapa demikian? Sebab kesaktian dikembangkan dari keseimbangan bathin yang tak tergoyahkan (Jhana IV) sebagai dasarnya. Ketika bathin goyah, maka tidak akan mencapai (atau mempertahankan) kesaktian tersebut.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 11:25:38 AM
Saya setuju bahwa Satipatthana adalah kunci dari memahami kesombongan/keminderan, over-PD/under-PD. Hanya saja ketika kita 'keluar' dari satipatthana dan menjalani kehidupan sehari-hari, maka kecenderungan pola pikir yang lebih menentukan.

Satipatthana juga membuat kita peka terhadap pikiran sendiri, bukan pikiran orang lain. Untuk 'memahami' orang lain sebetulnya susah-susah-gampang. Bagian yang gampangnya adalah: 'bersedialah mendengarkan, menerima input dari dia'. Menurut saya begitu.



Ikut nimbrung,

Btw, Satipatthana keknya bukan pada saat latihan aja, tapi setiap momen, hanya saja perhatian kesadarannya (sati) harus dilatih terlebih dahulu.
Dijelaskan oleh guru Chah, sati dilatih awalnya kek air kran yang netes (momen tertentu), lama2 kalo tekun dan konsisten tetesannya makin kenceng sampai akhirnya bukan netes lagi tapi mengalir. Kalu udah mengalir, bayangannya adalah setiap saat "sadar".

Kalo udah bisa memahami "diri" sendiri, saya rasa kita dapat memahami "orang lain", karena pada dasarnya sama.
(lagi2 perumpamaan guru Chah), kek daun2 di (satu) pohon, kita cukup mengetahui satu daun maka kita dapat mengerti daun lainnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 11:33:06 AM
Jadi teringat kata JK...pikiran ini bersifat 'dualitas' diperlukan dlm kehidupan sehari2 namun juga sbg sumber konflik/penderitaan..jd dia membuat tantangan 'mampukah 'pikiran' ini berhenti dan hanya 'digunakan' jika 'diperlukan'...
Bagaimana pendapat om kainyn?


Mungkin dokumentasi khotbah di bawah ini bisa memberikan masukan,
Bagi saya pribadi isi khotbah ini benar2 luar biasa, bisa anda diskusikan sendiri apa bedanya dengan yang dimaksud JK,

http://www.ajahnchah.org/book/Convention_Liberation1.php (http://www.ajahnchah.org/book/Convention_Liberation1.php)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 11:40:30 AM
Ikut nimbrung,

Btw, Satipatthana keknya bukan pada saat latihan aja, tapi setiap momen, hanya saja perhatian kesadarannya (sati) harus dilatih terlebih dahulu.
Dijelaskan oleh guru Chah, sati dilatih awalnya kek air kran yang netes (momen tertentu), lama2 kalo tekun dan konsisten tetesannya makin kenceng sampai akhirnya bukan netes lagi tapi mengalir. Kalu udah mengalir, bayangannya adalah setiap saat "sadar".

Kalo udah bisa memahami "diri" sendiri, saya rasa kita dapat memahami "orang lain", karena pada dasarnya sama.
(lagi2 perumpamaan guru Chah), kek daun2 di (satu) pohon, kita cukup mengetahui satu daun maka kita dapat mengerti daun lainnya.
Betul, idealnya adalah setiap saat tanpa terputus. Itu yang dikatakan bahwa kalau bisa melakukannya tanpa terputus selama 7 hari, maka pencapaian kesucian Arahatta pun bisa terjadi. Masalahnya, sudah sejauh mana kita 'berjalan'? Apakah kita masih dikuasai kesenangan & kesedihan? 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 11:44:38 AM
Betul, idealnya adalah setiap saat tanpa terputus. Itu yang dikatakan bahwa kalau bisa melakukannya tanpa terputus selama 7 hari, maka pencapaian kesucian Arahatta pun bisa terjadi. Masalahnya, sudah sejauh mana kita 'berjalan'? Apakah kita masih dikuasai kesenangan & kesedihan? 


Itu adalah pertanyaan yang baik untuk "diri" masing2, syukur2 masih nanya, soalnya tenggelam dalam "lumpur" emang menggelapkan.......haiizzz.....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 11:50:31 AM
Itu adalah pertanyaan yang baik untuk "diri" masing2, syukur2 masih nanya, soalnya tenggelam dalam "lumpur" emang menggelapkan.......haiizzz.....
Hm... maksudnya "syukur2 masih nanya, soalnya tenggelam dalam "lumpur" emang menggelapkan......." ini apa yah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 02 July 2011, 11:52:09 AM
Saya kurang paham karena bagaimana 'berhenti' dan 'penggunaan pikiran' ini tidak detail. Tapi kalau menurut yang saya persepsi, saya tetap tidak setuju bahwa ada kalanya pikiran 'dualistik, lalu ada kalanya pikiran 'non-dualistik'. Ketika seseorang telah terbebas dari pandangan 'dualistik', maka pandangan tersebut sudah tidak lagi ada di sana.

Saya contohkan misalnya saya tidak memeluk pandangan personal-theism. Maka dalam segala aspek hidup, pandangan tersebut tidak 'menggerakkan' saya, termasuk ketika saya membahas personal-theism dan menempatkan diri di posisi seorang theist.

Jadi saya tidak melihat pikiran (dualistik) berhenti itu seperti ada on-off, tapi sekali pikiran itu berhenti, maka tidak ada lagi di sana, walaupun dalam kehidupan sehari-hari, intelektualitasnya mengarahkan dia beraktivitas seperti halnya orang yang masih berpikiran dualistik.



Thx om for the answer...mungkin yg dimaksud dgn 'dualitas' adalah pikiran sbg sumber penderitaan/konflik sekaligus juga 'pencerahan' itu yg saya persepsi....kalimat tantangan JK itu mungkin yg dimaksud bg 'org yg berlatih' bkn 'org yg udah mencapai pencerahan' ..apa pendapat om kainyn?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 11:57:18 AM

Thx om for the answer...mungkin yg dimaksud dgn 'dualitas' adalah pikiran sbg sumber penderitaan/konflik sekaligus juga 'pencerahan' itu yg saya persepsi....kalimat tantangan JK itu mungkin yg dimaksud bg 'org yg berlatih' bkn 'org yg udah mencapai pencerahan' ..apa pendapat om kainyn?
Jika konteksnya adalah ketika kita berlatih, maka senantiasa melatih keadaan 'diamnya pikiran' kapanpun hal tersebut memungkinkan, dan hanya 'larut dalam bergeraknya pikiran' ketika memang diperlukan (dalam kegiatan sehari-hari), maka saya setuju.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 11:59:23 AM
Hm... maksudnya "syukur2 masih nanya, soalnya tenggelam dalam "lumpur" emang menggelapkan......." ini apa yah?

Maksudnya sebagai umat awam (apalagi udah berkeluarga), persentasi waktu dalam keseharian, "tenggelam" dalam urusan dunia yang mengharuskan berhubungan dengan konvensi (liat link di post atas) dan kekotoran batin orang lain (serta diri sendiri). Hal untuk "berjalan" bisa kabur apabila "sati" emang belum dilatih. Oleh karena itulah saya katakan syukur2 masi inget nanya karena dari pengalaman sendiri lebih banyak "tenggelamnya".

Lain hal kalo sati-nya udah dilatih, gak perlu nanya2 lagi keknya karena udah inget.....sati.....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 12:02:58 PM
Maksudnya sebagai umat awam (apalagi udah berkeluarga), persentasi waktu dalam keseharian, "tenggelam" dalam urusan dunia yang mengharuskan berhubungan dengan konvensi (liat link di post atas) dan kekotoran batin orang lain (serta diri sendiri). Hal untuk "berjalan" bisa kabur apabila "sati" emang belum dilatih. Oleh karena itulah saya katakan syukur2 masi inget nanya karena dari pengalaman sendiri lebih banyak "tenggelamnya".

Lain hal kalo sati-nya udah dilatih, gak perlu nanya2 lagi keknya karena udah inget.....sati.....
Iya, betul. Kehidupan umat awam lebih 'susah' karena kesibukan duniawinya. Maka kalau lingkungan (keluarga atau teman) dan keadaan bisa mengingatkan kita pada 'sati', adalah juga keuntungan besar.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 02 July 2011, 12:04:46 PM
Mungkin dokumentasi khotbah di bawah ini bisa memberikan masukan,
Bagi saya pribadi isi khotbah ini benar2 luar biasa, bisa anda diskusikan sendiri apa bedanya dengan yang dimaksud JK,

http://www.ajahnchah.org/book/Convention_Liberation1.php (http://www.ajahnchah.org/book/Convention_Liberation1.php)
Thx atas linknya om,.tp blm bs dibaca sekarang...apakah artikel ini pernah diterbitkan dlm satu buku karya ajahn chah ( yg bahasa indo) ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 12:15:10 PM
Jika konteksnya adalah ketika kita berlatih, maka senantiasa melatih keadaan 'diamnya pikiran' kapanpun hal tersebut memungkinkan, dan hanya 'larut dalam bergeraknya pikiran' ketika memang diperlukan (dalam kegiatan sehari-hari), maka saya setuju.

Kalo saya membayangkan hal di atas, tidak lebih dari orang yang mampu mencapai Jhana.
Setelah keluar dari jhana, tidak ada kesadaran (sati) tidak beda dengan orang yang tidak berlatih.
Kilesa hanya tertekan pada saat "diam", dan kembali dengan kekuatan penuh pada saat keluar dari keadaan "diam".


Thx om for the answer...mungkin yg dimaksud dgn 'dualitas' adalah pikiran sbg sumber penderitaan/konflik sekaligus juga 'pencerahan' itu yg saya persepsi....kalimat tantangan JK itu mungkin yg dimaksud bg 'org yg berlatih' bkn 'org yg udah mencapai pencerahan' ..apa pendapat om kainyn?

Sekedar saran, dalam membaca JK sebaiknya diimbangi dengan tulisan lain, apabila anda Buddhist, sebaiknya bacalah ajaran2 Bhikku hutan.
Pelajarilah kenapa ajaran JK disebut "True but not right, right but not true."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 12:19:47 PM
Thx atas linknya om,.tp blm bs dibaca sekarang...apakah artikel ini pernah diterbitkan dlm satu buku karya ajahn chah ( yg bahasa indo) ?


Pernah, terbitan Karaniya, judulnya: Meditasi, Jalan Menuju Kebebasan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 12:21:16 PM
Kalo saya membayangkan hal di atas, tidak lebih dari orang yang mampu mencapai Jhana.
Setelah keluar dari jhana, tidak ada kesadaran (sati) tidak beda dengan orang yang tidak berlatih.
Kilesa hanya tertekan pada saat "diam", dan kembali dengan kekuatan penuh pada saat keluar dari keadaan "diam".
Walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, (selama ia masih 'memilikinya') kondisi pikirannya berbeda dengan orang yang tidak memiliki jhana. Yang paling kentara adalah tidak munculnya nafsu indriah walaupun terjadi kontak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 12:26:42 PM
Walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, (selama ia masih 'memilikinya') kondisi pikirannya berbeda dengan orang yang tidak memiliki jhana. Yang paling kentara adalah tidak munculnya nafsu indriah walaupun terjadi kontak.

Apabila "hanya" Jhana, tapi belum mendapatkan kebijaksanaan (panna),
Maka nafsu indra bisa muncul sewaktu-waktu, tidak jauh beda dengan orang yang tidak berlatih.

Hanya kebijaksanaanlah yang dapat menghadang larut dalam kilesa.
Apabila seseorang dapat menyadari timbulnya nafsu dan tidak menurutinya, maka besar kemungkinan orang tersebut tidak sekedar mencapai Jhana namun telah mendapatkan kebijaksaan dalam bhavana.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 12:38:13 PM
Apabila "hanya" Jhana, tapi belum mendapatkan kebijaksanaan (panna),
Maka nafsu indra bisa muncul sewaktu-waktu, tidak jauh beda dengan orang yang tidak berlatih.

Hanya kebijaksanaanlah yang dapat menghadang larut dalam kilesa.
Apabila seseorang dapat menyadari timbulnya nafsu dan tidak menurutinya, maka besar kemungkinan orang tersebut tidak sekedar mencapai Jhana namun telah mendapatkan kebijaksaan dalam bhavana.
Jhana dan kebijaksanaan memang berbeda. Yang saya bahas adalah 'jhana' tidak seremeh itu karena walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, selama ia masih 'memiliki'-nya, nafsu indriah tidak akan menguasainya.

Hal tersebut berbeda dengan satipatthana puthujjana di mana kondisi meditatif dan non-meditatif itu bisa sama sekali tidak berhubungan, sama sekali tidak berpengaruh.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 12:51:13 PM
Jhana dan kebijaksanaan memang berbeda. Yang saya bahas adalah 'jhana' tidak seremeh itu karena walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, selama ia masih 'memiliki'-nya, nafsu indriah tidak akan menguasainya.

Hal tersebut berbeda dengan satipatthana puthujjana di mana kondisi meditatif dan non-meditatif itu bisa sama sekali tidak berhubungan, sama sekali tidak berpengaruh.


Jhana tidak bisa "disimpan".
Kalo menurut ane, itu "hanya" karena "hiri" dan "ottapa", walaupun hiri-ottapa sebenarnya bentuk kebijaksanaan juga.

(mudah2an tidak bosen, perumpamaan dari guru Chah lagi).
Jhana adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput, selama batu ditaruh, rumput tertekan dan tidak bisa tumbuh, tetapi setelah keluar dari keadaan Jhana hal ini bagaikan mengangkat batu itu kembali dan rumput kembali tumbuh dengan leluasa seperti sebelumnya,
sedangkan Panna adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput dan tidak mengangangkat dan membawanya lagi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 02 July 2011, 01:15:50 PM
Jhana tidak bisa "disimpan".
Kalo menurut ane, itu "hanya" karena "hiri" dan "ottapa", walaupun hiri-ottapa sebenarnya bentuk kebijaksanaan juga.

(mudah2an tidak bosen, perumpamaan dari guru Chah lagi).
Jhana adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput, selama batu ditaruh, rumput tertekan dan tidak bisa tumbuh, tetapi setelah keluar dari keadaan Jhana hal ini bagaikan mengangkat batu itu kembali dan rumput kembali tumbuh dengan leluasa seperti sebelumnya,
sedangkan Panna adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput dan tidak mengangangkat dan membawanya lagi.

Kenapa perumpamaan tentang panna nya seperti jhana juga yang menekan kekotoran batin ?  :-?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: andry on 02 July 2011, 01:16:40 PM
Jhana dan kebijaksanaan memang berbeda. Yang saya bahas adalah 'jhana' tidak seremeh itu karena walaupun orang sedang 'keluar' dari jhana, selama ia masih 'memiliki'-nya, nafsu indriah tidak akan menguasainya.

Hal tersebut berbeda dengan satipatthana puthujjana di mana kondisi meditatif dan non-meditatif itu bisa sama sekali tidak berhubungan, sama sekali tidak berpengaruh.


"memiliki" dalam artian apa ya bro?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: andry on 02 July 2011, 01:18:47 PM
Jhana tidak bisa "disimpan".
Kalo menurut ane, itu "hanya" karena "hiri" dan "ottapa", walaupun hiri-ottapa sebenarnya bentuk kebijaksanaan juga.

(mudah2an tidak bosen, perumpamaan dari guru Chah lagi).
Jhana adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput, selama batu ditaruh, rumput tertekan dan tidak bisa tumbuh, tetapi setelah keluar dari keadaan Jhana hal ini bagaikan mengangkat batu itu kembali dan rumput kembali tumbuh dengan leluasa seperti sebelumnya,
sedangkan Panna adalah bagaikan menaruh batu di atas rumput dan tidak mengangangkat dan membawanya lagi.
benul tdk bisa di simpan, namun munculnya nafsu indria, ini saya pikir bukan karena hiri dan otapa, (walaupun hiri dan otapa bs sebagai pengerem)
melainkan karena kekuatan fokusing kita ke 1 objek,
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 01:29:34 PM
"memiliki" dalam artian apa ya bro?

Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 02 July 2011, 02:37:49 PM


Sekedar saran, dalam membaca JK sebaiknya diimbangi dengan tulisan lain, apabila anda Buddhist, sebaiknya bacalah ajaran2 Bhikku hutan.
Pelajarilah kenapa ajaran JK disebut "True but not right, right but not true."
I'm buddhis...cuma pernah baca beberapa artikel JK aja..saya juga paling suka baca buku ajahn chah,artikel2 yg ditulis berdasarkan pengalama pribadi beliau,jarang sekali 'text book'..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 02 July 2011, 02:50:53 PM
Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.

Yg aku tanggap dr pernyataan JK itu bkn meditasi konsentrasi,,hanya kesadaran pasif tanpa adanya campur tangan 'aku'..namun sekali lagi ini hanya spekulasi pikiran saja...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 02:57:21 PM
Yg aku tanggap dr pernyataan JK itu bkn meditasi konsentrasi,,hanya kesadaran pasif tanpa adanya campur tangan 'aku'..namun sekali lagi ini hanya spekulasi pikiran saja...

Iya, saya tahu yang bro wijaya maksudkan bukan Samatha. Saya membahas perbandingannya hanya karena postingan dari bro hendrako.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 02 July 2011, 03:12:58 PM
Iya, saya tahu yang bro wijaya maksudkan bukan Samatha. Saya membahas perbandingannya hanya karena postingan dari bro hendrako.
Ok om kainyn its clear now..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 08:09:26 PM
benul tdk bisa di simpan, namun munculnya nafsu indria, ini saya pikir bukan karena hiri dan otapa, (walaupun hiri dan otapa bs sebagai pengerem)
melainkan karena kekuatan fokusing kita ke 1 objek,

Buddha ada menceritakan Jataka tentang petapa sakti yang mencapai Jhana tingkat tinggi yang tetap tidak dapat menghadang nafsunya.  Saya lupa nama petapanya....? pernah dibahas beberapa waktu lalu.

Juga ada cerita beberapa Bhikku pada jaman Sang Buddha (20 orang kalo tidak salah ingat) yang telah merasa mencapai tujuan akhir (padahal sebenarnya Jhana tinggkat tinggi) yang dalam perjalanannya sebelum menemui Buddha untuk melaporkan pencapaiannya, mendapat instruksi untuk mengunjungi pemakaman yang pada hari itu terdapat mayat seorang gadis muda yang baru meninggal, ternyata para beliau ini sadar bahwa masih dikuasai nafsu indera dan akhirnya berusaha keras di pekuburan tersebut hingga berhasil mencapai tujuan akhir dan setelah itu baru menemui Sang Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 08:13:21 PM
Kenapa perumpamaan tentang panna nya seperti jhana juga yang menekan kekotoran batin ?  :-?

Karena batu diletakkan dan tidak diambil lagi, maka itu tidak sekedar menekan tetapi sekaligus "membunuh".
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 08:16:10 PM
Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.


Mungkin rancu di bahasa, lebih pasnya memiliki kemampuan masuk ke dalam kondisi Jhana setiap waktu yang diinginkan.
Ini adalah kemampuan/keterampilan tingkat yang sudah amat sangat tinggi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 02 July 2011, 08:31:46 PM
I'm buddhis...cuma pernah baca beberapa artikel JK aja..saya juga paling suka baca buku ajahn chah,artikel2 yg ditulis berdasarkan pengalama pribadi beliau,jarang sekali 'text book'..

Tuhan DC keknya punya kompilasi ajaran Ajahn Chah versi bahasa Indonesia, tapi belum dipublish, mungkin masih sibuk......
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 July 2011, 08:59:56 PM
Mungkin rancu di bahasa, lebih pasnya memiliki kemampuan masuk ke dalam kondisi Jhana setiap waktu yang diinginkan.
Ini adalah kemampuan/keterampilan tingkat yang sudah amat sangat tinggi.
Mungkin yang dimaksud bro hendrako adalah vasi, seperti ketika Mahamoggallana diizinkan menaklukkan Naga Nandopananda karena ia memiliki kemampuan masuk Jhana IV dalam seketika. Tapi tetap bukan itu yang saya maksudkan.

Selama orang 'memiliki' jhana, ia tidak akan dikuasai nafsu indriah, walaupun ia tidak sedang berada dalam jhana. Ketika dikuasai nafsu indriah, maka otomatis jhana-nya 'luntur'. Seperti dalam Jataka, Bodhisatta begitu melihat bagian tubuh permaisuri yang kainnya tersingkap, maka ia dikuasai nafsu, jhana & kesaktiannya 'luntur'.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 02 July 2011, 10:50:21 PM
Tuhan DC keknya punya kompilasi ajaran Ajahn Chah versi bahasa Indonesia, tapi belum dipublish, mungkin masih sibuk......
Judulnya apa ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 03 July 2011, 02:01:28 PM
Mungkin yang dimaksud bro hendrako adalah vasi, seperti ketika Mahamoggallana diizinkan menaklukkan Naga Nandopananda karena ia memiliki kemampuan masuk Jhana IV dalam seketika. Tapi tetap bukan itu yang saya maksudkan.


Saya menginterpretasikan demikian karena:

Memiliki dalam artian walaupun dia tidak sedang berdiam dalam jhana, ia BISA mengarahkan pikirannya dan masuk dalam jhana. Hal ini karena orang tersebut telah terlatih dalam kelima faktor jhana.



Selama orang 'memiliki' jhana, ia tidak akan dikuasai nafsu indriah, walaupun ia tidak sedang berada dalam jhana. Ketika dikuasai nafsu indriah, maka otomatis jhana-nya 'luntur'. Seperti dalam Jataka, Bodhisatta begitu melihat bagian tubuh permaisuri yang kainnya tersingkap, maka ia dikuasai nafsu, jhana & kesaktiannya 'luntur'.

Apabila memang benar demikian, maka (apapun artinya) "memiliki" jhana tidak ada gunanya dalam menghadapi nafsu indera, ini bagaikan mempunyai pistol tanpa peluru, atau mempunyai rompi anti peluru tapi sedang tidak dipakai, jadi tetap kalah "tertembak" dari peluru kilesa.

Kalo dipandang dari sudut pandang lain lagi, tingkatan kesucian sotapanna misalnya, dikatakan masih belum mampu mengatasi nafsu indera, sementara dalam pandangan umum tingkatan kesucian ini hanya dapat dicapai bukan dengan Jhana (saja) tetapi lewat pandangan terang. Hanya pada tingkat anagami nafsu indra telah diatasi. Dari sini dapat dilihat bahwa Jhana (saja) masih belum dapat mengatasi nafsu (pada saat sedang tidak dalam Jhana), tetapi harus ada panna (sebagaimana perumpamaan pada post sebelumnya). Oleh karena itulah saya berpendapat bahwa sebelum seseorang telah mendapatkan pengetahuan lewat pandangan terang, yang bekerja menghalau nafsu adalah hiri-ottapa.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 03 July 2011, 02:04:20 PM
Judulnya apa ya?

Ane ga tau' juga judulnya, musti tanya dengan tuhan DC. ;D

Tahunya dari thread ini nih:  http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1414.0 (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=1414.0)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 July 2011, 09:23:03 AM
Apabila memang benar demikian, maka (apapun artinya) "memiliki" jhana tidak ada gunanya dalam menghadapi nafsu indera, ini bagaikan mempunyai pistol tanpa peluru, atau mempunyai rompi anti peluru tapi sedang tidak dipakai, jadi tetap kalah "tertembak" dari peluru kilesa.
Tidak seperti itu. "Keluar" dari jhana bukan seperti melepas rompi anti peluru. Kehilangan jhanalah yang seperti kehilangan rompi anti peluru tersebut. Susah menggambarkan sebuah kondisi pikiran, tetapi kalau saya memberikan perumpamaan seperti sebuah rumah dengan pintunya yang berat dan seseorang yang tinggal di dalamnya. Ketika seseorang itu kuat, maka ia mampu menutup pintu rumah tersebut rapat2, berdiam di dalamnya tanpa ada bahaya yang bisa memasuki rumah tersebut. Bahkan seandainya pun pintu itu tidak tertutup, karena ia ada dan berjaga di sana, maka tidak ada pencuri yang masuk. Ketika orang tersebut menjadi lemah, maka bukan saja ia tidak bisa menutup pintu rumahnya, ia pun tidak bisa menahan pencuri masuk ke rumahnya walaupun ia berdiri di depan pintu.

Rumah adalah pikiran, pintu adalah kontak indriah, pencuri adalah nafsu indriah, orang yang tinggal di dalamnya adalah konsentrasi. Ketika konsentrasi kuat dan pintu tertutup, dikatakan ia berdiam dalam jhana. Ketika pintu terbuka, namun dijaga oleh seorang kuat yang mampu mengarahkan tenaganya menutup pintu, ia dikatakan memiliki jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana.


Quote
Kalo dipandang dari sudut pandang lain lagi, tingkatan kesucian sotapanna misalnya, dikatakan masih belum mampu mengatasi nafsu indera, sementara dalam pandangan umum tingkatan kesucian ini hanya dapat dicapai bukan dengan Jhana (saja) tetapi lewat pandangan terang. Hanya pada tingkat anagami nafsu indra telah diatasi. Dari sini dapat dilihat bahwa Jhana (saja) masih belum dapat mengatasi nafsu (pada saat sedang tidak dalam Jhana), tetapi harus ada panna (sebagaimana perumpamaan pada post sebelumnya). Oleh karena itulah saya berpendapat bahwa sebelum seseorang telah mendapatkan pengetahuan lewat pandangan terang, yang bekerja menghalau nafsu adalah hiri-ottapa.
Saya tidak ingin jauh berspekulasi tentang pikiran para ariya, tapi kalau sejauh apa yang duga, dalam diri para ariya, (pada perumpamaan di atas) rumahnya sudah tidak ada lagi. Pada sotapanna, rumah itu sudah kehilangan pondasinya, tapi masih ada tembok dan atap, maka masih mungkin 'pencuri' berdiam di sana. Semakin tinggi pencapaiannya, semakin menghilang pula rumahnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 04 July 2011, 01:30:11 PM
Tidak seperti itu. "Keluar" dari jhana bukan seperti melepas rompi anti peluru. Kehilangan jhanalah yang seperti kehilangan rompi anti peluru tersebut. Susah menggambarkan sebuah kondisi pikiran, tetapi kalau saya memberikan perumpamaan seperti sebuah rumah dengan pintunya yang berat dan seseorang yang tinggal di dalamnya. Ketika seseorang itu kuat, maka ia mampu menutup pintu rumah tersebut rapat2, berdiam di dalamnya tanpa ada bahaya yang bisa memasuki rumah tersebut. Bahkan seandainya pun pintu itu tidak tertutup, karena ia ada dan berjaga di sana, maka tidak ada pencuri yang masuk. Ketika orang tersebut menjadi lemah, maka bukan saja ia tidak bisa menutup pintu rumahnya, ia pun tidak bisa menahan pencuri masuk ke rumahnya walaupun ia berdiri di depan pintu.

Rumah adalah pikiran, pintu adalah kontak indriah, pencuri adalah nafsu indriah, orang yang tinggal di dalamnya adalah konsentrasi. Ketika konsentrasi kuat dan pintu tertutup, dikatakan ia berdiam dalam jhana. Ketika pintu terbuka, namun dijaga oleh seorang kuat yang mampu mengarahkan tenaganya menutup pintu, ia dikatakan memiliki jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana.

Saya tidak ingin jauh berspekulasi tentang pikiran para ariya, tapi kalau sejauh apa yang duga, dalam diri para ariya, (pada perumpamaan di atas) rumahnya sudah tidak ada lagi. Pada sotapanna, rumah itu sudah kehilangan pondasinya, tapi masih ada tembok dan atap, maka masih mungkin 'pencuri' berdiam di sana. Semakin tinggi pencapaiannya, semakin menghilang pula rumahnya.

Kalau melihat perumpamaan di atas, berarti pada saat seseorang kedatangan tamu maka orang itu menutup pintu, kalau tdk salah tangkap itu berarti orang tersebut masuk ke dalam keadaan jhana. Hal ini agak janggal, karena ini berarti bahwa setiap ada obyek yang diperkirakan mengundang kemelekatan maka orang tersebut mengatasi dengan masuk ke dalam jhana. Jadi dalam satu hari bisa jadi orang tersebut masuk keadaan jhana berulang kali.

Dan tetap saja hal di atas menunjukkan bahwa hanya dalam keadaan jhana lah nafsu indera tidak dapat masuk. Setelah keluar kemungkinan pencuri masuk tetap terbuka lebar. Metoda begini lebih cenderung ke mmd deh, yaitu hanya pada saat pikiran diam si "aku" tidak ada, tetapi si "aku" muncul kembali setelah keluar dari keadaan diam.

Keknya saya sudah menangkap maksud "memiliki" disini, hanya saja dalam hal ini masih tidak sependapat.  ;)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 July 2011, 04:12:25 PM
Kalau melihat perumpamaan di atas, berarti pada saat seseorang kedatangan tamu maka orang itu menutup pintu, kalau tdk salah tangkap itu berarti orang tersebut masuk ke dalam keadaan jhana. Hal ini agak janggal, karena ini berarti bahwa setiap ada obyek yang diperkirakan mengundang kemelekatan maka orang tersebut mengatasi dengan masuk ke dalam jhana. Jadi dalam satu hari bisa jadi orang tersebut masuk keadaan jhana berulang kali.
Seperti saya bilang, walaupun pintu tidak tertutup, pencuri tidak bisa masuk selama ada penjaga yang kuat. Penjaga itu adalah konsentrasi.

Quote
Dan tetap saja hal di atas menunjukkan bahwa hanya dalam keadaan jhana lah nafsu indera tidak dapat masuk.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.


Quote
Setelah keluar kemungkinan pencuri masuk tetap terbuka lebar. Metoda begini lebih cenderung ke mmd deh, yaitu hanya pada saat pikiran diam si "aku" tidak ada, tetapi si "aku" muncul kembali setelah keluar dari keadaan diam.
Sudah saya bahas sebelumnya bahwa menurut saya kalau dalam konteks 'hilangnya aku', tidak ada tombol 'on-off'. Dalam bathin para ariya, tidak ada 'aku' di sana walaupun pikirannya bergerak.

Dalam konteks puthujjana, ketika pikiran 'ditenangkan', tidak dibiarkan berdiam melekat pada satu ide, menolak satu ide, atau mengembangkan satu ide, maka itu adalah bagian dari latihan untuk memahami fenomena. Terserah apakah MMD sama, mirip, atau lain sama sekali, saya tidak peduli. Apakah bertentangan dengan bhikkhu tenar ini atau bhikkhuni tenar itu, guru meditasi ini, praktisi meditasi itu, saya juga tidak peduli. Itu hanyalah pendapat saya pribadi.


Quote
Keknya saya sudah menangkap maksud "memiliki" disini, hanya saja dalam hal ini masih tidak sependapat.  ;)
Tentu saja perbedaan pendapat adalah hal wajar. Saya hanya menjawab dari sudut pandang saya saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 04 July 2011, 04:25:15 PM
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.

Saya lupa pernah baca di mana, dan tidak tau benar atau tidak. Katanya, seseorang yang sudah merasakan kebahagiaan jhana, tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. Apakah memang demikian?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 July 2011, 04:44:00 PM
Saya lupa pernah baca di mana, dan tidak tau benar atau tidak. Katanya, seseorang yang sudah merasakan kebahagiaan jhana, tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. Apakah memang demikian?
Kebahagiaan meditasi dan kebahagiaan inderawi itu adalah hal yang bertolak belakang. Ketika orang sedang menikmati kebahagiaan meditasi, maka tidak melihat kebahagiaan duniawi sebagai kebahagiaan. Demikian pula ketika seseorang menikmati kebahagiaan duniawi, tidak melihat kebahagiaan meditasi sebagai kebahagiaan.

Ketimbang berspekulasi 'bagaimana kebahagiaan jhana vs nafsu', ada hal yang gampang untuk membandingkan. Coba bayangkan ketika kita dikuasai nafsu indera, mencari hal yang menyenangkan indera, bagaimana pikiran kita menanggapi meditasi yang menjauhi kesenangan indera? Seperti 'tidak pas' dengan suasana pikiran, bukan? Nah, sepertinya begitu juga keadaan sebaliknya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 04 July 2011, 05:03:09 PM
Saya lupa pernah baca di mana, dan tidak tau benar atau tidak. Katanya, seseorang yang sudah merasakan kebahagiaan jhana, tidak lagi tertarik pada kenikmatan indria. Apakah memang demikian?

Kalau selagi dalam jhana maka jawabannya iya, bahwa tidak tertarik pada kenikmatan indera, tetapi kalo keluar dari jhana yah masih bisa tertarik akan nafsu indera.

Masalahnya kan tidak bisa mempertahankan jhana itu 24 jam penuh setiap harinya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 04 July 2011, 06:58:17 PM
Kalau selagi dalam jhana maka jawabannya iya, bahwa tidak tertarik pada kenikmatan indera, tetapi kalo keluar dari jhana yah masih bisa tertarik akan nafsu indera.

Masalahnya kan tidak bisa mempertahankan jhana itu 24 jam penuh setiap harinya.

Dalam hubungan dengan diskusi Jhana di post sebelumnya, saya setuju dengan pernyataan bro DragonHung diatas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 July 2011, 06:59:56 PM
Kalau selagi dalam jhana maka jawabannya iya, bahwa tidak tertarik pada kenikmatan indera, tetapi kalo keluar dari jhana yah masih bisa tertarik akan nafsu indera.

Masalahnya kan tidak bisa mempertahankan jhana itu 24 jam penuh setiap harinya.
Dalam jhana pun bisa kok, kalau konsentrasinya melemah. Itulah sebabnya para Arupa Brahma dan Asannasatta bisa 'terjatuh' walaupun dalam keadaan jhana.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 04 July 2011, 07:09:13 PM
Seperti saya bilang, walaupun pintu tidak tertutup, pencuri tidak bisa masuk selama ada penjaga yang kuat. Penjaga itu adalah konsentrasi.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.

Tidak setuju. (seperti penjelasan pada post sebelumnya)


Sudah saya bahas sebelumnya bahwa menurut saya kalau dalam konteks 'hilangnya aku', tidak ada tombol 'on-off'. Dalam bathin para ariya, tidak ada 'aku' di sana walaupun pikirannya bergerak.

Kalo udah Arya (minimal sebelum Arahat) , sudah tidak perlu Jhana untuk menghalau Kilesa, tapi dengan panna.

Dalam konteks puthujjana, ketika pikiran 'ditenangkan', tidak dibiarkan berdiam melekat pada satu ide, menolak satu ide, atau mengembangkan satu ide, maka itu adalah bagian dari latihan untuk memahami fenomena. Terserah apakah MMD sama, mirip, atau lain sama sekali, saya tidak peduli. Apakah bertentangan dengan bhikkhu tenar ini atau bhikkhuni tenar itu, guru meditasi ini, praktisi meditasi itu, saya juga tidak peduli. Itu hanyalah pendapat saya pribadi.


Untuk memahami fenomena, justru harus keluar dari Jhana.
Kalo dalam konteks MMD saya peduli, bukan karena bertentangan dengan Bhikku tenar ini atau itu, tetapi berdasarkan kesimpulan dari pembelajaran bahwa ajarannya menyimpang. Tapi yang jelas bukan label MMD-nya tetapi isi ajarannya, label hanyalah label, alat untuk berkomunikasi (konvensi).


Tentu saja perbedaan pendapat adalah hal wajar. Saya hanya menjawab dari sudut pandang saya saja.

Yup, alami sekali.  ;)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 04 July 2011, 07:10:06 PM
Dalam jhana pun bisa kok, kalau konsentrasinya melemah. Itulah sebabnya para Arupa Brahma dan Asannasatta bisa 'terjatuh' walaupun dalam keadaan jhana.


Kalo konsentrasinya lemah, itu mah bukan Jhana namanya.  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 04 July 2011, 07:40:38 PM
Dalam jhana pun bisa kok, kalau konsentrasinya melemah. Itulah sebabnya para Arupa Brahma dan Asannasatta bisa 'terjatuh' walaupun dalam keadaan jhana.


Pada kehidupan sebagai manusia, jika dalam meditasi tahap arupa, kalo konsentrasi melemah yah jatuh ke tahap dibawahnya.
Mungkin kalau dalam kehidupan di alam brahma kalau konsentrasi melemah, langsung meninggal dari alam sana yah kali?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 04 July 2011, 09:12:00 PM

Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.


pada saat memiliki 5 faktor jhana, maka dikatakan orang itu berdiam dalam jhana 1. berdiam dalam jhana ini tidak harus dalam postur tubuh duduk merem, bisa saja sambil melakukan aktivitas sehari2.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 05 July 2011, 08:31:45 AM
pada saat memiliki 5 faktor jhana, maka dikatakan orang itu berdiam dalam jhana 1. berdiam dalam jhana ini tidak harus dalam postur tubuh duduk merem, bisa saja sambil melakukan aktivitas sehari2.

Baru denger kalo bisa berdiam dalam jhana saat melakukan aktivitas  :-?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 July 2011, 08:45:56 AM
Tidak setuju. (seperti penjelasan pada post sebelumnya)

Kalo udah Arya (minimal sebelum Arahat) , sudah tidak perlu Jhana untuk menghalau Kilesa, tapi dengan panna.

Untuk memahami fenomena, justru harus keluar dari Jhana.
Kalo dalam konteks MMD saya peduli, bukan karena bertentangan dengan Bhikku tenar ini atau itu, tetapi berdasarkan kesimpulan dari pembelajaran bahwa ajarannya menyimpang. Tapi yang jelas bukan label MMD-nya tetapi isi ajarannya, label hanyalah label, alat untuk berkomunikasi (konvensi).


Yup, alami sekali.  ;)
Saya lihat kita tidak nyambung. Sejak kapan saya katakan memahami fenomena harus dalam jhana? ;D
Atau jangan-jangan keliru tentang istilah 'pikiran' seperti di masa lalu? Kalau untuk itu, saya minta maaf karena 'urat' saya tidak sekuat Pak Hudoyo.


Kalo konsentrasinya lemah, itu mah bukan Jhana namanya.  ;D
Yang saya katakan, sebuah noda pikiran, sesuai kamma, bisa timbul bahkan ketika orang berada dalam jhana, sehingga konsentrasinya melemah, dan otomatis jhananya 'luntur'.
Ini saya tuliskan untuk merespon spekulasi bahwa kalau dalam jhana, semua aman.
Untuk berikutnya, saya juga tidak akan menanggapi spekulasi jhana dari bro hendrako. Silahkan saja menganut paham jhana seperti orang pingsan/koma. Nanti kalau bro hendrako sudah mendekati/mencapai jhana, saya tunggu bro hendrako kembali ke sini dan meluruskan pandangan salah saya. Sementara itu, baiklah kita bicarakan yang nyata saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 July 2011, 08:50:45 AM
pada saat memiliki 5 faktor jhana, maka dikatakan orang itu berdiam dalam jhana 1. berdiam dalam jhana ini tidak harus dalam postur tubuh duduk merem, bisa saja sambil melakukan aktivitas sehari2.
Menurut saya tidak begitu. Ketika kelima faktor tersebut dimunculkan bersamaan, maka orang tersebut berdiam dalam jhana 1. Ada sebuah fase yang dilewati yang berbeda dengan pikiran pada saat sehari-hari. Itulah sebabnya lebih susah masuk ke jhana IV yang 'cuma' perlu 1 faktor, ketimbang jhana I yang perlu 5 faktor.

Berdiam dalam jhana memang tidak harus duduk. Kalau merem, saya kurang tahu. Tapi berdiam dalam jhana tidak dapat dilakukan sambil melakukan aktivitas sehari-hari sebab dalam aktivitas sehari-hari, pikiran tidak dapat berdiam dalam 1 objek dan selalu merespon semua input dari indera. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 July 2011, 09:29:32 AM
Menurut saya tidak begitu. Ketika kelima faktor tersebut dimunculkan bersamaan, maka orang tersebut berdiam dalam jhana 1. Ada sebuah fase yang dilewati yang berbeda dengan pikiran pada saat sehari-hari. Itulah sebabnya lebih susah masuk ke jhana IV yang 'cuma' perlu 1 faktor, ketimbang jhana I yang perlu 5 faktor.
saya mengartikan ketidakhadiran faktor sbg tdk memiliki faktor. Ketika salah satu faktor absence maka ia dikatakan tidak berada dlm jhana.

Quote
Berdiam dalam jhana memang tidak harus duduk. Kalau merem, saya kurang tahu. Tapi berdiam dalam jhana tidak dapat dilakukan sambil melakukan aktivitas sehari-hari sebab dalam aktivitas sehari-hari, pikiran tidak dapat berdiam dalam 1 objek dan selalu merespon semua input dari indera. 



Aktivitas sehari2 yg saya maksudkan Adalah dlm makna yg terbatas spt makan, mandi, dll yg tidak memerlukan pemikiran yg intens. Dan ketika seseorang yg berada dlm jhana sedang makan, pikirannya tdk merespon rasa enak Dari Makanan itu. Sama spt ketika seseorang yg sedang meditasi duduk berada dalam jhana tidak merespon rasa kesemutan dan sakit pada kakinya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 05 July 2011, 09:34:34 AM
Saya lihat kita tidak nyambung. Sejak kapan saya katakan memahami fenomena harus dalam jhana? ;D

Sejak anda menulis pernyataan seperti yg dibold biru di bawah ini saat sedang membahas jhana:  8)

Seperti saya bilang, walaupun pintu tidak tertutup, pencuri tidak bisa masuk selama ada penjaga yang kuat. Penjaga itu adalah konsentrasi.
Sekali lagi, selama orang memiliki kelima faktor jhana, walaupun tidak berdiam dalam jhana, maka nafsu indera tidak dapat menguasainya.

Sudah saya bahas sebelumnya bahwa menurut saya kalau dalam konteks 'hilangnya aku', tidak ada tombol 'on-off'. Dalam bathin para ariya, tidak ada 'aku' di sana walaupun pikirannya bergerak.

Dalam konteks puthujjana, ketika pikiran 'ditenangkan', tidak dibiarkan berdiam melekat pada satu ide, menolak satu ide, atau mengembangkan satu ide, maka itu adalah bagian dari latihan untuk memahami fenomena. Terserah apakah MMD sama, mirip, atau lain sama sekali, saya tidak peduli. Apakah bertentangan dengan bhikkhu tenar ini atau bhikkhuni tenar itu, guru meditasi ini, praktisi meditasi itu, saya juga tidak peduli. Itu hanyalah pendapat saya pribadi.

Tentu saja perbedaan pendapat adalah hal wajar. Saya hanya menjawab dari sudut pandang saya saja.

Atau jangan-jangan keliru tentang istilah 'pikiran' seperti di masa lalu? Kalau untuk itu, saya minta maaf karena 'urat' saya tidak sekuat Pak Hudoyo.

Yang saya katakan, sebuah noda pikiran, sesuai kamma, bisa timbul bahkan ketika orang berada dalam jhana, sehingga konsentrasinya melemah, dan otomatis jhananya 'luntur'.
Ini saya tuliskan untuk merespon spekulasi bahwa kalau dalam jhana, semua aman.
Untuk berikutnya, saya juga tidak akan menanggapi spekulasi jhana dari bro hendrako. Silahkan saja menganut paham jhana seperti orang pingsan/koma. Nanti kalau bro hendrako sudah mendekati/mencapai jhana, saya tunggu bro hendrako kembali ke sini dan meluruskan pandangan salah saya. Sementara itu, baiklah kita bicarakan yang nyata saja.

Ane gak mudeng soal istilah 'pikiran seperti di masa lalu ? Maksudnya apa nih? tapi no problem ah.

Jhana emang aman,
bukan karena seperti orang pingsan,
tetapi karena keterpusatan. ;D

Andaikata ane udah mencapai Jhana, keknya tidak perlu dan tetap percuma dikatakan kepada anda, 
yang jelas karena tetap saja itu hanyalah kata2,
pengertian sesungguhnya hanya datang dari pengalaman langsung.
Ibarat anda belum pernah mencium bau mawar, dan ada seseorang menjelaskan tentang wangi bunga mawar dengan sedetail-detailnya kepada anda , dipercaya atau tidak, tetap saja anda tidak mengetahui wangi bunga mawar yang sesungguhnya. Baru setelah anda mencium bunga mawar itu sendiri maka anda benar2 tahu wangi bunga mawar, dan tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi.

Jadi tidak perlu menunggu ane deh kesana, sebaiknya anda terjun langsung. Lagian banyak tuh master2 yang bisa diminta penjelasan dan instruksinya, anda telah cukup mempunyai vipaka baik dengan tinggal di lokasi yang tidak terlalu jauh dari pusat pelatihan disana, tinggal niat saja.  ;D

Sementara itu, baiklah kita bicarakan yang nyata saja.

Keknya kalimat di atas adalah komando untuk mengakhiri diskusi, no problem, terserah anda saja.  ;D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 05 July 2011, 09:41:49 AM
Menurut saya tidak begitu. Ketika kelima faktor tersebut dimunculkan bersamaan, maka orang tersebut berdiam dalam jhana 1. Ada sebuah fase yang dilewati yang berbeda dengan pikiran pada saat sehari-hari. Itulah sebabnya lebih susah masuk ke jhana IV yang 'cuma' perlu 1 faktor, ketimbang jhana I yang perlu 5 faktor.

Berdiam dalam jhana memang tidak harus duduk. Kalau merem, saya kurang tahu. Tapi berdiam dalam jhana tidak dapat dilakukan sambil melakukan aktivitas sehari-hari sebab dalam aktivitas sehari-hari, pikiran tidak dapat berdiam dalam 1 objek dan selalu merespon semua input dari indera. 



5 faktor tersebut bukan timbul secara bersamaan, tetapi berproses sebab akibat. Yang satu menyebabkan timbulnya yang berikutnya dan ini menjadi sebab bagi kemunculan faktor yang berikutnya sampe faktor yang ke-5. Perumpamaannya seperti proses buah mangga (perumpamaan dari Bhikku tenar lagi nih ;D) dari bunga menjadi bakal bunga menjadi buah muda menjadi buah besar menjadi buah setengah mateng sampai buah matang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hendrako on 05 July 2011, 09:47:13 AM
saya mengartikan ketidakhadiran faktor sbg tdk memiliki faktor. Ketika salah satu faktor absence maka ia dikatakan tidak berada dlm jhana.


Kalo dalam konteks Jhana 1, iya.
Tapi keknya kalo dalam konteks Jhana 2, faktor pertama "ditinggalkan".
Satu persatu faktor ditinggalkan sampai tinggal Ekagata pada Jhana 4.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 05 July 2011, 03:21:14 PM
Mau tanya,

1. Apa yang membedakan praktik Dhutanga dengan praktik ke-bhikkhu-an biasa? Kalau tidak salah, salah satunya adalah makan satu kali sehari? siapa yang menetapkan peraturannya (apakah si bhikkhu sendiri)?

2. Apa perbedaan praktik Dhutanga dengan praktik menyiksa diri (satu dari dua ekstrem)?

3. Apa tujuan praktik Dhutanga?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 July 2011, 03:39:07 PM
Mau tanya,

1. Apa yang membedakan praktik Dhutanga dengan praktik ke-bhikkhu-an biasa? Kalau tidak salah, salah satunya adalah makan satu kali sehari? siapa yang menetapkan peraturannya (apakah si bhikkhu sendiri)?
Praktik pertapaan keras (dhutanga) adalah praktik untuk lebih mendisiplinkan diri. Kalau tidak salah, pertapaan keras ini memang sudah ada tradisinya, tapi yang diperbolehkan oleh Buddha adalah 13 praktik. Pertapaan ini juga pilihan dan boleh dijalani oleh mereka yang cocok & mampu.

Spoiler: ShowHide
Dari wikipedia:

1. paṃsukūla (Abandoned Robes) - this is the austerity of using any cloth found on the road as material for making robes.

2. tecīvarika (Three Robes)- this is the austerity of only using the three robes of a bhikkhu as garments.

3. piṇḍapāta (Begged Food) - this is the austerity of eating only what one gains on almsround (pindapata), whether it be a little or a lot or even nothing at all. NB: bhikkhus do not beg per se, since they are not allowed under Monastic rules (Vinaya) to ask/beg for food. The bhikkhu observing this dhutanga declines invitations to take meals at the houses of Lay people.

4. sapadānacārika (Regular Alms round) - this is the austerity where if a bhikkhu gains tasty food from a particular house on his almsround, then he avoids that house in future

5. ekāsanika (One eating) - this is the austerity where the bhikkhu will eat only in one place and not eat a little in one spot and then eat more in another.

6. pattapiṇḍika (Measured food) - this is the austerity of eating only a certain measure of food. The bhikkhu sees fault in indulging his appetite.

7. khalupacchābhattika (no longer accepting any extra food after having started to take the meal) - this is the austerity of no longer accepting any extra food after having started to take the meal

8. āraññika (Dwelling in a peaceful place) - this is the austerity where the bhikkhu does not dwell in a village or noisy temple. This is meant to help with meditation, as it is very hard to meditate in a noisy place.

9. rukkhamūla (Dwelling under a tree) - this is the austerity of not dwelling under a roof.

10. abbhokāsika (Dwelling in a dewy place) - this is the austerity of dwelling neither under a roof or a tree, but in the open

11. susānika (Dwelling among the graves) - this is the austerity of living/dwelling in a cemetery. NB cemeteries in Ancient & modern India often have corpses left out in the open or only partially cremated. Also places where ghosts & malevolent spirits were known to inhabit...a frightening place.

12. yathāsantatika (Any chanced upon place) - this is the austerity of at the end of a days walking/wandering to sleep wherever the bhikkhu happened to be so long as it was safe.

13. nesajjika (Always sitting and not lying down) - this is the austerity of not sleeping stretched out. Usually the bhikkhu sleeps propped against a wall or even in the meditation posture.



Quote
2. Apa perbedaan praktik Dhutanga dengan praktik menyiksa diri (satu dari dua ekstrem)?
Dhutanga masih dalam cakupan jalan tengah karena tujuannya adalah mendisiplinkan indriah untuk menunjang latihan. Berbeda dengan menyiksa diri yang memang untuk menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada tubuh.


Quote
3. Apa tujuan praktik Dhutanga?
Sebetulnya dhutanga atau tidak, sama saja bagi seorang bhikkhu tujuannya adalah pengikisan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Bedanya dhutanga adalah bentuk yang lebih keras saja. Mahakassapa, Mahasavaka terunggul dalam dhutanga menolak menghentikan dhutanga-nya walaupun umurnya sudah tua karena ingin memberikan contoh bagi generasi berikut agar mengambil jalan yang sama, dan mencapai hasil yang sama sepertinya (nibbana).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 05 July 2011, 03:55:00 PM
Mau tanya lagi,

Apakah ada peraturan misalnya seorang bhikkhuni tidak boleh tinggal sendirian di hutan, karena berbahaya?

Saya pernah membaca tentang kisah seorang bhikkhuni (Arahat) yang dihadang oleh seorang pria di hutan. Pria ini jatuh cinta padanya dan memuji mata bhikkhuni ini (dikatakan indah), tapi bhikkhuni tsb menasehati pria ini bahwa mata adalah salah satu bagian tubuh yang menjijikkan. Lalu di akhir cerita, bhikkhuni ini mengeluarkan bola matanya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 05 July 2011, 03:58:59 PM
Untuk seorang bhikkhu, sila yang dijalankan adalah 227 sila.  Hal ini mirip dengan mata pelajaran standard di SMU, sedangkan dhutanga kalau diumpamakan lebih mirip dengan kegiatan ekstrakurikuler seperti les piano, matematika kumon, melukis dll yang sifatnya untuk mengembangkan potensi diri yang ada dalam diri seseorang.

Setiap bagian dari dhutanga mempunyai tujuan untuk mengurangi suatu keterikatan seseorang yang berlebihan  pada sesuatu hal.  Biasanya dengan praktek sila standar akan kurang cepat dalam mengurangi keterikatan itu.

Contohnya, sebelumnya saya tidak menyadari bahwa saya ini orang yang gemar tidur (kemalasan berlebihan), maka oleh guru saya setelah mengetahui ini saya disarankan latihan dhutanga untuk tidur dengan tidak berbaring.
Di lain waktu ada seorang samanera yang sewaktu mendapat makanan, timbul keserakahan yang berlebihan.  Beliau di tegur oleh guru saya dan dianjurkan untuk makan hanya sekali dalam sehari.

Jadi setiap orang mempunyai kadar keterikatan yang berbeda2 pada suatu hal, nah tujuan dhutanga adalah untuk mengatasi hal ini, agar nantinya kemajuan spritual yang dicapai bisa lebih cepat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 July 2011, 04:02:49 PM
Mau tanya lagi,

Apakah ada peraturan misalnya seorang bhikkhuni tidak boleh tinggal sendirian di hutan, karena berbahaya?

Saya pernah membaca tentang kisah seorang bhikkhuni (Arahat) yang dihadang oleh seorang pria di hutan. Pria ini jatuh cinta padanya dan memuji mata bhikkhuni ini (dikatakan indah), tapi bhikkhuni tsb menasehati pria ini bahwa mata adalah salah satu bagian tubuh yang menjijikkan. Lalu di akhir cerita, bhikkhuni ini mengeluarkan bola matanya.
Ada peraturan bhikkhuni tidak tinggal jauh dari kota. Hal ini karena kejadian Upalavanna (Aggasavika) yang diperkosa oleh sepupunya.

Kisah wanita yang mencabut matanya itu kalau tidak salah adalah Subha Jivakambhavanika, saya kurang ingat. Ia belum menjadi bhikkhuni, tapi sepertinya sudah mencapai kesucian dan ingin menjadi bhikkhuni. Ia dihalangi oleh pria yang jatuh cinta padanya dan melarangnya agar tidak menjadi bhikkhuni. Ia bertanya, bagian mana dari tubuh kotornya yang telah membuat orang itu jatuh cinta, dan dijawab matanya yang indah. Ia mencabut bola matanya, dan kemudian pria itu jatuh dan meminta maaf atas perbuatannya.

Ralat: ia memang sudah menjadi bhikkhuni pada saat itu. Ketika Subha datang menghadap Buddha, matanya sembuh seperti semula ketika ia melihat Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 July 2011, 10:25:54 PM
Kalo dalam konteks Jhana 1, iya.
Tapi keknya kalo dalam konteks Jhana 2, faktor pertama "ditinggalkan".
Satu persatu faktor ditinggalkan sampai tinggal Ekagata pada Jhana 4.

jhana 1 dengan 5 faktor, jhana2 lainnya dengan faktor2nya masing2. yg ingin saya sampaikan adalah bahwa dengan memiliki faktor2 (sesuai jhananya) maka ia dikatakan berdiam dalam jhana. saya berpendapat bahwa mungkin saja seseorang berdiam dalam jhana sambil makan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 05 July 2011, 11:13:07 PM
Untuk seorang bhikkhu, sila yang dijalankan adalah 227 sila.  Hal ini mirip dengan mata pelajaran standard di SMU, sedangkan dhutanga kalau diumpamakan lebih mirip dengan kegiatan ekstrakurikuler seperti les piano, matematika kumon, melukis dll yang sifatnya untuk mengembangkan potensi diri yang ada dalam diri seseorang.

Setiap bagian dari dhutanga mempunyai tujuan untuk mengurangi suatu keterikatan seseorang yang berlebihan  pada sesuatu hal.  Biasanya dengan praktek sila standar akan kurang cepat dalam mengurangi keterikatan itu.

Contohnya, sebelumnya saya tidak menyadari bahwa saya ini orang yang gemar tidur (kemalasan berlebihan), maka oleh guru saya setelah mengetahui ini saya disarankan latihan dhutanga untuk tidur dengan tidak berbaring.
Di lain waktu ada seorang samanera yang sewaktu mendapat makanan, timbul keserakahan yang berlebihan.  Beliau di tegur oleh guru saya dan dianjurkan untuk makan hanya sekali dalam sehari.

Jadi setiap orang mempunyai kadar keterikatan yang berbeda2 pada suatu hal, nah tujuan dhutanga adalah untuk mengatasi hal ini, agar nantinya kemajuan spritual yang dicapai bisa lebih cepat.
om dragon
*dari postingan2 om,Keknya kualitas guru anda sudah tinggi..
Kalo boleh share profil guru om dong,*lewat PM juga boleh* agar menambah viriya ;D

Sy kenal satu bhikkhu,(cmiiw) tidurnya pake springbed,kamarnya ber-ac,di antara jubahnya ada kantung buat menyimpan kunci(uang?),keluar-masuk kamar selalu dikunci..
Pertanyaannya;apakah "lumrah" bhikkhu "berfasilitas" demikian??
**salahkah saya jika berprasangka buruk terhadap bhikkhu tersebut??
Thank

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 06 July 2011, 08:20:25 AM
 [at] Mr. Jhonz
* Guru saya 'galak' kata banyak orang, banyak yang gak tahan.  Padahal setahu saya, beliau hanya galak jika orang yang dilatihnya tidak benar2 serius latihan atau banyak memiliki pemikiran yg nyeleneh.

** No comment deh terhadap bhikkhu yang demikian.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 08 July 2011, 02:13:46 PM
wawh.. udh kelewat jauh...  :o

Thx bwt jawaban yg kemaren bro kainyn..
bro, krmn ini saya jg kepikiran ttg kisah Buddha matteya yg berkorban untuk harimau betina...

kl dr sisi harimaunya, apakah harimau betina tsb ga terhitung membunuh? apakah dia bs mendapatkan kamma buruk dr pengorbanan Buddha Matteya?

mohon penjelasannya.
Trmksh. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 08 July 2011, 02:29:55 PM
wawh.. udh kelewat jauh...  :o

Thx bwt jawaban yg kemaren bro kainyn..
bro, krmn ini saya jg kepikiran ttg kisah Buddha matteya yg berkorban untuk harimau betina...

kl dr sisi harimaunya, apakah harimau betina tsb ga terhitung membunuh? apakah dia bs mendapatkan kamma buruk dr pengorbanan Buddha Matteya?

mohon penjelasannya.
Trmksh. :)

Kayaknya belum ada Buddha Metteya deh... mgkn kisah bodhisatta kali yang dalam proses menyempurnakan parami dana dengan mengorbankan diri untuk induk harimau yang kelaparan..krn cinta kasih takut induk harimau memakan anaknya sendiri jd Boddhisatta mendanakan tubuhnya untuk dimakan....

Kalo masalah kamma ini saya kurang tau... tapi kalo seseorang sudah mendanakan dg suka rela harusnya sih tidak...krn kalo dana tsb tidak diterima kan si pendonor tidak memperoleh berkah..... jd kalo kita berdana harusnya kita berterimakasih kepada yang menerima sehingga memberikan kita kesempatan untuk berdana...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 July 2011, 02:31:06 PM
wawh.. udh kelewat jauh...  :o

Thx bwt jawaban yg kemaren bro kainyn..
bro, krmn ini saya jg kepikiran ttg kisah Buddha matteya yg berkorban untuk harimau betina...

kl dr sisi harimaunya, apakah harimau betina tsb ga terhitung membunuh? apakah dia bs mendapatkan kamma buruk dr pengorbanan Buddha Matteya?

mohon penjelasannya.
Trmksh. :)
Yang berkorban itu Bodhisatta Gotama. Bodhisatta Metteyya itu murid utamanya yang disuruh pergi mencari sisa makanan.

Kalau menurut saya, sepertinya berbeda antara manusia dan harimau dalam hal pembunuhan. Harimau dan binatang buas lain memang terkondisi untuk hidup dari membunuh mangsa. Walaupun sepertinya juga sama-sama kamma buruk, tapi berbeda dengan manusia yang memang membunuh karena kebencian. Kalau dalam cerita pengorbanan bodhisatta, harimaunya tidak membunuh, tapi bodhisatta yang mengorbankan diri.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 12 July 2011, 10:13:57 AM
Yang berkorban itu Bodhisatta Gotama. Bodhisatta Metteyya itu murid utamanya yang disuruh pergi mencari sisa makanan.

Kalau menurut saya, sepertinya berbeda antara manusia dan harimau dalam hal pembunuhan. Harimau dan binatang buas lain memang terkondisi untuk hidup dari membunuh mangsa. Walaupun sepertinya juga sama-sama kamma buruk, tapi berbeda dengan manusia yang memang membunuh karena kebencian. Kalau dalam cerita pengorbanan bodhisatta, harimaunya tidak membunuh, tapi bodhisatta yang mengorbankan diri.

oh.. iya sorry... ok deh, Trmksh Bro Kainyn & William  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 15 July 2011, 05:14:15 PM
Bro Kainyn,

Saya pernah membaca sebuah artikel. Di artikel itu si penulis bercerita bahwa ada temannya yang sedang berjuang mengatasi masalah personalnya (karir, percintaan, rasa kebahagiaan). Dia mengatakan bahwa dia ingin menulis sebuah buku yang judulnya refleksional menurut saya.

Menurut bro kainyn, apa jawaban yang tepat untuk judul buku tersebut  ;D

"If i am not special, then who am i ?"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 July 2011, 06:50:45 PM
Bro Kainyn,

Saya pernah membaca sebuah artikel. Di artikel itu si penulis bercerita bahwa ada temannya yang sedang berjuang mengatasi masalah personalnya (karir, percintaan, rasa kebahagiaan). Dia mengatakan bahwa dia ingin menulis sebuah buku yang judulnya refleksional menurut saya.

Menurut bro kainyn, apa jawaban yang tepat untuk judul buku tersebut  ;D

"If i am not special, then who am i ?"

Saya belum baca bukunya, jadi hanya jawab seadanya saja dan mungkin tidak tepat.
Menurut saya, istimewanya seseorang hanyalah masalah persepsi. Untuk apa kita memperjuangkan sebuah pengakuan, bahkan kadang mengorbankan kebahagiaan kita.

"... then I'm just an ordinary someone and I am content with that. Why should I strive to be other's special someone?"

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 15 July 2011, 07:16:30 PM
Saya belum baca bukunya, jadi hanya jawab seadanya saja dan mungkin tidak tepat.
Menurut saya, istimewanya seseorang hanyalah masalah persepsi. Untuk apa kita memperjuangkan sebuah pengakuan, bahkan kadang mengorbankan kebahagiaan kita.

"... then I'm just an ordinary someone and I am content with that. Why should I strive to be other's special someone?"

Bukunya sih belum ada, baru keinginan  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 16 July 2011, 09:26:47 AM
Bukunya sih belum ada, baru keinginan  ;D
Saya masih kurang tangkap apakah maksudnya memotivasi bahwa kita semua adalah spesial atau menanggapi kondisi ketika kita tidak dianggap spesial?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 16 July 2011, 01:56:02 PM
Saya masih kurang tangkap apakah maksudnya memotivasi bahwa kita semua adalah spesial atau menanggapi kondisi ketika kita tidak dianggap spesial?

Mungkin hanya sekedar bercerita tentang harapan-harapan dalam hidup dan kenyataannya yang ironis. Saya memang tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan tentang "diri".
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 16 July 2011, 02:14:32 PM
Mungkin hanya sekedar bercerita tentang harapan-harapan dalam hidup dan kenyataannya yang ironis. Saya memang tertarik dengan pertanyaan-pertanyaan tentang "diri".
Ya, memang menarik bagaimana sebetulnya kita semua masih mengejar sebuah eksistensi 'diri'. Kebalikan dari kebanyakan motivator sekarang, Ajaran Buddha justru mengajarkan melepas pandangan 'diri' tersebut.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 18 July 2011, 11:49:21 AM
Nanya dong om,
Apa ulah pengusaha yg menimbun suatu produk dan menyebabkan suatu produk menjadi langka termasuk karma buruk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 July 2011, 12:00:40 PM
Nanya dong om,
Apa ulah pengusaha yg menimbun suatu produk dan menyebabkan suatu produk menjadi langka termasuk karma buruk?
Menimbun produk untuk menaikkan harga adalah strategi berdagang juga. Kalau produk yang ditimbun adalah sesuatu kebutuhan primer yang dibutuhkan (seperti makanan, air bersih, obat, dll) dan menyebabkan penderitaan orang banyak, tentu itu adalah karma buruk. Seharusnya produk-produk demikian juga dikuasai oleh negara dan diatur untuk kemakmuran rakyatnya.

Kalau produk yang tidak menyangkut kebutuhan hidup, tidak mendesak, saya pikir tidak apa ditimbun atau diatur distribusinya. Sama saja seperti orang buat produk "limited edition" untuk menaikkan harga. Menurut saya begitu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 05 August 2011, 10:06:13 AM
 _/\_ om kainyn, saya mau bertanya tentang sila kedua Pancasila Buddhis, Adinnadana.
apakah tindakan pencurian ini berlaku bagi hewan, misalnya saya udah dua hari g makan, kemudian melihat seekor kucing yang baru saja mendapatkan ikan, lalu saya mengambil ikan itu untuk menghilangkan rasa lapar saya, apakah itu termasuk adinnadana?
kemudian kalau misalnya ada kucing yang mencuri ikan di dapur, apakah kucing itu juga termasuk telah melakukan adinnadana?
makasih sebelumnya om..  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 August 2011, 10:51:13 AM
_/\_ om kainyn, saya mau bertanya tentang sila kedua Pancasila Buddhis, Adinnadana.
apakah tindakan pencurian ini berlaku bagi hewan, misalnya saya udah dua hari g makan, kemudian melihat seekor kucing yang baru saja mendapatkan ikan, lalu saya mengambil ikan itu untuk menghilangkan rasa lapar saya, apakah itu termasuk adinnadana?
Tentu saja itu juga mencuri. Ikan itu adalah rejeki/buah kamma baik si kucing, punya dia. Kalau kita ambil, sama saja mencuri. Kecuali kalau si kucing yang memberikan (dan sejujurnya saya juga tidak bisa membedakan ekspresi wajah atau 'ngeongan' kucing ketika memberi ikhlas atau terpaksa).


Quote
kemudian kalau misalnya ada kucing yang mencuri ikan di dapur, apakah kucing itu juga termasuk telah melakukan adinnadana?
makasih sebelumnya om..  :)
Nah, kalau yang ini agak rumit karena kita berusaha memahami pikiran kucing. Walaupun saya belum sakti, tapi kita coba bahas sedikit. Misalnya kita tinggal di desa yang berbeda yang dipisahkan oleh hutan. Hutan itu bukan milik siapapun, dan kita bisa ambil sesuka hati. Suatu saat kita masuk hutan sama-sama dan melihat satu apel yang super-lezat. Maka kita berdua berlomba mengambil apel tersebut. Siapapun yang dapat, tidak mencurinya dari yang lain. Hidup hanyalah sebuah perlombaan tanpa henti, segala cara dilakukan untuk bertahan hidup.

Berikutnya karena kita lelah kejar-kejaran, cakar-cakaran, rebut-rebutan, maka hutan itu kita bagi dua, area A buat saya, area B buat sis Hema. Kalau kemudian saya ambil apel di area B, maka itu disebut mencuri.

Jadi saya pikir mencuri atau tidak adalah tergantung pikiran si pelaku. Kalau si pelaku memang tidak tahu tentang kepemilikan dan mengambil sesuatu, maka tidak bisa dibilang mencuri. Binatang juga bervariasi, kalau mereka yang liar, yang tidak berhubungan dengan manusia, biasanya 'pandangannya' adalah hukum rimba, seperti kasus yang pertama. Semuanya bukan milik siapapun, dan boleh melakukan cara apapun untuk mendapatkan makanan & bertahan hidup. Kalau binatang yang tinggal di antara manusia, biasanya pandangannya berbeda dan tahu tentang kepemilikan. Contohnya kucing kalau ada makanan di piring yang biasa digunakan olehnya, maka dia bisa makan dengan tenang. Tapi kalau makanan di dapur, dia harus 'nge-garong' untuk mendapatkannya karena tahu itu bukan miliknya dan tahu risikonya kalau tertangkap mencuri.

Jadi menurut saya kesimpulannya sama saja seperti manusia, semua kembali pada kondisi pikiran si pelaku.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 05 August 2011, 11:18:20 AM
Tentu saja itu juga mencuri. Ikan itu adalah rejeki/buah kamma baik si kucing, punya dia. Kalau kita ambil, sama saja mencuri. Kecuali kalau si kucing yang memberikan (dan sejujurnya saya juga tidak bisa membedakan ekspresi wajah atau 'ngeongan' kucing ketika memberi ikhlas atau terpaksa).
soalnya begini om, ada sumber yang menuliskan definisi dari kata adinnadana itu ada mengambil barang milik orang lain, kalo g salah ini dari asal kata adinnadana, adinna (barang milik orang lain), kalo g salah ingat om.
jadi timbul keraguan om, kalo barang milik binatang itu termasuk g ya?
tapi dari penjelasan om kainyn, seperti sangat yakin itu termasuk..  :)
tapi saya seperti masih belum terlalu yakin om..  ;D
mohon penjelasannya lagi..  _/\_
atau mungkin ada tulisan2 (sutta) yang pernah om kainyn baca yang kiranya mendukung penjelasan ini.

Nah, kalau yang ini agak rumit karena kita berusaha memahami pikiran kucing. Walaupun saya belum sakti, tapi kita coba bahas sedikit. Misalnya kita tinggal di desa yang berbeda yang dipisahkan oleh hutan. Hutan itu bukan milik siapapun, dan kita bisa ambil sesuka hati. Suatu saat kita masuk hutan sama-sama dan melihat satu apel yang super-lezat. Maka kita berdua berlomba mengambil apel tersebut. Siapapun yang dapat, tidak mencurinya dari yang lain. Hidup hanyalah sebuah perlombaan tanpa henti, segala cara dilakukan untuk bertahan hidup.

Berikutnya karena kita lelah kejar-kejaran, cakar-cakaran, rebut-rebutan, maka hutan itu kita bagi dua, area A buat saya, area B buat sis Hema. Kalau kemudian saya ambil apel di area B, maka itu disebut mencuri.

Jadi saya pikir mencuri atau tidak adalah tergantung pikiran si pelaku. Kalau si pelaku memang tidak tahu tentang kepemilikan dan mengambil sesuatu, maka tidak bisa dibilang mencuri. Binatang juga bervariasi, kalau mereka yang liar, yang tidak berhubungan dengan manusia, biasanya 'pandangannya' adalah hukum rimba, seperti kasus yang pertama. Semuanya bukan milik siapapun, dan boleh melakukan cara apapun untuk mendapatkan makanan & bertahan hidup. Kalau binatang yang tinggal di antara manusia, biasanya pandangannya berbeda dan tahu tentang kepemilikan. Contohnya kucing kalau ada makanan di piring yang biasa digunakan olehnya, maka dia bisa makan dengan tenang. Tapi kalau makanan di dapur, dia harus 'nge-garong' untuk mendapatkannya karena tahu itu bukan miliknya dan tahu risikonya kalau tertangkap mencuri.

Jadi menurut saya kesimpulannya sama saja seperti manusia, semua kembali pada kondisi pikiran si pelaku.
jadi kalau misalnya si kucing tidak mempunyai pikiran untuk mencuri, itu tidak bisa disebut adinnadana y om?
tapi kalau manusia yang ikannya dicuri itu merasa kehilangan dan dirugikan atas perbuatan si kucing, apa adinnadana masih tidak terjadi om?
kemudian bagaimana kalau si kucing mencuri makanan kucing lainnya (sesama spesies, bukan manusia) apakah itu juga termasuk adinnadana? sesama kucingkan mereka mungkin bisa lebih mengerti..  ;D

maaf saya banyak bertanya om..  ^:)^
tapi ini betulan g ngerti.. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 05 August 2011, 01:51:31 PM
Saya pernah dengar ada seorang bhante yang menderita sakit perut cukup lama dan sulit diobati. Saat bermeditasi, ia mengetahui bahwa sakit itu dikarenakan, di kehidupan lalunya ia lupa memberi makan binatang peliharaannya selama beberapa hari sehingga binatang itu kelaparan. Saya kurang tahu keakuratan kisah ini. Jika benar, bukankah kamma adalah  niat si pelaku? bukankah di sini ia lupa dan tidak berniat membuat binatang peliharaannya kelaparan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 August 2011, 02:11:05 PM
soalnya begini om, ada sumber yang menuliskan definisi dari kata adinnadana itu ada mengambil barang milik orang lain, kalo g salah ini dari asal kata adinnadana, adinna (barang milik orang lain), kalo g salah ingat om.
jadi timbul keraguan om, kalo barang milik binatang itu termasuk g ya?
tapi dari penjelasan om kainyn, seperti sangat yakin itu termasuk..  :)
tapi saya seperti masih belum terlalu yakin om..  ;D
mohon penjelasannya lagi..  _/\_
atau mungkin ada tulisan2 (sutta) yang pernah om kainyn baca yang kiranya mendukung penjelasan ini.
Kalau untuk detail yang kaku pada definisi sebuah sila, sebetulnya menurut saya adalah tidak bermanfaat. Dalam melatih diri, walaupun sila digunakan sebagai acuan, tapi fokusnya adalah mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Dalam sila ke dua ini, yang dominan adalah keserakahan. Jika kita melihat ke dalam, maka terlepas dari siapa/apa pemilik benda tersebut, keinginan untuk merebutnya yang didasari kemelekatan adalah tidak bermanfaat. Jika kita melihat ke luar, maka walaupun tidak didasari oleh keserakahan, hanya sekadar kebutuhan, mengambil sesuatu yang mengakibatkan penderitaan bagi orang/makhluk lain, sudah seharusnya dihindari.

Tidak ada kasus hukum di mana manusia mencuri milik hewan, karena memang selama ini hewan tidak bisa mengadu ke pengacara atau polisi. Tapi coba sis Hema baca kisah di Dhammapada Atthakatha 240, tentang Bhikkhu Tissa yang terlahir jadi kutu karena begitu melekat pada jubahnya dan tidak ingin jubah itu dibagikan ke para bhikkhu. Seandainya jubah tersebut dibagikan ke para bhikkhu, di sini tidak ada pencurian terjadi karena pemiliknya sendiri sudah meninggal. Tapi Buddha Gotama tetap menahan agar jubah tidak dibagikan selama tujuh hari demi kutu tersebut (ex-Tissa). 

Jadi memang benar saya tidak punya penjelasan sila ke dua tersebut, tapi saya menggunakan tolok ukur keserakahan dalam diri (internal), dan imbasnya bagi lingkungan (eksternal).


Quote
jadi kalau misalnya si kucing tidak mempunyai pikiran untuk mencuri, itu tidak bisa disebut adinnadana y om?
tapi kalau manusia yang ikannya dicuri itu merasa kehilangan dan dirugikan atas perbuatan si kucing, apa adinnadana masih tidak terjadi om?
Kalau si kucing memang tidak memiliki pikiran 'kepemilikan', maka memang dia tidak membedakan 'punyaku' dan 'punyamu'. Dia mengambil tidak dibilang mencuri, dan diambil pun tidak bisa dibilang tercuri.

Pencurian terjadi bukan karena 'korban' merasa tercuri atau tidak, tetapi dilihat dari si pelakunya. Jadi biarpun korban merasa kehilangan atau tidak, kalau si kucing tidak berpikiran mencuri, maka tidak bisa disebut pencurian juga. Kalau sis Hema beli mie ayam, lalu waktu lagi lengah, saya ambil sedikit dagingnya, maka apakah sis Hema merasa kehilangan atau tidak, saya tetap mencuri. Sebaliknya kalau mie ayam itu dagingnya jatuh, maka walaupun sis Hema merasa kehilangan, tetap tidak bisa dibilang ada yang mencuri. Rasa kehilangan itu hanyalah bentuk buah kamma buruk saja.

Quote
kemudian bagaimana kalau si kucing mencuri makanan kucing lainnya (sesama spesies, bukan manusia) apakah itu juga termasuk adinnadana? sesama kucingkan mereka mungkin bisa lebih mengerti..  ;D

maaf saya banyak bertanya om..  ^:)^
tapi ini betulan g ngerti.. ;D
Sama saja, kembali lagi ke si pelaku, bukan interaksi pelaku & korban. Mau kucing vs kucing, kucing vs orang, atau kucing vs gajah, sama saja. Menurut saya begitu. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 August 2011, 02:14:35 PM
Saya pernah dengar ada seorang bhante yang menderita sakit perut cukup lama dan sulit diobati. Saat bermeditasi, ia mengetahui bahwa sakit itu dikarenakan, di kehidupan lalunya ia lupa memberi makan binatang peliharaannya selama beberapa hari sehingga binatang itu kelaparan. Saya kurang tahu keakuratan kisah ini. Jika benar, bukankah kamma adalah  niat si pelaku? bukankah di sini ia lupa dan tidak berniat membuat binatang peliharaannya kelaparan?
Betul, kamma adalah dari niatnya. Saya pikir kalau lupa memberi makan binatang peliharaan adalah sebuah kelalaian saja, tapi bukan menanam kamma buruk. Tapi bisa juga kamma buruk itu terjadi akibat dari kemelekatan pada perasaan bersalah atas penderitaan (kelaparan) binatang tersebut. Kalau soal kamma, sudah terlalu rumit untuk diketahui dengan pasti.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 05 August 2011, 07:39:28 PM
eemmmm.. iya iya..
 _/\_ makasih om kainyn..
intinya kembali lagi ke niat si pelaku yah, siapapun objek sasarannya (manusia ataupun binatang) itu tidak mempengaruhi..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: mettama on 06 August 2011, 01:50:23 PM
 _/\_ Selamat Siang Om Moderator umum.......... ;D   Ada sedikit pertanyaan nih?

Begini ...... ada contoh kasus dua orang yang berbeda dan memiliki kepandaian yang sama... satu orang tinggalnya di kota dan satunya lagi tinggal di desa yang terpencil dan tidak ada vihara dan fasilitas apapun kurang.

Keahlian yang di miliki orang tersebut adalah Bisa menguasai sutta atau apapun ajaran budha dan bisa mengingatnya dengan baik, sering melakukan kebaikan dengan berdana dan bisa menjaga ke enam inderanya dalam arti bisa bisa mengendalikan diri dengan baik, dan semuanya bisa, dua orang tersebut adalah orang awam ( orang biasa ) dan satu lagi sering membantu orang kesusahan juga.

Tapi kelemahan orang tersebut adalah tidak pernah ke vihara.

Pernytaanya adalah apakah dua orang tersebut sudah sempurna dalam menjalankan keyakinannya kepada Budha, Darma dan sangga?
apakah orang tersebut melanggar sila dengan berkurangnya berkunjung ke vihara?
Sebenarnya untuk melakukan kebaikan atau karma yang baik itu yang paling lengkap itu apakah semuanya dijalani atau dengan contoh kasus diatas itu sudah termasuk 100% karma baik? terimakasih...(pertanyaanya jadi banyak ) ;D _/\_.................... ;D



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 August 2011, 02:18:04 PM
_/\_ Selamat Siang Om Moderator umum.......... ;D   Ada sedikit pertanyaan nih?

Begini ...... ada contoh kasus dua orang yang berbeda dan memiliki kepandaian yang sama... satu orang tinggalnya di kota dan satunya lagi tinggal di desa yang terpencil dan tidak ada vihara dan fasilitas apapun kurang.

Keahlian yang di miliki orang tersebut adalah Bisa menguasai sutta atau apapun ajaran budha dan bisa mengingatnya dengan baik, sering melakukan kebaikan dengan berdana dan bisa menjaga ke enam inderanya dalam arti bisa bisa mengendalikan diri dengan baik, dan semuanya bisa, dua orang tersebut adalah orang awam ( orang biasa ) dan satu lagi sering membantu orang kesusahan juga.

Tapi kelemahan orang tersebut adalah tidak pernah ke vihara.

Pernytaanya adalah apakah dua orang tersebut sudah sempurna dalam menjalankan keyakinannya kepada Budha, Darma dan sangga?
apakah orang tersebut melanggar sila dengan berkurangnya berkunjung ke vihara?
Sebenarnya untuk melakukan kebaikan atau karma yang baik itu yang paling lengkap itu apakah semuanya dijalani atau dengan contoh kasus diatas itu sudah termasuk 100% karma baik? terimakasih...(pertanyaanya jadi banyak ) ;D _/\_.................... ;D
Selamat siang juga, bro/sis mettama.
Seseorang dikatakan menjalankan Ajaran Buddha jika ia melatih diri mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Bagaimana orang melatih hal tersebut adalah dengan menjalankan moralitas, menjaga indriah melatih konsentrasi, dan mengembangkan kebijaksanaan. Tidak ada hubungannya dengan kehadiran seseorang di vihara. Keuntungan dari pergi ke vihara adalah untuk bersosialisasi, menjalankan aktivitas bersama, dan lain-lain, tapi bukan merupakan keharusan.

Sila sendiri dalam Ajaran Buddha adalah tidak membunuh, mencuri, asusila, berbohong, konsumsi zat memabukkan. Jadi jelas tidak ada larangan untuk tidak pergi ke vihara.

Tentang karma sendiri, secara kasar, setiap perbuatan baik membuahkan kebahagiaan tertentu. Menjalankan 10 macam kebaikan, dapat 10 macam kebahagiaan. Karma baik juga tidak bisa dihitung lengkap atau tidak, yang terpenting adalah kita berusaha melandasi segala perbuatan kita dengan niat baik. Demikianlah kita selalu berusaha menanam karma baik dalam setiap aspek kehidupan kita. Kalau mau 'lengkap' dalam menjalani Ajaran Buddha, adalah dengan mengakhiri penderitaan itu sendiri.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: mettama on 06 August 2011, 02:50:26 PM
Selamat siang juga, bro/sis mettama.
Seseorang dikatakan menjalankan Ajaran Buddha jika ia melatih diri mengikis keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Bagaimana orang melatih hal tersebut adalah dengan menjalankan moralitas, menjaga indriah melatih konsentrasi, dan mengembangkan kebijaksanaan. Tidak ada hubungannya dengan kehadiran seseorang di vihara. Keuntungan dari pergi ke vihara adalah untuk bersosialisasi, menjalankan aktivitas bersama, dan lain-lain, tapi bukan merupakan keharusan.

Sila sendiri dalam Ajaran Buddha adalah tidak membunuh, mencuri, asusila, berbohong, konsumsi zat memabukkan. Jadi jelas tidak ada larangan untuk tidak pergi ke vihara.

Tentang karma sendiri, secara kasar, setiap perbuatan baik membuahkan kebahagiaan tertentu. Menjalankan 10 macam kebaikan, dapat 10 macam kebahagiaan. Karma baik juga tidak bisa dihitung lengkap atau tidak, yang terpenting adalah kita berusaha melandasi segala perbuatan kita dengan niat baik. Demikianlah kita selalu berusaha menanam karma baik dalam setiap aspek kehidupan kita. Kalau mau 'lengkap' dalam menjalani Ajaran Buddha, adalah dengan mengakhiri penderitaan itu sendiri.



Terimakasih........Bijaksana sekali.... :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 09 August 2011, 08:28:37 AM
 [at]  Bro Kainyn (teman-teman yang lain juga boleh jawab)

Barusan saya baca kaliamat ini:

"You have the freedom to choose a life that matters for you. The first step is to know what matters for you and to make your choices accordingly."

Diterjemahkan bebas, kira-kira begini:

"Anda memiliki kebebasan untuk memilih hidup yang anda inginkan. Pertama-tama anda harus tahu apa yang benar-benar anda inginkan, lalu kemudian membuat pilihan berdasarkan hal itu."

Nah, bagaimana caranya menemukan apa yang benar-benar kita inginkan?? :'(
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 08:55:09 AM
[at]  Bro Kainyn (teman-teman yang lain juga boleh jawab)

Barusan saya baca kaliamat ini:

"You have the freedom to choose a life that matters for you. The first step is to know what matters for you and to make your choices accordingly."

Diterjemahkan bebas, kira-kira begini:

"Anda memiliki kebebasan untuk memilih hidup yang anda inginkan. Pertama-tama anda harus tahu apa yang benar-benar anda inginkan, lalu kemudian membuat pilihan berdasarkan hal itu."

Nah, bagaimana caranya menemukan apa yang benar-benar kita inginkan?? :'(
"What matters to us" itu tergantung pada "HOW we live our lives" (bagaimana kita menjalani hidup). "How we live our live" tergantung pada "How we see what life is" (bagaimana kita memandang apa itu hidup). Itulah sebabnya dalam Ajaran Buddha, Jalan Mulia Berunsur Delapan dimulai dengan "Pandangan benar".

Berdasarkan pengalaman kita sendiri dalam hidup, cobalah merenungkan dengan objektif hal-hal apakah yang bermanfaat, apakah sekarang ataupun di masa depan. Sering-sering belajar (dari diri sendiri/guru) dan bertukar pengalaman dengan orang lain tentang kehidupan. Dari situ kita bisa memahami hal-hal apa saja yang berdasarkan keterkondisian kita sekarang, adalah bermanfaat.

Mengetahui hal-hal apa yang bermanfaat dalam hidup, kita bisa mengetahui bagaimanakah seharusnya kita menjalani kehidupan, dan berikutnya, kita juga mengetahui hal-hal apa saja yang penting (merupakan prioritas) dalam kehidupan kita.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 09 August 2011, 09:17:46 AM
Kenapa ya begitu muncul kesadaran akan sesuatu, lalu muncul persepsi, kemudian muncul ilusi diri seakan-akan ada yang sesosok entitas disitu, setelah itu pikiran pun terserat arus (bahagia, sedih, kecewa, dll) ?  :|

Apakah hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 09:28:25 AM
Kenapa ya begitu muncul kesadaran akan sesuatu, lalu muncul persepsi, kemudian muncul ilusi diri seakan-akan ada yang sesosok entitas disitu, setelah itu pikiran pun terserat arus (bahagia, sedih, kecewa, dll) ?  :|

Apakah hal ini disebabkan karena kurangnya perhatian ?
Iya, sepertinya begitu. Walaupun kita tahu secara teori bahwa 'tidak ada diri', namun sebetulnya kita belum lepas dari kemelekatan entitas tersebut. Tanpa disadari, selalu 'diri' terbentuk yang akhirnya memunculkan ilusi-ilusi lainnya yang menyebabkan penderitaan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 09 August 2011, 09:32:00 AM
Iya, sepertinya begitu. Walaupun kita tahu secara teori bahwa 'tidak ada diri', namun sebetulnya kita belum lepas dari kemelekatan entitas tersebut. Tanpa disadari, selalu 'diri' terbentuk yang akhirnya memunculkan ilusi-ilusi lainnya yang menyebabkan penderitaan.

Apakah mungkin hidup tanpa persepsi ?  :-?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 August 2011, 09:43:30 AM
Apakah mungkin hidup tanpa persepsi ?  :-?

ada salah satu alam brahma yg konon tanpa persepsi, bisa dicapai melalui pencapaian arupa jhana. silakan dicoba
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 10:25:58 AM
Apakah mungkin hidup tanpa persepsi ?  :-?
Bisa, di Asannasatta.


ada salah satu alam brahma yg konon tanpa persepsi, bisa dicapai melalui pencapaian arupa jhana. silakan dicoba
Setahu saya, Asannasatta bukan di Arupa, tapi dicapai dari Arupa Jhana Kekosongan. Ada info tentang hal ini?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 09 August 2011, 10:59:43 AM
Alasan saya mengajukan pertanyaan sebelumnya adalah karena saya pernah membaca tentang beberapa alasan yang membuat orang menyesal saat menjelang ajal. Artikel ini ditulis oleh seseorang yang pekerjaannya adalah mendampingi orang-orang yang sedang mendekati ajal mereka. Pada umumnya orang menyesal karena mereka tidak melakukan apa yang benar-benar mereka inginkan. Mereka selama ini hidup "demi orang lain", sesuai harapan orang lain, dan bukan sesuai keinginan mereka sendiri. Alasan penyesalan yang lain adalah mereka terlalu keras bekerja sehingga hanya sedikit waktu untuk keluarga, dst.

"What matters to us" itu tergantung pada "HOW we live our lives" (bagaimana kita menjalani hidup). "How we live our live" tergantung pada "How we see what life is" (bagaimana kita memandang apa itu hidup). Itulah sebabnya dalam Ajaran Buddha, Jalan Mulia Berunsur Delapan dimulai dengan "Pandangan benar".

 :yes:

Quote
Berdasarkan pengalaman kita sendiri dalam hidup, cobalah merenungkan dengan objektif hal-hal apakah yang bermanfaat, apakah sekarang ataupun di masa depan. Sering-sering belajar (dari diri sendiri/guru) dan bertukar pengalaman dengan orang lain tentang kehidupan. Dari situ kita bisa memahami hal-hal apa saja yang berdasarkan keterkondisian kita sekarang, adalah bermanfaat.

Mengetahui hal-hal apa yang bermanfaat dalam hidup, kita bisa mengetahui bagaimanakah seharusnya kita menjalani kehidupan, dan berikutnya, kita juga mengetahui hal-hal apa saja yang penting (merupakan prioritas) dalam kehidupan kita.

saya sulit berpikir objektif bro... ;D Kadang pandangan orang lain tentang hidup mereka atau hidup saya, atau pemikiran saya sendiri, bisa membuat saya ragu lagi.

Bolehkah saya mengambil patokan dari "kebahagiaan"? Maksud saya, selama saya bahagia melakukannya dan hal itu bermanfaat, berarti itulah hal yang benar-benar saya inginkan dalam hidup ini? Apa perbedaan antara 'mengejar kebahagiaan' dengan 'lari dari penderitaan'?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 09 August 2011, 11:05:24 AM
Iya, sepertinya begitu. Walaupun kita tahu secara teori bahwa 'tidak ada diri', namun sebetulnya kita belum lepas dari kemelekatan entitas tersebut. Tanpa disadari, selalu 'diri' terbentuk yang akhirnya memunculkan ilusi-ilusi lainnya yang menyebabkan penderitaan.

Apakah mungkin hidup tanpa persepsi ?  :-?

Kalau dari pertanyaan rooney atas pernyataan kainyn sebelumnya, sepertinya rooney berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan maka kita harus melenyapkan persepsi?

Sepengetahuan saya dari teori, tolong dikoreksi kalau salah, kita tidak perlu bebas dari persepsi untuk memadamkan dukkha (pernyataan saya ini terkait Vipassana Bhavana, bukan Samatha Bhavana).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 09 August 2011, 11:14:13 AM


Kalau dari pertanyaan rooney atas pernyataan kainyn sebelumnya, sepertinya rooney berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan maka kita harus melenyapkan persepsi?

Sepengetahuan saya dari teori, tolong dikoreksi kalau salah, kita tidak perlu bebas dari persepsi untuk memadamkan dukkha (pernyataan saya ini terkait Vipassana Bhavana, bukan Samatha Bhavana).

Sebenarnya saya juga tidak sepenuhnya berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, hanya saja karena banyaknya masalah psikologi yang berasal dari persepsi, maka saya mencoba untuk menanyakan kemungkinannya... ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 11:34:02 AM
Alasan saya mengajukan pertanyaan sebelumnya adalah karena saya pernah membaca tentang beberapa alasan yang membuat orang menyesal saat menjelang ajal. Artikel ini ditulis oleh seseorang yang pekerjaannya adalah mendampingi orang-orang yang sedang mendekati ajal mereka. Pada umumnya orang menyesal karena mereka tidak melakukan apa yang benar-benar mereka inginkan. Mereka selama ini hidup "demi orang lain", sesuai harapan orang lain, dan bukan sesuai keinginan mereka sendiri. Alasan penyesalan yang lain adalah mereka terlalu keras bekerja sehingga hanya sedikit waktu untuk keluarga, dst.
Memang kurang beruntung kalau seseorang harus menjalani hidup sesuai dengan harapan orang lain. Tapi kadang sesuai harapan sendiri juga belum tentu baik. Terlebih lagi, diri yang sekarang, dulu, dan masa depan juga bisa memiliki pandangan berbeda. Jadi bagaimanapun juga seharusnya seseorang hidup berorientasi pada masa kini tanpa mengabaikan masa lalu dan masa depan, jalani saja tanpa penyesalan.


Quote
saya sulit berpikir objektif bro... ;D Kadang pandangan orang lain tentang hidup mereka atau hidup saya, atau pemikiran saya sendiri, bisa membuat saya ragu lagi.
Memang pandangan kita terhadap hidup selalu berubah, berkembang, kadang membaik, kadang juga merosot. Karena itulah kita harus selalu belajar dan waspada, apalagi mengingat kita adalah puthujjana yang masih 'berpandangan salah'. Setiap ada keraguan, selidiki dan pelajari.


Quote
Bolehkah saya mengambil patokan dari "kebahagiaan"? Maksud saya, selama saya bahagia melakukannya dan hal itu bermanfaat, berarti itulah hal yang benar-benar saya inginkan dalam hidup ini? Apa perbedaan antara 'mengejar kebahagiaan' dengan 'lari dari penderitaan'?
Ya, memang pada dasarnya kita semua hanya mengejar kebahagiaan dan menjauhi penderitaan. Sama saja, karena kebahagiaan (duniawi) adalah sebuah sisi lain dari penderitaan. Semua kebahagiaan adalah kebahagiaan bila tetap demikian, namun adalah penderitaan ketika berakhir. Penderitaan juga adalah penderitaan ketika tetap demikian, namun adalah kebahagiaan ketika berubah. Karena hal itulah dikatakan akhir dari penderitaan (nibbana) itulah yang adalah kebahagiaan.

Sementara itu, dari sudut pandang orang biasa, yang masih berputar di samsara, ada 4 hal:
1. Menyenangkan dilakukan sekarang, berakibat kebahagiaan di masa depan
2. Menyenangkan dilakukan sekarang, berakibat penderitaan di masa depan
3. Menyakitkan dilakukan sekarang, berakibat kebahagiaan di masa depan
4. Menyakitkan dilakukan sekarang, berakibat penderitaan di masa depan

Hal yang memberikan kebahagiaan di masa depan, walaupun menyakitkan untuk dilakukan sekarang, perlu dijalani, apalagi yang membahagiakan untuk dilakukan sekarang.
Sebaliknya hal yang menyebabkan penderitaan di masa depan, walaupun menyenangkan untuk dilakukan sekarang, harus dihindari, apalagi yang juga menyakitkan dilakukan sekarang.

Bagaimana kita belajar objektif adalah salah satunya dengan Satipatthana karena kita mengembangkan kesadaran, mereduksi pengaruh keterkondisian pikiran, bentuk pikiran, dan perasaan, untuk melihat kenyataan apa adanya. Pengetahuan dari satipatthana yang timbul itu yang menurut saya adalah kebijaksanaan untuk melihat secara objektif. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 11:44:18 AM
Sebenarnya saya juga tidak sepenuhnya berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, hanya saja karena banyaknya masalah psikologi yang berasal dari persepsi, maka saya mencoba untuk menanyakan kemungkinannya... ;D
Panca khanda yang masih dilekati pandangan, itulah yang menimbulkan penderitaan. Ketika persepsi yang masih didasari kemelekatan muncul, maka di situlah dukkha timbul. Beberapa pandangan salah berpikir bahwa persepsinya yang adalah penyebab penderitaan maka berusaha mencoba menghentikan persepsi dengan kekuatan jhana. Karena itulah ia terlahir di Asannasatta, namun tetap saja itu bukanlah kebebasan sejati dan tetap akan terlahir kembali. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 09 August 2011, 11:45:24 AM
Thanks a lot, bro Kainyn :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 11:50:32 AM
Kalau dari pertanyaan rooney atas pernyataan kainyn sebelumnya, sepertinya rooney berpikir bahwa persepsi adalah penyebab penderitaan, dan untuk bebas dari penderitaan maka kita harus melenyapkan persepsi?

Sepengetahuan saya dari teori, tolong dikoreksi kalau salah, kita tidak perlu bebas dari persepsi untuk memadamkan dukkha (pernyataan saya ini terkait Vipassana Bhavana, bukan Samatha Bhavana).
Betul, kita tidak 'menghindari' persepsi untuk mengakhiri dukkha. Namun ketika kita terbebas dari dukkha, maka dengan sendirinya tidak ada lagi penjelmaan baru di masa depan, yang berarti tidak ada lagi persepsi, juga kesadaran, bentuk pikiran, perasaan, dan jasmani.


Thanks a lot, bro Kainyn :)
Sama-sama, bro thres!
:)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 09 August 2011, 12:03:54 PM
Saya ingin bahas sedikit tentang Lima khanda (jasmani, perasaan, persepsi, kesadaran, dan bentukan-bentukan kehendak).

Pertama, tentang persepsi. Ada yang menerjemahkan Sanna sebagai ingatan (bukan persepsi). Saya berpikir bahwa - dalam kasus tertentu - persepsi dan ingatan adalah dua hal yang berbeda (ingatan adalah bagian dari persepsi).

Contoh Persepsi sama dengan Ingatan:
Saya menilai (mempersepsikan) Tono sebagai orang yang jahat. Ini karena saya mengingat kejahatan Tono pada saya.

Contoh Ingatan sebagai bagian dari Persepsi:
Saya menilai (mempersepsikan) Tono sebagai orang yang jahat karena saya dengar dari teman saya tentang kejahatan Tono. Lalu saya membayangkan kejahatan Tono yang sebetulnya belum pernah saya lihat sebelumnya. Ada "bumbu pemikiran dan khayalan" yang saya tambahkan, dan bukan sekadar Ingatan akan Gosip dari teman saya. Ataukah pemikiran saya, akhirnya menjadi ingatan-ingatan baru (ingatan akan khayalan yang saya anggap nyata)? Jadi, menjadi semacam persepsi yang lebih kompleks?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 02:07:50 PM
Saya ingin bahas sedikit tentang Lima khanda (jasmani, perasaan, persepsi, kesadaran, dan bentukan-bentukan kehendak).

Pertama, tentang persepsi. Ada yang menerjemahkan Sanna sebagai ingatan (bukan persepsi). Saya berpikir bahwa - dalam kasus tertentu - persepsi dan ingatan adalah dua hal yang berbeda (ingatan adalah bagian dari persepsi).
Ya, ini memang rumit dan menarik. Setahu saya persepsi adalah sanna, kalau bentukan pikiran (sankhara) memang suka disebut sebagai 'ingatan'.


Quote
Contoh Persepsi sama dengan Ingatan:
Saya menilai (mempersepsikan) Tono sebagai orang yang jahat. Ini karena saya mengingat kejahatan Tono pada saya.

Contoh Ingatan sebagai bagian dari Persepsi:
Saya menilai (mempersepsikan) Tono sebagai orang yang jahat karena saya dengar dari teman saya tentang kejahatan Tono. Lalu saya membayangkan kejahatan Tono yang sebetulnya belum pernah saya lihat sebelumnya. Ada "bumbu pemikiran dan khayalan" yang saya tambahkan, dan bukan sekadar Ingatan akan Gosip dari teman saya. Ataukah pemikiran saya, akhirnya menjadi ingatan-ingatan baru (ingatan akan khayalan yang saya anggap nyata)? Jadi, menjadi semacam persepsi yang lebih kompleks?

Setahu saya persepsi/sanna agak berbeda dengan istilah persepi sehari-hari yang berarti penilaian/sudut pandang.
Ketika semua objek indriah bersentuhan/kontak dengan indriah, maka timbullah kesan/persepsi. Contoh yang sederhana adalah ketika melihat "seseorang melakukan sesuatu terhadap objek", maka 'pemandangan' itu kontak dengan mata, dan jadilah persepsi. Kemudian persepsi mata itu dipersepsi lagi oleh pikiran, berdasarkan kecenderungan dan pengalaman masing-masing orang. Jika kenal dengan orang tersebut, mengetahui perilaku, dan mengenal objek, jadilah sebuah bentuk pikiran "Tono mengambil uang", misalnya. Apakah Tono melanggar sila, jahat, atau hanya sekadar mengambil uang yang memang miliknya, itu adalah interaksi yang sangat banyak antara persepsi dan bentuk pikiran yang terus menerus terjadi dan berproses.

Jadi yang dimaksud bentuk pikiran itu bukan selalu harus dialami sendiri kontak indriahnya, namun semua objek pikiran yang bersentuhan dengan pikiran. Apakah melihat Tono melakukan kejahatan atau membayangkan seseorang bernama Tono melakukan kejahatan, keduanya adalah persepsi pikiran terhadap bentukan pikiran. Bedanya, yang satu disertai persepsi mata dengan "visual Tono yang melakukan kejahatan", yang satu lagi tanpa persepsi mata dengan objek.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 09 August 2011, 02:39:33 PM
^

Saya pernah baca terjemahan Sankhara adalah bentukan-bentukan kehendak.

Selama ini saya kira, misalnya saat bermeditasi, dan terasa pegal. Lalu kita ingin/hendak merubah posisi, kehendak itu adalah contoh bentukan-bentukan kehendak (entahlah apakah cetana adalah salah satu sankhara?).

Itu saya bingung. Tapi kalau Sanna diterjemahkan sebagai kesan dan Sankhara adalah bentukan-bentukan pikiran, saya mengerti. Tapi apakah pengertian kita yang sekarang sama ini, memang benar demikian? atau jangan-jangan nanti jadinya salah berjama'ah lagi ;D

Dari yang saya pahami, kaitannya kira-kira begini [dalam kenyataan mungkin lebih kompleks. Jadi tidak perlu dipusingkan kalau sekiranya hanya membuat pusing ;D ] :

Rupa (jasmani) dan Vinnana (kesadaran) memungkinkan terjadinya kontak antara indria dengan objek indria.

Kontak ini menimbulkan Sanna (kesan). Sanna (kesan) diproses dan tersimpan di memori sebagai bagian dari Sankhara (bentukan-bentukan pikiran).

Sanna (kesan) dan/atau Sankhara (bentukan-bentukan pikiran) memungkinkan munculnya Vedana (perasaan).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 August 2011, 04:16:28 PM
^

Saya pernah baca terjemahan Sankhara adalah bentukan-bentukan kehendak.

Selama ini saya kira, misalnya saat bermeditasi, dan terasa pegal. Lalu kita ingin/hendak merubah posisi, kehendak itu adalah contoh bentukan-bentukan kehendak (entahlah apakah cetana adalah salah satu sankhara?).
Memang kalau tidak salah dalam Paticcasamuppada, salah satu terjemahannya, sankhara adalah bentuk-bentuk kehendak. Kalau tidak salah ingat, sankhara ini ada banyak jenisnya dan kehendak (cetana yang adalah kamma) yang dominan menyertai pikiran.


Quote
Itu saya bingung. Tapi kalau Sanna diterjemahkan sebagai kesan dan Sankhara adalah bentukan-bentukan pikiran, saya mengerti. Tapi apakah pengertian kita yang sekarang sama ini, memang benar demikian? atau jangan-jangan nanti jadinya salah berjama'ah lagi ;D
Kalau mengenai definisi secara pasti, saya juga belum 100% yakin. Semoga saja benar. ;D


Quote
Dari yang saya pahami, kaitannya kira-kira begini [dalam kenyataan mungkin lebih kompleks. Jadi tidak perlu dipusingkan kalau sekiranya hanya membuat pusing ;D ] :

Rupa (jasmani) dan Vinnana (kesadaran) memungkinkan terjadinya kontak antara indria dengan objek indria.
Pikiran memungkinkan terjadinya persepsi objek pikiran/ide/gagasan/ingatan
Indera lainnya memungkinkan terjadinya persepsi objek indera (mata-bentuk, telinga-suara, dst).
Kesadaran (enam indriah) yang mengenali persepsi (enam indriah) tersebut.


Quote
Kontak ini menimbulkan Sanna (kesan). Sanna (kesan) diproses dan tersimpan di memori sebagai bagian dari Sankhara (bentukan-bentukan pikiran).
Setiap kontak indera terjadi, maka terjadi pula proses pikiran yang memroses dan menimbulkan sankhara (bentuk pikiran). Inilah sebabnya dalam satu momen kontak indriah, biasanya diikuti dua macam perasaan, yaitu perasaan jasmani dan perasaan bathin.

Quote
Sanna (kesan) dan/atau Sankhara (bentukan-bentukan pikiran) memungkinkan munculnya Vedana (perasaan).
Bukan, seperti di atas, setiap kontak indera, pasti memunculkan perasaan. Dan karena kontak indera apapun pasti juga diikuti indera pikiran, maka dalam satu momen, biasa muncul perasaan jasmani dan perasaan bathin. Perasaan jasmani ini memang bergantung hanya pada jasmani, perasaan bathin ini yang bisa kita ubah.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 10 August 2011, 08:21:47 AM
^
Apa benar ringkasnya begini:

Proses pikiran yang muncul saat terjadinya kontak antara indria vs objek indria, memungkinkan munculnya persepsi (Sanna) dan bentuk pikiran (sankhara). Selanjutnya juga memungkinkan munculnya perasaan (Vedana).

Kalau kesadaran (Vinnana) hanya sebatas mengenali terjadinya persepsi (Sanna) saja.

Begitu ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 August 2011, 09:29:44 AM
Harus dibedakan pola bathin seorang puthujana dengan seorang ariya (arahat).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 10:11:11 AM
^
Apa benar ringkasnya begini:

Proses pikiran yang muncul saat terjadinya kontak antara indria vs objek indria, memungkinkan munculnya persepsi (Sanna) dan bentuk pikiran (sankhara). Selanjutnya juga memungkinkan munculnya perasaan (Vedana).

Kalau kesadaran (Vinnana) hanya sebatas mengenali terjadinya persepsi (Sanna) saja.

Begitu ya?
Kira-kira begitu. Kalau menurut saya, sanna itu bukan 'hasil' kontak-nya, tapi proses kontak indera dengan objek indera itu sendiri.

Bayangkan bintang di balik teleskop adalah objek. Teleskop adalah alat indera. Ketika bayangan bintang diterima lensa, maka itu adalah persepsi (sanna). Ketika kita melihat melalui teleskop, maka kita itu seperti kesadaran mata yang mengetahui. Karena adanya kesadaran, maka timbul pula perasaan. Tanpa kesadaran, tidak ada perasaan timbul.

Ketika kesadaran mata mengetahui persepsi bentuk, bersamaan itu pula kesadaran pikiran mempersepsi bentukan pikiran yang timbul dari persepsi mata tersebut. Kemudian pikiran membentuk bentukan pikiran baru, untuk kemudian diproses lagi, membentuk baru lagi, terus menerus. Proses pikiran ini sangat cepat terjadi.

Karena pikiran selalu menyertai persepsi lima indera lainnya, maka selalu juga timbul perasaan bathin (pikiran yang berkenaan dengan indera tersebut), dan perasaan jasmani (yang berkenaan langsung dengan indera tersebut) dalam setiap kontak indera jasmani.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 10 August 2011, 11:00:49 AM
^
Thanks penjelasannya bro Kainyn. Saya sudah sedikit mengerti. Saya tertarik dengan pancakhanda karena saya baca di Perumpamaan Kecapi di Samyutta Nikaya, dikatakan bahwa ketika seseorang memperhatikan bentuk hingga sejauh jangkauan bentuk, perasaan hingga sejauh jangkauan perasaan, persepsi..., kesadaran, bentukan-bentukan kehendak hingga sejauh jangkauan bentukan-bentukan kehendak, maka pandangan tentang adanya aku, diriku, atau milikku, yang selama ini muncul, tidak lagi muncul dalam dirinya.

Kalau tidak salah, yang diperhatikan adalah "demikian munculnya" dan "demikianlah lenyapnya".

Setau saya perenungan ini termasuk Dhammanupassana. Yah at least saya ngerti definisinya dulu. Kalau arti-nya saja saya tidak tahu, kan ribet jadinya :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 August 2011, 11:17:50 AM
Proses pikiran melalui indera yang sempurna secara sekilas terdiri dari tujuh belas (17) saat kesadaran yang muncul dan padam secara berkesinambungan. Mari kita umpamakan tiap saat munculnya kesadaran dengan menggunakan angka.

Misalkan terjadi proses melihat dengan sempurna:
1    2    3    4    5    6    7        8      9    10    11    12    13    14    15    16    17
AB    BI    BT    MO    KM    MeO MemO  Pu  Do    Do    Do    Do    Do    Do    Do    Ca    Ca

 

Keterangan:
AB = Aliran Bhavanga (aliran kesadaran pasif dengan objek lampau)
BI = Bhavanga ter-Interupsi
BT = Bhavanga Terpengaruh
MO = Kesadaran mengarahkan indera ke Objek penglihatan
KM = Kesadaran Melihat objek penglihatan
MeO = Kesadaran Menerima objek penglihatan yang dilihat tadi
MemO = Kesadaran Memeriksa objek penglihatan yang telah diterima tadi
Pu = Kesadaran memutuskan objek yang telah diperiksa tadi
Do = Dorongan yang terjadi atas keputusan tadi (kusala, akusala, kiriya)
Ca = Kesadaran yang mencatat pengalaman di atas.

Ketujuh belas kesadaran di atas muncul dan padam berkesinambungan tanpa ada waktu kosong (tanpa kesadaran) dan prosesnya sangat cepat.

Para guru Abhidhamma terdahulu, mengilustrasikan proses pikiran / kesadaran yang penuh tersebut dengan sebuah perumpamaan "mangga", sebagai berikut:

Seseorang dengan kepala yang tertutup tertidur lelap di bawah sebuah pohon mangga yang sedang berbuah. Satu saat sebuah mangga yang telah masak terlepas dari tangkainya dan jatuh ke tanah, terdengar oleh telinganya. Tersadar oleh suara itu, ia membuka matanya dan melihat; kemudian ia meregangkan tangannya, mengambil buah itu, meremas-remasnya, dan mencium baunya. Setelah melakukan hal itu, ia memakan mangga itu, mengunyahnya sambil menikmati rasanya, kemudian ia kembali tidur lelap.

Di dalam hal ini, orang yang sedang tertidur lelap di bawah pohon mangga itu seperti waktu aliran bhavanga. Jatuhnya mangga masak secara instan dari tangkainya dan membuatnya terdengar adalah seperti objek yang secara instan menerpa satu dari organ indera, misalnya organ mata. Saat tersadar melalui suara adalah mirip kesadaran yang mengarah ke objek. Saat orang itu membuka matanya dan melihat adalah mirip kesadaran melihat dalam fungsinya untuk melihat. Saat meregangkan tangannya dan mengambil mangga itu adalah mirip kesadaran menerima objek yang menerima objek itu. Saat meremas-remas buah itu adalah mirip dengan mengamati / menyelidiki yang merupakan fungsi dari kesadaran menyelidiki. Saat mencium bau mangga itu adalah mirip dengan kesadaran memutuskan objek. Saat memakan mangga itu adalah mirip kesadaran pendorong perbuatan terhadap objek. Mengunyah buah itu sambil menikmati rasanya mirip dengan kesadaran mencatat yang memiliki objek yang sama dengan objek dari kesadaran pendorong. Dan tertidurnya kembali orang itu adalah mirip kesadaran kembali ke kondisi pasif dengan objek lampau, yaitu bhavanga.

Agar dipahami, bahwa keseluruhan proses indera ini muncul dan padam tanpa diri atau subjek di belakangnya yang mempertahankan atau mengontrol kejadian itu. Tiada 'seseorang yang mengetahui' di luar proses itu sendiri. Kesadaran sesaat demi sesaat itu sendiri yang melakukan semua fungsi untuk dialami dan kelengkapan proses indera ini sepenuhnya dikondisikan oleh koordinasi melalui keselarasan kondisi yang saling berhubungan.

Terdapat 14 jenis fungsi / pekerjaan pikiran, yaitu:
1. Penerus antar kehidupan (patisandhi)
2. Penerus kehidupan / aliran kesadaran penyambung kehidupan (bhavanga)
3. Mengarahkan menuju objek pada tahap pertama proses pikiran (avajjana)
4. Melihat (dassana)
5. Mendengar (savana)
6. Mencium bau (ghayana)
7. Mengecap rasa (sayana)
8. Mengalami sentuhan (phussana)
9. Menerima objek (sampaticchana)
10. Memeriksa / menyelidiki objek yang diterima (santirana)
11. Memutuskan objek yang telah diterima dan diselidiki (votthapana)
12. Mendorong aksi berjalan (javana)
13. Mencatat aksi yang telah berjalan (tadarammana)
14. Mengakhiri kehidupan (cuti)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 11:19:12 AM
^
Thanks penjelasannya bro Kainyn. Saya sudah sedikit mengerti. Saya tertarik dengan pancakhanda karena saya baca di Perumpamaan Kecapi di Samyutta Nikaya, dikatakan bahwa ketika seseorang memperhatikan bentuk hingga sejauh jangkauan bentuk, perasaan hingga sejauh jangkauan perasaan, persepsi..., kesadaran, bentukan-bentukan kehendak hingga sejauh jangkauan bentukan-bentukan kehendak, maka pandangan tentang adanya aku, diriku, atau milikku, yang selama ini muncul, tidak lagi muncul dalam dirinya.

Kalau tidak salah, yang diperhatikan adalah "demikian munculnya" dan "demikianlah lenyapnya".

Setau saya perenungan ini termasuk Dhammanupassana. Yah at least saya ngerti definisinya dulu. Kalau arti-nya saja saya tidak tahu, kan ribet jadinya :D
Betul, kalau kita melihat hanya demikian adanya, maka hanya ada proses timbul-tenggelam. Lantas di manakah bisa kita temukan 'diri' atau entitas yang kekal di sana? Ya, sepertinya ini adalah dhammanupassana, ditinjau dari pancakhanda.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 August 2011, 11:19:51 AM
dalam Mulapariyaya-sutta Sang Buddha menjelaskan proses terjadinya reaksi pikiran terhadap setiap rangsangan yang masuk melalui keenam indra dalam batin seorang puthujjana (orang biasa). Proses itu terjadi secepat kilat melalui enam tahap:
(i) muncul rangsangan melalui salah satu dari keenam indra (sa~njanati = mempersepsikan, perceiving)--ini masih belum pikiran;
(ii) muncul reaksi oleh pikiran: berpikir, mengkonseptualisasikan (conceiving, ma~n~nati);
(iii) muncul konsep atta/aku yang masih menyatu dengan obyek (ma~n~nati);
(iv) konsep atta memisahkan diri dari obyek, muncul dualitas subyek-obyek (ma~n~nati);
(v) konsep atta membentuk hubungan dengan obyek (ma~n~nati);
(vi) atta bersenang hati dengan obyek (abhinandati).

(Dalam sutta aslinya, Sang Buddha menyebutkan banyak obyek, mulai dari 'tanah' sampai 'nibbana' -- dalam batin seorang puthujjana terjadi
(i) pa.thavi.m pa.thavito sa~njaanaati -- he perceives earth as earth;
(ii) pa.thavi.m ma~n~nati -- he conceives earth;
(iii) pa.thaviyaa ma~n~nati -- he conceives in earth;
(iv) pa.thavito ma~n~nati -- he conceives from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti ma~n~nati -- he conceives "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m abhinandati -- he delights in earth.

(Sang Buddha menganjurkan kepada orang yang sedang berlatih (sekha), ketika melihat langsung sebuah rangsangan, agar tidak berpikir mengkonsepsikan rangsangan itu dan menghubungkan dengan dirinya
(i) pa.thavi.m pa.thavito abhijaanaati -- he directly knows earth as earth;
(ii) pa.thavi.m maa ma~n~ni -- let him not conceive earth;
(iii) pa.thaviyaa maa ma~n~ni -- let him not conceive in earth;
(iv) pa.thavito maa ma~n~ni -- let him not conceive from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti maa ma~n~ni -- let him not conceive "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m maabhinandi -- let him not delight in earth.

(Versi MMD)   ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 11:34:45 AM
Tanya saja.
Apa Bro dilbert dulu mengikuti diskusi/debat dengan MMD dan tahu tentang pendapat saya tentang Mulapariyaya Sutta?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 August 2011, 11:53:33 AM
Tanya saja.
Apa Bro dilbert dulu mengikuti diskusi/debat dengan MMD dan tahu tentang pendapat saya tentang Mulapariyaya Sutta?

saya ngikut diskusi/debat kagak intens, karena ngikut-nya dari pertengahan...

 ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 12:02:08 PM
saya ngikut diskusi/debat kagak intens, karena ngikut-nya dari pertengahan...

 ^:)^
Nah, menurut bro dilbert, bagaimana pandangan MMD tersebut?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 August 2011, 12:20:00 PM
Nah, menurut bro dilbert, bagaimana pandangan MMD tersebut?

Saya belum sampai pada tahapan menjustifikasi pandangan saya terhadap MMD tersebut, tetapi debat-debat saya dengan pak hudoyo di facebook-nya sendiri, sudah sampai pada saya di block sama beliau... hehehehe...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 01:23:17 PM
Saya belum sampai pada tahapan menjustifikasi pandangan saya terhadap MMD tersebut, tetapi debat-debat saya dengan pak hudoyo di facebook-nya sendiri, sudah sampai pada saya di block sama beliau... hehehehe...
Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.

Bukan justifikasi sih, tapi saya mau tanya pendapat bro dilbert aja tentang MMD, apakah sesuai dengan pandangan Buddhisme dalam pemikiran bro dilbert. Kalau sesuai, di mana, kalau tidak, di mananya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 August 2011, 02:02:08 PM
Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.

Bukan justifikasi sih, tapi saya mau tanya pendapat bro dilbert aja tentang MMD, apakah sesuai dengan pandangan Buddhisme dalam pemikiran bro dilbert. Kalau sesuai, di mana, kalau tidak, di mananya.

belum ada pandangan apakah sesuai, tidak sesuai Buddhisme (Pali Kanon)... karena yang dipakai hanya Bahiya Sutta, Mulapariyaya Sutta dan Malunkyaputta Sutta...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 10 August 2011, 02:18:12 PM
Tanya saja.
Apa Bro dilbert dulu mengikuti diskusi/debat dengan MMD dan tahu tentang pendapat saya tentang Mulapariyaya Sutta?

Saya barusan baca Mulapariyaya Sutta, memang tidak dibagi menjadi 6 tahap seperti yang diposting bro Dilbert. Kalau saya lihat di Sutta, biasanya Sang Buddha memang tidak menjabarkan/menjelaskan secara detail apa yang beliau babarkan ya (misalnya ada 6 tahap yang katanya versi MMD).

Sama halnya tentang Sanna yang barusan kita bahas. Sepertinya umat buddhist jaman dulu, langsung bisa mengerti tentang pancakhanda (definisi dan hubungan-hubungannya), jadi tidak banyak ditemukan penjelasan panjang-lebar tentang suatu hal. Sedangkan saya di sini masih dalam tahap bertanya-tanya karena membaca saja rasanya tidak cukup. Entah apa karena perbedaan bahasa (pali vs inggris/indonesia) atau karena perbedaan kebijaksanaan (dulu orangnya cepet nangkep) ;D

Lalu, pendapat bro Kainyn tentang Mulapariyaya Sutta, bagaimana?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 10 August 2011, 02:31:18 PM
Setelah mengenal dukkha dan anicca, apakah sebaiknya melepaskan cita-cita semasa kecil karena semuanya tidak kekal dan membawa kita pada penderitaan, om? Mohon bimbingannya. _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 10 August 2011, 02:52:17 PM
Setelah mengenal dukkha dan anicca, apakah sebaiknya melepaskan cita-cita semasa kecil karena semuanya tidak kekal dan membawa kita pada penderitaan, om? Mohon bimbingannya. _/\_

maap ini pertanyaan untuk bro Kainyn ya? tapi saya penasaran.

Maksudnya melepaskan cita-cita masa kecil itu bagaimana bro?

1. menjalani hidup dengan prinsip "let it flow", misalnya orang lain jadi karyawan, saya juga jadi karyawan. Padahal sebenarnya pengen jadi dokter?

2. cita-cita semasa kecil identik dengan ambisi, misalnya sejak kecil ingin jadi orang kaya raya atau orang penting. Tapi kini dirasa bahwa ambisi itu membuat bro Sunyata menderita?

3. bro Sunyata merasa bahwa apapun juga adalah tidak ada artinya, misalnya tidak perlu mencari/mengumpulkan uang/materi, karena semua tidak kekal?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 03:43:10 PM
Saya barusan baca Mulapariyaya Sutta, memang tidak dibagi menjadi 6 tahap seperti yang diposting bro Dilbert. Kalau saya lihat di Sutta, biasanya Sang Buddha memang tidak menjabarkan/menjelaskan secara detail apa yang beliau babarkan ya (misalnya ada 6 tahap yang katanya versi MMD).

Sama halnya tentang Sanna yang barusan kita bahas. Sepertinya umat buddhist jaman dulu, langsung bisa mengerti tentang pancakhanda (definisi dan hubungan-hubungannya), jadi tidak banyak ditemukan penjelasan panjang-lebar tentang suatu hal. Sedangkan saya di sini masih dalam tahap bertanya-tanya karena membaca saja rasanya tidak cukup. Entah apa karena perbedaan bahasa (pali vs inggris/indonesia) atau karena perbedaan kebijaksanaan (dulu orangnya cepet nangkep) ;D
Biasanya memang sutta dibabarkan untuk orang yang bersesuaian dengan sutta tersebut, jadi memang bisa jadi juga penggunaan istilahnya adalah bagi yang mengerti. Itu sebabnya kadang diperlukan tambahan dari kitab komentar untuk mengerti apa yang dimaksudkan.


Quote
Lalu, pendapat bro Kainyn tentang Mulapariyaya Sutta, bagaimana?
Ada persamaan antara pendapat saya dengan PH (Pak Hudoyo), yaitu di mana ada satu bagian 'proses pikiran' yang harus berhenti untuk mencapai 'pembebasan'. Persamaan ini yang membuat beberapa orang yang [saya anggap] gagal memahami saya, menilai saya sebagai 'sama persis' dengan MMD.

Perbedaannya antara lain adalah saya tidak melihat keenam proses tersebut bukan selalu satu kesatuan.

(i) pa.thavi.m pa.thavito sa~njaanaati -- he perceives earth as earth;
(ii) pa.thavi.m ma~n~nati -- he conceives earth;
(iii) pa.thaviyaa ma~n~nati -- he conceives in earth;
(iv) pa.thavito ma~n~nati -- he conceives from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti ma~n~nati -- he conceives "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m abhinandati -- he delights in earth.

(i) sañjānāti adalah proses mencerap objek dengan indera, namun belum tentu disertai pengertian benar. (Dalam konteks sutta ini, istilah tersebut digunakan untuk 'pencerapan yang tidak disertai pengertian'.)
Karena tidak memahaminya, maka timbul pandangan 'aku/diri' terhadap objek, yaitu salah satu dari nomor (ii) - (v) ("aku/diri" adalah objek; "aku/diri" bagian dari objek; "aku/diri" terpisah dari objek; objek adalah "milikku") dan karena pandangan tersebut, maka ia bersenang di dalam konsep tersebut (vi), otomatis timbullah kemelekatan.

Kalau tidak salah, PH mengatakan bahwa dalam vipassana, proses itu dihentikan di tahap (i), sehingga tidak muncul konsepsi lebih jauh. Menurut saya, konsepsi tidak untuk dihentikan, namun pemahaman tentang objek apa adanya yang harus dikembangkan. Dengan pemahaman benar timbul, maka konsepsi tetap timbul, namun tanpa disertai pandangan salah di mana ada 'aku/diri' sebagai/bagian/di luar/memiliki konsep tersebut. Dalam sutta Palinya, ketika orang memahami objek dengan benar, maka ia tidak dikatakan me-"sañjānāti" objek, namun meng-"abhijānāti".

Singkatnya, yang saya tangkap (dan mungkin saja salah), di MMD adalah latihan menghentikan proses "maññati". Saya setuju bahwa "maññati" harus berhenti, namun bukan dengan menginterupsi proses konsepsi, melainkan dengan memahaminya. Bukan "maññati" yang dihentikan, namun "sañjānāti"-nya yang harus disertai pemahaman, sehingga menjadi "abhijānāti". Mencerap objek dengan memahaminya, maka "seharusnya" paham "aku" tidak timbul, walaupun kadang masih ada kecenderungan timbul dalam diri seorang sekha. (Sama seperti misalnya dengan pandangan benar tentang makhluk apa adanya, seharusnya paham 'kasta' tidak timbul. Namun bagi orang yang masih berlatih, yang belum melenyapkan pandangan salah 'kasta' secara keseluruhan, masih bisa timbul kesombongan berkenaan dengan strata sosial dalam dirinya.)
Namun pada Ariya yang lebih tinggi, mencerap objek dengan memahaminya, maka paham "aku" sudah tidak lagi timbul. Bagaimanapun pikiran mempersepsi dan mengkonsepkan objek, serumit dan sekompleks apa-pun, tetap tidak timbul konsep "aku/diri" di sana, maka ia tidak lagi bergembira dalam konsep tersebut.

Ini sepertinya juga perbedaan pandangan antara saya dan PH, karena saya ingat PH mengatakan bahwa dalam kondisi meditatif 'tanpa aku', seseorang tidak berpikir (secara intelektual) yang rumit karena akan terjadi konsepsi pikiran. Menurut saya, bisa saja, itulah sebabnya para Arahat pun tetap bisa melakukan penilaian dan pemikiran yang rumit, namun tetap memahaminya apa adanya, tanpa 'aku/diri' dalam konsep tersebut.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 10 August 2011, 03:46:38 PM
Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.

Bukan justifikasi sih, tapi saya mau tanya pendapat bro dilbert aja tentang MMD, apakah sesuai dengan pandangan Buddhisme dalam pemikiran bro dilbert. Kalau sesuai, di mana, kalau tidak, di mananya.
Saya belum sampai pada tahapan menjustifikasi pandangan saya terhadap MMD tersebut, tetapi debat-debat saya dengan pak hudoyo di facebook-nya sendiri, sudah sampai pada saya di block sama beliau... hehehehe...
Wah pake id apa om di fb,waktu debat dgn pak hudoyo... Saya juga pernah membaca notenya tentang mengapa ia memblok org,,kalau ngak salah ingat salah satunya ketika diskusi mulai mengarah ke debat kusir,..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 10 August 2011, 03:48:18 PM
 [at]  Om thres
Ya, itu untuk om Kainyn. Tapi kalau ada member yang ingin memberi pendapatnya masing-masing juga lebih baik.

Masalah ambisi itu yang nomor 3.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 03:53:26 PM
Setelah mengenal dukkha dan anicca, apakah sebaiknya melepaskan cita-cita semasa kecil karena semuanya tidak kekal dan membawa kita pada penderitaan, om? Mohon bimbingannya. _/\_
Tidak begitu, bro Sunyata. Saya ambil contoh perumpamaan rakit yang diberikan Buddha Gotama di mana dhamma adalah rakit yang membawa kita dari pantai penderitaan ke pantai seberang. Lalu ketika tiba di pantai seberang, maka rakit juga dilepaskan, bukan untuk ditaruh di atas punggung dan dibawa ke mana-mana.

Dari perumpamaan tersebut saya tanya, apakah setelah mengetahui pada akhirnya rakit pun bukan untuk disimpan, bukan untuk dibawa-bawa ke mana kita pergi, lalu sekarang juga kita harus melepaskan rakit (walaupun kita lagi di tengah sungai)? ;D

Dalam menjalankan Ajaran Buddha, kita melihat tujuan akhir (Nibbana) dan tujuan jangka menengahnya, yaitu apa yang nyata bisa kita usahakan untuk dicapai sekarang. Jangan mengabaikan tujuan akhir (nibbana), namun juga jangan melihat terlalu jauh.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 10 August 2011, 03:59:04 PM
Haha kalo 'hanya' di-block di FB, itu sudah biasa, karena sepertinya kalau tidak sejalan dengan pemikirannya, atau debat tidak sesuai dengan caranya, akan di-block. Agak berbeda dengan gayanya yang dulu dengan sabar menjabarkan di sini.

Bukan justifikasi sih, tapi saya mau tanya pendapat bro dilbert aja tentang MMD, apakah sesuai dengan pandangan Buddhisme dalam pemikiran bro dilbert. Kalau sesuai, di mana, kalau tidak, di mananya.

Mungkin waktu itu blm byk wadah atau forum utk MMD,.sekarang kan ada FB dimana bs menjangkau lbh byk 'lapisan' org dari latar belakang agama lain hehehe..terus mungkin juga waktu itu di DC terjadi debat yg bermutu hehe..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 10 August 2011, 04:12:43 PM
Biasanya memang sutta dibabarkan untuk orang yang bersesuaian dengan sutta tersebut, jadi memang bisa jadi juga penggunaan istilahnya adalah bagi yang mengerti. Itu sebabnya kadang diperlukan tambahan dari kitab komentar untuk mengerti apa yang dimaksudkan.

Ada persamaan antara pendapat saya dengan PH (Pak Hudoyo), yaitu di mana ada satu bagian 'proses pikiran' yang harus berhenti untuk mencapai 'pembebasan'. Persamaan ini yang membuat beberapa orang yang [saya anggap] gagal memahami saya, menilai saya sebagai 'sama persis' dengan MMD.

Perbedaannya antara lain adalah saya tidak melihat keenam proses tersebut bukan selalu satu kesatuan.

(i) pa.thavi.m pa.thavito sa~njaanaati -- he perceives earth as earth;
(ii) pa.thavi.m ma~n~nati -- he conceives earth;
(iii) pa.thaviyaa ma~n~nati -- he conceives in earth;
(iv) pa.thavito ma~n~nati -- he conceives from earth;
(v) pa.thavi.m me'ti ma~n~nati -- he conceives "earth is for me";
(vi) pa.thavi.m abhinandati -- he delights in earth.

(i) sañjānāti adalah proses mencerap objek dengan indera, namun belum tentu disertai pengertian benar. (Dalam konteks sutta ini, istilah tersebut digunakan untuk 'pencerapan yang tidak disertai pengertian'.)
Karena tidak memahaminya, maka timbul pandangan 'aku/diri' terhadap objek, yaitu salah satu dari nomor (ii) - (v) ("aku/diri" adalah objek; "aku/diri" bagian dari objek; "aku/diri" terpisah dari objek; objek adalah "milikku") dan karena pandangan tersebut, maka ia bersenang di dalam konsep tersebut (vi), otomatis timbullah kemelekatan.

Kalau tidak salah, PH mengatakan bahwa dalam vipassana, proses itu dihentikan di tahap (i), sehingga tidak muncul konsepsi lebih jauh. Menurut saya, konsepsi tidak untuk dihentikan, namun pemahaman tentang objek apa adanya yang harus dikembangkan. Dengan pemahaman benar timbul, maka konsepsi tetap timbul, namun tanpa disertai pandangan salah di mana ada 'aku/diri' sebagai/bagian/di luar/memiliki konsep tersebut. Dalam sutta Palinya, ketika orang memahami objek dengan benar, maka ia tidak dikatakan me-"sañjānāti" objek, namun meng-"abhijānāti".

Singkatnya, yang saya tangkap (dan mungkin saja salah), di MMD adalah latihan menghentikan proses "maññati". Saya setuju bahwa "maññati" harus berhenti, namun bukan dengan menginterupsi proses konsepsi, melainkan dengan memahaminya. Bukan "maññati" yang dihentikan, namun "sañjānāti"-nya yang harus disertai pemahaman, sehingga menjadi "abhijānāti". Mencerap objek dengan memahaminya, maka "seharusnya" paham "aku" tidak timbul, walaupun kadang masih ada kecenderungan timbul dalam diri seorang sekha. (Sama seperti misalnya dengan pandangan benar tentang makhluk apa adanya, seharusnya paham 'kasta' tidak timbul. Namun bagi orang yang masih berlatih, yang belum melenyapkan pandangan salah 'kasta' secara keseluruhan, masih bisa timbul kesombongan berkenaan dengan strata sosial dalam dirinya.)
Namun pada Ariya yang lebih tinggi, mencerap objek dengan memahaminya, maka paham "aku" sudah tidak lagi timbul. Bagaimanapun pikiran mempersepsi dan mengkonsepkan objek, serumit dan sekompleks apa-pun, tetap tidak timbul konsep "aku/diri" di sana, maka ia tidak lagi bergembira dalam konsep tersebut.

Ini sepertinya juga perbedaan pandangan antara saya dan PH, karena saya ingat PH mengatakan bahwa dalam kondisi meditatif 'tanpa aku', seseorang tidak berpikir (secara intelektual) yang rumit karena akan terjadi konsepsi pikiran. Menurut saya, bisa saja, itulah sebabnya para Arahat pun tetap bisa melakukan penilaian dan pemikiran yang rumit, namun tetap memahaminya apa adanya, tanpa 'aku/diri' dalam konsep tersebut.


Kalau PH bilang ini perbedaan org yg mengalami langsung(udah praktik) dgn org yg blm praktik(hanya sebatas intelektual aja)..karena pikiran lah yg coba memahami pikiran itu sendiri,.jadi jgn berandai2 tp praktik langsung,.ini seingat saya..gmn pendapat om kainyn?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 04:23:52 PM

Mungkin waktu itu blm byk wadah atau forum utk MMD,.sekarang kan ada FB dimana bs menjangkau lbh byk 'lapisan' org dari latar belakang agama lain hehehe..terus mungkin juga waktu itu di DC terjadi debat yg bermutu hehe..
Mungkin & semoga saja begitu. Entahlah, waktu dulu di DC dan di forum MMD (yang dulu), saya melihat Pak Hudoyo lebih sebagai seorang pengajar yang sabar & detail menjelaskan panjang lebar. Belakangan saya lihat, kesannya kurang sabar & intoleran terhadap pandangan vipassana yang berbeda.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 August 2011, 04:36:59 PM
Kalau PH bilang ini perbedaan org yg mengalami langsung(udah praktik) dgn org yg blm praktik(hanya sebatas intelektual aja)..karena pikiran lah yg coba memahami pikiran itu sendiri,.jadi jgn berandai2 tp praktik langsung,.ini seingat saya..gmn pendapat om kainyn?
Pendapat saya hanya satu: bagi orang yang benar berpraktik dan mengetahui sedemikian menipunya pikiran, seharusnya berhati-hati dalam menilai sudah/belumnya orang lain/diri sendiri berpraktik.

Pada saat membahas, bahaslah sebatas apa yang tertulis, yang tertuang dalam intelektualitas. Tidak perlu membahas hal subjektif tentang 'sudah praktik atau belum'. Dalam kisah-kisah di sutta pun kadang ada Arahat yang tidak pandai bicara dan tidak bisa menjawab ketika ditanya, namun Arahat tersebut diam saja, tidak menyinggung-nyinggung pencapaian demi "memenangkan debat" karena, tentu saja, Arahat adalah seorang bijaksana.

Dalam satu forum di FB, juga pernah terjadi hal serupa dan membawa bahasan 'apakah kamu sudah praktik?' oleh orang lain. Lalu saya katakan, "memangnya kalau saya mengaku Anagami & sudah Jhana VI, kenapa?"

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 10 August 2011, 06:53:26 PM
Tidak begitu, bro Sunyata. Saya ambil contoh perumpamaan rakit yang diberikan Buddha Gotama di mana dhamma adalah rakit yang membawa kita dari pantai penderitaan ke pantai seberang. Lalu ketika tiba di pantai seberang, maka rakit juga dilepaskan, bukan untuk ditaruh di atas punggung dan dibawa ke mana-mana.

Dari perumpamaan tersebut saya tanya, apakah setelah mengetahui pada akhirnya rakit pun bukan untuk disimpan, bukan untuk dibawa-bawa ke mana kita pergi, lalu sekarang juga kita harus melepaskan rakit (walaupun kita lagi di tengah sungai)? ;D

Dalam menjalankan Ajaran Buddha, kita melihat tujuan akhir (Nibbana) dan tujuan jangka menengahnya, yaitu apa yang nyata bisa kita usahakan untuk dicapai sekarang. Jangan mengabaikan tujuan akhir (nibbana), namun juga jangan melihat terlalu jauh.
Terima kasih, om. Sekarang saya sudah mengerti. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 11 August 2011, 08:38:43 AM
Oke bro Kainyn, tentang Mulapariyaya Sutta, tidak ingin saya bahas lebih jauh karena saya belum tertarik. Saya hanya mau tanya pendapat bro saja tentang masalah saya berikut ini.

Jadi begini. Saya merasa, saya terlalu banyak membaca dan mendengar Dhamma tanpa disertai praktik. Saya senang membaca dan mendengar Dhamma karena menurut saya, hal itu menyenangkan. Di dalam Dhamma, saya bisa menemukan dorongan/desakan tapi juga disertai cinta-kasih di dalamnya. Dengan logika saya berdasarkan apa yang saya cerap dari sumber eksternal itu, saya dengan logis bisa mencari sumber masalah yang sedang saya hadapi.

Tapi akhir-akhir ini saya mulai merasa overload. Sepertinya kilesa, dhamma, dan judgement, bergumul dalam diri saya ;D Dhamma terlalu bagus, tapi juga terlalu kompleks bagi saya untuk menangani kilesa yang juga kompleks. Rasanya seperti kewalahan sendiri. Mungkin saya terlalu banyak berpikir ya? mungkin sebaiknya saya mengurangi bahan bacaan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 09:09:50 AM

Mungkin waktu itu blm byk wadah atau forum utk MMD,.sekarang kan ada FB dimana bs menjangkau lbh byk 'lapisan' org dari latar belakang agama lain hehehe..terus mungkin juga waktu itu di DC terjadi debat yg bermutu hehe..

sampai ada e-book debat antara Pak Hudoyo dan Fabian...
http://ebookbrowse.com/adv.php?q=debat+fabian+hudoyo+pdf
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 09:13:12 AM
Mungkin & semoga saja begitu. Entahlah, waktu dulu di DC dan di forum MMD (yang dulu), saya melihat Pak Hudoyo lebih sebagai seorang pengajar yang sabar & detail menjelaskan panjang lebar. Belakangan saya lihat, kesannya kurang sabar & intoleran terhadap pandangan vipassana yang berbeda.

Buddha benar benar merealisasikan an-atta-nya, dan tidak mencari pengikut... jadi ketika tuntunan dhamma (berkehidupan) di terima, dilaksanakan, ataupun di-acuhkan oleh pendengarnya, tidak masalah bagi Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 09:15:44 AM
Oke bro Kainyn, tentang Mulapariyaya Sutta, tidak ingin saya bahas lebih jauh karena saya belum tertarik. Saya hanya mau tanya pendapat bro saja tentang masalah saya berikut ini.

Jadi begini. Saya merasa, saya terlalu banyak membaca dan mendengar Dhamma tanpa disertai praktik. Saya senang membaca dan mendengar Dhamma karena menurut saya, hal itu menyenangkan. Di dalam Dhamma, saya bisa menemukan dorongan/desakan tapi juga disertai cinta-kasih di dalamnya. Dengan logika saya berdasarkan apa yang saya cerap dari sumber eksternal itu, saya dengan logis bisa mencari sumber masalah yang sedang saya hadapi.

Tapi akhir-akhir ini saya mulai merasa overload. Sepertinya kilesa, dhamma, dan judgement, bergumul dalam diri saya ;D Dhamma terlalu bagus, tapi juga terlalu kompleks bagi saya untuk menangani kilesa yang juga kompleks. Rasanya seperti kewalahan sendiri. Mungkin saya terlalu banyak berpikir ya? mungkin sebaiknya saya mengurangi bahan bacaan?

Salah satu dari 7 faktor pencerahan (Bhojjanga) adalah penyelidikan dhamma. Jika ada kebimbangan, keraguan... bertanya... Karena menurut MILINDA PANHA -- salah satu faktor tumbuhnya kebijaksanaan adalah dengan seringnya bertanya..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 09:17:45 AM
Mungkin & semoga saja begitu. Entahlah, waktu dulu di DC dan di forum MMD (yang dulu), saya melihat Pak Hudoyo lebih sebagai seorang pengajar yang sabar & detail menjelaskan panjang lebar. Belakangan saya lihat, kesannya kurang sabar & intoleran terhadap pandangan vipassana yang berbeda.




yah, menurut saya wajar kok. ini seperti seseorang yg sumber nafkahnya diserobot oleh orang lain
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 09:23:44 AM
yah, menurut saya wajar kok. ini seperti seseorang yg sumber nafkahnya diserobot oleh orang lain

Wajar sesuai ukuran puthujana...  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 09:30:25 AM
Wajar sesuai ukuran puthujana...  ;D

ybs memang biasanya bangga akan ke-putujjhana-annya kok. saty2nya putujjhana yg menccipi nibbana
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 09:38:42 AM
Oke bro Kainyn, tentang Mulapariyaya Sutta, tidak ingin saya bahas lebih jauh karena saya belum tertarik. Saya hanya mau tanya pendapat bro saja tentang masalah saya berikut ini.

Jadi begini. Saya merasa, saya terlalu banyak membaca dan mendengar Dhamma tanpa disertai praktik. Saya senang membaca dan mendengar Dhamma karena menurut saya, hal itu menyenangkan. Di dalam Dhamma, saya bisa menemukan dorongan/desakan tapi juga disertai cinta-kasih di dalamnya. Dengan logika saya berdasarkan apa yang saya cerap dari sumber eksternal itu, saya dengan logis bisa mencari sumber masalah yang sedang saya hadapi.

Tapi akhir-akhir ini saya mulai merasa overload. Sepertinya kilesa, dhamma, dan judgement, bergumul dalam diri saya ;D Dhamma terlalu bagus, tapi juga terlalu kompleks bagi saya untuk menangani kilesa yang juga kompleks. Rasanya seperti kewalahan sendiri. Mungkin saya terlalu banyak berpikir ya? mungkin sebaiknya saya mengurangi bahan bacaan?
OK, ini salah satu bahasan yang paling saya suka: Praktik. :)
Menurut bro thres, apakah bentuk dari 'praktik' dalam Ajaran Buddha? Nanti baru kita bahas yang berikutnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 09:45:07 AM
Buddha benar benar merealisasikan an-atta-nya, dan tidak mencari pengikut... jadi ketika tuntunan dhamma (berkehidupan) di terima, dilaksanakan, ataupun di-acuhkan oleh pendengarnya, tidak masalah bagi Buddha.
Sepertinya begitu. Memang juga Buddha katakan ketika seseorang mulai terkenal, ada bahaya yang mengancam kalau orang tersebut tidak waspada.



yah, menurut saya wajar kok. ini seperti seseorang yg sumber nafkahnya diserobot oleh orang lain
Tapi setahu saya, kegiatannya tidak komersil, 'kan?!
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 09:50:58 AM
Sepertinya begitu. Memang juga Buddha katakan ketika seseorang mulai terkenal, ada bahaya yang mengancam kalau orang tersebut tidak waspada.


Tapi setahu saya, kegiatannya tidak komersil, 'kan?!

kegiatan yg tdk komersil biasanya justru lebih menguntungkan daripada yg komersil
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 09:55:52 AM
kegiatan yg tdk komersil biasanya justru lebih menguntungkan daripada yg komersil
Bisa diperjelas? Menguntungkannya dari segi apa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 09:58:15 AM
Bisa diperjelas? Menguntungkannya dari segi apa?

walau tdk komersil tapi yg jelas dana "sukarela" tidak ditolak. kadang kala dana sukarela bisa menghasilkan jutaan sementara dgn tarif resmi hanya dapat cepekceng
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 10:02:06 AM
walau tdk komersil tapi yg jelas dana "sukarela" tidak ditolak. kadang kala dana sukarela bisa menghasilkan jutaan sementara dgn tarif resmi hanya dapat cepekceng
;D Masa' sih? Tapi kalau penilaian pribadi saya sekilas, PH bukan orang yang mata duitan. Mencari banyak pengikut mungkin saja, tapi kalau untuk duit, menurut saya tidak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 10:18:49 AM
;D Masa' sih? Tapi kalau penilaian pribadi saya sekilas, PH bukan orang yang mata duitan. Mencari banyak pengikut mungkin saja, tapi kalau untuk duit, menurut saya tidak.

don't judge a man from what he said/wrote.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 11 August 2011, 10:22:37 AM
OK, ini salah satu bahasan yang paling saya suka: Praktik. :)
Menurut bro thres, apakah bentuk dari 'praktik' dalam Ajaran Buddha? Nanti baru kita bahas yang berikutnya.

Saat mendengar kata "praktik", maka teori yang paling menonjol muncul pada pikiran saya adalah tentang usaha benar yaitu memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul, dan mempertahankan yang telah muncul. Dan sebaliknya yaitu menghindari munculnya hal-hal tidak bermanfaat yang belum muncul, dan memadamkan yang telah muncul.

Kemarin saya baca di Samyutta Nikaya, kalau tidak salah tentang gagang kapak yang aus? Maaf kalau salah, saya lupa-lupa ingat. Intinya dikatakan bahwa sehari-harinya kita tidak tahu seberapa banyak yang aus. Tapi suatu saat ketika kapak itu menjadi benar-benar aus (tidak dapat digunakan lagi), barulah kita mengetahuinya. Sama halnya seperti tali kapal yang sehari-harinya terendam air laut dan terjemur matahari. Sehari-harinya tidak terlihat ausnya, tapi suatu saat karena telah rapuh akhirnya dia terputus, maka saat itulah baru muncul pengetahuan tentang ausnya tali. Ini seperti berusaha dan tidak melihat hasil yang nyata sehari-harinya, tapi saat terlepasnya suatu noda atau mencapai suatu tahap pencerahan, barulah kita sadari?

Tentang masalah saya, mungkin kalau disingkat, jadinya begini:
Ketika menghadapi masalah, maka secara logika, saya bisa menemukan penyebabnya. Tapi untuk mengatasinya, saya merasa bergelimang kilesa. Seperti ada suatu keyakinan dalam diri saya tentang "sisi gelap" saya yang tidak bisa diubah. Saya melekat akan gambaran diri masa lalu saya. Dan ada suatu ketidakpercayaan diri untuk mengatasinya. Walaupun saya menyadari ini semua dan secara teori saya tahu tentang "hidup di masa sekarang", tapi tetap saja pikiran saya terseret ke masa lalu. Mungkin ini yang disebut Kebodohan ya?

Bagaimana caranya berada di jalur yang benar dalam praktik?

Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung ;D Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan. Apalagi ditambah dengan kemelekatan saya akan "diri" saya di masa lalu, dan ketidakpercayaan diri saya untuk mengatasinya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 11 August 2011, 10:35:07 AM
Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung ;D Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan.

Kalo saya memcoba menyadari perasaan, persepsi, bentuk2 pikiran, dll. Tetapi ketika disadari, yang terjadi hal-hal tersebut semakin lama semakin tidak terkontrol  :|. Apakah yang saya alami ini juga adalah sebuah keterlambatan menyadari ?

Apakah ketika hal-hal tersebut semakin besar, sebaiknya kita alihkan perhatian ke suatu objek misal, kembung kempis perut ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 10:45:10 AM
Saat mendengar kata "praktik", maka teori yang paling menonjol muncul pada pikiran saya adalah tentang usaha benar yaitu memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul, dan mempertahankan yang telah muncul. Dan sebaliknya yaitu menghindari munculnya hal-hal tidak bermanfaat yang belum muncul, dan memadamkan yang telah muncul.

Kemarin saya baca di Samyutta Nikaya, kalau tidak salah tentang gagang kapak yang aus? Maaf kalau salah, saya lupa-lupa ingat. Intinya dikatakan bahwa sehari-harinya kita tidak tahu seberapa banyak yang aus. Tapi suatu saat ketika kapak itu menjadi benar-benar aus (tidak dapat digunakan lagi), barulah kita mengetahuinya. Sama halnya seperti tali kapal yang sehari-harinya terendam air laut dan terjemur matahari. Sehari-harinya tidak terlihat ausnya, tapi suatu saat karena telah rapuh akhirnya dia terputus, maka saat itulah baru muncul pengetahuan tentang ausnya tali. Ini seperti berusaha dan tidak melihat hasil yang nyata sehari-harinya, tapi saat terlepasnya suatu noda atau mencapai suatu tahap pencerahan, barulah kita sadari?

Tentang masalah saya, mungkin kalau disingkat, jadinya begini:
Ketika menghadapi masalah, maka secara logika, saya bisa menemukan penyebabnya. Tapi untuk mengatasinya, saya merasa bergelimang kilesa. Seperti ada suatu keyakinan dalam diri saya tentang "sisi gelap" saya yang tidak bisa diubah. Saya melekat akan gambaran diri masa lalu saya. Dan ada suatu ketidakpercayaan diri untuk mengatasinya. Walaupun saya menyadari ini semua dan secara teori saya tahu tentang "hidup di masa sekarang", tapi tetap saja pikiran saya terseret ke masa lalu. Mungkin ini yang disebut Kebodohan ya?

Bagaimana caranya berada di jalur yang benar dalam praktik?

Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung ;D Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan. Apalagi ditambah dengan kemelekatan saya akan "diri" saya di masa lalu, dan ketidakpercayaan diri saya untuk mengatasinya.

Selama saya masih menarik nafas dan mengeluarkan nafas = praktik.... cuma kadang praktik kusala, praktik akusala... kadang praktik magga, kadang praktik non-magga (betul gak istilah itu) wkwkwkwkwk...

Mana-kah kehidupan bro Thres yang bukan "praktik" ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 10:49:04 AM
Selama saya masih menarik nafas dan mengeluarkan nafas = praktik.... cuma kadang praktik kusala, praktik akusala... kadang praktik magga, kadang praktik non-magga (betul gak istilah itu) wkwkwkwkwk...

Mana-kah kehidupan bro Thres yang bukan "praktik" ?


jadi, apakah orang yg sedang menyelam di kolam renang tidak praktik?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 11:06:03 AM
jadi, apakah orang yg sedang menyelam di kolam renang tidak praktik?

kalau nyelam pakai oksigen = praktik....  =))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 11:25:51 AM
Saat mendengar kata "praktik", maka teori yang paling menonjol muncul pada pikiran saya adalah tentang usaha benar yaitu memunculkan hal-hal bermanfaat yang belum muncul, dan mempertahankan yang telah muncul. Dan sebaliknya yaitu menghindari munculnya hal-hal tidak bermanfaat yang belum muncul, dan memadamkan yang telah muncul.
Ya, menurut saya juga begitu. Hanya saja, ini dituangkan dalam seluruh kehidupan kita, bukan hanya salah satu aspek.

Quote
Kemarin saya baca di Samyutta Nikaya, kalau tidak salah tentang gagang kapak yang aus? Maaf kalau salah, saya lupa-lupa ingat. Intinya dikatakan bahwa sehari-harinya kita tidak tahu seberapa banyak yang aus. Tapi suatu saat ketika kapak itu menjadi benar-benar aus (tidak dapat digunakan lagi), barulah kita mengetahuinya. Sama halnya seperti tali kapal yang sehari-harinya terendam air laut dan terjemur matahari. Sehari-harinya tidak terlihat ausnya, tapi suatu saat karena telah rapuh akhirnya dia terputus, maka saat itulah baru muncul pengetahuan tentang ausnya tali. Ini seperti berusaha dan tidak melihat hasil yang nyata sehari-harinya, tapi saat terlepasnya suatu noda atau mencapai suatu tahap pencerahan, barulah kita sadari?
Ya, kita berlatih juga belum tentu bisa menyadari manfaatnya secara langsung, tapi suatu saat, melewati satu fase tertentu, hal tersebut terlihat nyata dan kita ketahui. Karena itulah dalam berlatih kita tidak usah terlalu menimbang-nimbang 'maju-mundur', 'berapa banyak yang sudah dilakukan', karena nantinya hanya akan timbul keraguan. Yang terbaik adalah kita memiliki pengertian benar dalam berlatih dan lakukan saja yang terbaik secara terus-menerus.



Quote
Tentang masalah saya, mungkin kalau disingkat, jadinya begini:
Ketika menghadapi masalah, maka secara logika, saya bisa menemukan penyebabnya. Tapi untuk mengatasinya, saya merasa bergelimang kilesa. Seperti ada suatu keyakinan dalam diri saya tentang "sisi gelap" saya yang tidak bisa diubah. Saya melekat akan gambaran diri masa lalu saya. Dan ada suatu ketidakpercayaan diri untuk mengatasinya. Walaupun saya menyadari ini semua dan secara teori saya tahu tentang "hidup di masa sekarang", tapi tetap saja pikiran saya terseret ke masa lalu. Mungkin ini yang disebut Kebodohan ya?

Bagaimana caranya berada di jalur yang benar dalam praktik?
Betul, memang seperti itu. Kita bisa secara logika melihatnya, namun ada kalanya logika pun tidak cukup. Bukan berarti tidak logis, tapi karena logika adalah terkondisi oleh kita sendiri. Satu contoh yang nyata adalah kemelekatan, kebencian, dan kebodohan bathin, tidak bisa dilogikakan, namun nyata. Misalnya bro Thres sedang menderita karena patah hati, maka kita bisa logikakan bahwa karena kemelekatan, maka timbul rasa sayang, lalu timbul perasaan gini-gitu dst... dst... Tapi coba logikakan kemelekatan itu, darimana datangnya, bagaimana prosesnya. Tidak akan bisa, yang ada hanya pikiran berputar-putar dan 'menipu' kita sendiri. Demikian juga latihan melepasnya, tidak bisa dilogikakan, namun ada.

Seperti tali kapal tadi, kemelekatan itu tidak muncul dengan tiba-tiba, tapi dipupuk. Hanya saja kita tidak menyadarinya sampai 'terlanjur' melekat. Demikian juga latihan melepasnya, tidak bisa instan. Kita tidak akan mengetahuinya sampai pada masanya 'tali putus' dan kita akan menyadarinya.
Jadi bro thres jangan berpandangan bahwa 'sisi gelap' itu tidak bisa berubah. Berpegang pada pandangan benar, jalani saja, dan dalam latihan, jangan melogikakan. Kalau dari pengalaman saya sendiri, seperti itu.


Quote
Wah, ini balik lagi ke diri saya yang saya maksudkan. Kalau saya baca tentang tulisan saya di atas mengenai usaha benar, saya tahu penyebab dari masalah saya, tapi saat saya menemukan kilesa, saya bingung ;D Saya bingung ketika saya menyadari bahwa pikiran saya mengembara dan terjerat begitu jauh, lalu terwujud dalam bentuk pikiran yang gelisah dan "gelap". Saya seringkali terlambat menyadarinya, dan ketika kilesa telah menjadi begitu besar, di saat itulah saya baru menyadarinya dan merasa kewalahan. Apalagi ditambah dengan kemelekatan saya akan "diri" saya di masa lalu, dan ketidakpercayaan diri saya untuk mengatasinya.
Buddha mengatakan:
"Para bhikkhu, saya tidak melihat hal yang demikian mencelakakan sebagaimana pikiran yang tidak jinak, tidak terkuasai, tidak terlindung, dan tidak terkendali, mencelakakan.
Para bhikkhu, saya tidak melihat hal yang demikian tidak membahayakan sebagaimana pikiran jinak, terkuasai, terlindung, terkendali, tidak membahayakan."


Memang demikianlah pikiran kita bisa membawa ke mana-mana. Terlambat menyadari berarti lebih baik daripada 'tidak' menyadari. Berikutnya diusahakan 'tidak terlambat'. Saya pikir esensi dari latihan memang untuk menjadikan diri lebih baik, bukan semata-mata harus mencapai tujuan akhir saja (hilangnya kilesa). Jadi jangan kehilangan semangat, walaupun hanya bermanfaat 0.0001, itu sudah lebih baik daripada tidak sama sekali, atau bahkan merosot.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 11:35:02 AM
Kalo saya memcoba menyadari perasaan, persepsi, bentuk2 pikiran, dll. Tetapi ketika disadari, yang terjadi hal-hal tersebut semakin lama semakin tidak terkontrol  :|. Apakah yang saya alami ini juga adalah sebuah keterlambatan menyadari ?

Apakah ketika hal-hal tersebut semakin besar, sebaiknya kita alihkan perhatian ke suatu objek misal, kembung kempis perut ?
Tidak terkendalinya bagaimana maksudnya?

Kalau menurut saya, kadang terjadi dalam satipatthana, kita tidak menyadari objek, tapi teralihkan oleh pikiran yang berhubungan dengan objek. Jadi misalnya kita sedang mengamati perasaan, lalu ingatan yang berkenaan dengan perasaan ini ikut timbul bahkan mengambil alih perhatian kita, akhirnya ke mana-mana. Saya pikir ini memang hambatan umum bagi orang yang berlatih.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 11:42:11 AM
kalau nyelam pakai oksigen = praktik....  =))
Kalau lagi jhana IV ke atas, tidak praktik donk?! ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 11 August 2011, 11:47:37 AM
Tidak terkendalinya bagaimana maksudnya?

Kalau menurut saya, kadang terjadi dalam satipatthana, kita tidak menyadari objek, tapi teralihkan oleh pikiran yang berhubungan dengan objek. Jadi misalnya kita sedang mengamati perasaan, lalu ingatan yang berkenaan dengan perasaan ini ikut timbul bahkan mengambil alih perhatian kita, akhirnya ke mana-mana. Saya pikir ini memang hambatan umum bagi orang yang berlatih.

Mungkin seperti itu, begitu diamati muncul ingatan, spekulasi, persepsi, dll. Saya pikir proses kemunculan hal-hal tersebut yang memang belum mampu untuk saya amati prosesnya...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 11 August 2011, 11:53:54 AM
Thanks bro Kainyn karena mengerti saya. Dan ketika membaca tulisan yang dimiringkan (yang kata-kata Sang Buddha) itu, saya sedikit terharu :|

Kadang saya berpikir, kalau serius di dalam Buddha-Dhamma, kita senantiasa berusaha untuk berpandangan benar. Dan saat berpandangan benar, maka kita tidak mungkin menjadi pribadi yang "cengeng".

Maksud saya, ketika kita mulai melogikakan usaha kita dan merasa tidak berdaya atau tidak mampu, maka setelah menyadarinya, kita lalu dengan terus-terang mengakui kecenderungan yang belum diatasi itu, lalu mulai belajar lagi untuk momen selanjutnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 12:00:07 PM
Thanks bro Kainyn karena mengerti saya. Dan ketika membaca tulisan yang dimiringkan (yang kata-kata Sang Buddha) itu, saya sedikit terharu :|

Kadang saya berpikir, kalau serius di dalam Buddha-Dhamma, kita senantiasa berusaha untuk berpandangan benar. Dan saat berpandangan benar, maka kita tidak mungkin menjadi pribadi yang "cengeng".

Maksud saya, ketika kita mulai melogikakan usaha kita dan merasa tidak berdaya atau tidak mampu, maka setelah menyadarinya, kita lalu dengan terus-terang mengakui kecenderungan yang belum diatasi itu, lalu mulai belajar lagi untuk momen selanjutnya.
Betul, memang kadang yang bikin berat adalah kita berusaha tapi belum mencapai tujuan sehingga sepertinya sia-sia dan kita menyerah. Padahal sebetulnya kita sudah benar meng-aus-kan talinya, hanya belum putus saja.

Berlatih memang dimulai dengan mengakui keterbatasan diri dan berusaha menyadari kelebihan diri, sehingga kita tahu apa yang harus dikikis, dan apa yang harus dikembangkan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: mettama on 11 August 2011, 12:53:07 PM
 _/\_ Ada pertanyaan Bro Kainyn...

Mula-mula untuk jadi pengikut agama Budha adalah paham akan Lima Sila setelah mengerti dan bisa menjalankannya
dengan baik, kita akan lanjut ke pemahaman tentang empat jalan Mulia yaitu Penderitaan, penyebab Penderitaan, menakhiri Penderitaan dan mencari jalan untuk melenyapkan penderitaan itu sendiri...
Contoh nih  kalau sedih penyebabanya apa sedih, kemudian cara mengakhiri terus cari jalan keluarnya...
Contoh lagi kalau lagi Jatuh Cinta penyebabnya apa dan mengakhiri apa dan cari jalan keluarnya apa?
dan masih banyak lagi penderitaan yang harus dicari penyebabnya mengakhiri dan mencari jalanya untuk pederitaan itu sendiri?
Yang menjadi pertanyaa adalah apakah kalau kita tahu itu semua apakah umat awam pasti damai dengan mengetahui empat jalan mulia tsb?seandainya semua umat awam seperti itu bearti tidak ada amarah ya? dan tidak bisa mencintai orang lagi atau mempunyai ilusi untuk cinta karena ada pepatah bilang Cinta itu sama dengan Ilusi?
 ;D maksudnya semuanya datar2 saja......

Satu lagi   

Teman- teman sedarma bisa tolong bantu gak gimana caranya bisa memahami 8 jalan kebenaran....... soalnya sudah pernah di coba menghapalin tapi gak bisa ingat semuanya apalah memahami?  hehehe sudah pernah dicoba ditulis di dinding atau di tempel di tempat yang bisa di lihat masih juga gak bisa ingat dan hapal.....?  :( ;D... (maklum tidak bisa mengingat yang banyak). Tapi kalau ada yang tahu cara nya termudah untuk mengingat dan memahami bertahu ya dan tolong di share ya...... terimkasih... ^:)^ :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 11 August 2011, 01:41:32 PM
;D Masa' sih? Tapi kalau penilaian pribadi saya sekilas, PH bukan orang yang mata duitan. Mencari banyak pengikut mungkin saja, tapi kalau untuk duit, menurut saya tidak.
Setuju dgn om kainyn,sejauh yg saya tahu PH bkn org spt itu..oh iya kbr terakhir PH kemarin dr wall fbnya,beliau turun 7 kg dan terus diare selama 4 bulan,sekarang check up menyeluruh.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 02:17:41 PM
_/\_ Ada pertanyaan Bro Kainyn...

Mula-mula untuk jadi pengikut agama Budha adalah paham akan Lima Sila setelah mengerti dan bisa menjalankannya
dengan baik, kita akan lanjut ke pemahaman tentang empat jalan Mulia yaitu Penderitaan, penyebab Penderitaan, menakhiri Penderitaan dan mencari jalan untuk melenyapkan penderitaan itu sendiri...
Contoh nih  kalau sedih penyebabanya apa sedih, kemudian cara mengakhiri terus cari jalan keluarnya...
Penyebab penderitaan dirangkum menjadi tiga: keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin. Jalan keluarnya secara singkat adalah moralitas, konsentrasi, dan kebijaksanaan.


Quote
Contoh lagi kalau lagi Jatuh Cinta penyebabnya apa dan mengakhiri apa dan cari jalan keluarnya apa?
dan masih banyak lagi penderitaan yang harus dicari penyebabnya mengakhiri dan mencari jalanya untuk pederitaan itu sendiri?
Dimulai dengan menerima kenyataan apa adanya, tidak mengharapkan apa yang memang tidak mungkin terjadi. Kembangkan pola pikir melepas keinginan dan jangan memupuk keinginan yang baru.


Quote
Yang menjadi pertanyaa adalah apakah kalau kita tahu itu semua apakah umat awam pasti damai dengan mengetahui empat jalan mulia tsb?
Mengetahui dan mengalami sendiri adalah berbeda. Hampir setiap Umat Buddha tahu Kebenaran Mulia, tapi tidak semua Umat Buddha berbahagia.


Quote
seandainya semua umat awam seperti itu bearti tidak ada amarah ya? dan tidak bisa mencintai orang lagi atau mempunyai ilusi untuk cinta karena ada pepatah bilang Cinta itu sama dengan Ilusi?
 ;D maksudnya semuanya datar2 saja......
Dalam Ajaran Buddha, cinta itu banyak jenisnya. Yang umum adalah metta, yaitu keadaan tanpa kebencian; dan satu lagi adalah piya, yaitu cinta karena kemelekatan. Ketika orang dikuasai cinta kemelekatan, maka ia akan bahagia kalau bersama orang tersebut, dan menderita kalau kehilangan orang tersebut.

Apakah cinta (piya) itu ilusi? Ya, memang cinta adalah permainan pikiran yang tidak mau mengakui kenyataan bahwa itu semua hanyalah kemelekatan, sehingga dikemas dengan bungkus ilusi dan merk yang indah.

Belajar Buddhisme juga bukan untuk membuat orang jadi robot yang datar, tetapi memahami fenomena kehidupan itu sendiri. Apakah cinta itu memiliki hakikat sejati yang indah? Itu hanya kita sendiri yang punya jawaban cocok.


Quote
Satu lagi   

Teman- teman sedarma bisa tolong bantu gak gimana caranya bisa memahami 8 jalan kebenaran....... soalnya sudah pernah di coba menghapalin tapi gak bisa ingat semuanya apalah memahami?  hehehe sudah pernah dicoba ditulis di dinding atau di tempel di tempat yang bisa di lihat masih juga gak bisa ingat dan hapal.....?  :( ;D... (maklum tidak bisa mengingat yang banyak). Tapi kalau ada yang tahu cara nya termudah untuk mengingat dan memahami bertahu ya dan tolong di share ya...... terimkasih... ^:)^ :))
Tidak perlu dipaksakan hafal kalau tidak bisa. Mulailah dengan memiliki pandangan benar, maka otomatis akan mengubah pola pikir kita tentang hidup. Dari pola pikir tersebut akan berpengaruh pada seluruh sisi kehidupan kita.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 August 2011, 02:20:54 PM
Setuju dgn om kainyn,sejauh yg saya tahu PH bkn org spt itu..oh iya kbr terakhir PH kemarin dr wall fbnya,beliau turun 7 kg dan terus diare selama 4 bulan,sekarang check up menyeluruh.
Kita memang tidak pernah kenal seseorang kecuali mungkin telah bersama-sama dalam waktu lama. Tapi semoga saja memang bukan.

Semoga kamma baik Pak Hud mengondisikannya untuk cepat sembuh.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 11 August 2011, 03:57:19 PM
Kalo saya memcoba menyadari perasaan, persepsi, bentuk2 pikiran, dll. Tetapi ketika disadari, yang terjadi hal-hal tersebut semakin lama semakin tidak terkontrol  :|. Apakah yang saya alami ini juga adalah sebuah keterlambatan menyadari ?

Apakah ketika hal-hal tersebut semakin besar, sebaiknya kita alihkan perhatian ke suatu objek misal, kembung kempis perut ?

Mungkin seperti itu, begitu diamati muncul ingatan, spekulasi, persepsi, dll. Saya pikir proses kemunculan hal-hal tersebut yang memang belum mampu untuk saya amati prosesnya...

Ini sedikit pengalaman saya. 70 persen saya meditasi sambil ngantuk. Tapi kadang ada jugalah sedikit pencerahan (kalau tidak sedang ngantuk atau gelisah). Tolong dikoreksi kalau ada yang salah.

Pertama-tama, saya ambil nafas sebagai perhatian utama.

Saat perhatian lebih kuat, bisa juga saya menyadari "adegan mundur". Misalnya: kenapa saya ingat Pak Amir? oh, karena saya teringat kalo Pak Amir jual kipas angin. Kenapa saya teringat kipas angin? oh karena tadi saya merasakan angin kuat menerpa wajah saya saat meditasi, dan terbayang sebuah kipas angin.

Biasanya saat disadari bahwa "ada ingatan muncul", maka ingatan atau objek-objek pikiran itu justru berhenti. Dan terserah kita, mau dilanjutkan atau tidak. Lalu apakah perenungan mau dilanjutkan ke jasmani (misalnya memperhatikan napas lagi), atau mau ke perenungan objek-objek pikiran (dhammanupassana). Dhammanupassana di sini adalah menyelidiki pengalaman tadi (misalnya pengaruh suatu sensasi pada pikiran dan bagaimana ingatan muncul darinya). Kalau tidak ada yang menarik, kembali lagi ke nafas.

Lama-kelamaan, ini menjadi semacam "permainan" yang menarik.
___________________

Kalau yang muncul adalah ingatan yang cukup mengundang perasaan yang kuat, memang berlangsung cepat dan kalau tidak disadari, lama-kelamaan jadi besar.

Kalau cepat disadari (emosi belum besar), mungkin ada kecenderungan untuk "mengijinkan" diri mengingatnya. Sebelum itu terjadi, coba renungkan dulu apakah bermanfaat atau tidak. Kalau dirasa akan bermanfaat, coba diingat sambil usahakan tetap pegang pandangan benar.

Tapi kalau emosi sudah besar (misalnya marah), coba perhatikan kemarahan itu. Bukan perhatikan objek atau orang yang menyebabkan kita marah. Perhatikan sensasi kemarahan itu, rasanya pada tubuh kita. Perhatikan terus. Kalau pikiran lebih jernih, coba lanjut ke Dhammanupassana seperti di atas atau kalau tidak ada yang menarik, kembali ke nafas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 04:08:11 PM
Ini sedikit pengalaman saya. 70 persen saya meditasi sambil ngantuk. Tapi kadang ada jugalah sedikit pencerahan (kalau tidak sedang ngantuk atau gelisah). Tolong dikoreksi kalau ada yang salah.

Pertama-tama, saya ambil nafas sebagai perhatian utama.

Saat perhatian lebih kuat, bisa juga saya menyadari "adegan mundur". Misalnya: kenapa saya ingat Pak Amir? oh, karena saya teringat kalo Pak Amir jual kipas angin. Kenapa saya teringat kipas angin? oh karena tadi saya merasakan angin kuat menerpa wajah saya saat meditasi, dan terbayang sebuah kipas angin.

Biasanya saat disadari bahwa "ada ingatan muncul", maka ingatan atau objek-objek pikiran itu justru berhenti. Dan terserah kita, mau dilanjutkan atau tidak. Lalu apakah perenungan mau dilanjutkan ke jasmani (misalnya memperhatikan napas lagi), atau mau ke perenungan objek-objek pikiran (dhammanupassana). Dhammanupassana di sini adalah menyelidiki pengalaman tadi (misalnya pengaruh suatu sensasi pada pikiran dan bagaimana ingatan muncul darinya). Kalau tidak ada yang menarik, kembali lagi ke nafas.

Lama-kelamaan, ini menjadi semacam "permainan" yang menarik.
___________________

Kalau yang muncul adalah ingatan yang cukup mengundang perasaan yang kuat, memang berlangsung cepat dan kalau tidak disadari, lama-kelamaan jadi besar.

Kalau cepat disadari (emosi belum besar), mungkin ada kecenderungan untuk "mengijinkan" diri mengingatnya. Sebelum itu terjadi, coba renungkan dulu apakah bermanfaat atau tidak. Kalau dirasa akan bermanfaat, coba diingat sambil usahakan tetap pegang pandangan benar.

Tapi kalau emosi sudah besar (misalnya marah), coba perhatikan kemarahan itu. Bukan perhatikan objek atau orang yang menyebabkan kita marah. Perhatikan sensasi kemarahan itu, rasanya pada tubuh kita. Perhatikan terus. Kalau pikiran lebih jernih, coba lanjut ke Dhammanupassana seperti di atas atau kalau tidak ada yang menarik, kembali ke nafas.

tapi saya lebih curiga ada sesuatu antara anda dengan pak amir
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 11 August 2011, 04:23:22 PM
tapi saya lebih curiga ada sesuatu antara anda dengan pak amir
Hmmh tercium aroma balas dendam ne..hehehe
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 04:34:40 PM
tapi saya lebih curiga ada sesuatu antara anda dengan pak amir

Hmmh tercium aroma balas dendam ne..hehehe

Saya kelewatan "sesuatu" ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 04:37:50 PM

Quote from: from: Indra on Today at 04:08:11 PM
tapi saya lebih curiga ada sesuatu antara anda dengan pak amir

Quote from: from: Wijayananda on Today at 04:23:22 PM
Hmmh tercium aroma balas dendam ne..hehehe

Saya kelewatan "sesuatu" ?

ya skandal antara Mayvise dgn Pak Amir Tukang kipas
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 04:40:23 PM
Saya kelewatan "sesuatu" ?


ya skandal antara Mayvise dgn Pak Amir Tukang kipas

masih gak nangkap Pak Amir Tukang Kipas yang mana satu ?
cerahkan daku, suhu...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 August 2011, 04:58:29 PM
masih gak nangkap Pak Amir Tukang Kipas yang mana satu ?
cerahkan daku, suhu...

baca reply #792 thread ini
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 11 August 2011, 05:31:12 PM
baca reply #792 thread ini

 ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 11 August 2011, 06:46:52 PM
Biasanya saat disadari bahwa "ada ingatan muncul", maka ingatan atau objek-objek pikiran itu justru berhenti. Dan terserah kita, mau dilanjutkan atau tidak. Lalu apakah perenungan mau dilanjutkan ke jasmani (misalnya memperhatikan napas lagi), atau mau ke perenungan objek-objek pikiran (dhammanupassana). Dhammanupassana di sini adalah menyelidiki pengalaman tadi (misalnya pengaruh suatu sensasi pada pikiran dan bagaimana ingatan muncul darinya). Kalau tidak ada yang menarik, kembali lagi ke nafas.

Beralih ke Dhammanupasana dengan objek pikiran itu maksudnya gimana ya ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 12 August 2011, 09:43:45 AM
Beralih ke Dhammanupasana dengan objek pikiran itu maksudnya gimana ya ?

Pengetahuan saya masih terbatas, jadi saya bahas yang saya tau saja. Kalau Rooney mau, coba baca lagi detilnya di Mahasatipatthana Sutta (Digha Nikaya 22). (http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_22:_Mahasatipatthana_Sutta_(Walshe))

Saya ambil daftar isinya:

Quote
1 PERENUNGAN JASMANI (Kayanupassana)
1.1. Perhatian pada pernafasan
1.2. Empat postur
1.3. Kesadaran jernih
1.4. Perenungan menjijikkan: Bagian-bagian tubuh
1.5. Empat Unsur
1.6. Sembilan perenungan tanah pekuburan

2 PERENUNGAN PERASAAN (Vedananupassana)

3 PERENUNGAN PIKIRAN (Cittanupassana)

4 PERENUNGAN OBJEK-OBJEK PIKIRAN (Dhammanupassana)
4.1. Lima Rintangan
4.2. Lima gugus (bentuk, perasaan, persepsi, bentukan-bentukan batin, dan kesadaran)
4.3. Enam Landasan Indria Internal dan Eksternal
4.4. Tujuh Faktor Penerangan Sempurna
4.5. Empat Kebenaran Mulia


Misalnya nafas dipilih sebagai objek utama (di mana perhatian pada nafas adalah bagian dari Perenungan Jasmani atau Kayanupassana).

Saat sedang memperhatikan nafas, apapun yang mengalihkan perhatian kita, ini seperti anak kecil yang merengek-rengek minta diperhatikan. Ada kalanya, anak kecil ini cukup diperhatikan sebentar, dia bisa diam. Lalu kita bisa kembali ke nafas. Tapi terkadang sulit, karena dia tidak mau diam atau karena kita justru tertarik padanya.

Kalau tipe anak kecil yang tidak mau diam atau kita tertarik padanya, maka, selama kita tidak terseret olehnya (tidak membenci dan tidak menyukainya), selanjutnya ia bisa dijadikan bahan perenungan (beralih ke Dhammanupassana).

************

Dalam kasus Rooney, muncul sebuah ingatan. Ingatan adalah objek pikiran. Kalau Rooney tertarik, maka ingatan ini termasuk dalam poin 4.3. Bagaimana cara menyelidikinya?

"Ia mengetahui pikiran dan mengetahui objek-objek pikiran, dan ia mengetahui belenggu apa pun yang muncul bergantung pada kedua hal ini. Dan ia mengetahui bagaimana belenggu yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana melepaskan belenggu yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidakmunculan belenggu yang telah dilepaskan itu akan muncul di masa depan.’"

*******

Kadang bisa juga memanfaatkan ingatan tertentu, diselidiki untuk lebih memahami Dukkha. Misalnya kebetulan teringat tentang anggota keluarga yang meninggal. Atau misalnya teringat tentang ketidakpuasan karena menginginkan suatu keadaan tetap sama (padahal itu tidak mungkin).

*******

Atau kalau misalnya muncul kegelisahan atau rintangan batin. Ini bisa dijadikan bahan perenungan juga, yaitu termasuk dalam poin 4.1. Cara menyelidikinya:

"Di sini, para bhikkhu, jika kegelisahan hadir dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa kegelisahan hadir. Jika kegelisahan tidak ada dalam dirinya, seorang bhikkhu mengetahui bahwa kegelisahan tidak ada. Dan ia mengetahui bagaimana kegelisahan yang belum muncul itu muncul, dan ia mengetahui bagaimana menyingkirkan kegelisahan yang telah muncul, dan ia mengetahui bagaimana ketidak-munculan di masa depan dari kegelisahan yang telah disingkirkan.’"
___________________________

Yang di atas, itu alternatif saja. Masih banyak kemungkinan yang lain, terserah kecenderungan Rooney nanti saja saat meditasi.

Btw, dalam praktik, tidak semudah seperti yang tertulis. Seringkali saya hanya bisa merasakan betapa saya menolak satu hal dan menginginkan hal yang lain. Pengetahuan tentang bagaimana mengatasi belenggu atau rintangan batin, juga sama sekali belum muncul. Kadang hanya tau, ya ada belenggu/rintangan muncul. Tapi saya belum tau bagaimana agar belenggu/rintangan itu tidak muncul lagi di masa depan. Kalaupun tau, selalu saja saya gagal memperhatikan munculnya "penyebabnya" sehingga jatuh ke belenggu yang sama. Kadang setelah "ber-melankolis ria" atau "ber-madesu ria" bersama kebodohan, setelah beberapa waktu barulah saya sadari kebodohan saya. Tapi ya, berusaha terus saja :)

Vipassana itu sebenarnya proses berkelanjutan, bahkan - idealnya - juga dipraktikkan sewaktu tidak sedang duduk dalam meditasi formal. Keinginan yang saya pupuk, mempengaruhi gejolak saya dalam meditasi. Semakin banyak keinginan, maka saat meditasi saya semakin membenci yang satu dan bernafsu pada yang lainnya, mudah terseret, dan sulit berpikir objektif. Kalau tertarik, boleh baca Digha Nikaya 21 (mulai dari nomor 1.13), atau Samyutta Nikaya buku ke-4 (coba baca Perumpamaan Enam Binatang, di Samyutta Nikaya buku ke-4, halaman 1370).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 12 August 2011, 09:53:48 AM
ya skandal antara Mayvise dgn Pak Amir Tukang kipas

Tidak ada skandal. Kemarin memang saya ke tempat Pak Amir, dia bilang bisa bantu Indra untuk bersih-bersih vihara. Nanti kalian kerjasama lah, siapa yang nyapu, siapa yang ngepel, terserah kalian. Yang akur ya... ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Trick or Treat on 24 August 2011, 01:45:59 PM
salam bro kainyn, (saya br bs online lg k DC)

bro, barusan saya jalan2 di board buddha u/ pemula..
ada penjelasan ttg 3 akar: Alobha, Adosa, Amoha.. bisa tolong jelaskan masing2 dr ketiganya?

Thx.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 02:25:10 PM
salam bro kainyn, (saya br bs online lg k DC)

bro, barusan saya jalan2 di board buddha u/ pemula..
ada penjelasan ttg 3 akar: Alobha, Adosa, Amoha.. bisa tolong jelaskan masing2 dr ketiganya?

Thx.  :)
Salam juga.
Kalau menurut saya, ini sebetulnya sederhana saja. Kita tahu L-D-M, maka aL-aD-aM adalah hal menghindari atau menahan diri dari L-D-M tersebut. Misalnya karena keserakahan, timbul keinginan untuk mengambil barang milik orang lain. Tapi karena memahami hukum sebab-akibat atau hal lainnya, timbul usaha menghindari hal tersebut. Inilah disebut akar Alobha.

Secara singkat, kehendak buruk (akusala kamma) adalah dorongan L-D-M, kehendak baik (kusala kamma) adalah dorongan dari aL-aD-aM.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 24 August 2011, 02:48:11 PM
Salam juga.
Kalau menurut saya, ini sebetulnya sederhana saja. Kita tahu L-D-M, maka aL-aD-aM adalah hal menghindari atau menahan diri dari L-D-M tersebut. Misalnya karena keserakahan, timbul keinginan untuk mengambil barang milik orang lain. Tapi karena memahami hukum sebab-akibat atau hal lainnya, timbul usaha menghindari hal tersebut. Inilah disebut akar Alobha.

Secara singkat, kehendak buruk (akusala kamma) adalah dorongan L-D-M, kehendak baik (kusala kamma) adalah dorongan dari aL-aD-aM.

Tadi siang saya sempat ngobrol dengan teman saya. Kira-kira percakapannya seperti ini :

H : Kalian pada suka main game yang bangun-bangun wilayah gitu gak ?
A : Game strategy ya ?
H : Ya kira-kira mirip gitu.
A : Memangnya kenapa bro ?
H : Coba deh kalo kita udah bangun benteng dan banyak bangunan, habis itu liat wilayah-wilayah di sekitar, pasti kepikiran untuk mencaplok wilayah-wilayah itu. Kayaknya hal itu sama seperti real life. Mungkin sudah naturenya human...
A :  :|

Apakah serakah adalah sifat dasar manusia ?
Apakah hal ini ada hubungannya dengan seleksi alam dan usaha manusia untuk bertahan hidup ? 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 24 August 2011, 03:04:22 PM
Salam juga.
Kalau menurut saya, ini sebetulnya sederhana saja. Kita tahu L-D-M, maka aL-aD-aM adalah hal menghindari atau menahan diri dari L-D-M tersebut. Misalnya karena keserakahan, timbul keinginan untuk mengambil barang milik orang lain. Tapi karena memahami hukum sebab-akibat atau hal lainnya, timbul usaha menghindari hal tersebut. Inilah disebut akar Alobha.

Secara singkat, kehendak buruk (akusala kamma) adalah dorongan L-D-M, kehendak baik (kusala kamma) adalah dorongan dari aL-aD-aM.
kayaknya pengertian saya beda dengan yg di atas.
apakah ada referensi tipitaka mengenai alobha adosa amoha sebagai penyebab kusala kamma itu?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 03:11:43 PM
Tadi siang saya sempat ngobrol dengan teman saya. Kira-kira percakapannya seperti ini :

H : Kalian pada suka main game yang bangun-bangun wilayah gitu gak ?
A : Game strategy ya ?
H : Ya kira-kira mirip gitu.
A : Memangnya kenapa bro ?
H : Coba deh kalo kita udah bangun benteng dan banyak bangunan, habis itu liat wilayah-wilayah di sekitar, pasti kepikiran untuk mencaplok wilayah-wilayah itu. Kayaknya hal itu sama seperti real life. Mungkin sudah naturenya human...
A :  :|

Apakah serakah adalah sifat dasar manusia ?
Apakah hal ini ada hubungannya dengan seleksi alam dan usaha manusia untuk bertahan hidup ? 
Semua manusia pasti ada serakahnya. Tapi bedanya sejauh mana serakahnya, bentuk dan pemuasannya, bagi setiap orang berbeda.

Yang sering terjadi dalam kehidupan kita (dan dicontohkan dengan baik sekali dalam contoh bro rooney ini) adalah keserakahan dalam diri belum terkondisi untuk muncul, sehingga belum tampak serakahnya. Tapi ketika ada kondisi tertentu yang mendukung, maka kecenderungannya untuk serakah timbul. Misalnya dalam game itu, kalau kita masih lemah, tentu ingin memperkuat punya kita dulu, tidak terpikirkan untuk mencaplok sebelah karena belum punya kekuatan. Nanti setelah sudah kuat, punya kemampuan dan kesempatan, maka baru kelihatan sejauh mana serakahnya orang itu. Saya yakin tidak semua orang seperti itu (kalau sudah kuat, timbul keinginan mencaplok sebelah).

Kalau seleksi alam, saya pikir tidak juga. Seleksi alam biasanya mengubah cara hanya sebatas bertahan hidup, tapi kalau manusia, menginginkan yang jauh lebih banyak dari sekadar bertahan hidup, maka berapa banyakpun sumber alam menjadi tidak pernah cukup bagi keserakahan manusia.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 03:12:26 PM
kayaknya pengertian saya beda dengan yg di atas.
apakah ada referensi tipitaka mengenai alobha adosa amoha sebagai penyebab kusala kamma itu?

Dulu saya pernah bahas dengan bro tesla tentang ini, tapi saya lupa. Ntar saya cari dulu yah.


----
Ini sudah ketemu:

intinya, apakah alobha (tanpa keserakahan) bisa disejajarkan dg murah hati, adosa dapat disejajarkan dg cinta kasih & amoha dapat disejajarkan dg kebijaksanaan?
Tepat seperti yang dipost Bro hendrako.

LDM maupun A-LDM, disebut akar dari perbuatan.

Dalam Akusalamula Sutta (AN 3.70, menurut penomoran yang saya punya) yang dipost Bro ryu (page 15), dikatakan di bagian akusalamula:
lobhajā lobhanidānā lobhasamudayā lobhapaccayā aneke pāpakā akusalā dhammā sambhavanti
Lahir dari lobha, disebabkan lobha, muncul dari lobha, terkondisi oleh lobha, akusala dhamma timbul.
(Diulang untuk Dosa & Moha)

Begitu juga bagian kusalamula:
alobhajā alobhanidānā alobhasamudayā alobhapaccayā aneke kusalā dhammā sambhavanti.
Lahir dari alobha, disebabkan alobha, muncul dari alobha, terkondisi oleh alobha, kusala dhamma timbul.
(Diulang untuk Adosa & Amoha)

Dari kedua perbuatan itu, keduanya lahir, disebabkan, muncul dan terkondisi oleh sesuatu. Kita tahu bahwa yang lahir, disebabkan, muncul dan terkondisi adalah tidak kekal, hanyalah fenomena (dhamma). Karena itulah saya menyimpulkan perbuatan tersebut (baik kusala dhamma, apalagi akusala dhamma) BUKAN ada pada Arahat.

Kemudian yang saya tangkap pada sutta itu adalah bahwa seseorang bisa mencapai pembebasan tentu bukan dengan mengembangkan yang akusala, tetapi mengembangkan yang kusala.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Kang_Asep on 24 August 2011, 03:23:18 PM
Semua manusia pasti ada serakahnya. Tapi bedanya sejauh mana serakahnya, bentuk dan pemuasannya, bagi setiap orang berbeda.

Sang Buddha punya sifat serakah enggak ya?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 03:24:46 PM
Sang Buddha punya sifat serakah enggak ya?
Katanya sih nggak. Belom ketemu langsung sih.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Kang_Asep on 24 August 2011, 03:47:35 PM
kalau dalam meditasi vipassana, keserakahan akan lenyap sepenuhnya pada tahap mana?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 04:00:09 PM
kalau dalam meditasi vipassana, keserakahan akan lenyap sepenuhnya pada tahap mana?
Menurut Ajaran Buddha, keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin akan lenyap sepenuhnya dengan pencapaian Arahatta-phala. Jadi belum tentu semua orang yang melakukan vipassana bisa melenyapkan keserakahan sepenuhnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Kang_Asep on 24 August 2011, 04:05:23 PM
Menurut Ajaran Buddha, keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin akan lenyap sepenuhnya dengan pencapaian Arahatta-phala. Jadi belum tentu semua orang yang melakukan vipassana bisa melenyapkan keserakahan sepenuhnya.



mengapa Arahatta-phala tidak muncul di dalam vipassana?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 04:09:00 PM
mengapa Arahatta-phala tidak muncul di dalam vipassana?
Bukan tidak muncul dalam vipassana, tetapi tergantung dari orang yang melakukannya saja. Mengapa orang tidak bisa mencapainya adalah karena dirintangi oleh kebodohan bathin sehingga tidak melihat fenomena sebagaimana adanya. Vipassana (Satipatthana) adalah cara yang diajarkan untuk memahami fenomena tersebut. Keberhasilannya adalah tergantung potensi orang itu sendiri dan latihannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Kang_Asep on 24 August 2011, 04:23:17 PM
Bukan tidak muncul dalam vipassana, tetapi tergantung dari orang yang melakukannya saja. Mengapa orang tidak bisa mencapainya adalah karena dirintangi oleh kebodohan bathin sehingga tidak melihat fenomena sebagaimana adanya. Vipassana (Satipatthana) adalah cara yang diajarkan untuk memahami fenomena tersebut. Keberhasilannya adalah tergantung potensi orang itu sendiri dan latihannya.

jadi, apakah orang yang sudah dapat meilhat fenomena sebagaimana adanya berarti orang itu sudah tidak memiliki keserakahan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 24 August 2011, 04:30:34 PM
Dulu saya pernah bahas dengan bro tesla tentang ini, tapi saya lupa. Ntar saya cari dulu yah.
oh ternyata pernah menjadi topik tak berujung hehehe...
ternyata perbedaan pendapat klasik.
jadi sampai di sini saja.

saya coba cari lengkapnya, ternyata judul dan penomorannya agak beda:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an03/an03.069.than.html

setelah membaca ini, saya tetap berbeda pendapat.
kamsia, om.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 06:55:20 PM
jadi, apakah orang yang sudah dapat meilhat fenomena sebagaimana adanya berarti orang itu sudah tidak memiliki keserakahan?
Betul, ketika seseorang melihat segala fenomena sebagaimana adanya, keserakahan tidak akan timbul lagi dalam dirinya. Dalam perumpamaan sangat sederhana, misalnya seseorang yang tidak mengetahui kebenaran bahwa bumi itu bulat, melekat pada pandangan bumi itu datar. Ia mencari, mengejar, dan mempertahankan tujuan mencapai ujung dari bumi. Ia menyenangi apa yang ia pikir membawanya pada tujuannya, dan menghindari apa yang ia pikir sebagai merintangi tujuannya. Pada saat ia, dengan pengalamannya sendiri, membuktikan bahwa bumi itu bulat, maka ia tidak lagi mencari, mengejar, dan mempertahankan tujuannya. Dengan sendirinya pula apa yang ia senangi (karena ia anggap akan membawanya pada tujuannya) dan yang ia hindari (karena ia anggap akan merintangi tujuannya), lenyap menjadi tidak lagi relevan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 August 2011, 06:57:54 PM
oh ternyata pernah menjadi topik tak berujung hehehe...
ternyata perbedaan pendapat klasik.
jadi sampai di sini saja.

saya coba cari lengkapnya, ternyata judul dan penomorannya agak beda:
http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an03/an03.069.than.html

setelah membaca ini, saya tetap berbeda pendapat.
kamsia, om.

Setelah beberapa lama di forum memang sepertinya hampir semua topik umum sudah dibahas. ;D
Mungkin tidak perlu didiskusikan, tapi boleh bro morph kemukakan pendapatnya saja.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 25 August 2011, 09:49:33 AM
mengapa Arahatta-phala tidak muncul di dalam vipassana?

bukankah satu-satu-nya jalan menuju arahatta-phala adalah melalui vipasanna ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 25 August 2011, 02:05:32 PM
Dari http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=21022.msg370002#msg370002

Sebagai umat awam (bukan anggota sangha), bagaimana caranya meniadakan sumber mata air? apakah mungkin, karena lingkungan umat awam adalah sangat mungkin terpapar hal-hal tidak bermanfaat.
Apakah menjadi perumah-tangga ataupun petapa, "sumber mata air" tersebut adalah sulit untuk diketahui dan dihentikan. Hanya saja dengan menjadi petapa, memang kesempatan kesempatan berlatih relatif lebih banyak karena tidak disibukkan dengan urusan-urusan duniawi lagi. Tapi itupun kalau memang menjalani petapaan mulia, sebab sekarang ini banyak petapa palsu yang numpang cari duit, bukan demi menghentikan "sumber mata air" tersebut. 

Bagi perumah-tangga, latihan adalah sama saja, yaitu dengan menjaga moralitas, menjaga pintu indera, mengembangkan konsentrasi dan kebijaksanaan. Hal-hal tidak bermanfaat pun kalau disikapi dengan perhatian dan kewaspadaan penuh, bisa menjadi pelajaran yang bermanfaat.

Kalau dari kisah-kisah jaman Buddha Gotama pun, banyak sekali perumah-tangga yang memiliki pencapaian kesucian, bahkan kadang lebih tinggi dari bhikkhu yang ditopangnya. Jadi jangan berkecil hati dengan latihan bagi perumah-tangga. Hanya berbeda pola dan sudut pandang saja, namun dengan tekad dan perjuangan terus-menerus, pasti membawa pada kemajuan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 25 August 2011, 02:26:39 PM
^

Ya, saya setuju. Umat awam memang lebih disibukkan dengan hal-hal duniawi, kadang saya merasa bahwa waktu lewat begitu saja dengan rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Mirip mesin saja.

Mengenai latihan pengendalian indria, pengembangan konsentrasi, dan kebijaksanaan. Saya memang berusaha melakukan pelatihan diri dalam kapasitas saya sebagai umat awam, walaupun memang belum maksimal.

Saya ingin share saja, mungkin ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya. Hampir setiap malam saya membaca sutta. Me-refresh otak dengan hal-hal baik. Seringkali saya termotivasi untuk berjuang keesokan harinya. Tapi setelah bangun pagi, lalu ketika tiba di kantor, rasanya kecenderungan negatif saya balik lagi (misalnya lalai dan dengan sengaja mengabaikan kesadaran).

Saat malam tiba, baca sutta lagi, termotivasi lagi. Besoknya sami mawon ??? Ini mirip seperti "terbawa arus". Sepertinya memang tidak mudah berlatih sepanjang hari (mungkin karena kecenderungan/karakter/kebiasaan baik belum terbentuk).

Ada yang mengalami hal serupa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 25 August 2011, 03:45:17 PM
^

Ya, saya setuju. Umat awam memang lebih disibukkan dengan hal-hal duniawi, kadang saya merasa bahwa waktu lewat begitu saja dengan rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Mirip mesin saja.

Mengenai latihan pengendalian indria, pengembangan konsentrasi, dan kebijaksanaan. Saya memang berusaha melakukan pelatihan diri dalam kapasitas saya sebagai umat awam, walaupun memang belum maksimal.

Saya ingin share saja, mungkin ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya. Hampir setiap malam saya membaca sutta. Me-refresh otak dengan hal-hal baik. Seringkali saya termotivasi untuk berjuang keesokan harinya. Tapi setelah bangun pagi, lalu ketika tiba di kantor, rasanya kecenderungan negatif saya balik lagi (misalnya lalai dan dengan sengaja mengabaikan kesadaran).

Saat malam tiba, baca sutta lagi, termotivasi lagi. Besoknya sami mawon ??? Ini mirip seperti "terbawa arus". Sepertinya memang tidak mudah berlatih sepanjang hari (mungkin karena kecenderungan/karakter/kebiasaan baik belum terbentuk).

Ada yang mengalami hal serupa?

saya juga sama ;D, tapi itu dulu ;D.
karena saya selalu ingat pesan sang buddha, bertemanlah pada orang-orang yang bijaksana ;D.
jadi setelah saya berteman pada mereka, mulai terasa dampaknya ;D.

jadi coba saja nona thres berteman dengan yang bijaksana, contohnya om kutho :).

*biro jodoh mode on =)).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 25 August 2011, 03:49:42 PM
^

Wah, bro, coba liat keterangan gender saya. Ibarat magnet, kutub senama itu tolak-menolak ;D

Ya, saya setuju tentang berteman dengan orang yang baik. Tapi mencari teman yang baik itu memang tidak mudah. Jadi saya saat ini cenderung berjuang sendiri.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 25 August 2011, 04:22:43 PM
^

Wah, bro, coba liat keterangan gender saya. Ibarat magnet, kutub senama itu tolak-menolak ;D

Ya, saya setuju tentang berteman dengan orang yang baik. Tapi mencari teman yang baik itu memang tidak mudah. Jadi saya saat ini cenderung berjuang sendiri.

oalah.. hahaha.. ampun om :P.

oh... bagus kalo begitu ;D.
tapi sangha kan bisa jadi pertimbangan juga ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 25 August 2011, 04:54:34 PM
^

Ya, saya setuju. Umat awam memang lebih disibukkan dengan hal-hal duniawi, kadang saya merasa bahwa waktu lewat begitu saja dengan rutinitas yang saya lakukan setiap hari. Mirip mesin saja.

Mengenai latihan pengendalian indria, pengembangan konsentrasi, dan kebijaksanaan. Saya memang berusaha melakukan pelatihan diri dalam kapasitas saya sebagai umat awam, walaupun memang belum maksimal.

Saya ingin share saja, mungkin ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya. Hampir setiap malam saya membaca sutta. Me-refresh otak dengan hal-hal baik. Seringkali saya termotivasi untuk berjuang keesokan harinya. Tapi setelah bangun pagi, lalu ketika tiba di kantor, rasanya kecenderungan negatif saya balik lagi (misalnya lalai dan dengan sengaja mengabaikan kesadaran).

Saat malam tiba, baca sutta lagi, termotivasi lagi. Besoknya sami mawon ??? Ini mirip seperti "terbawa arus". Sepertinya memang tidak mudah berlatih sepanjang hari (mungkin karena kecenderungan/karakter/kebiasaan baik belum terbentuk).

Ada yang mengalami hal serupa?
tunjuk jari..  :-[
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 25 August 2011, 10:15:55 PM
Jadi terlintas dalam benak saya untuk bertanya pada bro Kainyn

Contoh kasus, jika Pangeran Ajatasatu setelah naik tahta dengan membunuh ayah kandungnya dan kemudian menyesal dan bertobat, terus sang pangeran berlatih meditasi hingga mencapai jhana, maka ketika misalnya dia meninggal pada saat itu juga, menurut bro Kainyn akan lahir dimanakah sang pangeran?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 August 2011, 08:52:22 AM
Jadi terlintas dalam benak saya untuk bertanya pada bro Kainyn

Contoh kasus, jika Pangeran Ajatasatu setelah naik tahta dengan membunuh ayah kandungnya dan kemudian menyesal dan bertobat, terus sang pangeran berlatih meditasi hingga mencapai jhana, maka ketika misalnya dia meninggal pada saat itu juga, menurut bro Kainyn akan lahir dimanakah sang pangeran?
Kalau tidak salah ingat, ketika seseorang melakukan akusala garuka kamma, maka dalam kehidupan itu selain ia tidak dapat mencapai kesucian, juga tidak dapat mencapai jhana.

Seseorang bisa mencapai jhana adalah ditunjang oleh moralitasnya, penahanan dirinya dalam kehidupannya secara keseluruhan, bukan hanya pada saat mau meditasi. Jika seseorang terbiasa pada kenikmatan indriah atau kekejaman, tidak terbiasa pada penahanan diri dari hal tersebut, maka kecenderungan itulah yang akan muncul ketika sedang meditasi. "Gema" dari kelengahannya itu yang akan mendominasi meditasinya, dan pada akhirnya tidak akan mencapai konsentrasi, apalagi jhana. 

Jadi kalau menurut saya, seseorang yang terbiasa melakukan kejahatan saja tidak bisa mencapai jhana, terlebih lagi orang yang pernah melakukan kejahatan berat (akusala garuka kamma).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 August 2011, 09:32:26 AM
Saya ingin share saja, mungkin ada yang memiliki pengalaman sama seperti saya. Hampir setiap malam saya membaca sutta. Me-refresh otak dengan hal-hal baik. Seringkali saya termotivasi untuk berjuang keesokan harinya. Tapi setelah bangun pagi, lalu ketika tiba di kantor, rasanya kecenderungan negatif saya balik lagi (misalnya lalai dan dengan sengaja mengabaikan kesadaran).

Saat malam tiba, baca sutta lagi, termotivasi lagi. Besoknya sami mawon ??? Ini mirip seperti "terbawa arus". Sepertinya memang tidak mudah berlatih sepanjang hari (mungkin karena kecenderungan/karakter/kebiasaan baik belum terbentuk).

Ada yang mengalami hal serupa?
Bagi kita yang pikirannya belum benar-benar terlatih, faktor eksternal/lingkungan lebih berpengaruh terhadap kondisi pikiran kita, bahkan kadang sangat dominan. Jadi mungkin di rumah suasana berbeda, memunculkan pikiran & perasaan yang mendukung untuk berlatih. Sedangkan di kantor, suasananya berbeda, memunculkan pikiran & perasaan yang berbeda pula. Kalau saya sendiri, ketika menyadari suasana mulai berpengaruh pada pikiran & perasaan, saya biasa usahakan untuk menyadari kontak apa yang masuk dan pengaruhnya. Selain itu juga mencoba menenangkan pikiran agar tidak terlalu terpengaruh oleh lingkungan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 26 August 2011, 12:42:54 PM
^

 :yes: Ibarat (belajar) menulis, kita kudu tekun dan telaten..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 August 2011, 01:39:50 PM
^

 :yes: Ibarat (belajar) menulis, kita kudu tekun dan telaten..
Iya, maka biasanya orang ikut retreat agar berada dalam suasana kondusif latihan untuk jangka waktu yang cukup lama dan tidak terputus. Dengan begitu, diharapkan bisa memberikan kemajuan yang signifikan ketimbang hari biasanya.

Sekarang ini sudah menjelang liburan, kita bisa coba tekadkan untuk berlatih penuh selama liburan, tanpa harus terganggu dengan rutinitas. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 26 August 2011, 02:18:18 PM
Iya, maka biasanya orang ikut retreat agar berada dalam suasana kondusif latihan untuk jangka waktu yang cukup lama dan tidak terputus. Dengan begitu, diharapkan bisa memberikan kemajuan yang signifikan ketimbang hari biasanya.

Sekarang ini sudah menjelang liburan, kita bisa coba tekadkan untuk berlatih penuh selama liburan, tanpa harus terganggu dengan rutinitas. :)

Momen yang tepat untuk berlatih FULL  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: thres on 26 August 2011, 02:48:47 PM
Iya, maka biasanya orang ikut retreat agar berada dalam suasana kondusif latihan untuk jangka waktu yang cukup lama dan tidak terputus. Dengan begitu, diharapkan bisa memberikan kemajuan yang signifikan ketimbang hari biasanya.

Sekarang ini sudah menjelang liburan, kita bisa coba tekadkan untuk berlatih penuh selama liburan, tanpa harus terganggu dengan rutinitas. :)

Iya sih benar, seperti membangun fondasi begitu. Latihan sebenarnya adalah "kebutuhan", karena kemelekatan itu menyakitkan :) semoga kita semua punya kesempatan dan kemampuan (dan tentu saja tekad) untuk senantiasa berlatih.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 07 September 2011, 11:28:53 AM
Apakah mendengarkan musik adalah aktivitas yang cenderung membawa kualitas mental yang kurang baik ?   :-?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 September 2011, 04:21:44 PM
Apakah mendengarkan musik adalah aktivitas yang cenderung membawa kualitas mental yang kurang baik ?   :-?
Kalau dibilang membawa kualitas mental tertentu, saya pikir tidak juga. Semua tergantung persepsi pikiran terhadap suara indah tersebut. Karena kondisi bathin orang berbeda dari waktu ke waktu, maka kondisi pikiran yang dihasilkan dari mendengar lagu juga berbeda-beda.

Terlepas dari hasil yang sangat tidak menentu itu, kalau kita mendengarkan lagu, terpikat dan terlarut oleh kesenangan indriah tersebut ataupun lainnya (apakah bentuk, rasa, sentuhan, bau2an), maka akan cenderung pada pemupukan kemelekatan dan keinginan. Orang yang cenderung pada kemelekatan indriah, akan sulit berkonsentrasi mencapai samadhi.
Karena itulah bhikkhu tidak diperbolehkan mendengarkan musik ataupun bermusik.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: No Pain No Gain on 07 September 2011, 04:27:20 PM
Kalau dibilang membawa kualitas mental tertentu, saya pikir tidak juga. Semua tergantung persepsi pikiran terhadap suara indah tersebut. Karena kondisi bathin orang berbeda dari waktu ke waktu, maka kondisi pikiran yang dihasilkan dari mendengar lagu juga berbeda-beda.

Terlepas dari hasil yang sangat tidak menentu itu, kalau kita mendengarkan lagu, terpikat dan terlarut oleh kesenangan indriah tersebut (apakah bentuk, suara, rasa, sentuhan, bau2an), maka akan cenderung pada pemupukan kemelekatan dan keinginan. Orang yang cenderung pada kemelekatan indriah, akan sulit berkonsentrasi mencapai samadhi.
Karena itulah bhikkhu tidak diperbolehkan mendengarkan musik ataupun bermusik.



bro kaiyn masih suka dengar musik/lagu?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 September 2011, 04:35:06 PM
bro kaiyn masih suka dengar musik/lagu?
Kadang-kadang saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 07 September 2011, 04:48:46 PM
Saya sering membaca maupun mendengar suatu kalimat pendek yang mungkin cuku sering terdengar di kalangan buddhist

"Seeing thing as they are"

Bagaimana hal tersebut dapat membawa seseorang pada keseimbangan batin yang bermanfaat ? Karena kalimat tersebut jika dinalar seperti anti kritik  :-?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: No Pain No Gain on 07 September 2011, 04:53:07 PM
Saya sering membaca maupun mendengar suatu kalimat pendek yang mungkin cuku sering terdengar di kalangan buddhist

"Seeing thing as they are"

Bagaimana hal tersebut dapat membawa seseorang pada keseimbangan batin yang bermanfaat ? Karena kalimat tersebut jika dinalar seperti anti kritik  :-?

melihat fenomena (segala sesuatu) sebagaimana adanya..

bukankah sama saja dengan "understanding the nature of things"?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 07 September 2011, 04:59:34 PM
melihat fenomena (segala sesuatu) sebagaimana adanya..

bukankah sama saja dengan "understanding the nature of things"?

Ya sama  ;D

Misal ada orang yang mengkritik, lalu si pihak yang dikritik karena "melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya" maka dia menganggap bahwa kiritikan itu bisa terjadi kapan saja dan akhirnya...  CUEK  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: No Pain No Gain on 07 September 2011, 05:00:55 PM
Ya sama  ;D

Misal ada orang yang mengkritik, lalu si pihak yang dikritik karena "melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya" maka dia menganggap bahwa kiritikan itu bisa terjadi kapan saja dan akhirnya...  CUEK  ;D

rasanya tidak..hmmmm...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 07 September 2011, 05:01:42 PM
Apakah semua makhluk hidup terbagi 2 jenis kelamin? Makhluk dewa, setan, cahaya/tanpa rupa punya jenis kelamin gak?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: No Pain No Gain on 07 September 2011, 05:04:33 PM
Apakah semua makhluk hidup terbagi 2 jenis kelamin? Makhluk dewa, setan, cahaya/tanpa rupa punya jenis kelamin gak?

duh gak tau jg ya...makhluk yang hemafrodit kayaknya ada..mungkin yg di bawah bisa menjawab..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 07 September 2011, 06:23:59 PM
MELIHAT,

banyak sekali kekurangan dari mata. jadi MELIHAT adalah sesuatu yg tidak dpt diandalkan....

salah satu contoh pada terik panas, dan bila melihat ke jalan aspal yg jauh... seakan-akan ada
genangan air !....jadi dpt kah anda mempercayain mata ini ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 September 2011, 07:02:07 PM
Saya sering membaca maupun mendengar suatu kalimat pendek yang mungkin cuku sering terdengar di kalangan buddhist

"Seeing thing as they are"

Bagaimana hal tersebut dapat membawa seseorang pada keseimbangan batin yang bermanfaat ? Karena kalimat tersebut jika dinalar seperti anti kritik  :-?

Ya sama  ;D

Misal ada orang yang mengkritik, lalu si pihak yang dikritik karena "melihat segala sesuatu sebagaimana apa adanya" maka dia menganggap bahwa kiritikan itu bisa terjadi kapan saja dan akhirnya...  CUEK  ;D
Ada 2 hal di sini, yaitu tentang keseimbangan bathin, dan tentang memahami fenomena apa adanya dalam konteks Buddha-dhamma.

Keseimbangan bathin ada 2: yang tidak bermanfaat, yaitu disertai ketidak-tahuan/kebodohan; dan yang bermanfaat, yaitu yang disertai pengetahuan/kebijaksanaan. Dalam contoh sehari-hari sederhana, kalau orang dimaki-maki dengan bahasa yang tidak dimengerti, dia tidak tahu sedang dimaki, maka dia diam saja. Nampak seimbang. Ini keseimbangan yang tidak disertai pengetahuan. Jika ia ngerti bahasanya, dan tetap seimbang, maka ini adalah keseimbangan yang disertai pengetahuan. (Di sini pengetahuannya versi lokiya/duniawi.)

Dalam konteks Buddha-dhamma, seseorang memahami fenomena apa adanya adalah bahwa ia telah memahami penderitaan sepenuhnya, sehingga ia tidak lagi mengkonsepsikan apapun yang dipegang sebagai 'aku/diri' dan tidak lagi berada/melekat/berdiam di manapun. Dengan demikian, penderitaan tidak lagi muncul.

Saya pikir memang kita tidak tahu bathin seseorang apakah ia adalah Arahant, bodoh, cuek, atau semata-mata pasrah belaka.
Dalam contoh kasar misalnya seseorang berkata: "jelek luh!"
Maka mungkin orang pasrah menerima dengan pola pikir: "yah emang gue paham fenomena bentuk muka gue jelek" atau "gue paham muka gue ganteng, tapi emang orang ngiri sama gue dan bilang gue jelek adalah fenomena apa adanya."
Orang bodoh mungkin berpikir: "sepertinya dia memuji gue menawan seperti F4."
Orang cuek mungkin berpikir: "jelek-jelek juga bini gue tiga, peduli amat."

Sementara jika dikatakan ke seorang Arahant, ia tidak lagi menggenggam sesuatu untuk dipertahankan sebagai 'aku' atau 'milikku' atau 'sifatku', sehingga kebijaksanaannya tidak lagi mengkonsepsikan suatu pembanding yang berpotensi pada menyukai, menolak, atau netral. Pengetahuan (duniawi) apapun yang muncul atau diterima, tidak akan berpengaruh pada keseimbangan bathinnya. Semua tidak lagi relevan. Sejauh-jauhnya, ia hanya akan menggunakan sisa kecenderungan duniawinya (vasana) sebagai pembanding.

Jadi kembali lagi, kebijaksanaan seseorang memang sulit dikenali. Dari 3 perasaan, yang netral menurut saya memang yang paling rumit, karena berhubungan dengan panna (yang adalah lebih halus). Dua lainnya, menyenangkan yang berhubungan dengan keserakahan, tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kebencian, cenderung lebih mudah dikenali, walaupun ada yang sangat halus juga.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 September 2011, 07:06:45 PM
Apakah semua makhluk hidup terbagi 2 jenis kelamin? Makhluk dewa, setan, cahaya/tanpa rupa punya jenis kelamin gak?
Brahma dikatakan tidak memiliki gender dan karakteristiknya adalah laki-laki. Arupa Brahma, tidak bisa dinilai karena tidak ada 'rupa'-nya. Lainnya dikatakan memang ada pria, wanita, dan di antaranya. Saya rasa untuk 'yang di antaranya' tidak ada di alam bahagia, sebab 'terjebak' di antaranya dikatakan karena perilaku asusila.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 17 September 2011, 02:05:58 PM
halo om ;D.

saya mau nanya, karena akhir-akhir ini sering baca di forum tentang karma/kamma ;D.

kalo saya baca-baca di forum, sepertinya buah karma itu mudah banget yah munculnya, seperti contohnya maling yang berhasil merampok disebut karena buah karma baiknya lagi dipanen ;D.

tapi kok menurut sepahaman saya, karma itu seharusnya seperti pencapaian kesucian gitu, ada jalannya kemudian baru muncul buahnya, bukan sedikit-dikit langsung muncul buah ;D. jadi ketika dia berhasil merampok itu bukan buah karmanya tapi cuma proses untuk mematangkan buah karmanya ;D.

contohnya ketika dia merampok dan berhasil, tapi setelah itu dia melihat orang yang dia rampok menjadi stress dan bunuh diri, hingga muncul kesadaran perbuatan dia itu salah dan mulai untuk meninggalkan perbuatan itu ;D.
atau bisa juga ketika dia merampok dan berhasil, kemudian dia menjadi terkenal di antara rekan-rekan seprofesi sehingga dia menjadi sombong dan melakukan perampokan terus menerus hingga akhirnya dia tertembak, menderita dan menjelang kematiannya pikiran2 buruk berhamburan dst.

jadi yang saya mau tanyakan apakah benar buah karma itu memang timbul setiap saat dengan mudahnya? ;D
atau yang "dibilang" buah karma itu sebenarnya adalah jalan/proses untuk munculnya buah karma yang sesungguhnya? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 September 2011, 03:25:49 PM
halo om ;D.

saya mau nanya, karena akhir-akhir ini sering baca di forum tentang karma/kamma ;D.

kalo saya baca-baca di forum, sepertinya buah karma itu mudah banget yah munculnya, seperti contohnya maling yang berhasil merampok disebut karena buah karma baiknya lagi dipanen ;D.

tapi kok menurut sepahaman saya, karma itu seharusnya seperti pencapaian kesucian gitu, ada jalannya kemudian baru muncul buahnya, bukan sedikit-dikit langsung muncul buah ;D. jadi ketika dia berhasil merampok itu bukan buah karmanya tapi cuma proses untuk mematangkan buah karmanya ;D.

contohnya ketika dia merampok dan berhasil, tapi setelah itu dia melihat orang yang dia rampok menjadi stress dan bunuh diri, hingga muncul kesadaran perbuatan dia itu salah dan mulai untuk meninggalkan perbuatan itu ;D.
atau bisa juga ketika dia merampok dan berhasil, kemudian dia menjadi terkenal di antara rekan-rekan seprofesi sehingga dia menjadi sombong dan melakukan perampokan terus menerus hingga akhirnya dia tertembak, menderita dan menjelang kematiannya pikiran2 buruk berhamburan dst.

jadi yang saya mau tanyakan apakah benar buah karma itu memang timbul setiap saat dengan mudahnya? ;D
atau yang "dibilang" buah karma itu sebenarnya adalah jalan/proses untuk munculnya buah karma yang sesungguhnya? ;D
Karma itu sulit diketahui prosesnya. Tapi memang betul, BIASANYA tidak muncul seketika. Jadi kalau orang merampok dan menikmati hasilnya, sepertinya itu adalah buah karma baiknya di masa lampau, entah yang mana. Kalau tertangkap dan digebuki, misalnya, itu juga belum tentu buah karma buruk dari merampok itu, tapi dari karma buruk lain di masa lampau yang kebetulan berbuah karena didukung kondisi merampok tersebut.

Dalam satu perbuatan merampok, jelas dia menanam karma buruk baru. Tapi bersamaan dengan proses penanaman karma itu, banyak karma lain berinteraksi. Ada karma yang menjadi terhalang proses berbuahnya, ada yang terdukung proses berbuahnya. Maka sangat rumit sekali.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 17 September 2011, 03:48:06 PM
Karma itu sulit diketahui prosesnya. Tapi memang betul, BIASANYA tidak muncul seketika. Jadi kalau orang merampok dan menikmati hasilnya, sepertinya itu adalah buah karma baiknya di masa lampau, entah yang mana. Kalau tertangkap dan digebuki, misalnya, itu juga belum tentu buah karma buruk dari merampok itu, tapi dari karma buruk lain di masa lampau yang kebetulan berbuah karena didukung kondisi merampok tersebut.

Dalam satu perbuatan merampok, jelas dia menanam karma buruk baru. Tapi bersamaan dengan proses penanaman karma itu, banyak karma lain berinteraksi. Ada karma yang menjadi terhalang proses berbuahnya, ada yang terdukung proses berbuahnya. Maka sangat rumit sekali.

kalo ada ungkapan "selama buah kamma belum berbuah, maka orang tersebut belum menyadari akibat dari tindakan yang telah dia lakukan".
nah, kalo memang buah kamma itu muncul setiap saat, apa benar dia sama sekali tidak menyadarinya? ;D
lalu buah kamma yang seperti apa yang bisa menyadarkan orang itu? ;D
atau malah tidak ada buah kamma yang bisa menyadarkan orang itu karena menganggap itu semua sebagai hal yang biasa? ;D

terus, sebenarnya hukum kamma itu untuk apa? ;D
untuk menakut-nakuti, sehingga seseorang menjadi melekat pada perbuatan baik sehingga bisa menuai hasil yang baik? ;D
atau, untuk menyadari begitulah cara kerja alam semesta ini, sehingga memotivasi orang untuk berusaha tidak membuat kamma baru lagi? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 17 September 2011, 04:51:18 PM
kalo ada ungkapan "selama buah kamma belum berbuah, maka orang tersebut belum menyadari akibat dari tindakan yang telah dia lakukan".
nah, kalo memang buah kamma itu muncul setiap saat, apa benar dia sama sekali tidak menyadarinya? ;D
lalu buah kamma yang seperti apa yang bisa menyadarkan orang itu? ;D
atau malah tidak ada buah kamma yang bisa menyadarkan orang itu karena menganggap itu semua sebagai hal yang biasa? ;D

terus, sebenarnya hukum kamma itu untuk apa? ;D
untuk menakut-nakuti, sehingga seseorang menjadi melekat pada perbuatan baik sehingga bisa menuai hasil yang baik? ;D
atau, untuk menyadari begitulah cara kerja alam semesta ini, sehingga memotivasi orang untuk berusaha tidak membuat kamma baru lagi? ;D

saya coab ikutan jawab ya ...
Apapun yg kita alami adalah buah kamma kita... kita bisa melihat, mencium, mengecap, merasa, mendengar juga karna kamma... Panca Indera ini bisa berfungsi dengan baik juga dihasilkan oleh kamma... krn kammajarupa sehingga kita bisa melihat, mendengar, merasa sentuhan, mencium, dan mengecap....

Kadang ada orang yg matanya tidak ada masalah, tetapi tidak bisa meilihat krn tidak ada "materi halus" yg berfungsi untuk melihat....

Dalam hidup ini, kita selalu berlaku kayak gini.... vipaka--kamma---vipaka--kamma--sdb.. setiap kita alami sesuatu sebgai vipaka terus kita response vipaka tsb dengan membuat kamma baru...trs demikian...selama belum mencapai arahat..

Hukum kamma adalah hukum alam..jd tidak untuk menakut2i... kalo kita selaras dengan hukum tersebut maka hidup kita akan tidak mengalami banyak masalah.. kalo bertentangan dengan hukum tersebut ya akan mengakibatkan banyak masalah....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 17 September 2011, 06:49:36 PM
 _/\_ ikut nimbrung ya.
IMO, sebelumnya mungkin perlu untuk mengetahui pengertian dari kata kamma / karma.
ini saya ambil dari buku dhamma study group bogor.
Pengertian kamma
A. Umum
Perbuatan (semua jenis perbuatan), dan juga hasil perbuatan.
B. Buddha Dhamma:

saya jadi terpikir begini om,
jika yang disebut kamma itu adalah kehendak (cetana), maka ketika bertindak kita sebagai manusia biasa pasti didasari dengan kehendak kalo bukan baik ya buruk. nah ketika suatu perbuatan itu dilakukan dengan kehendak yang baik, maka ini nantinya akan menghasilkan kamma vipaka yang membuat kita menjadi bahagia. sebaliknya ketika suatu perbuatan itu dilakukan dengan kehendak yang buruk, maka ini nantinya akan menghasilkan kamma vipaka yang membuat kita menjadi menderita.
sehingga dalam kasus apapun, setiap tindakan kita yang disertai dengan cetana itu bisa disebut dengan kamma, dan hasil apapun atau kondisi apapun yang kita peroleh itu adalah kamma vipaka kita yang sedang berbuah.
kesimpulannya, ketika kita merasa bahagia entah karena satu dan lain hal, pada saat itu kita sedang menerima kamma vipaka dari kusala kamma yang pernah kita lakukan.
dan ketika kita merasa menderita entah karena satu dan lain hal, pada saat itu kita sedang menerima kamma vipaka dari akusala kamma yang pernah kita lakukan.
hanya sebatas itu yang bisa kita ketahui, mengenai apakah ini hasil dari perbuatan yang ini atau yang itu, kita tidak bisa mengetahui secara jelas dan pasti.
seperti jawaban om kainyn dalam kasus pencurian yang ditanyakan comel.

kalo salah mohon di koreksi ya om.  :)
menurut saya, dalam kasus pencurian itu, ketika si pencuri mencuri maka pada saat itu dia sedang menanam akusala kamma.
pada saat dia berhasil mencuri dan merasa bahagia karena menikmati hasil curian itu, ini adalah hal yang lain lagi, pada saat itu dia sedang menerima kamma vipaka dari kusala kamma yang pernah ia lakukan (entah kusala kamma yang kapan, kita tidak tahu). saya katakan kusala kamma pada saat itu yang dia rasakan adalah kebahagiaan.
tindakan mencuri dan perasaan bahagia karena mendapatkan itu adalah dua hal yang berbeda. walau kelihatannya sangat dekat.
ketika mencuri berarti sedang menanam, dan ketika mendapat berarti sedang memetik
kemudian ketika pencuri itu kembali mencuri dan mencuri lagi, pada saat itu dia sedang menanam akusala kamma (yang nanti akan dia terima buahnya, entah kapan, kita juga tidak tahu).
dan ketika suatu waktu dia tertangkap karena mencuri, pada saat itu dia sedang menerima kamma vipaka dari akusala kamma yang pernah ia tanam (yang membuahkan penderitaan, tetapi dari akusala yang mana kita pun tidak tahu).

oh iya, tapi sepertinya apa yang kita alami tidak selamanya hanya dipengaruhi oleh kamma ya om?
kalo g salah ada yang banyak2 faktor itu apa namanya om?
maaf lupa..  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 19 September 2011, 08:54:20 AM
oh kainyn, menurut om, bagian mana yang paling penting dari ajaran Buddha yang harus selalu kita ingat dan yang dapat menjadikan kita tetap di jalur yang benar dalam kehidupan ini?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 September 2011, 10:41:57 AM
kalo ada ungkapan "selama buah kamma belum berbuah, maka orang tersebut belum menyadari akibat dari tindakan yang telah dia lakukan".
nah, kalo memang buah kamma itu muncul setiap saat, apa benar dia sama sekali tidak menyadarinya? ;D
Menurut saya, ungkapan tersebut memang salah sama sekali dalam konteks hukum kamma. Ada bedanya antara sebab akibat secara umum, dan sebab-akibat secara kamma. Secara umum maling ditangkap lalu dihakimi massa, itu adalah sebab-akibat. Secara kamma, belum tentu demikian.


Quote
lalu buah kamma yang seperti apa yang bisa menyadarkan orang itu? ;D
atau malah tidak ada buah kamma yang bisa menyadarkan orang itu karena menganggap itu semua sebagai hal yang biasa? ;D
Terlepas dari bagaimanapun kejadian yang menimpa seseorang, tersadarkan akan hukum kamma adalah buah dari kamma baik. Banyak orang yang mengalami hal buruk, tapi tidak semua orang bisa tersadarkan, bahkan kadang membentuk pola pikir lebih parah lagi.

Quote
terus, sebenarnya hukum kamma itu untuk apa? ;D
untuk menakut-nakuti, sehingga seseorang menjadi melekat pada perbuatan baik sehingga bisa menuai hasil yang baik? ;D
atau, untuk menyadari begitulah cara kerja alam semesta ini, sehingga memotivasi orang untuk berusaha tidak membuat kamma baru lagi? ;D
Nah, ini dia pertanyaan sesungguhnya, pertanyaan yang sangat bagus. ;D

Kamma, kita tidak tahu prosesnya. Kita tidak tahu perbuatan ini mengakibatkan kejadian apa, di mana, kapan. Kita juga tidak tahu kejadian ini karena perbuatan masa lalu apa, di mana, kapan. Karena tidak tahu hal demikian, maka kita tidak mungkin 'tersadarkan' oleh keberadaan hukum kamma bahwa apa yang kita perbuat akan kembali ke diri kita sendiri. Lantas untuk apa kita belajar hukum kamma?

Hukum kamma diajarkan oleh Buddha adalah sebagai landasan pola pikir untuk memahami perbedaan kondisi manusia. Sementara banyak ajaran lain juga menawarkan pola pikir berbeda tentang kondisi manusia, Buddha menjelaskan bahwa baik-buruknya keadaan seseorang bukanlah dikarenakan pihak luar, namun dibentuk, disebabkan oleh kita sendiri. Dengan landasan pola pikir seperti ini, maka sedikitnya ada 2 hal bermanfaat timbul:
1. Tidak mencari pihak luar untuk dijadikan 'kambing hitam', menyalahkan kejadian yang menimpa kita pada pihak lain.
2. Memiliki semangat untuk menjadi lebih baik karena mengerti semua bisa diubah, bisa diusahakan, bukan nasib, bukan takdir tersurat mutlak yang ditentukan pihak lain.

Jadi memang hukum kamma bukan untuk dibuat spekulasi, bukan untuk menghakimi, dan bukan untuk dibuktikan. Justru kalau menilai hukum kamma secara berlebihan, dikit-dikit kamma, itu akan membentuk pola pikir yang tidak bermanfaat. Hukum kamma adalah sebagai landasan pola pikir bahwa semua terjadi ada sebabnya, dan dilakukan oleh diri sendiri. Dengan demikian, kita terhindar dari pandangan salah (akiriya/tanpa perbuatan, juga fatalisme/takdir); juga memiliki semangat untuk berbuat baik, dan takut berbuat jahat karena mengingat hal tersebut akan kembali lagi pada diri kita.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 September 2011, 11:27:22 AM
oh kainyn, menurut om, bagian mana yang paling penting dari ajaran Buddha yang harus selalu kita ingat dan yang dapat menjadikan kita tetap di jalur yang benar dalam kehidupan ini?
Pendapat saya, apa yang harus diingat oleh setiap orang adalah berbeda antara satu dengan lainnya. Hal ini karena pemahaman, kebijaksanaan, dan kondisi seseorang pun berbeda-beda. Kalau saya pribadi, saya fokus pada 3 akar penderitaan: keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin (LDM). Dalam kondisi apapun, ketika kita peka pada 'aktifitas' LDM, maka kita bisa belajar menilai 'hal ini mendukung pemupukan LDM, hal ini mendukung pengikisan LDM'. Dari penilaian itu sendiri, otomatis kita bisa memutuskan apa yang sebaiknya dilakukan, dan apa yang sebaiknya dihindari.



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 07 October 2011, 08:16:31 AM
 _/\_ om kainyn, saya mau tanya.
bagaimana cara mengetahui bahwa apa yang kita lihat, dengar dan alami sendiri itu adalah sang jalan?
itu adalah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 October 2011, 11:02:09 AM
_/\_ om kainyn, saya mau tanya.
bagaimana cara mengetahui bahwa apa yang kita lihat, dengar dan alami sendiri itu adalah sang jalan?
itu adalah sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Sang Buddha?
Kalau saya pertama-tama justru tidak menetapkan satu 'jalan' tertentu sebagai 'sang jalan', satu doktrin tertentu adalah (pasti) dari Buddha.

Yang unik dari Dhamma itu, kita diajak senantiasa perhatian dan peka pada segala hal dalam kehidupan kita sendiri. Jadi kalau biasanya ketika kita belajar satu ajaran, maka kita diperkenalkan satu pandangan, dipegang sebagai kebenaran untuk dijadikan tolok ukur dalam kehidupan; sementara oleh Dhamma, sebaliknya justru kita disuruh memperhatikan ilusi-ilusi (=kebodohan bathin) yang telah kita pegang. Ketika kita telah berhasil melihatnya kemudian meninggalkan ilusi-ilusi tersebut, maka barulah kita mengetahui: inilah sang jalan.

Memperhatikan ilusi-ilusi itu adalah dengan penyelidikan. Apapun yang kita anggap sebagai kebenaran, senantiasa kita uji kebenarannya, jangan selalu diterima sebab kadang ilusi benar jika diterapkan di satu hal, tapi gagal diterapkan di hal lain. Terhadap yang meragukan juga kita uji kebenarannya, jangan selalu ditolak sebab kadang memang bisa saja penilaian awal kita adalah salah.
Penyelidikan terhadap pandangan ini selalu berfaedah. Kalau ternyata penilaian awal kita keliru, maka kita perbaharui pemahaman. Kalau memang penilaian awal kita benar pun, tetap kita menambah wawasan baru dalam pandangan yang kita pegang itu. (Penyelidikan selain oleh pengalaman diri sendiri juga bisa mencari input dari luar terutama dari guru dan teman.)

Mengenai ilusi-ilusi apa yang diperhatikan dan diselidiki, setiap orang punya ilusinya sendiri, punya kecenderungan masing-masing, maka tidak ada rumus baku atau daftarnya. Variasinya bisa tidak terhingga. Karena itu, memahaminya harus oleh diri sendiri (lewat meditasi perhatian/Satipatthana). Kalau secara kasarnya, bisa kita bahas lewat diskusi. Kalau Sis Hema mau, bisa coba ambil contoh kasus tertentu untuk dibahas.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 07 October 2011, 06:18:28 PM
 _/\_ tanya lagi yah om kainyn.
dalam proses penyelidikan setiap orang pasti berbeda, apakah ada kemungkinan bagi seseorang dalam penyelidikannya salah menilai yang benar sebagai yang tidak benar, yang tidak seharusnya sebagai yang seharusnya, kemudian menjadi memegang dan meyakini apa yang tidak sesuai dengan Dhamma.
jika seperti itu bagaimana om kainyn?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 October 2011, 01:28:57 PM
_/\_ tanya lagi yah om kainyn.
dalam proses penyelidikan setiap orang pasti berbeda, apakah ada kemungkinan bagi seseorang dalam penyelidikannya salah menilai yang benar sebagai yang tidak benar, yang tidak seharusnya sebagai yang seharusnya, kemudian menjadi memegang dan meyakini apa yang tidak sesuai dengan Dhamma.
jika seperti itu bagaimana om kainyn?
Ya, tentu saja selalu ada kemungkinan orang yakin dirinya benar, padahal keliru. Karena itulah kita harus senantiasa menguji dan menyelidiki pandangan kita. Jangan segan-segan mempertanyakan dan 'melibas' pandangan kita sendiri. Kalau kita takut dengan ujian, mencari aman terus, maka kesempatan untuk mendapatkan atau mengembangkan kebijaksanaan juga jadi sempit dan terbatas.

Juga dalam hal apapun yang kita kembangkan, usahakanlah untuk dipahami. Jangan karena suatu hal membawa kita pada kesenangan/kesusahan, lalu kita pukul rata sebagai bermanfaat/tidak bermanfaat. Berusaha pahami mengapa hal itu membawa kesenangan atau kesusahan, pahamilah prosesnya. Kalau kita mengerti fenomena, mengetahui sebab ini menyebabkan akibat itu, mengapa kita harus takut keliru dalam menjalani sesuatu?
Berbeda halnya kalau memang tidak paham, menjalani sesuatu karena 'ikut arus' saja, apakah dia bahagia/menderita, sudah sepatutnya khawatir, karena memang dia tidak berada dalam 'sang jalan'. Mengapa begitu? Sebab 'sang jalan' itu ada dalam pengetahuan, bukan dalam ketidak-tahuan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 08 October 2011, 05:35:36 PM
...
Jangan segan-segan mempertanyakan dan 'melibas' pandangan kita sendiri.
...

ya, sepertinya itu adalah kata kunci yang paling tepat untuk saya sekarang.
selama ini saya mungkin terlalu menutup diri dan lebih mencari aman saja.  ;D
 _/\_ terima kasih atas penjelasannya om kainyn..
Quote
Kalau kita takut dengan ujian, mencari aman terus, maka kesempatan untuk mendapatkan atau mengembangkan kebijaksanaan juga jadi sempit dan terbatas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 08 October 2011, 05:38:00 PM
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: johan3000 on 08 October 2011, 05:53:50 PM
Beberapa hari yg lalu Steve Jobs RIP, katanya meninggalkan nilai saham sejumlah Triliun Rph...

Menurut Buddhist, apakah cara yg terbaik dilakukan sebelum dia RIP ?
   (pengaturan warisan  utk keluarga dan porsi berdana utk sosial, etc....)

thx!
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rina Hong on 08 October 2011, 08:30:56 PM
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...


Apa maksudnya ada dhamma lainnya selain yang diajarkan SB?
trus gimana kita membedakan itu dhamma atau bukan sementara kita sendiri belum tercerahkan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 09 October 2011, 12:47:04 AM
Apa maksudnya ada dhamma lainnya selain yang diajarkan SB?
saya gak berbicara ajaran2 di luar buddhisme dulu. mari kita berbicara yang ada dalam buddhisme saja.

imo, dhamma itu dapat diselami para bijaksana dalam batin masing2 (paccatam veditabbo vinuhi). dengan kata lain, apa yang dituliskan di buku2, apa yang didiskusikan / diperdebatkan / dibicarakan itu hanyalah telunjuk2 (pointers) yang mencoba mengarah pada dhamma, namun bukan dhamma itu sendiri. dhamma sejati hanyalah dhamma yang sudah diselami dan ada pada batin orang yg sudah suci.

apabila anda cukup lama mempelajari "telunjuk2" itu anda pasti merasakan betapa lebatnya belantara rimba pendapat, opini dan penafsiran yang seringkali berbeda bahkan berlawanan satu sama lain. satu sutta memiliki berbagai interpretasi, melahirkan berbagai macam metode dan praktik. di tipitaka yang sama bisa melahirkan berbagai macam metode2 meditasi yang berbeda2, yg kadang terlihat berlawanan satu sama lain.

dalam berjalan melewati lebatnya rimba pendapat ini, sudah tentu kita memiliki dan memegang opini sendiri2, memilih salah satu pendapat yang kita rasakan cocok dan sesuai dengan pemikiran dan pengalaman kita. namun sekali lagi, opini ini bukanlah dhamma. sesuai dengan jalannya waktu, kita mencoba praktik, mengalami hidup dan pengalaman2 batin yg baru. karena perubahan itu kita akan menukar satu opini dengan opini yg lain, satu pemahaman dengan pemahaman yang lain, satu pengertian dengan pengertian yang lain. sampai suatu saat kita bisa benar2 menyelami dhamma di batin kita sendiri dan menjadi orang bijak.

dalam hal ini, apabila kita dengan kukuh memegang suatu opini, pengertian, pemikiran ataupun ide yang kita anggap final --padahal kita tahu itu bukanlah dhamma, karena dhamma sejati hanya ada di batin orang suci-- maka kita akan rugi sendiri dan kehilangan kesempatan untuk bertukar ke pemahaman yg lebih tinggi, ke realisasi yang lebih tinggi bahkan kita akan kehilangan kesempatan untuk merealisasi dhamma yang sebenarnya yg diselami oleh orang bijak di batin masing2...


trus gimana kita membedakan itu dhamma atau bukan sementara kita sendiri belum tercerahkan?
alasan kita belajar buddhisme hanya satu: karena dukkha. dalam salah satu sutta sendiri, Buddha mengatakan, “O, Anuradha, dari dahulu sampai sekarang, hanya ini yang Kuajarkan: tentang dukkha dan tentang lenyapnya dukkha.”

gampangnya apapun yang menyebabkan, memperkuat dan melanggengkan dukkha dan sebab2nya, itu bisa dianggap sebagai bukan dhamma.
sebaliknya apapun yg menyebabkan lemahnya dan lenyapnya dukkha dan sebab2nya, itu bisa dianggap sebagai dhamma.

pengertian dan pengkategorian inipun sangat tergantung pada pemahaman kita mengenai dukkha. pemahaman akan dukkha ini juga akan terus berubah sesuai dengan berubahnya pemahaman dan pengalaman kita masing2. apa yang hari ini kita lihat sebagai bukan dukkha, di kemudian hari bisa saja terlihat sebagai dukkha...


===

btw, baru ingat istilah zen untuk sikap mental yg selalu terbuka dan tidak pernah menganggap pemahamannya sebagai final: beginner's mind.
steve jobs sendiri pernah menyinggung hal ini pada satu interview dari majalah wired:
Quote
The Web reminds me of the early days of the PC industry. No one really knows anything. There are no experts. All the experts have been wrong. There's a tremendous open possibility to the whole thing. And it hasn't been confined, or defined, in too many ways. That's wonderful.

There's a phrase in Buddhism,"Beginner's mind." It's wonderful to have a beginner's mind.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 09 October 2011, 09:04:28 AM
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...

well spoken mate. couldn't agree more
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 09 October 2011, 09:18:22 AM
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...

well spoken mate. couldn't agree more
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 October 2011, 11:28:50 AM
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...
Setuju. Sampai kapanpun sepertinya pengetahuan dan kebijaksanaan kita tetap akan 'berevolusi', kecuali mungkin kalau kita memang sudah menemukan 'akhir dari segalanya', entah apapun wujudnya.

Dalam 'meragukan segalanya' ini, juga harus benar2 jujur dan mendalam. Kadang karena kecenderungan kita, maka kita meragukan hal yang belum dibuktikan kebenarannya karena label tertentu, dan meloloskan hal lain dari keraguan karena label tertentu. Misalnya hal-hal mistis tertentu kita ragukan karena merknya beda, namun hal-hal mistis tertentu lainnya yang tidak kita ragukan dan terima saja untuk dijalani, karena merknya 'Buddhis'.

Namun dalam kenyataannya juga pasti ada hal-hal yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan dengan sempurna. Hal-hal ini tidak apalah dipegang (sementara) sebagai kepercayaan. Terlampau skeptik menolak segalanya tanpa pertimbangan kecuali ada bukti empiris juga sepertinya ekstrem yang sebaiknya dihindari.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 October 2011, 04:46:24 PM
Beberapa hari yg lalu Steve Jobs RIP, katanya meninggalkan nilai saham sejumlah Triliun Rph...

Menurut Buddhist, apakah cara yg terbaik dilakukan sebelum dia RIP ?
   (pengaturan warisan  utk keluarga dan porsi berdana utk sosial, etc....)

thx!
Sepertinya Buddha menganjurkan kita memperhatikan kesejahteraan orang tua, keluarga, teman, dan juga para pekerja/bawahan. Selain itu, juga memperhatikan kesejahteraan 'masa depan' yaitu dengan berdana dan menolong sesama. Soal berapa porsinya, saya pikir ini setiap orang berbeda dan punya penilaiannya sendiri.

Title: [Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
Post by: K.K. on 14 October 2011, 12:15:39 PM
Demikianlah yang kudengar.
Suatu ketika, Sang Bhagava sedang menetap di Gijjhakuta, sesaat setelah Devadatta meninggalkan Sangha. Sekitar dua ribu enam ratus tahun kemudian di tempat lain, ada 3 brahmana yang mahir dalam pengaturan menu, mengenal bahan, bumbu, cara pengolahan, penyajian makanan yang dianggap sebagai murni, tidak sepakat mengenai pandangan bodhicitta. Brahmana Godhā berpendapat bahwa makanan bukan daging yang disajikan sesuai aturannya, lepas dari kekotoran bahan lain, membuat bodhicitta berkembang, hanya ini yang benar dan lainnya keliru. Brahmana Karaḷa menganggap pikiran terarah pada makanan murni yang membuat bodhicitta berkembang, hanya ini yang benar dan lainnya keliru. Sementara Brahmana Usabha berpendapat bahwa selain pikiran pada makanan murni, memakan makanan murnilah yang membuat bodhicitta berkembang, hanya ini yang benar dan lainnya keliru. Karena mereka tidak dapat mencapai kesepakatan, seorang dari mereka mengajukan, "terdengar kabar baik mengenai Bhikkhu Accha yang dikenal sebagai Bodhisatta warna Coklat-Kopi1 ... baiklah kita menanyakan kepada beliau perihal masalah ini." Mereka setuju dan pergi mendatanginya.

Setelah mendatangi beliau, bertukar salam, mereka duduk di satu sisi. Brahmana Godhā berkata, "Yang Mulia, bodhicitta dikembangkan dari makanan yang murni dalam bahan, bukan dari makhluk hidup ataupun bangkainya, tidak menggunakan peralatan masak tercemar2, tidak menggunakan bumbu tak murni3, adalah syarat dari pengembangan bodhicitta. Bagaimana pendapat Yang Mulia tentang hal ini?"

Accha menjawab, "Brahmana, dalam pengambilan bahan-bahan murni itu, apakah dapat dipastikan tidak ada makhluk-makhluk yang hidup di tumbuhan, ataukah yang hidup di bawah tanah tumbuhan tersebut, yang celaka akibat tercabutnya tumbuhan atau biji-bijian tersebut, atau apakah tidak ada pengusiran dengan kekerasan pada hama-hama ketika menjelang panen?

"Tidak dapat dipastikan, Yang Mulia."

"Bukankah dengan begitu, bahannya sendiri menjadi tidak murni?"

"Benar, Yang Mulia."

"Namun ada, Brahmana Godhā, mereka yang memakan bahan secara murni, tidak tercampur dalam hal tidak murni lainnya. Mereka adalah ulat-ulat seperti ulat bulu, ulat keket, dan ulat sutra. Dan aku belum melihat atau mendengar satupun ulat menjadi Buddha kendatipun makanannya demikian murni."

Mendengar hal tersebut, maka Brahmana Karaḷa berkata, "Yang Mulia, sesungguhnya adalah pikiran yang mengarah pada makanan murni yang membangkitkan dan memelihara bodhicitta."

"Brahmana, di tempat-tempat makan yang murni dan lezat seperti Chang zou, Triradna, Maitreiawyra, atau Atjeen, terdapat makanan bukan daging yang diolah dan dibentuk seperti daging, terasa seperti daging. Orang-orang datang ke sana memakannya dan merasakan rasa daging, pikirannya mengenal rasa daging, menjadi senang dan terikat pada citarasa tersebut. Walaupun memakan makanan murni, namun pikiran makan daging muncul di sana. Bukankah hal tersebut adalah sia-sia dalam membangkitkan bodhicitta?"

"Benar, Yang Mulia."

"Seandainya seseorang kemudian membuka tempat makan dan mengolah makanan dari hewan yang dibantai, kemudian diolah dan dibentuk seperti makanan murni, terasa seperti makanan bukan daging. Kemudian orang-orang datang ke sana memakannya dan merasakan rasa bukan daging, pikirannya mengenal bukan-rasa-daging, menjadi senang dan terikat pada citarasa tersebut. Walaupun memakan makanan daging, namun pikiran makanan murni muncul di sana. Apakah kemudian bodhicitta berkembang di sana?"

"Tidak, Yang Mulia."

"Berarti bukanlah pikiran makanan murni yang menentukan, namun makanannya, seperti diutarakan Brahmana Godhā."

"Kalau begitu, ada bodhicitta berkembang di sana, Yang Mulia."

"Dengan demikian, apapun yang dimakan tidak berarti apa-apa dan dengan sendirinya praktik menghindari makan daging menjadi tidak bermakna, bukan?"

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Usabha berkata, "pandanganku, Yang Mulia, adalah makanan yang murni dan pikiran terarah pada makanan murni yang mengembangkan dan memelihara bodhicitta. Makan makanan murni namun pikirannya tidak terarah pada makanan murni adalah tidak bermanfaat; sementara pikiran terarah pada makanan murni, namun makanannya tidak murni, adalah juga tidak bermanfaat bagi pembangkitan dan pengembangan bodhicitta."

"Brahmana, seandainya terdapat dua orang brahmana senior, yang satu memiliki pikiran terarah pada makanan murni dan memakan makanan murni sepenuhnya, namun ia sombong, penuh kebencian dan permusuhan, berkata bohong dan fitnah; sementara satunya lagi tidak melekat pada citarasa makanan, tidak memilih-milih menu dan memakan makanan murni dan tidak murni, namun memiliki cinta-kasih, tanpa permusuhan, rendah hati, juga jujur. Manakah yang menurutmu menginspirasi bangkitnya bodhicitta?"

"Tentu saja yang penuh cinta-kasih dan tanpa permusuhan."

"Demikianlah diet seseorang memang tidak ada hubungannya dengan bodhicitta, namun pikiran, ucapan, dan perbuatan tanpa keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin adalah membangkitkan bodhicitta."

"Tetapi daging adalah hasil langsung4 dari makhluk hidup dan berarti menyetujui pembunuhan?"

"Seandainya, Brahmana, seorang pencari kayu pergi ke hutan dan menemukan bangkai binatang yang telah dimangsa dan ia ambil tulang kakinya. Sekembalinya ia ke kota, ia menjual tulang itu ke pembuat suling dan kemudian dibuatkan suling tulang. Lalu seorang pemusik membeli suling tersebut dan memainkan musik. Apakah bisa dibilang bermain musik demikian adalah menyetujui pembunuhan atau pemangsaan hewan?"

"Memang tidak, Yang Mulia. Namun kemudian apakah berarti semua makanan sama saja dan boleh dimakan?"

"Makanan sebagai objek, semua sama. Namun bukan hanya makanan, objek apapun yang ketika diniati untuk diberikan kepada kita, menyebabkan kejahatan apakah pembunuhan, penganiayaan, pencurian, penipuan, kebohongan, dan perilaku buruk lainnya terjadi, tidak sepantasnya diterima, karena penerimaan kita menjadi bagian dari terjadinya kejahatan tersebut.

Sebaliknya, objek apapun yang ketika diniati untuk diberikan kepada kita, tidak menyebabkan kejahatan atau perilaku buruk lainnya, tidak bermasalah untuk diterima, sebab penerimaan atau penolakan kita tidak menjadi bagian dari terjadinya satu kejahatan.

Maka jika kau mengetahui atau menduga bahwa penerimaan atau penggunaan satu objek menimbulkan kejahatan, janganlah menerima atau menggunakannya. Bodhicitta timbul dari meninggalkan, menjauhi kejahatan dan mengembangkan, menganjurkan kebaikan, bukan dari pemilihan menu makanan."

[...]
---

1RGB 111, 78, 55.

2Tidak bekas digunakan dalam pengolahan masakan yang tidak murni.

3Bawang putih, bawang bombay, bawang merah, lokio, adas besar (asafetida).

4Pembunuhan langsung di sini maksudnya berbeda dengan pembunuhan tidak langsung atau tidak sengaja, yang terjadi ketika memanen sayuran.

Title: Re: [Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
Post by: dhammadinna on 14 October 2011, 01:25:07 PM
[...]
"Seandainya, Brahmana, seorang pencari kayu pergi ke hutan dan menemukan bangkai binatang yang telah dimangsa dan ia ambil tulang kakinya. Sekembalinya ia ke kota, ia menjual tulang itu ke pembuat suling dan kemudian dibuatkan suling tulang. Lalu seorang pemusik membeli suling tersebut dan memainkan musik. Apakah bisa dibilang bermain musik demikian adalah menyetujui pembunuhan atau pemangsaan hewan?"

"Memang tidak, Yang Mulia. Namun kemudian apakah berarti semua makanan sama saja dan boleh dimakan?"
[...]

Saya setuju tentang bodhicitta.

Tapi antara 'menemukan bangkai', dengan non-vege (katakanlah, membeli daging untuk dimakan), IMHO konteksnya berbeda?

Maksudnya,
[1] Tentang bangkai, bangkai tersebut adalah hewan yang dimangsa oleh hewan lain. Dengan kreativitasnya, dia memanfaatkan tulang sebagai seruling. Memang tidak bisa dikatakan bahwa dia mendukung pembunuhan. Selain itu, tidak ada korelasi antara jumlah hewan yang dimangsa dengan pembuatan tulang sebagai seruling.

[2] Kalau beli daging, daging itu memang ditujukan untuk pembeli. Memang tidak bisa dikatakan juga bahwa si pembeli menyetujui pembunuhan, tapi ada korelasi antara jumlah pembeli dengan jumlah hewan yang dibunuh ???
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 14 October 2011, 01:38:02 PM
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
dutiyampi
Title: Re: [Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
Post by: K.K. on 14 October 2011, 01:38:47 PM
Saya setuju tentang bodhicitta.

Tapi antara 'menemukan bangkai', dengan non-vege (katakanlah, membeli daging untuk dimakan), IMHO konteksnya berbeda?

Maksudnya,
[1] Tentang bangkai, bangkai tersebut adalah hewan yang dimangsa oleh hewan lain. Dengan kreativitasnya, dia memanfaatkan tulang sebagai seruling. Memang tidak bisa dikatakan bahwa dia mendukung pembunuhan. Selain itu, tidak ada korelasi antara jumlah hewan yang dimangsa dengan pembuatan tulang sebagai seruling..
1. Jadi jika memang bangkainya ada, dengan kreativitas tertentu dimanfaatkan, dagingnya menjadi murni?

2. Bagaimana jika memang kota itu produsen suling, dan jika memang kekurangan bahan, ada binatang yang dibantai. Apakah kemudian ada korelasinya?


Quote
[2] Kalau beli daging, daging itu memang ditujukan untuk pembeli. Memang tidak bisa dikatakan juga bahwa si pembeli menyetujui pembunuhan, tapi ada korelasi antara jumlah pembeli dengan jumlah hewan yang dibunuh
OK, bagaimanakah korelasinya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 14 October 2011, 01:46:46 PM
Makin byk org yg beli 'bangkai', penjual akan semakin banyak membunuh untuk memenuhi permintaan pasar.

Demikian jg ....

Semakin banyak org yg pemakan sayur, maka para petani akan semakin menjaga kwalitas sayuran dengan obat anti hama.
Title: Re: [Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
Post by: dhammadinna on 14 October 2011, 02:01:03 PM
1. Jadi jika memang bangkainya ada, dengan kreativitas tertentu dimanfaatkan, dagingnya menjadi murni?

Tidak, Yang Mulia ;D

Quote
2. Bagaimana jika memang kota itu produsen suling, dan jika memang kekurangan bahan, ada binatang yang dibantai. Apakah kemudian ada korelasinya?

OK, bagaimanakah korelasinya?

Saya tidak ingin membahas pengaruh 'murni atau tidak murninya suatu daging' terhadap pengembangan bodhicitta. Karena saya setuju dengan inti ceritanya.

Tapi tentang vege, bukankah cukup logis kalau dikatakan bahwa semakin banyak orang yang mengkonsumsi daging, berarti semakin banyak hewan yang dibunuh untuk dimakan? (untuk seruling, kurang lebih sama)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 October 2011, 02:37:49 PM
Makin byk org yg beli 'bangkai', penjual akan semakin banyak membunuh untuk memenuhi permintaan pasar.

Demikian jg ....

Semakin banyak org yg pemakan sayur, maka para petani akan semakin menjaga kwalitas sayuran dengan obat anti hama.
Sebetulnya saya bahas tentang 'kemurnian' makan daging dan bodhicitta. ;D
Tapi ga apalah, karena ini juga masih sangat berhubungan.

Kalau lihat logika sederhana, maka memang betul: tidak ada permintaan daging, maka tidak ada penyediaan daging.
Jika kita hidup di masyarakat yang masih sederhana, terbatas, terlokalisir, sepertinya memang bisa langsung dilihat bahwa kalau satu komunitas itu tidak makan daging, maka tidak akan ada penyediaan daging.

Tapi kalau kita lihat masyarakat industri yang pasarnya adalah global, otomatis menjadi tidak sesederhana itu. Misalnya anggaplah produsen makanan. Setiap hari mereka memproduksi sesuai kemampuan produksi mereka per hari. Soal makanan itu akan di-ke-manakan, dibuat apa, terpakai berapa, terbuang berapa, itu bukan masalah si produsen lagi. Di UK, misalnya, persentase makanan yang dibuang adalah lebih dari 30% (source (http://www.guardian.co.uk/uk_news/story/0,,1460183,00.html)), bahkan di US, menurut beberapa artikel, bisa sampai 50%.

Makanan terbuang itu tentu mencakup daging dan non-daging. Jadi tanpa mengatakan makan daging/non-daging itu bagus/jelek, saya pikir ada baiknya kita tidak secara naif mengatakan 'turunnya konsumsi PASTI menyebabkan turunnya produksi'. Bukan 'pasti tidak pengaruh', tetapi banyak hal yang perlu diperhatikan. Dan juga tentu saja kalau mengatakan 'tidak makan daging = mengurangi pembunuhan' adalah tidak tepat, kecuali, sekali lagi, dalam konteks masyarakat tertutup, terbatas, dan tidak global.

Title: Re: [Fiksi] Sutta Bodhisatta Coklat-Kopi (dari Perpustakaan Raja Ikan Betok)
Post by: K.K. on 14 October 2011, 02:57:37 PM
Tidak, Yang Mulia ;D
"Demikianlah, Brahmani ..." :hammer:
Ceritanya udah selesai, bu. ;D


Quote
Saya tidak ingin membahas pengaruh 'murni atau tidak murninya suatu daging' terhadap pengembangan bodhicitta. Karena saya setuju dengan inti ceritanya.

Tapi tentang vege, bukankah cukup logis kalau dikatakan bahwa semakin banyak orang yang mengkonsumsi daging, berarti semakin banyak hewan yang dibunuh untuk dimakan? (untuk seruling, kurang lebih sama)
Ya, kembali lagi ke jawaban saya untuk JW. Kalau untuk masyarakat terbatas dan swadaya di tempat tertentu yang tidak terhubung dengan masyarakat lain, maka memang betul bahwa pengurangan konsumsi daging berarti pengurangan pembantaian. Tapi kalau sudah bicara keadaan di sini, sekarang, di mana daging yang tidak laku bisa dibuat makanan anjing, bahan bakar, atau bahkan 'didaur ulang' jadi daging ilegal, saya sangat meragukannya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 14 October 2011, 03:24:58 PM
nahh..itulah yg ingin sy sampaikan tadi. Bahwa kita tidak dapat menilai bahwa yg berseberangan dgn kaum vegefavo adalah pembawa 'bencana'  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 14 October 2011, 03:30:02 PM
Kalo dilihat dari sisi tertentu, sebetulnya letak masalahnya adalah ketidakmampuan atau hampir-tidak-mungkin 'menghasut' mayoritas orang untuk vegetarian.

OOT sedikit, saya jadi teringat ada orang yang bilang: "untuk apa mengurangi pemakaian plastik? toh semua orang pakai plastik. Kalau hanya segelintir orang saja yang berupaya, tidak ada gunanya"

Ini mirip seperti "untuk apa vege demi mengurangi pembunuhan? mayoritas orang makan daging. Kalau tujuan saya vege adalah demi mengurangi pembunuhan, sebenarnya mustahil" :|
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 14 October 2011, 03:37:25 PM
Harusnya gini : "untuk apa vege demi mengurangi pembunuhan? Toh juga kalo vegetarian jg turut andil dalam pembunuhan."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 14 October 2011, 03:58:47 PM
^ ^ ^ memang, tapi kalau gak vege, makhluk yang dibunuh memiliki tubuh yang lebih kompleks (berdaging dan berdarah seperti kita).

note: saya  bukan vegetarian, tapi cukup tertarik dengan isu ini. Jadi saya mencoba menempatkan diri di sisi vegan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 October 2011, 04:42:31 PM
nahh..itulah yg ingin sy sampaikan tadi. Bahwa kita tidak dapat menilai bahwa yg berseberangan dgn kaum vegefavo adalah pembawa 'bencana'  ;D
Iya, memang tidak bisa dinilai. Yang pasti berkontribusi pada 'bencana' adalah konsumsi sumber daya yang berlebihan.



Kalo dilihat dari sisi tertentu, sebetulnya letak masalahnya adalah ketidakmampuan atau hampir-tidak-mungkin 'menghasut' mayoritas orang untuk vegetarian.

OOT sedikit, saya jadi teringat ada orang yang bilang: "untuk apa mengurangi pemakaian plastik? toh semua orang pakai plastik. Kalau hanya segelintir orang saja yang berupaya, tidak ada gunanya"

Ini mirip seperti "untuk apa vege demi mengurangi pembunuhan? mayoritas orang makan daging. Kalau tujuan saya vege adalah demi mengurangi pembunuhan, sebenarnya mustahil" :|
Sebetulnya berbeda jauh sekali.
Kita lihat dari 'akibatnya'. Produk sudah ada. Kita makan atau tidak makan, hewan telah terbunuh. Kalau plastik, jika kita tidak pakai plastik, maka tidak ada sampah plastik yang dihasilkan.

Dari segi produksi, jika plastik tidak laku, maka tidak dibuang. Jika supply menumpuk, maka otomatis produksi akan berhenti, sebab plastik bisa tahan sampai ratusan tahun. Kalau daging tidak laku akan rusak dan dibuang. Tidak akan terjadi penumpukan daging (segar) yang bisa menyebabkan terhentinya produksi daging.

Jadi menurut saya walaupun sepintas tampak mirip, namun sebetulnya beda jauh.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 14 October 2011, 04:52:44 PM
Iya, memang tidak bisa dinilai. Yang pasti berkontribusi pada 'bencana' adalah konsumsi sumber daya yang berlebihan.


Sebetulnya berbeda jauh sekali.
Kita lihat dari 'akibatnya'. Produk sudah ada. Kita makan atau tidak makan, hewan telah terbunuh. Kalau plastik, jika kita tidak pakai plastik, maka tidak ada sampah plastik yang dihasilkan.

ya, setuju

Quote
Dari segi produksi, jika plastik tidak laku, maka tidak dibuang. Jika supply menumpuk, maka otomatis produksi akan berhenti, sebab plastik bisa tahan sampai ratusan tahun. Kalau daging tidak laku akan rusak dan dibuang. Tidak akan terjadi penumpukan daging (segar) yang bisa menyebabkan terhentinya produksi daging.

Jadi menurut saya walaupun sepintas tampak mirip, namun sebetulnya beda jauh.

Kalau daging tidak laku, memang akan rusak dan dibuang. Tapi kalau gak laku terus, bukankah hewan yang dibunuh juga makin sedikit? (mengantisipasi kerugian, agar tidak banyak yang terbuang)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 October 2011, 05:00:08 PM
^ ^ ^ memang, tapi kalau gak vege, makhluk yang dibunuh memiliki tubuh yang lebih kompleks (berdaging dan berdarah seperti kita).

note: saya  bukan vegetarian, tapi cukup tertarik dengan isu ini. Jadi saya mencoba menempatkan diri di sisi vegan
Kalau lebih kompleks, berdaging dan berdarah, lalu kenapa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 15 October 2011, 05:25:24 AM
ya, setuju

Kalau daging tidak laku, memang akan rusak dan dibuang. Tapi kalau gak laku terus, bukankah hewan yang dibunuh juga makin sedikit? (mengantisipasi kerugian, agar tidak banyak yang terbuang)

kalau ndak laku hari ini dibuang, besok tidak laku dibuang, jadi beberapa hari kedepan juga buang dan pembunuhan berkurang bahkan sampai berbulan2,
dan diyakini pembunuhan hewan akan terjadi kembali karena permintaan melonjak.
harap maklum selera manusia awam tidak akan pernah terpuaskan.  :)
itulah anicca _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 15 October 2011, 08:15:05 AM
Bosan loh hubungi daging atau "bangkai" dgn pembunuhan...

Gimana kalo kita ganti "bahan mentah" nya...
Misnya pemakaian kosmetik, tali pinggang kulit, tas LV, D&G, Channel dll, sepatu, pakaian, sayur brokoli, bayam, kangkung, jagung, ubi, nasi, obat2an, buku tulis, selebaran/flyer/brosur kampanye vege dll..

sy kira itu smua jg melalui proses pembunuhan baik langsung maupun tidak langsung.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 17 October 2011, 07:37:30 AM
Harusnya gini : "untuk apa vege demi mengurangi pembunuhan? Toh juga kalo vegetarian jg turut andil dalam pembunuhan."

Bahkan saat merebus air pun, pasti ada hewan yang terbunuh. Tapi berbeda dengan hewan yang sengaja dikembangbiakkan/diternakkan untuk dibunuh.

Kalau lebih kompleks, berdaging dan berdarah, lalu kenapa?

Dalam proses pembunuhan, dari apa yang dilihat atau didengar (misalnya darah atau rintihan korban), maka akan memberi kesan yang lebih mendalam bagi pembunuhnya. Selain rasa sakit yang diderita hewan yang dibunuh, si pembunuhnya pun menyimpan kesan yang mendalam.

Kalau lihat logika sederhana, maka memang betul: tidak ada permintaan daging, maka tidak ada penyediaan daging.

Jika kita hidup di masyarakat yang masih sederhana, terbatas, terlokalisir, sepertinya memang bisa langsung dilihat bahwa kalau satu komunitas itu tidak makan daging, maka tidak akan ada penyediaan daging.

Apakah bisa dikatakan bahwa non-vegan dalam masyarakat sederhana/terbatas, memiliki andil dalam pembunuhan?

Quote
Tapi kalau kita lihat masyarakat industri yang pasarnya adalah global, otomatis menjadi tidak sesederhana itu. Misalnya anggaplah produsen makanan. Setiap hari mereka memproduksi sesuai kemampuan produksi mereka per hari. Soal makanan itu akan di-ke-manakan, dibuat apa, terpakai berapa, terbuang berapa, itu bukan masalah si produsen lagi. Di UK, misalnya, persentase makanan yang dibuang adalah lebih dari 30% (source (http://www.guardian.co.uk/uk_news/story/0,,1460183,00.html)), bahkan di US, menurut beberapa artikel, bisa sampai 50%.

Makanan terbuang itu tentu mencakup daging dan non-daging. Jadi tanpa mengatakan makan daging/non-daging itu bagus/jelek, saya pikir ada baiknya kita tidak secara naif mengatakan 'turunnya konsumsi PASTI menyebabkan turunnya produksi'. Bukan 'pasti tidak pengaruh', tetapi banyak hal yang perlu diperhatikan. Dan juga tentu saja kalau mengatakan 'tidak makan daging = mengurangi pembunuhan' adalah tidak tepat, kecuali, sekali lagi, dalam konteks masyarakat tertutup, terbatas, dan tidak global.

Apakah maksudnya, vege atau non-vege sebenarnya berpengaruh pada jumlah pembunuhan. Hanya saja, kalau kita hidup dalam masyarakat industri (berpasar global) seperti sekarang, efeknya ada tapi sangat sangat sangat kecil (hampir tidak ada)?
_______________

Btw, apakah Buddha tidak mengharuskan vegetarian adalah karena para bhikkhu disokong oleh umat awam? maksudnya, adalah perlu bagi para bhikkhu untuk menjadi mudah disokong/dilayani?

note: tentu saja ada juga syarat-syarat tertentu dari daging yang dimakan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 17 October 2011, 09:07:52 AM
Maaf tau tau nimbrung,

Mengenai Vege saya ada pemikiran sendiri, mungkin sama atau mungkin jg dah di post oleh yg lain

Pertama, saya selalu ingat pemikiran buddhis adalah pemikiran kediri sendiri bukan keluar

jadi saat seseorang memutuskan untuk vege,maka hendaknya keputusan itu didasari dari kepentingannya sendiri. bukan karena faktor luar.

maksud saya, bila kita mengaitkan vege itu mengurangi pembunuhan (mengurangi bukan berarti menghapus semua) maka bisa dikatakan benar. yah walaupun nantinya mungkiin yang dibunuh sama saja, hanya saja dagingnya tidak laku dan dibuang selanjutnya, tetapi kita melihat dalam diri sendiri, "pembunuhan" yang ada dipikiran lah yang berkurang, dan saya rasa itu ada manfaatnya juga.

mengenai yang non vege, kita mesti melihat bagaimana niatan mereka, ada yang makan karena demand ada yang makan karena kemudahan dan lain sebagainya.

saya jg ingat mengenai perumpamaan, bagaimana di lingkungan suku tertentu yang tidak mengenal dhamma mungkin akan melakukan kamma buruk, walaupun hal itu adalah hal lumrah bagi mereka dan tidak dianggap kejahatan. hal itu dinamakan kebodohan batin.

saya rasa juga merupakan suatu kebodohan batin bagi kita, yang mendemand daging untuk konsumsi. alasannya karena dengan "mendemand" berarti kita secara tidak langsung "menyuruh" seseorang memenuhi "demand" kita, dan dengan demikian orang tersebut melakukan karma buruk dengan menangkap makhluk hidup/memperbudak kehidupan makhluk hidup, membunuh makhluk hidup serta tidak mengubur dengan layak makhluk hidup lain.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 17 October 2011, 09:13:33 AM
intermezzo, kadang lucu melihat berbagai sikap non vege ;D

mereka kalau makan dada ayam KFC, Gurame asam manis, atau Nasi Campur pasti lahap bener, sampe bilang maknyoss :P

lalu mereka melihat video video tentang bagaimana hewan hewan tersebut dibantai dan diolah menjadi makanan yang disajikan maknyoss tersebut, mereka melihat seakan2 tidak tega, sampai meringiss

tetapi, maknyoss lah makanmah jalan terusss :P

nb: saya termasuk diantara mereka itu :hammer:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 11:15:40 AM
Kalau daging tidak laku, memang akan rusak dan dibuang. Tapi kalau gak laku terus, bukankah hewan yang dibunuh juga makin sedikit? (mengantisipasi kerugian, agar tidak banyak yang terbuang)
Nah, ini juga hal yang menarik. Bagaimana kalau kita semua masing-masing kumpulkan data, apakah benar kalau gak laku, pembantaian dikurangi? Ada banyak tempat yang bisa diselidiki, dari pasar tradisional, sampai pabrik besar yang mungkin akan memberikan informasi yang bervariasi. Kalau Sis Mayvise dan yang lainnya ada selidiki hal ini, boleh dibagikan di sini untuk masukan kita semua.


Dalam proses pembunuhan, dari apa yang dilihat atau didengar (misalnya darah atau rintihan korban), maka akan memberi kesan yang lebih mendalam bagi pembunuhnya. Selain rasa sakit yang diderita hewan yang dibunuh, si pembunuhnya pun menyimpan kesan yang mendalam.
Kalau soal rintihan, ada juga pejagalan yang mengharuskan bikin pingsan (pakai setruman tegangan tinggi di belakang otak), jadi pada saat dipotong, sudah tidak sadar. Darah juga ga selalu memberikan kesan yang lebih, karena penjagalan tanpa darah, misalnya dimasukin karung dan dipukuli sampai mati, atau menyajikan "yin-yang fish" itu sudah sangat mengerikan dan tidak manusiawi, padahal tidak ada darah di sana.

Memang betul biasanya hewan tingkat tinggi dan kompleks, sistem syarafnya lebih berkembang dan reseptor sakitnya secara fisiologis lebih nyata. Tapi ini tidak menjadi alasan bagi kaum vegetarian ekstrem seolah-olah menghajar serangga, tikus, dll, lebih mulia ketimbang menghajar sapi atau ayam, misalnya, sebab hewan sesederhana lalat pun juga mempunyai reseptor rasa sakit (walaupun tentu kompleksitasnya berbeda).

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 11:25:27 AM
Bosan loh hubungi daging atau "bangkai" dgn pembunuhan...

Gimana kalo kita ganti "bahan mentah" nya...
Misnya pemakaian kosmetik, tali pinggang kulit, tas LV, D&G, Channel dll, sepatu, pakaian, sayur brokoli, bayam, kangkung, jagung, ubi, nasi, obat2an, buku tulis, selebaran/flyer/brosur kampanye vege dll..

sy kira itu smua jg melalui proses pembunuhan baik langsung maupun tidak langsung.
Misalnya ada seorang pria beristri berhubungan seksual secara salah dengan seorang gadis miskin. Setelah si gadis hamil, maka si pria tidak bertanggung-jawab tersebut meninggalkannya. Karena si gadis tidak punya kemampuan menghidupi anaknya, maka ia memberikan anaknya untuk diasuh orang lain. Tapi ada beberapa orang beranggapan: "kalau kita urus anak di luar nikah ini, objek hasil hubungan seksual yang salah ini, maka berarti kita mendukung pelanggaran sila ke tiga." Maka ditolaknyalah anak ini demi 'belas kasih' pada wanita-wanita lain agar jangan sampai mendapat perlakuan yang sama.

Gimana, Bro JW? Ada kesamaan yang menarik di sisi tertentu, bukan!? ;D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 17 October 2011, 11:34:40 AM

Memang betul biasanya hewan tingkat tinggi dan kompleks, sistem syarafnya lebih berkembang dan reseptor sakitnya secara fisiologis lebih nyata. Tapi ini tidak menjadi alasan bagi kaum vegetarian ekstrem seolah-olah menghajar serangga, tikus, dll, lebih mulia ketimbang menghajar sapi atau ayam, misalnya, sebab hewan sesederhana lalat pun juga mempunyai reseptor rasa sakit (walaupun tentu kompleksitasnya berbeda).

Gmn dgn sayuran organik kk? Apakah setiap sayuran pasti terdapat pembunuhan?
Oh ya, membunuh hewan merugikan kan karmanya tidak seberat hewan bermanfaat benar gak?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 17 October 2011, 11:39:43 AM
Misalnya ada seorang pria beristri berhubungan seksual secara salah dengan seorang gadis miskin. Setelah si gadis hamil, maka si pria tidak bertanggung-jawab tersebut meninggalkannya. Karena si gadis tidak punya kemampuan menghidupi anaknya, maka ia memberikan anaknya untuk diasuh orang lain. Tapi ada beberapa orang beranggapan: "kalau kita urus anak di luar nikah ini, objek hasil hubungan seksual yang salah ini, maka berarti kita mendukung pelanggaran sila ke tiga." Maka ditolaknyalah anak ini demi 'belas kasih' pada wanita-wanita lain agar jangan sampai mendapat perlakuan yang sama.

Gimana, Bro JW? Ada kesamaan yang menarik di sisi tertentu, bukan!? ;D
Anak itu kan punya perasaan, tas kulit mana punya perasaan kk.... :P
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: williamhalim on 17 October 2011, 11:51:20 AM
Meskipun tidak vegetarian, namun saya sendiri juga bukan 'penggemar daging', belakangan sy malah sulit untuk makan daging (krn udah jarang makan sehingga 'berbau darah' / amis). Prinsip sy terkait vegetarian ini, sy berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi konsumsi daging saya, alasannya: lebih ke alasan kesehatan dan untuk mengurangi nafsu sy akan makanan enak. Dan sy juga setuju dengan pendapat sbgn teman2 disini bahwa vegetarian, tidak terkait dengan prinsip cinta-kasih ataupun kesucian.

Namun satu hal lain, sy juga bersikap ikut tidak mengkonsumsi/menggunakan atribut tertentu dengan alasan tertentu, contohnya:
- Sy tidak mau makan telur penyu, krn tidak setuju pengambilan telur penyu besar2an demi konsumsi umum. Telur penyu harus dilestarikan demi kelangsungan hidup satwa langka ini.
- Sy juga tidak makan sirip hiu, dgn alasan yg sama spt diatas. Sy pernah ikut membuat kaos bertuliskan: "We don't need Shark Fin for Health"
- Sy juga tidak mau membeli barang2 dari kulit buaya asli, tempurung penyu asli, kulit binatang berbulu (yg dibuat mantel, sepatu, hiasan, dll)..
Ini sebagai bentuk protes sy.

Alasan ini sama dgn himbauan untuk:
- mengurangi pemborosan pemakaian kantong plastik (sy sering membawa kantong kain sendiri kalau belanja)
- mengurangi pemborosan listrik (mematikan lampu dll yg tidak perlu disiang hari)
Sebagian akan berpendapat bahwa kalau kita tdk pakai kantong plastik, yg lain juga akan pakai atau kalau kita tidak hidupkan lampu, toh orang lain akan tetap memboroskan listrik.. apalah effectnya tindakan minor kita? Tapi yah tetap sy lakukan juga...

::


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: williamhalim on 17 October 2011, 11:57:24 AM
Misalnya ada seorang pria beristri berhubungan seksual secara salah dengan seorang gadis miskin. Setelah si gadis hamil, maka si pria tidak bertanggung-jawab tersebut meninggalkannya. Karena si gadis tidak punya kemampuan menghidupi anaknya, maka ia memberikan anaknya untuk diasuh orang lain. Tapi ada beberapa orang beranggapan: "kalau kita urus anak di luar nikah ini, objek hasil hubungan seksual yang salah ini, maka berarti kita mendukung pelanggaran sila ke tiga." Maka ditolaknyalah anak ini demi 'belas kasih' pada wanita-wanita lain agar jangan sampai mendapat perlakuan yang sama.

Gimana, Bro JW? Ada kesamaan yang menarik di sisi tertentu, bukan!? ;D


Anak itu kan punya perasaan, tas kulit mana punya perasaan kk.... :P

Perumpamaan yg diberikan Bro Kai itu, untuk membandingkan tindakan dari sisi si pelaku, bukan dari sisi objeknya (makanan, tas, anak).

Pengen tau jawaban dari sisi si pelaku, yg melihat daging dari sisi pembunuhannya.. sama saja halnya melihat si anak dari sisi proses pembuatannya... sama2 dihasilkan dari tindakan yg melaggar norma masyarakat.

::
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 17 October 2011, 11:59:23 AM
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
Quote
Quote from: morpheus on 08 October 2011, 05:38:00 PM
mau nambahin sedikit...

menurut saya, dalam mempelajari segala sesuatu, sikap mental yg harus dihindari adalah sikap mental yg menganggap apa yg sudah kita pahami itu sebagai sesuatu yg final, sesuatu yg sudah tidak akan berubah lagi. sikap mental seperti ini yg akan menyebabkan kita menutup terhadap sesuatu yg baru, yg mungkin akan membawa kita kepada pemahaman yg lebih tinggi.

sikap mental yg baik adalah sikap mental yg menganggap bahwa apa yg kita pahami sekarang adalah sementara sifatnya. dengan demikian masih ada peluang untuk memperbaiki pemahaman kita yg sudah ada. dalam pengalaman saya, pemahaman dhamma itu adalah sesuatu yg berevolusi sejalan dengan berjalannya waktu. ragukan segalanya, termasuk apa yg sudah kita pelajari dan anggap benar...

Quote from: Sumedho on 09 October 2011, 09:04:28 AM
well spoken mate. couldn't agree more


kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?

tatiyampi, takut kaga di jawab dan tenggelam ;D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 12:08:22 PM
Gmn dgn sayuran organik kk? Apakah setiap sayuran pasti terdapat pembunuhan?
Walaupun 'merk'-nya organik atau apa, sebetulnya tidak beda jauh dengan yang biasa. Bahkan kalau organik justru ada 'bolong-bolong' bekas dimakan ulat 'kan? Lalu di-ke-manain uletnya? ;D

Quote
Oh ya, membunuh hewan merugikan kan karmanya tidak seberat hewan bermanfaat benar gak?
Merugikan dari sisi apa? Kalau dari pandangan keseimbangan alam, maka boleh dibilang karma paling ringan adalah membunuh manusia yang paling merugikan alam. ;D

Di alam, kebanyakan makhluk memiliki perannya sendiri. Misalnya ulat nantinya akan jadi kupu-kupu yang membantu penyerbukan tanaman. Mana mungkin kita hanya menilai dari sisi merugikan (makanin daun yang juga kita makan) saja?


Dan kembali lagi, proses memakan daging tidak sama dengan proses membunuh hewan. Pendek kata, jika proses memakan itu berkaitan langsung dengan pembunuhan/penganiyaan hewan, maka itu harus dihindari.


Anak itu kan punya perasaan, tas kulit mana punya perasaan kk.... :P
Bukan masalah di objek (yang satu hidup, satu tidak), sebab selalu kembali ke objek itu netral.

Di sini persamaannya adalah ada pelanggaran (pembunuhan & hubungan seksual tidak benar). Dari pelanggaran ini, maka dihasilkan objek (daging & anak 'haram'). Lalu karena gagal melihat netralitas antara keduanya bahwa keduanya tidak selalu berkaitan langsung, maka seseorang membuat korelasi pasti bahwa penggunaan objek hasil adalah pendukung pelanggaran sila. (Makan daging = mendukung pembantaian; mengangkat anak 'haram' = mendukung perbuatan seksual salah.)


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 12:17:08 PM
Maaf tau tau nimbrung,

Mengenai Vege saya ada pemikiran sendiri, mungkin sama atau mungkin jg dah di post oleh yg lain

Pertama, saya selalu ingat pemikiran buddhis adalah pemikiran kediri sendiri bukan keluar

jadi saat seseorang memutuskan untuk vege,maka hendaknya keputusan itu didasari dari kepentingannya sendiri. bukan karena faktor luar.

maksud saya, bila kita mengaitkan vege itu mengurangi pembunuhan (mengurangi bukan berarti menghapus semua) maka bisa dikatakan benar. yah walaupun nantinya mungkiin yang dibunuh sama saja, hanya saja dagingnya tidak laku dan dibuang selanjutnya, tetapi kita melihat dalam diri sendiri, "pembunuhan" yang ada dipikiran lah yang berkurang, dan saya rasa itu ada manfaatnya juga.
Betul, memang ada kalanya kita lihat dari manfaat ke bathin kita apakah bermanfaat. Tapi apakah memiliki pandangan salah yang menyebabkan diri lebih tenang, adalah bermanfaat?
Misalnya di FB kemarin ada yang beranggapan kalau saya makan ayam dari sehari sekali, dikurangi jadi 2 hari sekali, maka nantinya tiap hari terhitung fangsheng 1 ayam.

Ini adalah pendapat yang sangat lucu, karena berarti kalau diet saya adalah ayam, kambing, sapi, ikan, maka ketika hari ini saya makan ayam, saya boleh berbangga hati telah fangsheng kambing, sapi, dan ikan. Kalau besok makan ikan, maka saya fangsheng ayam, kambing, sapi. Menarik sekali pandangan salah ini, bukan? ;D Di pikiran, terdapat 'fangsheng', namun apakah 'fangsheng' bener terjadi?



Quote
mengenai yang non vege, kita mesti melihat bagaimana niatan mereka, ada yang makan karena demand ada yang makan karena kemudahan dan lain sebagainya.

saya jg ingat mengenai perumpamaan, bagaimana di lingkungan suku tertentu yang tidak mengenal dhamma mungkin akan melakukan kamma buruk, walaupun hal itu adalah hal lumrah bagi mereka dan tidak dianggap kejahatan. hal itu dinamakan kebodohan batin.

saya rasa juga merupakan suatu kebodohan batin bagi kita, yang mendemand daging untuk konsumsi. alasannya karena dengan "mendemand" berarti kita secara tidak langsung "menyuruh" seseorang memenuhi "demand" kita, dan dengan demikian orang tersebut melakukan karma buruk dengan menangkap makhluk hidup/memperbudak kehidupan makhluk hidup, membunuh makhluk hidup serta tidak mengubur dengan layak makhluk hidup lain.
Kalau soal non-vege, ini tentu ada yang tidak pantang sama sekali dan ada yang pantang dengan alasan tertentu, misalnya yang menyebabkan pembunuhan langsung seperti aturan dalam Theravada. Lalu konsumsinya sendiri berkenaan dengan nafsu pada citarasa. Makanan apapun baik daging atau non-daging, yang dengannya kita memupuk kemelekatan pada rasa, itu tidak bermanfaat dan sebaiknya dihindari.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 17 October 2011, 12:51:48 PM
kalau bisa kasih contoh dong, bijimana ?
tatiyampi, takut kaga di jawab dan tenggelam ;D
ini pertanyaan buat saya atau buat suhu?

kalo buat saya, perkembangan pemahaman dhamma itu ada di dalam batin masing2.
contoh saya gak relevan buat orang lain. vice versa.
semua orang mempunyai perkembangan pemahaman masing2.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 02:14:08 PM
Meskipun tidak vegetarian, namun saya sendiri juga bukan 'penggemar daging', belakangan sy malah sulit untuk makan daging (krn udah jarang makan sehingga 'berbau darah' / amis). Prinsip sy terkait vegetarian ini, sy berusaha sebisa mungkin untuk mengurangi konsumsi daging saya, alasannya: lebih ke alasan kesehatan dan untuk mengurangi nafsu sy akan makanan enak. Dan sy juga setuju dengan pendapat sbgn teman2 disini bahwa vegetarian, tidak terkait dengan prinsip cinta-kasih ataupun kesucian.

Namun satu hal lain, sy juga bersikap ikut tidak mengkonsumsi/menggunakan atribut tertentu dengan alasan tertentu, contohnya:
- Sy tidak mau makan telur penyu, krn tidak setuju pengambilan telur penyu besar2an demi konsumsi umum. Telur penyu harus dilestarikan demi kelangsungan hidup satwa langka ini.
- Sy juga tidak makan sirip hiu, dgn alasan yg sama spt diatas. Sy pernah ikut membuat kaos bertuliskan: "We don't need Shark Fin for Health"
- Sy juga tidak mau membeli barang2 dari kulit buaya asli, tempurung penyu asli, kulit binatang berbulu (yg dibuat mantel, sepatu, hiasan, dll)..
Ini sebagai bentuk protes sy.
Ya, kalau sebagai bentuk protes, saya setuju. Beberapa makanan juga saya tidak makan bukan karena saya lihat makan makanan itu = tidak cinta kasih, atau makanan itu = kotor/haram, tapi memang sebagai sikap protes saja, kadang agar orang juga lebih memperhatikan.


Quote
Alasan ini sama dgn himbauan untuk:
- mengurangi pemborosan pemakaian kantong plastik (sy sering membawa kantong kain sendiri kalau belanja)
- mengurangi pemborosan listrik (mematikan lampu dll yg tidak perlu disiang hari)
Sebagian akan berpendapat bahwa kalau kita tdk pakai kantong plastik, yg lain juga akan pakai atau kalau kita tidak hidupkan lampu, toh orang lain akan tetap memboroskan listrik.. apalah effectnya tindakan minor kita? Tapi yah tetap sy lakukan juga...

::
Nah, kalau di sini, kembali lagi saya kurang cocok.
Daging disiapkan untuk dikonsumsi. Apakah kita konsumsi atau tidak, hewan telah dibantai. Misalnya di depan kantor ada tukang mie ayam, anggaplah 10 ayam terbantai untuk dagangannya sehari. Nah, apakah saya makan atau tidak makan, tetap ayam itu sudah terbantai. Jika semua konsumennya hari itu terconvert jadi MLDD dan tidak ada yang makan mie ayam tersebut, tetap 10 ayam telah terbantai.

Listrik tersedia untuk dikonsumsi. Misalnya total pemakaian AC adalah 10. Jika saya mematikan 1, walaupun yang lain tetap menyala, tapi tetap ada penghematan 1 AC, jadi pemakaian adalah 9 AC.
Begitu juga plastik, misal per hari ada pemakaian di kantor 20 kantong plastik, jika saya mengurangi untuk diri sendiri dan pemakaian jadi 19 kantong plastik, maka ada pengurangan sampah plastik dari 20 menjadi 19.

Pengurangan listrik dan sampah adalah hal-hal yang nyata hasilnya yang bisa kita lakukan, berbeda dengan 'tidak makan daging' yang proses pembunuhan dan konsumsinya adalah independen, makan/tidak makan, tidak memiliki relevansinya, setidaknya tidak secara langsung. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 17 October 2011, 02:22:26 PM
Betul, memang ada kalanya kita lihat dari manfaat ke bathin kita apakah bermanfaat. Tapi apakah memiliki pandangan salah yang menyebabkan diri lebih tenang, adalah bermanfaat?

saya rasa tidak ada pandangan yang salah, dalam situasi manusia dewasa yang sejak lahir telah diberi makanan non vege. tentunya sangat sulit untuk menjauhkan makanan2 berdaging tersebut dalam menu sehari hari, tanpa diberi pandangan bagaimana makanan mereka diperoleh.

sudah sangat obvious Paha KFC, Ayam Goreng, Bakso Malang, dan lain sebagainya diperoleh dengan merenggut nyawa makhluk hidup. Lain halnya jika dikatakan makanan tersebut diambil dari pemeliharaan binatang ternak, lalu ditunggu meninggal dan baru diolah.

note: saya tidak mengganggap memakan daging adalah kamma/karma buruk karena daging hanyalah objek.

Dengan mengesampingkan seperti pandangan ormas di Indo seperti MUI yang mengharamkan sesuatu berdasar penyalahgunaan, demikian juga kita mengesampingkan bahwa memakan daging adalah akar dari suatu Perbudakan dan Pembunuhan massal Makhluk hidup.

Bagi para peternak selain mereka ingin memakan daging juga, sebenarnya motif mereka adalah uang, jadi para peternak bukan memuaskan nafsu mereka dengan semakin banyak membunuh maka semakin puas mereka.

Menjadi Vege adalah sesuatu yang benar (NOTE : Saat anda bisa memilih) adalah pandangan yang paling tepat menurut saya.

Mungkin akan ada banyak kontroversi mengenai pernyataan, "Menjadi Vege Mengurangi Pembunuhan"

tetapi saya rasa tidak ada yang dapat mengcounter pernyataan "Menjadi Non Vege Menambah Pembunuhan"

Quote
Misalnya di FB kemarin ada yang beranggapan kalau saya makan ayam dari sehari sekali, dikurangi jadi 2 hari sekali, maka nantinya tiap hari terhitung fangsheng 1 ayam.

Ini adalah pendapat yang sangat lucu, karena berarti kalau diet saya adalah ayam, kambing, sapi, ikan, maka ketika hari ini saya makan ayam, saya boleh berbangga hati telah fangsheng kambing, sapi, dan ikan. Kalau besok makan ikan, maka saya fangsheng ayam, kambing, sapi. Menarik sekali pandangan salah ini, bukan? ;D Di pikiran, terdapat 'fangsheng', namun apakah 'fangsheng' bener terjadi?

Saya kurang mengerti makna FangShen sebenarnya, demikian pandangan saya mengenai Fangshen teman FB tersebut

FangShen intinya adalah selain "Merasakan" , Belajar, Melakukan Pelepasan. intinya adalah suatu usaha untuk mengorbankan (dalam arti merelakan) suatu tindakan yang tidak baik dan tidak melakukannya lagi, walaupun hal itu akan merugikannya/menyakitinya secara duniawi(sebagaimana seperti orang yg tidak lulus karena menolak contekan teman dan gurunya).
 
FangShen mungkin suatu tindakan penuh toleransi bagi seorang manusia dalam existensinya dengan Alam (saya menggunakan kata Alam sebagai wakil dari Makhluk2 lainnya)

Jadi bagi teman FB tersebut, dengan merelakan tidak memakan makanan kesukaan dia, maka dia "berharap" keesokannya tidaklah perlu lagi untuk seekor ayam yang dipersiapkan dengan dipelihara, dikandangkan, di bunuh dan juga digoreng untuknya.

memang lucu sih ;D

Quote
Kalau soal non-vege, ini tentu ada yang tidak pantang sama sekali dan ada yang pantang dengan alasan tertentu, misalnya yang menyebabkan pembunuhan langsung seperti aturan dalam Theravada. Lalu konsumsinya sendiri berkenaan dengan nafsu pada citarasa. Makanan apapun baik daging atau non-daging, yang dengannya kita memupuk kemelekatan pada rasa, itu tidak bermanfaat dan sebaiknya dihindari.

Mengenai kemelekatan rasa saya setuju sekali

untuk pandangan Theravada saya punya contoh, seorang bhikkhu yang memakan ayam goreng yang dibeli oleh umatnya lalu dipersembahkan kepada Bhikkhu tersebut, bagaimana hal tersebut dikatakan bukan pembunuhan langsung. Penjual ayam goreng membunuh ayamnya secara khusus untuk dijual kepada pembeli, umat adalah pembeli maka umat membeli dari penjual tersebut.

Sang Bhikkhu memang hanya menerima dan tidak terkait dengan urusan si penjual dan pembeli tadi, dia hanya berurusan dengan Umat saja. Menolak makanan sungguh tidak enak, karena menghalangi perbuatan baik si Umat.

Pertanyaannya bila apa yang dilakukan Umat tersebut pada saat menjadi Pembeli salah, bagaimanakah penilaian seorang bhikkhu seharusnya terhadap pembeli tersebut?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 17 October 2011, 02:39:33 PM
Walaupun 'merk'-nya organik atau apa, sebetulnya tidak beda jauh dengan yang biasa. Bahkan kalau organik justru ada 'bolong-bolong' bekas dimakan ulat 'kan? Lalu di-ke-manain uletnya? ;D
Mungkin gak cuma diusir alias gak dibunuh?  :P

Quote
Merugikan dari sisi apa? Kalau dari pandangan keseimbangan alam, maka boleh dibilang karma paling ringan adalah membunuh manusia yang paling merugikan alam. ;D
Ia itu aku jg bingung soalnya merugikan itu relatif, tapi gmn menurut kk dgn pernyataan berikut:
Quote
Objek dari pembunuhan makhluk hidup yang dimaksud dibedakan menjadi :

1. Manusia
2. Binatang

1. Binatang yang berguna
2. Binatang yang tidak berguna
3. Binatang yang merugikan
4. Binatang yang tidak merugikan
Bobot kejahatan tergantung pada kebaikan dan besarnya makhluk yang bersangkutan. Pembunuhan terhadap seorang saleh atau seekor hewan besar ( gajah, lembu, kerbau, dll. ) dipandang lebih kejam daripada pembunuhan terhadap seorang yang keji, bengis, jahat ataupun seekor hewan kecil ( nyamuk, semut, kecoa, ulat, dll. ). Hal itu dianggap demikian karena usaha lebih besar diperlukan untuk melakukan kejahatan itu dan kehilangan yang ditimbulkan dipandang lebih besar.

Quote
Dan kembali lagi, proses memakan daging tidak sama dengan proses membunuh hewan. Pendek kata, jika proses memakan itu berkaitan langsung dengan pembunuhan/penganiyaan hewan, maka itu harus dihindari.
Yup, tp menurutku makan vegetarian jg bgs sepanjang gak fanatik, lebih tepatnya ada apa aja ya makan tidak terikat kemelekatan pada rasa ya?

Quote
Bukan masalah di objek (yang satu hidup, satu tidak), sebab selalu kembali ke objek itu netral.

Quote
Di sini persamaannya adalah ada pelanggaran (pembunuhan & hubungan seksual tidak benar). Dari pelanggaran ini, maka dihasilkan objek (daging & anak 'haram'). Lalu karena gagal melihat netralitas antara keduanya bahwa keduanya tidak selalu berkaitan langsung, maka seseorang membuat korelasi pasti bahwa penggunaan objek hasil adalah pendukung pelanggaran sila. (Makan daging = mendukung pembantaian; mengangkat anak 'haram' = mendukung perbuatan seksual salah.)

ic... Tapi menurut kk cara yg tepat untuk mengurangi kemelekatan pada makanan n cara untuk mengurangi pembantaian hewan ternak gmn kk? Kl biasa kt makan diluar kan mikir mau makan apa yah... kl pgn makan ini itu termasuk kemelekatan bkn kk? Thx....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 17 October 2011, 02:50:29 PM
Ya, kalau sebagai bentuk protes, saya setuju. Beberapa makanan juga saya tidak makan bukan karena saya lihat makan makanan itu = tidak cinta kasih, atau makanan itu = kotor/haram, tapi memang sebagai sikap protes saja, kadang agar orang juga lebih memperhatikan.

Jadi vegetarian ada yg salah gak kk? kl gak sebaiknya mereka boleh kampanye gak? Kalo boleh sebaiknya dgn slogan apa yah kalo bukan dengan cinta kasih?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 17 October 2011, 02:54:48 PM
Nah, ini juga hal yang menarik. Bagaimana kalau kita semua masing-masing kumpulkan data, apakah benar kalau gak laku, pembantaian dikurangi? Ada banyak tempat yang bisa diselidiki, dari pasar tradisional, sampai pabrik besar yang mungkin akan memberikan informasi yang bervariasi. Kalau Sis Mayvise dan yang lainnya ada selidiki hal ini, boleh dibagikan di sini untuk masukan kita semua.

Saya hanya pake logika. Sampai saat ini saya masih merasa hal tersebut cukup logis, yaitu semakin banyak pemakan daging maka semakin banyak hewan yang diternakkan untuk dijadikan makanan. Saya belum punya argumen lain yang lebih kuat.
_______
Tentang contoh tukang mie ayam, memang hari itu telah terbantai 10 ekor. Tapi kalo kurang laku terus, besok-besok ayam yang dibantai berkurang. Mungkin dia ganti ayamnya jadi sayur?! (Tapi saya rasa bro Kainyn akan mengatakan bahwa ini adalah contoh masyarakat sederhana, bukan global).
_______
Tentang contoh hubungan seksual di luar nikah & adopsi anak. Saya setuju bahwa makan daging bukan berarti mendukung pembunuhan. Demikian pula, mengadopsi anak-di-luar-nikah bukan berarti mendukung pelanggaran sila ke-3.

Contoh tersebut memang menunjukkan independensi antara pembunuhan dan konsumsi daging. Tapi kalau semakin banyak pengkonsumsi daging berarti juga semakin banyak pembunuhan, maka perumpamaan tersebut tidak sesuai lagi karena semakin banyak anak-di-luar-nikah yang diadopsi bukan berarti semakin banyak pelanggaran sila ke-3.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 03:19:23 PM
saya rasa tidak ada pandangan yang salah, dalam situasi manusia dewasa yang sejak lahir telah diberi makanan non vege. tentunya sangat sulit untuk menjauhkan makanan2 berdaging tersebut dalam menu sehari hari, tanpa diberi pandangan bagaimana makanan mereka diperoleh.

sudah sangat obvious Paha KFC, Ayam Goreng, Bakso Malang, dan lain sebagainya diperoleh dengan merenggut nyawa makhluk hidup. Lain halnya jika dikatakan makanan tersebut diambil dari pemeliharaan binatang ternak, lalu ditunggu meninggal dan baru diolah.

note: saya tidak mengganggap memakan daging adalah kamma/karma buruk karena daging hanyalah objek.
Pandangan salah yang saya maksud adalah pandangan seseorang bisa mengembangkan cinta kasih dengan memilih menu apa yang dimakan.


Quote
Dengan mengesampingkan seperti pandangan ormas di Indo seperti MUI yang mengharamkan sesuatu berdasar penyalahgunaan, demikian juga kita mengesampingkan bahwa memakan daging adalah akar dari suatu Perbudakan dan Pembunuhan massal Makhluk hidup.

Bagi para peternak selain mereka ingin memakan daging juga, sebenarnya motif mereka adalah uang, jadi para peternak bukan memuaskan nafsu mereka dengan semakin banyak membunuh maka semakin puas mereka.

Menjadi Vege adalah sesuatu yang benar (NOTE : Saat anda bisa memilih) adalah pandangan yang paling tepat menurut saya.
Saya sama sekali tidak menentang, bahkan menganggap vegetarian (yang tidak ekstrem) adalah bagus. Tapi saya menentang pandangan bahwa vegetarian = cinta kasih.


Quote
Mungkin akan ada banyak kontroversi mengenai pernyataan, "Menjadi Vege Mengurangi Pembunuhan"

tetapi saya rasa tidak ada yang dapat mengcounter pernyataan "Menjadi Non Vege Menambah Pembunuhan"
Ini tidak bisa dinilai secara mutlak, maka saya mengajak kita semua coba menyelidiki, benarkan kalau kita vegetarian, lalu pembantaian berkurang. Sebaliknya juga cobalah teliti apakah jika seorang vegetarian kemudian makan daging, apakah benar ada penambahan pembantaian. Bisa dicoba dari yang dekat, misalnya pasar atau pedagang penjual ayam/daging. Saya punya beberapa jawaban, tapi lebih 'afdol' kalau orang lain saja yang memberi input.


Quote
Saya kurang mengerti makna FangShen sebenarnya, demikian pandangan saya mengenai Fangshen teman FB tersebut

FangShen intinya adalah selain "Merasakan" , Belajar, Melakukan Pelepasan. intinya adalah suatu usaha untuk mengorbankan (dalam arti merelakan) suatu tindakan yang tidak baik dan tidak melakukannya lagi, walaupun hal itu akan merugikannya/menyakitinya secara duniawi(sebagaimana seperti orang yg tidak lulus karena menolak contekan teman dan gurunya).
 
FangShen mungkin suatu tindakan penuh toleransi bagi seorang manusia dalam existensinya dengan Alam (saya menggunakan kata Alam sebagai wakil dari Makhluk2 lainnya)

Jadi bagi teman FB tersebut, dengan merelakan tidak memakan makanan kesukaan dia, maka dia "berharap" keesokannya tidaklah perlu lagi untuk seekor ayam yang dipersiapkan dengan dipelihara, dikandangkan, di bunuh dan juga digoreng untuknya.

memang lucu sih ;D
Fangsheng itu seharusnya adalah praktik melepaskan makhluk yang terancam bahaya. Jadi misalnya ada lele menunggu ajal digoreng, kita beli lele itu dan kita lepaskan.


Quote
untuk pandangan Theravada saya punya contoh, seorang bhikkhu yang memakan ayam goreng yang dibeli oleh umatnya lalu dipersembahkan kepada Bhikkhu tersebut, bagaimana hal tersebut dikatakan bukan pembunuhan langsung. Penjual ayam goreng membunuh ayamnya secara khusus untuk dijual kepada pembeli, umat adalah pembeli maka umat membeli dari penjual tersebut.

Sang Bhikkhu memang hanya menerima dan tidak terkait dengan urusan si penjual dan pembeli tadi, dia hanya berurusan dengan Umat saja. Menolak makanan sungguh tidak enak, karena menghalangi perbuatan baik si Umat.

Pertanyaannya bila apa yang dilakukan Umat tersebut pada saat menjadi Pembeli salah, bagaimanakah penilaian seorang bhikkhu seharusnya terhadap pembeli tersebut?
Kalau ayam memang sudah dibunuh dan digoreng, maka dibeli atau tidak oleh si umat, tetap ayamnya sudah mati. Sudah tidak relevan lagi, apalagi terhadap si bhikkhu. Apakah si bhikkhu terima atau tidak, ayamnya tetap sudah mati.

Tapi jika si bhikkhu mengetahui atau minimal menduga bahwa si umat memesan ayam untuknya, yang karena hal tersebut, ada ayam yang kemudian dibunuh/disakiti, maka si bhikkhu memang sudah seharusnya menolaknya, sebab penerimaan hal tersebut berarti menyetujui makhluk dibunuh demi dia. 

Sebetulnya sederhana saja, sama seperti ada gelandangan meninggal, setelah dikremasi, sisa tubuhnya diberikan ke bhikkhu untuk meditasi asubha. Kalau memang demi si bhikkhu meditasi asubha, maka ada umat membunuh (secara langsung atau tidak) agar mayatnya bisa diberikan ke si bhikkhu, maka sudah sepatutnya si bhikkhu tidak menerima 'pemberian' itu.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 03:38:56 PM
Mungkin gak cuma diusir alias gak dibunuh?  :P
Kalo misalnya sapi ato ayamnya ga dibunuh, cuma ga dikasih makan sampe stress & mati, jadi daging 'organik' ga? ;D


Quote
Ia itu aku jg bingung soalnya merugikan itu relatif, tapi gmn menurut kk dgn pernyataan berikut:
Quote
Objek dari pembunuhan makhluk hidup yang dimaksud dibedakan menjadi :

1. Manusia
2. Binatang

1. Binatang yang berguna
2. Binatang yang tidak berguna
3. Binatang yang merugikan
4. Binatang yang tidak merugikan
Bobot kejahatan tergantung pada kebaikan dan besarnya makhluk yang bersangkutan. Pembunuhan terhadap seorang saleh atau seekor hewan besar ( gajah, lembu, kerbau, dll. ) dipandang lebih kejam daripada pembunuhan terhadap seorang yang keji, bengis, jahat ataupun seekor hewan kecil ( nyamuk, semut, kecoa, ulat, dll. ). Hal itu dianggap demikian karena usaha lebih besar diperlukan untuk melakukan kejahatan itu dan kehilangan yang ditimbulkan dipandang lebih besar.
Saya setuju bahwa memang sepertinya beda makhluk, beda akibat. Tapi saya juga tidak mau berspekulasi macam-macam. Hewan keji darimana? Bodhisatta pernah jadi singa lho dalam perjalanan penyempurnaan paraminya. Bahkan Pindola Bharadvaja juga terlahir jadi singa waktu jaman Buddha Padumuttara, di mana si singa melayani Buddha selama tujuh hari, meninggal, terlahir di Tavatimsa. Kemudian di Tavatimsa, ia bertekad menjadi savaka yang terkemuka dalam 'raungan singa' (sihanada).

Berdasarkan kisah ini saja cukup membuat saya tidak berani untuk tebak-tebakan mana yang lebih mulia, dan mana lebih hina antara singa (si keji) dibanding kerbau (yang rajin). 


Quote
Yup, tp menurutku makan vegetarian jg bgs sepanjang gak fanatik, lebih tepatnya ada apa aja ya makan tidak terikat kemelekatan pada rasa ya?
Menurutku bukan vegetariannya, tapi pandangan salah yang mendasari praktik vegetarian itu yang harus dihindari. Terpisah dari itu, kemelekatan pada rasa juga hal yang perlu disadari. Bukan objeknya (daging/non-daging), tapi kemelekatan pada rasanya yang berbahaya.


Quote
ic... Tapi menurut kk cara yg tepat untuk mengurangi kemelekatan pada makanan n cara untuk mengurangi pembantaian hewan ternak gmn kk? Kl biasa kt makan diluar kan mikir mau makan apa yah... kl pgn makan ini itu termasuk kemelekatan bkn kk? Thx....
Mengurangi kemelekatan pada makanan dengan membatasi makan seperti pada uposatha. Otomatis ada waktu-waktu di mana kita menahan diri dari keinginan makan.
Mengurangi pembantaian hewan ternak secara global? Anda harus punya kuasa untuk mempengaruhi sistem kehidupan secara global dulu. Kalau saya, akan perhatikan sejauh yang berkenaan langsung dengan saya sendiri yaitu menghindari perbuatan (apakah makan daging atau lainnya) yang menyebabkan atau menyetujui pembantaian. Hal lain adalah dengan fangsheng yang tepat, yaitu membebaskan hewan yang memang akan dibantai.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 03:46:06 PM
Jadi vegetarian ada yg salah gak kk? kl gak sebaiknya mereka boleh kampanye gak? Kalo boleh sebaiknya dgn slogan apa yah kalo bukan dengan cinta kasih?
Seperti sebelumnya, bukan praktik vegetarian yang salah, tapi pandangan salah yang menyertai praktik tersebut yang salah. Kampanye apapun saya pikir tidak masalah asal tidak memberikan fakta palsu saja. Misalnya beberapa waktu lalu ada kampanye global warming disebabkan ternak, padahal itu adalah gejala kosmik yang berhubungan dengan aktifitas matahari. Selain itu, pembukaan lahan juga menyebabkan timbunan metana dalam tanah, yang jadi 'bom waktu' suatu saat terlepas ke udara. Nah, katanya cinta kasih, kok ngebo'ong?

Kalau saya pribadi, ketimbang kampanye yang motifnya ga jelas, tujuannya juga ga jelas, lebih baik yang memang nyata saja, misalnya mengenai pembantaian hewan. Jika pembantaian ini tidak bisa dihindari, minimal kita usahakan agar jangan mereka dibantai dengan cara yang kejam. Sebelum pembantaian juga jangan mereka disiksa dengan cara apapun. Kampanye ini di luar negeri sudah menghasilkan ketentuan-ketentuan dalam pembantaian hewan. Walaupun mungkin pembantaian tidak berkurang, tapi penyiksaan dan cara2 kejam itu bisa dikurangi.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 17 October 2011, 04:00:10 PM
Ini tidak bisa dinilai secara mutlak, maka saya mengajak kita semua coba menyelidiki, benarkan kalau kita vegetarian, lalu pembantaian berkurang. Sebaliknya juga cobalah teliti apakah jika seorang vegetarian kemudian makan daging, apakah benar ada penambahan pembantaian. Bisa dicoba dari yang dekat, misalnya pasar atau pedagang penjual ayam/daging. Saya punya beberapa jawaban, tapi lebih 'afdol' kalau orang lain saja yang memberi input.

Hal ini sudah ada contohnya, dalam Negara Islam saya rasa setidaknya tidak ada babi yang diternakan dan dibunuh untuk konsumsi.

note : Walaupun mungkin ada babi yang dibunuh, tentunya misal karena sebagai hama, setidaknya pembunuhan untuk konsumsi lebih banyak daripada dibunuh karena hama.

Nah, misalkan pada suatu saat (walau tidak mungkin, lagipula ini hanya sekedar contoh) nanti di Negara Islam tersebut menghalalkan memakan babi, tentunya akan ada pemakan babi, karena ada pemakan babi, maka kebutuhan akan daging babi meningkat, karena daging babi tidak datang begitu saja, maka perlu ada babi yang dibunuh untuk diambil dagingnya. seiring semakin banyaknya pemakan babi, maka diperlukan banyak babi pula yang dibunuh dan diambil dagingnya, dst sampai ke peternakan.

Jadi kesimpulannya, karena ada yang memakan babi, jadi ada babi yang terbunuh. (walau sekali lagi saya tidak menyimpulkan secara umum, memakan daging harus membunuh makhluk yg punya daging. Tetapi umumnya kita harus membunuh makhluk itu)


Quote
Kalau ayam memang sudah dibunuh dan digoreng, maka dibeli atau tidak oleh si umat, tetap ayamnya sudah mati. Sudah tidak relevan lagi, apalagi terhadap si bhikkhu. Apakah si bhikkhu terima atau tidak, ayamnya tetap sudah mati.

Tapi jika si bhikkhu mengetahui atau minimal menduga bahwa si umat memesan ayam untuknya, yang karena hal tersebut, ada ayam yang kemudian dibunuh/disakiti, maka si bhikkhu memang sudah seharusnya menolaknya, sebab penerimaan hal tersebut berarti menyetujui makhluk dibunuh demi dia. 

Sebetulnya sederhana saja, sama seperti ada gelandangan meninggal, setelah dikremasi, sisa tubuhnya diberikan ke bhikkhu untuk meditasi asubha. Kalau memang demi si bhikkhu meditasi asubha, maka ada umat membunuh (secara langsung atau tidak) agar mayatnya bisa diberikan ke si bhikkhu, maka sudah sepatutnya si bhikkhu tidak menerima 'pemberian' itu.


Mengenai hal ini, sebelum saya bertanya lebih jauh, ada yg perlu penjelasan lebih dari om KK

Mengenai ayam yang sudah mati dan digoreng, mau dibeli atau tidak memang betul ayam itu yah sudah mati.

pertama, saya menelusuri dahulu, bagaimana ada ayam mati dan digoreng yang tau tau ada di pajang oleh penjual. tentunya sang Pembeli yaitu umat itupun tau, Ayam itu dikhususkan dibunuh oleh penjual untuk dibeli oleh pembeli.

Alasan saya mengatakan Ayam itu dikhususkan di bunuh oleh si Penjual untuk dibeli umat (umat menjadi pembeli) adalah :

Kita tilas balik, maksud si penjual. seperti yg saya katakan sebelumnya Si Penjual membutuhkan Uang, Maka dia akan menjual Daging Ayam (bukan membunuh) , bagaimana daging ayam itu diperoleh, yah tentu saja dengan Membunuh Ayam.

Dalam hal ini terlihat membunuh itu adalah syarat dia menjual daging. (Note : Penjual disini saya contohkan penjual langsung yang beternak ayam)

Lalu ada umat yang ingin membeli daging (tentunya dia bisa memilih untuk tidak harus daging) saat dia melihat daging yang dijajakan oleh penjual, tentu saja itu hanyalah seongok daging, tidak terlihat pertumpahan darah disitu.

lalu kembali ke aturan "Pembunuhan Langsung", bila saya sebagai pembeli yang tertarik dengan daging itu, lalu saya bertanya kepada penjual.

"Bang, abang menjual daging ini ke saya apakah abang dengan khusus menyembelih ayam yang abang ternak demi mendapatkan dagingnya sehingga bisa ditawarkan kepada saya?"

kira2 jawaban apa yang diterima si pembeli?
kalau menurut saya tentu jawaban si penjual adalah "Ya" , karena Penjual tersebut tidak ada maksud lain dalam membunuh ayamnya selain untuk mengambil dagingnya dan ditawarkan kepada pembeli.

(nb : walau mungkin ada jawaban "Ohhh tidak dek, saya membunuh Ayam ternak saya karena mereka selalu mengganggu tidur pagi saya, yah daripada dibuang daginggnya, jadi saya jual saja". tetapi hal ini sepertinya terlalu aneh :hammer:  )

Bila Cerita diatas adalah ideal, maka tentunya sudah tidak sesuai dengan aturan tersebut.

Lalu kembali kepada Bhikkhu, Sang Bhikkhu hanya menerima persembahan dari Umatnya, yang ternyata adalah daging ayam. Sang Bhikkhu tentu bisa bertanya,

"Apakan anda (sang Umat) mengkhususkan membunuh Ayam yang mempunyai daging dihadapan saya ini, untuk dipersembahkan kepada saya?"

Sang Umat tentu menjawab tidak, karena tidak ada pembunuhan olehnya, Pekerjaan dia hanya Membeli dan mempersembahkan, tentunya sang Bhikkhu "halal" memakan ayam tersebut. tetapi saya ingin tahu, kira2 bagaimana penilaian sang Bhikkhu saat hadir dalam percakapan Penjual dan Pembeli saat Pembeli bertanya bagaimana daging tersebut bisa ditawarkan ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 17 October 2011, 04:04:31 PM

Mengurangi kemelekatan pada makanan dengan membatasi makan seperti pada uposatha. Otomatis ada waktu-waktu di mana kita menahan diri dari keinginan makan.

Ic... kk napa mengurangi kemelekatan harus dengan cara tidak makan? Bukankah lapar itu bukan dibuat2 sendiri, kalo mis makan disaat lapar, tapi tidak memilih2 makanan bukankah juga bs melatih kemelekatan kk? O ya, kalo guling yg empuk juga merupakan kemelekatan ya?

Quote
Mengurangi pembantaian hewan ternak secara global? Anda harus punya kuasa untuk mempengaruhi sistem kehidupan secara global dulu. Kalau saya, akan perhatikan sejauh yang berkenaan langsung dengan saya sendiri yaitu menghindari perbuatan (apakah makan daging atau lainnya) yang menyebabkan atau menyetujui pembantaian. Hal lain adalah dengan fangsheng yang tepat, yaitu membebaskan hewan yang memang akan dibantai.
Soal fangsheng kalo kita beli dari pedagang hewan dia juga akan menangkap lagi, jadi kita bkn malah mendukung mata pencahariannya? Maap byk tanya hehe....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hatRed on 17 October 2011, 04:12:34 PM
Fangsheng itu seharusnya adalah praktik melepaskan makhluk yang terancam bahaya. Jadi misalnya ada lele menunggu ajal digoreng, kita beli lele itu dan kita lepaskan.

Maaf OOT, jadi FangShen itu adalah praktik penyelamatan makhluk hidup lain yang terancam bahaya yah?

Apakah pelepasan itu perlu? jadi misal ada kucing yang hampir terlindas lalu kita selamatkan, tetapi tidak kita lepas, tapi kita kurung didalam rumah itu termasuk FangShen atau tidak?

Apa FangShen itu harus ada "Penyelamatan Nyawa" AND "Pelepasan" ?

kalo misal Harus, berarti membeli burung sangkar bukan termasuk fangshen yah, karena tidak ada nyawa yg terancam disana sepertinya ???
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 04:49:00 PM
Saya hanya pake logika. Sampai saat ini saya masih merasa hal tersebut cukup logis, yaitu semakin banyak pemakan daging maka semakin banyak hewan yang diternakkan untuk dijadikan makanan. Saya belum punya argumen lain yang lebih kuat.
Nah, ini menarik. Saya mau cerita. Sekitar 10 tahun lalu, daging hiu masih jarang dimakan karena berbau 'pesing'. Tapi sekarang ini dengan pengolahan beda, daging hiu jadi agak biasa untuk dimakan. Sekarang beberapa restoran menyediakan daging hiu dan otomatis pemakan daging hiu jadi bertambah.

Pertanyaannya: Apakah bertambahnya orang mencari daging menyebabkan bertambahnya pembantaian, ataukah bertambahnya pembantaian dan persediaan daging yang menyebabkan meningkatnya konsumen daging? Bisakah dipastikan?


Quote
Tentang contoh tukang mie ayam, memang hari itu telah terbantai 10 ekor. Tapi kalo kurang laku terus, besok-besok ayam yang dibantai berkurang. Mungkin dia ganti ayamnya jadi sayur?! (Tapi saya rasa bro Kainyn akan mengatakan bahwa ini adalah contoh masyarakat sederhana, bukan global).
Nah, ini 'kan tugas kita masing-masing untuk survey. Besok2 saya janji akan tanyakan ke beberapa penjual di sini yang saya kenal. Dan untuk memperjelas maksud saya pada 'global' dan 'lokal', tanyakan 2 hal:
1. Apa yang akan dilakukan jika langganannya di daerah sini beralih jadi vegetarian?
2. Apa yang akan dilakukan jika semua langganannya beralih jadi vegetarian?


Quote
Tentang contoh hubungan seksual di luar nikah & adopsi anak. Saya setuju bahwa makan daging bukan berarti mendukung pembunuhan. Demikian pula, mengadopsi anak-di-luar-nikah bukan berarti mendukung pelanggaran sila ke-3.

Contoh tersebut memang menunjukkan independensi antara pembunuhan dan konsumsi daging. Tapi kalau semakin banyak pengkonsumsi daging berarti juga semakin banyak pembunuhan, maka perumpamaan tersebut tidak sesuai lagi karena semakin banyak anak-di-luar-nikah yang diadopsi bukan berarti semakin banyak pelanggaran sila ke-3.
Ya, memang konteksnya adalah hubungan tidak langsung antara perbuatan dan hasil perbuatan.

Nah, saya tanya lagi. Jika memang suatu saat banyak permintaan adopsi anak meningkat dan stock anak yang siap diadopsi tidak mencukupi. Bayaran untuk anak angkat menjadi mahal dan menggiurkan. Apakah mungkin atau tidak mungkin orang terpikir untuk sengaja berhubungan seksual, menghamili wanita2 hanya demi menghasilkan bayi untuk kemudian dijual?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 05:08:08 PM
Hal ini sudah ada contohnya, dalam Negara Islam saya rasa setidaknya tidak ada babi yang diternakan dan dibunuh untuk konsumsi.

note : Walaupun mungkin ada babi yang dibunuh, tentunya misal karena sebagai hama, setidaknya pembunuhan untuk konsumsi lebih banyak daripada dibunuh karena hama.
Jangan memberikan contoh di mana orangnya terkondisi untuk tidak ada pilihan donk. ;D Di kutub utara juga ga ada vegetarian, karena bisa beku kepala mereka semua karena tidak makan.


Quote
Nah, misalkan pada suatu saat (walau tidak mungkin, lagipula ini hanya sekedar contoh) nanti di Negara Islam tersebut menghalalkan memakan babi, tentunya akan ada pemakan babi, karena ada pemakan babi, maka kebutuhan akan daging babi meningkat, karena daging babi tidak datang begitu saja, maka perlu ada babi yang dibunuh untuk diambil dagingnya. seiring semakin banyaknya pemakan babi, maka diperlukan banyak babi pula yang dibunuh dan diambil dagingnya, dst sampai ke peternakan.

Jadi kesimpulannya, karena ada yang memakan babi, jadi ada babi yang terbunuh. (walau sekali lagi saya tidak menyimpulkan secara umum, memakan daging harus membunuh makhluk yg punya daging. Tetapi umumnya kita harus membunuh makhluk itu)
Kembali lagi ke masalah tersedianya komoditi menyebabkan konsumsi, atau konsumsi menyebabkan tersedianya komoditi. Kalau halal dan tidak ada yang menyediakan, tidak ada yang bisa mengolah, juga saya rasa tidak ada yang makan daging babi tersebut.


Quote
Mengenai hal ini, sebelum saya bertanya lebih jauh, ada yg perlu penjelasan lebih dari om KK

Mengenai ayam yang sudah mati dan digoreng, mau dibeli atau tidak memang betul ayam itu yah sudah mati.

pertama, saya menelusuri dahulu, bagaimana ada ayam mati dan digoreng yang tau tau ada di pajang oleh penjual. tentunya sang Pembeli yaitu umat itupun tau, Ayam itu dikhususkan dibunuh oleh penjual untuk dibeli oleh pembeli.

Alasan saya mengatakan Ayam itu dikhususkan di bunuh oleh si Penjual untuk dibeli umat (umat menjadi pembeli) adalah :

Kita tilas balik, maksud si penjual. seperti yg saya katakan sebelumnya Si Penjual membutuhkan Uang, Maka dia akan menjual Daging Ayam (bukan membunuh) , bagaimana daging ayam itu diperoleh, yah tentu saja dengan Membunuh Ayam.

Dalam hal ini terlihat membunuh itu adalah syarat dia menjual daging. (Note : Penjual disini saya contohkan penjual langsung yang beternak ayam)

Lalu ada umat yang ingin membeli daging (tentunya dia bisa memilih untuk tidak harus daging) saat dia melihat daging yang dijajakan oleh penjual, tentu saja itu hanyalah seongok daging, tidak terlihat pertumpahan darah disitu.

lalu kembali ke aturan "Pembunuhan Langsung", bila saya sebagai pembeli yang tertarik dengan daging itu, lalu saya bertanya kepada penjual.

"Bang, abang menjual daging ini ke saya apakah abang dengan khusus menyembelih ayam yang abang ternak demi mendapatkan dagingnya sehingga bisa ditawarkan kepada saya?"

kira2 jawaban apa yang diterima si pembeli?
kalau menurut saya tentu jawaban si penjual adalah "Ya" , karena Penjual tersebut tidak ada maksud lain dalam membunuh ayamnya selain untuk mengambil dagingnya dan ditawarkan kepada pembeli.

(nb : walau mungkin ada jawaban "Ohhh tidak dek, saya membunuh Ayam ternak saya karena mereka selalu mengganggu tidur pagi saya, yah daripada dibuang daginggnya, jadi saya jual saja". tetapi hal ini sepertinya terlalu aneh :hammer:  )

Bila Cerita diatas adalah ideal, maka tentunya sudah tidak sesuai dengan aturan tersebut.

Lalu kembali kepada Bhikkhu, Sang Bhikkhu hanya menerima persembahan dari Umatnya, yang ternyata adalah daging ayam. Sang Bhikkhu tentu bisa bertanya,

"Apakan anda (sang Umat) mengkhususkan membunuh Ayam yang mempunyai daging dihadapan saya ini, untuk dipersembahkan kepada saya?"

Sang Umat tentu menjawab tidak, karena tidak ada pembunuhan olehnya, Pekerjaan dia hanya Membeli dan mempersembahkan, tentunya sang Bhikkhu "halal" memakan ayam tersebut. tetapi saya ingin tahu, kira2 bagaimana penilaian sang Bhikkhu saat hadir dalam percakapan Penjual dan Pembeli saat Pembeli bertanya bagaimana daging tersebut bisa ditawarkan ;D
;D
Simple, bro, jujur saja pada diri sendiri. Kalau memang anda menduga benar sejauh itu, maka janganlah beli. Tapi kalau memang dalam kejujuran kita yakin bahwa memang pembunuhan itu tidak ditujukan untuk kita, maka makanlah tanpa perlu merasa bersalah.

Di sini hanya ada 2 masalah ekstrem: tidak mau jujur pada diri sendiri (yang mengarah pada pembenaran), serta spekulasi yang menghubungkan apa yang tidak berhubungan (yang mengarah pada penyalahan). Dan kedua ini tidak bisa dinilai secara empiris, namun bisa diselidiki oleh diri sendiri.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 05:15:26 PM
Ic... kk napa mengurangi kemelekatan harus dengan cara tidak makan? Bukankah lapar itu bukan dibuat2 sendiri, kalo mis makan disaat lapar, tapi tidak memilih2 makanan bukankah juga bs melatih kemelekatan kk? O ya, kalo guling yg empuk juga merupakan kemelekatan ya?
Soal fangsheng kalo kita beli dari pedagang hewan dia juga akan menangkap lagi, jadi kita bkn malah mendukung mata pencahariannya? Maap byk tanya hehe....
Ya, itu hanya salah satu cara saja. Dengan menahan diri dari nafsu makan, maka otomatis kita melatih diri dari kenikmatan jenis makanan apapun yang kita lekati. Cara tidak memilih-milih makanan juga bisa dilakukan.
Kalo guling dan lain-lain yang memang memberikan perasaan menyenangkan ketika ada, dan memberikan rasa kehilangan/kerinduan jika tidak ada, itu adalah kemelekatan.

Soal fangsheng, bagaimana hasilnya juga memang kita tidak tahu, seperti misalnya dia telepon cabangnya yang masih sisa untuk kemudian dikirim & dibantai. Tapi setidaknya, hewan yang kita lepaskan itu tidak jadi dibantai. Hasilnya tersebut adalah nyata, setidaknya bagi hewan yang dilepaskan. Kalau soal lainnya, kita sebaiknya tidak perlu berspekulasi dan mengembangkan tebak-tebakan lebih jauh, karena bisa-bisa sampai pada kesimpulan: "bakar restorannya, maka tidak ada pembantaian lebih jauh."

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 05:21:39 PM
Maaf OOT, jadi FangShen itu adalah praktik penyelamatan makhluk hidup lain yang terancam bahaya yah?

Apakah pelepasan itu perlu? jadi misal ada kucing yang hampir terlindas lalu kita selamatkan, tetapi tidak kita lepas, tapi kita kurung didalam rumah itu termasuk FangShen atau tidak?
Itu Fangsheng juga, pengurungan juga. Tapi kalau memang dipelihara bukan dianiaya, sepertinya bukan perbuatan buruk.

Quote
Apa FangShen itu harus ada "Penyelamatan Nyawa" AND "Pelepasan" ?

kalo misal Harus, berarti membeli burung sangkar bukan termasuk fangshen yah, karena tidak ada nyawa yg terancam disana sepertinya ???
Fangsheng seharusnya memberikan keselamatan dan kenyamanan bagi si makhluk. Kalau memang kondisi paling baik tidak dilepaskan, maka sebaiknya jangan dilepaskan. Tergantung kondisi saja. "Melepas" itu hanya istilah saja.

Fangsheng burung yang sengaja ditangkap, sebetulnya juga fangsheng (karena kalau dibiarkan desak2an terus, lama-lama mati burungnya). Tapi mengenai ini, saya menilai praktik penangkapan burung ini adalah hasil dari fangsheng yang tidak bijaksana sehingga burung yang tadinya aman sentosa, gara-gara umat Buddha haus mencari makhluk menderita untuk dilepas, maka ada orang yang memberikan kepuasan kehausan itu dengan memberikan penderitaan bagi makhluk yang sebetulnya tidak menderita.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: The Ronald on 17 October 2011, 05:52:13 PM
hmm..klo semua jd vege..harga daging murah... harga sayur mahal..trus org miskin makan daging...krn murah lama2 banyak org demi hemat makan daging...trus lama2 seperti skrg deh..trus harga sayur murah..org miskin makan vege...trus biar hemat org2 makan vege.. trus lama2.. semuanya vege...harga daging murah..harga sayur jd mahal...sistim ekonomi lah...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 October 2011, 06:33:20 PM
hmm..klo semua jd vege..harga daging murah... harga sayur mahal..trus org miskin makan daging...krn murah lama2 banyak org demi hemat makan daging...trus lama2 seperti skrg deh..trus harga sayur murah..org miskin makan vege...trus biar hemat org2 makan vege.. trus lama2.. semuanya vege...harga daging murah..harga sayur jd mahal...sistim ekonomi lah...
[sarcastic mode]Salah, kalau semua orang vegetarian, maka semua orang mencapai minimal jhana I metta bhavana, lalu semua orang jadi tidak kikir, tidak membenci, tidak serakah, tidak nafsu, dan dunia tenteram, aman, damai, sentosa. Mengapa demikian? Sebab cinta kasih berkembang dari menu non-daging.[/sarcastic mode]

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: williamhalim on 18 October 2011, 07:54:23 AM
Ya, kalau sebagai bentuk protes, saya setuju. Beberapa makanan juga saya tidak makan bukan karena saya lihat makan makanan itu = tidak cinta kasih, atau makanan itu = kotor/haram, tapi memang sebagai sikap protes saja, kadang agar orang juga lebih memperhatikan.

Sepakat. memilih2 dalam hal makan, tidak terkait dengan cintakasih ataupun pencapaian kesucian. Alih2 malah menjadikan semakin dosa/lobha...

Quote
Nah, kalau di sini, kembali lagi saya kurang cocok.
Daging disiapkan untuk dikonsumsi. Apakah kita konsumsi atau tidak, hewan telah dibantai. Misalnya di depan kantor ada tukang mie ayam, anggaplah 10 ayam terbantai untuk dagangannya sehari. Nah, apakah saya makan atau tidak makan, tetap ayam itu sudah terbantai. Jika semua konsumennya hari itu terconvert jadi MLDD dan tidak ada yang makan mie ayam tersebut, tetap 10 ayam telah terbantai.

Listrik tersedia untuk dikonsumsi. Misalnya total pemakaian AC adalah 10. Jika saya mematikan 1, walaupun yang lain tetap menyala, tapi tetap ada penghematan 1 AC, jadi pemakaian adalah 9 AC.
Begitu juga plastik, misal per hari ada pemakaian di kantor 20 kantong plastik, jika saya mengurangi untuk diri sendiri dan pemakaian jadi 19 kantong plastik, maka ada pengurangan sampah plastik dari 20 menjadi 19.

Pengurangan listrik dan sampah adalah hal-hal yang nyata hasilnya yang bisa kita lakukan, berbeda dengan 'tidak makan daging' yang proses pembunuhan dan konsumsinya adalah independen, makan/tidak makan, tidak memiliki relevansinya, setidaknya tidak secara langsung. 

sy paparkan sedikit analisa sy:

Ambil contoh kantong plastik dan daging.

Jika kita giat mengurangi pemakaian kantong plastik, maka produksi kantong plastik akan dikurangi sehingga sampah kantong plastik akan berkurang, bandingkan seperti selama ini, kantong plastik sangatlah murah sehingga pemakaian kantong plastik besar2an dan menjadi masalah sampah serius bagi lingkungan.

IMO, ini persis halnya jika sbgn masyarakat tidak makan daging. Maka produksi daging akan dikurangkan, otomatis pembantaian makhluk tertentu akan dikurangi. Ambil contoh kita kurang suka makan anjing, maka tidak banyak anjing yg dibantai. Di China banyak anjing2 yg dibantai setiap hari untuk dimakan. Krn memang ada pasar/konsumen disitu. Bandingkan dengan disini, dimana anjing2 berkeliaran bebas *)

Juga, sejak meningkatnya permintaan akan kulit trenggiling, di daerah sy banyak yg ikut jadi pemburu trenggiling. Dulu tidak ada yg mengacuhkan trenggiling, namun akhir2 ini hampir tiap hari ada trenggiling yg ditangkap, dibunuh dan dipreteli kulitnya.

Saya bayangkan jika sy sudah mulai menyukai daging anjing, maka sy akan datang ke resto anjing (resto batak; yg tidak banyak di daerah sy). Jika bbrp atau puluhan orang bertindak seperti sy, maka pasti akan menambah jumlah anjing2 yg akan dibantai.

Permintaan mempengaruhi pasar. Ini hukum ekonomi.

---

*) belakangan di kota sy populasi anjing berkeliaran bebas sudah mulai berkurang sejak mulai maraknya resto batak yg menyediakan daging anjing. Bahkan anjing sy sendiri, yg jinak dan jika sesekali lari keluar, selalu pulang ke rumah kembali dlm bbrp jam, terakhir, tidak pernah kembali lagi. Semua orang mengatakan ia telah ditangkap dan dijual ke resto batak.
 
::

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 18 October 2011, 08:44:46 AM
Nah, ini menarik. Saya mau cerita. Sekitar 10 tahun lalu, daging hiu masih jarang dimakan karena berbau 'pesing'. Tapi sekarang ini dengan pengolahan beda, daging hiu jadi agak biasa untuk dimakan. Sekarang beberapa restoran menyediakan daging hiu dan otomatis pemakan daging hiu jadi bertambah.

Pertanyaannya: Apakah bertambahnya orang mencari daging menyebabkan bertambahnya pembantaian, ataukah bertambahnya pembantaian dan persediaan daging yang menyebabkan meningkatnya konsumen daging? Bisakah dipastikan?

Ya, betul juga, berarti ada hubungan timbal-balik. Penjual daging menarik minat pembeli, dan di sisi lain, meningkatnya pembeli maka meningkatkan penjualan daging. Jadi intinya ada di pengendalian nafsu?

Quote
Nah, ini 'kan tugas kita masing-masing untuk survey. Besok2 saya janji akan tanyakan ke beberapa penjual di sini yang saya kenal. Dan untuk memperjelas maksud saya pada 'global' dan 'lokal', tanyakan 2 hal:
1. Apa yang akan dilakukan jika langganannya di daerah sini beralih jadi vegetarian?
2. Apa yang akan dilakukan jika semua langganannya beralih jadi vegetarian?

Untuk nomor 1, jawabannya pasti bervariasi. Kalau dia percaya diri bahwa dagangannya itu spesial, maka dia akan tetap berjualan daging tapi pindah ke tempat lain. Tapi kalau dia tidak PD (atau nomor 2), dia akan menuruti selera konsumen.

Quote
Ya, memang konteksnya adalah hubungan tidak langsung antara perbuatan dan hasil perbuatan.

Nah, saya tanya lagi. Jika memang suatu saat banyak permintaan adopsi anak meningkat dan stock anak yang siap diadopsi tidak mencukupi. Bayaran untuk anak angkat menjadi mahal dan menggiurkan. Apakah mungkin atau tidak mungkin orang terpikir untuk sengaja berhubungan seksual, menghamili wanita2 hanya demi menghasilkan bayi untuk kemudian dijual?

Kayaknya gak mungkin permintaan adopsi anak meningkat hingga menjadi demikian (mungkin saja, tapi kemungkinannya kecil). Tapi ya, perumpamaan memang tidak selalu mewakili kebenaran (apa yang ingin disampaikan) :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 October 2011, 10:29:37 AM
Sepakat. memilih2 dalam hal makan, tidak terkait dengan cintakasih ataupun pencapaian kesucian. Alih2 malah menjadikan semakin dosa/lobha...

sy paparkan sedikit analisa sy:

Ambil contoh kantong plastik dan daging.

Jika kita giat mengurangi pemakaian kantong plastik, maka produksi kantong plastik akan dikurangi sehingga sampah kantong plastik akan berkurang, bandingkan seperti selama ini, kantong plastik sangatlah murah sehingga pemakaian kantong plastik besar2an dan menjadi masalah sampah serius bagi lingkungan.

IMO, ini persis halnya jika sbgn masyarakat tidak makan daging. Maka produksi daging akan dikurangkan, otomatis pembantaian makhluk tertentu akan dikurangi. Ambil contoh kita kurang suka makan anjing, maka tidak banyak anjing yg dibantai. Di China banyak anjing2 yg dibantai setiap hari untuk dimakan. Krn memang ada pasar/konsumen disitu. Bandingkan dengan disini, dimana anjing2 berkeliaran bebas *)

Juga, sejak meningkatnya permintaan akan kulit trenggiling, di daerah sy banyak yg ikut jadi pemburu trenggiling. Dulu tidak ada yg mengacuhkan trenggiling, namun akhir2 ini hampir tiap hari ada trenggiling yg ditangkap, dibunuh dan dipreteli kulitnya.

Saya bayangkan jika sy sudah mulai menyukai daging anjing, maka sy akan datang ke resto anjing (resto batak; yg tidak banyak di daerah sy). Jika bbrp atau puluhan orang bertindak seperti sy, maka pasti akan menambah jumlah anjing2 yg akan dibantai.

Permintaan mempengaruhi pasar. Ini hukum ekonomi.
Mulainya transaksi bisa diawali dengan penyediaan barang lalu ditawarkan, atau bisa juga ada permulaan permintaan barang baru dicari.
Jika kasusnya adalah pengenalan menu baru (anjing), baru ada pelanggan (yang coba-coba dan ternyata suka), maka itu adalah kasus pertama.
Jika kasusnya adalah memang ada permintaan, misalnya perbincangan tentang minat masyarakat setempat akan menu baru (anjing), maka itu adalah kasus ke dua.

Setelah pasar terjadi, maka barulah keduanya (permintaan & persediaan) saling interaksi mempengaruhi dalam cara yang rumit. Misal permintaan naik, maka bisa jadi persediaan ditambah (pembantaian ditambah) atau persediaan sama, namun harganya yang naik (karena keterbatasan penyediaan). Dengan demikian, apakah jika permintaan turun, PASTI penyediaan turun? Tentu tidak. Sebaliknya, bisa juga harganya turun, namun barang tersedia sama. Hal ini juga yang nyata di mana sebelumnya saya sampaikan di UK, banyaknya makanan terbuang (termasuk daging), mencapai >30% dari total produksi. Jelas di sini memang jumlah penyediaan tidak berbanding lurus dengan permintaan.

Bagaimanakah terhentinya pasar ini? Jika persediaan atau permintaan mencapai titik nol, maka bisa terhenti. Permintaan mencapai titik nol, ini seperti kalau semua orang stop makan daging, total. Persediaan mencapai titik nol adalah jika penyedia sudah kehilangan kemampuan mengadakan barang, misalnya bangkrut.

Jika dalam satu sistem, jumlah konsumen yang berhenti adalah signifikan dan cukup untuk 'menggoyang' pasar, maka memang benar, terhentinya konsumsi akan berpengaruh pada penyediaan daging. Misalnya di contoh Bro Willi tadi. Nah, kalau jumlah konsumen yang berhenti tidak signifikan dan tidak berarti bagi berlangsungnya pasar, katakanlah di Jakarta ini 1000 orang menjadi vegetarian, apakah misalnya KFC akan mengurangi pasokan ayamnya?

Yang hendak saya katakan di sini, jumlah konsumen selalu naik turun dan produsen sudah mengantisipasinya. Kelebihan produksi (yang tidak laku) juga telah diperhitungkan. Oleh karena itu, ada kalanya dalam satu kondisi, keputusan kita untuk makan atau tidak makan adalah berpengaruh pada jumlah penyediaan; ada kalanya juga dalam kondisi lainnya, keputusan kita untuk makan atau tidak makan adalah tidak berpengaruh pada jumlah penyediaan.

Nah, sekarang saya setuju bahwa mungkin di tempat bro Willi di mana konsumennya terbatas, distribusi terbatas, jika saya seorang yang tadinya makan daging anjing atau minta kulit trenggiling, berhenti mencarinya, maka itu akan berpengaruh. Tapi apakah jika saya berhenti makan KFC, misalnya, menurut Bro Willi akan berpengaruh pada penurunan pembantaian ayamnya?


Quote
---

*) belakangan di kota sy populasi anjing berkeliaran bebas sudah mulai berkurang sejak mulai maraknya resto batak yg menyediakan daging anjing. Bahkan anjing sy sendiri, yg jinak dan jika sesekali lari keluar, selalu pulang ke rumah kembali dlm bbrp jam, terakhir, tidak pernah kembali lagi. Semua orang mengatakan ia telah ditangkap dan dijual ke resto batak.
 
::
Turut berkaruna-citta terhadap anjingnya Bro Willi. Semoga ia selamat, dan kalaupun memang dibuat saksang, semoga terlahir di alam yang lebih baik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 October 2011, 10:47:08 AM
Ya, betul juga, berarti ada hubungan timbal-balik. Penjual daging menarik minat pembeli, dan di sisi lain, meningkatnya pembeli maka meningkatkan penjualan daging. Jadi intinya ada di pengendalian nafsu?
Iya, menurut saya adalah pandangan benar dan pengendalian nafsu. Vegetarian atau tidak, hanyalah 'ritual' saja.


Quote
Untuk nomor 1, jawabannya pasti bervariasi. Kalau dia percaya diri bahwa dagangannya itu spesial, maka dia akan tetap berjualan daging tapi pindah ke tempat lain. Tapi kalau dia tidak PD (atau nomor 2), dia akan menuruti selera konsumen.
Barusan saya tanya penjual siomay di depan kantor. ;D
Bahkan untuk nomor 1, ia bilang 'impossible', tapi kalau memang orang daerah ini tidak makan siomay lagi, dia akan sekadar lewat daerah sini saja dan berjualan di tempat lain. (Persis dugaan saya.)
Untuk nomor 2 (yang tentu lebih impossible), baru dikatakan akan coba banting stir ke profesi lain yang pernah dijalaninya. (Persis juga seperti dugaan saya.)

Jadi saya katakan kalau si penyedia memiliki lingkup terbatas, hanya bergantung pada sejumlah konsumen tertentu, maka berkurangnya jumlah konsumen di satu lingkup tersebut BISA mempengaruhi jumlah penyediaan. Tapi kalau si penyedia memiliki lingkup yang lebih luas, memiliki alternatif, maka berkurangnya jumlah konsumen di satu lingkup tersebut belum tentu berpengaruh pada jumlah penyediaan.


Quote
Kayaknya gak mungkin permintaan adopsi anak meningkat hingga menjadi demikian (mungkin saja, tapi kemungkinannya kecil). Tapi ya, perumpamaan memang tidak selalu mewakili kebenaran (apa yang ingin disampaikan) :D
Bisa, jika ada wabah atau bencana di satu tempat yang menyebabkan kemandulan atau risiko cacad pada anak tinggi, misalnya kontaminasi radiasi nuklir.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 18 October 2011, 11:52:20 AM
Aku pernah nonton video ktny hewan yg mati dibantai itu mengeluarkan racun2 krn ketakutan, kira2 itu benar gak yah? Nutrisi daging ama sayur bagusan mana kk? Trus kl ad yg tanya kok tega makan daging bekas pembantaian, kk jawab apa? Thx....  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 18 October 2011, 01:38:47 PM
 [at]  Kainyn: oke, sudah sepaham. Btw, keren juga tukang siomay-nya, bisa bilang "impossible". Bahkan kemarin saya liat kopaja, tulisannya "Obsessy" (maksud dia 'obsesi'). Benar-benar masyarakat global..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 October 2011, 02:47:57 PM
Aku pernah nonton video ktny hewan yg mati dibantai itu mengeluarkan racun2 krn ketakutan, kira2 itu benar gak yah? Nutrisi daging ama sayur bagusan mana kk? Trus kl ad yg tanya kok tega makan daging bekas pembantaian, kk jawab apa? Thx....  ;D
Kalau mengeluarkan racun, sepertinya ini bukan istilah yang tepat. Dalam keadaan takut atau tertekan, memang manusia dan hewan tertentu memproduksi hormon kortisol lebih dan kemudian diserap dalam tubuh. Banyak pengaruh yang disebabkan oleh penyerapan kortisol ini seperti perubahan keasaman, kecepatan pembusukan, singkat kata, kualitas daging menjadi menurun.

Saya belum baca juga apakah ada pengaruh racun (toksik) langsung bagi orang yang makan daging tersebut dalam jangka pendek maupun panjang, tapi kalau menurut saya memang sepertinya agak kurang baik hasilnya memakan daging demikian.

Nutrisi daging dan sayur bukan bagus mana, tapi memang berbeda. Tubuh memerlukan nutrisi esensial yang rata-rata bisa didapat di sayuran, juga di daging. Namun ada beberapa yang hanya terdapat di daging, dan beberapa hanya ada di sayuran. Saya belum pernah mencari tahu secara khusus, jadi tidak tahu apa saja. Yang jelas jika nutrisi kita seimbang & tercukupi, tidak masalah dengan hidup vegetarian saja.

Kalau saya ditanya 'kok tega makan daging hasil pembantaian?', kemungkinan besar saya akan diam saja, tapi jika menjawab, mungkin saya akan bertanya balik, 'kok tega sih, menyia-nyiakan hasil pengorbanan hewan yang dibantai? Sudah dibantai, bangkainya dianggap sampah pula.'
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 October 2011, 02:50:07 PM
[at]  Kainyn: oke, sudah sepaham. Btw, keren juga tukang siomay-nya, bisa bilang "impossible". Bahkan kemarin saya liat kopaja, tulisannya "Obsessy" (maksud dia 'obsesi'). Benar-benar masyarakat global..
Iya, Mang Siomay ini memang sepertinya lebih 'canggih' dari penjual siomay kebanyakan. ;D


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 18 October 2011, 04:09:09 PM
^ persis dugaan saya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 October 2011, 04:19:18 PM
^ persis dugaan saya.
Copyright Violation Detected!

BTW, namanya barunya bagus. Nama visudhikah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 18 October 2011, 04:37:12 PM
^ ^ ^ bukan. Hari minggu kemarin saya baca RAPB yang jilid 2. Saya tertarik dengan kisah Uttara Theri dan Dhammadinna Theri. Tapi Dhammadinna lebih berkesan. Apalagi dikatakan bahwa beliau adalah yang terbaik dalam menjelaskan Dhamma. Waww...

Saya menemukan kesamaan di antara kisah-kisah umat awam atau bhikkhu/ni di buku tsb. Intinya, mereka pernah bertekad di hadapan Sammasambuddha di kehidupan lampau.

Atau seperti kisah Ambapali, dulu Ia menjadi bhikkhuni waktu jaman sammasambuddha juga di masa lalu.

Sepertinya, orang-orang beruntung itu (mungkin ditambah dengan tekad?), maka kemungkinan besar bertemu lagi dengan sammasambuddha di kehidupan yang akan datang. Bagaimana dengan kita? Tapi ya, berusaha saja kali ya, tidak perlu menunggu datangnya sammasambuddha (belum tentu juga ketemu) :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 October 2011, 05:15:47 PM
^ ^ ^ bukan. Hari minggu kemarin saya baca RAPB yang jilid 2. Saya tertarik dengan kisah Uttara Theri dan Dhammadinna Theri. Tapi Dhammadinna lebih berkesan. Apalagi dikatakan bahwa beliau adalah yang terbaik dalam menjelaskan Dhamma. Waww...

Saya menemukan kesamaan di antara kisah-kisah umat awam atau bhikkhu/ni di buku tsb. Intinya, mereka pernah bertekad di hadapan Sammasambuddha di kehidupan lampau.

Atau seperti kisah Ambapali, dulu Ia menjadi bhikkhuni waktu jaman sammasambuddha juga di masa lalu.

Sepertinya, orang-orang beruntung itu (mungkin ditambah dengan tekad?), maka kemungkinan besar bertemu lagi dengan sammasambuddha di kehidupan yang akan datang. Bagaimana dengan kita? Tapi ya, berusaha saja kali ya, tidak perlu menunggu datangnya sammasambuddha (belum tentu juga ketemu) :D
Memang dikatakan bahwa semua Arahat pernah bertekad untuk pencapaian yang sama di hadapan seorang Buddha. Setelah itu, berbeda-beda waktunya dalam mengumpulkan parami, tergantung jenis tekadnya.
Kalo Samma Sambuddha kita tahu adalah: 16/8/4 Asankhyeyya + 100.000 kappa.
Pacceka Buddha: 2 Asankhyeyya + 100.000 kappa.
Agga-Savaka: 1 Asankhyeyya + 100.000 kappa
Mahasavaka & semua savika terkemuka: 100.000 kappa

Itu sebabnya semua siswa-siswi unggul Buddha Gotama dikisahkan bertekad di hadapan Buddha Padumuttara, sedangkan untuk Sariputta & Mahamoggallana bertekad di hadapan Buddha Anomadassi.

Saya pikir kalau kita mau bertekad, bertekadlah dari sekarang, lupakan berapa waktu yang telah/masih harus ditempuh, dan berusaha berlatih sehingga mendukung kondisi untuk bertemu para Buddha di masa depan. Siapa tahu saja suatu saat memang Sis Dhammadinna-DC ini akan menjadi Mahasavika terunggul dalam pembabaran dhamma (Dhammakathikāna) di masa salah satu Samma Sambuddha berikutnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 18 October 2011, 08:39:25 PM
Memang dikatakan bahwa semua Arahat pernah bertekad untuk pencapaian yang sama di hadapan seorang Buddha. Setelah itu, berbeda-beda waktunya dalam mengumpulkan parami, tergantung jenis tekadnya.
Kalo Samma Sambuddha kita tahu adalah: 16/8/4 Asankhyeyya + 100.000 kappa.
Pacceka Buddha: 2 Asankhyeyya + 100.000 kappa.
Agga-Savaka: 1 Asankhyeyya + 100.000 kappa
Mahasavaka & semua savika terkemuka: 100.000 kappa

Itu sebabnya semua siswa-siswi unggul Buddha Gotama dikisahkan bertekad di hadapan Buddha Padumuttara, sedangkan untuk Sariputta & Mahamoggallana bertekad di hadapan Buddha Anomadassi.

Saya pikir kalau kita mau bertekad, bertekadlah dari sekarang, lupakan berapa waktu yang telah/masih harus ditempuh, dan berusaha berlatih sehingga mendukung kondisi untuk bertemu para Buddha di masa depan. Siapa tahu saja suatu saat memang Sis Dhammadinna-DC ini akan menjadi Mahasavika terunggul dalam pembabaran dhamma (Dhammakathikāna) di masa salah satu Samma Sambuddha berikutnya.



percuma mulai dari sekarang, argo dihitung mulai saat mengucapkan tekad di hadapan samma sambuddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 18 October 2011, 09:20:40 PM
percuma mulai dari sekarang, argo dihitung mulai saat mengucapkan tekad di hadapan samma sambuddha.
kenapa percuma om?
apa argonya belum jalan atau supirnya kabur, atau bagaimana om indra?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 19 October 2011, 07:11:44 AM
^ ^ ^ bukan. Hari minggu kemarin saya baca RAPB yang jilid 2. Saya tertarik dengan kisah Uttara Theri dan Dhammadinna Theri. Tapi Dhammadinna lebih berkesan.
[...]

Ralat: Uttara bukan bhikkhuni (theri), melainkan siswi awam.

[...]
Saya pikir kalau kita mau bertekad, bertekadlah dari sekarang, lupakan berapa waktu yang telah/masih harus ditempuh, dan berusaha berlatih sehingga mendukung kondisi untuk bertemu para Buddha di masa depan. Siapa tahu saja suatu saat memang Sis Dhammadinna-DC ini akan menjadi Mahasavika terunggul dalam pembabaran dhamma (Dhammakathikāna) di masa salah satu Samma Sambuddha berikutnya.

Sadhu  _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 October 2011, 08:52:14 AM
percuma mulai dari sekarang, argo dihitung mulai saat mengucapkan tekad di hadapan samma sambuddha.
Tapi untuk bisa memulai argo, harus tekad dulu. Seperti Bodhisatta Gotama aja sudah tekad 7 + 9 Asankhyeyya sebelum akhirnya dapat memulai argo di hadapan Buddha Dipankhara.

Lagipula, tidak menutup kemungkinan juga kalau memang sebelumnya Sis Dhammadinna ini pernah bertekad di hadapan Samma Sambuddha lampau. Jadi tanpa perlu buru-buru, tanpa perlu kecil hati, ditekadkan saja tidak ada ruginya. Buddhis 'kan maennya jangka panjang + proses perjuangan, bukan instant.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 19 October 2011, 03:38:08 PM
Thx jawaban kk sebelumnya cukup dipahami....
Maap tanya lagi yah.... ;D Menurut kk aliran sesat itu yg seperti apa yah? Apakah lebih baik kita melawannya atau membiarkannya? Thx.....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 October 2011, 03:59:18 PM
Thx jawaban kk sebelumnya cukup dipahami....
Maap tanya lagi yah.... ;D Menurut kk aliran sesat itu yg seperti apa yah? Apakah lebih baik kita melawannya atau membiarkannya? Thx.....
Kalau di Buddhis itu tidak ada dibilang aliran sesat, tapi pandangan salah. Yang disebut pandangan salah itu yang tidak membawa orang pada pemahaman kebenaran apa-adanya, dan karenanya, masih terjebak dalam lingkaran kelahiran dan kematian. (Walaupun Buddhis, sebelum mencapai kesucian minimal Sotapatti-magga, seseorang belum bisa dikatakan merealisasi pandangan benar.)

Walaupun sama-sama pandangan salah, wujud dan berkembangnya bisa banyak macam, ada yang sekadar membuat orang mengkhayalkan apa yang bukan kenyataan, sampai pada yang menganjurkan orang berbuat jahat. Biasanya, yang sudah menghimbau orang berbuat jahat, melanggar hukum, meresahkan masyarakat, adalah yang umum disebut sebagai aliran sesat.

Kalau soal sikap kita terhadap mereka, apa gunanya kita melawan mereka? Ajaran Buddha adalah pandangan yang didasarkan pada pemahaman, bukan pemaksaan, keyakinan buta, atau ritual. Jadi tidak ada gunanya kita melawan atau memaksa mereka meninggalkan pandangannya. Sejauh yang bisa dilakukan adalah mengenalkan pandangan kita saja kepada mereka, atau bagi orang awam yang salah paham terhadap pandangan kita, kita bantu jelaskan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: J.W on 20 October 2011, 09:56:08 AM
Quote
Walaupun sama-sama pandangan salah, wujud dan berkembangnya bisa banyak macam, ada yang sekadar membuat orang mengkhayalkan apa yang bukan kenyataan, sampai pada yang menganjurkan orang berbuat jahat. Biasanya, yang sudah menghimbau orang berbuat jahat, melanggar hukum, meresahkan masyarakat, adalah yang umum disebut sebagai aliran sesat.
Yg ini kalau mau diambil contoh, yang membuat org mengkhayal itu mgkn aliran M..
Dan yg menganjurkan org berbuat jahat, mungkin ajaran FLG yah ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 October 2011, 10:51:53 AM
Yg ini kalau mau diambil contoh, yang membuat org mengkhayal itu mgkn aliran M..
Dan yg menganjurkan org berbuat jahat, mungkin ajaran FLG yah ?
Tidak jauh-jauh ke 'tetangga', dalam Buddhisme Theravada sendiri misalnya ada yang mengkhayal sudah suci/arahat, lalu berdelusi sendiri dalam pandangannya.

Yang menganjurkan orang berbuat jahat juga ada, lihatlah baru-baru ini ada member yang masuk dan getol sekali ingin menghancurkan ajaran yang menurutnya sesat. Diri sendiri masih dipenuhi kebencian -dengan kata lain, berpandangan sesat-  tapi mau menghancurkan pandangan sesat. Hasilnya hanyalah meresahkan lingkungan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 21 October 2011, 02:15:58 PM
kalo ada ungkapan "selama buah kamma belum berbuah, maka orang tersebut belum menyadari akibat dari tindakan yang telah dia lakukan".
nah, kalo memang buah kamma itu muncul setiap saat, apa benar dia sama sekali tidak menyadarinya? ;D
lalu buah kamma yang seperti apa yang bisa menyadarkan orang itu? ;D
atau malah tidak ada buah kamma yang bisa menyadarkan orang itu karena menganggap itu semua sebagai hal yang biasa? ;D

Menurut saya, ungkapan tersebut memang salah sama sekali dalam konteks hukum kamma. Ada bedanya antara sebab akibat secara umum, dan sebab-akibat secara kamma. Secara umum maling ditangkap lalu dihakimi massa, itu adalah sebab-akibat. Secara kamma, belum tentu demikian.

kebetulan ada yang mengutip di dc ;D. maksud saya ungkapan yang ini ;D.
* cuma mau meralat aja pernyataan sebelumnya ;D.

Quote
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 71 berikut :

Suatu perbuatan jahat yang telah dilakukan tidak segera menghasilkan buah, seperti air susu yang tidak langsung menjadi dadih; demikianlah perbuatan jahat itu membara mengikuti orang bodoh, seperti api yang ditutupi abu.

Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut :

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 October 2011, 02:25:42 PM
kebetulan ada yang mengutip di dc ;D. maksud saya ungkapan yang ini ;D.
* cuma mau meralat aja pernyataan sebelumnya ;D.

Quote
Sang Buddha membabarkan syair 119 dan 120 berikut :

Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.

Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.

Syair ini diucapkan Buddha Gotama dalam hubungannya dengan kisah Anathapindika. Di sini Anathapindika berdana terus kepada Buddha & Sangha, tapi karena kamma-nya belum berbuah, maka dia sampai jatuh miskin, dan disarankan oleh dewa penunggunya agar menghentikan dananya. Singkat cerita, kekayaan Anathapindika pulih kembali, dan dewa penunggu itu terheran-heran. 

Jadi di sini terlihat seperti "berdana pada Buddha" (perbuatan baik) -> menyebabkan kemiskinan. (Perbuatan/kamma baik terlihat berakibat buruk, karena kamma belum berbuah.) Tetapi ketika kemudian kekayaannya kembali lagi (karena buah dari kamma baik) maka si pelaku akan menikmati kebahagiaannya. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 26 October 2011, 06:28:37 AM
Tanya,om; apakah seorang bhikkhu punya kewajiban untuk menyebarkan dhamma?

Nah,pengertian menyebarkan dhamma= memberikan dhammadesana secara rutin,membantu pembangunan sekolah..

Thank
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 October 2011, 09:09:44 AM
Tanya,om; apakah seorang bhikkhu punya kewajiban untuk menyebarkan dhamma?

Nah,pengertian menyebarkan dhamma= memberikan dhammadesana secara rutin,membantu pembangunan sekolah..

Thank
Kalau dari yang saya baca di sutta, sepertinya tidak ada seperti itu. Para bhikkhu hanya punya satu kewajiban: berlatih mencapai kesucian. Hidupnya ditopang hanya dari dana, dan yang namanya dana, berarti bukan imbalan atas barang/jasa. Memberikan dhammadesana sepertinya pilihan saja. Kadang umat juga meminta ceramah atau nasihat, maka si bhikkhu memberikannya.

Kalau gambaran kebhikkhuan sekarang menurut persepsi saya sudah amat sangat lain, jadi saya kurang tahu bagaimanakah sistem interaksi bhikkhu-masyarakat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 26 October 2011, 09:18:24 AM
Kalau dari yang saya baca di sutta, sepertinya tidak ada seperti itu. Para bhikkhu hanya punya satu kewajiban: berlatih mencapai kesucian. Hidupnya ditopang hanya dari dana, dan yang namanya dana, berarti bukan imbalan atas barang/jasa. Memberikan dhammadesana sepertinya pilihan saja. Kadang umat juga meminta ceramah atau nasihat, maka si bhikkhu memberikannya.

Kalau gambaran kebhikkhuan sekarang menurut persepsi saya sudah amat sangat lain, jadi saya kurang tahu bagaimanakah sistem interaksi bhikkhu-masyarakat.


setuju, membabarkan dhamma adalah tugas optional yg dilakukan setelah kewajiban utama terpenuhi. banyak orang berdalih bahwa Sang Buddha mewajibkan para bhikkhu menyebarkan Dhamma terbukto dari diutusnya 60 bhikkhu pertama utgk tugas penybaran Dhamma, tapi mrk mrk mengabaikan fakta bahwa 60 bhikkhu pertama itu adalah Para Arahat. Sang Buddha tdk mengutus non-Arahat utk menyebarkan Dhamma
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 26 October 2011, 11:28:36 AM
Misalnya seorang bhikkhu berceramah, lalu karena ingin berterimakasih, maka umat memberikan sesuatu. Kalau tidak salah, hal ini bisa menyebabkan seorang bhikkhu melanggar vinaya? Ada ya vinaya yang mengatur hal itu?

Sepertinya karena di masyarakat ada anggapan umum bahwa "tidak ada yang gratis". Dan (masalahnya) inipun diterapkan saat berinteraksi dengan bhikkhu. Jadi seolah-olah ada pertukaran "Sokongan vs Ceramah". Dan sebaliknya, kalau bhikkhu memberi ceramah, maka umat pun merasa ingin berterima kasih dengan memberikan sesuatu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 27 October 2011, 09:48:27 AM
bagaimana dengan ini om?

Quote
“Para Bhikkhu, Saya telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Kalian juga telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Pergilah, para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar welas asih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia (caratha, bhikkhave, carikam bahujanahitaya bahujanasukhaya lokanukampaya atthtaya hitaya sukhaya devamanussanam). Janganlah pergi berdua dalam satu jalan! Para Bhikkhu, babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dalam makna maupun isinya. Serukanlah hidup suci, yang sungguh sempurna dan murni. Ada makhluk dengan sedikit debu di mata yang akan tersesat karena tidak mendengarkan Dhamma. Ada mereka yang mampu memahami Dhamma. Para Bhikkhu, Saya sendiri akan pergi ke Uruvela di Senanigama untuk membabarkan Dhamma.”

bukankah jelas bahwa Sang Buddha menyuruh para bhikkhu untuk pergi membabarkan dhamma?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 October 2011, 10:00:31 AM
bagaimana dengan ini om?

bukankah jelas bahwa Sang Buddha menyuruh para bhikkhu untuk pergi membabarkan dhamma?

itulah mengapa penting sekali mengutip secara lengkap utk mengetahui gambaran situasi dan lawan bicara kepada siapa Sang Buddha berbicara. dalam adegan itu Sang Buddha sedang berbicara kepada para bhikkhu Arahat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 October 2011, 10:08:10 AM
Misalnya seorang bhikkhu berceramah, lalu karena ingin berterimakasih, maka umat memberikan sesuatu. Kalau tidak salah, hal ini bisa menyebabkan seorang bhikkhu melanggar vinaya? Ada ya vinaya yang mengatur hal itu?

Sepertinya karena di masyarakat ada anggapan umum bahwa "tidak ada yang gratis". Dan (masalahnya) inipun diterapkan saat berinteraksi dengan bhikkhu. Jadi seolah-olah ada pertukaran "Sokongan vs Ceramah". Dan sebaliknya, kalau bhikkhu memberi ceramah, maka umat pun merasa ingin berterima kasih dengan memberikan sesuatu.
Kebetulan sekali ini disinggung. Seorang bhikkhu seharusnya tidak menerima makanan karena dia berceramah, sebab kalau begitu, namanya bukan 'dana makanan', tapi 'ongkos ceramah'.

Saya lihat memang Buddha itu super-bijak. Ada kisah di Samyutta Nikaya, satu kali ada brahmana bernama Sundarika Bharadvaja yang sedang melakukan pemujaan api, lalu mau mendanakan makanan. Buddha Gotama (yang sudah tahu potensi si brahmana) memang sengaja duduk dekat situ. Lalu si brahmana mendatangi, dan Buddha membuka penutup kepalanya. Paham brahmana tertentu menganggap para petapa/samana (yang biasanya mencukur kepalanya), itu adalah keturunan paling rendah, dari tapak kaki Brahma, jadi ketika melihat kepala Buddha Gotama, niatnya terhenti. Tapi kemudian dia merenungkan, "beberapa samana juga berasal dari kasta brahmana", maka ia mendekati dan bertanya dari kasta manakah Buddha ini.

Buddha kemudian memberikan ceramah tentang kasta di mana dari kelahiran/kasta manapun, seseorang bisa menjinakkan dirinya, bisa menjadi mulia, dan memiliki kebijaksanaan. Sundarika kemudian senang dan berniat memberikan dana, tetapi Buddha menolaknya. Buddha mengatakan dana selayaknya diberikan kepada mereka yang melatih diri dan penuh perhatian. Tapi tidak pantas seorang Buddha menerima dana karena mengucapkan syair/mengajar.

Saya tidak ketemu vinaya yang mengatur hal ini, tapi menurut pendapat saya, selain dari 'menerima dana makanan', melakukan suatu hal dengan tujuan mendapatkan imbalan -apakah dengan ceramah, baca paritta/mantra, pemberkatan, dll- termasuk penghidupan salah bagi seorang bhikkhu. Sudah sepantasnya bhikkhu melayani umat dalam hal-hal dhamma, dan sepantasnya juga umat menyokong para bhikkhu yang memiliki tujuan mulia lewat jalan petapa. Tapi hal tersebut janganlah dijadikan bentuk kewajiban 'profesional', namun dilihat sebagai satu interaksi Sangha-umat yang berdasarkan pandangan benar.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 27 October 2011, 10:47:33 AM
itulah mengapa penting sekali mengutip secara lengkap utk mengetahui gambaran situasi dan lawan bicara kepada siapa Sang Buddha berbicara. dalam adegan itu Sang Buddha sedang berbicara kepada para bhikkhu Arahat.
iya memang arahat, ini lengkapnya.

Spoiler: ShowHide
PARA MISIONARI BUDDHIS PERTAMA

Setelah Sang Bhagava memberikan Pencerahan kepada kelima Petapa, Beliau bersama kelima siswa pertama-Nya itu berdiam di Taman Rusa di Isipatana untuk melewati musim hujan. Dan ketika Sang Bhagava sedang berjalan-jalan ditempat terbuka, Ia bertemu putra seorang saudagar kaya, bernama Yasa yang mengalami kegundahan batin terhadap kehidupannya dan pergi dari rumahnya. Yasa tidak lain adalah putra dari Sujata dari Senanigama, seorang wanita yang pernah mempersembahkan nasi susu kepada Bodhisatta sebelum Pencerahan-Nya.

Setelah bertemu dengan Sang Bhagava, Yasa mendengarkan Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Bhagava dengan saksama. Dan ketika batinnya sudah siap, bisa menerima, bebas rintangan, bersemangat, dan yakin, Sang Bhagava membabarkan Empat Kebenaran Arya.

Ketika ayah Yasa mencari putranya yang telah pergi dari rumah, ia pun bertemu dengan Sang Bhagava. Kemudian Sang Bhagava juga mengajarkannya ajaran bertahap dan Empat Kebenaran Arya seperti yang telah dilakukan-Nya terhadap Yasa. Setelah pembabaran Dhamma selesai, ayah Yasa mencapai Sotapanna dan berlindung pada Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha), dan Yasa pun mencapai tataran Arahat dan menjadi bhikkhu.

Selanjutnya berturut-turut, keluarga ibu Yasa dan mantan istri Yasa menembus Dhamma dan menjadi Sotapanna setelah Sang Bhagava mengajarkan Dhamma kepada mereka ketika ayah Yasa mengundang Sang Bhagava ke rumahnya.

Begitu pula kelima puluh empat teman Yasa yang empat diantaranya adalah sahabat karib Yasa yang bernama Vimala, Subahu, Punnaji, dan Gavampati, mereka juga menerima pengajaran dari Sang Bhagava, menerima penahbisan menjadi bhikkhu, dan mencapai tataran Arahat.

Demikianlah, pada saat itu terdapat enam puluh satu Arahat di dunia, yaitu, Buddha, Bhikkhu Pancavaggiya, Bhikkhu Yasa, dan kelima puluh empat sahabat Yasa.

Pada saat berakhirnya tiga bulan masa kediaman musim hujan (vassana), Sang Bhagava telah mencerahkan enam puluh tiga orang. Di antara mereka, enam puluh orang mencapai tataran Arahat dan memasuki Persamuhan Bhikkhu, sementara yang lainnya - ayah, ibu, dan mantan istri Yasa menjadi Sotapanna dan terkukuhkan sebagai siswa awam sampai akhir hayat mereka. Kemudian, Sang Bhagava bermaksud menyebarkan Dhamma kepada semua makhluk di alam semesta, tanpa memandang apakah mereka adalah dewa ataupun manusia, tanpa memandang apakah mereka berkasta tinggi, rendah, atau paria; tanpa memandang apakah mereka raja ataupun pelayan, kaya ataupun miskin, cantik ataupun buruk, sehat ataupun sakit, patuh ataupun tidak patuh pada hukum.

Kemudian Sang Bhagava berkata kepada keenam puluh bhikkhu Arahant tersebut: “Para Bhikkhu, Saya telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Kalian juga telah terbebas dan semua ikatan yang mengikat makhluk hidup, baik para dewa maupun manusia. Pergilah, para Bhikkhu, demi kesejahteraan dan kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar welas asih kepada dunia, demi kebaikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan para dewa dan manusia (caratha, bhikkhave, carikam bahujanahitaya bahujanasukhaya lokanukampaya atthtaya hitaya sukhaya devamanussanam). Janganlah pergi berdua dalam satu jalan! Para Bhikkhu, babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya, dalam makna maupun isinya. Serukanlah hidup suci, yang sungguh sempurna dan murni. Ada makhluk dengan sedikit debu di mata yang akan tersesat karena tidak mendengarkan Dhamma. Ada mereka yang mampu memahami Dhamma. Para Bhikkhu, Saya sendiri akan pergi ke Uruvela di Senanigama untuk membabarkan Dhamma.”

Demikianlah, Yang Terberkahi mengutus keenam puluh siswa¬Nya yang telah tercerahkan untuk mengembara dan satu tempat ke tempat lain. Ini menandakan karya misionari pertama dalam sejarah umat manusia. Mereka menyebarluaskan Dhamma yang luhur atas dasar welas asih terhadap makhluk lain dan tanpa mengharapkan pamrih apa pun. Mereka membahagiakan orang dengan mengajarkan moralitas, memberikan bimbingan meditasi, dan menunjukkan manfaat hidup suci.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 27 October 2011, 10:51:44 AM
oh iya, ceritanya om kainyn sepertinya saya juga pernah baca, tapi tidak terlalu menagkap maksudnya.  ;D
saya jadi ingat, bagaimana kalo misalnya ada upacara rumah baru om kainyn, terus waktu itu para bhikkhu dan umat diundang untuk melakukan puja bakti di rumah yang dimaksud, kemudian setelahnya ada jamuan makan siang, apakah para bhikkhu tidak boleh menerima dana makanan yang dipersembahkan oleh yang punya rumah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 October 2011, 11:07:04 AM
oh iya, ceritanya om kainyn sepertinya saya juga pernah baca, tapi tidak terlalu menagkap maksudnya.  ;D
saya jadi ingat, bagaimana kalo misalnya ada upacara rumah baru om kainyn, terus waktu itu para bhikkhu dan umat diundang untuk melakukan puja bakti di rumah yang dimaksud, kemudian setelahnya ada jamuan makan siang, apakah para bhikkhu tidak boleh menerima dana makanan yang dipersembahkan oleh yang punya rumah?
Saya pikir kalau secara umum seperti itu, tidak terlalu masalah. Kadang di vihara, si bhikkhu juga belum tentu tau apakah makanan yang diberikan itu adalah karena dana, atau karena 'sogokan' untuk berceramah yang bagus. Tapi terlepas dari itu, tidak apa untuk dimakan. Menurut saya yang perlu diperhatikan adalah pandangan benar dari masing2 pribadi, termasuk bhikkhu & pendana, di mana melihat layanan bhikkhu tidak dilakukan untuk dapat imbalan 'dana', juga sebaliknya 'dana' bukan ditujukan untuk membayar pelayanan si bhikkhu terhadap umat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 27 October 2011, 11:24:15 AM
Saya pikir kalau secara umum seperti itu, tidak terlalu masalah. Kadang di vihara, si bhikkhu juga belum tentu tau apakah makanan yang diberikan itu adalah karena dana, atau karena 'sogokan' untuk berceramah yang bagus. Tapi terlepas dari itu, tidak apa untuk dimakan. Menurut saya yang perlu diperhatikan adalah pandangan benar dari masing2 pribadi, termasuk bhikkhu & pendana, di mana melihat layanan bhikkhu tidak dilakukan untuk dapat imbalan 'dana', juga sebaliknya 'dana' bukan ditujukan untuk membayar pelayanan si bhikkhu terhadap umat.

lebih ke pikiran masing2 pada saat berbuat ya om?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 October 2011, 01:52:07 PM
lebih ke pikiran masing2 pada saat berbuat ya om?
Iya. Kalo di kasus Sundarika, Buddha 'kan memang punya kemampuan memahami pikiran orang lain, jadi bisa lebih detail dalam memilih melakukan apa yang sesuai/tidak. Kalau untuk bhikkhu biasa yang tidak punya kemampuan itu, saya pikir tidak masalah untuk bersikap wajar saja, tidak menspekulasikan pikiran orang lain terlalu jauh, tapi meninjaunya lebih ke arah bathin sendiri saja. Ketika menerima dana, dia pahami ini adalah pemberian dana, bukan ongkos dari pelayanannya. Ketika memberikan pelayanan, dia juga pahami bahwa ini adalah bagian dari pengabdian pada masyarakat bukan profesi demi dapat imbalan. 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 28 October 2011, 10:16:19 AM
bagaimana dengan yang ada dalam sigalovada sutta om?

Ada lima cara seorang anggota keluarga harus memperlakukan para samana dan brahmana sebagai arah atas:
1.   Dengan perbuatan yang ramah tamah;
2.   Dengan ucapan yang ramah tamah;
3.   Dengan pikiran yang bersih;
4.   Membuka pintu bagi mereka;
5.   Memberikan mereka keperluan hidup.

Diperlakukan demikian sebagai arah atas, para samana (petapa) dan brahmana memperlakukan para anggota keluarga itu dalam enam cara:
1.   Mereka mencegah anggota keluarga melakukan kejahatan;
2.   Mereka menganjurkan ia berbuat kebaikan;
3.   Pikiran mereka selalu terjaga terhadapnya;
4.   Mereka ajarkan apa yang belum pernah ia dengar;
5.   Mereka memperjelas apa yang telah ia dengar;
6.   Mereka menunjukkan jalan kehidupan ke surga.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 October 2011, 11:03:25 AM
bagaimana dengan yang ada dalam sigalovada sutta om?

Ada lima cara seorang anggota keluarga harus memperlakukan para samana dan brahmana sebagai arah atas:
1.   Dengan perbuatan yang ramah tamah;
2.   Dengan ucapan yang ramah tamah;
3.   Dengan pikiran yang bersih;
4.   Membuka pintu bagi mereka;
5.   Memberikan mereka keperluan hidup.

Diperlakukan demikian sebagai arah atas, para samana (petapa) dan brahmana memperlakukan para anggota keluarga itu dalam enam cara:
1.   Mereka mencegah anggota keluarga melakukan kejahatan;
2.   Mereka menganjurkan ia berbuat kebaikan;
3.   Pikiran mereka selalu terjaga terhadapnya;
4.   Mereka ajarkan apa yang belum pernah ia dengar;
5.   Mereka memperjelas apa yang telah ia dengar;
6.   Mereka menunjukkan jalan kehidupan ke surga.
Ya, memang sikap tersebut adalah interaksi yang dianjurkan bagi seorang guru spiritual dan umatnya.
Tapi hal tersebut TIDAK dilakukan demi mengharapkan/membayar pelayanan dari pihak lain, namun sebagai kewajiban pribadi bagi si guru dan murid sendiri. 

Jadi seorang samana tidak mengajarkan dhamma untuk memperoleh dana atau karena dia menerima dana, namun ia mengajarkan dhamma karena pengabdiannya sebagai seorang guru. Murid juga tidak membuka pintu bagi para petapa untuk menuntut pengajaran dhamma atau membayar pengajaran dhamma yang diterimanya, namun sebagai bentuk pengabdian seorang murid kepada gurunya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 28 October 2011, 12:54:02 PM
bagaimana dengan yang ada dalam sigalovada sutta om?

Ada lima cara seorang anggota keluarga harus memperlakukan para samana dan brahmana sebagai arah atas:
1.   Dengan perbuatan yang ramah tamah;
2.   Dengan ucapan yang ramah tamah;
3.   Dengan pikiran yang bersih;
4.   Membuka pintu bagi mereka;
5.   Memberikan mereka keperluan hidup.

Diperlakukan demikian sebagai arah atas, para samana (petapa) dan brahmana memperlakukan para anggota keluarga itu dalam enam cara:
1.   Mereka mencegah anggota keluarga melakukan kejahatan;
2.   Mereka menganjurkan ia berbuat kebaikan;
3.   Pikiran mereka selalu terjaga terhadapnya;
4.   Mereka ajarkan apa yang belum pernah ia dengar;
5.   Mereka memperjelas apa yang telah ia dengar;
6.   Mereka menunjukkan jalan kehidupan ke surga.
Apa sikap diatas  berlaku bagi samana "bergitar"?

Di zaman sekarang ini banyak bikkhu yg melakukan perbuatan yg melanggar vinaya,nah,sebagai umat yg paham sutta-vinaya bagaimana menyikapinya?

**kemaren aye baru liat bhikku yg mengunakan kamera DSLR,dahsyat nya kamera tersebut digunakan di dhammasala pada posisi berdhammadesana.. :hammer:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: mettama on 28 October 2011, 01:10:45 PM
 _/\_ ;DTAnya lg om, BAgaimana jika pada saat pindapata atau kita berdana tapi ditolak oleh bhikku, jika si pemberi sedih karena tidak diterima  apakah dua-duanya mendptkan dampak karma buruk jg, ada kejadian tp bukan terjadi pada calon bhikku disebut apaja ya kalau gak salah, contoh nya ada 2 orang memegang dua jenis jeruk warna hijau jeruk lokal dan warna kuning jeruk import, pada calon bhikku nya sudah berdiri di dpn kita yang memegang jeruk hijau dan bermaksud memberi tp ditolak,sedangkan yang berwarna kuning diterima, kalau dilaht itu akan menimbulkan kesedihan terhadap jeruk lokal tsb. Menurut om gimana?apakh dua2nya bersalah?
Tambahan lagi kalau dilihat cerita didalam buku, banthe akan memberikan darm jia mereka sudah mencapai arahat?dan kalau jaman sekarang susah mengetahu dia sudAh arahat atau bukan dan sudahboleh  mengajar atau ceranah gimana tuh?apakah sebelum arahat kebijaksanaan selalu ada boleh dipegang ?makasih ;D _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 October 2011, 09:43:05 AM
Apa sikap diatas  berlaku bagi samana "bergitar"?
Mana ada 'samana bergitar'? Kalau bergitar, berarti bukan samana. Kalau samana, berarti tidak bergitar.

Quote
Di zaman sekarang ini banyak bikkhu yg melakukan perbuatan yg melanggar vinaya,nah,sebagai umat yg paham sutta-vinaya bagaimana menyikapinya?
Kalau memang berkesempatan, bisa coba langsung diskusi ke bhikkhu bersangkutan tentang vinaya tersebut. Kalau memang tetap dilakukan, ya itu pilihan masing-masing personal.

Quote
**kemaren aye baru liat bhikku yg mengunakan kamera DSLR,dahsyat nya kamera tersebut digunakan di dhammasala pada posisi berdhammadesana.. :hammer:
Memang dari dulu jaman Buddha saja sudah ada bhikkhu-bhikkhu yang tidak jelas, apalagi sekarang di mana Buddha sebagai 'perlindungan' sudah tidak ada. Jadi kalau menurut saya, disadari dan dimaklumi saja. Kalau bisa diubah, boleh diusahakan, kalau tidak bisa, jangan sampai mengembangkan kebencian.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 October 2011, 10:06:59 AM
_/\_ ;DTAnya lg om, BAgaimana jika pada saat pindapata atau kita berdana tapi ditolak oleh bhikku, jika si pemberi sedih karena tidak diterima  apakah dua-duanya mendptkan dampak karma buruk jg, ada kejadian tp bukan terjadi pada calon bhikku disebut apaja ya kalau gak salah, contoh nya ada 2 orang memegang dua jenis jeruk warna hijau jeruk lokal dan warna kuning jeruk import, pada calon bhikku nya sudah berdiri di dpn kita yang memegang jeruk hijau dan bermaksud memberi tp ditolak,sedangkan yang berwarna kuning diterima, kalau dilaht itu akan menimbulkan kesedihan terhadap jeruk lokal tsb. Menurut om gimana?apakh dua2nya bersalah?
Saya coba bahas dari 2 sudut pandang: kamma & vinaya.
Kalau dari sudut pandang kamma, jika kita tidak mendapatkan kesempatan berdana, maka berarti belum ada kamma baik yang berbuah. Tapi bila kita bersedih karena hal tersebut, itu adalah buah kamma buruk karena kemelekatan kita pada keinginan untuk berdana.

Kalau dari sudut pandang vinaya, setahu saya bhikkhu TIDAK pilih-pilih makanan. Mereka akan makan makanan apapun yang masuk ke patta-nya, selama memang bisa dimakan. Kejadian penolakan itu kita tidak tahu mengapa si calon bhikkhu menolaknya. Mungkin harus ditanyakan dulu alasannya.


Quote
Tambahan lagi kalau dilihat cerita didalam buku, banthe akan memberikan darm jia mereka sudah mencapai arahat?dan kalau jaman sekarang susah mengetahu dia sudAh arahat atau bukan dan sudahboleh  mengajar atau ceranah gimana tuh?apakah sebelum arahat kebijaksanaan selalu ada boleh dipegang ?makasih ;D _/\_
Bukan berarti bhante harus Arahat dulu sebelum memberikan ceramah dhamma, tapi maksudnya adalah bahwa tujuan utama dari kehidupan kebhikkhuan adalah mencapai kesucian (mengakhiri kelahiran kembali), bukan menjadi penceramah dhamma. Itu dari sisi bhikkhu.

Kalau dari sisi umat, kita juga hendaknya belajar dari siapapun tanpa memandang siapa yang memberikan pelajaran tersebut. Kadang bhikkhu yang kita puja-puja juga ternyata bisa keliru dan sebaliknya orang yang tidak kita kenal pun juga bisa memberikan input yang bermanfaat. Jadi kalau menurut saya, lebih baik kita objektif menyelidiki apa yang diajarkan ketimbang percaya/menolak berdasarkan reputasi pengajar.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 29 October 2011, 10:19:54 AM
_/\_ ;DTAnya lg om, BAgaimana jika pada saat pindapata atau kita berdana tapi ditolak oleh bhikku, jika si pemberi sedih karena tidak diterima  apakah dua-duanya mendptkan dampak karma buruk jg, ada kejadian tp bukan terjadi pada calon bhikku disebut apaja ya kalau gak salah, contoh nya ada 2 orang memegang dua jenis jeruk warna hijau jeruk lokal dan warna kuning jeruk import, pada calon bhikku nya sudah berdiri di dpn kita yang memegang jeruk hijau dan bermaksud memberi tp ditolak,sedangkan yang berwarna kuning diterima, kalau dilaht itu akan menimbulkan kesedihan terhadap jeruk lokal tsb. Menurut om gimana?apakh dua2nya bersalah?


ini ceritanya tidak lengkap, apakah ke2 orang yg berdana jeruk beda warna dan beda kewarganegaraan itu berjenis kelamin sama? karena ada bhikkhu yg memegang aturan tidak menerima langsung dari perempuan. kalau ke2nya laki2, bagaimana cara bhikkhu itu menolaknya? karena dalam pindapatta, umat kan hanya nyemplungin makanan ke dalam patta, jadi kalau bhikkhu itu menolak, maka ia harus mengambil dari pattanya dan me-retur atau membuangnya yg sepertinya tidak mungkin ia lakukan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 October 2011, 11:06:57 AM
ini ceritanya tidak lengkap, apakah ke2 orang yg berdana jeruk beda warna dan beda kewarganegaraan itu berjenis kelamin sama? karena ada bhikkhu yg memegang aturan tidak menerima langsung dari perempuan. kalau ke2nya laki2, bagaimana cara bhikkhu itu menolaknya? karena dalam pindapatta, umat kan hanya nyemplungin makanan ke dalam patta, jadi kalau bhikkhu itu menolak, maka ia harus mengambil dari pattanya dan me-retur atau membuangnya yg sepertinya tidak mungkin ia lakukan.

Bisa juga tidak membuka pattanya ketika orang itu mau berdana, yang berarti menolak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 29 October 2011, 11:14:10 AM
Bisa juga tidak membuka pattanya ketika orang itu mau berdana, yang berarti menolak.

tidak membuka bisa saja karena si umat tidak menunjukkan isyarat mau berdana, jadi si bhikkhu pikir orang itu cuma petugas keamanan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 October 2011, 11:33:32 AM
tidak membuka bisa saja karena si umat tidak menunjukkan isyarat mau berdana, jadi si bhikkhu pikir orang itu cuma petugas keamanan
Petugas keamanan buat apa bawa jeruk? ;D Buat sambit maling?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 29 October 2011, 11:34:42 AM
Petugas keamanan buat apa bawa jeruk? ;D Buat sambit maling?

itu juga menjadi pertanyaan, jeruknya ditarok di mana? apakah diumpetin di kantong? atau diacung2kan dengan gaya "tolak peluru", atau bagaimana?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 October 2011, 11:44:01 AM
itu juga menjadi pertanyaan, jeruknya ditarok di mana? apakah diumpetin di kantong? atau diacung2kan dengan gaya "tolak peluru", atau bagaimana?
Apa mungkin juga di-juggle seperti lagi sirkus, atau mungkin ditendang seperti latihan sepak takraw? ;D
Kenapa jauh2 sekali sih imajinasinya? Kita anggap saja keadaan yang beri jeruk impor = yang beri jeruk lokal, tapi yang lokal tidak diterima. (Kecuali ada keterangan lain.)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 29 October 2011, 11:58:33 AM
:hammer: om indra sama om kain malah main lawak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 29 October 2011, 01:44:48 PM
Apa mungkin juga di-juggle seperti lagi sirkus, atau mungkin ditendang seperti latihan sepak takraw? ;D
Kenapa jauh2 sekali sih imajinasinya? Kita anggap saja keadaan yang beri jeruk impor = yang beri jeruk lokal, tapi yang lokal tidak diterima. (Kecuali ada keterangan lain.)



soalnya, "tidak diterima" ini sepertinya hanyalah kesalah-pahaman, yg satu merasa tidak diberi, yg lain merasa ditolak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 October 2011, 01:51:16 PM
:hammer: om indra sama om kain malah main lawak.
;D Di sini 'kan jurnal pribadi, jadi jenis obrolan apapun juga sah-sah saja. Kalau bukan tentang Buddha-dhamma, yang penting bermanfaat dan menambah wawasan. Kalaupun tidak ada manfaat tertentu, paling tidak harus menghibur, santai, dan tidak berhubungan dengan ucapan-ucapan jahat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 October 2011, 01:52:34 PM
soalnya, "tidak diterima" ini sepertinya hanyalah kesalah-pahaman, yg satu merasa tidak diberi, yg lain merasa ditolak.
Iya, memang bisa jadi juga sih. Tapi kalau tidak ada di TKP pada saat kejadian, susah menilainya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 01 November 2011, 11:16:12 AM
bro kai yang baik,

mau tau pendapat bro, tentang kekerasan dan penyelesaian masalah.

begini apakah anda setuju kekerasan dalam batas dan kondisi tertentu dapat dibenarkan untuk menyelesaikan suatu masalah. dan dapat dikatakan sebagai tindakan tepat.
misal contoh kecil, seorang polisi dengan kekerasan meringkus seorang perampok, bahkan mungkin dalam kasus tertentu polisi tersebut yang disengaja atau tidak telah membunuh seorang perampok. (kita kondisikan saja bahwa si polisi tidak ada pilihan lain selain menarik pelatuk senjatanya)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 November 2011, 11:48:48 AM
bro kai yang baik,

mau tau pendapat bro, tentang kekerasan dan penyelesaian masalah.

begini apakah anda setuju kekerasan dalam batas dan kondisi tertentu dapat dibenarkan untuk menyelesaikan suatu masalah. dan dapat dikatakan sebagai tindakan tepat.
misal contoh kecil, seorang polisi dengan kekerasan meringkus seorang perampok, bahkan mungkin dalam kasus tertentu polisi tersebut yang disengaja atau tidak telah membunuh seorang perampok. (kita kondisikan saja bahwa si polisi tidak ada pilihan lain selain menarik pelatuk senjatanya)
Dalam keadaan ideal, kekerasan adalah tidak perlu terjadi, apapun bentuknya. Namun masalahnya, keadaan ideal itu susah sekali ditemukan, jadi kadangkala, dalam batasan tertentu, penggunaan kekerasan ini malah menjadi solusi yang terbaik. Tapi kadang juga, karena kita terkondisi oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin, maka sulit untuk menilai apa yang terbaik. Belum cari solusi lain, langsung pilih kekerasan, atau karena tidak mengendalikan diri, dikuasai kebencian, langsung menggunakan kekerasan.

Jadi kalau menurut saya, prinsip 'tanpa kekerasan' seharusnya dijadikan tolok ukur utama. Jika keadaan itu tidak bisa dicapai, maka lakukanlah 'secukupnya', penuh pertimbangan, dan jangan menikmatinya (karena benci).

Meskipun demikian, ada juga orang yang menjalani tekad tertentu, misalnya petapa yang berada dalam 'kediaman Brahma' sehingga tidak mampu melakukan kekerasan; atau misalnya seorang bodhisatta yang memang menyempurnakan parami tertentu sehingga memberikan bahkan nyawanya bila perlu, demi menghindari kekerasan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 01 November 2011, 01:58:47 PM
Dalam keadaan ideal, kekerasan adalah tidak perlu terjadi, apapun bentuknya. Namun masalahnya, keadaan ideal itu susah sekali ditemukan, jadi kadangkala, dalam batasan tertentu, penggunaan kekerasan ini malah menjadi solusi yang terbaik. Tapi kadang juga, karena kita terkondisi oleh keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin, maka sulit untuk menilai apa yang terbaik. Belum cari solusi lain, langsung pilih kekerasan, atau karena tidak mengendalikan diri, dikuasai kebencian, langsung menggunakan kekerasan.

Jadi kalau menurut saya, prinsip 'tanpa kekerasan' seharusnya dijadikan tolok ukur utama. Jika keadaan itu tidak bisa dicapai, maka lakukanlah 'secukupnya', penuh pertimbangan, dan jangan menikmatinya (karena benci).

Meskipun demikian, ada juga orang yang menjalani tekad tertentu, misalnya petapa yang berada dalam 'kediaman Brahma' sehingga tidak mampu melakukan kekerasan; atau misalnya seorang bodhisatta yang memang menyempurnakan parami tertentu sehingga memberikan bahkan nyawanya bila perlu, demi menghindari kekerasan.

sederhananya atau intinya dalam batasan tertentu dan dalam kondisi tertentu dan subjek tertentu ada yang disebut (dan setuju) kekerasan adalah jalan terbaik. jadi bukan sekedar pemahaman baku semua kekerasan adalah salah tanpa kompromi.

begitu bukan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 November 2011, 02:41:21 PM
sederhananya atau intinya dalam batasan tertentu dan dalam kondisi tertentu dan subjek tertentu ada yang disebut (dan setuju) kekerasan adalah jalan terbaik. jadi bukan sekedar pemahaman baku semua kekerasan adalah salah tanpa kompromi.

begitu bukan?
Kalau kita bicara dalam hal dhamma, maka bukan masalah benar atau salah. Bagaimanapun juga, dalam batasan dan kondisi apapun juga, kekerasan yang kita lakukan TETAP akan membuahkan kamma. Bilamana memang kita siap untuk menerima 'tanggung-jawab' tersebut, maka silahkan lakukan, jika kita anggap yang terbaik. Tidak ada jalan baku yang berlaku bagi semua orang dalam hal ini.

Saya beri contoh kasar saja, seandainya seorang yang kuat sedang diancam akan dipukuli.
1. Karena dia terikat oleh aturan, maka dia tidak melawan. Karena dipukuli tersebut, hatinya dipenuhi dendam.
2. Karena dia kuat, maka dia melawan, meng-KO lawannya dan melarikan diri untuk mencari aman.

Jika sesaat setelah itu, dia meninggal, kira-kira yang lebih prospek ke alam menderita adalah 'pikiran tidak melawan tapi penuh dendam' atau 'pikiran melawan untuk mencari aman'?


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 01 November 2011, 02:52:09 PM
Kalau kita bicara dalam hal dhamma, maka bukan masalah benar atau salah. Bagaimanapun juga, dalam batasan dan kondisi apapun juga, kekerasan yang kita lakukan TETAP akan membuahkan kamma. Bilamana memang kita siap untuk menerima 'tanggung-jawab' tersebut, maka silahkan lakukan, jika kita anggap yang terbaik. Tidak ada jalan baku yang berlaku bagi semua orang dalam hal ini.

Saya beri contoh kasar saja, seandainya seorang yang kuat sedang diancam akan dipukuli.
1. Karena dia terikat oleh aturan, maka dia tidak melawan. Karena dipukuli tersebut, hatinya dipenuhi dendam.
2. Karena dia kuat, maka dia melawan, meng-KO lawannya dan melarikan diri untuk mencari aman.

Jika sesaat setelah itu, dia meninggal, kira-kira yang lebih prospek ke alam menderita adalah 'pikiran tidak melawan tapi penuh dendam' atau 'pikiran melawan untuk mencari aman'?

errr.. begini, untuk kali ini saja saya mohon anda tidak membahasnya dalam konteks dhamma sang buddha.
kita bahas secara logika saja, dan norma umum dalam masyarakat luas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 November 2011, 03:06:21 PM
errr.. begini, untuk kali ini saja saya mohon anda tidak membahasnya dalam konteks dhamma sang buddha.
kita bahas secara logika saja, dan norma umum dalam masyarakat luas.
Jika kita mengabaikan Ajaran Buddha dalam kasus ini, termasuk hukum kamma, maka tentunya yang menjadi prioritas adalah mempertahankan nilai yang paling berharga dalam hidup ini, termasuk kehidupan itu sendiri. Kembali ke kasus awal, jika memang pengabdiannya dalam hidup (sebagai polisi) adalah tegaknya hukum, maka nilai tersebutlah yang diutamakan, walaupun harus melalui kekerasan.

Jadi, ya, jika kita mengabaikan Ajaran Buddha dalam kasusnya, maka dengan pertimbangan duniawi yang logis, kekerasan kadang kala adalah pilihan terbaik satu-satunya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 01 November 2011, 03:20:17 PM
Apakah Sang Buddha mengajarkan tentang non-dualisme ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 November 2011, 03:23:19 PM
Apakah Sang Buddha mengajarkan tentang non-dualisme ?
Non-dualisme ini maksudnya bagaimana, dari sudut pandang bagaimana?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 01 November 2011, 03:23:35 PM
Jika kita mengabaikan Ajaran Buddha dalam kasus ini, termasuk hukum kamma, maka tentunya yang menjadi prioritas adalah mempertahankan nilai yang paling berharga dalam hidup ini, termasuk kehidupan itu sendiri. Kembali ke kasus awal, jika memang pengabdiannya dalam hidup (sebagai polisi) adalah tegaknya hukum, maka nilai tersebutlah yang diutamakan, walaupun harus melalui kekerasan.

Jadi, ya, jika kita mengabaikan Ajaran Buddha dalam kasusnya, maka dengan pertimbangan duniawi yang logis, kekerasan kadang kala adalah pilihan terbaik satu-satunya.

terima kasih.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 01 November 2011, 03:49:11 PM
Non-dualisme ini maksudnya bagaimana, dari sudut pandang bagaimana?

Seperti yang di advaita vedanta  ;D

Saya juga kurang paham tentang non-dualisme, hanya pernah baca di suatu forum yang mendiskusikan tentang anicca, dukkha, anatta -> Shunyata -> non-dualisme...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 November 2011, 04:30:28 PM
Seperti yang di advaita vedanta  ;D

Saya juga kurang paham tentang non-dualisme, hanya pernah baca di suatu forum yang mendiskusikan tentang anicca, dukkha, anatta -> Shunyata -> non-dualisme...
Kalau saya pribadi, tidak menganut hal seperti di advaita vedanta, dan melihat Suññatā secara berbeda. Apapun yang dipersepsi oleh pikiran, baik itu gagasan dualisme maupun non-dualisme, adalah berkondisi dari landasan kesadaran dan indera. Ketika penopang dari kondisi tersebut tidak ada, maka apakah ada, tidak ada, sebagian, menyeluruh, hampa, isi, semua gagasan itu tidak lagi timbul.

Sedangkan Suññatā, saya memahaminya begini: objek pikiran apapun (termasuk objek dalam jhana), ketika muncul, jika objek tersebut adalah 'menyenangkan', maka pikiran berdiam di sana dalam damai. Para mulia memahami bahwa kedamaian tersebut juga adalah hal yang berkondisi oleh khanda. Maka ketika pikirannya tidak lagi melekati apapun, bahkan persepsi yang paling halus (arupa jhana bukan persepsi, bukan non-persepsi), ia dikatakan berada dalam kekosongan (Suññatā) tersebut. Di situlah ada kebahagiaan yang tak terkondisi oleh khanda dan merupakan akhir dari dukkha.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 01 November 2011, 04:35:10 PM
Kalau saya pribadi, tidak menganut hal seperti di advaita vedanta, dan melihat Suññatā secara berbeda. Apapun yang dipersepsi oleh pikiran, baik itu gagasan dualisme maupun non-dualisme, adalah berkondisi dari landasan kesadaran dan indera. Ketika penopang dari kondisi tersebut tidak ada, maka apakah ada, tidak ada, sebagian, menyeluruh, hampa, isi, semua gagasan itu tidak lagi timbul.

Penopang disini maksudnya adalah pemuasan indera ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 November 2011, 04:51:37 PM
Penopang disini maksudnya adalah pemuasan indera ?
Bukan pemuasan indera, tapi khanda yang memungkinkan proses itu terjadi.
Saya ambil contoh sederhana, misalnya kita melihat gagasan warna merah, apakah ada/tidak, apakah termasuk/terpisah (dari spektrum), dan lain sebagainya. Bagaimanapun kita melihat gagasan itu, adalah terkondisi oleh persepsi indera mata dengan objek, serta pikiran dengan bentukan pikiran (yang timbul dari ditangkapnya persepsi oleh kesadaran mata). Ketika tidak ada kesadaran mata, maka gagasan pikiran mengenai persepsi warna tersebut, apakah dari sudut pandang dualisme maupun non-dualisme, tidak lagi ada.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 01 November 2011, 04:57:47 PM
Kalau saya pribadi, tidak menganut hal seperti di advaita vedanta, dan melihat Suññatā secara berbeda. Apapun yang dipersepsi oleh pikiran, baik itu gagasan dualisme maupun non-dualisme, adalah berkondisi dari landasan kesadaran dan indera. Ketika penopang dari kondisi tersebut tidak ada, maka apakah ada, tidak ada, sebagian, menyeluruh, hampa, isi, semua gagasan itu tidak lagi timbul.

Sedangkan Suññatā, saya memahaminya begini: objek pikiran apapun (termasuk objek dalam jhana), ketika muncul, jika objek tersebut adalah 'menyenangkan', maka pikiran berdiam di sana dalam damai. Para mulia memahami bahwa kedamaian tersebut juga adalah hal yang berkondisi oleh khanda. Maka ketika pikirannya tidak lagi melekati apapun, bahkan persepsi yang paling halus (arupa jhana bukan persepsi, bukan non-persepsi), ia dikatakan berada dalam kekosongan (Suññatā) tersebut. Di situlah ada kebahagiaan yang tak terkondisi oleh khanda dan merupakan akhir dari dukkha.

Yang di paragraf 1 itu menjelaskan tentang apa ya ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 November 2011, 05:34:14 PM
Yang di paragraf 1 itu menjelaskan tentang apa ya ?
Yang di paragraf 1 itu saya menjelaskan bahwa 'dualisme' dan 'non-dualisme', keduanya adalah dalam ranah gagasan, berkutat pada 'ada/tidak ada/ada dan tidak ada/bukan ada, bukan tidak ada', ditopang oleh khanda, terkondisi oleh khanda, dan bukanlah berkenaan dengan Suññatā.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 10 November 2011, 03:24:50 PM
"People must begin with a strong solid self in order to move to the next developmental step of seeing it as an illusion"

atau bahasa lainnya

you have to be somebody before you can be nobody.”


^
Bagaimana ide di atas menurut bro kainyn ?  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 November 2011, 05:41:36 PM
"People must begin with a strong solid self in order to move to the next developmental step of seeing it as an illusion"

atau bahasa lainnya

you have to be somebody before you can be nobody.”


^
Bagaimana ide di atas menurut bro kainyn ?  ;D
Dalam konteks 'anatta', kalau dibilang 'must' atau 'have to', saya tidak setuju. Do you have to strongly believe in Santa Claus before you see it as an illusion?

Setiap orang punya ilusinya sendiri tentang diri, dan secara berbeda pula ilusi itu membentuk pola pikirnya. Misalnya bagi orang yang banyak terkondisi oleh interaksi sosialnya, menjadi figur publik yang berbaur dalam keragaman pribadi, maka adalah perlu untuk menetapkan suatu 'persona' yang solid dan memberikan impresi kuat. Keadaan ini akan merangsang 'kehausan' akan kualitas unik yang (kalau bisa) superior sehingga keberadaannya dalam masyarakat menjadi kokoh, berbeda dengan yang lain.

Tapi bagi orang yang tidak terkondisi seperti itu, menjadi orang biasa (ordinary people), mungkin sudah cukup. Tidak ada dorongan kuat untuk meneguhkan satu 'persona' yang solid, hanya menjalani hidup seadanya saja secara sederhana. 

Dari kedua itu, apakah bisa dibilang yang pertama lebih 'terilusi' oleh pandangan diri? Menurut saya, belum tentu. Pandangan 'diri' itu bisa 'menjelma' ke dalam hal-hal kasar seperti di contoh pertama, atau contoh sehari-hari di mana orang pakai '84H454 4L4y' hanya agar tampil beda; juga bisa dalam hal-hal yang sangat halus, seperti misalnya kemelekatan (bukan kecocokan) pada objek meditasi yang disenanginya.

Cara 'mengukuhkan diri sebelum menuju tahap selanjutnya' itu menurut saya, adalah seperti meng-kasar-kan apa yang halus, agar terlihat jelas, namun tergantung kasusnya, itu belum tentu membantu. Ketika dikasarkan, maka kita memang lebih mudah untuk melihatnya. Namun dengan melihat yang kasar, belum tentu otomatis kita bisa melihat yang halus. Jadi menurut saya, 'you do not have to be somebody before you can be nobody; in fact, you do not have to be nobody. You just have to see "you" just as they are, be it "somebody" or "nobody".'

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 11 November 2011, 09:04:49 AM
juga bisa dalam hal-hal yang sangat halus, seperti misalnya kemelekatan (bukan kecocokan) pada objek meditasi yang disenanginya.

Kalau misalnya seseorang stick dengan satu metode meditasi sampai jangka waktu yang agak lama sebelum pindah ke metode lain, apakah ini bisa dibilang kemelekatan yang halus ?

Trus misalnya seseorang sedang gundah gulana trus dia bermeditasi untuk menenangkan perasaannya itu, apakah bisa dibilang ini adalah pelarian ? Yah, mungkin yang sering membaca materi tentang meditasi, rata-rata tau bahwa kontemplasi seharusnya dilakukan pada setiap jengkal akktivitas yang berarti kewaspadaan harus dijaga setiap saat. Namun, pada umat awam dan perumah tangga hal ini tentu sulit untuk dilakukan sehingga pastinya kewaspadaan selalu naik turun. Pada waktu mengalami suatu perasaan yang tidak mengenakkan, mereka cenderung melakukan meditasi untuk meredakannya. Pada taraf ini, meditasi mungkin terlihat sebagai pelarian dan bukan lagi pengamatan yang berkesinambungan.  :-?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 November 2011, 09:32:02 AM
interupsi, sekedar menyelingi dengan informasi yg mungkin penting,

kemelekatan yg harus dijauhi menurut ajaran Sang Buddha adalah:

"Ananda, terdapat lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … Bau-bauan yang dikenali oleh hidung … Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … Obyek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Ini adalah lima utas kenikmatan indria: ini disebut kenikmatan indria."

perhatikan: hanya lima utas, apakah kemelekatan pada meditasi termasuk dalam lima utas ini?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 11 November 2011, 09:34:03 AM
interupsi, sekedar menyelingi dengan informasi yg mungkin penting,

kemelekatan yg harus dijauhi menurut ajaran Sang Buddha adalah:

"Ananda, terdapat lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … Bau-bauan yang dikenali oleh hidung … Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … Obyek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Ini adalah lima utas kenikmatan indria: ini disebut kenikmatan indria."

perhatikan: hanya lima utas, apakah kemelekatan pada meditasi termasuk dalam lima utas ini?

Itu kan indria bro indra, kalo yang khanda gimana ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 November 2011, 09:38:44 AM
Itu kan indria bro indra, kalo yang khanda gimana ?

kemelekatan khanda juga objeknya pada lima utas yg sama ini kan? jasmani tunduk pada kenikmatan lima utas ini, perasaan tunduk pada lima utas ini, ...dst
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 November 2011, 10:15:23 AM
Kalau misalnya seseorang stick dengan satu metode meditasi sampai jangka waktu yang agak lama sebelum pindah ke metode lain, apakah ini bisa dibilang kemelekatan yang halus ?
Ini hanya bisa dijawab oleh orang tersebut dengan menyelidiki bathinnya.
Kalau menurut saya, belum tentu. Seseorang berkutat dengan satu metode bisa karena memang cocok dengan kecenderungannya, bisa juga karena tekadnya untuk belajar di situ, bisa juga karena mengikuti instruksi guru, dan bisa juga kemelekatan halus pada objek meditasi, yang berakar pada identifikasi interaksi 'objek' dan 'aku'.
Kendatipun demikian, menurut saya tidak perlu ditolak, tapi disadari, dan teruskan saja latihannya, karena lebih baik 'melekat' pada meditasi daripada pemuasan indriah.


Quote
Trus misalnya seseorang sedang gundah gulana trus dia bermeditasi untuk menenangkan perasaannya itu, apakah bisa dibilang ini adalah pelarian ? Yah, mungkin yang sering membaca materi tentang meditasi, rata-rata tau bahwa kontemplasi seharusnya dilakukan pada setiap jengkal akktivitas yang berarti kewaspadaan harus dijaga setiap saat. Namun, pada umat awam dan perumah tangga hal ini tentu sulit untuk dilakukan sehingga pastinya kewaspadaan selalu naik turun. Pada waktu mengalami suatu perasaan yang tidak mengenakkan, mereka cenderung melakukan meditasi untuk meredakannya. Pada taraf ini, meditasi mungkin terlihat sebagai pelarian dan bukan lagi pengamatan yang berkesinambungan.  :-?
Sebetulnya bagi saya tidak masalah itu disebut pelarian atau apa, tapi kalau ditinjau dari manfaatnya, itu tidak akan bermanfaat banyak. Bathin itu bukan sesuatu yang bisa dibentuk secara instant, tapi melalui proses panjang. Seperti juga misalnya kita melatih tubuh dan otot kita dalam hidup sehari-hari, maka ketika ada beban berat yang harus diangkat, tubuh kita sudah terlatih dan terbiasa. Kalau tidak pernah melatihnya, maka begitu ada beban berat, walaupun dengan metode kuda-kuda ini-itu, dengan hitungan tuas-pengungkit segala macam, tetap saja tidak ada daya untuk mengangkat.
Begitu juga meditasi yang menempa bathin, itu harus dilakukan berkesinambungan dan dalam jangka waktu panjang. Tidak bisa ketika ada masalah baru meditasi, mengharapkan bathin seimbang.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 November 2011, 10:21:37 AM
interupsi, sekedar menyelingi dengan informasi yg mungkin penting,

kemelekatan yg harus dijauhi menurut ajaran Sang Buddha adalah:

"Ananda, terdapat lima utas kenikmatan indria. Apakah lima ini? bentuk-bentuk yang dikenali oleh mata, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Suara-suara yang dikenali oleh telinga … Bau-bauan yang dikenali oleh hidung … Rasa kecapan yang dikenali oleh lidah … Obyek sentuhan yang dikenali oleh badan, yang disukai, indah, menyenangkan, nikmat, memikat indria, menggoda. Ini adalah lima utas kenikmatan indria: ini disebut kenikmatan indria."

perhatikan: hanya lima utas, apakah kemelekatan pada meditasi termasuk dalam lima utas ini?
Sepertinya disebutkan lima utas dalam konteks nafsu (kama). Menghindari lima ini, maka kita bisa 'maju' ke jhana.
Tapi kalau dalam konteks salayatana, kesenangan pada objek pikiran apa pun, bahkan kesadaran dalam jhana yang paling halus sekalipun, tetap adalah kemelekatan di mana 'pandangan diri' muncul dan berdiam di sana, maka tetap membelenggu seseorang pada kelahiran kembali.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 02 December 2011, 08:16:40 PM
 _/\_ om kainyn, mau tanya..
berbuat kammakah kita ketika sedang bermimpi??  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 December 2011, 11:11:04 AM
_/\_ om kainyn, mau tanya..
berbuat kammakah kita ketika sedang bermimpi??  ;D
Menurut saya, ya, kita juga menanam kamma. Tapi karena perbedaan kondisi kesadarannya, saya rasa 'kadar' menanamnya juga berbeda. Saya lihat bagaimanapun itu mirip dengan kita menonton film, ada gambaran2 dalam pikiran dan kita meresponnya, kadang dengan suka atau tidak suka. Mungkin hema sering lihat orang nonton sambil memaki 'bego amat sih!' atau 'nih orang jahat banget!'. Itu jelas sudah menanam kamma (pikiran). Serupa dalam mimpi juga kita melihat gambaran (hasil dari olahan memori kita yang campur aduk), dan kita bisa bereaksi dan meniatkan sesuatu, maka di situ ada kamma tertanam.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 04 December 2011, 01:57:26 PM
Menurut saya, ya, kita juga menanam kamma. Tapi karena perbedaan kondisi kesadarannya, saya rasa 'kadar' menanamnya juga berbeda. Saya lihat bagaimanapun itu mirip dengan kita menonton film, ada gambaran2 dalam pikiran dan kita meresponnya, kadang dengan suka atau tidak suka. Mungkin hema sering lihat orang nonton sambil memaki 'bego amat sih!' atau 'nih orang jahat banget!'. Itu jelas sudah menanam kamma (pikiran). Serupa dalam mimpi juga kita melihat gambaran (hasil dari olahan memori kita yang campur aduk), dan kita bisa bereaksi dan meniatkan sesuatu, maka di situ ada kamma tertanam.
iya om kainyn, selain pernah melihat saya juga mengalami sendiri.  ;D
iya, kadang memang kita bisa melakukan apa yang memang kita inginkan di dalam mimpi, tapi lebih banyak g bisanya, beda dengan dunia nyata.
tapi kadang mimpi itu muncul sebagai gambaran pengulangan dari kejadian yang pernah kita alami, walau tidak sepenuhnya mirip tapi kondisi di mimpi itu menyerupai dengan kejadian nyata yang pernah terjadi. tapi kadang rasanya kita g bisa apa2 begitu, seperti hanya menjalankan sesuai apa yang ditulis oleh sutradara.  ;D
apakah ketidakberdayaan kita dalam mimpi itu karena perhatian kita yang lemah atau yang kurang terlatih, om kainyn?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 December 2011, 10:28:09 AM
iya om kainyn, selain pernah melihat saya juga mengalami sendiri.  ;D
iya, kadang memang kita bisa melakukan apa yang memang kita inginkan di dalam mimpi, tapi lebih banyak g bisanya, beda dengan dunia nyata.
tapi kadang mimpi itu muncul sebagai gambaran pengulangan dari kejadian yang pernah kita alami, walau tidak sepenuhnya mirip tapi kondisi di mimpi itu menyerupai dengan kejadian nyata yang pernah terjadi. tapi kadang rasanya kita g bisa apa2 begitu, seperti hanya menjalankan sesuai apa yang ditulis oleh sutradara.  ;D
apakah ketidakberdayaan kita dalam mimpi itu karena perhatian kita yang lemah atau yang kurang terlatih, om kainyn?
Ketahuan nih, sering maki-maki orang di film yah?
Iya, kadang kalau kita terlalu menginginkan sesuatu yang belum kesampaian, bisa terjadi dalam mimpi. Lalu begitu bangun rasanya menyesal sekali. ;D Kalau kita membenci sesuatu juga bisa muncul dalam mimpi, jadi saya pikir sepertinnya apapun yang sering kita pikirkan, berpotensi jadi plot utama dalam cerita. Lalu latarnya, orang2nya itu adalah berdasarkan proses pengalaman yang acak, makanya background dan kejadiannyanya juga bisa kacau (seperti bhikkhu sholat di Gereja).

Memang di mimpi tiba-tiba sudah begitu saja terjadi. Tapi kalau pengalaman saya, kadang kita juga bisa usahakan, ga selalu harus ikut si sutradara. Hanya saja, sepertinya itu bukan soal sadar/tidak, tapi masalah ke-kepala-batu-an aja kali yah, jangan terlalu pasrah sama sutradara. ;D Saya belum paham tentang pikiran sejauh itu, tapi kalau spekulasi saya, jika perhatian kita kuat, cenderung pada menyadari itu adalah mimpi, dan biasanya terbangun tidak lama kemudian.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 05 December 2011, 03:04:23 PM
dalam pengalaman pribadi saya, malahan biasanya mimpi itu bisa muncul sesuai apa yang kita pikirkan...
sekalipun pikiran itu adalah pikiran yang tidak inginkan...
misalnya dalam mimpi kita, kita selalu berpikir "saya harap dia tidak muncul"
kalau hal itu kita pikirkan terus menerus, malahan si "dia" itu bisa muncul...
sama seperti dalam buku the secret yang pernah saya baca, kata "tidak" itu tidak di proses dalam pikiran, sehingga pikiran kita menjadi "saya harap dia tidak muncul"

ini cuma pengalaman pribadi saya loh...
ada yang pernah mengalaminya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 December 2011, 03:46:08 PM
dalam pengalaman pribadi saya, malahan biasanya mimpi itu bisa muncul sesuai apa yang kita pikirkan...
sekalipun pikiran itu adalah pikiran yang tidak inginkan...
misalnya dalam mimpi kita, kita selalu berpikir "saya harap dia tidak muncul"
kalau hal itu kita pikirkan terus menerus, malahan si "dia" itu bisa muncul...
sama seperti dalam buku the secret yang pernah saya baca, kata "tidak" itu tidak di proses dalam pikiran, sehingga pikiran kita menjadi "saya harap dia tidak muncul"

ini cuma pengalaman pribadi saya loh...
ada yang pernah mengalaminya?
Betul, hal itu adalah kondisional. Kadang apa yang kita inginkan muncul dalam mimpi, tapi kadang juga kita tidak berkuasa atas kejadian di mimpi, hanya jadi 'korban' skenario mimpi itu saja. Kalau pengalaman saya, biasanya itu ditentukan kegelisahan atau gangguan fisik (misalnya suhu ruangan terlalu panas/dingin, tangan kesemutan, dll).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 December 2011, 03:48:25 PM
Betul, hal itu adalah kondisional. Kadang apa yang kita inginkan muncul dalam mimpi, tapi kadang juga kita tidak berkuasa atas kejadian di mimpi, hanya jadi 'korban' skenario mimpi itu saja. Kalau pengalaman saya, biasanya itu ditentukan kegelisahan atau gangguan fisik (misalnya suhu ruangan terlalu panas/dingin, tangan kesemutan, dll).

saya malah sering kali udah mimpi duluan padahal belum terlelap.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 December 2011, 04:33:12 PM
saya malah sering kali udah mimpi duluan padahal belum terlelap.
Memang bisa juga, terutama kalau lagi capek. Antara tidur dan tidak tidur, tapi pikiran sudah bikin skenario macam2. Kadang tercampur aduk sama kenyataan, misalnya ada input suara orang lain, maka bisa kebawa dalam mimpi sehingga settingnya jadi kacau dan lucu. Misalnya kita mimpi sedang makan sama pacar, tapi ada suara TV lagi film "Rambo" yang rusuh tembak2an, dan kebetulan tukang sol sepatu lewat, maka mimpinya bisa seru dan konyol sekali. ;D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 05 December 2011, 04:44:40 PM
saya malah sering kali udah mimpi duluan padahal belum terlelap.
berarti anda adalah seorang lelaki pemimpi...
selamat!!  ^-^ ^-^ ^-^

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 05 December 2011, 06:01:29 PM
Ketahuan nih, sering maki-maki orang di film yah?
Iya, kadang kalau kita terlalu menginginkan sesuatu yang belum kesampaian, bisa terjadi dalam mimpi. Lalu begitu bangun rasanya menyesal sekali. ;D Kalau kita membenci sesuatu juga bisa muncul dalam mimpi, jadi saya pikir sepertinnya apapun yang sering kita pikirkan, berpotensi jadi plot utama dalam cerita. Lalu latarnya, orang2nya itu adalah berdasarkan proses pengalaman yang acak, makanya background dan kejadiannyanya juga bisa kacau (seperti bhikkhu sholat di Gereja).

Memang di mimpi tiba-tiba sudah begitu saja terjadi. Tapi kalau pengalaman saya, kadang kita juga bisa usahakan, ga selalu harus ikut si sutradara. Hanya saja, sepertinya itu bukan soal sadar/tidak, tapi masalah ke-kepala-batu-an aja kali yah, jangan terlalu pasrah sama sutradara. ;D Saya belum paham tentang pikiran sejauh itu, tapi kalau spekulasi saya, jika perhatian kita kuat, cenderung pada menyadari itu adalah mimpi, dan biasanya terbangun tidak lama kemudian.
tidak juga om kainyn. :-[
iya betul sekali om, kadang pas udah bangun, aduhhh kenapa tadi g begini ya. hehehe..
nah iya itu sering saya alami, kejadian dan tempatnya kadang g sinkron, terus suka pindah2 tempatnya, tiba2 udah ada di tempat lain lagi.  ;D
saya pernah beberapa kali mimpi, terus terbangun, dan tidur lagi, ehh.. mimpinya malah sambung lagi.

seingat saya selama ini, mimpi yang membuat saya terbangun itu adalah mimpi2 yang buruk, kadang juga seperti terkaget begitu terus terbangun. ah, untung cuma mimpi.  ;D
artinya perhatian saya masih kurang kuat yah, om kainyn. soalnya yang paling sering saya alami itu adalah bukan menyadari ini hanya mimpi lalu bangun, tapi pada saat bangun baru sadar, oh... tadi saya mimpi begini begitu. hehehe..
oh iya, saya mau tanya lagi, apakah setiap kita tidur itu kita pasti bermimpi, om kainyn?
hanya saja terkadang kitanya yang g ingat / g tau kalo ternyata kita mimpi.
kemudian, apakah mimpi itu sesuatu yang baik atau buruk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 05 December 2011, 06:10:53 PM
dalam pengalaman pribadi saya, malahan biasanya mimpi itu bisa muncul sesuai apa yang kita pikirkan...
sekalipun pikiran itu adalah pikiran yang tidak inginkan...
misalnya dalam mimpi kita, kita selalu berpikir "saya harap dia tidak muncul"
kalau hal itu kita pikirkan terus menerus, malahan si "dia" itu bisa muncul...
sama seperti dalam buku the secret yang pernah saya baca, kata "tidak" itu tidak di proses dalam pikiran, sehingga pikiran kita menjadi "saya harap dia tidak muncul"

ini cuma pengalaman pribadi saya loh...
ada yang pernah mengalaminya?
mungkin pernah, tapi sepertinya jarang.
atau sayanya yang g ingat.
yang selama ini sering muncul / teringat ketika bangun itu lebih ke mimpi2 yang indah begitu.  ;D
hehhe..


Betul, hal itu adalah kondisional. Kadang apa yang kita inginkan muncul dalam mimpi, tapi kadang juga kita tidak berkuasa atas kejadian di mimpi, hanya jadi 'korban' skenario mimpi itu saja. Kalau pengalaman saya, biasanya itu ditentukan kegelisahan atau gangguan fisik (misalnya suhu ruangan terlalu panas/dingin, tangan kesemutan, dll).
maksudnya tangan kesemutan membuat kita mimpi begitu om?
atau mimpi terus bikin tangan jadi kesemutan?
soalnya ada teman saya yang bilang kalo dia bangun dengan tangan yang keram itu artinya dia mimpi buruk, kalo g salah tangkep sih dia bilangnya begitu.  ;D


saya malah sering kali udah mimpi duluan padahal belum terlelap.
kalo sekarang masih online kan om indra, artinya belum terlelap.
nah lagi mimpi apa sekarang?
apakah om indra melihat gambaran saya didalam mimpi.  8)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 December 2011, 06:28:16 PM
tidak juga om kainyn. :-[
iya betul sekali om, kadang pas udah bangun, aduhhh kenapa tadi g begini ya. hehehe..
nah iya itu sering saya alami, kejadian dan tempatnya kadang g sinkron, terus suka pindah2 tempatnya, tiba2 udah ada di tempat lain lagi.  ;D
saya pernah beberapa kali mimpi, terus terbangun, dan tidur lagi, ehh.. mimpinya malah sambung lagi.
Ya, saya juga pernah mimpi, bangun, tidur, mimpi lagi masih lanjutan yang sebelumnya, tapi ada hal2 yang sudah berubah. Memang pikiran itu susah sekali dikendalikan, tapi menarik sekali lihat prosesnya. 

Quote
seingat saya selama ini, mimpi yang membuat saya terbangun itu adalah mimpi2 yang buruk, kadang juga seperti terkaget begitu terus terbangun. ah, untung cuma mimpi.  ;D
artinya perhatian saya masih kurang kuat yah, om kainyn. soalnya yang paling sering saya alami itu adalah bukan menyadari ini hanya mimpi lalu bangun, tapi pada saat bangun baru sadar, oh... tadi saya mimpi begini begitu. hehehe..
Kalau saya terbangun tetap ada 2 macam: yang bikin bilang 'untung cuma mimpi' dan 'sayang cuma mimpi'.
Soal perhatian itu, cuma spekulasi saya saja sih, jadi sebaiknya jangan dianggap benar. Tapi terlepas dari itu, memang kita harus selalu latihan perhatian (kesadaran).

Quote
oh iya, saya mau tanya lagi, apakah setiap kita tidur itu kita pasti bermimpi, om kainyn?
hanya saja terkadang kitanya yang g ingat / g tau kalo ternyata kita mimpi.
kemudian, apakah mimpi itu sesuatu yang baik atau buruk?
Setahu saya memang kita sering bermimpi yang tidak kita ingat sehingga ketika bangun seolah2 tidak ada mimpi. Tapi ada juga tidur yang memang tidak mimpi sama sekali.
Saya pikir mimpi hanyalah refleksi dari proses bathin 'bawah sadar' kita yang terjadi spontan, tidak bisa dikendalikan. Jadi saya rasa tidak bisa dibilang baik atau buruk.

maksudnya tangan kesemutan membuat kita mimpi begitu om?
atau mimpi terus bikin tangan jadi kesemutan?
soalnya ada teman saya yang bilang kalo dia bangun dengan tangan yang keram itu artinya dia mimpi buruk, kalo g salah tangkep sih dia bilangnya begitu.  ;D
Bukan mimpi yang bikin tangan kesemutan, tapi gangguan fisik (yang ga enak), bisa menyebabkan mimpi buruk. Bermula dari tubuh menanggapi tidak enak, bathin juga menanggapi tidak enak dan memproyeksikannya dalam mimpi. Biasanya secara 'refleks' kita juga bisa berubah posisi jadi enak, tapi kalau lagi capek, KO, entah gimana tubuh jadinya sulit reaksi (seperti halnya juga bisa sampai ngileran). ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 05 December 2011, 07:04:48 PM
intinya, semua hanya mimpi yah.  :)
hanya yang agak sulit saya terima, ketika sedang mimpi pun ternyata kita membuat kamma.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 December 2011, 07:24:06 PM
intinya, semua hanya mimpi yah.  :)
hanya yang agak sulit saya terima, ketika sedang mimpi pun ternyata kita membuat kamma.

masak sih? siapa bilang?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 05 December 2011, 07:48:28 PM
masak sih? siapa bilang?
saya g bisa masak om, tanya om kainyn deh.  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 05 December 2011, 08:44:14 PM
saya g bisa masak om, tanya om kainyn deh.  ;D
:))

setahu saya, mimpi itu tidak terjadi setiap kali kita tidur...
terkadang, saat kita tidur, kita masuk ke dalam bhavanga(kesadaran pasif) kalau tidak bermimpi...
kalau kita bermimpi, berarti yang bekerja disebut kesadaran aktif...
CMIIW
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 10:08:57 AM
intinya, semua hanya mimpi yah.  :)
hanya yang agak sulit saya terima, ketika sedang mimpi pun ternyata kita membuat kamma.
Ya, hanya mimpi. Kamma memang hampir setiap saat ditanam, tapi kadarnya berbeda. Bahkan melamun pun menanam kamma.

saya g bisa masak om, tanya om kainyn deh.  ;D
[at]  Indra

Bohong, Hema bisa masak, tapi ga mau masakin Bang Indra aja. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 06 December 2011, 10:27:33 AM
Aku pernah dgr ktnya tanpa mimpi lebih bagus krn tidur lebih nyenyak n bangun lebih fit, benar gak ya? Trus katanya kalo mimpi brarti roh kita lg jalan2 kan Buddhis ga ada roh brarti itu salah ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 06 December 2011, 10:33:24 AM
Aku pernah dgr ktnya tanpa mimpi lebih bagus krn tidur lebih nyenyak n bangun lebih fit, benar gak ya? Trus katanya kalo mimpi brarti roh kita lg jalan2 kan Buddhis ga ada roh brarti itu salah ya?

pernah baca juga, katanyakan mimpi itu adalah refleksi dari ingatan2 bawah sadar kita.
intinya mimpi adalah kesadaran kita dalam bentuk lainnya.
benar gak sih?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 10:42:02 AM
Aku pernah dgr ktnya tanpa mimpi lebih bagus krn tidur lebih nyenyak n bangun lebih fit, benar gak ya? Trus katanya kalo mimpi brarti roh kita lg jalan2 kan Buddhis ga ada roh brarti itu salah ya?
Menurut saya ga bener karena tidur paling lelap itu justru tidur yang tidak ada mimpi. Tapi soal kualitas tidur, saya pikir setiap orang juga berbeda. Ada yang efektif, biasanya tidak terputus, ada yang kurang efektif jadi suka bangun (terputus) lalu tidur lagi.

Kalau mimpi = 'roh jalan2' sudah jelas ga bener. Karena misalnya saya mimpi ketemu Terwelu, logikanya roh saya jalan2 ketemu rohnya terwelu, tapi ternyata si terwelu lagi ga tidur. Nah, jadi roh siapa yang saya temui di mimpi? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 06 December 2011, 11:13:39 AM
pernah baca juga, katanyakan mimpi itu adalah refleksi dari ingatan2 bawah sadar kita.
intinya mimpi adalah kesadaran kita dalam bentuk lainnya.
benar gak sih?

Mimpi itu alam bawah sadar kan?

Menurut saya ga bener karena tidur paling lelap itu justru tidur yang tidak ada mimpi. Tapi soal kualitas tidur, saya pikir setiap orang juga berbeda. Ada yang efektif, biasanya tidak terputus, ada yang kurang efektif jadi suka bangun (terputus) lalu tidur lagi.

Kalau mimpi = 'roh jalan2' sudah jelas ga bener. Karena misalnya saya mimpi ketemu Terwelu, logikanya roh saya jalan2 ketemu rohnya terwelu, tapi ternyata si terwelu lagi ga tidur. Nah, jadi roh siapa yang saya temui di mimpi? ;D
Td kan aku blg tanpa mimpi lebih nyenyak brarti sama donk ama tidur yang tidak ada mimpi lebih lelap?

oh ya hantu bs punya ingatan ttg kehidupan lalu gak? Umur hantu brp lama ya? Kenapa ad yg bisa liat ad yg gak bs? Thx.... :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 06 December 2011, 11:15:32 AM
Mimpi itu alam bawah sadar kan?

katanya lhooooo.... katanya...

 ;D ;D ;D ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 11:32:23 AM
Td kan aku blg tanpa mimpi lebih nyenyak brarti sama donk ama tidur yang tidak ada mimpi lebih lelap?
Oh iya, sis terwelu benar, tadi saya yang salah persepsi. Tidur tanpa mimpi sepertinya bisa pada tidur yang lelap ataupun yang kurang lelap, tapi kalau tidur yang paling lelap, memang tidak bermimpi.

Quote
oh ya hantu bs punya ingatan ttg kehidupan lalu gak? Umur hantu brp lama ya? Kenapa ad yg bisa liat ad yg gak bs? Thx.... :)
Karena hantu adalah makhluk yang terlahir spontan, maka masih membawa ingatan kehidupan lampaunya. (Kalau manusia 'kan harus melalui proses janin, bayi, yang kesadarannya masih belum kuat.) Juga memang ada hantu yang punya kemampuan bathin mengingat kehidupan2 lampaunya.

Soal umur kehidupan, alam peta tidak ada panjang umur tertentu, bisa sangat panjang sekali. Misalnya kisah diajarkannya praktik Patidana oleh Buddha Gotama ke Raja Bimbisara, adalah karena hantu yang adalah kerabat dari Raja Bimbisara yang telah menderita sejak jaman Buddha Vipassi (91 kappa lampau).
Ada yang bisa lihat ada yang nggak karena memang itu sifatnya halus dan bathiniah, bukan fisik yang ditangkap oleh mata. Kadang juga bisa bertemu dan melihat adalah karena kedekatan hubungan kamma dengan makhluk tersebut.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 06 December 2011, 11:43:20 AM
bro Kain,

dialam apa saja kita akan punya ingatan tentang kehidupan masa lampau kita?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 11:58:07 AM
bro Kain,

dialam apa saja kita akan punya ingatan tentang kehidupan masa lampau kita?
Di alam manusia juga memang bisa saja orang memiliki kemampuan mengingat kehidupan lampau, seperti banyak kasus2 di luar negeri di mana anak2 bisa tahu keluarga mereka di masa lampau dan mengalami kejadian apa saja. Tapi memang ini tidak umum terjadi.
Setahu saya kalau yang umum memilikinya adalah yang lahir secara spontan seperti para deva atau hantu. Bro Rico kalau mau, mungkin bisa bertekad agar di kehidupan berikut2nya bisa mengingat kehidupan sekarang. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 06 December 2011, 02:40:07 PM
Di alam manusia juga memang bisa saja orang memiliki kemampuan mengingat kehidupan lampau, seperti banyak kasus2 di luar negeri di mana anak2 bisa tahu keluarga mereka di masa lampau dan mengalami kejadian apa saja. Tapi memang ini tidak umum terjadi.
Setahu saya kalau yang umum memilikinya adalah yang lahir secara spontan seperti para deva atau hantu. Bro Rico kalau mau, mungkin bisa bertekad agar di kehidupan berikut2nya bisa mengingat kehidupan sekarang. :)

saya sangat bertekad, biar jadi dewa ato brahma pun harus belajar dan mempraktekkan buddha dhamma.
tapi klo ke alam Apaya lain cerita nih, apalagi ke Aviji  :'(
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 02:46:25 PM
saya sangat bertekad, biar jadi dewa ato brahma pun harus belajar dan mempraktekkan buddha dhamma.
Ya, semoga demikian adanya. :)

Quote
tapi klo ke alam Apaya lain cerita nih, apalagi ke Aviji  :'(
Dan semoga tidak demikian adanya. ;D

Kita sudah enak ketemu Buddha-dhamma, yah jangan disia-siakan. Dipraktikkan, ditekadkan agar menjadi lebih baik dan terhindar dari alam sengsara dan bebas dari penderitaan. 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 06 December 2011, 02:49:08 PM
Ya, hanya mimpi. Kamma memang hampir setiap saat ditanam, tapi kadarnya berbeda. Bahkan melamun pun menanam kamma.
tapi setahu saya, kebanyakan hal-hal yang kita kerjakan adalah tidak berbuah/kamma netral...
contohnya mengetik, apakah membuahkan kamma om?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 06 December 2011, 02:55:40 PM
Bro Rico kalau mau, mungkin bisa bertekad agar di kehidupan berikut2nya bisa mengingat kehidupan sekarang. :)
bukannya tidak bisa ya kalau tidak ada abhinna dalam kehidupan sebelumnya??
setahu saya manusia memiliki kemampuan batin tanpa harus bermeditasi terlebih dahulu adalah karena sisa-sisa/jejak kamma dari kehidupan masa lalunya yang telah memiliki abhinna sebelumnya..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 02:59:19 PM
tapi setahu saya, kebanyakan hal-hal yang kita kerjakan adalah tidak berbuah/kamma netral...
contohnya mengetik, apakah membuahkan kamma om?
Saya tidak tahu sampai detailnya (harus belajar Abhidhamma, barangkali), tapi sepertinya apapun yang kita lakukan adalah suatu bentuk kehendak juga, walaupun kadang sangat halus. Kamma-kamma ini memang tidak kuat (kalah prioritas) tapi tetap akan membuahkan hasil juga (yang akibatnya juga tidak terlalu berdampak).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 03:01:24 PM
bukannya tidak bisa ya kalau tidak ada abhinna dalam kehidupan sebelumnya??
setahu saya manusia memiliki kemampuan batin tanpa harus bermeditasi terlebih dahulu adalah karena sisa-sisa/jejak kamma dari kehidupan masa lalunya yang telah memiliki abhinna sebelumnya..
Kalau dari kisah2 yang berkenaan dengan kehidupan masa lampau itu, yang dikisahkan adalah orang-orang biasa kok. Dari orang awam tumimbal lahir jadi orang awam lagi, tapi masih ada ingatannya. Kalau dugaan saya, memang bisa karena sisa abhinna, bisa juga memang berupa buah kamma tertentu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 06 December 2011, 03:07:47 PM
Saya tidak tahu sampai detailnya (harus belajar Abhidhamma, barangkali), tapi sepertinya apapun yang kita lakukan adalah suatu bentuk kehendak juga, walaupun kadang sangat halus. Kamma-kamma ini memang tidak kuat (kalah prioritas) tapi tetap akan membuahkan hasil juga (yang akibatnya juga tidak terlalu berdampak).
setahu saya kamma itu ada 3 jenis kan??
kamma baik, buruk, dan netral?? CMIIW
kalo pada kegiatan2 yang tidak disertai dengan kesadaran itu, biasanya adalah kamma netral, seperti berjalan, tidur, dll...
nah, kebanyakan hal yang kita lakukan adalah tanpa disertai dengan kehendak(cetana)...
makanya saya sebutkan kalau kebanyakan hal yang kita perbuat adalah kamma netral...
bagaimana menanggapinya??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 03:19:40 PM
setahu saya kamma itu ada 3 jenis kan??
kamma baik, buruk, dan netral?? CMIIW
kalo pada kegiatan2 yang tidak disertai dengan kesadaran itu, biasanya adalah kamma netral, seperti berjalan, tidur, dll...
nah, kebanyakan hal yang kita lakukan adalah tanpa disertai dengan kehendak(cetana)...
makanya saya sebutkan kalau kebanyakan hal yang kita perbuat adalah kamma netral...
bagaimana menanggapinya??
Dalam AN disebutkan 4 jenis yaitu: kamma terang berakibat, kamma gelap berakibat gelap, kamma terang & gelap berakibat terang & gelap, kamma bukan terang-bukan gelap yang menuju pada hancurnya kamma.
Hal tidak mungkin dilakukan tanpa kehendak, kecuali mungkin refleks. Mungkin yang dimaksud bro will itu adalah perasaannya? Kalau perasaan yang menyertai sebuah kehendak, memang tentu saja bisa netral. Biasanya, kamma yang disertai perasaan netral, adalah dilandasi moha bila perasaan netral tersebut tidak bermanfaat, dan amoha bila perasaan netral tersebut bermanfaat.
Sementara kamma bukan gelap-bukan terang itu adalah (secara singkat) penerapan jalan mulia berunsur delapan, yang walaupun dalam prosesnya membawa pada kelahiran di alam bahagia, namun tujuannya adalah terhentinya kelahiran kembali (hancurnya kamma).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 06 December 2011, 03:33:53 PM
kalau seandainya seseorang menabrak orang lain tanpa sengaja, apakah termasuk dilandasi kehendak om??
lalu, kalau tertidur lelap, apakah kita membuat kamma??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 03:38:13 PM
kalau seandainya seseorang menabrak orang lain tanpa sengaja, apakah termasuk dilandasi kehendak om??
Menyetirnya jelas dilandasi kehendak. Tapi hal menabrak orang tanpa sengaja bukan dilandasi kehendak buruk menabrak orang lain. 

Quote
lalu, kalau tertidur lelap, apakah kita membuat kamma??
Entahlah, tapi kalau menurut saya, tidak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 06 December 2011, 03:48:11 PM
Menyetirnya jelas dilandasi kehendak. Tapi hal menabrak orang tanpa sengaja bukan dilandasi kehendak buruk menabrak orang lain. 
kesimpulannya, sewaktu kita menabrak orang tersebut termasuk kamma netral donk??

Entahlah, tapi kalau menurut saya, tidak.
berarti kebanyakan hal yang kita buat itu apakah juga termasuk kamma netral, seperti berjalan, melamun, berbaring, duduk, dll??
soalnya setahu saya dari buku yang pernah saya baca(udah lupa buku apa ;D), kebanyakan manusia berbuat kamma netral daripada kamma-kamma lainnya (buruk ataupun baik)


maaf kalau terkesan agak offensive, tapi disini saya cuma mempertanyakan kok, tidak ada niat untuk mengoffend sama sekali...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 04:15:25 PM
kesimpulannya, sewaktu kita menabrak orang tersebut termasuk kamma netral donk??
Bukan kamma netral, seperti saya bilang kamma tidak ada yang netral, adanya kamma yang disertai perasaan netral. Kamma apa yang mendorong orang menyetir tentu variatif, tapi jika tidak ada niat menabrak, maka pastinya tidak ada kamma buruk menabrak orang di sana.

Quote
berarti kebanyakan hal yang kita buat itu apakah juga termasuk kamma netral, seperti berjalan, melamun, berbaring, duduk, dll??
soalnya setahu saya dari buku yang pernah saya baca(udah lupa buku apa ;D), kebanyakan manusia berbuat kamma netral daripada kamma-kamma lainnya (buruk ataupun baik)
Kamma yang melibatkan perasaan menyenangkan/tidak menyenangkan, biasanya adalah kamma yang berakar pada lobha dan dosa, juga alobha dan adosa. Sedangkan yang melibatkan perasaan netral, biasanya adalah yang berhubungan dengan moha dan amoha. Ketika kita melakukan hal-hal sesepele apapun, ketika kesadaran kita menyetuh objek dan tidak memahami sebagaimana adanya, mengukuhkan sebuah persepsi 'aku' ada/memiliki/bagian/terpisah dari objek, maka itu pun adalah bentuk kamma yang menyebabkan orang tetap dalam lingkaran samsara.

Quote
maaf kalau terkesan agak offensive, tapi disini saya cuma mempertanyakan kok, tidak ada niat untuk mengoffend sama sekali...
Saya juga tidak merasa di-offend kok, santai aja, bro will. ;D
Seperti saya selalu katakan, yang menyangkut perasaan netral ini memang agak rumit untuk dibahas, sedangkan untuk yang 'bergejolak' dan kasar, lebih mudah untuk dilihat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 06 December 2011, 04:22:24 PM
Bukan kamma netral, seperti saya bilang kamma tidak ada yang netral, adanya kamma yang disertai perasaan netral. Kamma apa yang mendorong orang menyetir tentu variatif, tapi jika tidak ada niat menabrak, maka pastinya tidak ada kamma buruk menabrak orang di sana.
kalau bukan kamma netral, berarti itu tidak termasuk kamma sama sekali??

Kamma yang melibatkan perasaan menyenangkan/tidak menyenangkan, biasanya adalah kamma yang berakar pada lobha dan dosa, juga alobha dan adosa. Sedangkan yang melibatkan perasaan netral, biasanya adalah yang berhubungan dengan moha dan amoha. Ketika kita melakukan hal-hal sesepele apapun, ketika kesadaran kita menyetuh objek dan tidak memahami sebagaimana adanya, mengukuhkan sebuah persepsi 'aku' ada/memiliki/bagian/terpisah dari objek, maka itu pun adalah bentuk kamma yang menyebabkan orang tetap dalam lingkaran samsara.
berarti kalau kamma yang melibatkan perasaan netral dalam bentuk moha tidak menghasilkan buah, tetapi hanya membuat seseorang tersebut "menetap" dalam samsara ini ya??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 05:09:03 PM
kalau bukan kamma netral, berarti itu tidak termasuk kamma sama sekali??
Jika berhubungan dengan 'kebodohan bathin', maka termasuk 'kamma gelap'; jika berhubungan dengan 'kebijaksanaan', maka termasuk 'kamma terang'.

Quote
berarti kalau kamma yang melibatkan perasaan netral dalam bentuk moha tidak menghasilkan buah, tetapi hanya membuat seseorang tersebut "menetap" dalam samsara ini ya??
Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 06 December 2011, 06:06:35 PM
Ya, hanya mimpi. Kamma memang hampir setiap saat ditanam, tapi kadarnya berbeda. Bahkan melamun pun menanam kamma.
 [at]  Indra

Bohong, Hema bisa masak, tapi ga mau masakin Bang Indra aja. ;D
iya ya, kalo melamunnya yang jelek2, jadi akusala mano kamma.  :)

hehehe..
bisa sih, tapi rasanya g terdefinisikan oleh kata2.  :))
mau kok, nanti deh saya masakin om indra nasi goreng, pake garam sekilo.  :D


Jika berhubungan dengan 'kebodohan bathin', maka termasuk 'kamma gelap'; jika berhubungan dengan 'kebijaksanaan', maka termasuk 'kamma terang'.
Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.
walaupun perasaan dan niatnya biasa aja (contoh: melontarkan ucapan kasar) itu tetap kamma buruk kan, om kainyn?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 December 2011, 07:01:13 PM
iya ya, kalo melamunnya yang jelek2, jadi akusala mano kamma.  :)

hehehe..
bisa sih, tapi rasanya g terdefinisikan oleh kata2.  :))
mau kok, nanti deh saya masakin om indra nasi goreng, pake garam sekilo.  :D
Kalo yang berhubungan dengan garam dosis tinggi, itu favoritenya Mr.Jhonz. Kalo Om Indra itu berurusan dengan lemak hewani haram jenuh dengan kolestrol LDP.

Quote
walaupun perasaan dan niatnya biasa aja (contoh: melontarkan ucapan kasar) itu tetap kamma buruk kan, om kainyn?
Iya, niatnya sebetulnya 'tidak biasa', tapi karena sudah terbiasa, jadi kesannya biasa-biasa aja. Sepertinya misalnya free-sex, kalau orang tidak terbiasa, rasanya malu. Tapi kalau sudah terbiasa, yah rasanya biasa-biasa saja, tidak ada perasaan malu, risih atau apa yang timbul. Nah, ini adalah upekkha yang tidak bermanfaat, disertai perasaan netral.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 06 December 2011, 09:02:43 PM
Jika berhubungan dengan 'kebodohan bathin', maka termasuk 'kamma gelap'; jika berhubungan dengan 'kebijaksanaan', maka termasuk 'kamma terang'.
Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.
maksudnya dalam kasus kecelakaan yang saya tuliskan di atas...
apakah kecelakaan itu tidak bisa disebut kamma??

Tidak juga, tergantung jenis kammanya. Misalnya seseorang dengan kebodohan yang 'pekat', mungkin melakukan hal buruk tapi dengan perasaan netral karena sudah terbiasa (contoh: melontarkan ucapan kasar dengan perasaan 'biasa aja'). Kamma yang disertai perasaan netral ini bukan hanya menjerat orang dalam samsara, namun juga akan berakibat buruk.
kalau itu kan sudah ada pengaruh dosanya juga om...
engga mungkin donk kita bicara kasar kepada orang yang engga kita kenal??

saya buat perumpamaan lagi ya.. ;D
misalnya pada saat seseorang bermeditasi, suatu saat akan muncul dalam pikiran orang tersebut seperti "saya tenang, saya bahagia", ini kan melibatkan adanya si-Aku...
nah, moha jenis ini apakah ada kamma buruknya, atau hanya membuat orang tersebut menetap di samsara??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 December 2011, 10:09:10 AM
maksudnya dalam kasus kecelakaan yang saya tuliskan di atas...
apakah kecelakaan itu tidak bisa disebut kamma??
Tanam kamma atau buah kamma? Kalau buah kamma, ya. Kita bisa ketemu korban, nabrak korban, itu adalah juga buah kamma masa lampau, walaupun sekarang ini tidak kita niati (jadi bukan sedang tanam kamma).

Quote
kalau itu kan sudah ada pengaruh dosanya juga om...
engga mungkin donk kita bicara kasar kepada orang yang engga kita kenal??
Ya, ada dosa-nya, juga ada moha-nya yang mengkondisikan perasaan netral tersebut. Yang lebih ekstrem misalnya kita menghindari pembunuhan. Kadang orang khilaf (dikuasai dosa), maka membunuh orang disertai dengan gejolak macam-macam. Tapi kasus lain, misalnya seseorang punya pandangan salah (seperti melekat pada ritual sesat), maka dia bisa bunuh orang dengan perasaan biasa-biasa aja, beranggapan itu baik. Jadi pikirannya seimbang, perasaannya netral, tapi di situ jelas ada kamma tertanam. 


Quote
saya buat perumpamaan lagi ya.. ;D
misalnya pada saat seseorang bermeditasi, suatu saat akan muncul dalam pikiran orang tersebut seperti "saya tenang, saya bahagia", ini kan melibatkan adanya si-Aku...
nah, moha jenis ini apakah ada kamma buruknya, atau hanya membuat orang tersebut menetap di samsara??
Jika seseorang meditasi dengan benar (bukan asal-asalan) kemudian dia berdiam di sana, menguatkan aku, maka itu adalah moha yang halus, tidak akan berakibat buruk apapun (secara langsung) dan hanya akan menjerat orang dalam samsara.

Namun namanya penguatan 'keakuan' ini juga tetap berpotensi 'bahaya', karena tetap akan melibatkan keinginan. Contoh umum seperti Devadatta yang juga melekat pada pencapaian meditasinya (yang memang bukan main-main), jatuh pada kesombongan. Kesombongan ini, ketika terusik (seperti ketika dicela oleh Buddha Gotama), maka timbul kebencian, dan seterusnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 07 December 2011, 10:31:45 AM
emm.. iya ya, intinya jagalah hati, jangan kau nodai..  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 07 December 2011, 10:33:01 AM
emm.. iya ya, intinya jagalah hati, jangan kau nodai..  ;D

Jagalah hati, lentera hidup ini...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 December 2011, 10:40:36 AM
emm.. iya ya, intinya jagalah hati, jangan kau nodai..  ;D
Ya, jagalah hati, jangan sampai kena hepatitis. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 December 2011, 10:40:57 AM
Jagalah hati, lentera hidup ini...
Hati apa nih yang bisa berpendar dibuat lentera?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 07 December 2011, 11:41:17 AM
Jagalah hati, lentera hidup ini...
nah, rooney juga tau ternyata.. ;D

Ya, jagalah hati, jangan sampai kena hepatitis. ;D
:))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: mettama on 07 December 2011, 12:47:37 PM
Tanya nih _/\_ Kalau di dalam pikirannya timbul curiga terus? masuk kategori karma mana OM? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 December 2011, 05:36:16 PM
Tanya nih _/\_ Kalau di dalam pikirannya timbul curiga terus? masuk kategori karma mana OM? ;D

Sepertinya masuk kategori kamma yang berdasarkan kebodohan bathin, pikirannya dibohongi dan terlarut oleh ide-ide dari pikirannya sendiri sehingga sulit menilai dengan baik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 08 December 2011, 10:00:19 PM
tanya om, pada saat perasaan kita sedang netral, maka yang timbul kemungkinannya ada 2, yaitu upekkha atau moha...
nah, bagaimana kita membedakan apakah perasaan kita itu termasuk moha atau upekkha??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 December 2011, 09:19:43 AM
tanya om, pada saat perasaan kita sedang netral, maka yang timbul kemungkinannya ada 2, yaitu upekkha atau moha...
nah, bagaimana kita membedakan apakah perasaan kita itu termasuk moha atau upekkha??
Kalau dalam konteks sebenar-benarnya, selama kita masih belum merealisasi kebenaran mulia itu, maka kita masih dicengkeram oleh moha, maka kita senantiasa mengukuhkan 'diri' (dengan cara yang berbeda, tentunya) dan melakukan kamma (baik dan buruk). Jadi kalau mau bilang moha, selama belum mencapai kesucian, kita masih 'digerakkan' oleh moha.

Dugaan saya, maksud pertanyaan bro will ini bagaimana kita membedakan upekkha yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Tidak ada patokan pastinya, tapi kita bisa 'mengukur' sendiri. Jika dengan munculnya upekkha tersebut hal-hal baik muncul/dipertahankan, hal-hal buruk berkurang/tidak muncul, maka upekkha tersebut bermanfaat. Berlaku sebaliknya jika dengan munculnya upekkha tersebut hal-hal buruk muncul/dipertahankan, hal-hal baik berkurang/tidak muncul, maka itu adalah upekkha tidak bermanfaat.

Satu contoh misalnya kita dengar Ajaran Buddha dihina dan didebat, lalu kita mengembangkan upekkha. Apakah ini upekkha yang bermanfaat? Belum tentu. Bisa juga ini bentuk fanatik dan masa bodo, lawan dari penyelidikan. Dengan upekkha 'masa bodo' tersebut kita tidak berkembang, bahkan ada kecenderungan untuk tidak menggubris nasihat dari orang lain.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 19 December 2011, 03:54:00 PM
dear bro Kainyn,

dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa memilih untuk mau/ingin terlahir kembali?


Spoiler: ShowHide


http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=21689.0

yang disini terlalu panas, makanya tanya disini aja

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 December 2011, 04:28:20 PM
dear bro Kainyn,

dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa memilih untuk mau/ingin terlahir kembali?


Spoiler: ShowHide


http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=21689.0

yang disini terlalu panas, makanya tanya disini aja



Quote
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa terlahir kembali?
Dua ini saya gabung, tidak bisa dalam satu kalimat singkat.
Jawabannya: tergantung sudut pandang tradisi, dan karena saya tidak mendalami yang lain, maka saya jawab menurut Tradisi Theravada: tidak.

Spoiler: ShowHide
Alasannya adalah merujuk pada paticca-samuppada:
Kebodohan (avijja) menimbulkan kehendak (sankhara), kehendak menimbulkan kesadaran (vinnana), kesadaran menimbulkan bathin-jasmani (nama-rupa) ... 6 indera (salayatana) ... kontak (phassa) ... perasaan (vedana) ... kehausan (tanha) ... kemelekatan (upadana) ... perwujudan (bhava) ... kelahiran (jati) ... penuaan-kematian (jara-marana).

Arahat telah menembus kebenaran mulia dan mengikis sepenuhnya kebodohan (avijja) yang adalah penopang dari 12 mata rantai tersebut. Maka tanpa kebodohan, tidak akan ada kehendak, dst, yang menyebabkan kelahiran. Dari mana lagi kelahiran mendapatkan landasan? Jika ada landasan lain untuk kelahiran, maka dhamma tidak sempurna dibabarkan dan Buddha adalah guru yang suka main rahasia-rahasiaan.



Quote
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa memilih untuk mau/ingin terlahir kembali?
Ini pertanyaannya kurang tepat.
Seharusnya: 'apakah orang yang masih ada keinginan terlahir kembali bisa jadi Arahat?'
Tentu saya jawab: tidak.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 19 December 2011, 04:47:18 PM
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat terlahir kembali?
dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa terlahir kembali?

Dua ini saya gabung, tidak bisa dalam satu kalimat singkat.
Jawabannya: tergantung sudut pandang tradisi, dan karena saya tidak mendalami yang lain, maka saya jawab menurut Tradisi Theravada: tidak.

ini berarti dari pandangan lain, ada pendapat, keyakinan dan ajaran bahwa arahat masih bisa terlahir kembali.

tengkiu.


dalam satu kalimat tegas, apakah para arahat bisa memilih untuk mau/ingin terlahir kembali?

Seharusnya: 'apakah orang yang masih ada keinginan terlahir kembali bisa jadi Arahat?'
Tentu saya jawab: tidak.

tegasnya orang yang masih ada keinginan terlahir kembali bukan/belum arahat.

sekali lagi tengkiu bro...  _/\_


pertanyaan selanjutnya :
apakah seorang arahat tidak lagi mempunyai keinginan? yang sederhana sekali pun. misal ingin makan.

mohon pencerahannya bro.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 19 December 2011, 04:57:49 PM
ini berarti dari pandangan lain, ada pendapat, keyakinan dan ajaran bahwa arahat masih bisa terlahir kembali.

tengkiu.


tegasnya orang yang masih ada keinginan terlahir kembali bukan/belum arahat.

sekali lagi tengkiu bro...  _/\_


pertanyaan selanjutnya :
apakah seorang arahat tidak lagi mempunyai keinginan? yang sederhana sekali pun. misal ingin makan.

mohon pencerahannya bro.
Kalau keinginan dalam artian sehari-hari, tentu masih ada. Namun keinginan ini bukan lagi didasarkan oleh keserakahan, kebencian, kebodohan bathin. Keinginan ini hanyalah seperti 'sisa' dari bentukan masa lampau. Contohnya seperti ada Arahat yang kecenderungannya untuk mengajar, ada yang tinggal di hutan menjalankan petapaan keras. Ini karena sisa dari tekad lampaunya, namun apakah keinginannya terpenuhi ataupun tidak, maka bathinnya tetap seimbang karena sudah tidak ada keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin lagi yang mempengaruhinya. 


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 19 December 2011, 08:07:47 PM
semua yang dilakukan adalah fungsional (kiriya), misalnya makan hanya untuk menghilangkan rasa lapar, walau sebenarnya dapat makan atau tidak, batinnya tetap seimbang.
begitulah yang saya dengar.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 19 December 2011, 09:31:02 PM
om kainyn, mau nanya..  ;D ;D
dikatakan bahwa pada saat kita meninggal, yang kita bawa dari satu kehidupan ke kehidupan selajutnya itu adalah kesadaran/vinnana kita...
menurut abhidhamma, yang berfungsi sebagai memory pikiran kita adalah sanna/persepsi..
nah, kalau memang yang dibawa itu vinnana, dan tidak termasuk sanna, kenapa ada manusia yang bisa mengingat kehidupan lampaunya?? bukankah persepsinya tidak ikut terbawa pada saat suatu makhluk meninggal??

sebenernya ini pertanyaan dari thread sebelah, tapi karena saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, makanya saya tanya disini...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 08:48:41 AM
semua yang dilakukan adalah fungsional (kiriya), misalnya makan hanya untuk menghilangkan rasa lapar, walau sebenarnya dapat makan atau tidak, batinnya tetap seimbang.
begitulah yang saya dengar.  :)
Demikian pula yang saya dengar. :) Kondisi bathin kiriya ini banyak dipengaruhi kecenderungan masa lampau (vasana), maka kita masih bisa lihat Arahat seolah-olah ada sifat-sifat 'duniawi' yang buruk, juga tidak bijaksana dalam mengambil keputusan sehubungan dengan hal-hal duniawi. Kalau urusan spiritual, mereka telah sempurna tanpa noda.
Vasana ini 'hilang' sepenuhnya pada seorang Samma Sambuddha, yang karenanya, selain kesempurnaan spiritual, pengetahuan, kebijaksanaan, bahkan dalam hal-hal duniawi kecilpun ia tak bercela.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 09:55:06 AM
om kainyn, mau nanya..  ;D ;D
dikatakan bahwa pada saat kita meninggal, yang kita bawa dari satu kehidupan ke kehidupan selajutnya itu adalah kesadaran/vinnana kita...
menurut abhidhamma, yang berfungsi sebagai memory pikiran kita adalah sanna/persepsi..
nah, kalau memang yang dibawa itu vinnana, dan tidak termasuk sanna, kenapa ada manusia yang bisa mengingat kehidupan lampaunya?? bukankah persepsinya tidak ikut terbawa pada saat suatu makhluk meninggal??

sebenernya ini pertanyaan dari thread sebelah, tapi karena saya belum mendapatkan jawaban yang memuaskan, makanya saya tanya disini...
Saya mau klarifikasi sedikit. Sebetulnya jika menyebut kesadaran berpindah antar kehidupan, itu adalah suatu pandangan salah. Dalam MN 38, Mahatanhasankhaya Sutta, seorang bhikkhu bernama Sati Kevattaputta menganut pandangan salah demikian.

Bathin kita senantiasa berproses, apakah kesadaran, perasaan, persepsi, ingatan, semuanya terkondisi dan mengalami perubahan. Kematian hanyalah perubahan dalam siklus yang lebih besar karena melibatkan terurainya jasmani. 

Saya tidak mendalami Abhidhamma, tapi setahu saya ingatan itu bukan persepsi (sanna), namun bentukan pikiran (sankhara). Sanna hanya sebatas mengenali objek indera yang ditangkap oleh kesadaran. Kesan yang ditangkap persepsi tersebut yang kemudian menghasilkan bentukan pikiran. Contoh sederhana adalah misalnya kita punya telinga yang baik, mendengar satu lagu. Ada kontak suara pada telinga yang dipersepsi oleh kesadaran telinga. Persepsi kesadaran telinga tersebut kemudian dikenali lagi oleh pikiran sehingga menyebabkan bentukan-bentukan pikiran. Ingatan adalah salah satu bentukan pikiran yang diproses dan bertahan.

Jika ingatan ada di persepsi (sanna), maka jika telinganya baik, maka ingatannya selalu benar. Namun tidak demikian. Kita senantiasa mengalami bahwa ingatan kita akan satu persepsi ternyata salah. Telinga baik, tapi salah ingat lagu. Mengapa demikian? Karena bentukan pikiran yang didapat dari persepsi telinga baik itu tidak bertahan.

Terlepas dari itu juga, sebetulnya bukan kesadaran yang dipertahankan lalu hal-hal lainnya ditinggalkan. Kematian adalah terurainya jasmani. Tanpa jasmani, maka tidak ada landasan indera, otomatis tidak ada persepsi, perasaan, dan bentukan pikiran. Ibaratnya kesadaran ini hembusan angin, lalu jasmani adalah seruling, nada-nada adalah persepsi, perasaan, bentukan pikiran. Ketika seruling hancur, maka hembusan angin tidak lagi memunculkan nada. Tapi jangan dibayangkan kesadaran itu kemudian melayang-layang mencari jasmani baru. Bukan begitu, tapi pada saat kehancuran jasmani terjadi, saat itu juga pembentukan jasmani lain terjadi.

Mengapakah ada yang bisa ingat kehidupan lampau dan ada yang tidak. Ini jelas karena sesama manusia saja kapasitas ingatannya beda-beda, ada yang tajam, ada yang pelupa. Tapi kalau pada kasus manusia, memang kebanyakan lupa karena mengalami proses dalam janin. Pada saat tersebut, landasan indera belum terbentuk sempurna, kesadaran lemah, dan dalam kondisi itu selama sekitar 9 bulan. Berbeda dengan kelahiran spontan misalnya dari manusia ke alam deva yang terlahir langsung dengan indria baik, maka dengan sendirinya tidak banyak ingatan hilang dalam prosesnya. Betul, persepsinya memang tidak dibawa, namun bentukan pikiran yang dipertahankan. Misalnya saya mengingat bentuk, dan kemudian di saat tua, mata saya melemah atau bahkan buta. Jika ingatan ada di persepsi, maka seharusnya saya tidak lagi mengingat semua bentuk. Namun tidak demikian. Walaupun tidak ada lagi persepsi mata, namun saya masih punya ingatan (bentuk pikiran) yang berkenaan dengan persepsi mata (bentuk).

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 20 December 2011, 02:08:49 PM
satu pertanyaan menganjal.

saya juga gak tau total jumlah aliran buddhisme, sebut saja dua diantaranya mahayana dan theravada
di beberapa thread saya baca kedua aliran ini memiliki pandangan berbeda dalam hal tertentu.
saya juga gak tau mana benar mana salah, jujur sedikit membingungkan.
jika saya memilih mempelajari atau ikut secara intens di salah satu aliran, apakah saya harus meninggalkan atau melepas konsep aliran lainnya? atau justru bisa menjalankan konsep kedua atau beberapa aliran ini secara bersamaan?

bagaimana menurut anda bro?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 02:20:11 PM
satu pertanyaan menganjal.

saya juga gak tau total jumlah aliran buddhisme, sebut saja dua diantaranya mahayana dan theravada
di beberapa thread saya baca kedua aliran ini memiliki pandangan berbeda dalam hal tertentu.
saya juga gak tau mana benar mana salah, jujur sedikit membingungkan.
jika saya memilih mempelajari atau ikut secara intens di salah satu aliran, apakah saya harus meninggalkan atau melepas konsep aliran lainnya? atau justru bisa menjalankan konsep kedua atau beberapa aliran ini secara bersamaan?

bagaimana menurut anda bro?
Yang diakui secara umum memang 2: Theravada & Mahayana. Mahayana sendiri ada sub aliran seperti Tantrayana dan Zen.
Sebetulnya tidak masalah belajar secara bersamaan, tapi yang diperhatikan adalah ketika belajar Theravada, jangan tercampur konsep di Mahayana, juga sebaliknya. Pelajari keduanya sebagai ajaran yang independen, jadi tidak bingung. Nantinya setelah lumayan mengerti, mau belajar lebih lanjut yang mana ga masalah, tergantung kecocokannya saja.

Kalau secara sehari-hari, konsep dari ajaran2 yang pusatnya adalah pengembangan diri apakah Theravada, Mahayana, bahkan Hindu sekalipun, bisa berjalan selaras. Seperti Hindu pun ada yang berpusat pada Brahmavihara, sehingga praktiknya tidak jauh-jauh juga. Kalau untuk yang terperinci, bahkan pengertian penganut Theravada satu belum tentu cocok dengan penganut Theravada lainnya. Ini sifatnya sudah lebih ke arah pribadi.

Kembali lagi tidak masalah belajar berapapun (selama ada kesempatan), asal jangan sampai tercampur saja konsepnya, karena bisa membingungkan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 20 December 2011, 02:26:08 PM
Kalau secara sehari-hari, konsep dari ajaran2 yang pusatnya adalah pengembangan diri apakah Theravada, Mahayana, bahkan Hindu sekalipun, bisa berjalan selaras. Seperti Hindu pun ada yang berpusat pada Brahmavihara, sehingga praktiknya tidak jauh-jauh juga. Kalau untuk yang terperinci, bahkan pengertian penganut Theravada satu belum tentu cocok dengan penganut Theravada lainnya. Ini sifatnya sudah lebih ke arah pribadi.

Kalau dalam kehidupan sehari-hari, apakah Buddhisme dapat dijadikan sebagai metode self development (duniawi) ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 02:33:59 PM
Kalau dalam kehidupan sehari-hari, apakah Buddhisme dapat dijadikan sebagai metode self development (duniawi) ?
Bisa dijelaskan batasan 'duniawi' ini apa saja, dan mungkin contohnya di bidang apa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 20 December 2011, 02:36:08 PM
Bisa dijelaskan batasan 'duniawi' ini apa saja, dan mungkin contohnya di bidang apa?

Contoh : bisnis
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 20 December 2011, 02:37:35 PM
mempelajari keduanya sebagai ajaran yang independen, ini yang susah.
karena konsep yang satu akan mengusik konsep lainnya.

tapi tidak apa2 lah, ambil yang bermanfaat saja.
seperti ceramah Pak Wowor, kamu cocoknya yang mana?  :D

pertanyaan selanjutnya :

seorang Sottapanna telah mematahkan 3 belenggu :
- Pandangan salah tentang aku(Sakkāya-diṭṭhi)
- Keragu-raguan terhadap Buddha, Dharma, Sangha (Vicikicchā)
- Kemelekatan terhadap peraturan dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa)

pada sebuah tulisan yang saya baca ada tulisan berikut :

Terdapat 4 hal yang bila dikembangkan dan dilatih, menuntun kepada buah Pemasuk Arus yakni:
1. Bergaul dengan mereka yang bijaksana
2. Mendengarkan Dhamma yang asli
3. Perhatian/Pengamatan yang seksama
4. Praktek yang sesuai dengan Dhamma.

point 1,3 dan 4 mungkin masih bisa saya mengerti dan tidak membuat saya dilema
tapi point 2. Mendengarkan Dhamma yang asli ini yang membuat saya kepikiran terus.
maksudnya dhamma yang asli itu bagaimana?

terus menurut bro Kain sendiri keempat hal diatas bagaimana? apa benar begitu?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 02:44:28 PM
Contoh : bisnis
Tidak bisa, setidaknya secara langsung. Buddha tidak mengajarkan bagaimana mengembangkan bisnis secara khusus. Tapi pengembangan diri apapun, pasti berimbas dalam semua aspek kehidupan kita. Misalnya Buddha mengajarkan agar tidak menipu, jika diikuti, maka otomatis kita akan menjadi orang yang tidak menipu. Orang bukan penipu akan memiliki kredibilitas dan integritas tinggi, yang pada gilirannya akan membawa keuntungan juga bagi bisnisnya.

Fokus pengajaran Buddha adalah non-duniawi, namun bukan berarti hanya bermanfaat bagi para petapa. Semua orang, bahkan kriminal yang mau berubah sekalipun bisa mendapatkan kemajuan dari Ajaran Buddha, yang secara tidak langsung juga dalam prosesnya, memperbaiki sisi kehidupan duniawi juga. Menurut saya begitu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 02:55:17 PM
mempelajari keduanya sebagai ajaran yang independen, ini yang susah.
karena konsep yang satu akan mengusik konsep lainnya.

tapi tidak apa2 lah, ambil yang bermanfaat saja.
seperti ceramah Pak Wowor, kamu cocoknya yang mana?  :D

pertanyaan selanjutnya :

seorang Sottapanna telah mematahkan 3 belenggu :
- Pandangan salah tentang aku(Sakkāya-diṭṭhi)
- Keragu-raguan terhadap Buddha, Dharma, Sangha (Vicikicchā)
- Kemelekatan terhadap peraturan dan ritual (Sīlabbata-parāmāsa)

pada sebuah tulisan yang saya baca ada tulisan berikut :

Terdapat 4 hal yang bila dikembangkan dan dilatih, menuntun kepada buah Pemasuk Arus yakni:
1. Bergaul dengan mereka yang bijaksana
2. Mendengarkan Dhamma yang asli
3. Perhatian/Pengamatan yang seksama
4. Praktek yang sesuai dengan Dhamma.

point 1,3 dan 4 mungkin masih bisa saya mengerti dan tidak membuat saya dilema
tapi point 2. Mendengarkan Dhamma yang asli ini yang membuat saya kepikiran terus.
maksudnya dhamma yang asli itu bagaimana?

terus menurut bro Kain sendiri keempat hal diatas bagaimana? apa benar begitu?
Untuk mengetahui 'keaslian dhamma', seseorang harus memiliki perhatian dan penyelidikan terhadap dhamma itu sendiri. Apakah benar sebuah ajaran membawa orang pada padamnya keserakahan dan kebencian, apakah benar sebuah ajaran mengajarkan kita melihat realitas apa adanya bukan sekadar indoktrinasi dogmatis. Dengan patokan ini, seseorang bisa menilai sendiri tanpa perlu dibiaskan dengan merk 'aseli'.

Bergaul dengan para bijaksana maksudnya memang kita mencari bimbingan dari mereka yang bisa mengarahkan pada kebaikan. Dari mereka kita mendapatkan dhamma yang 'aseli' lalu kita selidiki sendiri dhamma tersebut, kemudian kita praktikkan.

Juga kalau kita bicara konteks pencapaian kesucian, tidak ada praktik lain selain pengembangan meditasi (ketenangan & perhatian). Sebagai penganut Ajaran Buddhisme, tidak akan mendapatkan hasil optimal tanpa pengembangan meditasi tersebut.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 20 December 2011, 03:05:50 PM
makasih om kainyn penjelasannya, tapi saya ralat sedikit, dari buku yang saya baca(buddha abhidhamma), memang yang berfungsi sebagai memory itu adalah sanna atau persepsi...

Quote
3 Sanna
Sanna takes note of the sense-objects as to colour, form, shape,
name, etc. It functions as memory. It is sannà that enables one to
recognize an object that has once been perceived by the mind
through the senses. Without sannà, we would not remember our
names, our parents, our wives and children, our houses, etc. So
it would be impossible to live in the community.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 20 December 2011, 03:10:12 PM
Untuk mengetahui 'keaslian dhamma', seseorang harus memiliki perhatian dan penyelidikan terhadap dhamma itu sendiri. Apakah benar sebuah ajaran membawa orang pada padamnya keserakahan dan kebencian, apakah benar sebuah ajaran mengajarkan kita melihat realitas apa adanya bukan sekadar indoktrinasi dogmatis. Dengan patokan ini, seseorang bisa menilai sendiri tanpa perlu dibiaskan dengan merk 'aseli'.

Bergaul dengan para bijaksana maksudnya memang kita mencari bimbingan dari mereka yang bisa mengarahkan pada kebaikan. Dari mereka kita mendapatkan dhamma yang 'aseli' lalu kita selidiki sendiri dhamma tersebut, kemudian kita praktikkan.

Juga kalau kita bicara konteks pencapaian kesucian, tidak ada praktik lain selain pengembangan meditasi (ketenangan & perhatian). Sebagai penganut Ajaran Buddhisme, tidak akan mendapatkan hasil optimal tanpa pengembangan meditasi tersebut.

banyak cerita, salah satunya yang saya ingat tentang anatapindika (tulisannya bener gak sih?) beliau hanya mendengarkan beberapa patah kata dari sang buddha langsung mencapai buah pemasuk arus.
tidak ada meditasi disitu, bagaimana bisa?
atau apakah mungkin orang yang lahir pada saat para buddha muncul dan memiliki akses bertemu dan mendengarkan langsung dhamma yang dibabarkan oleh sang buddha adalah orang yang sangat didukung oleh kamma baik lampau, sehingga hanya dengan mendengarkan sedikit dhamma saja cukup memberikan pencerahan pada dirinya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 03:22:13 PM
makasih om kainyn penjelasannya, tapi saya ralat sedikit, dari buku yang saya baca(buddha abhidhamma), memang yang berfungsi sebagai memory itu adalah sanna atau persepsi...
Thanks buat kutipannya.
Saya tidak sependapat. Betul, sanna yang mengenali, namun sanna mengenali berdasarkan bentukan pikiran. Jadi di sini misalnya kita melihat kucing, maka persepsi pikiran mengenali kontak persepsi mata tersebut, dan memeriksa bentuk pikiran masa lampau yang berhubungan dengan bentuk tersebut. Ketika ada bentuk pikiran masa lampau yang dipersepsi berhubungan dengan bentuk tersebut, maka persepsi mengenalnya sebagai objek yang sama. Singkatnya sanna yang memproses ingatan, namun ingatan sendiri adalah bentukan pikiran.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 20 December 2011, 03:26:47 PM
banyak cerita, salah satunya yang saya ingat tentang anatapindika (tulisannya bener gak sih?) beliau hanya mendengarkan beberapa patah kata dari sang buddha langsung mencapai buah pemasuk arus.
tidak ada meditasi disitu, bagaimana bisa?
atau apakah mungkin orang yang lahir pada saat para buddha muncul dan memiliki akses bertemu dan mendengarkan langsung dhamma yang dibabarkan oleh sang buddha adalah orang yang sangat didukung oleh kamma baik lampau, sehingga hanya dengan mendengarkan sedikit dhamma saja cukup memberikan pencerahan pada dirinya?
setahu saya kalau dalam komentar-komentar yang saya baca, setelah mendengarkan khotbah dari sang buddha, orang tersebut merenungkan kata dan makna tersebut dalam pikirannya, dan menggunakannya sebagai subjek meditasi dan di tempat duduk itu juga, ia mencapai tingkat kesucian...
jadi bukannya orang tersebut tidak bermeditasi, hanya saja ia bermeditasi dalam waktu yang singkat dan mencapai buah kesucian pada saat itu juga..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 03:34:03 PM
banyak cerita, salah satunya yang saya ingat tentang anatapindika (tulisannya bener gak sih?) beliau hanya mendengarkan beberapa patah kata dari sang buddha langsung mencapai buah pemasuk arus.
tidak ada meditasi disitu, bagaimana bisa?
Pencapaian kesucian adalah sebuah rangkaian perjuangan panjang selama berkalpa-kalpa. Kadang kita hanya melihat 'ujung'-nya saja, yaitu kehidupan terakhirnya, sehingga seolah-olah gampang sekali memperoleh kesucian. Untuk ini, ada contoh paling gampang yaitu Thera Cula-panthaka yang terkenal itu. Ia pelupa dan modal satu kalimat dan kain yang diusap-usap, langsung mencapai Arahatta. Bayangkan dari tukang lupa langsung ke Arahat yang sangat sakti. Kesannya semua instant. ;D Padahal dikisahkan pada masa Buddha Kassapa saja, Culapanthaka ini melatih Odata-kasina selama 20.000 tahun penuh.

Jadi pencapaian itu tetap adalah hasil dari perjuangan panjang seseorang, hanya saja cara mencapainya berbeda-beda, ada yang kelihatan susah-payahnya, ada yang seperti sepele saja. Tapi sebetulnya semuanya telah berlatih dengan sungguh-sungguh di masa lampau dalam waktu yang sangat lama.


Quote
atau apakah mungkin orang yang lahir pada saat para buddha muncul dan memiliki akses bertemu dan mendengarkan langsung dhamma yang dibabarkan oleh sang buddha adalah orang yang sangat didukung oleh kamma baik lampau, sehingga hanya dengan mendengarkan sedikit dhamma saja cukup memberikan pencerahan pada dirinya?
Tentu saja begitu. Dikatakan menjadi manusia itu sulit. Munculnya seorang Samma Sambuddha lebih langka lagi. Menjadi manusia di saat Samma Sambuddha muncul, dan bisa bertemu langsung dan mendengarkan pengajaran, itu sudah pasti bukan hasil kamma 'biasa-biasa aja'. Dan kalau kita sering perhatikan di komentar, orang-orang yang 'berjodoh' dengan Buddha Gotama ini adalah memang yang sejak masa lampau pun sudah sering bertemu dan berinteraksi, membangun ikatan kamma yang kuat. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 03:35:38 PM
setahu saya kalau dalam komentar-komentar yang saya baca, setelah mendengarkan khotbah dari sang buddha, orang tersebut merenungkan kata dan makna tersebut dalam pikirannya, dan menggunakannya sebagai subjek meditasi dan di tempat duduk itu juga, ia mencapai tingkat kesucian...
jadi bukannya orang tersebut tidak bermeditasi, hanya saja ia bermeditasi dalam waktu yang singkat dan mencapai buah kesucian pada saat itu juga..
Tidak selalu bermeditasi juga. Misalnya Sariputta yang dengar 2 baris syair dari Asajji langsung Sotapanna.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 20 December 2011, 03:44:45 PM
Tidak selalu bermeditasi juga. Misalnya Sariputta yang dengar 2 baris syair dari Asajji langsung Sotapanna.
kalau "merenungi" bait dhamma bisa gak??  ;D ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 03:48:02 PM
kalau "merenungi" bait dhamma bisa gak??  ;D ;D
Iya, tentu direnungkan, tapi karena kematangan kebijaksanaannya, perenungan sebentar langsung membuahkan hasil, tidak perlu 'masuk' pada perhatian mendalam seperti dalam meditasi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 20 December 2011, 03:57:35 PM
tengkiu...


next :

mengetahui bahwa harus mematahkan 3 belunggu ini (sebagai pemasuk arus)
tau harus dipatahkan namun tidak mampu mematahkan dalam kehidupan ini, bisa kah seseorang bertekad untuk melanjutkan usahanya di kelahiran selanjutnya? bagaimana caranya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 04:06:11 PM
tengkiu...


next :

mengetahui bahwa harus mematahkan 3 belunggu ini (sebagai pemasuk arus)
tau harus dipatahkan namun tidak mampu mematahkan dalam kehidupan ini, bisa kah seseorang bertekad untuk melanjutkan usahanya di kelahiran selanjutnya? bagaimana caranya?
Tentu saja bisa. Kalau semua harus instant dalam 1 kehidupan, saya tidak mau pilih Ajaran Buddha. ;D

Caranya adalah dengan mengarahkan pikiran sesuai dhamma, dan hidup sesuai dhamma. Apapun yang kita pikirkan atau kembangkan, akan menjadi kecenderungan kita. Seseorang yang cenderung pada dhamma, maka tentu akan 'mencari' dhamma, apakah kehidupan sekarang maupun selanjutnya. Jadi tidak perlu khawatir. Jagalah sila (sebab tanpa sila, orang tidak terlahir di alam baik, sementara dhamma hanya 'beredar' dan dipahami oleh makhluk di alam yang baik), kemudian kembangkan samadhi dan panna. Hal ini akan selalu membuat kita terkondisi pada dhamma.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 20 December 2011, 04:15:30 PM
Tentu saja bisa. Kalau semua harus instant dalam 1 kehidupan, saya tidak mau pilih Ajaran Buddha. ;D

Caranya adalah dengan mengarahkan pikiran sesuai dhamma, dan hidup sesuai dhamma. Apapun yang kita pikirkan atau kembangkan, akan menjadi kecenderungan kita. Seseorang yang cenderung pada dhamma, maka tentu akan 'mencari' dhamma, apakah kehidupan sekarang maupun selanjutnya. Jadi tidak perlu khawatir. Jagalah sila (sebab tanpa sila, orang tidak terlahir di alam baik, sementara dhamma hanya 'beredar' dan dipahami oleh makhluk di alam yang baik), kemudian kembangkan samadhi dan panna. Hal ini akan selalu membuat kita terkondisi pada dhamma.

terima kasih

next :

apakah para deva 'pasti' akan memiliki ingatan akan kelahirannya sebelumnya? sehingga seorang manusia yang sebelumnya tekun mempraktekkan dhamma setelah mati dan 'pindah' ke alam deva masih bisa meneruskan apa yang ditekuninya pada kehidupan lampau?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 20 December 2011, 04:18:18 PM
^
^
saya pernah tanya yang ini sebelumnya, jadi mohon abaikan saja.
maaf.

masih ada yang mau ditanyakan, tapi lanjut besok2 aja.

bro Kain, terima kasih atas waktunya.
 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 December 2011, 04:20:07 PM
^
^
saya pernah tanya yang ini sebelumnya, jadi mohon abaikan saja.
maaf.

masih ada yang mau ditanyakan, tapi lanjut besok2 aja.

bro Kain, terima kasih atas waktunya.
 _/\_
Tanyanya ke saya juga?
Ya, tidak masalah, kapan saja boleh. Tapi saya juga ga janji bisa langsung jawab. ;D
Sama-sama terima kasih. :)
 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 20 December 2011, 04:21:42 PM
terima kasih

next :

apakah para deva 'pasti' akan memiliki ingatan akan kelahirannya sebelumnya? sehingga seorang manusia yang sebelumnya tekun mempraktekkan dhamma setelah mati dan 'pindah' ke alam deva masih bisa meneruskan apa yang ditekuninya pada kehidupan lampau?
bisa kalau devanya mau mengingatnya...
sepertinya semua dewa memang memiliki kemam[uan seperti ini, karena mereka tidak mengalami proses perkembangan dari janin-bayi, hingga dewasa... CMIIW
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 21 December 2011, 10:18:13 AM
Kebetulan beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah buku, ada hubungannya dengan pertanyaanya om rico yang di page sebelumnya, mungkin bisa sedikit membantu.
Sumber tulisan ini dari buku Bangunlah, Dunia!, kumpulan ceramah dari Bhikkhu Revata pada berbagai retret meditasi.
Silahkan dibaca...

Empat tipe orang disebutkan dalam perumpamaan teratai. Mereka adalah:
1.   Teratai yang dilahirkan di dalam air dan ketika telah mencapai permukaan air, tumbuh keluar dari air dan tidak tercemar olehnya. Ini adalah seorang Ugghatitannu.
2.   Teratai yang dilahirkan di dalam air dan mencapai permukaan. Ini adalah seorang Vipacitannu.
3.   Teratai yang dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, dan, tanpa meninggalkan air, berkembang di dalam air. Ini adalah seorang Neyya.
4.   Teratai yang dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, dan, tanpa meninggalkan air, mereka mati di dalam air. Ini adalah seorang Padaparama.
Diantara keempat tipe orang tersebut, tiga tipe pertama dapat mengakhiri penderitaan.

Orang jenis pertama, (seorang Ugghatitannu), adalah seseorang yang bisa terbangunkan hanya dengan mendengarkan petunjuk ringkas. Y.M.Sariputta adalah contoh seorang Ugghatitannu. Dia mencapai tingkat Sotapanna, hanya dengan mendengarkan bait pendek yang terdiri dari empat baris. Jadi silahkan dengarkan dan cari tau apakah anda juga bisa mencapai tingkat Sotapanna. Jika anda bisa, saya akan sangat senang.
“Ye dhamma hetuppabhava;
Tesam hetum tathagato aha,
Te sansa yo niroda;
Evam vadi maha samano.”

Yang Mulia Sariputta merealisasi pencapaian Sotapanna setelah ia mendengar kata-kata: “Ye dhamma hetuppabhava; Tesam hetum tathagato aha, tapi sebelum kata ‘aha’.
Kita perlu mengerti alasan-alasan pencapaian yang cepat oleh orang yang hidup pada jaman Sang Buddha. Sekarang, orang memperdebatkannya. Beberapa bahkan percaya tidak perlu untuk berlatih. Mereka berfantasi bahwa orang pada jaman sekarang juga dapat mencapai tingkat realisasi mendalam, hanya dengan mendengarkan ceramah Dhamma. Untuk mempertahankan pendapatnya, mereka merujuk berbagai kejadian yang terjadi pada jaman Sang Buddha tersebut. Jika pada saat itu bisa, mengapa sekarang tidak?

Dalam Kitab Komentar kita menemukan jawabannya. Hal ini dijelaskan bahwa pengikut awal Sang Buddha bisa menembus Dhamma begitu cepat karena beberapa alasan berikut. Dalam banyak kehidupan sebelumnya mereka mengakumulasikan empat penyebab:
a.   Penguasaan kitab suci ………………  (Pariyatti). Mereka mempelajari sehingga mahir dalam kitab suci Dhamma.
b.   Mendengar ……………  (Savana). Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan hormat terhadap Dhamma yang dijelaskan selama kurun kehidupan lampau yang tak terhingga.
c.   Penyelidikan …………… (Paripuccha). Mereka meneliti dan mendiskusikan bagian dan penjelasan dalam teks dan Kitab Komentar yang sulit.
d.   Usaha sebelumnya ……………… (Pubbayoga). Mereka terlibat dalam praktik meditasi Samatha-Vipassana samapi tingkat Pengetahuan Keseimbangan Terhadap Bentuk-bentuk (sankharupekkha nana) selama dispensasi dari para Buddha.

Karena keempat penyebab inilah, orang pada saat itu mampu dengan cepat merealisasi pencapaian mendalam, dalam salah satu kehidupan terakhir mereka. Karena empat penyebab itu, hasil ini terjadi:
e.   Pencapaian ………………… (Adhigama). Pencapaian Jalan dan Buah Arahat, atau pencapaian Jalan dan Buah lainnya.

Kita sekarang tahu bahwa mereka yang telah menyempurnakan parami seperti penguasaan kitab suci (Pariyatti), mendengar (Savana), penyelidikan (Paripucca), dan upaya sebelumnya (Pubbayoga) mampu mencapai Jalan dan Buah Kebijaksanaan dengan cepat, kadang-kadang hanya dengan mendengarkan bait yang sangat singkat. Diantara parami, ‘upaya sebelumnya’ (Pubbayoga) sangat penting. Karena akumulasi praktek Meditasi Samatha-Vipassana di masa lalu sampai pada Pengetahuan Keseimbangan Terhadap Bentuk-Bentuk (sankharupekkha nana), murid-murid awal tersebut sudah sangat dekat dengan Jalan dan Buah Kebijaksanaan. Ketika pergi untuk dana makanan, mereka berlatih meditasi. Ketika kembali, mereka berlatih meditasi. Murid-murid awal tersebut telah membuat upaya sebelumnya selama banyak kehidupan. Jadi dalam kehidupan terakhir mereka, hanya dengan mendengarkan Dhamma sudah cukup untuk melihat Nibbana.

Spoiler: ShowHide
jika ada yang berminat untuk membaca penjelasan tipe orang ke dua sampai empat, bisa kasi tau saja, nanti saya ketikkan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 21 December 2011, 10:41:08 AM
Kebetulan beberapa hari yang lalu saya sempat membaca sebuah buku, ada hubungannya dengan pertanyaanya om rico yang di page sebelumnya, mungkin bisa sedikit membantu.
Sumber tulisan ini dari buku Bangunlah, Dunia!, kumpulan ceramah dari Bhikkhu Revata pada berbagai retret meditasi.
Silahkan dibaca...

Empat tipe orang disebutkan dalam perumpamaan teratai. Mereka adalah:
1.   Teratai yang dilahirkan di dalam air dan ketika telah mencapai permukaan air, tumbuh keluar dari air dan tidak tercemar olehnya. Ini adalah seorang Ugghatitannu.
2.   Teratai yang dilahirkan di dalam air dan mencapai permukaan. Ini adalah seorang Vipacitannu.
3.   Teratai yang dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, dan, tanpa meninggalkan air, berkembang di dalam air. Ini adalah seorang Neyya.
4.   Teratai yang dilahirkan di dalam air, tumbuh di dalam air, dan, tanpa meninggalkan air, mereka mati di dalam air. Ini adalah seorang Padaparama.
Diantara keempat tipe orang tersebut, tiga tipe pertama dapat mengakhiri penderitaan.

Orang jenis pertama, (seorang Ugghatitannu), adalah seseorang yang bisa terbangunkan hanya dengan mendengarkan petunjuk ringkas. Y.M.Sariputta adalah contoh seorang Ugghatitannu. Dia mencapai tingkat Sotapanna, hanya dengan mendengarkan bait pendek yang terdiri dari empat baris. Jadi silahkan dengarkan dan cari tau apakah anda juga bisa mencapai tingkat Sotapanna. Jika anda bisa, saya akan sangat senang.
“Ye dhamma hetuppabhava;
Tesam hetum tathagato aha,
Te sansa yo niroda;
Evam vadi maha samano.”

Yang Mulia Sariputta merealisasi pencapaian Sotapanna setelah ia mendengar kata-kata: “Ye dhamma hetuppabhava; Tesam hetum tathagato aha, tapi sebelum kata ‘aha’.
Kita perlu mengerti alasan-alasan pencapaian yang cepat oleh orang yang hidup pada jaman Sang Buddha. Sekarang, orang memperdebatkannya. Beberapa bahkan percaya tidak perlu untuk berlatih. Mereka berfantasi bahwa orang pada jaman sekarang juga dapat mencapai tingkat realisasi mendalam, hanya dengan mendengarkan ceramah Dhamma. Untuk mempertahankan pendapatnya, mereka merujuk berbagai kejadian yang terjadi pada jaman Sang Buddha tersebut. Jika pada saat itu bisa, mengapa sekarang tidak?

Dalam Kitab Komentar kita menemukan jawabannya. Hal ini dijelaskan bahwa pengikut awal Sang Buddha bisa menembus Dhamma begitu cepat karena beberapa alasan berikut. Dalam banyak kehidupan sebelumnya mereka mengakumulasikan empat penyebab:
a.   Penguasaan kitab suci ………………  (Pariyatti). Mereka mempelajari sehingga mahir dalam kitab suci Dhamma.
b.   Mendengar ……………  (Savana). Mereka mendengarkan dengan penuh perhatian dan hormat terhadap Dhamma yang dijelaskan selama kurun kehidupan lampau yang tak terhingga.
c.   Penyelidikan …………… (Paripuccha). Mereka meneliti dan mendiskusikan bagian dan penjelasan dalam teks dan Kitab Komentar yang sulit.
d.   Usaha sebelumnya ……………… (Pubbayoga). Mereka terlibat dalam praktik meditasi Samatha-Vipassana samapi tingkat Pengetahuan Keseimbangan Terhadap Bentuk-bentuk (sankharupekkha nana) selama dispensasi dari para Buddha.

Karena keempat penyebab inilah, orang pada saat itu mampu dengan cepat merealisasi pencapaian mendalam, dalam salah satu kehidupan terakhir mereka. Karena empat penyebab itu, hasil ini terjadi:
e.   Pencapaian ………………… (Adhigama). Pencapaian Jalan dan Buah Arahat, atau pencapaian Jalan dan Buah lainnya.

Kita sekarang tahu bahwa mereka yang telah menyempurnakan parami seperti penguasaan kitab suci (Pariyatti), mendengar (Savana), penyelidikan (Paripucca), dan upaya sebelumnya (Pubbayoga) mampu mencapai Jalan dan Buah Kebijaksanaan dengan cepat, kadang-kadang hanya dengan mendengarkan bait yang sangat singkat. Diantara parami, ‘upaya sebelumnya’ (Pubbayoga) sangat penting. Karena akumulasi praktek Meditasi Samatha-Vipassana di masa lalu sampai pada Pengetahuan Keseimbangan Terhadap Bentuk-Bentuk (sankharupekkha nana), murid-murid awal tersebut sudah sangat dekat dengan Jalan dan Buah Kebijaksanaan. Ketika pergi untuk dana makanan, mereka berlatih meditasi. Ketika kembali, mereka berlatih meditasi. Murid-murid awal tersebut telah membuat upaya sebelumnya selama banyak kehidupan. Jadi dalam kehidupan terakhir mereka, hanya dengan mendengarkan Dhamma sudah cukup untuk melihat Nibbana.

terima kasih saya sangat menghargai ini, ini makin memperjelas jawaban sebelumnya dari bro Kain.


jika ada yang berminat untuk membaca penjelasan tipe orang ke dua sampai empat, bisa kasi tau saja, nanti saya ketikkan.

sis kalau ada yang sudah terketik kopi pastel aja dah...
tapi klo belum, panjang gak sih tulisannya? klo panjang lebih baik jangan, saya jadi merasa terbebani perasaan tidak enak. hanya karena rasa ingin tau, sampe repotin orang lain.
klo ada link, mending kasih linknya saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 21 December 2011, 12:27:07 PM
sebenarnya bukan merepotkan, tapi memberi kesempatan untuk berbuat baik.
nanti coba saya cari versi pdfnya dulu, soalnya buku itu juga dibagikan gratis.
tapi kalo tidak, gpp diketik ulang.
nanti PM aja deh, soalnya kalo disini takutnya merusak jurnalnya om kainyn, kecuali jika om kainyn mengijinkan.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 December 2011, 01:05:21 PM
sebenarnya bukan merepotkan, tapi memberi kesempatan untuk berbuat baik.
nanti coba saya cari versi pdfnya dulu, soalnya buku itu juga dibagikan gratis.
tapi kalo tidak, gpp diketik ulang.
nanti PM aja deh, soalnya kalo disini takutnya merusak jurnalnya om kainyn, kecuali jika om kainyn mengijinkan.  :)
Oh, ga apa kok. Di sini tempatnya bebas dan terbuka, apalagi untuk pengetahuan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 21 December 2011, 02:59:48 PM
sip, yang punya rumah dah kasih izin.
so kita bisa dikit ngobrol santai disini...  ;D ;D

tapi sis, kalaupun harus ketik ulang disingkat aja sis. kasian, pastinya panjang.

oh ya saya juga lagi search di mbah gugel, judul bukunya Bangunlah, Dunia. ya kan?
tapi belum ketemu nih...
banyak judul yang mirip, tapi sepertinya bukan buku dimaksud.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 23 December 2011, 04:49:48 PM
tanya dong om kutho ;D.

bagaimana mengatasi kesombongan akibat pencapaian di masa lalu? ;D
misalnya kehidupan sebelumnya menelurkan murid-murid yang berbakat, tapi di kehidupan sekarang sekarang tidak punya murid lagi tapi masih bangga dengan murid-muridnya dikehidupan lampau ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 23 December 2011, 04:56:19 PM
tanya dong om kutho ;D.

bagaimana mengatasi kesombongan akibat pencapaian di masa lalu? ;D
misalnya kehidupan sebelumnya menelurkan murid-murid yang berbakat, tapi di kehidupan sekarang sekarang tidak punya murid lagi tapi masih bangga dengan murid-muridnya dikehidupan lampau ;D.
Kesombongan di manapun juga adalah hal semu yang rapuh. Orang memiliki pencapaian (duniawi) tertentu yang terkondisi dan berubah. Ketika kondisi tersebut berubah, namun ia masih melekat pada 'keberhasilan' tersebut. Akhirnya seperti petinju tua renta dan bongkok, selalu berpikir dirinya sekuat waktu dia masih juara dunia.

Bagaimana orang mengatasi kesombongan tersebut adalah dengan menyadari keterkondisian duniawi. Punya harta, punya nama baik, banyak pengikut, atau bahkan mencapai jhana 8, semua itu terkondisi. Memahami ketidak-kekalan tersebut, maka dia tidak akan melekatinya. Dengan begitu kesombongan pun akan memudar dengan sendirinya. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 23 December 2011, 05:07:30 PM
Sebelumnya, saya ulangi, uraian ini saya kutip dari buku Bangunlah, Dunia!, yang merupakan kumpulan dhammadesana dari Bhikkhu Revata diberbagai pusat meditasi.
Kata "saya" dalam uraian tersebut mengacu pada Bhikkhu Revata.
---
lanjutan penjelasan mengenai empat tipe orang dalam perumpamaan teratai

Tipe orang kedua (seorang Vipacitannu) adalah seseorang yang membutuhkan petunjuk rinci. Apakah anda ingat lima pertapa yang sebelumnya menjaga Bodhisatta selama enam tahun Ia menjalankan praktek ekstrim? Anda sekarang sudah ingat? Ketika Bodhisatta menghentikan praktek itu, mereka meninggalkanNya. Ketika Bodhisatta menjadi Buddha yang tercerahkan sempurna, Dia mencari kelima pertapa itu untuk memberi ceramah. Ceramah itu merupakan ceramah pertama yang diberikan oleh Sang Buddha. Apakah anda ingat judul ceramah itu? Sutta Pemutaran Roda Dhamma (Dhammacakkapavattana Sutta). Dalam Sutta itu, Sang Buddha memberikan petunjuk rinci. Ketika mendengar itu, satu diantara lima pertapa itu mencapai tingkat Pemasuk Arus (Sotapanna). Ia adalah Y.M.Kondanna. Ketika Sang Buddha memberikan petunjuk lanjutan kepada pertapa lainnya dengan ceramah Dhamma, Y.M.Vappa dan Y.M.Bhaddiya juga mencapai tingkat Pemasuk Arus. Setelah makan dana makanan yang dibawa oleh ketiga Pemasuk Arus, Y.M.Kondanna, Y.M.Vappa dan Y.M.Bhaddiya, Sang Buddha terus memberikan petunjuk lanjutan kepada sisa dua pertapa dengan ceramah Dhamma. Tidak lama setelah itu, Y.M.Mahanama dan Y.M.Asaji juga mencapai Pemasuk Arus. Kita sekarang tahu bahwa Y.M.Kondanna, Y.M.Vappa, Y.M.Bhaddiya, Y.M.Mahanama, dan Y.M.Asaji adalah tipe orang kedua, seorang Vipacitannu.

Banyak diantara kita yang juga pernah mendengarkan atau membaca Sutta Dhammacakkapavattana. Apakah kita mencapai pemasuk arus? Jika tidak, kita dapat menyimpulkan bahwa kita bukan tipe orang kedua, seorang Vipacitannu, yang dapat merealisasi Nibbana hanya dengan mendengarkan penjelasan rinci tentang Dhamma.

Tipe orang ketiga (seorang Neyya) adalah orang yang tidak dapat mencapai pemasuk arus hanya dengan mendengarkan rangkuman atau rincian instruksi. Melainkan dengan mempraktekkan latihan moralitas (Sila), latihan konsentrasi (Samadhi) dan latihan kebijaksanaan (Panna) langakah demi langkah, secara sistematis, mereka baru bisa merealisasi Empat Kebenaran Mulia dan mencapai Nibbana. Saya percaya bahwa ada banyak pendengar yang merupakan tipe orang ketiga ini. Saat ini, tipe orang pertama dan kedua tidak dapat ditemukan dimanapun. Namun, banya orang Neyya yang hidup ditengah-tengah kita hari ini. Untuk merealisasi Nibbana, seorang Neyya perlu mempelajari teks Pali, membahas bagian yang sulit dan penjelasan dalam teks dan Kitab Komentar, dan perlu mengingat apa yang telah dipelajari. Mereka harus bergaul dengan teman yang baik dan harus berlatih meditasi. Ini disebutkan dalam Kitab Komentar.

Berkumpul dengan seoang teman yang baik adalah sangat penting. Sekalipun kita tidak dapat memperoleh pengetahuan dari teks Pali dan Kitab Komentar, jika kita berkumpul dengan seorang teman yang baik yang benar-benar dapat membimbing kita dalam tiga latihan; hanya dengan ini saja dapat membawa kita ke Nibbana. Ketika Sang Buddha mengamati dunia dengan mata BuddhaNya, Dia melihat makhluk-makhluk dengan sedikit debu di mata mereka dan yang dengan banyak debu, makhluk dengan pemahaman tajam dan tumpul, makhluk dengan sifat baik dan buruk, makhluk yang mudah dan yang sulit untuk diajar. Hanya sedikit yang takut melakukan perbuatan buruk dan takut akan dunia setelahnya.

Melihat hal ini, Sang Buddha menjawab Brahma itu dengan ayat-ayat:
“Terbukalah bagi mereka pintu tiada-kematian!
Biarkan mereka yang memiliki telinga melepaskan keyakinan mereka.
Melihat akan timbul masalah, Aku enggan berkotbah pada awalnya,
Dhamma yang sangat baik untuk manusia dan Brahma!”

Sang Buddha telah membuka pintu tiada kematian. Kita harus mempercayakan keyakinan kita kepada Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Jika keyakinan tidak mencukupi, kita tidak mungkin membuka pintu tiada-kematian. Karena kurangnya keyakinan dalam Buddha, Dhamma dan Sangka, kadang-kadang kita mungkin berpikir, apakah benar-benar mungkin mencapai konsentrasi jhana hanya dengan berfokus pada napas? Atau, apakah benar-benar mungkin untuk melihat cahaya hanya dengan berfokus pada keluar masuknya napas? Pikiran-pikiran ini dapat mengganggu dan menguasai pikiran kita dengan keragu-raguan. Jika ini terjadi, orang yang tidak mempunyai keyakinan sering kali berhenti meneruskan pratik. Pikiran mereka penuh dengan keraguan dan mereka menjadi bingung, mereka mengeluh tentang segala hal. Keraguan yang mudah menyebar ini akan menghambat timbulnya keuntungan-keuntungan dalam kehidupan mereka.

Karena itu, Sang Buddha mengatakan:
“Biarkan mereka yang memiliki telinga melepaskan keyakinan mereka.
Melihat akan timbul masalah, Aku tidak berkotbah pada awalnya,
Dhamma yang sangat baik untuk manusia, Brahma!”

Kita tahu bahwa setelah Sang Buddha mencapai pencerahan, Dia cenderung untuk tidak mengajarkan Dhamma. Akhirnya, setelah diminta untuk ketiga kalinya, Sang Buddha menyetujui permintaan Brahma Agung. Dikarenakan belas kasih tak terhingga bagi semua makhluk, Dia mengamati dunia dengan mata BuddhaNya. Dia kemudian melihat orang tipe pertama, kedua dan ketiga seperti yang telah saya jelaskan. Mari kita sekarang jelaskan tipe orang keempat.

Jenis orang keempat (seorang Padaparama) adalah seseorang yang pencapaian tertingginya merupakan pemahaman intelektual teks-teks Dhamma. Meskipun orang seperti ini mempraktikkan latihan moralitas (Sila), latihan konsentrasi (Samadhi), dan latihan kebijaksanaan (Panna) langkah demi langkah, secara sistematis, dan bahkan setelah mendengar rangkuman instruksi atau instruksi rinci, mereka tetap tidak mampu menembus Empat Kebenaran Mulia dan melihat Nibbana dalam kehidupan ini. Semua usaha mereka adalah untuk realisasi dan pencapaian di masa akan datang. Apa yang telah mereka kumpulkan dalam kehidupan saat ini adalah harta yang akan dibawa, sebagai bekal dalam perjalanan ke Nibbana. Oleh karena itu, mereka akan mengetahui dan melihat Dhamma sebagaimana adanya dalam kehidupan masa yang akan datang.

Apa yang harus dilakukan jika kita termasuk tipe orang keempat (seorang Padaparama)? Jika kita adalah tipe orang keempat, meditasi sangat diperlukan, dalam hal ini, sangatlah penting bagi kita mempraktekkan meditasi sebanyak mungkin dalam kehidupan ini. Ini adalah untuk mewujudkan realisasi dan pencapaian kita di masa depan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 26 December 2011, 10:26:02 AM
KK boleh discuss mengenai Pancasila dalam aplikasi kehidupan sehari-hari? kalo memang sudah pernah dibahas sebelumnya, bisa tolong berikan linknya. tq  _/\_

Sebagai umat awam ada 5 sila yang wajib qt lakukan, terkadang aq masih rancu apakah apakah aq sudah melanggar sila atau tidak. Aq sudah mencoba browsing dan dapat masukan sebagai berikut : (karena thread ini sudah lama jd aq copas di sini  ;D)

SILA 1 :    PANATIPATA VERAMANI
      Menghindar membunuh makhluk hidup
OBJEK :
1.   Manusia
2.   Binatang
a.   Binatang yg berguna
b.   Binatang yg tidak berguna
   Binatang yg merugikan
   Binatang yg tidak merugikan

KEHENDAK :
1.   Direncanakan/disengaja/dikehendaki
2.   Tidak di kehendaki  ----> Kalau qt tidak menghendaki baik itu bentuk mempertahankan diri, reflek atau kecelakaan kenapa bisa di sebut melanggar sila? Padahal qt tidak mempunyai niat  lhoo :no:
a.   Dorongan sesaat (mendadak)
b.   Mempertahankan diri
c.   Kecelakaan

USAHA :
1.   Secara Langsung
2.   Secara tidak Langsung

FAKTOR :
1.   Ada Makhluk hidup
2.   Mengetahui bahwa makhluk itu masih hidup  ---> Bila aq mengetahui bahwa mahluk itu hidup, lalu melihat mahluk itu di bunuh, apakah termasuk melanggar sila? Padahal bukan aq lho yang melakukannya  :-?
3.   berpikir untuk membunuhnya
4.   Berusaha untuk membunuhnya
5.   Makhluk itu mati sebagai akibat dari usaha tsb


Catatan :
Penyiksaan terhadap binatang :
Yaitu suatu perlakuan yg sadis/kejam terhadap binatang. Misalnya :
1.   Membiarkan binatang kelaparan
2.   Mencambuk/memukul bagian tubuh binatang
3.   Menganggu/mengusik binatang yg tidak bersalah
4.   Mengadu binatang untuk kesenangan
5.   Menjadikan binatang sebagai umpan untuk menangkap binatang lainnya


SILA II :    ADINNADANA VERAMANI
      Menghindari mencuri/mengambil barang yg tidak diberikan


Pencurian secara langsung
1.   Mencuri
2.   Merampas
3.   Memeras
4.   Merampok
5.   Mengajukan gugatan palsu ---> 4 hal yang aq bold dibawah ini, selain melanggar sila ke 2 juga melanggar sila ke 4 bukan ya? Berarti pelanggaran sila jg bisa ada kombinasinya?
6.   Berbohong/berdusta
7.   Menipu
8.   Memalsu
9.   Mencopet
10.   Menukar barang
11.   Menyeludupkan barang dan menghindari pajak/bea
12.   menggelapkan uang/barang

Pencurian secara tidak langsung
1.   Menjadi kakitangan atau tukang tadah
2.   Merayu/memeras untuk menipu
3.   Menerima suap (pungli) ---> Sebagaimana yang qt semua tau bila berurusan dengan surat-menyurat, biar urusan lancar terkadang qt diminta memberikan uang pelicin, dalam hal ini qt memberikan suap. Berarti dalam kasus tersebut qt membuka jalan bagi orang untuk melangar sila? lalu qt jg termasuk pelanggar?

Perbuatan yg serupa dengan pencurian
1.   Menghancurkan barang milik orang lain dengan tujuan untuk membalas dendam
2.   Menggunakan barang dengan sekehendak hatinya/sewenang-wenang

FAKTOR :
1.   Ada sesuatu/barang/benda milik pihak lain
2.   Mengetahui bahwa barang itu ada pemiliknya
3.   Berpikir untuk mencurinya
4.   Berusaha untuk mencurinya
5.   Berhasil mengambil barang itu melalui usaha tersebut


Catatan :
Empat macam kebahagiaan yang akan diperoleh bagi mereka yg mencari nafkah secara benar – tidak melanggar Hukum Negara dan Ajaran Agama :
1.   Rasa bangga karena memiliki barang (harta) secara sah
2.   Bebas dari rasa takut/khawatir, dan akan merasa aman pergi kemanapun juga
3.   Dapat menggunakan harta yang dimiliki dengan batin yang tidak tertekan – karena merasa tidak bersalah
4.   Memperkuat kemampuan dalam menghindari perbuatan-perbuatan jahat

........

SILA V :   SURAMERAYA MAJJAPAMADATTHANA VERAMANI
      Menghindari segala minuman keras yang menyebabkan lemahnya kesadaran

Objek yang menyebabkan pelanggaran :
1.   Semua jenis minuman yang memabukkan
2.   Barang cair, padat maupun gas yang bila digunakan/dimasukkan ke dalam tubuh bisa membuat lemahnya kesadaran, dan yang bisa menimbulkan ketagihan ---> Bila ada benda yangdimasukkan ke dalam tubuh (bukan minuman keras), yang pada awalnya membantu qt menghilangkan sakit lalu untuk seterusnya qt pakai karena kebiasaan apakah bisa memperlemah kesadaran ?

Tujuan utama dari pelaksanaan sila ini adalah :
1.   Untuk melatih pengendalian diri
2.   Untuk melatih kewaspadaan
3.   Untuk melatih dan mengembangkan kesadaran


Mohon penjelasannya, agar saya bisa lebih memahami maksud dari sila2 tersebut.  _/\_


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 December 2011, 11:40:17 AM
KK boleh discuss mengenai Pancasila dalam aplikasi kehidupan sehari-hari? kalo memang sudah pernah dibahas sebelumnya, bisa tolong berikan linknya. tq  _/\_

Sebagai umat awam ada 5 sila yang wajib qt lakukan, terkadang aq masih rancu apakah apakah aq sudah melanggar sila atau tidak. Aq sudah mencoba browsing dan dapat masukan sebagai berikut : (karena thread ini sudah lama jd aq copas di sini  ;D)

Mohon penjelasannya, agar saya bisa lebih memahami maksud dari sila2 tersebut.  _/\_
Ya, tentu saja boleh kita diskusikan lagi walaupun mungkin pernah dibahas di tempat lain. :)

Quote
----> Kalau qt tidak menghendaki baik itu bentuk mempertahankan diri, reflek atau kecelakaan kenapa bisa di sebut melanggar sila? Padahal qt tidak mempunyai niat  lhoo

Pertama saya mau perjelas dulu bahwa sila ini bukan semacam peraturan mutlak atau harga mati, tapi sebagai suatu panduan bagi kita untuk menghindari perbuatan (kamma) tidak baik yang akan berakibat tidak baik juga.

Kalau kita memang tidak meniati satu perbuatan, maka memang tidak ada kamma yang ditanam. Tapi hati-hati karena bukan berarti tidak ada konsekwensi lainnya. Misalnya karena dikageti, si korban kaget latah dan tinju si pengaget, mati di tempat. Mungkin secara sila tidak salah karena tidak ada niat, tapi tetap saja bisa terjerat hukum.

Kalau mempertahankan diri, itu adalah sesuatu yang kita sadari, jadi tetap ada niatnya. Tapi motivasi dari niat juga menentukan buah kamma itu sendiri. Dalam rumus sederhana: makin terpaksa kita melakukannya, makin kecil buah kammanya. Ini berlaku untuk semua kamma, baik & buruk. Jika kita berdana terpaksa, maka hasilnya sedikit. Jika kita membunuh karena terpaksa mempertahankan diri, maka akibatnya juga lebih ringan.

Quote
---> Bila aq mengetahui bahwa mahluk itu hidup, lalu melihat mahluk itu di bunuh, apakah termasuk melanggar sila? Padahal bukan aq lho yang melakukannya
Tentu saja tidak melanggar sila jika bukan kita yang menyebabkan atau menganjurkan pembunuhan tersebut.

Quote
---> 4 hal yang aq bold dibawah ini, selain melanggar sila ke 2 juga melanggar sila ke 4 bukan ya? Berarti pelanggaran sila jg bisa ada kombinasinya?
Tentu saja bisa dikombinasi. Misalnya orang mabuk di supermarket lalu menunjuk "tuh ada sinterklas terbang!" dan ketika orangnya menoleh ke arah yang ditunjuk, si pemabuk ambil botol kecap dan memukul kepala orang yang menoleh tersebut sehingga meninggal. Nah, itu sudah kombinasi pelanggaran 4 sila.

Quote
---> Sebagaimana yang qt semua tau bila berurusan dengan surat-menyurat, biar urusan lancar terkadang qt diminta memberikan uang pelicin, dalam hal ini qt memberikan suap. Berarti dalam kasus tersebut qt membuka jalan bagi orang untuk melangar sila? lalu qt jg termasuk pelanggar?
Dalam urusan birokrasi ini, sebetulnya ada 2 kasus umum yang berbeda:
1. Urusan bisa dijalankan sesuai hukum, tapi karena kita mau yang gampang, maka menggunakan suap.
2. Instansi birokrasi yang tidak menjalankan fungsinya sesuai hukum kecuali kalau dibayar.

Dalam kasus (1), kita memang menganjurkan orang bermata-pencaharian salah, maka perbuatan kita tidak baik. Dalam kasus (2), itu sama saja seperti kita dirampok. Menurut saya, kita tidak bersalah dalam hal ini.

Quote
---> Bila ada benda yangdimasukkan ke dalam tubuh (bukan minuman keras), yang pada awalnya membantu qt menghilangkan sakit lalu untuk seterusnya qt pakai karena kebiasaan apakah bisa memperlemah kesadaran ?
Maksud sila ke lima di sini bukan membahas masalah 'kecanduan' tapi memperlemah kesadaran. Jika kasusnya adalah sakit (beneran, bukan yang dibuat-buat), penggunaan zat apapun untuk kesembuhan tidak termasuk pelanggaran sila. Sila ini juga bukan masalah zat itu 'haram' atau apa, tetapi kalau kesadaran lemah, maka kita tidak bisa memusatkan pikiran, tidak bisa memahami dhamma, otomatis tidak tahu mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Dari pikiran kacau itu, maka tentu perbuatan tidak terjaga, bisa ke mana-mana akibatnya.
Untuk hal kecanduan, itu bahasan berbeda lagi, dan juga luas pembahasannya, tergantung kasus per kasus.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 26 December 2011, 12:26:05 PM
Terima kasih buat penjelasannya  _/\_

Kalau mempertahankan diri, itu adalah sesuatu yang kita sadari, jadi tetap ada niatnya. Tapi motivasi dari niat juga menentukan buah kamma itu sendiri. Dalam rumus sederhana: makin terpaksa kita melakukannya, makin kecil buah kammanya. Ini berlaku untuk semua kamma, baik & buruk. Jika kita berdana terpaksa, maka hasilnya sedikit. Jika kita membunuh karena terpaksa mempertahankan diri, maka akibatnya juga lebih ringan.  :yes:

Tentu saja tidak melanggar sila jika bukan kita yang menyebabkan atau menganjurkan pembunuhan tersebut. ---> Statement ini aq masih mengganjal. Kadangkala aq berpikir seperti di atas, tapi kadang terbesit pikiran kalau aq bisa mencegah maka tidak terjadi pembunuhan dunk. Semacam rasa bersalah muncul, apakah anda punya pendapat mengapa hal ini bisa terjadi?  Dalam hal ini konteksnya bukan hanya pembunuhan, bisa jg aq melihat perbuatan asusila lainnya misalnya aq mengetahui perselingkuhan. Walau bukan aq yang melakukan tapi aq mengetahui hal tersebut, apakah aq harus diam saja?

Dalam urusan birokrasi ini, sebetulnya ada 2 kasus umum yang berbeda:
1. Urusan bisa dijalankan sesuai hukum, tapi karena kita mau yang gampang, maka menggunakan suap.
2. Instansi birokrasi yang tidak menjalankan fungsinya sesuai hukum kecuali kalau dibayar.

Dalam kasus (1), kita memang menganjurkan orang bermata-pencaharian salah, maka perbuatan kita tidak baik. Dalam kasus (2), itu sama saja seperti kita dirampok. Menurut saya, kita tidak bersalah dalam hal ini.   :yes:

Maksud sila ke lima di sini bukan membahas masalah 'kecanduan' tapi memperlemah kesadaran. Jika kasusnya adalah sakit (beneran, bukan yang dibuat-buat), penggunaan zat apapun untuk kesembuhan tidak termasuk pelanggaran sila. Sila ini juga bukan masalah zat itu 'haram' atau apa, tetapi kalau kesadaran lemah, maka kita tidak bisa memusatkan pikiran, tidak bisa memahami dhamma, otomatis tidak tahu mana yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Dari pikiran kacau itu, maka tentu perbuatan tidak terjaga, bisa ke mana-mana akibatnya.
Untuk hal kecanduan, itu bahasan berbeda lagi, dan juga luas pembahasannya, tergantung kasus per kasus.
---> Aq kurang paham maksud sila ke5 ini :no:, bisa tolong di perjelas? Lalu luas dalam arti apa ya? Misalkan aq ada satu kasus : Bila seseorang yang kepalanya pusing atau mabuk darat biasanya menggunakan minyak angin untuk meredakan sakit, tapi lama kelamaan dia menggunakannya hampir dalam setiap moment. Kemanapaun dia pergi, benda itu harus ada dan tanpa sebab pun dia bisa memakainya. Menurut aq kategorinya sudah kecanduan, apakah ini bisa memperlemah kesadaran nya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 December 2011, 02:32:56 PM
Terima kasih buat penjelasannya  _/\_
Sama2.  _/\_

Quote
---> Statement ini aq masih mengganjal. Kadangkala aq berpikir seperti di atas, tapi kadang terbesit pikiran kalau aq bisa mencegah maka tidak terjadi pembunuhan dunk. Semacam rasa bersalah muncul, apakah anda punya pendapat mengapa hal ini bisa terjadi?  Dalam hal ini konteksnya bukan hanya pembunuhan, bisa jg aq melihat perbuatan asusila lainnya misalnya aq mengetahui perselingkuhan. Walau bukan aq yang melakukan tapi aq mengetahui hal tersebut, apakah aq harus diam saja?
Dalam hal 'perasaan bersalah', perlu pandangan benar bahwa semua orang bertanggung-jawab pada perbuatannya sendiri-sendiri. Jika kita adalah seperti orang-tua, guru, pembimbing, atau bahkan teman yang baik, maka secara moral kita wajib mengingatkan orang lain tentang perbuatan baik dan buruk. Namun keputusan tetap ada pada masing-masing, kita tidak bisa memaksa orang lain mengikuti kehendak kita. Karena itu, tidak perlu merasa bersalah atau merasa gagal. Usahakan saja yang terbaik.

Mengenai harus diam saja atau bertindak, itu adalah situasional.
Jika kita bisa menasihati dan menghentikan perbuatan buruk orang lain, maka itu adalah kesempatan kita berbuat baik. Tidak ada keharusan untuk melakukannya, tapi alangkah sia-sianya jika kita kita tidak mengambil kesempatan itu. Namun ada juga kalanya tidak tepat bagi kita bertindak karena situasi tidak mendukung. Dalam hal ini, lebih baik juga menahan diri, menjaga keseimbangan bathin. Jangan karena dorongan yang tidak terbendung, malah buat situasi tambah runyam. Untuk itu kita harus bijaksana dalam menilai situasi dan menentukan langkah yang bermanfaat.


Quote
]---> Aq kurang paham maksud sila ke5 ini :no:, bisa tolong di perjelas? Lalu luas dalam arti apa ya? Misalkan aq ada satu kasus : Bila seseorang yang kepalanya pusing atau mabuk darat biasanya menggunakan minyak angin untuk meredakan sakit, tapi lama kelamaan dia menggunakannya hampir dalam setiap moment. Kemanapaun dia pergi, benda itu harus ada dan tanpa sebab pun dia bisa memakainya. Menurut aq kategorinya sudah kecanduan, apakah ini bisa memperlemah kesadaran nya?
Ajaran Buddha adalah justru mengajarkan agar kita selalu waspada dan berperhatian penuh setiap saat. Konsumsi zat2 yang menghilangkan kesadaran itu akan mengganggu kewaspadaan kita, maka kita melatih diri menghindarinya.

Untuk yang minyak angin, sepertinya tidak ada zat yang menyebabkan hilangnya kesadaran. Juga setahu saya tidak ada zat addiktif dalam minyak angin yang menyebabkan tubuh 'menagih'. Paling-paling itu hanya sebatas kebiasaan dan 'kecanduan' secara psikologis saja, mungkin karena penggunaannya memberikan rasa yang enak. Ini tidak masalah, hanya saja ini juga berpotensi pada kemelekatan, dan semua kemelekatan tentu berpotensi pada penderitaan. (Contohnya kalau lagi di satu tempat, kehabisan minyak angin, maka bisa menderita karena hal itu.)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 27 December 2011, 11:14:14 AM
Sama2.  _/\_
Ajaran Buddha adalah justru mengajarkan agar kita selalu waspada dan berperhatian penuh setiap saat. Konsumsi zat2 yang menghilangkan kesadaran itu akan mengganggu kewaspadaan kita, maka kita melatih diri menghindarinya.

Untuk yang minyak angin, sepertinya tidak ada zat yang menyebabkan hilangnya kesadaran. Juga setahu saya tidak ada zat addiktif dalam minyak angin yang menyebabkan tubuh 'menagih'. Paling-paling itu hanya sebatas kebiasaan dan 'kecanduan' secara psikologis saja, mungkin karena penggunaannya memberikan rasa yang enak. Ini tidak masalah, hanya saja ini juga berpotensi pada kemelekatan, dan semua kemelekatan tentu berpotensi pada penderitaan. (Contohnya kalau lagi di satu tempat, kehabisan minyak angin, maka bisa menderita karena hal itu.)

tq buat penjelasannya  :)

Semakin aq pikir  :-?, semua semakin kompleks ya  :'(

Ada asaran untuk melatih diri menghindari kemelekatan? Padahal qt tidak mempunyai rencana untuk melekat, semua terjadi begitu aja seperti kebiasaan.
Sebagai contoh internet, jaman dulu qt tidak menggunakannya tidak apa2 tapi sekarang kalau tidak membuka internet berasa ada yang kurang, apakah ini termasuk bentuk kemelekatan jg?

Pindah topik dikit, pikiran sesuatu yang kompleks. Sulit untuk melatih pikiran itu, terkadang bisa terbesit planning untuk melakukan tindakan tidak benar, sudah ada niat lah tapi kemudian tidak jadi dilaksanakan, apakah itu termasuk kamma? Begitupula sebaliknya, bila qt tidak mempunyai kehendak hanya berupa refleks lalu melakukan tindakan tidak benar, apakah itu jg kamma? Adakah suatu perbuatan yang tidak berakibat kamma?

Lalu manusia terlahir akibat kamma nya sendiri, dia tidak bisa memilih mau lahir di keluarga mana dalam bentuk rupa seperti apa.
Bagaimana dengan bayi yang dilahirkan tidak normal dan baru sebentar di dunia sudah meninggal, berarti dia blm membuat kamma apapun dunk. Lalu selanjutnya bagaimana? Kemudian kenapa orang tuanya bisa mendapatkan kamma seperti itu?
Bagaimana pula dengan orang yang memiliki kelainan seksual, sehingga dia berganti jenis kelamin, apakah ini termasuk tindakan asusila?Lalu akibatnya bagaimana?
Secara singkatnya bagaimana agar aq bisa lebih memahami proses kamma itu sendiri? Mengapa begini dan mengapa begitu :-?

Maaf banyak bertanya dan topiknya loncat2  ;D
mohon bimbingannya  ^:)^ ^:)^ ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 December 2011, 12:11:35 PM
tq buat penjelasannya  :)

Semakin aq pikir  :-?, semua semakin kompleks ya  :'(

Ada asaran untuk melatih diri menghindari kemelekatan? Padahal qt tidak mempunyai rencana untuk melekat, semua terjadi begitu aja seperti kebiasaan.
Sebagai contoh internet, jaman dulu qt tidak menggunakannya tidak apa2 tapi sekarang kalau tidak membuka internet berasa ada yang kurang, apakah ini termasuk bentuk kemelekatan jg?
Ya, memang semua kesederhanaan ini sebetulnya kompleks. :) Maka memang sebaiknya jangan dibuat lebih rumit lagi.

Setiap orang punya kemelekatan yang berbeda, jadi untuk melatih diri, pertama-tama harus menyadari dulu kemelekatan kita masing-masing. Caranya adalah dengan berusaha selalu sadar dan sering memperhatikan bathin kita sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Ketika satu pikiran muncul, menyebabkan suatu perasaan, maka coba disadari. Tidak perlu ditolak atau didukung, tapi diketahui saja timbul-tenggelamnya. Kalau kita sering mengamati demikian, kita tahu pada hal apa saja kita cenderung melekat, dan bisa kita coba batasi.

Secara gampang, apapun yang keterkondisiannya cenderung pada munculnya gejolak perasaan bathin baik senang maupun sedih, maka itu bisa disebut kemelekatan. Seperti internet juga bisa saja menjadi kemelekatan, sehingga ketika tidak ada akses, maka timbul perasaan 'ada yang kurang' (=ketidak-puasan) itu.


Quote
Pindah topik dikit, pikiran sesuatu yang kompleks. Sulit untuk melatih pikiran itu, terkadang bisa terbesit planning untuk melakukan tindakan tidak benar, sudah ada niat lah tapi kemudian tidak jadi dilaksanakan, apakah itu termasuk kamma? Begitupula sebaliknya, bila qt tidak mempunyai kehendak hanya berupa refleks lalu melakukan tindakan tidak benar, apakah itu jg kamma? Adakah suatu perbuatan yang tidak berakibat kamma?
Ketika muncul kehendak dalam pikiran, itu sudah penanaman kamma lewat pikiran. Kemudian kamma diperkuat lagi dengan ucapan dan perbuatan (jasmani). Jadi ketika kita ada niat, walaupun hanya terbesit saja, sebetulnya itu sudah kamma, tapi tentu saja jika tidak dipupuk terus, maka kamma itu lemah dan mungkin tidak cukup untuk menghasilkan akibat signifikan. Tapi kalau kita benar mau berlatih, jangan membenarkan pikiran demikian dengan berpikir, 'ah, cuma mikir iseng doang', karena hal-hal kecil kalau sering dikembangkan, lama-lama jadi besar juga.

Kalau refleks yang betul-betul refleks, karena tidak didorong oleh kehendak di pikiran, maka tidak ada kamma yang terjadi di sana. Mungkin kita sering dengar kutipan dari Buddha Gotama: "Kehendak, para bhikkhu, yang kunyatakan sebagai kamma." Perbuatan lewat pikiran, ucapan, jasmani, menjadi 'subur' lewat kehendak. Tapi tanpa kehendak, ucapan dan perbuatan jasmani tidak ada kammanya.


Quote
Lalu manusia terlahir akibat kamma nya sendiri, dia tidak bisa memilih mau lahir di keluarga mana dalam bentuk rupa seperti apa.
Bagaimana dengan bayi yang dilahirkan tidak normal dan baru sebentar di dunia sudah meninggal, berarti dia blm membuat kamma apapun dunk. Lalu selanjutnya bagaimana? Kemudian kenapa orang tuanya bisa mendapatkan kamma seperti itu?
Kamma itu diwarisi dari kehidupan-kehidupan lampau, bukan hanya dimulai pada satu kelahiran terakhir. Itu sebabnya bahkan ada yang masih di janin namun mengalami abortus, ada yang meninggal saat dilahirkan, dan lain sebagainya. Buddhisme tidak menganut paham 'baru lahir = bersih seperti kertas kosong', namun semua makhluk mewarisi kamma lampaunya. Ketika janin/bayi meninggal, maka ia akan terlahir lagi di keadaan yang sesuai dengan kammanya yang matang pada saat tersebut.

Seorang anak bisa dilahirkan di keluarga tertentu juga memang karena punya hubungan kamma. Ada orang tua yang jadi bahagia karena anaknya, ada juga yang malah seumur hidup disusahkan oleh anaknya. Hal yang tidak baik yang dialami seseorang memang adalah buah kamma buruknya, tetapi bukan berarti dia tidak bisa mengusahakan dan mengubahnya menjadi lebih baik. Soal kamma masa lampau apa, tentu kita tidak tahu. Tapi ada kisah dhamma, mungkin bisa memberikan gambaran sedikit, yaitu sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak, padahal mereka orang yang baik. Suatu ketika, mereka berkesempatan bertemu Buddha Gotama dan bertanya mengapa mereka tidak bisa punya anak walaupun mereka adalah orang yang saleh (dalam kehidupan ini), dan Buddha memberitahu bahwa dulu di suatu kehidupan lampau, mereka naik kapal dan terkena bencana. Mereka berdua selamat dan terdampar di satu pulau. Karena tidak ada makanan, maka mereka setiap hari mencuri telur burung dan memakannya tanpa perasaan menyesal. Karena perbuatan jahat tersebut maka di kehidupan ini mereka tidak memiliki anak.
Ini hanya satu kisah saja, jangan dipukul rata semua yang tidak punya anak berarti dulunya suka curi telur burung yah. ;D

Quote
Bagaimana pula dengan orang yang memiliki kelainan seksual, sehingga dia berganti jenis kelamin, apakah ini termasuk tindakan asusila?Lalu akibatnya bagaimana?
Secara singkatnya bagaimana agar aq bisa lebih memahami proses kamma itu sendiri? Mengapa begini dan mengapa begitu :-?
Konon memang kelainan seksual disebabkan oleh perilaku seksual yang salah. Kalau untuk 'menerawang' proses dari sebab ini memunculkan akibat itu, ini sama sekali bukan kapasitas seorang biasa. Hanya seorang Buddha yang punya pengetahuan tersebut. Hukum kamma diajarkan ke kita agar kita mengerti konsekwensi sebab-akibat dari satu perbuatan, sehingga apapun yang terjadi di saat ini, kita tidak mencari sosok 'kambing hitam', namun menerima bahwa itu adalah akibat dari masa lampau; dan di sisi lain kita juga tidak melakukan perbuatan buruk dan semangat melakukan kebaikan, sebab akibatnya pasti kembali ke diri kita sendiri.

Teori kamma secara garis besar adalah semua hal yang kita lakukan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan tidak menyenangkan. Sebaliknya apa yang kita lakukan dengan tanpa keserakahan, tanpa kebencian, dan tanpa kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan yang menyenangkan.


Quote
Maaf banyak bertanya dan topiknya loncat2  ;D
mohon bimbingannya  ^:)^ ^:)^ ^:)^
Tidak masalah topiknya loncat2, tapi jangan anggap saya sebagai pembimbing, tapi sebagai teman yang berbagi saja. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 27 December 2011, 12:36:13 PM
Teori kamma secara garis besar adalah semua hal yang kita lakukan dengan keserakahan, kebencian, dan kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan tidak menyenangkan. Sebaliknya apa yang kita lakukan dengan tanpa keserakahan, tanpa kebencian, dan tanpa kebodohan bathin sebagai akarnya, maka akan membuahkan perasaan yang menyenangkan. ----> selain dosa, lobha, moha bukannya masih ada irsia?

Tidak masalah topiknya loncat2, tapi jangan anggap saya sebagai pembimbing, tapi sebagai teman yang berbagi saja. :) ---> Karena saya bertanya anda menjawab, maka secara tidak langsung anda jadi sensei ;D or senpai aja kl gt   
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 December 2011, 01:47:14 PM
----> selain dosa, lobha, moha bukannya masih ada irsia?
Irsiya atau iri-hati dan lain-lain itu 'turunan' dari ketidak-sukaan. Intinya 'tidak suka dengan kebahagiaan orang lain'. Lobha-Dosa-Moha ini jangan diartikan secara istilah umum, tapi dari yang kasar sampai yang halus. Bahkan 'kerinduan' kita pada makanan enak pun itu disebut lobha, bukan hanya serakah dalam artian umum.

Pada hakikatnya, kita semua digerakkan oleh lobha, keinginan akan suatu perasaan menyenangkan; dosa, penghindaran suatu perasaan tidak menyenangkan, dan moha, ketidaktahuan akan kebenaran. Dari dorongan ini, muncullah berbagai macam pikiran 'turunan' seperti materialisme, nafsu birahi, iri hati, pandangan salah, dan lain-lain.


Quote
---> Karena saya bertanya anda menjawab, maka secara tidak langsung anda jadi sensei ;D or senpai aja kl gt
;D Ya, kalo 'senpai' masih bisa diterima mengingat saya yang duluan masuk DC (Dojo Campuran) ini, tapi bukan berarti apa yang saya katakan pasti lebih benar dari para junior. Kalau kurang 'klop' dengan pemikiran, jangan ragu-ragu untuk menyanggah atau bertanya lebih lanjut.
Title: PAHALA...
Post by: johan3000 on 27 December 2011, 01:59:38 PM
pada agama lain, menurut penceramah katanya PAHALA akan berkurang,
kalau orang yg melakukan hal baik (spt menyumbang), trus dia koar2 memberitahukan bahwa sumbangan tsb adalah dari dia.

Apakah dalam hal tsb, karma baik juga akan berkurang, kalau seseorang koar2 tentang perbuatan baiknya ? (contoh : setiap ketemu orang dia bilang... nahhh pintu utama wihara dia yg nyumbang)

Apakah dlm Buddhist juga mengenal kata PAHALA ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 December 2011, 02:59:22 PM
pada agama lain, menurut penceramah katanya PAHALA akan berkurang,
kalau orang yg melakukan hal baik (spt menyumbang), trus dia koar2 memberitahukan bahwa sumbangan tsb adalah dari dia.

Apakah dalam hal tsb, karma baik juga akan berkurang, kalau seseorang koar2 tentang perbuatan baiknya ? (contoh : setiap ketemu orang dia bilang... nahhh pintu utama wihara dia yg nyumbang)

Apakah dlm Buddhist juga mengenal kata PAHALA ?
Wah, Buddhist justru kenal pahala = phala/buah.
Tapi kalau dalam teori kamma, tidak seperti itu. Berdana, maka dana itu sendiri punya pahalanya. Memberitahukan orang lain perihal sumbangannya, juga ada pahalanya tersendiri, tergantung niatnya, tapi tidak berarti selalu mengurangi pahala dari perbuatan baik itu sendiri. Jika berkoar-koar hanya untuk menyombongkan diri, maka itu akan jadi kata yang sia-sia, hanya memperkuat ego saja, tapi sepertinya pahala dari berdananya itu sendiri tetap ada, tidak menjadi hilang karena kesombongannya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 27 December 2011, 08:54:14 PM
Irsiya atau iri-hati dan lain-lain itu 'turunan' dari ketidak-sukaan. Intinya 'tidak suka dengan kebahagiaan orang lain'. Lobha-Dosa-Moha ini jangan diartikan secara istilah umum, tapi dari yang kasar sampai yang halus. Bahkan 'kerinduan' kita pada makanan enak pun itu disebut lobha, bukan hanya serakah dalam artian umum. Irsiya ato irsia? #cuma ingin tau singkatannya aja#

Pada hakikatnya, kita semua digerakkan oleh lobha, keinginan akan suatu perasaan menyenangkan; dosa, penghindaran suatu perasaan tidak menyenangkan, dan moha, ketidaktahuan akan kebenaran. Dari dorongan ini, muncullah berbagai macam pikiran 'turunan' seperti materialisme, nafsu birahi, iri hati, pandangan salah, dan lain-lain. --->  Kalau menginginkan "perasaan menyenangkan ato menghindari perasaan tidak menyeangkan" kayanya itu sudah sifat alami deh, tinggal bagaimana cara meredamnya aja. Sedangkan ketidaktahuan akan kebenaran (tuing3x...) yg ini kaga ngarti maksudnya  :(. Apakah seseorang yang tidak mengetahui dhamma dikatakan moha? Apakah seseorang yang mengikuti "aliran sesat" juga moha? Padahal mereka kan mengganggap ajaran mereka pelajari itu benar.

;D Ya, kalo 'senpai' masih bisa diterima mengingat saya yang duluan masuk DC (Dojo Campuran) ini, tapi bukan berarti apa yang saya katakan pasti lebih benar dari para junior. Kalau kurang 'klop' dengan pemikiran, jangan ragu-ragu untuk menyanggah atau bertanya lebih lanjut. --->  woke senpai  ;D, walo qt beda aliran jangan lupa share trik2 waza juga ya  :P 

Oh ya, untuk mengetahui sesuatu itu benar atau salah bisa aq buktikan dengan ehipassiko. Tapi ada sesuatu yang qt ga bisa buktikan, misalnya alam kehidupan laen, bagaimana qt bisa membuktikan kalo qt belom pernah kesana  :-?
So bagaimana qt tau itu benar ato salah?

Sekian dan terima kasih
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 27 December 2011, 09:00:15 PM
Wah, Buddhist justru kenal pahala = phala/buah.
Tapi kalau dalam teori kamma, tidak seperti itu. Berdana, maka dana itu sendiri punya pahalanya. Memberitahukan orang lain perihal sumbangannya, juga ada pahalanya tersendiri, tergantung niatnya, tapi tidak berarti selalu mengurangi pahala dari perbuatan baik itu sendiri. Jika berkoar-koar hanya untuk menyombongkan diri, maka itu akan jadi kata yang sia-sia, hanya memperkuat ego saja, tapi sepertinya pahala dari berdananya itu sendiri tetap ada, tidak menjadi hilang karena kesombongannya.

Padahal dalam kehidupan banyak tuh di temuin orang kaya gt, kalo mo berdana bahkan ada syaratnya dulu (ukir ato stempel nama pada benda yang di danakan bahkan ada yang minta diliput segala).
Berarti kalo qt mo berdana lebih baik menggunakan anonim aja? Jadi hanya "pencatat kamma" dan si pelaku aja yang tau...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 28 December 2011, 02:26:49 PM
Kesombongan di manapun juga adalah hal semu yang rapuh. Orang memiliki pencapaian (duniawi) tertentu yang terkondisi dan berubah. Ketika kondisi tersebut berubah, namun ia masih melekat pada 'keberhasilan' tersebut. Akhirnya seperti petinju tua renta dan bongkok, selalu berpikir dirinya sekuat waktu dia masih juara dunia.

Bagaimana orang mengatasi kesombongan tersebut adalah dengan menyadari keterkondisian duniawi. Punya harta, punya nama baik, banyak pengikut, atau bahkan mencapai jhana 8, semua itu terkondisi. Memahami ketidak-kekalan tersebut, maka dia tidak akan melekatinya. Dengan begitu kesombongan pun akan memudar dengan sendirinya.

hehehe... iya ;D. soalnya banyak juga para orang tua yang membangga-banggakan masa lalunya kepada anak-anaknya, tapi nyatanya sekarang mereka tidak bertindak seperti dulu lagi, akhirnya anak-anaknya merasa orang tuanya cuma omong besar aja ;D. dari situ rasa hormat ke orang tua semakin berkurang ;D. begitu juga anaknya si anak ini, karena tidak melihat ortunya tidak menghormati ortunya maka, mereka juga tidak menghormati ortunya :P.

*sori om curhat ;D, soalnya tetangga sebelah sepertinya semakin hari semakin sering teriak-teriakan ngak jelas aja ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2011, 06:24:13 PM
Irsiya ato irsia? #cuma ingin tau singkatannya aja#
Bukan singkatan sih. Saya juga salah, seharusnya istilahnya "Issā" dalam Pali atau "Irsya" dalam Sanskrit.

Quote
--->  Kalau menginginkan "perasaan menyenangkan ato menghindari perasaan tidak menyeangkan" kayanya itu sudah sifat alami deh, tinggal bagaimana cara meredamnya aja. Sedangkan ketidaktahuan akan kebenaran (tuing3x...) yg ini kaga ngarti maksudnya  :(. Apakah seseorang yang tidak mengetahui dhamma dikatakan moha? Apakah seseorang yang mengikuti "aliran sesat" juga moha? Padahal mereka kan mengganggap ajaran mereka pelajari itu benar.
Memang sudah 'alami', dan hal itu yang menyebabkan penderitaan. Tidak perlu ditolak, tapi disadari dan dipahami.

Mengenai moha, contoh kasarnya yah memang seperti aliran sesat. Tidak mampu melihat kenyataan, dikuasai oleh ilusi dalam pikiran, maka melekat pada pandangan salah. Walaupun Buddhis, kalau tidak memahami dhamma, hanya percaya buta, juga akan terperosok dalam moha ini.

Quote
--->  woke senpai  ;D, walo qt beda aliran jangan lupa share trik2 waza juga ya  :P 
Tenang saja, saya tidak akan pelit ilmu. ;D

Quote
Oh ya, untuk mengetahui sesuatu itu benar atau salah bisa aq buktikan dengan ehipassiko. Tapi ada sesuatu yang qt ga bisa buktikan, misalnya alam kehidupan laen, bagaimana qt bisa membuktikan kalo qt belom pernah kesana  :-?
So bagaimana qt tau itu benar ato salah?

Sekian dan terima kasih
Nah, ini adalah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam kalangan Buddhis. Ehipassiko sering diserukan di mana-mana seolah-olah SEMUA yang ada di Ajaran Buddha harus di-'ehipassiko'-kan. Sebetulnya tidak. Ehipassiko adalah merujuk pada Buddha-dhamma, yakni: 4 Kebenaran Mulia (dukkha, asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya). Buddha-dhamma ini yang bisa dibuktikan langsung, di sini dan sekarang. Tentang hal lain seperti kamma, alam lain, kekuatan bathin, dan lain sebagainya, itu TIDAK SELALU PERLU 'EHIPASSIKO'. Hal demikian adalah sebatas konsep yang membantu kita memahami 'gambaran' kehidupan ini saja misalnya mengapa manusia terlahir 'nasibnya' kok berbeda, maka dijelaskanlah konsep kamma. Tapi kamma itu tidak bisa dibuktikan secara pasti.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2011, 06:27:34 PM
Padahal dalam kehidupan banyak tuh di temuin orang kaya gt, kalo mo berdana bahkan ada syaratnya dulu (ukir ato stempel nama pada benda yang di danakan bahkan ada yang minta diliput segala).
Berarti kalo qt mo berdana lebih baik menggunakan anonim aja? Jadi hanya "pencatat kamma" dan si pelaku aja yang tau...
Kadang satu perbuatan itu kita tidak bisa nilai dari perbuatannya sendiri, tapi juga dari niatnya. Ada kalanya si penyumbang memberitahukan kegiatan berdananya, bukan untuk pamer, tapi untuk memberi teladan bagi orang lain atau mengajak secara langsung orang lain berdana. Semua hal ini tidak sesederhana yang terlihat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 December 2011, 06:32:10 PM
hehehe... iya ;D. soalnya banyak juga para orang tua yang membangga-banggakan masa lalunya kepada anak-anaknya, tapi nyatanya sekarang mereka tidak bertindak seperti dulu lagi, akhirnya anak-anaknya merasa orang tuanya cuma omong besar aja ;D. dari situ rasa hormat ke orang tua semakin berkurang ;D. begitu juga anaknya si anak ini, karena tidak melihat ortunya tidak menghormati ortunya maka, mereka juga tidak menghormati ortunya :P.

;D.
Kalau menurut saya sih memang tidak selalu kita bisa mempertahankan kejayaan masa lalu, namun itu tidak menjadikan alasan kita untuk selalu tidak percaya apa yang dikatakan. Misalnya seorang kakek, 50 tahun lalu adalah juara gulat nasional, bisa banting beruang madu. Sekarang sudah umur 70+, mana mungkin dia buktikan ketangguhannya? ;D

Tapi memang ada juga kasus yang masa lalunya dibesar-besarkan. Untuk itu sebagai anak memang harus memilah mana yang masuk akal dan tidak. Juga terlepas orang tuanya seperti apa, jangan sampai ditelantarkan. Ini perbuatan yang kurang berbudi.


Quote
*sori om curhat ;D, soalnya tetangga sebelah sepertinya semakin hari semakin sering teriak-teriakan ngak jelas aja
Ga apa, di sini juga bebas curhat. Yang tidak boleh hanya merusuh saja. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 28 December 2011, 07:18:10 PM
bicara tentang ehipasiko, saya jadi ingat, om kainyn, kan ada ya yang namanya anumana (melihat yang tidak terlihat dari yang terlihat)?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 29 December 2011, 07:33:51 AM
Bukan singkatan sih. Saya juga salah, seharusnya istilahnya "Issā" dalam Pali atau "Irsya" dalam Sanskrit.
Memang sudah 'alami', dan hal itu yang menyebabkan penderitaan. Tidak perlu ditolak, tapi disadari dan dipahami.

Mengenai moha, contoh kasarnya yah memang seperti aliran sesat. Tidak mampu melihat kenyataan, dikuasai oleh ilusi dalam pikiran, maka melekat pada pandangan salah. Walaupun Buddhis, kalau tidak memahami dhamma, hanya percaya buta, juga akan terperosok dalam moha ini.
----> mengenai moha aq masih belom donk :-?, bisa dijabarkan dengan rinci agar tidak ada kesalahan persepsi dr aq. Seperti dosa awalnya aq pikir hanya kebencian ternyata arti luasnya menghindari kepesaan tidak menyenangkan. CMIIW

Nah, ini adalah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam kalangan Buddhis. Ehipassiko sering diserukan di mana-mana seolah-olah SEMUA yang ada di Ajaran Buddha harus di-'ehipassiko'-kan. Sebetulnya tidak. Ehipassiko adalah merujuk pada Buddha-dhamma, yakni: 4 Kebenaran Mulia (dukkha, asal mula, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya). Buddha-dhamma ini yang bisa dibuktikan langsung, di sini dan sekarang. Tentang hal lain seperti kamma, alam lain, kekuatan bathin, dan lain sebagainya, itu TIDAK SELALU PERLU 'EHIPASSIKO'. Hal demikian adalah sebatas konsep yang membantu kita memahami 'gambaran' kehidupan ini saja misalnya mengapa manusia terlahir 'nasibnya' kok berbeda, maka dijelaskanlah konsep kamma. Tapi kamma itu tidak bisa dibuktikan secara pasti.  :-? :-? :-?  Jadi intinya buddha dhamma itu 4kesunyataan mulia?, apakah jalan beruas delapan dan kamma juga termasuk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: helenfransisca on 29 December 2011, 07:35:39 AM
Kadang satu perbuatan itu kita tidak bisa nilai dari perbuatannya sendiri, tapi juga dari niatnya. Ada kalanya si penyumbang memberitahukan kegiatan berdananya, bukan untuk pamer, tapi untuk memberi teladan bagi orang lain atau mengajak secara langsung orang lain berdana. Semua hal ini tidak sesederhana yang terlihat.

Everything should be made as simple as possible but not simpler
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 29 December 2011, 09:25:09 AM

---> mengenai moha aq masih belom donk :-?, bisa dijabarkan dengan rinci agar tidak ada kesalahan persepsi dr aq. Seperti dosa awalnya aq pikir hanya kebencian ternyata arti luasnya menghindari kepesaan tidak menyenangkan. CMIIW

Moha = delution, yang memiliki karakteristik membutakan... jadi boleh dibilang kebutaan mental (pikiran) mengenai realita apa adanya segala sesuatu yang berkondisi... segala sesuatu yg berkondisi berkarakteristik annica (tidak kekal/selalu berubah), Dukkha (tidak memuaskan), dan Anatta (bukan-diri/on-selft)..... Jd moha adalah pikiran yang mengganggap bahwa segala sesuatu object yang berkondisi adalah kekal, memuaskan, dan mililk-ku/diri-ku/Aku...

Seperti kita yg masih belum mencapai pencerahan kita mengganggap bahwa didalam diri kita ada roh yg kekal, ini juga karena moha.. disamping itu juga, orang melakukan suatu perbuatan tanpa disertai atau memahami dengan pikiran bahwa suatu perbuatan akan menghasilkan buah... ini juga disebut moha...

contoh lain seseorang dijelaskan suatu hal, tetapi pikirannya lagi gelisah dan tidak bisa menangkap apa yang diajarkan/jelaskan.... ini juga termasuk moha...


Jadi intinya buddha dhamma itu 4kesunyataan mulia?, apakah jalan beruas delapan dan kamma juga termasuk?


Buddha mengajarkan tentang Dukkha dan jalan menuju lenyapnya dukkha.... ini yang bisa dibuktikan kalo diterapkan didalam hidup ini...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 29 December 2011, 11:45:17 AM
Mo nanya dong  ;D

Sering sekali dalam hidup, kita ingin membuktikkan sesuatu baik kepada orangtua, saudara, teman, guru, dll. Apakah hal "membuktikkan sesuatu" itu adalah sesuatu yang bermanfaat ataukah sebaliknya ?

Apakah hal ini erat kaitannya dengan perbandingan ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 December 2011, 02:28:57 PM
bicara tentang ehipasiko, saya jadi ingat, om kainyn, kan ada ya yang namanya anumana (melihat yang tidak terlihat dari yang terlihat)?
Anumana maksudnya mengambil keputusan berdasarkan logika? Jika ya, memang demikian. Banyak hal adalah terkait, dan dengan melihat satu hal, kita bisa 'melihat' hal lainnya tanpa perlu benar-benar melihatnya. Contoh gampang kita luka di jempol kiri, lalu mengetahui rasa sakitnya. Tidak perlu mengalami luka di kelingking kanan untuk mengetahui bahwa luka di kelingking kanan juga sakit. Bagaimana kita bisa sampai pada kesimpulan tersebut adalah 'anumana'.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 December 2011, 02:44:13 PM
Everything should be made as simple as possible but not simpler
True. The simplest non-over-simplified things are the best lessons to learn.


Quote
----> mengenai moha aq masih belom donk :-?, bisa dijabarkan dengan rinci agar tidak ada kesalahan persepsi dr aq. Seperti dosa awalnya aq pikir hanya kebencian ternyata arti luasnya menghindari kepesaan tidak menyenangkan. CMIIW
Sudah dijawab bro William Phang. Saya hanya singkat saja, fenomena dalam alam ini memiliki tiga corak: anicca, dukkha, anatta. Moha atau kebodohan bathin adalah penghalang kita memahami hal tersebut. Kebodohan bathin ini beda dengan kebodohan intelektual; ada orang yang pintar secara intelektual, namun bodoh secara bathin dalam artian dikuasai moha. Sama seperti lobha & Dosa, bentuk dan wujud moha berbeda pada setiap orang per kasus. Nanti mungkin kalau kebetulan di pembahasan lain ada terkait dengan moha, baru kita bahas. Tapi contoh yang paling umum adalah bagaimana orang tidak dapat menerima kondisi yang berubah sehingga terus menerus mencari sebuah keabadian.


Quote
:-? :-? :-?  Jadi intinya buddha dhamma itu 4kesunyataan mulia?, apakah jalan beruas delapan dan kamma juga termasuk?
Ya, yang disebut Buddha-dhamma adalah dukkha dan lenyapnya dukkha. Jalan Mulia Beruas Delapan adalah format latihan untuk mencapai akhir dari dukkha tersebut. Hukum kamma adalah memahami keberadaan konsekwensi dari suatu perbuatan. Secara pastinya, kamma tidak bisa dibuktikan oleh orang biasa. Itu adalah kapasitas seorang Buddha.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 December 2011, 02:53:49 PM
Mo nanya dong  ;D

Sering sekali dalam hidup, kita ingin membuktikkan sesuatu baik kepada orangtua, saudara, teman, guru, dll. Apakah hal "membuktikkan sesuatu" itu adalah sesuatu yang bermanfaat ataukah sebaliknya ?

Apakah hal ini erat kaitannya dengan perbandingan ?
Menurut saya, tergantung tujuan, hal apa, dan cara pembuktiannya itu sendiri. Jika tujuannya adalah untuk mengembangkan diri sendiri dan memberi contoh/teladan yang baik bagi orang lain, maka tentu itu adalah pembuktian yang baik secara tujuan. Jika tujuannya untuk kesombongan, merendahkan orang lain, emosi, dendam, dan hal-hal negatif lain, tentu jadi tidak bermanfaat. Namun terlepas dari tujuannya baik atau tidak, kalau kita terlalu melekat pada tujuan itu sendiri, nanti jadi obsesi, dan tentu itu adalah penderitaan yang dibuat-buat oleh diri sendiri. Cara pembuktiannya juga kalau harus merugikan diri sendiri atau makhluk lain, maka sepertinya tidak bermanfaat.

Ya, dalam hal pembuktian diri, biasanya berkaitan erat dengan perbandingan dan pengokohan 'diri' yang dibandingkan dengan objek luar lainnya. Maka memang sebaiknya ekstra hati-hati.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 07 January 2012, 12:04:27 PM
bro kain,

mau tanya
kenapa bisa ada sisa kremasi berupa relik?
katanya hanya orang suci yang punya sisa kremasi berupa relik, benar gak sih?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 07 January 2012, 03:35:23 PM
bro kain,

mau tanya
kenapa bisa ada sisa kremasi berupa relik?
katanya hanya orang suci yang punya sisa kremasi berupa relik, benar gak sih?
Soal relik saya tidak tahu dan tidak pernah tertarik mempelajarinya. Kalau secara ilmiah, memang bisa saja bagian2 tubuh yang mengandung mineral tertentu, tidak habis terbakar. Bahkan dilaporkan hewan pun bisa saja meninggalkan relik ketika dikremasi.
Karena itulah saya pribadi tidak peduli mau benar atau tidak karena tidak ada hubungannya dengan pengembangan bathin, bahkan itu bisa jadi ajang spekulasi seseorang mencapai kesucian yang jelas keliru. Jadi saya memang apatis terhadap isu relik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 09 January 2012, 08:40:11 AM
benar juga.

terima kasih.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 09 January 2012, 09:29:37 AM
tanya lagi.

kasus 1
A atas dendam kesumat, telah membunuh B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B mati dengan menggenaskan. (B meninggalkan 1 istri dan 3 anak)

kasus 2
A atas dendam kesumat, telah memukul B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B menjadi lumpuh dan cacat seumur hidup. (B punya 1 istri + 3 anak yang harus di nafkahi)

kalo menurut bro Kainyn kira2 pada kasus 1 dan 2, mana yang karmanya lebih berat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: cumi polos on 09 January 2012, 09:33:24 AM
tanya lagi.

kasus 1
A atas dendam kesumat, telah membunuh B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B mati dengan menggenaskan. (B meninggalkan 1 istri dan 3 anak)

kasus 2
A atas dendam kesumat, telah memukul B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B menjadi lumpuh dan cacat seumur hidup. (B punya 1 istri + 3 anak yang harus di nafkahi)

kalo menurut bro Kainyn kira2 pada kasus 1 dan 2, mana yang karmanya lebih berat.

lebih menarik lagi bro membelikan di polis asuransi yg sangat besar klaim nya... spt rp 1 Trilliun....
nah kemudian barulah bro melaksanakan kesumat tsb...

kalau begitu apakah karma jeleknya berkurang (sebab menerima klaim asuransi) !
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 January 2012, 11:02:48 AM
tanya lagi.

kasus 1
A atas dendam kesumat, telah membunuh B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B mati dengan menggenaskan. (B meninggalkan 1 istri dan 3 anak)

kasus 2
A atas dendam kesumat, telah memukul B yang dilakukan dengan kebencian yang begitu besar, sehingga B menjadi lumpuh dan cacat seumur hidup. (B punya 1 istri + 3 anak yang harus di nafkahi)

kalo menurut bro Kainyn kira2 pada kasus 1 dan 2, mana yang karmanya lebih berat.
Mengenai hukum kamma, tetap saya tidak mampu menilai dan tidak mau spekulasi. Menurut saya, tidak bunuh ataupun bunuh, bisa saja sama 'beratnya', namun beda jenis dan buahnya saja. Kadang kita dibiaskan oleh akibat yang kelihatan misalnya kalau sampai cacat, maka istri selain punya tanggungan anak, ada tambahan merawat suami, jadi seolah-olah lebih menderita untuk si istri. Tapi tetap bagaimanapun juga, terlalu banyak faktor untuk diperhitungkan, jadi selain niatannya tidak bisa dinilai, juga akibatnya tidak bisa ditentukan yang mana lebih buruk.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 09 January 2012, 11:32:49 AM
Mengenai hukum kamma, tetap saya tidak mampu menilai dan tidak mau spekulasi. Menurut saya, tidak bunuh ataupun bunuh, bisa saja sama 'beratnya', namun beda jenis dan buahnya saja. Kadang kita dibiaskan oleh akibat yang kelihatan misalnya kalau sampai cacat, maka istri selain punya tanggungan anak, ada tambahan merawat suami, jadi seolah-olah lebih menderita untuk si istri. Tapi tetap bagaimanapun juga, terlalu banyak faktor untuk diperhitungkan, jadi selain niatannya tidak bisa dinilai, juga akibatnya tidak bisa ditentukan yang mana lebih buruk.

hmmm....

jadinya memang ruwet ya klo begitu. karena betul juga, banyak bahkan terlalu banyak faktor lainnya yang akan mempengaruhi.
saya bertanya ini karena berkenaan dengan sila pembunuhan, dan setelah saya renungkan secara sederhana, saya malah sampai pada pengertian bahwa kasus 2 ternyata lebih parah akibatnya. dan saya malah sampai pada pengertian pada kasus diatas kammanya lebih berat di kasus 2
tapi sepertinya tidak sesederhana itu ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 January 2012, 02:29:49 PM
hmmm....

jadinya memang ruwet ya klo begitu. karena betul juga, banyak bahkan terlalu banyak faktor lainnya yang akan mempengaruhi.
saya bertanya ini karena berkenaan dengan sila pembunuhan, dan setelah saya renungkan secara sederhana, saya malah sampai pada pengertian bahwa kasus 2 ternyata lebih parah akibatnya. dan saya malah sampai pada pengertian pada kasus diatas kammanya lebih berat di kasus 2
tapi sepertinya tidak sesederhana itu ya?
Iya, tidak sesederhana itu, sebab apa yang kita nilai adalah sebatas dalam kehidupan yang kita lihat ini. Kita lihat secara langsung si B itu seumur hidup menderita, istrinya pun tambah beban, jadi penderitaan itu lebih nyata kita lihat. Padahal sebetulnya kita tidak tahu apa yang dialami si B jika dia mati dibunuh, apakah karena rasa takut dan menderita, ia terlahir di alam sengsara yang lebih menyedihkan. Menjadi cacat seumur hidup juga belum tentu berarti tidak berguna, mungkin saja ia masih bisa berkontribusi dalam cara berbeda. Juga masih bisa melakukan kamma baik lewat pikiran & ucapan.

Jadi paling sejauhnya kita spekulasi, hanya berdasarkan niatnya saja. Secara gampangnya, apa yang diniatkan dan dilakukan pada orang lain, itu akan kembali pada kita sendiri.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 09 January 2012, 02:58:50 PM
sip...

tengkiu..  _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 12 January 2012, 10:08:53 AM
mau tanya om ;D.

masih ada kah tempat atau sangha atau organisasi atau apalah yang aman sebagai wadah untuk menjalankan kehidupan suci di dunia ini? ;D

maksudnya kalo ada yang pengen jadi bhikku gitu, tanpa harus jadi korban kekerasan seksual atau tindakan kejahatan duniawi lainnya? ;D

secara baca-baca di internet atau di fb dc jadi ngeri sendiri ngebayanginnya, karena sepertinya banyak sekali bhikkhu-bhikkhu yang melakukan seperti itu :P.

kalo masih ada, dimana saja kah tempat-tempat itu? ;D (di indonesia maupun di luar negeri ;D)

*maksud saya agar tidak ada yang pengen jadi bhikkhu, eh tahu-tahu malamnya di-gangbang.. ups maksudnya "diplonco" aja sih =)).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 January 2012, 11:19:26 AM
mau tanya om ;D.

masih ada kah tempat atau sangha atau organisasi atau apalah yang aman sebagai wadah untuk menjalankan kehidupan suci di dunia ini? ;D

maksudnya kalo ada yang pengen jadi bhikku gitu, tanpa harus jadi korban kekerasan seksual atau tindakan kejahatan duniawi lainnya? ;D

secara baca-baca di internet atau di fb dc jadi ngeri sendiri ngebayanginnya, karena sepertinya banyak sekali bhikkhu-bhikkhu yang melakukan seperti itu :P.

kalo masih ada, dimana saja kah tempat-tempat itu? ;D (di indonesia maupun di luar negeri ;D)

*maksud saya agar tidak ada yang pengen jadi bhikkhu, eh tahu-tahu malamnya di-gangbang.. ups maksudnya "diplonco" aja sih =)).
Kalau urusan keorganisasian, saya kurang tahu, bro bawel, karena memang tidak tertarik 'masuk' ke komunitasnya. Tapi menurut saya di sini pun sudah cukup aman, belum pernah denger bhikkhu di-g******g sih. Yang jadi masalah di sini justru biasa bukan tempat atau komunitasnya, tapi orangnya yang 'bandel2', sudah jadi bhikkhu tapi pikirannya macem2.

Baca berita2 memang 'seram', apalagi itu juga mungkin baru yang ketahuan saja, belum termasuk yang ditutup2i organisasi. Jadi kalau memang mau masuk, sebaiknya kita selidik dulu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 12 January 2012, 03:39:45 PM
mau tanya om ;D.

masih ada kah tempat atau sangha atau organisasi atau apalah yang aman sebagai wadah untuk menjalankan kehidupan suci di dunia ini? ;D

maksudnya kalo ada yang pengen jadi bhikku gitu, tanpa harus jadi korban kekerasan seksual atau tindakan kejahatan duniawi lainnya? ;D

secara baca-baca di internet atau di fb dc jadi ngeri sendiri ngebayanginnya, karena sepertinya banyak sekali bhikkhu-bhikkhu yang melakukan seperti itu :P.

kalo masih ada, dimana saja kah tempat-tempat itu? ;D (di indonesia maupun di luar negeri ;D)

*maksud saya agar tidak ada yang pengen jadi bhikkhu, eh tahu-tahu malamnya di-gangbang.. ups maksudnya "diplonco" aja sih =)).
bhikkhu dig******g??
bukan bhikkhu(ni)?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 13 January 2012, 09:35:06 PM
bhikkhu dig******g??
bukan bhikkhu(ni)?

lah memang ngak tahu cowo bisa dig********g juga? :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 13 January 2012, 09:42:16 PM
kalo cari di google g******g artinya kayak melakukan pelecehan dengan cara 'keroyokan' gitu..
nah, bhikkhunya ini di g******g sama siapa dong??
atau pengertian g******g disini berbeda??
beneran kaga mudeng deh ane..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 13 January 2012, 10:12:26 PM
kalo cari di google g******g artinya kayak melakukan pelecehan dengan cara 'keroyokan' gitu..
nah, bhikkhunya ini di g******g sama siapa dong??
atau pengertian g******g disini berbeda??
beneran kaga mudeng deh ane..

yah sama bhikkhu lainnya ;D.
coba baca-baca di fb dc, postingan om wirajhana ada tuh artikel bhikkhu h**o ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 12:35:49 PM
Menurut bro Kainyn, tahap apakah yang dicapai seseorang jika sampai pada keadaan seperti ini?

Quote
Dan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah . . . . . . .

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 02:14:19 PM
Menurut bro Kainyn, tahap apakah yang dicapai seseorang jika sampai pada keadaan seperti ini?

Quote
Dan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah . . . . . . .
Menurut saya, pada tahap itu, orang tersebut telah memiliki kemahiran dalam jhana yang bisa 'masuk' dan 'keluar' jhana sesuai kehendaknya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 17 January 2012, 02:17:31 PM

Menurut saya, pada tahap itu, orang tersebut telah memiliki kemahiran dalam jhana yang bisa 'masuk' dan 'keluar' jhana sesuai kehendaknya.
ke arah yang diinginkan juga bisa kan??  ;D
ada yang ngarahin ke rupa jhana, arupa jhana, pubbenivasanussati, dibbacakkhu, ada juga yang ke asavakhaya nana...
betul gak ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 02:37:35 PM
ke arah yang diinginkan juga bisa kan??  ;D
ada yang ngarahin ke rupa jhana, arupa jhana, pubbenivasanussati, dibbacakkhu, ada juga yang ke asavakhaya nana...
betul gak ya?
:) Iya, setahu saya begitu. Dasarnya adalah Jhana IV, namun tidak 'otomatis' praktisi yang mencapai Jhana IV bisa mencapai keadaan tersebut.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 02:38:17 PM

Menurut saya, pada tahap itu, orang tersebut telah memiliki kemahiran dalam jhana yang bisa 'masuk' dan 'keluar' jhana sesuai kehendaknya.

Biar saya kutipkan lebih jelas

Quote
Dan demikianlah, dengan pikiran terkonsentrasi, dimurnikan dan dibersihkan, tidak ternoda, bebas dari kekotoran, lentur, mudah dibentuk, kokoh, dan setelah mendapatkan kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkan dan mencondongkan pikirannya ke arah pengetahuan kehidupan lampau: satu kelahiran, dua, tiga, empat, lima kelahiran, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, empat puluh, lima puluh kelahiran, seratus, seribu, seratus ribu kelahiran, beberapa periode penyusutan, pengembangan, penyusutan dan pengembangan. “Di sana namaku adalah ini dan itu, sukuku adalah ini dan itu, kastaku adalah ini dan itu, makananku adalah ini dan itu, aku mengalami kondisi menyenangkan dan menyakitkan ini dan itu, aku hidup selama itu. Setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di tempat lain. Di sana namaku adalah ini dan itu … dan setelah meninggal dunia dari sana, aku muncul di sini.” Demikianlah ia mengingat berbagai kehidupan, kondisi dan kejadian-kejadian masa lampau.


Dalam kondisi jhana keberapakah orang tersebut berada?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 17 January 2012, 02:55:31 PM
kayak ujian kenaikan kelas aja..  :|
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 02:57:29 PM
Biar saya kutipkan lebih jelas


Dalam kondisi jhana keberapakah orang tersebut berada?
Ia tidak sedang 'berdiam' dalam Jhana (IV), namun menggunakan Jhana (IV) sebagai landasannya. Ia dengan kemahirannya, masuk dan keluar dari Jhana, dan mengarahkan pikirannya kepada pengetahuan kehidupan lampau (salah satunya).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 03:09:56 PM
kayak ujian kenaikan kelas aja..  :|

Maaf, bukannya ngetes soal ujian.

Dulu saya ingat pernah di tanya bro kainyn dalam topik meditasi mantra yang pernah saya tulis.

Waktu itu ditanyakan bro kainyn bagaimana saya bisa berkesimpulan tentang pertanyaan bhante Surya Bhumi kepada muridnya mengenai "bisakah kalian membuat batin kalian menjadi tenang, bersih, terang, jernih, damai, sejuk, lentur dan mudah diarahkan kemana-mana?" 
Bahwa hal ini sama dengan telah mencapai jhana IV?

Pada waktu itu karena saya kekurangan referensi maka tidak bisa memberikan sumber suttanya sampai tadi siang, berkat rahmat tuhan medho yang maha kuasa saya membaca link mengenai  Samannaphala Sutta  (http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_2:_S%C4%81ma%C3%B1%C3%B1aphala_Sutta) baru saya tahu bahwa inilah sumber sutta buat penjelasan saya yang kurang saat itu.

Jadi mau konfirmasi dulu ceritanya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 03:38:25 PM
Maaf, bukannya ngetes soal ujian.

Dulu saya ingat pernah di tanya bro kainyn dalam topik meditasi mantra yang pernah saya tulis.

Waktu itu ditanyakan bro kainyn bagaimana saya bisa berkesimpulan tentang pertanyaan bhante Surya Bhumi kepada muridnya mengenai "bisakah kalian membuat batin kalian menjadi tenang, bersih, terang, jernih, damai, sejuk, lentur dan mudah diarahkan kemana-mana?" 
Bahwa hal ini sama dengan telah mencapai jhana IV?

Pada waktu itu karena saya kekurangan referensi maka tidak bisa memberikan sumber suttanya sampai tadi siang, berkat rahmat tuhan medho yang maha kuasa saya membaca link mengenai  Samannaphala Sutta  (http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_2:_S%C4%81ma%C3%B1%C3%B1aphala_Sutta) baru saya tahu bahwa inilah sumber sutta buat penjelasan saya yang kurang saat itu.

Jadi mau konfirmasi dulu ceritanya.
Bro DH, definisi dan penggunaan istilah di sutta tidak selalu harus sama dengan yang digunakan kita/bhante. Hal yang saya tanyakan hanyalah sekadar konfirmasi apakah benar bhante DSB memaksudkan itu Jhana IV. Dan jikapun benar demikian, tidak masalah.

Yang saya pertanyakan waktu itu adalah ketika ia mengingat kehidupan lampau, lalu dia dicekam oleh ketakutan sampai menangis, itu jelas bukan kondisi yang dimaksud di sutta. Seperti saya katakan, 'dengan Jhana IV sebagai landasan', maka dalam pengarahan pikiran itu hanya pikiran yang 'murni', tidak ada gangguan noda bathin seperti ketakutan, kekhawatiran, atau keraguan di sana. Oleh sebab itu, saya mempertanyakannya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 03:57:52 PM
Bro DH, definisi dan penggunaan istilah di sutta tidak selalu harus sama dengan yang digunakan kita/bhante. Hal yang saya tanyakan hanyalah sekadar konfirmasi apakah benar bhante DSB memaksudkan itu Jhana IV. Dan jikapun benar demikian, tidak masalah.

Yang saya pertanyakan waktu itu adalah ketika ia mengingat kehidupan lampau, lalu dia dicekam oleh ketakutan sampai menangis, itu jelas bukan kondisi yang dimaksud di sutta. Seperti saya katakan, 'dengan Jhana IV sebagai landasan', maka dalam pengarahan pikiran itu hanya pikiran yang 'murni', tidak ada gangguan noda bathin seperti ketakutan, kekhawatiran, atau keraguan di sana. Oleh sebab itu, saya mempertanyakannya.



Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, tahapan untuk belajar 'kemampuan untuk mengingat masa lalu' seperti yg diajarkan bhante adalah :
- Adithana waktu kelahiran lampau yang ingin diingat
- Masuk jhana I, lanjut ke jhana II, lanjut ke jhana III, lanjut ke jhana IV
- Kemudian turun dari jhana IV, kemudian jhana III, kemudian jhana II, kemudian jhana I.
- Dengan catatan selama proses naik dan turun jhana ini tidak boleh ada noda setitik pun.  Kalau ada, maka gagal dan harus diulang.
- Pada jhana I ini disinilah baru kita bisa melihat atau mengingat kejadian pada kehidupan yang lampau itu.

Jadi tidak aneh bila pada jhana I, kejadian yang diingatnya pada kehidupan lampau jika terlalu mencekam menyebabkan orang itu bisa terguncang dan jatuh dari jhana I, sehingga timbul kejadian menangis.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 04:34:42 PM
Seperti yang sudah saya tuliskan sebelumnya, tahapan untuk belajar 'kemampuan untuk mengingat masa lalu' seperti yg diajarkan bhante adalah :
- Adithana waktu kelahiran lampau yang ingin diingat
- Masuk jhana I, lanjut ke jhana II, lanjut ke jhana III, lanjut ke jhana IV
- Kemudian turun dari jhana IV, kemudian jhana III, kemudian jhana II, kemudian jhana I.
- Dengan catatan selama proses naik dan turun jhana ini tidak boleh ada noda setitik pun.  Kalau ada, maka gagal dan harus diulang.
- Pada jhana I ini disinilah baru kita bisa melihat atau mengingat kejadian pada kehidupan yang lampau itu.

Jadi tidak aneh bila pada jhana I, kejadian yang diingatnya pada kehidupan lampau jika terlalu mencekam menyebabkan orang itu bisa terguncang dan jatuh dari jhana I, sehingga timbul kejadian menangis.
Saya punya pertanyaan menarik untuk Bro DH. Kalau memang kehidupan lampau itu dilihat di Jhana I, mengapa harus jauh-jauh ke Jhana IV dulu untuk turun lagi?


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 17 January 2012, 04:38:43 PM
Saya punya pertanyaan menarik untuk Bro DH. Kalau memang kehidupan lampau itu dilihat di Jhana I, mengapa harus jauh-jauh ke Jhana IV dulu untuk turun lagi?




tentu saja akan lebih keren kalo ke jhana 4 dulu
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 04:42:49 PM
tentu saja akan lebih keren kalo ke jhana 4 dulu
Kalau untuk keren saja, mengapa ga sekalian sampai Arupa Jhana IV? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 17 January 2012, 04:43:43 PM
tentu saja akan lebih keren kalo ke jhana 4 dulu
ke arupa jhana 4 lebih keren lagi dong kalo gitu..  ^-^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 17 January 2012, 04:45:00 PM
eh, kok sama isi hatinya..  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 04:51:27 PM
Saya punya pertanyaan menarik untuk Bro DH. Kalau memang kehidupan lampau itu dilihat di Jhana I, mengapa harus jauh-jauh ke Jhana IV dulu untuk turun lagi?




Demikianlah ajaran yang saya terima dari bhante.  Kalau menurut pendapat saya sih kalau cuman mengandalkan jhana I, batin masih gampang terdistorsi oleh hal lain sebelum sempat mengingat kejadian masa lalu.


Mengenai urutannya kenapa begitu saya juga tidak tahu, dan sudah saya perhatikan lama, sangat sulit sekali menemukan literatur tulisan yang mengajarkan secara terperinci tahap demi tahap dalam melatih kemampuan ini.  Makanya kalau ada teman2  yang nemu tulisan yang membahas secara rinci, saya sangat berterima kasih bila di share, biar bisa untuk referensi.

Biasanya hanya dituliskan mencapai jhana  kemudian diarahkan pada ingatan masa lampau, tetapi cara melatihnya secara tahap demi tahap sulit saya jumpai.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 05:01:43 PM
Demikianlah ajaran yang saya terima dari bhante.  Kalau menurut pendapat saya sih kalau cuman mengandalkan jhana I, batin masih gampang terdistorsi oleh hal lain sebelum sempat mengingat kejadian masa lalu.


Mengenai urutannya kenapa begitu saya juga tidak tahu, dan sudah saya perhatikan lama, sangat sulit sekali menemukan literatur tulisan yang mengajarkan secara terperinci tahap demi tahap dalam melatih kemampuan ini.  Makanya kalau ada teman2  yang nemu tulisan yang membahas secara rinci, saya sangat berterima kasih bila di share, biar bisa untuk referensi.

Biasanya hanya dituliskan mencapai jhana  kemudian diarahkan pada ingatan masa lampau, tetapi cara melatihnya secara tahap demi tahap sulit saya jumpai.
OK, sekarang saya tanya pendapat bro DH saja (ga apa kalau tidak sesuai sutta/referensi manapun), apakah keadaan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana I, sama dengan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana IV?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 05:04:10 PM
Kalau untuk keren saja, mengapa ga sekalian sampai Arupa Jhana IV? ;D

Kalau dugaan saya sih tidak perlu sampai arupa karena kekuatan dari  jhana IV saja sudah cukup.
Lagipula dari jhana IV ke arupa harus berganti2 objek lagi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 05:07:33 PM
OK, sekarang saya tanya pendapat bro DH saja (ga apa kalau tidak sesuai sutta/referensi manapun), apakah keadaan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana I, sama dengan Jhana I dari orang yang mampu mencapai sebatas Jhana IV?



Kalau dugaan saya beda kualitasnya, sama halnya dengan kualitas jhana seorang umat awam dengan jhana seorang anagami, sehingga memiliki alam yg berbeda nantinya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 05:20:00 PM

Gawat kalau gitu, kalau boleh tahu yang paling parah dibantah bhante masalah apakah? 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 17 January 2012, 05:28:46 PM
Gawat kalau gitu, kalau boleh tahu yang paling parah dibantah bhante masalah apakah? 

saya sudah menghapus postingan saya, tapi anda malah di-quote pulak. waktu itu thread yg saya tunjukkan adalah soal mudra
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 05:31:31 PM
Kalau dugaan saya sih tidak perlu sampai arupa karena kekuatan dari  jhana IV saja sudah cukup.
Lagipula dari jhana IV ke arupa harus berganti2 objek lagi.
Dari Jhana IV ke Arupa sudah tidak berganti objek, hanya persepsi kasarnya melenyap. Dan perihal untuk 'keren' tentu saja hanya guyon, jangan ditanggapi seriuslah. ;D



Kalau dugaan saya beda kualitasnya, sama halnya dengan kualitas jhana seorang umat awam dengan jhana seorang anagami, sehingga memiliki alam yg berbeda nantinya.
Nah, demikianlah Jhana I dari orang yang mencapai Jhana IV dan turun dengan sengaja ke Jhana I, tidak sama dengan kualitas Jhana I dari orang yang memang baru mencapai Jhana I. Itulah sebabnya saya tidak cocok dengan pendapat anda bahwa dia bisa menangis karena waktu itu ia berdiam 'hanya' di Jhana I, bukan Jhana IV. Pikiran apapun dengan Jhana IV sebagai landasannya, tidak akan dikuasai oleh rintangan bathin.

Betul adalah mungkin setelah keluar dari kondisi tersebut, kemudian ada kondisi bagi rintangan bathin untuk timbul kembali dan menguasainya sehingga kemampuannya memasuki jhana hilang. Ini yang sering saya sebut 'jhananya luntur' dengan istilah saya sendiri. Jika memang demikian, yah tidak masalah. Namun dari cerita tersebut mengesankan bahwa Jhana IV itu tidak hilang, namun memang tidak mampu menahankan ketakutan dari gambaran kehidupan lampau, dan ketakutan itu hanya bisa dihilangkan dengan meditasi lanjutannya, yaitu meditasi mantra. Di situlah saya mempertanyakannya.

Sebetulnya untuk ke arah mantra-nya sendiri saya cenderung 'no comment' dan hanya menanyakan manfaat dari 'melungker-lungker' itu saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 05:31:33 PM
saya sudah menghapus postingan saya, tapi anda malah di-quote pulak. waktu itu thread yg saya tunjukkan adalah soal mudra

Jadi yang dibantah apakah saya salah dalam memahami mudra yg diajarkan bhante atau bagian mana yang salah?
Mohon tolong ko indra jelasin bagian yang salah biar nanti bisa saya tanya ke bhante.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 05:37:51 PM

Nah, demikianlah Jhana I dari orang yang mencapai Jhana IV dan turun dengan sengaja ke Jhana I, tidak sama dengan kualitas Jhana I dari orang yang memang baru mencapai Jhana I. Itulah sebabnya saya tidak cocok dengan pendapat anda bahwa dia bisa menangis karena waktu itu ia berdiam 'hanya' di Jhana I, bukan Jhana IV. Pikiran apapun dengan Jhana IV sebagai landasannya, tidak akan dikuasai oleh rintangan bathin.

Betul adalah mungkin setelah keluar dari kondisi tersebut, kemudian ada kondisi bagi rintangan bathin untuk timbul kembali dan menguasainya sehingga kemampuannya memasuki jhana hilang. Ini yang sering saya sebut 'jhananya luntur' dengan istilah saya sendiri. Jika memang demikian, yah tidak masalah. Namun dari cerita tersebut mengesankan bahwa Jhana IV itu tidak hilang, namun memang tidak mampu menahankan ketakutan dari gambaran kehidupan lampau, dan ketakutan itu hanya bisa dihilangkan dengan meditasi lanjutannya, yaitu meditasi mantra. Di situlah saya mempertanyakannya.

Sebetulnya untuk ke arah mantra-nya sendiri saya cenderung 'no comment' dan hanya menanyakan manfaat dari 'melungker-lungker' itu saja.


Yang saya ingin tahu, waktu itu apakah bhante mengiyakan atau membantah bahwa memang ada kejadian beliau mengajar muridnya kemampuan mengingat masa lalu, kemudian terbentur masalah 'bayang2 kematian' dan kemudian beliau mengajarkan meditasi mantra untuk mengatasinya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 17 January 2012, 05:42:34 PM
Jadi yang dibantah apakah saya salah dalam memahami mudra yg diajarkan bhante atau bagian mana yang salah?
Mohon tolong ko indra jelasin bagian yang salah biar nanti bisa saya tanya ke bhante.

saya sudah katakan bahwa yg saya tunjukkan adalah thread mudra, detailnya anda bisa lihat sendiri di thread itu, bagaimana persisnya bantahan bhante itu tidak saya catat, karena saya hanya ingin mengoknfirmasi bukan untuk menjelaskan. silakan anda menghubungi bhante, karena saya tidak diberi wewenang untuk mewakili beliau.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 17 January 2012, 05:43:41 PM
Yang saya ingin tahu, waktu itu apakah bhante mengiyakan atau membantah bahwa memang ada kejadian beliau mengajar muridnya kemampuan mengingat masa lalu, kemudian terbentur masalah 'bayang2 kematian' dan kemudian beliau mengajarkan meditasi mantra untuk mengatasinya?

loh? sewaktu anda menceritakan hal itu, apakah anda mengatakan yg sebenarnya atau hanya karangan anda? kenapa anda tidak yakin pada cerita anda sendiri?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 05:46:18 PM
saya sudah katakan bahwa yg saya tunjukkan adalah thread mudra, detailnya anda bisa lihat sendiri di thread itu, bagaimana persisnya bantahan bhante itu tidak saya catat, karena saya hanya ingin mengoknfirmasi bukan untuk menjelaskan. silakan anda menghubungi bhante, karena saya tidak diberi wewenang untuk mewakili beliau.

Tapi intinya bahwa kejadian itu pernah terjadi dan tidak di bantah bhante kan?   Hanya kesalahan saya dalam memahami mudra.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 17 January 2012, 05:56:30 PM
Tapi intinya bahwa kejadian itu pernah terjadi dan tidak di bantah bhante kan?   Hanya kesalahan saya dalam memahami mudra.

kalau ini adalah cara anda untuk mencari pembenaran, maka saya menolak untuk menjawab lebih jauh, silakan anda mengkonfirmasi langsung pada bhante.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 06:11:29 PM
Yang saya ingin tahu, waktu itu apakah bhante mengiyakan atau membantah bahwa memang ada kejadian beliau mengajar muridnya kemampuan mengingat masa lalu, kemudian terbentur masalah 'bayang2 kematian' dan kemudian beliau mengajarkan meditasi mantra untuk mengatasinya?
Mungkin perlu diingat bahwa apa yang saya katakan di sini tidak ada hubungannya dengan Bhante DSB, juga bukan berarti selaras dengan omongan Bhante DSB. Di sini hanya opini pribadi saya saja.

Mengenai pertemuan dengan Bhante, saya pikir tidak tepat kalau saya yang sampaikan mana yang bhante setuju, mana yang tidak, karena selain saya bukan siapa-siapa, ingatan saya juga bisa ngaco. Jadi seperti bro Indra juga, saran saya sebaiknya bro DH yang konfirmasi langsung saja ke Bhante.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 06:24:29 PM
barusan habis telepon bhante . . . . . .

Hasil akhirnya kena MARAH !!!  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(

diwanti2 gak boleh nulis masalah pengalaman lagi.  Harus bisa seperti gong pecah, yang dipukul tidak keluar suara.

Mohon maaf yah kepada rekan-rekan di sini.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 17 January 2012, 06:38:52 PM
barusan habis telepon bhante . . . . . .

Hasil akhirnya kena MARAH !!!  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(

diwanti2 gak boleh nulis masalah pengalaman lagi.  Harus bisa seperti gong pecah, yang dipukul tidak keluar suara.

Mohon maaf yah kepada rekan-rekan di sini.
Jangan patah semangat yah, bro DH. Dijadikan pengalaman saja, saya tetap dukung.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 17 January 2012, 06:41:47 PM
barusan habis telepon bhante . . . . . .

Hasil akhirnya kena MARAH !!!  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(

diwanti2 gak boleh nulis masalah pengalaman lagi.  Harus bisa seperti gong pecah, yang dipukul tidak keluar suara.

Mohon maaf yah kepada rekan-rekan di sini.
wew dimarahin?

gimana kabar si NPNG? dia salah jalan tuh?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 17 January 2012, 06:46:35 PM
wew dimarahin?

gimana kabar si NPNG? dia salah jalan tuh?

udah lama gak pernah posting
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: cumi polos on 17 January 2012, 07:04:35 PM
wew dimarahin?

gimana kabar si NPNG? dia salah jalan tuh?

dia di benua berkangguru... yg ada BULE nya...




gurunya koq bisa marah ?... rahasia kebaikan tidak boleh disimpan ... itu egois..banget
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 17 January 2012, 07:56:27 PM
barusan habis telepon bhante . . . . . .

Hasil akhirnya kena MARAH !!!  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(  :'(

diwanti2 gak boleh nulis masalah pengalaman lagi.  Harus bisa seperti gong pecah, yang dipukul tidak keluar suara.

Mohon maaf yah kepada rekan-rekan di sini.
bhante bisa marah ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 17 January 2012, 07:58:52 PM
dia di benua berkangguru... yg ada BULE nya...




gurunya koq bisa marah ?... rahasia kebaikan tidak boleh disimpan ... itu egois..banget
bhante bisa marah ya?
nah loh, ada asumsi baru nih, bante bisa marah ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 17 January 2012, 08:21:11 PM
nah loh, ada asumsi baru nih, bante bisa marah ;D
iya om soalnya diatas kata telpon bhante terus kena marah, artinya bhante marah dong sama om dragonhung ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 17 January 2012, 10:16:47 PM
iya om soalnya diatas kata telpon bhante terus kena marah, artinya bhante marah dong sama om dragonhung ;D

Sang Buddha juga marah kok. tuh RAPB di baca, bukan barang pajangan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 January 2012, 08:35:26 AM
iya om soalnya diatas kata telpon bhante terus kena marah, artinya bhante marah dong sama om dragonhung ;D
Mungkin bukan 'marah' seperti boss ngamuk muka memerah gebrak meja dan ngomong bentak-bentak, tapi menegur dengan keras saja.


Sang Buddha juga marah kok. tuh RAPB di baca, bukan barang pajangan.
Boleh sih jadi pajangan, setelah dibaca dan diingat intisarinya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 20 January 2012, 09:21:02 AM
Sang Buddha juga marah kok. tuh RAPB di baca, bukan barang pajangan.
;D dijadikan bantal.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 26 January 2012, 12:27:12 PM
sepertinya forumnya lagi sepi ;D. introgasi om kutho dulu ah :)).

1. apakah arti hidup itu menurut om kutho? ;D

2. apakah tujuan hidup om kutho? ;D

3. apakah waktu kecil om kutho sudah mengetahui tujuan hidupnya? ;D

4. apakah tujuan hidup om kutho waktu kecil, abg, dewasa dan pas tua berubah-ubah? ;D

5. apakah om kutho pernah marah besar? ;D

6. apakah saat marah itu om kutho menyadari atau tidak? ;D

7. bagaimana om kutho cara melewati saat-saat marah itu? ;D

8. bagaimana caranya om kutho bisa mengingat berbagai hal yang sudah dipelajari om kutho selama ini? ;D

9. bagaimana caranya om kutho mengaplikasikan pengetahuan om kutho dikehidupan nyata? ;D

10. bagaimana kalo pengetahuan itu tidak bisa diaplikasikan dikehidupan sehari-hari? ;D apakah om kutho tetap mencoba atau menyerah? ;D atau mungkin merevisi lagi? ;D

11. apakah om kutho masih memiliki keraguan pada ajaran buddha? ;D boleh sebutkan apa saja keraguan om kutho itu? ;D

12. apakah om kutho pernah difoto? :P bolehkah saya minta penampakannya? :))

13. ketika sedang gundah gulana, apakah om kutho lebih suka bermain gitar atau merenungkan dhamma? ;D

14. apakah om kutho pernah ikut pabbaja? ;D boleh ceritakan pengalamannya? ;D suka dukanya? ;D

15. apakah om kutho pernah jatuh cinta? ;D bagaimana cara om kutho memilih pasangan yang tepat? ;D

16. apakah om kutho suka memakai pernak-pernik keagamaan? ;D seperti rantai, cincin, gelang dll. ;D.

17. ketika membaca sutta, apakah om kutho mesti baca berkali-kali atau cukup sekali untuk bisa mengingat dan memahami? ;D

18. pernahkan om kutho merasakan kelaparan yang sesungguhnya tapi tidak punya makanan atau uang untuk membeli makanan? ;D

19. ketika sedang kelaparan itu apakah pernah terlintas untuk berbuat yang tidak baik untuk mendapatkan makanan? ;D

20. bagaimana caranya om kutho menghapus kesedihan? ;D

21. apakah om kutho pernah fang shen? ;D

22. bagaimana caranya om kutho melakukan fang shen? ;D apakah melakukan ritual-ritual tertentu? ;D

23. om kutho lebih suka tinggal dirumah yang besar tapi halamannya kecil atau rumah mungil tapi halamannya luas sekali? ;D

24. apakah om kutho ingin membina sebuah atau beberapa buah rumah tangga :P atau cukup nyaman hidup menjomblo? ;D

25. bagaimana pendapat om kutho mengenai 'kumpul kebo'? :P

26. apakah saya cukup bawel? :))

nah sesuai tanggal hari ini yaitu 26, maka pertanyaan saya cukup sekian ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 26 January 2012, 12:29:15 PM
 [at] Bawel, kenapa gak tunggu tanggal 31 aja tanyanya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 26 January 2012, 12:35:14 PM
[at] Bawel, kenapa gak tunggu tanggal 31 aja tanyanya?

karena belom tentu saya ol ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 26 January 2012, 01:12:40 PM
[at] Bawel, kenapa gak tunggu tanggal 31 aja tanyanya?
kenapa mesti nunggu sampe tgl 31?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Wijayananda on 26 January 2012, 01:12:49 PM
Jadi penasaran juga ne dgn jawaban om kainyn!
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 26 January 2012, 01:16:24 PM
kenapa mesti nunggu sampe tgl 31?

biar 31 pertanyaan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 26 January 2012, 01:56:41 PM
biar 31 pertanyaan
eh iya...
ga baca sampe bawah... :hammer:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 January 2012, 05:31:51 PM
Wah...

sepertinya forumnya lagi sepi ;D. introgasi om kutho dulu ah :)).

1. apakah arti hidup itu menurut om kutho? ;D
Hidup tidak ada arti khusus, hanya konsekwensi dari sebuah kelahiran saja. Bagaimana mau mengartikan dan menjalani hidup, semua tergantung kita sendiri. Untuk saya, arti hidup yang paling utama adalah belajar, apakah dari teori, pengalaman sendiri, juga pengajaran orang lain.

Quote
2. apakah tujuan hidup om kutho? ;D
Memahami hidup itu sendiri secara keseluruhan.

Quote
3. apakah waktu kecil om kutho sudah mengetahui tujuan hidupnya? ;D
Tidak, karena dulu saya punya banyak sekali pertanyaan tentang hidup yang tak terjawab.

Quote
4. apakah tujuan hidup om kutho waktu kecil, abg, dewasa dan pas tua berubah-ubah? ;D
Senantiasa berubah karena menjalani hidup apa adanya saja.

Quote
5. apakah om kutho pernah marah besar? ;D
Definisi 'marah besar' itu bagaimana? Sampai bentak2 atau pukul orang? Tidak pernah.

Quote
6. apakah saat marah itu om kutho menyadari atau tidak? ;D
Biasanya menyadari tapi agak telat, keburu muncul niat meremukkan 1-2 bilah tulang dulu baru sadar. ;D

Quote
7. bagaimana om kutho cara melewati saat-saat marah itu? ;D
Biasanya saya mencoba mengingat betapa tidak bergunanya marah itu.

Quote
8. bagaimana caranya om kutho bisa mengingat berbagai hal yang sudah dipelajari om kutho selama ini? ;D
"Повторе́нье - мать уче́нья"
"Pengulangan - ibu dari pembelajaran"

Quote
9. bagaimana caranya om kutho mengaplikasikan pengetahuan om kutho dikehidupan nyata? ;D
Disesuaikan dengan kondisi saja, kadang tentunya tidak semua pengetahuan bisa/perlu kita aplikasikan.

Quote
10. bagaimana kalo pengetahuan itu tidak bisa diaplikasikan dikehidupan sehari-hari? ;D apakah om kutho tetap mencoba atau menyerah? ;D atau mungkin merevisi lagi? ;D
Tentu saja belajar dari pengalaman itu, lalu update kembali pengetahuannya. Biasa memang teori tidak sesuai dengan praktek, bukan karena teorinya salah, namun karena ada faktor-faktor lain dalam praktek yang harus kita ketahui.

Quote
11. apakah om kutho masih memiliki keraguan pada ajaran buddha? ;D boleh sebutkan apa saja keraguan om kutho itu? ;D
Kecuali Buddha-dhamma (dukkha dan lenyapnya dukkha), semua yang lainnya yang belum saya buktikan juga saya ragukan. Bukan saya anggap salah, tapi tidak saya yakini sebagai pasti benar.

Quote
12. apakah om kutho pernah difoto? :P bolehkah saya minta penampakannya? :))
Pernah kok, bahkan di forum ini pun ada, tapi saya lupa di thread mana. Nanti saya carikan dulu.

Quote
13. ketika sedang gundah gulana, apakah om kutho lebih suka bermain gitar atau merenungkan dhamma? ;D
Sekarang ini, saya lebih pilih meditasi jalan.

Quote
14. apakah om kutho pernah ikut pabbaja? ;D boleh ceritakan pengalamannya? ;D suka dukanya? ;D
Tidak pernah. Saya kenal komunitas Buddhis saja baru sekitar 5 tahun dan tidak aktif di dalamnya, hanya lewat DC ini saja.

Quote
15. apakah om kutho pernah jatuh cinta? ;D bagaimana cara om kutho memilih pasangan yang tepat? ;D
Pernah. Sebetulnya tidak ada 'pasangan tepat' seperti dua sejoli yang sudah ditakdirkan bersama, namun semua adalah usaha kedua pihak untuk menjalani kehidupan bersama, menjaga hubungan baik, saling mendukung dengan kelebihan masing-masing, sekaligus saling toleransi kekurangan pihak lain.

Quote
16. apakah om kutho suka memakai pernak-pernik keagamaan? ;D seperti rantai, cincin, gelang dll. ;D.
Tidak suka, baik 'keagamaan' ataupun bukan.

Quote
17. ketika membaca sutta, apakah om kutho mesti baca berkali-kali atau cukup sekali untuk bisa mengingat dan memahami? ;D
Tergantung sutta dan kecocokan, kadang ada yang langsung nempel, kadang ada yang mesti diulang berkali-kali, bahkan ada yang tidak bisa dipahami juga.

Quote
18. pernahkan om kutho merasakan kelaparan yang sesungguhnya tapi tidak punya makanan atau uang untuk membeli makanan? ;D
Pernah. Untungnya kelaparan itu tidak jangka panjang seperti 3 hari berturut-turut makan angin. Minimal ada sedikit untuk dimakan.

Quote
19. ketika sedang kelaparan itu apakah pernah terlintas untuk berbuat yang tidak baik untuk mendapatkan makanan? ;D
Tidak. Ada suatu ketika, waktu saya lapar, bahkan saya tidak mengambil makanan yang sebetulnya disiapkan untuk saya karena saya belum memastikannya. (Orang yang menyiapkan lagi tidur.)

Quote
20. bagaimana caranya om kutho menghapus kesedihan? ;D
Dengan menerimanya sesadar mungkin bahwa itulah kenyataan dan telah terjadi.

Quote
21. apakah om kutho pernah fang shen? ;D
Secara ritual tidak pernah, tapi secara makna, sepertinya pernah.

Quote
22. bagaimana caranya om kutho melakukan fang shen? ;D apakah melakukan ritual-ritual tertentu? ;D
Kalau mau membebaskan/membantu makhluk, langsung lakukan saja dengan niat baik. Saya coba berempati terhadap hewan itu dan berpikir, "kalau saya dikurung, ingin selekasnya dilepas, tidak usah tunggu oceh2 ritual yang saya juga tidak mengerti."

Quote
23. om kutho lebih suka tinggal dirumah yang besar tapi halamannya kecil atau rumah mungil tapi halamannya luas sekali? ;D
Saya cukup puas dengan rumah kecil dan halaman kecil, yang penting bersih, nyaman, tidak banyak gangguan.

Quote
24. apakah om kutho ingin membina sebuah atau beberapa buah rumah tangga :P atau cukup nyaman hidup menjomblo? ;D
"Beberapa rumah tangga?" Maksudnya memiliki 500 istri gitu? ;D Menjomblo ataupun menikah juga bisa bahagia, tergantung kita dan pasangannya. Kalau dengan pasangan yang senantiasa bikin naik darah, tentu jauh lebih nyaman hidup menjomblo.

Quote
25. bagaimana pendapat om kutho mengenai 'kumpul kebo'? :P
Saya pribadi katakan, sah-sah saja. Pasangan itu bukan dipersatukan pihak lain (seperti agama atau negara), tapi lewat komitmen kedua-belah pihak. Namun karena 'kumpul kebo' tidak ada ikatan secara agama/hukum, ini rentan disalah-gunakan oleh orang yang menghindari tanggung-jawab.

Quote
26. apakah saya cukup bawel? :))
Cukup. :)

Quote
nah sesuai tanggal hari ini yaitu 26, maka pertanyaan saya cukup sekian ;D.
Untung sebulan maksimal hanya 31 hari... ;D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 26 January 2012, 06:38:43 PM
iseng nanya juga neh om... ;D

nah,apa makna cinta(antara lawan jenis) buat om kianyt?

[sedikit personal] apa om kainyt akan selalu "men-jombl*" atau ... ?? <= mewakili para fans om kainyt :)) ^-^ 
Spoiler: ShowHide
 biar tambah penasaran,ga usah di jawab >:D >:D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 26 January 2012, 06:48:58 PM
iseng nanya juga neh om... ;D

nah,apa makna cinta(antara lawan jenis) buat om kianyt?

[sedikit personal] apa om kainyt akan selalu "men-jombl*" atau ... ?? <= mewakili para fans om kainyt :)) ^-^ 
Spoiler: ShowHide
 biar tambah penasaran,ga usah di jawab >:D >:D


bukan gitu pertanyaannya, seharusnya, "apakah om kain lebih suka cewek yg beringas atau lemah lembut?"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Landy Chua on 26 January 2012, 10:23:38 PM
bukan gitu pertanyaannya, seharusnya, "apakah om kain lebih suka cewek yg beringas atau lemah lembut?"

wow.. di tunggu jwban nya~ (TS )

 jadi pengen tau nih~ pria2 yg main di forum "ginian" seleranya gimana?  ^-^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 27 January 2012, 07:52:58 AM
 [at]  pak Indra
Keknya u ngundang badai matahari neh..
*kaburrrr...*
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 January 2012, 07:55:42 AM
[at]  pak Indra
Keknya u ngundang badai matahari neh..
*kaburrrr...*

biar rame, udah kelamaan sepi
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 27 January 2012, 09:23:12 AM
bukan gitu pertanyaannya, seharusnya, "apakah om kain lebih suka cewek yg beringas atau lemah lembut?"
sekalian sample nya dong...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 January 2012, 09:32:29 AM
iseng nanya juga neh om... ;D

nah,apa makna cinta(antara lawan jenis) buat om kianyt?
Yang namanya cinta (piya) itu semua punya inti yang sama: kemelekatan. Tapi beda objek, maka beda bentuk kemelekatan dan wujudnya. Faktor yang dominan membedakan cinta kepada pasangan karena terhadap pasangan, ada faktor kecenderungan seksual kita yang berperan. Lainnya hanya bentuk hubungan yang sifatnya relatif seperti tanggung-jawab, komitmen, yang berbeda bagi tiap orang. Ada yang berkeluarga tapi tidak tanggung jawab sama anak, ada yang komitmennya memang poligami, semua tergantung pihak2 yang menjalani saja.

NB: Beda piya & metta adalah metta bukan kemelekatan karena tidak mengukuhkan kepemilikan, tapi semata redanya kebencian dalam bentuk apapun.


Quote
[sedikit personal] apa om kainyt akan selalu "men-jombl*" atau ... ?? <= mewakili para fans om kainyt :)) ^-^ 
Spoiler: ShowHide
 biar tambah penasaran,ga usah di jawab >:D >:D
"Akan selalu menjombl*"? Apakah saya duda dengan 7 anak 18 cucu atau saya sudah dinikahkan dengan Yakshini yang tak terlihat (seperti isu hangat akhir tahun kemarin), toh tidak ada yang tahu 'kan? Kok yakin saya sedang 'menjombl*'?

Spoiler: ShowHide
Mengikuti saran Mr.Jhonz. >:D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 January 2012, 09:39:29 AM
bukan gitu pertanyaannya, seharusnya, "apakah om kain lebih suka cewek yg beringas atau lemah lembut?"
Saya suka yang ganas bagai kelinci ngantuk, namun jinak bagai macan kelaparan.


Konfirmasi: Tidak ada kesalahan ketik pada kalimat di atas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 January 2012, 09:41:11 AM
wow.. di tunggu jwban nya~ (TS )

 jadi pengen tau nih~ pria2 yg main di forum "ginian" seleranya gimana?  ^-^
Pria yang main di forum "ginian" ada banyak jenisnya, bahkan mungkin hampir semua jenis juga ada, jadi selera pria umum dan pria 'yang main di forum "ginian"' sebetulnya sama aja.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 January 2012, 09:41:41 AM
sekalian sample nya dong...

Bisa "Ad Hominem" donk?!
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 January 2012, 10:02:48 AM
Saya suka yang ganas bagai kelinci ngantuk, namun jinak bagai macan kelaparan.


Konfirmasi: Tidak ada kesalahan ketik pada kalimat di atas.

heh! ternyata M14KA terlibat di sini
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 27 January 2012, 10:19:58 AM
Wah...
Hidup tidak ada arti khusus, hanya konsekwensi dari sebuah kelahiran saja. Bagaimana mau mengartikan dan menjalani hidup, semua tergantung kita sendiri. Untuk saya, arti hidup yang paling utama adalah belajar, apakah dari teori, pengalaman sendiri, juga pengajaran orang lain.

bagaimana caranya mempelajari hidup? ;D karena terkadang hidup itu sulit untuk dipelajari ;D.
contohnya ada anak kecil yang merokok dan untungnya terungkap oleh media hingga mendapat perhatian luas, tapi bila tidakkan, anak itu sampai besarnya akan terus berada dalam kondisi itu dan berkemungkinan besar menurunkan hal tersebut ke junior-juniornya ;D. jadi bagaimana caranya membedakan mana hal-hal yang bermanfaat dan mana hal-hal yang tidak bermanfaat kalo segala kondisi tidak ada yang mendukung? ;D

Quote
Memahami hidup itu sendiri secara keseluruhan.

secara keseluruhannya itu bagian demi bagian atau secara menyeluruh? ;D

Quote
Tidak, karena dulu saya punya banyak sekali pertanyaan tentang hidup yang tak terjawab.

seberapa banyak? ;D apakah boleh diungkapkan disini apa saja kah itu? ;D dan apakah sudah terjawab sekarang? ;D

Quote
Senantiasa berubah karena menjalani hidup apa adanya saja.

pengertian 'hidup apa adanya' menurut om kutho itu apa? ;D

Quote
Definisi 'marah besar' itu bagaimana? Sampai bentak2 atau pukul orang? Tidak pernah.

termasuk menahan kemarahan yang amat sangat hingga tubuh menjadi sakit ;D.

Quote
Biasanya menyadari tapi agak telat, keburu muncul niat meremukkan 1-2 bilah tulang dulu baru sadar. ;D

hahaha.. tulang apa nih? :P kan katanya tidak pernah pukul orang pas marah ;D.

Quote
Biasanya saya mencoba mengingat betapa tidak bergunanya marah itu.

kenapa kemarahan itu tidak berguna? ;D bagaimana dengan intimidasi atau mengancam (itu termasuk kemarahan ngak yah? :P) ;D, misalnya polisi, jaksa dan hakim yang mengintimidasi tersangka? ;D atau orang tua atau tuhan yang mengancam anak-anaknya? :))

Quote
"Повторе́нье - мать уче́нья"
"Pengulangan - ibu dari pembelajaran"

apakah om kutho adalah orang rusia? :P

Quote
Disesuaikan dengan kondisi saja, kadang tentunya tidak semua pengetahuan bisa/perlu kita aplikasikan.

berarti pengetahuan itu pada dasarnya memang untuk kita sendiri yah? ;D

Quote
Tentu saja belajar dari pengalaman itu, lalu update kembali pengetahuannya. Biasa memang teori tidak sesuai dengan praktek, bukan karena teorinya salah, namun karena ada faktor-faktor lain dalam praktek yang harus kita ketahui.

bagaimana kalo kita mengupdate hal tidak bermanfaat sebagai yang bermanfaat? ;D apa yang sekarang menjadi acuan om kutho agar berada dalam jalur yang tepat? ;D

Quote
Kecuali Buddha-dhamma (dukkha dan lenyapnya dukkha), semua yang lainnya yang belum saya buktikan juga saya ragukan. Bukan saya anggap salah, tapi tidak saya yakini sebagai pasti benar.

memang apa lagi yang diajarkan buddha selain dukkha dan lenyapnya dukkha? ;D karena setahu saya semua ajaran lainnya juga mengacu pada dukkha dan lenyapnya dukkha sih ;D

Quote
Pernah kok, bahkan di forum ini pun ada, tapi saya lupa di thread mana. Nanti saya carikan dulu.

oke ;D, mudah-mudahan fotonya tidak hilang, karena biasanya foto-foto uploadtan lama sudah diblokir ;D. kira-kira apakah kita pernah bertemu? ;D

Quote
Sekarang ini, saya lebih pilih meditasi jalan.

hm.. meditasinya dimana om? ;D setahu saya paling sedikitkan setidaknya ada jalur yang mempunyai 25 langkah ;D.
saya juga sukasih meditasi jalan, jalan mondar-mandir maksudnya :)).

Quote
Tidak pernah. Saya kenal komunitas Buddhis saja baru sekitar 5 tahun dan tidak aktif di dalamnya, hanya lewat DC ini saja.

DC menurut om kutho itu apa? :P
berdasarkan pengalaman om kutho, pindah agama itu susah ngak? ;D apa saja yang terjadi ketika kita pindah agama? ;D

Quote
Pernah. Sebetulnya tidak ada 'pasangan tepat' seperti dua sejoli yang sudah ditakdirkan bersama, namun semua adalah usaha kedua pihak untuk menjalani kehidupan bersama, menjaga hubungan baik, saling mendukung dengan kelebihan masing-masing, sekaligus saling toleransi kekurangan pihak lain.

berarti kalo usahanya beda lebih baik menjomblo dong? :P tapikan mencari yang seperti itu susah ;D. lokasi seperti apa yang biasa om kutho favoritkan untuk mendapatkan pasangan yang usahanya sama? ;D

Quote
Tidak suka, baik 'keagamaan' ataupun bukan.

mantap ;D. lalu bagaimana pandangan om kutho mengenai orang-orang yang menjalankan bisnis pernak-pernik keagamaan itu? ;D

Quote
Tergantung sutta dan kecocokan, kadang ada yang langsung nempel, kadang ada yang mesti diulang berkali-kali, bahkan ada yang tidak bisa dipahami juga.

boleh tahu sutta apa yang bisa langsung nempel dan sutta apa aja yang ngak nempel-nempel? ;D

Quote
Pernah. Untungnya kelaparan itu tidak jangka panjang seperti 3 hari berturut-turut makan angin. Minimal ada sedikit untuk dimakan.

;D. pernah jadi anak kos yah? atau pernah bocah petualang? ;D

Quote
Tidak. Ada suatu ketika, waktu saya lapar, bahkan saya tidak mengambil makanan yang sebetulnya disiapkan untuk saya karena saya belum memastikannya. (Orang yang menyiapkan lagi tidur.)

kenapa sudah mengetahui untuk om kutho tahu mesti memastikan dulu? ;D bukankah itu akan membuat yang menyiapkan makanan menjadi sedih? ;D

Quote
Dengan menerimanya sesadar mungkin bahwa itulah kenyataan dan telah terjadi.

sadar yang seperti apa? ;D

Quote
Secara ritual tidak pernah, tapi secara makna, sepertinya pernah.

apa yang di fang shen om kutho waktu itu? ;D

Quote
Kalau mau membebaskan/membantu makhluk, langsung lakukan saja dengan niat baik. Saya coba berempati terhadap hewan itu dan berpikir, "kalau saya dikurung, ingin selekasnya dilepas, tidak usah tunggu oceh2 ritual yang saya juga tidak mengerti."

membebaskan saja langsung tanpa memperhatikan lingkungan? ;D bagaimana kalo malah menyebabkan kepunahan hewan-hewan lokal atau malah menyebarkan penyakit, seperti flu burung, flu babi dan antrax? ;D bagaimana kalo dikarantina dulu? ;D misalnya seperti orang utan yang sudah manja gitu? ;D

Quote
Saya cukup puas dengan rumah kecil dan halaman kecil, yang penting bersih, nyaman, tidak banyak gangguan.

bagaimana pendapat om kutho mengenai gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan mewah lainnya? ;D

Quote
"Beberapa rumah tangga?" Maksudnya memiliki 500 istri gitu? ;D Menjomblo ataupun menikah juga bisa bahagia, tergantung kita dan pasangannya. Kalau dengan pasangan yang senantiasa bikin naik darah, tentu jauh lebih nyaman hidup menjomblo.

hahaha.. boleh kalo sanggup :P. yeah.. hidup jomblo!! :))

Quote
Saya pribadi katakan, sah-sah saja. Pasangan itu bukan dipersatukan pihak lain (seperti agama atau negara), tapi lewat komitmen kedua-belah pihak. Namun karena 'kumpul kebo' tidak ada ikatan secara agama/hukum, ini rentan disalah-gunakan oleh orang yang menghindari tanggung-jawab.

bagaimana cara mengatasinya ketika pikiran untuk menghindari tanggungjawab itu muncul hingga tidak sampai pada ucapan apalagi sampai dilakukan? ;D

Quote
Cukup. :)
kalo tampan, apakah saya tampan? :P

Quote
Untung sebulan maksimal hanya 31 hari... ;D

hahahaha..iya, dan tahun ini salah satu tahun terpanjang juga ;D.
* siap-siap beli 4 kue ulang tahu untuk yang lahir tanggal 29 pebruari :P.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 January 2012, 10:42:51 AM
heh! ternyata M14KA terlibat di sini
Itu terwelu. Kelinci sama ordo, tapi lain genus. ;D (berkelit.com)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 27 January 2012, 11:30:53 AM
Bisa "Ad Hominem" donk?!
ga apa2, yang penting anda tidak di bully khan ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 27 January 2012, 12:22:06 PM

"Повторе́нье - мать уче́нья"
"Pengulangan - ibu dari pembelajaran"

apakah om kutho adalah orang rusia? :P

itu bukannya bahasa yunani??
CMIIW
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 27 January 2012, 01:02:12 PM
itu bukannya bahasa yunani??
CMIIW

bahasa rusia atau bisa juga belarusia kalo saya tes di google translate sih ;D.

kalo ini bahasa yunaninya ;D.
Επανάληψη - η μητέρα της μάθησης

ngomongin soal yunani, bagi ortu yang ingin mencari anak, bisa mengadopsi anak-anak-anak yunani loh ;D.
sekarang banyak anak-anak yunani yang sengaja ditinggalkan di jalanan, karena ortunya sudah tidak sanggup lagi menghidupi mereka ;D.

ntar saya cari artikelnya deh ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 27 January 2012, 01:11:55 PM
nah ini dia artikelnya ;D.

http://www.detiknews.com/read/2012/01/12/180237/1814124/1148/duh-dampak-krisis-eropa-anak-anak-di-yunani-dibuang-orangtua

Duh! Dampak Krisis Eropa, Anak-anak di Yunani 'Dibuang' Orangtua
Novi Christiastuti Adiputri - detikNews
Kamis, 12/01/2012 18:02 WIB

(http://images.detik.com/content/2012/01/12/1148/yunani-anak-DLM.jpg)
Ilustrasi (Alamy)

Athena - Akhir-akhir ini, banyak anak-anak di Yunani yang terpaksa 'dibuang' oleh orangtuanya. Alasannya, hanya karena para orangtua tersebut merasa tidak lagi mampu untuk membiayai mereka.

Fenomena ini dinilai sebagai konsekuensi terburuk dari krisis ekonomi yang melanda Benua Eropa. Akibat krisis, pemerintah Yunani pun harus menghemat pengeluarannya dan imbasnya banyak warga yang menjadi pengangguran hingga berujung pada kemiskinan.

Para orangtua yang frustrasi merasa gagal karena tidak mampu membiayai anak mereka sendiri. Mereka pun berpikiran pendek dengan 'membuang' anaknya di jalanan maupun meninggalkan anaknya di tempat-tempat penampungan. Demikian seperti dilansir Daily Mail, Kamis (12/1/2012).

Pusat Penampungan Anak dan Remaja, Ark of the World, yang ada di Athena, mengaku menerima sedikitnya 4 anak, termasuk seorang bayi yang baru lahir, pada bulan ini saja. Mereka ditinggalkan begitu saja oleh orangtuanya di depan pintu penampungan tersebut. Salah seorang ibu bahkan langsung melarikan diri usai menyerahkan putrinya yang berumur 2 tahun, Natasha, kepada pusat penampungan anak tersebut.

Lebih menyedihkan, seorang balita perempuan berusia 4 tahun, yakni Anna, yang ditemukan oleh salah seorang mentor di penampungan tersebut. Bersama Anna ditemukan sebuah catatan yang berbunyi: "Saya tidak akan datang untuk menjemput Anna hari ini, karena saya tidak mampu membiayai dia lagi. Tolong rawat dia dengan baik. Maaf."

Seorang ibu lainnya bernama Maria bahkan terlihat sangat depresi karena kehilangan pekerjaannya, sehingga dia bersikeras menyerahkan anaknya, Anastasia yang berumur 8 tahun kepada penampungan tersebut. Sang ibu mengaku telah mencari pekerjaan selama setahun terakhir, namun selalu tak membuahkan hasil.

Dia mengaku harus meninggalkan anaknya di rumah setiap harinya selama beberapa jam dan kemudian meminta makanan dari gereja yang ada di sekitar rumahnya. "Setiap malam saya menangis sendirian di rumah, tapi apa yang bisa saya lakukan? Ini sangat menyakiti hati saya, tapi saya tidak memiliki pilihan lain," tutur ibu tersebut sebelum menyerahkan putrinya ke penampungan.

Sang ibu mengaku, dirinya kini hanya bekerja di kafe dan mendapatkan 16 Euro sehari (sekitar Rp 187 ribu). Penghasilan tersebut tidak cukup untuk menghidupi sang anak.

Pendiri Ark of the World, Fr Antonios Papanikolaou mengaku tak bisa berbuat apapun selain menerima anak-anak tersebut untuk dirawat.

"Selama setahun terakhir, kami bertemu ratusan orangtua yang menginginkan anaknya tinggal dengan kami. Mereka kenal kami dan mempercayai kami. Mereka mengatakan, bahwa mereka tidak punya uang ataupun tempat tinggal ataupun makanan untuk anak-anak mereka, jadi mereka berharap agar kami bisa menyediakan kebutuhan anak-anak tersebut," tuturnya.

Krisis Eropa memang berdampak sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat Yunani. Selain banyaknya orangtua yang depresi yang meninggalkan anaknya agar dirawat oleh orang lain, bukti lain bahwa masyarakat putus asa adalah berkurangnya persediaan aspirin secara drastis. Selama masa krisis, keberadaan aspirin maupun obat-obatan lainnya di Yunani menjadi langka. Masyarakat sangat membutuhkan, namun harga obat-obatan di luar negeri menjadi sangat mahal sehingga sulit didapatkan di dalam negeri.

(nvc/ita)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 January 2012, 01:52:22 PM
bagaimana caranya mempelajari hidup? ;D karena terkadang hidup itu sulit untuk dipelajari ;D.
contohnya ada anak kecil yang merokok dan untungnya terungkap oleh media hingga mendapat perhatian luas, tapi bila tidakkan, anak itu sampai besarnya akan terus berada dalam kondisi itu dan berkemungkinan besar menurunkan hal tersebut ke junior-juniornya ;D. jadi bagaimana caranya membedakan mana hal-hal yang bermanfaat dan mana hal-hal yang tidak bermanfaat kalo segala kondisi tidak ada yang mendukung? ;D
Dengan tidak masa-bodoh dan mengembangkan sifat mau belajar. Adalah wajar orang merokok kalau tidak tahu apa kerugian dari merokok. Sebaliknya kalau orang tersebut tahu tentang rokok dan pengaruhnya, mungkin dia akan pikir lebih jauh sebelum memutuskan merokok. Masalahnya kebanyakan orang di sini tidak peduli dengan belajar dan pendidikan.

Quote
secara keseluruhannya itu bagian demi bagian atau secara menyeluruh? ;D
Tentu bagian demi bagian donk, ada prosesnya, bukan instant seperti dapat wahyu langsung mengerti seluruhnya. ;D

Quote
seberapa banyak? ;D apakah boleh diungkapkan disini apa saja kah itu? ;D dan apakah sudah terjawab sekarang? ;D
Lumayan, misalnya karena dari dulu saya tahunya Agama Monotheisme, jadi saya banyak pertanyakan tentang tujuan Tuhan menciptakan. Lalu saya juga pertanyakan tentang jiwa, dan bertanya (juga mendebat) tentang definisinya karena saya mencari tapi tidak menemukan jiwa yang kekal tersebut. Tentu saja otomatis terjawab dengan ajaran "Anatta".

Quote
pengertian 'hidup apa adanya' menurut om kutho itu apa? ;D
"Apa adanya" maksudnya sedemikian adanya saja, tidak perlu ditambah2 konsep-konsep tidak jelas. Misalnya kalau kita ada masalah, ya sudah kenali sebagai masalah, tidak perlu tambah2 konsep 'dicobai Tuhan' atau spekulasi 'kamma buruk berbuah'.

Quote
termasuk menahan kemarahan yang amat sangat hingga tubuh menjadi sakit ;D.
Tidak ingat sih, sepertinya tidak sampai begitu.

Quote
hahaha.. tulang apa nih? :P kan katanya tidak pernah pukul orang pas marah ;D.
Memukul itu istilahnya 'atemi', kalau mematahkan tulang biasa dari jurus persendian 'kansetsu'. Itu 2 hal berbeda. ;D Tapi perhatikan baik-baik, saya hanya bilang 'niat itu keburu timbul', tapi tidak bilang 'niat itu sudah diwujudkan'.

Quote
kenapa kemarahan itu tidak berguna? ;D bagaimana dengan intimidasi atau mengancam (itu termasuk kemarahan ngak yah? :P) ;D, misalnya polisi, jaksa dan hakim yang mengintimidasi tersangka? ;D atau orang tua atau tuhan yang mengancam anak-anaknya? :))
Kemarahan tidak berguna karena kenyataan tidak bisa diubah dengan kemarahan. Kalau kenyataan tersebut sebetulnya bisa diubah, ubahlah sebelum kemarahan itu timbul. Cara begitu lebih bermanfaat.
Ancaman atau intimidasi itu tidak selalu disertai kemarahan kok. Saya sering mengucapkan, "silahkan lakukan lagi jika sudah bosan melihat mentari terbit esok," dengan wajah ramah dan sambil tersenyum manis.

Quote
apakah om kutho adalah orang rusia? :P
Bukan, saya orang Indonesia. Kalau keturunan apa saja, entahlah...

Quote
berarti pengetahuan itu pada dasarnya memang untuk kita sendiri yah? ;D
Tidak juga, bisa juga untuk membantu orang lain dalam situasi yang sesuai.

Quote
bagaimana kalo kita mengupdate hal tidak bermanfaat sebagai yang bermanfaat? ;D apa yang sekarang menjadi acuan om kutho agar berada dalam jalur yang tepat? ;D
Acuan saya adalah baik bagi diri sendiri (penjauhan LDM) sekaligus tidak merugikan orang lain dan lingkungan/alam.

Quote
memang apa lagi yang diajarkan buddha selain dukkha dan lenyapnya dukkha? ;D karena setahu saya semua ajaran lainnya juga mengacu pada dukkha dan lenyapnya dukkha sih ;D
Maksudnya "ajaran2 lain" itu seperti kisah2 yang ada di Tipitaka, menurut saya belum tentu semuanya sama persis terjadi seperti yang tercatat.

Quote
oke ;D, mudah-mudahan fotonya tidak hilang, karena biasanya foto-foto uploadtan lama sudah diblokir ;D. kira-kira apakah kita pernah bertemu? ;D
Entahlah, saya 'kan tidak tahu bro bawel yang mana, jadi ga tahu apakah pernah ketemu atau tidak.

Quote
hm.. meditasinya dimana om? ;D setahu saya paling sedikitkan setidaknya ada jalur yang mempunyai 25 langkah ;D.
saya juga sukasih meditasi jalan, jalan mondar-mandir maksudnya :)).
Di mana saja. Buat saya, asal bisa 5 langkah pun cukup, tapi lebih sering balik badannya saja.

Quote
DC menurut om kutho itu apa? :P
Komunitas Buddhis yang basisnya online.

Quote
berdasarkan pengalaman om kutho, pindah agama itu susah ngak? ;D apa saja yang terjadi ketika kita pindah agama? ;D
Susah secara apa? KTP? Itu saya tidak tahu. ;D
Saya pikir memang orang otomatis akan mencari agama yang sesuai. Karena orang berubah sesuai pengalaman, maka kesesuaian agama juga bisa saja berubah. Jadi semua tergantung orangnya, bukan agamanya.

Quote
berarti kalo usahanya beda lebih baik menjomblo dong? :P tapikan mencari yang seperti itu susah ;D. lokasi seperti apa yang biasa om kutho favoritkan untuk mendapatkan pasangan yang usahanya sama? ;D
Saya pikir kita tidak perlu 'mengincar' lokasi tertentu, karena pertemuan bisa terjadi di mana saja, yang penting pasang mata-telinga.

Quote
mantap ;D. lalu bagaimana pandangan om kutho mengenai orang-orang yang menjalankan bisnis pernak-pernik keagamaan itu? ;D
Sama saja dengan penjual barang lainnya.

Quote
boleh tahu sutta apa yang bisa langsung nempel dan sutta apa aja yang ngak nempel-nempel? ;D
Hm.. kalau sengaja dipikirkan, malah ga inget.

Quote
;D. pernah jadi anak kos yah? atau pernah bocah petualang? ;D
Pernah, tapi kesusahan tersebut saya alami bukan waktu kos.

Quote
kenapa sudah mengetahui untuk om kutho tahu mesti memastikan dulu? ;D bukankah itu akan membuat yang menyiapkan makanan menjadi sedih? ;D
Saya tidak tahu pasti, hanya menduga saja, dan daripada terjadi 'adinnadana' maka saya memutuskan tidak menduga-duga.

Quote
sadar yang seperti apa? ;D
Sadar... yah sadar, tidak terlarut dalam pikiran & perasaan.

Quote
apa yang di fang shen om kutho waktu itu? ;D
Serangga/binatang kecil.

Quote
membebaskan saja langsung tanpa memperhatikan lingkungan? ;D bagaimana kalo malah menyebabkan kepunahan hewan-hewan lokal atau malah menyebarkan penyakit, seperti flu burung, flu babi dan antrax? ;D bagaimana kalo dikarantina dulu? ;D misalnya seperti orang utan yang sudah manja gitu? ;D
Yah lihat lingkungan juga, mana mungkin saya fangsheng kecoa di kamar bro bawel. Banyak pertimbangan, tapi kalau ritual, selalu saya 'buang'.

Quote
bagaimana pendapat om kutho mengenai gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan mewah lainnya? ;D
Refleksi keserakahan dan kesombongan manusia.

Quote
hahaha.. boleh kalo sanggup :P. yeah.. hidup jomblo!! :))
Jomblo ataupun berpasangan, jalanilah pilihan itu dengan bahagia dan berikan yang terbaik. :)

Quote
bagaimana cara mengatasinya ketika pikiran untuk menghindari tanggungjawab itu muncul hingga tidak sampai pada ucapan apalagi sampai dilakukan? ;D
Ditekadkan, dilatih, dan dibiasakan. Semua hal yang berkaitan dengan manusianya, itu hanya bisa diusahakan dengan latihan, tidak ada satu metode tertentu yang instant dan efektif.

Quote
kalo tampan, apakah saya tampan? :P
2 hal: 1. saya hanya memperhatikan dan menilai keindahan wanita; 2. saya belom pernah ketemu.
Jadi jawabnya: tidak tahu. ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 31 January 2012, 06:01:29 PM
Dengan tidak masa-bodoh dan mengembangkan sifat mau belajar. Adalah wajar orang merokok kalau tidak tahu apa kerugian dari merokok. Sebaliknya kalau orang tersebut tahu tentang rokok dan pengaruhnya, mungkin dia akan pikir lebih jauh sebelum memutuskan merokok. Masalahnya kebanyakan orang di sini tidak peduli dengan belajar dan pendidikan.

sampai batas mana kita membantu orang lain, agar mereka peduli dengan diri mereka sendiri dan mau belajar? ;D
atau apakah setiap orang pasti mempunyai waktunya sendiri-sendiri? seperti ada yang mengatur nasibnya? :P

Quote
Tentu bagian demi bagian donk, ada prosesnya, bukan instant seperti dapat wahyu langsung mengerti seluruhnya. ;D

wahyu itu apa? ;D apakah wahyu itu benar-benar ada? ;D

Quote
Lumayan, misalnya karena dari dulu saya tahunya Agama Monotheisme, jadi saya banyak pertanyakan tentang tujuan Tuhan menciptakan. Lalu saya juga pertanyakan tentang jiwa, dan bertanya (juga mendebat) tentang definisinya karena saya mencari tapi tidak menemukan jiwa yang kekal tersebut. Tentu saja otomatis terjawab dengan ajaran "Anatta".

bagaimana prosesnya sehingga om kutho memilih ajaran anatta dan menolak ajaran lainnya? ;D
bagaimana perasaan om kutho waktu itu? ;D

Quote
"Apa adanya" maksudnya sedemikian adanya saja, tidak perlu ditambah2 konsep-konsep tidak jelas. Misalnya kalau kita ada masalah, ya sudah kenali sebagai masalah, tidak perlu tambah2 konsep 'dicobai Tuhan' atau spekulasi 'kamma buruk berbuah'.

bagaimana dengan mahkluk lain? ;D 'casper n friends' maksudnya :P. ada orang yang bisa merasakan bahkan melihat tapi ada juga yang ngak bisa sama sekali merasakan atau melihat seperti saya ;D. ketika ada orang yang bisa melihat kemudian menceritakan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? ;D percaya, menolak, atau lainnya? ;D om kutho sendiri bisa melihat casper? ;D atau ada teman yang bisa melihat? ;D

Quote
Tidak ingat sih, sepertinya tidak sampai begitu.

sepertinya om kutho termasuk orang yang sabar yah ;D.

Quote
Memukul itu istilahnya 'atemi', kalau mematahkan tulang biasa dari jurus persendian 'kansetsu'. Itu 2 hal berbeda. ;D Tapi perhatikan baik-baik, saya hanya bilang 'niat itu keburu timbul', tapi tidak bilang 'niat itu sudah diwujudkan'.

hahaha.. ;D. iya deh ;D.
kemarin pas copdar melakukan pertunjukan seni bela diri aikido bareng nona helen ngak? :P

Quote
Kemarahan tidak berguna karena kenyataan tidak bisa diubah dengan kemarahan. Kalau kenyataan tersebut sebetulnya bisa diubah, ubahlah sebelum kemarahan itu timbul. Cara begitu lebih bermanfaat.
Ancaman atau intimidasi itu tidak selalu disertai kemarahan kok. Saya sering mengucapkan, "silahkan lakukan lagi jika sudah bosan melihat mentari terbit esok," dengan wajah ramah dan sambil tersenyum manis.

hahaha... ;D.

Quote
Bukan, saya orang Indonesia. Kalau keturunan apa saja, entahlah...

oh ;D.

Quote
Tidak juga, bisa juga untuk membantu orang lain dalam situasi yang sesuai.

bagaimana caranya mengkondisikan agar situasinya bisa sering sesuai? ;D
karena kan kebanyakan kita tidak membantu karena kita mencari-cari alasan saja :P.

Quote
Acuan saya adalah baik bagi diri sendiri (penjauhan LDM) sekaligus tidak merugikan orang lain dan lingkungan/alam.

bagaimana kalo lingkungan tidak mengkehendaki apa yang dilakukan oleh om kutho, walaupun om kutho beranggapan itu adalah yang terbaik? ;D apakah om kutho akan menghindar dan pergi atau tetap bertahan dan masa bodo aja? ;D

Quote
Maksudnya "ajaran2 lain" itu seperti kisah2 yang ada di Tipitaka, menurut saya belum tentu semuanya sama persis terjadi seperti yang tercatat.

contohnya? ;D

Quote
Entahlah, saya 'kan tidak tahu bro bawel yang mana, jadi ga tahu apakah pernah ketemu atau tidak.

iya, setelah saya lihat di foto kopdar dc kemarin sepertinya kita memang belum pernah ketemu ;D.

Quote
Di mana saja. Buat saya, asal bisa 5 langkah pun cukup, tapi lebih sering balik badannya saja.

oh oke ;D.

Quote
Komunitas Buddhis yang basisnya online.
Susah secara apa? KTP? Itu saya tidak tahu. ;D
Saya pikir memang orang otomatis akan mencari agama yang sesuai. Karena orang berubah sesuai pengalaman, maka kesesuaian agama juga bisa saja berubah. Jadi semua tergantung orangnya, bukan agamanya.

susah secara sosial ;D. misalnya keluarga atau teman-teman, yang dulunya ke 'sana' sekarang ke vihara ;D. adakah penolakan-penolakan yang terjadi? ;D bagaimana om kutho melaluinya? ;D

Quote
Saya pikir kita tidak perlu 'mengincar' lokasi tertentu, karena pertemuan bisa terjadi di mana saja, yang penting pasang mata-telinga.

satu lagi pasang mulut juga untuk menyapa :)).

Quote
Sama saja dengan penjual barang lainnya.

sama apanya? ;D sama LDM nya? ;D
kalo om kutho menjadi pemimpin dunia, om kutho akan tetap mempertahanan sistem perdagangan dengan uang, atau menggunakan sistem perdagangan dengan barter? ;D

Quote
Hm.. kalau sengaja dipikirkan, malah ga inget.

kalo sekarang sudah ingat? :P

Quote
Pernah, tapi kesusahan tersebut saya alami bukan waktu kos.

oh ;D. memangnya karena apa? ;D

Quote
Saya tidak tahu pasti, hanya menduga saja, dan daripada terjadi 'adinnadana' maka saya memutuskan tidak menduga-duga.

om kutho tidak tertarik untuk menjalani hidup selibat? ;D
apa sebab ketidakpastian itu? ;D apakah ada yang biasanya makan juga selain om kutho? ;D

Quote
Sadar... yah sadar, tidak terlarut dalam pikiran & perasaan.

oh ;D.

Quote
Serangga/binatang kecil.

apa yang akan om kutho lakukan kalo melihat anjing atau kucing korban tabrak lari yang terluka tapi masih hidup? ;D

Quote
Yah lihat lingkungan juga, mana mungkin saya fangsheng kecoa di kamar bro bawel. Banyak pertimbangan, tapi kalau ritual, selalu saya 'buang'.

bagaimana caranya membuang ritual? ;D bagaimana caranya kalo orang tua masih mempercayai ritual dan kita diminta untuk membantu dalam ritual itu? ;D kadang-kadang ada ketakutan kalo kita menolak ritual (*misalnya sumpah pocong atau sumpah demi tuhan :P, kan mahkluk begituan mungkin saja ada ;D), bagaimana caranya agar tidak takut lagi? ;D

Quote
Refleksi keserakahan dan kesombongan manusia.

apakah om kutho juga masih tetap memanfaatkan gedung-gedung itu? ;D bagaimana kita menghindarinya? ;D karena kadang kala kita akan terlindas kalo menghindarinya ;D. contohnya toko-toko kelontongan dan pasar tradisional yang terlindas oleh supermarket ;D.

Quote
Jomblo ataupun berpasangan, jalanilah pilihan itu dengan bahagia dan berikan yang terbaik. :)

gimana bisa menjalankan yang terbaik kalo selalu dirongrong orang-orang sekitar biar bisa dobel :P.

Quote
Ditekadkan, dilatih, dan dibiasakan. Semua hal yang berkaitan dengan manusianya, itu hanya bisa diusahakan dengan latihan, tidak ada satu metode tertentu yang instant dan efektif.

oke ;D.

Quote
2 hal: 1. saya hanya memperhatikan dan menilai keindahan wanita; 2. saya belom pernah ketemu.
Jadi jawabnya: tidak tahu. ;D

hahahaha :)).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 February 2012, 11:48:50 AM
sampai batas mana kita membantu orang lain, agar mereka peduli dengan diri mereka sendiri dan mau belajar? ;D
atau apakah setiap orang pasti mempunyai waktunya sendiri-sendiri? seperti ada yang mengatur nasibnya? :P
Sebatas yang kita bisa lakukan dan sebatas mereka juga mau menerima. Betul, seperti ada waktunya, tapi sebetulnya bukan nasib, hanya kondisi yang 'matang' saja. Kadang dari diri sudah siap, tapi lingkungan tidak mendukung, kadang sebaliknya.

Quote
wahyu itu apa? ;D apakah wahyu itu benar-benar ada? ;D
Wahyu itu semacam pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan.

Quote
bagaimana prosesnya sehingga om kutho memilih ajaran anatta dan menolak ajaran lainnya? ;D
bagaimana perasaan om kutho waktu itu? ;D
Karena sampai sekarang pun secara teori saya tidak menemukan 'jati diri'. Saya punya pertanyaan dulu, sebetulnya jiwa kita itu yang mana? Waktu kecil sama sudah dewasa sama atau tidak? Jika sama, seharusnya semua masuk sorga sebab dikatakan anak kecil belum mengenal dosa (atau di ajaran tertentu lainnya, anak kecil diselamatkan dan masuk ke dalam surga minor, dan lain-lain). Jika jiwa tidak sama, berarti berubah-ubah. Kalau berubah-ubah, berarti seseorang memang punya kesempatan berubah, mengapa diciptakan neraka yang kekal? Bukankah ada jiwa bodoh bisa belajar jadi jiwa pintar, jiwa jahat belajar jadi jiwa baik, dst. Nah, pertanyaan saya ini tidak ada yang bisa jawab, dan ketika kenal 'anatta', tentu saya merasa cocok.

Dulu saya 'mengembara' sekitar 9 tahun, mencari jawaban debat sana-sini (bukan untuk menang, tapi untuk cari jawaban, karena toh saya sendiri tidak beragama waktu itu). Setelah lewat waktu itu, saya sudah menyerah dan mengatakan semua agama tidak ada yang mampu memuaskan pertanyaan saya dan saya tidak cari-cari lagi. Belakangan tidak sengaja ketemu Ajaran Buddha dan ternyata bisa 'nyambung', maka saya semangat belajar lagi.

Quote
bagaimana dengan mahkluk lain? ;D 'casper n friends' maksudnya :P. ada orang yang bisa merasakan bahkan melihat tapi ada juga yang ngak bisa sama sekali merasakan atau melihat seperti saya ;D. ketika ada orang yang bisa melihat kemudian menceritakan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? ;D percaya, menolak, atau lainnya? ;D om kutho sendiri bisa melihat casper? ;D atau ada teman yang bisa melihat? ;D
Walau hal seperti itu tidak bisa dibuktikan sendiri, tapi ada alasan untuk percaya. Misalnya ada orang yang memang kita kenal dengan baik, bukan penipu, kalau dia bicara, perkataannya bisa dipertimbangkan sebagai benar, walaupun belum dipastikan. Saya tidak bisa melihat dalam artian 'senantiasa melihat' atau 'bisa melihat jika saya mengarahkan pikiran', namun kalau dibilang pernah, ya, dari dulu walaupun sangat jarang, saya kadang2 melihat.

Quote
sepertinya om kutho termasuk orang yang sabar yah ;D.
Lebih cocok disebut 'takut akan perbuatan jahat' ketimbang 'sabar' sih. ;D

Quote
hahaha.. ;D. iya deh ;D.
kemarin pas copdar melakukan pertunjukan seni bela diri aikido bareng nona helen ngak? :P
Haha nggak lah. Lagipula saya hanya tahu dasar2nya aja.

Quote
bagaimana caranya mengkondisikan agar situasinya bisa sering sesuai? ;D
karena kan kebanyakan kita tidak membantu karena kita mencari-cari alasan saja :P.
Bukan situasinya yang diubah, karena kita sulit mengubah dunia. Yang perlu adalah memiliki kesiapan dalam situasi apapun. Kalau kita tidak membantu karena mencari alasan, itu jadi masalah internal. Kita boleh memperhatikan bathin kita apakah tidak membantu karena situasi tidak memungkinkan, atau niat baik itu memang ternodai oleh hal lain seperti kekikiran, kemalasan, dll.

Quote
bagaimana kalo lingkungan tidak mengkehendaki apa yang dilakukan oleh om kutho, walaupun om kutho beranggapan itu adalah yang terbaik? ;D apakah om kutho akan menghindar dan pergi atau tetap bertahan dan masa bodo aja? ;D
Contohnya seperti apa?
Kalau saya biasanya enggan memaksakan sesuatu ke orang lain.

Quote
contohnya? ;D
Semuanya. Bahkan kadang cerita di satu kitab bisa berbeda dengan kitab lainnya. Contohnya tentang Mahamoggallana dibunuh dengan kejam karena di masa lalu pernah berbuat jahat pada orang tuanya. Di satu kitab dibilang ia membunuh orang tuanya, di kitab lain bilang ia tidak sampai membunuh orang tuanya karena terharu ketika orang tuanya yang sedang terancam itu masih memikirkan dirinya. Jadi apapun yang ada di Tipitaka, tidak perlu dipercaya pasti demikian kejadiannya, ambil saja moral yang dikandung di sana.

Quote
iya, setelah saya lihat di foto kopdar dc kemarin sepertinya kita memang belum pernah ketemu ;D.
Betulkah? Di mana kira2?


Quote
susah secara sosial ;D. misalnya keluarga atau teman-teman, yang dulunya ke 'sana' sekarang ke vihara ;D. adakah penolakan-penolakan yang terjadi? ;D bagaimana om kutho melaluinya? ;D
;D Saya beruntung keluarga saya orang sekuler, percaya Tuhan saja, tapi tidak cenderung ke agama manapun. Jadi saya mau belajar apapun tidak masalah. Sedangkan keluarga besar juga plural, sudah terbiasa dengan perbedaan agama.

Quote
satu lagi pasang mulut juga untuk menyapa :)).
... dan untuk bertanya, jika ada kesempatan.

Quote
sama apanya? ;D sama LDM nya? ;D
kalo om kutho menjadi pemimpin dunia, om kutho akan tetap mempertahanan sistem perdagangan dengan uang, atau menggunakan sistem perdagangan dengan barter? ;D
Sama saja maksudnya penjual untuk mendapatkan untung, terlepas dari barang dagangannya.
Uang atau barter sebetulnya sama saja kok. Mungkin yang harus diubah adalah sistem ekonomi-nya saja. Tapi karena saya tidak begitu paham juga, jadi tidak berani komentar deh.

Quote
kalo sekarang sudah ingat? :P
Tidak juga.

Quote
oh ;D. memangnya karena apa? ;D
;D Masa2 sulit saja.

Quote
om kutho tidak tertarik untuk menjalani hidup selibat? ;D
Tertarik, tapi sepertinya belum mampu saja.

Quote
apa sebab ketidakpastian itu? ;D apakah ada yang biasanya makan juga selain om kutho? ;D
Gampangnya karena itu bukan rumah saya, jadi saya tidak bisa memastikan.

Quote
apa yang akan om kutho lakukan kalo melihat anjing atau kucing korban tabrak lari yang terluka tapi masih hidup? ;D
Coba dipinggirkan dulu saja. Kalau bisa ditolong yah ditolong, biasa penduduk sekitar (yang saya lihat) cukup peduli sih. Kalau misalnya di jalan tol, yah tentu tidak bisa apa2, paling2 bisa dilaporkan ke petugas.

Quote
bagaimana caranya membuang ritual? ;D bagaimana caranya kalo orang tua masih mempercayai ritual dan kita diminta untuk membantu dalam ritual itu? ;D kadang-kadang ada ketakutan kalo kita menolak ritual (*misalnya sumpah pocong atau sumpah demi tuhan :P, kan mahkluk begituan mungkin saja ada ;D), bagaimana caranya agar tidak takut lagi? ;D
Kalau untuk ritual, ga semuanya perlu ditinggalkan. Kalau tidak melanggar atau terlalu merepotkan, jalani saja, anggap sebagai pelestarian tradisi/budaya. Kalau 'sumpah', itu bukan ritual karena jika diniati, memang punya kekuatan. Jadi memang sebaiknya tidak bersumpah kalau tidak yakin.

Quote
apakah om kutho juga masih tetap memanfaatkan gedung-gedung itu? ;D bagaimana kita menghindarinya? ;D karena kadang kala kita akan terlindas kalo menghindarinya ;D. contohnya toko-toko kelontongan dan pasar tradisional yang terlindas oleh supermarket ;D.
Memang begitu. Maka walaupun kita tidak suka dengan dunia, mau tidak mau kita menyesuaikan diri juga. Tidak perlu menolak dengan sikap ekstrem. Sesuaikan saja, tapi tetap hidup sesuai prinsip kita. Kita kerja di gedung mewah, yah tetap harus ikut pakai baju rapih, bukan ekstrem pakai kaos + jeans. Tapi kerja di gedung mewah bukan berarti kemudian kita juga harus hidup secara mewah dan boros sumber daya, atau menjadi sombong.

Quote
gimana bisa menjalankan yang terbaik kalo selalu dirongrong orang-orang sekitar biar bisa dobel :P.
Beri pengertian saja ke mereka. Kalau tidak bisa juga, saya biasa pakai jurus mengangguk2 saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sostradanie on 01 February 2012, 01:17:58 PM
3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih,  yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, memahami tanah sebagai tanah.  Setelah memahami tanah sebagai tanah, ia menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia menganggap [dirinya] dalam tanah, ia menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam tanah.  Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.


Bro Kainyn bisa bantu menjelaskan dan berikan contoh dalam kehidupan sehari-hari kata-kata yang di bold diatas?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 February 2012, 03:49:07 PM
3. “Di sini, para bhikkhu, seorang biasa yang tidak terlatih,  yang tidak menghargai para mulia dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, yang tidak menghargai manusia sejati dan tidak terampil dan tidak disiplin dalam Dhamma mereka, memahami tanah sebagai tanah.  Setelah memahami tanah sebagai tanah, ia menganggap [dirinya sebagai] tanah, ia menganggap [dirinya] dalam tanah, ia menganggap [dirinya terpisah] dari tanah, ia menganggap tanah sebagai ‘milikku,’ ia bergembira dalam tanah.  Mengapakah? Karena ia belum sepenuhnya memahaminya, Aku katakan.


Bro Kainyn bisa bantu menjelaskan dan berikan contoh dalam kehidupan sehari-hari kata-kata yang di bold diatas?
Ini sebetulnya bukan hal sehari-hari ataupun meditasi, tapi memang yang selalu kita alami. Di situ ada objek dari tanah (pathavi), air (apo) ... sampai nibbana; apapun objek tersebut ketika pikiran kita melekatinya sebagai 'diri', 'bagian dari diri' atau 'ciri diri', maka di situlah letak kebodohan bathin (moha). Itulah hal yang menyebabkan kita selalu terlahir kembali karena melekati objek sebagai diri.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 03 February 2012, 12:43:30 PM
Sebatas yang kita bisa lakukan dan sebatas mereka juga mau menerima. Betul, seperti ada waktunya, tapi sebetulnya bukan nasib, hanya kondisi yang 'matang' saja. Kadang dari diri sudah siap, tapi lingkungan tidak mendukung, kadang sebaliknya.

om kutho sudah siap untuk menerima apapun yang terjadi dalam kehidupan om kutho? ;D

Quote
Wahyu itu semacam pengetahuan yang diberikan oleh Tuhan.

oh ;D. bagaimana caranya om kutho melepas bayang-bayang tuhan dari keyakinan om kutho sebelumnya? ;D
apakah om kutho hanya menganggap tuhan sama seperti dewa-dewa lainnya? ;D atau lainnya? ;D

Quote
Karena sampai sekarang pun secara teori saya tidak menemukan 'jati diri'. Saya punya pertanyaan dulu, sebetulnya jiwa kita itu yang mana? Waktu kecil sama sudah dewasa sama atau tidak? Jika sama, seharusnya semua masuk sorga sebab dikatakan anak kecil belum mengenal dosa (atau di ajaran tertentu lainnya, anak kecil diselamatkan dan masuk ke dalam surga minor, dan lain-lain). Jika jiwa tidak sama, berarti berubah-ubah. Kalau berubah-ubah, berarti seseorang memang punya kesempatan berubah, mengapa diciptakan neraka yang kekal? Bukankah ada jiwa bodoh bisa belajar jadi jiwa pintar, jiwa jahat belajar jadi jiwa baik, dst. Nah, pertanyaan saya ini tidak ada yang bisa jawab, dan ketika kenal 'anatta', tentu saya merasa cocok.

Dulu saya 'mengembara' sekitar 9 tahun, mencari jawaban debat sana-sini (bukan untuk menang, tapi untuk cari jawaban, karena toh saya sendiri tidak beragama waktu itu). Setelah lewat waktu itu, saya sudah menyerah dan mengatakan semua agama tidak ada yang mampu memuaskan pertanyaan saya dan saya tidak cari-cari lagi. Belakangan tidak sengaja ketemu Ajaran Buddha dan ternyata bisa 'nyambung', maka saya semangat belajar lagi.

hm... mengembara selama 9 tahun dan mempelajari agama buddha selama 5 tahun jadi jumlahnya 14 tahun ;D.
apakah om kutho kira-kira seumuran sama om indra? ;D

Quote
Walau hal seperti itu tidak bisa dibuktikan sendiri, tapi ada alasan untuk percaya. Misalnya ada orang yang memang kita kenal dengan baik, bukan penipu, kalau dia bicara, perkataannya bisa dipertimbangkan sebagai benar, walaupun belum dipastikan. Saya tidak bisa melihat dalam artian 'senantiasa melihat' atau 'bisa melihat jika saya mengarahkan pikiran', namun kalau dibilang pernah, ya, dari dulu walaupun sangat jarang, saya kadang2 melihat.

;D. apa yang om kutho lakukan ketika kebetulan melihat? ;D apakah pernah diganggu? ;D

Quote
Lebih cocok disebut 'takut akan perbuatan jahat' ketimbang 'sabar' sih. ;D

oh hehehe.. ;D.

Quote
Haha nggak lah. Lagipula saya hanya tahu dasar2nya aja.

wah baru dasar-dasarnya aja udah bisa melepaskan tulang, jadi ngeri nih, rasa-rasanya bisa lebih dari itu deh :)).

Quote
Bukan situasinya yang diubah, karena kita sulit mengubah dunia. Yang perlu adalah memiliki kesiapan dalam situasi apapun. Kalau kita tidak membantu karena mencari alasan, itu jadi masalah internal. Kita boleh memperhatikan bathin kita apakah tidak membantu karena situasi tidak memungkinkan, atau niat baik itu memang ternodai oleh hal lain seperti kekikiran, kemalasan, dll.

apa kriteria om kutho dalam membantu orang lain? ;D

Quote
Contohnya seperti apa?
Kalau saya biasanya enggan memaksakan sesuatu ke orang lain.

oh baiklah ;D.

Quote
Semuanya. Bahkan kadang cerita di satu kitab bisa berbeda dengan kitab lainnya. Contohnya tentang Mahamoggallana dibunuh dengan kejam karena di masa lalu pernah berbuat jahat pada orang tuanya. Di satu kitab dibilang ia membunuh orang tuanya, di kitab lain bilang ia tidak sampai membunuh orang tuanya karena terharu ketika orang tuanya yang sedang terancam itu masih memikirkan dirinya. Jadi apapun yang ada di Tipitaka, tidak perlu dipercaya pasti demikian kejadiannya, ambil saja moral yang dikandung di sana.

oh begitu ;D.

Quote
Betulkah? Di mana kira2?

hah? dimana? ;D sepertinya kemarin saya bilang belum pernah ketemu deh :P.

Quote
;D Saya beruntung keluarga saya orang sekuler, percaya Tuhan saja, tapi tidak cenderung ke agama manapun. Jadi saya mau belajar apapun tidak masalah. Sedangkan keluarga besar juga plural, sudah terbiasa dengan perbedaan agama.

oh begitu ;D.

Quote
... dan untuk bertanya, jika ada kesempatan.

;D.

Quote
Sama saja maksudnya penjual untuk mendapatkan untung, terlepas dari barang dagangannya.
Uang atau barter sebetulnya sama saja kok. Mungkin yang harus diubah adalah sistem ekonomi-nya saja. Tapi karena saya tidak begitu paham juga, jadi tidak berani komentar deh.

oh baiklah ;D.

Quote
Tidak juga.

;D.

Quote
;D Masa2 sulit saja.

hm.. ;D.

Quote
Tertarik, tapi sepertinya belum mampu saja.

kenapa merasa belom mampu? ;D
apakah menurut om kutho harus menunggu mampu dulu? ;D
bagaimana caranya agar kita bisa menjadi mampu? ;D

Quote
Gampangnya karena itu bukan rumah saya, jadi saya tidak bisa memastikan.

oh gitu toh :P.

Quote
Coba dipinggirkan dulu saja. Kalau bisa ditolong yah ditolong, biasa penduduk sekitar (yang saya lihat) cukup peduli sih. Kalau misalnya di jalan tol, yah tentu tidak bisa apa2, paling2 bisa dilaporkan ke petugas.

;D.

Quote
Kalau untuk ritual, ga semuanya perlu ditinggalkan. Kalau tidak melanggar atau terlalu merepotkan, jalani saja, anggap sebagai pelestarian tradisi/budaya. Kalau 'sumpah', itu bukan ritual karena jika diniati, memang punya kekuatan. Jadi memang sebaiknya tidak bersumpah kalau tidak yakin.

bukannya ritual juga kalo diniati ada kekuatannya juga? ;D apa yang menjadi kekuatan dari sumpah-sumpah seperti itu? ;D *bukan sumpah secara hukum ;D.

Quote
Memang begitu. Maka walaupun kita tidak suka dengan dunia, mau tidak mau kita menyesuaikan diri juga. Tidak perlu menolak dengan sikap ekstrem. Sesuaikan saja, tapi tetap hidup sesuai prinsip kita. Kita kerja di gedung mewah, yah tetap harus ikut pakai baju rapih, bukan ekstrem pakai kaos + jeans. Tapi kerja di gedung mewah bukan berarti kemudian kita juga harus hidup secara mewah dan boros sumber daya, atau menjadi sombong.

;D.
om kutho pernah membaca kalo akhir-akhir ini eropa timur sedang dilanda cuaca dingin yang ekstrim yang menyebabkan banyak kematian dan ditambah lagi pasokan gas dari rusia terhenti? ;D manakah yang lebih baik antara menyupai sumberdaya yang besar untuk sebuah gedung atau untuk seluruh rakyatnya? ;D

Quote
Beri pengertian saja ke mereka. Kalau tidak bisa juga, saya biasa pakai jurus mengangguk2 saja.

hahaha... mengangguk-angguk tapi kalo ngak ditepati bisa musavada dong? :P
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 03 February 2012, 12:45:20 PM
emosi dalam hal ini adalah sedih, marah, kaget, malu dan panik tentu ada emosi yang lain.

pertanyaan nya bagaimana melakukan control  terhadap rasa kaget?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 03 February 2012, 12:56:43 PM
Quote
Apakah om kutho kira-kira seumuran om indra?
;D
Emang tau umur om indra berapa?? ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 February 2012, 02:53:02 PM
om kutho sudah siap untuk menerima apapun yang terjadi dalam kehidupan om kutho? ;D
Saya bukan orang yang serba bisa, serba tahu, dan serba ini-itu, jadi belum tentu siap menghadapi apapun yang terjadi dalam hidup. Namun kalau memang sudah terjadi, yah mau gimana lagi, hadapi saja dengan kemampuan yang ada. ;D

Quote
oh ;D. bagaimana caranya om kutho melepas bayang-bayang tuhan dari keyakinan om kutho sebelumnya? ;D
apakah om kutho hanya menganggap tuhan sama seperti dewa-dewa lainnya? ;D atau lainnya? ;D
Tidak susah karena dari dulu saya tidak yakin. Dulu sekali, suatu waktu saya sedang berpikir tentang kerendahan hati, lalu berpikir saya tidak butuh pujaan atau disembah2. Sesuatu yang saya idolakan, yang saya teladani, haruslah sosok yang lebih rendah hati dari saya, yang sama sekali tidak goyah oleh pujaan/sembahan. 

Quote
hm... mengembara selama 9 tahun dan mempelajari agama buddha selama 5 tahun jadi jumlahnya 14 tahun ;D.
apakah om kutho kira-kira seumuran sama om indra? ;D
Ya, saya seumuran sama Om Indra.

Spoiler: ShowHide
Ini demi menyenangkan Om Indra. ;D


Quote
;D. apa yang om kutho lakukan ketika kebetulan melihat? ;D apakah pernah diganggu? ;D
Ya, tidak melakukan apa-apa. Mereka juga tidak mengganggu saya.

Quote
wah baru dasar-dasarnya aja udah bisa melepaskan tulang, jadi ngeri nih, rasa-rasanya bisa lebih dari itu deh :)).
Salah, justru bela diri tingkat rendah itu yang menghancurkan. Makin tinggi, makin bisa menguasai lawan tanpa perlu menyakiti. Menghancurkan orang itu gampang, contohnya tembak aja pakai beceng. Tapi mengalahkan, menundukkan, dan menguasai tanpa melukai atau mencederai lawan, itu sangat sulit sekali.

Quote
apa kriteria om kutho dalam membantu orang lain? ;D
Tidak pakai kriteria sih. Kalau saya merasa dia perlu dibantu, saya bisa bantu, yah lakukan saja.

Quote
hah? dimana? ;D sepertinya kemarin saya bilang belum pernah ketemu deh :P.
Wah, menjebak nih... ;D

Quote
kenapa merasa belom mampu? ;D
apakah menurut om kutho harus menunggu mampu dulu? ;D
bagaimana caranya agar kita bisa menjadi mampu? ;D
Bukan merasa sih, tapi memang tahu bahwa saya belum mampu. Jika kita memang mau menjalani pertapaan, maka sebaiknya kehidupan kita sendiri bermanfaat bagi kita, yaitu bukannya membuat kita merasa terkekang, tapi justru merasa terfasilitasi untuk berlatih; di samping itu juga, bermanfaat bagi orang lain, yaitu dengan melihat kesempurnaan moralitas dan tingkah laku kita, maka orang lain pun terinspirasi dan keyakinannya menguat. Karena saya belum memenuhi keduanya, maka saya tahu diri.

Caranya agar mampu, yah tentu dengan berlatih 'kecil-kecilan'. Tidak menghindari sepenuhnya kenikmatan indriah, tapi dibatasi sedikit2, seperti mulai dari uposatha (sebulan 2x), kalau sudah biasa, ditambah lagi lebih sering, sampai bisa sepenuhnya melepas.

Quote
bukannya ritual juga kalo diniati ada kekuatannya juga? ;D apa yang menjadi kekuatan dari sumpah-sumpah seperti itu? ;D *bukan sumpah secara hukum ;D.
Jika kita tidak meniati satu 'sumpah', maka tidak ada kekuatannya. Tetapi kalau kita berbohong (yang berkenaan dengan sumpah tersebut) itu beda soal lagi. Yang menjadi kekuatan sumpah adalah pikiran kita sendiri, dari kebenaran yang diucapkan, niat, dan konsentrasinya.

Quote
om kutho pernah membaca kalo akhir-akhir ini eropa timur sedang dilanda cuaca dingin yang ekstrim yang menyebabkan banyak kematian dan ditambah lagi pasokan gas dari rusia terhenti? ;D manakah yang lebih baik antara menyupai sumberdaya yang besar untuk sebuah gedung atau untuk seluruh rakyatnya? ;D
Tergantung apakah sebuah gedung itu bisa lebih bermanfaat bagi seluruh rakyatnya atau tidak. Kita tidak bisa melihat hanya dari luarnya saja.

Quote
hahaha... mengangguk-angguk tapi kalo ngak ditepati bisa musavada dong? :P
Saya ga bilang akan menepati/mengikuti anjuran mereka, saya hanya mengangguk untuk menyatakan "ya, saya tidak akan menentang egomu dengan kata-kata lagi." ;D Pada hakikatnya, orang dewasa yang mandiri, bertanggung-jawab pada dirinya sendiri. Orang lain, termasuk orang-tua, sudah bukan saatnya lagi memaksa.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 06 February 2012, 01:17:59 PM
Emang tau umur om indra berapa?? ;D

tahu dong ;D.dikira-kira aja pake uji karbon :)).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 06 February 2012, 01:37:31 PM
tahu dong ;D.dikira-kira aja pake uji karbon :)).


Username: Indra
Posts: 10.969 (8,143 per day)
Email: indra_anggara [at] yahoo.com
Reputasi: 327
Gender: Male
Age:640
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 06 February 2012, 01:42:17 PM
Saya bukan orang yang serba bisa, serba tahu, dan serba ini-itu, jadi belum tentu siap menghadapi apapun yang terjadi dalam hidup. Namun kalau memang sudah terjadi, yah mau gimana lagi, hadapi saja dengan kemampuan yang ada. ;D

hm.. hebat ;D.

Quote
Tidak susah karena dari dulu saya tidak yakin. Dulu sekali, suatu waktu saya sedang berpikir tentang kerendahan hati, lalu berpikir saya tidak butuh pujaan atau disembah2. Sesuatu yang saya idolakan, yang saya teladani, haruslah sosok yang lebih rendah hati dari saya, yang sama sekali tidak goyah oleh pujaan/sembahan. 

;D.
menurut om kutho, tuhan itu termasuk 64 pandangan yang seperti di brahmajala sutta? ;D

Quote
Ya, saya seumuran sama Om Indra.

Spoiler: ShowHide
Ini demi menyenangkan Om Indra. ;D

hahaha.. artinya bukan kalo begitu ;D.
sepertinya perjalanan spiritual om kutho sudah dimulai dari usia yang cukup muda yah? ;D
apakah dimulai dari sma? atau malah kurang dari itu? ;D

Quote
Ya, tidak melakukan apa-apa. Mereka juga tidak mengganggu saya.

kalo seandainya diganggu atau malah diajak bicara, apa yang akan om kutho lakukan? ;D

Quote
Salah, justru bela diri tingkat rendah itu yang menghancurkan. Makin tinggi, makin bisa menguasai lawan tanpa perlu menyakiti. Menghancurkan orang itu gampang, contohnya tembak aja pakai beceng. Tapi mengalahkan, menundukkan, dan menguasai tanpa melukai atau mencederai lawan, itu sangat sulit sekali.

ah iya bener juga ;D.

Quote
Tidak pakai kriteria sih. Kalau saya merasa dia perlu dibantu, saya bisa bantu, yah lakukan saja.

;D.

Quote
Wah, menjebak nih... ;D

loh kok menjebak ;D. kan memang saya katakan belom ketemu sama om kutho setelah melihat fotonya ;D.
kalo sebelumnya, saya merasa mirip dengan seseorang aja ;D.

Quote
Bukan merasa sih, tapi memang tahu bahwa saya belum mampu. Jika kita memang mau menjalani pertapaan, maka sebaiknya kehidupan kita sendiri bermanfaat bagi kita, yaitu bukannya membuat kita merasa terkekang, tapi justru merasa terfasilitasi untuk berlatih; di samping itu juga, bermanfaat bagi orang lain, yaitu dengan melihat kesempurnaan moralitas dan tingkah laku kita, maka orang lain pun terinspirasi dan keyakinannya menguat. Karena saya belum memenuhi keduanya, maka saya tahu diri.

Caranya agar mampu, yah tentu dengan berlatih 'kecil-kecilan'. Tidak menghindari sepenuhnya kenikmatan indriah, tapi dibatasi sedikit2, seperti mulai dari uposatha (sebulan 2x), kalau sudah biasa, ditambah lagi lebih sering, sampai bisa sepenuhnya melepas.

kalo merasa belom mampu gitu kan artinya kita sudah menunda-nunda? ;D kenapa tidak mencoba jadi samanera dulu? ;D bukannya dulu om kutho juga pernah ikut pendidikan untuk menjadi pastur yah kalo ngak salah? ;D
masalah pasti akan terjadi dan dari situlah kita harus belajar agar kedepannya bisa lebih bermanfaat lagi ;D. jadi kenapa menunggu untuk mampu dulu? ;D

Quote
Jika kita tidak meniati satu 'sumpah', maka tidak ada kekuatannya. Tetapi kalau kita berbohong (yang berkenaan dengan sumpah tersebut) itu beda soal lagi. Yang menjadi kekuatan sumpah adalah pikiran kita sendiri, dari kebenaran yang diucapkan, niat, dan konsentrasinya.

jadi kekuatannya bukan berasal dari pocong atau tuhan? ;D
oke deh kalo begitu ;D.

Quote
Tergantung apakah sebuah gedung itu bisa lebih bermanfaat bagi seluruh rakyatnya atau tidak. Kita tidak bisa melihat hanya dari luarnya saja.

tapi nyatanya kan berbeda ;D. gedung-gedung itu kan hanya untuk kepentingan kelompok saja ;D.
tidak masalah kan kita tidak mengikuti arus yang salah dan itu bukanlah sesuatu yang ekstrim sih kalo menurut saya ;D. sang buddha sendiri tidak mengikuti arus untuk menjadi seorang raja, tapi pergi menjadi pertapa ;D.

sekalian saya pengen nanya, tentang kisah beberapa bhikkhu hm.. 5 bhikkhu kalo ngak salah, yang memutuskan memisahkan diri dari sangha kemudian menyepi di puncak gunung hingga akhirnya merealisasikan buah kesucian dan ada 1 atau 2 yang menjadi arahat kalo ngak salah ;D. itu kisahnya ada di mana yah? ;D

Quote
Saya ga bilang akan menepati/mengikuti anjuran mereka, saya hanya mengangguk untuk menyatakan "ya, saya tidak akan menentang egomu dengan kata-kata lagi." ;D Pada hakikatnya, orang dewasa yang mandiri, bertanggung-jawab pada dirinya sendiri. Orang lain, termasuk orang-tua, sudah bukan saatnya lagi memaksa.

hahaha.. ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 06 February 2012, 01:43:27 PM
Username: Indra
Posts: 10.969 (8,143 per day)
Email: indra_anggara [at] yahoo.com
Reputasi: 327
Gender: Male
Age:640

:)).
saya lihat yang di fb om ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 February 2012, 04:40:30 PM
hm.. hebat ;D.
Kok "hebat"? Hadapi itu bukan berarti bisa punya solusinya lho... ;D Tapi yang penting hadapi aja.

Quote
menurut om kutho, tuhan itu termasuk 64 pandangan yang seperti di brahmajala sutta? ;D
Biasanya pandangan Tuhan adalah: dunia fana ini akan hancur, tapi dunia lain kekal. Ini semi-eternalisme dalam Brahmajalasutta.

Quote
sepertinya perjalanan spiritual om kutho sudah dimulai dari usia yang cukup muda yah? ;D
apakah dimulai dari sma? atau malah kurang dari itu? ;D
Ya, saya memang sejak kecil agak tertarik dengan hal-hal 'spiritual', tapi tidak terlalu intensif saja. Belakangan mulai SMP karena ada guru2 tertentu yang suka 'menyerang', membuat saya lebih senang lagi mencari lebih jauh.

Quote
kalo seandainya diganggu atau malah diajak bicara, apa yang akan om kutho lakukan? ;D
Sama saja seperti halnya dengan manusia. Kalau memang ada yang ingin dibicarakan, yah saya mendengarkan. Bisa saya bantu, saya bantu.


Quote
kalo merasa belom mampu gitu kan artinya kita sudah menunda-nunda? ;D kenapa tidak mencoba jadi samanera dulu? ;D bukannya dulu om kutho juga pernah ikut pendidikan untuk menjadi pastur yah kalo ngak salah? ;D
Sekarang kalau kita latihan angkat beban, saya bisa angkat 20 KG, lagi latih untuk bisa 30 KG. Kalau orang suruh coba angkat 100 KG dan saya menolak karena merasa belum mampu, apakah artinya 'menunda-nunda'?

Bukan pastor, tapi penginjil. Yang saya ikuti tersebut adalah pendidikan intelektual, saya tidak kesulitan sama sekali mengikutinya. Sedangkan kalau kehidupan petapa, itu adalah mengendalikan pikiran, ucapan, dan perbuatan. Itu sulit.

Quote
masalah pasti akan terjadi dan dari situlah kita harus belajar agar kedepannya bisa lebih bermanfaat lagi ;D. jadi kenapa menunggu untuk mampu dulu? ;D
Begini, bro bawel... Ada hal-hal yang jika dicoba dan gagal, risikonya tidak terlalu berimbas. Misalnya mau coba bikin tumis kangkung. Kalau keasinan, ya sudah, jadi pembelajaran. Paling rugi kangkung 2 ikat.
Tapi ada hal-hal yang jika dicoba dan gagal, imbasnya ke mana-mana. Misalnya menikah. Mau coba-coba?

Dalam hal hidup petapa ini, untuk saya sendiri, adalah termasuk yang ke dua. Jadi kalau belum cukup yakin, saya tidak mau lakukan.

Quote
tapi nyatanya kan berbeda ;D. gedung-gedung itu kan hanya untuk kepentingan kelompok saja ;D.
Mungkin begitu, tapi tetap kita tidak tahu apakah kelompok yang di gedung itu benar-benar mengusahakan kesejahteraan rakyat juga. Misalnya mereka menggunakan fasilitas yang ada untuk merealisasi perbaikan dan kemajuan untuk rakyatnya, maka bisa jadi -walaupun belum tentu- gedung itu lebih bermanfaat. Tapi kalau memang gedung itu semua hanya untuk menikmati kenyamanan, tidak peduli pada rakyat, mementingkan perut sendiri/golongan... yah tahu sendiri lah jawabannya. ;D

Quote
tidak masalah kan kita tidak mengikuti arus yang salah dan itu bukanlah sesuatu yang ekstrim sih kalo menurut saya ;D. sang buddha sendiri tidak mengikuti arus untuk menjadi seorang raja, tapi pergi menjadi pertapa ;D.
"Arus" maksudnya bagaimana? Di Jambudvipa saat itu, menjadi petapa adalah hal yang biasa kok, jadi Siddhatta tidak 'melawan arus'.

Quote
sekalian saya pengen nanya, tentang kisah beberapa bhikkhu hm.. 5 bhikkhu kalo ngak salah, yang memutuskan memisahkan diri dari sangha kemudian menyepi di puncak gunung hingga akhirnya merealisasikan buah kesucian dan ada 1 atau 2 yang menjadi arahat kalo ngak salah ;D. itu kisahnya ada di mana yah? ;D

hahaha.. ;D.
Waduh, itu saya juga tidak tahu referensinya. Mungkin ada di komentar. Jaman sasana Buddha Kassapa sudah mulai habis, banyak bhikkhu yang korup. 7 bhikkhu bertekad tidak akan turun dari bukit sebelum merealisasi Arahatta-phala. Yang tertua jadi Arahat, yang ke dua Anagami, 5 lainnya (Bahiya, Pukkusati, Dabba-Mallaputta, Kumara Kassapa, Sabhiya) mati kelaparan sebagai puthujjana. Anagami ini yang terlahir jadi Brahma Suddhavasa dan kemudian memberi tahu bahwa Bahiya bukan Arahat dan menyarankannya pergi mencari Buddha Gotama.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 08 February 2012, 11:41:23 AM
Kok "hebat"? Hadapi itu bukan berarti bisa punya solusinya lho... ;D Tapi yang penting hadapi aja.

loh kan itu hebat seperti macgyver :)).

Quote
Biasanya pandangan Tuhan adalah: dunia fana ini akan hancur, tapi dunia lain kekal. Ini semi-eternalisme dalam Brahmajalasutta.

oh oke ;D.

Quote
Ya, saya memang sejak kecil agak tertarik dengan hal-hal 'spiritual', tapi tidak terlalu intensif saja. Belakangan mulai SMP karena ada guru2 tertentu yang suka 'menyerang', membuat saya lebih senang lagi mencari lebih jauh.

oh dari smp ;D. sepertinya om kutho siswa yang berprestasi yah dulu waktu sekolah? ;D

Quote
Sama saja seperti halnya dengan manusia. Kalau memang ada yang ingin dibicarakan, yah saya mendengarkan. Bisa saya bantu, saya bantu.

saya jadi pengen minta bantuan nih ;D.
boleh kah ajari saya teknik mematahkan tulang hantu? ;D
jaga-jaga aja siapa tahu suatu hari nanti ada hantu yang menyerang saya :)).

Quote
Sekarang kalau kita latihan angkat beban, saya bisa angkat 20 KG, lagi latih untuk bisa 30 KG. Kalau orang suruh coba angkat 100 KG dan saya menolak karena merasa belum mampu, apakah artinya 'menunda-nunda'?

Bukan pastor, tapi penginjil. Yang saya ikuti tersebut adalah pendidikan intelektual, saya tidak kesulitan sama sekali mengikutinya. Sedangkan kalau kehidupan petapa, itu adalah mengendalikan pikiran, ucapan, dan perbuatan. Itu sulit.

tapi dalam sangha kan tidak begitu, akan ada yang membimbing kita kan? ;D
jadi bukan masalah mampu atau tidak mampu karena itu mengacu pada masa depan, tapi ada niat atau tidak ;D.
seandainya tidak mampu pun kita bisa lepas jubah, bahkan hingga berulang kali seperti di cerita salah satu murid buddha itu yang saya tidak ingat namanya ;D.

Quote
Begini, bro bawel... Ada hal-hal yang jika dicoba dan gagal, risikonya tidak terlalu berimbas. Misalnya mau coba bikin tumis kangkung. Kalau keasinan, ya sudah, jadi pembelajaran. Paling rugi kangkung 2 ikat.
Tapi ada hal-hal yang jika dicoba dan gagal, imbasnya ke mana-mana. Misalnya menikah. Mau coba-coba?

Dalam hal hidup petapa ini, untuk saya sendiri, adalah termasuk yang ke dua. Jadi kalau belum cukup yakin, saya tidak mau lakukan.

kalo menikah sih saya ngak masalah kalo coba-coba, masalah ada tidak yang mau saya cobai :)).
yah ini terserah om kutho sendiri aja sih ;D.

Quote
Mungkin begitu, tapi tetap kita tidak tahu apakah kelompok yang di gedung itu benar-benar mengusahakan kesejahteraan rakyat juga. Misalnya mereka menggunakan fasilitas yang ada untuk merealisasi perbaikan dan kemajuan untuk rakyatnya, maka bisa jadi -walaupun belum tentu- gedung itu lebih bermanfaat. Tapi kalau memang gedung itu semua hanya untuk menikmati kenyamanan, tidak peduli pada rakyat, mementingkan perut sendiri/golongan... yah tahu sendiri lah jawabannya. ;D

yah paling tidak kita berpatokan dengan revolusi industri dimaka setelahnya pertumbuhan gedung-gedung tinggi ke atas maupun ke bawah meningkat dengan cukup pesat, apakah pertumbuhan itu membawa kebaikan bagi alam atau tidak? ;D dan lihat juga bagaimana senangnya manusia dengan pertumbuhan itu ;D.

Quote
"Arus" maksudnya bagaimana? Di Jambudvipa saat itu, menjadi petapa adalah hal yang biasa kok, jadi Siddhatta tidak 'melawan arus'.

maksud saya pangeran tidak menjadi raja yang penuh dengan kesenangan inderawi ;D.
tapi pangeran malah melawan arus kesenangan inderawi ;D.
begitu juga dengan tidak mengikuti arus perkembangan dunia saat ini karena sudah mengetahui ketidakmanfaatannya ;D.

Quote
Waduh, itu saya juga tidak tahu referensinya. Mungkin ada di komentar. Jaman sasana Buddha Kassapa sudah mulai habis, banyak bhikkhu yang korup. 7 bhikkhu bertekad tidak akan turun dari bukit sebelum merealisasi Arahatta-phala. Yang tertua jadi Arahat, yang ke dua Anagami, 5 lainnya (Bahiya, Pukkusati, Dabba-Mallaputta, Kumara Kassapa, Sabhiya) mati kelaparan sebagai puthujjana. Anagami ini yang terlahir jadi Brahma Suddhavasa dan kemudian memberi tahu bahwa Bahiya bukan Arahat dan menyarankannya pergi mencari Buddha Gotama.

oh iya saya ingat ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 February 2012, 11:30:33 AM
loh kan itu hebat seperti macgyver :)).
Bedanya, MacGyver selalu berhasil, kalau saya sering gagal. ;D


Quote
oh dari smp ;D. sepertinya om kutho siswa yang berprestasi yah dulu waktu sekolah? ;D
Sangat "berprestasi"! Waktu SMU 3, saya ranking 1... dari belakang.
Saya sangat menghargai pengetahuan, tapi tidak terlalu menghargai nilai akedemik.


Quote
saya jadi pengen minta bantuan nih ;D.
boleh kah ajari saya teknik mematahkan tulang hantu? ;D
jaga-jaga aja siapa tahu suatu hari nanti ada hantu yang menyerang saya :)).
Lha, Buddha Gotama 'kan sudah memberikan 'senjata' kalau diisengin hantu: Karaniya Metta Sutta.


Quote
tapi dalam sangha kan tidak begitu, akan ada yang membimbing kita kan? ;D
jadi bukan masalah mampu atau tidak mampu karena itu mengacu pada masa depan, tapi ada niat atau tidak ;D.
seandainya tidak mampu pun kita bisa lepas jubah, bahkan hingga berulang kali seperti di cerita salah satu murid buddha itu yang saya tidak ingat namanya ;D.
Sebagai perumah-tangga pun kita juga bisa meminta bimbingan sangha atau umat lain (yang kompeten).
Nah, itu bedanya saya, bro. Kalau saya mengambil satu keputusan penting, harus 'jadi'. Jika saya mengambil keputusan menjadi petapa, 'lepas jubah' tidak ada dalam pikiran saya, kecuali kalau keadaannya memaksa. Begitu juga kalau mau menikah, 'cerai' tidak ada dalam pikiran saya, kecuali, sama juga, kalau keadaannya memaksa.

Kisah itu kalau ga salah Citta Hatthisariputta. Di masa lalu, dia menginginkan milik bhikkhu temannya, jadi menganjurkannya agar lepas jubah. Karena hal tersebut, maka dia tidak bisa bertahan lama di dalam Sangha. Terakhir dia jadi perumah-tangga, melihat istrinya yang lagi hamil, tidur dan air liurnya menetes, lalu dia jadi enggan dan kemudian pergi ke vihara. Di tengah jalan, sambil merenung, ia menjadi Sotapanna, dan setelah memaksa ditahbiskan yang ke tujuh kali, ia tidak pernah kembali lagi ke kehidupan perumah-tangga.

Quote
kalo menikah sih saya ngak masalah kalo coba-coba, masalah ada tidak yang mau saya cobai :)).
Coba tanya aja cewek2 di sini, ada yang mau 'test nikah' ato nggak. ;D

Quote
yah paling tidak kita berpatokan dengan revolusi industri dimaka setelahnya pertumbuhan gedung-gedung tinggi ke atas maupun ke bawah meningkat dengan cukup pesat, apakah pertumbuhan itu membawa kebaikan bagi alam atau tidak? ;D dan lihat juga bagaimana senangnya manusia dengan pertumbuhan itu ;D.
Kalau menurut saya, semua perkembangan ini memang adalah 'dampak' dari perkembangan budaya manusia saja. Dengan bertambahnya pengetahuan, iptek, maka hidup juga berubah menjadi kompleks. Perkembangan ini bagus dan bisa seimbang. Namun yang biasa bikin tidak seimbang adalah kebodohan/ketidak-pedulian dan ketamakan.


Quote
maksud saya pangeran tidak menjadi raja yang penuh dengan kesenangan inderawi ;D.
tapi pangeran malah melawan arus kesenangan inderawi ;D.
begitu juga dengan tidak mengikuti arus perkembangan dunia saat ini karena sudah mengetahui ketidakmanfaatannya ;D.
Ya, bisa juga. Dimulai dari diri sendiri saja, yang kecil-kecil. Jika kita berprinsip baik dan pantas, tidak perlu malu karena tidak mengikuti arus.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 09 February 2012, 06:35:15 PM
 tanya:
"zaman makin maju,moral makin bobrok"
bagaimana menurut om kalimat tersebut?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 10 February 2012, 09:00:06 AM
ikutan tanya juga, biar tambah rame (kan katanya sepi)

di alam surga, dikatakan hidup lah para dewa.
nah loh ada dewi juga...

so, pertanyaannya apakah para makhluk dialam tersebut membutuhkan sex?
mempunyai keturunan? kan katanya kelahiran spontan, so sex untuk apa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2012, 11:49:47 AM
tanya:
"zaman makin maju,moral makin bobrok"
bagaimana menurut om kalimat tersebut?
Bobroknya moral tidak berhubungan dengan kemajuan jaman. Kemajuan jaman (budaya & teknologi) hanya memberikan fasilitas/kemudahan bagi manusia. Jika moral bobrok, maka dipakailah fasilitas itu untuk hal-hal tidak bermanfaat. Jika moral tinggi, maka dipakailah fasilitas itu untuk hal-hal yang berguna.

Jadi menurut saya kalimat itu tidak tepat. Moral bobrok atau tinggi tidak tergantung 'jaman'. Di setiap jaman, semua punya cara tersendiri untuk mewujudkan kebobrokan/kemajuan moralitas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2012, 02:05:00 PM
ikutan tanya juga, biar tambah rame (kan katanya sepi)

di alam surga, dikatakan hidup lah para dewa.
nah loh ada dewi juga...

so, pertanyaannya apakah para makhluk dialam tersebut membutuhkan sex?
mempunyai keturunan? kan katanya kelahiran spontan, so sex untuk apa?
Kalo soal sebutan, yah memang generalisasi aja kok. Dalam Bahasa Inggris juga dikenal "mankind" (umat manusia) bukan "womankind". (Namun belakangan untuk menghindari tuduhan sexism, penggunaan "humankind" jadi lebih umum sepertinya.)


Kalau soal sorga alam indriah, memang masih ada gender. Tapi perlu diingat bahwa yang masih dinikmati di sini adalah kesenangan indriah, entah apa bentuknya, belum tentu sesuatu seperti hubungan sex. Apalagi mereka pun dikatakan terlahir secara spontan.

Kesenangan indriah yang kita lihat saja beda2. Misalnya di binatang, sex belum tentu nikmat, malah bisa jadi penderitaan bahkan kematian. Tapi intinya dalam alam indriah ini, makhluknya masih menikmati kesenangan indrawi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 10 February 2012, 02:22:04 PM
Kalo soal sebutan, yah memang generalisasi aja kok. Dalam Bahasa Inggris juga dikenal "mankind" (umat manusia) bukan "womankind". (Namun belakangan untuk menghindari tuduhan sexism, penggunaan "humankind" jadi lebih umum sepertinya.)


Kalau soal sorga alam indriah, memang masih ada gender. Tapi perlu diingat bahwa yang masih dinikmati di sini adalah kesenangan indriah, entah apa bentuknya, belum tentu sesuatu seperti hubungan sex. Apalagi mereka pun dikatakan terlahir secara spontan.

Kesenangan indriah yang kita lihat saja beda2. Misalnya di binatang, sex belum tentu nikmat, malah bisa jadi penderitaan bahkan kematian. Tapi intinya dalam alam indriah ini, makhluknya masih menikmati kesenangan indrawi.

tapi bisa saja memang kesenangan indriah berupa hubungan seksual bukan?
karena asumsi umum, dengan adanya perbedaan gender tentu ada bagian seksualitas sebagai tujuan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 February 2012, 02:29:22 PM
tapi bisa saja memang kesenangan indriah berupa hubungan seksual bukan?
karena asumsi umum, dengan adanya perbedaan gender tentu ada bagian seksualitas sebagai tujuan.
Memang bisa saja, kita tidak tahu. Tapi kenikmatan yang berhubungan dengan seksual, tidak selalu artinya hubungan seksual. Seperti misalnya pria (normal/straight) menikmati kecantikan wanita, maka itu pun sudah kenikmatan indriah berkenaan dengan seksualitas, namun masih jauh dari hubungan seksual.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 12 February 2012, 03:06:13 PM
pernah baca (mungkin bersumber dari komentar), hubungan seksual di alam dewa dilakukan hanya dengan sentuhan biasa, bukan kelamin.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 12 February 2012, 03:07:07 PM
^^
pernah baca juga dari entah thread mana..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 February 2012, 03:13:07 PM
Ya, saya juga pernah baca kalau di deva tingkat rendah masih berhubungan seks, maka ada legenda deva nikah sama manusia. Makin ke atas, makin 'halus' kenikmatan seksualnya. Dari hanya berpelukan, bersentuhan, sampai hanya sebatas saling menatap. Tidak tahu juga seberapa benar sumbernya. Hanya berbagi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 13 February 2012, 03:48:38 PM
berarti masih spekulasi ya kebenarannya?

ato ada disinggung di sutta apa gitu (walau gw gak yakin ada di sutta)
ato mungkin ada dicerita jataka?

(apa ini pertanyaan bodoh ya???)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 14 February 2012, 11:25:18 AM
berarti masih spekulasi ya kebenarannya?

ato ada disinggung di sutta apa gitu (walau gw gak yakin ada di sutta)
ato mungkin ada dicerita jataka?

(apa ini pertanyaan bodoh ya???)
Tentu saja semua ini spekulasi. Kalo di sutta, belum pernah lihat sih yang bahas secara spesifik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 17 February 2012, 03:32:03 PM
bertanya lagi bro kain,

dikatakan bahwa makhluk anagami, yang tidak bisa merealisasikan kearahatan di kehidupan ini kelak pada 1 sisa terakhir kelahirannya akan merealisasikan kearahatan dialam dewa.

pengertian disini, bahwa nibbana bisa direalisasikan dialam dewa.

pertanyaannya, apakah makhluk biasa yang karena karma kebajikannya terlahir dialam dewa juga memiliki kesempatan untuk merealisasikan nibbana di alam dewa?

atau apakah disemua alam dewa, para penghuninya bisa dan berkesempatan merealisasikan nibbana? atau hanya dialam dewa tertentu saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 17 February 2012, 03:40:15 PM
bertanya lagi bro kain,

dikatakan bahwa makhluk anagami, yang tidak bisa merealisasikan kearahatan di kehidupan ini kelak pada 1 sisa terakhir kelahirannya akan merealisasikan kearahatan dialam dewa.

pengertian disini, bahwa nibbana bisa direalisasikan dialam dewa.

pertanyaannya, apakah makhluk biasa yang karena karma kebajikannya terlahir dialam dewa juga memiliki kesempatan untuk merealisasikan nibbana di alam dewa?

atau apakah disemua alam dewa, para penghuninya bisa dan berkesempatan merealisasikan nibbana? atau hanya dialam dewa tertentu saja.


Dari yang pernah saya dengar dan baca Anagami, setelah meninggal akan terlahir lagi di alam Suddhavasa (alam brahma)....

Dan dari yang pernah saya dengar bahwa di Alam Dewa juga masih ada makhluk suci dan ada yang melakukan meditasi untuk merealisasi nibbana... dan untuk bisa trs bisa berjalan didalam dhamma, kita perlu tekad agar di kehidupan mendatang tetap berjalan di jalan mulia ini....sehingga bila terlahir jdai manusai/dewa/brahma masih tetap berjodoh dengan dhamma...

Dari yang pernah saya dengar juga bahwa Nibbana dapat di realisasikan di Alam Manusia, Dewa, dan Rupa Brahma...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 17 February 2012, 03:58:08 PM
usia di alam manusia yang pendek, dewa yang panjang, dan masa kehidupan di alam brahma yang super panjang.

di alam manakah yang paling mempunyai kesempatan mencapai nibbana?

klo gak salah dengar, kebuddhaan hanya bisa dicapai di alam manusia. apakah alam manusia mempunyai keistimewaan tersendiri?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 17 February 2012, 04:27:18 PM
usia di alam manusia yang pendek, dewa yang panjang, dan masa kehidupan di alam brahma yang super panjang.

di alam manakah yang paling mempunyai kesempatan mencapai nibbana?

klo gak salah dengar, kebuddhaan hanya bisa dicapai di alam manusia. apakah alam manusia mempunyai keistimewaan tersendiri?

Dari yang pernah saya baca sih krn di alam Manusia paling gampang untuk melihat Lahir, sakit, tua, dan mati... Sehingga makhluknya lebih dapat melihat Anicca, Dukkha, Anatta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 17 February 2012, 04:38:44 PM
dalam RAPB, banyak diceritakan tentang dewa dan brahma yang mencapai tingkat kesucian tertentu, bahkan arahat..

memang dikatakan bahwa manusia...
hal ini dikarenakan, jika individu hidup di alam rendah, maka ia hanya merasakan penderitaan, hingga tidak mampu sulit mengerti dhamma
sedangkan kehidupan di alam dewa sangat lama dan hanya merasakan kesenangan hingga tidak mampu menyadari corak anicca..
manusia hidup dari kombinasi kesenangan dan penderitaan..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 17 February 2012, 04:56:54 PM
Dari yang pernah saya baca sih krn di alam Manusia paling gampang untuk melihat Lahir, sakit, tua, dan mati... Sehingga makhluknya lebih dapat melihat Anicca, Dukkha, Anatta.

dalam RAPB, banyak diceritakan tentang dewa dan brahma yang mencapai tingkat kesucian tertentu, bahkan arahat..

memang dikatakan bahwa manusia...
hal ini dikarenakan, jika individu hidup di alam rendah, maka ia hanya merasakan penderitaan, hingga tidak mampu sulit mengerti dhamma
sedangkan kehidupan di alam dewa sangat lama dan hanya merasakan kesenangan hingga tidak mampu menyadari corak anicca..
manusia hidup dari kombinasi kesenangan dan penderitaan..


ok, dikatakan alam dewa atau peta, lebih sulit dapat melihat anicca dukha anatta.
namun bukankah makhluk dewa dan peta lahir secara spontan dengan demikian dapat melihat ingat2an, pengalaman, dll pada kehidupan lampaunya. apakah disini sang makhluk dewata dan peta kemudian mengingkari ingatannya pada melihat lahir, sakit, tua, dan mati...
bahkan dikatakan para dewa bisa berkunjung ke alam manusia sesuka hatinya.
dan bahkan dikatakan bahwa para peta sering menunggu disamping keluarga atau sanak saudara atau kenalan atau teman menantikan limpahan jasa.
tentu mereka juga menyaksikan juga lahir sakit tua dan mati yang terjadi pada manusia?

bahkan kita bisa mengundang mereka untuk mendengar pembacaan paritta, begitu bukan?

atau kesenangan indria yang berlebihan mengaburkan semuanya?
apakah kesengsaraan berlebihan mengaburkan ingatan tekad menjalankan buddha dhamma?

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 17 February 2012, 09:49:28 PM

ok, dikatakan alam dewa atau peta, lebih sulit dapat melihat anicca dukha anatta.
namun bukankah makhluk dewa dan peta lahir secara spontan dengan demikian dapat melihat ingat2an, pengalaman, dll pada kehidupan lampaunya. apakah disini sang makhluk dewata dan peta kemudian mengingkari ingatannya pada melihat lahir, sakit, tua, dan mati...
bahkan dikatakan para dewa bisa berkunjung ke alam manusia sesuka hatinya.
dan bahkan dikatakan bahwa para peta sering menunggu disamping keluarga atau sanak saudara atau kenalan atau teman menantikan limpahan jasa.
tentu mereka juga menyaksikan juga lahir sakit tua dan mati yang terjadi pada manusia?

bahkan kita bisa mengundang mereka untuk mendengar pembacaan paritta, begitu bukan?

atau kesenangan indria yang berlebihan mengaburkan semuanya?
apakah kesengsaraan berlebihan mengaburkan ingatan tekad menjalankan buddha dhamma?

 _/\_
tidak semua peta dan dewa 'mau' mengingat kehidupan lampaunya, meskipun mereka mampu melakukannya..
kebanyakan karena mereka mengalami penderitaan atau kebahagiaan luar biasa hingga tidak berkeinginan mengingat masa lampaunya..

IMO, jika makhluk halus dapat mengingat kehidupan lampaunya ada 2 kasus mengapa ia tidak berkembang dalam praktik dhamma..
yang pertama, meskipun ia melihat corak anicca dukkha anatta di kehidupan lampaunya, ia menganggap dengan pandangan salah bahwa kehidupan manusia itu tidak kekal dan kehidupan di akhirat kekal seperti kata om kainyn tentang pandangan semi-eternalisme hingga mereka tidak berjuang dalam kehidupan suci..

yang kedua, meskipun para makhluk halus tidak memegang pandangan salah, namun di alam peta, mereka mengalami penderitaan hingga pesimis dan tidak begitu peduli akan yang namanya tingkat kesucian..
begitu pula di alam dewa, mereka menganggap kebahagiaan surgawi adalah yang tertinggi hingga menjadi malas untuk maju dalam praktik dhamma..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: cumi polos on 20 February 2012, 05:56:02 PM
Quote
patria itu apaan? karena gua sering dg umat buddhist ikut dlm patria

pertanyaan titipan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 20 February 2012, 06:15:49 PM
pertanyaan titipan

http://www.patria.or.id/
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: cumi polos on 20 February 2012, 06:29:42 PM
http://www.patria.or.id/

patria = pemuda theravada Indonesia... (termasuk pemudi nya juga tohh, atau ?)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 February 2012, 08:50:00 AM
patria = pemuda theravada Indonesia... (termasuk pemudi nya juga tohh, atau ?)
Ya, seharusnya sih organisasi campur, mungkin untuk efisien saja jadi ga dibuat "Papitria". Sama saja seperti tanggal 28 Oktober kita peringati 'Sumpah Pemuda' walaupun pemudi juga tentunya ikutan.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 21 February 2012, 10:15:55 AM
tanya lagi :

RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)

nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?

atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 21 February 2012, 10:34:04 AM
tanya lagi :

RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)

nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?

atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?

Sudah mencapai jhana2 tidak berarti sudah pasti suci.... jhana itu dicapai lewat meditasi samatha sedangkan kesucian dicapai lewat Vipassana.... Jadi kalo menurut saya Petapa Sumedha belum mempunyai kesucian pada saat bertekad menjadi Sammasambuddha...

Menurut saya seorang yang pemasuk arus, hanya akan terlahir paling banyak 7 kali kelahir itu adalah sudah hukum alam yang berlaku.... setelah mencapai kesucian sotapanna mgkn sudah tidak penting lagi untuk bertekad jadi sammasambuddha karena ketiga "akar" sudah melemah....

Kalo pintu untuk mencapai sammasambuddha sudah tertutup ato tidak tergantung pada pandangan aliran masing2.... kalo thera kayaknya sih sudah tertutup... kalo maha setelah arahat masih punya peluang... jd tergantung pada pandangan....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 21 February 2012, 10:34:15 AM
tanya lagi :

RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)

nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?

atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?

Sudah mencapai jhana2 tidak berarti sudah pasti suci.... jhana itu dicapai lewat meditasi samatha sedangkan kesucian dicapai lewat Vipassana.... Jadi kalo menurut saya Petapa Sumedha belum mempunyai kesucian pada saat bertekad menjadi Sammasambuddha...

Menurut saya seorang yang pemasuk arus, hanya akan terlahir paling banyak 7 kali kelahir itu adalah sudah hukum alam yang berlaku.... setelah mencapai kesucian sotapanna mgkn sudah tidak penting lagi untuk bertekad jadi sammasambuddha karena ketiga "akar" sudah melemah....

Kalo pintu untuk mencapai sammasambuddha sudah tertutup ato tidak tergantung pada pandangan aliran masing2.... kalo thera kayaknya sih sudah tertutup... kalo maha setelah arahat masih punya peluang... jd tergantung pada pandangan....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 21 February 2012, 10:52:56 AM
makanya saya katakan bahwa tidak diceritakan petapa sumedha mencapai tingkat kesucian tertentu.

dan yang saya tanyakan adalah seseorang yang mencapai tingkat kesucian tertentu yang saya beri contoh seorang sotapanna, apakah baginya sudah tertutup kesempatan menjadi seorang sammasambuddha?
supaya memudahkankan kita bahas dalam pandangan theravada saja.

oh ya diceritakan dalam RAPB bahwa petapa sumedha memenuhi kualifikasi mencapai tingkat arahat pada kehidupan itu juga, namun karena tekad bulat menjadi sammasambuddha maka petapa sumedha memilih tidak merealisasikan kearahatanya.
apakah ini berarti mencapai tingkat kesucian = tidak bisa menjadi sammasambuddha.

sekali lagi supaya memudahkan diskusi kita bahas dari 1 pandangan saja, kita pakai pandangan theravada saja.

thk's
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 21 February 2012, 11:15:03 AM
makanya saya katakan bahwa tidak diceritakan petapa sumedha mencapai tingkat kesucian tertentu.

dan yang saya tanyakan adalah seseorang yang mencapai tingkat kesucian tertentu yang saya beri contoh seorang sotapanna, apakah baginya sudah tertutup kesempatan menjadi seorang sammasambuddha?
supaya memudahkankan kita bahas dalam pandangan theravada saja.

oh ya diceritakan dalam RAPB bahwa petapa sumedha memenuhi kualifikasi mencapai tingkat arahat pada kehidupan itu juga, namun karena tekad bulat menjadi sammasambuddha maka petapa sumedha memilih tidak merealisasikan kearahatanya.
apakah ini berarti mencapai tingkat kesucian = tidak bisa menjadi sammasambuddha.

sekali lagi supaya memudahkan diskusi kita bahas dari 1 pandangan saja, kita pakai pandangan theravada saja.

thk's

Ok kita coba diskusikan hal ini, tetapi apa yg saya sampaikan adalah pendapat pribadi saya yang kebenarannya masih diragukan krn saya belum pernah merealisasikan dan semua ini hanya sebatas dari apa yang pernah saya baca,,,,

Kalo yg pernah saya baca, dengan memilik Jhana sebenarnya sudah setengah jalan untuk merealisasikan kesucian arahat.. dengan memiliki jhana2 pikiran itu lentur, tenang, dan seimbang sehingga dapat diarahkan sesuai dengan keinginan.... jd ini kenapa dengan jhana dikatakan sudah setengah jalan tinggal sebentar lagi mencapai "pantai seberang".... Jd dengan parami yang sudah matang dan jhana2 tsb, petapa Sumedha memenuhi kualitas untuk merealisasikan kesucian arahat pada saat itu.... Tetapi karena petapa Sumedha tidak mengarahkan pikiran untuk "menlenyapkan" ketiga akar (LDM), maka tentu petapa pada saat itu belum mencapai kesucian... kalo tidak salah di RAPB juga disebutkan bahwa beliau menunda pencapaian kesucian arahat demi menolong semua makhluk dengan bertekad mencapai sammasambuddha krn welas asihnya....

Buddha sudah menjelaskan ada 3 jenis Buddha - sammasambuddha, pacceka Buddha, dan savaka Buddha... Kelihatannya kita memang harus memilih jalan mana yang mau dilalui... kelo mau ke jalan Sammasambuddha harus bertekad didepan Buddha hidup dan mendapatkan ramalan pasti dimasa depan... untuk melakukan ini tentu seseorang harus memenuhi kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang bodhisattva... Kalo seorang katakanlah sotapanna tentu tidak akan bertekad didepan seorang buddha hidup untuk mencapai sammasambuddha karena jalan yang dipilih adalah jalan savaka (menjadi murid buddha)...

Jd menurut saya kalo mau menjadi sammasambuddha, ya sebaiknya jgn ambil jalan savaka tetapi jalan bodhisattva...



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 21 February 2012, 11:22:01 AM
jadi intinya bukan pada apakah setelah mencapai tingkat kesucian tertentu menjadi tidak berkesempatan menjadi seorang sammasambuddha, namun sesungguhnya yang menjadi point pokoknya adalah jalan apa yang dipilih pada awal perjalanan spiritualnya.
begitu kah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 21 February 2012, 11:23:42 AM
jadi intinya bukan pada apakah setelah mencapai tingkat kesucian tertentu menjadi tidak berkesempatan menjadi seorang sammasambuddha, namun sesungguhnya yang menjadi point pokoknya adalah jalan apa yang dipilih pada awal perjalanan spiritualnya.
begitu kah?

Iya kalo menurut pendapat pribadi saya... mkgn ada pandangan yang lain mau menambahkan pandangan/pendapatnya?....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 21 February 2012, 11:34:26 AM
makasih sudah menjawab, rasanya pandangan bro william sama seperti pemahaman saya juga. awalnya saya ragu2, makanya saya konsultasi di thread ini.

yap, ada yang mau nambahin?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 21 February 2012, 05:23:40 PM
tanya lagi :

RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)

nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?

atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?
Ini sebetulnya pertanyaan yang lumayan sering muncul.
Pencapaian kesucian, bahkan 'serendah' sotapanna, bukanlah sebuah kebetulan. Kebetulan lahir di jaman yang sama, denger2 dikit kebetulan kondisi sesuai, lalu mencapai kesucian. Semua pencapaian kesucian itu adalah hasil dari tekad, perjuangan, dan latihan dalam jangka waktu yang susah untuk dipikirkan. Jadi orang yang telah mencapai di jalan savaka (Sotapanna s/d Arahant), adalah mereka yang telah lama teguh dalam tekad dan latihannya di jalan tersebut, sehingga sewaktu pencapaian terjadi, tidak mungkin tekad mereka malah jadi kendur atau goyah, lalu pindah ke 'jalan' lain. Demikian juga bodhisatta yang sudah teguh pada jalannya, tidak mungkin tiba-tiba goyah, menyerah, dan pindah ke jalan lain.

Pencapaian jhana sendiri adalah hal-hal yang masih duniawi, walaupun dipuji karena keterasingannya dari nafsu. Terlebih lagi, jhana sendiri bisa 'hilang'. Jadi jhana dan kesucian memang hal yang berbeda.

Petapa Sumedha memang bijaksana dan jika saat itu dia 'diajari' oleh Buddha Dipankhara, ia mampu mencapai Arahatta. Kalau sudah Arahatta, otomatis tidak terlahir lagi jadi apapun. Pencapaian kesucian memang 'membatasi' kelahiran kembali, sehingga memang secara teknis, membuat pelatihan dasa parami (10 kesempurnaan) menjadi tidak mungkin.



jadi intinya bukan pada apakah setelah mencapai tingkat kesucian tertentu menjadi tidak berkesempatan menjadi seorang sammasambuddha, namun sesungguhnya yang menjadi point pokoknya adalah jalan apa yang dipilih pada awal perjalanan spiritualnya.
begitu kah?
Tepat sekali. Saya rasa Petapa Sumedha pun seandainya masuk sangha, walaupun potensinya ada, namun tekadnya itu tetap akan 'menghalangi' pencapaiannya sebagai Savaka, sebab kecenderungan pada jalan Bodhisatta sudah sangat2 kuat.
Title: Baikah menjual dgn harga tinggi sekali ?
Post by: cumi polos on 21 February 2012, 05:29:47 PM
nah katakan seseorang menjual alat penghancur lemat (spt yg di TV),
nah alat ini hanya terdiri dari motor penggerak yg dijalankan baterai...
boleh dikatakan simple, tapi penjual ini menjual dari harga pokok 8X lipat.

Apakah dibenarkan cara menjual tsb ditinjau dari ajaran Buddha ?
Apakah penjual dgn bebas menjual harga dagangannya setinggi mungkin ?
Kalau penjual hanya importir, apa juga boleh menjual dgn harga selangit ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 21 February 2012, 05:43:57 PM
orang akan membandingkan dulu barang nya.

misalnya Hippo power bank di itc roxy mas jakarta di pintu timur tuh hippo power bank harga Rp 399.000,- sedang kan diatas dekat pujasera di jual dengan harga Rp265.000,- mau pilih mana barang sama lohh!
Title: Re: Baikah menjual dgn harga tinggi sekali ?
Post by: K.K. on 21 February 2012, 05:49:33 PM
nah katakan seseorang menjual alat penghancur lemat (spt yg di TV),
nah alat ini hanya terdiri dari motor penggerak yg dijalankan baterai...
boleh dikatakan simple, tapi penjual ini menjual dari harga pokok 8X lipat.

Apakah dibenarkan cara menjual tsb ditinjau dari ajaran Buddha ?
Apakah penjual dgn bebas menjual harga dagangannya setinggi mungkin ?
Kalau penjual hanya importir, apa juga boleh menjual dgn harga selangit ?
Saya pikir kalau barang2 yang bukan kebutuhan pokok bebas saja dijual dengan harga 100x lipat sekalipun. Hanya tergantung pembelinya saja kalau memang mau beli. Misalnya lukisan juga kalau dilihat dari 'modal', hanya kanvas, kuas, cat air, dan perlengkapan lain, tapi bisa dijual bermilyar-milyar dan orang mau beli. Tidak masalah.
Untuk kebutuhan pokok, saya pikir memang harus diatur oleh negara.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: cumi polos on 21 February 2012, 05:57:11 PM
orang akan membandingkan dulu barang nya.

misalnya Hippo power bank di itc roxy mas jakarta di pintu timur tuh hippo power bank harga Rp 399.000,- sedang kan diatas dekat pujasera di jual dengan harga Rp265.000,- mau pilih mana barang sama lohh!

jadi gimana tohh utk barang yg sama tapi ada yg menjual hampir 3X lipat harga rekannya.
apakah masih dibenarkan dlm pandangan Buddhist ?

memang di pujasera harganya cuma 265, tapi kan tidak semua org tao dan lewat disana...
 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 02 March 2012, 08:10:22 PM
tanya lagi :

RAPB :
petapa sumedha, sewaktu menerima ramalan sudah mencapai jhanna yang tinggi. klo gak salah ingat bahkan sampe mencapai arupa jhanna.
namun tidak diceritakan sudah mencapai tingkat kesucian tertentu.
atau sudah? (jujur saya belum selesai membaca keseluruhan RAPB)

nah jika seseorang, katakanlah seorang pemasuk arus, namun membuat tekad seperti petapa sumedha untuk menjadi buddha. tentu dia harus berjuang menyempurnakan parami-nya melalui kelahiran yang tidak terhitung banyaknya. namun dikatakan bahwa seorang pemasuk arus hanya akan kembali maksimal 7 kali lagi sebelum akhirnya mencapai tingkat kesucian tertinggi dan merealisasikan nibbana.
ini bagaimana?

atau apakah pada kasusnya tidak pernah ada makhluk sotapanna, sakadagami atau anagami yang bertekad menjadi buddha. kalau iya, kenapa? apakah jika mencapai salah satu tingkat kesucian maka kesempatan menjadi seoarang sammasambuddha menjadi tertutup?

......
Tepat sekali. Saya rasa Petapa Sumedha pun seandainya masuk sangha, walaupun potensinya ada, namun tekadnya itu tetap akan 'menghalangi' pencapaiannya sebagai Savaka, sebab kecenderungan pada jalan Bodhisatta sudah sangat2 kuat.

kebetulan minggu lalu saya sempat ikut kursus dasar Abhidhamma, dan sekilas ada kisah yang mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan om rico dan jawaban yang diberikan om kainyn.
pembawa materi pada saat itu sempat bercerita tentang sebuah kisah nyata yang terjadi di kehidupan ini, tentang sekelompok orang (sayangnya saya lupa dari kelompok mana), nah dari sekelompok ini ada seorang pemimpin. mereka semua setelah mendengar berita tentang latihan pencapaian jhana dan sebagainya yang terjadi di sebuah pusat meditasi, kemudian ingin membuktikan, lalu pergilah mereka kesana. setelah melalui latihan akhirnya semua anggota dari kelompok ini mendapatkan hasil dari tujuan mereka, hanya saja pemimpinnya yang tidak berhasil. katanya sih prosedurnya udah cocok, hanya saja ketika ditahapan terakhir udah hampir mencapai selalu saja jatuh lagi, dengan kata lain pencapaian itu selalu saja gagal. ternyata setelah diselidiki, si pemimpin ini dikehidupan sebelumnya pernah bertekad ingin menjadi seorang Buddha, tekad dikehidupan sebelumnya jauh lebih kuat, jadinya pencapaian yang ia harapkan dikehidupan ini adalah tidak mungkin, demi untuk nilai yang lebih tinggi dari tekadnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 02 March 2012, 08:11:10 PM
jadi gimana tohh utk barang yg sama tapi ada yg menjual hampir 3X lipat harga rekannya.
apakah masih dibenarkan dlm pandangan Buddhist ?

memang di pujasera harganya cuma 265, tapi kan tidak semua org tao dan lewat disana...
 _/\_
lobha = keserakahan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: rooney on 02 March 2012, 08:19:26 PM
kebetulan minggu lalu saya sempat ikut kursus dasar Abhidhamma, dan sekilas ada kisah yang mungkin ada hubungannya dengan pertanyaan om rico dan jawaban yang diberikan om kainyn.
pembawa materi pada saat itu sempat bercerita tentang sebuah kisah nyata yang terjadi di kehidupan ini, tentang sekelompok orang (sayangnya saya lupa dari kelompok mana), nah dari sekelompok ini ada seorang pemimpin. mereka semua setelah mendengar berita tentang latihan pencapaian jhana dan sebagainya yang terjadi di sebuah pusat meditasi, kemudian ingin membuktikan, lalu pergilah mereka kesana. setelah melalui latihan akhirnya semua anggota dari kelompok ini mendapatkan hasil dari tujuan mereka, hanya saja pemimpinnya yang tidak berhasil. katanya sih prosedurnya udah cocok, hanya saja ketika ditahapan terakhir udah hampir mencapai selalu saja jatuh lagi, dengan kata lain pencapaian itu selalu saja gagal. ternyata setelah diselidiki, si pemimpin ini dikehidupan sebelumnya pernah bertekad ingin menjadi seorang Buddha, tekad dikehidupan sebelumnya jauh lebih kuat, jadinya pencapaian yang ia harapkan dikehidupan ini adalah tidak mungkin, demi untuk nilai yang lebih tinggi dari tekadnya.

Apa hubungannya tekad menjadi Buddha dengan pencapaian jhana  ???
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 02 March 2012, 09:21:11 PM
Apa hubungannya tekad menjadi Buddha dengan pencapaian jhana  ???
mungkin pencapaian yang dimaksud itu bukan sekedar jhana2 roon, tapi sepertinya lebih dari itu. dimana ketika hal itu tercapai maka tekad untuk menjadi buddha akan terkalahkan dan tidak akan terwujud. yang saya tangkap seperti itu, tapi saya tidak ingat pencapaian apa.
dugaan saya sih mungkin pencapaian sotapanna atau yang lebih tinggi. tapi kalo arahat kan juga savaka buddha ya.
nah itu juga g disebutkan tekadnya mau jadi buddha jenis yang mana.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DragonHung on 02 March 2012, 09:36:13 PM
Dalam cerita yg saya baca tentang ajahn Mun juga ada kasus yg demikian.
Ketika beliau sedang berlatih dan sampai pada kondisi dimana kemajuan spiritualnya terhambat (tidak disebutkan tahap apa), kemudian oleh beliau dengan kemampuannya menyelidiki apa penyebab timbulnya halangan itu.
Ternyata hal itu disebabkan oleh sumpah aspirasi beliau pada kehidupan yg lalu untuk menempuh jalur bodhisatta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 06 March 2012, 02:08:22 PM
ngobrol lagi di rumah bro kainyn nih..  ;D

sore bro..
ini saya ada suatu pemikiran mengenai sila ke-1 tentang pembunuhan.

jika saya membeli sepotong ayam goreng di satu restaurant atau rumah makan tertentu, tentu saya tidak melanggar sila ke-1 karena ayam tersebut bukan di bunuh khusus untuk saya. apalagi kondisinya adalah ayam goreng tersebut sudah siap di goreng dan dipajang untuk di jual.

namun pada kasusnya jika saya ingin mengadakan suatu acara dengan mengundang sanak keluarga dan teman-teman dekat dan atas maksud tersebut saya memesan nasi kotak dalam jumlah besar lengkap dengan lauk pauknya pada sebuah restaurant. ini bagaimana? maksud saya, kita kan tidak tau apakah lauknya (katakanlah ayam) sudah tersedia sebelumnya atau disediakan atas permintaan kita.
1. bisa jadi restaurant tersebut menyediakan daging dalam freezer dalam jumlah besar
2. bisa jadi restaurant tersebut memotong ayam sesuai dengan jumlah pesanan, ini untuk menjaga supaya restaurant menyediakan daging yang fresh.
3. bisa jadi kombinasi keduanya, daging sudah di freezer namun karena pesanan banyak dan stock tidak mencukupi maka diadakan pembantaian ayam supaya bisa memenuhi pesanan.

dengan demikian jika terjadi pembunuhan atas perintah (dalam hal ini kita memesan daging ayam tersebut) tentu melanggar sila ke-1

nah sekarang jika kita akan mengadakan perjamuan besar apakah bijak jika memesan dari restaurant? atau kita masak sendiri dengan membeli dipasar ayam2 yang sudah dipotong?
masalahnya kebanyakan sekarang yang karena tuntutan kesibukannya, sehingga memesan di restaurant dianggap paling efektif dan efisien.

bagaimana pandangan anda bro?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 March 2012, 05:03:52 PM
ngobrol lagi di rumah bro kainyn nih..  ;D

sore bro..
ini saya ada suatu pemikiran mengenai sila ke-1 tentang pembunuhan.

jika saya membeli sepotong ayam goreng di satu restaurant atau rumah makan tertentu, tentu saya tidak melanggar sila ke-1 karena ayam tersebut bukan di bunuh khusus untuk saya. apalagi kondisinya adalah ayam goreng tersebut sudah siap di goreng dan dipajang untuk di jual.

namun pada kasusnya jika saya ingin mengadakan suatu acara dengan mengundang sanak keluarga dan teman-teman dekat dan atas maksud tersebut saya memesan nasi kotak dalam jumlah besar lengkap dengan lauk pauknya pada sebuah restaurant. ini bagaimana? maksud saya, kita kan tidak tau apakah lauknya (katakanlah ayam) sudah tersedia sebelumnya atau disediakan atas permintaan kita.
1. bisa jadi restaurant tersebut menyediakan daging dalam freezer dalam jumlah besar
2. bisa jadi restaurant tersebut memotong ayam sesuai dengan jumlah pesanan, ini untuk menjaga supaya restaurant menyediakan daging yang fresh.
3. bisa jadi kombinasi keduanya, daging sudah di freezer namun karena pesanan banyak dan stock tidak mencukupi maka diadakan pembantaian ayam supaya bisa memenuhi pesanan.

dengan demikian jika terjadi pembunuhan atas perintah (dalam hal ini kita memesan daging ayam tersebut) tentu melanggar sila ke-1

nah sekarang jika kita akan mengadakan perjamuan besar apakah bijak jika memesan dari restaurant? atau kita masak sendiri dengan membeli dipasar ayam2 yang sudah dipotong?
masalahnya kebanyakan sekarang yang karena tuntutan kesibukannya, sehingga memesan di restaurant dianggap paling efektif dan efisien.

bagaimana pandangan anda bro?
Silahkan, di sini memang bebas ngobrol. ;D
Iya, memang betul bisa juga ketiga kemungkinan itu terjadi. Kalau untuk restoran, setahu saya mereka memang punya perkiraan stok. Jadi dalam sehari mereka memang jatahkan jumlah daging tertentu. Kalau memang mau 'aman' menghindari, sebaiknya memang tidak pesan lebih dahulu, tapi beli seadanya saja. Mungkin juga boleh dipikirkan alternatif dari daging karena menu-menu non-daging juga tidak kalah enaknya. :)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 08 March 2012, 08:26:34 PM
Silahkan, di sini memang bebas ngobrol. ;D
Iya, memang betul bisa juga ketiga kemungkinan itu terjadi. Kalau untuk restoran, setahu saya mereka memang punya perkiraan stok. Jadi dalam sehari mereka memang jatahkan jumlah daging tertentu. Kalau memang mau 'aman' menghindari, sebaiknya memang tidak pesan lebih dahulu, tapi beli seadanya saja. Mungkin juga boleh dipikirkan alternatif dari daging karena menu-menu non-daging juga tidak kalah enaknya. :)
berarti kalau makan ke restaurant seafood itu termasuk membunuh ya om??
biasanya kan kita sendiri yang pilih hewannya untuk dimakan (untuk hewan yang masih hidup, misalnya kepiting)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 09 March 2012, 08:29:55 AM
berarti kalau makan ke restaurant seafood itu termasuk membunuh ya om??
biasanya kan kita sendiri yang pilih hewannya untuk dimakan (untuk hewan yang masih hidup, misalnya kepiting)

itu termasuk melanggar sila pertama.
karena kepiting tersebut diketahui dibunuh khusus untuk anda.
 ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 March 2012, 09:06:50 AM
berarti kalau makan ke restaurant seafood itu termasuk membunuh ya om??
biasanya kan kita sendiri yang pilih hewannya untuk dimakan (untuk hewan yang masih hidup, misalnya kepiting)
Iya, seperti kata bro Rico, karena kematiannya itu disebabkan langsung oleh kita, dikondisikan oleh keputusan kita.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 09 March 2012, 09:44:22 AM
;D ;D

saya pernah dengar audio ceramah seorang Bhante, beliau berkata :

jangan jadikan jari kamu sebagai jari 'giam lo ong' yang ketika kamu menunjuk suatu makhluk, maka makhluk tersebut akan dibuat mati karena hanya 1 jari kamu. tapi jadikanlah jari kamu sebagai penyelamat yang ketika kamu menunjuk suatu makhluk, maka makhluk tersebut akan di bebaskan dari penderitaan.
( contoh, ikan lele yang dijual dipasar yang masih hidup. kamu tinggal nunjuk (cuman Bhantenya lupa bilang harus bayar dulu ;D ), yang ini ini ini ini itu itu itu maka makhluk tersebut bisa kamu fangsen )

entah kenapa kata-kata beliau sungguh menyentuh saya dan selalu saya ingat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: cumi polos on 09 March 2012, 11:08:10 AM
kalau sebagai seorang Buddhist yg menjual kue ...yg enaknya luarbiasa...

seberapa jauh harga yg boleh dijual dari cost (bahan n ongkos kerja) ?

contoh bika ambon... di Medan dijual mulai berkisar 18.5rb sd 75 rb....

nah kalau dgn ukuran yg sama...

bolehkan seorang Buddhist menjual kuenya yg luar biasa enak
  dgn harga 200rb ? dan kenapa ?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 12 March 2012, 04:40:23 PM
Bedanya, MacGyver selalu berhasil, kalau saya sering gagal. ;D

kalo gitu lebih mirip thomas alva edison ;D.

Quote
Sangat "berprestasi"! Waktu SMU 3, saya ranking 1... dari belakang.
Saya sangat menghargai pengetahuan, tapi tidak terlalu menghargai nilai akedemik.

oke deh ;D.

Quote
Lha, Buddha Gotama 'kan sudah memberikan 'senjata' kalau diisengin hantu: Karaniya Metta Sutta.

hm... kalo keburu takut duluan kan senjatanya jadi ngak efektif ;D. bagaimana caranya biar rasa takut itu tidak menghinggapi kita duluan? ;D

Quote
Sebagai perumah-tangga pun kita juga bisa meminta bimbingan sangha atau umat lain (yang kompeten).
Nah, itu bedanya saya, bro. Kalau saya mengambil satu keputusan penting, harus 'jadi'. Jika saya mengambil keputusan menjadi petapa, 'lepas jubah' tidak ada dalam pikiran saya, kecuali kalau keadaannya memaksa. Begitu juga kalau mau menikah, 'cerai' tidak ada dalam pikiran saya, kecuali, sama juga, kalau keadaannya memaksa.

kalo telah mengambil keputusan penting harus 'jadi', tapi bila ngak 'jadi-jadi' terus apa yang akan om kutho lakukan? ;D

Quote
Kisah itu kalau ga salah Citta Hatthisariputta. Di masa lalu, dia menginginkan milik bhikkhu temannya, jadi menganjurkannya agar lepas jubah. Karena hal tersebut, maka dia tidak bisa bertahan lama di dalam Sangha. Terakhir dia jadi perumah-tangga, melihat istrinya yang lagi hamil, tidur dan air liurnya menetes, lalu dia jadi enggan dan kemudian pergi ke vihara. Di tengah jalan, sambil merenung, ia menjadi Sotapanna, dan setelah memaksa ditahbiskan yang ke tujuh kali, ia tidak pernah kembali lagi ke kehidupan perumah-tangga.

iya cerita yang itu ;D.

Quote
Coba tanya aja cewek2 di sini, ada yang mau 'test nikah' ato nggak. ;D

hahaha... makanya ngak masalahkan kita coba-coba, karena blom tentu orang lain juga mau kita cobai :P.

Quote
Kalau menurut saya, semua perkembangan ini memang adalah 'dampak' dari perkembangan budaya manusia saja. Dengan bertambahnya pengetahuan, iptek, maka hidup juga berubah menjadi kompleks. Perkembangan ini bagus dan bisa seimbang. Namun yang biasa bikin tidak seimbang adalah kebodohan/ketidak-pedulian dan ketamakan.

iya ;D.

Quote
Ya, bisa juga. Dimulai dari diri sendiri saja, yang kecil-kecil. Jika kita berprinsip baik dan pantas, tidak perlu malu karena tidak mengikuti arus.

oke ;D.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 March 2012, 11:09:50 AM
kalau sebagai seorang Buddhist yg menjual kue ...yg enaknya luarbiasa...

seberapa jauh harga yg boleh dijual dari cost (bahan n ongkos kerja) ?

contoh bika ambon... di Medan dijual mulai berkisar 18.5rb sd 75 rb....

nah kalau dgn ukuran yg sama...

bolehkan seorang Buddhist menjual kuenya yg luar biasa enak
  dgn harga 200rb ? dan kenapa ?
Sepertinya bro 3K pernah menanyakan tentang hal ini sebelumnya. Saya pikir tidak ada masalah orang mau menjual barang semahal apapun juga adalah haknya dia. Konsumen juga tentu punya perhitungannya sendiri. Misalnya ada Bika Ambon merk "3K Cake" harga 200rb, terkenal, tapi banyak komplain karena kemahalan. Maka pihak lain juga bisa bersaing, misalnya muncul "KK Cake", harga 100rb, rasa hampir sama. Otomatis yang agak keberatan dengan harganya akan berpaling sendiri. Nantinya juga akan ada pesaing2 baru dengan daya tariknya sendiri, maka otomatis yang harganya dianggap terlalu tinggi, akan tidak laku. Kadang perbedaan harga juga disebabkan perbedaan kualitas. Kalau lagi musim jualan seperti lebaran atau imlek, itu banyak beredar kue2 kering, misalnya Lidah Kucing (Katetongen) berbagai harga, ada yang sekitar Rp. 15rb s/d Rp. 75rb per toples. Tapi memang rasanya beda, dari yang seperti krupuk sagu digoreng pakai gula, sampai yang terasa menteganya.

Ini berlaku untuk komoditi yang umum, kalau untuk barang yang dimonopoli, menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, sudah seharusnya disesuaikan dengan harga modal dan kemampuan masyarakatnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: cumi polos on 13 March 2012, 11:19:12 AM
Sepertinya bro 3K pernah menanyakan tentang hal ini sebelumnya. Saya pikir tidak ada masalah orang mau menjual barang semahal apapun juga adalah haknya dia. Konsumen juga tentu punya perhitungannya sendiri. Misalnya ada Bika Ambon merk "3K Cake" harga 200rb, terkenal, tapi banyak komplain karena kemahalan. Maka pihak lain juga bisa bersaing, misalnya muncul "KK Cake", harga 100rb, rasa hampir sama. Otomatis yang agak keberatan dengan harganya akan berpaling sendiri. Nantinya juga akan ada pesaing2 baru dengan daya tariknya sendiri, maka otomatis yang harganya dianggap terlalu tinggi, akan tidak laku. Kadang perbedaan harga juga disebabkan perbedaan kualitas. Kalau lagi musim jualan seperti lebaran atau imlek, itu banyak beredar kue2 kering, misalnya Lidah Kucing (Katetongen) berbagai harga, ada yang sekitar Rp. 15rb s/d Rp. 75rb per toples. Tapi memang rasanya beda, dari yang seperti krupuk sagu digoreng pakai gula, sampai yang terasa menteganya.

Ini berlaku untuk komoditi yang umum, kalau untuk barang yang dimonopoli, menyangkut kebutuhan hidup orang banyak, sudah seharusnya disesuaikan dengan harga modal dan kemampuan masyarakatnya.

bro KK, ini gw tanya lagi, soalnya family gw ada yg suka bika ambon...
dan dia pilih yg 75rb, home made... plus harus pesan dahulu...
sedangkan yg lain mulai harga 18.5rb.... dan rata2 25rb gitu.....

dlm pikiran gw.. apakah dgn jual malah... si penjual dpt di cap TAMAK oleh pembeli ?

utk komoditi umum, ya juga tergantung dan infra structur... keadaan demaga, transportasi, dan izin IMPORT dll....yg menjadi kalkulasi harga pokok bahan tsb...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 March 2012, 11:22:13 AM
kalo gitu lebih mirip thomas alva edison ;D.
Mungkin, kecuali bagian 'tukang nyolong ide' dan 'main kotor terhadap saingan', itu jelas tidak mirip ;D


Quote
hm... kalo keburu takut duluan kan senjatanya jadi ngak efektif ;D. bagaimana caranya biar rasa takut itu tidak menghinggapi kita duluan? ;D
Takut itu timbulnya dari ilusi bentukan pikiran. Bagaimana cara mengatasinya ada banyak hal, misalnya lewat pengertian benar, sebab ketakutan itu biasanya timbul karena berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita ketahui, pahami, mengerti. Ketika telah dipahami, maka tidak timbul lagi ketakutan tersebut. Cara lain adalah dengan meditasi menenangkan diri dari kegelisahan atau 'melihat' proses pikiran sehingga menyadari bagaimana ketakutan itu timbul dan tenggelam.

Quote
kalo telah mengambil keputusan penting harus 'jadi', tapi bila ngak 'jadi-jadi' terus apa yang akan om kutho lakukan? ;D
Ada dua pilihan:
1. Mengubah strategi dalam mewujudkannya
2. Kalau sudah menyadari tidak ada jalan lain, maka sebaiknya mengubah prioritas dalam pola pikir dari 'harus jadi' menjadi 'boleh jadi, boleh nggak' (pasrah.com)


Quote
hahaha... makanya ngak masalahkan kita coba-coba, karena blom tentu orang lain juga mau kita cobai :P.
Iya, kalau sama2 mau sih, sepertinya memang ga masalah, yang penting sama2 tahu risikonya saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 13 March 2012, 11:28:04 AM
bro KK, ini gw tanya lagi, soalnya family gw ada yg suka bika ambon...
dan dia pilih yg 75rb, home made... plus harus pesan dahulu...
sedangkan yg lain mulai harga 18.5rb.... dan rata2 25rb gitu.....

dlm pikiran gw.. apakah dgn jual malah... si penjual dpt di cap TAMAK oleh pembeli ?

utk komoditi umum, ya juga tergantung dan infra structur... keadaan demaga, transportasi, dan izin IMPORT dll....yg menjadi kalkulasi harga pokok bahan tsb...
Kalo menurut bro 3K sendiri harganya itu pantas ato nggak? 'Kan bisa dilihat dari bahan dasar, modal, kualitas, dsb. Tamak atau tidak itu sebetulnya lebih internal sifatnya, susah ditentukan dari 'tampak luar' saja. Misalnya kalau dia menawarkan kualitas kebersihan yang sangat ketat sehingga biaya tinggi, atau misalnya dari setiap penjualan itu disisihkan khusus buat dana. Kita tidak ada yang tahu motivasi dan niatnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: bawel on 13 March 2012, 02:23:21 PM
Mungkin, kecuali bagian 'tukang nyolong ide' dan 'main kotor terhadap saingan', itu jelas tidak mirip ;D

hahaha.. oke deh ;D.

Quote
Takut itu timbulnya dari ilusi bentukan pikiran. Bagaimana cara mengatasinya ada banyak hal, misalnya lewat pengertian benar, sebab ketakutan itu biasanya timbul karena berhadapan dengan sesuatu yang tidak kita ketahui, pahami, mengerti. Ketika telah dipahami, maka tidak timbul lagi ketakutan tersebut. Cara lain adalah dengan meditasi menenangkan diri dari kegelisahan atau 'melihat' proses pikiran sehingga menyadari bagaimana ketakutan itu timbul dan tenggelam.

bagaimana caranya memahami sesuatu yang kita takuti seperti itu? ;D apakah harus menghindari dulu baru atau tetep terpaku dalam ketakutan itu sendiri? ;D karena kan kalo kita sudah takut kita tidak bisa berpikir lagi, dan setelah terhindar maka kita akan selalu menghindarinya ;D. apalagi ditambah banyak pengetahuan diluar yang menambah takut kita pada sesuatu itu ;D.

bagaimana dengan orang latah? ;D apakah kebiasaan latah itu bisa diubah? ;D gimana caranya? ;D atau sebenarnya latah itu hanya acting saja, tapi akhirnya menjadi kebiasaan? ;D

Quote
Ada dua pilihan:
1. Mengubah strategi dalam mewujudkannya
2. Kalau sudah menyadari tidak ada jalan lain, maka sebaiknya mengubah prioritas dalam pola pikir dari 'harus jadi' menjadi 'boleh jadi, boleh nggak' (pasrah.com)

nah kan.. setelah merencanakan matang-matang saja masih bisa berubah ;D. apalagi dhamma itu tidak bisa direncanakan, cuma bisa dicicipi baru mengerti ;D.

Quote
Iya, kalau sama2 mau sih, sepertinya memang ga masalah, yang penting sama2 tahu risikonya saja.

;D.
Title: "Kalo T-Rex makan kangkung..."
Post by: K.K. on 06 October 2012, 09:32:25 AM
Demikianlah frasa yang saya gunakan untuk mengemukakan hal yang mendekati mustahil.
Ternyata creationist menganutnya.


Were you aware that it has been proven by the Creation Evidence Museum that T-Rex was NOT a meat eater? That's right! They proved it in TWO WAYS...

   1. The roots of T-Rex were only 2 inches deep. Had he bit into the hide of another dinosaur he would have lost teeth
   2. They cut a tooth in half of an unearthed T-Rex and found in deeply gorged with CHLOROPHYLL! That's right, Chlorophyll is the main substance found in PLANTS not meat!

By the way, this discovery validates the Bible once again! How so? See this passage...
Genesis 1:30, "And to every beast of the earth, and to every fowl of the air, and to every thing that creepeth upon the earth, wherein there is life, I have given every green herb for meat: and it was so."

Now.. before proclaiming you MUST eat meat because the proteins in meat will help you to gain weight, look around on planet earth for a moment. Look at all the HUGE animals like cows... horses.. hippos.. elephants... rhinos... etc. What do THEY eat? That's right. PLANTS!

Sumber (http://www.remnantofgod.org/creation.htm#brain)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 01 April 2013, 06:22:16 PM
selamat sore, saya mau bertanya. apa anda pernah melihat film hantu thailand yang berjudul nangnak?
kabarnya itu crita nyata yg sudah 100 thn lebih, dimana dalam cerita itu, seorg bhikkhu menciptakan paritta yang berjudul jinapanjara. untuk menolong org. mohon pencerahannya...

apakah paritta yang diciptakan oleh seorang bhikkhu itu benar - benar sakti atau karena karma kita sendiri? sehingga ketika kita membacakan paritta, kita terbebas dari marabahaya dll..
thanks before
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 01 April 2013, 06:44:36 PM
selamat sore, saya mau bertanya. apa anda pernah melihat film hantu thailand yang berjudul nangnak?
kabarnya itu crita nyata yg sudah 100 thn lebih, dimana dalam cerita itu, seorg bhikkhu menciptakan paritta yang berjudul jinapanjara. untuk menolong org. mohon pencerahannya...

apakah paritta yang diciptakan oleh seorang bhikkhu itu benar - benar sakti atau karena karma kita sendiri? sehingga ketika kita membacakan paritta, kita terbebas dari marabahaya dll..
thanks before

Kalau untuk menjawab apakah fenomena tertentu berhubungan dengan kamma, tentu saya tidak bisa menjawabnya karena saya bukan Samma Sambuddha.

Namun jika ditinjau dari konsep kamma yang saya ketahui, kamma selalu saling mempengaruhi dengan cara kompleks dan senantiasa berproses. Jadi adalah sulit menentukan porsi berbuahnya kamma masa lampau vs hasil perbuatan kita sekarang. Misalnya saya tanya balik: kalau kita pergi naik motor lalu jatuh dan terbentur di kepala, tapi untung pakai helm bagus. Apakah kita selamat karena helm atau karena kekuatan kamma?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 01 April 2013, 07:06:39 PM
:))

 Misalnya saya tanya balik: kalau kita pergi naik motor lalu jatuh dan terbentur di kepala, tapi untung pakai helm bagus. Apakah kita selamat karena helm atau karena kekuatan kamma? --> tentunya kalau sesuai pemahaman saya, sy akan menjawab karena kekuatan kamma..


apakah sang buddha mengatakan kita boleh menciptakan paritta dan lain sebagainya?

dibuku paritta suci, ada dijelaskan bahwa paritta itu adalah perlindungan....perlindungan spt apakah itu?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 02 April 2013, 08:07:04 AM
selamat sore, saya mau bertanya. apa anda pernah melihat film hantu thailand yang berjudul nangnak?
kabarnya itu crita nyata yg sudah 100 thn lebih, dimana dalam cerita itu, seorg bhikkhu menciptakan paritta yang berjudul jinapanjara. untuk menolong org. mohon pencerahannya...

Gw juga sudah nonton filmnya.  Katanya memang itu cerita nyata dan sepertinya Nangnak ini yang paling sesuai pakem cerita.  Masih ada film bertema sejenis seperti Ghost of Maenak, dll.

Bhikkhu senior dalam film itu adalah Ajahn Toh yang dikenal di Thailand sebagai bhikkhu yang sakti.  Apakah beliau yang membuat Jinapanjara gw kurang tahu persis.

Quote
apakah paritta yang diciptakan oleh seorang bhikkhu itu benar - benar sakti atau karena karma kita sendiri? sehingga ketika kita membacakan paritta, kita terbebas dari marabahaya dll..
thanks before

Paritta tertentu memang mempunyai 'kekuatan', gw pernah mencari sesuatu barang penting dan diubek2 ga ketemu.  Setelah membaca paritta tertentu entah bagaimana sepertinya barang itu muncul sendiri di tempat yang sudah pernah gw bongkar sebelumnya tapi tidak ketemu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 April 2013, 08:40:32 AM
:))

 Misalnya saya tanya balik: kalau kita pergi naik motor lalu jatuh dan terbentur di kepala, tapi untung pakai helm bagus. Apakah kita selamat karena helm atau karena kekuatan kamma? --> tentunya kalau sesuai pemahaman saya, sy akan menjawab karena kekuatan kamma..
Kalau karena kekuatan kamma, berarti apa gunanya pake helm?

Sama aja kalau orang sakit sembuh karena kekuatan kamma, apa gunanya ke dokter ato makan obat? ;D


Quote
apakah sang buddha mengatakan kita boleh menciptakan paritta dan lain sebagainya?

Paritta mau diciptakan untuk membantu kita konsentrasi yah sah-sah saja, asal jangan 'terpeleset' pada pandangan salah aja. Yang manjur itu tetap pikirannya, bukan parittanya.
Juga yang penting kalo kita bikin paritta sendiri, jangan klaim pakai merk 'Buddha'.


Quote
dibuku paritta suci, ada dijelaskan bahwa paritta itu adalah perlindungan....perlindungan spt apakah itu?

Entahlah, harus tanya yang nulis donk. ;D
Tapi kalau saya pribadi, itu adalah perlindungan dari sumber malapetaka.

Spoiler: ShowHide
Sumber malapetaka: pikiran buruk yang dilakukan oleh diri sendiri.
Paritta menghindarkan kita dari pikiran buruk tersebut.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 02 April 2013, 09:48:34 AM
Kalau karena kekuatan kamma, berarti apa gunanya pake helm?

Sama aja kalau orang sakit sembuh karena kekuatan kamma, apa gunanya ke dokter ato makan obat? ;D
Hukum kamma itu 'kan hukum sebab-akibat, jadi logikanya: pakai helm (sebab) dan selamat (akibat) = kekuatan kamma. Atau mungkin pemahaman saya yg salah. Pendapat om?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Riky_dave on 02 April 2013, 10:02:08 AM
asal sebut aja, tr jd mantra jg tuch
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 02 April 2013, 10:06:06 AM
Paritta tertentu memang mempunyai 'kekuatan', gw pernah mencari sesuatu barang penting dan diubek2 ga ketemu.  Setelah membaca paritta tertentu entah bagaimana sepertinya barang itu muncul sendiri di tempat yang sudah pernah gw bongkar sebelumnya tapi tidak ketemu.

akh....masa baca paritta barangnya ketemu...gila aja...

klo gitu, ada paritta supaya cepat ketemu pasangan seumur hidup kita ga? :P
 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 02 April 2013, 10:29:50 AM
Paritta tertentu memang mempunyai 'kekuatan', gw pernah mencari sesuatu barang penting dan diubek2 ga ketemu.  Setelah membaca paritta tertentu entah bagaimana sepertinya barang itu muncul sendiri di tempat yang sudah pernah gw bongkar sebelumnya tapi tidak ketemu.

gue juga pernah mengalami peristiwa serupa, suatu malam, gue kehilangan kunci mobil di rumah, cari2 di seluruh penjuru rumah tidak ketemu, akhirnya saya putuskan untuk mandi dulu dan siap2 untuk berangkat naik taxi. tapi setelah selesai mandi dan berpakaian, kunci mobil entah bagaimana seperti muncul sendiri di atas meja

kesimpulan: mandi juga bisa menemukan barang hilang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 April 2013, 11:19:12 AM
Hukum kamma itu 'kan hukum sebab-akibat, jadi logikanya: pakai helm (sebab) dan selamat (akibat) = kekuatan kamma. Atau mungkin pemahaman saya yg salah. Pendapat om?

Sebetulnya hukum kamma bukan hukum sebab-akibat secara umum kita ketahui, misalnya karena makan, berakibat kenyang. Pakai helm, kalo jatuh melindungi kepala; sakit makan obat sembuh; semua itu hukum alam. Hukum kamma membahas akibat dari perbuatan baik/buruk yang menghasilkan kebahagiaan/penderitaan.

Prosesnya hukum kamma itu juga tidak terlepas dari hukum-hukum yang lainnya, maka apakah satu kejadian murni karena hukum alam ataukah ada hukum kamma berperan di sana juga sulit diketahui. Jadi hukum kamma ini sebetulnya adalah konsep untuk menjelaskan bahwa yang terjadi pada makhluk bukanlah 'random event' juga bukan 'tersurat oleh sosok adikuasa', namun adalah akibat dari perbuatannya sendiri di masa lampau.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 02 April 2013, 11:31:15 AM
gue juga pernah mengalami peristiwa serupa, suatu malam, gue kehilangan kunci mobil di rumah, cari2 di seluruh penjuru rumah tidak ketemu, akhirnya saya putuskan untuk mandi dulu dan siap2 untuk berangkat naik taxi. tapi setelah selesai mandi dan berpakaian, kunci mobil entah bagaimana seperti muncul sendiri di atas meja

kesimpulan: mandi juga bisa menemukan barang hilang.

Kesaktian dewa memang tiada batas  ^:)^ ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 02 April 2013, 03:03:32 PM
Sebetulnya hukum kamma bukan hukum sebab-akibat secara umum kita ketahui, misalnya karena makan, berakibat kenyang. Pakai helm, kalo jatuh melindungi kepala; sakit makan obat sembuh; semua itu hukum alam. Hukum kamma membahas akibat dari perbuatan baik/buruk yang menghasilkan kebahagiaan/penderitaan.

Prosesnya hukum kamma itu juga tidak terlepas dari hukum-hukum yang lainnya, maka apakah satu kejadian murni karena hukum alam ataukah ada hukum kamma berperan di sana juga sulit diketahui. Jadi hukum kamma ini sebetulnya adalah konsep untuk menjelaskan bahwa yang terjadi pada makhluk bukanlah 'random event' juga bukan 'tersurat oleh sosok adikuasa', namun adalah akibat dari perbuatannya sendiri di masa lampau.



Di mana saya bisa membaca tentang hukum alam ini di sutta, om? (maaf kalau sutta-minded)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 02 April 2013, 03:21:31 PM
Di mana saya bisa membaca tentang hukum alam ini di sutta, om? (maaf kalau sutta-minded)
Kalau di sutta, tidak ada, tapi bisa ditemukan di Abhidhamma, dan kitab komentar.

Untuk fisika, biologi, dsb, juga bisa ditemukan di pelajaran dan pembahasan sains, tentunya ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 02 April 2013, 05:39:51 PM
Kalau di sutta, tidak ada, tapi bisa ditemukan di Abhidhamma, dan kitab komentar.

Kitab komentarnya pasti kitab komentar abhidhamma.  ::)

Karena di sutta kan tidak ada, mana mungkin sutta yang tidak ada bisa ada kitab komentarnya.

Sayang sekali katanya (according to some scholars and several topics in DC forum), abhidhamma itu adalah merupakan tambahan belakangan di Konsili ke-4, bukan ajaran langsung dari Sang Buddha.  :whistle:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 02 April 2013, 06:00:48 PM
Kitab komentarnya pasti kitab komentar abhidhamma.  ::)

Karena di sutta kan tidak ada, mana mungkin sutta yang tidak ada bisa ada kitab komentarnya.

Sayang sekali katanya (according to some scholars and several topics in DC forum), abhidhamma itu adalah merupakan tambahan belakangan di Konsili ke-4, bukan ajaran langsung dari Sang Buddha.  :whistle:

Kayanya di kitab komentar digha nikaya. Di bhagavant.com ad tulis.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 02 April 2013, 06:38:39 PM
Kalau di sutta, tidak ada, tapi bisa ditemukan di Abhidhamma, dan kitab komentar.

Untuk fisika, biologi, dsb, juga bisa ditemukan di pelajaran dan pembahasan sains, tentunya ;D
Ok, jadi hukum alam seperti itu tidak ada di sutta. Pertanyaan lain, apakah benar sesuai postingan om, kalau hukum kamma hanya membahas akibat dari perbuatan baik atau buruk, bukan yg lain. Apa ada di sutta? Jadi bagaimana dengan perbuatan netral? Lalu bukankah memakai helm, makan, dan minum obat juga termasuk perbuatan? Mohon pencerahannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 02 April 2013, 10:47:11 PM
Kayanya di kitab komentar digha nikaya. Di bhagavant.com ad tulis.

Digha Nikaya termasuk sutta, jadi yang benar ada di sutta atau tidak ada di sutta?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 03 April 2013, 07:38:58 AM
Soal Dhammaniyama memang dari komentar Digha Nikaya sewaktu Buddhaghosa menjelaskan ttg Dhammata dr Mahapadana Sutta. Jd bukan sutta...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 08:55:19 AM
Kitab komentarnya pasti kitab komentar abhidhamma.  ::)

Karena di sutta kan tidak ada, mana mungkin sutta yang tidak ada bisa ada kitab komentarnya.

Sayang sekali katanya (according to some scholars and several topics in DC forum), abhidhamma itu adalah merupakan tambahan belakangan di Konsili ke-4, bukan ajaran langsung dari Sang Buddha.  :whistle:
Seperti dikatakan terwelu, ada juga di komentar DN.

Abhidhamma dan kitab komentar memang tambahan belakangan, tapi kita juga sebaiknya jangan secara membuta menolak bahwa itu tidak sesuai dengan Ajaran Buddha. Seringkali komentar dan Abhidhamma menjelaskan konteks dan latar belakang dibabarkannya suatu sutta, juga menjelaskan istilah-istilah yang dipahami umum pada saat itu, namun tidak umum pada masa sekarang.

Misalnya di pembahasan lalu tentang bola api (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23855.0.html), banyak orang masih bingung karena penggunaan istilah unsur-unsur dalam sutta yang berbeda pemahaman unsur modern. Pengertiannya ditemukan di komentar Abhidhamma.

Contoh lain pentingnya kitab komentar seperti ketika membaca dhammapada 294: "Setelah membunuh ibu, ayah, dan dua raja; menghancurkan kerajaan dengan para pejabatnya, sang brahmana bebas dari dukkha."

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 03 April 2013, 09:19:59 AM
Abhidhamma dan kitab komentar memang tambahan belakangan, tapi kita juga sebaiknya jangan secara membuta menolak bahwa itu tidak sesuai dengan Ajaran Buddha. Seringkali komentar dan Abhidhamma menjelaskan konteks dan latar belakang dibabarkannya suatu sutta, juga menjelaskan istilah-istilah yang dipahami umum pada saat itu, namun tidak umum pada masa sekarang.
betul.
imo, sikap yang tepat adalah jangan membuta menolak dan juga jangan membuta menerima.
dikunyah pelan2, dicerna, dibandingkan dan diteliti baik2...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 03 April 2013, 09:30:06 AM
Seperti dikatakan terwelu, ada juga di komentar DN.

Abhidhamma dan kitab komentar memang tambahan belakangan, tapi kita juga sebaiknya jangan secara membuta menolak bahwa itu tidak sesuai dengan Ajaran Buddha. Seringkali komentar dan Abhidhamma menjelaskan konteks dan latar belakang dibabarkannya suatu sutta, juga menjelaskan istilah-istilah yang dipahami umum pada saat itu, namun tidak umum pada masa sekarang.

Kebetulan gw sendiri termasuk orang yang berpendapat bahwa Abhidhamma adalah ajaran langsung dari Sang Buddha yang diajarkan secara ringkas tak terputus waktu Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa. Dan kemudian mulai menjadi terperinci dan lebih detail setelah diturunkan ke bhante Sariputta dan murid2nya.  Makanya isinya nyambung sekali tetapi lebih detail dan teknis ketimbang sutta dan komentarnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 03 April 2013, 09:30:48 AM
betul.
imo, sikap yang tepat adalah jangan membuta menolak dan juga jangan membuta menerima.
dikunyah pelan2, dicerna, dibandingkan dan diteliti baik2...


setuju, saya sendiri hanya menerima jika selaras dengan Nikaya, dan hanya menolak jika bertentangan dengan Nikaya. Jika bukan selaras dan bukan bertentangan, yaitu sutta tidak menjelaskan komentar atau komentar tidak menjelaskan Nikaya. maka sikap saya adalah bukan menerima juga bukan menolak.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 03 April 2013, 09:31:59 AM
Kebetulan gw sendiri termasuk orang yang berpendapat bahwa Abhidhamma adalah ajaran langsung dari Sang Buddha yang diajarkan secara ringkas tak terputus waktu Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa. Dan kemudian mulai menjadi terperinci dan lebih detail setelah diturunkan ke bhante Sariputta dan murid2nya.  Makanya isinya nyambung sekali tetapi lebih detail dan teknis ketimbang sutta dan komentarnya.

di mana tercatat bahwa Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa? apakah tidak mengherankan bahwa event penting ini tidak tercatat dalam nikaya-nikaya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 09:32:37 AM
Ok, jadi hukum alam seperti itu tidak ada di sutta.
Iya, tidak ada pembahasannya di sutta.

Quote
Pertanyaan lain, apakah benar sesuai postingan om, kalau hukum kamma hanya membahas akibat dari perbuatan baik atau buruk, bukan yg lain. Apa ada di sutta?
Sejauh yang saya ketahui, pembahasan kamma selalu dalam konteks perbuatan (lewat pikiran, ucapan, dan jasmani) dan akibat dari perbuatan (yang berupa perasaan [menyakitkan, netral, menyenangkan] di masa depan [dalam kehidupan sama, kehidupan setelah kehidupan ini, atau kehidupan berikut2nya]).


Quote
Jadi bagaimana dengan perbuatan netral? Lalu bukankah memakai helm, makan, dan minum obat juga termasuk perbuatan? Mohon pencerahannya.
Dalam konteks kamma, batasannya adalah perbuatan yang berkenaan dengan moralitas. Jika tidak ada relevansinya, maka itu tidak dibahas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 09:41:04 AM
Kebetulan gw sendiri termasuk orang yang berpendapat bahwa Abhidhamma adalah ajaran langsung dari Sang Buddha yang diajarkan secara ringkas tak terputus waktu Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa. Dan kemudian mulai menjadi terperinci dan lebih detail setelah diturunkan ke bhante Sariputta dan murid2nya.  Makanya isinya nyambung sekali tetapi lebih detail dan teknis ketimbang sutta dan komentarnya.

Kalau soal apakah Abhidhamma diajarkan di Tavatimsa atau tidak, ini adalah hal sulit. Tapi kalau mau ditelaah lebih jauh, kita bisa melihat dari sudut pandang sejarah bagaimana munculnya 'Abhidhamma'. Mengapakah sekte-sekte awal ada yang menolak abhidharma, dan mengapakah abhidharma antara sekte abhidharmika pun bisa berbeda, sementara semua sekte awal menerima 4 Nikaya secara serempak? 

Ini adalah pembahasan ke Buddhisme Awal pra sektarian, yang cukup rumit dan sangat mengguncang iman (yang kendatipun diklaim tidak ada dalam agama Buddha, nyatanya sangat sarat di kalangan Buddhis). Kalau tertarik, marilah kita bahas.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 09:42:53 AM
di mana tercatat bahwa Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa? apakah tidak mengherankan bahwa event penting ini tidak tercatat dalam nikaya-nikaya?
Vassa di Tavatimsa, di alam Naga, dan di Asannasattaloka, semua classified above top secret. Tidak ada dalam dokumen resmi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 03 April 2013, 09:52:01 AM
dilihat dari semua segi sejarah perpecahan, early buddhism dan perbandingan naskah2 kuna beserta masanya, klaim abhidhamma merupakan sabda Sang Buddha itu sudah gugur. semua skolar sepakat untuk yang ini (kecuali mungkin skolar berbasis iman).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 03 April 2013, 09:56:35 AM

Ini adalah pembahasan ke Buddhisme Awal pra sektarian, yang cukup rumit dan sangat mengguncang iman (yang kendatipun diklaim tidak ada dalam agama Buddha, nyatanya sangat sarat di kalangan Buddhis). Kalau tertarik, marilah kita bahas.



"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 03 April 2013, 10:00:13 AM
"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."

akur..

klo bisa sedetil-detilnya   ^-^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 10:28:36 AM
"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
:-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).

Misalnya mungkin kita cari dulu sekte-sekte awal Abhidharmika itu apa saja sih, lalu apa saja perbedaannya. Lalu Abhidhamma Theravada itu mirip yang mana.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 03 April 2013, 10:33:33 AM
:-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).

Misalnya mungkin kita cari dulu sekte-sekte awal Abhidharmika itu apa saja sih, lalu apa saja perbedaannya. Lalu Abhidhamma Theravada itu mirip yang mana.

pembaca kecewa  :(
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 03 April 2013, 10:38:12 AM
:-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).

Misalnya mungkin kita cari dulu sekte-sekte awal Abhidharmika itu apa saja sih, lalu apa saja perbedaannya. Lalu Abhidhamma Theravada itu mirip yang mana.

untuk ke dua kalinya:

"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 03 April 2013, 10:40:10 AM
setuju, saya sendiri hanya menerima jika selaras dengan Nikaya, dan hanya menolak jika bertentangan dengan Nikaya. Jika bukan selaras dan bukan bertentangan, yaitu sutta tidak menjelaskan komentar atau komentar tidak menjelaskan Nikaya. maka sikap saya adalah bukan menerima juga bukan menolak.

tidak menerima juga bukan menolak, sikap yang bagaimanakah itu?? *confused mode on
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 10:41:29 AM
dilihat dari semua segi sejarah perpecahan, early buddhism dan perbandingan naskah2 kuna beserta masanya, klaim abhidhamma merupakan sabda Sang Buddha itu sudah gugur. semua skolar sepakat untuk yang ini (kecuali mungkin skolar berbasis iman).

Bantu co-pas ke sini, bang morph. Sebagian saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 03 April 2013, 10:42:27 AM
:-w Ini bukan 'pembabaran' satu arah, tapi diskusi dua arah dan terbuka (boleh rame2 juga).

Misalnya mungkin kita cari dulu sekte-sekte awal Abhidharmika itu apa saja sih, lalu apa saja perbedaannya. Lalu Abhidhamma Theravada itu mirip yang mana.

untuk ke tiga kalinya:

"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 10:45:29 AM
untuk ke dua kalinya:

"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."
"Cukuplah, Vepacitti, biarlah demikian. Janganlah menanyakan itu kepadaku."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 03 April 2013, 11:00:30 AM
Bantu co-pas ke sini, bang morph. Sebagian saja.
stamina saya tersedot habis menjelaskan istilah "hitam putih" karena dituduh berkelit (sebagian besar stamina habis gara2 tepok jidat)...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 03 April 2013, 11:11:36 AM
"Cukuplah, Vepacitti, biarlah demikian. Janganlah menanyakan itu kepadaku."

apakah sakka udah kalah, sekarang tavatimsa dikuasai oleh vepacitti? atau ini sekedar serangan sporadis pada kumis?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 11:15:44 AM
stamina saya tersedot habis menjelaskan istilah "hitam putih" karena dituduh berkelit (sebagian besar stamina habis gara2 tepok jidat)...
Jangan pelit-pelit lah, bang... ;D Ya sudah kalo sekarang sudah habis, besok harusnya sudah recharged balik.
(Jujur soal 'hitam-putih' saya ga perhatikan, hanya baca sekilas, secepat seorang kuat merentangkan tangan yang tertekuk atau menekuk tangan yang terentang.)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 11:18:03 AM
apakah sakka udah kalah, sekarang tavatimsa dikuasai oleh vepacitti? atau ini sekedar serangan sporadis pada kumis?
Sebab Vepacitti lebih sangar dan menyukai lautan, juga main 'cajon box' yang dibuat dari capit kepiting raksasa badan emas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 12:21:43 PM
untuk ke tiga kalinya:

"Sekarang adalah waktunya, Yang Mulia. Sekarang adalah waktunya bagi Yang Mulia Kutu untuk membabarkan Buddhisme pra sektarian yg mengguncang iman. sebagaimana Yang Mulia Kutu menjelaskan, demikianlah kami akan mengingatnya."

"Baiklah, brahamani, karena aku tidak dapat membujuk kalian ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Vepacitti, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepadaku.’ Oleh karena itu aku akan menjawabmu. Dengarkanlah dan tanggung sendiri risikonya."

Kalau menurut pandangan Buddhis mayoritas sekarang ini (boleh langsung disurvey kalau ga percaya), rata-rata berpikir bahwa sejarah Buddhisme itu dimulai dari sangha yang dipimpin Buddha langsung, lalu terpecah menjadi dua: Theravada dan Mahayana. Anggapan ini adalah sangat tepat, maksudnya sangat tepat kalau dibilang ngaco. Kita bahas sekilas dan kulitnya dulu.


Theravada.
Pada saat konsili ke tiga, pandangan-pandangan benar dirumuskan oleh Moggalliputta Tissa dan dituangkan dalam katthavatthu. Rumusan ini menyebutkan Mahasanghika, Sarvastivada, dan Samittiya sebagai berpandangan salah. Di lain pihak, Mahasanghika menamakan kelompok Moggaliputta Tissa ini sebagai Vibhajyavāda ("pandangan analisa") dan merupakan salah satu dari 3 cabang perpecahan (Mahasanghika, Sthaviravada, Vibhajyavada). 

Vibhajyavada (yang menurut mereka sendiri adalah sebetulnya identik dengan Sthaviravada), terbagi dalam 4 kelompok, yang salah satunya, Tāmraparnīya, berkembang di Srilanka, dan kemudian dikenal dengan nama Theravada.


Mahayana.
Mahayana ini jauh lebih menarik sebab bahkan Mahayana awal pun pandangannya berbeda dengan Mahayana yang kita kenal sekarang. Teks-teks awal "Mahayana" muncul sekitar abad 1 sebelum masehi, dan istilah Mahayana merujuk pada jalan yang ditempuh oleh Sidharta Gautama, bukan merujuk pada sekte. Penggunaannya sebagai sekte baru terjadi sekitar abad 1 - 2 masehi, di mana sebagian kelompok yang memakai literatur "Mahayana" ini merujuk sekte Buddhis awal sebagai "Hinayana", untuk membedakan. Namun ini pun masih tidak jelas, karena ada juga sebagian sekte Buddhis awal yang mengadopsi karya-karya "Mahayana" ini.

---

Jadi secara sekilas, kita bisa lihat Theravada muncul sekitar abad 3 sebelum masehi, dan Mahayana sekitar abad 1 masehi. Apa yang terjadi selama 3 abad antara jaman Sang Buddha (abad 6 sebelum masehi) sampai munculnya Theravada, inilah yang menjadi fokus pembicaraan jika kita bahas Buddhisme awal.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 03 April 2013, 05:57:34 PM
di mana tercatat bahwa Sang Buddha bervassa di surga Tavatimsa? apakah tidak mengherankan bahwa event penting ini tidak tercatat dalam nikaya-nikaya?

Sebelumnya gw jelaskan dulu bahwa gw not studied (all) buddhist texts for a living, jadi jika sudah ada 'orang pintar' yang meringkasnya dan dia diyakini kompeten di kalangan buddhist sendiri sebagai Tipitakadhara maka cukuplah itu sebagai acuan gw.  Orang itu adalah Mingun Sayadaw, yang merangkum The Great Chronicle of Buddhas dan diterbitkan DC dengan judul RAPB.

Beliau menulis di buku III:
Chapter 25
KEEPING THE 7th. VASSA AND PREACHING THE ABHIDHAMMA AT TAVATIMSA.

Having established Ankura and Indaka devas in the Fruition stage of Sotapatti, the Tathagata continued to stay on to keep up the 7th. Vassa sitting crossed-legged on the throne of Sakka in Tavatimsa and preached the Abhidhamma, day and night, to all those devas from ten thousand world systems, who rallied round the Tathagata, with Santusita deva at their head. He started with the 'Law of good action' and its result (Kusala Dhamma); bad action and its result (Akusala Dhamma); Neutral or amoral or indeterminate action; (Abyakata Dhamma) teaching round the clock, like the river of the sky flowing continuously, for the duration of the lent or vassa.

Jika menurut anda vassa ke-7 Sang Buddha bukan di Tavatimsa, di manakah sebetulnya Buddha bervassa? 
Di Nikaya mana dituliskan?
Monggo....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 03 April 2013, 06:08:36 PM
Sebelumnya gw jelaskan dulu bahwa gw not studied (all) buddhist texts for a living, jadi jika sudah ada 'orang pintar' yang meringkasnya dan dia diyakini kompeten di kalangan buddhist sendiri sebagai Tipitakadhara maka cukuplah itu sebagai acuan gw.  Orang itu adalah Mingun Sayadaw, yang merangkum The Great Chronicle of Buddhas dan diterbitkan DC dengan judul RAPB.

Beliau menulis di buku III:
Chapter 25
KEEPING THE 7th. VASSA AND PREACHING THE ABHIDHAMMA AT TAVATIMSA.

Having established Ankura and Indaka devas in the Fruition stage of Sotapatti, the Tathagata continued to stay on to keep up the 7th. Vassa sitting crossed-legged on the throne of Sakka in Tavatimsa and preached the Abhidhamma, day and night, to all those devas from ten thousand world systems, who rallied round the Tathagata, with Santusita deva at their head. He started with the 'Law of good action' and its result (Kusala Dhamma); bad action and its result (Akusala Dhamma); Neutral or amoral or indeterminate action; (Abyakata Dhamma) teaching round the clock, like the river of the sky flowing continuously, for the duration of the lent or vassa.

Jika menurut anda vassa ke-7 Sang Buddha bukan di Tavatimsa, di manakah sebetulnya Buddha bervassa? 
Di Nikaya mana dituliskan?
Monggo....

Tipitakadhara Mingun Sayadaw menghapalkan seluruh Nikaya plus kitab komentar, dan rangkumannya itu disusun berdasarkan Nikaya+Komentar. tapi Nikaya2 sama sekali tidak mencantumkan episode Sang Buddha bervassa di Tavatimsa, jadi bisa dipastikan kisah ini berasal dari non Nikaya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 03 April 2013, 07:08:53 PM
Kalau ditinjau dari sejarah, Abhidharma mulai masuk dalam perlombaan sekitar 200 tahun mahaparinirvana. Permasalahannya adalah ontology (filosofi tentang eksistensi) yang kurang 'memuaskan' dari sutta/sutra dan vinaya.

Sthaviravada dan sub-alirannya kebanyakan mengembangkan dan menekankan Abhidharma sebagai basis doktrinnya, sebaliknya sementara beberapa sub-aliran Mahasanghika juga memiliki Abhidharma -bertentangan dengan catatan Dipavamsa Theravada yang mengatakan Mahasanghika tidak memiliki Abhidharma- secara general tidak dianggap sebagai 'kanonik', bahkan aliran-aliran tertentu seperti Sautrantika, menolak sepenuhnya Abhidharma. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 03 April 2013, 07:21:55 PM
Spoiler: ShowHide

"Baiklah, brahamani, karena aku tidak dapat membujuk kalian ketika Aku mengatakan: ‘Cukup, Vepacitti, biarkanlah demikian. Jangan menanyakan hal itu kepadaku.’ Oleh karena itu aku akan menjawabmu. Dengarkanlah dan tanggung sendiri risikonya."

Kalau menurut pandangan Buddhis mayoritas sekarang ini (boleh langsung disurvey kalau ga percaya), rata-rata berpikir bahwa sejarah Buddhisme itu dimulai dari sangha yang dipimpin Buddha langsung, lalu terpecah menjadi dua: Theravada dan Mahayana. Anggapan ini adalah sangat tepat, maksudnya sangat tepat kalau dibilang ngaco. Kita bahas sekilas dan kulitnya dulu.


Theravada.
Pada saat konsili ke tiga, pandangan-pandangan benar dirumuskan oleh Moggalliputta Tissa dan dituangkan dalam katthavatthu. Rumusan ini menyebutkan Mahasanghika, Sarvastivada, dan Samittiya sebagai berpandangan salah. Di lain pihak, Mahasanghika menamakan kelompok Moggaliputta Tissa ini sebagai Vibhajyavāda ("pandangan analisa") dan merupakan salah satu dari 3 cabang perpecahan (Mahasanghika, Sthaviravada, Vibhajyavada). 

Vibhajyavada (yang menurut mereka sendiri adalah sebetulnya identik dengan Sthaviravada), terbagi dalam 4 kelompok, yang salah satunya, Tāmraparnīya, berkembang di Srilanka, dan kemudian dikenal dengan nama Theravada.


Mahayana.
Mahayana ini jauh lebih menarik sebab bahkan Mahayana awal pun pandangannya berbeda dengan Mahayana yang kita kenal sekarang. Teks-teks awal "Mahayana" muncul sekitar abad 1 sebelum masehi, dan istilah Mahayana merujuk pada jalan yang ditempuh oleh Sidharta Gautama, bukan merujuk pada sekte. Penggunaannya sebagai sekte baru terjadi sekitar abad 1 - 2 masehi, di mana sebagian kelompok yang memakai literatur "Mahayana" ini merujuk sekte Buddhis awal sebagai "Hinayana", untuk membedakan. Namun ini pun masih tidak jelas, karena ada juga sebagian sekte Buddhis awal yang mengadopsi karya-karya "Mahayana" ini.

---

Jadi secara sekilas, kita bisa lihat Theravada muncul sekitar abad 3 sebelum masehi, dan Mahayana sekitar abad 1 masehi. Apa yang terjadi selama 3 abad antara jaman Sang Buddha (abad 6 sebelum masehi) sampai munculnya Theravada, inilah yang menjadi fokus pembicaraan jika kita bahas Buddhisme awal.




"Sungguh indah, Yang Mulia Kutu, sungguh menakjubkan! Bagaikan seseorang yang menegakkan apa yang terjatuh, atau menunjukkan jalan bagi ia yang tersesat, atau menyalakan pelita di dalam gelap, sehingga mereka yang memiliki mata dapat melihat apa yang ada di sana. Demikian pula Yang Mulia Kutu telah membabarkan Buddhisme pra-sektarian yang mengguncang iman dalam berbagai cara."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 03 April 2013, 07:25:25 PM
Perlu dibedakan istilah Abhidhamma tidak sama dengan Abhidharma dan tidak mengacu kepada 'barang' yang sama.

Abhidhamma adalah istilah untuk himpunan Pitaka yang ketiga dari canon Pali milik Theravada, sedangkan Abhidharma untuk pitaka yang ketiga dari kitab non Pali (non Theravada, untuk memudahkan definisi sebut saja Tripitaka Mahayana).

Jadi menyebut abhidharma di atas merujuk kepada abhidharma yang bukan Theravada.  Demikian agar pembaca tidak salah mengartikan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 03 April 2013, 07:32:40 PM
Tipitakadhara Mingun Sayadaw menghapalkan seluruh Nikaya plus kitab komentar, dan rangkumannya itu disusun berdasarkan Nikaya+Komentar. tapi Nikaya2 sama sekali tidak mencantumkan episode Sang Buddha bervassa di Tavatimsa, jadi bisa dipastikan kisah ini berasal dari non Nikaya

Betul sekali.

Lantas apakah bisa dibuktikan bahwa vassa ke-7 Sang Buddha bukan di Tavatimsa seperti yang anda katakan sebelumnya?
Dutiyampi:
=> Lantas Nikaya mana yang bisa membantah soal vassa ke-7 di Tavatimsa ini?
      Nikaya mana yang menyebutkan di tempat lain?

Kalau Nikaya tidak bisa menyebutkan, mungkin saja komentar yang menyebutkan vassa ke-7 di Tavatimsa itu benar.  Sama seperti banyak hal  lain dalam sutta / nikaya yang diperjelas oleh komentarnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 03 April 2013, 09:21:29 PM
Masalahnya hanya tradisi Theravada yang menyatakan Sang Buddha pada vassa ke-7 bervassa di Tavatimsa dan mengajarkan Abhidhamma.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 03 April 2013, 10:44:23 PM
Betul sekali.

Lantas apakah bisa dibuktikan bahwa vassa ke-7 Sang Buddha bukan di Tavatimsa seperti yang anda katakan sebelumnya?
Dutiyampi:
=> Lantas Nikaya mana yang bisa membantah soal vassa ke-7 di Tavatimsa ini?
      Nikaya mana yang menyebutkan di tempat lain?

Kalau Nikaya tidak bisa menyebutkan, mungkin saja komentar yang menyebutkan vassa ke-7 di Tavatimsa itu benar.  Sama seperti banyak hal  lain dalam sutta / nikaya yang diperjelas oleh komentarnya.

saya tidak berani mengatakan bahwa kisah itu benar atau tidak benar tanpa adanya data yg mendukung. tapi yg menjadi keanehan bagi saya adalah bahwa bahkan episode Sang Buddha mengunjungi Yakkha saja tercatat dalam Nikaya, tetapi kejadian penting pembabaran Abhidhamma kenapa sama sekali tidak ada petunjuk sama sekali dalam Nikaya, bahkan secara implisit pun tidak.

Nikaya disusun pada saat Konsili pertama walaupun tidak secara tertulis dan namanya juga mengalami perubahan, namun isinya tetap sama. Adalah lucu jika mengharapkan Nikaya mencatat suatu bantahan atas suatu peristiwa yg baru akan dikarang ratusan tahun kemudian.

Terlebih lagi, Nikaya mencatat khotbah2 yg dibabarkan oleh Sang Buddha, bukan mencatat apa yg tidak dibabarkan oleh Sang Buddha. Nikaya mencatat apa yg terjadi pada saat suatu khotbah dibabarkan, bukan mencatat apa yg tidak terjadi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 03 April 2013, 11:35:55 PM
mungkin jawaban yang diinginkan, dari tahun pertama sampai ke-45 dibawah apakah rata2 semuanya ada sutta atau vinaya yang berhubungan dengan masing2 tahun atau range tahun itu. ataukah ada kontradiksi di sutta vinaya yang menyebutkan tahun ke-7 Sang Buddha ada di tempat lain.
http://www.buddhanet.net/bud_lt17.htm

sebenernya peristiwa sebesar itu bisa keluputan dari sutta vinaya itu sudah merupakan tanda tanya besar...

di early buddhism juga banyak sekte2 lain yang mengarang abhidhamma dan mereka mencantumkan nama pengarangnya, bukan dari Sang Buddha. sampai hari ini abhidhamma versi theravada dan sarvastivada masih utuh. abhidhamma2 itu juga berumur kurang lebih sama yaitu abad 3-5 sebelum masehi. dari sekian banyak versi abhidhamma itu isinya berbeda2 satu dengan yang lain. ini berbeda dengan sutta, dimana setiap sekte2 awal itu masing2 suttanya mirip satu dengan yang lainnya, bahkan untuk sutta2 yang "tua" itu persis sama. jelas ini artinya abhidhamma itu adalah karangan belakangan...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 04 April 2013, 01:27:20 AM
saya tidak berani mengatakan bahwa kisah itu benar atau tidak benar tanpa adanya data yg mendukung. tapi yg menjadi keanehan bagi saya adalah bahwa bahkan episode Sang Buddha mengunjungi Yakkha saja tercatat dalam Nikaya, tetapi kejadian penting pembabaran Abhidhamma kenapa sama sekali tidak ada petunjuk sama sekali dalam Nikaya, bahkan secara implisit pun tidak.

Kalau dikatakan tidak ada dalam nikaya manapun tidak benar juga. Ada dalam Khuddaka Nikaya kan, khususnya di Jataka dan Dhammapada Attakatha?  Tapi yang dimasalahkan buat sebagian orang adalah, menurut beberapa scholars KN termasuk tambahan belakangan.
The Buddha spent three months in Tāvatimsa, preaching all the time, seated on Sakka's throne, the Pandukambalasilāsana, at the foot of the Pāricchattaka tree. Eighty crores of devas attained to a knowledge of the truth. This was in the seventh year after his Enlightenment (J.iv.265; DhA.iii.216f; BuA. p.3). It seems to have been the frequent custom of ascetics, possessed of iddhi-power, to spend the afternoon in Tāvatimsa (E.g., Nārada, J.vi.392; and Kāladevala, J.i.54).

Kalau hanya memakai asumsi, bisa saja orang berasumsi bahwa tidak tercatat di Nikaya karena tidak ada bhikkhu (manusia) yang ikut hadir bersama Buddha mengikuti khotbah di Tavatimsa.  Sedangkan sutta2 yang Nikaya kan dihadiri oleh bhikkhu sebagai pendengar atau peserta.


Quote
Nikaya disusun pada saat Konsili pertama walaupun tidak secara tertulis dan namanya juga mengalami perubahan, namun isinya tetap sama. Adalah lucu jika mengharapkan Nikaya mencatat suatu bantahan atas suatu peristiwa yg baru akan dikarang ratusan tahun kemudian.

Terlebih lagi, Nikaya mencatat khotbah2 yg dibabarkan oleh Sang Buddha, bukan mencatat apa yg tidak dibabarkan oleh Sang Buddha. Nikaya mencatat apa yg terjadi pada saat suatu khotbah dibabarkan, bukan mencatat apa yg tidak terjadi.

Gw tidak minta Nikaya yang membantah suatu peristiwa, cukup Nikaya yg menyebutkan di mana vassa ke-7 sebenarnya.  Kalau ini disebutkan dalam Nikaya, maka otomatis membantah komentar yg menyebutkan di Tavatimsa. As simple as that.

Selama tidak ada petunjuk vassa di tempat lain (dalam Nikaya), maka komentar yang menyebutkan vassa di Tavatimsa itu bisa saja benar.  Dan anda tetap tidak bisa mengklaim ini tidak benar hanya berdasarkan asumsi koq peristiwa besar tidak masuk Nikaya. ==> Kalau hanya memakai asumsi, bisa saja orang berasumsi bahwa tidak tercatat di Nikaya karena tidak ada bhikkhu (manusia) yang ikut hadir bersama Buddha mengikuti khotbah di Tavatimsa.  Sedangkan sutta2 yang Nikaya kan dihadiri oleh bhikkhu sebagai pendengar atau peserta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 04 April 2013, 07:01:37 AM
Kalau dikatakan tidak ada dalam nikaya manapun tidak benar juga. Ada dalam Khuddaka Nikaya kan, khususnya di Jataka dan Dhammapada Attakatha?  Tapi yang dimasalahkan buat sebagian orang adalah, menurut beberapa scholars KN termasuk tambahan belakangan.
The Buddha spent three months in Tāvatimsa, preaching all the time, seated on Sakka's throne, the Pandukambalasilāsana, at the foot of the Pāricchattaka tree. Eighty crores of devas attained to a knowledge of the truth. This was in the seventh year after his Enlightenment (J.iv.265; DhA.iii.216f; BuA. p.3). It seems to have been the frequent custom of ascetics, possessed of iddhi-power, to spend the afternoon in Tāvatimsa (E.g., Nārada, J.vi.392; and Kāladevala, J.i.54).


Atthakatha, baik Jataka Atthakatha maupun Dhammapada Atthakatha tidak termasuk Nikaya.

Quote
Kalau hanya memakai asumsi, bisa saja orang berasumsi bahwa tidak tercatat di Nikaya karena tidak ada bhikkhu (manusia) yang ikut hadir bersama Buddha mengikuti khotbah di Tavatimsa.  Sedangkan sutta2 yang Nikaya kan dihadiri oleh bhikkhu sebagai pendengar atau peserta.

Ketika Sang Buddha pergi ke alam Brahma bertemu dengan Brahma Baka, di sana Sang Buddha juga solo tanpa didampingi oleh bhikkhu (manusia). kok bisa tercatat dalam sutta? Dan lagi, ada kontrak antara Ananda dan Sang Buddha yaitu bahwa khotbah apa pun yg dibabarkan ketika Ananda tidak berada di TKP maka Sang Buddha harus mengulanginya kepada Ananda.

Quote
Gw tidak minta Nikaya yang membantah suatu peristiwa, cukup Nikaya yg menyebutkan di mana vassa ke-7 sebenarnya.  Kalau ini disebutkan dalam Nikaya, maka otomatis membantah komentar yg menyebutkan di Tavatimsa. As simple as that.


Sutta tidak mencatat waktu pembabaran, hanya berisi informasi tempat. Sehingga menjadi sulit sekali untuk menyusun ulang sutta-sutta itu secara kronologis, jadi yg bisa dilakukan oleh para komentator pun tidak persis akurat.

Quote
Selama tidak ada petunjuk vassa di tempat lain (dalam Nikaya), maka komentar yang menyebutkan vassa di Tavatimsa itu bisa saja benar.  Dan anda tetap tidak bisa mengklaim ini tidak benar hanya berdasarkan asumsi koq peristiwa besar tidak masuk Nikaya. ==> Kalau hanya memakai asumsi, bisa saja orang berasumsi bahwa tidak tercatat di Nikaya karena tidak ada bhikkhu (manusia) yang ikut hadir bersama Buddha mengikuti khotbah di Tavatimsa.  Sedangkan sutta2 yang Nikaya kan dihadiri oleh bhikkhu sebagai pendengar atau peserta.


ya tapi kenapa anda menggunakan "bisa saja benar" yg menyiratkan bahwa hal itu juga "bisa saja salah" dan keduanya memiliki peluang yg sama. kalau posisi "tidak tercatat" hanya berdasarkan pada argumen "tidak ada bhikkhu (manusia) yg hadir", ini sungguh lemah, karena ada banyak sutta lain di mana sutta itu dibabarkan tanpa kehadiran bhikkhu lain juga.

dan tuduhan bahwa saya mengklaim ini itu sebaiknya tidak dilakukan, karena di sini saya tidak mengajak anda untuk mengikuti opini saya, dan bahwa saya juga terbuka pada bantahan atas pendapat saya sehingga saya bisa meluruskan pandangan saya jika terbukti keliru.

_/\_

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 04 April 2013, 07:56:24 AM
Jika menurut tradisi theravada, maka semua pernyataan bro sanjiva benar. Jika menurut tradisi mahayana yah jadi salah.

Abhidhamma yah dianggap SALAH oleh sarvastivada, isinya tidak valid, yang benar abhidhamma milik Sarvastivada. Demikian juga Abhidhamma dianggap SALAH oleh Mahasanghika dst.

Masing2 sekte mendevelop abhidhamma masing2 yg merupakan ujung tombak dan puncak tertinggi dari interpretasi dan pengembangan sudut pandang masing-masing sekte. Lalu masing2 bisa menambahkan cerita latar belakang "pembenaran" yang dibentuk sekian lama yang biasanya dienkapsulasi dalam bentuk komentar dan kisah2 penjelasan latar belakang.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 08:16:01 AM
Perlu dibedakan istilah Abhidhamma tidak sama dengan Abhidharma dan tidak mengacu kepada 'barang' yang sama.

Abhidhamma adalah istilah untuk himpunan Pitaka yang ketiga dari canon Pali milik Theravada, sedangkan Abhidharma untuk pitaka yang ketiga dari kitab non Pali (non Theravada, untuk memudahkan definisi sebut saja Tripitaka Mahayana).

Jadi menyebut abhidharma di atas merujuk kepada abhidharma yang bukan Theravada.  Demikian agar pembaca tidak salah mengartikan.
Hanya masalah bahasa, karena yang beredar pertama kali memang Abhidharma-abhidharma (berbahasa sanskrit). Itu yang muncul 200 tahun mahaparinirvana. Kalau Abhidhamma (alias Abhidharma Theravada dalam Pali), itu munculnya setelah kelompok Tāmraparnīya dari Vibhajyavada berkembang di Srilanka, yang berarti Abhidhamma itu bahkan lebih muda 100 tahun lagi dibanding Abhidharma.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 04 April 2013, 08:30:01 AM
Ketika Sang Buddha pergi ke alam Brahma bertemu dengan Brahma Baka, di sana Sang Buddha juga solo tanpa didampingi oleh bhikkhu (manusia). kok bisa tercatat dalam sutta? Dan lagi, ada kontrak antara Ananda dan Sang Buddha yaitu bahwa khotbah apa pun yg dibabarkan ketika Ananda tidak berada di TKP maka Sang Buddha harus mengulanginya kepada Ananda.

Argumen anda (bold) salah menurut ini:

Bakabrahma Sutta
Relates the story of the Buddha's visit to Baka und the conversation between Baka und the Buddha on that occasion. The incidents of Baka's previous life are referred to but without detail (S.i.142 f). Cp. Brahmanimantika Sutta.

This sutta cannot be identical mit the Bakabrahma Sutta erwähnt in Theragāthā Commentary und quoted there in full (ii. 185 f). It is stated there that once when the Buddha was at Jetavana a certain Brahmā conceived the view that no monk or recluse could come to his world. The Buddha, aware of this, went to the Brahma world und stood in the air enveloped in flame.

He was followed by Moggallāna, Kassapa, Kappina und Anuruddha. Moggallāna asked the Brahmā if he still held the same view, to which he replied that he no longer thought that he was eternal. (This shows that the Brahmā of the story was most probably Baka.)

When the Buddha und his followers had departed, the Brahmā sent one of his retinue to Moggallāna to find out if there were other disciples of the Buddha as mighty as he. Moggallāna's answer was that there were many such (the sutta is given at S.i.144 ff., but there the name given is “Aparāditthi” Sutta).

Source : http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm (http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm)

Jadi ketika Buddha ke alam brahma dan bertemu Brahma Baka, diikuti juga oleh bhante Moggallana, Kassapa, Kappina, dan Anuruddha.  Thus bisa masuk ke dalam sutta / nikaya, seperti yg gw asumsikan sebelumnya.  Sedangkan ketika ke Tavatimsa tidak diikuti bhikkhu dan manusia.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 08:35:58 AM
mungkin jawaban yang diinginkan, dari tahun pertama sampai ke-45 dibawah apakah rata2 semuanya ada sutta atau vinaya yang berhubungan dengan masing2 tahun atau range tahun itu. ataukah ada kontradiksi di sutta vinaya yang menyebutkan tahun ke-7 Sang Buddha ada di tempat lain.
http://www.buddhanet.net/bud_lt17.htm

sebenernya peristiwa sebesar itu bisa keluputan dari sutta vinaya itu sudah merupakan tanda tanya besar...

di early buddhism juga banyak sekte2 lain yang mengarang abhidhamma dan mereka mencantumkan nama pengarangnya, bukan dari Sang Buddha. sampai hari ini abhidhamma versi theravada dan sarvastivada masih utuh. abhidhamma2 itu juga berumur kurang lebih sama yaitu abad 3-5 sebelum masehi. dari sekian banyak versi abhidhamma itu isinya berbeda2 satu dengan yang lain. ini berbeda dengan sutta, dimana setiap sekte2 awal itu masing2 suttanya mirip satu dengan yang lainnya, bahkan untuk sutta2 yang "tua" itu persis sama. jelas ini artinya abhidhamma itu adalah karangan belakangan...
Betul, sebetulnya Abhidharma adalah usaha untuk merangkum secara sistematis apa yang ada di sutta-vinaya, namun tentu saja dengan interpretasi masing-masing yang berbeda, akhirnya timbullah aliran yang berbeda. Pada masa awal perpecahan, 4 Nikaya yang dipakai hampir sama persis satu sama lain, tidak ada pertentangan masalah ini. Vinaya juga hanya berbeda hal-hal minor. Vinaya ini juga menarik karena kalau klaim dari Sthavira, seolah-olah Mahasanghika mau menyunat vinaya; sementara dari Mahasanghika klaim bahwa Sthavira yang menambah-nambah vinaya. Namun kalau diteliti dari strukturnya, ternyata vinaya yang dipertahankan Mahasanghika ini yang lebih tua, dan pengelompokannya belum diubah. Meski demikian, penambahan vinaya Sthavira ini juga sepertinya bukan hal yang buruk, sebab bahkan Mahayana yang berkembang di China (yang adalah turunan dari turunannya Mahasanghika) justru mengadopsi vinaya Sarvastivada dan Dharmaguptaka yang adalah turunan Sthavira.

Balik lagi, yang paling kontras antar aliran hanyalah Abhidharmanya saja. Semakin ke belakang, semakin seru legenda yang berkembang. Seperti kita tahu ada legenda pengajaran di Tavatimsa, juga ada legenda perpustakaan alam naga, bahkan ada yang wawancara Maitreya. Semua mengembangkan alirannya sendiri.

Jadi kembali ke masing-masing deh, kalau memang kita mau pegang satu aliran secara erat, nyaman, menumbuhkan saddha, maka tutup matalah terhadap sumber dari aliran lain. Tapi kalau mau menyelidiki kebenaran, ada baiknya melihat seluruh sumber secara objektif, dan siap-siap saddha berantakan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 08:43:57 AM
Argumen anda (bold) salah menurut ini:

Bakabrahma Sutta
Relates the story of the Buddha's visit to Baka und the conversation between Baka und the Buddha on that occasion. The incidents of Baka's previous life are referred to but without detail (S.i.142 f). Cp. Brahmanimantika Sutta.

This sutta cannot be identical mit the Bakabrahma Sutta erwähnt in Theragāthā Commentary und quoted there in full (ii. 185 f). It is stated there that once when the Buddha was at Jetavana a certain Brahmā conceived the view that no monk or recluse could come to his world. The Buddha, aware of this, went to the Brahma world und stood in the air enveloped in flame.

He was followed by Moggallāna, Kassapa, Kappina und Anuruddha. Moggallāna asked the Brahmā if he still held the same view, to which he replied that he no longer thought that he was eternal. (This shows that the Brahmā of the story was most probably Baka.)

When the Buddha und his followers had departed, the Brahmā sent one of his retinue to Moggallāna to find out if there were other disciples of the Buddha as mighty as he. Moggallāna's answer was that there were many such (the sutta is given at S.i.144 ff., but there the name given is “Aparāditthi” Sutta).

Source : http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm (http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm)

Jadi ketika Buddha ke alam brahma dan bertemu Brahma Baka, diikuti juga oleh bhante Moggallana, Kassapa, Kappina, dan Anuruddha.  Thus bisa masuk ke dalam sutta / nikaya, seperti yg gw asumsikan sebelumnya.  Sedangkan ketika ke Tavatimsa tidak diikuti bhikkhu dan manusia.
Bukannya justru dibilang itu brahma yang berbeda?
Dalam Brahmanimantanikasutta, Buddha menceritakan kunjungannya kepada para bhikkhu. Waktu Buddha mengunjungi Brahma Baka, ia sedang ada di hutan Subhaga. Sedangkan untuk Brahma yang dikunjungi Buddha dan 4 siswa, itu sewaktu berdiam di Jetavana.

Kisahnya berbeda, pandangan salahnya berbeda, waktunya pun berbeda, jadi memang itu 2 kejadian berbeda.


Ga cuma ke alam lain, bahkan di alam manusiapun seperti waktu Buddha sengaja pergi solo dan bertemu dengan Pukkusati, juga tercatat dalam sutta, padahal Pukkusatinya langsung meninggal, jadi tidak mungkin cerita-cerita. Jadi memang Buddha tidak melanggar kontrak dengan Ananda.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 04 April 2013, 08:45:33 AM
Argumen anda (bold) salah menurut ini:

Bakabrahma Sutta
Relates the story of the Buddha's visit to Baka und the conversation between Baka und the Buddha on that occasion. The incidents of Baka's previous life are referred to but without detail (S.i.142 f). Cp. Brahmanimantika Sutta.

This sutta cannot be identical mit the Bakabrahma Sutta erwähnt in Theragāthā Commentary und quoted there in full (ii. 185 f). It is stated there that once when the Buddha was at Jetavana a certain Brahmā conceived the view that no monk or recluse could come to his world. The Buddha, aware of this, went to the Brahma world und stood in the air enveloped in flame.

He was followed by Moggallāna, Kassapa, Kappina und Anuruddha. Moggallāna asked the Brahmā if he still held the same view, to which he replied that he no longer thought that he was eternal. (This shows that the Brahmā of the story was most probably Baka.)

When the Buddha und his followers had departed, the Brahmā sent one of his retinue to Moggallāna to find out if there were other disciples of the Buddha as mighty as he. Moggallāna's answer was that there were many such (the sutta is given at S.i.144 ff., but there the name given is “Aparāditthi” Sutta).

Source : http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm (http://www.palikanon.com/namen/b/bakabrahma_sutta.htm)

Jadi ketika Buddha ke alam brahma dan bertemu Brahma Baka, diikuti juga oleh bhante Moggallana, Kassapa, Kappina, dan Anuruddha.  Thus bisa masuk ke dalam sutta / nikaya, seperti yg gw asumsikan sebelumnya.  Sedangkan ketika ke Tavatimsa tidak diikuti bhikkhu dan manusia.

daripada menuruti pendapat orang lain, kenapa anda tidak membaca sendiri sutta-nya? dengan demikian anda bisa menilai sendiri untuk anda, tanpa dipengaruhi oleh pendapat orang lain.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 04 April 2013, 09:33:36 AM
...bahkan Mahayana yang berkembang di China (yang adalah turunan dari turunannya Mahasanghika) justru mengadopsi vinaya Sarvastivada dan Dharmaguptaka yang adalah turunan Sthavira.
detour dikit nih. karena ini thread anda, saya pikir sah2 aja kalo saya belokin....

dalam perdebatan mengenai kebangkitan kembali bhikkhuni, tidak ada yang mempermasalahkan penahbisan bhikkhuni dengan memakai bhikkhuni dari aliran lain... padahal saya dah tungguin.

bagaimana pendapat anda mengenai penahbisan bhikkhuni yang dilakukan dengan dua sisi, pertama dengan bhikhuni/biksuni yang bervinaya dharmagupta, kedua dengan bhikkhu theravada? sah, haram, tercemar, gak sah, valid?


Balik lagi, yang paling kontras antar aliran hanyalah Abhidharmanya saja. Semakin ke belakang, semakin seru legenda yang berkembang. Seperti kita tahu ada legenda pengajaran di Tavatimsa, juga ada legenda perpustakaan alam naga, bahkan ada yang wawancara Maitreya. Semua mengembangkan alirannya sendiri.
secara timeline dokumen2 juga terlihat jelas...

abhidhamma muncul secara tertulis di konsili srilanka. tidak ada bukti dokumen2 ataupun catatan lain sebelum masa itu.
secara "kebetulan" semua catatan dan "bukti2" yang menyebutkan tentang abhidhamma ternyata dikarang dan digubah
pada masa yang sama atau sesudahnya oleh pihak yang sama, mulai dari atthakattha2 keluaran srilanka, kitab dipavamsa
dan mahavamsa keluaran srilanka...

menyebutkan atau mengquote dokumen2 itu sebagai bukti sama halnya dengan menyatakan bahwa bukti2 keberadaan
lord voldemort ada di buku harry potter 1 - 7...

tambahan lagi, di mata saya kredibilitas kitab "bukti" itu jatuh setelah membaca isinya yang mengejutkan (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18007.0)...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 10:32:09 AM
detour dikit nih. karena ini thread anda, saya pikir sah2 aja kalo saya belokin....
;D betul. Saya ulangi aturannya: "bebas ngobrol ke mana-mana dan topik apapun."

Quote
dalam perdebatan mengenai kebangkitan kembali bhikkhuni, tidak ada yang mempermasalahkan penahbisan bhikkhuni dengan memakai bhikkhuni dari aliran lain... padahal saya dah tungguin.
Bukan hanya tidak mempermasalahkan, kalau saya justru sangat dukung kalau ada sekelompok wanita mau menjalankan kehidupan suci berdasarkan dhamma-vinaya. Walaupun bukan penahbisan penuh seperti di vinaya, bisa saja dilakukan dengan cara lain, istilah lain, tanpa perlu klaim status sebagai "bhikkhuni" apalagi aliran tertentu (yang sudah ada pakemnya sendiri).

Yang jadi pertanyaan buat saya, kalau memang niatnya menjalankan kehidupan petapa, kenapa harus mati-matian dapat status 'bhikkhuni aliran tertentu'? Karena saya pribadi kalau memang terkendala demikian, walaupun harus dapat julukan 'Nigantha' pun tidak masalah, yang penting saya jalankan dhamma-vinaya yang saya yakini dengan baik.


Quote
bagaimana pendapat anda mengenai penahbisan bhikkhuni yang dilakukan dengan dua sisi, pertama dengan bhikhuni/biksuni yang bervinaya dharmagupta, kedua dengan bhikkhu theravada? sah, haram, tercemar, gak sah, valid?
Jika seseorang telah ditahbiskan dalam dhamma-vinaya yang berbeda, maka ketika ingin ditahbiskan dalam dhamma-vinaya Theravada, seharusnya mengalami masa percobaan 4 bulan, lalu bhikkhu dan bhikkhuni menilainya apakah layak ditahbiskan. Tapi karena sangha bhikkhuni Theravada tidak ada, lalu siapa yang mau mengamatinya dalam masa percobaan? Para bhikkhu? ;D


Quote
secara timeline dokumen2 juga terlihat jelas...

abhidhamma muncul secara tertulis di konsili srilanka. tidak ada bukti dokumen2 ataupun catatan lain sebelum masa itu.
secara "kebetulan" semua catatan dan "bukti2" yang menyebutkan tentang abhidhamma ternyata dikarang dan digubah
pada masa yang sama atau sesudahnya oleh pihak yang sama, mulai dari atthakattha2 keluaran srilanka, kitab dipavamsa
dan mahavamsa keluaran srilanka...

menyebutkan atau mengquote dokumen2 itu sebagai bukti sama halnya dengan menyatakan bahwa bukti2 keberadaan
lord voldemort ada di buku harry potter 1 - 7...

tambahan lagi, di mata saya kredibilitas kitab "bukti" itu jatuh setelah membaca isinya yang mengejutkan (http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=18007.0)...
... dan bukti eksistensi ring of power ada di buku Lord of the Ring.

Mahavamsa ini juga memang sudah beberapa kali dibahas dan sungguh justifikasi dangkal dari seorang arahant yang menyatakan bunuh orang tak bermoral tidak dianggap membunuh, dan bunuh buddhis tak bermoral nilainya setengah. Padahal kalau dari Dakkhinavibhangasutta, nilai berdana pada orang tidak bermoral saja lebih tinggi dari binatang dan bisa berbuah 1000 kali lipat.

Omong-omong update legenda berdasarkan penambahan, ini juga terjadi ketika sutra-sutra Mahayana telah banyak sekali menjamur di sekitar abad 1 SM. Kalau menyisipkan 1 atau 2 ke dalam nikaya, mungkin masih tidak ketahuan. Tapi kalau sudah ratusan kitab, tentu perlu penyesuaian sejarah. Maka beredar lagi legenda bahwa pada 3 bulan Mahaparinirvana, Mahakasyapa menggelar konsili hinayana di mana Upali mengulang vinaya, Ananda mengulang sutra, dan Anurrudha mengulang Abhidharma. (Perhatikan versi 1.1 sudah ada abhidharmanya, sedangkan di versi beta, hanya ada sutra-vinaya.) Dan pada saat bersamaan, ada konsili tandingan, konsili mahayana, yang lebih mulia, lebih dalam, yang digelar oleh Samantabhadra di mana Maitreya mengulang vinaya Mahayana, Vajrapani mengulang sutra Mahayana, dan Manjusri mengulang abhidharma Mahayana.

Belum lagi legenda pemutaran 3 roda dharma yang sebetulnya membuat saya ingin membuat legenda yang ke empat. Maksudnya supaya jangan dhamma seperti bajaj yang punya 3 roda, minimal kancil yang beroda 4. Smoga orang-orang kreatif di masa depan bisa membuat legenda sampai 10 roda dharma, biar jadi tronton, atau sekalian traktor trailer 18 roda.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 04 April 2013, 10:36:48 AM
Secara pribadi saya udh beberapa kali terguncang saddha saya. Dulu pertama kali mengenal ajaran Buddha dari sebuah vihara Mahayana di kota saya, jd mengenal ajaran Mahayana dan sutra2nya pada awalnya. Kemudian terguncang saddha-nya krn baca2 buku Theravada dan sutta Pali yg ternyata saya lbh condong ke aliran Theravada. Mempelajari sedikit Abhidhamma. Setelah mempelajari lbh banyak karya2 para bhikkhu scholar, tambah terguncang lg saddha saya krn ternyata baik Mahayana maupun Theravada itu sektarian. Sekarang maunya mempelajari Buddhisme pra-sektarian spt yg diajarkan Sang Buddha.

Pertanyaannya, apakah mungkin kita mempelajari/mengetahui Buddhisme pra-sektarian dari 4 Nikaya Pali?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 10:49:01 AM
Secara pribadi saya udh beberapa kali terguncang saddha saya. Dulu pertama kali mengenal ajaran Buddha dari sebuah vihara Mahayana di kota saya, jd mengenal ajaran Mahayana dan sutra2nya pada awalnya. Kemudian terguncang saddha-nya krn baca2 buku Theravada dan sutta Pali yg ternyata saya lbh condong ke aliran Theravada. Mempelajari sedikit Abhidhamma. Setelah mempelajari lbh banyak karya2 para bhikkhu scholar, tambah terguncang lg saddha saya krn ternyata baik Mahayana maupun Theravada itu sektarian. Sekarang maunya mempelajari Buddhisme pra-sektarian spt yg diajarkan Sang Buddha.

Pertanyaannya, apakah mungkin kita mempelajari/mengetahui Buddhisme pra-sektarian dari 4 Nikaya Pali?
Dari perbandingannya saja. Padanan 4 Nikaya yang masih bertahan itu 'kan Agama. Harusnya sebagian besar isinya masih banyak yang sama secara makna. Untuk mengetahui yang seasli-aslinya, saya pikir sih sudah tidak mungkin karena memang pada masa tradisi lisan sebelum perpecahan, tidak ada catatan-catatan yang bisa jadi rujukan. Tapi minimal jika kita fokus pada akarnya, bukan cabangnya yang sudah melebar jauh, minimal bisa didapatkan yang 'mendekati' pra-sektarian itu. Semoga.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 04 April 2013, 10:56:37 AM
Secara pribadi saya udh beberapa kali terguncang saddha saya. Dulu pertama kali mengenal ajaran Buddha dari sebuah vihara Mahayana di kota saya, jd mengenal ajaran Mahayana dan sutra2nya pada awalnya. Kemudian terguncang saddha-nya krn baca2 buku Theravada dan sutta Pali yg ternyata saya lbh condong ke aliran Theravada. Mempelajari sedikit Abhidhamma. Setelah mempelajari lbh banyak karya2 para bhikkhu scholar, tambah terguncang lg saddha saya krn ternyata baik Mahayana maupun Theravada itu sektarian. Sekarang maunya mempelajari Buddhisme pra-sektarian spt yg diajarkan Sang Buddha.

Pertanyaannya, apakah mungkin kita mempelajari/mengetahui Buddhisme pra-sektarian dari 4 Nikaya Pali?

4 Nikaya Pali setidaknya masih diakui oleh para scholar sebagai warisan sejak pra-sektarian. mungkin saja terdapat bumbu di sana sini, tapi merupakan sumber yg paling dekat dengan masa pra-sektarian.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 04 April 2013, 11:28:49 AM
kita bisa menggunakan 4 nikaya dari theravada dan sarvastivada sebagai acuan dan countercheck, yah secara yg surviving cuma itu ajah. tetap kritis dan berpikiran terbuka.

mempelajari sejarah juga akan bisa membantu membuka wawasan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 04 April 2013, 11:32:11 AM
Takutnya setelah mempelajari Buddhisme pra-sektarian, krn tdk puas atau hal lain, terguncang lg saddha-nya dan pindah agama... ;D

Kenapa semakin banyak mempelajari semakin tipis saddhanya? Tanya kenapa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 11:42:11 AM
Takutnya setelah mempelajari Buddhisme pra-sektarian, krn tdk puas atau hal lain, terguncang lg saddha-nya dan pindah agama... ;D

Kenapa semakin banyak mempelajari semakin tipis saddhanya? Tanya kenapa?
Saddha idealnya didapat karena kita memahami dan menembus sesuatu hal, bukan karena tertulis di kitab, 'kan? Jadi kalau kita menjalankan apa yang ada, membuktikan sendiri kebenarannya, yah ga mungkin lagi berpindah.

Makin banyak belajar bukan makin tipis saddhanya, tapi makin luas sudut pandang dan pola pikirnya, akibatnya tidak sembarangan menerima sesuatu sebagai kebenaran, tapi diselidiki dulu dari semua sisi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: juli wu on 04 April 2013, 12:15:02 PM
Saddha idealnya didapat karena kita memahami dan menembus sesuatu hal, bukan karena tertulis di kitab, 'kan? Jadi kalau kita menjalankan apa yang ada, membuktikan sendiri kebenarannya, yah ga mungkin lagi berpindah.

Makin banyak belajar bukan makin tipis saddhanya, tapi makin luas sudut pandang dan pola pikirnya, akibatnya tidak sembarangan menerima sesuatu sebagai kebenaran, tapi diselidiki dulu dari semua sisi.
jika sudah tau mana yg benar n salah,trus gak bisa di laksanakan krn lingkungan gak memungkinkan,trus harus gaimana Ko KK,diam aja dengan pikirannya blm waktunya berbuah,atau menerapkan dgn resiko yg harus di terima,krn gak mungkin keluar dari lingkungan tersebut,atau gaimana,bosan terjerat dalam lingkaran laba2 yg berputar di sisi itu trus,thanks
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 01:08:31 PM
jika sudah tau mana yg benar n salah,trus gak bisa di laksanakan krn lingkungan gak memungkinkan,trus harus gaimana Ko KK,diam aja dengan pikirannya blm waktunya berbuah,atau menerapkan dgn resiko yg harus di terima,krn gak mungkin keluar dari lingkungan tersebut,atau gaimana,bosan terjerat dalam lingkaran laba2 yg berputar di sisi itu trus,thanks
Bukan diam saja, tapi diusahakan untuk keluar dari sana. Tapi kadang memang tidak bisa instant dan harus bersabar. Jangan ambil keputusan ekstrem juga, akan cenderung tidak bijaksana, apalagi kalau yang melandasinya adalah emosi.

Jadi teringat kisah Ajahn Chah yang mengajarkan dhamma ke nelayan, tidak langsung disuruh meninggalkan pekerjaan itu karena kalau ditinggalkan, otomatis tidak bisa hidup, tapi disarankan agar menangkap ikan secukupnya, dan sementara itu diajarkan cara membuat ramuan obat dari tumbuh2an. Berangsur-angsur alih profesi, lalu ditinggalkan sepenuhnya yang lama. Jadi bukan pasrah, bukan juga ekstrem. Diusahakan dan menunggu kesempatan datang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 04 April 2013, 01:33:20 PM
Dengan dasar apa kita meyakini 4 Nikaya awal itu berasal dari Buddha (atau setidak-nya siswa utama buddha) ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 01:37:49 PM
Dengan dasar apa kita meyakini 4 Nikaya awal itu berasal dari Buddha (atau setidak-nya siswa utama buddha) ?
Dengan dasar bahwa memang 4 Nikaya itu telah ada sebelum perpecahan, dan secara konsisten 4 Nikaya juga dianut oleh semua aliran-aliran Buddhis awal.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 04 April 2013, 01:54:09 PM
Dengan dasar bahwa memang 4 Nikaya itu telah ada sebelum perpecahan, dan secara konsisten 4 Nikaya juga dianut oleh semua aliran-aliran Buddhis awal.

itu kan kisah-nya... dari darimana kita meyakini isi 4 Nikaya itu berasal dari Buddha (dan siswa utama-nya) ?

Kalau cerita konsili ke-1, cerita konsili ke-2 dan bahkan cerita konsili ke-3... kita tahu-nya adalah pengulangan secara lisan...

Konsili ke-1 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)

Konsili ke-2 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)

Konsili ke-3 --> pengulangan Lisan (juga tidak ada bukti dokumentasi)

Baru mulai Konsili ke-4 --> ada dokumentasi-nya... Itupun kalau diakui adalah dokumentasi dari konsili ke-4... Dan kita sekarang-sekarang ini tahu-nya NIKAYA AWAL + NIKAYA TAMBAHAN + ABHIDHAMMA + JATAKA + LAIN-LAIN itu berasal dari konsili ke-4... BUKAN BEGITU ?

Dengan dasar apakah kita meyakini bahwa apa yang di-dokumentasi-kan di Konsili ke-4 itu adalah AJARAN BUDDHA ? (termasuk di dalam-nya 4 NIKAYA AWAL), kecuali ada yang mempunyai rekaman (audio atau video) hasil konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 04 April 2013, 02:06:39 PM
Bukan hanya tidak mempermasalahkan, kalau saya justru sangat dukung kalau ada sekelompok wanita mau menjalankan kehidupan suci berdasarkan dhamma-vinaya. Walaupun bukan penahbisan penuh seperti di vinaya, bisa saja dilakukan dengan cara lain, istilah lain, tanpa perlu klaim status sebagai "bhikkhuni" apalagi aliran tertentu (yang sudah ada pakemnya sendiri).

Yang jadi pertanyaan buat saya, kalau memang niatnya menjalankan kehidupan petapa, kenapa harus mati-matian dapat status 'bhikkhuni aliran tertentu'? Karena saya pribadi kalau memang terkendala demikian, walaupun harus dapat julukan 'Nigantha' pun tidak masalah, yang penting saya jalankan dhamma-vinaya yang saya yakini dengan baik.
kenapa harus aliran tertentu? ya setiap orang berbeda2, dan tentunya ada wanita yang lebih cocok dengan ajaran theravada.

saya melihatnya dari segi keadilan saja. kalau memang kebangkitan bhikkhuni itu mungkin dan bisa, apa salahnya memberi kesempatan pada wanita untuk mendapat kesempatan yang sama seperti pria untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhuni...

kalau dikatakan dhamma vinaya yang berbeda, aliran dharmagupta juga awalnya berasal dari cabang yang sama dengan theravada, dengan vinaya yang sama, yang artinya merupakan silsilah yang tidak terputus dari Buddha. jadi apa masalahnya?


Jika seseorang telah ditahbiskan dalam dhamma-vinaya yang berbeda, maka ketika ingin ditahbiskan dalam dhamma-vinaya Theravada, seharusnya mengalami masa percobaan 4 bulan, lalu bhikkhu dan bhikkhuni menilainya apakah layak ditahbiskan. Tapi karena sangha bhikkhuni Theravada tidak ada, lalu siapa yang mau mengamatinya dalam masa percobaan? Para bhikkhu? ;D
sikkhamānā selama dua tahun itu adalah perkembangan belakangan menurut beberapa skolar:
http://www.bhikkhuni.net/library/19458289-Bhikkhuni-Vinaya-Studies.pdf (http://www.bhikkhuni.net/library/19458289-Bhikkhuni-Vinaya-Studies.pdf) (bab 7)

lagipula, bagaimana halnya kalo si calon bhikkhuni menghabiskan 2 tahun masa percobaannya di kalangan bhikkhuni dharmagupta?
valid atau haram?


Omong-omong update legenda berdasarkan penambahan, ini juga terjadi ketika sutra-sutra Mahayana telah banyak sekali menjamur di sekitar abad 1 SM. Kalau menyisipkan 1 atau 2 ke dalam nikaya, mungkin masih tidak ketahuan. Tapi kalau sudah ratusan kitab, tentu perlu penyesuaian sejarah. Maka beredar lagi legenda bahwa pada 3 bulan Mahaparinirvana, Mahakasyapa menggelar konsili hinayana di mana Upali mengulang vinaya, Ananda mengulang sutra, dan Anurrudha mengulang Abhidharma. (Perhatikan versi 1.1 sudah ada abhidharmanya, sedangkan di versi beta, hanya ada sutra-vinaya.) Dan pada saat bersamaan, ada konsili tandingan, konsili mahayana, yang lebih mulia, lebih dalam, yang digelar oleh Samantabhadra di mana Maitreya mengulang vinaya Mahayana, Vajrapani mengulang sutra Mahayana, dan Manjusri mengulang abhidharma Mahayana.

Belum lagi legenda pemutaran 3 roda dharma yang sebetulnya membuat saya ingin membuat legenda yang ke empat. Maksudnya supaya jangan dhamma seperti bajaj yang punya 3 roda, minimal kancil yang beroda 4. Smoga orang-orang kreatif di masa depan bisa membuat legenda sampai 10 roda dharma, biar jadi tronton, atau sekalian traktor trailer 18 roda.
yah begitulah... terlalu mencolok untuk sutra2 mahayana...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 04 April 2013, 02:12:08 PM
itu kan kisah-nya... dari darimana kita meyakini isi 4 Nikaya itu berasal dari Buddha (dan siswa utama-nya) ?

Kalau cerita konsili ke-1, cerita konsili ke-2 dan bahkan cerita konsili ke-3... kita tahu-nya adalah pengulangan secara lisan...

Konsili ke-1 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)

Konsili ke-2 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)

Konsili ke-3 --> pengulangan Lisan (juga tidak ada bukti dokumentasi)

Baru mulai Konsili ke-4 --> ada dokumentasi-nya... Itupun kalau diakui adalah dokumentasi dari konsili ke-4... Dan kita sekarang-sekarang ini tahu-nya NIKAYA AWAL + NIKAYA TAMBAHAN + ABHIDHAMMA + JATAKA + LAIN-LAIN itu berasal dari konsili ke-4... BUKAN BEGITU ?

Dengan dasar apakah kita meyakini bahwa apa yang di-dokumentasi-kan di Konsili ke-4 itu adalah AJARAN BUDDHA ? (termasuk di dalam-nya 4 NIKAYA AWAL), kecuali ada yang mempunyai rekaman (audio atau video) hasil konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ?

kalau penerimaan hanya bisa terjadi jika ada bukti rekaman (audio atau video) maka jangan repot2 mencari bukti rekaman itu, akan lebih mudah menolaknya saja, daripada mencari bukti yg tidak ada. Bahkan jika ada bukti rekaman video pun masih belum cukup, karena tetap ada celah untuk tidak menerima, misalnya, ada kemungkinan para bhikkhu pengulang Nikaya itu sengaja menyelewengkan ajaran yg mrk hapalkan, dan segala alasan lainnya.

Tapi di sisi lain kita juga bisa memilih menerimanya sebatas bukti2 yg logis. misalnya, semua aliran menerima bahwa Ananda adalah pelayan Sang Buddha, bahwa Ananda mempelajari banyak sutta dari Sang Buddha, bahwa Ananda memiliki photographic memory, bahwa pada masa sekarang pun masih ada orang2 yg mampu menghapalkan seluruh Tipitaka,dan lain-lainnya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 04 April 2013, 02:24:03 PM
Takutnya setelah mempelajari Buddhisme pra-sektarian, krn tdk puas atau hal lain, terguncang lg saddha-nya dan pindah agama... ;D

Kenapa semakin banyak mempelajari semakin tipis saddhanya? Tanya kenapa?
kalau pindah agama sih agak mustahil, karena masalah yang sama juga ada di agama lain hehehe...
yang lebih mungkin adalah berhenti beragama buddha tapi menjadi pengikut buddha dhamma...

apapun keputusan anda, karena didasari terang maka hasilnya juga benderang.
meragukan sesuatu berarti tidak melekat, tidak statik dan terus menerus menukar dari satu pengertian ke pengertian yang lebih baik, lebih terang.
singkatnya, ragu pangkal cerah®
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 03:03:01 PM
itu kan kisah-nya... dari darimana kita meyakini isi 4 Nikaya itu berasal dari Buddha (dan siswa utama-nya) ?
Memang tidak akan tahu. Seandainya para aliran2 awal sepakat berbohong dalam konspirasi skala nasional dan membuat 4 Nikaya, toh kita tidak tahu juga.


Quote
Kalau cerita konsili ke-1, cerita konsili ke-2 dan bahkan cerita konsili ke-3... kita tahu-nya adalah pengulangan secara lisan...

Konsili ke-1 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)

Konsili ke-2 --> pengulangan Lisan (tidak ada bukti dokumentasi)

Konsili ke-3 --> pengulangan Lisan (juga tidak ada bukti dokumentasi)

Baru mulai Konsili ke-4 --> ada dokumentasi-nya... Itupun kalau diakui adalah dokumentasi dari konsili ke-4... Dan kita sekarang-sekarang ini tahu-nya NIKAYA AWAL + NIKAYA TAMBAHAN + ABHIDHAMMA + JATAKA + LAIN-LAIN itu berasal dari konsili ke-4... BUKAN BEGITU ?

Dengan dasar apakah kita meyakini bahwa apa yang di-dokumentasi-kan di Konsili ke-4 itu adalah AJARAN BUDDHA ? (termasuk di dalam-nya 4 NIKAYA AWAL), kecuali ada yang mempunyai rekaman (audio atau video) hasil konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ?
Kalau palaeontologis menemukan satu fosil dinosaurus, maka untuk mencari tahu apa makanan dino itu, tentu bukan dengan mencari catatan menu atau rekaman dino lagi makan, tapi dengan menyusun kerangka berpikir berdasarkan fakta yang ada, misalnya susunan gigi, bentuk perut, habitat, fosil lain yang berdekatan, dan lain-lain. Dari fakta2 ini dibentuk dugaan dan diuji, dan selalu diperbaharui sampai bisa ditarik sebuah kesimpulan.


Begitu juga para peneliti tentu tidak mengandalkan hanya catatan konsili 4, tapi melihat keadaan secara keseluruhan. Catatan seperti oleh Xuan Tsang dan Fa Xien juga banyak membantu memberikan gambaran. Singkat kata, ini memang bukan kerjaan gampang dan butuh penelitian fokus. Dan sejauh ini, itulah fakta-fakta yang didapat. Yang saya sampaikan di sini hanyalah ringkasan-ringkasan singkatnya saja, bukan metodologi lengkapnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 04 April 2013, 03:11:29 PM
kalau pindah agama sih agak mustahil, karena masalah yang sama juga ada di agama lain hehehe...
yang lebih mungkin adalah berhenti beragama buddha tapi menjadi pengikut buddha dhamma...

apapun keputusan anda, karena didasari terang maka hasilnya juga benderang.
meragukan sesuatu berarti tidak melekat, tidak statik dan terus menerus menukar dari satu pengertian ke pengertian yang lebih baik, lebih terang.
singkatnya, ragu pangkal cerah®


ujung2nya promosi slogan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 04 April 2013, 03:29:01 PM
kenapa harus aliran tertentu? ya setiap orang berbeda2, dan tentunya ada wanita yang lebih cocok dengan ajaran theravada.
Ironis sekali. Saking cocok dengan Theravada, sampai harus melanggar apa yang diajarkan di Theeravada itu sendiri.

Quote
saya melihatnya dari segi keadilan saja. kalau memang kebangkitan bhikkhuni itu mungkin dan bisa, apa salahnya memberi kesempatan pada wanita untuk mendapat kesempatan yang sama seperti pria untuk meninggalkan keduniawian dan menjadi bhikkhuni...
Saya pikir wanita meninggalkan keduniawian di Theravada banyak, hanya saja mereka tidak berstatus bhikkhuni. Dalam konteks melatih diri, apalah bedanya status samaneri dengan bhikkhuni?

Dan kalau masalah 'adil' atau tidak, kita tentu ga bisa menentukan yang mana yang adil. Karena nanti orang juga bisa protes kenapa kalo 'banci' atau orang cacad mau jadi bhikkhu/ni, kok tidak boleh, dan akan banyak lagi protes2 lainnya. Untuk itu maka sebaiknya mengikuti aturan yang berlaku. Kenapa percaya Buddha bijaksana tapi mempertanyakan peraturan yang dibuatnya ketika tidak sesuai dengan pendapat kita?


Quote
kalau dikatakan dhamma vinaya yang berbeda, aliran dharmagupta juga awalnya berasal dari cabang yang sama dengan theravada, dengan vinaya yang sama, yang artinya merupakan silsilah yang tidak terputus dari Buddha. jadi apa masalahnya?
Dari cabang yang sama, bukan berarti dari silsilah yang sama. Dharmaguptaka dan Vibhajyavada adalah 2 sekte berbeda.

Soal silsilah tak terputus, rasanya semua juga akan klaim demikian, tapi kenyataannya kalau memang semua sama, kenapa harus sampai menjadi berbagai aliran?


Quote
sikkhamānā selama dua tahun itu adalah perkembangan belakangan menurut beberapa skolar:
http://www.bhikkhuni.net/library/19458289-Bhikkhuni-Vinaya-Studies.pdf (http://www.bhikkhuni.net/library/19458289-Bhikkhuni-Vinaya-Studies.pdf) (bab 7)

lagipula, bagaimana halnya kalo si calon bhikkhuni menghabiskan 2 tahun masa percobaannya di kalangan bhikkhuni dharmagupta?
valid atau haram?

Menurut saya, kalau ada dua aliran yang berbeda, itu karena memang sudah berbeda secara dhamma-vinaya. Kalau memang sama, tentu tidak perlu pakai merk berbeda. Jadi IMO cara-cara demikian hanyalah upaya mengakali vinaya saja dan menutup mata terhadap perbedaan. Terlebih lagi, kalau memang sama, kenapa harus tahbis di Dharmaguptaka lalu hijrah ke Theravada? Menetap saja di Dharmaguptaka, 'kan sama?!

Jadi beginian saya memang tidak mengerti maksud dari orang-orang yang menjalaninya, dan juga tidak peduli karena dugaan saya adalah seputar hal-hal duniawi. Tapi kalau saya sendiri tidak setuju kiat-kiat membelokkan vinaya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 04 April 2013, 03:41:47 PM
ujung2nya promosi slogan
udah lama kagak jualan...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 04 April 2013, 10:58:18 PM
Takutnya setelah mempelajari Buddhisme pra-sektarian, krn tdk puas atau hal lain, terguncang lg saddha-nya dan pindah agama... ;D

Kenapa semakin banyak mempelajari semakin tipis saddhanya? Tanya kenapa?
Berbeda dengan saya, saya mendasarkan saddha saya pada hal-hal seperti Tiga Corak Kehidupan, Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Beruas Delapan, Pancasila dan beberapa lainnya karena saya merasa konsep seperti itu sangat nyata di dalam kehidupan saya dan dapat saya terima dengan baik.

Untuk hal-hal seperti Abhidhamma, kitab-kitab palsu, perpecahan dan peperangan, saya kurang pikirkan, mungkin karena kurangnya membaca tentang sejarah dan lainnya.

Yah, dengan kata lain kalaupun seluruh isi dari Tipitaka adalah palsu, saya akan tetap menjadikan hal-hal tadi sebagai pegangan, tentu sampai saya menemukan yg lebih baik.

Sekian dari Mr. Fanatik.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 05 April 2013, 07:40:03 AM
Berbeda dengan saya, saya mendasarkan saddha saya pada hal-hal seperti Tiga Corak Kehidupan, Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Beruas Delapan, Pancasila dan beberapa lainnya karena saya merasa konsep seperti itu sangat nyata di dalam kehidupan saya dan dapat saya terima dengan baik.

Untuk hal-hal seperti Abhidhamma, kitab-kitab palsu, perpecahan dan peperangan, saya kurang pikirkan, mungkin karena kurangnya membaca tentang sejarah dan lainnya.

Yah, dengan kata lain kalaupun seluruh isi dari Tipitaka adalah palsu, saya akan tetap menjadikan hal-hal tadi sebagai pegangan, tentu sampai saya menemukan yg lebih baik.

Sekian dari Mr. Fanatik.

Tergantung masing2 orang juga, ada yang berwatak keyakinan dan ada yang tidak. Namun dulu saya gara2 terlalu saddha bahwa semua ajaran yang berlabel Buddha adalah sama, sempat juga masuk aliran Maitreya... ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 08:56:37 AM
Berbeda dengan saya, saya mendasarkan saddha saya pada hal-hal seperti Tiga Corak Kehidupan, Empat Kebenaran Mulia, Jalan Mulia Beruas Delapan, Pancasila dan beberapa lainnya karena saya merasa konsep seperti itu sangat nyata di dalam kehidupan saya dan dapat saya terima dengan baik.

Untuk hal-hal seperti Abhidhamma, kitab-kitab palsu, perpecahan dan peperangan, saya kurang pikirkan, mungkin karena kurangnya membaca tentang sejarah dan lainnya.

Yah, dengan kata lain kalaupun seluruh isi dari Tipitaka adalah palsu, saya akan tetap menjadikan hal-hal tadi sebagai pegangan, tentu sampai saya menemukan yg lebih baik.

Sekian dari Mr. Fanatik.

ini adalah contoh yg tepat dalam menerapkan ajaran dalam Kalama Sutta

“Marilah, para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 April 2013, 09:29:26 AM
ini adalah contoh yg tepat dalam menerapkan ajaran dalam Kalama Sutta

“Marilah, para penduduk Kālāma. Jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya."

Bagaimana dengan sekte saya, yang setelah orang menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya, orang itu merasa bahagia dan sejahtera? Berarti itu seharusnya dijalankan donk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 10:21:55 AM
Bagaimana dengan sekte saya, yang setelah orang menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya, orang itu merasa bahagia dan sejahtera? Berarti itu seharusnya dijalankan donk?

untuk bagian ini, lihat kalimat sebelumnya dalam sutta itu.   ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana;
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 05 April 2013, 11:19:20 AM
untuk bagian ini, lihat kalimat sebelumnya dalam sutta itu.   ‘Hal-hal ini adalah bermanfaat; hal-hal ini adalah tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana;

Bagaimana kalo orang yang telah menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya adalah yg disebut bijaksana?.. dan hal tsb juga tidak tercela.... jd tercela dan bijaksana sangat subyektif juga...heheh.

tercela dan bijaksana sgt tergantung cara pandang....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 11:21:53 AM
Bagaimana kalo orang yang telah menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya adalah yg disebut bijaksana?.. dan hal tsb juga tidak tercela.... jd tercela dan bijaksana sangat subyektif juga...heheh.

tercela dan bijaksana sgt tergantung cara pandang....

untuk kasus ini, lihat kalimat terakhir
"hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya."

lebih lanjut lagi, apakah ajaran Zeus dkk itu yg jika dijalankan dan dipraktikan akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: William_phang on 05 April 2013, 11:25:31 AM
untuk kasus ini, lihat kalimat terakhir
"hal-hal ini, jika dijalankan dan dipraktikkan, akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan,’ maka kalian harus hidup sesuai dengannya."

lebih lanjut lagi, apakah ajaran Zeus dkk itu yg jika dijalankan dan dipraktikan akan mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan?

Kalo menurut saya, bagi orang yang menjalankan dan meyakini hal tsb pasti akan mengatakan ya bahwa keyakinannya pasti membawakan kebahagiaan dan kesejahteraan...  ^:)^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 11:28:51 AM
Kalo menurut saya, bagi orang yang menjalankan dan meyakini hal tsb pasti akan mengatakan ya bahwa keyakinannya pasti membawakan kebahagiaan dan kesejahteraan...  ^:)^

yah kalama sutta itu memang bukan untuk orang yg tidak jujur, orang fanatik zeus mungkin akan mengatakan begitu walaupun kenyataannya adalah sebaliknya, tapi jika ia jujur, ia seharusnya menolak ajaran itu karena tidak membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Jadi di sini ditekankan adalah penerimaan oleh diri sendiri, bukan pengakuan orang lain.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: juli wu on 05 April 2013, 12:00:44 PM
yah kalama sutta itu memang bukan untuk orang yg tidak jujur, orang fanatik zeus mungkin akan mengatakan begitu walaupun kenyataannya adalah sebaliknya, tapi jika ia jujur, ia seharusnya menolak ajaran itu karena tidak membawa kebahagiaan dan kesejahteraan. Jadi di sini ditekankan adalah penerimaan oleh diri sendiri, bukan pengakuan orang lain.
sy blm pernah baca kalama sutta,yg sy ingin tahu,jika sy pribadi bahagia n sejahtera,yg di samping sy gak merasakannya,apakah hal itu salah,ataupun sebaliknya,so jika musti menunggu sampai sy n di samping sy juga ikut bahagia,hal itu kan susah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 05 April 2013, 12:45:04 PM
kalau penerimaan hanya bisa terjadi jika ada bukti rekaman (audio atau video) maka jangan repot2 mencari bukti rekaman itu, akan lebih mudah menolaknya saja, daripada mencari bukti yg tidak ada. Bahkan jika ada bukti rekaman video pun masih belum cukup, karena tetap ada celah untuk tidak menerima, misalnya, ada kemungkinan para bhikkhu pengulang Nikaya itu sengaja menyelewengkan ajaran yg mrk hapalkan, dan segala alasan lainnya.

Tapi di sisi lain kita juga bisa memilih menerimanya sebatas bukti2 yg logis. misalnya, semua aliran menerima bahwa Ananda adalah pelayan Sang Buddha, bahwa Ananda mempelajari banyak sutta dari Sang Buddha, bahwa Ananda memiliki photographic memory, bahwa pada masa sekarang pun masih ada orang2 yg mampu menghapalkan seluruh Tipitaka,dan lain-lainnya

Andaikata betul ananda memiliki photographic memory, darimanakah kita mengetahui bahwa apa yang di-wariskan dari Dokumentasi Konsili ke-4 itu adalah sama persis dengan apa yang di-ulangi oleh Ananda dan Upali di Konsili ke-1 ?

Karena tidak ada bukti dokumentasi dari konsili ke-1, ke-2 dan ke-3.... Kisah/cerita konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 kita ketahui SATU-SATU-NYA adalah dari dokumentasi yang terjadi di konsili ke-4...  (atau ada yang punya sumber lain ???)

Dan apa yang membuat kita percaya dengan alur "kisah" pembabaran sutta, vinaya maupun abhidhamma, adalah bahwa kita juga harus meyakini Bhikkhu Rakkhita (pemimpin Konsili ke-4) sebagai seorang Arahat yang bisa mengetahui dengan persis apa yang sudah diwariskan secara lisan dari konsili ke-1, konsili ke-2 dan konsili ke-3 adalah setidaknya merupakan ajaran Buddha (ataupun khotbah siswa utamanya yang sejalan dengan ajaran Buddha).

Jika kita tidak meyakini ke-arahat-an Bhikkhu Rakkhita, maka kita juga jangan meyakini kebenaran 4 Nikaya awal itu... karena toh sumber yang kita dapatkan sekarang ini dan bisa kita jejak ulang ke belakang adalah hanya sampai pada dokumentasi konsili ke-4.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 12:47:24 PM
Andaikata betul ananda memiliki photographic memory, darimanakah kita mengetahui bahwa apa yang di-wariskan dari Dokumentasi Konsili ke-4 itu adalah sama persis dengan apa yang di-ulangi oleh Ananda dan Upali di Konsili ke-1 ?

Karena tidak ada bukti dokumentasi dari konsili ke-1, ke-2 dan ke-3.... Kisah/cerita konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 kita ketahui SATU-SATU-NYA adalah dari dokumentasi yang terjadi di konsili ke-4...  (atau ada yang punya sumber lain ???)

Dan apa yang membuat kita percaya dengan alur "kisah" pembabaran sutta, vinaya maupun abhidhamma, adalah bahwa kita juga harus meyakini Bhikkhu Rakkhita (pemimpin Konsili ke-4) sebagai seorang Arahat yang bisa mengetahui dengan persis apa yang sudah diwariskan secara lisan dari konsili ke-1, konsili ke-2 dan konsili ke-3 adalah setidaknya merupakan ajaran Buddha (ataupun khotbah siswa utamanya yang sejalan dengan ajaran Buddha).

Jika kita tidak meyakini ke-arahat-an Bhikkhu Rakkhita, maka kita juga jangan meyakini kebenaran 4 Nikaya awal itu... karena toh sumber yang kita dapatkan sekarang ini dan bisa kita jejak ulang ke belakang adalah hanya sampai pada dokumentasi konsili ke-4.


mungkin sebelum sampai ke sana, kita sebaiknya membuktikan dulu apakah Sang Buddha benar2 ada, dan apa buktinya?

sebenarnya bahkan catatan konsili 6 pun berbeda dengan catatan konsili 5, apa lagi jika dibandingkan dengan konsili 1.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 05 April 2013, 12:48:16 PM
Memang tidak akan tahu. Seandainya para aliran2 awal sepakat berbohong dalam konspirasi skala nasional dan membuat 4 Nikaya, toh kita tidak tahu juga.

Kalau palaeontologis menemukan satu fosil dinosaurus, maka untuk mencari tahu apa makanan dino itu, tentu bukan dengan mencari catatan menu atau rekaman dino lagi makan, tapi dengan menyusun kerangka berpikir berdasarkan fakta yang ada, misalnya susunan gigi, bentuk perut, habitat, fosil lain yang berdekatan, dan lain-lain. Dari fakta2 ini dibentuk dugaan dan diuji, dan selalu diperbaharui sampai bisa ditarik sebuah kesimpulan.


Begitu juga para peneliti tentu tidak mengandalkan hanya catatan konsili 4, tapi melihat keadaan secara keseluruhan. Catatan seperti oleh Xuan Tsang dan Fa Xien juga banyak membantu memberikan gambaran. Singkat kata, ini memang bukan kerjaan gampang dan butuh penelitian fokus. Dan sejauh ini, itulah fakta-fakta yang didapat. Yang saya sampaikan di sini hanyalah ringkasan-ringkasan singkatnya saja, bukan metodologi lengkapnya.

Xuan Tsang dan Fa Xien, lebih duluan atau belakangan dibandingkan dengan dokumentasi konsili ke-4 ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 05 April 2013, 12:51:58 PM
mungkin sebelum sampai ke sana, kita sebaiknya membuktikan dulu apakah Sang Buddha benar2 ada, dan apa buktinya?

Maka-nya yang bisa kita lakukan adalah meyakini apa yang sudah dituliskan / di waris-kan dari dokumentasi Konsili ke-4... Jika Bhikkhu Rakkhita (konon katanya pemimpin konsili ke-4, Ntah benar2 eksis atau gak) bukan Arahat, maka jangan percaya dengan dengan apa yang di-hasil-kan dari konsili ke-4...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 12:55:58 PM
Xuan Tsang dan Fa Xien, lebih duluan atau belakangan dibandingkan dengan dokumentasi konsili ke-4 ?

Konsili 4 dilakukan secara terpisah oleh dua aliran mainstream, Theravada dan Mahayana. jadi catatan Xuan Tsang dan Fa Xien kemungkinan besar bukan berdasarkan hasil konsili 4 Theravada. namun jika kedua konsili 4 itu sama2mendasarkan pada konsili 3 maka hasil kedua konsili itu tentu dapat diperbandingkan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 05 April 2013, 01:07:07 PM
Konsili 4 dilakukan secara terpisah oleh dua aliran mainstream, Theravada dan Mahayana. jadi catatan Xuan Tsang dan Fa Xien kemungkinan besar bukan berdasarkan hasil konsili 4 Theravada. namun jika kedua konsili 4 itu sama2mendasarkan pada konsili 3 maka hasil kedua konsili itu tentu dapat diperbandingkan.

Setahu gw sejak konsili ke-2 sudah mulai dilakukan terpisah antara cikal bakal Theravada dan Mahayana.  ::)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 01:11:46 PM
Setahu gw sejak konsili ke-2 sudah mulai dilakukan terpisah antara cikal bakal Theravada dan Mahayana.  ::)

Konsili ke 2 membahas tentang pelanggaran vinaya oleh sekelompok bhikkhu, yg diduga menjadi pemicu terjadinya perpecahana theravada vs mahayana, tetapi ternyata perpecahan itu terjadi tidak sesederhana itu, menurut wiki perpecahan dimulai dari konsili 3 http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_councils (http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_councils).
lengkapnya mari kita tunggu pembabaran dari Yang Mulia kutu
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 05 April 2013, 01:14:36 PM
Tergantung masing2 orang juga, ada yang berwatak keyakinan dan ada yang tidak. Namun dulu saya gara2 terlalu saddha bahwa semua ajaran yang berlabel Buddha adalah sama, sempat juga masuk aliran Maitreya... ;D
Kalau pada kasus saya sih berbeda karena sebenarnya saya tidak beraliran. Saya menganut apa yang saya anggap sebagai bermanfaat bagi saya dan menyimpannya untuk kehidupan saya (kecuali memang sudah perlu diganti). Peace...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 05 April 2013, 01:31:09 PM
Kalau pada kasus saya sih berbeda karena sebenarnya saya tidak beraliran. Saya menganut apa yang saya anggap sebagai bermanfaat bagi saya dan menyimpannya untuk kehidupan saya (kecuali memang sudah perlu diganti). Peace...

amaca cih? enelan?  ::)

Setahu gw hanya aliran buddhayana yang mengganggap mereka tidak beraliran.  :whistle:

Bisa dituliskan di sini apa yang anda anggap bermanfaat tu apa saja?
Gw bertanya bukan untuk menjebak lho.  :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 05 April 2013, 01:51:30 PM
Setahu gw hanya aliran buddhayana yang mengganggap mereka tidak beraliran.  :whistle:

justru penghuni Buddhayana, berbagai aliran dari Theravada, Mahayana, Tantrayana, Mixyana ...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 05 April 2013, 01:53:49 PM
Bagaimana dengan sekte saya, yang setelah orang menerima trinité Zeus, Poseidon, dan Hades sebagai pelindungnya, orang itu merasa bahagia dan sejahtera? Berarti itu seharusnya dijalankan donk?
[KK]Mungkin harus dilihat dulu isi ajarannya bagaimana.[/KK]

;D

amaca cih? enelan?  ::)

Setahu gw hanya aliran buddhayana yang mengganggap mereka tidak beraliran.  :whistle:

Bisa dituliskan di sini apa yang anda anggap bermanfaat tu apa saja?
Gw bertanya bukan untuk menjebak lho.  :)
Kalau menganut ajaran Buddha itu wajib menganut salah satu alirannya ya? Lalu apakah salah jika seseorang menganut apa yg dianggapnya bermanfaat?

Saya juga kurang tau soal Buddhayana. Jadi kalau ada yg sesat, mohon pencerahannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CHANGE on 05 April 2013, 02:10:37 PM
Kalo menurut saya, bagi orang yang menjalankan dan meyakini hal tsb pasti akan mengatakan ya bahwa keyakinannya pasti membawakan kebahagiaan dan kesejahteraan...  ^:)^

IMO, mungkin kita harus samakan dulu persepsi mengenai kebahagiaan yang di maksud. Secara umum yang selalu dipahami adalah kebahagiaan duniawi atau relatif dan yang selalu berubah. Jika ini yang di maksud dalam ajaran tersebut, maka akan sangat banyak jenisnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 05 April 2013, 02:31:32 PM
Bisa dituliskan di sini apa yang anda anggap bermanfaat tu apa saja?
Gw bertanya bukan untuk menjebak lho.  :)
Ajaran Buddha yang seperti 3 Corak Kehidupan. Karena saat saya mencoba menyadari bahwa segala sesuatu yg berkondisi adalah tidak kekal dan seterusnya, usaha seperti ini menenangkan pikiran saya, mengikis setidaknya sedikit dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan saya. Di sini saya tidak bertujuan untuk menciptakan aliran, saya menjalankan ajaran ini karena bermanfaat untuk diri saya. Mohon dimengerti.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 05 April 2013, 02:36:39 PM
Xuan Tsang dan Fa Xien, lebih duluan atau belakangan dibandingkan dengan dokumentasi konsili ke-4 ?
Mereka lebih belakangan dibandingkan dengan konsili 4. Bedanya, dokumentasi konsili 4 yang di Srilanka, hanya membahas dari satu sisi, sedangkan Xuan Tsang dan Fa Xien mengumpulkan catatan tentang perkembangan Buddhisme di India secara keseluruhan.


Konsili ke 2 membahas tentang pelanggaran vinaya oleh sekelompok bhikkhu, yg diduga menjadi pemicu terjadinya perpecahana theravada vs mahayana, tetapi ternyata perpecahan itu terjadi tidak sesederhana itu, menurut wiki perpecahan dimulai dari konsili 3 http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_councils (http://en.wikipedia.org/wiki/Buddhist_councils).
lengkapnya mari kita tunggu pembabaran dari Yang Mulia kutu
Balik lagi ke reply# 1291 saya sebelumnya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg441723.html#msg441723), perihal "Mahayana" itu muncul masih jauh setelah perpecahan, tidak ada hubungannya dengan perpecahan awal.

Untuk yang konsili ke 2, justru dalam konsili itu dicapai kesepakatan bahwa sekelompok bhikkhu itu melanggar vinaya. Jadi tidak ada perpecahan apapun di sini, dan semua pihak mengakui vinaya yang sama.
Perpecahan awal ini diduga terjadi setelah konsili ke 2 dan sebelum konsili ke 3, pemicunya adalah:
-menurut Sthaviravada: Mahasanghika mo sunat vinaya
-menurut Mahasanghika: Sthaviravada mo tambah vinaya

Masa ini juga sama sekali belum ada "Mahayana".
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 05 April 2013, 05:11:29 PM
Mereka lebih belakangan dibandingkan dengan konsili 4. Bedanya, dokumentasi konsili 4 yang di Srilanka, hanya membahas dari satu sisi, sedangkan Xuan Tsang dan Fa Xien mengumpulkan catatan tentang perkembangan Buddhisme di India secara keseluruhan.

Balik lagi ke reply# 1291 saya sebelumnya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,11406.msg441723.html#msg441723), perihal "Mahayana" itu muncul masih jauh setelah perpecahan, tidak ada hubungannya dengan perpecahan awal.

Untuk yang konsili ke 2, justru dalam konsili itu dicapai kesepakatan bahwa sekelompok bhikkhu itu melanggar vinaya. Jadi tidak ada perpecahan apapun di sini, dan semua pihak mengakui vinaya yang sama.
Perpecahan awal ini diduga terjadi setelah konsili ke 2 dan sebelum konsili ke 3, pemicunya adalah:
-menurut Sthaviravada: Mahasanghika mo sunat vinaya
-menurut Mahasanghika: Sthaviravada mo tambah vinaya

Masa ini juga sama sekali belum ada "Mahayana".

kalau soal kitab yang diambil dari alam "NAGA" ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 05 April 2013, 05:18:26 PM
Sebenarnya Konsili III di bawah Moggalliputtatissa hanya dikisahkan dlm tradisi Theravada dan Dharnaguptaka, hanya Konsili I dan II yg dikisahkan dalam Vinaya semua aliran...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 05 April 2013, 05:25:37 PM
kalau soal kitab yang diambil dari alam "NAGA" ?
Yah mirip2 dengan legenda Sang Buddha membabarkan abhidhamma di tavatimsa
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 05 April 2013, 06:00:07 PM
Yah mirip2 dengan legenda Sang Buddha membabarkan abhidhamma di tavatimsa

dan catatan tentang vassa ke-7 memang tidak ada di sutta-vinaya ?

dan Berarti Bhikkhu2 di Konsili ke-4 dengan sangat berani menyisip-kan "kisah fiktif" ke dalam tiga keranjang pitaka... Kalau begitu, jika Abhidhamma di-ragu-kan, maka seharus-nya semua kitab yang dihasilkan di konsili ke-4 juga harus di-ragu-kan... BUKAN-KAH DEMIKIAN LOGIKA-nya ?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 05 April 2013, 07:35:48 PM
dan catatan tentang vassa ke-7 memang tidak ada di sutta-vinaya ?

dan Berarti Bhikkhu2 di Konsili ke-4 dengan sangat berani menyisip-kan "kisah fiktif" ke dalam tiga keranjang pitaka... Kalau begitu, jika Abhidhamma di-ragu-kan, maka seharus-nya semua kitab yang dihasilkan di konsili ke-4 juga harus di-ragu-kan... BUKAN-KAH DEMIKIAN LOGIKA-nya ?



"kisah fiktif" itu juga tidak ada dalam Abhidhamma Pitaka.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 05 April 2013, 09:35:35 PM
wah, baru gak dibuka sehari topiknya dah berkembang banyak... ikutan nonton aja deh.

mau mengomentari soal "sangat berani menyisipkan kisah fiktif"...

blom tentu juga maksud awalnya seperti itu. mungkin awalnya udah menjadi pengetahuan umum abhidhamma itu karangan belakangan. trus murid2nya yang gak mengikuti cerita dari awal menganggap itu langsung dari Buddha. trus cucu muridnya menganggap perlu dibikin cerita panjang mengenai latar belakang Buddha membabarkan abhidhamma di tavatimsa. penerusan informasi dari generasi ke generasi bisa melahirkan distorsi dan pergeseran informasinya mulai dari kecil sampai menjadi segede gajah...

sutta2 yang dari empat nikaya nilai keotentikannya tentu tinggi ketimbang yg lainnya (apalagi abhidhamma) karena kitab2 yang pakai oleh banyak sekte2 awal itu memuat sutta2 yang sama isi dan esensinya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 06 April 2013, 08:29:00 AM
dan catatan tentang vassa ke-7 memang tidak ada di sutta-vinaya ?

dan Berarti Bhikkhu2 di Konsili ke-4 dengan sangat berani menyisip-kan "kisah fiktif" ke dalam tiga keranjang pitaka... Kalau begitu, jika Abhidhamma di-ragu-kan, maka seharus-nya semua kitab yang dihasilkan di konsili ke-4 juga harus di-ragu-kan... BUKAN-KAH DEMIKIAN LOGIKA-nya ?


AFAIK sih nda ada. itu hanya kisah2 legenda yg sudah mixed up, yg kemudian dicatat sepertinya dalam komentarial
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 April 2013, 10:16:31 AM
kalau soal kitab yang diambil dari alam "NAGA" ?
Sama saja. Apapun klaimnya, tapi secara sejarah tercatat bahwa tidak ada kitab itu sampai sekitar abad 1 SM. Dan tidak perlu analisa mendalam untuk melihat betapa tendensiusnya kitab-kitab yang menggambarkan Buddha memihak satu sekte dan menolak sekte lain, seolah-olah di jaman Buddha sudah ada sekte.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 April 2013, 10:17:09 AM
Sebenarnya Konsili III di bawah Moggalliputtatissa hanya dikisahkan dlm tradisi Theravada dan Dharnaguptaka, hanya Konsili I dan II yg dikisahkan dalam Vinaya semua aliran...
Tentu saja. Karena dalam "Konsili III" itu 'kan aliran2 lain dianggap sesat. Mana mungkin mereka mengakui konsili tersebut?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 April 2013, 10:54:05 AM
dan catatan tentang vassa ke-7 memang tidak ada di sutta-vinaya ?
Sutta hanya membahas kumpulan khotbah, sedangkan vinaya mencakup disiplin latihan. Pengulangan keduanya memang bukan bertujuan mencatat kehidupan Buddha secara kronologis, jadi memang sangat wajar kalau tidak memuat lengkap jadwal vassanya.


Quote
dan Berarti Bhikkhu2 di Konsili ke-4 dengan sangat berani menyisip-kan "kisah fiktif" ke dalam tiga keranjang pitaka...
Menurut saya, ini agak berbeda dengan kitab 'alam naga' yang tampaknya terorganisir dalam membuat kisah, perihal Abhidhamma sepertinya lebih ke arah legenda yang diturunkan dalam waktu lama dan berangsur-angsur diterima.


Quote
Kalau begitu, jika Abhidhamma di-ragu-kan, maka seharus-nya semua kitab yang dihasilkan di konsili ke-4 juga harus di-ragu-kan... BUKAN-KAH DEMIKIAN LOGIKA-nya ?
Bukan demikian logikanya, bahkan tidak berhubungan.

Abhidhamma tidak diterima karena 4 nikaya diterima, dan tidak ditolak karena 4 nikaya ditolak.
Demikian juga 4 nikaya tidak ditolak karena abhidhamma ditolak, dan 4 nikaya tidak diterima karena abhidhamma diterima.
Masing-masing dilihat sebagai hal terpisah yang harus diselidiki secara tersendiri. Bahkan seperti Khuddaka Nikaya pun diteliti dan bisa dipisahkan antara karya kuno dan karya belakangan.

Untuk Abhidhamma, sudah disinggung juga bahwa diragukan sebab tidak ada jejak abhidharma sampai sekitar 200 tahun Mahaparinirvana, sementara penggunaan Nikaya/Agama, memang konsisten ada sejak awal. Alasan lainnya, ketika Abhidharma telah muncul, setiap sekte memiliki Abhidharma yang berbeda, bahkan ada yang tidak memiliki serta menolak Abhidharma.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 06 April 2013, 11:05:07 AM
Tentu saja. Karena dalam "Konsili III" itu 'kan aliran2 lain dianggap sesat. Mana mungkin mereka mengakui konsili tersebut?

Sebenarnya gak juga, kalo dalam kisah Konsili III itu sendiri yang dipermasalahkan adalah ajaran lain (non-Buddhis) seperti nihilisme dan eternalisme yang dibawa oleh para pertapa non-Buddhis yang menyamar sbg bhikkhu untuk memperoleh keuntungan materi (karena Raja Asoka mendukung ajaran Buddha saat itu dan berdana kepada Sangha besar-besaran). Kathavatthu sendiri tidak menyebut nama aliran, tetapi komentarnyalah yang menyebut nama aliran yang dibantah oleh Moggalliputtatissa. Catatan maklumat Raja Asoka juga menyatakan pemurnian Sangha ini.

Setelah Konsili III berhasil memurnikan Dhamma dari ajaran non-Buddhis, diutuslah para Dhammadutta ke berbagai penjuru, antara lain Yonaka Dhammarakkhita (menurut beberapa sarjana ini bersinonim dengan Dharmagupta) yang menyebarkan Dhamma di daerah Aparantaka (ini menjadi cikal bakal aliran Dharmaguptaka menurut analisis Bhikkhu Sujato) dan Mahinda putra Raja Asoka ke Sri Lanka (yang kemudian menjadi cikal bakal Theravada saat ini). Ini menyatakan bahwa perpecahan Theravada dan Dharmaguptaka hanyalah akibat pemisahan geografis akibat penyebaran ajaran. Jadi, wajar hanya Dharmagupta dan Theravada yang mencatat Konsili III.

Sedangkan aliran2 lain menurut analisis ini juga muncul karena pemisahan geografis, misalnya (Mula) Sarvastivada bisa dianggap berasal dari tradisi yang telah ada sejak masa Sang Buddha di daerah Mathura (Pali: Madhura) karena salah satu siswa langsung Sang Buddha, Mahakaccayana pernah mengajar di sana (dalam Madhura Sutta yang terkenal dari Majjhima Nikaya). Atau kalo tidak, berasal dari salah satu misi pengiriman Dhammadutta pada masa Raja Asoka. Salah satu kitab Abhidharma Sarvastivada mencatat perdebatan antara Moggalliputtatissa yang mewakili ajaran mereka melawan ajaran Puggalavada. Ini menarik karena topik ttg "pribadi" (puggala) juga menjadi fokus utama dalam kitab Kathavatthu dan menjadi bab pertama kitab tsb.

Mulanya semua aliran tsb tidak menyatakan diri mereka sbg tradisi yang terpisah, tetapi beberapa lama setelah Konsili III muncul para guru yang menafsirkan ajaran berdasarkan interpretasi mereka sendiri. Muncul perdebatan antara yang pro dan kontra. Umumnya perbedaan penafsiran terhadap Abhidhamma sehingga muncul istilah "sarvastivada" sbg lawan dari "vibhajjavada" dst. Ini tercatat dalam teks Sarvastivada (dan Mahasanghika walaupun berbeda kisahnya). Akhirnya perbedaan ini menimbulkan perpecahan sehingga muncul 18 aliran Buddhisme awal (jumlah aliran-aliran yang muncul setelah Parinibbana Sang Buddha yang ditemukan hampir dalam semua teks aliran-aliran tsb, tetapi berbeda dalam rincian nama-nama aliran tsb).

Tetapi ini hanya hipotesis saja, tidak dapat dibuktikan kebenarannya, kecuali dari peninggalan sejarah dan peninggalan tekstual aliran-aliran Buddhisme awal yang sampai ke tangan kita saat ini.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 06 April 2013, 11:10:44 AM

Sedangkan aliran2 lain menurut analisis ini juga muncul karena pemisahan geografis, misalnya (Mula) Sarvastivada bisa dianggap berasal dari tradisi telah ada sejak masa Sang Buddha di daerah Mathura (Pali: Madhura) karena salah satu siswa langsung Sang Buddha, Mahakaccayana pernah mengajar di sana (dalam Madhura Sutta yang terkenal dari Majjhima Nikaya). Atau kalo tidak, berasal dari salah satu misi pengiriman Dhammadutta pada masa Raja Asoka. Salah satu kitab Abhidharma Sarvastivada mencatat perdebatan antara Moggalliputtatissa yang mewakili ajaran mereka melawan ajaran Puggalavada. Ini menarik karena topik ttg "pribadi" (puggala) juga menjadi fokus utama dalam kitab Kathavatthu dan menjadi bab pertama kitab tsb.


itu bukan Madura yg di Jawa Timur ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 06 April 2013, 11:34:11 AM
itu bukan Madura yg di Jawa Timur ya?

#tepokjidat  :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 06 April 2013, 12:01:05 PM
wah, baru gak dibuka sehari topiknya dah berkembang banyak... ikutan nonton aja deh.

mau mengomentari soal "sangat berani menyisipkan kisah fiktif"...

blom tentu juga maksud awalnya seperti itu. mungkin awalnya udah menjadi pengetahuan umum abhidhamma itu karangan belakangan. trus murid2nya yang gak mengikuti cerita dari awal menganggap itu langsung dari Buddha. trus cucu muridnya menganggap perlu dibikin cerita panjang mengenai latar belakang Buddha membabarkan abhidhamma di tavatimsa. penerusan informasi dari generasi ke generasi bisa melahirkan distorsi dan pergeseran informasinya mulai dari kecil sampai menjadi segede gajah...

sutta2 yang dari empat nikaya nilai keotentikannya tentu tinggi ketimbang yg lainnya (apalagi abhidhamma) karena kitab2 yang pakai oleh banyak sekte2 awal itu memuat sutta2 yang sama isi dan esensinya.


berarti kita yang sekarang ini lebih kritis... mereka dulu gak kritis... BISA SAJA... wkwkwkwkwkwk... dan jika memang begitu, sudah pasti Mogalitaputta Tissa bukan-lah ARAHAT... Demikian juga Bhikkhu Rakhita di konsili ke-4, juga bukan-lah seorang ARAHAT...

KArena jika Mogalitaputta Tissa dan Bikkkhu Rakkhita adalah seorang ARAHAT, maka pasti akan mengetahui mana yang ajaran Buddha dan mana yang "KARANGAN" BELAKA..

Jika Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita sendiri tidak bisa menentukan mana yang ajaran Buddha (mana yang karangan), maka dari hasil konsili ke-3 dan ke-4, SEMUA HARUS DI-RAGUKAN...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 06 April 2013, 01:51:51 PM
Sebenarnya gak juga, kalo dalam kisah Konsili III itu sendiri yang dipermasalahkan adalah ajaran lain (non-Buddhis) seperti nihilisme dan eternalisme yang dibawa oleh para pertapa non-Buddhis yang menyamar sbg bhikkhu untuk memperoleh keuntungan materi (karena Raja Asoka mendukung ajaran Buddha saat itu dan berdana kepada Sangha besar-besaran). Kathavatthu sendiri tidak menyebut nama aliran, tetapi komentarnyalah yang menyebut nama aliran yang dibantah oleh Moggalliputtatissa. Catatan maklumat Raja Asoka juga menyatakan pemurnian Sangha ini.

Tentu saja Kathavatthu tidak memuat nama-nama aliran, termasuk aliran mereka sendiri. Intinya yang mengikuti mereka adalah Buddhisme, yang di luar itu adalah bukan Buddhisme. Hanya saja masing-masing aliran juga tentu punya 'catatan' sendiri, seperti Mahasanghika juga mencatat kelompok dari Sthavira bikin konsili yang dipimpin Moggalliputta Tissa, menanyakan apa yang diajarkan oleh Buddha, kemudian memasukkan bhikkhu-bhikkhu yang menjawab pengajaran Buddha adalah secara analisis (Vibhajja), dan mengeluarkan bhikkhu yang menjawab berbeda. Karena itu kelompok dari 'luar' mengenal mereka sebagai 'Vibhajyavada' (vibhajjavada), padahal kalau dicari ke ujung kitab Theravada, yah ga ada yang namanya Vibhajjavada. Dan yang termasuk 'orang luar' pada masa itu adalah Mahasanghika, Sarvastivada, dan Samittiya.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 06 April 2013, 02:45:16 PM
Tentu saja Kathavatthu tidak memuat nama-nama aliran, termasuk aliran mereka sendiri. Intinya yang mengikuti mereka adalah Buddhisme, yang di luar itu adalah bukan Buddhisme. Hanya saja masing-masing aliran juga tentu punya 'catatan' sendiri, seperti Mahasanghika juga mencatat kelompok dari Sthavira bikin konsili yang dipimpin Moggalliputta Tissa, menanyakan apa yang diajarkan oleh Buddha, kemudian memasukkan bhikkhu-bhikkhu yang menjawab pengajaran Buddha adalah secara analisis (Vibhajja), dan mengeluarkan bhikkhu yang menjawab berbeda. Karena itu kelompok dari 'luar' mengenal mereka sebagai 'Vibhajyavada' (vibhajjavada), padahal kalau dicari ke ujung kitab Theravada, yah ga ada yang namanya Vibhajjavada. Dan yang termasuk 'orang luar' pada masa itu adalah Mahasanghika, Sarvastivada, dan Samittiya.


Istilah vibhajjavada sebenarnya ada dalam MN 99 Subha Sutta di mana Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau mengatakan sesuatu setelah menganalisis (Vibhajjavādo kho ahamettha māṇava). Vibhajjavada yang dimaksud Moggalliputtatissa mungkin dalam pengertian ini juga karena waktu itu Raja Asoka ingin mengetahui secara singkat (dalam satu kata yang penuh arti) apa yang diajarkan Sang Buddha (apakah Beliau seorang eternalis, nihilis, dst). Hanya beberapa lama setelah itu dalam teks Sarvastivada, istilah "vibhajjavada" ini dianggap berlawanan dg "sarvastivada".
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 06 April 2013, 03:37:16 PM
berarti kita yang sekarang ini lebih kritis... mereka dulu gak kritis... BISA SAJA... wkwkwkwkwkwk... dan jika memang begitu, sudah pasti Mogalitaputta Tissa bukan-lah ARAHAT... Demikian juga Bhikkhu Rakhita di konsili ke-4, juga bukan-lah seorang ARAHAT...

KArena jika Mogalitaputta Tissa dan Bikkkhu Rakkhita adalah seorang ARAHAT, maka pasti akan mengetahui mana yang ajaran Buddha dan mana yang "KARANGAN" BELAKA..

Jika Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita sendiri tidak bisa menentukan mana yang ajaran Buddha (mana yang karangan), maka dari hasil konsili ke-3 dan ke-4, SEMUA HARUS DI-RAGUKAN...
kita bisa berspekulasi memperdebatkan kesucian bhikkhu moggaliputta dan rakkhita beserta kemampuan seorang arahat, tapi hasilnya tetaplah spekulasi...

sedangkan bukti2 berupa kitab2 dari berbagai sekte awal buddhism, perkembangan kitab2 dari berbagai jaman dan koleksi kitab & catatan2 xuan zhang itu adalah nyata dan merupakan fakta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 06 April 2013, 08:33:53 PM
jika bahas spekulasi tentang kesucian !  ::)
bisa juga meragukan pencapaian dan kemampuan Buddha Gotama, tapi hasilnya tetaplah spekulasi...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 08 April 2013, 12:36:13 AM

Bukan hanya tidak mempermasalahkan, kalau saya justru sangat dukung kalau ada sekelompok wanita mau menjalankan kehidupan suci berdasarkan dhamma-vinaya. Walaupun bukan penahbisan penuh seperti di vinaya, bisa saja dilakukan dengan cara lain, istilah lain, tanpa perlu klaim status sebagai "bhikkhuni" apalagi aliran tertentu (yang sudah ada pakemnya sendiri).

Yang jadi pertanyaan buat saya, kalau memang niatnya menjalankan kehidupan petapa, kenapa harus mati-matian dapat status 'bhikkhuni aliran tertentu'? Karena saya pribadi kalau memang terkendala demikian, walaupun harus dapat julukan 'Nigantha' pun tidak masalah, yang penting saya jalankan dhamma-vinaya yang saya yakini dengan baik.



 =D> =D> =D> :jempol: :jempol: :jempol:

gue setujuuuuuuu bangeettt....
gue salah satu wanita yang pengen jadi bhikkhuni dulu...
Spoiler: ShowHide
 ampe skrg msh ada si dikit niatnya  :-[

tapi gue sadar itu kagak mungkin, theravada uda abis keturunannya, ktny cuma bisa jadi meici yang jalanin 8 sila...
so, gue blg so what gitu lho....kan boleh kalau jd meici tp jalani sila bhikkuni...emanknya masalah???

gue lupa siapa yg ksh tau, katanya mana bisa jadi meici tapi jalani sila bhikkhuni...bener ga tuh?
bahkan kalok gue skrg status umat biasa, gue boleh ga mencoba menjalani sila bhikkhuni???
 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 08 April 2013, 09:35:25 AM
jika bahas spekulasi tentang kesucian !  ::)
bisa juga meragukan pencapaian dan kemampuan Buddha Gotama, tapi hasilnya tetaplah spekulasi...
yang dibahas adalah keotentikan abhidhamma, mengenai fakta2 bahwa abhidhamma adalah karangan belakangan...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 08 April 2013, 11:23:49 AM
kita bisa berspekulasi memperdebatkan kesucian bhikkhu moggaliputta dan rakkhita beserta kemampuan seorang arahat, tapi hasilnya tetaplah spekulasi...

sedangkan bukti2 berupa kitab2 dari berbagai sekte awal buddhism, perkembangan kitab2 dari berbagai jaman dan koleksi kitab & catatan2 xuan zhang itu adalah nyata dan merupakan fakta.


walaupun fakta ada tulisan atau dokumen itu, tetapi tidak dapat membuktikan bahwa itu adalah ajaran "langsung" dari Buddha atau (siswa utama-nya). kecuali kita meyakini bahwa para ARAHAT yang menvalidasi dokumen2 turunan itu.

Jadi jika anda tidak menyakini Ke-arahat-an Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita, maka anda tidak boleh yakin apa yang dihasilkan oleh MEREKA berdua adalah ajaran "langsung" dari Buddha (ataupun siswa utama buddha).

---

Jadi ini sebenarnya bukan spekulasi, tetapi logika hipotesa...

Untuk konsili-konsili yang diturunkan dengan pengulangan secara LISAN, tentu-nya tidak ada dokumentasi atau apapun utk memperkuat soal perbedaan. Tetapi khusus untuk konsili yang mengawali dokumentasi secara tertulis dan bisa diwariskan secara turun temurun secara fisik, tentunya dasar utk mempercayai dan meyakini ke-VALID-an hasil konsili (baca : konsili ke-4) adalah adanya keyakinan bahwa ada-nya ARAHAT pada konsili tersebut yang dapat men-validasi ke-absah-an dan kebenaran ajaran tsb sesuai dengan ajaran BUDDHA.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 08 April 2013, 01:00:54 PM
walaupun fakta ada tulisan atau dokumen itu, tetapi tidak dapat membuktikan bahwa itu adalah ajaran "langsung" dari Buddha atau (siswa utama-nya). kecuali kita meyakini bahwa para ARAHAT yang menvalidasi dokumen2 turunan itu.

Jadi jika anda tidak menyakini Ke-arahat-an Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita, maka anda tidak boleh yakin apa yang dihasilkan oleh MEREKA berdua adalah ajaran "langsung" dari Buddha (ataupun siswa utama buddha).
kedua bhikkhu itu arahat atau bukan tidak lagi relevan di sini karena bukti2 menyatakan abhidhamma itu adalah karangan belakangan...
lagian 4 nikaya itu bukan monopoli hasil kerja bhikkhu moggaliputtatissa. seluruh sekte2 awal buddhism mempunyai 4 nikaya yang sama.

Jadi ini sebenarnya bukan spekulasi, tetapi logika hipotesa...

Untuk konsili-konsili yang diturunkan dengan pengulangan secara LISAN, tentu-nya tidak ada dokumentasi atau apapun utk memperkuat soal perbedaan. Tetapi khusus untuk konsili yang mengawali dokumentasi secara tertulis dan bisa diwariskan secara turun temurun secara fisik, tentunya dasar utk mempercayai dan meyakini ke-VALID-an hasil konsili (baca : konsili ke-4) adalah adanya keyakinan bahwa ada-nya ARAHAT pada konsili tersebut yang dapat men-validasi ke-absah-an dan kebenaran ajaran tsb sesuai dengan ajaran BUDDHA.
menyebutkan bukan spekulasi, menyebutkan logika, menyebutkan hipotesa, tapi di lain pihak menyebutkan keyakinan... kontradiksi.

bagi saya jelas ini spekulasi karena berbasis keyakinan.
sedangkan abhidhamma adalah karangan belakangan berbasiskan fakta.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 08 April 2013, 01:04:45 PM
kedua bhikkhu itu arahat atau bukan tidak lagi relevan di sini karena bukti2 menyatakan abhidhamma itu adalah karangan belakangan...
lagian 4 nikaya itu bukan monopoli hasil kerja bhikkhu moggaliputtatissa. seluruh sekte2 awal buddhism mempunyai 4 nikaya yang sama.
menyebutkan bukan spekulasi, menyebutkan logika, menyebutkan hipotesa, tapi di lain pihak menyebutkan keyakinan... kontradiksi.


sekte awal buddhisme... darimana kisah sekte awal buddhisme itu didapat-kan ? apakah dokumentasi tentang sekte2 awal buddhisme itu ada yang lebih awal daripada dokumentasi konsili ke-4 ?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 08 April 2013, 01:08:28 PM
bagi saya jelas ini spekulasi karena berbasis keyakinan.
sedangkan abhidhamma adalah karangan belakangan berbasiskan fakta.

Dengan fakta apa anda bisa menyatakan 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha ? Anda-anda, dan kita semua tahu-nya kan dari dokumentasi konsili ke-4 ? apakah ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu ?

Dan tentu-nya anda harus memiliki ke-yakinan bahwa Bhikkhu Rakkhita adalah seorang Arahat untuk bisa meyakini 4 Nikaya juga adalah ajaran langsung dari Buddha....

Jikalau Bhikkhu Rakkhita bukan Arahat, bisa saja donk, 4 Nikaya itu isi sebenarnya bukan seperti itu (yang kita kenal sekarang) ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 08 April 2013, 01:10:55 PM
Dengan fakta apa anda bisa menyatakan 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha ? Anda-anda, dan kita semua tahu-nya kan dari dokumentasi konsili ke-4 ? apakah ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu ?

Dan tentu-nya anda harus memiliki ke-yakinan bahwa Bhikkhu Rakkhita adalah seorang Arahat untuk bisa meyakini 4 Nikaya juga adalah ajaran langsung dari Buddha....

Jikalau Bhikkhu Rakkhita bukan Arahat, bisa saja donk, 4 Nikaya itu isi sebenarnya bukan seperti itu (yang kita kenal sekarang) ?


saya masih belum paham apa relavansi seorang bhikkhu arahat dengan keotentikan Nikaya, bisa tolong dijelaskan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 April 2013, 02:38:01 PM
Istilah vibhajjavada sebenarnya ada dalam MN 99 Subha Sutta di mana Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau mengatakan sesuatu setelah menganalisis (Vibhajjavādo kho ahamettha māṇava). Vibhajjavada yang dimaksud Moggalliputtatissa mungkin dalam pengertian ini juga karena waktu itu Raja Asoka ingin mengetahui secara singkat (dalam satu kata yang penuh arti) apa yang diajarkan Sang Buddha (apakah Beliau seorang eternalis, nihilis, dst). Hanya beberapa lama setelah itu dalam teks Sarvastivada, istilah "vibhajjavada" ini dianggap berlawanan dg "sarvastivada".

Walaupun istilahnya sama, namun merujuk pada hal yang berbeda. "Vibhajjavada" dalam sutta merujuk pada metode analisis, misalnya di AN 10.2.5.4. Vajjiyamahitasutta, disebutkan "Gārayhaṃ kho pana, bhante, bhagavā garahanto pasaṃsitabbaṃ pasaṃsanto vibhajjavādo bhagavā" (sesungguhnya terhadap yang tercela, bhante, bhagava mencela, terhadap yang terpuji, dipuji, [demikian] pengajaran melalui analisis oleh bhagava); sedangkan vibhajyavada yang disebutkan oleh Sarvastivada dan lainnya, merujuk pada satu aliran. Ini bukan mengindikasikan bahwa Sarvastivada ataupun aliran lainnya menolak metode analisis itu sendiri. Padanannya sama seperti Theravada berbeda dengan (aliran) Sautrantika, tapi bukan berarti Theravada tidak mengutamakan sutta (suttantika) dalam doktrinnya.

Jadi istilah sama, tapi merujuk hal berbeda. "Vibhajyavada" sebagai aliran, adalah julukan terhadap mereka yang mengadakan konsili di bawah Moggalliputta Tissa, yang diberikan oleh aliran lain yang tidak ikut konsili. "Vibhajjavada" sebagai metode, adalah cara memahami sebuah fenomena dengan analisis dan diskriminasi.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 08 April 2013, 02:41:24 PM
Dengan fakta apa anda bisa menyatakan 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha ? Anda-anda, dan kita semua tahu-nya kan dari dokumentasi konsili ke-4 ? apakah ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu ?

Dan tentu-nya anda harus memiliki ke-yakinan bahwa Bhikkhu Rakkhita adalah seorang Arahat untuk bisa meyakini 4 Nikaya juga adalah ajaran langsung dari Buddha....

Jikalau Bhikkhu Rakkhita bukan Arahat, bisa saja donk, 4 Nikaya itu isi sebenarnya bukan seperti itu (yang kita kenal sekarang) ?



saya masih belum paham apa relavansi seorang bhikkhu arahat dengan keotentikan Nikaya, bisa tolong dijelaskan?

mungkin maksudnya , ke- 4 nikaya itu kan adalah hasil dari konsili ke-4, jikalau tidak ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu, berarti, bhikkhu rakkhita adalah seorang arahat, karena beliau bisa merangkum nikaya tersebut, tetapi jika bhikkhu rakkhita diragukan sebagai seorang arahat, bagaimana mgkn beliau bisa merangkum 4 vinaya itu..
jadi kalau beliau bukan arahat, maka nikaya itu tidak otentik...

demikianlah menurut pengertian saya

CMIIW
 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 April 2013, 02:53:48 PM

 =D> =D> =D> :jempol: :jempol: :jempol:

gue setujuuuuuuu bangeettt....
gue salah satu wanita yang pengen jadi bhikkhuni dulu...
Spoiler: ShowHide
 ampe skrg msh ada si dikit niatnya  :-[

tapi gue sadar itu kagak mungkin, theravada uda abis keturunannya, ktny cuma bisa jadi meici yang jalanin 8 sila...
so, gue blg so what gitu lho....kan boleh kalau jd meici tp jalani sila bhikkuni...emanknya masalah???

gue lupa siapa yg ksh tau, katanya mana bisa jadi meici tapi jalani sila bhikkhuni...bener ga tuh?
bahkan kalok gue skrg status umat biasa, gue boleh ga mencoba menjalani sila bhikkhuni???
 _/\_
Saya pikir kalau soal sila, semua orang bisa-bisa saja menjalankannya. Misalnya kalau vinaya ada berlatih makan tidak bunyi, maka tidak perlu jadi bhikkhu juga bisa-bisa saja menjalankannya. Yang tidak bisa dijalankan mungkin adalah yang berkenaan dengan komunitas (sangha), misalnya kalau ada pelanggaran, tidak ada tempat 'mengaku dosa'.

Tapi, IMO, kalau orang memang benar bertekad berlatih, bisa saja menjalankannya tanpa status. Contohnya Pukkusati yang meninggalkan kehidupan raja juga tidak tahu vinaya dan tidak ditahbiskan, tapi punya modal keyakinan, moralitas, dan konsentrasi, mengenakan jubah kuning dan cukur rambut, hidup sebagai bhikkhu. Karena modal yang cukup itu, ketika mendengar khotbah tentang elemen, ia mencapai Anagami. Sangat unik di sini sebab Pukkusati waktu itu belum ditahbiskan, dan dia tidak tahu siapa lawan bicaranya yang mengajarkan elemen, tapi tetap dapat menembus kesucian.

Tampaknya ukuran sangha makin lama makin bergeser, sekarang yang lebih penting adalah 'pengakuan' dan 'tata cara tradisi'.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 April 2013, 03:02:39 PM
sekte awal buddhisme... darimana kisah sekte awal buddhisme itu didapat-kan ? apakah dokumentasi tentang sekte2 awal buddhisme itu ada yang lebih awal daripada dokumentasi konsili ke-4 ?


Dulu belum ada satu sejarahwan yang mencatat secara keseluruhan sekte-sekte yang berkembang. Namun setiap sekte melakukan sepak terjang sendiri, menuliskan karya sastranya masing-masing, berdebat, dan menyebarkan ajarannya. Apa yang tercatat tentang mereka adalah seperti bagian puzzle. Kemudian dikumpulkan bagian-bagian lain (termasuk catatan konsili IV, baik 'by Theravada' di Srilanka maupun 'by Sarvastivada' di Kashmir), dan disusun untuk mendapatkan gambaran keseluruhannya.

Jadi dokumentasi bukan hanya konsili saja, namun mencakup keseluruhan budaya di sana.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 08 April 2013, 03:54:34 PM
Dulu belum ada satu sejarahwan yang mencatat secara keseluruhan sekte-sekte yang berkembang. Namun setiap sekte melakukan sepak terjang sendiri, menuliskan karya sastranya masing-masing, berdebat, dan menyebarkan ajarannya. Apa yang tercatat tentang mereka adalah seperti bagian puzzle. Kemudian dikumpulkan bagian-bagian lain (termasuk catatan konsili IV, baik 'by Theravada' di Srilanka maupun 'by Sarvastivada' di Kashmir), dan disusun untuk mendapatkan gambaran keseluruhannya.

Jadi dokumentasi bukan hanya konsili saja, namun mencakup keseluruhan budaya di sana.

dan dokumentasi tentang tipitaka yang sebelum konsili ke-4 ? ada ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 08 April 2013, 03:59:25 PM


mungkin maksudnya , ke- 4 nikaya itu kan adalah hasil dari konsili ke-4, jikalau tidak ada dokumentasi yang lebih awal daripada itu, berarti, bhikkhu rakkhita adalah seorang arahat, karena beliau bisa merangkum nikaya tersebut, tetapi jika bhikkhu rakkhita diragukan sebagai seorang arahat, bagaimana mgkn beliau bisa merangkum 4 vinaya itu..
jadi kalau beliau bukan arahat, maka nikaya itu tidak otentik...

demikianlah menurut pengertian saya

CMIIW
 _/\_

siapapun bisa merangkum apa yang "beredar" dimasyarakat yang dikatakan ajaran Buddha... Tetapi utk meyakini bahwa yang "beredar" di masyarakat itu adalah ajaran Buddha, tentu-nya kita harus meyakini bahwa yang merangkum dan menvalidasi-nya itu kualitas-nya adalah kualitas seorang Arahat. Karena pengulangan2 sebelum-nya adalah pengulangan lisan yang tidak dapat diperbandingkan dan tidak dapat kita tunjukkan kepada orang lain.

Jadi bukan persoalan apakah bisa dirangkum atau tidak... tetapi setidak-nya kita harus meyakini Bhikkhu Rakkhita sebagai seorang Arahat, sebelum kita bisa meyakini 4 Nikaya yang dihasilkan dari Konsili ke-4. KALAU TIDAK, darimana kita tahu 4 Nikaya yang dihasilkan itu adalah "BENAR-BENAR YANG DISAMPAIKAN oleh BUDDHA dan siswa-siswa-nya, dan diulangi secara lisan di konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ???
(Dalam hal ini kita juga harus meyakini ke-arahatan bhikkhu2 di konsili ke-2 dan ke-3, jikalau tidak, darimana kita bisa mengetahui bahwa apa yang di-wariskan secara lisan secara turun temurun, tidak ter-degradasi, tidak di-rubah2, tidak ditambah2, tidak di-kurang2i ?)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 08 April 2013, 04:10:57 PM
dan dokumentasi tentang tipitaka yang sebelum konsili ke-4 ? ada ?

siapapun bisa merangkum apa yang "beredar" dimasyarakat yang dikatakan ajaran Buddha... Tetapi utk meyakini bahwa yang "beredar" di masyarakat itu adalah ajaran Buddha, tentu-nya kita harus meyakini bahwa yang merangkum dan menvalidasi-nya itu kualitas-nya adalah kualitas seorang Arahat. Karena pengulangan2 sebelum-nya adalah pengulangan lisan yang tidak dapat diperbandingkan dan tidak dapat kita tunjukkan kepada orang lain.

Jadi bukan persoalan apakah bisa dirangkum atau tidak... tetapi setidak-nya kita harus meyakini Bhikkhu Rakkhita sebagai seorang Arahat, sebelum kita bisa meyakini 4 Nikaya yang dihasilkan dari Konsili ke-4. KALAU TIDAK, darimana kita tahu 4 Nikaya yang dihasilkan itu adalah "BENAR-BENAR YANG DISAMPAIKAN oleh BUDDHA dan siswa-siswa-nya, dan diulangi secara lisan di konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ???
(Dalam hal ini kita juga harus meyakini ke-arahatan bhikkhu2 di konsili ke-2 dan ke-3, jikalau tidak, darimana kita bisa mengetahui bahwa apa yang di-wariskan secara lisan secara turun temurun, tidak ter-degradasi, tidak di-rubah2, tidak ditambah2, tidak di-kurang2i ?)

Betul, bisa terjadi double standard.

Dalam arti kritis mengenai mana2 nikaya dan kitab yang 'asli', sementara pelaksananya tidak dilihat secara kritis seperti melihat dan mengkaji sejarah kitab2nya.

Ujung2nya tidak bisa dibuktikan.  :whistle:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 April 2013, 04:15:28 PM
dan dokumentasi tentang tipitaka yang sebelum konsili ke-4 ? ada ?
Padanan dari sutta pitaka kanon Pali adalah Agama. Semua aliran memiliki Agama yang hampir sama persis, namun dalam dokumentasinya, tidak didapatkan lengkap dari seluruh aliran, kecuali dari Sarvastivada yang paling lengkap.

Vinaya dari berbagai aliran juga secara mayoritas sama. Hanya strukturisasi dan pengelompokannya yang berbeda.

Berbeda dengan sutra-vinaya, Abhidharma ini masing-masing sekte punya Abhidharma yang berbeda, bahkan ada yang tidak punya. Jadi tentunya istilah "Tripitaka" tidak ada dalam sekte mereka.

Nah, kumpulan dari tulisan-tulisan ini dikompilasi dalam Tripitaka Taisho. Ini jelas berbeda, bukan 'produk' konsili IVa di Srilanka.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 08 April 2013, 04:19:02 PM
Ironis sekali. Saking cocok dengan Theravada, sampai harus melanggar apa yang diajarkan di Theeravada itu sendiri.
tidak selalu bisa dipandang melanggar.
bisa juga dipandang antara perbedaan interpretasi ajaran theravada, antara pandangan orthodox dan modern...

Saya pikir wanita meninggalkan keduniawian di Theravada banyak, hanya saja mereka tidak berstatus bhikkhuni. Dalam konteks melatih diri, apalah bedanya status samaneri dengan bhikkhuni?
kalo memang begitu, buat apa pria juga menjadi bhikkhu?

kalau saya melihat adanya komunitas bhikkhuni melengkapi komunitas2 yang ada di buddhism. adanya umat pria dan wanita melaksanakan pancasila yang menyokong pertapa pria dan wanita. adanya persaudaraan bhikkhu2 dan persaudaraan bhikkhuni.

kalo orang bertanya kenapa membangkitkan bhikkhuni lagi, sebagian orang yang lain bertanya kenapa tidak.
tidak ada bahayanya bagi kelangsungan buddha dhamma, malahan sebaliknya...

Dan kalau masalah 'adil' atau tidak, kita tentu ga bisa menentukan yang mana yang adil. Karena nanti orang juga bisa protes kenapa kalo 'banci' atau orang cacad mau jadi bhikkhu/ni, kok tidak boleh, dan akan banyak lagi protes2 lainnya. Untuk itu maka sebaiknya mengikuti aturan yang berlaku. Kenapa percaya Buddha bijaksana tapi mempertanyakan peraturan yang dibuatnya ketika tidak sesuai dengan pendapat kita?
Buddha yang bijaksana memilih untuk mendirikan Sangha bhikkhuni, tidak melarangnya...
banci dan cacat tentu memiliki alasannya tersendiri, namun di lain pihak tidak ada alasan untuk tidak memberi kesempatan wanita menjadi bhikkhuni.


Dari cabang yang sama, bukan berarti dari silsilah yang sama. Dharmaguptaka dan Vibhajyavada adalah 2 sekte berbeda.

Soal silsilah tak terputus, rasanya semua juga akan klaim demikian, tapi kenyataannya kalau memang semua sama, kenapa harus sampai menjadi berbagai aliran?

Menurut saya, kalau ada dua aliran yang berbeda, itu karena memang sudah berbeda secara dhamma-vinaya. Kalau memang sama, tentu tidak perlu pakai merk berbeda. Jadi IMO cara-cara demikian hanyalah upaya mengakali vinaya saja dan menutup mata terhadap perbedaan. Terlebih lagi, kalau memang sama, kenapa harus tahbis di Dharmaguptaka lalu hijrah ke Theravada? Menetap saja di Dharmaguptaka, 'kan sama?!
apakah karena ada perbedaan pendapat mengenai satu topik ajaran, maka salah satu sekte kehilangan license untuk mengakui sebagai bhikkhu / bhikkhuni murid Buddha? apakah karena perbedaan itu, maka seluruh penganut theravada tidak lagi mengakui bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni yang berasal dari guru yang sama?

saya bukan menyarankan kedua sekte sama dan sebaiknya merger saja, tapi bukankah seharusnya keduanya masih saling mengakui memiliki guru yang sama dan praktek yang sama?

Tapi, IMO, kalau orang memang benar bertekad berlatih, bisa saja menjalankannya tanpa status. Contohnya Pukkusati yang meninggalkan kehidupan raja juga tidak tahu vinaya dan tidak ditahbiskan, tapi punya modal keyakinan, moralitas, dan konsentrasi, mengenakan jubah kuning dan cukur rambut, hidup sebagai bhikkhu. Karena modal yang cukup itu, ketika mendengar khotbah tentang elemen, ia mencapai Anagami. Sangat unik di sini sebab Pukkusati waktu itu belum ditahbiskan, dan dia tidak tahu siapa lawan bicaranya yang mengajarkan elemen, tapi tetap dapat menembus kesucian.

Tampaknya ukuran sangha makin lama makin bergeser, sekarang yang lebih penting adalah 'pengakuan' dan 'tata cara tradisi'.
dengan argumen yang sama, kenapa membangkitkan kembali bhikkhuni theravada ditentang?
bukankah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi yang penting ketimbang tata cara tradisi?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 08 April 2013, 04:33:41 PM
siapapun bisa merangkum apa yang "beredar" dimasyarakat yang dikatakan ajaran Buddha... Tetapi utk meyakini bahwa yang "beredar" di masyarakat itu adalah ajaran Buddha, tentu-nya kita harus meyakini bahwa yang merangkum dan menvalidasi-nya itu kualitas-nya adalah kualitas seorang Arahat. Karena pengulangan2 sebelum-nya adalah pengulangan lisan yang tidak dapat diperbandingkan dan tidak dapat kita tunjukkan kepada orang lain.

Jadi bukan persoalan apakah bisa dirangkum atau tidak... tetapi setidak-nya kita harus meyakini Bhikkhu Rakkhita sebagai seorang Arahat, sebelum kita bisa meyakini 4 Nikaya yang dihasilkan dari Konsili ke-4. KALAU TIDAK, darimana kita tahu 4 Nikaya yang dihasilkan itu adalah "BENAR-BENAR YANG DISAMPAIKAN oleh BUDDHA dan siswa-siswa-nya, dan diulangi secara lisan di konsili ke-1, ke-2 dan ke-3 ???
(Dalam hal ini kita juga harus meyakini ke-arahatan bhikkhu2 di konsili ke-2 dan ke-3, jikalau tidak, darimana kita bisa mengetahui bahwa apa yang di-wariskan secara lisan secara turun temurun, tidak ter-degradasi, tidak di-rubah2, tidak ditambah2, tidak di-kurang2i ?)

bagaimana dengan konsili2 sesudahnya (5 dan 6)? apakah mrk juga harus memiliki prasyarat Arahat dan apakah mrk Arahat?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 April 2013, 05:17:41 PM
tidak selalu bisa dipandang melanggar.
bisa juga dipandang antara perbedaan interpretasi ajaran theravada, antara pandangan orthodox dan modern...
... yang berarti dhamma tidak sempurna dibabarkan, perlu interpretasi lebih lanjut, dan mengikuti perkembangan zaman.


Quote
kalo memang begitu, buat apa pria juga menjadi bhikkhu?
Memang dalam konteks pencapaian kesucian, pria/wanita tidak mutlak berstatus bhikkhu/bhikkhuni.
Tapi yang dibahas di sini adalah kondisi sekarang di mana sangha bhikkhuni sudah punah, sehingga secara peraturan wanita tidak bisa jadi bhikkhuni, dan ada sebagian orang 'maksa'.

Mengenai pria jadi bhikkhu, karena sekarang memang masih bisa sesuai aturan, saya pikir tidak relevan dibahas.


Quote
kalau saya melihat adanya komunitas bhikkhuni melengkapi komunitas2 yang ada di buddhism. adanya umat pria dan wanita melaksanakan pancasila yang menyokong pertapa pria dan wanita. adanya persaudaraan bhikkhu2 dan persaudaraan bhikkhuni.

kalo orang bertanya kenapa membangkitkan bhikkhuni lagi, sebagian orang yang lain bertanya kenapa tidak.
tidak ada bahayanya bagi kelangsungan buddha dhamma, malahan sebaliknya...
Buddha yang bijaksana memilih untuk mendirikan Sangha bhikkhuni, tidak melarangnya...
banci dan cacat tentu memiliki alasannya tersendiri, namun di lain pihak tidak ada alasan untuk tidak memberi kesempatan wanita menjadi bhikkhuni.
Kalau menurut bro morph sendiri, apakah ada alasan bagi Buddha yang menetapkan penahbisan bhikkhuni harus oleh sangha bhikkhuni? Atau itu hanya fenomena anomali keputusan tidak bijaksana dari seorang bijaksana?


Quote
apakah karena ada perbedaan pendapat mengenai satu topik ajaran, maka salah satu sekte kehilangan license untuk mengakui sebagai bhikkhu / bhikkhuni murid Buddha? apakah karena perbedaan itu, maka seluruh penganut theravada tidak lagi mengakui bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni yang berasal dari guru yang sama?
Sebaliknya, justru karena perbedaan ajaran, maka masing-masing memiliki 'licence' untuk menahbiskan bhikkhu/ni sesuai aliran masing-masing. Tidak beda keadaannya dengan Devadatta yang punya licence sendiri untuk menahbiskan bhikkhu/ni-nya. Ketika dinyatakan sebagai sangha yang satu, tentu ia bukan anggota sangha lainnya.


Quote
saya bukan menyarankan kedua sekte sama dan sebaiknya merger saja, tapi bukankah seharusnya keduanya masih saling mengakui memiliki guru yang sama dan praktek yang sama?
Seperti contohnya Dharmaguptaka sendiri menolak pratikmoksa dari Sarvastivada, menganggapnya sudah tidak 'murni', sementara Sarvastivada tentu saja juga mengaku sebagai pewaris dharma yang benar. Dari sini sudah kelihatan bagaimana aliran-aliran itu sebetulnya berbeda, bukan sama.


Quote
dengan argumen yang sama, kenapa membangkitkan kembali bhikkhuni theravada ditentang?
bukankah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi yang penting ketimbang tata cara tradisi?
Sila dan samadhi menurut siapa? Menurut aliran penahbisnya, atau menurut aliran ke mana dia berpindah?

Katakanlah seseorang ditahbis di Sarvastivada, lalu hijrah ke Dharmaguptaka. Pandangan mana yang harus dianutnya? Jika dia menganut Dharmaguptaka, maka ia harus menolak keabsahan penahbisan dirinya; jika dia menganut Sarvastivada, yah untuk apa dia pindah ke Dharmaguptaka yang akan menolak keabsahan penahbisannya itu?

Karena memiliki akar yang sama, maka memang ada kesamaan antar sekte, tapi sesuai perkembangannya, jelas ada perbedaan yang mendasar yang tidak bisa disamakan yang memaksa mereka harus memisahkan diri, bahkan saling mengecam. Saya pikir kita harus buka mata sepenuhnya pada persamaan dan perbedaan ini.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 08 April 2013, 05:18:04 PM
dengan argumen yang sama, kenapa membangkitkan kembali bhikkhuni theravada ditentang?
bukankah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi yang penting ketimbang tata cara tradisi?


lah, kalau yang penting adalah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi, lantas untuk apa label bhikkhuni ???


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 April 2013, 05:41:07 PM
bagaimana dengan konsili2 sesudahnya (5 dan 6)? apakah mrk juga harus memiliki prasyarat Arahat dan apakah mrk Arahat?
'Kan sudah dibilang masalah keyakinan. Misalnya kalau suka dengan 4 KM terbalik, tinggal meyakini A. Brahm adalah Arahant; suka dengan Vsm, yakini Buddhagosa Arahant; suka HHK, yakini LSY Buddha. Hanya masalah keyakinan saja.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 08 April 2013, 07:08:47 PM
[Catatan numpang lewat]

"... cattāro satipaṭṭhānā cattāro sammappadhānā cattāro iddhipādā pañcindriyāni pañca balāni satta bojjhaṅgā ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, tattha sabbeheva samaggehi sammodamānehi avivadamānehi sikkhitabbaṃ.
Tesañca vo, bhikkhave, samaggānaṃ sammodamānānaṃ avivadamānānaṃ sikkhataṃ siyaṃsu dve bhikkhū abhidhamme nānāvādā... "

Dari kutipan Kinti Sutta ini, 37 hal ini dan penjelasannya yang disebut "Abhidhamma", sebab merupakan jalan menuju pencerahan.

Spoiler: ShowHide
4 Landasan Perhatian, 4 Usaha Benar, 4 kekuatan batin, 5 indriya, 5 kekuatan, dan 7 Faktor Pencerahan, Jalan Mulia Berunsur 8.



Di AN, istilah 'Abhidhamma' selain perbincangan Mahakotthita tentang Abhidhamma (yang tidak dijelaskan apa isinya), istilah ini selalu berpasangan dengan "Abhivinaya". Kalau Abhidhamma diajarkan di Tavatimsa, kira-kira Abhivinaya diajarkan di alam mana yah?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 08 April 2013, 07:12:22 PM
Walaupun istilahnya sama, namun merujuk pada hal yang berbeda. "Vibhajjavada" dalam sutta merujuk pada metode analisis, misalnya di AN 10.2.5.4. Vajjiyamahitasutta, disebutkan "Gārayhaṃ kho pana, bhante, bhagavā garahanto pasaṃsitabbaṃ pasaṃsanto vibhajjavādo bhagavā" (sesungguhnya terhadap yang tercela, bhante, bhagava mencela, terhadap yang terpuji, dipuji, [demikian] pengajaran melalui analisis oleh bhagava); sedangkan vibhajyavada yang disebutkan oleh Sarvastivada dan lainnya, merujuk pada satu aliran. Ini bukan mengindikasikan bahwa Sarvastivada ataupun aliran lainnya menolak metode analisis itu sendiri. Padanannya sama seperti Theravada berbeda dengan (aliran) Sautrantika, tapi bukan berarti Theravada tidak mengutamakan sutta (suttantika) dalam doktrinnya.

Jadi istilah sama, tapi merujuk hal berbeda. "Vibhajyavada" sebagai aliran, adalah julukan terhadap mereka yang mengadakan konsili di bawah Moggalliputta Tissa, yang diberikan oleh aliran lain yang tidak ikut konsili. "Vibhajjavada" sebagai metode, adalah cara memahami sebuah fenomena dengan analisis dan diskriminasi.

Waktu itu Konsili Ketiga bahkan belum diadakan, Moggaliputtatissa hanya menjawab bahwa Sang Buddha mengajarkan vibhajjavada (ajaran analisis) ketika ditanya Raja Asoka. Menurut saya, istilah vibhajjavada yg dipakai Moggaliputtatissa memiliki pengertian sama dg istilah vibhajjavada yg digunakan Sang Buddha dalam Nikaya-Nikaya awal. Namun seiring berkembangnya Abhidhamma, ini menjadi istilah untuk aliran yang mengutamakan metode analisis dalam Abhidhamma-nya (yaitu Theravada/Mahaviharavasin). Hal yang hampir senada dinyatakan Bhikkhu Sujato dalam Sects and Sectarianism sbb:

Quote
Maka kita ditinggalkan dengan masalah: apakah yang dimaksud vibhajjavāda, dan mengapa ia relevan dalam konteks Konsili Ketiga? Marilah kita mengingat kembali aliran teks. Para pengikut ajaran salah non-Buddhis menyatakan berbagai ajaran tentang “diri”; Moggaliputtatissa menentangnya dengan ajaran Sang Buddha tentang vibhajjavāda; kemudian sumber-sumber Mahāvihāra menggambarkannya akan mengajarkan Kathāvatthu. Bahkan jika Kathāvatthu adalah penambahan yang belakangan, Mahāvihāra pasti telah menambahkannya atas beberapa alasan. Komentar Kathāvatthu, seperti yang telah kita lihat, secara khusus mengatakan bahwa Kathāvatthu “membedakan” (vibhajanto) pandangan heterodoks dan ortodoks, sehingga mungkin ini berarti untuk membuat beberapa hubungan eksplisit antara Kathāvatthu dan vibhajjavāda.

Sekarang, Kathāvatthu membahas sangat banyak topik, kebanyakan darinya yang sepele dan diberikan sedikit ruang kosong, dan yang jauh lebih penting semua topik lain dalam buku itu adalah bagian pertama tentang “diri”. Ini adalah, seperti yang telah kita lihat, satu-satunya topik utama yang umum dalam Kathāvatthu dan Vijñānakāya, selain dari posisi berlawanan tentang tesis “semuanya ada”. Ini jelas adalah perdebatan yang sulit, dan meskipun dialetika Abhidhamma yang dingin, suatu hal yang emosional.

Dalam konteks kita sekarang, pastinya tema yang muncul adalah debat diri/bukan-diri ini. Saya ingin menyatakan bahwa istilah vibhajjavāda digunakan di sini untuk mengimplikasikan suatu kritik atas teori non-Buddhis tentang diri. Ini tentunya memenuhi kriteria yang kita pertanyakan sebelumnya, bahwa istilah ini pasti membangkitkan suatu aspek ajaran Sang Buddha yang penuh makna, penting dalam suatu cara yang akan menjawab tantangan para pengikut ajaran salah.

Ajaran bukan-diri selalu dianggap sebagai ajaran utama Sang Buddha. Metode khas yang digunakan oleh Sang Buddha untuk mematahkan gagasan salah tentang diri adalah menggunakan analisis. Dalam Buddhisme awal, metode utamanya adalah dengan sistematis menentukan hal-hal tersebut yang dianggap sebagai diri, mengangkatnya untuk diselidiki, dan menemukan dalam pengamatan yang cermat bahwa mereka tidak memiliki ciri-ciri yang kita berikan pada suatu diri. Dengan demikian lima kelompok unsur kehidupan digambarkan sebagai yang membentuk landasan bagi teori-teori diri. Tetapi dalam perenungan, mereka dilihat membawa pada penderitaan, yang bukan bagaimana suatu diri dipahami, sehingga mereka gagal memenuhi kriteria dari suatu diri. Dalam sutta-sutta, metode ini dicontohkan oleh siswa Kaccāyana, yang dikenal sebagai yang terkemuka di antara mereka yang dapat menganalisis (vibhajjati) dalam detail apa yang diajarkan Sang Buddha secara singkat; Dīpavaṁsa mengatakan bahwa ia memenuhi peran itu dalam Konsili Pertama.[200]

Analisis ini, atau vibhaṅga, adalah momentum pengumpulan selama masa Konsili Ketiga. Sebenarnya, teks dasarnya disebut Vibhaṅga dalam versi Mahāvihāravāsin; versi Sarvāstivāda adalah Dharmaskandha, dan versi Dharmaguptaka adalah Śāripūtrābhidharmaśāstra. Semua ini berasal dari suatu tahap kuno dari perkembangan Abhidhamma, yang mengumpulkan sutta-sutta “analitis”, terutama yang diatur berdasarkan topik-topik dari Saṁyutta Nikāya/Āgama, dan menguraikannya dengan tingkat penafsiran Abhidhammik yang berbeda-beda.

Jadi akan sangat masuk akal dalam kisah kita untuk vibhajjavāda untuk mewakili gerakan Abhidhamma sebagai suatu pendekatan analitis atas Dhamma secara umum, dan sebagai sebuah kritik atas “diri” secara khusus. Juga kelihatannya tepat untuk menggambarkan Sang Buddha sebagai seorang vibhajjavādin, sama dengan mengatakan beliau adalah seorang anattavādin. Penafsiran ini bersifat sementara, karena ini tidak dapat didukung dengan pernyataan yang jelas dari teks-teks. Tetapi, seperti yang kita telah lihat, definisi vibhajjavāda yang diberikan kepada kita dari teks-teks tidak cukup untuk menjelaskan penggunaan oleh Mahāvihāravāsin dalam teks mereka sendiri: teks-teks ini belakangan, atau tidak relevan, atau diturunkan dari aliran yang berbeda. Jika spekulasi kita memiliki suatu nilai, tampaknya bahwa sasaran utama dari polemik dalam bacaan ini bukanlah Sarvāstivādin, tetapi para teoritikus Diri non-Buddhis, dan mungkin oleh implikasi Puggalavādin.

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23774.msg433828.html#msg433828 (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23774.msg433828.html#msg433828)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 09 April 2013, 06:11:00 AM
Karena memiliki akar yang sama, maka memang ada kesamaan antar sekte, tapi sesuai perkembangannya, jelas ada perbedaan yang mendasar yang tidak bisa disamakan yang memaksa mereka harus memisahkan diri, bahkan saling mengecam. Saya pikir kita harus buka mata sepenuhnya pada persamaan dan perbedaan ini.

setuju
jangan terbuka mata hanya karena keadilan utk memunculkan yang sudah punah duluan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 09 April 2013, 06:18:44 AM

lah, kalau yang penting adalah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi, lantas untuk apa label bhikkhuni ???


status kebhikkhuan tentunya perlu jika masih bisa utk di tabhiskan tentunya bukan karena utk kebanggaan dan dihormati.

tapi pelatihan dan praktek Dhamma tidak perlu status Kebhikkhuan,
karena umat awam juga punya kemampuan menjadi mahluk suci.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 09 April 2013, 07:11:46 AM
jaman sekarang aye sering lihat biksu, biksuni, mereka menyetir mobil sendiri, bikkhu juga keknya sama aja, kemudian kayak kasus kemarin ada biku bergitar, jualan amulet, merokok, melelang diri untuk bangun vihara, jadi sebenernya status bikkhu itu apa maknanya ya? dengan kesibukan seperti itu bisakah mereka menempuh tujuan akhir?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 07:35:44 AM
jaman sekarang aye sering lihat biksu, biksuni, mereka menyetir mobil sendiri, bikkhu juga keknya sama aja, kemudian kayak kasus kemarin ada biku bergitar, jualan amulet, merokok, melelang diri untuk bangun vihara, jadi sebenernya status bikkhu itu apa maknanya ya? dengan kesibukan seperti itu bisakah mereka menempuh tujuan akhir?

tidak semua orang jadi bhikkhu memiliki tujuan mulia itu, sebagian orang menjadi bhikkhu karena kesulitan hidup dan malas bekerja
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 09 April 2013, 10:58:34 AM
tidak semua orang jadi bhikkhu memiliki tujuan mulia itu, sebagian orang menjadi bhikkhu karena kesulitan hidup dan malas bekerja
apabila ada seseorang bertujuan mulia menjadi bikkhu, bisakah mencapai tujuan akhir dalam kehidupan itu juga, bayangkan dengan bikkhu yang kerjaannya melelang diri, bermain gitar, jualan amulet dll.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 11:15:13 AM
apabila ada seseorang bertujuan mulia menjadi bikkhu, bisakah mencapai tujuan akhir dalam kehidupan itu juga, bayangkan dengan bikkhu yang kerjaannya melelang diri, bermain gitar, jualan amulet dll.

bisa atau tidak bisa tergantung dari banyak faktor, tapi setidaknya seorang yg bertujuan mulia dan berlatih untuk mengejar tujuan itu akan lebih dekat pada tujuan daripada yg sibuk menjual diri, bermain gitar, dll
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 09 April 2013, 11:32:51 AM
... yang berarti dhamma tidak sempurna dibabarkan, perlu interpretasi lebih lanjut, dan mengikuti perkembangan zaman.
imo, dhamma yang telah sempurna dibabarkan adalah dhamma yang direalisasikan oleh orang suci, di sini, saat ini (paccatam veditabbo vinnuhi & sanditthika), bukan segala macam tulisan yang ada di tipitaka. dhamma yang sempurna dibabarkan adalah rembulan, bukan telunjuknya. dalam membaca telunjuknya setiap orang mempunyai interpretasi masing2 dalam memahami latar belakang, tujuan dan maksudnya.

Mengenai pria jadi bhikkhu, karena sekarang memang masih bisa sesuai aturan, saya pikir tidak relevan dibahas.
bisa dibilang diskusi ini akan selalu berujung pada pelanggaran peraturan atau tidak, dan itu akan berakhir dengan perbedaan pendapat.

Kalau menurut bro morph sendiri, apakah ada alasan bagi Buddha yang menetapkan penahbisan bhikkhuni harus oleh sangha bhikkhuni? Atau itu hanya fenomena anomali keputusan tidak bijaksana dari seorang bijaksana?
seperti halnya ada alasannya pertama kali hanya cukup dengan ehi bhikkhuni dan juga ada alasannya berubah menjadi penahbisan oleh bhikkhu dan akhirnya diganti menjadi penahbisan dua sisi dengan suatu alasan. alasan2nya tentunya didasari kondisi dan kejadian tertentu.

imo, kondisi spesial saat ini adalah sangha bhikkhuni punah. sebenarnya dengan kondisi spesial itu saja sudah cukup alasan untuk membangkitkan kembali sangha bhikkhuni dengan penahbisan oleh bhikkhu saja. mengapa tidak? kenapa sebuah organisasi tidak bisa bangkit kembali dengan alasan peraturannya sendiri menghalangi kebangkitannya...

Sebaliknya, justru karena perbedaan ajaran, maka masing-masing memiliki 'licence' untuk menahbiskan bhikkhu/ni sesuai aliran masing-masing. Tidak beda keadaannya dengan Devadatta yang punya licence sendiri untuk menahbiskan bhikkhu/ni-nya. Ketika dinyatakan sebagai sangha yang satu, tentu ia bukan anggota sangha lainnya.

Seperti contohnya Dharmaguptaka sendiri menolak pratikmoksa dari Sarvastivada, menganggapnya sudah tidak 'murni', sementara Sarvastivada tentu saja juga mengaku sebagai pewaris dharma yang benar. Dari sini sudah kelihatan bagaimana aliran-aliran itu sebetulnya berbeda, bukan sama.

Sila dan samadhi menurut siapa? Menurut aliran penahbisnya, atau menurut aliran ke mana dia berpindah?

Katakanlah seseorang ditahbis di Sarvastivada, lalu hijrah ke Dharmaguptaka. Pandangan mana yang harus dianutnya? Jika dia menganut Dharmaguptaka, maka ia harus menolak keabsahan penahbisan dirinya; jika dia menganut Sarvastivada, yah untuk apa dia pindah ke Dharmaguptaka yang akan menolak keabsahan penahbisannya itu?

Karena memiliki akar yang sama, maka memang ada kesamaan antar sekte, tapi sesuai perkembangannya, jelas ada perbedaan yang mendasar yang tidak bisa disamakan yang memaksa mereka harus memisahkan diri, bahkan saling mengecam. Saya pikir kita harus buka mata sepenuhnya pada persamaan dan perbedaan ini.
kalau mengenai pandangan yang dipermasalahkan, di jaman Buddha berbekal satu atau dua ajaran saja (langsung dari Sang Buddha atau gurunya) seorang bhikkhu/bhikkhuni dapat melatih diri. tidak ada keharusan bahwa seorang bhikkhu/bhikkhuni harus menerima seluruh point2 sistematika doktrinal terstruktur sebagai azas organisasi dan prasyarat untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni. seorang bhikkhu yang ingin berlatih anapanasati tidak harus menerima pandangan kamma timimbal lahir tilakkhana 4km 8jm pattica samuppada untuk bisa mulai berlatih... murid2 asajji yang hanya tahu ajaran abc tetaplah satu sangha dengan murid2 kassapa yang hanya tahu ajaran xyz...

tidak bisakah kita melihat status bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni saja tanpa embel2? terlepas dari pandangan dan vinayanya (yg berbeda pada hal2 kecil dari vinaya theravada), status bhikkhuni dharmaguptaka tetaplah bhikkhuni. ditambah dengan kondisi spesialnya (kepunahan bhikkhuni theravada), kenapa tidak bisa memakai statusnya sebagai bhikkhuni untuk menghidupkan kembali sangha bhikkhuni theravada....?

sepertinya saya mulai mengulang point2 saya. mungkin udah deket dengan akhir diskusinya...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 09 April 2013, 11:35:03 AM
lah, kalau yang penting adalah tekad untuk berlatih, menjalankan sila dan samadhi, lantas untuk apa label bhikkhuni ???
demikian pula dengan label bhikkhu...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 11:37:50 AM
demikian pula dengan label bhikkhu...


benar, maka pada suatu masa kelak, ketika Sangha Bhikkhu sudah punah, seorang laki-laki tidak bisa lagi menjadi bhikkhu. Namun pada masa itu pun mereka masih bisa menjalani kehidupan pertapaan dan mempraktikkan moralitas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 April 2013, 01:59:00 PM
Waktu itu Konsili Ketiga bahkan belum diadakan, Moggaliputtatissa hanya menjawab bahwa Sang Buddha mengajarkan vibhajjavada (ajaran analisis) ketika ditanya Raja Asoka. Menurut saya, istilah vibhajjavada yg dipakai Moggaliputtatissa memiliki pengertian sama dg istilah vibhajjavada yg digunakan Sang Buddha dalam Nikaya-Nikaya awal.
Betul, memang kelompok Moggalliputta Tissa ini menyatakan Buddha mengajar dengan cara analisis (Vibhajjavada), namun mereka tidak menyebut diri mereka sendiri sebagai "Vibhajjavadin". Itu adalah julukan yang diberikan pihak lain. Kira-kira sama seperti kelompok orang yang berusaha mencapai Arahant Sravaka tidak menyatakan mereka sebagai apapun, tapi kelompok lain menamakan mereka 'hinayana'.


Quote
Namun seiring berkembangnya Abhidhamma, ini menjadi istilah untuk aliran yang mengutamakan metode analisis dalam Abhidhamma-nya (yaitu Theravada/Mahaviharavasin). Hal yang hampir senada dinyatakan Bhikkhu Sujato dalam Sects and Sectarianism sbb:
[...]
Kalau ini saya tidak setuju, sebab Abhidharma bukan digagas hanya oleh "Vibhajjavada" ini, namun juga oleh sekte-sekte awal lainnya. Yang masih utuh 'terselamatkan' adalah Abhidharma dari Sarvastivada. Mahasanghika juga dikatakan menganut tapi tidak menyatakannya sebagai 'otoritas'. Ini juga masuk akal karena turunan dari Mahasanghika seperti Yogacara di kemudian hari, juga menekankan pembelajaran basis Abhidharma. Jadi saya pikir kurang tepat kalau "Vibhajjavada" ini merujuk pada aliran Abhidharmika, sementara "Vibhajjavadin" ini sendiri menyebutkan Sarvastivada dan Mahasanghika (yang notabene adalah Abhidharmika juga) sebagai 'heretic'.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 09 April 2013, 02:01:54 PM
demikian pula dengan label bhikkhu...


iya, makanya ada jg orang2 yang berlatih tanpa menjadi bhikkhu...*lyirik om indra, bro morpheus, kk, tuhan  :whistle: :whistle: :whistle:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 09 April 2013, 02:08:45 PM
demikian pula dengan label bhikkhu...

iya, makanya ada jg orang2 yang berlatih tanpa menjadi bhikkhu...*lyirik om indra, bro morpheus, kk, tuhan  :whistle: :whistle: :whistle:

Sudah serendah itukah label bhikkhu sekarang di matamu?   ;D :P




#kaburlangkahseribukeiceland
  :)) :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 April 2013, 03:16:16 PM
imo, dhamma yang telah sempurna dibabarkan adalah dhamma yang direalisasikan oleh orang suci, di sini, saat ini (paccatam veditabbo vinnuhi & sanditthika), bukan segala macam tulisan yang ada di tipitaka. dhamma yang sempurna dibabarkan adalah rembulan, bukan telunjuknya. dalam membaca telunjuknya setiap orang mempunyai interpretasi masing2 dalam memahami latar belakang, tujuan dan maksudnya.
Ya, saya setuju bahwa dhamma yang dimaksud adalah 'Buddha-dhamma'. Hanya saja kalau saya berpendapat bahwa aturan-aturan dalam vinaya (termasuk penahbisan bhikkhuni) juga ditetapkan oleh Buddha dengan pertimbangan. Berdasarkan ini, jika terkendala vinaya, lebih baik seseorang mencari alternatif lain yang tidak menyalahi vinaya tersebut (misalnya menjadi petapa wanita tanpa status aliran tertentu, atau dengan cukup menjadi Samaneri/dasasilamata/atthasilani, atau lain-lain), ketimbang secara langsung melanggarnya yang berarti kita telah override keputusan Buddha.

Jika sudah sekali kita bersikap begitu, tidak ada lagi yang menghalangi kita untuk berbuat hal yang sama untuk point-point lainnya di masa depan. Nanti jika ada satu hal terkendala vinaya, tinggal diabaikan saja. Basis alasannya sama: interpretasi.


Quote
bisa dibilang diskusi ini akan selalu berujung pada pelanggaran peraturan atau tidak, dan itu akan berakhir dengan perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat selalu terjadi, itu sebabnya Buddha menetapkan aturan. Perihal orang mau ikut peraturan walaupun tidak menyenangkan, atau mencari celah pembenaran demi hal yang ia setujui, adalah hal lain lagi.


Quote
seperti halnya ada alasannya pertama kali hanya cukup dengan ehi bhikkhuni dan juga ada alasannya berubah menjadi penahbisan oleh bhikkhu dan akhirnya diganti menjadi penahbisan dua sisi dengan suatu alasan. alasan2nya tentunya didasari kondisi dan kejadian tertentu.
Kalau Buddha masih ada, tentu berbeda. Sama seperti eks-petapa lain yang harus menjalani masa percobaan, kalau memang Buddha merasa tidak perlu, maka di-skip dan langsung ditahbiskan penuh. Contoh lain adalah Buddha melarang penggunaan iddhi, tapi sesuai kondisi, bisa menyetujui penggunaannya.
Jadi kalau Buddha masih ada, pendapatnya langsung akan menjadi otoritas tertinggi, sebab memang dhamma-vinaya pun semua berasal dan bertumpu pada Buddha. Namun kalau Buddha tidak ada, otoritas tertingginya adalah dhamma-vinaya yang telah ditetapkan.


Quote
imo, kondisi spesial saat ini adalah sangha bhikkhuni punah. sebenarnya dengan kondisi spesial itu saja sudah cukup alasan untuk membangkitkan kembali sangha bhikkhuni dengan penahbisan oleh bhikkhu saja. mengapa tidak? kenapa sebuah organisasi tidak bisa bangkit kembali dengan alasan peraturannya sendiri menghalangi kebangkitannya...
Saya mau tanya aja. Misalkan di satu tempat suatu saat, sangha tinggal 5 orang bhikkhu tua dan sudah sakit-sakitan menjelang ajal, dan tidak ada orang yang mau jadi petapa lagi. Kemudian ada sekelompok orang yang mau, tapi mereka itu adalah buronan bersaudara yang membunuh ayah-ibu mereka. Bagaimana menurut bro morph, apakah dengan pertimbangan 'organisasi seharusnya bisa bangkit kembali walaupun melanggar peraturannya', seharusnya buronan itu ditahbiskan?


Quote
kalau mengenai pandangan yang dipermasalahkan, di jaman Buddha berbekal satu atau dua ajaran saja (langsung dari Sang Buddha atau gurunya) seorang bhikkhu/bhikkhuni dapat melatih diri. tidak ada keharusan bahwa seorang bhikkhu/bhikkhuni harus menerima seluruh point2 sistematika doktrinal terstruktur sebagai azas organisasi dan prasyarat untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni. seorang bhikkhu yang ingin berlatih anapanasati tidak harus menerima pandangan kamma timimbal lahir tilakkhana 4km 8jm pattica samuppada untuk bisa mulai berlatih... murid2 asajji yang hanya tahu ajaran abc tetaplah satu sangha dengan murid2 kassapa yang hanya tahu ajaran xyz...
Itulah masalahnya. Yang bro morph katakan adalah 'gambaran ajaran Buddha menurut Theravada'. Masalahnya, setiap sekte punya penggambarannya masing-masing.


Quote
tidak bisakah kita melihat status bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni saja tanpa embel2? terlepas dari pandangan dan vinayanya (yg berbeda pada hal2 kecil dari vinaya theravada), status bhikkhuni dharmaguptaka tetaplah bhikkhuni. ditambah dengan kondisi spesialnya (kepunahan bhikkhuni theravada), kenapa tidak bisa memakai statusnya sebagai bhikkhuni untuk menghidupkan kembali sangha bhikkhuni theravada....?
Bukan saya yang menentukan. Tapi kalau saya pribadi, saya akan melihat 'bhikkhuni Dharmaguptaka' sebagaimana adanya, yaitu 'bhikkhuni dalam dhamma-vinaya yang berbeda dengan non-Dharmapguptaka'. Saya tidak akan memanipulasi persepsi menjadi 'bhikkhuni Dharmaguptaka adalah bhikkhuni aja, semua aliran sama'.

Sekali lagi, jika sekarang kita mulai menyama-nyamakan apa yang berbeda, tidak ada lagi yang menghalangi kita di masa depan untuk menyama-nyamakan lebih banyak lagi hal-hal yang sebetulnya berbeda. Mungkin kurang lebih akan seperti aliran campur aduk di Indo, yang dalam sesi khotbah 'Theravada' bisa diajarkan 'Sukhavati'.


Quote
sepertinya saya mulai mengulang point2 saya. mungkin udah deket dengan akhir diskusinya...
Ya, silahkan kalau mau sudahi. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 April 2013, 03:25:29 PM
iya, makanya ada jg orang2 yang berlatih tanpa menjadi bhikkhu...*lyirik om indra, bro morpheus, kk, tuhan  :whistle: :whistle: :whistle:
Dari kisah-kisah dhamma, yang berkesan bagi saya adalah Ghatikara, seorang Anagami sangha Buddha Kassapa yang tidak menjadi bhikkhu demi orangtuanya yang buta. Ada juga Cittagahapati yang dinyatakan Buddha sebagai yang terunggul di antara umat awam dalam membabarkan dhamma. Mereka dan banyak lagi umat2 awam, menempuh jalan dan latihan dengan sangat baik tanpa menjadi bhikkhu.

Kalau saya jadi role model 'orang yang berlatih tanpa menjadi bhikkhu', mengingat tokoh2 itu, saya bisa terserang rendah diri stadium 4.3.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 03:30:48 PM
bagaimana dengan konsili2 sesudahnya (5 dan 6)? apakah mrk juga harus memiliki prasyarat Arahat dan apakah mrk Arahat?

om google mungkin juga arahat
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 03:34:58 PM
om google mungkin juga arahat

silakan percaya sama google, untung saya tidak menjadikan arahat sebagai kriteria untuk menjadi yg dapat dipercaya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 03:35:04 PM
'Kan sudah dibilang masalah keyakinan. Misalnya kalau suka dengan 4 KM terbalik, tinggal meyakini A. Brahm adalah Arahant; suka dengan Vsm, yakini Buddhagosa Arahant; suka HHK, yakini LSY Buddha. Hanya masalah keyakinan saja.

masalah-nya, Jika anda tidak meyakini ke-arahatan Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita, maka anda juga tidak boleh meyakini isi 4 Nikaya itu (yg ada dan diwariskan sampai sekarang) adalah ajaran langsung Sang Buddha, karena bisa saja merupakan karya tambahan atau sudah mengalami perubahan.

Dan jika anda meyakini 4 Nikaya itu sebagai ajaran langsung Sang Buddha yang telah divalidasi oleh Arahat Mogalitaputta Tissa dan Arahat Rakkhita, maka anda juga harus menyakini bahwa kompilasi pada jaman itu sudah mewakili apa yang dianggap sebagai ajaran langsung Buddha maupun siswa utamanya, terutama utk "kisah" ajaran yang di-sampaikan oleh Buddha seperti Abhidhamma... Sedangkan untuk kitab komentar, sudah di-beri-kan keterangan sebagai kitab komentar yang merupakan karya dari bhikkhu-bhikkhu atau orang-orang setelah era Buddha,
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 03:36:37 PM
silakan percaya sama google, untung saya tidak menjadikan arahat sebagai kriteria untuk menjadi yg dapat dipercaya.

jadi darimana percaya 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha, tidak mengalami distorsi, penambahan-penambahan atau perubahan-perubahan ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 03:42:28 PM
jadi darimana percaya 4 Nikaya itu adalah ajaran langsung dari Buddha, tidak mengalami distorsi, penambahan-penambahan atau perubahan-perubahan ?

saya bahkan baru dengar dari anda. saya sendiri yakin bahwa di antara 5 Nikaya, 4.4 di antaranya adalah berasal dari Sang Buddha dengan beberapa penambahan dan perubahan sedangkan 0.6 di antaranya murni bukan dari Sang Buddha.

dari mana anda yakin bahwa anda adalah anak kandung ayah/ibu anda?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 03:43:58 PM
bagaimana dengan konsili2 sesudahnya (5 dan 6)? apakah mrk juga harus memiliki prasyarat Arahat dan apakah mrk Arahat?

kan sudah ada dokumentasi... dan om google juga tidak menjadi arahat...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 03:47:35 PM
saya bahkan baru dengar dari anda. saya sendiri yakin bahwa di antara 5 Nikaya, 4.4 di antaranya adalah berasal dari Sang Buddha dengan beberapa penambahan dan perubahan sedangkan 0.6 di antaranya murni bukan dari Sang Buddha.

Konsili ke-3 dan konsili ke-4... hasil-nya adalah 5 Nikaya + Abhidhamma + lain lain...

sedangkan hasil dari konsili ke-1 dan konsili ke-2... yah KISAH-nya didapatkan dari Konsili ke-3 dan konsili ke-4... dan tidak ada dokumentasi apapun yang berasal dari konsili ke-1 dan konsili ke-2... JIKA ADA YANG MERAGUKAN hasil KONSILI ke-4, maka bukan-kah KISAH konsili ke-1 dan konsili ke-2 juga harus di-ragu-kan, Karena tidak ada sumber lain yang berbeda.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 April 2013, 03:51:41 PM
masalah-nya, Jika anda tidak meyakini ke-arahatan Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita, maka anda juga tidak boleh meyakini isi 4 Nikaya itu (yg ada dan diwariskan sampai sekarang) adalah ajaran langsung Sang Buddha, karena bisa saja merupakan karya tambahan.
Saya ulangi lagi yah. Kalau perihal apakah 4 Nikaya itu Ajaran Langsung Sang Buddha, kita tidak akan pernah tahu. Tapi 4 Nikaya itu dipercaya sebagai karya tertua bukan penambahan belakangan sebab sekte-sekte awal sama-sama mengakui 4 Nikaya (=Agama) itu. Sementara, karya-karya lainnya, muncul belakangan dan sifatnya sektarian.

Misalnya kita di sini orang2 forum DC, penganut agama DC-ism, pakai kitab DC-pitaka. Kemudian pecah dan ada DC-dilbert-ism, DC-KK-ism, DC-Indra-ism, dll. Di masing-masing sekte, semua pakai DC-pitaka, tapi masing-masing sekte ada tambahan. Jadi
-DC-dilbert-ism pakai DC-pitaka + kitab alam Yakkha
-DC-KK-ism pakai DC-pitaka + kitab alam Mara
-DC Indra-ism pakai DC-pitaka + kitab alam Asura.

Kemudian di masa depan orang menyelidiki sekte-sekte ini menyimpulkan bahwa DC-pitaka ini lebih tua, karena telah ada sebelum perpecahan. Sementara kitab alam Yakkha, Mara, Asura ini munculnya belakangan, setelah ada perpecahan. Jadi tidak ada hubungannya dengan keyakinan bahwa dilbert, KK, Indra ini Arahant atau bukan.


Quote
Dan jika anda meyakini 4 Nikaya itu sebagai ajaran langsung Sang Buddha yang telah divalidasi oleh Arahat Mogalitaputta Tissa dan Arahat Rakkhita, maka anda juga harus menyakini bahwa kompilasi pada jaman itu sudah mewakili apa yang dianggap sebagai ajaran langsung Buddha maupun siswa utamanya, terutama utk "kisah" ajaran yang di-sampaikan oleh Buddha seperti Abhidhamma... Sedangkan untuk kitab komentar, sudah di-beri-kan keterangan sebagai kitab komentar yang merupakan karya dari bhikkhu-bhikkhu atau orang-orang setelah era Buddha,
Masalahnya sekte lain belum tentu mengakui Moggalliputta Tissa sebagai Arahant. Kalau mereka mengakui, tentu mereka akan ikut ajarannya donk. Masing-masing punya definisi Arahant sendiri, seperti misalnya di Mahavamsa, mereka yang menyatakan bunuh orang tidak bermoral tidak dihitung membunuh, juga adalah Arahant, menurut aliran Theravada tentunya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 03:55:00 PM
Konsili ke-3 dan konsili ke-4... hasil-nya adalah 5 Nikaya + Abhidhamma + lain lain...

sedangkan hasil dari konsili ke-1 dan konsili ke-2... yah KISAH-nya didapatkan dari Konsili ke-3 dan konsili ke-4... dan tidak ada dokumentasi apapun yang berasal dari konsili ke-1 dan konsili ke-2... JIKA ADA YANG MERAGUKAN hasil KONSILI ke-4, maka bukan-kah KISAH konsili ke-1 dan konsili ke-2 juga harus di-ragu-kan, Karena tidak ada sumber lain yang berbeda.




sepertinya anda mendefinisikan "dokumentasi" hanya sebatas catatan tertulis, padahal sejak zaman Sang Buddha, khotbah2 itu didokumentasikan dengan cara hapalan dan diulangi secara lisan. dan karena metode lisan ini hanya memiliki media penyimpanan selama satu generasi dan kemudian secara estafet diwariskan ke generasi berikutnya, maka kita hanya bisa mendengar dari generasi terakhir saja, karena tidak ada 1 orang pun dari generasi awal yg masih hidup sampai saat ini untuk kita dengarkan dokumentasinya. jadi tidak benar jika dikatakan bahwa "tidak ada dokumentasi" dari konsili2 sebelum konsili 4
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 04:00:22 PM
Masalahnya sekte lain belum tentu mengakui Moggalliputta Tissa sebagai Arahant. Kalau mereka mengakui, tentu mereka akan ikut ajarannya donk. Masing-masing punya definisi Arahant sendiri, seperti misalnya di Mahavamsa, mereka yang menyatakan bunuh orang tidak bermoral tidak dihitung membunuh, juga adalah Arahant, menurut aliran Theravada tentunya.

Misalnya kita analisa hanya khusus 4 Nikaya saja... Dengan apakah kita meyakini bahwa Mogalitaputta Tissa itu bisa men-validasi 4 Nikaya di Konsili ke-3 sebagai ajaran yang langsung diajarkan Buddha (atau setidak-tidak-nya adalah ajaran yang bisa menbawa pada kesucian arahat sebagaimana kualitas arahat yang kita yakini dicapai oleh Buddha dan para siswa utama-nya) ?

Bukankah kita harus meyakini bahwa Mogalitaputta Tissa Thera adalah seorang Arahat yang sudah mencapai kesucian, setidaknya memiliki kemampuan analisa patisambhida, sehingga validasi dari pengulangan di konsili ke-3 adalah benar ajaran yang diajarakan oleh Buddha atau setidaknya selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 04:01:56 PM
sepertinya anda mendefinisikan "dokumentasi" hanya sebatas catatan tertulis, padahal sejak zaman Sang Buddha, khotbah2 itu didokumentasikan dengan cara hapalan dan diulangi secara lisan. dan karena metode lisan ini hanya memiliki media penyimpanan selama satu generasi dan kemudian secara estafet diwariskan ke generasi berikutnya, maka kita hanya bisa mendengar dari generasi terakhir saja, karena tidak ada 1 orang pun dari generasi awal yg masih hidup sampai saat ini untuk kita dengarkan dokumentasinya. jadi tidak benar jika dikatakan bahwa "tidak ada dokumentasi" dari konsili2 sebelum konsili 4

bro indra kan suka bermain dengan KBBI... apa itu dokumentasi... apakah pengulangan lisan berdasarkan ingatan dianggap sebagai dokumentasi....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 April 2013, 04:37:27 PM
Misalnya kita analisa hanya khusus 4 Nikaya saja... Dengan apakah kita meyakini bahwa Mogalitaputta Tissa itu bisa men-validasi 4 Nikaya di Konsili ke-3 sebagai ajaran yang langsung diajarkan Buddha (atau setidak-tidak-nya adalah ajaran yang bisa menbawa pada kesucian arahat sebagaimana kualitas arahat yang kita yakini dicapai oleh Buddha dan para siswa utama-nya) ?
Kalau saya pribadi meyakini suatu ajaran dengan menyelidiki manfaatnya, logikanya, bukan karena keyakinan bahwa itu dinyatakan benar oleh seorang yang katanya Arahant.


Quote
Bukankah kita harus meyakini bahwa Mogalitaputta Tissa Thera adalah seorang Arahat yang sudah mencapai kesucian, setidaknya memiliki kemampuan analisa patisambhida, sehingga validasi dari pengulangan di konsili ke-3 adalah benar ajaran yang diajarakan oleh Buddha atau setidaknya selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran Buddha.
Penembusan kesucian adalah masalah batin personal, sementara validasi nikaya adalah masalah tekstual. Para peneliti pun bukan Arahant, bahkan tidak mengaku-ngaku ariya, tapi dengan menyelidiki, bisa mengambil kesimpulan teks mana yang lebih tua. Jadi tetap tidak ada relevansi antara "keyakinan Arahant" dan "keaslian teks". Semua keyakinan hanya akan membiaskan penilaian objektif kita.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 04:38:26 PM
bro indra kan suka bermain dengan KBBI... apa itu dokumentasi... apakah pengulangan lisan berdasarkan ingatan dianggap sebagai dokumentasi....

saya tidak menggunakan acuan KBBI di sini, tapi apa pun definisi yg diberikan KBBI, faktanya bahwa Nikaya itu terlestarikan melalui media ingatan sebelum dilestarikan dalam media tulisan. Jika hal ini tidak bisa disebut dokumentasi, baiklah memang tidak terdokumentasi tapi tetap terlestarikan. ada keberatan?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 04:53:09 PM
saya tidak menggunakan acuan KBBI di sini, tapi apa pun definisi yg diberikan KBBI, faktanya bahwa Nikaya itu terlestarikan melalui media ingatan sebelum dilestarikan dalam media tulisan. Jika hal ini tidak bisa disebut dokumentasi, baiklah memang tidak terdokumentasi tapi tetap terlestarikan. ada keberatan?

dan yang bisa men-validasi pengulangan itu adalah siapa ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 04:54:17 PM
Kalau saya pribadi meyakini suatu ajaran dengan menyelidiki manfaatnya, logikanya, bukan karena keyakinan bahwa itu dinyatakan benar oleh seorang yang katanya Arahant.

Nah, bergerak ke manfaat dan logika-nya... Apa yang dibahas di Abhidhamma tidak bermanfaat dan tidak sesuai logika ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 09 April 2013, 04:57:04 PM
Penembusan kesucian adalah masalah batin personal, sementara validasi nikaya adalah masalah tekstual. Para peneliti pun bukan Arahant, bahkan tidak mengaku-ngaku ariya, tapi dengan menyelidiki, bisa mengambil kesimpulan teks mana yang lebih tua. Jadi tetap tidak ada relevansi antara "keyakinan Arahant" dan "keaslian teks". Semua keyakinan hanya akan membiaskan penilaian objektif kita.

Oke-lah kita anggap abhidhamma itu tambahan dan sisipan... dan ada pula kisah2 pembabaran Abhidhamma di Tavatimsa... Jika itu HOAX (fiktif), kira-kira kualitas apa yang dimiliki oleh seorang pemimpin konsili ke-3 seperti Mogalitaputta Tissa sehingga bisa memasukkan kisah HOAX (fiktif) seolah-olah pernah terjadi... dan Kita-Kita bisa mempercayai hasil pencapaian konsili ke-3 ? Termasuk di dalam-nya 4 Nikaya yang kita pegang sekarang ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 04:57:52 PM
dan yang bisa men-validasi pengulangan itu adalah siapa ?

kalau melihat bukti yg ada sekarang, bahwa para penghapal tipitaka itu bukan cuma 1 orang, jadi dari beberapa orang itu jika ada 1 orang saja yg bersuara sumbang, tentu dengan mudah terdeteksi. jika beberapa orang mengulangi dengan pengucapan yg sama, maka pengulangan itu sudah self-validated. karena peluang 2 orang mengucapkan kekeliruan yg sama adalah bagaikan monyet memainkan "flight of bumblebee"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 09 April 2013, 04:59:13 PM
Oke-lah kita anggap abhidhamma itu tambahan dan sisipan... dan ada pula kisah2 pembabaran Abhidhamma di Tavatimsa... Jika itu HOAX (fiktif), kira-kira kualitas apa yang dimiliki oleh seorang pemimpin konsili ke-3 seperti Mogalitaputta Tissa sehingga bisa memasukkan kisah HOAX (fiktif) seolah-olah pernah terjadi... dan Kita-Kita bisa mempercayai hasil pencapaian konsili ke-3 ? Termasuk di dalam-nya 4 Nikaya yang kita pegang sekarang ?

pertanyaan ini hanya menimbulkan spekulasi yg tidak perlu, karena dalam teks mana pun juga tidak akan kita temui catatan pikiran/motif Mogalitaputta Tissa.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 April 2013, 05:44:46 PM
Nah, bergerak ke manfaat dan logika-nya... Apa yang dibahas di Abhidhamma tidak bermanfaat dan tidak sesuai logika ?
Untuk hal ini, saya pernah bahas sebelumnya bahwa apa yang ada di literatur belakangan sebaiknya tidak ditolak mentah-mentah, tapi dilihat dulu apakah sesuai dengan nikaya awal. Jikapun sangat bermanfaat, tetap karya belakangan harus dikenali sebagai karya belakangan.


Oke-lah kita anggap abhidhamma itu tambahan dan sisipan... dan ada pula kisah2 pembabaran Abhidhamma di Tavatimsa... Jika itu HOAX (fiktif), kira-kira kualitas apa yang dimiliki oleh seorang pemimpin konsili ke-3 seperti Mogalitaputta Tissa sehingga bisa memasukkan kisah HOAX (fiktif) seolah-olah pernah terjadi...
Bagaimana kualitas batinnya, tentu saja saya tidak tahu. Namun sama seperti klaim-klaim aliran lainnya yang bisa ambil kitab alam naga atau wawancara Maitreya, semua klaim itu tidak menjadikan literatur yang mereka pakai sebagai 'benar', setidaknya menurut saya pribadi.


Quote
dan Kita-Kita bisa mempercayai hasil pencapaian konsili ke-3 ? Termasuk di dalam-nya 4 Nikaya yang kita pegang sekarang ?
Apakah konsili 3 diadakan atau tidak, Agama memang ada kok. Jadi jangan berkesimpulan bahwa 4 Nikaya itu eksklusif produk konsili 3 & 4 yang diadakan Vibhajyavada. Agama adalah kumpulan doktrin yang dianut secara umum oleh seluruh sekte-sekte awal. Hanya saja, ketika Agama dibawa ke Srilanka oleh Vibhajyavada dan dilestarikan dalam bahasa Pali kemudian hari, sebutannya adalah Nikaya. Sedangkan Agama yang berada di India dalam berbagai bahasa, kebanyakan punah bersamaan dengan punahnya sekte-sekte, dan salah satu yang tersisa secara lengkap adalah Agama dari Sarvastivada berbahasa Sanskrit.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 09 April 2013, 07:00:16 PM
Betul, memang kelompok Moggalliputta Tissa ini menyatakan Buddha mengajar dengan cara analisis (Vibhajjavada), namun mereka tidak menyebut diri mereka sendiri sebagai "Vibhajjavadin". Itu adalah julukan yang diberikan pihak lain. Kira-kira sama seperti kelompok orang yang berusaha mencapai Arahant Sravaka tidak menyatakan mereka sebagai apapun, tapi kelompok lain menamakan mereka 'hinayana'.

Saya juga sependapat tentang hal ini....

Quote
Kalau ini saya tidak setuju, sebab Abhidharma bukan digagas hanya oleh "Vibhajjavada" ini, namun juga oleh sekte-sekte awal lainnya. Yang masih utuh 'terselamatkan' adalah Abhidharma dari Sarvastivada. Mahasanghika juga dikatakan menganut tapi tidak menyatakannya sebagai 'otoritas'. Ini juga masuk akal karena turunan dari Mahasanghika seperti Yogacara di kemudian hari, juga menekankan pembelajaran basis Abhidharma. Jadi saya pikir kurang tepat kalau "Vibhajjavada" ini merujuk pada aliran Abhidharmika, sementara "Vibhajjavadin" ini sendiri menyebutkan Sarvastivada dan Mahasanghika (yang notabene adalah Abhidharmika juga) sebagai 'heretic'.


Ya, tentu saja, metode analisis tidak dipakai hanya dalam Abhidhamma saja, yang saya sebutkan sebelumnya hanya sebagai contoh saja ;D

Yang di-bold setahu saya, Yogacara bukan turunan Mahasanghika, tetapi salah satu aliran Mahayana yang muncul jauh setelah Mahasanghika. Kebanyakan orang salah paham dengan menganggap Mahasanghika = Mahayana, padahal tidak sama. Mahayana, walaupun mengambil beberapa konsep ajaran Mahasanghika, bukan salah satu dari 18 aliran awal (di mana Mahasanghika termasuk di dalamnya). Mahayana sebagai aliran muncul belakangan setelah perpecahan aliran-aliran Buddhisme awal (kira-kira 500 tahun setelah Parinibbana ketika sutra-sutra Mahayana berkembang). Abhidharma Yogacara pun didasarkan pada Abhidharma Sarvastivada. Ini bisa dibaca di dalam ringkasan Abhidharma Yogacara, Abhidharmasamuccaya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,21529.msg380083.html#msg380083)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 09 April 2013, 07:02:22 PM
Nah, bergerak ke manfaat dan logika-nya... Apa yang dibahas di Abhidhamma tidak bermanfaat dan tidak sesuai logika ?
Bermanfaat bagi siapa? , sesuai logikanya berdasarkan apa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 09 April 2013, 07:07:00 PM
Yang di-bold setahu saya, Yogacara bukan turunan Mahasanghika, tetapi salah satu aliran Mahayana yang muncul jauh setelah Mahasanghika. Kebanyakan orang salah paham dengan menganggap Mahasanghika = Mahayana, padahal tidak sama. Mahayana, walaupun mengambil beberapa konsep ajaran Mahasanghika, bukan salah satu dari 18 aliran awal (di mana Mahasanghika termasuk di dalamnya). Mahayana sebagai aliran muncul belakangan setelah perpecahan aliran-aliran Buddhisme awal (kira-kira 500 tahun setelah Parinibbana ketika sutra-sutra Mahayana berkembang). Abhidharma Yogacara pun didasarkan pada Abhidharma Sarvastivada. Ini bisa dibaca di dalam ringkasan Abhidharma Yogacara, Abhidharmasamuccaya (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,21529.msg380083.html#msg380083)
Iya, Yogacara jauh setelah sekte awal. Dari Mahasanghika muncul Madhyamaka, kemudian turunan Madhyamaka ini yang jadi Yogacara.

Betul, sudah saya singgung dikit juga sebelumnya, Mahayana itu tidak merujuk pada satu aliran, tapi satu gagasan yang berkembang belakangan yang menekankan pada jalan Bodhisatva. Jadi dalam satu aliran, penganutnya ada yang "Mahayanis", ada yang "Hinayanis" sebetulnya. Mahayana sebagai sebutan, muncul sekitar abad 1 SM, lalu "Mahayana" sebagai alat meninggikan diri dan mendiskreditkan "Hinayana" baru muncul abad 1 M.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 09 April 2013, 07:23:59 PM
Iya, Yogacara jauh setelah sekte awal. Dari Mahasanghika muncul Madhyamaka, kemudian turunan Madhyamaka ini yang jadi Yogacara.

Lho, bukannya Madhyamaka juga bukan dari Mahasanghika? Tetapi muncul berdasarkan sutra-sutra Mahayana tentang sunyata, terutama Prajnaparamita. Abhidharma Madhyamaka juga didasarkan pada Abhidharma Sarvastivada.

Memang banyak para ahli yang menganggap sutra-sutra Mahayana (Vaipulya Sutra) itu ciptaan Mahasanghika, tetapi tidak ada bukti yang mendukung tentang hal ini selain kemiripan konsep.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 09 April 2013, 10:24:29 PM
Apakah kita (yg membaca sutta terjemahan om Indra) juga harus meyakini om Indra (selaku penerjemah) sebagai seorang Arahant? Jadi bingung...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 09 April 2013, 10:30:21 PM
soal abhidhamma, tidak ada korelasi antara ini adalah asli ajaran sang buddha dengan kebenaran dan manfaatnya.

Let say sebenarnya bukan tipitaka tapi catukka-pitaka dengan adhi-pitaka yg ke-4. Isinya luar biasa analisa mendalam. Membagi lebih detail lagi 89-121 citta menjadi 3253-6426 quark-citta dan 52 cetasika menjadi 186-294 quark-cetasika.

Apakah adhi-pitaka ini bermanfaat? tentu iya! bagi yg belajar jadi bisa mengerti lebih mendalam dan bisa memahami bagaimana quark citta dan quark cetasika bekerja. Maka akan lebih berhati2 dalam berbuat melalui pikiran ucapan dan perbuatan
apakah adhi-pitaka ini sesuai logika? tentu iya! ini mengelompokan dan penjabaran lebih mendetail lagi, semua ada hubungannya, ada alasannya, ada penjelasannya.
Apakah benar adhi-pitaka ini dikhotbahkan sang buddha? pasti anda jawab tidak. padahal ada kisah bagaimana adhi-pitaka ini dibabarkan ke alam arupa utk menjelaskan kepada mantan gurunya yg sudah terlanjur meninggal dan terlahir dialam arupa.

-------------
demikian pula dengan abhidhamma, saya cenderung menganggap ini adalah produk analisa dan penjabaran menurut sekte masing2 yang "credit"-nya diberikan ke sang buddha. Tentu bermanfaat dan logis, menurut sekte masing2.

Nah selama tidak bertentangan dengan "atas"-nya (dalam artinya abhidhamma merupakan produk turunan penjabaran dari sutta/nikaya awal), tentu bisa membantu menjelaskan produk "Atas"-nya itu sesuai pandangan sekte dari sumber abhidhamma itu. Demikian pula dengan atthakatha, tika, anutika dll

jika ada konflik dan perbedaan antara nikaya awal tentu nikaya awal mendapatkan urutan lebih tinggi dalam rujukan, jika kita mau menilai keluar dari ruang lingkung sekte. Jika theravada yah abhidhamma theravada sah, komentar theravada yah sah juga, coexist dengan sutta/nikaya awal. Setiap sekte karena mengembangkan pandangan dan penjabarannya yg berkembang dan berpuncak dalam abhidhamma-nya, lalu disempurnakan pada komentar2nya, yah akibatnya komentarial dan interpretasi belakangan itu yg dipegang dan dipakai dan mostly tidak lookup balik ke awal lagi biasanya.

----

soal nikaya awal, yah ini memang tidak akan bisa didapatkan lagi yg "original", harapan kita cuma pada yg ada saja 4 nikaya theravada dan agama sutra. dari nikaya dan agama saja ada perbedaan, jadi tidak bisa dikatakan nikaya itu pasti benar atau si agama pasti benar juga. Tapi ada kesamaan yang bisa ditarik benang merahnya.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 09 April 2013, 10:58:03 PM
Saya ulangi lagi yah. Kalau perihal apakah 4 Nikaya itu Ajaran Langsung Sang Buddha, kita tidak akan pernah tahu. Tapi 4 Nikaya itu dipercaya sebagai karya tertua bukan penambahan belakangan sebab sekte-sekte awal sama-sama mengakui 4 Nikaya (=Agama) itu. Sementara, karya-karya lainnya, muncul belakangan dan sifatnya sektarian.

Pendapat di atas yaitu membandingkan yang sama dari masing2 versi awal boleh dianggap cukup logic. Tapi masalahnya, selain Theravada, semua sekte awal itu sudah musnah berikut sebagian kitab mereka juga sudah hilang.  Sedangkan kitab terjemahan versi China sendiri pun tidak lengkap.
"....Unfortunately, with the exception of the Theravāda, none of these early schools survived beyond the late medieval period by which time several were already long extinct, although a considerable amount of the canonical literature of some of these schools has survived, mainly in Chinese translation....[wiki]"

Dengan demikian asumsi bahwa versi Theravada lengkap itu memang adalah merupakan versi awal, yg catatannya sudah ikut musnah pada sekte2 lainnya sehingga tidak bisa dibandingkan lagi,  menjadi cukup logis juga.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 09 April 2013, 11:13:59 PM
demikian pula dengan abhidhamma, saya cenderung menganggap ini adalah produk analisa dan penjabaran menurut sekte masing2 yang "credit"-nya diberikan ke sang buddha. Tentu bermanfaat dan logis, menurut sekte masing2.

Pendapat berdasarkan komentar bahwa Abhidhamma diturunkan Sang Buddha kepada Sariputta dalam bentuk ringkas juga mendapat opini yang mendukung dan menentang dari peneliti :
Scholars, however, generally date the Abhidhamma works to originating some time around the third century BCE, 100 to 200 years after the death of the Buddha. Therefore the seven Abhidhamma works are generally claimed by scholars not to represent the words of the Buddha himself, but those of disciples and scholars.[6] Dr Rupert Gethin however said that important elements of Abhidhamma methodology probably go back to the Buddha's lifetime.[7] A. K. Warder and Dr Peter Harvey both suggested early dates for the matikas on which most of the Abidhamma books are based.[wiki]


Nah selama tidak bertentangan dengan "atas"-nya (dalam artinya abhidhamma merupakan produk turunan penjabaran dari sutta/nikaya awal), tentu bisa membantu menjelaskan produk "Atas"-nya itu sesuai pandangan sekte dari sumber abhidhamma itu. Demikian pula dengan atthakatha, tika, anutika dll
Sepertinya begitu, dan sudah berjalan 2 millennia lebih.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 10 April 2013, 06:12:38 AM
:jempol: Lanjut ...   :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 10 April 2013, 07:33:09 AM
Ada suatu petunjuk dalam sutta bahwa Abhidhamma setidaknya sudah ada cikal bakalnya pada masa Sang Buddha sendiri, misalnya AN 4: 180 Mahāpadesasuttaṃ (Rujukan Agung) ditemukan pernyataan tentang ahli matika/matikadhara (diterjemahkan om Indra sbg "ahli kerangka"):

(3) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap beberapa bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka [dhammadharā vinayadharā mātikādharā].

Dlm istilah Abhidhamma, matika (ada yg menerjemahkan sbg matriks) menunjuk pada ringkasan pengelompokan dhamma (fenomena) spt yg terdpt dlm Dhammasangani. Ada yg menduga matikadhara dlm sutta menunjuk pada para bhikkhu yang mengajarkan ringkasan2 ini yg kelak menjadi cikal-bakal Abhidhamma yg lbh kompleks.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 08:30:23 AM
Ada suatu petunjuk dalam sutta bahwa Abhidhamma setidaknya sudah ada cikal bakalnya pada masa Sang Buddha sendiri, misalnya AN 4: 180 Mahāpadesasuttaṃ (Rujukan Agung) ditemukan pernyataan tentang ahli matika/matikadhara (diterjemahkan om Indra sbg "ahli kerangka"):

(3) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap beberapa bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka [dhammadharā vinayadharā mātikādharā].

Dlm istilah Abhidhamma, matika (ada yg menerjemahkan sbg matriks) menunjuk pada ringkasan pengelompokan dhamma (fenomena) spt yg terdpt dlm Dhammasangani. Ada yg menduga matikadhara dlm sutta menunjuk pada para bhikkhu yang mengajarkan ringkasan2 ini yg kelak menjadi cikal-bakal Abhidhamma yg lbh kompleks.

AN 2:14

“Para bhikkhu, Sang Tathāgata memiliki dua jenis pengajaran Dhamma ini. Apakah dua ini? Secara ringkas dan secara terperinci.  Sang Tathāgata memiliki dua jenis pengajaran Dhamma ini.”


IMO matika itu lebih pada jenis pengajaran secara ringkas
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 08:53:07 AM
Lho, bukannya Madhyamaka juga bukan dari Mahasanghika? Tetapi muncul berdasarkan sutra-sutra Mahayana tentang sunyata, terutama Prajnaparamita.
Seingat saya Madhyamaka itu turunan Mahasanghika, karena hanya di hanya di sana Abhidharma tidak menjadi otoritas. Mereka menolak doktrin svabhava (paham landasan makhluk) dari Abhidharma, dan mengembangkan doktrin sunyata. Doktrin sunyata ini menurut saya lebih sesuai ke nikaya awal.

Kemudian dari Madhyamaka, muncul Yogacara, yang menafsirkan Abhidharma dengan cara berbeda, dan ditulis dalam Abhidharmasamuccaya.

Quote
Abhidharma Madhyamaka juga didasarkan pada Abhidharma Sarvastivada.
Madhyamaka tidak pakai Abhidharma, tapi Yogacara mengadopsinya dan dibuat 'komentarnya' dalam Abhidharmasamuccaya. Sementara Abhidharma Sarvastivada yang mendasari 'komentar' Abhidharmakosha.

Quote
Memang banyak para ahli yang menganggap sutra-sutra Mahayana (Vaipulya Sutra) itu ciptaan Mahasanghika, tetapi tidak ada bukti yang mendukung tentang hal ini selain kemiripan konsep.
Betul, sutra-sutra Mahayana ini sepertinya sporadis, bukan dari satu aliran tertentu. Bahkan catatan Fa Xien bilang sekte2 turunan dari Sthaviravada juga ada 'Mahayana'-nya. Intinya, orang dari aliran apapun yang belajar sutra yang menekankan pencerahan di jalan bodhisatva, maka ia "Mahayana". Tapi kemudian belakangan mulai bergeser makna di mana ada "sekte" Mahayana dan "sekte (buangan)" Hinayana. ;D

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 08:55:52 AM
Apakah kita (yg membaca sutta terjemahan om Indra) juga harus meyakini om Indra (selaku penerjemah) sebagai seorang Arahant? Jadi bingung...
Lebih amannya, meyakini Om Indra bukan Arahant...

*kabur*
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 09:04:40 AM
Lebih amannya, meyakini Om Indra bukan Arahant...

*kabur*

benar, bahkan walaupun saya Arahant, saya juga tidak akan mengungkapkannya, jadi untuk saat ini tidak ada cara untuk memastikan apakah seseorang adalah Arahant atau bukan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 09:24:55 AM
Pendapat di atas yaitu membandingkan yang sama dari masing2 versi awal boleh dianggap cukup logic. Tapi masalahnya, selain Theravada, semua sekte awal itu sudah musnah berikut sebagian kitab mereka juga sudah hilang.  Sedangkan kitab terjemahan versi China sendiri pun tidak lengkap.
"....Unfortunately, with the exception of the Theravāda, none of these early schools survived beyond the late medieval period by which time several were already long extinct, although a considerable amount of the canonical literature of some of these schools has survived, mainly in Chinese translation....[wiki]"
Betul, sekte awal selain Theravada (Vibhajyavada) punah. Jadi yang punya kumpulan kitab lengkap itu adalah Theravada. Namun karena kitab dari sekte lain banyak yang masih terselamatkan, maka bisa dicari perbandingannya.

Misalnya dari vinaya, salah duanya Dharmaguptaka dan Sarvastivada masih terselamatkan lengkap, sehingga bisa dilihat perbandingannya. Dari Agama, Dirgha Agama Sarvastivada lengkap dan bisa dibandingkan dengan Digha Nikaya Theravada; Samyukta Agama Kasyapiya juga lengkap, dan bisa dibandingkan dengan Samyutta Nikaya Theravada.

Jadi walaupun sekte lain tidak ada yang terlestari secara keseluruhan, namun kumpulan sebagian-sebagiannya itu bisa diselidiki dan dilihat konsistensinya antara seluruh sekte awal. Tentu saja tidak sama persis (seperti saya bilang sebelumnya, mungkin karena dulunya 'kan pengulangan lisan), tapi sangat mudah melihat kemiripan isinya.

Di topik sebelah (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,22671.msg404199.html#msg404199) juga ada perbandingan salah satu sutta/sutra antara Agama & Nikaya, courtesy of sis bluppy. Wajib mampir! ;D


Quote
Dengan demikian asumsi bahwa versi Theravada lengkap itu memang adalah merupakan versi awal, yg catatannya sudah ikut musnah pada sekte2 lainnya sehingga tidak bisa dibandingkan lagi,  menjadi cukup logis juga.
Nah, dengan cara penyelidikan yang sama, Abhidhamma Theravada pun dibandingkan dengan Abhidharma sekte-sekte lain. Hasilnya tidak ada kemiripan konsep satu sama lain. Justru dari penyelidikan inilah para sejarahwan ini mengambil kesimpulan bahwa pada sekte awal, hal utama yang membedakan antar sekte adalah Abhidharmanya. Vinaya dan Agama/Sutta itu secara mayoritas sama, hanya perbedaan minor saja.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 10 April 2013, 09:28:58 AM
 [at] KK: Seingat saya tdk ada ahli yg menyatakan Madhyamaka itu turunan dr Mahasanghika ;D

 [at] Indra: Bisa juga spt itu, tetapi kalo matika itu termasuk ringkasan Dhamma bukan Abhidhamma maka tdk perlu menyebutkan matikadhara sbg tersendiri/berbeda dari Dhammadhara krn matikadhara  termasuk Dhammadhara juga...

Btw diskusinya menarik, kenapa tdk dijadikan thread baru ttg pembahasan Buddhisme awal saja? :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 09:34:28 AM
[at] Indra: Bisa juga spt itu, tetapi kalo matika itu termasuk ringkasan Dhamma bukan Abhidhamma maka tdk perlu menyebutkan matikadhara sbg tersendiri/berbeda dari Dhammadhara krn matikadhara  termasuk Dhammadhara juga...


karena dalam AN di atas, sudah dibedakan ada 2 jenis pengajaran. perbedaan itu mungkin untuk membedakan ahli dalam pengajaran secara terperinci dan ahli dalam pengajaran secara ringkas
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 10 April 2013, 09:43:48 AM
untuk meramaikan, berikut pendapat bhikkhu pannobhasa:
Spoiler: ShowHide
Quote
1. In the only canonical account of the first Buddhist council (Vinaya Cullavagga Ch.12 it is stated that the venerable Upāli recited Vinaya, then the venerable Ānanda recited the five nikāyas (i.e., the Suttantas), after which the council was brought to a close. Abhidhamma is mentioned not at all in the entire account (nor is it mentioned in the canonical account of the second council). The general consensus of Western scholars is that the traditional account of the first council is largely fiction; nevertheless, it does indicate that at the occasion of its composition (presumably some time before the third council) Abhidhamma philosophy was either unknown or considered to be unworthy of mention. Ven. Buddhaghosa in his commentary to the Dīgha Nikāya tried to rectify the omission by simply changing the details of the story, which is a rather unconvincing device. The standard Burmese explanation of the conspicuous absence of Abhidhamma in the oldest ecclesiastical histories is that it is included in the Khuddaka Nikāya of the Suttanta Pltaka, but this assertion receives no support from the ancient texts themselves. (The Burmese also consider Vinaya to be included in the Khuddaka Nikāya, thereby rendering the fifth Nikāya—“The Small Collection” or “Collection of the Small”—very much larger and more comprehensive than the entire remainder of the Canon and reducing the Buddhist scriptures to a single Piṭaka.)

2. The word “abhidhamma” is very seldom found in the Vinaya and Suttanta (according to one authority eleven times), and when it is found it is usually paired with the term “abhivinaya.” Since there is and never was an Abhivinaya Piṭaka the context implies that “abhidhamma” here means simply “about Dhamma,” not “higher Dhamma.” In the very few cases where the term clearly refers to the philosophy of the Abhidhamma Piṭaka it is found in relatively very late canonical exegesis of older texts—for example, the Vinaya Suttavibhaṅga and the Mahāniddesa.

3. Very many of the terms which play integral, central roles in Abhidhamma philosophy (cetasika, citta-vīthi, bhavaṅga, javana, kiriya-citta, rūpakalāpa, etc. etc.) are either entirely lacking in the Sutlanta or are found there rarely and in a radically different context. The elaborate doctrine of citta-vīthi, for example, which is essential to traditional abhidhammic psychology and is taught in even the most elementary of Abhidhamma courses, is entirely foreign to the first two Piṭakas (and, curiously, is mentioned only briefly and obscurely in the third). Abhidhamma philosophy is claimed by orthodox authorities to be the most profound and important part ofthe teachings ofthe Buddha; but there is not a single narrative episode in the Canon, believable or otherwise, which clearly indicates that he ever taught it to anyone; and furthermore, much of the supposed “highest teachings of Buddha” (e.g., the theory of rūpakalāpas) is non-canonical—not even to be found in the Abhidhamma Piṭaka itself.

4. Kathāvatthu, the fifth book of the Abhidhamma Piṭaka, deals exclusively with dogmatic controversies with schismatic sects of Buddhism that existed around the time of the third council (i.e., the mid-third century B.C.). Also, it is believed that the compiler of the work was a bhikkhu named Moggaliputtatissa, who according to ven. Buddhaghosa presided over the third council. Some fundamentalism claim that the Buddha, foreseeing the doctrinal disputes and schism: that would arise after his death, laid down the general outline of the Kathāvatthu, and more than two centuries later ven. Moggalīputtatissa merely elaborated upon it. Although this cannot be categorically disproved it is, needless to say, rather unlikely. (Incidentally, considering that one of the main purposes of the third council was to purge the Saṅgha of heretics and champion what one faction, presumably led by ven. Moggalīputtatissa, believed to be Right View, it may be assumed that the Canon was edited and infused with new material favoring the views of the prevailing faction.)

5. Among the many ancient schools of Buddhism there were at least two versions of the Abhidhamma or Abhidharma Piṭaka, one being of the Theravadins, another being of the Sarvastivadins. Both of these versions consist of seven books, but this is almost their only resemblance, and they obviously are not based upon a common precursor. Other sects possessed of an Abhidharma Piṭaka, including the Mahayanists, tended to modify or borrow outright the version of the Sarvastivadins; but many schools, particularly thou which diverged from the Theravada/Sarvastivada lineage prior to around the beginning of the third century B.C., had none. Now it would be absurd to suggest that all of the ancient schools of Buddhism that broke away from the Theravadin line were so foolish as to throw out an entire Piṭaka, which many Theravadins claim is the most profound and most important of the three, that the Sarvastivadins subsequently concocted another one from scratch, and that some of the other schools then adopted the counterfeit in place of the original. lt would be much more reasonable to assume that there simply was no Abhidhamma Piṭaka in the earliest days of Buddhism, the trend for composing such abstract, technical philosophy beginning in the Theravada/Sarvastivada lineage shortly before the occurrence of the schism that divided them. This one point is sufficient to convince most Buddhistic scholars in the West that Abhidhamma philosophy was never taught by the Buddha.

6. Regardless of the age and authorship of Abhidhamma there remains the serious fact that many of its tenets are in bald contradiction to quite elementary and uncontroversial observations of science. Although hundreds of examples of abhidhammic nonscience and illogic could be given, for the sake of brevity only two of the more outstanding cases will be discussed.

a) It is readily apparent that the authors of Abhidhamma philosophy were completely ignorant of the function, even the existence, of the human nervous system. Sensory consciousness is claimed to occur in the sense organs themselves, not in the brain; for example, visual consciousness supposedly arises in seven layers of (elemental and ultimately real) visually sensitive matter located on the anterior surface of the eyeball. Rather than relying upon the presence of sensory nerve endings, the material basis of tactile sensation (also one of the 82 “ultimate realities”) is said to uniformly pervade the body like oil soaking a tuft of cotton wool, being everywhere except in hair, nails, and hard, dry skin. The Pali word “matthaluṅga,” i.e., “brain,” is conspicuously absent in the canonical Abhidhamma texts (while in the commentarial literature the brain is declared to be a large lump of inert bone marrow and the source of nasal mucus); according to the Abhidhamma scholars, thought arises not in the brain but in a small quantity of variously colored blood contained in a chamber of the heart. This belief is closely interrelated with the fundamental concept that all mentality is strictly linear, only one specific image at a time existing in the mind, arising and passing away spontaneously through the metaphysical power of kamma. The generally prevalent and empirically consistent concept of a complex, physical generator of feeling and thought is quite foreign to Abhidhamma, and modern attempts to reconcile the two result in what is essentially doublethink.

b) The classical abhidhammic theory of matter primarily deals with 28 supposed elemental qualities which are never found alone, but are always combined in or associated with quasi-atomic particles called “rūpakalāpas.” The naïve realism underlying this philosophy is manifest, and furthermore has been scientifically obsolete for centuries. As an example the four (“ultimately real”) secondary material qualities supposedly present in all rūpakalāpas—color, odor, flavor, and nutritional essence—will be very briefly considered. The formulators of the theory evidently did not perceive that color, as such, exists only in the mind and is merely a symbolic interpretation of a certain bandwidth of electromagnetic radiation; and that furthermore the hypothetical rūpakalāpa is much smaller than the smallest wavelength of visible light. An individual rūpakalāpa, unless, perhaps, it could somehow be identified with a photon, could be endowed with color only potentially and even then in a very abstract sense. The formulators also evidently did not perceive that odor and flavor exist only in the mind, and are the result of molecules and ions of certain configurations interacting with specific neurosensory receptor sites. And the formulators quite obviously did not perceive the vast complexity of human nutrition. A hydrogen atom, for example, if contained in a molecule of sucrose is endowed with a certain nutritional value; if in a molecule of ascorbic acid, another; if in a molecule of cholesterol, yet another; if in a molecule of cellulose, is non-nutritive; and if in a molecule of cyanide, is poisonous. In the case of nutrition, even more markedly than in the preceding cases, the configuration and interaction of complex groups of elementary particles is of primary importance in determining the attributes in question. Just as a single nail does not contain within it the absolute element of “houseness,” even so a single subnuclear quantum of matter does not contain within it odor, flavor, or nutritional value. And finally, although rūpakalāpas are declared by the authorities to be ubiquitous and of appreciable size by modern scientific standards (roughly the size of an electron according to one authority), no physicist or chemist in a normal, waking state of consciousness has ever experimentally isolated or otherwise verified the existence of one.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 10 April 2013, 09:55:40 AM
tambahan lagi, apa yg dipelajari sekarang sebagai abhidhamma itu sendiri dalam bentuk kursus abhidhamma atau abhidhamma class, itu bukan berdasarkan abhidhamma, akan tetapi berdasarkan komentarialnya, yah salah satunya abhidhammathasangaha, yg konon merupakan perasan dan rangkuman dari si abhidhamma itu sendiri dan tidak pernah sendiri bahkan melihat atau mempelajari si abhidhamma, apalagi kedalam nikaya-nya, meskipun kadang mengutip2 dari sutta yg terkenal
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 09:56:30 AM
Ada suatu petunjuk dalam sutta bahwa Abhidhamma setidaknya sudah ada cikal bakalnya pada masa Sang Buddha sendiri, misalnya AN 4: 180 Mahāpadesasuttaṃ (Rujukan Agung) ditemukan pernyataan tentang ahli matika/matikadhara (diterjemahkan om Indra sbg "ahli kerangka"):

(3) “Kemudian seorang bhikkhu mungkin mengatakan: ‘Di kediaman Saṅgha di sana menetap beberapa bhikkhu sepuh yang terpelajar, mewarisi warisan, ahli Dhamma, ahli disiplin, ahli dalam kerangka [dhammadharā vinayadharā mātikādharā].

Dlm istilah Abhidhamma, matika (ada yg menerjemahkan sbg matriks) menunjuk pada ringkasan pengelompokan dhamma (fenomena) spt yg terdpt dlm Dhammasangani. Ada yg menduga matikadhara dlm sutta menunjuk pada para bhikkhu yang mengajarkan ringkasan2 ini yg kelak menjadi cikal-bakal Abhidhamma yg lbh kompleks.
Sayang sekali memang matikadhara dan abhivinaya tidak pernah ada disinggung penjelasannya, sehingga jadi spekulasi terbuka, seperti ending film horror-thriller.

Tapi kalau "Abhidhamma", kebetulan 'kan sudah ada petunjuknya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 10:03:18 AM
[at] KK: Seingat saya tdk ada ahli yg menyatakan Madhyamaka itu turunan dr Mahasanghika ;D
Ya, mungkin saja saya salah. Tapi seperti saya katakan, hanya mahasanghika yang tidak menggunakan abhidharma sebagai otoritas dan Madhyamaka juga sama, menolak otoritas abhidharma. Maka saya pikir ada kesamaan di sana.


Quote
[at] Indra: Bisa juga spt itu, tetapi kalo matika itu termasuk ringkasan Dhamma bukan Abhidhamma maka tdk perlu menyebutkan matikadhara sbg tersendiri/berbeda dari Dhammadhara krn matikadhara  termasuk Dhammadhara juga...
Jika dhammadhara -> pelestari sutta
vinayadhara -> pelestari vinaya
matikadhara -> pelestari abhidhamma
??? -> pelestari abhivinaya


Quote
Btw diskusinya menarik, kenapa tdk dijadikan thread baru ttg pembahasan Buddhisme awal saja? :)
Mungkin jika informasi sudah dikumpulkan secara sistematis dan mudah dibaca, saya akan bikin thread baru. Sementara kita obrolkan secara bebas dulu saja. Tapi kalo bro ariyakumara mo bikin dari sudut pandangnya, juga tentu OK saja.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 10:15:45 AM
untuk meramaikan, berikut pendapat bhikkhu pannobhasa:
Spoiler: ShowHide
1. In the only canonical account of the first Buddhist council (Vinaya Cullavagga Ch.12 it is stated that the venerable Upāli recited Vinaya, then the venerable Ānanda recited the five nikāyas (i.e., the Suttantas), after which the council was brought to a close. Abhidhamma is mentioned not at all in the entire account (nor is it mentioned in the canonical account of the second council). The general consensus of Western scholars is that the traditional account of the first council is largely fiction; nevertheless, it does indicate that at the occasion of its composition (presumably some time before the third council) Abhidhamma philosophy was either unknown or considered to be unworthy of mention. Ven. Buddhaghosa in his commentary to the Dīgha Nikāya tried to rectify the omission by simply changing the details of the story, which is a rather unconvincing device. The standard Burmese explanation of the conspicuous absence of Abhidhamma in the oldest ecclesiastical histories is that it is included in the Khuddaka Nikāya of the Suttanta Pltaka, but this assertion receives no support from the ancient texts themselves. (The Burmese also consider Vinaya to be included in the Khuddaka Nikāya, thereby rendering the fifth Nikāya—“The Small Collection” or “Collection of the Small”—very much larger and more comprehensive than the entire remainder of the Canon and reducing the Buddhist scriptures to a single Piṭaka.)

2. The word “abhidhamma” is very seldom found in the Vinaya and Suttanta (according to one authority eleven times), and when it is found it is usually paired with the term “abhivinaya.” Since there is and never was an Abhivinaya Piṭaka the context implies that “abhidhamma” here means simply “about Dhamma,” not “higher Dhamma.” In the very few cases where the term clearly refers to the philosophy of the Abhidhamma Piṭaka it is found in relatively very late canonical exegesis of older texts—for example, the Vinaya Suttavibhaṅga and the Mahāniddesa.

3. Very many of the terms which play integral, central roles in Abhidhamma philosophy (cetasika, citta-vīthi, bhavaṅga, javana, kiriya-citta, rūpakalāpa, etc. etc.) are either entirely lacking in the Sutlanta or are found there rarely and in a radically different context. The elaborate doctrine of citta-vīthi, for example, which is essential to traditional abhidhammic psychology and is taught in even the most elementary of Abhidhamma courses, is entirely foreign to the first two Piṭakas (and, curiously, is mentioned only briefly and obscurely in the third). Abhidhamma philosophy is claimed by orthodox authorities to be the most profound and important part ofthe teachings ofthe Buddha; but there is not a single narrative episode in the Canon, believable or otherwise, which clearly indicates that he ever taught it to anyone; and furthermore, much of the supposed “highest teachings of Buddha” (e.g., the theory of rūpakalāpas) is non-canonical—not even to be found in the Abhidhamma Piṭaka itself.

4. Kathāvatthu, the fifth book of the Abhidhamma Piṭaka, deals exclusively with dogmatic controversies with schismatic sects of Buddhism that existed around the time of the third council (i.e., the mid-third century B.C.). Also, it is believed that the compiler of the work was a bhikkhu named Moggaliputtatissa, who according to ven. Buddhaghosa presided over the third council. Some fundamentalism claim that the Buddha, foreseeing the doctrinal disputes and schism: that would arise after his death, laid down the general outline of the Kathāvatthu, and more than two centuries later ven. Moggalīputtatissa merely elaborated upon it. Although this cannot be categorically disproved it is, needless to say, rather unlikely. (Incidentally, considering that one of the main purposes of the third council was to purge the Saṅgha of heretics and champion what one faction, presumably led by ven. Moggalīputtatissa, believed to be Right View, it may be assumed that the Canon was edited and infused with new material favoring the views of the prevailing faction.)

5. Among the many ancient schools of Buddhism there were at least two versions of the Abhidhamma or Abhidharma Piṭaka, one being of the Theravadins, another being of the Sarvastivadins. Both of these versions consist of seven books, but this is almost their only resemblance, and they obviously are not based upon a common precursor. Other sects possessed of an Abhidharma Piṭaka, including the Mahayanists, tended to modify or borrow outright the version of the Sarvastivadins; but many schools, particularly thou which diverged from the Theravada/Sarvastivada lineage prior to around the beginning of the third century B.C., had none. Now it would be absurd to suggest that all of the ancient schools of Buddhism that broke away from the Theravadin line were so foolish as to throw out an entire Piṭaka, which many Theravadins claim is the most profound and most important of the three, that the Sarvastivadins subsequently concocted another one from scratch, and that some of the other schools then adopted the counterfeit in place of the original. lt would be much more reasonable to assume that there simply was no Abhidhamma Piṭaka in the earliest days of Buddhism, the trend for composing such abstract, technical philosophy beginning in the Theravada/Sarvastivada lineage shortly before the occurrence of the schism that divided them. This one point is sufficient to convince most Buddhistic scholars in the West that Abhidhamma philosophy was never taught by the Buddha.

6. Regardless of the age and authorship of Abhidhamma there remains the serious fact that many of its tenets are in bald contradiction to quite elementary and uncontroversial observations of science. Although hundreds of examples of abhidhammic nonscience and illogic could be given, for the sake of brevity only two of the more outstanding cases will be discussed.

a) It is readily apparent that the authors of Abhidhamma philosophy were completely ignorant of the function, even the existence, of the human nervous system. Sensory consciousness is claimed to occur in the sense organs themselves, not in the brain; for example, visual consciousness supposedly arises in seven layers of (elemental and ultimately real) visually sensitive matter located on the anterior surface of the eyeball. Rather than relying upon the presence of sensory nerve endings, the material basis of tactile sensation (also one of the 82 “ultimate realities”) is said to uniformly pervade the body like oil soaking a tuft of cotton wool, being everywhere except in hair, nails, and hard, dry skin. The Pali word “matthaluṅga,” i.e., “brain,” is conspicuously absent in the canonical Abhidhamma texts (while in the commentarial literature the brain is declared to be a large lump of inert bone marrow and the source of nasal mucus); according to the Abhidhamma scholars, thought arises not in the brain but in a small quantity of variously colored blood contained in a chamber of the heart. This belief is closely interrelated with the fundamental concept that all mentality is strictly linear, only one specific image at a time existing in the mind, arising and passing away spontaneously through the metaphysical power of kamma. The generally prevalent and empirically consistent concept of a complex, physical generator of feeling and thought is quite foreign to Abhidhamma, and modern attempts to reconcile the two result in what is essentially doublethink.

b) The classical abhidhammic theory of matter primarily deals with 28 supposed elemental qualities which are never found alone, but are always combined in or associated with quasi-atomic particles called “rūpakalāpas.” The naïve realism underlying this philosophy is manifest, and furthermore has been scientifically obsolete for centuries. As an example the four (“ultimately real”) secondary material qualities supposedly present in all rūpakalāpas—color, odor, flavor, and nutritional essence—will be very briefly considered. The formulators of the theory evidently did not perceive that color, as such, exists only in the mind and is merely a symbolic interpretation of a certain bandwidth of electromagnetic radiation; and that furthermore the hypothetical rūpakalāpa is much smaller than the smallest wavelength of visible light. An individual rūpakalāpa, unless, perhaps, it could somehow be identified with a photon, could be endowed with color only potentially and even then in a very abstract sense. The formulators also evidently did not perceive that odor and flavor exist only in the mind, and are the result of molecules and ions of certain configurations interacting with specific neurosensory receptor sites. And the formulators quite obviously did not perceive the vast complexity of human nutrition. A hydrogen atom, for example, if contained in a molecule of sucrose is endowed with a certain nutritional value; if in a molecule of ascorbic acid, another; if in a molecule of cholesterol, yet another; if in a molecule of cellulose, is non-nutritive; and if in a molecule of cyanide, is poisonous. In the case of nutrition, even more markedly than in the preceding cases, the configuration and interaction of complex groups of elementary particles is of primary importance in determining the attributes in question. Just as a single nail does not contain within it the absolute element of “houseness,” even so a single subnuclear quantum of matter does not contain within it odor, flavor, or nutritional value. And finally, although rūpakalāpas are declared by the authorities to be ubiquitous and of appreciable size by modern scientific standards (roughly the size of an electron according to one authority), no physicist or chemist in a normal, waking state of consciousness has ever experimentally isolated or otherwise verified the existence of one.

Dasar sesat kau!!  ;D  ^:)^

Yang nomor 2:
2. The word “abhidhamma” is very seldom found in the Vinaya and Suttanta (according to one authority eleven times), and when it is found it is usually paired with the term “abhivinaya.” Since there is and never was an Abhivinaya Piṭaka the context implies that “abhidhamma” here means simply “about Dhamma,” not “higher Dhamma.” In the very few cases where the term clearly refers to the philosophy of the Abhidhamma Piṭaka it is found in relatively very late canonical exegesis of older texts—for example, the Vinaya Suttavibhaṅga and the Mahāniddesa.

sama seperti yang saya bahas kemarin:

[Catatan numpang lewat]

"... cattāro satipaṭṭhānā cattāro sammappadhānā cattāro iddhipādā pañcindriyāni pañca balāni satta bojjhaṅgā
ariyo aṭṭhaṅgiko maggo, tattha sabbeheva samaggehi sammodamānehi avivadamānehi sikkhitabbaṃ.
Tesañca vo, bhikkhave, samaggānaṃ sammodamānānaṃ avivadamānānaṃ sikkhataṃ siyaṃsu dve bhikkhū abhidhamme nānāvādā... "

Dari kutipan Kinti Sutta ini, 37 hal ini dan penjelasannya yang disebut "Abhidhamma", sebab merupakan jalan menuju pencerahan.

Spoiler: ShowHide
4 Landasan Perhatian, 4 Usaha Benar, 4 kekuatan batin, 5 indriya, 5 kekuatan, dan 7 Faktor Pencerahan, Jalan Mulia Berunsur 8.



Di AN, istilah 'Abhidhamma' selain perbincangan Mahakotthita tentang Abhidhamma (yang tidak dijelaskan apa isinya), istilah ini selalu berpasangan dengan "Abhivinaya". Kalau Abhidhamma diajarkan di Tavatimsa, kira-kira Abhivinaya diajarkan di alam mana yah?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 10 April 2013, 10:43:15 AM
Ikut meramaikan  :whistle:

082 - The Buddha's Teaching of Abhidhamma 
Origin of Abhidhamma


According to the Theravada tradition the Buddha dwelt in the celestial domain of the thirty-three divine beings (Tavatimsa-loka) to teach the doctrine of Abhidhamma to his mother for three months. Then he descended to the lake Anottata; where he instructed the same to his most illustrious disciple Sariputta in the form of mnemonic verses, who in turn taught it to the five hundred distinguished monks acknowledged as the arahatas. Thus Abhidhamma by way of the oral tradition of transmission (through acharya-disciple tradition) beginning with the Buddha was passed on to Sariputta and in the like manner through Bhaddaji, Sobhita, Piyajali, Piyapala, Piyadassi, Kosiyaputta, Siggava, Sandeha, Moggalliputta, Sudatta, Dhammiya, Dasaka, Sonaka and Revata; and then through Mahinda, Ittiya, Sambala, Pandita, and Bhaddanama it reached Sri Lanka. Interestingly, this tradition is still alive in Sri Lanka, Myanmar, and Thailand; though withered away in India, Pakistan, Bangladesh and Cambodia.

Meaning of Abhidhamma

Etymologically, Abhidhamma may be analysed as the compound of abhi (“to”; “toward”; “into”) and dhamma (root: dhr, which means “to hold” or “bear”). However, in the context it is interpreted as “ leading-to-that-which-contains-the-advanced or specialised-teachings” [of-the-Buddha]” when we examine the observations of the best known Pali commentator Buddhaghosa. The expert critic interprets the term ‘Abhidhamma’ as the most advanced (atireka) or specialised (visesa) doctrine[1] to differentiate it from the doctrine of the Sutta-Pitaka, which is not so analytical[2]; and which employs the common and conventional terms and approach. It is noteworthy that every term of Abhidhamma has a specific connotation or well-defined meaning for the advanced monks or trainees.

The above interpretation of Abhidhamma is further corroborated by the definition of ‘Abhidharma’ made by Vasubandhu in his Sanskrit treatise - the Abhidharmakosa. There he states that  “Abhidharma is the undefiled wisdom and its concomitants. Further, whatever is instrumental to achieve that; or the corpus [which is an aid to that]” is Abhidharma.[3] Asanga’s interpretation of Abhidharma also extends to the understanding of the above meaning. Prefixing abhi in four ways with the dhamma, he interprets that

    The dhamma which is Nibbana-encountering;

    The dhamma which is analytical;

    The dhamma which is refutative of the converse views ;

    The dhamma which is progressive.[4]

The term Abhidharma (a-p’i-ta-mo) in the Chinese records interpret it as ta fa (great dhamma because of the greatness of the knowledge to the realisation of Four Noble Truths etc.); wu-pi-fa (peerless dhamma because of the eight forms of intelligence etc); sheng-fa (excellent dhamma as it is wisdom-realising); tuei-fa (facing dhamma) and hsiang-fa (proceeding dhamma as the cause-effect theory that proceeds from cause to effect).

The modern scholars, namely, W.Geiger, T.W. and C.A.F.Rhys Davids, Oldenberg, I.B.Horner, E.J.Thomas, Kogen Mizuno, Ken Sakurabe, Taiken Kimura and Bhikkhu Jagdish Kashyap have made some serious studies to understand the meaning of this term. Yet, no modern linguistic interpretation of the term throws any fresh light to the comprehension of the original meaning of the term because the study of Abhidhamma is not a barren linguistic exercise. It may be reiterated that every term of Abhidhamma is assigned a definite connotation; and is often interpreted by way of its characteristic (lakkhana), function (rasa), manifestation (paccupatthana) and proximate cause (padatthan). So, the linguistic interpretation of the term has often been misleading; and its variant renditions create more complications to a reader rather than to extend his understanding. It is believed that Abhidhamma is a way of life; and is meant for the chosen few, particularly for the erudite monks or scholars with specialised training. It may be emphatically pointed out that the study demands no less seriousness than the study of  the Rg Veda or Quran. The scholars interested in Abhidhamma may also turn to the living Burmese (or Myanmari) traditions for its purest comprehension; or the volumes of the commentaries on the canonical Abhidhammic literature.

The Seven Books of Abhidhamma are

        Dhammasangani;

        Vibhanga;

        Dhatukatha;

        Puggalapannatti;

        Kathavatthu;

        Yamaka; and

        Patthana.

The Sarvastivadin tradition of Buddhism,[5] however, does not accept the above text as the original composition, because they have somewhat similar texts on the Vinaya Pitaka and Sutta Pitaka in juxtaposition with the Pali versions; but are missing in the case of the Abhidhamma. Yet, the Sarvastivadins have equal number of the Abhidharmic texts:

        Sangitipariyayapada;

        Dharmaskandha;

        Dhatukaya-patha;

        Prajnaptipada;

        Vijnanapada;

        Prakaranapada;

        Jnanaprasthana.

The Buddhist canons are classified into three; and the common and popular designation for each of these classifications is pitaka (literally, “basket”). These pitakas were first compiled in the first Buddhist council, which was held in Rajgir after the parininbbana (or the demise) of the Buddha (483 B.C). during the reign of Ajatasattu (Sanskritised Ajatasatru), the king of the Magadha janapada (or kingdom) . The first of these corpuses is called the Vinaya Pitaka; and the other two are called the Sutta-Pitaka and the Abhidhamma-Pitaka. The Vinaya Pitaka, deals with the Buddhist codes and conduct and may be regarded as the Corpus of the Discipline. It supposedly records the recitations made by the thera Upali in the council. The latter two pitakas, collectively called the ‘Dhamma’ (or the doctrine), are the collection of the recitations given by Ananda (the closest disciple of the Buddha) in the same council. The recitations of the aforementioned two monks, as a matter of fact, are the answers by way of the explanations and elucidations to the questions posed by the President of the council - Mahathera Mahakassapa.[6]

Many scholars believe that the Tipitaka was compiled in the third Buddhist council. But such claims are unfounded when we look at the Mahavamsa  (one of the most reliable sources of the Buddhist history; and a principal source for the construction of the history of ancient India) it is explicitly stated that even before the convention of the third Buddhist council (which took place in Pataliputta [Sanskritised: Pataliputra or modern Patna during the reign of the Emperor Asoka] one thousand erudite monks “well versed in the Tipitaka  …” (or the three canons)[7] were chosen for the re-compilation of the original and purest teachings of the Buddha to eliminate the interpolations crept therein in the original corpuses. The above statement corroborates to the fact that the Tipitaka definitely existed before the third Buddhist council, however, its form could have been somewhat different from what was compiled in the third council; or what is handed down to us by the tradition in its current form.

The Abhidhamma Pitaka, primarily deals with the philosophy and psychology of the Theravada school of Buddhism.  The “theravada”, however, refers to that school of Buddhism which, supposedly “adhere to the most original and purest form of the Buddhist teachings”, advocated by those theras (monks) who obtained the erudition directly through the Master. Further, they used the bhasa Magadhika or the mula bhasa (the original language)[8] to record the original text or the pariyaya, (the text of the canons). The term pariyaya, however, when abbreviated became ‘pari’ or ‘pali’; and in course of time was applied to denote the language of the entire gamut of the canons; and the exegeses and other compositions on those texts having the same language.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 10 April 2013, 10:53:32 AM
Many scholars believe that the Tipitaka was compiled in the third Buddhist council. But such claims are unfounded when we look at the Mahavamsa  (one of the most reliable sources of the Buddhist history; and a principal source for the construction of the history of ancient India) it is explicitly stated that even before the convention of the third Buddhist council (which took place in Pataliputta [Sanskritised: Pataliputra or modern Patna during the reign of the Emperor Asoka] one thousand erudite monks “well versed in the Tipitaka  …” (or the three canons)[7] were chosen for the re-compilation of the original and purest teachings of the Buddha to eliminate the interpolations crept therein in the original corpuses. The above statement corroborates to the fact that the Tipitaka definitely existed before the third Buddhist council, however, its form could have been somewhat different from what was compiled in the third council; or what is handed down to us by the tradition in its current form.
pada dasarnya paragraf di atas sama dengan menyatakan bahwa bukti keberadaan lord voldermort adalah buku harry potter no 1- 7.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 10 April 2013, 11:03:27 AM
pada dasarnya paragraf di atas sama dengan menyatakan bahwa bukti keberadaan lord voldermort adalah buku harry potter no 1- 7.

Yeah, dan beberapa sekte di Mahayana kemudian juga mengarang buku abhidharma twilight series.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 10 April 2013, 11:12:09 AM
Yeah, dan beberapa sekte di Mahayana kemudian juga mengarang buku abhidharma twilight series.
penekanannya bukan pada dongengnya, tapi pada ketidaknetralan mahavamsa dipakai sebagai bukti / argumen keotentikan abhidhamma... kalau ingin membuktikan keotentikan abhidhamma pakailah bukti diluar sumber2 srilanka...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 10 April 2013, 11:38:08 AM
penekanannya bukan pada dongengnya, tapi pada ketidaknetralan mahavamsa dipakai sebagai bukti / argumen keotentikan abhidhamma... kalau ingin membuktikan keotentikan abhidhamma pakailah bukti diluar sumber2 srilanka...

Secara historis yang di Srilangka adalah ghost copy yang dibawa putra dan putri Raja Asoka dari India setelah Konsili ke-2.  Konsili ke-2 bersumber dari Konsili ke-1.

Kalau mau mencari bukti tentang ajaran dari mulut ke mulut sejak Konsili ke-1 sampai menjadi hasil seperti yg ke-3 ya tidak bisa, seperti yang sudah dibahas sama om Indra.  Mau cari bukti di luar Srilangka?  Sejarah mengatakan, sumber2nya tidak lengkap lagi, sebagian besar dan sebagian kecil sudah musnah.  Masa mau mencari 'yang ada' di suatu tempat, di tempat lain yang sudah tidak ada.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 10 April 2013, 12:58:10 PM
Secara historis yang di Srilangka adalah ghost copy yang dibawa putra dan putri Raja Asoka dari India setelah Konsili ke-2.  Konsili ke-2 bersumber dari Konsili ke-1.

Kalau mau mencari bukti tentang ajaran dari mulut ke mulut sejak Konsili ke-1 sampai menjadi hasil seperti yg ke-3 ya tidak bisa, seperti yang sudah dibahas sama om Indra.  Mau cari bukti di luar Srilangka?  Sejarah mengatakan, sumber2nya tidak lengkap lagi, sebagian besar dan sebagian kecil sudah musnah.  Masa mau mencari 'yang ada' di suatu tempat, di tempat lain yang sudah tidak ada.
sumber yang ada memang tidak lengkap, tapi cukup dan memadai untuk menilai dan menyimpulkan bahwa abhidhamma adalah karangan belakangan. jadi terserah, mau memakai "bukti2" keluaran srilanka, atau bukti2 lain yang berlimpah, konsisten dan lebih netral dari berbagai sekte awal buddhism...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 01:04:57 PM
ternyata cukup mengguncangkan iman seperti telah diramalkan
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 10 April 2013, 01:30:38 PM
 [at] KK: Baru sadar ternyata ini thread Jurnal Pribadi ;D

Ya, ttg matikadhara itu memang sebatas spekulasi. Begitu pula semua analisis/hipotesis para ahli ttg Buddhisme awal juga sebatas spekulasi krn Buddhisme India kuno sbg sumber kajian Buddhisme awal telah lenyap ditelan sejarah... ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 01:53:59 PM
brother-brother... kita sekarang ini bisa meng-akses 4 Nikaya itu asal-nya dari dokumentasi tertulis yang manakah ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 01:56:00 PM
Yeah, dan beberapa sekte di Mahayana kemudian juga mengarang buku abhidharma twilight series.

dan bisa-bisa-nya mengabaikan Abhidhamma... dan menerima 4 Nikaya + vinaya saja... padahal semua-nya merupakan PRODUCT (output) dari konsili ke-3 dan konsili ke-4....

atau ada yang mendapatkan langsung versi 4 nikaya awal + vinaya langsung dari konsili ke-1 ?

---

JIKA KITA menyatakan abhidhamma sebagai karya HOAX, Kok bisa-bisa-nya diloloskan di konsili ke -3 dan konsili ke-4, dianggap sebagai Tipitaka yang kisahnya diajarkan langsung oleh BUDDHA. JIKA ANALISA-nya adalah bahwa abhidhamma = Hoax, maka Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita = TIDAK BOLEH DIPERCAYA sebagai pengumpul dan penvalidasi AJARAN BUDDHA di konsili ke-3 dan ke-4... KArena bisa-bisanya memasukkan karya HOAX ke dalam apa yang disebut KERANJANG AJARAN BUDDHA.

Dengan demikian ISI 4 NIKAYA AWAL + VINAYA juga harus diragukan isi-nya SAMA SEPERTI / SEJALAN dengan AJARAN BUDDHA sesungguhnya...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 02:01:03 PM
brother-brother... kita sekarang ini bisa meng-akses 4 Nikaya itu asal-nya dari dokumentasi tertulis yang manakah ?

http://tipitaka.org
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 02:03:04 PM
dan bisa-bisa-nya mengabaikan Abhidhamma... dan menerima 4 Nikaya + vinaya saja... padahal semua-nya merupakan PRODUCT (output) dari konsili ke-3 dan konsili ke-4....

atau ada yang mendapatkan langsung versi 4 nikaya awal + vinaya langsung dari konsili ke-1 ?

---

JIKA KITA menyatakan abhidhamma sebagai karya HOAX, Kok bisa-bisa-nya diloloskan di konsili ke -3 dan konsili ke-4, dianggap sebagai Tipitaka yang kisahnya diajarkan langsung oleh BUDDHA. JIKA ANALISA-nya adalah bahwa abhidhamma = Hoax, maka Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita = TIDAK BOLEH DIPERCAYA sebagai pengumpul dan penvalidasi AJARAN BUDDHA di konsili ke-3 dan ke-4... KArena bisa-bisanya memasukkan karya HOAX ke dalam apa yang disebut KERANJANG AJARAN BUDDHA.

Dengan demikian ISI 4 NIKAYA AWAL + VINAYA juga harus diragukan isi-nya SAMA SEPERTI / SEJALAN dengan AJARAN BUDDHA sesungguhnya...

demikianlah seharusnya, maka ada slogan yg berbunyi RAGU PANGKAL CERAH™
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 02:15:00 PM
http://tipitaka.org

dan http://tipitaka.org itu dari <-- konsili ke-6 < -- konsili ke-5 <-- konsili ke-4

atau http://tipitaka.org <-- konsili ke-1 ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 02:19:31 PM
dan http://tipitaka.org itu dari <-- konsili ke-6 < -- konsili ke-5 <-- konsili ke-4

atau http://tipitaka.org <-- konsili ke-1 ?

konsili 1 - 3 tidak pernah dituliskan, apalagi online, jadi lupakan untuk mencari teks hasil konsili 1-3

website tipitaka.org hanya mencatat teks hasil konsili 5 dan 6. perubahan teks dari 5 -> 6 ditandai dengan teks berwarna biru.

menurut informasi dari seseorang di Sri Lanka, bahkan di Sri Lanka pun arsip konsili 4 yg lengkap sudah tidak tersedia.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 02:22:53 PM
konsili 1 - 3 tidak pernah dituliskan, apalagi online, jadi lupakan untuk mencari teks hasil konsili 1-3

website tipitaka.org hanya mencatat teks hasil konsili 5 dan 6. perubahan teks dari 5 -> 6 ditandai dengan teks berwarna biru.

menurut informasi dari seseorang di Sri Lanka, bahkan di Sri Lanka pun arsip konsili 4 yg lengkap sudah tidak tersedia.

dan dengan dasar ini, kita bisa menyatakan bahwa Abhidhamma itu HOAX, 4 nikaya awal + vinaya itu-lah yang diajarkan Buddha ? mantafff....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 02:25:17 PM
dan dengan dasar ini, kita bisa menyatakan bahwa Abhidhamma itu HOAX, 4 nikaya awal + vinaya itu-lah yang diajarkan Buddha ? mantafff....

tentu saja bukan dengan dasar ini, melainkan dengan dasar2 pada postingan2 sebelumnya yg sudah sangat kuat.

Tapi sebaliknya bagaimana? apakah ada bukti teks awal yg mengatakan bahwa Abhidhamma diajarkan oleh Sang Buddha? bantahan seharusnya didukung oleh referensi yg memuaskan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 02:34:09 PM
[at] KK: Baru sadar ternyata ini thread Jurnal Pribadi ;D
Ya, silahkan mengobrol bebas ngalor ngidul. ;D


Quote
Ya, ttg matikadhara itu memang sebatas spekulasi. Begitu pula semua analisis/hipotesis para ahli ttg Buddhisme awal juga sebatas spekulasi krn Buddhisme India kuno sbg sumber kajian Buddhisme awal telah lenyap ditelan sejarah... ;D
Ya, paling jauh yang didapat memang hanya sejauh kitab-kitab awal. Maka kalau ditanya apakah yang asli betul2 original pengulangan sabda Buddha, sepertinya jawabannya tidak akan kita ketahui. Yang kita cari di sini adalah penjelasan atas kebingungan mengapa "Buddhism" ini bisa banyak sekali interpretasinya.


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 02:35:38 PM
demikianlah seharusnya, maka ada slogan yg berbunyi RAGU PANGKAL CERAH™

Sudah bayar royalty blom? Jangan sampai ada gugat-menggugat pemakaian slogan tak berizin di sini...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 02:37:06 PM
tentu saja bukan dengan dasar ini, melainkan dengan dasar2 pada postingan2 sebelumnya yg sudah sangat kuat.

Tapi sebaliknya bagaimana? apakah ada bukti teks awal yg mengatakan bahwa Abhidhamma diajarkan oleh Sang Buddha? bantahan seharusnya didukung oleh referensi yg memuaskan.

Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita... yang menjadi pemimpin pada konsili ke-3 dan ke-4... yang telah menvalidasi pengulangan2 lisan... Kalau bukan mereka berdua yang dipercayai, lantas siapa ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 02:43:37 PM
Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita... yang menjadi pemimpin pada konsili ke-3 dan ke-4... yang telah menvalidasi pengulangan2 lisan... Kalau bukan mereka berdua yang dipercayai, lantas siapa ?

Dari mana mereka memperoleh sertifikasi Arahant itu sehingga layak dipercaya dengan membuta?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 02:46:15 PM
dan bisa-bisa-nya mengabaikan Abhidhamma... dan menerima 4 Nikaya + vinaya saja... padahal semua-nya merupakan PRODUCT (output) dari konsili ke-3 dan konsili ke-4....

atau ada yang mendapatkan langsung versi 4 nikaya awal + vinaya langsung dari konsili ke-1 ?

---

JIKA KITA menyatakan abhidhamma sebagai karya HOAX, Kok bisa-bisa-nya diloloskan di konsili ke -3 dan konsili ke-4, dianggap sebagai Tipitaka yang kisahnya diajarkan langsung oleh BUDDHA. JIKA ANALISA-nya adalah bahwa abhidhamma = Hoax, maka Mogalitaputta Tissa dan Bhikkhu Rakkhita = TIDAK BOLEH DIPERCAYA sebagai pengumpul dan penvalidasi AJARAN BUDDHA di konsili ke-3 dan ke-4... KArena bisa-bisanya memasukkan karya HOAX ke dalam apa yang disebut KERANJANG AJARAN BUDDHA.

Dengan demikian ISI 4 NIKAYA AWAL + VINAYA juga harus diragukan isi-nya SAMA SEPERTI / SEJALAN dengan AJARAN BUDDHA sesungguhnya...

Bang dilbert tidak menyimak. Kalau patokannya hanya 'hasil konsili', tidak perlu pembahasan panjang lebar.

Misalnya dalam konsili V di Burma, Milinda Panha dimasukkan ke dalam Khuddaka Nikaya. Apakah itu berarti Milinda Panha sama dengan produk awal? Jika di masa depan ada orang Burma yang pelajari Nikaya dari catatan konsili V, apakah berarti harus menerima Milinda Panha mentah-mentah hanya karena dia mempelajari Nikaya produk konsili V?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 03:17:12 PM
Dari mana mereka memperoleh sertifikasi Arahant itu sehingga layak dipercaya dengan membuta?

dan darimana kita mempercayai bahwa apa yang dihasilkan dari konsili ke-3 dan konsili ke-4 adalah Ajaran langsung dari BUDDHA ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 03:18:10 PM
Bang dilbert tidak menyimak. Kalau patokannya hanya 'hasil konsili', tidak perlu pembahasan panjang lebar.

Misalnya dalam konsili V di Burma, Milinda Panha dimasukkan ke dalam Khuddaka Nikaya. Apakah itu berarti Milinda Panha sama dengan produk awal? Jika di masa depan ada orang Burma yang pelajari Nikaya dari catatan konsili V, apakah berarti harus menerima Milinda Panha mentah-mentah hanya karena dia mempelajari Nikaya produk konsili V?

Milinda Panha tidak disebutkan sebagai ajaran langsung dari Buddha, dan itu clear... sedangkan Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha...

Itu dua hal yang berbeda..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 03:34:47 PM
Milinda Panha tidak disebutkan sebagai ajaran langsung dari Buddha, dan itu clear... sedangkan Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha...

Itu dua hal yang berbeda..
Bang dilbert pernah baca Abhidhamma Pitaka ga?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 10 April 2013, 03:59:47 PM
Kalo bisa bahasa Mandarin dan mau membandingkan Agama Sutra Mandarin dengan Nikaya Pali, ada situs online Tripitaka Mandarin dari berbagai aliran: www.cbeta.org
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 04:30:00 PM
dan darimana kita mempercayai bahwa apa yang dihasilkan dari konsili ke-3 dan konsili ke-4 adalah Ajaran langsung dari BUDDHA ?

tentunya setelah melakukan pengujian berulang2.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 04:31:21 PM
tentunya setelah melakukan pengujian berulang2.

dan Mogalitaputta Tissa serta Bhikkhu Rakkhita "gagal" melakukan-nya sehingga memasukkan kisah HOAX...

mantafff...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 04:31:55 PM
Milinda Panha tidak disebutkan sebagai ajaran langsung dari Buddha, dan itu clear... sedangkan Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha...

Itu dua hal yang berbeda..

bisa tolong diberikan refnya bahwa Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 04:33:56 PM
dan Mogalitaputta Tissa serta Bhikkhu Rakkhita "gagal" melakukan-nya sehingga memasukkan kisah HOAX...

mantafff...

again, apa yg menjadi motif dan alasan mrk mustahil utk diketahui, karena mrk tidak bisa ditanyai lagi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 04:41:51 PM
bisa tolong diberikan refnya bahwa Abhidhamma beserta kisahnya dikatakan berasal dari Buddha.

alur Kisah Milinda Panha = tidak berasal dari buddha, tetapi berasal dari Bhikkhu Nagasena setelah era Buddha.. ITU CLEAR

TIDAK DAPAT DIPUNGKIRI, bahwa Bhikkhu Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita itu yang men-validasi 4 Nikaya awal + Vinaya + Abhidhamma...

Dengan kemampuan apakah, kita bisa menyatakan bahwa hanya 4 Nikaya awal + Vinaya itu saja yang berasal dari Buddha, sedangkan Abhidhamma itu bukan ?...

Jika kita ragukan Abhidhamma itu bukan berasal dari Buddha, kita juga harus meragukan 4 Nikaya awal + Vinaya itu juga bukan  berasal dari Buddha, KARENA SUMBER VALIDASI-nya adalah dari Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita... KECUALI ANDA MEMILIKI SUMBER REFERENSI LAIN....

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 04:54:01 PM
alur Kisah Milinda Panha = tidak berasal dari buddha, tetapi berasal dari Bhikkhu Nagasena setelah era Buddha.. ITU CLEAR

TIDAK DAPAT DIPUNGKIRI, bahwa Bhikkhu Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita itu yang men-validasi 4 Nikaya awal + Vinaya + Abhidhamma...

Dengan kemampuan apakah, kita bisa menyatakan bahwa hanya 4 Nikaya awal + Vinaya itu saja yang berasal dari Buddha, sedangkan Abhidhamma itu bukan ?...

Jika kita ragukan Abhidhamma itu bukan berasal dari Buddha, kita juga harus meragukan 4 Nikaya awal + Vinaya itu juga bukan  berasal dari Buddha, KARENA SUMBER VALIDASI-nya adalah dari Mogalitaputta Tissa Thera dan Bhikkhu Rakkhita... KECUALI ANDA MEMILIKI SUMBER REFERENSI LAIN....



tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 05:00:30 PM
tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls

masalah-nya anda hanya mempercayai 4 nikaya awal + vinaya itu berasal dari Buddha, tentu saja anda tidak akan menemukan adanya abhidhamma di (4 nikaya awal + vinaya).

dan bisakah kita menanyakan dengan bukti apakah kita bisa meyakini bahwa 4 nikaya awal + vinaya itu berasal dari Buddha ?

Bukankah 4 nikaya awal + vinaya + (abhidhamma) itu kita dapatkan dari Mogalitaputta Tissa Thera... Bagaimana-kah anda bisa mencomot bagian tertentu dari validasi seseorang (baca : Mogalitaputta Tissa Thera) sebagai valid, sedangkan bagian lagi sebagai un-valid ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 05:08:36 PM
masalah-nya anda hanya mempercayai 4 nikaya awal + vinaya itu berasal dari Buddha, tentu saja anda tidak akan menemukan adanya abhidhamma di (4 nikaya awal + vinaya).

dan bisakah kita menanyakan dengan bukti apakah kita bisa meyakini bahwa 4 nikaya awal + vinaya itu berasal dari Buddha ?

Bukankah 4 nikaya awal + vinaya + (abhidhamma) itu kita dapatkan dari Mogalitaputta Tissa Thera... Bagaimana-kah anda bisa mencomot bagian tertentu dari validasi seseorang (baca : Mogalitaputta Tissa Thera) sebagai valid, sedangkan bagian lagi sebagai un-valid ?

repost:

tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls

bukti ini boleh saja dari Abhidhamma Pitaka itu sendiri. Di sini kita sedang menguji keotentikan suatu teks, jadi berikanlah bukti2 teks juga. kesampingkan dulu soal percaya atau tidak percaya. nanti setelah kita melihat bukti2 baru kita putuskan untuk diri kita sendiri apakah mau percaya atau tidak percaya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 10 April 2013, 05:13:13 PM
tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls

Pertanyaan yang serupa bisa ditanyakan kepada yang mengatakan 4 NIKAYA sajalah yg original :
- Apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa 4 NIKAYA itu berasal dari Sang Buddha?
- Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa 4 NIKAYA saja yg berasal dari Sang Buddha?

Anda memakai asumsi untuk mengatakan 4 Nikaya itu asli, sebaliknya dengan asumsi pula Abhidhamma dapat dikatakan juga merupakan ajaran Sang Buddha.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 05:20:19 PM
Pertanyaan yang serupa bisa ditanyakan kepada yang mengatakan 4 NIKAYA sajalah yg original :
- Apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa 4 NIKAYA itu berasal dari Sang Buddha?
- Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa 4 NIKAYA saja yg berasal dari Sang Buddha?

Anda memakai asumsi untuk mengatakan 4 Nikaya itu asli, sebaliknya dengan asumsi pula Abhidhamma dapat dikatakan juga merupakan ajaran Sang Buddha.

Di dalam 4 Nikaya selalu disebutkan siapa yg membabarkan sutta itu, tidak semuanya dibabarkan oleh Sang Buddha, sebagian ada yg dibabarkan oleh para siswa. tapi informasi itu ada di sana. dan itu bukan asumsi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 05:20:27 PM
repost:

tapi apakah ada bukti teks yg mengatakan bahwa Abhidhamma itu berasal dari Sang Buddha? Di manakah kedua bhikkhu itu mengatakan bahwa Abhidhamma berasal dari Sang Buddha? ref pls

bukti ini boleh saja dari Abhidhamma Pitaka itu sendiri. Di sini kita sedang menguji keotentikan suatu teks, jadi berikanlah bukti2 teks juga. kesampingkan dulu soal percaya atau tidak percaya. nanti setelah kita melihat bukti2 baru kita putuskan untuk diri kita sendiri apakah mau percaya atau tidak percaya.

Majjhima Nikaya
Mahagosingha sutta
"the talk of two Bhikkhus on the Abhidhamma, each asking and answering the other without faltering is in accord with the Dhamma"

Gulissaani Sutta (M 69)
aaraññikenaavuso, bhikkhunaa abhidhamme abhivinaye yogo kara.niiyo "Friends, by a bhikkhu living the forest effort ought to be made in abhidhamma and abhivinaya"

Vinaya pitaka
"If without any intention of reviling the Vinaya one were to instigate another saying -'pray study the suttas or gathas or Abhidhamma first and afterwards learn the vinaya' there is no offense"
Vinaya iv 344


In the Bhikkhuni Vibhanga Vin,1V,344
QUOTE( "A bhikkhuni is guilty of a minor offence) if she questions on the
Abhidhamma or Vinaya after getting permission (to question) on the Suttanta, or
on the Suttanta or Vinaya after getting permission (to question) on the
Abhidhamma, or on the suttanta or Abhidhamma after getting permission (to
question) on the Vinaya."

----
Sanghadisesa VII, in the Book of Discipline, PTS, translated by I.B. Horner:
QUOTE"Then the venerable Dabba, the Mallian, being so chosen, assigned one
lodging in the same place for those monks who belonged to the same company. For
those monks who knew the Suttantas he assigned a lodging in the same place,
saying: "These will be able to chant over the Suttantas to one another." For
those monks versed in the Vinaya rules, he assigned a lodging in the same place,
saying: "They will decide upon the Vinaya with one another." For those monks
teaching dhamma he assigned a lodging in the same place, saying: "They will
discuss dhamma [in the actual Pali this is specified as ABHIDHAMMA] with one
another."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 05:22:11 PM
Majjhima Nikaya
Mahagosingha sutta
"the talk of two Bhikkhus on the Abhidhamma, each asking and answering the other without faltering is in accord with the Dhamma"

Gulissaani Sutta (M 69)
aaraññikenaavuso, bhikkhunaa abhidhamme abhivinaye yogo kara.niiyo "Friends, by a bhikkhu living the forest effort ought to be made in abhidhamma and abhivinaya"

Vinaya pitaka
"If without any intention of reviling the Vinaya one were to instigate another saying -'pray study the suttas or gathas or Abhidhamma first and afterwards learn the vinaya' there is no offense"
Vinaya iv 344

sudah dibahas sebelumnya oleh Yang Mulia Kutu, bahwa kata "abhidhamma" bukannya tidak ada dalam Nikaya, tapi kata itu tidak merujuk pada Abhidhamma Pitaka.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 10 April 2013, 05:24:33 PM
sudah dibahas sebelumnya oleh Yang Mulia Kutu, bahwa kata "abhidhamma" bukannya tidak ada dalam Nikaya, tapi kata itu tidak merujuk pada Abhidhamma Pitaka.

coba check Bhikkhuni vibhanga...

In the Bhikkhuni Vibhanga Vin,1V,344
QUOTE( "A bhikkhuni is guilty of a minor offence) if she questions on the
Abhidhamma or Vinaya after getting permission (to question) on the Suttanta, or
on the Suttanta or Vinaya after getting permission (to question) on the
Abhidhamma, or on the suttanta or Abhidhamma after getting permission (to
question) on the Vinaya."

---

Salah penterjemahan atau bagaimana ? saya melihat pengelompokkan yang persis sama, suttanta, vinaya dan abhidhamma...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 05:31:23 PM
coba check Bhikkhuni vibhanga...

In the Bhikkhuni Vibhanga Vin,1V,344
QUOTE( "A bhikkhuni is guilty of a minor offence) if she questions on the
Abhidhamma or Vinaya after getting permission (to question) on the Suttanta, or
on the Suttanta or Vinaya after getting permission (to question) on the
Abhidhamma, or on the suttanta or Abhidhamma after getting permission (to
question) on the Vinaya."

---

Salah penterjemahan atau bagaimana ? saya melihat pengelompokkan yang persis sama, suttanta, vinaya dan abhidhamma...


catatan kaki:

9. Asking a question related to the Vinaya can be the first step in admonishment and making accusations (see Mv.II.15.6-8), which is why this rule is related to the eighth of the eight vows of respect (against a bhikkhuni admonishing a bhikkhu). As Horner notes in BD, the word-commentary to this rule is one of the few places in the Vinaya that apparently refers to the Abhidhamma as a text -- thus indicating that either the rule or its word-commentary is a later formulation.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 10 April 2013, 06:40:56 PM
catatan kaki:

9. Asking a question related to the Vinaya can be the first step in admonishment and making accusations (see Mv.II.15.6-8), which is why this rule is related to the eighth of the eight vows of respect (against a bhikkhuni admonishing a bhikkhu). As Horner notes in BD, the word-commentary to this rule is one of the few places in the Vinaya that apparently refers to the Abhidhamma as a text -- thus indicating that either the rule or its word-commentary is a later formulation.

Pokoknya kalo ada abhidhammanya, itu tambahan belakangan, terserah mau di sutta apa vinaya, atau komentarnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 10 April 2013, 07:06:53 PM
Ya, betul. Vinaya pun memang mengalami penambahan dan perubahan struktur. Ini yang awal saya singgung tentang struktur vinaya yang asli justru ada di Mahasanghika.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 10 April 2013, 07:40:56 PM
Pokoknya kalo ada abhidhammanya, itu tambahan belakangan, terserah mau di sutta apa vinaya, atau komentarnya.

para ahli menyimpulkan demikian bukan tanpa dasar, melainkan setelah melakukan penelitian.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 10 April 2013, 07:55:55 PM
menurut s dhammika :

 238. Bagian ke tiga dan yang terakhir adalah Abhidhamma Pitaka - Keranjang Penguraian - yang terdiri atas tujuh buku. Salah satu dari buku ini, Kathavattu - Butir-butir Ketidaksesuaian/kontroversial - berisi masalah-masalah sekitar doktrin yang diperdebatkan dalam Konsili ke tiga, dan inilah buku terakhir yang digabung dengan Tipitaka. Buku-buku lain dari Abhidhamma terdiri atas daftar unsur-unsur batin dan benda, penyebab dan akibatnya, dan penguraian tipe-tipe kepribadian yang berbeda. Buku pertama dari Abhidhamma mungkin ditulis sekitar 150 tahun setelah kemangkatan Sang Buddha dan yang terakhir, yang adalah Kathavattu diatas, ditulis sekitar tahun 253 Sebelum Masehi. Dengan demikian, Abhidhamma Pitaka tidak dibacakan pada Konsili Pertama, tapi ditambahkan pada Tipitaka pada masa-masa belakangan. Berdasar asal-usulnya, gaya penyajiannya dan waktu dituliskannya, dapat disimpulkan bahwa Abhidhamma adalah bagiam Tipitaka yang paling kurang kepenadaannya. Vinaya, yang kita ketahui berhubungan dengan keberadaan bhikkhu dan bhikkhuni, dan Sutta Pitaka, yang adalah Dhamma dari kata-kata Sang Buddha sendiri; adalah bagian terpenting dari literatur Buddhis.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 11 April 2013, 07:19:31 AM
Info lagi:

Pada awal abad ke-19 (tahun 1800-an) di mana teks-teks kanon Mandarin belum diterjemahkan ke bahasa Inggris, para sarjana Buddhis Barat seperti Rhys Davis menggunakan bukti internal dari teks Pali itu sendiri untuk memperkirakan kekunoannya, yaitu tata bahasa dan gaya bahasa yang digunakan apakah berasal dari masa yang lebih kuno atau lebih baru. Hasilnya memang Nikaya-Nikaya mengandung tata bahasa dan gaya bahasa yang lebih tua dibandingkan dengan teks-teks Abhidhamma. Banyak yang meragukan ketepatan metode ini, tetapi baru terbukti setelah abad ke-20 di mana mulai banyak yang menerjemahkan teks Mandarin ke bahasa Inggris sebagai perbandingan dengan teks Pali.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 08:16:10 AM
Info lagi:

Pada awal abad ke-19 (tahun 1800-an) di mana teks-teks kanon Mandarin belum diterjemahkan ke bahasa Inggris, para sarjana Buddhis Barat seperti Rhys Davis menggunakan bukti internal dari teks Pali itu sendiri untuk memperkirakan kekunoannya, yaitu tata bahasa dan gaya bahasa yang digunakan apakah berasal dari masa yang lebih kuno atau lebih baru. Hasilnya memang Nikaya-Nikaya mengandung tata bahasa dan gaya bahasa yang lebih tua dibandingkan dengan teks-teks Abhidhamma. Banyak yang meragukan ketepatan metode ini, tetapi baru terbukti setelah abad ke-20 di mana mulai banyak yang menerjemahkan teks Mandarin ke bahasa Inggris sebagai perbandingan dengan teks Pali.

justru metode itu adalah salah satu metode yg sangat akurat dalam memperkirakan suatu periode sejarah. misalnya dalam kebudayaan indonesia, jika ada suatu prasasti yg bertuliskan "ciyusss miapa ...", maka kita bisa memastikan bahwa peninggalan itu pasti bukan berasal abad 20 atau sebelumnya, karena kata itu baru muncul setelah abad 20.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 11 April 2013, 10:03:02 AM
 [at] Indra: Belum tentu akurat juga krn bisa saja org2 pd masa yg belakangan menambah/mengubah teks dg tata bahasa dan gaya bahasa yg lbh kuno. Waktu itu para sarjana jg menyadari bisa ada kemungkinan spt itu, tetapi dg adanya perbandingan dg teks Agama Mandarin malah menguatkan metode ini.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 April 2013, 10:10:38 AM
OK, saya hargai kalau ada orang beriman pada Abhidhamma, tapi kalau memang sudah final dalam berpendapat bahwa Abhidhamma asli diajarkan Buddha terlepas dari bukti-bukti yang ada, sebaiknya tidak perlu repot-repot mengikuti diskusi yang berdasarkan penyelidikan karena hanya buang waktu. Jika mau ikut menyelidik, singkirkan asumsi, kita bahas yang objektif.


Ini fakta tentang Abhidhamma.
Ditinjau dari Abhidhamma Pitaka sendiri, isi dari Abhidhamma tidak ada menjelaskan apapun tentang siapa yang mengajarkan, kepada siapa, di mana, konteksnya apa, latar belakangnya apa. Sejauh yang saya lihat, isinya seperti catatan statistik, seringkali tidak ada penjelasan apa-apa sama sekali.

Ditinjau dari sutta-vinaya, walaupun istilah "Abhidhamma" kadang muncul (dan hampir semuanya dipasangkan dengan "Abhivinaya"), namun tidak pernah ada penjelasan atau rujukan tentang apa yang dimaksud. Yang paling masuk akal adalah dalam MN 103. Kintisutta, yang merujuk pada 37 bodhipakkhiya dhamma, bukan bahasan "citta, cetasika, rupa, dan Nibbana" sebagaimana di Abhidhamma Pitaka.

Ditinjau dari sejarah, seperti sudah panjang lebar didiskusikan, Abhidhamma muncul belakangan, sekitar setelah konsili II dan sebelum konsili III. Menyelidiki sekte-sekte awal lainnya, didapati sutta/agama - vinaya memiliki sangat banyak kemiripan isi dan makna, bahkan struktur pembagiannya. Sedangkan Abhidharma antara sekte memiliki konsep berlainan.

Berdasarkan fakta ini, secara logika tidak mungkin disusun kerangka berpikir "Yang dimaksud Abhidhamma adalah isi dari 7 buku Abhidhamma Pitaka, diajarkan oleh Buddha di Tavatimsa, merupakan karya awal, bukan karya belakangan".


Jadi balik lagi, saran saya, yang juga berdasarkan Abhidhamma, tidak perlu menyelidik, sebab saddha* adalah sobhanasadharana cetasika, dan ketika ada kegoyahan maka upekkhasahagatam uddhaccasampayutam mohamulacitta muncul, akusala tuh. 


Spoiler: ShowHide
Saddhā/Sraddhā: srat (keyakinan) + dhā (menetapkan).
Menurut Atthasālinī, keyakinan ini eksklusif Buddhis.
Jika mendengar ajaran tentang Buddha, Dhamma, Sangha, dan yakin, maka itu adalah saddha.
Jika mendengar ajaran bukan Buddhism dan yakin, itu namanya pandangan salah/diṭṭhi.

-> Meyakini ajaran Buddha tentang paramattha dhamma = saddha; percaya penelitian sejarah = ditthi.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 11 April 2013, 10:13:21 AM
Pokoknya kalo ada abhidhammanya, itu tambahan belakangan, terserah mau di sutta apa vinaya, atau komentarnya.
bukan hanya abhidhamma loh, yg di sutta juga harus diperlakukan yg sama, dengan kritis dan tidak kepercayaan membuta, demikian pula vinaya. Kalo komentar yah pasti lah belakangan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 11 April 2013, 10:36:12 AM
ya Tuhan ya robbi ya alamin......tlg yang inggris di translate donkk...baca yang indonesia aja musti dua tiga kali baru paham.... :(

kasihanilah peti yang baru belajar ini...uda body berat...yg dibaca lebih berat lagi... ::)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 11 April 2013, 10:38:08 AM
pada akhir perdebatan ini, bumi yang besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar di langit
dan para dewa menaburkan bunga dari surga. peserta debat dipenuhi sukacita dalam hatinya dan
saddhanya bertambah kuat kepada abhidhamma. tidak ada lagi keraguan tentang sang tiratana
dan lenyap seluruh kepercayaan sesat bagaikan kegelapan disuluhi obor. 84000 dewa dan brahma
berseru nyaring sadhu 3x memenuhi angkasa raya...

di akhir perdebatan ini juga, tuhan yang maha kuasa membagikan 10 grp ke semua peserta diskusi yang
memiliki saddha yang tak tergoyahkan dan 50 grp kepada yang tidak memiliki saddha kepada
abhidhamma agar segera bertobat...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 11 April 2013, 10:40:19 AM
pada akhir perdebatan ini, bumi yang besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar di langit
dan para dewa menaburkan bunga dari surga. peserta debat dipenuhi sukacita dalam hatinya dan
saddhanya bertambah kuat kepada abhidhamma. tidak ada lagi keraguan tentang sang tiratana
dan lenyap seluruh kepercayaan sesat bagaikan kegelapan disuluhi obor. 84000 dewa dan brahma
berseru nyaring sadhu 3x memenuhi angkasa raya...

di akhir perdebatan ini juga, tuhan yang maha kuasa membagikan 10 grp ke semua peserta diskusi yang
memiliki saddha yang tak tergoyahkan dan 50 grp kepada yang tidak memiliki saddha kepada
abhidhamma agar segera bertobat...



LOL..ngakak =)) =)) =)) =)) =))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 11 April 2013, 10:42:34 AM
luar biasa yang mulia morpheus. Seperti orang yang bisa melihat jelas di siang hari tanpa terhalang kabut dan kegelapan, sayangnya tuhan itu malas bagi grp dalam bentuk grosiran.  ^-^
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 April 2013, 10:52:14 AM
Mengenai vinaya, yang paling basic mula-mula adalah Patimokkha sebagai landasan bagi kehidupan sangha. Dari 6 Vinaya yang selamat (Theravada, Sarvastivada, Mahasanghika, Mahisasaka, Dharmaguptaka, Mulasarvastivada), patimokkha bhikkhuni isinya mirip2, yang beda signifikan jumlahnya cuma bagian Pacittiya saja (Mahisasaka 210, Mulasarvastivada cuma 33).

Suttavibhanga menjelaskan tentang patimokkha. Sepertinya narasi latar belakang kejadiannya ini yang diulang oleh Upali. Di samping itu, tambahan-tambahan teks penjelasannya memang banyak. Kurang tahu juga kapan dan oleh siapa.
Kalau khandaka yang terdiri dari culavagga dan mahavagga, berisi tentang peraturan-peraturan tambahan, ada juga yang diambil dari sutta. Sedangkan yang terakhir, parivara, adalah pengelompokan dari 2 bab sebelumnya, yang memang diketahui sebagai tambahan belakangan, mungkin setelah konsili IV.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 12:06:39 PM
[at] Indra: Belum tentu akurat juga krn bisa saja org2 pd masa yg belakangan menambah/mengubah teks dg tata bahasa dan gaya bahasa yg lbh kuno. Waktu itu para sarjana jg menyadari bisa ada kemungkinan spt itu, tetapi dg adanya perbandingan dg teks Agama Mandarin malah menguatkan metode ini.

kalau memang ada motif untuk memalsukan sejarah, tentu saja penulis prasasti akan mengindari kata "ciyusss miapa" dan menggantinya menjadi "jadi loe mau apa, tolol!"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 11 April 2013, 01:13:46 PM
=))

Akhirnya ada kesimpulan jg, untung gw msh netral sama Abhidhamma... :)

Kalo benar ada bagi2 GRP jgn lupa gw ya :p
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 01:17:46 PM
baiklah, GRP akan dibagi mulai untuk member dari page 95 sampai 101.

kalo ada yg gak nambah, itu karena

"Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 11 April 2013, 02:30:46 PM
baiklah, GRP akan dibagi mulai untuk member dari page 95 sampai 101.

kalo ada yg gak nambah, itu karena

"Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours."

ai termasuk ndak ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 02:36:44 PM
ai termasuk ndak ?

kalo gak nambah artinya "Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 11 April 2013, 02:58:33 PM
bahhh
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 03:01:23 PM
bahhh

yg udah 400 gak bisa nambah lagi, udah mentok
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 11 April 2013, 03:38:51 PM
Pelimpahan jasa done, kecuali yang sudah terima jasa can't repeat ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 11 April 2013, 03:47:29 PM
yg udah 400 gak bisa nambah lagi, udah mentok

bisa ditukar sama piring dan gelas DC, kalau ngga, diseberangkan saja  :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 11 April 2013, 03:48:29 PM
baiklah, GRP akan dibagi mulai untuk member dari page 95 sampai 101.

kalo ada yg gak nambah, itu karena

"Sorry, you can't repeat a karma action without waiting 720 hours."

Om Indra pintar deh, menabur grp menuai grp  :whistle:

+1  buat semuanya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 03:53:40 PM
Om Indra pintar deh, menabur grp menuai grp  :whistle:

+1  buat semuanya

Lumayan kasih 1 dapat 3. Mestinya aturan grp diubah, memberi 1 grp akan mengurangi 1 grp si pemberi
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 11 April 2013, 03:56:16 PM
Lumayan kasih 1 dapat 3. Mestinya aturan grp diubah, memberi 1 grp akan mengurangi 1 grp si pemberi
Kalo gitu BRP orang, BRP sendiri berkurang ato ikut nambah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 11 April 2013, 03:57:37 PM
Lumayan kasih 1 dapat 3.

Pasti lulusan sekolah ekonomi nih.  ;D

Tapi gw bagi2 grp koq ga nambah2.  ::)

Mestinya aturan grp diubah, memberi 1 grp akan mengurangi 1 grp si pemberi

Ga ada yang punya reputasi plus donk, minus semua.
Kecuali kalo yg memberi BRP akan menambah 1 GRP  :)) :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 04:00:54 PM
Pasti lulusan sekolah ekonomi nih.  ;D

bukti bahwa untuk urusan ekonomi gak perlu sekolah

Quote
Tapi gw bagi2 grp koq ga nambah2.  ::)

jangan melihatnya begitu, lihatlah bahwa GRP udah dibayar dimuka jadi gak bisa lagi.

Quote
Ga ada yang punya reputasi plus donk, minus semua.
Kecuali kalo yg memberi BRP akan menambah 1 GRP  :)) :))
Kalo gitu BRP orang, BRP sendiri berkurang ato ikut nambah?

nah... supaya adil memang harus begitu
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 11 April 2013, 04:34:40 PM
Tapi gw bagi2 grp koq ga nambah2.  ::)
Kalau bisa pasti sudah saya +.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 11 April 2013, 05:01:37 PM
lumayan, dapat 4 :P
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 11 April 2013, 08:20:09 PM
lumayan, dapat 4 :P

Akhirnya diskusi berakhir dan pesta usai.  Ada yang puas, ada yang puas sekali...  :whistle:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 11 April 2013, 09:28:16 PM
loh, kata siapa diskusi udah berakhir tah?

*hayo pada balikin grp*
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 11 April 2013, 10:21:35 PM
Akhirnya diskusi berakhir dan pesta usai.  Ada yang puas, ada yang puas sekali...  :whistle:

belum berakhir, gue yg bodonyana ini blom baca semua ...wakkakakakak....



loh, kata siapa diskusi udah berakhir tah?

*hayo pada balikin grp*

gue sebelumnya uda ngasih grp sblm diminta :P
mana kek suhuuuuuu, uda diminta pun pyelitt ngasihh... *run
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: ryu on 11 April 2013, 10:35:07 PM
aye ampir kekejar indra nih :(
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 11:43:00 PM
aye ampir kekejar indra nih :(

sesuai instruksi bos, kasih BRP ah
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 11 April 2013, 11:45:46 PM
sesuai instruksi bos, kasih BRP ah
wkwkwkwk
-2
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 11:51:34 PM
wkwkwkwk
-2

BRP otomatis mengurangi 1 poin dan juga sekaligus membatalkan GRP sebelumnya, jadi seolah2 -2 padahal tetap -1
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 11 April 2013, 11:52:10 PM
sesuai instruksi bos, kasih BRP ah

gak jadi deh, recovered
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 12 April 2013, 06:00:51 AM
sesi diskusi ini berakhir, para penguasa DC menebar GRP
lumayan nih   :))
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DeNova on 12 April 2013, 08:34:12 AM
Sebenernya GRPnya bisa ditukarin Doorprize gag, kalau iya bisa minta nih... Oh ya ntar nukarinnya kemana, dateng langsung pa pakai kartu pos hehehe...
#yang ini gag minta GRP koq...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 April 2013, 08:43:26 AM
Sebenernya... dapet kesimpulan dari mana yah ini sudah berakhir? Ini om morph menyesatkan nih...

Yang masih punya info tambahan, silahkan teruskan. Mo topik baru juga boleh.



Sebenernya GRPnya bisa ditukarin Doorprize gag, kalau iya bisa minta nih... Oh ya ntar nukarinnya kemana, dateng langsung pa pakai kartu pos hehehe...
#yang ini gag minta GRP koq...
Kalo reputasi di atas 50, kalo kopdar bisa dapet hadiah langsung.

Spoiler: ShowHide
Air mineral gelas.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 12 April 2013, 08:54:00 AM
Sebenernya... dapet kesimpulan dari mana yah ini sudah berakhir? Ini om morph menyesatkan nih...
ampun, om  ^:)^
saya gak bilang berakhir kok.
cuman ngasih contoh penutup kitab keluaran srilanka dan kesempatan mancing grp grosiran dari tuhan (dan gagal) ;D
silakan lanjut....
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 12 April 2013, 08:57:12 AM
kalo serius, pindah deh, jangan di kamar pribadi orang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 April 2013, 09:10:15 AM
ampun, om  ^:)^
saya gak bilang berakhir kok.
cuman ngasih contoh penutup kitab keluaran srilanka dan kesempatan mancing grp grosiran dari tuhan (dan gagal) ;D
silakan lanjut....
Ga gagal juga sih, dapet +6 nih...  :D


kalo serius, pindah deh, jangan di kamar pribadi orang.
Emang di kamar pribadi ga boleh ngomong serius?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 12 April 2013, 09:22:21 AM
Emang di kamar pribadi ga boleh ngomong serius?

Ada rasa sungkan pada pemilik kamar, jadi walaupun serius, tetap ada nuansa mesumnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 12 April 2013, 10:35:31 AM
Ada rasa sungkan pada pemilik kamar, jadi walaupun serius, tetap ada nuansa mesumnya.
:hammer:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 12 April 2013, 10:55:22 AM
Ada rasa sungkan pada pemilik kamar, jadi walaupun serius, tetap ada nuansa mesumnya.


waakkakakakkakkakakaka...ngakak guling guling ampe juling juling.....

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DeNova on 12 April 2013, 07:41:42 PM
Kalo reputasi di atas 50, kalo kopdar bisa dapet hadiah langsung.

Spoiler: ShowHide
Air mineral gelas.


Gag mungkin DC kopdar di semarang SOOO... GRPnya gag usah nyampe 50 juga Gpp hehehehe... Secara anggota DC di semarang gag nyampe jumlah jari di 2 tangan juga...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: hemayanti on 15 April 2013, 02:40:19 PM
yg udah 400 gak bisa nambah lagi, udah mentok
Om ryu udah 401. ???
tadi iseng klik, mau liat apa jadinya, eh ternyata masih bisa bertambah. :))
selamat deh.

Gag mungkin DC kopdar di semarang SOOO... GRPnya gag usah nyampe 50 juga Gpp hehehehe... Secara anggota DC di semarang gag nyampe jumlah jari di 2 tangan juga...
dituker air mineral doang cc. ;D

upss...  :backtotopic:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 15 April 2013, 02:46:21 PM
Gag mungkin DC kopdar di semarang SOOO... GRPnya gag usah nyampe 50 juga Gpp hehehehe... Secara anggota DC di semarang gag nyampe jumlah jari di 2 tangan juga...

8 lainnya siapa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 15 April 2013, 02:48:36 PM
gue blum sempat baca smua yang dibahas soal early buddhism sich... ga tau ud dibahas or belum nih...
cuma tiba2 terpikir, klo ga salah, perkembangan AB di indo itu dibawa masuk sama bhante Narada...jd yang dibawa bhante narada itu aliran yang mana?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 April 2013, 03:52:57 PM
gue blum sempat baca smua yang dibahas soal early buddhism sich... ga tau ud dibahas or belum nih...
cuma tiba2 terpikir, klo ga salah, perkembangan AB di indo itu dibawa masuk sama bhante Narada...jd yang dibawa bhante narada itu aliran yang mana?
Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 15 April 2013, 03:59:05 PM
Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).

DC ga termasuk ya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 15 April 2013, 04:02:19 PM
Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).


:o kenapa merasa cukup beruntung ga hidup dalam komunitas buddhis? berarti yang hidup dalam komunitas buddhist itu orang yang tidak beruntung duonkkkk?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 April 2013, 04:22:38 PM
DC ga termasuk ya?

Wah, kurang tahu. Saya tidak hidup dalam komunitas Buddhis (dan merasa cukup beruntung).
Saya 'kan ga hidup di dalam DC (yang adalah dunia maya).  :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 April 2013, 04:30:13 PM
:o kenapa merasa cukup beruntung ga hidup dalam komunitas buddhis? berarti yang hidup dalam komunitas buddhist itu orang yang tidak beruntung duonkkkk?
Beruntung ato nggak itu subjektif. Merasa beruntung karena dalam belajar dhamma saya harus mencari, belajar, dan menyelidiki sendiri, bukan dicekokin secara dogmatis sebagaimana kalau orang sekolah (Buddhis) atau mengikuti ceramah pandita/bhikkkhu yang dianggap pasti benar.

Jika saya sudah diarahkan dengan pandangan tertentu dalam belajar Buddhisme, mungkin akan banyak hal yang terlewatkan oleh saya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 15 April 2013, 04:43:13 PM
Beruntung ato nggak itu subjektif. Merasa beruntung karena dalam belajar dhamma saya harus mencari, belajar, dan menyelidiki sendiri, bukan dicekokin secara dogmatis sebagaimana kalau orang sekolah (Buddhis) atau mengikuti ceramah pandita/bhikkkhu yang dianggap pasti benar.

Jika saya sudah diarahkan dengan pandangan tertentu dalam belajar Buddhisme, mungkin akan banyak hal yang terlewatkan oleh saya.



berdasarkan penjelasan ini, saya jadi merasa sangat tidak beruntung... :(
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 15 April 2013, 04:56:50 PM
berdasarkan penjelasan ini, saya jadi merasa sangat tidak beruntung... :(
Kalau begitu merasa beruntunglah karena masih dapat belajar lebih banyak mulai sekarang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 15 April 2013, 05:02:49 PM
Kalau begitu merasa beruntunglah karena masih dapat belajar lebih banyak mulai sekarang.

sekarang tiba-tiba merasa sangat beruntung karena ketemu KK ,OK , SH  :whistle: :whistle: :whistle: :whistle:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 15 April 2013, 05:09:30 PM
OK, SH? Gak pernah dengar...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 15 April 2013, 05:32:59 PM
OK, SH? Gak pernah dengar...

orgnya disini kok...
salah siapa klo ga pernah dengar :P
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chinpoko on 15 April 2013, 05:40:26 PM
Beruntung ato nggak itu subjektif. Merasa beruntung karena dalam belajar dhamma saya harus mencari, belajar, dan menyelidiki sendiri, bukan dicekokin secara dogmatis sebagaimana kalau orang sekolah (Buddhis) atau mengikuti ceramah pandita/bhikkkhu yang dianggap pasti benar.

Jika saya sudah diarahkan dengan pandangan tertentu dalam belajar Buddhisme, mungkin akan banyak hal yang terlewatkan oleh saya.

jadi intinya koko kainyn menganut paham ehipassiko  :D

kalo menurut chinpoko yg terpenting dalam belajar Buddhisme adalah moralitas

so aliran apapun dlm Buddhisme yg kita anut tak jd masalah yg terpenting hal tesebut membawa kebaikan bg diri sendiri n makhlk lain _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 15 April 2013, 07:06:57 PM
jadi intinya koko kainyn menganut paham ehipassiko  :D

kalo menurut chinpoko yg terpenting dalam belajar Buddhisme adalah moralitas
Berbeda dengan saya, menurut saya Buddhisme dimulai dengan pandangan benar, seperti dalam JMB8. Jika orang melakukan moralitas dengan pandangan dan pikiran salah, misalnya: "saya tidak mabuk-mabukan karena kalau mabuk tidak diberkahi Buddha dan bisa dipentung Vajirapani", maka moralitas demikian menjadi kurang/tidak bermanfaat.


Quote
so aliran apapun dlm Buddhisme yg kita anut tak jd masalah yg terpenting hal tesebut membawa kebaikan bg diri sendiri n makhlk lain _/\_
Biarpun bukan Buddhis, jika ajarannya membawa kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain, maka ajaran itu adalah baik.

Hanya saja definisi 'kebaikan' ini tentu berbeda, bukan?  :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: DeNova on 16 April 2013, 01:24:24 AM
8 lainnya siapa?

Sori ma om Kaynin dulu, OOT dikit... Btw kan tangan kita cuma 2 buah om jumlahnya, emg manusia punya tangan lbh dari sepasang alias 2 buah??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 16 April 2013, 09:04:04 AM
Sori ma om Kaynin dulu, OOT dikit... Btw kan tangan kita cuma 2 buah om jumlahnya, emg manusia punya tangan lbh dari sepasang alias 2 buah??

oh saya pikir jarinya (10biji), kalo gitu satu lagi siapa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 16 April 2013, 09:05:39 AM
OK, SH? Gak pernah dengar...

OK kayanya aku tau....  ;D SH suhu?

oh saya pikir jarinya (10biji), kalo gitu satu lagi siapa?
CHL ama jupe?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sunyata on 16 April 2013, 09:08:22 AM
OK kayanya aku tau....  ;D SH suhu?
Nah... Kalau gitu kasih tau.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: M14ka on 16 April 2013, 09:13:56 AM
Nah... Kalau gitu kasih tau.

(http://www.veryicon.com/icon/png/Emoticon/Yolks%202/Whisper.png)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 16 April 2013, 03:24:51 PM
Nah... Kalau gitu kasih tau.
Om K**** kali ya??? :hammer:

*ngacir dulu*
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: juli wu on 17 April 2013, 06:58:12 PM
 _/\_

to ko KK,ataupun siapa yg sudi memberikan masukannya

ada yg bikin sy agak risau ni,baru ku sadari ternyata sy punya 3 asuransi ,jika mati,anak2 sy n suami gak akan kesulitan keuangan n yg jadi pertanyaan,cara pencarian nafkah yg salah gak dlm agama buddha, n lagi hoby jual beli emas logam atam termasuk judi gak ya,thanks
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 18 April 2013, 08:41:40 AM
_/\_

to ko KK,ataupun siapa yg sudi memberikan masukannya

ada yg bikin sy agak risau ni,baru ku sadari ternyata sy punya 3 asuransi ,jika mati,anak2 sy n suami gak akan kesulitan keuangan n yg jadi pertanyaan,cara pencarian nafkah yg salah gak dlm agama buddha, n lagi hoby jual beli emas logam atam termasuk judi gak ya,thanks
Asuransi itu tentunya bukan penghidupan salah, karena dalam hal ini tidak ada pihak yang dirugikan, klien seperti investasi di asuransi, lalu kalau terjadi apa-apa, asuransi yang keluarkan biaya. Kalau tidak terjadi apa-apa, yah asuransi juga untung karena mendapat masukan dari iuran.
Jual beli apapun termasuk emas, asal tidak nipu, tidak berhubungan dengan penganiayaan makhluk, intinya yang tidak langgar sila, tidak masalah.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 18 April 2013, 10:41:32 AM
_/\_

to ko KK,ataupun siapa yg sudi memberikan masukannya

ada yg bikin sy agak risau ni,baru ku sadari ternyata sy punya 3 asuransi ,jika mati,anak2 sy n suami gak akan kesulitan keuangan n yg jadi pertanyaan,cara pencarian nafkah yg salah gak dlm agama buddha, n lagi hoby jual beli emas logam atam termasuk judi gak ya,thanks

asuransi kok jadi pencarian nafkah ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 26 April 2013, 05:03:10 PM
nanya donk...pernah kah KK terjebak dalam situasi maju mundur kena? how to handle it? ada penyesalan stlh itu ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: CintaViolet on 26 April 2013, 05:29:49 PM
nanya donk...pernah kah KK terjebak dalam situasi maju mundur kena? how to handle it? ada penyesalan stlh itu ?

situasi kayak apa tuh?? jadi inget film nya warkop...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 26 April 2013, 06:29:51 PM
nanya donk...pernah kah KK terjebak dalam situasi maju mundur kena? how to handle it? ada penyesalan stlh itu ?
Kalau tidak ada jalan keluar, yah pilih yang tingkat akibat buruknya lebih sedikit dan kecil. Penyesalan kadang ada, tapi tidak berguna, yang penting jadikan pelajaran supaya bisa menghindari situasi serupa di kemudian hari.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 26 April 2013, 07:15:20 PM
Kalau tidak ada jalan keluar, yah pilih yang tingkat akibat buruknya lebih sedikit dan kecil. Penyesalan kadang ada, tapi tidak berguna, yang penting jadikan pelajaran supaya bisa menghindari situasi serupa di kemudian hari.

ahh... iya, gue uda ingett jwbanny.... hahahaa
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: juli wu on 26 April 2013, 07:23:00 PM
hmm sarannya dong,sy disuruh donor darah,sy bilang gak ah,krn sy punya penyakit gula n darah tinggi,kasihan tar yg terima,trus di bilang gak ada hubungannya,kalau uda di donor bukan lg urusan kita,benarkah demikian,jika sy donor darah akan terbentuk darah yg lbh baik,thanks ya bagi yg memberi sarannya
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 April 2013, 08:22:24 AM
hmm sarannya dong,sy disuruh donor darah,sy bilang gak ah,krn sy punya penyakit gula n darah tinggi,kasihan tar yg terima,trus di bilang gak ada hubungannya,kalau uda di donor bukan lg urusan kita,benarkah demikian,jika sy donor darah akan terbentuk darah yg lbh baik,thanks ya bagi yg memberi sarannya


sptnya petugas PMI juga tidak akan mengizinkan anda untuk donor darah karena darah tinggi
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 30 April 2013, 04:53:41 AM

sptnya petugas PMI juga tidak akan mengizinkan anda untuk donor darah karena darah tinggi

bukannya darah rendah yang tidak boleh ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Forte on 30 April 2013, 05:39:12 AM

sptnya petugas PMI juga tidak akan mengizinkan anda untuk donor darah karena darah tinggi
bukannya darah rendah yang tidak boleh ?
terlalu tinggi dan rendah keduanya gak boleh..
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: adi lim on 30 April 2013, 05:47:45 AM
terlalu tinggi dan rendah keduanya gak boleh..

  :jempol:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 30 April 2013, 06:10:56 AM
PMI benar2 menerapkan jalan tengah :hammer:
Title: [Note] Cakravartin
Post by: K.K. on 24 May 2013, 10:56:09 AM
Note: Biasa diketahui kalau orang punya 32 tanda manusia besar (mahāpuruṣa lakṣaṇa) akan jadi Cakravartin, dan jika jadi petapa, akan jadi seorang Buddha. Ini kurang lengkap. Seharusnya kalau punya 32 tanda dan menjadi petapa pada masa utama kehidupannnya, maka akan menjadi seorang Buddha.

Para Cakravartin dikisahkan juga memiliki tradisi menjadi petapa, namun setelah lewat masa kehidupan utama, setelah rambut putih terlihat. Kehidupan lampau Bodhisatta Gotama sebagai Cakravartin bernama Vijitavi, juga meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan monastik di bawah Sangha Buddha Kondanna. Dalam Nimi Jataka, dijelaskan juga bahwa Cakravartin Makhadeva dengan 83.997 keturunannya, semua menjalani tradisi demikian. Kemudian Makhadeva yang terlahir di alam Brahma turun lagi ke alam manusia di antara keluarganya dengan tekad untuk melengkapi 84.000 keturunan ini dan menjadi raja nomor 83.999 bernama Nimi. Ia menjalani tradisi dengan meninggalkan keduniawian juga, namun anaknya, Kalarajanaka tidak melanjutkan tradisinya dan menjadi yang terakhir di generasi itu.

Tidak kalah menariknya adalah penjelasan tentang waktu, di mana masing-masing raja itu berumur 336.000 tahun dan memerintah selama 84.000 tahun sebelum dilanjutkan generasi berikutnya. Berarti rentang waktu pemerintahan para Cakravartin ini adalah 7.056.000.000 tahun, dan itu terjadi di tempat yang sama dengan ketika Buddha Gotama mengunjungi Mithila. Mengingat geologi dan umur bumi yang kisaran 4.5 milyar tahun, maka kisah ini boleh dibilang tidak ilmiah.
Title: [Note] Kursi
Post by: K.K. on 24 May 2013, 11:54:40 AM
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.

Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.

Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)

Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)

Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 24 May 2013, 11:55:53 AM
 
Note: Biasa diketahui kalau orang punya 32 tanda manusia besar (mahāpuruṣa lakṣaṇa) akan jadi Cakravartin, dan jika jadi petapa, akan jadi seorang Buddha. Ini kurang lengkap. Seharusnya kalau punya 32 tanda dan menjadi petapa pada masa utama kehidupannnya, maka akan menjadi seorang Buddha.

Para Cakravartin dikisahkan juga memiliki tradisi menjadi petapa, namun setelah lewat masa kehidupan utama, setelah rambut putih terlihat. Kehidupan lampau Bodhisatta Gotama sebagai Cakravartin bernama Vijitavi, juga meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan monastik di bawah Sangha Buddha Kondanna. Dalam Nimi Jataka, dijelaskan juga bahwa Cakravartin Makhadeva dengan 83.997 keturunannya, semua menjalani tradisi demikian. Kemudian Makhadeva yang terlahir di alam Brahma turun lagi ke alam manusia di antara keluarganya dengan tekad untuk melengkapi 84.000 keturunan ini dan menjadi raja nomor 83.999 bernama Nimi. Ia menjalani tradisi dengan meninggalkan keduniawian juga, namun anaknya, Kalarajanaka tidak melanjutkan tradisinya dan menjadi yang terakhir di generasi itu.

Tidak kalah menariknya adalah penjelasan tentang waktu, di mana masing-masing raja itu berumur 336.000 tahun dan memerintah selama 84.000 tahun sebelum dilanjutkan generasi berikutnya. Berarti rentang waktu pemerintahan para Cakravartin ini adalah 7.056.000.000 tahun, dan itu terjadi di tempat yang sama dengan ketika Buddha Gotama mengunjungi Mithila. Mengingat geologi dan umur bumi yang kisaran 4.5 milyar tahun, maka kisah ini boleh dibilang tidak ilmiah.

cakravartin itu apa artinya?


mksdny? berarti ada 84.000 generasi?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 24 May 2013, 12:04:23 PM
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.

Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.

Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)

Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)




LOL  =)) =)) =)) :jempol: :jempol: :jempol:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: will_i_am on 24 May 2013, 12:06:21 PM

cakravartin itu apa artinya?


mksdny? berarti ada 84.000 generasi?
Cakravartin(Sanskrit) atau Cakkavati(Pali) artinya raja pemutar roda
lengkapnya disini  (http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_26:_Cakkavatis%C4%ABhanad%C4%81_Sutta)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Mr.Jhonz on 24 May 2013, 12:06:46 PM
Kk,
tidur atau baringan di kasur setebal 15cm-30cm boleh?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 24 May 2013, 12:13:27 PM
Cakravartin(Sanskrit) atau Cakkavati(Pali) artinya raja pemutar roda
lengkapnya disini  (http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_26:_Cakkavatis%C4%ABhanad%C4%81_Sutta)

oh, cakkavati toh... thanks brooo...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 24 May 2013, 12:58:44 PM
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.

Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.

Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)

Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)

Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.

atthasila memang sangat sulit dijalankan sambil melakukan aktivitas sehari2. menurut informasi yg pernah saya di dengar, di Srlanka, karyawan sebuah perusahaan diperbolehkan tidak bekerja pada hari uposatha. Jika memungkinkan usahakan agar tidak masuk kerja pada hari Uposatha jika ingin bersungguh2 menjalankan sila, namun jika tidak memungkinkan, latihlah hanya sila2 yg mungkin dijalankan, walaupun ini tidak disebut latihan atthasila.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 24 May 2013, 01:14:48 PM
atthasila memang sangat sulit dijalankan sambil melakukan aktivitas sehari2. menurut informasi yg pernah saya di dengar, di Srlanka, karyawan sebuah perusahaan diperbolehkan tidak bekerja pada hari uposatha. Jika memungkinkan usahakan agar tidak masuk kerja pada hari Uposatha jika ingin bersungguh2 menjalankan sila, namun jika tidak memungkinkan, latihlah hanya sila2 yg mungkin dijalankan, walaupun ini tidak disebut latihan atthasila.

 :jempol: :jempol: :jempol: makaciiii penjelasannya ...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 May 2013, 01:23:16 PM

cakravartin itu apa artinya?
Pemutar Roda, tapi jangan dianggap sopir truk. Maksudnya Cakravatin ini adalah raja ideal yang memerintah sesuai dengan dharma, menaklukkan tanpa kekerasan. Rakyatnya sangat makmur. Lengkapnya, bisa baca link dari Om Will_i_am di atas.


Quote
mksdny? berarti ada 84.000 generasi?
Iya, Makhadeva generasi yang memulai dan Nimi adalah generasi terakhir yang menjalankan tradisi. Anaknya Nimi ga melanjutkan tradisi itu lagi. Baik Makhadeva dan Nimi, keduanya adalah kehidupan lampau Bodhisatta Gotama.
Kisah lengkapnya ada di Makhadevasutta, Makhadeva jataka, dan Nimi Jataka.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 May 2013, 01:25:49 PM
atthasila memang sangat sulit dijalankan sambil melakukan aktivitas sehari2. menurut informasi yg pernah saya di dengar, di Srlanka, karyawan sebuah perusahaan diperbolehkan tidak bekerja pada hari uposatha. Jika memungkinkan usahakan agar tidak masuk kerja pada hari Uposatha jika ingin bersungguh2 menjalankan sila, namun jika tidak memungkinkan, latihlah hanya sila2 yg mungkin dijalankan, walaupun ini tidak disebut latihan atthasila.
Semua memang bisa diusahakan. Tapi kalo boleh tahu, untuk apakah sila ini dijalankan? Bagaimanakah penjelasannya, apakah sentuhan pantat dengan kursi bahan tertentu atau lebar tertentu, bisa menodai batin?
Title: Re: [Note] Kursi
Post by: sanjiva on 24 May 2013, 01:35:38 PM
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.

Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.

Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)

Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)

Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.

Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 May 2013, 01:39:20 PM
Kk,
tidur atau baringan di kasur setebal 15cm-30cm boleh?
Kurang tahu tentang itu, tapi sepertinya tergantung kasurnya dari bahan apa.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 24 May 2013, 01:41:37 PM
Semua memang bisa diusahakan. Tapi kalo boleh tahu, untuk apakah sila ini dijalankan? Bagaimanakah penjelasannya, apakah sentuhan pantat dengan kursi bahan tertentu atau lebar tertentu, bisa menodai batin?

inti dari sila adalah latihan, dalam hal ini latihan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan. bagi kita mungkin kursi wasit itu bukan tempat duduk mewah, tapi mampukah kita menjalankan latihan yg telah ditetapkan itu?

sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 24 May 2013, 01:42:43 PM
Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.

http://google.com, keyword: "atthasila"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 24 May 2013, 01:48:22 PM
Sila kedelapan tidak memperbolehkan penggunaan tempat tidur yang luas atau tinggi. Masih belum jelas apa yang dimaksudkan disini. Mungkin bahkan seseorang yang melaksanakan sila tidak mengerti ini sepenuhnya. Apakah yang dimaksud tempat tidur yang besar, dan apa ukuran yang membuat tempat tidur tidak diperbolehkan?

Tempat tidur dan bangku,terbuat dari papan, rotan, atau kain, memiliki kaki yang berlekuk atau lurus. Tempat tidur tidak boleh melebihi tinggi 8 sugata (sekitar 20 inchi modern), dihitung dari dasar bawah papan. Tempat tidur tidak diperbolehkan melewati batas ini. Dalam kasus bangku segi empat, bahkan bila kakinya melebihi 8 sugata inchi masih diperbolehkan. Bila tempat tidur memiliki papan di bagian belakang dan samping, meskipun melebihi tinggi yang diperbolehkan, masih tidak apa-apa. Tempat tidur atau bangku yang memiliki kaki lebih panjang dari ukuran yang diperbolehkan namun melekat pada satu tempat diperbolehkan. Kasur yang tidak memiliki papan utama boleh, dengan meletakkan kayu dibawah kaki tempat tidur, diangkat naik, namun tidak melebihi 8 sugata. Tempat tidur dan bangku yang tinggi cenderung membawa pada kesombongan dan kegembiraan. Karena itu tujuan dibalik tidak duduk dan berbarng di tempat duduk atau tempat tidur yang tinggi adalah untuk menghindari kemungkinan hal tersebut membawa pada nafsu keinginan.

Apa ciri-ciri tempat tidur dan tempat duduk?

Tempat tidur berukuran panjang dan digunakan untuk berbaring. Tempat duduk untuk duduk dan berbentuk bulat atau segi empat

Berapa besar ukuran lebar-lengan atau panjang-lengan sebelum tempat tidur dikatakan terlalu besar untuk digunakan?

Tempat tidur tidak diukur dalam hal panjang dan lebar. Istilah ‘besar’ disini merujuk pada pelapis dan penghias yang tidak boleh digunakan. Para Atthakatha Acariya telah menyusunnya menjadi 19 jenis:

* Tempat duduk yang dihiasi gambar hewan buas, seperti harimau, buaya, dll.

* Kulit hewan dengan bulu yang panjang (melebihi empat inchi panjangnya)

* Kain yang terbuat dari wol, dengan sulaman yang rumit.

* Penutup yang terbuat dari wol, yang terbuat dari desain rumit.

* Penutup yang terbuat dari wol, dengan gambar-gambar bunga

* Penutup yang terbuat dari wol, dengan gambar-gambar rumit bermacam-macam hewan.

* Penutup yang terbuat dari wol, dengan bulu di kedua sisinya

* Penutup yang terbuat dari wol, dengan bulu di salah satu sisinya

* Penutup yang terbuat dari kulit harimau.

* Kain penutup berwarna merah.

* Alas dari kulit gajah

* Alas dari kulit kuda

* Alas dari kereta kuda

* Penutup yang ditenun dari emas dan sutera dan dijahit pinggir dengan benang emas.

* Penutup yang terbuat dari sutra dan dijahit pinggir dengan benang emas.

* Penutup wol yang cukup besar untuk 16 orang penari menari diatasnya.

* Penutup yang terbuat dari kulit musang

* Tempat tidur dengan bantal merah di kedua ujungnya.

* Matras yang hanya terisi kapuk.

Penjelasan lain istilah ‘besar’ atau luas disini bisa juga merujuk pada tempat tidur yang cukup besar untuk dua orang. Mereka yang menjaga sila Uposatha menghindari tempat tidur semacam ini, yang ditujukan untuk pasangan-pasangan.

Kasur berisi apa yang diperbolehkan?

* Tempat tidur yang berisi wol atau bulu atau dengan bulu dari hewan berkaki dua atau empat, namun tidak dengan rambut manusia

* Tempat tidur yang diisi kain

* Tempat tidur yang diisi kulit kayu

* Tempat tidur yang diisi rumput

* Tempat tidur yang diisi dedaunan, kecuali daun kamper Borneo. Daun kamper borneo bila dicampur dengan daun pohon lain diperbolehkan.

Jenis-jenis tempat tidur diatas telah diperbolehkan oleh Sang Buddha.

Sesuai sutta, tidak diperbolehkan untuk berbaring di tempat tidur yang besar atau tinggi. Apakah termasuk pelanggaran sila apabila kita duduk di tempat tidur yang tinggi?

Meskipun Sutta hanya mengatakan tentang berbaring, para Atthakatha Acariya disini memasukkan kategori duduk juga. Hal ini serupa dengan sila ketujuh, dimana para Atthakatha Acariya memasukkan mendengar dalam larangan sehubungan dengan menonton tarian, nyanyian, dll. Berdiri atau berjalan di tempat duduk atau kursi tidak diperbolehkan

sumber: http://www.facebook.com/groups/AtthasilaSupportGroup/228466900618011/ (http://www.facebook.com/groups/AtthasilaSupportGroup/228466900618011/)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 24 May 2013, 01:55:27 PM
inti dari sila adalah latihan, dalam hal ini latihan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan. bagi kita mungkin kursi wasit itu bukan tempat duduk mewah, tapi mampukah kita menjalankan latihan yg telah ditetapkan itu?

sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?

mohon penjelasan yang dibold. thanks
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 24 May 2013, 01:58:23 PM
Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.

 :)) :)) :)) berarti ada bhikkhu yang uda melanggar jg ya ko? kan klo talk show di tipi, kursinya tuh biasanya sofa
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 24 May 2013, 02:11:43 PM
Sesuai sutta, tidak diperbolehkan untuk berbaring di tempat tidur yang besar atau tinggi. Apakah termasuk pelanggaran sila apabila kita duduk di tempat tidur yang tinggi?

Meskipun Sutta hanya mengatakan tentang berbaring, para Atthakatha Acariya disini memasukkan kategori duduk juga. Hal ini serupa dengan sila ketujuh, dimana para Atthakatha Acariya memasukkan mendengar dalam larangan sehubungan dengan menonton tarian, nyanyian, dll. Berdiri atau berjalan di tempat duduk atau kursi tidak diperbolehkan

sumber: http://www.facebook.com/groups/AtthasilaSupportGroup/228466900618011/ (http://www.facebook.com/groups/AtthasilaSupportGroup/228466900618011/)

Suttanya sutta apa?  Pertanyaan gw di atas belum terjawab. ::)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 24 May 2013, 02:27:53 PM
Suttanya sutta apa?  Pertanyaan gw di atas belum terjawab. ::)

brahmajala sutta, samannaphala sutta, dll
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Sumedho on 24 May 2013, 05:16:09 PM
ini sutta uposatha yg meniru arahant

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.041.vaka.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.041.vaka.html)

lainnya

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.043.khan.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.043.khan.html)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 24 May 2013, 05:36:15 PM
Uposatha Sutta

Demikianlah yang telah kudengar:

Pada suatu ketika Yang Terberkahi sedang berdiam di Jetavana, vihara milik Anathapindika, dekat Savatthi. Ketika itu Yang Terberkahi, setelah memanggil semua Bhikkhu berkumpul, memanggil mereka demikian: “Para Bhikkhu!” para Bhikkhu menjawab: “Yang Mulia!” (Para Bhikkhu kemudian mempersiapkan diri untuk menerima ajaran yang akan disampaikan.) Yang Terberkahi kemudian memberikan khotbah mengenai Uposatha.

“Para Bhikkhu, Uposatha terdiri dari delapan faktor yang dipraktekkan oleh murid Ariya, yang bila dipraktekkan akan membawa buah yang besar dan bercahaya serta bermanfaat. “Para Bhikkhu, apakah Uposatha yang dipraktekkan oleh para Ariya, yang membawa buah yang besar dan bercahaya serta bermanfaat?”

1. “ Para Bhikkhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“’Semua Arahant, selama hidupnya telah menghindari pembunuhan yang disengaja (panatipata) dengan tongkat dan pedang yang telah diletakkan. Mereka memiliki rasa malu (akan perbuatan jahat) dan berbelas kasih kepada semua makhluk.’

“Kalian semua telah menghindari pembunuhan yang disengaja, telah meletakkan semua senjata, memiliki rasa malu (akan perbuatan jahat) dan berbelas kasih kepada semua makhluk. Sepanjang hari dan malam ini, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. Inilah faktor pertama dari Uposatha.”

2. “Para Bhikhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“’Semua Arahant, selama hidupnya telah menghindari mengambil apa yang tidak diberikan (adinnadana). Mereka mengambil hanya apa yang diberikan, berniat mengambil hanya apa yang diberikan. Mereka bukanlah pencuri. Perilaku mereka bersih.’

“Kalian semua telah menghindari mengambil apa yang tidak diberikan, orang yang menghindari apa yang tidak diberikan, berniat mengambil hanya apa yang diberikan, dan bukanlah pencuri. Perilaku kalian bersih. Sepanjang siang dan malam, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. Inilah faktor kedua dari Uposatha”

3. “Para Bhikkhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“’Semua Arahant, selama hidupnya telah menghindari apa yang merupakan rintangan bagi kehidupan-Brahma (abrahma-cariya). Praktik mereka layaknya Brahma. Mereka menahan diri dari hubungan seksual, yang merupakan praktik para umat awam.’

“Kalian semua telah menghindari apa yang merupakan rintangan bagi kehidupan-Brahma dan bertindak seperti seorang Brahma. Perilaku kalian jauh dari hubungan seksual. Sepanjang siang dan malam ini, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. Inilah faktor ketiga Uposatha.”

4. “Para Bhikkhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“’Semua Arahant selama hidupnya telah menghindari berkata bohong (musavada). Mereka hanya mengungkapkan kebenaran dan hanya berniat pada kebenaran. Ucapan mereka tegas dan memiliki alasan. Ucapan mereka tidak goyah oleh arus duniawi.’

“kalian semua telah menghindari berkata bohong. Kalian hanya mengungkapkan kebenaran dan hanya berniat pada apa yang benar. Ucapan kalian tegas dan beralasan. Ucapan kalian tidak goyah oleh arus duniawi. Sepanjang siang dan malam ini, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. Inilah faktor keempat dari Uposatha.”

5. “Para Bhikkhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“’Semua arahant, selama hidupnya telah menghindari minuman keras dan minuman memabukkan (sura-meraya-majja-pamadatthana), yang memabukkan, menyebabkan kelengahan. Mereka jauh dari minuman keras.)

“Kalian semua telah menghindari minuman keras dan minuman memabukkan. Kalian menghindari minuman yang menyebabkan kelengahan. Sepanjang siang dan malam ini, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. inilah faktor kelima dari Uposatha.”

6. “Para Bhikkhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“’Semua Arahant, selama hidupnya, makan hanya sekali sehari dan tidak makan di malam hari. Mereka menghindari makan pada waktu yang salah (vikala bhojana).’

“Kalian semua makan hanya sekali sehari dan tidak makan pada malam hari. Kalian menghindari makan pada waktu yang salah. Sepanjang siang dan malam ini, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. inilah faktor keenam dari Uposatha.”

7. “Para Bhikkhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“Semua Arahant, selama hidupnya, telah menghindari nyanyian, tarian, permainan alat musik dan menonton hiburan-hiburan yang menjadi penghalang bagi apa yang bermanfaat. Mereka juga tidak mempercantik diri mereka dengan perhiasan, bunga-bungaan, dan wewangian.’

“Kalian semua telah menghindari nyanyian dan tarian, permainan alat musik dan menonton hiburan-hiburan, yang merupakan penghalan bagi apa yang bermanfaat. Kalian tidak menghias diri kalian dengan perhiasan-perhiasan, bunga-bungaan atau wewangian. Sepanjang siang dan malam ini, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. inilah faktor ketujuh dari Uposatha.”

8. “Para Bhikkhu, para siswa Ariya dalam Ajaran ini merenungkan demikian:

“’Semua Arahant, sepanjang hidup mereka, telah menghindari berbaring di tempat tidur yang luas atau tinggi. Mereka puas dengan tempat tidur yang rendah atau yang terbuat dari rumput.’

“Kalian semua telah menghindari berbaring di tempat tidur yang luas atau tinggi. Kalian puas dengan tempat tidur yang rendah atau yang terbuat dari rumput. Sepanjang siang dan malam ini, dengan cara ini, kalian akan dikenal telah mengikuti para Arahant, dan Uposatha akan telah dilaksanakan oleh kalian. inilah faktor kedelapan dari Uposatha.”

“Para Bhikkhu, Uposatha terdiri dari delapan faktor ini yang dilaksanakan oleh para siswa Ariya, dan membawa buah yang besar dan gemilang serta bermanfaat.”

Demikianlah Yang Terberkahi mengajar sehubungan dengan Uposatha. Para Bhikkhu senang dan bergembira mendengar kata-kata Yang Terberkahi.

Sumber: terjemahan Wilwol dari http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/nanavara/uposatha.html (http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/nanavara/uposatha.html) di group FB Atthasila Support
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 24 May 2013, 05:58:42 PM
ini sutta uposatha yg meniru arahant

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.041.vaka.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.041.vaka.html)

lainnya

http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.043.khan.html (http://www.accesstoinsight.org/tipitaka/an/an08/an08.043.khan.html)

Mudaha2an kita cepat jadi arahat dengan praktek seperti ini :
(dari source di atas)

Quote
"[He considers:] 'For all their lives the arahants having abandoned high beds[9] and large beds,[10] refraining from high beds and large beds, they make use of a low sleeping place, a [hard] bed or a strewing of grass; so today I have abandoned high beds and large beds, refraining from high beds and large beds, I make use of a low sleeping place, a [hard] bed or a strewing of grass. By this practice, following after the arahants the Uposatha will be entered on by me.'

"It is undertaken by this eighth practice.

Quote
8. "Bhikkhus. Ariyan disciples in this Religion reflect thus:

"'All arahants, for as long as life lasts, have given up lying on large or high beds. They are content with low beds or bedding made of grass.'

"All of you have given up lying on large or high beds. You are content with low beds or beds made of grass
. For all of this day and night, in this manner, you will be known as having followed the arahants, and the Uposatha will have been observed by you. This is the eighth factor of the Uposatha.

Tapi detail dari om Indra gw belum ketemu di sutta yg disebutkanNya nya. :-?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 24 May 2013, 06:06:10 PM
Tapi detail dari om Indra gw belum ketemu di sutta yg disebutkanNya nya. :-?

dari brahmajala sutta:
1.15. ‘“Sementara beberapa petapa dan Brāhmaṇa masih menyukai tempat tidur yang tinggi dan lebar dan tempat duduk yang tinggi, alas duduk berhiaskan kulit binatang,[22] dilapisi wol atau dengan berbagai macam penutup, penutup dengan bulu di kedua sisi atau di satu sisi, penutup sutra, berhiaskan dengan atau tanpa permata, permadani-kereta, -gajah, -kuda, berbagai selimut dari kulit-kijang, bantal bertenda, atau dengan bantal merah di kedua sisi, Petapa Gotama menjauhi tempat tidur tinggi dan lebar demikian.”’

samanaphala sutta menyingkat bagian ini dengan merujuk pada paragraf di atas.
Title: Re: [Note] Kursi
Post by: hemayanti on 25 May 2013, 07:54:09 PM
Seandainya pada hari Uposatha seorang umat Buddha yang sungguh saleh pergi ke bank untuk mengurus rekeningnya dan sampai di Customer Service dipersilahkan duduk dengan tempat duduk kira-kira seperti (http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)
atau disuruh duduk di ruang tunggu dengan kursi seperti (http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
maka sebaiknya dia tidak duduk, dan jika tidak ada kursi lain, sebaiknya duduk di lantai saja.

Tapi harus hati-hati, kalau lantainya ada karpet, misalnya seperti ini: (http://www.sourcecollection.com/images/CaissonWoolCarpet_z.jpg), sebaiknya dia berdiri saja.

Jika anda seorang Buddhist yang saleh, juga paling baik jangan berprofesi sebagai wasit. Bukan karena ini berkenaan dengan penganiayaan makhluk, penipuan, atau racun, namun karena setiap uposatha anda harus hadapi dilema ini:
(http://www.harrod.uk.com/uploads/TEN-149_Umpire_Chair_M.jpg)

Ini bangku yang aman dari pelanggaran sila, tapi agak susah melihat sisi atas net dengannya:
(http://i00.i.aliimg.com/photo/v0/10032330/Rec_Short_Chair.jpg)

Jangan lupa hindari juga jok mobil, karena biasanya berbahan kulit atau semi-kulit. Cari yang sintetis dan tidak pakai kapas, dan tanpa senderan kepala.
om kainyn, ini serius atau becanda??
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 25 May 2013, 10:49:57 PM
Di buku paritta ku sih jelas tertulis tidak lebih tinggi dari 60cm baik untuk bangku maupun tempat tidur.

(http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)

Untuk yang ini masih bisa digunakan untuk duduk.

nah gambar di bawah ini sebaiknya dihindari

(http://offinsted.com/data/couches/8-14.jpg)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 08:57:10 AM
inti dari sila adalah latihan, dalam hal ini latihan hidup sederhana dan menjauhi kemewahan. bagi kita mungkin kursi wasit itu bukan tempat duduk mewah, tapi mampukah kita menjalankan latihan yg telah ditetapkan itu?
Jika memang kursi wasit tidak mewah, tidak berlawanan dengan latihan hidup sederhana, lalu apa yang dilatih?

Quote
sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?
Ada dua hal dalam makan, menunjang hidup dan kenikmatan indria pengecap. Yang ke dua ini sangat halus dan sulit dipisahkan. Walaupun seseorang memakan diet tertentu yang tampak 'mulia' seperti vegetarian, sama sekali tidak menjamin dia terbebas dari ketamakan akan rasa.

Jika jumlah makan tidak dibatasi, orang yang tidak rakus tetap tidak makan berkali-kali, cukup untuk kebutuhan makannya saja; tapi orang yang rakus akan makan berkali-kali, berulang-ulang menikmati rasanya, terlepas dari kebutuhan makannya sudah terpenuhi.

Jika jumlah makan dibatasi, maka baik orang rakus dan tidak rakus, tetap makan sekali cukup untuk kebutuhan makannya, dan seandainya makanan itupun dimakan dengan ketamakan, setidaknya dibatasi hanya sekali.
Ini untuk hal makan sekali.

Untuk waktu yang telah ditetapkan, menurut saya pribadi, tidak ada perbedaan efeknya makan di jam-jam tertentu (kecuali secara medis). Berbeda dengan masyarakat jaman dulu, sekarang ini orang menggeluti aneka profesi dan memiliki jam kegiatan yang berbeda-beda. Sebut saja seorang satpam shift malam yang mulai dari pk 10 sampai pk 4 subuh, misalnya, lalu setelah selesai shift-nya, dia pulang, beres-beres, dan tidur selama 6 jam mulai dari pk 6 pagi sampai pk 12. Jika dia mengikuti jam atthasila, maka dia tidak akan makan kecuali mengubah jadwalnya, yang akhirnya akan menyusahkannya sendiri.

IMO, itu hanya kemelekatan pada ritual yang tak bermakna, dan banyak cara akal-akalan untuk ini, misalnya untuk orang yang jamnya fleksibel, bisa digeser agar masa 'tidak makan' itu banyak jatuh pada jam tidur. Misalnya satpam tadi menggeser ke shift pagi dari pk 6 sampai pk 12, langsung makan, pulang, beres-beres dan tidur 6 jam dari pk 2 sampai pk 8 malam. Maka begitu bangun, tinggal tahankan 4 jam saja, lalu sudah bisa makan lagi. Pola 'waktu keramat' begini, menurut saya tidak ada manfaatnya.


Berbeda halnya dengan bhikkhu, semua dilakukan sesuai jadwal yang sama. Tidak ada bhikkhu shift malam. Dana makanan juga disiapkan seragam oleh umat, sebelum tengah hari. Maka tidak ada alasan geser waktu seperti halnya umat awam.

Namun ada kalanya juga karena satu urusan, si bhikkhu makan telat seperti dikisahkan dalam Dhammadayadasutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17327.msg278131.html#msg278131). Di situ, si bhikkhu memiliki pilihan untuk makan makanan yang masih ada, atau menjadi kelaparan sepanjang malam demi tegaknya disiplin dalam dhamma-vinaya. Pilihan pertama tidak dipersalahkan, namun pilihan yang ke dua lebih terpuji dan kondusif pada latihan. 

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 09:01:56 AM
Jika memang kursi wasit tidak mewah, tidak berlawanan dengan latihan hidup sederhana, lalu apa yang dilatih?

seorang wasit yg duduk di lantai dan wasit yg duduk di kursi tinggi akan memiliki tingkat kesombongan berbeda.

Quote
Spoiler: ShowHide
sebenarnya pertanyaan ini juga berlaku untuk sila2 lainnya, misalnya untuk apa tidak makan malam dijalankan? apakah makan sebutir kacang, atau sesendok sup pada pukul 12:30 bisa menodai batin, sedangkan jika dimakan pada pukul 11:30 tidak apa2?

Ada dua hal dalam makan, menunjang hidup dan kenikmatan indria pengecap. Yang ke dua ini sangat halus dan sulit dipisahkan. Walaupun seseorang memakan diet tertentu yang tampak 'mulia' seperti vegetarian, sama sekali tidak menjamin dia terbebas dari ketamakan akan rasa.

Jika jumlah makan tidak dibatasi, orang yang tidak rakus tetap tidak makan berkali-kali, cukup untuk kebutuhan makannya saja; tapi orang yang rakus akan makan berkali-kali, berulang-ulang menikmati rasanya, terlepas dari kebutuhan makannya sudah terpenuhi.

Jika jumlah makan dibatasi, maka baik orang rakus dan tidak rakus, tetap makan sekali cukup untuk kebutuhan makannya, dan seandainya makanan itupun dimakan dengan ketamakan, setidaknya dibatasi hanya sekali.
Ini untuk hal makan sekali.

Untuk waktu yang telah ditetapkan, menurut saya pribadi, tidak ada perbedaan efeknya makan di jam-jam tertentu (kecuali secara medis). Berbeda dengan masyarakat jaman dulu, sekarang ini orang menggeluti aneka profesi dan memiliki jam kegiatan yang berbeda-beda. Sebut saja seorang satpam shift malam yang mulai dari pk 10 sampai pk 4 subuh, misalnya, lalu setelah selesai shift-nya, dia pulang, beres-beres, dan tidur selama 6 jam mulai dari pk 6 pagi sampai pk 12. Jika dia mengikuti jam atthasila, maka dia tidak akan makan kecuali mengubah jadwalnya, yang akhirnya akan menyusahkannya sendiri.

IMO, itu hanya kemelekatan pada ritual yang tak bermakna, dan banyak cara akal-akalan untuk ini, misalnya untuk orang yang jamnya fleksibel, bisa digeser agar masa 'tidak makan' itu banyak jatuh pada jam tidur. Misalnya satpam tadi menggeser ke shift pagi dari pk 6 sampai pk 12, langsung makan, pulang, beres-beres dan tidur 6 jam dari pk 2 sampai pk 8 malam. Maka begitu bangun, tinggal tahankan 4 jam saja, lalu sudah bisa makan lagi. Pola 'waktu keramat' begini, menurut saya tidak ada manfaatnya.


Berbeda halnya dengan bhikkhu, semua dilakukan sesuai jadwal yang sama. Tidak ada bhikkhu shift malam. Dana makanan juga disiapkan seragam oleh umat, sebelum tengah hari. Maka tidak ada alasan geser waktu seperti halnya umat awam.

Namun ada kalanya juga karena satu urusan, si bhikkhu makan telat seperti dikisahkan dalam Dhammadayadasutta (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17327.msg278131.html#msg278131). Di situ, si bhikkhu memiliki pilihan untuk makan makanan yang masih ada, atau menjadi kelaparan sepanjang malam demi tegaknya disiplin dalam dhamma-vinaya. Pilihan pertama tidak dipersalahkan, namun pilihan yang ke dua lebih terpuji dan kondusif pada latihan. 



Jadi menurut uraian panjang di atas, makan setelah tengah hari walaupun hanya sehari sekali bukanlah suatu pelanggaran terhadap sila atau vinaya?
Title: Re: [Note] Kursi
Post by: K.K. on 27 May 2013, 09:06:43 AM
Mohon rujukan sutta atau Tipitakanya, mau gw tanyakan ke bhikkhu STI.
Sudah dibantu sama teman-teman (Indra, Sumedho, Ariyakumara). Uposatha dijalankan untuk meniru perilaku Arahant. Dalam Uposathasutta (baik yang ringkas maupun yang terperinci), tidak dijelaskan detail dari uccāsayanamahāsayanaṃ (tempat berbaring tinggi, tempat berbaring besar), namun merujuk pada apa yang dilakukan Buddha sebagai teladan (Gurunya para Arahant), sila yang dijalani dijelaskan dalam Brahmajalasutta itu.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 09:12:44 AM
Di buku paritta ku sih jelas tertulis tidak lebih tinggi dari 60cm baik untuk bangku maupun tempat tidur.

(http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)

Untuk yang ini masih bisa digunakan untuk duduk.
Tidak bisa, karena dalamnya juga ada kapas/wol.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 09:23:16 AM
seorang wasit yg duduk di lantai dan wasit yg duduk di kursi tinggi akan memiliki tingkat kesombongan berbeda.
Maka saya berikan saran bangku jongkok + periskop. Yang penting sentuhan pantat ke kursi jangan sampai menimbulkan kesombongan, bukan?

Quote
Jadi menurut uraian panjang di atas, makan setelah tengah hari walaupun hanya sehari sekali bukanlah suatu pelanggaran terhadap sila atau vinaya?

Untuk vinaya, jika kasusnya seperti di kasus Dhammadayadasutta yang masih ada makanan sisa dari bhikkhu lain, tidak terima dana dari umat lagi, maka bukan pelanggaran. Lain dari itu, adalah pelanggaran, kecuali bhikkhu itu sakit.

Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.
Namun ada 2 hal di sini:
-Jika ia melihat sila itu sebagai "aturan waktu keramat untuk makan", maka apakah ia melanggar atau menjalani, ia tidak akan mendapatkan manfaat bagi latihan.
-Jika ia melakukan latihan makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak.

Nah balik lagi kembali ke masing-masing orang apakah menjalankan sila karena mengerti latar belakang dan manfaatnya, atau hanya untuk mengikuti apa yang tertulis. Hal ini saya singgung setelah membaca thread sebelah tentang "Sigalovadasutta" yang katanya relevan sepanjang masa, padahal ada hal-hal tertentu adalah bersifat budaya kontemporer, ada hal-hal yang bersifat kemoralan dan pengikisan noda batin. Hal ke dua ini yang relevan sepanjang masa, namun tidak untuk yang pertama.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 09:24:51 AM
om kainyn, ini serius atau becanda??
Saya sih dua-duanya. Tapi untuk definisi kursi yang dihindari dalam aturan atthasila yang beredar sekarang, memang setahu saya begitu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 10:06:23 AM
Maka saya berikan saran bangku jongkok + periskop. Yang penting sentuhan pantat ke kursi jangan sampai menimbulkan kesombongan, bukan?


tapi tentu saja seorang Buddhist yg sungguh2 berlatih pasti akan lebih menuruti instruksi Sang Buddha daripada saran anda.

Quote
Untuk vinaya, jika kasusnya seperti di kasus Dhammadayadasutta yang masih ada makanan sisa dari bhikkhu lain, tidak terima dana dari umat lagi, maka bukan pelanggaran. Lain dari itu, adalah pelanggaran, kecuali bhikkhu itu sakit.

dalam kasus sutta itu, IMO Sang Buddha memberikan suatu perumpamaan dengan makanan sisa dari Sang Buddha sendiri, bukan dari bhikkhu lain, dan itu pun hanya perumpamaan dengan penekanan "walaupun mati kelaparan yg penting latihan".

Quote
Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.
Namun ada 2 hal di sini:
-Jika ia melihat sila itu sebagai "aturan waktu keramat untuk makan", maka apakah ia melanggar atau menjalani, ia tidak akan mendapatkan manfaat bagi latihan.
-Jika ia melakukan latihan makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak.


Nah balik lagi kembali ke masing-masing orang apakah menjalankan sila karena mengerti latar belakang dan manfaatnya, atau hanya untuk mengikuti apa yang tertulis. Hal ini saya singgung setelah membaca thread sebelah tentang "Sigalovadasutta" yang katanya relevan sepanjang masa, padahal ada hal-hal tertentu adalah bersifat budaya kontemporer, ada hal-hal yang bersifat kemoralan dan pengikisan noda batin. Hal ke dua ini yang relevan sepanjang masa, namun tidak untuk yang pertama.



sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 10:55:47 AM
tapi tentu saja seorang Buddhist yg sungguh2 berlatih pasti akan lebih menuruti instruksi Sang Buddha daripada saran anda.
Iya, maka sekali lagi saya kasih solusi bangku jongkok dan periskop untuk wasit yang kebetulan Buddhis dan berlatih sungguh-sungguh.


Quote
dalam kasus sutta itu, IMO Sang Buddha memberikan suatu perumpamaan dengan makanan sisa dari Sang Buddha sendiri, bukan dari bhikkhu lain, dan itu pun hanya perumpamaan dengan penekanan "walaupun mati kelaparan yg penting latihan".
Saya berkeyakinan seorang Tathagata tidak akan menawarkan warisan pelanggaran vinaya kepada bhikkhu, bahkan dalam perumpamaan sekalipun.


Quote
sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.
Saya tidak menolak hanya semata-mata itu dikatakan di komentar atau Abhidhamma. Yang sering saya bahas adalah mengetahui karya awal (nikaya) sebagai karya awal, dan karya belakangan sebagai karya belakangan (Abhidhamma, komentar, dan sub-komentar). Jika sub-komentar mengatakan hal yang masuk akal, maka sepatutnya diterima. Jika sutta mengatakan hal yang bertentangan dengan fakta, maka sebaiknya ditolak. Seperti sudah disinggung di atas juga perhitungan dari Makhadevasutta bilang bumi berumur sedikitnya 7 Milyar tahun, dan sains mengatakan kisaran 4.5 Milyar tahun. Hal lain seperti di Agannasutta disebutkan awalnya ada manusia yang aseksual, baru kemudian timbul karakteristik "pria-wanita", namun dalam sains, pemisahan seks itu sudah sejak evolusi ikan. Saya tahu, Buddhis yang baik tentu harus menolak sains, dan saya memang bukan Buddhis yang baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis". 

Dan yang paling penting di sini, saya tidak membuat komentar. Kita sama-sama punya logika untuk berpikir apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Saya melihat latar belakang "vikala" (waktu salah) adalah sudut pandang budaya di mana dulu jalanan gelap dan tidak ada aktifitas malam hari. Sebelum ada aturan makan hanya sekali, dikatakan ada bhikkhu yang cari makanan malam-malam bikin kaget umat, meresahkan. Selain itu juga bisa dikira rampok atau dibunuh oleh rampok. Beberapa, karena jalan gelap, masuk ke parit, selokan, lobang kakus. Dalam kasus ekstrem bahkan diculik dan dimakan yakkha. Karena itu, jika harus memilih waktu yang tepat dari 3 pilihan waktu, sebelum tengah hari adalah yang terbaik.

Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 11:10:14 AM
Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.


 :)) :)) :))  :jempol:
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 11:12:40 AM
Iya, maka sekali lagi saya kasih solusi bangku jongkok dan periskop untuk wasit yang kebetulan Buddhis dan berlatih sungguh-sungguh.


seorang wasit Buddhis yg berlatih sungguh2 itu pun saya ragukan akan lebih menuruti solusi anda daripada solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha.

Quote
Saya berkeyakinan seorang Tathagata tidak akan menawarkan warisan pelanggaran vinaya kepada bhikkhu, bahkan dalam perumpamaan sekalipun.
Dalam perumpamaan itu bukan pelanggaran itu yg sedang diajarkan dan diwariskan oleh Sang Buddha, bukankah barusan anda menyarankan agar tidak hanya menuruti apa yg tertulis? apakah anda menyimpulkan bahwa dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan warisan tentang makan?

Quote
Saya tidak menolak hanya semata-mata itu dikatakan di komentar atau Abhidhamma. Yang sering saya bahas adalah mengetahui karya awal (nikaya) sebagai karya awal, dan karya belakangan sebagai karya belakangan (Abhidhamma, komentar, dan sub-komentar). Jika sub-komentar mengatakan hal yang masuk akal, maka sepatutnya diterima. Jika sutta mengatakan hal yang bertentangan dengan fakta, maka sebaiknya ditolak. Seperti sudah disinggung di atas juga perhitungan dari Makhadevasutta bilang bumi berumur sedikitnya 7 Milyar tahun, dan sains mengatakan kisaran 4.5 Milyar tahun. Hal lain seperti di Agannasutta disebutkan awalnya ada manusia yang aseksual, baru kemudian timbul karakteristik "pria-wanita", namun dalam sains, pemisahan seks itu sudah sejak evolusi ikan. Saya tahu, Buddhis yang baik tentu harus menolak sains, dan saya memang bukan Buddhis yang baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis". 

Dan yang paling penting di sini, saya tidak membuat komentar. Kita sama-sama punya logika untuk berpikir apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat. Saya melihat latar belakang "vikala" (waktu salah) adalah sudut pandang budaya di mana dulu jalanan gelap dan tidak ada aktifitas malam hari. Sebelum ada aturan makan hanya sekali, dikatakan ada bhikkhu yang cari makanan malam-malam bikin kaget umat, meresahkan. Selain itu juga bisa dikira rampok atau dibunuh oleh rampok. Beberapa, karena jalan gelap, masuk ke parit, selokan, lobang kakus. Dalam kasus ekstrem bahkan diculik dan dimakan yakkha. Karena itu, jika harus memilih waktu yang tepat dari 3 pilihan waktu, sebelum tengah hari adalah yang terbaik.



menurut saya itu adalah komentar, yaitu menafsirkan vikala-bhojjana sebagai "makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak." yg kemudian ditafsirkan lagi jadi "makan jam 7 malam pun bukan pelanggaran, asalkan cuma satu kali sehari." Hal ini jelas tidak sesuai dengan Dhammavinaya, tapi oke lah jika anda menganggap hal ini bukan berkomentar.

Lalu apa latar belakang Sang Buddha memberikan batasan waktu jika parameter sesungguhnya adalah "keserakahan pada lidah"? Dan jika karena alasan malam gelap, jam 5 sore tentu masih terang benderang bukan? dan kenapa harus memilih dari 3 pilihan waktu, jika ada 4, 5, atau 6 pilihan?

Quote
Tambahan lagi, di kutub (utara & selatan), jarak matahari terbit dan tenggelam adalah 6 bulan, dan kemudian berjarak 6 bulan lagi untuk terbit kembali. Secara teknis, Buddhist yang baik boleh pesta pora selama 6 bulan, lalu puasa selama 6 bulan. Kalau mau enak, 6 bulan di satu kutub, lalu pindah ke kutub satunya lagi selama 6 bulan. Silahkan puas-puaskan makan tanpa melanggar 'vikala'.


Jadi untuk kasus kutub itu anda juga menyarankan makan sekali dalam 6 bulan agar bisa sesuai dengan kala versi anda?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 11:13:04 AM
sering kali kita menolak teks2 komentar atau Abhidhamma, tapi malah menciptakan komentar sendiri untuk membenarkan ketidak-sesuaian dengan Dhammavinaya.

 tentunya setiap orang akan menciptakan komentar sendiri setiap kali membaca, hanya sang penulis sendiri yang tahu apa maksud sebenarnya dari yang dia tulis bukan?


lalu bagaimana pandangan anda mengenai latihan atthasila ini ? kita sudah membaca pandangan dari KK, menurut bro Indra sendiri bagaimana?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 11:15:19 AM
seorang wasit Buddhis yg berlatih sungguh2 itu pun saya ragukan akan lebih menuruti solusi anda daripada solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha.

solusi apa yang ditawarkan oleh Sang Buddha dalam hal ini?


tapi kalau tidak salah, setau saya, selama tidak melewati jam 12 siang, boleh makan apa saja, jadi bukan makan hanya satu kali sehari donk? rentang waktu dari matahari terbit sampai jam 12 siang, kita bukannya diperbolehkan makan apa saja?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 11:17:24 AM
tentunya setiap orang akan menciptakan komentar sendiri setiap kali membaca, hanya sang penulis sendiri yang tahu apa maksud sebenarnya dari yang dia tulis bukan?


dalam hal tertentu, kalimat2 dalam sutta-vinaya sudah cukup jelas tanpa perlu menciptakan komentar.

Quote
lalu bagaimana pandangan anda mengenai latihan atthasila ini ? kita sudah membaca pandangan dari KK, menurut bro Indra sendiri bagaimana?

pandangan saya persis seperti apa yg tertulis dalam sila2 dari atthasila itu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 11:35:04 AM
solusi apa yang ditawarkan oleh Sang Buddha dalam hal ini?

solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha ada dalam sutta dan vinaya

Quote
tapi kalau tidak salah, setau saya, selama tidak melewati jam 12 siang, boleh makan apa saja, jadi bukan makan hanya satu kali sehari donk? rentang waktu dari matahari terbit sampai jam 12 siang, kita bukannya diperbolehkan makan apa saja?

lalu kenapa tulisan gue yg di-quote? bukankah gagasan satu kali sehari itu bukan berasal dari gue?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 11:45:37 AM
seorang wasit Buddhis yg berlatih sungguh2 itu pun saya ragukan akan lebih menuruti solusi anda daripada solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha.
Tidak masalah, memang banyak alternatif kok.


Quote
Dalam perumpamaan itu bukan pelanggaran itu yg sedang diajarkan dan diwariskan oleh Sang Buddha, bukankah barusan anda menyarankan agar tidak hanya menuruti apa yg tertulis? apakah anda menyimpulkan bahwa dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan warisan tentang makan?
Justru karena saya merasa makan makanan sisa yang belum dibuang, tidak mencari dana makanan lagi, adalah bukan pelanggaran, jadi dalam perumpamaan (makan sisa makanan Buddha) itu sendiri pun tidak ada pelanggaran apa-apa.
Soal suttanya tentu adalah warisan makan (tanpa pelanggaran vinaya, IMO) vs warisan dhamma-vinaya.


Quote
menurut saya itu adalah komentar, yaitu menafsirkan vikala-bhojjana sebagai "makan sekali-sehari untuk merenungkan keserakahan pada indria lidah, maka ia akan selalu mendapatkan manfaatnya, terlepas dari ia makan di 'waktu keramat' ataupun tidak." yg kemudian ditafsirkan lagi jadi "makan jam 7 malam pun bukan pelanggaran, asalkan cuma satu kali sehari." Hal ini jelas tidak sesuai dengan Dhammavinaya, tapi oke lah jika anda menganggap hal ini bukan berkomentar.
Saya tidak manafsirkan "vikala-bhojjana" demikian. Bukankah sudah saya tulis bahwa itu melanggar?
Untuk umat awam, dilihat dari kata per kata, verbatim et literatim isi silanya, maka tentu saja melanggar.

Hanya saja, IMO, mengendalikan indria lidah adalah lebih penting ketimbang memperhatikan 'waktu keramat' untuk makan.


Quote
Lalu apa latar belakang Sang Buddha memberikan batasan waktu jika parameter sesungguhnya adalah "keserakahan pada lidah"?
Batasan waktu, dari yang saya pahami adalah karena umat makan pada tengah hari. Berdasarkan kebiasaan penghormatan, mereka selalu memberikan makanan baru kepada bhikkhu atau petapa guru mereka lainnya, sehingga para umat tidak makan sebelum memberi makanan kepada para bhikkhu.

Hal lainnya sepertinya adalah kebiasaan sangha pada waktu itu yang setelah makan, mereka beristirahat atau mengasingkan diri bermeditasi sampai sore, kemudian mendengarkan dhamma pada malam hari, dan kembali bermeditasi lagi dan tidur. Jika tidak ada batas waktu makan, maka kegiatan akan jadi tidak teratur.


Quote
Dan jika karena alasan malam gelap, jam 5 sore tentu masih terang benderang bukan? dan kenapa harus memilih dari 3 pilihan waktu, jika ada 4, 5, atau 6 pilihan?
Awalnya tidak ada larangan makan, maka para bhikkhu makan mulai dari pagi, sepanjang siang, dan malam hari. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan tidak makan siang hari, ini saya kurang tahu kenapa detailnya, tapi intinya Buddha mengajak orang mengurangi makan. Kemudian sangha makan 2x sehari, pagi dan malam. Apa yang didapat pada pagi, yang enak-enak dikumpulkan untuk makan malam yang lebih 'mewah', makanan pilihan. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan lagi meninggalkan makan malam itu, dan hanya makan seadanya pada pagi hari.


Quote
Jadi untuk kasus kutub itu anda juga menyarankan makan sekali dalam 6 bulan agar bisa sesuai dengan kala versi anda?
Versi saya adalah sesuaikan dengan keadaan dan budaya setempat, tidak menganut "waktu keramat" yang berdasarkan posisi matahari.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 12:04:25 PM
Tidak masalah, memang banyak alternatif kok.

Justru karena saya merasa makan makanan sisa yang belum dibuang, tidak mencari dana makanan lagi, adalah bukan pelanggaran, jadi dalam perumpamaan (makan sisa makanan Buddha) itu sendiri pun tidak ada pelanggaran apa-apa.
Soal suttanya tentu adalah warisan makan (tanpa pelanggaran vinaya, IMO) vs warisan dhamma-vinaya.


kita berbeda pendapat di sini, bukan makanan sisa yg saya persoalkan, melainkan waktu makan yg vikala itu, jika makan pada waktu malam diperbolehkan, kenapa Sang Buddha menetapkan aturan yg saling kontradiksi?

Quote
Saya tidak manafsirkan "vikala-bhojjana" demikian. Bukankah sudah saya tulis bahwa itu melanggar?
Hanya saja, IMO, mengendalikan indria lidah adalah lebih penting ketimbang memperhatikan 'waktu keramat' untuk makan.

kalau begitu sepertinya diskusi ini memang tidak nyambung, saya pikir kita sedang membahas tentang attha-sila, dan faktor2 pelanggarannya, ternyata saya salah, mohon maaf.

Quote
Batasan waktu, dari yang saya pahami adalah karena umat makan pada tengah hari. Berdasarkan kebiasaan penghormatan, mereka selalu memberikan makanan baru kepada bhikkhu atau petapa guru mereka lainnya, sehingga para umat tidak makan sebelum memberi makanan kepada para bhikkhu.


kalau begitu bukankah seharusnya jam 10 atau jam 9 atau jam 8 atau jam 7 dan , bukan tengah hari?

Quote
Hal lainnya sepertinya adalah kebiasaan sangha pada waktu itu yang setelah makan, mereka beristirahat atau mengasingkan diri bermeditasi sampai sore, kemudian mendengarkan dhamma pada malam hari, dan kembali bermeditasi lagi dan tidur. Jika tidak ada batas waktu makan, maka kegiatan akan jadi tidak teratur.

tapi batasan waktu itu menjadi tidak benar jika dikaitkan dengan kutub itu.

Quote
Awalnya tidak ada larangan makan, maka para bhikkhu makan mulai dari pagi, sepanjang siang, dan malam hari. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan tidak makan siang hari, ini saya kurang tahu kenapa detailnya, tapi intinya Buddha mengajak orang mengurangi makan. Kemudian sangha makan 2x sehari, pagi dan malam. Apa yang didapat pada pagi, yang enak-enak dikumpulkan untuk makan malam yang lebih 'mewah', makanan pilihan. Kemudian Buddha mengeluarkan aturan lagi meninggalkan makan malam itu, dan hanya makan seadanya pada pagi hari.


jika demikian, lagi, bukankah seharusnya aturan sila-vinaya itu membatasi jumlah yg dimakan, bukan waktunya, tetapi tidak demikian dengan sila-vinaya, yg lebih menekankan pada waktu daripada jumlah.

Quote
Versi saya adalah sesuaikan dengan keadaan dan budaya setempat, tidak menganut "waktu keramat" yang berdasarkan posisi matahari.


sehari semalam artinya 1 kali pagi, 1 kali siang, dan 1 kali malam, jadi untuk wilayah kutub, mereka hanya boleh makan sekali dalam setahun, jika ingin berlatih buddhis secara sungguh2, harus konsisten.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 12:11:03 PM
solusi yg ditawarkan oleh Sang Buddha ada dalam sutta dan vinaya

maaf, saya seorg yang sangat kurang pengetahuan akan sutta dan vinaya, mohon bro Indra berbaik hati menjelaskan disini.
saya kurang mengerti, solusi apa yang ditawarkan Sang Buddha bagi seorang wasit? apa dia tidak duduk di bangku tinggi itu? atau tidak usa menjalankan atthasila ?


Quote
lalu kenapa tulisan gue yg di-quote? bukankah gagasan satu kali sehari itu bukan berasal dari gue?


maaf, bukan begitu, mksdnya, saya sedang bertanya ,bukan mngatakan itu gagasan dari anda.
jadi apakah begitu menurut sutta vinaya? rentang waktu dari matahari terbit sampai jam 12 blh makan apapun? misalnya setelah sarapan jam 6 pagi, jam 7 makan buah, jam 7.30 makan snack, jam 8 makan roti sampai jam 12 makan siang?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 27 May 2013, 12:23:18 PM
sila ke-6:

Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami
(Aku bertekad akan melatih diri, menghindari makan makanan setelah tengah hari)

Kan ceritanya, atthasila adalah meniru arahat. Kenapa Buddha tidak membuat silanya jadi begini:

Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak mencari kepuasan (menikmati citarasa) dalam makanan.

Kalau silanya versi yang ke-dua, kan jadinya tidak tercipta "waktu keramat"?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 27 May 2013, 12:35:59 PM
Tidak bisa, karena dalamnya juga ada kapas/wol.

bagaimana kalau dalam nya busa (poliuretan)/ busa karet ?

wa terus terang rada kaget kok kursi macam ini berisi kapas dan woll, sepengetahuan ku banyak bangku, kursi dan sofa menggunakan bahan busa sitentis.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 27 May 2013, 12:37:47 PM
Sebetulnya perkataan vikala bojjana, tidak makan setelah tengah hari itu cukup jelas.

Ngapain diperumit dengan spekulasi2 pribadi.  Tidak makan setelah jam 12 siang. Titik!

Ga perduli lagi ada di kutub, di bulan, di Jupiter, di Mars, pake saja jam tangan anda. Mau paginya juga makan, monggo. kalau pagi tidak mau makan (cuma makan 1X sehari), juga monggo.

As simple as that.

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 01:07:38 PM
maaf, saya seorg yang sangat kurang pengetahuan akan sutta dan vinaya, mohon bro Indra berbaik hati menjelaskan disini.
saya kurang mengerti, solusi apa yang ditawarkan Sang Buddha bagi seorang wasit? apa dia tidak duduk di bangku tinggi itu? atau tidak usa menjalankan atthasila ?

setelah menyadari kelemahan dalam hal kurang pengetahuan akan sutta dan vinaya, yg perlu dilakukan hanyalah banyak membaca sutta dan vinaya, dengan demikian anda bisa memahami pemahaman saya tanpa saya harus menjelaskan yg belum tentu anda bisa terima juga.

Quote
maaf, bukan begitu, mksdnya, saya sedang bertanya ,bukan mngatakan itu gagasan dari anda.
jadi apakah begitu menurut sutta vinaya? rentang waktu dari matahari terbit sampai jam 12 blh makan apapun? misalnya setelah sarapan jam 6 pagi, jam 7 makan buah, jam 7.30 makan snack, jam 8 makan roti sampai jam 12 makan siang?

saya tidak pernah membaca tentang jenis2 makanan yg boleh dan tidak boleh (kecuali sehubungan dengan 10 jenis daging). Dan jika sila mengatakan tidak boleh makan pada waktu yg tidak tepat, yaitu dari tengah hari hingga fajar keesokan harinya, artinya menurut pemahaman saya, maka makan sesering apa pun diperbolehkan asalkan pada waktu yg tepat. karena batasan sila itu sendiri adalah waktunya bukan jenis atau jumlah makanannya.

saya punya keyakinan bahwa dengan mengikuti sila2 itu apa adanya, seseorang pada akhirnya akan bisa menekan nafsunya pada makanan yg pada akhirnya dapat mengimitasi perilaku para Arahat dalam hal makanan. Uposatha sutta yg mengajarkan tentang meniru para arahat itu menurut saya adalah himbauan dari Sang Buddha yg jika tidak mampu dilakukan bukanlah pelanggaran, berbeda dengan sila/vinaya yg telah ditetapkan yg akan menjadi pelanggaran jika tidak dilakukan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 01:18:00 PM
kita berbeda pendapat di sini, bukan makanan sisa yg saya persoalkan, melainkan waktu makan yg vikala itu, jika makan pada waktu malam diperbolehkan, kenapa Sang Buddha menetapkan aturan yg saling kontradiksi?
Bukan "waktu malam" tapi saat itu adalah lewat tengah hari, tapi makanan belum dibuang, dikisahkan saat itu baru saja Buddha selesai makan.

Quote
kalau begitu sepertinya diskusi ini memang tidak nyambung, saya pikir kita sedang membahas tentang attha-sila, dan faktor2 pelanggarannya, ternyata saya salah, mohon maaf.
Betul, saya juga salah malah gegabah bawa-bawa latihan pengendalian diri terhadap nafsu ke dalam bahasan atthasila yang sudah jelas-jelas bahas 'waktu keramat'.

Quote
kalau begitu bukankah seharusnya jam 10 atau jam 9 atau jam 8 atau jam 7 dan , bukan tengah hari?
Jam segitu belum disiapkan. Seperti banyak dalam sutta, Buddha dan bhikkhu sudah merapikan jubah dan mangkuk, tapi merasa terlalu pagi untuk pindapata.

Quote
tapi batasan waktu itu menjadi tidak benar jika dikaitkan dengan kutub itu.
Betul, itulah sebabnya "Buddhis baik" cenderung akan mati jika tinggal di kutub.


Quote
jika demikian, lagi, bukankah seharusnya aturan sila-vinaya itu membatasi jumlah yg dimakan, bukan waktunya, tetapi tidak demikian dengan sila-vinaya, yg lebih menekankan pada waktu daripada jumlah.
Sudah diatur dalam besar mangkuk. Pindola Bharadvaja dulu memiliki mangkuk special extra large, tapi disuruh oleh Buddha diletakkan di bawah ranjang, terkikis oleh bagian bawah ranjang ketika ia tertidur dan akhirnya jadi ukuran normal. Porsi makannya juga berkurang bersamaan dengan mengecilnya mangkuk.

Quote
sehari semalam artinya 1 kali pagi, 1 kali siang, dan 1 kali malam, jadi untuk wilayah kutub, mereka hanya boleh makan sekali dalam setahun, jika ingin berlatih buddhis secara sungguh2, harus konsisten.

Dari awal saya sudah katakan bahwa ada hal-hal yang sifatnya tergantung situasi dan budaya setempat, oleh karena itu, dalam hal tersebut, saya tidak mengartikan istilah secara persis sesuai sutta. Istilah ini tentu saja termasuk "ekabhattika", bukan hanya "vikala". Karena saya "Bukan Buddhis Baik-baik" maka tentu tidak terikat menyatakan 'ekabhattika' harus makan dalam "sekali matahari terbit sampai terbit kembali". Lebih tepatnya, saya belum mendefinisikannya. Sebaliknya, untuk Buddhis Baik2 yang verbatim et literatim sesuai vinaya, di kutub, "vikala" berarti 6 bulan makan, 6 bulan puasa, dan "ekabhattika" berarti setahun makan sekali.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 01:22:36 PM
sila ke-6:

Vikalabhojana veramani sikkhapadam samadiyami
(Aku bertekad akan melatih diri, menghindari makan makanan setelah tengah hari)

Kan ceritanya, atthasila adalah meniru arahat. Kenapa Buddha tidak membuat silanya jadi begini:

Aku bertekad akan melatih diri untuk tidak mencari kepuasan (menikmati citarasa) dalam makanan.

Kalau silanya versi yang ke-dua, kan jadinya tidak tercipta "waktu keramat"?
Entahlah, maka saya juga mulai ragu-ragu apakah ada 'waktu keramat' menurut Buddha?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 01:24:19 PM
bagaimana kalau dalam nya busa (poliuretan)/ busa karet ?

wa terus terang rada kaget kok kursi macam ini berisi kapas dan woll, sepengetahuan ku banyak bangku, kursi dan sofa menggunakan bahan busa sitentis.
Kalau saya pribadi, daripada membicarakan bahan, saya lebih tertarik untuk mencari tahu latar belakang penetapan sila tersebut, sebab setahu saya kontak bahan tertentu dengan bokong tidak berpengaruh pada batin seseorang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 27 May 2013, 01:28:01 PM
Kalau saya pribadi, daripada membicarakan bahan, saya lebih tertarik untuk mencari tahu latar belakang penetapan sila tersebut, sebab setahu saya kontak bahan tertentu dengan bokong tidak berpengaruh pada batin seseorang.

sepengetahuan ku kontak pantat dan bahan kursi bisa membawa orang tersebut terlena hingga bisa menimbulkan kemelekatan yang kuat sekali.

sepengetahuan ku ketika kita duduk ada 2 macam yang di perhatikan tidak nyaman dan terlalu nyaman.

bila tempat duduk keras dan tidak nyaman bisa menimbulkan rasa tidak suka bila terlalu berkepanjangan bisa  berkembang ke arah kebencian.

bila terlalu nyaman, istilah kalau sudah duduk tidak mau berdiri lagi membuat manusia terlena dan terhanyut dalam kemelekatan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 01:37:17 PM
Sebetulnya perkataan vikala bojjana, tidak makan setelah tengah hari itu cukup jelas.

Ngapain diperumit dengan spekulasi2 pribadi.  Tidak makan setelah jam 12 siang. Titik!

Ga perduli lagi ada di kutub, di bulan, di Jupiter, di Mars, pake saja jam tangan anda. Mau paginya juga makan, monggo. kalau pagi tidak mau makan (cuma makan 1X sehari), juga monggo.

As simple as that.

 _/\_
Memang paling tidak repot itu adalah mengikuti saja secara dogmatis sesuai sutta, tidak perlu banyak tanya.

Tapi balik lagi, saya memang bukan Buddhis baik-baik karena selalu mempertanyakan manfaatnya suatu latihan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 01:44:50 PM
Bukan "waktu malam" tapi saat itu adalah lewat tengah hari, tapi makanan belum dibuang, dikisahkan saat itu baru saja Buddha selesai makan.


kalau begitu jelas, tidak ada pelanggaran vinaya di sini, karena Sang Buddha selesai makan pun biasanya belum tengah hari, dalam banyak sutta dikatakan bahwa Sang Buddha bangun pagi, merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya dan pergi pindapatta, kemudian makan, saya pikir aktivitas ini tidak akan sampai lewat tengah hari. jadi option pelanggaran vinaya tidak berlaku di sini, dan tidak bisa dijadikan contoh kasus.

Quote
Betul, saya juga salah malah gegabah bawa-bawa latihan pengendalian diri terhadap nafsu ke dalam bahasan atthasila yang sudah jelas-jelas bahas 'waktu keramat'.
Jam segitu belum disiapkan. Seperti banyak dalam sutta, Buddha dan bhikkhu sudah merapikan jubah dan mangkuk, tapi merasa terlalu pagi untuk pindapata.


menurut saya ini termasuk moksologi, karena bisa saja ada keluarga2 yg sudah selesai masak pada jam 10 misalnya, apakah Sang Buddha juga menetapkan peraturan bagi perumah tangga harus selesai masak pada jam tertentu?

Quote
Betul, itulah sebabnya "Buddhis baik" cenderung akan mati jika tinggal di kutub.
menurut data statistik (jika anda punya) berapakah populasi buddhis baik atau buruk yg tinggal di kutub?

Quote
Sudah diatur dalam besar mangkuk. Pindola Bharadvaja dulu memiliki mangkuk special extra large, tapi disuruh oleh Buddha diletakkan di bawah ranjang, terkikis oleh bagian bawah ranjang ketika ia tertidur dan akhirnya jadi ukuran normal. Porsi makannya juga berkurang bersamaan dengan mengecilnya mangkuk.

sebenarnya mangkuk yg menuruti vinaya itu pun sangat besar, lagipula kita di sini sedang membahas atthasila (kalo gak salah) boleh nyerempet ke vinaya tapi jangan dijadikan acuan utama.

Quote
Dari awal saya sudah katakan bahwa ada hal-hal yang sifatnya tergantung situasi dan budaya setempat, oleh karena itu, dalam hal tersebut, saya tidak mengartikan istilah secara persis sesuai sutta. Istilah ini tentu saja termasuk "ekabhattika", bukan hanya "vikala". Karena saya "Bukan Buddhis Baik-baik" maka tentu tidak terikat menyatakan 'ekabhattika' harus makan dalam "sekali matahari terbit sampai terbit kembali". Lebih tepatnya, saya belum mendefinisikannya. Sebaliknya, untuk Buddhis Baik2 yang verbatim et literatim sesuai vinaya, di kutub, "vikala" berarti 6 bulan makan, 6 bulan puasa, dan "ekabhattika" berarti setahun makan sekali.



Baik Buddhis baik2 maupun Buddhis tidak baik, saya pikir tidak menjadi alasan untuk menafsirkan ajaran secara berbeda. seseorang boleh saya menafsirkan suatu ajaran menurut apa yg ia sukai tapi hal ini tidak berhubungan dengan kualitas kebuddhisannya.

Pada awalnya Sang Buddha juga menetapkan vinaya mandi 2 minggu sekali, tapi kemudian karena mempertimbangkan wilayah yg airnya berlimpah maka Sang Buddha memperbolehkan mandi setiap hari. tapi revisi ini dilakukan oleh Sang Buddha sendiri, sedangkan untuk kasus makan yg setahun sekali jadi setahun 365 kali, saya belum pernah membaca revisinya. Tentunya kita sebaiknya tidak mencoba untuk menggantikan peran Sang Buddha untuk merevisi vinaya yg telah ditetapkan.

Ingat pesan Sang Buddha dalam mahaparinibbana sutta yaitu "tidak meniadakan peraturan yg sudah ada dan tidak menambah peraturan yg belum ada."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 01:46:16 PM
sepengetahuan ku kontak pantat dan bahan kursi bisa membawa orang tersebut terlena hingga bisa menimbulkan kemelekatan yang kuat sekali.
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:

(http://www.subgenius.com/bigfist/fun/devivals/A-DAM2001/allphotos/13-SPIKE-CHAIR-TORTURE.JPG)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 01:46:32 PM
Kalau saya pribadi, daripada membicarakan bahan, saya lebih tertarik untuk mencari tahu latar belakang penetapan sila tersebut, sebab setahu saya kontak bahan tertentu dengan bokong tidak berpengaruh pada batin seseorang.

pernyataan ini yg seharusnya dibatasi pada kursi telah dibuat menjadi terbuka menjadi bahan tertentu yg tidak spesifik. Saya pikir kontak bokong dengan bokong dapat berpengaruh besar pada batin seseorang.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 01:47:16 PM
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:

(http://www.subgenius.com/bigfist/fun/devivals/A-DAM2001/allphotos/13-SPIKE-CHAIR-TORTURE.JPG)


kalau dibuang kakinya seharusnya tidak terlarang
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 27 May 2013, 02:07:23 PM
numpang duduk menyimak sambil minum kopi   [at] -)

eh, tapi boleh sambil lempar pertanyaan kan?
menurut yang ngaku Bukan Buddhis Baik-baik, 'seharusnya' atthasila ini harus dilaksanakan sesuai dengan aturannya dalam kalimat baku sampe ke titik koma atau lebih mengedepankan esensi latihan sila per silanya?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 02:10:09 PM
kalau begitu jelas, tidak ada pelanggaran vinaya di sini, karena Sang Buddha selesai makan pun biasanya belum tengah hari, dalam banyak sutta dikatakan bahwa Sang Buddha bangun pagi, merapikan jubah, membawa jubah dan mangkuknya dan pergi pindapatta, kemudian makan, saya pikir aktivitas ini tidak akan sampai lewat tengah hari. jadi option pelanggaran vinaya tidak berlaku di sini, dan tidak bisa dijadikan contoh kasus.
Jika memang masih bukan 'vikala', kenapa bhikkhu itu tidak makan?

Quote
menurut saya ini termasuk moksologi, karena bisa saja ada keluarga2 yg sudah selesai masak pada jam 10 misalnya, apakah Sang Buddha juga menetapkan peraturan bagi perumah tangga harus selesai masak pada jam tertentu?
Tentu tidak ada aturannya. Tapi dengan logika "makan tengah hari", maka yang logis adalah pindapata menjelang makan di siang hari, bukan pindapata sewaktu subuh. Memang bisa saja spekulasi "ah, bisa aja ada umat yang bergadang", "ah bisa aja ada umat yang lagi sahur", tapi tidak akan menjawab permasalahan.

Quote
menurut data statistik (jika anda punya) berapakah populasi buddhis baik atau buruk yg tinggal di kutub?
Saya pikir untuk menyimpulkan 'tidak makan selama enam bulan di suhu minus 50 derajat celcius mengakibatkan kematian' tidak perlu statistik.

Quote
sebenarnya mangkuk yg menuruti vinaya itu pun sangat besar, lagipula kita di sini sedang membahas atthasila (kalo gak salah) boleh nyerempet ke vinaya tapi jangan dijadikan acuan utama.
Bukannya Atthasila mengikuti jejak para Arahant? Para Arahant tentu saja acuannya vinaya.

Quote
Baik Buddhis baik2 maupun Buddhis tidak baik, saya pikir tidak menjadi alasan untuk menafsirkan ajaran secara berbeda. seseorang boleh saya menafsirkan suatu ajaran menurut apa yg ia sukai tapi hal ini tidak berhubungan dengan kualitas kebuddhisannya.
Saya pikir setiap orang punya kriteria "Buddhis" masing-masing. Dalam konteks di sini, "Buddhis Baik-baik" adalah yang mengikuti secara penuh apa yang dikatakan dalam sutta-vinaya, sedangkan "Bukan Buddhis Baik-baik" adalah yang tidak mengikutinya secara penuh.


Quote
Pada awalnya Sang Buddha juga menetapkan vinaya mandi 2 minggu sekali, tapi kemudian karena mempertimbangkan wilayah yg airnya berlimpah maka Sang Buddha memperbolehkan mandi setiap hari. tapi revisi ini dilakukan oleh Sang Buddha sendiri, sedangkan untuk kasus makan yg setahun sekali jadi setahun 365 kali, saya belum pernah membaca revisinya. Tentunya kita sebaiknya tidak mencoba untuk menggantikan peran Sang Buddha untuk merevisi vinaya yg telah ditetapkan.
Sudah saya katakan, saya bukan Buddhis baik-baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".


Quote
Ingat pesan Sang Buddha dalam mahaparinibbana sutta yaitu "tidak meniadakan peraturan yg sudah ada dan tidak menambah peraturan yg belum ada."
Peraturan dalam hal ini, menurut saya harus dipahami makna dan manfaatnya, bukan semata-mata jumlah dan kata-katanya saja. Misalnya "vikala" itu sebagai "lewat tengah hari" saja sebetulnya sudah salah. Ketika ditetapkan peraturan hanya makan 2x, maka "vikala" itu adalah "siang hari sampai sore". Ketika ditetapkan makan satu kali sehari, maka "vikala" itu menjadi "siang sampai malam". Bisa dilihat bahwa "vikala" ini bukan satu kurun waktu yang mutlak, namun bisa berubah.

Mengapa bukan makan siang dan malam, sudah saya jelaskan di awal bahwa itu berkenaan dengan situasi dan budaya setempat pada masa itu. Contoh lain yang adalah situasional sudah pernah saya singgung juga, untuk vinaya misalnya peraturan untuk kencing berjongkok yang tujuannya adalah menghindari mengenai makhluk-makhluk di tanah. Saya pikir tidak ada juntrungannya jika bhikkhu sedang kebelet dan hanya ada urinoir, maka demi tegaknya dhamma-vinaya, dia naik dan berjongkok dia atas urinoir demi menghindari kencing berdiri.

Lain halnya dengan emas dan perak yang merupakan kekayaan, kepemilikan, bisa disiasati dengan kartu kredit atau perwakilan kapiya, namun sebenarnya sudah melanggar peraturan, walaupun tidak melanggar vinaya verbatim et literatim. Sebaliknya kalau bhikkhu menggunakan barang elektronik seperti komputer, yang mana microprocessornya terbuat dari emas, bisa disebut melanggar vinaya verbatim et literatim, namun sebetulnya tidak melanggar aturan secara maknanya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 02:26:56 PM
Jika memang masih bukan 'vikala', kenapa bhikkhu itu tidak makan?

Dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan tentang warisan Dhamma, bukan soal makan. Sang Buddha hanya mengatakan bahwa di antara kedua bhikkhu itu, yg melewatkan malam dengan berlatih walaupun kelaparan adalah lebih terpuji dibandingkan dengan yg menerima warisan makanannya.

Quote
Tentu tidak ada aturannya. Tapi dengan logika "makan tengah hari", maka yang logis adalah pindapata menjelang makan di siang hari, bukan pindapata sewaktu subuh. Memang bisa saja spekulasi "ah, bisa aja ada umat yang bergadang", "ah bisa aja ada umat yang lagi sahur", tapi tidak akan menjawab permasalahan.
Saya pikir untuk menyimpulkan 'tidak makan selama enam bulan di suhu minus 50 derajat celcius mengakibatkan kematian' tidak perlu statistik.


bukan statistik tentang kematian orang yg saya minta, melainkan statistik populasi buddhis di kutub.

Quote
Bukannya Atthasila mengikuti jejak para Arahant? Para Arahant tentu saja acuannya vinaya.

Walaupun demikian, namun Sang Buddha mengajarkan batasan2 tertentu dalam meniru, bukan meniru secara keseluruhan, dalam hal makan, yaitu tidak makan di waktu yg salah.

Quote
Saya pikir setiap orang punya kriteria "Buddhis" masing-masing. Dalam konteks di sini, "Buddhis Baik-baik" adalah yang mengikuti secara penuh apa yang dikatakan dalam sutta-vinaya, sedangkan "Bukan Buddhis Baik-baik" adalah yang tidak mengikutinya secara penuh.

Sudah saya katakan, saya bukan Buddhis baik-baik, itupun kalau bisa disebut "Buddhis".


okay, tapi saya tidak tertarik untuk membahas soal definisi buddhis itu, karena seperti yg anda katakan bahwa setiap orang punya definisi masing2, jadi biarlah tetap demikian.

Quote
Peraturan dalam hal ini, menurut saya harus dipahami makna dan manfaatnya, bukan semata-mata jumlah dan kata-katanya saja. Misalnya "vikala" itu sebagai "lewat tengah hari" saja sebetulnya sudah salah. Ketika ditetapkan peraturan hanya makan 2x, maka "vikala" itu adalah "siang hari sampai sore". Ketika ditetapkan makan satu kali sehari, maka "vikala" itu menjadi "siang sampai malam". Bisa dilihat bahwa "vikala" ini bukan satu kurun waktu yang mutlak, namun bisa berubah.


bisa minta refnya? karena sepengetahuan saya, dalam hal makan ada dibagi 2 periode, yaitu periode yg benar dan periode yg salah, periode yg benar adalah dari matahari terbit hingga tengah hari sedangkan periode yg salah adalah dari tengah hari hingga matahari terbit.

Quote
Mengapa bukan makan siang dan malam, sudah saya jelaskan di awal bahwa itu berkenaan dengan situasi dan budaya setempat pada masa itu. Contoh lain yang adalah situasional sudah pernah saya singgung juga, untuk vinaya misalnya peraturan untuk kencing berjongkok yang tujuannya adalah menghindari mengenai makhluk-makhluk di tanah. Saya pikir tidak ada juntrungannya jika bhikkhu sedang kebelet dan hanya ada urinoir, maka demi tegaknya dhamma-vinaya, dia naik dan berjongkok dia atas urinoir demi menghindari kencing berdiri.



ini menarik tapi nantilah kita bahas setelah yg satu ini tuntas, gak asik kalo diskusinya loncat2.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 02:28:59 PM
numpang duduk menyimak sambil minum kopi   [at] -)

eh, tapi boleh sambil lempar pertanyaan kan?
menurut yang ngaku Bukan Buddhis Baik-baik, [...]
Maksudnya saya donk?

Quote
[...] 'seharusnya' atthasila ini harus dilaksanakan sesuai dengan aturannya dalam kalimat baku sampe ke titik koma atau lebih mengedepankan esensi latihan sila per silanya?
Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih. 

Misalnya untuk 'kursi', yang saya pahami adalah kursi pada jaman itu menandakan kedudukan seseorang. Jika berbagai kasta dan jabatan kumpul dalam satu tempat, maka masing-masing duduk di kursi yang tinggi rendahnya sesuai dengan statusnya. Misalnya dalam Brahmajalasutta disebutkan kursi berlapis kulit gajah atau kuda, ini sepertinya kursi khattiya karena gajah dan kuda adalah kendaraan para raja; kulit kijang, kalau tidak salah digunakan para brahmana. Hal lainnya adalah yang berhiaskan permata melambangkan seberapa besar kekayaan seseorang, atau hiasan kursi warna tertentu yang melambangkan status tertentu.

Jadi saya menyimpulkan bahwa sila ini adalah untuk meninggalkan kesombongan status seseorang dan merenungkan kerendah-hatian para Arahant yang paling mulia, namun puas dengan duduk dan berbaring di atas tempat butut yang seadanya. Kesombongan ini jelas berhubungan dengan noda-batin, bukan masalah pemilihan sentuhan bokong dengan kursi. 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 02:55:21 PM
Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih. 



6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’  Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
(MN 66  Laṭukikopama Sutta)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 03:00:17 PM
Dalam sutta itu Sang Buddha sedang mengajarkan tentang warisan Dhamma, bukan soal makan. Sang Buddha hanya mengatakan bahwa di antara kedua bhikkhu itu, yg melewatkan malam dengan berlatih walaupun kelaparan adalah lebih terpuji dibandingkan dengan yg menerima warisan makanannya.
Ya, betul, memang yang berlatih tahan lapar nantinya akan lebih baik pengendalian dirinya.
Dan sutta ini saya singgung untuk menunjukkan bahwa bhikkhu yang sudah seragam jadwalnya, kadang bisa kena 'sial' dan telat dalam makan siang, dan jika kasusnya seperti di perumpamaan sutta, dia bisa memilih antara makan walaupun waktunya sudah kurang sesuai, atau kelaparan dan berlatih lebih keras.

Quote
bukan statistik tentang kematian orang yg saya minta, melainkan statistik populasi buddhis di kutub.
Untuk datanya, saya tidak punya. Boleh tahu apa relevansinya statistik Buddhis di kutub dengan atthasila?

Quote
Walaupun demikian, namun Sang Buddha mengajarkan batasan2 tertentu dalam meniru, bukan meniru secara keseluruhan, dalam hal makan, yaitu tidak makan di waktu yg salah.
Makan secara tidak berlebihan bukan hanya dilakukan pada waktu uposatha dan kepada bhikkhu saja, namun ke umat awam juga demikian. Contohnya Donapakasutta di Samyutta Nikaya mengisahkan khotbah kepada Pasenadi yang kekenyangan makan waktu menghadap Buddha, dan Buddha menganjurkannya mengurangi porsi makannya.


Quote
okay, tapi saya tidak tertarik untuk membahas soal definisi buddhis itu, karena seperti yg anda katakan bahwa setiap orang punya definisi masing2, jadi biarlah tetap demikian.
OK

Quote
bisa minta refnya? karena sepengetahuan saya, dalam hal makan ada dibagi 2 periode, yaitu periode yg benar dan periode yg salah, periode yg benar adalah dari matahari terbit hingga tengah hari sedangkan periode yg salah adalah dari tengah hari hingga matahari terbit.
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.


Quote
ini menarik tapi nantilah kita bahas setelah yg satu ini tuntas, gak asik kalo diskusinya loncat2.
OK.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 03:05:38 PM

6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’  Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
(MN 66  Laṭukikopama Sutta)

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.



kalau begitu, bukankah sama aja dengan percaya secara membabi buta dulu pertama kaliny?

seperti bila saya ngefans sama bro Indra, apapun perkataan anda akan saya ikuti terlebih dahulu, demi cinta kasih dan penghormatan kepada bro indra.... manfaat hanya akan diketahui setelah menjalankannya ???
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 03:09:45 PM
Spoiler: ShowHide

6. ‘Di sini, Yang Mulia, sewaktu aku sedang sendirian dalam meditasi, buah pikiran berikut ini muncul dalam pikiranku: “Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! … Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!” Yang Mulia, sebelumnya kami terbiasa makan di malam hari, di pagi hari, dan sepanjang siang hari di luar waktu selayaknya. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di siang hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’  Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Para perumah tangga yang berkeyakinan memberikan berbagai jenis makanan kepada kami selama siang hari di luar waktu selayaknya, namun Sang Bhagavā memberitahukan kepada kami untuk meninggalkannya, Yang Sempurna memberitahukan kepada kami untuk melepaskannya.’ Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Kemudian kami hanya makan di malam hari dan di pagi hari. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.

“Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur; mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan, dan mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’ Yang Mulia, ketika aku teringat hal itu aku berpikir: ‘Betapa banyaknya kondisi menyakitkan yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi menyenangkan yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā kepada kami! Betapa banyaknya kondisi tidak bermanfaat yang telah disingkirkan oleh Sang Bhagavā dari kami! Betapa banyaknya kondisi bermanfaat yang telah dibawa oleh Sang Bhagavā untuk kami!’”
(MN 66  Laṭukikopama Sutta)


Dari kutipan di atas, terlihat bahwa motivasi Bhikkhu Udayin menaati aturan makan itu adalah " Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di siang hari, yang di luar waktu selayaknya." bukan karena memahami latar belakangnya, walaupun ia sendiri merasakan manfaat itu setelah menghubungkannya dengan pengalamannya sendiri.
Tidak masalah. Itu adalah Udayi dengan kecenderungannya. Dalam konteks ini, jika saya di masa itu, akan mengerti bahwa yang dikatakan adalah dalam hal penahanan diri dan porsi wajar dalam makan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 03:12:14 PM
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.

jd pada waktu yang tidak salah, kita tetap boleh makan berulang kalikah?
pandangan makan satu kali sehari itu, didasarkan kepada kebiasaan Buddha kah?



Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 03:13:27 PM
Ya, betul, memang yang berlatih tahan lapar nantinya akan lebih baik pengendalian dirinya.
Dan sutta ini saya singgung untuk menunjukkan bahwa bhikkhu yang sudah seragam jadwalnya, kadang bisa kena 'sial' dan telat dalam makan siang, dan jika kasusnya seperti di perumpamaan sutta, dia bisa memilih antara makan walaupun waktunya sudah kurang sesuai, atau kelaparan dan berlatih lebih keras.
contoh kasus yg tidak tepat menurut saya, karena di sana Sang Buddha juga tidak mengatakan tentang melanggar atau tidak melanggar, dan lagi bisa saja pada saat sutta itu dibabarkan, Sang Buddha belum menetapkan aturan vinaya Pacitiya 37. apakah anda punya informasi kapan sutta ini dibabarka, apakah sesudah atau sebelum Pacitiya 37?

Quote
Untuk datanya, saya tidak punya. Boleh tahu apa relevansinya statistik Buddhis di kutub dengan atthasila?
saya hanya ingin memastikan bahwa buddhis baik-baik mati karena menuruti sila secara verbatim. sangat tidak sopan jika saya meminta data statistik tentang buddhis baik2 yg mati secara langsung, jadi saya minta statistik populasi buddhis saja untuk saya pelajari sendiri bagian selanjutnya.

Quote
Makan secara tidak berlebihan bukan hanya dilakukan pada waktu uposatha dan kepada bhikkhu saja, namun ke umat awam juga demikian. Contohnya Donapakasutta di Samyutta Nikaya mengisahkan khotbah kepada Pasenadi yang kekenyangan makan waktu menghadap Buddha, dan Buddha menganjurkannya mengurangi porsi makannya.

Juga dalam banyak sutta Sang Buddha memang mengajarkan makan secukupnya, tapi hal ini tidak dijadikan aturan wajib khususnya pada umat awam. kalau ada saya belum tau. melainkan yg menjadi aturan dalam atthasila adalah batasan waktunya.

Quote
OK
Dalam Latukikopamasutta, ketika Buddha menetapkan makan 2x, siang disebut sebagai divāvikāla (waktu siang yang salah). Ketika belakangan peraturan makan malam ditetapkan, malam disebut rattiṃvikāla (waktu malam yang salah). Selanjutnya vikāla merujuk pada kedua waktu tersebut.

bukankah jelas, kala dan vikala adalah pembagian periode waktu yg benar dan yg salah, ketika suatu waktu makan diperbolehkan maka itu adalah kala, sedangkan ketika suatu waktu tidak diperbolehkan maka itu adalah vikala. kala dan vikala memang bukan satuan waktu, melainkan suatu sebutan yg definisinya ditetapkan oleh Sang Buddha sendiri. ketika Sang Buddha mengubah definisi waktu yg benar dan yg salah, maka definisi baru itu otomatis merevisi definisi dari terminologi yg digunakan. Dan ketika suatu peraturan diamandemen, maka adalah peraturan yg terakhir yg berlaku dan menjadi acuan.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 27 May 2013, 03:14:10 PM
hmm, ketika seseorang melatih athasila masing masing akan mempunyai perkembangan dan pemahaman sendiri sendiri.

pada awalnya tentu saja kita mengikuti seperti di katakan di paritta dan berkembang pemahaman dari trial and error, hingga masing masing mempunyai penafsiran sendiri.

Wa sendiri merasakan jatuh dari tempat tidur yang rendah tidak sakit di banding kalau tidur di tempat tinggi jatuh nya akan lebih sakit, tidak hanya tempat tidur tempat duduk yang tinggi juga berbahaya bila tidak hati hat naik dan turun dari bangku, wa pikir dan mengaitkan dengan gempa hingga kita bisa lari keluar rumah dengan cepat.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 03:15:01 PM
hmm, ketika seseorang melatih athasila masing masing akan mempunyai perkembangan dan pemahaman sendiri sendiri.

pada awalnya tentu saja kita mengikuti seperti di katakan di paritta dan berkembang pemahaman dari trial and error, hingga masing masing mempunyai penafsiran sendiri.

Wa sendiri merasakan jatuh dari tempat tidur yang rendah tidak sakit di banding kalau tidur di tempat tinggi jatuh nya akan lebih sakit, tidak hanya tempat tidur tempat duduk yang tinggi juga berbahaya bila tidak hati hat naik dan turun dari bangku, wa pikir dan mengaitkan dengan gempa hingga kita bisa lari keluar rumah dengan cepat.

apalagi bagi penderita cedera kaki ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 03:22:02 PM
jd pada waktu yang tidak salah, kita tetap boleh makan berulang kalikah?
Entahlah. Kalau dilihat secara literal, mau makan sebakul yah tidak apa, selama bukan di waktu yang salah.

Quote
pandangan makan satu kali sehari itu, didasarkan kepada kebiasaan Buddha kah?
Buddha dan beberapa bhikkhu memang punya kebiasaan 'ekabhattika' itu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 03:37:24 PM
contoh kasus yg tidak tepat menurut saya, karena di sana Sang Buddha juga tidak mengatakan tentang melanggar atau tidak melanggar, dan lagi bisa saja pada saat sutta itu dibabarkan, Sang Buddha belum menetapkan aturan vinaya Pacitiya 37. apakah anda punya informasi kapan sutta ini dibabarka, apakah sesudah atau sebelum Pacitiya 37?
Menurut saya itu memang 'grey area'. Jika ada pelanggaran, seharusnya Buddha tidak menawarkan. Jika tidak ada pelanggaran, maka seharusnya si bhikkhu bisa makan tanpa takut 'tidak mewarisi dhamma'.
Soal pacittiya 37, saya tidak tahu waktunya.

Quote
saya hanya ingin memastikan bahwa buddhis baik-baik mati karena menuruti sila secara verbatim. sangat tidak sopan jika saya meminta data statistik tentang buddhis baik2 yg mati secara langsung, jadi saya minta statistik populasi buddhis saja untuk saya pelajari sendiri bagian selanjutnya.
Jika menuruti sila secara verbatim, maka 6 bulan ia tidak makan.
Jika 6 bulan ia tidak makan, maka akan mati.
-> Jika menuruti sila secara verbatim, maka akan modar.
Ini logikanya, tidak memerlukan statistik.

Sama juga seperti:
Jika tikus kelindes tronton, tikus akan gepeng.
Jika gepeng, maka mati.
-> Jika tikus kelindes tronton, maka akan mati.

Masa' perlu statistik tikus gepeng sih?

Quote
Juga dalam banyak sutta Sang Buddha memang mengajarkan makan secukupnya, tapi hal ini tidak dijadikan aturan wajib khususnya pada umat awam. kalau ada saya belum tau. melainkan yg menjadi aturan dalam atthasila adalah batasan waktunya.
Memang demikian.

Nah, menurut anda sendiri, apa keuntungan makan sebelum tengah hari, dan apa bahaya makan setelah tengah hari?


Quote
bukankah jelas, kala dan vikala adalah pembagian periode waktu yg benar dan yg salah, ketika suatu waktu makan diperbolehkan maka itu adalah kala, sedangkan ketika suatu waktu tidak diperbolehkan maka itu adalah vikala. kala dan vikala memang bukan satuan waktu, melainkan suatu sebutan yg definisinya ditetapkan oleh Sang Buddha sendiri. ketika Sang Buddha mengubah definisi waktu yg benar dan yg salah, maka definisi baru itu otomatis merevisi definisi dari terminologi yg digunakan. Dan ketika suatu peraturan diamandemen, maka adalah peraturan yg terakhir yg berlaku dan menjadi acuan.
Betul. Yang saya tunjukkan bukan apa yang terakhir berlaku, namun bahwa istilah 'vikala' itu adalah relatif, bukan merujuk ke kurun waktu tertentu secara mutlak. Nah, apa yang saya bahas di sini adalah latar belakang mengapa suatu waktu yang tadinya 'kala' menjadi 'vikala'.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 03:44:58 PM
Menurut saya itu memang 'grey area'. Jika ada pelanggaran, seharusnya Buddha tidak menawarkan. Jika tidak ada pelanggaran, maka seharusnya si bhikkhu bisa makan tanpa takut 'tidak mewarisi dhamma'.
Soal pacittiya 37, saya tidak tahu waktunya.


karena hal itu mungkin saja memang bukan pelanggaran, yg tidak bisa kita ketahui unless kita bisa memastikan mana lebih dulu sutta itu atau pacitiya 37.

Quote
Jika menuruti sila secara verbatim, maka 6 bulan ia tidak makan.
Jika 6 bulan ia tidak makan, maka akan mati.
-> Jika menuruti sila secara verbatim, maka akan modar.
Ini logikanya, tidak memerlukan statistik.

Sama juga seperti:
Jika tikus kelindes tronton, tikus akan gepeng.
Jika gepeng, maka mati.
-> Jika tikus kelindes tronton, maka akan mati.

Masa' perlu statistik tikus gepeng sih?

tidak sama, tikus tidak bisa masuk jhana atau nirodha samapatti, sedangkan bhikkhu masih ada peluang untuk itu, lagipula ada kemungkinan Sang Buddha akan mengamandemen vinaya itu seperti halnya pada kasus mandi

Quote
Memang demikian.

Nah, menurut anda sendiri, apa keuntungan makan sebelum tengah hari, dan apa bahaya makan setelah tengah hari?


jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.

Quote

Betul. Yang saya tunjukkan bukan apa yang terakhir berlaku, namun bahwa istilah 'vikala' itu adalah relatif, bukan merujuk ke kurun waktu tertentu secara mutlak. Nah, apa yang saya bahas di sini adalah latar belakang mengapa suatu waktu yang tadinya 'kala' menjadi 'vikala'.


tidak relatif, melainkan sudah pasti menurut definisi yg ditetapkan. latar belakang kala menjadi vikala adalah Sang Buddha mengamandemennya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 03:47:38 PM

jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.


boleh tau kenapa? apakah tidak bermanfaat ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 03:50:23 PM
boleh tau kenapa? apakah tidak bermanfaat ?
tidak
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 03:56:13 PM
tidak

tidak yang mana ini? tidak boleh tau atau tidak bermanfaat ?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 04:02:36 PM
tidak yang mana ini? tidak boleh tau atau tidak bermanfaat ?

tidak boleh, maka pertanyaan selanjutnya tidak perlu dijawab
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 27 May 2013, 04:04:03 PM
tidak boleh, maka pertanyaan selanjutnya tidak perlu dijawab

fans kuciwaaa
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 27 May 2013, 04:07:38 PM
Maksudnya saya donk?

oh ketahuan ya  :P
padahal saya tidak mencantumkan nama dan marga lhoo..

Menurut saya sederhana: kalau kita melaksanakan suatu latihan, seharusnya kita mengerti manfaatnya. Dengan demikian, latihan dilakukan berdasarkan pengertian benar, bukan 'karena tertulis di sutta-vinaya' tanpa tahu apa latar belakangnya ataupun apa yang dilatih. 

akur

Misalnya untuk 'kursi', yang saya pahami adalah kursi pada jaman itu menandakan kedudukan seseorang. Jika berbagai kasta dan jabatan kumpul dalam satu tempat, maka masing-masing duduk di kursi yang tinggi rendahnya sesuai dengan statusnya. Misalnya dalam Brahmajalasutta disebutkan kursi berlapis kulit gajah atau kuda, ini sepertinya kursi khattiya karena gajah dan kuda adalah kendaraan para raja; kulit kijang, kalau tidak salah digunakan para brahmana. Hal lainnya adalah yang berhiaskan permata melambangkan seberapa besar kekayaan seseorang, atau hiasan kursi warna tertentu yang melambangkan status tertentu.

jangan salah bang, jaman sekarang juga masih berlaku walau dengan cara dan material berbeda.

Jadi saya menyimpulkan bahwa sila ini adalah untuk meninggalkan kesombongan status seseorang dan merenungkan kerendah-hatian para Arahant yang paling mulia, namun puas dengan duduk dan berbaring di atas tempat butut yang seadanya. Kesombongan ini jelas berhubungan dengan noda-batin, bukan masalah pemilihan sentuhan bokong dengan kursi.

apa mungkin kursi yang bermaterial empuk (kita tidak berbicara bahan kulit gajah, harimau, atau lainnya. pokoknya empuk wuenak tenan) dan tinggi cenderung nyaman dan nikmat makanya jadinya timbul kemalasan atau keinginan bermalas-malas?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 04:18:16 PM
karena hal itu mungkin saja memang bukan pelanggaran, yg tidak bisa kita ketahui unless kita bisa memastikan mana lebih dulu sutta itu atau pacitiya 37.
OK, berarti diabaikan saja dulu.

Quote
tidak sama, tikus tidak bisa masuk jhana atau nirodha samapatti, sedangkan bhikkhu masih ada peluang untuk itu, lagipula ada kemungkinan Sang Buddha akan mengamandemen vinaya itu seperti halnya pada kasus mandi
Jhana ato Nirodhasamapatti juga dikisahkan hanya selama tujuh hari, dan habis itu cari makan juga (dan dana dari memberi makanan bagi mereka yang baru bangun ini akan berbuah di kehidupan yang sama).

Quote
jujur saya saya bukan praktisi atthasila, saya makan sesuka gue.
:| Jadi gimana cari jawabannya donk?

Quote
tidak relatif, melainkan sudah pasti menurut definisi yg ditetapkan. latar belakang kala menjadi vikala adalah Sang Buddha mengamandemennya.
Relatif bukan berarti sekarang bisa berubah-ubah sesuai keinginan, tapi maksudnya tidak mutlak dan kondisional. Berbeda dengan aturan-aturan yang langsung menyinggung noda batin seperti nafsu seksual atau kebencian, ini tidak situasional, kapanpun dengan kondisi apapun adalah salah.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 04:28:43 PM
oh ketahuan ya  :P
padahal saya tidak mencantumkan nama dan marga lhoo..
;D

Quote
jangan salah bang, jaman sekarang juga masih berlaku walau dengan cara dan material berbeda.
Tentu saja objek-objek kesombongan itu masih ada, bahkan lebih variatif. Kalau sekarang ini, buat saya lebih masuk akal kalau ga boleh pake HP Vertu atau naik Jaguar, ketimbang ga boleh duduk di kursi wasit atau yang isi kapas.


Quote
apa mungkin kursi yang bermaterial empuk (kita tidak berbicara bahan kulit gajah, harimau, atau lainnya. pokoknya empuk wuenak tenan) dan tinggi cenderung nyaman dan nikmat makanya jadinya timbul kemalasan atau keinginan bermalas-malas?
Menurut saya bukan masalah empuk, karena malas atau tidak ada di batin seseorang. Yang semangat dan tekad kuat, tidak akan bermalas-malasan walaupun duduknya di tempat empuk. Kalau yang malas, biarpun di tempat keras juga bisa tidur. Sama juga dengan soal makanan, masing-masing punya objek kemelekatannya sendiri, jadi ga dibatasi harus oncom, singkong, tempe, bumbunya harus tawar, asin, manis, dll.

Kalau masalah kursi status, pada saat itu adalah nyata. Dan saya lihat, para bangsawan dan kasta tinggi paling sulit menjalankan sila ini di mana mereka harus duduk sama tinggi dengan para bawahan pada hari itu.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 27 May 2013, 04:43:04 PM
Menurut saya bukan masalah empuk, karena malas atau tidak ada di batin seseorang. Yang semangat dan tekad kuat, tidak akan bermalas-malasan walaupun duduknya di tempat empuk. Kalau yang malas, biarpun di tempat keras juga bisa tidur. Sama juga dengan soal makanan, masing-masing punya objek kemelekatannya sendiri, jadi ga dibatasi harus oncom, singkong, tempe, bumbunya harus tawar, asin, manis, dll.

Kalau masalah kursi status, pada saat itu adalah nyata. Dan saya lihat, para bangsawan dan kasta tinggi paling sulit menjalankan sila ini di mana mereka harus duduk sama tinggi dengan para bawahan pada hari itu.

mungkin masalah kecenderungan? misal duduk di kursi empuk, cenderung lebih membuat terlena?
tanya : esensi dari latihan sila bokong vs kursi ini apa saja sih?
atau dari kata 'latihan' ini seharusnya menjadi pokok menjalankan sila ini, karena berulang2 dengan ketat dan ulet maka menjadi terlatih dan menjadi mampu mengikis noda batin yang abang maksud pada post sebelumnya?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 04:51:23 PM
mungkin masalah kecenderungan? misal duduk di kursi empuk, cenderung lebih membuat terlena?
IMO sih bukan, karena kalau soal empuk, kulit gajah ato kulit sapi sama aja, asal bukan kulit landak atau trenggiling. Selain itu, untuk meditasi juga kita perlu posisi yang nyaman supaya tidak terganggu dengan gangguan fisik waktu meditasi.


Quote
tanya : esensi dari latihan sila bokong vs kursi ini apa saja sih?
atau dari kata 'latihan' ini seharusnya menjadi pokok menjalankan sila ini, karena berulang2 dengan ketat dan ulet maka menjadi terlatih dan menjadi mampu mengikis noda batin yang abang maksud pada post sebelumnya?
Iya, menurut saya yah untuk melatih melepas kesombongan, tidak pakai status 'gue ini kelahiran mulia', 'gue ini bangsawan/pejabat', 'gue ini orang kaya', dll. Kesombongan ini juga bisa sangat menghalangi, seperti ada kisahnya dalam jataka, Bodhisatta jadi petapa hutan, tapi dalam sebuah Uposatha, timbul pikiran kesombongan dalam dirinya, "aku berkelahiran mulia". Pada saat itu ada Pacceka Buddha yang mengetahui pikiran 'sesat' Bodhisatta, dan terbang di udara di atas kepala Bodhisatta, mengibas2 debu dari kakinya ke kepala Bodhisatta. Saat itu baru disadari bahwa pandangan "kelahiran mulia" adalah sia-sia dalam pertapaan, meninggalkannya dan berhasil mengembangkan jhana dan kekuatan batin.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Kelana on 27 May 2013, 05:44:27 PM

(http://static1.bonluxat.com/cmsense/data/uploads/orig/olle-andersson-quilt-chair_zjt7.jpg)



H: 45 cm
Moulded cold foam with spring system. Upholstered in fabric or leather. Arm rests in birch, oak or upholstered in black leather. Support in chrome. The Quilt armchair is Eco labeled with the Nordic Swan. http://www.offecct.se/en/products/chairs/quilt


Terlepas dari bahannya, saya bingung kalau yang kursi seperti model ini, yang depannya tinggi belakangnya pendek, peraturannya jadi bagaimana jika bagian depan lebih tinggi dari yang ditentukan tapi belakang lebih rendah?
Kalau contoh di bawah ini ukuran depannya 41 cm.

(http://www.offecct.se/files/styles/square/public/products/queen-easy-chair-4.jpg)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 05:53:05 PM

H: 45 cm
Moulded cold foam with spring system. Upholstered in fabric or leather. Arm rests in birch, oak or upholstered in black leather. Support in chrome. The Quilt armchair is Eco labeled with the Nordic Swan. http://www.offecct.se/en/products/chairs/quilt


Terlepas dari bahannya, saya bingung kalau yang kursi seperti model ini, yang depannya tinggi belakangnya pendek, peraturannya jadi bagaimana jika bagian depan lebih tinggi dari yang ditentukan tapi belakang lebih rendah?
Kalau contoh di bawah ini ukuran depannya 41 cm.

(http://www.offecct.se/files/styles/square/public/products/queen-easy-chair-4.jpg)
Betul juga, kalau beda gitu bagaimana yah? Mungkin sudah miring gitu hitungannya tempat berbaring dan hitungannya dari kaki yang terpanjang?

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 27 May 2013, 05:54:05 PM
(http://www.czechdentists.com/dental_chair_modern.jpg)

Spoiler: ShowHide
"Dok, tambal giginya di lantai aja yah, lagi uposatha nih..."
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: kullatiro on 27 May 2013, 06:40:14 PM
wa pikir untuk pemula tidak lah sampai se Extrem itu yang wajar dan natural perlahan lahan saja bila tidak terbiasa bisa menyakiti diri sendiri dari pada mendapat manfaatnya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 27 May 2013, 11:51:58 PM
(http://www.czechdentists.com/dental_chair_modern.jpg)

Spoiler: ShowHide
"Dok, tambal giginya di lantai aja yah, lagi uposatha nih..."


ada pengecualian untuk orang sakit
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 08:45:59 AM
wa pikir untuk pemula tidak lah sampai se Extrem itu yang wajar dan natural perlahan lahan saja bila tidak terbiasa bisa menyakiti diri sendiri dari pada mendapat manfaatnya.


Justru itu yang saya maksud. Kalau orang tidak tahu apa yang dimaksud dalam sila, apa yang dilatih, hanya mengikuti yang tertulis saja, praktiknya akan nyasar ke mana-mana. Belum lagi karena ketidak-tahuan, nanti setelah duduk, malah timbul penyesalan, "aduh, saya hari ini gagal" padahal dia ga tahu apa yang bermanfaat dan tidak bermanfaat.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 08:56:40 AM
ada pengecualian untuk orang sakit
Jadi kalo sakit, boleh denger lagu?

-------

Spoiler: ShowHide
(http://apcmag.com/system/files/images/A380%20Economy.article-width.jpg)
FA: Please sir, return to your seat and fasten your seatbelt! We are going to take off...
GB: What The Avici!! For Triple-jewel's sake, I am on Eight-Precepts!!


Spoiler: ShowHide
(http://johnlewis.scene7.com/is/image/JohnLewis/231593812?$prod_main$)
"Mama, saya mau duduk di kursi itu..."
"Jangan, nak, lagi Uposatha nih. Jadilah Buddhis yang baik dan duduk di sini!"
(http://www.ecotoys.com.au/product-pics/Voila-Turtle-Chair.jpg)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 28 May 2013, 09:00:34 AM
lebay.com  ::)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 09:05:20 AM
lebay.com  ::)
Kenapa lebay? Masa' orang jalankan sila dibilang lebay sih?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 28 May 2013, 09:12:44 AM
Kenapa lebay? Masa' orang jalankan sila dibilang lebay sih?

Orang attasila sakit boleh dong dengar lagu?  --< ini lebay namanya.

Orang attasila sakit gigi boleh dong duduk di kursi dokter gigi untuk diobati? --> Boleh.
Bahkan bhikkhu sakit aja boleh koq makan lagi setelah tengah hari.

Jangan lantas menjadi lebay lagi dengan statement: '"Jadi bhikkhu sakit boleh ikut karaoke?" --> ini ga sesuai konteks, berlebihan alias menjadi www.lebay.com.

 _/\_
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 28 May 2013, 09:13:02 AM
Jadi kalo sakit, boleh denger lagu?


terlalu maksa, karena pengecualian itu disebutkan dalam kasus tempat duduk/tempat tidur, tapi bukannya membantah soal ini malah digiring ke lagu, apa hubungannya tempat duduk/tempat tidur dan sila 8 dengan lagu? diskusi model begini sungguh tidak produktif, i'm out.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 28 May 2013, 09:16:22 AM
terlalu maksa, karena pengecualian itu disebutkan dalam kasus tempat duduk/tempat tidur, tapi bukannya membantah soal ini malah digiring ke lagu, apa hubungannya tempat duduk/tempat tidur dan sila 8 dengan lagu? diskusi model begini sungguh tidak produktif, i'm out.

Ini sedang drama apa beneran?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 09:18:02 AM
Hais... serba tidak jelas. Katanya sesuai sutta-vinaya, tapi pake penambahan "pengecualian orang sakit". Begitu ditanya apakah pengecualian ini berlaku untuk sila tertentu atau semua sila tambahan atthasila, langsung ngambek.

Jadi Buddhis di sini sebenernya ada yang bisa jawab manfaat sila Atthasila ini atau tidak? Saya tidak perlu pendapat bocah seperti "ah, lebay", tapi minta penjelasan. Kalau tidak ada yang bisa jawab, FINE, kita tutup diskusinya.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 28 May 2013, 09:23:26 AM
Hais... serba tidak jelas. Katanya sesuai sutta-vinaya, tapi pake penambahan "pengecualian orang sakit". Begitu ditanya apakah pengecualian ini berlaku untuk sila tertentu atau semua sila tambahan atthasila, langsung ngambek.


tuduhan ngambek juga sangat childish. saya melihat kesan "orang yg biasanya benar tidak boleh salah" di sini, pertanyaan itu bisa anda tanyakan dengan benar pada post ini, tapi kenapa tidak pada post sebelumnya? dan pada post sebelumnya juga tidak ada tersurat atau tersirat ada pertanyaan itu, melainkan suatu sinisme terhadap pengecualian, anda sendiri bukannya tidak mengetahui adanya pengecualian itu. melainkan dengan sengaja menggiring opini ke arah setidaknya pada "orang yg biasanya benar tidak boleh salah".


Quote
Jadi Buddhis di sini sebenernya ada yang bisa jawab manfaat sila Atthasila ini atau tidak? Saya tidak perlu pendapat bocah seperti "ah, lebay", tapi minta penjelasan. Kalau tidak ada yang bisa jawab, FINE, kita tutup diskusinya.



sebenarnya ini memang hak ada justru melihat dari judul thread ini, anda lah yg seharusnya memberikan jawaban sebagai "respon atas pertanyaan". jadi silakan kemukakan apakah bermanfaat atau tidak bermanfaat, dan karena diskusi juga sudah cukup panjang, mungkin tidak diperlukan lagi penjelasan2 yg pada intinya mengarah pada "orang yg biasanya benar tidak boleh salah"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Rico Tsiau on 28 May 2013, 09:27:24 AM
Ini sedang drama apa beneran?

kayaknya benaran  :o
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: sanjiva on 28 May 2013, 09:29:47 AM
kayaknya benaran  :o

biasanya si tuhan yg tahu dan memahami dewa lagi drama apa engga.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 09:32:14 AM
tuduhan ngambek juga sangat childish. saya melihat kesan "orang yg biasanya benar tidak boleh salah" di sini, pertanyaan itu bisa anda tanyakan dengan benar pada post ini, tapi kenapa tidak pada post sebelumnya? dan pada post sebelumnya juga tidak ada tersurat atau tersirat ada pertanyaan itu, melainkan suatu sinisme terhadap pengecualian, anda sendiri bukannya tidak mengetahui adanya pengecualian itu. melainkan dengan sengaja menggiring opini ke arah setidaknya pada "orang yg biasanya benar tidak boleh salah".
Saya tidak mengetahui adanya pengecualian itu dalam atthasila. Pengecualian untuk orang sakit hanya ada dalam vinaya dan yang pernah saya baca, bukan menyangkut duduk di tempat tinggi. Dan kalau tidak pakai emosi, seharusnya sih jawab saja secara normal bahwa "pengecualian tidak berlaku untuk dengar lagu, alasannya ..."


Quote
sebenarnya ini memang hak ada justru melihat dari judul thread ini, anda lah yg seharusnya memberikan jawaban sebagai "respon atas pertanyaan". jadi silakan kemukakan apakah bermanfaat atau tidak bermanfaat, dan karena diskusi juga sudah cukup panjang, mungkin tidak diperlukan lagi penjelasan2 yg pada intinya mengarah pada "orang yg biasanya benar tidak boleh salah"
Nah, sekarang setelah tidak mampu memberikan penjelasan, menggiring opini dengan "orang yang biasanya benar, tidak boleh salah"? Kalau diskusi begini sih, saya yang out saja deh.

Silahkan praktik Atthasila dengan baik untuk semuanya.  :)

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 28 May 2013, 09:38:21 AM
Saya tidak mengetahui adanya pengecualian itu dalam atthasila. Pengecualian untuk orang sakit hanya ada dalam vinaya dan yang pernah saya baca, bukan menyangkut duduk di tempat tinggi. Dan kalau tidak pakai emosi, seharusnya sih jawab saja secara normal bahwa "pengecualian tidak berlaku untuk dengar lagu, alasannya ..."


kalau dijawab begitu, maka diskusi akan beralih pada topik baru tentang lagu, yg saya yakin anda juga sudah menyiapkan banyak materi sementara topik sebelumnya blm tuntas, ini yg saya tidak suka. jadi saya terpaksa pakai emosi, dan kebetulan saya dan juga sebagian besar penonton tidak keberatan jika saya emosi.


Quote
Nah, sekarang setelah tidak mampu memberikan penjelasan, menggiring opini dengan "orang yang biasanya benar, tidak boleh salah"? Kalau diskusi begini sih, saya yang out saja deh.

Silahkan praktik Atthasila dengan baik untuk semuanya.  :)



setidaknya kalimat "orang yang biasanya benar, tidak boleh salah" tidak dibantah, terima kasih atas waktu dan tenaganya walaupun saya blm melihat jawaban akhir sebagai "respon atas pertanyaan"
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 09:59:17 AM
kalau dijawab begitu, maka diskusi akan beralih pada topik baru tentang lagu, yg saya yakin anda juga sudah menyiapkan banyak materi sementara topik sebelumnya blm tuntas, ini yg saya tidak suka. jadi saya terpaksa pakai emosi, dan kebetulan saya dan juga sebagian besar penonton tidak keberatan jika saya emosi.
Tidak, saya hanya mau tau apakah pengecualian berlaku pada sila kursi atau semua tambahan sila atthasila. (Kalau pancasila, saya tahu itu tidak ada pengecualian, kecuali minuman yang mengandung alkohol kalau digunakan sebagai obat.)


Quote
setidaknya kalimat "orang yang biasanya benar, tidak boleh salah" tidak dibantah, terima kasih atas waktu dan tenaganya walaupun saya blm melihat jawaban akhir sebagai "respon atas pertanyaan"
Pendapat pribadi orang tidak perlu saya klarifikasi. Orang mo bilang saya apa, yah terserah orang tersebut, jadi walaupun saya dituduh "tidak boleh salah", yah sah-sah saja. Tapi selama tidak ada argumennya, bagi saya itu hanya 'keluh kesah' saja.

Soal respon, sebetulnya thread ini dibuat karena dulu kalau ada orang lain ribut, satu thread di-lock dan saya tidak bisa lanjutkan diskusi dengan orang lain di thread sama, jadi saya buat thread tersendiri ini. Kemudian awalnya ada di board diskusi umum dan belakangan tidak cocok lagi karena topik bahasannya bebas, jadi dipindah ke jurnal pribadi.

Beberapa hari lalu saya ingin mencatat hal-hal yang menurut saya menarik, dan daripada membuat 2 thread di jurnal pribadi, maka saya sambung di sini saja, dan topik Atthasila adalah salah satu note tersebut. Jadi topik ini bukan respon atas pertanyaan seseorang, dan tidak perlu saya beri kesimpulan. Apalagi ini jurnal pribadi, pendapat pribadi, silahkan masing-masing orang memeluk pandangannya sendiri.   

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 28 May 2013, 10:08:38 AM
Tidak, saya hanya mau tau apakah pengecualian berlaku pada sila kursi atau semua tambahan sila atthasila. (Kalau pancasila, saya tahu itu tidak ada pengecualian, kecuali minuman yang mengandung alkohol kalau digunakan sebagai obat.)

saya ragu memang itu yg dimaksudkan, karena jika memang demikian, seharusnya dengan pengalaman forum anda, pertanyaan itu tidak akan disampaikan dalam bentuk respon atas postingan yg menjadi jawaban bagi komentar sebelumnya.

A: (scene: pasien di suruh duduk di kursi pasien yg tinggi), kemudian pasien menjawab "tidak mau, karena saya lagi menjalankan atthasila.
B: ada pengecualian untuk orang sakit
A: apakah kalo sakit boleh dengar lagu? ---> terlihat nyata sekali maksud dari pertanyaan ini, dan itu tidak tampak sebagai "saya mau tau ..."

Quote
Pendapat pribadi orang tidak perlu saya klarifikasi. Orang mo bilang saya apa, yah terserah orang tersebut, jadi walaupun saya dituduh "tidak boleh salah", yah sah-sah saja. Tapi selama tidak ada argumennya, bagi saya itu hanya 'keluh kesah' saja.

Soal respon, sebetulnya thread ini dibuat karena dulu kalau ada orang lain ribut, satu thread di-lock dan saya tidak bisa lanjutkan diskusi dengan orang lain di thread sama, jadi saya buat thread tersendiri ini. Kemudian awalnya ada di board diskusi umum dan belakangan tidak cocok lagi karena topik bahasannya bebas, jadi dipindah ke jurnal pribadi.

Beberapa hari lalu saya ingin mencatat hal-hal yang menurut saya menarik, dan daripada membuat 2 thread di jurnal pribadi, maka saya sambung di sini saja, dan topik Atthasila adalah salah satu note tersebut. Jadi topik ini bukan respon atas pertanyaan seseorang, dan tidak perlu saya beri kesimpulan. Apalagi ini jurnal pribadi, pendapat pribadi, silahkan masing-masing orang memeluk pandangannya sendiri.   



noted, sungguh ini baru saya ketahui, karena sebelumnya saya pikir thread ini adalah tempat di mana orang2 bertanya dan thread owner menjawab. mungkin karena judul thread ini yg tidak lazim jurnal pribadi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 10:21:27 AM
saya ragu memang itu yg dimaksudkan, karena jika memang demikian, seharusnya dengan pengalaman forum anda, pertanyaan itu tidak akan disampaikan dalam bentuk respon atas postingan yg menjadi jawaban bagi komentar sebelumnya.

A: (scene: pasien di suruh duduk di kursi pasien yg tinggi), kemudian pasien menjawab "tidak mau, karena saya lagi menjalankan atthasila.
B: ada pengecualian untuk orang sakit
A: apakah kalo sakit boleh dengar lagu? ---> terlihat nyata sekali maksud dari pertanyaan ini, dan itu tidak tampak sebagai "saya mau tau ..."
Jika itu dalam "scene", seharusnya anda beri tanda petik, atau bentuk percakapan yang ada pelakonnya (seperti "A:" dan "B:" di atas). Karena plain begitu, maka saya anggap penjelasan, dan saya pikir dengan pengalaman anda yang juga begitu lama di forum bisa mengerti tujuan statement pendek saya yang langsung itu adalah mempertanyakan pengecualian yang sebagian-sebagian. Juga awalnya 'kan anda berkutat pada sutta-vinaya, dan setahu saya, di sutta tidak ada pengecualian begitu.

Tapi ya sudahlah, saya juga sudah tidak niat melanjutkan. Saya sarankan jika anda ingin meluruskan segalanya tentang atthasila, lebih baik buat di thread bernuansa Buddhis, bukan thread pribadi.


Quote
noted, sungguh ini baru saya ketahui, karena sebelumnya saya pikir thread ini adalah tempat di mana orang2 bertanya dan thread owner menjawab. mungkin karena judul thread ini yg tidak lazim jurnal pribadi.
Memang tidak lazim karena awalnya memang bukan itu tujuannya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Indra on 28 May 2013, 10:33:00 AM
Jika itu dalam "scene", seharusnya anda beri tanda petik, atau bentuk percakapan yang ada pelakonnya (seperti "A:" dan "B:" di atas). Karena plain begitu, maka saya anggap penjelasan, dan saya pikir dengan pengalaman anda yang juga begitu lama di forum bisa mengerti tujuan statement pendek saya yang langsung itu adalah mempertanyakan pengecualian yang sebagian-sebagian. Juga awalnya 'kan anda berkutat pada sutta-vinaya, dan setahu saya, di sutta tidak ada pengecualian begitu.

oh saya memang tidak tahu etika penulisan itu, saya hanya menuliskan spt apa yg saya ucapkan dengan tanda baca yg saya anggap perlu, lagipula itu hanya flash back dari diskusi yg sudah terjadi, bukan bermaksud untuk memulai diskusi baru. soal pengecualian dalam sutta-vinaya, tentu saja saya bersedia menunjukkan sumbernya jika diminta dengan cara yg benar, tapi saya sudah malas melanjutkan diskusi ini karena alasan yg pernah saya sebutkan di atas.

Quote
Tapi ya sudahlah, saya juga sudah tidak niat melanjutkan. Saya sarankan jika anda ingin meluruskan segalanya tentang atthasila, lebih baik buat di thread bernuansa Buddhis, bukan thread pribadi.

saya mohon maaf atas hal ini, saya sendiri tidak pernah berniat meluruskan apa pun apa lagi di thread forbidden spt ini, tapi karena banyak yg nimbrung saya pikir saya juga boleh bergabung ngobrol2. Maaf atas gangguan yg sudah saya timbilkan di sini. _/\_

Quote
Memang tidak lazim karena awalnya memang bukan itu tujuannya.


padahal judul thread pasti yg pertama diketik tapi bisa bukan itu tujuan awalnya, anda memang penuh dengan keterbalik2an.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 28 May 2013, 10:35:52 AM
terlalu maksa, karena pengecualian itu disebutkan dalam kasus tempat duduk/tempat tidur, tapi bukannya membantah soal ini malah digiring ke lagu, apa hubungannya tempat duduk/tempat tidur dan sila 8 dengan lagu? diskusi model begini sungguh tidak produktif, i'm out.

IMO, ada hubunganny, karena sedang membahas 8 sila, yang dimulai dari sila ke delapan, otomatis berkembang dengan pertanyaan tentang sila lainny  ;D

jika hanya membaca sesuai  dengan yang di sila itu sendiri, tentunya mmg tidak dimuat hal apa yang menyebabkan pelanggaran sila itu sndiri. selama ini saya juga cm dikasih tau kalau sila ke 8 itu berhubungan dengan tidak boleh tidur di kasur yang tinggi.. baru ini tau bahwa kursi juga  :hammer:
 
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 28 May 2013, 10:42:11 AM
oh saya memang tidak tahu etika penulisan itu, saya hanya menuliskan spt apa yg saya ucapkan dengan tanda baca yg saya anggap perlu, lagipula itu hanya flash back dari diskusi yg sudah terjadi, bukan bermaksud untuk memulai diskusi baru. soal pengecualian dalam sutta-vinaya, tentu saja saya bersedia menunjukkan sumbernya jika diminta dengan cara yg benar, tapi saya sudah malas melanjutkan diskusi ini karena alasan yg pernah saya sebutkan di atas.

saya mohon maaf atas hal ini, saya sendiri tidak pernah berniat meluruskan apa pun apa lagi di thread forbidden spt ini, tapi karena banyak yg nimbrung saya pikir saya juga boleh bergabung ngobrol2. Maaf atas gangguan yg sudah saya timbilkan di sini. _/\_

padahal judul thread pasti yg pertama diketik tapi bisa bukan itu tujuan awalnya, anda memang penuh dengan keterbalik2an.
Jika itu dalam "scene", seharusnya anda beri tanda petik, atau bentuk percakapan yang ada pelakonnya (seperti "A:" dan "B:" di atas). Karena plain begitu, maka saya anggap penjelasan, dan saya pikir dengan pengalaman anda yang juga begitu lama di forum bisa mengerti tujuan statement pendek saya yang langsung itu adalah mempertanyakan pengecualian yang sebagian-sebagian. Juga awalnya 'kan anda berkutat pada sutta-vinaya, dan setahu saya, di sutta tidak ada pengecualian begitu.

Tapi ya sudahlah, saya juga sudah tidak niat melanjutkan. Saya sarankan jika anda ingin meluruskan segalanya tentang atthasila, lebih baik buat di thread bernuansa Buddhis, bukan thread pribadi.

Memang tidak lazim karena awalnya memang bukan itu tujuannya.



OH TIDAK BISA.... IMO, anda berdua wajib menuntaskan diskusi ini, byk pertanyaan-pertanyaan muncul sebab bro KK memulai "fakta" yang di anggap komentarnya sendiri dan dilanjutkan oleh Bro Indra yang menanggapi berdasarkan sutta vinaya.. kalau dihentikan, jadi gantung begini. juga tidak tau sebenarnya bagaimana ini? rupanya begitu banyak larangan dalam atthasila ??

 [at] Bro Indra, lalu bagaimanakah caranya yang benar dalam meminta sumber kepada anda? maklum masih newbie  :-[
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 10:48:54 AM
oh saya memang tidak tahu etika penulisan itu, saya hanya menuliskan spt apa yg saya ucapkan dengan tanda baca yg saya anggap perlu, lagipula itu hanya flash back dari diskusi yg sudah terjadi, bukan bermaksud untuk memulai diskusi baru.
Bukan etika, sekadar menghindari salah-paham.

Quote
soal pengecualian dalam sutta-vinaya, tentu saja saya bersedia menunjukkan sumbernya jika diminta dengan cara yg benar, tapi saya sudah malas melanjutkan diskusi ini karena alasan yg pernah saya sebutkan di atas.
Tidak masalah.

Quote
saya mohon maaf atas hal ini, saya sendiri tidak pernah berniat meluruskan apa pun apa lagi di thread forbidden spt ini, tapi karena banyak yg nimbrung saya pikir saya juga boleh bergabung ngobrol2. Maaf atas gangguan yg sudah saya timbilkan di sini. _/\_
OK, sama-sama.
 _/\_

Quote
padahal judul thread pasti yg pertama diketik tapi bisa bukan itu tujuan awalnya, anda memang penuh dengan keterbalik2an.
Maksudnya awal thread memang untuk merespon pertanyaan, namun karena perkembangan situasi, akhirnya jadi jurnal pribadi.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 28 May 2013, 10:50:02 AM
OH TIDAK BISA.... IMO, anda berdua wajib menuntaskan diskusi ini
imo, topik diskusi seperti tidak akan pernah tuntas.
pembaca diminta untuk tidak malas dan mengambil kesimpulan sendiri...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 28 May 2013, 10:56:14 AM
imo, topik diskusi seperti tidak akan pernah tuntas.
pembaca diminta untuk tidak malas dan mengambil kesimpulan sendiri...


maksudnya tidak malas bagaimana ya?
mengambil kesimpulan sendiri? bagaimana kalau kesimpulan yg kita ambil malah salah dan tidak sesuai ? jd sesat donk ?  ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 10:58:16 AM

OH TIDAK BISA.... IMO, anda berdua wajib menuntaskan diskusi ini, byk pertanyaan-pertanyaan muncul sebab bro KK memulai "fakta" yang di anggap komentarnya sendiri dan dilanjutkan oleh Bro Indra yang menanggapi berdasarkan sutta vinaya.. kalau dihentikan, jadi gantung begini. juga tidak tau sebenarnya bagaimana ini? rupanya begitu banyak larangan dalam atthasila ??
OH BISA SAJA.... Saya hanya membuat catatan kok.  :D

Hanya saja, mungkin kalian harus mulai memikirkan jawaban yang lebih baik, karena mungkin saja umat lain atau ilmuwan yang logis yang akan mempertanyakannya dan juga hal-hal lainnya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: Chandra Rasmi on 28 May 2013, 11:05:21 AM
OH BISA SAJA.... Saya hanya membuat catatan kok.  :D

Hanya saja, mungkin kalian harus mulai memikirkan jawaban yang lebih baik, karena mungkin saja umat lain atau ilmuwan yang logis yang akan mempertanyakannya dan juga hal-hal lainnya.


tapi apa yang anda mulai tidak tampak seperti anda sedang membuat catatan, tapi lebih kepada pengumuman bahwa ada berbagai jenis macam kursi yang tidak boleh diduduki bagi seseorang yang sedang menjalankan atthasila. tentu saja hal ini mengundang pertanyaan atas pengumuman itu. yang berarti bahwa selama ini, orang yang tidak tahu bahwa ada jenis-jenis kursi, ketinggian kursi yang tidak blh diduduki selama atthasila, telah melanggar sila ke 8 tanpa diketahui. sehingga mendatangkan penyesalan terhadap diri orang tersebut. oleh karena itu, IMO, anda setidaknya bisa bertanggung jawab atas itu, dan menunjukkan bahwa itu bukanlah komentar pribadi anda atas yang anda baca :D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 11:45:34 AM
tapi apa yang anda mulai tidak tampak seperti anda sedang membuat catatan, tapi lebih kepada pengumuman bahwa ada berbagai jenis macam kursi yang tidak boleh diduduki bagi seseorang yang sedang menjalankan atthasila. tentu saja hal ini mengundang pertanyaan atas pengumuman itu. yang berarti bahwa selama ini, orang yang tidak tahu bahwa ada jenis-jenis kursi, ketinggian kursi yang tidak blh diduduki selama atthasila, telah melanggar sila ke 8 tanpa diketahui. sehingga mendatangkan penyesalan terhadap diri orang tersebut. oleh karena itu, IMO, anda setidaknya bisa bertanggung jawab atas itu, dan menunjukkan bahwa itu bukanlah komentar pribadi anda atas yang anda baca :D

Soal apakah tampak seperti catatan atau tidak, itu komentar pribadi masing-masing. Buat saya tampak seperti catatan kok. Kalau orang tidak tahu tentang jenis-jenis kursi yang dihindari itu, kenapa pula saya yang salah? Apa saya bertanggung-jawab atas pengetahuan orang lain? Sudah jadi kebiasaan Buddhis, "yang penting praktik tanpa perlu teori", jadi praktik saja lah, ngapain pusingin teori beginian.

Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: morpheus on 28 May 2013, 12:11:08 PM
maksudnya tidak malas bagaimana ya?
mengambil kesimpulan sendiri? bagaimana kalau kesimpulan yg kita ambil malah salah dan tidak sesuai ? jd sesat donk ?  ;D
banyak persoalan itu gak sesederhana hitam putih, melainkan kelabu. jadi kadang semuanya benar dilihat dari sudut pandang masing2. pembaca diminta tidak malas untuk berpikir sendiri dan mengambil sudut pandang yang disetujuinya...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 28 May 2013, 01:07:44 PM
Intinya, sila ke-6 itu adalah menghindari makan di waktu yang salah, dalam hal ini diartikan sebagai "setelah tengah hari".

Kenapa disebut sebagai "waktu yang salah"? kalau saya baca di MN 66, malam hari disebut sebagai waktu yang salah bagi seorang bhikkhu yang mengembara untuk menerima dana makanan  karena:

1. “Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur;

2. mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan,

3. mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan.

4. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’

dan yang terakhir (di sutta sebetulnya disebut pertama kali):

5. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.


yang warna ungu ini saya kurang paham. Mungkin maksudnya tentang kesederhanaan 'makan secukupnya'?

note: link MN 66: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17773.msg290598.html#msg290598,

__________________________

Berdasarkan sutta itu, hal-hal yang menjadikan malam hari sebagai "waktu yang salah" (nomor 1-4), tidak berlaku bagi umat awam yang sebenarnya tidak mengembara mencari dana makanan.

Tapi IMHO, poin ke-lima yang menjadikan atthasila (tidak makan setelah tengah hari) berlaku bagi umat awam. CMIIW.

Tapi kalo seperti itu, memang jadinya lebih relatif sih. Kadar "secukupnya" bagi setiap orang itu beda-beda. Dan waktunya juga tidak harus sebelum tengah hari..

___________________________

Atau sila ke-6 adalah tentang "meniru para arahat" saja? Karena malam hari adalah waktu yang salah bagi Arahat yang notabene adalah bhikkhu yang mengembara mencari dana makanan di malam hari. Jadi walaupun umat awam, tapi kita meniru para Arahat sehingga kita tidak makan di "waktu yang salah bagi para bhikkhu".
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 01:49:59 PM
Intinya, sila ke-6 itu adalah menghindari makan di waktu yang salah, dalam hal ini diartikan sebagai "setelah tengah hari".

Kenapa disebut sebagai "waktu yang salah"? kalau saya baca di MN 66, malam hari disebut sebagai waktu yang salah bagi seorang bhikkhu yang mengembara untuk menerima dana makanan  karena:

1. “Pernah terjadi, Yang Mulia, para bhikkhu itu mengembara untuk menerima dana di malam hari yang gelap gulita telah terperosok ke lubang kakus, jatuh ke saluran air kotor, menabrak semak berduri, dan menabrak sapi yang sedang tertidur;

2. mereka telah bertemu dengan para penjahat yang telah melakukan kejahatan dan yang sedang merencanakan kejahatan,

3. mereka digoda secara seksual oleh perempuan-perempuan.

4. Suatu ketika, Yang Mulia, aku sedang berjalan untuk menerima dana makanan di malam yang gelap gulita. Seorang perempuan yang sedang mencuci panci melihatku dengan cahaya kilat halilintar dan ia berteriak ketakutan: ‘Kasihanilah aku, setan telah datang padaku!’ aku memberitahunya: ‘Saudari, aku bukan setan, aku adalah seorang bhikkhu [449] yang sedang mengumpulkan dana makanan.’ – ‘Maka, engkau adalah seorang bhikkhu yang ibu dan ayahnya telah mati!  Lebih baik, bhikkhu, engkau membelah perutmu dengan pisau daging yang tajam daripada berkeliaran mencari dana makanan demi perutmu di malam yang gelap gulita ini!’
Senada dengan pendapat saya sebelumnya bahwa latar belakangnya adalah karena masalah keadaan budaya saat itu, bukan berhubungan dengan 'waktu keramat' untuk makan.


Quote
dan yang terakhir (di sutta sebetulnya disebut pertama kali):

5. Kemudian ada suatu kejadian ketika Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: ‘Para bhikkhu, tinggalkanlah makan di malam hari, yang adalah di luar waktu yang selayaknya.’ Yang Mulia, aku kecewa dan sedih, dengan pikiran: ‘Sang Bhagavā memberitahukan kami untuk meninggalkan makanan yang lebih mewah dari dua kali makan kami, Yang Sempurna memberitahukan kami agar meninggalkannya.’ Suatu ketika, Yang Mulia, seseorang telah memperoleh sup pada siang hari dan ia berkata: ‘Sisihkanlah itu dan kita akan memakannya bersama pada malam hari.’ [Hampir] semua makanan dipersiapkan pada malam hari, sedikit pada siang hari. Demi cinta kasih dan penghormatan kepada Sang Bhagava, dan karena malu dan takut akan pelanggaran, kami meninggalkan makan di malam hari, yang di luar waktu selayaknya.


yang warna ungu ini saya kurang paham. Mungkin maksudnya tentang kesederhanaan 'makan secukupnya'?

note: link MN 66: http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,17773.msg290598.html#msg290598,
Kalau merujuk ke sutta lain yang pernah saya baca, Buddha mengatakan bahwa dirinya makan sekali saja dan karena itu ia merasa badannya sehat. Jadi kalau saya pribadi, memang Buddha menganjurkan makan secukupnya hanya untuk kebutuhan, menghindari kerakusan, juga baik untuk kesehatan.

Mengapa satu kali yang dipilih bukan pada siang dan malam? Sudah saya jelaskan juga bahwa itu berlatar-belakang budaya. Di Jambudvipa itu yang menjalankan pertapaan bukan hanya "Sangha Gotama" tapi banyak sangha2 petapa lainnya, dan memang sudah kebiasaan bagi mereka menerima dana makan sebelum tengah hari.


Quote
__________________________

Berdasarkan sutta itu, hal-hal yang menjadikan malam hari sebagai "waktu yang salah" (nomor 1-4), tidak berlaku bagi umat awam yang sebenarnya tidak mengembara mencari dana makanan.

Tapi IMHO, poin ke-lima yang menjadikan atthasila (tidak makan setelah tengah hari) berlaku bagi umat awam. CMIIW.

Tapi kalo seperti itu, memang jadinya lebih relatif sih. Kadar "secukupnya" bagi setiap orang itu beda-beda. Dan waktunya juga tidak harus sebelum tengah hari..

___________________________

Atau sila ke-6 adalah tentang "meniru para arahat" saja? Karena malam hari adalah waktu yang salah bagi Arahat yang notabene adalah bhikkhu yang mengembara mencari dana di malam hari. Jadi walaupun umat awam, tapi kita meniru para Arahat sehingga kita tidak makan di "waktu yang salah bagi para bhikkhu".
Nah, ini dia memang sumber permasalahannya. Kita mengikuti Arahant tidak makan lewat tengah hari, dengan alasan apa? Apa manfaatnya bagi kita, perumah tangga? Atau memang hanya tiru-tiru saja?

Intermezzo aja: Saya barusan kepikiran sesuatu. Anggap tengah hari jam 12, bhikkhu datang menerima dana pukul 11. Umat memberikan makanan kepada bhikkhu dulu, menunggu bhikkhu makan sampai tidak menambah lagi, lalu bhikkhu mengucapkan anumodana, kadang juga ditanya tentang dhamma. Setelah itu bhikkhu pergi, baru umatnya makan. Apa ga lewat jam 12 yah?


Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 28 May 2013, 02:42:06 PM
Ya, saya rasa tujuannya memang meniru arahat. Di link dari sumedho juga dikatakan begitu (dulu arahat berperilaku demikian, maka sekarang saya demikian).


[...]
Nah, ini dia memang sumber permasalahannya. Kita mengikuti Arahant tidak makan lewat tengah hari, dengan alasan apa? Apa manfaatnya bagi kita, perumah tangga? Atau memang hanya tiru-tiru saja?

Intermezzo aja: Saya barusan kepikiran sesuatu. Anggap tengah hari jam 12, bhikkhu datang menerima dana pukul 11. Umat memberikan makanan kepada bhikkhu dulu, menunggu bhikkhu makan sampai tidak menambah lagi, lalu bhikkhu mengucapkan anumodana, kadang juga ditanya tentang dhamma. Setelah itu bhikkhu pergi, baru umatnya makan. Apa ga lewat jam 12 yah?

Berikut ini quote dari Brahmajala Sutta (Digha Nikaya) 1:

Beliau makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam, menjauhi makan pada waktu yang salah.

Kalau HANYA berdasarkan kutipan itu, berarti waktu yang salah adalah di malam hari. Jadi kalau belum gelap, sebenarnya boleh...

Walaupun di catatan kakinya ada tulis:

‘Pada waktu yang salah’ artinya antara tengah hari dan fajar keesokan harinya.

Saya kurang tau, apakah ada referensi lain sebagai acuan catatan kaki tsb, sehingga siang hari setelah jam 12 juga adalah 'waktu yang salah'.
__________________
Note: link DN 1:

http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_1:_Brahmajala_Sutta
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 02:54:43 PM
Ya, saya rasa tujuannya memang meniru arahat. Di link dari sumedho juga dikatakan begitu (dulu arahat berperilaku demikian, maka sekarang saya demikian).

Berikut ini quote dari Brahmajala Sutta (Digha Nikaya) 1:

Beliau makan sekali sehari dan tidak makan pada waktu malam, menjauhi makan pada waktu yang salah.

Kalau HANYA berdasarkan kutipan itu, berarti waktu yang salah adalah di malam hari. Jadi kalau belum gelap, sebenarnya boleh...

Walaupun di catatan kakinya ada tulis:

‘Pada waktu yang salah’ artinya antara tengah hari dan fajar keesokan harinya.

Saya kurang tau, apakah ada referensi lain sebagai acuan catatan kaki tsb, sehingga siang hari setelah jam 12 juga adalah 'waktu yang salah'.
__________________
Note: link DN 1:

http://dhammacitta.org/dcpedia/DN_1:_Brahmajala_Sutta
Kalo sis Dhammadinna sendiri, seandainya ditanya oleh orang lain apa keuntungan makan sebelum tengah hari bagi perkembangan batin, akan menjawab apa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 28 May 2013, 03:07:46 PM
Kalo sis Dhammadinna sendiri, seandainya ditanya oleh orang lain apa keuntungan makan sebelum tengah hari bagi perkembangan batin, akan menjawab apa?

wah sebetulnya saya agak malu menjawabnya.

Dulu saya pernah atthasila, dan setelah selesai mengucapkan sila ke-6 (sebelum lanjut sila ke-7), saya akan bilang begini: "di kantor makan siang jam 12, saya tidak mungkin makan sebelum jam 12, tapi setelah makan siang saya tidak makan lagi". Tapi kalau begini, tidak benar juga ya?

Keuntungannya? hmm.. khusus untuk sila ke-6 saja ya... saya belum begitu merasakannya.

biasanya kalau ada makanan enak, saya biasanya makan lagi walaupun sebenarnya sudah cukup.. tapi waktu atthasila, idealnya kan mengendalikan nafsu itu. Tapi yang sering terjadi, adalah saya tidak makan (walaupun lapar). Saya sering bingung batasan antara menyiksa diri dan teguh menjalani sila*.

Saya cenderung berpatokan ke "waktu keramat", walaupun saya tau itu kurang tepat. Tapi itulah yang terjadi. Intinya, saya tidak makan karena saya sudah mengucapkan 'janji', bukan karena tujuan yang lebih mulia. Ini bagi saya sih, semoga orang lain tidak.

________________________
*Saya pernah baca kisah tentang pelayannya Anathapindika yang meninggal karena bekerja tapi tidak makan (atthasila). CMIIW.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 04:32:20 PM
wah sebetulnya saya agak malu menjawabnya.

Dulu saya pernah atthasila, dan setelah selesai mengucapkan sila ke-6 (sebelum lanjut sila ke-7), saya akan bilang begini: "di kantor makan siang jam 12, saya tidak mungkin makan sebelum jam 12, tapi setelah makan siang saya tidak makan lagi". Tapi kalau begini, tidak benar juga ya?

Keuntungannya? hmm.. khusus untuk sila ke-6 saja ya... saya belum begitu merasakannya.

biasanya kalau ada makanan enak, saya biasanya makan lagi walaupun sebenarnya sudah cukup.. tapi waktu atthasila, idealnya kan mengendalikan nafsu itu. Tapi yang sering terjadi, adalah saya tidak makan (walaupun lapar). Saya sering bingung batasan antara menyiksa diri dan teguh menjalani sila*.

Saya cenderung berpatokan ke "waktu keramat", walaupun saya tau itu kurang tepat. Tapi itulah yang terjadi. Intinya, saya tidak makan karena saya sudah mengucapkan 'janji', bukan karena tujuan yang lebih mulia. Ini bagi saya sih, semoga orang lain tidak.

________________________
*Saya pernah baca kisah tentang pelayannya Anathapindika yang meninggal karena bekerja tapi tidak makan (atthasila). CMIIW.
Thanks untuk jawaban & sharingnya. :)

Tapi kalau kita melakukan sesuatu yang tidak kita pahami manfaatnya, hanya mengikuti apa yang tertulis saja, bukankah ini sifat yang dogmatis, sementara *KATANYA* Agama Buddha adalah agama logis dan menyandang semboyan "Ehipasyika"?

Tambahan lagi kalau tidak repot, bagaimana dengan sila 'kursi'? Apa yang dijalankan, dan mengapa?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: seniya on 28 May 2013, 05:05:59 PM
Kalo pendapar Bhikkhu S. Dhammika tentang sila ke-6 ini:

Quote
The sixth of the eight Precepts and ten Precepts is Vikala bhojana vermani sikkhapadam samadhiami, I take the precept not to eat at the wrong time. 'Wrong time' (vikala) has long been interpreted to mean after noon or midday, although I know of no place in the suttas where this is specifically stated. The overall purpose of this rule is clear enough – to encourage moderation in eating (Sn.707) and to keep drowsiness due to a full stomach at bay. But the part about not eating after midday is less clear. The origin story in the Vinaya explaining this rule is unconvincing and obviously a later invention. According to this story, a monk was standing at someone's door late at night. As the woman of the house approached the door a sudden flash of lightening illuminated him, frightening the woman half to death, and to prevent this from happening again the Buddha instituted the rule. The only justification the Buddha gives for this rule is that it is good for the health and he does not mention what the 'wrong time' is other than to say the 'evening' or 'night' (ratti). He said, 'I do not eat in the evening and thus I am free from illness and affliction and enjoy health, strength and ease' (M.I,473). But I can see not reason why eating only in the morning should be any more or less healthy than eating only in the afternoon.

I suspect that the rule has its origins in two things. That eating before noon was already a well-established convention amongst wandering ascetics and the Buddha simply asked his monks and nuns to follow this convention. And the reason why this convention evolved in the first place was probably because, then as now, Indian peasant women cooked all the day's food early in the morning and the main meal of the day was in the morning. In other words, the most convenient time to go for alms gathering (pindapata) was in the morning. Noon was probably used as the cut-off point for not eating because it could be known exactly. Its also pretty certain also that monks and nuns only eat one meal a day because, not doing hard physical labour, they did not need that much food. So it is important to understand that noon is not some magical time, after which consuming food becomes a moral failing. It is just a convenient, and at that time a practical, way of dividing the day.

http://sdhammika.blogspot.com/2009/04/commandments-and-precepts_30.html

Just intermezzo ;D
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 28 May 2013, 05:14:27 PM
Thanks untuk jawaban & sharingnya. :)

Tapi kalau kita melakukan sesuatu yang tidak kita pahami manfaatnya, hanya mengikuti apa yang tertulis saja, bukankah ini sifat yang dogmatis, sementara *KATANYA* Agama Buddha adalah agama logis dan menyandang semboyan "Ehipasyika"?

Sebetulnya kita tau manfaatnya. Kita tau berdasarkan logika, dan mungkin dari apa yang pernah kita baca atau dengar. Misalnya, tidak makan setelah jam 12, kita meyakini, ini untuk mengurangi nafsu makan. Maka saya berjuang tidak makan setelah jam 12 pas. Dan saya menanti suatu Hadiah yang disebut “berkurangnya nafsu”.

Tapi saya tidak menikmati proses itu karena ada “keharusan” menepati janji. Lalu lama-kelamaan fokus saya lebih dominan ke ‘janji’ yang harus terpenuhi, atau  hadiah yang saya harapkan.

NOTE: tapi bagi kalian yang bisa menikmati proses itu dan mendapatkan ‘hadiah’ yang kalian harapkan, silakan lanjutkan..

Quote
Tambahan lagi kalau tidak repot, bagaimana dengan sila 'kursi'? Apa yang dijalankan, dan mengapa?

Selama ini saya tidak pernah pelajari detil kriteria kursi mewah, misalnya bahan atau ketinggiannya.

Kalau tempat tidur, setau saya tidak tinggi. Kalau tidur di tempat tidur, biasanya lebih empuk dan tidur berasa lebih nikmat. Kalau di lantai tidak terlalu enak. Tapi kalau sudah terbiasa tidur di lantai, makin lama makin enak-enak saja sih rasanya.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 05:33:51 PM
Kalo pendapar Bhikkhu S. Dhammika tentang sila ke-6 ini:
Quote
The sixth of the eight Precepts and ten Precepts is Vikala bhojana vermani sikkhapadam samadhiami, I take the precept not to eat at the wrong time. 'Wrong time' (vikala) has long been interpreted to mean after noon or midday, although I know of no place in the suttas where this is specifically stated. The overall purpose of this rule is clear enough – to encourage moderation in eating (Sn.707) and to keep drowsiness due to a full stomach at bay. But the part about not eating after midday is less clear. The origin story in the Vinaya explaining this rule is unconvincing and obviously a later invention. According to this story, a monk was standing at someone's door late at night. As the woman of the house approached the door a sudden flash of lightening illuminated him, frightening the woman half to death, and to prevent this from happening again the Buddha instituted the rule. The only justification the Buddha gives for this rule is that it is good for the health and he does not mention what the 'wrong time' is other than to say the 'evening' or 'night' (ratti). He said, 'I do not eat in the evening and thus I am free from illness and affliction and enjoy health, strength and ease' (M.I,473). But I can see not reason why eating only in the morning should be any more or less healthy than eating only in the afternoon.

I suspect that the rule has its origins in two things. That eating before noon was already a well-established convention amongst wandering ascetics and the Buddha simply asked his monks and nuns to follow this convention. And the reason why this convention evolved in the first place was probably because, then as now, Indian peasant women cooked all the day's food early in the morning and the main meal of the day was in the morning. In other words, the most convenient time to go for alms gathering (pindapata) was in the morning. Noon was probably used as the cut-off point for not eating because it could be known exactly. Its also pretty certain also that monks and nuns only eat one meal a day because, not doing hard physical labour, they did not need that much food. So it is important to understand that noon is not some magical time, after which consuming food becomes a moral failing. It is just a convenient, and at that time a practical, way of dividing the day.

http://sdhammika.blogspot.com/2009/04/commandments-and-precepts_30.html

Just intermezzo ;D
Nice one. Thanks. :)
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 28 May 2013, 05:43:16 PM
Sebetulnya kita tau manfaatnya. Kita tau berdasarkan logika, dan mungkin dari apa yang pernah kita baca atau dengar. Misalnya, tidak makan setelah jam 12, kita meyakini, ini untuk mengurangi nafsu makan. Maka saya berjuang tidak makan setelah jam 12 pas. Dan saya menanti suatu Hadiah yang disebut “berkurangnya nafsu”.

Tapi saya tidak menikmati proses itu karena ada “keharusan” menepati janji. Lalu lama-kelamaan fokus saya lebih dominan ke ‘janji’ yang harus terpenuhi, atau  hadiah yang saya harapkan.

NOTE: tapi bagi kalian yang bisa menikmati proses itu dan mendapatkan ‘hadiah’ yang kalian harapkan, silakan lanjutkan..
Ada alasan khusus mengapa harus sebelum jam 12? Misalnya seseorang bertekad mengurangi nafsu makan dan hanya makan sekali sehari, dalam porsi secukupnya, tapi orang ini Satpam shift malam yang jadwalnya berbeda dengan orang biasa (seperti contoh yang ada saya berikan sebelumnya), dan dia makan sekali, namun lewat tengah hari. Apakah latihan mengurangi nafsunya itu menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna karena jamnya berbeda? 


Quote
Selama ini saya tidak pernah pelajari detil kriteria kursi mewah, misalnya bahan atau ketinggiannya.
Salah satu yang sangat menarik, bahkan warnanya pun dipermasalahkan. Kalau ada senderan kepala dan kaki yang warnanya merah, tidak boleh. Entah takut diseruduk banteng atau terkait partai tertentu, saya juga kurang paham.


Quote
Kalau tempat tidur, setau saya tidak tinggi. Kalau tidur di tempat tidur, biasanya lebih empuk dan tidur berasa lebih nikmat. Kalau di lantai tidak terlalu enak. Tapi kalau sudah terbiasa tidur di lantai, makin lama makin enak-enak saja sih rasanya.
Setuju. Objek kenikmatan juga sepertinya tiap orang berbeda. Saya juga sudah terbiasa tidur di lantai, maka tidak merasa itu lebih tidak enak atau apa. Lagipula saya juga tidak ketemu pengaruhnya antara tinggi kaki ranjang dengan kenikmatan tidur.
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dhammadinna on 29 May 2013, 07:51:43 AM
Ada alasan khusus mengapa harus sebelum jam 12? Misalnya seseorang bertekad mengurangi nafsu makan dan hanya makan sekali sehari, dalam porsi secukupnya, tapi orang ini Satpam shift malam yang jadwalnya berbeda dengan orang biasa (seperti contoh yang ada saya berikan sebelumnya), dan dia makan sekali, namun lewat tengah hari. Apakah latihan mengurangi nafsunya itu menjadi kurang atau bahkan tidak bermakna karena jamnya berbeda?

Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.

Tentang sebelum jam 12, selama ini sih saya pikir, karena ditetapkan begitu ya sudah dijalani. Mungkin untuk melatih kedisiplinan (kalau tidak ditetapkan waktu yang pasti, orang bisa saja mengendorkan diri misalnya dia makan berkali-kali dengan alasan bahwa ia memang butuh). Eh tapi sebenarnya kalau ia serius, tidak mungkin juga seperti itu ya..

Kalau umat awam, hal ini tidak terlalu kaku. Kita bisa memilih apa yang baik menurut diri kita sendiri. Tapi bagaimana dengan bhikkhu yang aturannya tidak boleh suka-suka?

Apakah di vinaya ada tertulis tentang waktu makan ini? Ada disebutkan tentang 'afternoon' atau sebetulnya hanya 'wrong time' saja? atau ada disebutkan 'makan sekali saja dalam sehari'?

Saya liat di access to insight, Pacittiya no.37,

Eating staple or non-staple food in the period from noon till the next dawn is a pācittiya offense.

lalu ada link yang bisa diklik, lalu ditulis:

37. Should any bhikkhu chew or consume staple or non-staple food at the wrong time, it is to be confessed.


tidak tau mana yang benar. Kalo patokannya di MN 66 atau DN 1, kata kuncinya hanya "makan sekali", "malam hari", "waktu yang salah".

Maksud saya, kalau di vinaya ditetapkannya hanya boleh 'before noon', berarti seorang bhikkhu memang harus makan sebelum jam 12, terlepas dari apakah itu tercipta karena budaya saat itu kah, atau alasan lainnya.

Tapi kalau tidak ada batasan waktu yang pasti, mungkin akan muncul definisi berbeda-beda tentang "waktu yang salah" sesuai budaya/lingkungan setempat dimana sekumpulan bhikkhu tertentu berdiam. Apakah ini tidak masalah?
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 29 May 2013, 10:24:12 AM
Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.

Jangan jadi satpam... masa latihan di-sesuai-kan dengan profesi...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: dilbert on 29 May 2013, 10:34:28 AM
Berarti ini adalah kursi terlarang bagi orang masokis:

(http://www.subgenius.com/bigfist/fun/devivals/A-DAM2001/allphotos/13-SPIKE-CHAIR-TORTURE.JPG)

Saya membayangkan seorang masokis melaksanakan atthasila... pasti sudah bukan masokis lagi...
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 29 May 2013, 10:54:09 AM
Tentang satpam, latihan itu tetap bermakna.
OK.

Quote
Tentang sebelum jam 12, selama ini sih saya pikir, karena ditetapkan begitu ya sudah dijalani. Mungkin untuk melatih kedisiplinan (kalau tidak ditetapkan waktu yang pasti, orang bisa saja mengendorkan diri misalnya dia makan berkali-kali dengan alasan bahwa ia memang butuh). Eh tapi sebenarnya kalau ia serius, tidak mungkin juga seperti itu ya..
Betul, jika orang memang serius dan tahu apa yang dilatih (yaitu pengendalian diri terhadap makanan), maka ia juga akan mengurangi makan walaupun belum tengah hari. Tapi kembali lagi kalau orang memahami sila itu sebagai 'waktu keramat', maka apa yang diperhatikan adalah waktunya. Yang rakus tetap rakus, tidak ada perubahan. Hanya saja rakusnya sekarang dialokasikan di waktu keramat.

Quote
Kalau umat awam, hal ini tidak terlalu kaku. Kita bisa memilih apa yang baik menurut diri kita sendiri. Tapi bagaimana dengan bhikkhu yang aturannya tidak boleh suka-suka?
Ini juga sudah saya singgung, kalau umat awam jaman sekarang profesinya beraneka ragam, maka jam kegiatannya juga variatif. Kalau bhikkhu, semua seragam, dan seharusnya mengikuti aturan ini. Untuk umat awam juga kalau memang dipahami itu sebagai kedisiplinan dan memungkinkan dilakukan, tidak ada salahnya diikuti. Yang terpenting adalah pandangan benar saat melakukannya.


Quote
Apakah di vinaya ada tertulis tentang waktu makan ini? Ada disebutkan tentang 'afternoon' atau sebetulnya hanya 'wrong time' saja? atau ada disebutkan 'makan sekali saja dalam sehari'?

Saya liat di access to insight, Pacittiya no.37,

Eating staple or non-staple food in the period from noon till the next dawn is a pācittiya offense.

lalu ada link yang bisa diklik, lalu ditulis:

37. Should any bhikkhu chew or consume staple or non-staple food at the wrong time, it is to be confessed.


tidak tau mana yang benar. Kalo patokannya di MN 66 atau DN 1, kata kuncinya hanya "makan sekali", "malam hari", "waktu yang salah".

Maksud saya, kalau di vinaya ditetapkannya hanya boleh 'before noon', berarti seorang bhikkhu memang harus makan sebelum jam 12, terlepas dari apakah itu tercipta karena budaya saat itu kah, atau alasan lainnya.
"Waktu salah" ini dulu tidak ada. Ketika keluar larangan makan siang, maka makan siang jadi 'waktu salah'. Ketika keluar larangan makan malam, maka malam jadi 'waktu salah' juga. Jadi untuk bhikkhu, setelah keluar peraturan terakhir, memang sama saja antara "afternoon" dan "waktu salah".

Kalau di 'rumus' yang berulang dalam sutta, bunyinya "ekabhattiko hoti rattūparato, virato vikālabhojanā", secara literal "praktik sekali, pengendalian waktu malam, meninggalkan makanan di waktu salah". Saya kurang paham juga kenapa dalam atthasila 'ekabhattika'-nya hilang, padahal menurut saya, itu point utamanya. 


Quote
Tapi kalau tidak ada batasan waktu yang pasti, mungkin akan muncul definisi berbeda-beda tentang "waktu yang salah" sesuai budaya/lingkungan setempat dimana sekumpulan bhikkhu tertentu berdiam. Apakah ini tidak masalah?
Entahlah. Saya juga sudah singgung contoh ekstrem kalau kehidupan di kutub, siang dan malam juga tidak seperti di daerah tropis. Beda tempat, beda pula ukuran waktunya.

Dari kasus ini, saya ingin membahas bahwa dhamma secara esensi, selalu relevan. Namun secara bentuk praktiknya, itu relatif dan bisa berubah. Jika kita mempertahankan praktik luarnya, tapi bukan esensinya, maka praktik itu adalah sia-sia. Namun jika esensinya yang kita pertahankan, walaupun praktik luarnya sudah tidak sama persis, tetap akan bermanfaat.

Untuk topik ini, buat saya sudah cukup pembahasannya, jadi tidak melanjutkan lagi. Jawaban dari sis dhammadinna juga sudah cukup memuaskan bagi saya. Kalau mau memberikan kesimpulan penutup, silahkan. Saya teringat beberapa waktu lalu di satu forum luar negeri, seorang member mengatakan bahwa membahas dhamma di antara para fundamentalist adalah kesia-siaan.

Title: [Note] Meniru Perilaku "Dewa"
Post by: K.K. on 29 May 2013, 11:34:24 AM
Pada saat perang dunia II, penduduk asli di Pulau Tanna, hampir tidak pernah bertemu dengan orang luar. Ketika tempat itu dipakai sebagai pangkalan militer AS, maka mereka melihat banyak 'keajaiban' dari 'orang putih', barang-barang pabrik, kendaraan, sampai pesawat terbang. Namun sepertinya yang paling mengesankan mereka adalah bagaimana para 'utusan tuhan' ini melakukan ritual yang mendatangkan berkah dari langit berupa kotak berisi barang-barang kebutuhan mereka.

Setelah perang selesai, militer keluar dari sana, namun keyakinan dan kepercayaan mereka tetap kuat. Mereka melakukan tarian seragam (seperti para tentara berlatih dan berbaris) sambil memegang kayu panjang (seperti senapan), menulis lambang yang dipakai oleh 'deva' mereka ("USA"), mereka membangun panggung tinggi (seperti menara kontrol), memahat kayu untuk diletakkan di telinga (menyerupai headset dan telepon satelit), dan mengucapkan 'doa'. Mereka mengharapkan datangnya berkah kotak dari langit (cargo).

(http://burnafterreadingmag.com/wp-content/uploads/2012/12/john-frum-day-03.jpg)
[Baris-berbaris dengan simbol "USA"]

(http://www.rusticaobsessa.com/wp-content/uploads/2011/05/CargoCult.jpg)
[Tarian dan "replika" pesawat terbang]

(http://www.tycheshepherd.com/images/cargo_cult_002.jpg)
["Menara radio" dan klinik]

(http://www.vladsokhin.com/assets/images/stories/Cargo_Cult/cargo_cult_19.jpg)
["Gergaji mesin"]

Namun tentu saja pada kenyataannya, berkah itu dari langit itu tidak datang, sebab mereka hanya meniru bentuk yang tampak saja, bukan memahami apa yang dilakukan oleh para 'utusan deva' itu.
Title: [Note] Jhana
Post by: K.K. on 23 September 2013, 11:29:50 AM
"... vivicceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi savitakkaṃ savicāraṃ vivekajaṃ pītisukhaṃ paṭhamaṃ jhānaṃ upasampajja viharati. 

vitakkavicārānaṃ vūpasamā ajjhattaṃ sampasādanaṃ cetaso ekodibhāvaṃ avitakkaṃ avicāraṃ samādhijaṃ pītisukhaṃ dutiyaṃ jhānaṃ upasampajja viharati

pītiyā ca virāgā upekkhako ca viharati, sato ca sampajāno sukhañca kāyena paṭisaṃvedeti, yaṃ taṃ ariyā ācikkhanti – ‘upekkhako satimā sukhavihārī’ti tatiyaṃ jhānaṃ upasampajja viharati

sukhassa ca pahānā dukkhassa ca pahānā pubbeva somanassadomanassānaṃ atthaṅgamā adukkhamasukhaṃ upekkhā satipārisuddhiṃ catutthaṃ jhānaṃ upasampajja viharati."
[DN 1, 2, 3, 9, 10, 22, 33; MN 4, 8, 10, 13, 19, 25, 26, 27, 30, 31, 36, 38, 39, 45, 51, 52, 53, 60, 65, 77, 94, 100, 101, 107, 111, 112, 113, 125, 138, 139, 141; SN 16.1.9, 21.1.1, 28.1.1-4, 36.2.9, 36.3.10, 40.1.1-4, 45.1.9, 48.1.10, 48.4.10, 53, 54.1.8, AN 2.1.2, 3.2.1.8, 3.2.2.2, 3.2.3.4, 4.3.3.3, 4.4.2.3, 5.1.2.4, 7.1.5.10, 8.1.2.1, 8.1.3.10, 9.1.4.4, 11.1.2.7]


"... savitakkampi savicāraṃ samādhiṃ bhāvesiṃ, avitakkampivicāramattaṃ samādhiṃ bhāvesiṃ, avitakkampi avicāraṃ samādhiṃ bhāvesiṃ, sappītikampi samādhiṃ bhāvesiṃ, nippītikampi samādhiṃ bhāvesiṃ, sātasahagatampi samādhiṃ bhāvesiṃ, upekkhāsahagatampi samādhiṃ bhāvesiṃ."
[MN 128, AN 8.2.2.3]


"... Savitakkasavicāro samādhi, avitakkavicāramatto samādhi, avitakkaavicāro samādhi ... "
[SN 43.1.3]


"... paṭhamaṃ jhānaṃ samāpannassa bhikkhuno vitakko ca vattati, vicāro ca pīti ca sukhañca cittekaggatā ca.
[MN 43]

_______________________________________________________________

Abhidhammattha-saṅgaha

Rūpāvacaracittāni (kusala, vipaka, kiriya)

Vitakka—Vicāra—Pīti—Sukh ’Ekaggatā—sahitaṃ Pathamajjhāna

Vicāra—Pīti—Sukh ’Ekaggatā—sahitaṃ Dutiyajjhàna

Pīti—Sukh’Ekaggatā—sahitaṃ Tatiyajjhāna

Sukh’ekaggatā— sahitaṃ Catutthajjhāna

Upekkh’ekaggatā— sahitaṃ Pañcamajjhāna

_______________________________________________________________

Abhidharma-kośa

Prathamadhyāna: vitarka, vicara, priti, sukha, samadhi

>>dhyānatara: vicara, priti, sukha, samadhi

Dvitīyadhyāna: adhyatmasamprasada, priti, sukha, samadhi

Tritīyādhyāna: upeksa, smrti, samprajanya, sukha, samadhi

Caturthadhyāna: smrtiparisuddhi, upeksaparisuddhi, aduhkhasukhavedana, samadhi


Title: karma n tehnology
Post by: cumi polos on 24 September 2013, 03:47:10 AM
apakah kerjanya karma akan berubah dgn perkembangannya tehnology ?
apakah dunia maya (internet) juga merupakan ladang yg baik utk menanam karma baik ?

maksudnya :
1. bila kita memberikan segelas air minum pada orang lain, maka air minum kita
    dirumahpun akan berkurang satu gelas.

2. tapi pada saat ini, kita menulis artikle bagus tentang buddhisme, dan di upload
    ke internet/server, dan tulisan kita (pdf) tsb dpt didownload oleh orang banyak
    tanpa mengurangin sedikitpun yg kita tulis (tidak seperti buku, yg berkurang
    kalao dibagikan).

3. dgn adanya teknology internet ini, pdf tsb dpt menjangkao begitu banyak orang
    tanpa banyak effort dari sipembuat lagi...

 _/\_ :x
Title: Re: Merespon Pertanyaan Rekan-rekan
Post by: K.K. on 24 September 2013, 09:28:45 AM
apakah kerjanya karma akan berubah dgn perkembangannya tehnology ?
apakah dunia maya (internet) juga merupakan ladang yg baik utk menanam karma baik ?
Dunia maya atau nyata cuma beda media komunikasi saja. Kalau sudah interaksi dengan orang lain, tentu ada kesempatan untuk berbuat baik bagi orang lain. Misalnya orang di desa lagi kurang listrik mo bikin dari sumber alternatif, 'kan bisa nanya sama bro cumpol yang idenya kreatif. Nanti dijelaskan, lalu mereka berhasil bikin, perbuatan baik sudah terjadi.


Quote
maksudnya :
1. bila kita memberikan segelas air minum pada orang lain, maka air minum kita
    dirumahpun akan berkurang satu gelas.
Perbuatan baik ga harus berupa materi, bisa berupa ide, penyebaran informasi, solusi, konsultasi, atau bahkan sekadar sharing juga bisa membantu orang lain.


Quote
2. tapi pada saat ini, kita menulis artikle bagus tentang buddhisme, dan di upload
    ke internet/server, dan tulisan kita (pdf) tsb dpt didownload oleh orang banyak
    tanpa mengurangin sedikitpun yg kita tulis (tidak seperti buku, yg berkurang
    kalao dibagikan).
Iya, sama saja, fasilitas memang mempermudah dilakukannya perbuatan baik, juga buruk.


Quote
3. dgn adanya teknology internet ini, pdf tsb dpt menjangkao begitu banyak orang
    tanpa banyak effort dari sipembuat lagi...
Saya pikir kalo perbuatan ga tergantung seberapa merepotkannya untuk disebut baik, yang penting dari niat dan manfaat yang diberikan. Justru kalo dari ajaran Buddha memang tujuannya adalah berdana dengan bijak, dengan kadar merepotkan paling kecil, tapi bermanfaat paling besar.

Pemberian paling bernilai adalah yang berdasarkan cinta kasih dan tanpa keserakahan pahala.

Title: [Note] "Sammasambuddho Bhagava"
Post by: K.K. on 26 April 2014, 10:14:58 AM
[...]‘‘So evaṃ pabbajito samāno bhikkhūnaṃ sikkhāsājīvasamāpanno pāṇātipātaṃ ... adinnādānaṃ ... abrahmacariyaṃ ... musāvādaṃ ... pisuṇaṃ vācaṃ ... pharusaṃ vācaṃ ... samphappalāpaṃ pahāya samphappalāpā paṭivirato hoti ...
“Setelah meninggalkan keduniawian dan memiliki latihan dan gaya hidup kebhikkhuan, meninggalkan, menghindari pembunuhan ... perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan ... kehidupan tidak-selibat ... ucapan salah ... ucapan jahat ... ucapan kasar ... gosip ...

‘‘So bījagāmabhūtagāmasamārambhā ... vikālabhojanā, naccagītavāditavisūkadassanā ... mālāgandhavilepanadhāraṇamaṇḍanavibhūsanaṭṭhānā ... uccāsayanamahāsayanā ... jātarūparajatapaṭiggahaṇā ... āmakadhaññapaṭiggahaṇā ... āmakamaṃsapaṭiggahaṇā ...
itthikumārikapaṭiggahaṇā ... dāsidāsapaṭiggahaṇā ... ajeḷakapaṭiggahaṇā ... kukkuṭasūkarapaṭiggahaṇā ... hatthigavāssavaḷavāpaṭiggahaṇā ... khettavatthupaṭiggahaṇā ... dūteyyapahiṇagamanānuyogā ... kayavikkayā ... tulākūṭakaṃsakūṭamānakūṭā ... ukkoṭanavañcananikatisāciyogā ... chedanavadhabandhanaviparāmosaālopasahasākārā paṭivirato hoti ...

“Ia menghindari merusak benih dan tanaman ... makan di luar waktu yang selayaknya ... tarian, nyanyian, musik, dan pertunjukan hiburan ... kalung bunga, wewangian, dan menghias dirinya dengan salep ... dipan yang tinggi dan besar ... emas dan perak ... beras mentah ... daging mentah... menerima perempuan-perempuan dan gadis-gadis ... menerima budak laki-laki dan perempuan ... menerima kambing dan domba ... menerima unggas dan babi ... gajah, sapi, kuda jantan, dan kuda betina ... menerima ladang dan tanah ... menjadi pesuruh dan penyampai pesan ... membeli dan menjual ... timbangan salah, logam palsu, dan ukuran salah ... kecurangan, penipuan, penggelapan, dan muslihat ... melukai, membunuh, mengikat, merampok, menjarah, dan kekerasan.
[...]
‘‘So ime pañca nīvaraṇe pahāya cetaso upakkilese paññāya dubbalīkaraṇe, vivicceva kāmehi
vivicca akusalehi dhammehi savitakkaṃ savicāraṃ vivekajaṃ pītisukhaṃ paṭhamaṃ jhānaṃ upasampajja
viharati. Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ
itipi. Na tveva tāva ariyasāvako niṭṭhaṃ gacchati – ‘sammāsambuddho bhagavā,
svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho’ti
.

“Setelah meninggalkan kelima rintangan ini, ketidak-murnian pikiran yang melemahkan kebijaksanaan, dengan cukup terasing dari kenikmatan indria, terasing dari kondisi-kondisi tidak bermanfaat, ia masuk dan berdiam dalam jhāna pertama, yang disertai dengan awal pikiran dan kelangsungan pikiran, dengan kegembiraan dan kenikmatan yang muncul dari keterasingan. Ini, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

‘‘Puna caparaṃ, brāhmaṇa, bhikkhu ... dutiyaṃ ... tatiyaṃ ... catutthaṃ jhānaṃ upasampajja viharati. Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ itipi. Na tveva tāva ariyasāvako niṭṭhaṃ gacchati – ‘sammāsambuddho bhagavā, svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho’ti.
“Kemudian ... seorang bhikkhu masuk dan berdiam dalam jhāna ke dua ... jhāna ke tiga ... jhāna ke empat, yang tanpa kesakitan juga tanpa kenikmatan dan memiliki kemurnian perhatian karena keseimbangan. Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’


‘‘So evaṃ samāhite citte parisuddhe pariyodāte anaṅgaṇe vigatūpakkilese mudubhūte kammaniye ṭhite āneñjappatte pubbenivāsānussatiñāṇāya ... sattānaṃ cutūpapātañāṇāya ... āsavānaṃ khayañāṇāya cittaṃ abhininnāmeti ... Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ itipi. Na tveva tāva ariyasāvako niṭṭhaṃ gato hoti, api ca kho niṭṭhaṃ gacchati – ‘sammāsambuddho bhagavā, svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho’ti
“Ketika pikirannya yang terkonsentrasi sedemikian murni, cerah, tanpa noda, bebas dari ketidak-sempurnaan, lunak, lentur, kokoh, dan mencapai kondisi tanpa-gangguan, ia mengarahkannya pada pengetahuan mengingat kehidupan lampau ... pengetahuan kematian dan kelahiran kembali makhluk-makhluk ... pengetahuan hancurnya noda-noda ... Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata, tetapi seorang siswa mulia belum sampai pada kesimpulan, masih dalam proses menuju kesimpulan ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’

‘‘Tassa evaṃ jānato evaṃ passato kāmāsavāpi cittaṃ vimuccati, bhavāsavāpi cittaṃ vimuccati,
avijjāsavāpi cittaṃ vimuccati. Vimuttasmiṃ vimuttamiti ñāṇaṃ hoti. ‘Khīṇā jāti, vusitaṃ brahmacariyaṃ,
kataṃ karaṇīyaṃ, nāparaṃ itthattāyā’ti pajānāti. Idampi vuccati, brāhmaṇa, tathāgatapadaṃ
itipi, tathāgatanisevitaṃ itipi, tathāgatārañjitaṃ itipi. Ettāvatā kho, brāhmaṇa, ariyasāvako
niṭṭhaṃ gato hoti – ‘sammāsambuddho bhagavā, svākkhāto bhagavatā dhammo, suppaṭipanno bhagavato
sāvakasaṅgho’ti.

“Ketika ia mengetahui dan melihat demikian, batinnya terbebas dari noda keinginan indria, bebas dari noda penjelmaan, dan dari noda kebodohan. Ketika terbebaskan, muncullah pengetahuan: ‘Terbebaskan.’ Ia memahami: ‘Kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak akan ada lagi penjelmaan menjadi kondisi makhluk apapun.’ Ini juga, Brahmana, disebut jejak kaki Sang Tathāgata, sesuatu yang digoreskan oleh Sang Tathāgata, sesuatu yang ditandai oleh Sang Tathāgata. Pada titik ini seorang siswa mulia telah sampai pada kesimpulan: ‘Sang Tathāgata telah tercerahkan sempurna, Dhamma telah dibabarkan dengan sempurna oleh Sang Bhagavā, Sangha mempraktikkan jalan yang baik.’
[...]
Majjhimanikāya, Cūḷahatthipadopamasuttaṃ


-------
"If you could reason with religious people, there'd be no religious people"
-Gregory House-
Title: [Note] Literary Features
Post by: K.K. on 30 June 2014, 12:10:32 PM
4.2.2 Vocabulary

The vocabulary of the EBTs is derived from the Upaniṣads and other contemporary sources, while the non-EBTs derive theirs from the EBTs and later trends.

The vocabulary of the EBTs is different from that of other Buddhist texts. The easiest way to see this difference is to compare passages in the EBTs with parallel passages in other Buddhist literature. Such comparison suggests that the other texts belong to a later chronological stratum than the EBTs. There are countless examples of this, one of which is the standard formula for satipaṭṭhāna as found in the EBTs compared with that found in the Vibhaṅga of the Abhidhamma.
1. The standard satipaṭṭhāna formula of the Suttas is as follows (e.g.MN 10.3):
Idha, bhikkhave, bhikkhu kāye kāyānupassī viharati ātāpī sampajāno satimā, vineyya loke abhijjhādomanassaṁ.
2. The satipaṭṭhāna formula of the Suttanta-bhājanīya (“Sutta analysis”) of the Vibhaṅga is as follows (Vibh 193,1):
idha bhikkhu ajjhattaṁ kāye kāyānupassī viharati bahiddhā kāye kāyānu-
 passīviharatiajjhattabahiddhākāyekāyānupassīviharatiātāpīsampajāno satimā vineyya loke bhijjhādomanassaṁ.
3.  And the satipaṭṭhāna formula of the Abhidhamma-bhājanīya (“Abhidhamma analysis”) of the Vibhaṅga is as follows (Vibh 203,1):
Idha bhikkhu yasmiṁ samaye lokuttaraṁ jhānaṁ bhāveti niyyānikaṁ apacayagāmiṁdiṭṭhigatānaṁpahānāyapaṭhamāyabhūmiyāpattiyāvivicceva kāmehi …pe… paṭhamaṁ jhānaṁ upasampajja viharati dukkhapaṭipadaṁdandhābhiññaṁkāyekāyānupassī,yātasmiṁsamayesatianussati
 sammāsati satisambojjhaṅgo maggaṅgaṁ maggapariyāpannaṁ—idaṁ vuccati “satipaṭṭhānaṁ”. Avasesā dhammā satipaṭṭhānasampayuttā.

The first formula is the standard Sutta formula, whereas the second one constitutes the earliest development of the Abhidhammma. It is only at the third stage that we fnd the formula in fully fledged Abhidhamma style.
The formula in stage 2 is virtually identical with the Sutta formula, and in fact the formula is found in this form in some non-Pali EBTs. This close relationship is to be expected since this constitutes an analysis according
to the Suttas. Yet further on in the same Sutta analysis typical Abhidhamma vocabulary, such as svāvatthitaṁ
and vavatthāpeti, is introduced (Vibh.193,24). We seem to be witnessing the beginning of the Abhidhamma
method. At stage 3 we have the analysis according to the Abhidhamma. Here the whole satipaṭṭhāna  formula is completely transformed and we see a range of vocabulary that is either unknown to the EBTs or used in a new sense:  yasmiṁ samaye, lokuttaraṁ jhānaṁ, paṭhamāya bhūmiyā, avasesā dhammā, satipaṭṭhānasampayuttā, and so on. This is just one example of a pattern that plays out, not just here, but in every major doctrinal context or formula.

[...]

4.2.4 Style
The EBTs tend to be straight to the point and realistic, whereas non-EBTs are often highly embellished and full of supernatural events.

The EBTs are generally realistic and restrained in their portrayal of the Buddha and his environment, and the details do not seem unreasonable for what we know of the historical period and geographical area. For instance,
the Buddha is rarely portrayed as displaying supernormal powers, and when he is they often have the hallmarks of being later insertions.
Non-EBTs, by contrast, are often florid and full of supernormal phe-nomena. This is true for the entire Buddhist tradition, but especially so for the Mahāyāna Sūtras. The Mahāyāna Sūtras generally lack the realism of the EBTs [4, 199] [5, 49]. This difference can be appreciated by considering the opening narra-tive of a typical text in the Majjhima Nikāya compared to the opening of aclassical Mahāyāna text from the Prajñā-pāramitā corpus. A typical Sutta in the Majjhima Nikāya starts as follows:

“Thus have I heard. On one occasion the Blessed One was living at Sāvatthī in Jeta’s Grove, Anāthapiṇḍika’s Park. There he addressed the bhikkhus thus: …”

A short extract (about 10%) of the opening of the the Large Prajñā-pāramitā Sūtra, according to Conze’s translation[3,37–39], reads as follows:

 “Thus have I heard. At one time the Lord dwelt at Rājagṛha, on the Vulture Peak, together with a large gathering of monks, with 1,250 monks, all of them Arhats—their outflows dried up, undefiled, fully controlled, quite freed in their hearts,well freed and wise, thorough-breds, great Serpents, their work done, their task accomplished, their burden laid down, their own weal accomplished, with the fetters that bound them to becoming extinguished, their hearts well freed by right understanding, in perfect control of their wholeminds—with 500 nuns, laymen, and laywomen, all of them liberated in this present life—and with hundreds of thousands of niyutas of koṭis of Bodhisattvas. … Thereupon the Lord on that occasion putout his tongue. With it he covered the great trichiliocosm and many hundreds of thousands of niyutas of koṭis of rays issued from it. From each one of these rays there arose lotuses, made of the finest precious stones, of golden colour, and with thousands of petals; andon those lotuses there were, seated and standing, Buddha-frames
demonstrating dharma, i.e. this very demonstration of dharma associated with the six perfections. They went in all the ten directions to countless world systems in each direction, and demonstrated dharma to beings, i.e. this very demonstration of dharma associated with the six perfections. And the beings who heard this demonstration of dharma, they became fixed on the utmost, right and perfect enlightenment.”

This is an entirely dfferent kind of literature, one which is completely uninterested in history; so much so that it flaunts its creativity. The purpose of the introduction is no longer to identify time and place, but to lift
the reader out of history to a timeless realm of Dharma. Differences in style manifest in other ways too. Rhys Davids comments as follows on the stylistic difference between earlier and later works in the Theravāda tradition:

“The philosophic ideas of the ancient Buddhism, and the psychological ideas on which they were based, were often curtly, naively, confusedly expressed. In Ceylon they had been much worked up, polished, elucidated, systematised. From several works now acces-sible we know fairly well the tone and manner of these later—and,
as they must have seemed to Ceylon scholars, clearer, fuller—statements of the old ideas. In no single instance yet discovered has this later tone and manner found its way into the canonical books .” [6, ch. 10]

-The Authenticity of the Early Buddhist Texts-
Title: Yesus adalah Bhikkhu?
Post by: K.K. on 05 November 2019, 05:48:04 PM
Seorang teman share link artikel (https://www.disclose.tv/bbc-documentary-proves--was-a-buddhist-monk-named-issa-314782) untuk dikomentari.

Artikel singkat ini menjelaskan aneka dugaan tentang Yesus yang masa kecilnya belajar Buddhisme di India, juga kemungkinannya tidak mati disalib, tapi tetap hidup dan pindah ke wilayah India. Berbagai dugaan ini menggunakan dasar dari salah satu tayangan BBC yang juga ditautkan di akhir artikel. Secara umum, tayangan ini terbagi menjadi beberapa bagian berdasarkan topiknya. Di awal dibahas tentang kemungkinan Yesus tidak mati disalib, kemudian membahas berbagai legenda dan conspiracy theory, dan terakhir tentang tradisi dan kepercayaan tentang Yesus di India. Lebih detailnya bisa ditonton langsung.




I. Yesus Tidak Mati Disalib

Swoon Hypothesis adalah berbagai dugaan tentang Yesus tidak mati disalib, sama sekali bukan barang baru dan telah muncul sejak akhir abad 18. Premisnya adalah Yesus pingsan (swoon) ketika masih di salib, diduga telah mati, jadi diturunkan lebih awal dan kemudian 'hidup' kembali. Detailnya dapat bervariasi: Yesus dengan sengaja memalsukan kematiannya dengan menggunakan obat bius dan kemudian 'dibangkitkan' kembali (Karl Friedrich Bahrdt); Yesus koma dan kebetulan tersadar kembali di goa kuburnya (Heinrich Paulus); dan lain sebagainya.

Contoh argumen pendukung:
Ditinjau dari analisa historis, keempat Injil adalah anonim—berbeda dengan tradisi yang menempatkan Matius & Yohanes sebagai tulisan murid Yesus langsung, Markus sebagai asisten Petrus, dan Lukas sebagai teman seperjalanan Paulus—ditulis skitar 40-70 tahun setelah Yesus, sehingga bukan merupakan catatan saksi-mata. Karena itu, secara sebenar-benarnya, kita tidak mengetahui bagaimana detailnya. Namun jika kita asumsikan narasi dalam Injil adalah benar untuk dianalisa secara medis, contoh argumen di atas tetap tidak meyakinkan karena: 

Inilah sebabnya dugaan seperti ini pada masa sekarang masih hangat dibicarakan hanya di kalangan conspiracy theorists atau peminat fantasi, bukan di kalangan akademisi.


II. Berbagai Legenda Terkait Kehidupan Yesus Setelah Penyaliban

Bagian berikutnya berkutat pada kisah Bérenger Saunière, seorang pastor Katholik yang dikatakan kaya mendadak karena menemukan harta terpendam, yang kemungkinan berhubungan dengan relik Maria Magdalena. 

Legenda ini sebenarnya berasal dari gossip. Noël Corbu di tahun 1950-an membuka restoran dan menyebarkan kisah Saunière yang tidak sengaja menemukan sebuah perkamen yang tersembunyi di altar gereja tuanya. Perkamen itu merupakan lokasi rahasia penyimpanan emas yang merupakan kelebihan dari uang yang dikumpulkan Blanche of Castile untuk menebus tawanan perang. Kisah ini kemudian menjadi terkenal.

Tahun 1960-an, Philippe de Chérisey membuat perkamen palsu yang isinya adalah rahasia keturunan Dagobert II yang ditulis dalam sandi.
(http://www.cromleck-de-rennes.com/images/parchments.jpg)

Juga ada Pierre Plantard de Saint-Clair membuat hoax tentang ordo rahasia fiktif Prieuré de Sion (yang meminjam sekilas karakteristik ordo Abbey of Our Lady of Mount Zion,) yang kemudian dibumbui fiksi. Dikatakan ordo ini bertujuan untuk mengembalikan silsilah murni Merovingian dynasty ke takhtanya. Dua elemen utama ini: perkamen palsu dan hoax ordo fiksi, diadaptasi ke dalam gossip Corbu tentang “harta karun Saunière” menjadi buku berjudul L'Or de Rennes oleh Gérard de Sède.

Kisah ini kemudian dikembangkan lagi dan dituliskan dalam bestseller The Holy Blood and the Holy Grail tahun 1982. Penulisnya melakukan penelitian dan menyimpulkan secara keliru karena tidak mengetahui bahwa sumber rujukannya (buku Sède) adalah hoax. Tahun 2003, kisah ini diadaptasi kembali ke dalam Da Vinci Code oleh Dan Brown. Walaupun Plantard telah membongkar dan mengakui perbuatannya, namun masih banyak yang terlanjur percaya dengan kisah ini dan tetap mempertahankannya.


III. Tradisi dan Kepercayaan tentang Yesus di India

Bagian terakhir adalah mengenai kemungkinan Yesus pergi ke India, baik di masa remaja (umur 12-29 yang tidak ada catatannya di Injil), maupun setelah penyaliban. Bagian tentang “Yuz Asaf” di “Kashmir” itu saya tidak tahu siapa nara sumber dalam tayangan, mungkin adalah penganut Ahmadiyya?

Bilawhar wa-Yudasaf (Barlamus et Iosaphatus/Barlaam and Josaphat) adalah legenda orang suci (Kr1sten) yang mengadopsi kisah dari Buddha Gotama (Mahayana): Raja dari India yang mempersekusi orang Kr1sten diramalkan akan memiliki anak yang suatu saat akan menjadi Kr1sten. Sang Raja kemudian mengurung anaknya namun tetap bertemu dengan Santo Barlaam dan menjadi Kr1sten. Pendek cerita, ayahnya kemudian juga bertobat dan memberikan takhtanya kepada Josaphat.

David Marshall Lang dalam The Wisdom of Balahvar menjelaskan kesalahan dari tanda diakritik pada bahasa Arab yang mengubah Budhasaf (bodhisattva) mejadi Yudasaf, Iodasaph, dan Yuzasaf. Serta kekeliruan Kashmir-Kusinara dan Yudasaf-Yosaphat membuat “Budhasaf yang meninggal di Kusinara” menjadi “Yuzasaf yang meninggal di Kashmir”. Kesalah-kaprahan ini yang membuat Mirza Ghulam Ahmad (pendiri Ahmadiyya) keliru memahami "Yesus meninggal di Kashmir".

Topik lainnya adalah klaim dari Nicolas Notovitch, tahun 1887, bahwa ketika ia berada di Kuil Hemis di Ladakh, ia menemukan dokumen tentang kisah kehidupan “Issa” yang meninggalkan Yerusalem pada umur 13 tahun dan pergi ke India belajar Veda dari para Brahmana. Setelah 6 tahun, ia pergi ke Tibet mempelajari Buddhisme. Ketika berumur 29, ia kembali ke Yerusalem.

Tentu saja ketika dikonfirmasi oleh berbagai pihak, tidak ada pernah ada dokumen demikian di Kuil Hemis, bahkan kepala kuil mengatakan tidak ada pengunjung barat selama 15 tahun terakhir, dan tidak ada dokumen semacam itu. Semua penelitian terhadap klaimnya tidak menemukan bukti kebenaran apapun. Namun tentu saja Notovitch mendapatkan uang banyak. Kisah ini juga didaur ulang seperti oleh Holger Kersten pada tahun 1983, Jesu lebte in Indien (Yesus Hidup di India). Saat ini, tidak ada sejarawan yang menanggapi serius klaim ini. Namun sepertinya cukup terkenal di komunitas Buddhis. Setidaknya dari pengalaman saya, sudah berkali-kali ditanyakan mengenai topik ini.


Kesimpulannya: aneka hoax, pemalsuan, dan legenda yang bertumpu pada hipotesis invalid, dikemas dalam satu tayangan. Saya bahkan tidak tahu apakah BBC sudah tidak punya kredibilitas, ada alasan lain, atau sedang trolling.

Title: Yesus dan Makanan
Post by: K.K. on 19 August 2022, 05:44:07 PM
*Historical Critisism, bukan tafsir teologis, tidak relevan dengan pengukuhan/pembantahan doktrin. 


Markus 7:1-23 TB
7:1 Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus.
7:2 Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh.
7:3 Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka;
7:4 dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga.
7:5 Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: "Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?"
7:6 Jawab-Nya kepada mereka: "Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.
7:7 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.
7:8 Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia."

Farisi adalah salah satu sekte Yahudi yang berkembang pada masa Bait Allah ke-2 (515 BCE - 70 CE), termasuk masa Yesus. Mereka memegang tradisi “Taurat Lisan” —dipercaya diturunkan kepada Musa secara tak tertulis— yang memberikan penjelasan mengenai Taurat, baik cara pelaksanaan dan tafsir. Tradisi ini tidak diakui oleh kelompok lain. Isu yang diangkat oleh pihak Farisi di sini bukan mengenai kategori makanan haram atau halal (yang diatur dalam Ima 11 & Ula 14) yang termasuk Taurat dan jelas tidak dipertentangkan oleh kaum Yahudi; namun tafsiran dari Taurat mengenai cuci tangan sebelum makan yang adalah tradisi lisan dan memang diperdebatkan oleh sekte berbeda.
(Ima 15 memberikan aturan mencuci tangan dan pakaian untuk menghilangkan sesuatu yang kotor/najis secara umum; Kel 30 mengharuskan para imam mencuci tangan sebelum masuk ke Kemah Pertemuan atau melakukan pengorbanan di mezbah. Tradisi Farisi menganggap aturan ini juga berlaku di luar Bait Allah, untuk semua orang Yahudi.)

7:9 Yesus berkata pula kepada mereka: "Sungguh pandai kamu mengesampingkan perintah Allah, supaya kamu dapat memelihara adat istiadatmu sendiri.
7:10 Karena Musa telah berkata: Hormatilah ayahmu dan ibumu! dan: Siapa yang mengutuki ayahnya atau ibunya harus mati.
7:11 Tetapi kamu berkata: Kalau seorang berkata kepada bapanya atau ibunya: Apa yang ada padaku, yang dapat digunakan untuk pemeliharaanmu, sudah digunakan untuk korban--yaitu persembahan kepada Allah--,
7:12 maka kamu tidak membiarkannya lagi berbuat sesuatupun untuk bapanya atau ibunya.
7:13 Dengan demikian firman Allah kamu nyatakan tidak berlaku demi adat istiadat yang kamu ikuti itu. Dan banyak hal lain seperti itu yang kamu lakukan."

Konteks perintah Allah vs adat istiadat diperjelas dengan argumen dan contoh kontra-tradisi dari Yesus.

7:14 Lalu Yesus memanggil lagi orang banyak dan berkata kepada mereka: "Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah.
7:15 Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya."
7:16 (Barangsiapa bertelinga untuk mendengar hendaklah ia mendengar!)
7:17 Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu.
7:18 Maka jawab-Nya: "Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya,
7:19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal.
7:20 Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya,
7:21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan,
7:22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.
7:23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang."

Argumen dari Yesus adalah 'bukan hal luar yang masuk ke seseorang yang menajiskan (karena akhirnya akan keluar lagi), melainkan sesuatu yang keluar dari orang: perbuatan-perbuatan jahat yang berasal dari hati dan pikiran orang yang jahat.' Ini tidak sulit dipahami dari teks. Yang biasa menjadi perdebatan adalah seberapa luas konteks pernyataan ini seharusnya diterapkan? Jika menilai bahwa pernyataan ini kontekstual sebatas perikop ini, maka artinya semua makanan (yang mengikuti definisi aturan Taurat) adalah bersih, walaupun dimakan sebelum cuci tangan. Jika menilai tanpa batasan konteks, maka bisa boleh dibilang semua makanan yang sebelumnya dianggap najis (babi, tikus, kelelawar) boleh saja dimakan.

--

Menarik juga untuk dicatat, pada 7:19 kalimat “Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal,” sepertinya mengikuti NRSV. Terdapat terjemahan yang cukup berbeda mengenai ini:
NIV: (In saying this,  declared all foods clean.)
NASB: (Thereby He declared all foods clean.)
NRSV: (Thus he declared all foods clean.)
Douay-Rheims & KJV: …, purging all meats?
NKJV: …, thus purifying all foods?”

Interpretasi berbeda ini terjadi karena perbedaan 1 huruf pada καθαρίζων/καθαρίζον (membersihkan) di mana kasus pertama menjadi menerangkan Yesus sebagai pembicara: Yesus menjawab ”demikian-demikian” membersihkan semua makanan; dan yang ke dua menerangkan frasa sebelumnya (proses membuang makanan):  … karena masuk ke perut dan dibuang, membersihkan semua makan.
Walaupun tidak ada perubahan signifikan yang mempengaruhi pengertian dari kalimat ini (makanan tidak mengotori), tapi memberikan alternatif tafsir kalimat yang cukup berbeda, hanya karena 1 huruf.