//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: SA?KH?RA (PENGKONDISI)  (Read 3117 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« on: 20 April 2009, 06:10:01 PM »
MATA RANTAI KE 2: SAṄKHĀRA/PENGKONDISI

Penyebab dari Viññāṇa adalah Saṅkhāra, seperti yang dijelaskan sbb:
“Terdapat 3 jenis Saṅkhāra yakni:
kaya- saṅkhāra,
vacī- saṅkhāra,
citta- saṅkhāra.”


Sutta-Sutta dalam Paṭiccasamuppāda tidak menjelaskan saṅkhāra lebih jauh lagi. Karenanya, mata rantai ke 2, saṅkhāra, adalah istilah yang kontroversial lainnya. Saṅkhāra telah diterjemahkan secara luas, yakni sebagai pembentukan, proses, aktivitas, terkondisi, tersusun, dll.

Menurut interpretasi tradisional Paṭiccasamuppāda dari Abhidhamma dan Kitab Komentar,
saṅkhāra adalah proses bekerjanya kamma (niat/kemauan). Sehubungan dengan ini, mereka sering menerjemahkan saṅkhāra sebagai aktivitas atau pembentukan. Tetapi, kita lebih menyenangi untuk menerjemahkannya sebagai pengkondisi (faktor yang mengkondisikan/menentukan).

Yang Mulia Ñāṇamoli adalah bhikkhu kebangsaan Inggris yang menerjemahkan Visuddhimagga. Beliau telah wafat dan secara umum diakui sebagai seorang penerjemah yang handal. Dalam buku-buku terdahulunya, beliau menerjemahkan saṅkhāra sebagai pembentukan. Tetapi, dalam buku (kemungkinan) terakhir yang diterjemahkannya, Majjhima Nikāya, beliau menerjemahkan saṅkhāra sebagai faktor penentu (determinant).

Faktor penentu adalah terjemahan yang sangat bagus (sesuatu yang bertindak sebagai faktor penentu timbulnya sesuatu yang lainnya), dan yang pertama sekali digunakan. Terjemahan pengkondisi mengandung makna yang sama. Ia berarti sesuatu yang mengkondisikan timbulnya sesuatu yang lain. Ini adalah makna dari Saṅkhāra yang kita temui dalam Sutta-Sutta.

A. Penjelasan Saṅkhāra dalam Sutta-Sutta.

1.) Di Sutta 22.79 (Khandha Saṃyutta), Sang Buddha berkata,

“Dan mengapa, para bhikkhu, mereka disebut sebagai pengkondisi?
‘Mereka mengkondisikan yang terkondisi’;
itulah sebabnya, para bhikkhu, mereka disebut pengkondisi.”

Dalam Pali, berbunyi “sankhātaṃ abhisankharontī ti bhikkhave tasmā saṅkhāra ti vuccanti.”
Kata abhisankharontī adalah untuk mengkondisi.
Kata saṅkhata adalah terkondisi.
Jadi kita lebih menyenangi penjelasan saṅkhāra sebagai pengkondisi daripada faktor penentu karena saṅkhata selalu diterjemahkan sebagai terkondisi.
Demikianlah pengkondisi disebut karena mereka mengkondisikan yang terkondisi.

Sang Buddha melanjuti :

“Dan apa yang terkondisi yang mereka kondisikan?
Materi sebagai materi adalah sesuatu yang terkondisi yang mereka kondisikan (rūpam rūpattāya sankhātaṃ abhisankharontī).
Perasaan sebagai perasaan adalah sesuatu yang terkondisi yang mereka kondisikan.
Persepsi… Kemauan… Kesadaran…
Mereka mengkondisikan yang terkondisi;
itulah sebabnya, para bhikkhu, mereka disebut pengkondisi.”

Demikianlah, pengkondisi mengkondisikan 5 kelompok kehidupan (materi, perasaan, persepsi, kemauan, dan kesadaran). Pengkondisi mengkondisikan yang terkondisi. Pengkondisi juga mengkondisikan pengkondisi yang lainnya.

Ini diilustrasikan sbb:
Penyebab munculnya B adalah A. Jadi, A adalah pengkondisi bagi munculnya B, Dan B adalah yang terkondisi. Ketika keberadaan B muncul, Ia mengkondisikan C. Sekarang B menjadi pengkondisi. Dengan cara yang serupa, C, yang terkondisi, selanjutnya menjadi pengkondisi bagi timbulnya sesuatu yang lainnya. Demikianlah, pengkondisi (A) mengkondisikan yang terkondisi (B) dan dapat juga dikatakan mengkondisi pengkondisi (B). Itu adalah makna dasar dari kata saṅkhāra (pengkondisi). 

2) MN 43 (Mahavedalla Sutta) :

Di sana Arahat Sāriputta menjelaskan bahwa 5 indera dari mata, telinga, hidung, lidah dan tubuh jasmani terwujud dengan bergantungan pada kehidupan (āyu). Jadi, karena kita memiliki kehidupan, kita memiliki 5 indera ini (mata, telinga, hidung, lidah, tubuh jasmani). Sutta ini menjelaskan bahwa kehidupan terwujud bergantungan pada panas dan juga dikatakan bahwa panas terwujud bergantungan pada kehidupan. Jadi, kehidupan dan panas bergantungan satu sama lain, mengkondisikan satu sama lain.

Di bagian selanjutnya dari Sutta, dikatakan bahwa
“Āyu- saṅkhāra bukanlah suatu keadaan perasaan.
Jika āyu - saṅkhāra adalah suatu keadaan perasaan, lalu ketika seorang bhikkhu memasuki landasan berhentinya perasaan dan persepsi (yakni berhentinya kesadaran), dia tidak mungkin keluar daripadanya.”

Kitab Komentar menyebutkan āyu - saṅkhāra adalah āyu (kehidupan) itu sendiri. Ini tidak mungkin. Jika āyu - saṅkhāra adalah kehidupan itu sendiri, tentu tidak ada kebingungan mengenai perasaan. Kehidupan dan perasaan secara jelas cukup berbeda satu sama lain.

Tetapi, jika āyu - saṅkhāra adalah panas, maka terdapat kebingungan dengan perasaan. Ini karena kita biasanya berkata, “Saya merasa panas,” atau “Saya merasakan panasnya,” yakni kita merasakan panas sebagai bagian dari perasaan. Jadi, terdapat kebingungan antara panas dengan perasaan. Jadi, Sutta ini dengan jelas menunjukkan bahwa kata āyu - saṅkhāra berarti panas.

Berhubung kehidupan bergantungan pada panas, saṅkhāra sekali lagi digunakan secara jelas sebagai pengkondisi, yakni pengkondisi dari kehidupan (āyu - saṅkhāra) adalah panas.

Karena tidak mengenali bahwa saṅkhāra berarti pengkondisi maka Kitab Komentar telah membuat kesalahan sehubungan dengan āyu - saṅkhāra ini.

3) Kata saṅkhāra juga digunakan dalam 5 kelompok kehidupan (Pañcakhandha) sebagai niat/kemauan.

Ini ditemui dalam Sutta SN 22.56 dan 57 (Khandha Saṃyutta), yang mengatakan:

“Dan apa, para bhikkhu, saṅkhāra itu?
Saṅkhārā adalah 6 badan kemauan (cetanākaya) ini – kemauan sehubungan dengan bentukan, kemauan sehubungan dengan bunyi, kemauan sehubungan dengan bau-bauan, kemauan sehubungan dengan cita-rasa, kemauan sehubungan dengan sentuhan, kemauan sehubungan dengan objek-objek pikiran. Ini, para bhikkhu, yang disebut saṅkhāra.”

Jadi di sini, saṅkhāra merujuk kepada keseluruhan badan niat/kemauan.

Jadi, kita lihat dari ketiga Sutta di atas bahwa saṅkhārā secara umum berarti pengkondisi
kecuali ketika digunakan dalam konteks 5 kelompok kehidupan yang berarti kemauan.

Sesuai dengan terjemahan tradisional dari Kitab Komentar, dll, saṅkhāra umumnya berarti aktivitas/pembentukan atau yang terkondisi.
Jadi, dalam kalimat “Sabbe saṅkhāra anicca”, mereka berkata bahwa saṅkhāra berarti yang terkondisi. Ini tidak sesuai karena seperti yang telah kita tunjukkan sebelumnya,

saṅkhata berarti yang terkondisi,
sebaliknya saṅkhāra berarti pengkondisi menurut Sutta
.

Jika kalimatnya dibaca “Segala pengkondisi adalah tidak kekal”, artinya jika segala pengkondisi (yang mengkondisikan sesuatu yang terkondisi) tidak kekal, seberapa jauh lagi yang dapat dikatakan tentang ketidak-kekalannya sesuatu yang terkondisi? Ini adalah ajaran Sang Buddha yang dapat ditemui di Sutta MN 146.
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
Re: SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« Reply #1 on: 21 April 2009, 10:04:25 AM »
B. 2 set dari saṅkhāra yang ditemui dalam Sutta-Sutta.

Kebingungan dan kontroversi muncul berkenaan dengan terjemahan Saṅkhāra karena Sutta-Sutta berbicara tentang 2 set dari 3 jenis saṅkhāra, dan mereka hampir serupa:
(i) Kāya-saṅkhāra, vacī-saṅkhāra, citta-saṅkhāra.
(ii) Kāya-saṅkhāra, vacī-saṅkhāra, mano-saṅkhāra.

Dalam Nikāya, 2 set dari 3 jenis saṅkhāra ini digunakan secara terpisah, misalnya di Cūḷavedalla Sutta MN 44 dan Kamabhu Sutta SN 41.6 ditemui set pertama, sementara di AN 4.171, SN 12.25, MN 57, dll kita menemukan set kedua dari saṅkhāra.

Di MN 44,
umat awam Visakha bertanya pada Arahat Dhammadinna,
“Yang Mulia, berapa banyakkah saṅkhāra yang ada?”
Arahat Dhammadinna menjawab,
“Ada 3 saṅkhāra ini, sahabat Visakha:
saṅkhāra tubuh jasmani, saṅkhāra ucapan, dan saṅkhāra batin.”

Jadi ketiga jenis saṅkhāra yang disebutkan di sini (kāya - saṅkhāra, vacī - saṅkhāra, citta - saṅkhāra) adalah persis sama dengan ketiga jenis saṅkhāra di Paṭiccasamuppāda.

Kemudian, beliau menerangkan lebih lanjut,

“Sahabat Visakha, bernafas masuk dan bernafas keluar adalah saṅkhāra tubuh jasmani.
Pemikiran tertuju dan pemikiran yang terus-menerus adalah saṅkhāra ucapan. Persepsi dan perasaan adalah saṅkhāra batin…

Sahabat Visakha, bernafas masuk dan bernafas keluar bersifat jasmani, keadaan-keadaan ini berhubungan dengan tubuh. Itulah sebabnya mengapa bernafas-masuk dan bernafas keluar merupakan saṅkhāra tubuh jasmani.

Pada awalnya seseorang menujukan pemikiran, dan meneruskan pemikiran, dan lambat laun dia mengeluarkannya dalam bentuk ucapan. Itulah sebabnya mengapa pemikiran tertuju dan pemikiran yang terus-menerus merupakan saṅkhāra ucapan.

Persepsi dan perasaan bersifat batin, keadaan-keadaan ini berhubungan dengan batin. Itulah sebabnya mengapa persepsi dan perasaan merupakan saṅkhāra batin.”

Ketiga jenis saṅkhāra (kāya-saṅkhāra, vacī-saṅkhāra, citta-saṅkhāra) yang tidak dijelaskan di Paṭiccasamuppāda dijelaskan di sini.
Sankhārā tubuh jasmani merujuk pada nafas masuk dan keluar.
Saṅkhāra ucapan merujuk pada pemikiran tertuju dan pemikiran yang terus-menerus (vitakka-vicāra).
Saṅkhāra batin merujuk pada perasaan dan persepsi.


Tubuh bergantungan pada nafas yakni: nafas adalah pengkondisi untuk tubuh jasmani. Pemikiran mengkondisikan ucapan karena kita berpikir sebelum berbicara, oleh karenanya, pemikiran disebut pengkondisi untuk ucapan. Untuk 
pergerakkan batin, harus ada persepsi dan perasaan (yang selalu diselingi oleh kesadaran), jadi persepsi dan perasaan adalah pengkondisi untuk batin.

Jadi, di set pertama dari 3 jenis saṅkhāra ini (kāya-saṅkhāra, vacī-saṅkhāra, citta-saṅkhāra) seperti yang ditemui di Sutta MN 44 dan SN 41.6, saṅkhāra digunakan sebagai pengkondisi.

Untuk memahami kāya, vacī dan citta saṅkhāra sedikit lebih jelas lagi, kembali kita merujuk kepada MN 44. Di MN 44, dinyatakan:

“Ketika seorang bhikkhu sedang mencapai berhentinya perasaan dan persepsi (yakni berhentinya kesadaran),
awalnya, saṅkhāra ucapan berhenti, kemudian saṅkhāra tubuh jasmani, kemudian saṅkhāra batin….
Ketika seorang bhikkhu sedang muncul dari pencapaian berhentinya perasaan dan persepsi,
awalnya, saṅkhāra batin muncul, kemudian saṅkhāra tubuh jasmani, lalu saṅkhāra ucapan.”

Sutta SN 36.11 menjelaskan bahwa berhentinya saṅkhāra adalah berhubungan dengan Jhāna. Dikatakan,

“Berhentinya saṅkhāra-saṅkhāra adalah secara bertahap.
Di Jhāna pertama, ucapan berhenti;
di Jhāna kedua, vitakka-vicāra (pemikiran) berhenti;
di Jhāna ketiga, pīti (kegirangan) berhenti;
di Jhāna keempat, nafas berhenti…
di berhentinya perasaan dan persepsi, perasaan dan persepsi berhenti.”

Demikianlah, berhentinya ucapan adalah Jhāna pertama, berhentinya vitakka-vicāra (pengkondisi untuk ucapan) adalah Jhāna kedua, dan berhentinya nafas adalah Jhāna keempat.

Dari sini, kita pahami bahwa ketika seorang Arahat memasuki keadaan berhentinya kesadaran, hal-hal yang berturut-turut terjadi adalah (mengikuti Sutta MN 44 di atas):
1) Vitakka-vicāra (pengkondisi untuk ucapan) berhenti; yakni pencapaian Jhāna kedua.
2) Pernafasan (pengkondisi untuk tubuh jasmani) berhenti, yakni pencapaian Jhāna keempat.
3) Perasaan dan persepsi (pengkondisi untuk batin) berhenti, yakni pencapaian berhentinya perasaan dan persepsi (dan kesadaran).

Dari sini kita pahami bahwa ketika seseorang sedang mencapai berhentinya kesadaran, ketiga jenis saṅkhāra ini harus berhenti secara bertahap.
Yang pertama pengkondisi ucapan (pemikiran) berhenti, diikuti oleh pengkondisi tubuh jasmani (nafas) dan yang terakhir pengkondisi batin (perasaan dan persepsi) berhenti.

Set kedua dari 3 jenis saṅkhāra yang terdapat di Sutta-Sutta (kāya-saṅkhāra, vacī-saṅkhāra, mano-saṅkhāra) digunakan secara berbeda. Mari kita perhatikan bagaimana mereka disebutkan dalam sutta SN 12.25 (lampiran yang sama juga muncul di AN 4.171) dan MN 57. 

Di SN 12.25, Sang Buddha berkata,
“Dengan kegelapan batin sebagai kondisi, baik oleh diri sendiri, Ānanda, seseorang mengerjakan saṅkhāra tubuh jasmani (kāya-saṅkhāra) yang diikuti oleh munculnya kesenangan dan penderitaan dari dalam; atau dikarenakan oleh orang lain, seseorang mengerjakan saṅkhāra tubuh jasmani, yang diikuti oleh munculnya kesenangan dan penderitaan dari dalam.”
(Serupa dengan saṅkhāra ucapan dan pemikiran).

Sang Buddha berkata bahwa niat atau kemauan itulah disebut kamma. Jadi di sini, kāya-saṅkhāra, vacī -saṅkhāra dan mano-saṅkhāra merujuk pada pembentukkan kamma.

Di MN 57, Sang Buddha berkata,
“Dan apa, Punna, tindakan gelap dengan hasil yang gelap?
Di sini, seseorang membangkitkan saṅkhāra tubuh jasmani yang menyebabkan penderitaan, saṅkhāra ucapan yang menyebabkan penderitaan, saṅkhāra pemikiran yang menyebabkan penderitaan…”

Di sini, Sang Buddha berbicara tentang tindakan gelap, yang tidak bermanfaat. Jadi, sekali lagi ketiga jenis saṅkhāra ini (kāya, vacī, mano) merujuk kepada pembentukkan kamma.

2 set dari 3 jenis saṅkhāra ini yang digunakan secara berbeda dalam Sutta tidak seharusnya membingungkan kita.

Kāya, vacī dan citta-saṅkhāra secara berturut-turut merujuk pada pernafasan, pemikiran serta perasaan-dan-persepsi. Mereka adalah 3 jenis pengkondisi yang mengkondisikan fungsi kehidupan dari suatu makhluk. Kita berfungsi melalui tubuh jasmani, ucapan dan batin.

Kāya, vacī dan mano-saṅkhāra merujuk pada bentukan kamma seperti yang ditunjukkan di atas. Bentukan kamma bisa saja bajik, tak bajik atau netral (menurut SN 12.51) dengan hasil yang berbeda-beda.
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline DNA

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 126
  • Reputasi: 23
  • Dhamma Nan Agung
Re: SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« Reply #2 on: 21 April 2009, 10:17:08 AM »
C. Mengapa Saṅkhāra seharusnya bermakna pengkondisi dalam Paṭiccasamuppāda.

Sekarang, mari kita teliti alasan-alasan yang menuntun kita pada kesimpulan bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda lebih mengarah pada pengkondisi daripada pembentukan kamma kehidupan masa lampau:

1) Abhidhamma dan Kitab Komentar menyebut bahwa Citta dan Mano adalah serupa dalam konteks Paṭiccasamuppāda, yang menuntun mereka pada kesimpulan bahwa sankhārā merujuk pada pembentukan Kamma. Ketika kita melihat ke dalam Nikāya, kita menemukan bahwa :

(a) dalam Sutta-Sutta yang menjelaskan saṅkhāra yang digunakan dalam Paṭiccasamuppāda (misalnya SN 12.2, MN 9) mereka selalu berbicara tentang serangkaian Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra, tidak pernah sekalipun rangkaian Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra;

(b) dalam Sutta-Sutta yang membahas saṅkhāra yang digunakan sebagai bentukan kamma (misalnya SN 12.25, AN 4.171, MN 57) mereka selalu berbicara tentang serangkaian Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra, tidak pernah sekalipun tentang Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra;
 
(c) dalam Sutta-Sutta yang membahas saṅkhāra dalam hubungannya dengan penghentian, yakni sebagai pengkondisi (misalnya SN 41.6, MN 44), mereka selalu menyebutkan rangkaian Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra, tidak pernah sekalipun tentang rangkaian Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra.

Jadi di sini, jelaslah pembuktian bahwa tidak ada kekeliruan dalam Sutta-Sutta sehubungan dengan Citta&Mano. Tidak dapat ditemui satu Sutta pun yang menunjukkan pencampuran antara Citta dan Mano. Seperti apa yang dikatakan Abhidhamma dan Kitab Komentar, Citta dan Mano sinonim/sama dalam Paṭiccasamuppāda, maka kita dapat mengharapkan untuk menjumpai setidaknya satu Sutta yang dapat menunjukkannya (misalnya Citta-saṅkhāra digunakan sebagai pembentukan Kamma atau Mano-saṅkhāra digunakan sebagai pengkondisi). Jadi apabila kita mengandalkan Nikāya, kita harus berkata bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda merujuk pada Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra yang digunakan sebagai pengkondisi dan berhubungan dengan penghentian seperti yang diberikan dalam Sutta SN 41.6 dan MN 44.

2) Susunan formula dari Kesunyataan Mulia kedua adalah:

“Dan apa, para bhikkhu, asal mula penderitaan?
Nafsu keinginan yang menghasilkan keberadaan selanjutnya…”

Jadi nafsu keinginanlah (yang menimbulkan keterikatan) yang menghasilkan kelahiran kembali. Kita dapat juga berkata keinginan untuk hidup yang menyebabkan suatu makhluk untuk dilahirkan kembali (atau berlanjut keberadaannya), karena keinginan untuk hidup berhubungan langsung dengan nafsu keinginan dan keterikatan.

Mari kita lihat Sutta SN 12.37 dimana Sang Buddha berkata:
“Tubuh jasmani, para bhikkhu, bukanlah milikmu, juga bukan milik orang lain. Hendaknya kita katakan berasal dari kamma masa lampau (purāṇam kamma), dari rencana, dari kemauan, dari perasaan”.

Ketika kita melihat kepada 4 faktor ini, kita menemukan :
(i) kamma masa lampau (past-life kamma)– kamma pada dasarnya adalah niat atau kemauan.
(ii) Rencana (plans) – untuk melakukan ini atau itu, yakni ambisi/keinginan yang tidak terpenuhi.
(iii) kemauan (volitions)– niat/kemauan untuk hidup (pada dasarnya) yang berhubungan dengan kamma dan nafsu keinginan.
(iv) perasaan (feelings)– hasrat terhadap sesuatu/seseorang yang amat dicintai, dll.

Ketika kita menganalisa ke 4 faktor ini,
kita menjumpai bahwa rencana, kemauan dan perasaan berhubungan langsung dengan nafsu keinginan untuk keberadaan (kelahiran kembali)
sementara kamma masa lampau adalah faktor yang pasif untuk kelahiran kembali, bila tidak, ia seharusnya dikelompokkan bersamaan dengan kemauan.

Kelihatannya bahwa kamma masa lampau merujuk pada kamma masa lampau yang biasa
sementara kemauan adalah kamma khusus dari keinginan untuk hidup yang berhubungan langsung dengan kelahiran kembali.

Bukan kamma masa lampau yang menghasilkan kelahiran kembali, tetapi keinginan untuk hidup yang disebabkan oleh kegelapan batin.

Hasil dari Kamma masa lampau akan berfungsi jika ada kelahiran kembali, yang menentukan jenis dunia yang ditimbulkan oleh kesadaran, menyenangkan atau menderita atau perasaan netral yang dialami, dll.

Kasus dari pembunuh Angulimala adalah ilustrasi yang sangat bagus. Dia menciptakan kamma buruk yang sangat berat, tetapi tidak membawa pada kelahiran kembali.
Dengan melenyapkan kegelapan batin dan nafsu keinginan, dan juga melepaskan keinginan untuk hidup, Arahat Angulimala sepenuhnya mengakhiri kelahiran kembali.

Juga, kita lihat bahwa asañña-satta (makhluk tanpa persepsi, perasaan & kesadaran) dari alam Jhāna 4 berhenti menciptakan kamma, karena mereka tidak mempunyai kesadaran, hanya memiliki tubuh, tetapi ini tidak mengakhiri kelahiran kembali. Jadi walaupun kamma masa lampau pada dasarnya adalah niat atau kemauan, tetapi tidak disatukan dengan faktor (iii), kemauan yang berkaitan dengan niat/kemauan untuk hidup.

Di sinilah alasannya mengapa ada 2 rangkaian dari saṅkhāra dalam Sutta-Sutta. Rangkaian dari Kāya/Vacī/Mano-saṅkhāra tidak diragukan merujuk pada kemauan sebagai pembentukan kamma.
Rangkaian Kāya/Vacī/Citta-saṅkhāra yang akan ditunjukkan di bawah merujuk pada kemauan sebagai pengkondisi.

Ketika kita menganalisa pengkondisi - pengkondisi, kita menemukan:
(i) Kāya-saṅkhāra, yakni pernafasan, adalah disengajai/diniati (dengan tujuan untuk hidup), bukan tidak disengajai. Kita hanya menyadarinya ketika nafas kita terganggu dan kita sedang kekurangan nafas – betapa terdesaknya keinginan untuk bernafas!
(ii) vacī-saṅkhāra, yakni pemikiran, pada dasarnya berhubungan dengan pelindungan diri dan penjagaan diri. Tanpa faktor ini, suatu makhluk tidak dapat bertahan hidup di dunia.
(iii) Citta-saṅkhāra, yakni perasaan dan persepsi, diikuti oleh kemauan, di sini adalah kemauan untuk hidup.

Jadi, ketiga pengkondisi tersebut semuanya berhubungan dengan menopang hidup suatu makhluk, yakni berhubungan dengan kemauan untuk hidup.

Jadi, dikarenakan kegelapan batin maka ada niat/kemauan untuk hidup
dan ke 3 pengkondisi bekerja menopang hidup dan berfungsinya suatu makhluk melalui tubuh jasmani, ucapan dan pemikiran.
Apabila kehidupan telah tertopang, ia mengkondisikan munculnya kesadaran, mentalitas-materi, dll (mata rantai lainnya) – menjadi penyebab munculnya keseluruhan massa penderitaan.


Jadi pengkondisi berhubungan dengan Paṭiccasamuppāda. Ini adalah penjelasan yang lebih baik daripada berkata bahwa kita menciptakan kamma di masa lampau kita dikarenakan oleh kegelapan batin – yang tidak tampak dalam kehidupan ini dan tidak menjelaskan mengapa saya terus ada sekarang, saat yang satu ke saat yang lain (yang dijelaskan pengkondisi).

3) Untuk menjelaskan berhentinya penderitaan, yakni pencapaian parinibbāna, kita dihadapkan dengan pertanyaan yang sangat penting, yakni :
“Apakah pencapaian parinibbāna harus selalu mengalami proses berhentinya pengkondisi seperti yang tertera dalam Cūḷavedalla Sutta, MN 44?”
Jika benar, maka dengan jelas menunjukkan bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda merujuk pada pengkondisi dan bukan bentukan kamma.

Ketika kita meneliti Mahā Parinibbāna Sutta, DN 16, kita menjumpai bahwa untuk memasuki parinibbāna, Sang Buddha harus :
(i) dengan sengaja melepaskan kemauan untuk hidup, dan
(ii) memasuki parinibbāna dari Jhāna 4.

Ini menunjukkan bahwa Sang Buddha mengalami proses berhentinya pengkondisi dalam pencapaian parinibbāna. Ketika kita mempertimbangkan bahwa parinibbāna adalah suatu keadaan dari berhentinya persepsi dan perasaan (DN 11), maka kita memahami mengapa pencapaian parinibbāna harus mengalami proses berhentinya pengkondisi.

Juga Jhāna – Jhāna adalah selang keadaan antara kesadaran normal yang disadari dan berhentinya kesadaran (parinibbāna), itulah sebabnya mengapa mereka harus dicapai dalam memasuki parinibbāna.

Jika saṅkhāra berarti pembentukan kamma, maka Sang Buddha tidak perlu dengan sengaja melepaskan kemauan untuk hidup atau mengalami berhentinya pengkondisi (yakni Jhāna ke 2, Jhāna ke 4, penghentian) berhubung Beliau telah mengakhiri pembentukan kamma (yang sepatutnya secara otomatis menuntun Beliau pada berhentinya kesadaran). Ini mengkonfirmasikan bahwa saṅkhāra dalam konteks Paṭiccasamuppāda berarti pengkondisi, bukan pembentukan kamma.

Seseorang dapat melanjuti argumen bahwa pencapaian penghentian di MN 44 hanyalah penghentian sementara yang bahkan Anāgāmi dapat mengalaminya, sementara penghentian yang disebutkan dalam Paṭiccasamuppāda adalah penghentian yang permanen.
Tetapi, pertanyaan apakah pencapaian penghentian adalah relevan dengan Paṭiccasamuppāda atau tidak, hal ini tidak bergantung pada faktor waktu, berhubung waktu untuk terwujudnya akibat yang dihasilkan bukanlah pertimbangan dalam Paṭiccasamuppāda.

Akan tetapi, seharusnya menjadi pertanyaan apakah hanya Anāgāmi dan Arahat saja yang dapat mengalaminya (penghentian), yakni menuntun pada parinibbāna, atau apakah orang lain dapat mengalaminya tanpa tertuntun menuju parinibbāna. Sejauh yang kita ketahui, hanya Anāgāmi dan Arahat saja yang dapat mengalaminya. Juga Sutta AN 7.6.52 memberikan perumpamaan dari Anāgāmi yang berdiam tenang secara alami menuju parinibbāna seperti kepingan besi 
panas yang dipadamkan, yang menunjukkan bahwa Anāgāmi tidak perlu berjuang lagi untuk pencapaian parinibbāna.

4) Jika kita menerjemahkan saṅkhāra sebagai pembentukan kamma, maka pembentukan kamma mengkondisikan kesadaran (yang diterjemahkan sebagai kelahiran kembali menurut Abhidhamma/Kitab Komentar).

Maka, kamma masa lampau (mata rantai no.2) mengkondisikan kelahiran masa sekarang (mata rantai no.3).
Tetapi, pada mata rantai urutan bawah, kita menemukan bahwa nafsu keinginanlah (mata rantai no.8), keterikatan (mata rantai no.9) dan keberadaan (mata rantai no.10) yang mengkondisikan kelahiran kembali (mata rantai no.11).

Jadi, ada kontradiksi dalam hal penyebab kelahiran kembali. Tetapi, dengan pengkondisi sebagai terjemahannya, tidak ada kontradiksi karena pengkondisi berhubungan langsung dengan nafsu keinginan dan keterikatan seperti yang disebutkan di atas.

5) Sang Buddha berkata bahwa Dhamma Beliau adalah “sanditthiko” - dapat dilihat/dibuktikan dalam kehidupan ini juga.
Maka oleh itu, kita menjumpai, sebagai contoh, di Maha Nidāna Sutta (DN 15), Paṭiccasamuppāda hanya dijelaskan dengan 10 mata rantai daripada 12 mata rantai pada umumnya.
Dengan pengecualian avijjā dan saṅkhāra, dan mulai dengan viññāṇa (kesadaran), yakni keberadaan saat ini.

Jadi, kelihatannya bahwa Paṭiccasamuppāda berhubungan dengan kehidupan saat ini yang mengkondisikan kehidupan selanjutnya, yakni interpretasi 2 masa kehidupan. Terjemahan saṅkhāra sebagai pengkondisi sesuai dengan interpretasi 2 masa kehidupan.

Kamma masa lampau tidak mudah dibuktikan. Tidak begitu jelas membandingkan dengan melihat bahwa kita ada karena pengkondisi dari perasaan-persepsi, pernafasan dan pemikiran.

Ini sekali lagi menunjukkan bahwa terjemahan saṅkhāra sebagai pengkondisi lebih diterima daripada pembentukan kamma.

D. Kewaspadaan

[…]
Kita juga harus waspada dengan pemenggalan bagian Sutta yang kita pakai sebagai contoh Paṭiccasamuppāda semata-mata karena Sutta tersebut tercantum dalam Nidāna Saṃyutta.

Sebagai contohnya di Sutta SN 12.61 Sang Buddha berkata :
 

“Tetapi, para bhikkhu,
apa yang kita sebut citta,
apa yang kita sebut mano,
apa yang kita sebut viññāṇa,
orang biasa yang tidak terlatih tidak mampu merasa muak dengannya, mereka tidak mampu berhenti menginginkannya, atau lepas darinya”.

Jadi, seseorang cukup kabur dengan mengatakan bahwa penggunaan tata bahasa dari pernyataan ini bersifat tunggal dalam hal “Tetap saja apa yang kita sebut citta … mano … viññāṇa …” yang secara tidak langsung menyatakan kesamaan dari 3 hal ini.. citta, mano dan viññāṇa;
dan karena Sutta muncul di Nidāna Saṃyutta, Saṃyutta Paṭiccasamuppāda, dengan demikian, hal itu berarti bahwa citta, mano dan viññāṇa adalah serupa dalam konteks Paṭiccasamuppāda!

Tetapi, kita tahu secara pasti tidak demikian halnya, bila tidak, mata rantai no.3, viññāṇa, dapat digantikan dengan citta atau mano, yakni mano mengkondisikan nāma-rūpa , dan sebaliknya, hal ini tidak benar. 

Sumber: Paticcasamuppada-Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera
May these merits of mine lead me to the extinction of all defilements
May these merits of mine be conducive to my attainment of Nibbana
May all sentient beings obtain the share of my merits and be well and happy always. Sadhu3..

Offline Yumi

  • Sebelumnya snailLcy
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.353
  • Reputasi: 123
  • Gender: Female
  • Good morning, Sunshine..
Re: SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« Reply #3 on: 07 November 2009, 03:28:25 PM »
tanya nih, kan spt yg disebutkan bhw sankhara (pengkondisi) ada 3, kaya-sankhara -> pernafasan yg diniati; vaci-sankhara -> vitakka-vicara; citta sankhara -> perasaan & persepsi.

Trs, urutan asal mula dukkha: kesadaran, kontak, perasaan, persepsi, kehendak (sankhara), keinginan (tanha), awal pikiran, kelangsungan pikiran.

Apakah ini berarti, di antara nidana ke-1 (avijja) & nidana ke-2 (sankhara) tdpt tanha jg krn disebabkan keinginan dulu, baru vitakka-vicara (vaci-sankhara)? Klo begitu, jadiny perenungan tanha dlm paticca samuppada ada 2x dunk (di antara avijja & sankhara dengan nidana ke-8)? cmiiw
Para bhikkhu, fajar berwarna kuning keemasan adalah pertanda awal terbitnya matahari.
Demikian pula, kesempurnaan sila adalah awal timbulnya Jalan Mulia Berunsur Delapan.
~Silasampada Sutta - Suryapeyyala~

Offline char101

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 237
  • Reputasi: 13
Re: SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« Reply #4 on: 07 November 2009, 06:46:14 PM »
Di paticcasamuppada, sankhara yang dimaksud adalah cetana yang berpotensi menghasilkan kamma-vipaka (akibat kamma). Kata sankhara punya banyak arti tergantung konteksnya.

Offline Peacemind

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 970
  • Reputasi: 74
Re: SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« Reply #5 on: 07 November 2009, 09:40:46 PM »
Setelah membaca artikel di atas, saya malah berpendapat bahwa saṅkhāra bisa diartikan sebagai pengkondisi dan terkondisi. Contoh yang sederhana, vedana sebagai salah satu cittasaṅkhāra, jika dilihat dari sudut pandang 12 faktor sebab-musabab yang saling bergantungan, bisa dikatakan sebagai "pengkondisi" munculnya taṇha (nafsu keinginan), dan juga bisa dikatakan sebagai "terkondisi" karena vedana sendiri muncul dikondisikan oleh kontak (phassa).

Be happy.

Offline Nevada

  • Sebelumnya: Upasaka
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 6.445
  • Reputasi: 234
Re: SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« Reply #6 on: 07 November 2009, 10:22:37 PM »
Dari timbulnya avijja, sebenarnya di saat itu pula muncul tanha (nafsu-keinginan) dan upadana (kemelekatan). Dengan kata lain, dari munculnya ketidaktahuan (avijja) maka muncul pula kegelapan batin (kamasava - kekotoran batin yang berupa nafsu indria, bhavasava - kekotoran batin yang berupa hasrat untuk menjadi, dan ditthasava - kekotoran batin yang berupa kemelekatan terhadap pandangan keliru).

Ketika istilah "avijja" digunakan, maka mencakup pula nafsu-keinginan (tanha) dan kemelekatan (upadana) yang akan memunculkan rantai selanjutnya, yaitu "sankhara". Dalam hal ini, avijja merupakan sebab lampau. Sedangkan tanha (nidana ke-7) dan upadana (nidana ke-8) adalah sebab di masa kini, namun sebenarnya mengandung arti yang sama. Avijja diklasifikasikan sebagai penentu dari yang lampau, sedangkan tanha dan upadana diklasifikasikan sebagai penentu di masa kini.

Offline Jerry

  • Sebelumnya xuvie
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.212
  • Reputasi: 124
  • Gender: Male
  • Suffering is optional.. Pain is inevitable..
Re: SA?KH?RA (PENGKONDISI)
« Reply #7 on: 08 November 2009, 02:24:36 AM »
Menurut Ajahn Buddhadasa:
Sankhara memiliki 3 makna tergantung konteks ia digunakan: kondisi, yang mengkondisi dan proses pengondisian. _/\_
appamadena sampadetha

 

anything