//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - xenocross

Pages: 1 [2] 3 4 5
16
Silsilah Penahbisan dalam Tiga Tradisi: Sumbangsih Terhadap Pemahaman

Judul Asli: Ordination Lineages in the Three Traditions: A Contribution Towards Understanding
Oleh Bhikkhu Sujato
Dari buku “Melihat Tradisi dengan Semangat Sejati”.  2012. Penerbit Dian Dharma.  Diterjemahkan Dharma Kesuma.
Bahasa dan penterjemahan dikoreksi dan diselaraskan ulang.
Sumber asli: https://sites.google.com/site/santipada/parampara

Saat kita melihat para biksu dan biksuni, mereka masing-masing mengenakan jubah-jubah elegan yang berbeda-beda. Adalah alami, jika ingin tahu darimana asalnya beraneka tradisi yang berbeda-beda ini. Dalam tulisan pendek ini, kita akan menelusuri sejarah tradisi monastik Buddhis utama, dimulai dari pangkal mulanya di India

Agama Buddha Pra-Sektarian
Buddha mengajar selama empat puluh lima tahun, dan dalam waktu tersebut telah mengumpulkan banyak pengikut. Dikembangkanlah tata perilaku yang mengatur gaya hidup para pengikut, dan menjadi terformalisasi. Inilah yang kita sebut sebagai ‘Vinaya’.
Bagian inti dari Vinaya adalah:
-00 Aturan-aturan perilaku, ‘Patimokkha’ atau ‘Pratimoksa’ yang terkenal; dan
-00 Prosedur-prosedur berkenaan tindakan-tindakan kebiaraan, khususnya penahbisan, yang disebut ‘kammavaca’ atau ‘karmavacana’.

Sekarang ini, banyak Vinaya dalam beraneka bahasa: Pali, Sansekerta, China, dan Tibet. Tentu saja, kita dapat menemukan beberapa perbedaan di antara mereka. Tetapi terdapat kesamaan besar antar Vinaya tersebut, khususnya Patimokkha dan kammavaca. Para sarjana telah menyimpulkan bahwa semua Vinaya yang ada, berasal dari Vinaya kuno, yang telah dimulai oleh Buddha, dan disusun tidak lama sesudahnya. Beraneka tradisi telah mengembangkannya secara mendetail, tetapi esensinya tetaplah sama. Kita beranggapan bahwa tradisi Buddha paling dini telah memiliki Vinaya. Dipelajari dan dipraktikkan oleh semua biksu dan biksuni sejak zaman Buddha selama sekitar 100 tahun.

Konsili Kedua dan Ketiga
Tak terhindarkan, secara bertahap mulai terjadi perbedaan-perbedaan di dalam praktik. Pada akhirnya, hal itu menyebabkan krisis di dalam Sangha, yang dibahas dalam ‘Konsili Kedua’, dilaksanakan di Republik Vajjian, di kota Vesali, pada masa Raja Kalasoka dari Magadha.

Tema utamanya adalah kelayakan bagi para biksu untuk menggunakan uang. Tema-tema lainnya juga mendapat perhatian, tetapi dianggap sekunder kepentingannya. Para biksu Vesali, dikenal sebagai ‘Vajjiputaka’ (Para Putra Vajji) secara reguler pergi ke kota-kota sambil membawa mangkuk mereka, untuk mengumpulkan uang. Mereka ditentang oleh para biksu dari distrik barat yang disebut Pava; yang dalam penjelasan tentang Vinaya disebut ‘Paveyyaka’ (Mereka yang berasal dari Pava). Terjadi debat besar, yang dihadiri 700 biksu. Konsili tersebut menunjuk satu grup terdiri dari delapan biksu, masing-masing pihak sebanyak empat orang, untuk membandingkan praktik-praktik Vajjiputaka dengan kata-kata Buddha di dalam Sutta maupun Vinaya. Mereka akhirnya mendukung opini-opini Paveyyaka’. Menjadi jelas bahwa, meskipun para biksu dan biksuni di saat itu mungkin berbeda dalam praktiknya, namun mereka semua mendukung ajaran-ajaran serta tata perilaku yang sama, dan ini adalah standar yang diterima umum. Perhatikan bahwa perbedaan muncul dikarenakan pemisahan geografis, dan didamaikan dengan kembali ke sumber bersama.

Semua [versi] Vinaya sepakat bahwa perselisihan di Vesali telah didamaikan tanpa perpecahan. Tetapi beberapa tahun kemudian, terjadi perselisihan lainnya, bukan tentang Vinaya, tetapi tentang doktrin. Bervariasi kisah tentangnya, karena Konsili tersebut tidak ditemukan di di Vinaya dasar, namun dalam sejarah-sejarah belakangan. Tetapi, sepertinya seorang guru (dipanggil Mahadeva oleh beberapa orang) mengajarkan lima ide yang tidak bisa diterima oleh banyak biksu dan biksuni. Tidak perlu diceritakan secara detil disini, tentang bagaimana kelima ide tersebut. Cukup dikatakan bahwa perselisihannya sebagian besar adalah tentang sifat seorang arahat (siswa tercerahkan). Apakah seorang arahat sungguh-sungguh sepenuhnya terbebas dari segala kemelekatan duniawi maupun ketidaktahuan; ataukah dia masih mengalami ketidaksempurnaan halus? Konsili dilangsungkan di Pataliputra, tidak lama SEBELUM masa Raja Asoka [Raja Dharmasoka, kekaisaran Maurya, memerintah kira-kira 269 SM-  232 SM], untuk mendiskusikan poin-poin ini.  Kali ini, pihak-pihak yang bertikai tidak mencapai kesepakatan, dan perpecahan untuk pertama kalinya terjadi sebagai dampaknya.

Kelompok yang mempertanyakan kesempurnaan arahat menjadi mayoritas di pertemuan itu, sehingga disebut sebagai ‘Mahāsaṅghika’. Tidak ada nama yang sungguh-sungguh tepat untuk kelompok satunya, yang mendukung kemurnian mutlak dari arahat. Terkadang, mereka disebut para ‘Thera’ / [Sthavira] (Sesepuh), yang mensiratkan bahwa mereka identik dengan Theravadin dari Sri Lanka. Tetapi, Theravadin hanyalah salah satu cabang dari aliran kuno itu, dan banyak aliran lainnya memiliki pembenaran untuk mengklaim berpangkal dari aliran itu. Karena semua sepakat bahwa kelompok ini memiliki jumlah yang lebih sedikit di Konsili Ketiga [BUKAN Konsili Ketiga versi  Mahavamsa, di masa Asoka  yg diketuai  Mogaliputtatissa] , maka saya menyarankan untuk menyebutnya ‘Culasanghika’ , ‘Sangha Minoritas’, sebagai kebalikan dari ‘Mahasanghika’ , ‘Sangha Mayoritas’.

Beberapa sarjana mencoba mengkoneksikan kejadian Konsili Kedua dengan Ketiga, dan menyatakan bahwa Mahāsaṅghika adalah sama dengan Vajjiputtaka, sementara Culasanghika adalah sama dengan Paveyyaka. Tetapi bukti yang ada tidak mendukung ide tersebut. Ide utama yang diajukan oleh Vajjiputtaka  adalah kelayakan bagi biksu atau bikuni untuk menggunakan uang; tetapi Vinaya dari Mahāsaṅghika persis sama dengan aturan Theravada dan semua aliran lainnya berkenaan dengan penggunaan uang. Bahkan, dalam catatan mereka tentang Konsili Kedua, Mahasanghika secara terbuka mengkritik Vajjiputtaka. Selain itu, pada kedua Vinaya , baik Mahasanghika (lebih awal) maupun Lokuttaravada (lebih belakangan) dari aliran ini, mereka yang berlatih menjadi biksuni diharapkan mematuhi delapan belas aturan, dan bukan enam seperti di aliran-aliran lain; dan di antara ke delapan belas aturan itu, larangan untuk menggunakan uang disampaikan dua kali. Jadi, dalam hal ini, Mahasanghika memiliki larangan yang lebih keras terhadap penggunaan uang dibandingkan kedua aliran lainnya.

17
Buddhisme Awal / Apa Yang Buddha benar-benar Ajarkan
« on: 10 June 2015, 09:57:09 PM »
Apa Yang Buddha benar-benar Ajarkan
(What the Buddha Really Taught)


oleh Bhikkhu Sujato.

    However, with the exception of the Mahāyānist interpolations in the Ekottara, which are easily discernible, the variations in question [between the Nikāyas and Āgamas] affect hardly anything save the method of expression or the arrangement of the subjects. The doctrinal basis common to the Nikāyas and Āgamas is remarkably uniform.
    –Étienne Lamotte


Ketika aku pergi ke toko buku buddhis atau perpustakaan, sering aku terpana oleh betapa banyaknya buku disana. Rak terisi penuh oleh opini-opini orang mengenai "Apa yang diajarkan Buddha". Tapi cobalah temukan sesuatu yang benar-benar berisi ajaran Buddha dan anda akan kesulitan. Sepertinya baik-baik saja untuk menjadi buddhis, menghadiri ceramah, membaca buku, meditasi, melafalkan (paritta/ mantra), dan pergi ke retreat, tanpa pernah bertanya : Apakah yang benar-benar diajarkan Buddha?

Untuk pencari yang pemberani dan langka yang niat menyelidiki di luar apa yang diucapkan guru mereka, tak akan lama sebelum mereka mendengar Nikaya Pali. Disini, kita diberitahu, adalah Ajaran asli yang tidak diubah. Kata-kata Buddha dalam kemurnian jernih. Kita berada dalam posisi yang berbahagia mempunyai banyak terjemahan bagus dari kitab-kitab ini tersedia dalam bahasa inggris, baik di buku maupun internet. Siapapun dengan waktu dan minat yang cukup dapat, dengan sedikit usaha, mendapatkan pemahaman yang memuaskan dalam ajaran-ajaran ini. Nikaya Pali telah menjadi salah satu pengaruh pembentuk bagiku, tepat dari hari pertama sebagai buddhis. Dhamma yang mereka punya jelas, rasional, seimbang, lembut, dan dalam - semua yang dapat diharapkan

Tetapi sangat mudah untuk jatuh pada sebuah 'Fundamentalisme Pali'. Kitab dan bahasanya sangat murni dan tepat sehingga banyak dari kita yang jatuh cinta pada Nikaya dan akhirnya menganggap mereka adalah SEMUANYA dari buddhisme. Kita mengikuti secara religius pada pembedaan paling keci, tafsiran paling halus, didasarkan pada satu kata atau kalimat. Kita memandang tanpa pertanyaan bahwa kita mempunyai ajaran asli, tanpa mempertimbangkan proses bagaimana ajaran ini diwariskan pada kita. Dalam semangat kita, kita mengabaikan kemungkinan bahwa mungkin ada perspektif lain dari Dhamma ini

Mungkin hal paling penting adalah, kita lupa - jika kita pernah tahu - alasan mengapa kita dibenarkan untuk menganggap Nikaya ini otentik pada mulanya. Walaupun memang cukup baik bagi sebagian besar buddhis berkeyakinan untuk percaya bahwa kitab suci mereka adalah yang asli, ini tidak akan cukup untuk pencari yang tak berminant. Semua tradisi agama mencoba mengklaim pembenaran demikian, dan tidak mungkin semua benar. Klaim - klaim yang bertentangan ini membuat para peneliti di zaman modern untuk memeriksa bukti-bukti secara lebih obyektif


Ketika studi sejarah modern mengenai Buddhisme dimulai di pertengahan abad ke-19 ada kebingungan. Dalam antusiasme rasionalis, sarjana mempersiapkan pertanyaan mengenai apakah mitos tentang Buddha mempunyai dasar fakta atau tidak. Apakah ada koneksi sejarah diantara agama-agama berbeda yang dipraktekkan di tempat-tempat berjauhan seperti Srilanka, Tibet, dan Jepang? Apakah Buddha benar-benar ada? Apakah ia hanyalah dewa matahari? Apakah ia nabi Mesir? Apa yang ia ajarkan? Dapatkah kita mengetahuinya? Tradisi manakah yang paling dapat diandalkan (atau paling tidak dapat diandalkan)? Karena tradisi-tradisi telah dipisahkan karena faktor sejarah - terutama kehancuran Buddhisme di India - Mereka punya sedikit informasi tentang satu sama lain, dan masing-masing menyatakan keunggulan tradisi sendiri. Masing-masing sekte melestarikan tradisi mereka dalam koleksi besar jilid-jilid kitab yang sulit dibaca dalam bahasa yang sangat berbeda-beda (Mandarin, Tibetan, Pali, dan bahasa India lain seperti sanskerta)

Tetapi secara bertahap bukti-bukti dikumpulkan, tradisi-tradisi dibandingkan; temuan arkeologis mengkonfirmasi fakta kunci. Kronik Srilanka berusia 1500 tahun menyebut nama-nama bhiksu Kassapa, Majjhima, dan Durabhisara yang dikirim pada masa Asoka sebagai misionari dari Vidisa ke daerah Himalaya; sebuah stupa digali di Vidisa dan nama-nama bhiksu tersebut ditemukan disana, terukir dalam aksara yang berjangka waktu periode Asoka. Pada awal abad ke-20, dalam karya sarjana seperti misalnya T.W, Rhys Davies, yang tulisannya masih berharga sampai sekarang, garis besar yang akurat telah tergambar. Walau Masih ada kontroversi di paruh pertama abad ke-20, seiring masih dikumpulkannya bukti-bukti, kitab-kitab baru masih diedit, dan studi-studi baru masih dikerjakan.

Tetapi, pada tahun 1882, seorang sarjana bernama Samuel Beal menerbitkan seri kuliah berjudul Buddhist Literature in China (Literatur Buddhis di China). Di dalamnya mengandung informasi mengenai proses penerjemahan ke dalam bahasa mandarin, dan juga contoh terjemahan dari beberapa strata literatur Buddhis - Sutta awal, Jataka, dan kitab Mahayana. Ia mengatakan demikian:
"Parinibbana, Brahmajala, Sigalovada, Dhammacakka, KhasiBharadvaja, Mahamangala; semua ini saya temukan dan bandingkan dengan terjemahan dari Pali, dan saya temukan bahwa mereka identik secara umum. Saya tidak mengatakan secara harfiah bahwa mereka sama persis; mereka berbeda dalam poin-poin kecil, tetapi identik dalam plot dan semua detil-detil penting. Dan ketika koleksi Vinaya dan Agama diperiksa secara menyeluruh, saya yakin bahwa kita akan menemukan sebagian besar jika bukan semuanya, adalah sutta pali dalam bentuk mandarin."


Seratus tahun lebih kemudian, studi perbandingan menyeluruh yang dicetuskan oleh Beal masih belum ada. Tetapi sudah ada perkembangan. Di tahun 1908 seorang sarjana Jepang M. Anesaki menerbitkan bukunya 'The Four Buddhist Agamas in Chinese: A concordance of their parts and of the corresponding counterparts in the Pali Nikayas'. Ini kemudian diikuti oleh buku oleh Chizen Akanuma pada tahun 1929 berjudul: 'The Comparative Catalogue of Chinese Agamas and Pali Nikayas', sebuah katalog komprehensif dari semua khotbah awal yang ada dan diketahui dalam bahasa Pali dan Mandarin, dan juga beberapa kitab awal yang tersedia dalam bahasa tibet dan sanskerta. Penemuan-penemuan ini dimasukkan dalam studi sejarah seperti Etienne Lamotte 'History of Indian Buddhism' dan A.K. Warder 'Indian Buddhism'.

Studi-studi ini telah mengkonfirmasi hipotesis awal Beal - kitab Agama Tiongkok dan Nikaya Pali kurang lebih identik dalam isi doktrin. Mereka adalah dua edisi berbeda dari koleksi kitab yang sama. Kitab-kitab ini - yang populer dirujuk sebagai "Sutta" - dikumpulkan oleh generasi pertama pengikut Buddha, sebelum periode perpecahan sektarian. Mereka ada Buddhisme pre-sektarian.

Walaupun dalam pikiran populer kitab-kitab ini disebut sebagai ajaran 'Theravada', tapi tidaklah demikian. Sarjana ahli David Kalupahana malah menyatakan bahwa tidak ada satu katapun di Nikaya Pali yang mewakili pemikiran khusus sekte Theravada (walaupun saya berpikir ini berlebihan).
Lamotte berkomentar:
"Tetapi, dengan perkecualian beberapa sisipan yang condong ke mahayanis di dalam Ekottara, yang mudah dikenali, perbedaan [antara Nikaya dan Agama] tidaklah banyak mempengaruhi apapun kecuali cara ekspresi atau penyusunan subyek. Dasar doktrin yang sama dari Nikaya dan Agama secara mengejutkan sama. Dilestarikan dan diwariskan oleh sekte-sekte, sutra-sutra bukanlah merupakan dokumen khusus masing-masing sekte, tetapi adalah warisan bersama semua sekte"


Kontribusi dari sekte-sekte biasanya terbatas ke penyusunan akhir dari kitab atau menyamaratakan dialek. Sisipan pemikiran sektarian sedikit dan biasanya mudah dikenali. Untuk mengambil satu contoh acak dari pernyataan sektarian tersebut, mari kita melihat apa yang dikatakan oleh Samyutta dari Theravadin dan Samyukta dari Sarvastivadin mengenai bagaimana empat kebenaran mulia direalisasikan dalam dimensi waktu. Theravada menyatakan bahwa siapapun yang melihat salah satu dari empat kebenaran mulia juga melihat [kebenaran] yang lain (SN 56.30). Sutta ini, yang tidak mempunyai padanan dalam Sarvastivada, mengimpilasikan bahwa empat kebenaran mulia direalisasikan semuanya sekaligus. Kebalikannya, beberapa sutta Sarvastivada, yang tidak mempunyai padanan dalam Theravada, menyatakan bahwa seseorang akan mengetahui masing-masing empat kebenaran mulia secara berurutan, satu setelah yang lain (SA 435-437). Hal ini berhubungan dengan topik perdebatan mengenai apakah pencapaian pencerahan itu langsung (eka-abhisamaya) atau bertahap (anupubbha-abhisamaya). Theravada adalah sekte yang menganut eka-abhisamaya, dan dalam abhidhamma versi mereka mengembangkan teori bahwa semua empat kebenaran mulia direalisasikan dalam pikiran dalam satu momen. Abhidharma Sarvastivadin mengajukan argumen berlawanan, bahwa kebenaran direalisasi secara bertahap. Perdebatan ini menjadi salah satu medan perang sektarian di Buddhisme Tiongkok nantinya, tetapi akarnya sudah muncul dalam Samyutta. Perhatikan bahwa, ketika dua sekte menganut pandangan berbeda dalam poin ini, fakta bahwa mereka mempunyai doktrin yang sama tentang empat kebenaran mulia adalah apa yang membuat dialog ini memiliki makna. Jika mereka tidak mempunyai ajaran dasar yang sama, mereka tidak dapat berdebat mengenai detil tafsirannya.

Tetapi Kita harus tetap berhati-hati ketika mengambil kesimpulan dari apa yang terlihat berbeda. Bahkan sarjana terbaik dapat membuat kesalahan, apalagi ketika materi baru terus menerus terkuak. Sebagai contoh, Thich Minh Chau, salah satu dari pelopor studi Agama/Nikaya, menemukan bahwa Jivaka Sutta dari Majjhima Nikaya (MN 55) tidak ada padanannya di Sarvastivadin Madhyama Agama, dan tidak ditemukan dimanapun di kitab koleksi Agama Tiongkok. Sutta ini menceritakan mengenai pertanyaan tentang makan daging. Seperti diketahui baik, monastik Theravada biasanya memperbolehkan makan daging, sementara Mahayanis umumnya tidak. Sutta Theravada, konsisten dengan praktek di kebudayaan Theravada, memperbolehkan makan daging. Thich Minh Chau mengajukan opini bahwa hilangnya [sutta Jivaka] dari Sarvastivada mengindikasikan bahwa, bahkan sejak waktu awal sekali, praktek vegetarianisme disukai oleh Sarvastivada. Kesimpulan ini masuk akal pada waktu itu. Tetapi kemudian Sarvastivada Dirgha Agama ditemukan dan diselidiki sebagian. Koleksi itu mempunyai sebuah versi Jivaka Sutta (dan beberapa sutta Majjhima yang penting yang menghilang dari Sarvastivada Madhyama Agama). Jadi hilangnya [Jivaka Sutta] dari Madhyama bukan karena perbedaan sektarian, tapi hanya karena Theravada menempatkannya di Majjhima, sementara Sarvastivada memilih untuk menempatkannya di Dirgha.

Mudah untuk melupakan, di masa kita sekarang, bahwa alasan kenapa Nikaya membawa prestise yang tinggi adalah karena penemuan bahwa mereka sangat mirip dengan koleksi sutra-sutra padanannya yang ada di terjemahan mandarin. Logika ini sangat kuat: Aliran Selatan (Theravada) dan Aliran Utara (Tiongkok) telah dipisahkan oleh jarak yang sangat jauh, dengan hanya kontak sesekali selama 2000 tahun. Bahkan sebelum itu, di India sendiri, sekte-sekte sudah terpisah dan mewariskan versi berbeda dari kitab suci kanon mereka. Tetapi bahkan setelah perpisahan ini, kanon kitab suci akar mereka hampir identik dalam doktrin.

Generasi awal sarjana buddhis dari barat maupun timur, yang berbeda kebudayaan, sampai pada kesimpulan-kesimpulan tersebut. Penemuan mereka memberi otoritas kuat bagi Nikaya Pali dan Agama Tiongkok dan pentingnya mempelajari koleksi-koleksi ini dan membandingkannya. Penemuan ini telah diteruskan oleh studi buddhis modern terutama di Taiwan dan Jepang. Tetapi di negara berbahasa inggris, Agama Tiongkok cenderung diabaikan. Faktornya ada banyak, terdepan adalah sukarnya belajar bahasa mandarin.

Juga ada asumsi bahwa terjemahan mandarin akan lebih 'membingungkan' dan kurang dapat diandalkan daripada teks India. Dalam banyak konteks psikologi dan filosofi, ketepatan bahasa pali menjadi samar dalam terjemahan mandarin; dan kadang ketidaktegasan tata-bahasa mandarin membuat masalah semakin buruk. Tetapi walaupun ini benar dalam beberapa kasus, hal ini sebenarnya tergantung pada apa yang dicari. Seringkali kita dapat dengan yakin mengetahui kata India yang diterjemahkan oleh penerjemah mandarin. Dan kerancuan terjemahan biasanya hanya relevan pada fokus dekat, ketika memikirkan apa makna dari satu kata tertentu. Pada jarak lebih jauh, misalnya memikirkan makna dari keseluruhan kalimat, seringkali hanya ada sedikit perbedaan. Dan ketika kita melihat blok tekstual yang lebih besar, misalnya keseluruhan paragraf, perbedaan itu menghilang.

Sebagai contohnya, mari kita lihat istilah  覺 (jue2). Ini bisa memiliki beberapa makna, biasanya terkait dengan bodhi, pencerahan atau penggugahan. Tetapi bagaimana kita harus memaknainya ketika istilah ini muncul dalam formula jhana pertama:  有覺有觀  'dengan 覺, dengan penyelidikan’? Disini 覺 tidak dapat bermakna bodhi atau apapun yang mirip.
Sekarang, formula jhana adalah sangat umum dan standar di dalam Nikaya/ Agama. Kita dapat memastikan bahwa 覺  haruslah bermakna dengan istilah padanan pali vitakka ('pemikiran', atau 'aplikasi awal pikiran'). Ini dikonfirmasi ketika kita melihat teks sanskerta yang sangat dekat dengan versi asli yang diterjemahkan ke mandarin, istilah yang dipakai memang vitarka. Setelah memastikan ini, kapanpun kita melihat istilah ini muncul dalam formula jhana, kita tahu bahwa ini artinya vitakka, dan kita tahu ini dengan pasti seperti kita telah membaca teks India aslinya. Jadi dalam kasus seperti demikian, terjemahan mandarin adalah sama akurat dan otoritatif sebanding dengan pali, dan malah kadang lebih dapat diandalkan.

Salah satu alasan lain yang mungkin tentang mengapa Agama relatif lebih diabaikan di negara berbahasa Inggris adalah anggapan bahwa mereka lebih belakangan daripada Nikaya. Anggapan ini telah diperkuat oleh Etienne Lamotte, yang opininya sering dikutip. Tetapi alasan beliau atas kesimpulan ini adalah karena Samyukta Agama Tiongkok memasukkan sebuah kitab panjang dari "Kisah Hidup Raja Asoka" yang asalnya belakangan. Tetapi, sarjana Jepang dan Taiwan telah lama mengenali ini sebagai sisipan asing ke dalam Samyukta, mungkin tidak lebih dari kesalahan pengarsipan oleh seorang pustakawan ceroboh pada suatu waktu di tiongkok. Pemeriksaan lebih dekat pada isi dari Agama menunjukkan bahwa mereka secara umum tidaklah lebih awal maupun lebih belakangan daripada Nikaya, tetapi keduanya adalah materi yang dikoleksi kira-kira pada periode waktu yang sama

Adalah di luar lingkup essay kecil ini untuk memeriksa berbagai koleksi dengan detil, tetapi kita dapat meninjau dasarnya. Ini adalah tabel dari koleksi utama yang ada. Nomor T merujuk pada nomor sutra di edisi standar Taisho di kanon Mandarin.

18


[KCI Tour n Travel]
DHARMAYATRA INDIA & NEPAL

Apa tujuan Dharmayatra?
Melalui Dharmayatra (10-20 Juli 2015) ini, KCI Tour n Travel mengajak teman-teman untuk menelusuri kembali setiap langkah dari perjalanan spiritual Sang Buddha dalam mencapai keBuddhaan. Penting sekali bagi kita semua untuk mengetahui sejarah ini sehingga dapat menjadi inspirasi dalam rangka pengembangan batin kita.

Layaknya seorang anak mengikuti jejak sang Ayah, begitu juga kita menelusuri dan mengikuti jejak Sang Buddha hingga mencapai pencerahan.

[Info]
KCI Tour n Travel melayani:
•Pembelian tiket domestik & internasional
•Voucher hotel
•Pengurusan Visa & Passport
•Tour

Hubungi:
Erni (+6281221510591)
Jovan (+6285315980238)

19
Buddhisme Awal / The Dawn of Abhidhamma
« on: 07 February 2015, 02:51:15 PM »
lagi baca dikit2


The Dawn of Abhidharma
This book is a companion to Bhikkhu Anālayo’s previous study of the Genesis of the Bodhisattva Ideal. In the present book he turns to another important aspect in the development of Buddhist thought: the beginnings of the Abhidharma. Anālayo shows that the two main modes generally held in academic circles to explain the arising of the Abhidharma – the use of lists (mātrḳā) and the question-and-answer format – are formal elements that in themselves are not characteristic of Abhidharma thought. Going beyond the notion that the coming into being of the Abhidharma can be located in such formal aspects, he shows how the attempt to provide a comprehensive map of the teachings gradually led to the arising of new terminology and new ideas. He identifies the notion of the supramundane path as an instance where fully fledged Abhidharma thought manifests in the discourses. Anālayo concludes that what characterizes the Abhidharma is not the mere use of dry lists and summaries, but rather a mode of thought that has gone further (abhi-) than the Dharma taught in the early discourses in general.


http://blogs.sub.uni-hamburg.de/hup/products-page/publikationen/123/

sedikit yang sudah dibaca:

Analayo mengatakan, abhidharma pada mulanya adalah "daftar rangkuman topik, dan komentar atas sebuah sutta"
karena komentar penjelasan yang ditempelkan pada sebuah sutta ini bisa menjelaskan sutta yg lain, maka kemudian  komentar ini menjadi "hidup" dan berkembang lebih independen. Setelah itu menjadi satu set pitaka sendiri. Ini semua terjadi sejak zaman transmisi oral.

abhidharma pada mulanya berarti : tentang dharma
"Para bhiksu sedang mendiskusikan abhidharma" = "Para bhiksu sedang mendiskusikan tentang dharma"
Hanya belakangan istilah abhi diartikan sebagai "yang lebih tinggi" dan merujuk pada kitab-kitab komentar abhidharma

20
"The Stages of The Path to Enlightenment"

by : Ven. Dagpo Lama Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampa Gyatso

At : Prasadha Jinarakkhita
(One complex with Global Sevilla School)
Jl. Kembangan Raya Blok JJ, Kembangan selatan
Jakarta Barat

Saturday - Sunday, 20 - 21 December 2014
session 1 : 9:30 - 12:00 AM
session 2 : 2:30 - 16:30 PM

The public teaching will be in english & Bahasa Indonesia.

The Translation in English by FM radio, please bring your own FM device

For registration please contact members below :
Farida : Phone. +62 812 8436 0557
Email Farida.lie7 [at] gmail.com
Cindy : SMS +62 856 9726 0445
Email, cindy.raoxinfang [at] gmail.com

Format:
NAME - M/F (Male/Female) - AGE - MOBILE NO - EMAIL ADDRESS- Number OF PARTICIPANTS
Before 15 december 2014. Registration is needed for the amount of seat drink.

For participants that need accomodation (hotel) and transport during the event please contact Fanny +62 821 1585 4052 or fannyangreani [at] gmail.com

Ven. Dagpo Rinpoche will explain a renown Buddhist teaching tradition from Tibet, The Stages of the Path to Enlightenment, which is a Mahayana tradition based on the text Liberation in Our Hand that was compiled by Pabongkha Rinpoche. It is part of the Lamrim Chen Mo tradition which in turn is the Stages of the Path to Enlightenment in the Gelugpa tradition based on Atisha’s Lamp of The Path to Enlightenment. Je Tsongkhapa composed the Great Treatise of The Stages of the Path to Enlightenment as commentaries and explanation of Atisha’s works. The Lamrim teaches what the Buddha taught in a systematic and progressive path fitted into the capacity and spiritual development of each person, describing the precise order in which spiritual qualities are to be developed so Three Principles of the Path, namely the renunciation to samsara, the spirit of enlightenment –the door to the Mahayana, and the wisdom of excellent view – arises in one. It also explains the good qualities that the bodhisattva must then cultivate to progress to Buddhahood.

Free of Charge

Please share to your Friends


21
Diskusi Umum / Balada Gelembung Air
« on: 01 October 2014, 04:18:42 PM »
Jadi ceritanya satu waktu, ketemu satu bait yang berasal dari Sutra Intan (Vajrachedika-Prajnaparamita Sutra) yang membangkitkan satu kesan gimana gitu. Ternyata bait itu adalah bait paling terkenal dari Sutra Intan dan banyak yang membahas.

Taraka timiram dipo
Maya-avasyaya budbudam
Supinam vidyud abhram ca
Evam drastavyam samskrtam.


 「一切有為法  如夢幻泡影
  如露亦如電  應作如是觀」

Lihatlah semua hal yang terbentuk dari kondisi
Bagai bintang-bintang, kesalahan penglihatan, pelita,
ilusi, tetesan embun, gelembung air,
mimpi, cahaya kilat, atau awan-awan;

[Vajracchedikā Prajñāpāramitā Sūtra (Sutra Intan)]


Perumpamaan ini kemudian ketemu lagi di dalam Vimalakirti-nirdesa Sutra tetapi dalam versi agak berbeda. Lalu di facebook ada yang kasih sebait dhammapada yang isinya mirip. Karena penasaran, akhirnya aku search dengan keyword "gelembung air" , "buih", "mimpi", "kilat" di semua sutta dan sutra dan sastra, dan akhirnya ketemu banyak

Mengagumkan bahwa satu tema yang sama dibahas lagi dan lagi dalam berbagai cara, dan kitab-kitab ini merujuk ke kitab yang sudah ada.

Saya akan post hasil pencarian di bawah

22
Buddhisme Awal / Origin and Spread of the Buddha’s Doctrine
« on: 16 September 2014, 08:37:10 PM »
Ini bacaan lumayan. Yg dishare disini kutipan aja yang menarik
Ada yg mau beli bukunya lalu dishare?


Origin and Spread of the Buddha’s Doctrine

Buddhism: One Teacher, Many Traditions is an unprecedented book by His Holiness the Dalai Lama and Ven. Thubten Chodron that explores the similarities and differences within Buddhist traditions. In July 2014, Mandala’s managing editor Laura Miller had an interview with Ven. Chodron about her work on the book, which is being published by Wisdom Publications in November 2014.

Here we share an excerpt from the introductory chapter “Origin and Spread of the Buddha’s Doctrine.” (The diacritics from the original remain.)

Our Commonalities and Diversity

Sometimes people mistakenly believe that Tibetan Buddhism, especially Vajrayāna, is separate from the rest of Buddhism. When I visited Thailand many years ago, some people initially thought that Tibetans had a different religion. However, when we sat together and discussed the vinaya, sūtras, abhidharma, and such topics as the 37 aids to awakening, the four concentrations, four immaterial absorptions, four truths of the āryas, and noble eightfold path, we saw that Theravāda and Tibetan Buddhism have many common practices and teachings.

With Chinese, Korean, and many Vietnamese Buddhists, Tibetans share the monastic tradition, bodhisattva ethical restraints, Sanskrit scriptures, and the practices of Amitābha, Avalokiteśvara, Mañjuśrī, Samantabhadra, and Medicine Buddha. When Tibetan and Japanese Buddhists meet, we discuss the bodhisattva ethical restraints and sūtras such as the Saddharmapuṇḍarīka Sūtra. With the Japanese Shingon sect we share the tantric practices of the Vajradhātu maṇḍala and Vairocanābhisaṃbodhi.

While there are differences in the texts that comprise each canon, there is considerable overlap of the material discussed in them. In subsequent chapters we will explore some of these in greater depth, but here are a few examples.

The Buddha spoke at length about the disadvantages of anger and the antidotes to it in the Pāli suttas (e.g., SN 11:4-5). The teachings for overcoming anger in Śāntideva’s Bodhicaryāvatāra echo these. One sutta (SN 4:13) recounts the story of the Buddha experiencing severe pain due to his foot having been cut by a stone splinter. Nevertheless, he was not distressed, and when prodded by Māra, he responded, “I lie down full of compassion for all beings.” This is the compassion generated when doing the taking-and-giving meditation (Tib. tonglen) taught in the Sanskrit tradition, where a practitioner imagines taking the sufferings of others upon himself and giving others his own happiness.

Furthermore, the altruistic intention of bodhichitta so prominent in the Sanskrit tradition is an extension of the four brahmavihāras (four immeasurables) taught in the Pāli canon. The Pāli and Sanskrit traditions share many of the same perfections (pāramī, pāramitā). The qualities of a buddha, such as the 10 powers, four fearlessnesses, and 18 unshared qualities of an awakened one are described in scriptures from both traditions. Both traditions speak of impermanence, the unsatisfactory nature, selflessness, and emptiness. The Sanskrit tradition sees itself as containing the teachings of the Pāli tradition and elaborating on certain key points – for example, by explaining true cessation according to the Prajñāpāramitā sūtras and the true path according to the Tathāgatagarbha sūtras and some of the tantras.

The terms Thai Buddhism, Sri Lankan Buddhism, Chinese Buddhism, Tibetan Buddhism, Korean Buddhism, and so on are social conventions. In each case, Buddhism in a country is not monolithic and contains many Buddhist practice traditions and tenet systems. Within these, there are sub-groups consisting of monasteries or teachers with various affiliations. Some subtraditions emphasize study, others meditation. Some stress practicing serenity (samatha, śamatha), others insight (vipassanā, vipaśyanā), and others both together.

While one country may have many traditions in it, one tradition may also be practiced in many countries. Theravāda is practiced Sri Lanka, Thailand, Burma, Laos, Cambodia, and is also found in Vietnam. Within Theravāda countries, some follow early Buddhism – the suttas themselves – without relying on the commentaries very much, while others follow the explanations in the commentarial tradition. Even the robes in one country or in one tradition may vary.

Similarly, Chan is practiced in China, Taiwan, Korea, Japan, and Vietnam. While Chan practitioners in all these countries rely on the same sūtras, the teachings and meditation style vary among them.



http://mandala.fpmt.org/archives/mandala-for-2014/october/origin-and-spread-of-the-buddhas-doctrine/

23
Tahun ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Kadam Choeling Indonesia kembali mengadakan Napak Tilas ke India dan Nepal selama 12 hari 10 malam. Detail dari kegiatan tersebut:



Buddhist Pilgrimage Tour 10N / 12D
INDIA - NEPAL
KCI TOUR
6 - 16 SEPTEMBER 2014
TOUR RATE: 1.650USD

Perjalanan menyusuri situs-situs bersejarah di tanah India berdasarkan perspektif Antropologi dari narasumber yang menguasai sejarah dan filsafat timur.

Day 1 [6 SEPTEMBER 2014] : jakarta-Delhi/Overnight at Delhi
Day 2 [7 SEPTEMBER 2014] : Delh - Varanasi via Lucknow by Stabadi Express Overnight at Varanasi.
Day 3 [8 SEPTEMBER 2014] : Varanasi, Sarnath /Bodhgaya overnight at Bodhgaya
Day 4 [9 SEPTEMBER 2014] : Full days at Bodhgaya
Day 5 [10 SEPTEMBER 2014] : Patna - Rajgir - Nalanda - Bodhgaya
Day 6 [11 SEPTEMBER 2014] : Bodhgaya / Kusinagar VIA Vaishali Overnight at Kushinagar
Day 7 [12 SEPTEMBER 2014] : Kushinagr to Lumbini
Day 8 [13 SEPTEMBER 2014] : Lumbini /Saravasti Via Kapilvastu Overnight at Saravasti
Day 9 [14 SEPTEMBER 2014] : Saravasti/ Agra Via Sankasya Overnight at Agra
Day 10 [15 SEPTEMBER 2014] : At Agra Taj Mahal/Agra fort overnight at Delhi
Day 11 [16 SEPTEMBER 2014] : Delhi + Depart evening
Day 12 [17 SEPTEMBER 2014] : Arrived at own country with sweet memory of India. Tour ends.


Info & registrasi : Christine KHU (0856.5850.9928)

24
Mahayana / Tinjauan tentang makan daging dalam Mahayana
« on: 12 January 2014, 10:03:24 AM »
Tinjauan tentang makan daging dalam Mahayana
Menyambut Hari Vegetarian Se-Dunia
oleh: Chingik dan Hendrick
Majalah Sinar Dharma 24


Pertentangan Tradisi Buddhisme?

Polemik seputar masalah vegetarian dalam tubuh agama Buddha telah berlangsung lama, hingga sekarang pun masih terus menjadi sebuah perdebatan yang hangat. Jika diperhatikan, terlihat jelas bahwa perbedaan pendapat ini berhubungan dengan masalah sektarian/tradisi. Argumentasi apapun yang dikemukakan oleh masing-masing tradisi tidak terlepas dari pijakan pada sumber literatur yang diyakini mewakili ajaran asli Buddha. Kesemuanya sama-sama meyakini sumber kitab suci masingmasing, sehingga berbagai teori maupun alasan yang dipaparkan selalu berjalan di dalam sistem logika yang diboncengkan pada sistem ajaran masing-masing tradisi. Demikianlah sehingga timbul persepsi bahwa ajaran Buddha sehubungan dengan permasalahan makan daging dalam Sutta-Sutta Theravada dan Sutra-Sutra Mahayana adalah bertentangan. Bahkan umat awam dengan sangat mudahnya mencap bahwa bhikkhu Theravada boleh makan daging, sedangkan bhiksu Mahayana harus vegetarian. Padahal jika mau merujuk pada rangkaian visi ajaran masing-masing tradisi, maka kita akan dapat menemukan sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya apa yang dikemukakan oleh dua garis tradisi besar Buddhisme, Theravada dan Mahayana, adalah tidak bertentangan.

Kita harus tahu, jika berbicara tentang ajaran Buddha dari sudut pandang tradisi Theravada, maka fokus utama dari tradisi ini terletak pada usaha untuk meraih tingkat kesucian Arahat. Seorang praktisi yang menjalankan pelatihan diri dalam sistem tradisi ini akan berusaha meraih apa yang dicita-citakan dengan berpegang pada tiga kerangka dasar pelatihan yakni Sila, Samadhi dan Panna. Tradisi Theravada meyakini bahwa dari serangkaian sistem tiga pelatihan ini, kesucian batin yang tercapai tidak memiliki kaitan dengan apa yang dimakan, baik berupa daging maupun sayur-sayuran. Hal ini dipertegas oleh Buddha saat mewejangkan Dhamma kepada seorang tabib bernama Jivaka.

Namun pada kesempatan lain, Buddha menginstruksikan kepada para siswa bahwa meskipun tidak ada larangan, namun ada ketentuan yang berlaku dalam hal memakan daging. Artinya adalah bahwa dalam hal ini Buddha menerapkan satu aturan dasar tata tertib. Di sini terlihat jelas bahwa memang tidak ada larangan secara eksplisit, namun tidak berartiboleh makan daging secara bebas. Buddha hanya mengizinkan para bhikkhu memakan tiga daging murni (tri-koti-suddha-mamsa), yakni

   
  • pertama, daging dari hewan yang tidak dilihat ketika dibunuh;
        kedua, daging dari hewan yang tidak kita dengar ketika dibunuh;
        dan ketiga, daging dari hewan yang tidak secara khusus dibunuh untuk disajikan kepada kita.

Bhiksu Yijing dalam perjalanannya mencatat bahwa para bhiksu di India menerima dana makanan berupa tiga daging murni.


Buddha Tidak Melarang Makan Daging?

Berbicara tentang tiga daging murni, baik Theravada maupun Mahayana memiliki pandangan serupa. Arya Bhavaviveka (500-578 M), pendiri Svatantrika Madhyamika, salah satu aliran Mahayana, pernah menulis dalam karya beliau Madhyamakahrdaya-karika bahwa tidak ada larangan bagi seseorang untuk memakan daging, namun dengan syarat harus memenuhi aturan tiga daging murni. Bhavaviveka juga mengatakan: “Tindakan memakan daging dengan tujuan sebagai nutrisi, obat bagi penyakit atau sebagai pemulih kelaparan tidak menyebabkan karma buruk.” Di sini dikatakan kita boleh mengonsumsi daging atas dasar alasan kesehatan, bukan mengejar kenikmatan daging.

Pun maksud dari “pemulih kelaparan” di sini bukan sekedar lapar terus makan daging, tetapi merujuk pada kondisi bila terjadi bencana kelaparan maka daging diperlukan untuk memulihkan kondisi mereka yang tertimpa bencana kelaparan tersebut.

Master Hsuan Hua, sesepuh Chan aliran Weiyang yang sangat menganjurkan vegetarian, juga berkata, “Jika kalian tidak melihat binatang tersebut dibunuh, tidak mendengar jeritannya ketika meninggal dan jika binatang tersebut tidak dibunuh sebagai makanan khusus untukmu, maka dalam kasus seperti itu, jika tubuhmu lemah, maka engkau dapat memakan daging tersebut.” (Tanya Jawab di Oregon). Jadi ketika tubuh lemah dan sakit, makan daging dibolehkan, asal daging tersebut tetap termasuk dalam tiga jenis daging murni.

Di Tibet, udaranya sangat dingin dan daerahnya sulit ditanami sayur mayur, sehingga tidak heran kalau para bhiksu di sana tidak vegetarian. Walaupun makan daging, tapi ini dengan tujuan untuk melangsungkan hidup di bawah kondisi yang mengharuskan mereka melakukan hal itu.

Lalu, atas dasar apa Buddha menetapkan ketentuan tiga daging murni? Ini bisa kita simak dalam Sutra Mahayana Mahaparinirvana.

   
Quote
Kasyapa berkata lagi: “Mengapa Anda awalnya mengizinkan para bhiksu untuk memakan tiga daging murni?”[Buddha:]”O Kasyapa! Tiga jenis daging suci ini diberikan [diberlakukan] mengikuti kebutuhan pada saat [keadaan] itu.”

Dari sini bisa diketahui, ternyata Buddha menetapkan ketentuan tiga daging murni berdasarkan sudut pandang tertentu atas kondisi tertentu.

Selain ketentuan tiga daging murni, Buddha juga menetapkan ketentuan makan lima daging murni dan pantangan makan sepuluh jenis daging. Yang dimaksud dengan lima daging murni adalah selain tiga daging murni yang tersebut di atas, masih ditambahkan lagi dua jenis daging murni lain, yakni daging hewan yang telah mati dengan sendirinya dan daging dari hewan yang menjadi sisa makanan burung bangkai. Ini adalah ketentuan yang sesuai bagi para siswa yang karena faktor lingkungan yang menyebabkan tidak mendapatkan atau sulit menerima persembahan makanan dari umat. Faktor lingkungan ini merujuk pada siswa yang sedang melakukan perjalanan pembabaran Dhamma yang jauh dari lokasi hunian manusia, melakukan pelatihan diri menyendiri di hutan atau gunung terpencil, dan semacamnya.

Tentang sepuluh jenis daging yang dilarang bagi para siswa, dalam kitab Theravada Pali Mahavagga, Vinaya Pitaka, tercatat sebagai berikut: manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul.

Sedang dalam Dharmaguptaka Vinaya (Vinaya Empat Bagian) melarang memakan daging gajah, kuda, naga, anjing, singa, harimau, macan tutul, manusia dan dua spesies beruang. Mahasanghika Vinaya memberikan daftar: daging manusia, naga, gajah, kuda, anjing, burung, elang, babi hutan, kera dan gajah.

Sepuluh jenis daging tersebut adalah yang secara absolut dilarang untuk dikonsumsi dalam agama Buddha. Meskipun mungkin dalam situasi tertentu termasuk dalam kondisi tiga jenis daging murni, namun tetap tidak boleh untuk dikonsumsi.

Alasan melarang memakan sepuluh jenis daging ini secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya (Samantapasadika). Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya, pun jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di hutan. Lagi, menurut Mahasanghika Vinaya, dikatakan bahwa anjing, burung dan elang akan menyerang para bhikkhu yang memakan daging mereka.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa sangatlah tidak adil jika mengatakan ajaran Buddha tidak melarang memakan daging tanpa memberi penjelasan tambahan bahwa sebenarnya ada jenis daging tertentu yang terlarang sama sekali untuk dimakan.

Namun, jika kita renungkan secara mendalam, meski tidak sepenuhnya tidak boleh makan daging, tapi apakah ketentuan tiga daging murni ini mudah diterapkan? Bagi seorang praktisi yang berpijak pada pemahaman konvensional, ini akan dianggap sebagai ketentuan yang sangat sepele. Lantas bagaimanakah karakteristik dari pemahaman konvensional itu – pemahaman dari orang yang hanya menjalankan suatu instruksi secara apa adanya tanpa pertimbangan kebijaksanaan?

Dengan demikian orang tersebut akan dapat mudah menyantap daging tanpa mempertimbangkan asal usulnya. Sejauh dia tidak mendengar, melihat dan mengetahui bahwa makhluk tersebut berasal dari rangkaian proses suatu tragedi (pembunuhan yang disertai rasa takut dan jeritan kesakitan), maka dia boleh menyantapnya.

Dari pemahaman ini, kita tiba pada satu pertanyaan yang cukup menggelitik. Bila para anggota Sangha memperoleh daging murni dari hasil pindapata, maka bagaimana dengan umat awam? Dari manakah mereka bisa memperoleh daging murni? Dalam Sutra Angulimaliya disebutkan:

 
Quote
   “Sekarang, kalian dapat menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] yang telah datang pada kalian, setelah berpindah-pindah secara tak langsung, namun kalian seharusnya tidak menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] dari titik asal mulanya. Kalian dapat menggunakan bahan-bahan [dari makhluk hidup] yang datang pada kalian secara tidak langsung tanpa tersentuh oleh pembunuhan.”

Untuk memahami makna ucapan ini dapat kita simak kisah Jenderal Siha Senapati. Jenderal Siha Senapati menyuruh pelayannya untuk membeli daging hewan mati di pasar, lalu mempersembahkannya pada Buddha yang kemudian menerima dan memakannya. Para Nigantha yang tidak senang mulai menyebarkan gosip bahwa Jenderal Siha khusus membunuh hewan gemuk besar lalu Buddha menerima dan memakan daging hewan itu. Jenderal Siha menanggapinya dengan berkata:

 
Quote
  “… Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) berniat meremehkan Buddha… Dhamma… Sangha, tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.”

    (Anguttara Nikaya 8.12)

Inilah perbedaan antara membeli daging mati di pasar dan menyuruh orang untuk membunuh. Daging yang telah mati di pasar termasuk tiga jenis daging murni. Namun apakah hanya kalangan Theravada saja yang mempunyai ajaran serupa tentang membeli daging di pasar? Di kalangan Mahayana, Patriark Chan (Zen) aliran Linji dan Caodong masa kini, yaitu Ven. Sheng Yen (Dharma Drum Mountain) pernah berkata: “Tetapi jika untuk keluarga dan alasan sosial menjadi seorang vegetarian sangat sulit, maka orang boleh memakan daging. Namun seseorang tidak boleh membunuh atau menyuruh orang lain untuk membunuh. Membeli daging yang sebelumnya telah dibunuh untuk dibawa ke rumah itu diizinkan.” (Orthodox Chinese Buddhism oleh Ven. Sheng Yen)

Lalu mengutip dari Thrangu Rinpoche: “Sang Buddha berkata bahwa daging dapat dimakan apabila bebas dari tiga cara (yang tidak pantas)...Ya. Engkau (dapat) membeli ikan mati di (pasar) pelabuhan, ketika ikan tersebut telah mati, apakah engkau membelinya atau mereka memberikannya padamu adalah sama saja. Memakan daging (yang sebelumnya memang telah mati) dan sila tidak membunuh adalah sepenuhnya berbeda karena kita membelinya dari orang lain. Kita memiliki kehendak untuk makan daging, tetapi kita tidak ada niat membunuh, dan karena tidak adanya empat faktor pelanggaran, maka tidak ada pelanggaran sila(ke-1)”(Treasury of Oral Instructions)

Khenpo Karthar Rinpoche juga mengatakan: “Pada dasarnya, daging dibagi menjadi tiga kategori. Satu kategori secara jelas dilarang, satu kategori dengan jelas diizinkan dan kategori lain cukup banyak diizinkan. Kategori yang secara jelas dilarang adalah apa yang dinamakan sebagai ‘daging dedikasi’ yaitu daging yang dibunuh untuk kebutuhanmu, dengan kata lain, seperti memesan hewan hidup atau seekor ikan hidup. Itu tidak diizinkan oleh Buddha. Kategori yang secara jelas diizinkan adalah daging dari seekor hewan yang meninggal secara alamiah, yang tidak dibunuh untuk didapatkan dagingnya. Tidak ada kesalahan dalam memakan daging seperti itu. Kategori yang cukup banyak diterima selama ini adalah daging yang dibeli di pasar, yang berarti kalian tahu bahwa kalian tidak melihat, kalian tidak mendengar, dan kalian tidak memiliki alasan untuk menduga bahwa daging itu dibunuh untukmu.” (Karma Chagme Mountain Dharma)

Apakah benar daging di pasar tergolong tiga daging murni? Dalam pandangan yang lebih ekstrem, bisa dikatakan pada saat melihat sajian daging di atas meja, pikiran kita sudah tahu apa yang telah terjadi. Meskipun mata fisik tidak melihat, namun proses visual pembunuhan yang mengerikan itu tidak bisa menutupi mata batin kita. Meskipun telinga fisik tidak mendengar, namun telinga batin kita dapat merasakan suara itu.

Terlepas dari masalah ini, sebenarnya praktisi tradisi Theravada tetap dapat saja menjalankan pelatihan tanpa mengalami masalah tentang makanan apa yang disantap (namun tetap harus memenuhi 3 syarat), dengan kata lain, dalam tradisi Theravada, kesucian akan dapat diraih walaupun tidak harus vegetarian. Mengapa? Karena apa yang dicita-citakan itu (mencapai tingkat kesucian Arahat), tidak memiliki korelasi langsung dengan makhluk-makhluk lain, artinya adalah bahwa suci atau tidaknya seseorang tergantung pada usaha sendiri, tidak ada kaitan langsung dengan makhluk lain, sejauh ia tidak terlibat langsung dalam tindakan pemuasan nafsu rendah yang merugikan makhluk lain.


Apa Motivasi Sebenarnya dari Vegetarian?

Namun bila dikatakan pandangan Theravada dan Mahayana dalam permasalahan daging murni adalah tidak bertentangan, tetapi mengapa para bhiksu tradisi Mahayana harus vegetarian? Ini tentu ada kaitan yang sangat erat antara ikrar ke-Bodhisattvaan dalam tradisi Mahayana dan korelasinya dengan makhluk-makhluk lain.

Tradisi Mahayana menjalankan pelatihan Dharma dengan berfondasi pada cita-cita welas asih menyelamatkan semua makhluk hidup. Oleh sebab itu, walaupun makhluk-makhluk lain sudah mati menjadi seonggok daging tak bernyawa, namun praktisi yang menjalankan ikrar Bodhisattva tetap tidak tega menyantapnya. Karena praktisi ini telah berikrar untuk menyelamatkan semua makhluk hidup, maka wajar saja jika dia tidak dapat menyantap daging makhluk yang telah mati. Ini sesuai dengan basis yang telah dipilihnya yakni Jalan Bodhisattva.

Jadi di dalam tradisi Mahayana, seseorang dikatakan tidak suci lagi jika menyantap daging, pernyataan ini harus dimaknai bahwa karena jika menyantapnya maka dia telah melanggar hati nuraninya, dan wajar saja jika orang yang melanggar hati nurani sendiri identik dengan orang yang telah menodai batinnya sendiri, jadi wajarlah dikatakan tidak suci lagi. Beberapa acuan yang dipakai oleh tradisi Mahayana dalam soal vegetarian ini antara lain adalah Sutra Angulimaliya, Sutra Lankavatara, Sutra Mahaparinirvana dan Sila Bodhisattva Sutra Brahmajala. Mari kita simak beberapa kutipan Sutra- Sutra tersebut.

   
Quote
“Apakah benar bahwa para Buddha tidak makan daging disebabkan oleh sifat ke-Buddha-an (Tathagata-garbha)?” Buddha berkata: “Memang tepatnya seperti itu, Manjushri. Dalam berbagai kehidupan selama perjalanan masuk dan keluar samsara yang tanpa awal dan tanpa akhir, tidak ada satupun makhluk yang tidak pernah menjadi ibu kita, yang tidak pernah menjadi saudara perempuan kita. Bahkan anjing-anjing pun pernah menjadi ayah kita sebelumnya. Dunia di mana para makhluk hidup adalah seperti permainan. Maka, oleh karena daging kita dan daging yang lain adalah daging yang sama, para Buddha tidak mengonsumsi daging.” (Sutra Angulimaliya)

 
Quote
“Jika Mahamati, daging tidak dimakan oleh siapapun untuk alasan apapun, maka tidak ada penghancur kehidupan.” (Sutra Lankavatara)

Dari dua kutipan di atas dapat diketahui bahwa pantang makan daging dilakukan demi pengembangan Bodhicitta yang diterapkan dalam bentuk: ke atas mencapai Jalan Ke-Buddha-an; ke bawah menyelamatkan makhluk hidup. Sedang makhluk hidup yang terdekat dengan kita adalah orang tua. Jadi apakah kita tega memakan daging makhluk yang pernah menjadi orang tua kita sendiri, meski hubungan kekeluargaan itu terjalin dalam kehidupan yang lampau?

Terlepas dari hubungan kekeluargaan, rasa welas asih seorang Bodhisattva meliputi semua makhluk dan menembus tiga kehidupan: lampau, sekarang dan akan datang. Inilah perwujudan Empat Ikrar Agung Bodhisattva yang sebenarnya juga merupakan aksi welas asih yang nyata atas kebenaran mutlak Empat Kesunyataan Mulia yang dibabarkan Buddha dalam pemutaran roda Dharma pertama setelah mencapai Penerangan Sempurna di bawah pohon Bodhi.

1. Berikrar menyelamatkan makhluk hidup yang tak terbatas (Dukkha - Kesunyataan Mulia Pertama)

2. Berikrar memutus kekotoran batin yang tak ada habisnya (Sebab Dukkha - Kesunyataan Mulia Kedua)

3. Berikrar mempelajari pintu Dharma yang tak terhingga (Jalan Menuju Lenyapnya Dukkha -Kesunyataan Mulia Keempat)

4. Berikrar mencapai Jalan ke-Buddha-an yang tertinggi (Lenyapnya Dukkha - Kesunyataan Mulia Ketiga)

Inilah ikrar welas asih yang menjadi motivasi berpantang makan daging. Hubungan antara pantang makan daging dan welas asih ini dapat kita simak dalam ucapan berikut:

Quote
    “O Hyang Bhagava! Mengapa Tathagata tidak mengizinkan kami makan daging?” “O pria yang berbudi! Seseorang yang makan daging mematikan benih welas asih agung.” (Sutra Mahaparinirvana)

Yang perlu digarisbawahi di sini adalah kita jangan mengartikan secara harfiah bahwa mereka yang tidak vegetarian adalah tidak welas asih, melainkan vegetarian adalah satu bentuk pengembangan dari welas asih, yang merupakan satu metode pelatihan diri membina hati welas asih dalam bentuk visualisasi penghayatan penderitaan hewan yang mengalami proses pembunuhan untuk diambil dagingnya bagi manusia.

Meski telah memahami motivasi di balik semangat pantang daging dari tradisi Mahayana, namun itu belum menjawab pertanyaan mengapa para bhiksu tradisi Mahayana harus vegetarian. Sama seperti dengan tradisi Theravada, Vinaya yang diterapkan oleh para bhiksu/bhiksuni Mahayana juga tidak mengandung pernyataan pantang makan daging, jadi apa sebenarnya yang menyebabkan terjadinya perbedaan pola makan kedua tradisi ini? Di sinilah letak pentingnya Sila Bodhisattva Sutra Brahmajala.

Ternyata para bhiksu/bhiksuni Mahayana selain menerapkan Vinaya, mereka juga menerima dan menerapkan Sila Bodhisattva yang tercantum dalam Sutra Brahmajala (Mahayana) yang secara tertulis menyatakan pantang makan daging.

25
Buddhisme Awal / Perbandingan Teks Berbagai Sumber
« on: 09 January 2014, 12:54:16 AM »
darimana tahu tidak 100% murni lagi ?

The Pali Satipatthana Sutta includes a number of sections that are not shared with other texts on satipatthana, and which are later additions.

One of the additions is the inclusion of the awareness of postures and daily activities among its meditation exercizes. The awareness of postures is, in every other text, part of the preparation for meditation, not a kind of meditation itself.

Another late addition to the Pali Satipatthana Sutta is a ‘refrain’ following each meditation, which says one practices contemplating ‘rise and fall’. This is a vipassana practice, which originally belonged to only the final of the four satipatthanas, contemplation of dhammas.

The contemplation of dhammas has also undergone large scale expansion. The original text included just the five hindrances and the seven awakening factors. The five aggregates, six sense media, and four noble truths were added later.

Each version of the Satipatthana Sutta is based on a shared ancestor, which has been expanded in different ways by the schools. This process continued for several centuries following the Buddha’s death. Of the texts we have today, the closest to the ancestral version is that contained in the Pali Abhidhamma Vibhanga, if we leave aside the Abhidhammic elaborations.

Tracing the development of texts on satipatthana in later Buddhism, there is a gradual tendency to emphasize the vipassana aspect at the expense of the samatha side. This happened across various schools, although there is some variation from text to text, and perhaps some differences in sectarian emphasis. This led to various contradictions and problems in interpretation.

http://sujato.wordpress.com/2011/01/18/a-brief-history-of-mindfulness/
=================================================================

Semua teks lainnya, termasuk Jātaka, Abhidhamma dari berbagai aliran, sūtra-sūtra Mahāyāna, dan seterusnya, dituliskan kemudian. Relatif sedikit dari ajaran-ajaran ini dianut sama antara aliran-aliran; yaitu, mereka adalah Buddhisme sektarian. Walaupun lensa kritik historis, gambar besar dari kemunculan dan perkembangan ajaran-ajaran ini dapat ditelusuri dengan sangat jelas, dalam dinamika internal dari evolusi ajaran dan dalam tanggapan Buddhisme pada lingkungan budaya, sosial, dan religius yang berubah-ubah. Tidak ada bukti bahwa ajaran-ajaran khusus dari teks-teks ini – yaitu, ajaran-ajaran yang tidak juga ditemukan dalam Sutta-Sutta awal – berasal dari Sang Buddha. Alih-alih, teks-teks ini seharusnya dianggap sebagai jawaban yang diberikan para guru dari masa kuno atas pertanyaan: “Apakah makna Buddhisme bagi kami?” Setiap generasi berikutnya pasti melakukan tugas sulit dalam prinsip penafsiran, akulturasi kembali Dhamma pada waktu dan tempat. Dan kita, dalam masa-masa kita yang menggemparkan, yang demikian berbeda dari mereka dari masa atau budaya Buddhis masa lampau, harus menemukan jawaban kita sendiri. Dari perspektif ini, ajaran-ajaran aliran-aliran memberikan pelajaran-pelajaran yang tidak ternilai, suatu kekayaan teladan yang telah diwariskan kepada kita oleh para nenek moyang kita dalam keyakinan.

http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24689.0.html

26


Di usianya yang menginjak ke-81, Dagpo Rinpoche tetap setia datang untuk kita. Perjalanan melalui waktu yang merekam segenap karyanya. Bahwa Ia, yang senantiasa rendah hati dan sederhana, telah menyalakan begitu banyak pelita yang menuntun batin menjauhi kegelapan.

[/size]Atas segala jasa yang Beliau berikan,ungkapan syukur dan terima kasihsudah selayaknya kita persembahkan

MAHA PRANIDHANA PUJA
Peringatan 25 Tahun Cipta, Karsa dan Karya
Dagpo Rinpoche untuk Indonesia

Mengajak Anda bersatu untuk mengumpulkan kebajikan dengan memanjatkan rangkaian doa untuk keselamatan dan umur panjang Sang Guru.

Akan dilaksanakan di Jawa Timur 24 Desember 2013 - 1 Januari 2014[/b]

- Puja Mahayana Chinese Liang Huang Bao Chan
- Puja Tantrayana- Persembahan 1000 set offering setiap hari
- Persembahan pelita
- Pembabaran Sutra Jataka Mala
- Pelepasan Makhluk Hidup (Fangsen)
- Pemasangan lampu lampion

Manfaat melakukan puja ini:
- Para guru spiritual berumur panjang
- Aktivitas Dharma berkembang luas
- untuk umur panjang dan kesejahteraan kita semua

Pengumpulan kebajikan ini akan didedikasikan untuk Dagpo Rinpoche.Semoga panjang umur, semoga makin banyak makhluk bisa mendapat ajarannya.

Contact person:
Cindy +6285697260445
Frans +6281380088566
Email: retret [at] kadamchoeling.or.id
NB: Peserta tidak dipungut biaya



[/size]
[/color]

27
Kaki Lima / Dharmayatra India dan Nepal 2013
« on: 26 July 2013, 01:42:59 AM »
Dharmayatra India dan Nepal



Tahun ini KCI kembali mengadakan Dharmayatra bersama ke India. Berikut rinciannya:

Dharmayatra India dan Nepal

Varanasi – Sungai Gangga – Bodhgaya – Nalanda – Puncak Gunung Nazar – Kushinagar – Vaishali – Taman Lumbini – Jetavaranam – Gua Angulimala – Taj Mahal – Fort Agra – Delhi City Tour


Jadwal Keberangkatan:
22 September 2013 – 03 Oktober 2013


Harga IDR 17.800.000,-/orang

Harga sudah termasuk:
- Tiket Pesawat Jakarta – Delhi – Jakarta
- Akomodasi yang nyaman di Hotel berbintang 4/5
- Transportasi dengan Bus Pariwisata yang ber-AC
- Sarapan pagi, makan siang dan makan malam
- Tiket masuk ke lokasi Dharmayatra
- Jasa pemandu Wisata berbahasa Inggris dipandu oleh Bhante
- Tips untuk Guide dan Driver
- Visa India dan Nepal

Harga belum termasuk:
- Airport tax dari Jakarta
- Tour tambahan di luar program
- Biaya pribadi dan donasi

Info dan pendaftaran hubungi:
Susanty
Whatsapp : +628562565355
Pin bb : 23495F3F

Organized by:
Kadam Choeling Indonesia

28
Saudara-saudara pasti tahu tentang sila pertama Pancasila,
KETUHANAN YANG MAHA ESA

Selama ini, kata "Esa" diartikan sebagai "Satu", sehingga penafsiran Sila Pertama menjadi "Ketuhanan yang SATU".
Kemudian ditafisirkan lagi menjadi "Menyembah Tuhan yang satu"

Makanya kemudian ada orang yg bisa-bisanya bilang:
Quote
Yg merasa bertuhankan bukan Tuhan Yang Maha Esa, silahkan OUT dari bumi Nusantara. Yang sukanya menghina-hina agama, menggoyang-goyangkan keyakinan orang akan Tuhan Yang maha Esa, silahkan OUT dari bumi nusantara.

ada yg nyembah Tuhan 3, ada yg nyembah dewa2, ada lagi yg nyembah pohon2..
~~ SI OKNUM

TAPI TERNYATA ARTI KATA ESA BUKAN SATU

Kata satu dalam bahasa sansekerta adalah EKA , bukan ESA. Lihat saja di semboyan Bhinneka Tunggal IKA. Bukan Bhinneka Tunggal ESA

Esa itu tidak sama dengan Eka.
Esa itu adalah kata ambilan dari bahasa Sanskrit yang bentuk kata bendanya adalah Etad artinya Suchness, as this, as it is.

Kalau negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa itu artinya adalah mengakui bahwa negara mengakui bahwa segala macam yang terhadirkan apa adanya itu adalah manifestasi dari sifat Ke Maha-an Tuhan.
Artinya, bahwa semua ajaran yang ada di bumi pertiwi Nusantara ini juga adalah hadir mendunia karena kuasa Tuhan dalam manifestasi keberagamannya.

Dan Ketuhanan Yang Maha Esa artinya adalah Tuhan as it is. Tuhan dalam diriNya sendiri. Bukan "Tuhan" sebagai obyek akal kita. Tentu berbeda antara menyikapi Tuhan-as-it-is dengan Tuhan-as-obyek-akal. Kesemena-menaan dan kekerasan itu timbul karena SI OKNUM menganggap pengertian-akal-anda-tentang-Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, sehingga mengabsolutkan pemahaman sekte SI OKNUM.

Jadi bisa kita simpulkan disini bahwa pihak yang menolak KeMaha-Esaan Tuhan adalah pihak yang semena-mena memaksakan pengertian Tuhan menurut kelompoknya sendiri, mengingkari keberagaman apa yang hadir mendunia as it is.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa itu jangan diartikan secara sempit dengan agama. Seseorang boleh dengan keyakinannya sendiri terhadap Tuhannya masing-masing. Begitulah rumusan Ir.Soekarno dalam pidato hari lahirnya Pancasila.

Quote
Kutipan Pidato Soekarno 1 Juni 1945 lahirnya Pancasila

Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang kr****n menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada "egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!

Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun kr****n, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain.

Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!

Pemelintiran arti ESA menjadi SATU ini dilakukan sejak zaman orde baru. Jadi kalau liat di KBBI ,
Quote
esa num tunggal; satu;-- hilang, dua terbilang, pb berusaha terus dng keras hati hingga maksud tercapai; berbilang dr -- , mengaji dr alif, pb melakukan sesuatu hendaknya dr permulaan;

beresa-esaan /ber·e·sa-e·sa·an/ v 1 cak berada seorang diri saja; 2 merasa lengang;

mengesakan /meng·e·sa·kan/ v menjadikan (menganggap) satu: ~ Tuhan (mengakui bahwa Tuhan hanya satu);

keesaan /ke·e·sa·an/ n sifat yg satu: ~ Tuhan

Padahal kok bisa ESA menjadi EKA penjelasan etimologisnya darimana?


Sekarang lebih jelas bukan siapa pihak yang mengingkari Ke Maha-Esaan Tuhan. Apalagi sampai mengusir-usir dengan kepongahannya sendiri sebagai seorang manusia yang merasa lebih tahu tentang Ketuhanan daripada Tuhan itu sendiri.


SUMBER:
CATATAN FACEBOOK TEMAN
http://id.wikisource.org/wiki/Lahirnya_Pancasila#Prinsip_kelima
http://spokensanskrit.de/index.php?script=HK&beginning=0+&tinput=esa&trans=Translate&direction=AU
http://spokensanskrit.de/index.php?script=HK&beginning=0+&tinput=etad&trans=Translate&direction=AU

29
PUBLIC TEACHING BUDDHIS 2 HARI

Samsara, apa itu Samsara? Apakah samsara itu suatu tempat? Lalu dimanakan adanya samsara?
Kita sering mendengar kalau hidup kita saat ini adalah samsara, tapi kalimat ini terasa hanyalah kiasan belaka. Bahkan sebagian orang merasa nyaman-nyaman saja dalam hidupnya dan tidak ada yang perlu diperbuat lagi. Atau sebaliknya ada sebagian orang merasa hidupnya sudah tidak bermakna lagi dan ingin mengakhirinya begitu saja. Sang Buddha mengajarkan samudera samsara itu sangat luas dan dalam dan tanpa kita sadari kita terus berada didalamnya tanpa pernah menyadari kebodohan kita dan terus berulang.
Apa itu Samsara, Bagaimana Bebas dari Samsara
What is Samsara, How to Free yourself from it
Oleh Dagpo Rinpoche

Dharma Center Serlingpa mengundang umat Buddha sekalian untuk menghadiri
public teaching selama 2 hari di

Lion Tower Lt. 11
Jl. Gadjah Mada No. 7
Jakarta Pusat

7 - 8 Januari 2012
Sesi 1 pukul 09.30 - 12.00
Sesi 2 pukul 14.00 - 16.00

Untuk Info:
Arwen (0877 8826 5778)
Christine (0838 2070 2768)
Lina (0857 1141 4473)

Penyelengara
Dharma Center Serlingpa

30
dimasukan ke sini karena.... isinya mencurigakan. Kemungkinan propaganda falungong.
Banyak kejanggalan di detil cerita, itu belum dihitung yg aneh2nya  :))

silahkan disimak di bawah

sumber: forum sebelah
forum sebelah ambil dari Epochtimes.co.id , katanya media falungong

Pages: 1 [2] 3 4 5