Hari ke-4. Pagi hari dimulai dengan santap pagi di Soto Garasi Esto yang terkenal (sdh pernah di ulas dalam tulisan terdahulu : Travelling ke Jawa Timur pp via darat ; [url]]http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,23250.msg421232.html#msg421232)[/url
Usai sarapan, segera balik ke hotel untuk berkemas dan checkout.
Dari hotel , kami mampir ke rumah rekan wanita yang tidak bisa ikut ke Salatiga, dan pesan dengan serius agar mampir ke rumahnya di Salatiga, karena sudah dipesankan penganan yang tidak ada di Jakarta, Sego Jagung, dan jajanan pasar. Bahkan pagi hari sebelum kami keluar sarapan Soto, sudah telepon mengingatkan :”Ojo lali yo, mampir nang omahku, wis disiapke panganan sing ora ono ning Jakarta”. Putar putar sejenak di Salatiga , akhirnya kami menemukan rumah yang dimaksud, rumah kuno jaman kolonial Belanda, dengan luas tanah lebih dari 2000 meter persegi; memang luar biasa besar kalau ukuran Jakarta.
Ini penampakan rumahnya
Kami disambut oleh sepasang pembantu, yang keduanya sudah berusia lanjut, dan dengan ramah mempersilahkan kami untuk masuk .
Rumah tersebut terawat dengan baik, meskipun keluarga yang empunya tinggal di Jakarta dan Bandung, dan hanya sekali sekali ditengok.
Tidak berapa lama ditampilkan santapan Sego Jagung, atau nasi jagung; meskipun nasi jagung nya sendiri terasa hambar bagi saya, tapi dengan lauk penyertanya, teruma wader goreng kering, terasa sedap juga.
Hidangan tsb di tutup dengan desert berbagai jajan pasar, seperti getuk, klepon, jenang, + kopi.
Saking semangatnya menghabiskan berbagai penganan kuno, lupa memotret!
Setelah itu, kami diajak ke pekarangan yang luas dengan berbagai pohon buah buahan; ada satu pohon yang belum pernah saya lihat, pohon buah Kepel, seperti tampak pada gambar dibawah ini.
Penampakan G. Merbabu dari rumah tersebut.
Kami pun pamit dari sepasang kakek nenek itu, dengan penuh rasa terima kasih karena ketulusan mereka yang telah berupaya agar kami senang; walaupun komunikasi antara saya dengan mereka ngga nyambung, kalau saya pakai bahasa Indonesia, mereka ngga ngerti; kalau saya pakai bahasa Jawa (yg tergolong bahasa Jawa kasar), dijawab pakai bahasa Jawa halus, giliran saya yang ngga ngerti); sampai dibantu oleh teman saya sambil tertawa tawa karena banyak salah tafsir yang lucu-lucu.
Perjalanan menuju Borobudur sebenarnya hanya alasan kita berdua untuk ber-bincang bincang berbagai hal dari bisnis, kondisi ekonomi, perkembangan sosial spiritual, termasuk tukar pengalaman spiritual masing masing; jadi kita memilih rute yang lebih sepi tapi indah. Dari Salatiga menuju Kopeng, setelah itu belok menuju Selo karena ingin melihat Merapi dari Selo setelah meletus di tahun 2010.
Di Selo kami mampir sejenak di tempat peristirahatan milik Pemda, yang sekarang sudah ditambah fasilitas berupa penginapan sederhana tapi berharga mahal Rp 750.000,- - per malam. Kami pesan: ubi rebus – tidak ada ; pisang rebus – tidak ada juga. Yang ada pisang goreng, ya sudah pesan pisang goreng + kopi untuk masing masing; sambil menikmati hawa dingin Selo sambil memandang keangkuhan Merapi yang terlihat sangat jelas darii gardu pandang Selo.
Merapi yg perkasa
Karena masih iseng , kami mencoba pergi ke Gardu Pandang Selo yang baru, yang terletak persis dikaki gunung Merapi, perjalanan yang terus mendaki , walaupun jaraknya hanya sekitar 3 km; dan udara makin dingin.
Tempat yang mirip terminal bus ini, dipenuhi pedagang jajanan, termasuk jagung rebus dan bakar; dan juga dipadati oleh pemuda bermotor yang awalnya saya khawatir mereka geng motor yg brutal; tetapi ternyata mereka baik-baik saja. Dan ada yang bertanya : “Dari Jakarta oom?” ‘Ya’ jawab saya. “Main oom” ‘Ya, nyari yang ngga ada di Jakarta, hawa seperti ini dan pemandangan seperti ini ngga ada’. Yang disusul oleh ketawanya. Saya balik bertanya : “Dari mana dik?” “ Oh dari Yogya” “Sekolah di mana dik?” “Mahasiswa oom, di UGM”, “Wah, kebetulan nih senior alumni UGM”. Berikutnya rekan saya yang asik ngobrol dengan mereka, karena ternyata dari satu almamater, UGM.
Sedangkan saya asyik memotret gunung Merbabu dikejauhan.
Panoramic View
Kami hanya sekitar 20 menit disitu, dan menuju Gardu Pandang Ketep Pass yang bisa melihat gunung Merbabu dan Merapi.
Ketep Pass lebih tertata daripada Selo, karena terletak di jalur Wisata, Salatiga – Kopeng – Magelang. Di Ketep Pass, ada fasilitas parkir untuk kendaraan bus wisata , dan kendaraan pribadi + motor. Ada restoran yang kalau dari tempat duduk dekat jendela bisa melihat pemandangan indah diluar.
Beberapa foto dari Ketep Pass.
Merapi
Merbabu
Dari Ketep Pass, kami melanjutkan perjalanan ke Muntilan, dan mampir sebentar ke toko oleh oleh Muntilan, untuk membeli perbekalan, antara lain : Krasikan, Wajik, Getuk, tape ketan.
Setelah istirahat ngopi di toko tersebut, kami putuskan untuk pergi ke Magelang terlebih dahulu, dengan tujuan mencari makan chinese food di Resto Kondang.
Muntilan ke Magelang memerlukan waktu tempuh sekitar 30 menit karena jalanan sangat padat. Santap malam yang betul betul mengenyangkan karena enak. Menjelang jam 21:00 kami berangkat menuju Borobudur, yang dapat ditempuh dalam waktu 30 menit, karena jalanan sdh sepi.
Hotel Manohara yang menjadi langganan kami, sudah menyiapkan segala sesuatu termasuk kamar favorit saya, sehingga proses check in berjalan lancar. Yang lama adalah berkangen ria dengan pegawai pegawai hotel yang saya kenal sejak belasan tahun yg lalu dan masih bekerja disitu. Sedangkan teman seperjalanan saya, segera mandi dan langsung ke pendopo yang menghadap candi Borobudur ; dan tancap gas , meditasi disana.
Saya sendiri menyusul setengah jam kemudian.
Sekitar pk 24:00 , kami semua kembali ke kamar untuk istirahat.