imo, dhamma yang telah sempurna dibabarkan adalah dhamma yang direalisasikan oleh orang suci, di sini, saat ini (paccatam veditabbo vinnuhi & sanditthika), bukan segala macam tulisan yang ada di tipitaka. dhamma yang sempurna dibabarkan adalah rembulan, bukan telunjuknya. dalam membaca telunjuknya setiap orang mempunyai interpretasi masing2 dalam memahami latar belakang, tujuan dan maksudnya.
Ya, saya setuju bahwa dhamma yang dimaksud adalah 'Buddha-dhamma'. Hanya saja kalau saya berpendapat bahwa aturan-aturan dalam vinaya (termasuk penahbisan bhikkhuni) juga ditetapkan oleh Buddha dengan pertimbangan. Berdasarkan ini, jika terkendala vinaya, lebih baik seseorang mencari alternatif lain yang tidak menyalahi vinaya tersebut (misalnya menjadi petapa wanita tanpa status aliran tertentu, atau dengan cukup menjadi Samaneri/dasasilamata/atthasilani, atau lain-lain), ketimbang secara langsung melanggarnya yang berarti kita telah
override keputusan Buddha.
Jika sudah sekali kita bersikap begitu, tidak ada lagi yang menghalangi kita untuk berbuat hal yang sama untuk point-point lainnya di masa depan. Nanti jika ada satu hal terkendala vinaya, tinggal diabaikan saja. Basis alasannya sama: interpretasi.
bisa dibilang diskusi ini akan selalu berujung pada pelanggaran peraturan atau tidak, dan itu akan berakhir dengan perbedaan pendapat.
Perbedaan pendapat selalu terjadi, itu sebabnya Buddha menetapkan aturan. Perihal orang mau ikut peraturan walaupun tidak menyenangkan, atau mencari celah pembenaran demi hal yang ia setujui, adalah hal lain lagi.
seperti halnya ada alasannya pertama kali hanya cukup dengan ehi bhikkhuni dan juga ada alasannya berubah menjadi penahbisan oleh bhikkhu dan akhirnya diganti menjadi penahbisan dua sisi dengan suatu alasan. alasan2nya tentunya didasari kondisi dan kejadian tertentu.
Kalau Buddha masih ada, tentu berbeda. Sama seperti eks-petapa lain yang harus menjalani masa percobaan, kalau memang Buddha merasa tidak perlu, maka di-skip dan langsung ditahbiskan penuh. Contoh lain adalah Buddha melarang penggunaan iddhi, tapi sesuai kondisi, bisa menyetujui penggunaannya.
Jadi kalau Buddha masih ada, pendapatnya langsung akan menjadi otoritas tertinggi, sebab memang dhamma-vinaya pun semua berasal dan bertumpu pada Buddha. Namun kalau Buddha tidak ada, otoritas tertingginya adalah dhamma-vinaya yang telah ditetapkan.
imo, kondisi spesial saat ini adalah sangha bhikkhuni punah. sebenarnya dengan kondisi spesial itu saja sudah cukup alasan untuk membangkitkan kembali sangha bhikkhuni dengan penahbisan oleh bhikkhu saja. mengapa tidak? kenapa sebuah organisasi tidak bisa bangkit kembali dengan alasan peraturannya sendiri menghalangi kebangkitannya...
Saya mau tanya aja. Misalkan di satu tempat suatu saat, sangha tinggal 5 orang bhikkhu tua dan sudah sakit-sakitan menjelang ajal, dan tidak ada orang yang mau jadi petapa lagi. Kemudian ada sekelompok orang yang mau, tapi mereka itu adalah buronan bersaudara yang membunuh ayah-ibu mereka. Bagaimana menurut bro morph, apakah dengan pertimbangan 'organisasi seharusnya bisa bangkit kembali walaupun melanggar peraturannya', seharusnya buronan itu ditahbiskan?
kalau mengenai pandangan yang dipermasalahkan, di jaman Buddha berbekal satu atau dua ajaran saja (langsung dari Sang Buddha atau gurunya) seorang bhikkhu/bhikkhuni dapat melatih diri. tidak ada keharusan bahwa seorang bhikkhu/bhikkhuni harus menerima seluruh point2 sistematika doktrinal terstruktur sebagai azas organisasi dan prasyarat untuk menjadi bhikkhu/bhikkhuni. seorang bhikkhu yang ingin berlatih anapanasati tidak harus menerima pandangan kamma timimbal lahir tilakkhana 4km 8jm pattica samuppada untuk bisa mulai berlatih... murid2 asajji yang hanya tahu ajaran abc tetaplah satu sangha dengan murid2 kassapa yang hanya tahu ajaran xyz...
Itulah masalahnya. Yang bro morph katakan adalah 'gambaran ajaran Buddha menurut Theravada'. Masalahnya, setiap sekte punya penggambarannya masing-masing.
tidak bisakah kita melihat status bhikkhuni dharmaguptaka sebagai bhikkhuni saja tanpa embel2? terlepas dari pandangan dan vinayanya (yg berbeda pada hal2 kecil dari vinaya theravada), status bhikkhuni dharmaguptaka tetaplah bhikkhuni. ditambah dengan kondisi spesialnya (kepunahan bhikkhuni theravada), kenapa tidak bisa memakai statusnya sebagai bhikkhuni untuk menghidupkan kembali sangha bhikkhuni theravada....?
Bukan saya yang menentukan. Tapi kalau saya pribadi, saya akan melihat 'bhikkhuni Dharmaguptaka' sebagaimana adanya, yaitu 'bhikkhuni dalam dhamma-vinaya yang berbeda dengan non-Dharmapguptaka'. Saya tidak akan memanipulasi persepsi menjadi 'bhikkhuni Dharmaguptaka adalah bhikkhuni aja, semua aliran sama'.
Sekali lagi, jika sekarang kita mulai menyama-nyamakan apa yang berbeda, tidak ada lagi yang menghalangi kita di masa depan untuk menyama-nyamakan lebih banyak lagi hal-hal yang sebetulnya berbeda. Mungkin kurang lebih akan seperti aliran campur aduk di Indo, yang dalam sesi khotbah 'Theravada' bisa diajarkan 'Sukhavati'.
sepertinya saya mulai mengulang point2 saya. mungkin udah deket dengan akhir diskusinya...
Ya, silahkan kalau mau sudahi.