//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra  (Read 8773 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra
« on: 11 March 2014, 07:27:25 AM »
Berikut terdapat terjemahan [sebagian] dari makalah berjudul "Bodhisattva Avalokiteśvara in the Gaṇḍavyūhasūtra" yang meneliti sosok sang Bodhisattva agung dalam salah satu sutra Mahayana yang terkenal, Gandavyuha Sutra.

Bagian yang menarik dari artikel ini adalah hipotesis penulis bahwa gunung Potalaka yang merupakan tempat kediaman Bodhisattva Avalokitesvara yang terkenal yang disebutkan dalam sutra-sutra Mahayana adalah suatu tempat yang benar-benar ada di dunia ini, yaitu terletak di India Selatan!
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra
« Reply #1 on: 11 March 2014, 07:28:48 AM »
Bodhisattva Avalokiteśvara dalam Gaṇḍavyūhasūtra
Märt Läänemets

Research Fellow, Centre for Oriental Studies, University of Tartu (Estonia)

    Abstraksi
   
  Dalam makalah ini bab Avalokiteśvara dari Gaṇḍavyūhasūtra akan diteliti. Dalam teks ini,  Avalokiteśvara muncul sebagai salah satu dari 53 orang sahabat baik atau kalyāṇamitra dari Sudhana, tokoh utama dari sūtra itu dan teladan dari semua  calon yang bercita-cita dalam jalan Bodhisattva. Peran  Avalokiteśvara dalam Gaṇḍavyūha agaknya seorang guru dan  bukan salah satu dari “Bodhisattva super”, penyelamat yang berkekuatan besar, seperti dalam Mahāyāna yang belakangan. Ia mengajarkan metode belas kasih besar, yang bertujuan untuk membebaskan semua makhluk dari berbagai macam ketakutan untuk membawa mereka ke dalam pencerahan sempurna tertinggi, dengan demikian menjadi yang diadopsi dalam pola yang mendidik dari Gaṇḍavyūha. Bacaan-bacaan yang relevan dan daftar-daftar istilah diberikan dan dianalisis.
   
  Penulis mengembangkan hipotesis bahwa bab Avalokiteśvara dari  Gaṇḍavyūha mencerminkan suatu fase yang sangat awal dari perkembangan konsep dan penggambaran Bodhisattva Avalokiteśvara ketika kultus yang belakangan belum mengambil bentuknya dan tersebar luas dalam dunia Buddhis dan ia jelas tetap dalam bayangan tiga orang teladan Bodhisattva awal - Samantabhadra, Mañjuśrī, and Maitreya. Penulis yang sekarang tidak mengeluarkan kemungkinan bahwa figur  Avalokiteśvara mungkin telah berkembang dengan dasar sinkretisme dari ajaran Buddhis tentang belas kasih dan kultus beberapa dewa pelindung lokal. Pertanyaan tentang lokasi gunung Potalaka sebagai tempat kediaman Avalokiteśvara juga dibahas.
   
  Berdasarkan perbandingan sekilas dengan sejumlah sumber lain (Sūtra Teratai, Sukhāvatīvyūha,  Sūtra Hati, Śūraṅgamasūtra), penulis menyimpulkan bahwa dalam Gaṇḍavyūha, Avalokiteśvara mewakili cara edukasi yang aktif dan meditasi seperti yang ia lakukan dalam  Sūtra Hati, sedangkan dalam  Sūtra Teratai dan Sukhāvatīvyūha aspek dari keyakinan pasif dan ketaatan bersifat dominan. Dalam  Śūraṅgamasūtra, yang adalah sumber yang belakangan, kombinasi kedua hal tersebut diuraikan.
   
  Pendahuluan
   
  Walaupun terdapat banyak karya tentang Bodhisattva Avalokiteśvara yang diterbitkan dalam bahasa-bahasa Barat dan lebih banyak lagi dalam bahasa Mandarin, Jepang, dan bahasa-bahasa Asia lainnya, tetapi asal mula dari tokoh yang mulia dan menakjubkan ini masih tidak jelas.[1] Gambaran Avalokiteśvara pertama kali muncul dalam seni arca India Buddhis pada abad kedua sampai ketiga M dalam relief-relief dari vihara-vihara dan kompleks stūpa di Gandhāra, sebagai seorang teman Sang Buddha. Belakangan, pada abad kelima atau keenam, ia telah ditemukan di seluruh India sebagai seorang toloh yang independen dan objek pemujaan.[2] Namun adalah alamiah untuk menganggap bahwa pasti terdapat suatu evolusi konsep tertentu sebelum ia menemukan jalannya ke dalam seni keagamaan. Demikianlah, awal dari pemujaan  Avalokiteśvara dapat dianggap berasal dari masa setidaknya satu atau dua abad sebelumnya, yaitu periode antara abad pertama SM dan abad pertama M. yang bertepatan dengan apa yang umumnya diterima sebagai masa ketika Mahāyāna awal muncul di India.[3]
   
  Sumber-sumber tertulis tampaknya menegaskan asumsi ini. Dalam Sūtra Teratai dan Sukhāvatīvyūhasūtra yang lebih besar, yang keduanya dianggap berasal dari abad pertama atau kedua M,[4] kita menemui Bodhisattva Avalokiteśvara telah dalam kemuliaan sempurnanya yang digambarkan dalam yang pertama sebagai penyelamat berkekuatan besar dari para makhluk dari semua bahaya dan bencana, dan dalam yang belakangan sebagai pelayan utama Buddha Amitābha dalam tanah Buddha-Nya. Demikianlah, kedua teks ini mencerminkan fase dalam perkembangan agama Buddha ketika kultus dan pemujaan  Avalokiteśvara telah mencapai puncaknya. Konsep dan figur Avalokiteśvara seperti yang diberikan dalam sumber-sumber yang belakangan (Amitāyurdhyānasūtra, Sūtra Hati, Śūraṅgamasūtra, Karaṇḍavyūha dll.) pasti berdasarkan dua kitab yang lebih awal itu.[5] Tetapi tidak ada dari teks-teks itu yang memberikan kejelasan tentang kemungkinan asal mula  Avalokiteśvara.
   
  Namun daftar sumber-sumber kesusasteraan awal yang mengandung bahan-bahan tentang Bodhisattva Avalokiteśvara tidak dapat lengkap tanpa Ga[FONT=&amp]ṇḍ[/FONT]avyūhasūtra, sūtra Mahāyāna awal lain yang, atas alasan yang tidak saya ketahui, sangat jarang dikutip dalam hubungan ini. Bahkan ketika ia disebutkan kemudian hanya sebagai salah satu dari sumber-sumber utama di mana gunung Potalaka yang misterius, kediaman Avalokiteśvara digambarkan.[6] Tetapi lebih banyak masalah ajaran yang menarik dan penting yang terkandung dalam bab Avalokiteśvara dari Ga[FONT=&amp]ṇḍ[/FONT]avyūha hampir sepenuhnya diabaikan atau terlewatkan oleh para penulis modern.
   
  Dalam makalah ini, saya akan memperkenalkan dan menganalisis isi bab Avalokiteśvara dari Gaṇḍavyūha. Ini adalah salah satu sumber yang paling awal yang mengungkapkan konsep dan figur  Avalokiteśvara dalam literatur Mahāyāna dalam sorotan yang baru.[7]
« Last Edit: 11 March 2014, 07:34:17 AM by Shinichi »
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra
« Reply #2 on: 11 March 2014, 07:31:08 AM »
Gaṇḍavyūhasūtra sebagai sebuah Sumber

Gaṇḍavyūhasūtra,[8] dalam Buddhisme Cina terkenal dengan judul Ru fajie pin (入法界品) sebagai bab terakhir dari Huayan jing (華嚴經atau Avataṃsakasūtra)[9] yang sangat besar, adalah, seperti Sūtra Teratai, dalam hal bentuk kesusasteraan dan penyusunannya suatu ringkasan dari kisah religius yang bersifat mendidik, yang disusun demikian, kemungkinan besar, untuk tujuan menyajikan selengkap mungkin semua masalah doktrinal yang beredar pada waktu itu di dunia Buddhis India yang diinterpretasikan dalam kerangka baru dari Mahāyāna. Benang yang menyatukan isinya adalah kisah putra saudagar Sudhana (Shancai tongzi善財童子), seorang yang bercita-cita pada jalan Bodhisattva, yang mengikuti instruksi Bodhisattva Mañjuśrī (Wenshushili pusa 文殊師利菩薩), melakukan perjalanan mengeliling India dan mengunjungi berbagai guru yang disebut “para sahabat baik” (kalyāṇamitra, shan zhishi善知識), lima puluh tiga orang semuanya, untuk menanyakan kepada mereka tentang perilaku Bodhisattva (bodhisattvacaryā, pusa xing 菩薩行). Masing-masing dari mereka memberikan Sudhana ajaran yang khusus untuk direnungkan, dan akhirnya ini disatukan dalam meditasi dari penampakan aula (kūṭagāra) Maitreya (Mile pusa 彌勒菩薩), yang membawa Sudhana pada realisasi totalitas jalan Bodhisattva yang terwujud dalam figur Bodhisattva agung Samantabhadra (Puxian pusa普賢菩薩).[10]


Bodhisattva Avalokiteśvara dalam Peranan Seorang Kalyāṇamitra

Dalam Gaṇḍavyūha, Avalokiteśvara[11] muncul sebagai salah seorang sahabat baik dari Sudhana, keduapuluh delapan dalam urutan yang dikunjungi oleh-Nya. Statusnya sebagai seorang guru setara dengan para kalyāṇamitra – para bhiksu, bhiksuni, perumah tangga, saudagar, raja, dewi, dst, yang mewakili penampang dari kaum intelektual di India pada waktu itu ditambah beberapa tokoh mitologi yang menurut pemahaman umat Buddha Mahāyāna, secara alami termasuk pada lingkaran yang sama yang menjadi para guru teladan yang ideal yang diciptakan dalam meditasi tetapi berperan sebagai para guru nyata dalam pikiran mereka yang meyakininya.[12]


Sumbangsih Avalokiteśvara pada pendidikan Bodhisattva Sudhana adalah sama dengan sumbangsih dari para kalyāṇamitra lainnya “rata-rata”, dalam hal ia menjelajahi hanya satu aspek dari perilaku Bodhisattva, di sini yang berdasarkan konsep “belas kasih agung” (mahākaruṇā, dabei大悲). Seperti para kalyāṇamitra lainnya, Avalokiteśvara menyatakan, setelah mengungkapkan ajarannya, bahwa dari semua metode dalam ruang lingkup yang luas dari perilaku seorang Bodhisattva ia hanya dapat mengajarkan yang satu ini dan tidak dapat memberikan sikap dan pengetahuan dari para Bodhisattva agung yang seperti Samantabhadra dalam keseluruhannya.

Ini menunjukkan dengan jelas bahwa setidaknya ketika Gaṇḍavyūha disusun,[13] dalam lingkaran religius dan kesarjanaan yang terlibat dalam proses pembentukan teks ini, Avalokiteśvara belum naik pada tingkat Bodhisattva yang secara universal dipuja seperti halnya Mañjuśrī, Samantabhadra, dan Maitreya, yang muncul dalam sūtra itu sebagai “para Bodhisattva super” yang menyatukan semua aspek dari perilaku Bodhisattva.[14] Penulis Gaṇḍavyūha menerimanya alih-alih sebagai sosok orang suci atau dewa yang dihormati secara lokal, dalam setiap kasus suatu makhluk yang lebih rendah tingkatannya daripada tiga orang Bodhisattva yang baru disebutkan. Maka, kita dapat menganggap bahwa Avalokiteśvara yang ditampilkan dalam Gaṇḍavyūha hanya memulai “karir”-nya sebagai seorang Bodhisattva agung dalam pergerakan Mahāyāna yang sedang maju. Disebabkan kekurangan data yang mendukung kita saat ini, kita hanya dapat berspekulasi pada peranan yang mungkin dimainkan Gaṇḍavyūha dalam perkembangan kultus Avalokiteśvara dengan memasukkannya sebagai salah satu Bodhisattva ke dalam sistem soteriologis mereka. Ini masih tampak bagi saya bahwa hipotesis bahwa Gaṇḍavyūha mungkin telah memainkan suatu peran yang penting dalam proses ini tidak harus dimasukkan.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, Bodhisattva Avalokiteśvara muncul dalam Gaṇḍavyūha dalam jangkauan yang umum dengan para kalyāṇamitra awam dan yang bersifat surgawi lainnya di mana ia tidak berbeda secara formal dalam status atau kebajikan khusus. Bahkan lebih lanjut, bab Avalokiteśvara adalah salah satu dari yang terpendek di antara bab-bab kalyāṇamitra yang tertinggal di belakang banyak yang lain dalam hal volume dan kekayaan penjelasan doktrinal. Ini lagi-lagi menunjukkan bahwa tokoh Avalokiteśvara tidak begitu terkemuka dalam mata para penulis Gaṇḍavyūha, dan sehingga mereka tidak membuat upaya tambahan untuk mengembangkan kisah yang megah tentang kepribadiannya seperti yang mereka lakukan, sebagai contoh, dalam kasus kebanyakan dewi malam dan khususnya Bodhisattva Maitreya.

Bentuk dan gaya kesusasteraan bab Avalokiteśvara[15] mengikuti pola umum yang diterapkan di seluruh Gaṇḍavyūha dengan sedikit penyimpangan kecil. Pola itu termasuk beberapa unit struktural standar dalam urutan yang tetap: tibanya Sudhana pada tempat sang kalyāṇamitra; penggambaran lingkungan dan rombongan serta penampilan sang kalyāṇamitra (ini adalah unit yang paling opsional yang sering tidak ada tetapi muncul dalam bab Avalokiteśvara); Sudhana memberikan penghormatan dan meminta ajaran; pujian kalyāṇamitra atas ketetapan Sudhana untuk mencapai pencerahan sempurna yang tertinggi (anuttarāsamyaksaṃbodhi, anouduolo sanmiao sanputi 阿耨多羅三藐三菩提), pengenalan atas metodenya dan pemberian ajaran; kalyāṇamitra menyatakan kemampuan dan kebajikannya yang terbatas yang tidak sama dengan mereka para Bodhisattva agung; memandu Sudhana kepada sahabat baik berikutnya.

Satu atau lebih bagian syair mungkin ditambahkan atau mungkin tidak. Bagi bab Avalokiteśvara, bagian syair merupakan suatu masalah historis-teks tambahan karena ia pasti adalah suatu penambahan yang belakangan, berdasarkan gaya, bahasa dan ajaran yang secara signifikan berbeda dari bagian prosanya.

Gunung Potalaka: Dimensi Religius dan Historis

Dalam bab Avalokiteśvara, tibanya Sudhana digambarkan sebagai berikut:

atha khalu sudhanaḥ śreṣṭhidārako…anupūrveṇa yena potalakaḥ parvatas tena-upasaṃkramya potalakaṃ parvatam abhiruhya avalokiteśvaraṃ bodhisattvaṃ parimārgan parigaveṣamāno’drakṣīd avalokiteśvaraṃ bodhisattvaṃ paścimadikparvata-utsaṅge utsasaraḥprasravaṇa-upaśobhite nīlataruṇakuṇḍalakajātamṛduśādvalatale mahāvanavivare vajraratna-śilāyāṃ paryaṅkaṃ baddhvā upaviṣṭaṃ nānāratnaśilā-talaniṣaṇṇa-aparimāṇabodhisattvagaṇaparivṛtaṃ dharmaṃ deśayamānaṃ sarva-jagatsaṃgrahaviṣayaṃ mahāmaitrīmahākaruṇāmukha-udyotaṃ nāma dharmaparyāyaṃ saṃprakāśayantam[16]

(“Kemudian, putra saudagar Sudhana... tiba pada urutan yang seharusnya di gunung Potalaka, dan mendaki gunung Potalaka ia melihat sekeliling dan mencari Bodhisattva Avalokiteśvara ke mana pun. Akhirnya ia melihat Bodhisattva Avalokiteśvara pada sebuah dataran tinggi pada sisi barat dari gunung itu dalam sebuah tanah terbuka dari hutan besar yang dipenuhi dengan rerumputan muda, dihiasi dengan sumber mata air dan air terjun, dan dikelilingi oleh berbagai pepohonan. Ia [he – laki-laki] duduk bersila pada sebuah batu intan yang dikelilingi oleh banyak Bodhisattva yang duduk pada batu dari berbagai permata. Ia sedang menguraikan penjelasan Dharma yang disebut ‘kemuliaan pintu dari cinta kasih agung dan belas kasih agung’ termasuk dalam lingkup menjaga semua makhluk.”)[17]

Seperti yang kita lihat, lokasi di sini digambarkan dalam suatu cara yang agak biasa sebagai suatu tempat yang indah tetapi duniawi dengan meninggalkan kesan atas suatu lereng pegunungan yang sangat biasa di bumi ini, bukan suatu tanah Buddha semu yang lahir dalam meditasi di mana biasanya terbuat dari intan, permata dan barang berharga lainnya. Dengan pengecualian tempat duduk batu intan dan permata dari Avalokiteśvara dan rombongan Bodhisattva-nya, tidak ada detail yang menakjubkan yang ditemukan. Dengan kata lain, perkenalan tentang Avalokiteśvara dalam tempat kediaman gunungnya tidak berbeda secara signifikan dari tempat kediaman para pertapa lain dalam Gaṇḍavyūha, sebagai contoh Meghaśrī, Sāgaramegha atau Bhiṣmottaranirghoṣa. Ini lagi-lagi mengatakan kesesuaian dengan hipotesis bahwa para penulis sūtra itu kemungkinan besar memiliki suatu tempat yang benar-benar nyata dalam pikiran mereka ketika mereka menggambarkan gunung Potalaka dan Avalokiteśvara sebagai seorang orang suci Buddhis lokal atau dewa gunung dan belum menjadi Bodhisattva agung yang secara universal dihormati yang adalah perwujudan belas kasih agung.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra
« Reply #3 on: 11 March 2014, 07:31:54 AM »
Namun dalam bagian syair, lebih banyak detail ditambahkan pada penggambaran tentang kediaman Avalokiteśvara. Syair-syair pada akhir dari bab Veṣṭhila sebelumnya menyebutkan bahwa gunung Potalaka terletak “di tengah-tengah raja air yang penuh badai” (śirījalarājamadhye),[18] sebuah ciri khas yang penting yang tentunya memiliki pengaruh besar dalam pembuatan mitos-mitos dan legenda belakangan yang menghubungkan kediaman Avalokitesvara dengan lautan atau bahkan menggambarkannya sebagai sebuah pulau.[19] Dua baris berikutnya menggambarkan lingkungan dalam gunung itu secara umum dengan cara yang sama seperti yang dilakukan dalam bagian prosa tetapi menekankan pada lantai permatanya: ratnāmayaṃ taruvaraṃ kusuma-abhikīrṇam udyānapuṣkiriṇiprasravaṇa-upapetam ||[20] (“Terbuat dari permata-permata, yang dikelilingi oleh pepohonan, bertaburan dengan bunga-bunga, kebun, kolam dan sungai.”)

Dalam bagian syair di tengah bab Avalokiteśvara,[21] lautan atau jenis lain dari “air yang penuh badai” tidak disebutkan lagi. Namun kediaman sang Bodhisattva digambarkan sebagai “gunung permata” (ratnaparvata) dan tempat Avalokiteśvara di sini sebagai sebuah “gua” (kandara) pada “lereng intan dari gunung yang dihiasi dengan permata” (vajramaye giritaṭe maṇiratnacitre). Sebuah daftar makhluk-makhluk mitologi seperti “dewa” (deva), “setengah dewa” (asura), “setan ular” (bhujaga), “centaurus” (kinnara), dan “setan” (rakṣasa) ditambahkan sebagai bagian dari rombongannya.[22]

Sebutan “bijaksana” (dhīra) dan “pertapa” (ṛṣi) digunakan untuk Avalokiteśvara dalam syair-syair. Karena bagian syair dianggap sebagai penambahan yang belakangan, ia menjadi saksi atas perubahan yang muncul dalam penggambaran dan pemindahan suatu tempat indah yang semula nyata dan alami menjadi suatu alam yang mengandung intan yang melampaui duniawi. Bahkan lebih lagi, suatu petunjuk pada tanah Buddha Avalokiteśvara sendiri ditemuakn dalam bagian syair.[23]

Para penulis kuno dan modern telah berusaha mencari lokasi gunung Potalaka dalam wilayah geografis India. Bacaan yang paling terkenal berkenaan dengan hal ini, yang dikutip dan diteliti lagi dan lagi oleh para sarjana, adalah dari penggambaran Xuanzang (玄奘) tentang gunung Potalaka (Budaluojia shan 布呾洛迦山)[24] dalam Catatan tentang Dunia Barat-nya (Datang xiyu ji 大唐西域記):

“Ke timur dari gunung Malaya [Molaye shan秣剌耶山][25] terdapat Gunung Po-ta-lo-kia [Budaluojia shan 布呾洛迦山] (Pôtalaka). Jalan masuk gunung ini sangat berbahaya; lerengnya terjal, dan lembahnya tidak rata. Pada puncak gunung itu terdapat sebuah danau; airnya jernih seperti cermin. Dari sebuah lembah muncul sebuah sungai besar yang mengelilingi gunung itu seakan-akan ia mengalir dua puluh kali dan kemudian masuk ke laut selatan. Pada tepi danau itu terdapat sebuah istana batu para Dêva. Di sini Avalôkitêśvara [Guanzizai pusa觀自在菩薩] datang dan pergi mengambil tempat kediamannya. Mereka yang berkeinginan kuat untuk melihat Bodhisattva ini tidak mempedulikan nyawa mereka, tetapi, dengan menyeberangi air (mengarungi aliran sungai), mendaki gunung itu menjadi lupa akan kesulitan dan bahaya-bahaya; dari mereka yang berusaha ke sana sangat sedikit yang mencapai puncaknya. Tetapi bahkan mereka yang berdiam di bawah gunung itu, jika mereka dengan sungguh-sungguh berdoa dan memohon untuk melihat sang dewa, kadangkala ia muncul sebagai Tsz’-tsaï-t’ien [Zizaitian自在天] (Îśvâra-dêva), kadangkala dalam bentuk seorang yôgi [tuhui waidao塗灰外道] (seorang Pâṁśupata); ia menyapa mereka dengan kata-kata yang bermurah hati dan kemudian mereka memperoleh keinginan mereka berdasarkan harapan mereka.

Menuju ke timur laut dari gunung ini, pada perbatasan laut, terdapat sebuah kota kecil; inilah sebuah tempat di mana mereka memulai [perjalanan] ke laut selatan dan negeri Săng-kia-lo [Sengjialuo guo僧迦羅國] (Sri Lanka). Umum dikatakan oleh orang-orang bahwa naik kapal dari pelabuhan ini dan menuju ke tenggara sekitar 3000 li kita sampai pada negeri Siṁhala.”[26]


Kita tidak mengetahui apakah Xuanzang benar-benar mengunjungi tempat ini atau apakah catatannya berdasarkan hanya pada apa yang ia dengar dari orang-orang setempat.[27] Masih, dalam catatannya gunung Potalaka digambarkan sebagai tempat yang nyata di India Selatan dan kita diberitahukan bahwa perkiraan lokasi Potalaka adalah “ke timur dari gunung Malaya” tidak jauh dari laut. Itu pasti suatu tempat di Tamilnadu di India Barat Daya, tidak jauh ke utara dari ujung selatan India.

Kita juga mempelajari dari Catatan Xuanzang bahwa pada pertengahan pertama abad ketujuh suatu jenis pemujaan campuran Avalokiteśvara-Īśvaradeva (Śiva – ?) dipraktekan di gunung ini. Namun, kita tidak mengetahui apakah ini sesuai dengan praktek Mahāyāna aliran utama pada waktu itu atau apakah kita berhubungan dengan pemujaan lokal yang belum sempurna yang kurang lebih independen. Masih, apa yang Xuanzang katakan tampaknya mendukung teori tentang hubungan Avalokiteśvara-Śiva.[28]. Gaṇḍavyūha sendiri juga memberikan beberapa petunjuk tidak langsung yang mendukung teori ini karena kalyāṇamitra Sudhana berikutnya dipandu dari gunung Potalaka oleh Bodhisattva lain yang menemani Avalokiteśvara, Ananyagāmin, adalah dewa Mahādeva (Datian大天) yang berdiam di vihara besar di kota Dvāravatī.[29]

Di sini terdapat suatu masalah yang menarik bagi karya sarjana Jepang modern Shu Hikosaka. Berdasarkan studinya atas kitab suci Buddhis, sumber-sumber kesusasteraan bahasa Tamil kuno dan pertengahan, dan penelitian lapangan, ia mengemukakan hipotesis bahwa, gunung Potalaka kuno, kediaman Bodhisattva Avalokiteśvara yang digambarkan dalam Gaṇḍavyūha dan catatan Xuanzang, adalah gunung nyata Potikai atau Potiyil yang terletak di Ambasamudram di Distrik Tirunelveli, Tamilnadu, 8º 36´ lintang, 77º 17´ bujur. Dengan 2072,6 m, ia adalaah gunung tertinggi di barisan pegunungan Tinnevelly dari dermaga sungai.[30] Dalam karyanya, Shu juga menngembangkan suatu teori yang menarik tentang asal kata dari nama Potalaka. Menurutnya, nama asli Tamil Potiyil adalah suatu turunan dari bodhi-il, di mana bodhi adalah suatu pinjaman dari bahasa Ārya yang bermakna “agama Buddha dan umat Buddha”, dan kata Tamil il berarti “tempat, kediaman”. Dengan demikian keseluruhan nama itu menunjukkan “kediaman umat Buddha atau para pertapa Bauddha”. Kata kai dalam Potikai adalah bahasa percakapan sehari-hari dalam Tamil dan memiliki makna yang sama dengan “il”.[31] Dalam teks Mahāyāna Sanskrit dan Prakrit perubahan yang lain terjadi – il diterjemahkan kembali sebagai loka, “dunia atau tempat”. Dengan demikian Potalaka adlah suatu bentuk kesalahan dari Buddha-loka, “tempat para umat Buddha”.[32] Shu juga mengatakan bahwa gunung Potiyil/Potalaka telah menjadi tempat suci bagi orang-orang dari India Selatan sejak waktu yang lama sekali. Dengan penyebaran Buddhisme di daerah itu pada awal masa raja besar Aśoka pada abad ke-3 SM, tempat ini menjadi suatu tempat suci juga bagi umat Buddha yang perlahan-lahan menjadi dominan seraya sejumlah pertapa Buddhis tinggal di sana. Namun orang-orang setempat terutama tetap merupakan pengikut agama Hindu. Pemujaan Hindu-Buddhis campuran mencapai puncaknya dalam pembentukan figur Avalokiteśvara. Tetapi pemujaan Śiva Pāṃṣupata tetap populer juga dan bercampur dengan pemujaan Avalokiteśvara.[33]

Jika Shu benar, kemungkinan perkembangan historis yang masuk akal dari konsep dan penggambaran Avalokiteśvara bisa jadi sebagai berikut. (1) Pada masa pra-Buddhis, Gunung Potiyil/Potalaka dihormati sebagai sebuah tempat suci, kediaman para dewa dan para makhluk pelindung, oleh orang-orang setempat. Kita tidak tahu nama kuno aslinya. (2) Dengan penyebaran Buddhisme di India Selatan, tempat itu menjadi populer di antara umat Buddha karena banyak dari para pertapa Buddhis tinggal di sini. (3) Perlahan-lahan penghubungan dengan Buddhisme menjadi dominan dan nama baru Potiyil/Potalaka atau “Tempat para umat Buddha” secara populer digunakan. (4) Seraya umat Buddha mengajarkan belas kasih, ajaran baru itu bergabung dengan pemujaan lama seorang dewa pelindung menjadi sebuah pemujaan baru. Upaya sadar dari para penduduk Buddhis, yang mungkin bertanggung jawab untuk penciptaan dan perkenalan sebutan Avalokiteśvara juga, mungkin menjadi faktor menentukan yang melancarkan proses ini.[34] (5) Perlahan-lahan, konsep dan figur Avalokiteśvara menjadi terkenal secara universal dan dipuja semua umat Buddha dan menemukan jalannya ke dalam teks-teks dan seni arca sedangkan gunung Potalaka dimitologiskan seiring berjalannya waktu. (6) Kemenangan Hinduisme pada pertengahan kedua dari milenium pertama M membawa pada penyatuan pemujaan Avalokiteśvara dengan pemujaan dewa Hindu, misalnya Śiva.[35]

Gaṇḍavyūha tampaknya mencerminkan fase paling awal dari kultus baru Avalokiteśvara; Sūtra Teratai, Sukhāvatīvyūha, Amitāyurdhyānasūtra, Sūtra Hati adalah puncaknya dalam tradisi Mahāyāna, dan Śūraṅgama, Karaṇḍavyūha serta teks-teks Tantra (Dhāranī dan Sādhana) adalah perkembangannya yang belakangan.[36] Tetapi catatan Xuanzang tampaknya menggambarkan situasi ketika Buddhisme telah mengalami kemunduran di India dan motif-motif Hindu menjadi dominan lagi dalam kultus Avalokiteśvara di tempat awal mulanya.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline willyyandi

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 30
  • Reputasi: 5
Re: Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra
« Reply #4 on: 02 January 2015, 07:25:24 PM »
lanjutin dong bro terjemahannya :)

Offline angsiman

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 2
  • Reputasi: 0
  • Semoga semua mahluk berbahagia
Re: Bodhisattva Avalokitesvara dalam Gandavyuha Sutra
« Reply #5 on: 11 October 2016, 11:44:19 AM »
Ini topik yg sangat menarik. Dari dulu sampai sekrang blom sy ketemu2...

 

anything