Kemiskinan Membuat Banyak Rakyat Kamboja Kelaparan
Sekarang kita menuju Kamboja.
Saat ini, kondisi negara miskin itu makin terpuruk karena gempuran bertubi-tubi; krisis keuangan dunia, pertambahan penduduk dan berkurangnya lahan pertanian.
Kelompok pembangunan internasioanl dan LSM, baru-baru ini, menyatakan keprihatinannya setelah beberapa survei menunjukkan sekitar 30 persen penduduk negeri itu hidup dengan kurang dari lima ribu perhari.
Repoter kami, Khortieth Him, mengunjungi provinsi, di mana penduduknya tambah putus asa dengan kondisis saat ini.
Sementara di ibu kota Phnom Penh, ia menemukan banyak orang yang bermigrasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, kerap tidak lebih baik kondisinya di ibukota.
Saat ini pukul tiga sore di desa Trapaing Kak.
Rumah-rumah reot dikelilingi persawahan yang terlihat sangat menyedihkan. Di sini, tanahnya sangat berpasir sehingga tanaman tidak bisa tumbuh dengan baik.
Di dalam sebuah pondok beratap ilalang, Sum Lai bercerita soal suaminya, Mean Kong Kea, yang baru-baru ini meninggal karena kelaparan.
“Saat ia masih hidup, kami tak pernah punya makanan yang cukup. Karena kami tak punya uang untuk membeli makanan. Kadang kami hanya makan garam dicampur lada.”
Lai punya empat orang anak dan sebidang kecil tanah.
Di musim panen, beras yang dihasilkan tanah itu hanya cukup untuk membayar utang keluarga tersebut. Setelah musim panen usai, mereka bekerja sebagai buruh.
Anak Lai yang berusia 18 tahun, Horm Kien, bercerita kemiskinan telah memaksa ia dan adiknya berhenti sekolah.
“Kami tidak punya ladang untuk menanam padi atau tanaman lain, juga kami tidak punya ternak. Hidup sangat sulit karena kami serba kekurangan. Kami harus meminjam beras untuk makan. Di akhir bulan kami harus membayar utang yang lama dan berhutang lagi.”
Adiknya Horm Los.
“Setiap tahun, para tetangga membantu kami dengan memberi beras 3-4 kali. Ketika ayah meninggal saya bahkan tidak tahu. Saat itu, saya bekerja di pabrik di Phnom Penh. Karena belum menerima upah saya pulang dengan tangan hampa. Bahkan uang untuk penguburan ayah, saya tak punya.”
Dr. Nhean Sarin bekerja untuk kelompok pembela HAM lokal, Lichado. Menurutnya banyak orang yang tidak mampu menambah makanannya dengan sayuran, daging, garam dan gula.
“Ketika mereka tidak punya cukup makanan, mereka kekurangan protein dan vitamin. Mereka bisa menderita vertigo dan lemah, bahkan bisa meninggal.”
Para pejabat dan penduduk desa Po Angkrang mengatakan dari waktu ke waktu tanah yang subur hanyut dan yang tersisa hanya tanah berpasir. Sementara penduduk desa makin bertambah.
Pov Chin, wakil anggota dewan Po Angkrang mengatakan satu dari 300 keluarga di 19 desa, hidup di bawah garis kemiskinan.
Menurutnya ia telah melaporkan hal ini ke Palang Merah Kamboja dan Departemen Penanganan Bencana tapi belum ada tanggapan.
“Belum lama diadakan pertemuan di wilayah ini untuk membuat daftar orang-orang yang membutuhkan beras. Ini dilalukan sebulan yang lalu tapi kami belum punya apa-apa untuk membantu yang miskin.”
Jumlah penduduk miskin juga meningkat di ibukota Phnom Penh.
Sok Chenda, 40 tahun, yang baru saja pindah dari Provinsi Kandal berharap dapat pekerjaan yang lebih baik. Namun, sejauh ini usahanya belum begitu berhasil. Ia bercerita dirinya dan anak-anak kadang tak punya makanan.
“Sangat sulit untuk hidup. Saya punya lima anak dan tak tahu bagaimana harus memberi makan mereka. Ketika saya tinggal di desa hidup saya susah dan di sini pun juga susah.”
Seng Theary adalah direktur eksekutif Center for Social Development. Menurutnya banyak orang pindah ke kota besar kecewa karena hidup di sana sama sulitnya dengan hidup di desa. Bahkan tak jarang lebih sulit lagi.
“Kami lihat jumlah penduduk desa yang mecari kehidupan yang lebih baik di Phnom Penh meningkat. Kami tahu, di desa ada masalah penyerobotan tanah sehinga mereka terpaksa mengungsi dan tak punya cukup makanan. Saat ini, sebagian besar rakyat Kamboja tak punya tanah. Biaya hidup di Phnom Penh juga sangat mahal; makanan, bahan bakar dan sewa rumah lebih mahal. Maka jika warga miskin miskin datang ke ibukota mereka tak kan bisa bertahan.”
Organisasi donor seperti Bank Pembangunan Asia, ADB, baru-baru ini menyatakan keprihatinan soal meningkatnya kemiskinan di Kamboja, terutama selama krisis ekonomi dunia saat ini.
Kemiskinan ini ada kaitannya dengan meningkatnya pengangguran, berkurangnya lahan pertanian dan perkembangan penduduk.
Dan ada kekhawatiran akibat banyaknya orang yang meminjam uang untuk bertahan hidup, hanya akan memperburuk lingkaran kemiskinan.
Kang Chandararoth adalah analis ekonomi independen di Kamboja.
“Sebenarnya dampaknya akan lebih parah karena pinjaman masyarakat. Bantuan dari pemerintah habis hanya untuk membayar utang mereka kepada bank dan lembaga keuangan lokal.”
Pemerintah sejauh ini gagal untuk mengatasi krisis ini.
Peou Samy, Sekretaris Jendral Komite Nasional untuk Penanganan Bencana mengatakan wilayah regional bukan tanggung jawabnya.
“Saya tidak bisa mengawasi kasus seperti itu karena komite provinsi lah yang bertanggung jawab. Kami punya komite daerah terpencil, wilayah dan provinsi untuk menanggulangi masalah ini. Dan ketika mereka menyelesaikan masalah pasti akan dilaporkan pada kami. Namun kami belum menerima laporannya.”
Sementara yang lain tidak mengakui adanya kasus kelaparan.
Kang Hean adalah Gubernur Provinsi Kampong Speu tempat Mean Kong Kea yang meninggal, tinggal.
“Ini hal yang biasa ada pria meninggal karena penyakit bukan karena kelaparan. Kalau ada kasus seperti ini, saya akan menyelesaikannya.”
Seng Theary, direktur eksekutif Center for Social Development tidak yakin dengan retorika ini
“Pemerintah hanya bisa berbicara tapi kurang melakukan langkah konkrit. Sehingga apa yang kita dengar dan lihat hanya omong kosong. Kita belum melihat kebijakan berdasarkan kepentingan masyarakat, yang bisa dipraktekkan dalam jangka panjang. Kita harus bertindak atau semua hanya akan jadi omong kosong saja.”
Dalam laporan Bank Dunia baru-baru ini disebutkan 30 persen rakyat kamboja hidup di bawah garis kemiskinan. Ini artinya ada empat juta orang Kamboja yang terpaksa hidup dengan lima ribu rupiah perhari.
Dan beberapa mungkin tidak akan bisa bertahan