HOW A THERAVADIN BUDDHIST CHINESE FUNERAL MAY BE CONDUCTED
Kesimpulan
Cara Menangani Jenazah Saya Nantinya
Oleh: Ven. Visuddhacara
Saya biasanya sedih ketika menghadiri upacara pemakaman umat Buddha. Bukan karena ada yang meninggal tetapi karena banyak unsur non Buddhis yang dimasukkan ke dalam upacara yang dinyatakan sebagai upacara pemakaman Buddhis. Sudah pasti, kita sedih kehilangan orang yang kita kasihi, tetapi mengapa kita harus menambah lagi, kalau boleh disebut, “penghinaan” di atas kesedihan, dengan mengikuti secara pasrah (akibat kekhawatiran dan ketidaktahuan) segala jenis upacara dan ritual yang sesungguhnya pantas dipertanyakan kesahihannya?
Jawabnya, tentu karena kekhawatiran dan ketidaktahuan kita. Kesimpulan ini saya tujukan kepada umat Buddha Theravada. Perkenankan saya untuk menjelaskan bahwa saya tidak bermaksud untuk tidak menghormati mereka yang menganut agama dan kepercayaan lain. Semua orang memiliki hak sepenuhnya untuk mempraktekkan upacara dan kebiasaan agamanya. Ini adalah hak kita yang tidak dapat dicabut.
Jadi, di sini saya memaksudkan ulasan ini untuk umat Buddha Theravada dan saya katakan bahwa jika kita mengerti Ajaran Buddha, maka kita dapat membuang banyak ketakutan dan ketidaktahuan sehingga kita bisa melaksanakan berbagai hal, misalnya mengadakan upacara pemakaman, secara sederhana, khidmat dan bermanfaat yang merupakan sesuatu yang jarang diterapkan oleh umat Buddha Theravada sepenglihatan saya selama ini. (Tentu saja ada pengecualian bahwa ada beberapa orang yang benar-benar menerapkannya.)
Ketika saya melihat pengurus pemakaman memerintah anggota keluarga, sanak saudara dan sahabat yang kehilangan, saya bahkan lebih sedih dan heran. Mengapa orang-orang kasar ini harus memerintah kita? Mengapa mereka berteriak dan menjerit kepada kita (kadang bahkan dengan pengeras suara!): “Lakukan ini!”, “Lakukan itu!”, “Kemari!”, “Ambil dupa dan berdoa sekarang!”, “ Berlutut!”, “Membungkuk tiga kali!”, “Berdiri!”, “Balikkan badan (terhadap peti mati)!”, “Jangan melihat!”, dan seterusnya, tanpa kata-kata “dengan seizin Anda”, “silakan”, atau dengan kata-kata sopan sederhana lainnya. Dan mengapa kita harus menurut dan patuh begitu saja? Siapa sebenarnya yang mengadakan upacara pemakaman? Kita atau mereka? Apakah itu pemakaman orang yang kita kasihi atau mereka? Siapa mereka? Apakah mereka seorang Buddhis? Apakah mereka mengerti Ajaran Buddha? Apakah mereka mengetahuinya? Apakah kita sudah kehilangan kendali? Tidakkah kita punya kendali?
Kelihatannya memang tidak, sepertinya kita tidak punya kendali, atau lebih tepatnya, kita tidak menggunakan hak kita untuk mengendalikan. Dalam hal ini, kita telah kehilangan semua kendali, dan dengan demikian, kita telah menyerah atau kehilangan pemahaman akal sehat kita terhadap nilai sesuatu hal dan martabat. Kita sungguh tidak tahu apa yang harus dilakukan. Kita bingung dan tidak berdaya. Saya telah melihatnya berkali-kali, para intelektual dan orang terhormat menyerahkan semua hak dan kepercayaan kepada para pengurus pemakaman ini, yang mungkin merokok dan ketawa-ketawa, berbicara dengan kasar, dan berpakaian secara amburadul. Bagi mereka, saya kira semuanya hanya dalam satu hari kerja, mengambil keuntungan dari kekhawatiran dan ketidaktahuan kita. Tentu saja, mungkin masih ada beberapa pengurus pemakaman yang baik hati dan tulus yang mungkin bermaksud baik dan menjalankan tugasnya dengan sopan dan bagus, tetapi kesan yang selama ini saya dapatkan dari tradisi pemakaman Chinese di Penang sangatlah buruk dan negatif.
Tiada keluhuran, tiada makna, tiada hormat. Oleh karena itu, saya berharap buku kecil yang telah Anda peroleh ini akan membantu kita untuk berpikir kembali dan mendapatkan kembali suatu bentuk pengendalian. Saya harap kita akan mulai menanyakan dan mencari jenis pemakaman atau upacara pengantaran yang bermakna untuk kita sendiri dan orang yang kita kasihi. Buklet ini, tentunya, bukanlah hal terakhir dari topik ini. Ini baru permulaan. Masih banyak hal-hal yang perlu ditelaah dan dibicarakan. Dan banyak sekali hal dan prosedur yang kita lakukan adalah sesungguhnya subjektif dan tergantung keinginan pribadi dan pilihan pihak terkait.
Sebagai contoh, bagi saya, saya tidak memerlukan pemakaman atau berita dukacita di koran. Bagaimanapun, saya tidak akan berkeliling untuk memeriksa atau mengamati apa yang akan terjadi setelah saya mati. Saya akan bertumimbal lahir, meskipun tujuan hidup saya adalah berjuang untuk lepas dari lingkaran siklus kelahiran dan kematian. Saya akan dengan senang hati menyumbangkan seluruh tubuh saya jika ada lembaga yang mau dan dapat menggunakannya seperti rumah sakit atau perguruan tinggi Fakultas Kedokteran. Saya akan gembira sekali mendonorkan seluruh organ tubuh saya setelah meninggal. Apalah guna tubuh ini bagi saya setelah kematian? Jika dapat digunakan oleh orang lain, maka saya akan benar-benar gembira menjadi berguna bagi makhluk hidup lain pasca-kematian saya. Dan setelah para dokter atau mahasiswa kedokteran membedah dan mengeluarkan bagian organ tubuh saya yang masih dapat digunakan, mereka boleh membuang sisanya dengan cara yang mereka sukai. Menguburnya di tempat yang tidak diketahui. Membakarnya. Apa saja, bukan masalah lagi bagi saya.
Anda lihat, bagi saya tubuh ini seperti baju bekas. Ketika meninggal, kita seperti menanggalkan baju lama dan memakai baju baru, atau lebih tepatnya tubuh atau bentuk yang baru, dalam kelahiran atau kehidupan yang baru, menurut kamma kita sendiri (yaitu perbuatan yang telah kita lakukan dalam kehidupan ini). Oleh karena itu, adalah penting bagi saya untuk menjalani kehidupan secara baik pada kehidupan sekarang. Setelah meninggal, tidak ada gunanya melekat pada jasmani. Semua tata cara dan upacara sebenarnya bukan untuk yang meninggal (karena yang meninggal tidak dapat melihat atau mengetahui apa yang sedang terjadi) tapi untuk yang masih hidup – untuk membantu mereka yang masih hidup merasa lebih baik, untuk membantu mereka melewati masa sedih. Tapi apakah ini perlu? Tentunya ini subjektif sekali. Sebagian orang menyukai upacara dan kebaktian yang bermanfaat, sedangkan yang lain mungkin menyukai sedikit keramaian, atau seperti saya yang menyukai tidak adanya keramaian dan dengan senang hati tidak memiliki upacara pemakaman. Ini akan membuat hidup jadi lebih mudah bagi banyak orang. Mereka tidak perlu berjalan ratusan meter di bawah terik matahari dan mandi keringat karena saya.
Ya, jika mereka ingin mengenang atau menghormati saya, saya akan selalu berkata: berbuat baik, hidup dengan baik, jaga lima sila, ramah kepada semua makhluk hidup ketika mereka masih hidup, bukan sewaktu mereka meninggal dan Anda tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi mereka. Tentu saja, Anda tetap boleh datang, menghibur dan memberikan bantuan moral dan jasmaniah kepada anggota keluarga yang kehilangan.
Jika seandainya akan ada upacara pemakaman bagi saya, saya ingin orang-orang melakukan sesuatu yang bermakna. Misalnya, teman-teman Buddhis saya dapat berkumpul dan bermeditasi di sekeliling peti mati saya sebagai cara untuk menghormati saya, karena saya bangga sebagai seorang meditator dan selalu menganjurkan orang-orang untuk bermeditasi. Tentunya, saya tidak akan berada di sana untuk mengamati mereka bermeditasi (saya tidak mengharapkan terlahir sebagai hantu kelaparan! Meskipun, tentu saja, kita tidak akan pernah bisa tahu!). Bukanlah penghormatan itu yang memuaskan saya tetapi yang membuat saya bahagia adalah bahwa mereka melakukan sesuatu yang berarti, seperti melakukan meditasi Vipassana (Pandangan Terang) atau merenungkan tentang kematian, tentang ketidakkekalan kita, tentang perlunya kita hidup bijaksana, hidup penuh kasih dan bermanfaat, dan tentang pentingnya berusaha lewat meditasi untuk membuang kekotoran batin (yakni ketamakan, kebencian, dan kebodohan) sehingga kita tidak akan terlahirkan kembali, dan jika tidak terdapat kelahiran maka tidak akan ada kehancuran dan kematian. Dengan penghentian ini, seperti yang diajarkan Sang Buddha, seluruh siklus penderitaan pun akhirnya terhenti.
Di samping meditasi, mereka bisa mendiskusikan Dhamma, membaca sesuatu yang membangkitkan semangat dan bermanfaat dari kitab suci, menyanyikan lagu pujian Buddhis tentang ketidakkekalan, penderitaan dan tidak adanya diri yang kekal, atau memberikan pidato tentang saya. Tentunya, dalam pidato, mereka tidak perlu hanya memuji saya, mereka boleh berterus terang tentang kebaikan dan keburukan saya. Kita sudah pasti tidak sempurna. Kita memiliki kekurangan dan kelemahan, kita memiliki bagian yang seimbang antara nafsu keinginan, kepuasan, kemarahan, dan kebodohan. Jadi, mereka boleh mengatakan: “Visuddhacara adalah seorang yang baik, ramah, pengertian dan jenis orang yang sabar (sebagaimana saya akan berpikir dengan sombongnya tentang diri saya), tapi kadang-kadang dia bisa marah ketika ada yang tidak sesuai dengan yang dia inginkan. Dia bisa membentak padamu tanpa disadarinya. Dia bisa sangat angkuh, lekas marah dan berkeras dalam pendirian (seperti dia yang sekarang). Saya heran, ‘Ke mana kesadarannya?’ Walau dia telah membuat banyak orang bahagia dalam hidupnya, dia juga telah membuat banyak orang menderita, yang mungkin tidak pernah memaafkannya sampai hari ini. Ah, sungguh ironi dan tragedi kehidupan! Betapa kita bisa bersikap baik dan juga sebaliknya sepanjang kehidupan kita … Dan ketika melakukan pengeditan, dia sangat teliti bahkan hanya untuk satu titik dan koma, dan dia akan kecewa jika dia melihat ada yang tidak teredit dengan benar. Dan setelah sekian tahun menjadi bhikkhu, dia masih saja, e hem, belum terlepas dari kemelekatan untuk menikmati secangkir kopi dan teh kesukaannya. Saya khawatir dia masih seorang yang bodoh seperti yang dia akui ketika dia masih hidup. Dan sayangnya, oleh karena itu, dia harus mengalami beberapa kelahiran lagi sebelum dia dapat mencapai penerangan. Semoga Anda beruntung pada kelahiran Anda yang baru, Yang Mulia Bhante.”
Dan seterusnya, dan sebagainya. Tidak masalah bagi saya. Dan sekalipun iya, saya tidak akan ada di sana untuk mempermasalahkannya! Dan tentu saja, orang-orang boleh tertawa, menitikkan air mata, dan belajar sesuatu. Karena saya selalu mengikuti motto sederhana ini: “Jika Anda mengetahui atau mendengar seseorang berbuat baik atau berkelakuan terpuji dan patut dihargai, katakanlah ‘Hore!’ dan teladani dia. Dan jika Anda mengetahui atau mendengar seseorang berbuat jahat atau berkelakuan menjengkelkan, katakan pada dirimu, ‘Oh, sebaiknya saya tidak melakukannya. Lebih baik saya tidak berkelakuan seperti orang itu.’ Dengan cara ini, Anda mempelajari keduanya baik dan buruk. Anda memutuskan mengikuti yang baik dan menghindari yang buruk. Baik dan buruk, keduanya dapat melatih kita.