//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - ryu

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 27
46
Jakarta - Gang-gang sempit dengan rumah yang saling berhimpitan menjadi pandangan khas di Kebon Singkong, Kelurahan Klender, Jakarta Timur. Inilah kampung pengemis.

Ada sekitar 3 RW di kawasan ini. Warga yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan pendatang. Mayoritas mereka berasal dari Indramayu, Jawan Barat.

Dulunya kawasan padat penduduk ini hanyalah hamparan kebun singkong. Namun sejak tahun 1980-an perlahan-lahan rumah semi permanen dibangun menggantikan tanaman singkong. “Sampai sekarang meski perkebunan singkong sudah tidak ada, kampung ini tetap disebut Kebon Singkong,” kata Yayan, tokoh pemuda di Jakarta Timur.

Seiring perkembangan, daerah Kebon Singkong menjadi kawasan padat dan ramai. Bahkan kawasan ini belakangan dilabeli "danger" sebab banyak residivis yang bersembunyi dan tinggal di kawasan ini.

Selain dikenal sebagai daerah yang rawan kriminalitas, daerah ini juga disebut-sebut sebagai kampung jablay. Dulu banyak perempuan penghibur yang sering mangkal di lokalisasi Prumpung, Jatinegara, mengontrak di daerah ini. Namun seiring meredupnya lokalisasi Prumpung, para pekerja seks komersial (PSK) yang tinggal di daerah tersebut perlahan berkurang. Sekarang di Kebon Singkong banyak dihuni para pengemis. Mereka adalah warga Indramayu.

“Setiap bulan puasa ratusan orang dengan menumpang truk datang ke sini mengontrak rumah," ujar Berra Hanson, warga Kebon Singkong, kepada detik+. Hanson yang memiliki 20 petak kontrakan mengaku kecipratan untung setiap bulan puasa. Sebab seluruh kontrakannya penuh terisi. Padahal bulan biasa paling hanya terisi separuhnya. Para pengontrak itu adalah pengemis yang rutin beroperasi di wilayah Menteng dan Jatinegara.

Tarif kontrakan milik Hanson bervariasi. Untuk petakan yang ada di bawah yang ukurannya 3x6 meter dipatok Rp 350 ribu-Rp 500 ribu per bulan. Untuk petakan yang di atas yang ukuranya lebih kecil harga sewa yang dikenakan Rp 150 ribu- Rp 250 ribu. Harga-harga itu sudah termasuk biaya listrik.

"Biar pengemis mereka bayar kontrakan selalu tepat waktu. Dan mereka membayar dengan uang pecahan seribuan hasil mengemis. Sudah diiketin duitnya sama mereka," celetuk Hanson sambil tersenyum.

Di Kebon Singkong, terdapat ratusan kontrakan yang dihuni para pengemis. Kalau bulan puasa tiba, jumlahnya makin banyak lagi. Sekitar 200-300 orang menyusul datang.

Para pengontrak tinggal dengan peralatan seadanya. Paling hanya tikar dan kasur lipat. Tidak ada perabot-perabot yang mewah. Padahal pendapatan mereka rata-rata per hari bisa dibilang lumayan. Mereka bisa mendapatkan uang paling kecil Rp 200 ribu per hari.

"Seorang pengemis yang ngontrak di saya bilang, paling apes mereka dalam sehari dapatnya Rp 200 ribu per hari. Tapi umumnya mereka dapat uang sekitar 500 ribu-Rp 600 ribu per hari," ujar Hanson.

Omongan Hanson bukan isapan jempol belaka. Sebab beberapa waktu lalu seorang nenek-nenek buta yang menghuni kontrakan miliknya mengaku kehilangan celengan. Nenek itu bilang uang yang ada di dalam celengan jumlahnya Rp 900 ribu hasil mengemis selama 4 hari sebelumnya.

"Bayangin aja dalam 4 hari saja nenek itu bisa menabung Rp 900 ribu. Kalau sebulan bisa dapat berapa duit itu nenek," kata pria asal Medan itu.

Sekalipun dapat duit banyak dari mengemis, namun kehidupan mereka di kontrakan seperti orang tidak punya. Sebab uang hasil mengemis biasanya secara rutin dikirim ke kampung untuk beli sawah dan membangun rumah.

Hanson mengaku pernah melihat rumah-rumah mereka saat menghadiri kondangan warga setempat yang menggelar acara khitanan anaknya di daerah Haur Geulis, Indramayu. Saat datang ikut hajatan di sana ia ditunjuki rumah para pengemis yang ngontrak di Kebon Singkong.

Alangkah terkejutnya Hanson karena ternyata rumah mereka di kampung besar dan rapi. Bahkan saat dia bertamu melihat perabotannya sangat wah. "Kamar mandi saja ada bathtubnya. Malah ada yang punya kolam renang segala," kata Hanson takjub.

Dari situlah Hanson dan sejumlah warga di Kebon Singkong maklum mengapa dari waktu ke waktu, warga dari Indramayu banyak berdatangan. Mereka ingin mengikuti jejak saudara atau tetangganya yang bisa hidup wah di kampung hanya dengan mengemis.

Nuki Senan, juga warga setempat, menjelaskan para pengemis yang tinggal di Kebon Singkong kebanyakan orang-orang tua, cacat dan anak-anak. Sementara bapak-bapak atau ibu-ibunya bertugas mengawasi dan mengantar jemput para pengemis. Mengapa demikian? Sebab bila yang mengemis adalah orang buta atau anak-anak biasanya mendapat uang banyak. Kalau orang dewasa apalagi dalam kondisi normal dapatnya sedikit. "Dapat Rp 30 ribu per hari saja sudah syukur," ujar Nuki.

Jangan heran jika orang-orang dewasa berasal dari desa tempat tinggal pengemis lebih menggantungkan ekonomi kepada anak-anaknya. Mereka disuruh mengemis. Hanya orang dewasa yang cacat yang justru mencari uang sendiri karena kondisi itu akan menerbitkan empati.

Demi mendapat empati, maka banyak orang buta di Kebon Singkong tidak mau diobati. Mobil-mobil pelayanan penyakit katarak yang sempat datang ke daerah itu selalu sepi peminat. "Mereka (orang buta) tidak mau diobati. Sebab kebutaan mereka anggap sebagai aset untuk mengemis. Begitu juga yang cacat," ujar Nuki.

Begitu berharganya orang buta di kalangan pengemis sampai-sampai antar sesama pengemis sering berselisih. Mereka berupaya mendapatkan mobil, ini merupakan istilah untuk orang buta yang mengemis. Terkadang terjadi persaingan harga sewa bagi pengemis buta ini.

"Di sini pengemis buta banyak yang beristri lebih dari satu orang. Mereka (orang buta) jadi rebutan karena dianggap sebagai aset untuk dapat uang," terangnya. Sekalipun wilayahnya banyak dihuni para pengemis, namun warga setempat yang bukan pengemis tidak merasa terganggu bila dicap sebagai kampung pengemis. Pasalnya, warga bisa ikut meraup berkah dari para pengemis itu. Paling tidak, kata Nuki, �warung atau rumah petakan jadi laku. �

Hubungan simbiosis mutualisme antara pengemis dan warga membuat hubungan bertetangga di Kebon Singkong berjalan harmonis. "Mereka tidak banyak berulah karena mereka kebanyakan menghabiskan waktunya di luar. Datang ke kontrakan hanya untuk istirahat saja," pungkasnya.


http://www.detiknews.com/read/2011/09/08/170252/1718474/159/mengemis-di-kota-hidup-mewah-di-desa?9922032

47
Mahayana / Bagaimanakah Cara Bertanya Tentang Satu Aliran?
« on: 07 September 2011, 03:18:44 PM »
 [at] kainyn, silahkan, keknya udah mulai dingin ;D

Saya tidak peduli ini Theravada vs Mahayana, Maitreya vs Theravada, Mahayana vs Maitreya, atau apa. Memang ini bermulai dari kecurigaan saya terhadap TS sebagai theravadin. Ternyata beliau bukan theravadin.

Tetapi bukan itu intinya, yang saya proteskan adalah TS yang tidak pernah (berarti tidak hanya di thread ini saja) menunjukkan itikad baik dalam berdiskusi tentang sesuatu yg tidak sesuai keyakinan TS (dalam thread ini, Mahayana). Dan ini bukan dipersepsikan oleh saya saja.

Bagi para rekan2 DC yang sudah biasa, mungkin ini tidak masalah. Tetapi bagi orang lain yang kebetulan googling dan masuk ke forum ini, atau bagi pemula, ini akan menjadi membingungkan. Dan mengesankan Agama Buddha penuh dengan sindiran.

Tetapi jika keputusan Glomod adalah demikian. Dengan prinsip 'Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung''; yang berarti di mana saya berada, saya mengikuti aturan di sana; maka saya menghormati Glomod selaku 'penetap aturan' di forum ini. Jika saya tidak bisa berdiskusi tanpa emosi maka saya tidak akan posting di thread ini ataupun thread serupa.

Salam untuk Kainyn_Kutho dan rekan DC lainnya _/\_
jadi kalau ada orang yang bertanya karena tidak sesuai dengan keyakinan tidak boleh ya?

harus seperti apa orang boleh bertanya?

48
Chan atau Zen / Suara Bodhidharma, Ven.Master Hsing Yun
« on: 07 September 2011, 10:56:58 AM »
Suara Bodhidharma, Ven.Master Hsing Yun

Popularitas dan nama yang tercemar tidak ada ukuran standar,
biarkan itu apa adanya.
Sukses dan gagal adalah takdir seseorang,
jangan salahkan orang lain.
Jika kita dapat belajar menjadi rendah hati,
pikiran kita akan tentram / jernih.
Dengan tidak ada kemelekatan yang berlebihan,
sifat kita menjadi murni.

Terdapat orang baik dan orang jahat.
Bagaimana dapat mengetahui mana orang baik di antara orang jahat?
Tidak ada aturan baku.

Penjahat akan menuduh orang baik atas perbuatan buruknya.
Orang yang beriman akan memberikan pujian kepada penjahat
yang berbuat kebaikan.

Ketika seseorang mendapat banyak pujian,
itu akan mengundang kecemburuan dan caci maki.

Di mata kita orang tersebut mulia, jika kita percaya padanya,
mengertinya, menghormatinya dan dia adalah Buddha bagi kita.

Bagaimanapun, jika kita tidak mengertinya, tidak mempercayainya,
lalu di hati kita, dia adalah seorang monster.

Lagipula Konfusius memandang setiap orang sebagai orang yg beriman,
sedangkan penjahat melihat setiap orang sebagai penjahat pula.


Popularitas dan nama yang tercemar tidak ada ukuran standar,
biarkan itu apa adanya.


Kadang-kadang popularitas maupun nama yang tercemar akan hilang
dengan sendirinya. Janganlah berlebihan mencari perhatian tentang
bagaimana orang lain menilai kita, baik maupun buruk.

Jika orang lain memuji kita,
itu bukan berarti kita adalah orang baik,
jika orang lain mengkritik kita,
itu tidak berarti kita adalah orang jahat.
Beberapa orang mengkritik orang lain
dengan tujuan yang tidak baik.
Apa yang dapat anda lakukan tentang ini?

Sang Buddha saja, dalam perjalanan hidupnya,
selalu dikritik dan dilukai oleh sepupunya, Devadatta.
Dengan kritikan yg terus diberikan,
malahan hal itu membuat Sang Buddha
lebih memiliki cinta kasih dan belas kasihan.

Tanpa gelap, kita tidak pernah menghargai cahaya.
Tanpa kejahatan, kita tidak menghargai kebaikan.
Tanpa penjahat, kita tidak dapat menghargai orang yang baik.


Sukses dan gagal adalah takdir seseorang,
jangan salahkan orang lain.


Ketika sesuatu terjadi dengan lancar, semuanya berjalan dengan baik.
Saat kita mengalami kemunduran, dan kemudian itu terus beruntun
menimpa kita, tidak peduli apapun situasinya, kita tidak seharusnya
menyalahkan orang lain. Tidak pada orang tua, tidak juga pada Tuhan.
Kita harus mengerti bahwa situasi sekarang ini adalah buah karma
dari apa yang kita tanam di masa lampau.

Kita harus menyadari bahwa nasib dikontrol oleh kita dan ditanggung
oleh kita sendiri. Dan itu bersandar tepat di pundak kita.

Jika kita dapat belajar menjadi rendah hati,
pikiran kita akan tentram/jernih.


Pada saat kita mengenal sifat dasar, kita akan mengetahui kapan
waktu yg tepat u/ melangkah maju dan kapan waktu untuk berlatih.
Kadang-kadang kita perlu bertahan dalam menghadapi masalah,
kadang-kadang kita perlu mengambil tempat belakang.
Kuncinya adalah melakukan apa yang terbaik di setiap saat,
sehingga kita akan merasakan kemudahan pada diri kita sendiri.


Dengan tidak ada kemelekatan yang berlebihan,
sifat kita menjadi murni.


Dalam kehidupan sosial yg rumit ini, kita memerlukan kedisiplinan diri.
Kita tidak perlu melekat atau ketagihan akan godaan-godaan duniawi.
Jika kita membolehkan lingkungan kita terpengaruh sifat kebuddhan,
dan kerja keras u/ membangun sebuah lingkungan bersih di dunia ini,
hal ini akan menjadikan dunia jauh lebih indah untuk ditempati.

Pegunungan terpencil merupakan tempat perlindungan
yang aman bagi para harimau.
Lautan yang dalam mengumpulkan air dari segala sungai.
Pembicaraan yang tidak berguna menimbulkan banyak gosip.
Masalah berasal dari terlalu memaksakan diri
dan keinginan yang tak terbatas.

Puisi puisi chan 2

Pegunungan terpencil merupakan tempat perlindungan
yang aman bagi para harimau.


Kita tidak melihat harimau-harimau berkeliaran di jalan-jalan raya,
karena mereka berada di pedalaman bukit. Meski demikian,
hal itu tidak juga mengurangi ketakutan kita terhadap harimau2 tersebut.

Seseorang yang sungguh-sungguh sukses dan berhasil tidak akan
menyombongkan keberhasilan yang dicapainya.
Sebaliknya, dia merendahkan diri dengan menyembunyikan
kemampuannya dan berbaur dengan masyarakat biasa.

Lautan yang dalam mengumpulkan air dari segala sungai


Lautan pada hakekatnya menerima air dari berbagai sumber,
termasuk sumber air yang kecil. Tidak pernah menolak air yang
berasal dari selokan, sungai maupun anak sungai.

Untuk menjadi orang besar anda harus seperti lautan,
penuh toleransi dan merangkul semua orang.


Pembicaraan yang tidak berguna menimbulkan banyak gosip


Banyak masalah di dunia ini yang berasal dari lidah yang tidak terlatih.
Jika kita tidak berpikir sebelum bicara dan berbuat, kita mungkin
menciptakan lebih banyak masalah dan kesengsaraan
di lingkungan sekitar kita.


Masalah berasal dari terlalu memaksakan diri
dan keinginan yang tak terbatas.


Berasal darimanakah masalah-masalah kita?
Masalah sering berasal dari keinginan kita yang selalu mau
mengalahkan yang lain dan menolak untuk berlapang dada.

Pada tahap yang lebih dalam, kerakusan, kemarahan, khayalan,
kesombongan, keraguan dan pandangan keliru adalah
enam sumber yang paling mendasar dari masalah manusia.

Inti puisi di atas dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Simpan kekuatanmu berarti menyimpan energimu.
Simpan air matamu berarti menyimpan energimu.
Jika kita menangis dengan begitu mudahnya,
kita dengan gampangnya melepaskan energi kesedihan
dan kemarahan.

Jika kita dapat belajar untuk menguasai ledakan-ledakan emosi
yang spontan, kita dapat menyalurkan energi tersebut
untuk bertoleransi kepada orang lain.

Cara ini menjauhkan kita dari banyak masalah
dengan orang disekitar kita.

Kapan terjadi gosip itu
dan bagaimana kita seharusnya menghadapinya?

Pertama, kita seharusnya menahan diri dalam pembicaraan
yang tidak berguna, sehingga tidak menimbulkan akibat.
Kedua, kita seharusnya menahan diri dari mendengarkan gosip.
Ketiga, kita seharusnya tidak perlu takut karenanya.

Selalu ada gosip setiap hari.
Jika kita tidak mendengarkannya, maka gossip itu pun tidak ada.
Semua gosip berpindah dari satu mulut ke mulut lainnya,
pada sekelompok orang.

Mengapa kita harus merendahkan diri sendiri
dengan mentalitas penggosip?
Kita tidak perlu terlalu memperhitungkan
atau serius dalam hal itu!

Ada sebagian orang yang tidak mengetahui,
bagaimana menghadapi gossip,
seperti mereka tidak tahu,
bagaimana menangani sampah.

Gosip seperti sampah,
tidak perlu dibahas terlalu serius.
Jika gosip tidak segera dibuang,
hal itu hanya merusak lingkungan
dan menciptakan ketidaknyamanan.

Siapa yang mampu dalam tiga latihan
(moralitas, meditasi dan kebijaksanaan)
dan empat kesadaran tak terbatas
(cinta kasih, kebaikan, kegembiraan dan kedermawanan)
maka berarti menjaga diri mereka,
dalam mengatasi masalah dan kesengsaraan.

Puisi-Puisi Chan 3

Jika kamu tidak memikirkan usaha-usahamu lebih dari tiga kali,
kamu akan menyesalinya.
Jika kamu dapat melakukan ini,
maka tidak perlu mengkhawatirkan masalah2 yg akan datang.

Segala sesuatu berlalu oleh waktu bagai air yang mengalir.
Setiap hari pikiran kita dapat seterang angin musim semi.


Kita harus berpikir tentang sesuatu,
dengan sepenuhnya dan berhati-hati dalam segala tindakan.
Jika kita hanya menuruti keinginan hati saja,
kita pasti akan menyesalinya di dalam berbagai keadaan
yang membutuhkan toleransi.

Suatu hari ada seorang pedagang yang ingin pulang ke rumah
untuk merayakan Tahun Baru. Dia ingin membelikan sebuah hadiah
untuk istrinya. Dia berjalan-jalan memutari toko swalayan dan berhenti
di hadapan seorang bhiksu yang menjual syair Buddhis.

Karena ingin tahu, pedagang tersebut mendekati sang bhiksu
dan bertanya,

"Berapa harga sebuah syair?"
"Sepuluh keping emas."
"Semahal itu?" seru sang pedagang.
"Syair ini sangat manjur. Sungguh syair-syair itu pantas seharga itu."
Jawab sang bhiksu.
Pedagang tersebut berpikir sejenak dan berkata,
"Baiklah, saya akan membeli sebuah syair."

Kemudian sang bhiksu membacakan syair tersebut
dan meminta kepada Pedagang untuk mengingatnya dengan baik.

Syair tersebut hanya terdiri dari 4 kalimat dan itu membuat pedagang membayar 10 keping emas. Sang pedagang agak menyesalinya,
tetapi dia tahu, keengganan hatinya tidak pantas ditunjukkan.

Sang pedagang berjalan seharian menuju ke rumahnya.
Dia tiba larut malam Tahun Baru dan melihat pintu depan
rumahnya tidak terkunci dengan baik.
Dia masuk dan berjalan menuju ke ruang tamu dengan heran.
Di dalam keremangan, dia melihat sepasang sandal laki-laki.
Dia begitu marah.

Pedagang itu berpikir,
"Istri saya telah berselingkuh saat saya tidak di rumah."
Dia menuju ke dapur dan mengambil pisau
dan segera kembali ke kamarnya.

Saat suasana memanas,
dia teringat syair dari bhiksu tua.

Majulah tiga langkah dan berpikir.
Lalu mundurlah tiga langkah dan berpikir kembali,
Jika kamu ingin mengetahui kebenaran hidup,
Enam akar keburukan adalah antek-antek kejahatan.

Istri sang pedagang terbangun oleh ributnya tiga langkah ke depan
dan tiga langkah ke belakang yang terus berulang-ulang.
Sang istri begitu gembira melihat suaminya
yang masih bingung oleh kemarahannya.

Sang istri sangat paham setelah dia mempelajari tuduhan suaminya.
Lalu berkata:

"Ai ya! Hari ini Tahun Baru. Kamu tidak di rumah,
saya meletakkan sepasang sandalmu,
untuk mendapatkan keberuntungan,
supaya kamu bisa pulang dengan selamat."

Jawaban sang istri memukul suami itu seperti gelegar petir.
Sang pedagang berseru dengan gembira,

"Sepuluh keping emas untuk syair yang sangat berharga itu,
sangat murah!."

Dalam kehidupan kita sehari-hari,
kita harus menyadari bahwa apa yang kita lihat dengan mata sendiri
atau mendengar dengan telinga kita sendiri,
tidak selalu sesuai dengan kenyataan.

Kita dapat dengan mudah tertipu oleh enam akar keburukan
yang merupakan antek-antek kejahatan.
Oleh karena itu, seyogyanya kita selalu waspada.

49
Theravada / Menyucikan Hati – Ven. Ajahn Chah
« on: 07 September 2011, 10:19:23 AM »
Menyucikan Hati – Ven. Ajahn Chah

Akhir-akhir ini banyak orang pergi ke berbagai tempat untuk melakukan kebajikan (memberikan persembahan) ke vihara. Dan mereka tampaknya selalu singgah di Wat Ba Pong (sebuah vihara di Thailand), entah dalam perjalanan perginya, atau pada pulangnya. Beberapa orang begitu terburu-buru sehingga saya tidak sempat bertemu atau pun bercakap dengan mereka. Kebanyakan orang mencari kebajikan, tetapi saya lihat tidak banyak yang mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Mereka begitu bernafsu mendapatkan jasa, tetapi tidak tahu akan menempatkannya di mana. Ini seperti mencoba mewarnai kain yang kotor, dengan tidak mencucinya.

Walau para bhikkhu berbicara terus terang seperti ini, tetapi banyak orang mengalami kesulitan untuk melaksanakannya dalam praktek. Hal ini sulit karena mereka tidak mengerti, padahal jika mereka mengerti akan menjadi lebih mudah. Misalkan ada sebuah lubang dan ada sesuatu pada dasarnya. Siapapun yang memasukkan tangannya ke dalam lubang tersebut dan tidak dapat menyentuh dasarnya akan mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam. Dari 100 bahkan 1000 orang yang melakukannya, mereka semua berkata bahwa lubangnya yang terlalu dalam. Tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek!

Ada begitu banyak orang yang mencari jasa/kebajikan. Cepat atau lambat mereka harus mulai mencari jalan keluar dari perbuatan salah. Akan tetapi tidak banyak orang tertarik akan hal ini. Ajaran Sang Buddha begitu singkat, tetapi sebagian besar orang melewatkannya begitu saja, seperti halnya mereka hanya melewati Wat Ba Pong. Bagi banyak orang itulah Dhamma, hanya sekedar titik perhentian.

Hanya 3 baris, tidak lebih. Sabba papassa akaranam: menahan diri dari semua perbuatan salah; Kusalassupasampada: senantiasa mengembangkan kebajikan; Sacittapariyodapanam: menyucikan batin; Itulah ajaran dari semua Buddha. Inilah inti dari ajaran Buddha. Tetapi orang terus melewatinya, mereka tidak menginginkan itu. Pelepasan dari segala perbuatan salah, besar atau kecil, baik dalam ucapan, fisik dan mental…. inilah inti ajaran pertama dari semua Buddha.

Jika kita ingin mewarnai sehelai kain kita harus mencucinya terlebih dahulu. Tetapi banyak orang tidak mau melakukan hal ini. Tanpa melihat kondisi kain, mereka langsung saja mewarnai kain tersebut. Jika kain itu kotor, mewarnainya hanya akan membuat kain itu lebih kotor. Pikirkanlah hal ini. Mewarnai kain kotor, dapatkah kelihatan baik?

Kita lihat? Beginilah agama Buddha mengajarkan, tapi banyak orang melewatkannya begitu saja. Mereka hanya ingin melakukan perbuatan baik, tetapi mereka tidak mau melepaskan perbuatan salah mereka. Ini sama halnya dengan mengatakan “lubang itu terlalu dalam”. Semua mengatakan bahwa lubang itu terlalu dalam, tidak ada yang mengatakan bahwa lengan merekalah yang terlalu pendek. Kita harus kembali kepada diri kita sendiri. Dengan ajaran ini kita harus mundur dan mengamati diri kita sendiri.

Kadang-kadang mereka pergi mencari jasa kebajikan bagaikan berada di dalam bis. Mereka mungkin bertengkar dalam bis, atau bahkan mabuk. Tanyakan pada mereka arah tujuannya dan mereka akan mengatakan mereka mencari jasa. Mereka mau jasa, tetapi mereka tidak mau menghentikan perbuatan salah mereka. Maka mereka tidak akan memperoleh jasa dengan cara seperti itu.

Begitulah manusia. Kita harus mengamati diri sendiri dengan dekat dan jelas. Sang Buddha mengajarkan tentang adanya kesadaran (awareness) dan perenungan (recollection) dalam segala situasi. Perbuatan salah dapat timbul baik lewat tindakan secara fisik, lewat kata-kata, dan pikiran. Apakah kita membawa pikiran, perbuatan dan perkataan kita hari ini? Atau hanya kita tinggalkan di rumah? Di situlah harus kita lihat, tepat di situ. Kita tidak perlu melihat terlalu jauh. Lihatlah pada pikiran, perkataan, dan perbuatan. Lihat apakah tingkah laku kita sudah betul, atau masih salah.

Orang tidak benar-benar melihat hal-hal semacam ini. Seperti seorang ibu yang mencuci piring dengan cemberut. Dia begitu terpaku pada usahanya membersihkan piring-piring tersebut sehingga tidak menyadari bahwa pikirannya sendiri kotor. Pernahkah anda melihat hal semacam ini? Dia hanya melihat piring-piring tersebut. Dia melihat terlalu jauh, bukan? Saya kira beberapa di antara kita mungkin telah mengalami hal semacam ini. Di sinilah kita harus melihat. Orang berkonsentrasi untuk membersihkan piring tetapi mereka membiarkan pikiran mereka kotor. Ini tidak baik. Mereka melupakan diri sendiri.

Karena orang tidak melihat diri sendiri, maka mereka dapat melakukan segala macam perbuatan tercela. Mereka tidak melihat pikiran mereka sendiri. Ketika akan melakukan sesuatu yang jelek, orang sering melihat ke sekeliling terlebih dahulu untuk melihat apakah ada orang yang mengamati… “Apakah dilihat Ibu?” “Apakah dilihat suami saya?” “Apakah dilihat anak-anak?” “Apakah dilihat istri saya?” Jika tidak ada yang mengamati maka mereka akan langsung melakukannya. Ini sebenarnya merendahkan diri sendiri. Mereka berkata: “Tidak kelihatan orang, kok”, jadi langsung saja mereka lakukan. Tetapi bagaimana dengan mereka sendiri? Bukankah mereka juga “orang”?

Kita lihat bahwa lewat pengamatan terhadap diri sendiri seperti itu, orang tidak akan pernah menemukan nilai yang sesungguhnya. Mereka tidak menemukan Dhamma. Jika kita dapat melihat diri kita sendiri sewaktu akan melakukan sesuatu yang buruk, dan kita dapat melihat diri sendiri tepat pada waktunya, kita dapat berhenti. Jika lkita ingin melakukan sesuatu yang berarti, lihatlah pikiran kita. Dengan bisa melihat diri sendiri, kita akan tahu tentang kebaikan/keburukan, keuntungan/kerugian, nilai-nilai buruk/nilai-nilai luhur. Inilah hal-hal yang harus kita ketahui.

Jika hal-hal seperti ini tidak dibicarakan, kita tidak akan tahu. Kita mempunyai ketamakan dan kegelapan batin dalam pikiran, tetapi kita tidak tahu. Kita tidak akan tahu apapun jika kita selalu melihat keluar. Inilah masalah orang yang tidak melihat diri sendiri. Melihat ke dalam, kita akan melihat baik dan buruk. Melihat kebaikan, kita dapat menyimpannya dalam hati dan mempraktekkannya.

Meninggalkan yang jelek, melakukan yang baik….. ini adalah jiwa agama Buddha. Sabba papassa akaranam —tidak melakukan perbuatan salah, baik melalui fisik, kata-kata ataupun pikiran. Inilah latihan yang benar, ajaran dari semua Buddha. Nah, sekarang “kain” kita sudah bersih.

Kemudian kita punya kusalassupasampada —membuat pikiran luhur dan trampil. Jika pikiran kita luhur dan trampil, kita tidak perlu naik “bis” ke mana-mana untuk mencari jasa/kebajikan. Dengan duduk di rumah pun kita bisa berbuat jasa yang baik. Tetapi kebanyakan orang hanya mau pergi ke mana-mana untuk mencari jasa tanpa mau meninggalkan perbuatan jelek mereka. Saat mereka pulang, sia-sialah usaha mereka! Mereka kembali berwajah masam/kecut. Itulah mencuci piring dengan penuh perhatian dengan wajah yang masam. Di sinilah orang jarang mengamati. Mereka jauh dari jasa/kebajikan.

Kita mungkin tahu tentang hal-hal seperti ini, tetapi kita belum benar-benar mengerti jika hal itu tidak kita pahami dalam pikiran kita. Jika pikiran kita luhur dan trampil, itulah bahagia. Ada senyum di hati kita. Tetapi kebanyakan dari kita bahkan tidak punya waktu untuk tersenyum. Kita hanya tersenyum jika keadaan berjalan seperti harapan kita. Banyak orang yang kebahagiaannya tergantung dari keadaan/kondisi sekelilingnya. Mereka butuh orang lain untuk mengatakan hal-hal yang indah dan hanya yang indah. Begitukah kalian mencari kebahagiaan? Dapatkah kita mengharapkan semua orang untuk mengatakan hanya hal-hal yang menyenangkan saja? Jika begitu kemauan kita, kapan kita akan menemukan kebahagiaan?

Kita harus menggunakan Dhamma untuk mencapai kebahagiaan. Apapun itu, benar atau salah, jangan mengukuhinya dengan membuta. Cukup diketahui saja, dan kemudian dilepaskan. Jika pikiran kita tenang, kita bisa tersenyum. Pada saat kita menolak sesuatu, pikiran menjadi jelek. Dan kemudian tidak ada apapun yang baik.

Ketika orang mengatakan sesuatu yang sesuai dengan keinginan kita, kita tersenyum. Ketika mereka mengatakan hal yang tidak mengenakkan, kita cemberut. Bagaimana kita dapat mengharapkan orang untuk selalu mengatakan hal yang kita sukai setiap waktu? Apakah mungkin? Bahkan anak-anak kita… pernahkah mereka mengatakan pada kita hal-hal yang tidak menyenangkan? Pernahkah kita mengecewakan orang tua kita? Tidak hanya orang lain, pikiran kita sendiri pun dapat mengecewakan kita. Kadangkala hal yang kita pikirkan pun tidak menyenangkan. Apa yang dapat kita lakukan? Kadang kita sedang berjalan dan tiba-tiba tersandung akar pohon… Dug… Aduh…! Dimana permasalahannya? Siapa yang membuat kita tersandung? Siapa yang akan kita salahkan? Itu adalah salah kita sendiri. Bahkan pikiran kita sendiri pun dapat menjengkelkan. Jika kita pikirkan hal ini, kita akan tahu bahwa ini benar. Kadangkala kita melakukan hal-hal yang bahkan kita sendiri pun tidak suka. Yang dapat kita katakan hanyalah “sialan”. Namun tidak ada yang dapat disalahkan.

Jasa atau kebaikan dalam ajaran Buddha adalah melepaskan perbuatan salah. Jika kita meninggalkan kesalahan, kita tidak lagi salah. Jika tidak ada lagi kesalahan, tidak ada lagi tekanan (stress). Jika tidak ada tekanan lagi, timbullah ketenangan. Pikiran yang tenang adalah pikiran yang bersih, yang tidak menyimpan kemarahan, dan jernih.

Bagaimana kita membuat pikiran jernih? Hanya dengan mengendalikannya. Sebagai contoh, kita mungkin berpikir, “Hari ini suasana hati saya jelek sekali, apapun yang saya temui adalah menjengkelkan, bahkan piring-piring di meja pun menjengkelkan saya”. Kita mungkin merasa ingin membanting semuanya. Apapun yang kita temui menjadi kelihatan salah atau jelek, ayam, anjing, kucing…. kita membenci semuanya. Segala yang dikatakan sang suami terasa menyinggung. Bahkan melihat pikiran kita sendiri pun kita tidak suka. Apa yang dapat kita lakukan dalam situasi seperti ini? Dari mana datangnya penderitaan ini? Inilah yang disebut tidak mempunyai jasa kebajikan (merit). Akhir-akhir ini di Thailand ada ungkapan bahwa orang yang sudah meninggal jasanya juga sudah berakhir. Ini tidak benar, karena banyak orang yang meskipun masih hidup tetapi jasanya telah berakhir…. itulah orang-orang yang tidak mempunyai jasa. Pikiran yang jelek terus-menerus menumpuk kejelekan.

Perjalanan pergi mencari jasa/kebajikan seperti ini sama seperti membangun rumah tanpa menyiapkan lahannya terlebih dahulu. Dalam waktu yang tidak lama rumah tersebut akan runtuh, bukan? Rancangannya tidak begitu baik. Nah, sekarang kita harus mencoba cara lain. Kita harus melihat ke dalam diri sendiri. Lihatlah kesalahan-kesalahan pada perbuatan, perkataan, dan pikiran kita. Di mana lagi kita akan berlatih bila tidak dalam semua bentuk pikiran, perkataan, dan perbuatan kita sendiri? Banyak orang tersesat. Mereka ingin pergi dan berlatih Dhamma di tempat yang tenang, di hutan atau di Wat Ba Pong. Apakah Wat Ba Pong tenang? Tidak, tidak benar-benar tenang. Tempat yang benar-benar tenang adalah di rumah sendiri.

Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun pergi kita akan merasa senang. Dunia sudah indah sebagaimana adanya saat ini. Semua pohon di hutan sudah indah seperti apa adanya: ada yang tinggi, ada yang pendek, berbagai jenis. Semuanya seperti apa adanya. Karena kebodohan, kita tidak mengerti sifat alami mereka dan kita memaksakan penilaian kita… “Wah, pohon yang ini terlalu pendek, yang itu terlalu besar”. Pepohonan itu ya cuma pohon, yang lebih baik daripada kita.

Biarkan pepohonan mengajarkan kita. Sudahkah kita belajar sesuatu dari mereka? Paling tidak, kita harus belajar satu hal dari mereka. Ada banyak pohon, semua dengan sesuatu yang bisa mengajar kita. Dhamma ada di mana saja, dalam segala hal di alam ini. Kita harus memahami hal ini. Jangan menyalahkan lubang yang terlalu dalam… lihat di sisi yang lain, lengan kita sendiri! Jika kita dapat melihat hal ini, kita akan bahagia.

Jika kita berbuat baik, simpanlah dalam pikiran. Itu adalah tempat terbaik untuk menyimpan. Berbuat kebajikan adalah hal yang baik, tetapi bukan yang terbaik. Mengkonstruksikan bangunan adalah hal yang baik tapi bukan yang terbaik. Membangun pikiran baik itulah yang terbaik. Dengan begitu kita akan menemukan kebaikan baik di sini maupun di rumah sendiri. Temukanlah keunggulan ini dalam pikiranmu. Rangka luar seperti bangunan ini hanyalah seperti kulit pada pohon dan bukan kayu inti.

Jika kita mempunyai kebijaksanaan, ke mana pun kita melihat di situ ada Dhamma. Jika kita kekurangan kebijaksanaan, bahkan hal yang baik akan menjadi buruk adanya. Darimana datangnya yang buruk itu? Tak lain dari pikiranmu sendiri. Lihat bagaimana pikiran ini mengubah segala sesuatu. Suami istri yang biasanya rukun, suatu saat ketika perasaan hati mereka sedang tidak baik, apapun yang dikatakan oleh pasangannya membuat tersinggung. Pikiran telah menjadi jelek, dan segalanya berubah. Begitulah.

Jadi, untuk melepaskan kejahatan dan menggali kebaikan kita tidak harus pergi mencari ke mana-mana. Jika pikiran sedang jelek jangan melihat ke orang yang ini atau yang itu. Lihatlah pikiran kita sendiri dan carilah darimana pikiran-pikiran itu muncul. Mengapa pikiran ini berpikir sedemilian rupa? Pahamilah ini: segala sesuatu adalah sementara. Cinta adalah sementara, benci demikian pula. Pernahkah kita mencintai anak-anak kita? Tentu saja. Pernahkah kita membenci mereka? Saya akan menjawab… kadangkala. Benar ‘khan? Bisakah kita membuang mereka? Tidak. Mengapa? Anak-anak bukanlah seperti peluru yang ditembakkan ke luar, anak-anak ditembakkan balik pada orang tua. Jika mereka baik, mereka anak-anak kita. Jika jelek pun, mereka juga tetap anak-anak kita. Kita dapat berkata bahwa anak adalah kamma kita. Ada yang baik ada yang buruk. Tetapi, baik ataupun buruk, mereka tetap anak kita. Bahkan yang buruk pun berharga. Ada yang mungkin terlahir sakit polio, cacat tubuh, tetapi bisa menjadi lebih berarti dibanding anak lainnya. Setiap kali akan pergi kita meninggalkan pesan: “Tolong jagai si kecil ini, dia tidak begitu mampu”. Kita mencintainya lebih dari yang lain.

Jika begitu kita harus menyeimbangkan pikiran: setengah cinta, setengah benci. Jangan hanya mengambil satu sisi, selalu lihatlah dari kedua sisi. Anak-anak adalah kamma kita, semua sesuai dengan hukumnya sendiri. Mereka adalah kamma kita, kita harus bertanggung jawab terhadapnya. Jika mereka betul-betul memberi kita penderitaan, kita ingatkan diri kita: “Ini kammaku”. Jika mereka menyenangkan, kita ingatkan diri kita: “Ini kammaku”. Kadangkala begitu frustasinya kita di rumah sehingga kita ingin melarikan diri. Beberapa malahan begitu frustasi sehingga mereka bunuh diri. Ini adalah kamma. Kita harus menerima kenyataan. Hindarilah perbuatan jelek. Dengan demikian kita akan dapat melihat diri kita sendiri dengan lebih jelas.

Inilah sebabnya sangat penting bagi kita untuk merenungkan segala sesuatu. Biasanya saat meditasi kita menggunakan suatu obyek, misalkan Buddho, Dhammo, atau Sangho. Tetapi kita dapat membuatnya lebih singkat. Pada saat pikiran kita jelek atau jengkel, katakanlah “A-ha!”. Ketika perasaan kita enak, katakanlah “A-ha!… ini bukanlah hal yang pasti”. Jika kamu mencintai seseorang, katakan “A-ha”. Demikian juga saat kamu akan marah. Kamu tidak perlu mencari di Tipitaka. Katakan saja “A-ha”. Ini berarti “tidak kekal”. Cinta, benci, baik, buruk, semua tidak kekal. Bagaimana bisa kekal? Di mana unsur kekekalannya?

Dapat kita katakan bahwa semuanya itu hanya permanen dalam ketidak-permanennannya. Menit ini ada cinta, menit berikutnya timbul benci. Begitulah adanya. Sifat berubahnya inilah yang permanen. Maka dari itu saya katakan bahwa ketika timbul cinta, katakanlah “A-ha”. Ini menghemat banyak waktu. Kita tidak harus mengatakan “Anicca, dukkha, anatta”. Jika kita tidak menginginkan tema meditasi yang panjang, gunakan saja kata yang singkat ini… katakan saja: “A-ha”.

Nah, jika semua orang lebih sering mengatakan “A-ha”, dan melatihnya dalam kehidupan sehari-hari, maka kemelekatan akan semakin berkurang. Orang tidak akan tersuruk dalam cinta dan benci. Mereka tidak akan melekat kepada hal-hal demikian. Mereka akan menaruh kepercayaan terhadap kebenaran dan bukan yang lain. Sudah cukup bagi kita untuk mengetahui sebegini saja. Apalagi yang ingin kita ketahui?

Setelah mengetahui ajaran ini, kita harus selalu mencoba untuk mengingatnya. Apa yang harus diingat? Meditasi…. Mengerti, bukan? Kalau kita mengerti, dan Dhamma menyatu dengan kita, pikiran akan berhenti. Jika ada kemarahan dalam pikiran, hanya “A-ha”.. dan itu cukup, berhenti di situ. Jika belum benar-benar mengerti, lihatlah lebih dalam ke pokok masalahnya. Jika ada pengertian, ketika kemarahan timbul di dalam pikiran, kita dapat membungkamnya dengan berkata “A-ha, inipun tidak kekal”.

Yang paling penting adalah perekam yang ada di pikiran kita. Bacaan ini dapat musnah begitu saja tapi jika Dhamma telah dapat terekam dengan baik di dalam pikiran, itu tidak akan dapat dimusnahkan, akan berada di situ selamanya.

50
Theravada / Penjara Kehidupan oleh Buddhadasa Bhikkhu
« on: 07 September 2011, 09:22:01 AM »
Penjara Kehidupan oleh Buddhadasa Bhikkhu

Hari ini kita akan membicarakan sesuatu yang disebut 'penjara.' Hal ini akan membantu kita memahami dengan lebih baik apa yang disebut 'kehidupan,' sehingga kita dapat memahami Dhamma dengan lebih baik, yang akan membantu kita hidup tanpa dukkha (ketidakpuasan, sakit, kesengsaraan, penderitaan). Oleh karena itu pada hari ini kita akan membicarakan 'penjara'. Tolong persiapkan pikiran Anda untuk mendengarkan dengan seksama.

Bilamana kondisi dan tanda-tanda dari penjara timbul, di situ terdapat dukkha. Anda harus mengamati bahwa semua bentuk dan jenis dukkha memiliki karakteristik penjara di dalamnya. Karakteristik dukkha adalah memerangkap, memenjara, membelenggu, dan membuat kita mengalami kesulitan serta ketidak-nyamanan. Bila Anda mampu memahami hal ini, maka Anda akan dapat dengan lebih jelas memahami arti dari apa yang kita sebut 'upadana'. Kapanpun ada upadana, di situ ada penjara. Upadana dengan sendirinya menimbulkan kondisi keterpenjaraan.

Kapanpun ada upadana, di situ ada belenggu. Belenggu ini bisa bersifat positif maupun negatif, namun keduanya sama-sama membelenggu. Belenggu timbul karena kita menganggap dan melekat pada sesuatu sebagai 'saya' atau 'milik saya'. Ketika kita terbelenggu oleh sesuatu, kita terjebak di dalamnya, sama seperti terjebak di dalam penjara.

Semua prinsip Dhamma dalam ajaran agama Buddha dapat diringkas sebagai perihal upadana. Upadana adalah sebab dukkha, dukkha lahir dari upadana. Kita harus memahami upadana dengan baik. Untuk membuatnya mudah dipahami, kita perlu melihatnya dengan jelas sebagai penjara. Upadana adalah penjara mental, penjara spiritual. Kita mempelajari Dhamma serta mengembangkan samadhi (kestabilan dan ketenangan mental) dan vipassana (pengetahuan-terang) untuk menghancurkan upadana. Dengan kata lain, kita belajar Dhamma dan mengembangkan pikiran untuk menghancurkan penjara yang memerangkap kita.

Kita membicarakan penjara mental atau penjara spritual, namun maknanya serupa dengan penjara nyata. Penjara mental ini mirip dengan penjara fisik yang memenjara banyak orang di banyak tempat. Tetapi sekarang ini kita membicarakan penjara spiritual murni.
Penjara ini sedikit aneh, atau luar biasa, karena kita tidak dapat melihat hakikatnya dengan mata daging. Bahkan yang lebih luar biasa lagi, orang-orang dengan sukarela masuk dalam penjara ini. Orang-orang malah merasa senang untuk berada di penjara spritual ini dan terkunci di dalamnya. Ini adalah aspek penjara spritual yang amat aneh.

Kebebasan adalah Keselamatan dari Penjara

Anda harus mengingat kata 'keselamatan' atau 'kebebasan' yang digunakan dalam semua agama. Tujuan akhir semua agama adalah keselamatan, atau kemerdekaan, atau istilah apapun yang cocok dalam setiap bahasa. Tetapi semua kata-kata ini memiliki makna yang sama: terselamatkan. Semua agama mengajarkan keselamatan. Jadi, sebenarnya kita diselamatkan dari apa? Kita selamat dari penjara spiritual. Yang Anda semua inginkan dan butuhkan, bahkan pada saat ini, adalah 'kebebasan' atau 'kemerdekaan,' yang arti sebenarnya hanyalah keluar dari penjara. Baik penjara fisik / material maupun penjara mental / spritual, memiliki makna yang sama. 

Pada dasarnya, kita menginginkan kebebasan.

Mereka yang kurang bijaksana hanya dapat melihat dan takut pada penjara fisik / material. Tetapi mereka yang memiliki kebijaksanaan (panna) untuk melihat lebih dalam, dapat mengetahui betapa lebih menakutkan dan berbahayanya penjara spiritual. Sungguh, kita dapat melihat bahwa hanya sedikit orang yang terpenjara dalam penjara biasa, sementara semua orang di dunia terperangkap dalam penjara spiritual. Contohnya, Anda semua yang duduk di sini bebas dari penjara biasa, tetapi Anda semua terpenjara dalam penjara spiritual. Yang mendorong kita untuk tertarik pada Dhamma, untuk datang dan belajar Dhamma, untuk berlatih pengembangan mental, adalah tekanan dan paksaan akibat terperangkap dalam penjara spiritual. Tidak jadi soal Anda menyadarinya atau tidak, tetapi hal ini terus memaksa Anda, apapun yang terjadi, untuk berjuang dan mencari jalan untuk keluar dari keterpenjaraan spiritual. Singkat kata, Anda semua dipaksa, sadar maupun tidak, untuk mencari kebebasan spiritual. Sehingga 
Anda datang kemari maupun ke tempat-tempat lain.

Walaupun kita terpenjara hanya oleh satu hal, yaitu upadana saja, namun penjara ini mempunyai bentuk yang beraneka macam. Ada banyak sekali corak dan jenis penjara. Bila kita meluangkan waktu untuk mempelajari setiap jenis penjara, maka kita dapat memahami gejala ini dengan lebih baik. Kemudian kita akan memahami upadana dengan lebih baik, dan kita juga akan lebih memahami tanha (nafsu-keinginan) dan kilesa (kekotoran mental), yang menurut ajaran Buddhis menyebabkan dukkha. Kita akan memahami persoalan dukkha bila kita juga memahami persoalan penjara dengan jelas dan menyeluruh.

Saya menyarankan Anda untuk menggunakan kata 'upadana' daripada 'kemelekatan' atau terjemahan lain karena kata-kata lain ini sering disalah-artikan. Mungkin saat ini Anda belum dapat memahami sepenuhnya, namun cobalah untuk menggunakan kata upadana untuk membiasakan mulut, pikiran, dan perasaan Anda terhadapnya. Kita harus memahami bahwa inti ajaran agama Buddha adalah untuk menghilangkan upadana. Inti ajaran agama Buddha adalah perihal menyingkirkan atau memotong upadana. Sehingga tidak ada lagi penjara, dan tidak ada lagi dukkha.

Anda harus menggunakan kata-kata kemelekatan, pemegangan, dan pelengketan, kemudian digabung untuk mendapatkan makna 'upadana'. 
Akan lebih baik bila kita menggunakan kata upadana karena maknanya yang lebih luas dan memungkinkan kita untuk melihat persoalan ini dengan lebih mendalam dan menyeluruh.

Intisari Tunggal Agama Buddha

Upadana hanyalah sebuah kata yang sederhana namun merupakan hal yang terpenting. Jantung agama Buddha hanyalah untuk mencabut atau memotong upadana. Sehingga dukkha lenyap. Harap dipahami bahwa inilah jantung agama Buddha yang dapat ditemukan di setiap sekte dan aliran. Agama Buddha Theravada, Mahayana, Zen, Tibet, dan agama Buddha macam apapun yang Anda sukai, berbeda hanya dalam nama atau upacara dan latihan eksternal. Tetapi di dalam, semuanya sama: pemotongan upadana.

Jangan sedih, kecewa atau cemas. Jangan menyulitkan diri sendiri karena tidak dapat mempelajari semua aliran agama Buddha. Jangan khawatir bila Anda tidak dapat belajar agama Buddha di Tibet, Sri Lanka, Birma, Cina, atau di tempat lain. Anda hanya akan membuang-buang waktu saja. Hanya ada intisari tunggal atau jantung dari semuanya, yaitu untuk melenyapkan upadana. Label Theravada, Mahayana, Zen, Tibet, dan Cina hanya mencerminkan kulit luar dari apa yang tampaknya seperti jenis-jenis agama Buddha yang berbeda. Perbedaan, bila ada, hanyalah pada permukaan, hanyalah pada sekumpulan upacara dan tata-cara. Inti sebenarnya, jantung dari semua agama Buddha adalah sama di mana-mana: pencabutan dan pemotongan upadana. Jadi pelajarilah hanya satu ini. Jangan membuang waktu dengan bersedih atau berpikir bahwa Anda tidak dapat mempelajari semua jenis agama Buddha. Pelajari hanya satu hal ini, pemotongan upadana, dan itu sudah cukup.

Bila Anda ingin mengetahui agama Buddha Mahayana seperti seorang ahli, maka Anda harus pergi dan belajar bahasa Sanskerta. Anda bisa menghabiskan seumur hidup untuk mempelajari Sanskerta dan tetap tidak memahami apapun. Atau bila Anda ingin memahami Zen dengan baik, Anda harus belajar bahasa Cina. Menghabiskan seumur hidup Anda mempelajari bahasa Cina dan pada akhirnya Anda tetap tidak memahami Zen. Untuk mengetahui Vajrayana, agama Buddha Tibet, Anda harus mempelajari bahasa Tibet. Anda bisa menghabiskan seumur hidup Anda mempelajari hanya bahasanya dan tetap tidak memahami apapun. Anda belum sampai pada jantung agama Buddha. 
Semuanya hanyalah bentuk-bentuk luar yang timbul sebagai perkembangan baru. Pahami jantungnya dan pelajari hanya satu hal ini: pemotongan upadana. Baru kemudian Anda memahami intisari agama Buddha, baik labelnya Mahayana, Theravada, Zen, atau Vajrayana. Baik dari Cina, Jepang, Korea, atau tempat lainnya, semuanya terletak pada satu tempat: pemotongan upadana.

Bahkan dalam satu aliran agama Buddha Theravada ada berbagai macam bentuk. Ada berbagai macam cara pengolahan mental. Ada jenis meditasi dari Birma yang mengamati naik dan turunnya perut. Ada pula yang berlandaskan mantra 'Samma Araham' dan 'Buddho, Buddho,' dan banyak hal lainnya. Tetapi bila benar, jantung dari semuanya selalu berada di tempat yang sama: kebutuhan untuk melenyapkan upadana,. Bila cara itu tidak sampai pada pelenyapan upadana, maka cara itu bukanlah cara yang benar, dan juga tidak ada gunanya. Mengapa kita tidak tertarik pada masalah pemotongan upadana, atau, bila kita menggunakan kiasan, mengapa kita tidak tertarik untuk menghancurkan penjara. Oleh karena itu alangkah baiknya bila kita membicarakan penjara ini.

Temukan di Dalam

Sebenarnya, agar kita bisa benar-benar berhasil, kita tidak dapat mengandalkan buku, teknik atau ajaran yang bermacam-macam. Untuk mendapatkan manfaat yang benar-benar nyata, kita harus belajar dari bendanya sendiri, yaitu penjara yang sebenarnya. Pelajari dukkha itu sendiri, penjara itu sendiri. Jadi sebaiknya kita mencari dan menemukan penjara ini, yang akan kita bicarakan nanti.

Pada titik ini, kita berhadapan dengan dua pilihan: apakah Anda akan belajar dari luar atau dari dalam? Pembedaan ini sangat penting. Sang Buddha mengatakan kita harus belajar dari dalam. Belajar eksternal adalah dari buku, upacara, praktek, dan sebagainya. Semua yang harus kita pelajari telah dijelaskan oleh Tathagata berdasarkan tubuh yang masih hidup. Ini berarti tubuh yang hidup, dengan pikiran yang hidup, bukan tubuh yang mati. Di situlah belajar yang sebenarnya terjadi, jadi belajarlah dari situ. Belajar dari dalam, yang artinya belajar dalam diri Anda selama masih hidup, sebelum Anda mati. Belajar eksternal, belajar dari buku dan semua upacara dan ritual, tidak akan mencapai sesuatu yang berharga. Jadi mari belajar dari dalam. Mohon diingat kata-kata 'belajar dari dalam'.

Latihan samadhi dan vipassana, yaitu mengembangkan perhatian penuh terhadap pernapasan (anapanasati bhavana) seperti yang kita lakukan di sini adalah belajar dari dalam. Untuk mempelajari pelajaran internal ini dibutuhkan cukup banyak kesabaran dan ketahananan, tetapi tidak terlalu banyak. Sebenarnya, bila dibandingkan dengan hal-hal yang dilatih orang lain, seperti olahraga tingkat tinggi, senam dan akrobatik, hal-hal ini lebih sulit daripada berlatih samadhi dan vipassana. Namun demikian, orang tetap memiliki ketahanan dan kegigihan untuk dapat melakukan hal-hal tersebut. Kita hanya cukup memiliki ketahanan yang biasa untuk mampu berlatih samadhi dan vipassana, melalui perhatian penuh terhadap nafas. Beberapa orang tidak tahan dan meninggalkannya begitu saja. Kita telah memiliki ketahanan yang cukup untuk sampai sejauh ini, dan bila kita lanjutkan sedikit lagi, maka kita akan sanggup melakukannya dan mendapatkan hasil yang sesuai. Jadi, mohon gunakan pembelajaran dari dalam ini bagi diri Anda sendiri dan lakukan dengan kesabaran dan ketahanan yang cukup.

Hidup itu Sendiri Adalah Penjara

Penggunaan kiasan akan mempermudah kita untuk memahami permasalahan yang kita bahas, dan kita akan menggunakannya. Hari ini kita akan berbicara mengenai 'penjara.' Penjara pertama yang harus Anda cari dan lihat adalah hidup itu sendiri. Bila Anda melihat kehidupan sebagai penjara, dan melihat penjara sebagai penjara, maka dapat dikatakan bahwa Anda mengetahui dengan baik kebenaran alam. Namun, kebanyakan orang melihat hidup sebagai sesuatu yang menyenangkan, sebagai kesempatan untuk bersenang-senang. Mereka rela hidup demi kenikmatan hidup. Kemudian mereka menjadi tergila-gila dan terpikat pada kehidupan. Karena mereka tergila-gila dan terperdaya oleh kehidupan inilah yang membuat kehidupan itu sendiri menjadi penjara.

Bila kita melihat kehidupan sebagai penjara, maka kita telah melihat upadana dalam kehidupan. Bila kita belum melihat upadana dalam kehidupan maka kita tidak akan melihat kehidupan sebagai penjara dan kita akan puas dengan memikirkan kehidupan ini sebagai surga. Ini dikarenakan banyak hal dalam kehidupan ini yang memuaskan kita, yang mengelabui dan memikat kita. Tetapi di dalam semua hal yang memuaskan, menyenangkan, menarik dan memabukkan itu akan ada upadana juga. Hal itu juga akan menjadi penjara. Seberapa banyak kita mencintai sesuatu, maka sebesar itu pula penjara karena upadana. Ini adalah upadana yang jenisnya positif. Begitu kita membenci atau tidak menyukai sesuatu, maka itu pun berubah menjadi upadana negatif, yang juga merupakan penjara. Tertipu dan disesatkan, baik oleh yang positif maupun negatif, sama-sama merupakan penjara. Dan penjara itu mengubah kehidupan menjadi dukkha.

Selanjutnya, seseorang dapat menyadari bahwa ketika ada upadana dalam kehidupan, maka kehidupan menjadi penjara. Demikian sebaliknya, ketika tidak ada upadana, maka kehidupan bukanlah penjara. Anda dapat melihat ini sekarang, di sini, ada tidaknya upadana dalam hidup Anda? 'Apakah hidup saya adalah penjara atau bukan? Apakah saya hidup dalam penjara upadana atau tidak?' Anda masing-masing harus melihat dengan seksama hati anda dan melihat dengan jelas apakah hidup adalah penjara bagi Anda atau bukan? Apakah Anda memiliki penjara atau tidak? Apakah Anda hidup dalam penjara atau tidak? Bila tidak, mengapa kita datang kemari untuk bermeditasi, mengembangkan pikiran? Intinya, tujuan sebenarnya dari pengembangan mental adalah menghancurkan penjara kita. Apakah Anda belajar dan berpraktek dengan sukses, atau apakah Anda dapat menghancurkan penjara ini atau tidak, adalah hal lain. Namun, arah dan tujuan kita sebenarnya adalah untuk menghancurkan penjara kehidupan.

Pertimbangkan ini dengan seksama, bila kita tidak mengenali upadana, kita terperangkap dalam penjara bahkan tanpa mengenali penjara ini. Kita terperangkap dalam penjara tanpa mengetahui penjaranya. Lebih lagi kita merasa puas dan tergila-gila dengan penjara ini, sama seperti kita tergila-gila dan puas dengan kehidupan. Karena kita tergila-gila dan puas dengan kehidupan, kita terperangkap dalam penjara kehidupan. Apa yang akan kita lakukan sehingga kehidupan tidak menjadi penjara? Pertanyaan ini harus kita jawab dengan sangat hati-hati dan tepat.

Bagaimana cara kita menjalani hidup sehingga kehidupan bukan sebagai penjara. Maksudnya, biasanya atau sejatinya, hidup bukanlah penjara. Kita membuatnya menjadi penjara melalui upadana. Dikarenakan ketidak-tahuan, kebodohan, dan kurangnya pemahaman yang tepat dari kita, kita memiliki upadana dalam kehidupan. Maka hidup adalah penjara, menjadi penjara bagi kita. Dalam bahasa Thai kita memiliki frase yang sederhana dan kritis, 'som nam na man,' yang artinya kira-kira, 'resiko setimpal untuk Anda.' Kehidupan bukanlah penjara atau sejenisnya, tetapi melalui kebodohan kita sendiri, kita membuat upadana dengan ketidaktahuan (avijja) dan kemudian muncullah penjara ini. Yang dapat kita katakan hanya: 'risiko setimpal untuk Anda.'

Bila Anda berhasil dalam praktek anapanasati bhavana (pengembangan mental dengan perhatian penuh terhadap pernafasan), anda akan memahami kehidupan dengan baik. Anda akan mengetahui upadana dengan baik dan anda tidak akan memiliki upadana terhadap 'kehidupan.' Maka penjara ini tidak akan timbul; penjara apapun yang timbul akan terurai dan menghilang. Inilah yang paling berharga, tetapi apakah seseorang mendapatkannya atau tidak adalah masalah lain. Cobalah untuk memahami fakta ini sebagaimana mestinya. Pemahaman ini akan memotivasi anda untuk mempergunakan energi dan kesabaran Anda agar mampu menghancurkan penjara ini.

Salah satu cara untuk mengamatinya adalah dengan mengamati fakta bahwa hidup harus berjalan sesuai dengan hukum alam; atau kita sendiri harus berlaku sesuai dengan hukum alam. Kita harus mencari makan, harus berolahraga, harus beristirahat dan bersantai, harus bekerja untuk mempertahankan dan menyokong hidup kita; kita harus melakukan semua ini dan semua hal lain yang anda ketahui dengan baik. Tidak mungkin untuk tidak melakukannya. Kita dipaksa untuk melakukannya. Ini juga penjara. Fakta bahwa kita harus selalu menyesuaikan dengan hukum alam merupakan penjara juga. Bagaimana kita keluar dari penjara ini?

Mengapa kita terperangkap dalam penjara dimana kita harus hidup sesuai dengan hukum alam? Penjara ini timbul dari upadana menyangkut diri kita, atau menyangkut hidup kita. Ketika ada upadana terhadap diri kita, maka 'saya,' sang Aku lahir. 'Saya' ini cemas, khawatir, dan takut pada tugas alami ini, sehingga semua ini membuatnya menderita. Kesulitan-kesulitan ini timbul dari upadana. Bila kita tidak memiliki upadana yang menyangkut 'saya,' maka tugas-tugas wajib ini bukanlah penjara. Kita akan mampu berburu demi kebutuhan kita, mendapatkan penghidupan, dan berolahraga dan menjaga tubuh, tanpa menjadi menderita, bila kita tidak memiliki upadana terhadap kehidupan. Hal ini sangatlah halus dan mendalam; merupakan misteri bagi kebanyakan orang. Inilah misteri dari kebenaran alam. Bagaimanakah kita hidup sehingga tidak menimbulkan dukkha yang berhubungan dengan fakta bahwa semua hal dalam hidup ini harus dilakukan sesuai dengan hukum alam?



51


ILMU AGAMA

ada yang sudah pernah baca?

ajaran buda dari sudut pandang kr****n

52


Info: http://www.imdb.com/title/tt1540068/
Release Date: 10 May 2002
Genre: Documentary | Biography | History
Cast: The Dalai Lama

Sinopsis:
Fifty years after the fall of his country, can the Dalai Lama make a breakthrough in his efforts to find a solution to the Tibet question?


53
bagi mahayanis sialhkan beri komentarnya, di thread manfaat manggil nama buda saya merasa sosok personal buda dalam mahayana mempunyai kemampuan tidak terbatas, boleh berikan penjelasannya :

buda amitaba katanya bisa menciptakan surga juga bisa menolong orang dengan ikrarnya yang luar biasa.

apakah beliau bisa menolong orang2 yang menyebut namanya?

prosedurnya bagaimana. term & condition nya bagaimana?

saat beliau mengulurkan bantuan apakah bisa langsung pada orangnya atau harus melalui host, atau hanya melalui ajarannya?

apakah setiap bantuan itu pasti dari amitaba atau bisa dari apalokiteswara, atau buda lainnya yang katanya banyak sekali.

apakah tuhan dari agama lain bisa di sebut buda dalam ajaran mahayana?

54
Seremonial / welcome back kokuzo a.k.a 7th :)
« on: 18 August 2011, 04:32:56 PM »


kemana aja nih ;D

55


Namanya Basuki Tjahaja Purnama, seorang anggota DPR Komisi II. Banyak orang mengernyitkan dahi atas langkah-langkahnya karena dianggap tidak lazim. Di saat anggota DPR lainnya curi-curi waktu dan uang jalan, dia melaporkan perincian keuangannya. Di saat rekan DPRnya malu karena didapati tidak mengetahui e-mail formal Komisi V, ia bukan saja aktif berkomunikasi lewat facebook, dan websitenya, tapi juga tidak segan memberikan nomor telpon pribadinya. Di wawancaranya bersama Kick Andy, dia menyamakan dirinya dengan ikan salmon, ikan mahal yang mengembara melawan arus.

Gaya bicaranya blak-blakan, tidak seperti politisi yang sering kita temui yang jauh lebih sopan. Maklum, latar belakang pendidikannya bukan politik atau publik affairs, melainkan teknik geologi. Banyak yang merasa cara dia menjawab terlalu kasar, dengan memakai bahasa yang tidak difilter sehingga dipandang kurang cocok untuk menjadi pemimpin di pemerintahan yang harus bertutur kata baik. Dulunya ia menjabat sebagai bupati Bangka Belitung. Sekarang ia duduk di DPR. Dan baru-baru ini sedang menggalang dukungan untuk mencalonkan diri secara independen sebagai gubernur Jakarta. Banyak yang mempertanyakan pendidikannya, mampukah dia naik kelas untuk mengurus hal-hal yang lebih besar? Atau ada yang bertanya apakah pengalamannya sudah cukup untuk mengatur Jakarta dengan segala keruwetannya? Apakah ia cukup karismatik untuk memimpin? Semua itu pertanyaan yang wajib kita tanyakan atas semua calon gubernur.

Kemudian mari kita bahas bisik-bisik di belakang: Pak Basuki, lebih sering dipanggil Ahok adalah seorang ketuturan Cina. Sehingga kali ini, selain kewajiban untuk meninterogasi calon pemimpin Jakarta, ada kewajiban untuk bertanya pada warga Jakarta: Siapkah jika dipimpin oleh gubernur berketurunan Cina? Sejarah warga keturunan di Jakarta tidak akan pernah lepas dari peristiwa Mei 1998, di mana ratusan rumah dibakar dan banyak gadis-gadis diperkosa, tidak diam-diam di dalam tapi di jalanan, agar semua orang tau bahwa terlahir Cina adalah dosa. Sudah 13 tahun waktu itu berlalu dan terlepas dari masalah siapa otak di balik kejadian itu, kita tahu bahwa masih ada tembok dan percikan perbedaan bernama ras di tengah masyarakat kita. Adakah yang berfikir, jika benar Ahok memimpin Jakarta akankah ada balas dendam  bagi sesama Cinanya yang dulu hilang? Atau akan kah dia berpihak pada bisnis-bisnis orang Cina?

Mungkin ini lah ujian bagi bangsa Indonesia khususnya warga Jakarta untuk naik kelas. Di pelajaran moral PMP, PPKN, atau apalah itu namanya, kita selalu diajarkan untuk bersahabat dengan siapapun tidak memandang bulu. Dan tentang ras: Bhinneka Tunggal Ika, katanya. Tentang agama: Satu, ketuhanan yang maha Esa. Kini ketika dihadapkan pada kenyataan, dapatkah kita mempraktikkan apa yang dipelajari secara tertulis bertahun-tahun. Untuk naik kelas, kita harus menelaah pemimpin-pemimpin kita: mampu kah dia, jujur kah, terbuka kah, palsu kah janji-janjinya? Berulang-ulang kita dibohongi dan berulang-ulang kita rela. Sudah saatnya kita memilih dengan pikiran.

Kalau dipikir, sebenarnya Indonesia cukup liberal. Jika kita bandingkan dengan Amerika, dari 44 presidennya, tidak ada satu pun yang wanita, kita punya Megawati. Dan juga tidak ada satupun yang penyandang cacat jenis apa pun, kita memiliki Gus Dur (alm.). Dan baru di presiden ke 44, mereka memiliki pemimpin berkulit hitam, berambut keriting (itu pun 50% hitam). Sedangkan kita baru punya 6 presiden. Dari fakta ini, saya kira kita sangat rindu untuk perubahan, sehingga kita tidak melihat apa dia wanita atau dia buta. Kita hanya ingin yang lebih baik, melihat kemampuannya, tidak fisiknya.

Dalam satu acara Ahok bercerita bahwa ketika ia berkunjung ke suatu daerah, dia disapa oleh pemimpin daerah tersebut: Syalom! Dan ia pun bingung serta bertanya, daerah ini kan majoritas Muslim, kok Bapak bisa sapa dengan Syalom? Sang pemimpin pun berkata, kalau saya bertemu yang Muslim saya akan Assalamualaikum, jika kr****n saya sapa dengan Syalom, jika Hindu saya katakan Om Swasyastu. Dan Ahok pun berkata bahwa ini dia mindset yang harus diubah, bahwa salam berdasar agama, tinggalkan lah di tempat beribadah dan sesama penganut. Di pemerintahan “agama” kita hanya: ketuhanan yang maha Esa. Selebihnya hanya menimbulkan perbedaan secara negatif.

Butuh 400.000 tanda tangan dan KTP Jakarta untuk pencalonan diri sebagai Gubernur secara independen dan itulah yang Ahok sedang lakukan. Saya berharap akan ada calon-calon lainnya tidak perduli keriting, hitam, Buddha, dan lain sebagainya untuk membawa ide-ide baru serta persaingan sehat untuk Jakarta. Lagipula Jakarta adalah mini Indonesia, orang datang dari mana-mana.

Siap tidak siap perubahan harus terjadi, banjir harus berhenti, macet harus dilancarkan. Bukankah hanya itu yang kita maui?

http://politik.kompasiana.com/2011/07/27/siapkah-jakarta-untuk-gubernur-berketurunan-cina/

56
perumpamaan 5 orang buta dan gajah

perumpamaan rakit

perumpamaan orang yang terkena panah beracun

ada yang mau menambahkan?

57
Pengembangan DhammaCitta / Apakah perlu beri cobaan pada SATRIA?
« on: 27 May 2011, 09:49:14 AM »
kalau pada bingung lihat post Tuhan yang satu ini :

saya jadi tertarik melihat cara bro satria, saya jadi ingin ikutan metodanya dengan memberi cobaan kepada bro satria, misalnya penghapusan account dan semua postingannya misalnya :)


58
Kafe Jongkok / member yang aktif ada berapa banyak ya?
« on: 22 May 2011, 10:14:31 AM »
hari ini :
339.454 Posts in 15.010 Topics by 5.254 Members

dari 5254 berapa banyakkah member yang aktif?

mau di absen? ;D

59
mari bikin listnya.

contoh buda apakah menyuruh umat menyanyi atau tidak ketika puja bakti dll

apa menyuruh membuat patung atau tidak.

dll

60
Diskusi Umum / [ASK]Rupang Buda di mandiin?
« on: 09 May 2011, 08:54:00 PM »
di vihara ada acara rupang buda di mandiin, mau tanya tujuannya apa?

di tradisi mana saja acara seperti ini di adakan, apakah maha dan tera, atau salah satunya?

Pages: 1 2 3 [4] 5 6 7 8 9 10 11 ... 27