//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Bhavaviveka "vs" Hinayana  (Read 184892 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline truth lover

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 392
  • Reputasi: 3
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #465 on: 13 February 2009, 12:24:46 AM »
terima kasih atas tanggapan mas Chingik,

Quote
Secara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada.

Pertanyaan saya belum dijawab mas Chingik, ini tertulis di kitab suci Mahayana yang mana? atau ini cuma pendapat sendiri? Pencerahan menurut Theravada setelah Bodhisatta mencapai pencerahan maka itu adalah kehidupannya yang terakhir, apakah sama dengan Mahayana? Lantas persamaannya dimana? tolong penjelasannya.

Quote
Itulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini. 

Aah saya mengerti, jadi pencapaian di bawah pohon Bodhi hanya sebuah sandiwara saja? begitukah?


Quote
Dengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma.

Bila para Buddha tidak sungguh sungguh Maha Parinirvana, lantas siapakah yang sungguh-sungguh Maha Parinirvana?  ::)

Quote
Tentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini.

Boleh tahu pembebasan mahluk hidup itu melalui jalan Bodhisattva kan? seperti apa pembebasannya?

Quote
Kedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.

Saya setuju alam semesta luas, Jadi nanti Shakyamuni Buddha akan berpura-pura mencapai pencerahan dimana lagi?

Quote
Jika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.

Maksudnya melakukan apa? berpura-pura mencapai pencerahan lagi, padahal sudah tercerahkan?

mohon penjelasannya, terima kasih

 _/\_
The truth, and nothing but the truth...

Offline BlackDragon

  • Sahabat
  • ***
  • Posts: 154
  • Reputasi: 5
  • Gender: Male
  • *SADHAKA*
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #466 on: 13 February 2009, 03:10:22 AM »
Thx Bro Chingik atas jawabannya,
tapi ada satu hal yg masih mengganjal pikiran saya.

Quote
Lebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
“Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini.”

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: “O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
“Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?”
Semua bhiksu menjawab: “O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan.”
“O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku.”
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran.”
………..
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: “Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?”
Sang Buddha menjawab: “O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.


Dikatakan bahwa karena Kausala nya, maka Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan sutta2 mahayana kpd para arahat pada jaman Beliau hidup.
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa para arahat tsb tidak dapat memahami Ajaran Mahayana.
Dan Beliau mengajarkan sutta2 Mahayana hanya kpd Bodhisatva yg berada di suatu surga (saya lupa) :)
Tapi secara jelas di dalam Mahayana para Arahat diakui sebagai Bodhisatva tingkat 7.
Yg jadi pertanyaan saya:
Apabila arahat sudah mencapai Bodhisatva tingkat 7, mengapa masih tidak bisa memahami ajaran sutta2 Mahayana???
Dan aneh nya lagi, apabila Arahat (Bodhisatva tingkat 7) saja tidak dapat memahami, mengapa skrg malah banyak umat2 awam yg bisa menjelaskan ttg isi sutta2 Mahayana, yg menandakan mereka MENGERTI dan MEMAHAMI?
Seperti anda dan Bro Gandalf, yg saya rasa paham sekali ttg ajaran Mahayana.

Mohon diberi penjelasan, krn saya benar2 ingin mengerti.

 _/\_
« Last Edit: 13 February 2009, 03:21:13 AM by BlackDragon »
Hanya orang bodoh yg merasa dirinya cukup pintar.

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #467 on: 14 February 2009, 09:32:21 PM »
Quote
Quote
Secara kronologi historycal dari masa kehidupan Pertapa Siddharta, Mahayana tetap berpegangan bahwa proses pencapaian Samyaksambuddha sama dgn konsep Theravada.

Pertanyaan saya belum dijawab mas Chingik, ini tertulis di kitab suci Mahayana yang mana? atau ini cuma pendapat sendiri? Pencerahan menurut Theravada setelah Bodhisatta mencapai pencerahan maka itu adalah kehidupannya yang terakhir, apakah sama dengan Mahayana? Lantas persamaannya dimana? tolong penjelasannya.

Saya dapat mengerti kebingungan anda yg berpijak pada perspektif Theravada utk memahami pandangan Mahayana. Tetapi sekali lagi mohon dicamkan baik-baik bahwa saya tidak menjelaskan menurut pandangan Theravada. Sangatlah wajar bila bro yang berpijak pd pandangan Theravada merasa bahwa konsep pencerahan Theravada tidak sama Mahayana. Begitu juga Mahayana memang memiliki konsep yg berbeda, tetapi karena Mahayana menerima cakupan Theravada, maka pada sisi tertentu disebut sama. Nah, yg saya maksudkan sama itu adalah sisi tersebut, sedangkan pada aspek yg lebih luas lagi, Mahayana menyebutkan hal-hal yang tidak ada di dalam konsep Theravada. Aspek ini berbeda. Itu jelas. Ya, bro mungkin akan merasa puas bahwa benar saja memang beda. Ini tentu adalah pilihan kita masing-masing. Tetapi berbalik lagi pada pertanyaan awal bahwa apakah pencerahan itu sama dalam pandangan Mahayana, maka penjelasan yang bisa dikemukakan tetap seperti semula yakni Sama pada sisi kronologitas historikal, namun beda karena ada penjelasan dalam aspek yg lebih luas lagi. Apakah ini pendapat pribadi? Tentu tidak, sejauh saya mempelajari Mahayana, memang demikian adanya. Mengapa? Karena Mahayana tidak berdiri sendiri dgn mengabaikan sisi kehidupan Buddha yg tercatat dalam Agama Sutra (ataupun Nikaya Pali). Semua kotbah yg tercatat dalam kitab tersebut merupakan satu kesatuan yg tidak dapat dipisahkan bagi seorang praktisi Mahayana, karena semua ini tetap sangat dijunjung tinggi karena merupakan kotbah Hyang Buddha. Yang membedakannya adlah Mahayana sekaligus juga meyakini kotbah-kotbah yg tercatat dalam Sutra Mahayana. Sebagai contoh, Sutra Mahayana yakni Maharatnakuta Sutra bagian Varga UpayaKausalya, Salah satu Bodhisatva berdialog dgn Buddha mengenai kebingungannya tentang mengapa Buddha lahir dari sisi kanan ratu Mahamaya, mengapa Buddha saat mencapai pencerahan tidak membabarkan dhamma sebelum diminta oleh Brahma Sahampati, dan lain-lain yang mana pertanyaan2 tersebut merupakan pertanyaan yg berkaitan dgn  kotbah yg ada di dalam kitab Nikaya/Agama Sutra. Tidak hanya itu, dalam Mahasatyanirgrantha Nirdesa, menguraikan keagungan Buddha yg isinya selaras dgn kotbah-kotbah dalam Nikaya, hanya saja Sutra ini memberi uraian yg lebih luas hingga ke aspek Mahayanis.   

Quote
Quote
Itulah sebabnya Mahayana tidak memungkiri ajaran Theravada (nikaya), karena memang itu adalah cakupannya. Cuma , ya Cuma saja..., ada satu aspek yg tidak pernah ada dalam konsep theravada adalah bahwa meskipun kronologitas pencapaian Kesempurnaan adalah sama dgn Mahayana, namun terdapat aspek lain yg dijabarkan secara lebih luas lagi dalam Mahayana, yakni pencapaian di bawah pohon bodhi ini hanyalah sebuah "lakon" utk memperkenalkan kemunculan seorang Buddha dan penyebaran dhammaNya kepada makhluk di dunia (lokadhatu) Saha ini. 

Aah saya mengerti, jadi pencapaian di bawah pohon Bodhi hanya sebuah sandiwara saja? begitukah?
Saya menyebutkan kata lakon dgn tanda petik dgn harapan agar anda memahami maksud yg saya kemukakan. Namun saya menangkap cara bro menanggapinya dgn sangat aburd. Atau memang ingin bertanya dgn sangat sangat serius? Saya pernah berdiskusi dgn seorang rekan yg tidak meyakini ajaran Buddha, namun ketika beliau mendengar hal-hal yg diluar pemahaman beliau, bagaimanapun juga beliau tidak akan bertanya tentang hal-hal yg seolah-olah sangat absurd. Dari mempelajari ajaran Buddha, kita sama-sama memahami bahwa Buddha adalah manusia yg sangat luar biasa karismatiknya. Ini tercermin dari kata-kata bijaknya. Dari sisi ini saja, seharusnya tidak perlu sampai memunculkan rasa curiga bahwa seorang Buddha sedang bersandiwara. Kalaupun ingin mengatakan sandiwara, maka sepatutnya konteks sandiwara itu dibedakan dgn tanda petik, karena tentu ini sangat berbeda. Singkatnya, Buddha tentu tidak mungkin bersandiwara. Bagi bro yg sudah terpaten dgn konsepsi Theravada, memang sulit menerima bahwa Buddha dapat muncul lagi di dunia lain dgn alur : "lahir, menjadi pertapa, mencapai pencerahan, membabarkan dhamma, Mahaparinibbana". Namun bagi Mahayana hal ini sejalan dgn ikrar agung dan tidaklah mustahil ini dilakukan seorang Buddha, mengapa? Seorang Buddha sudah tidak melekat lagi dgn Keakuan, karena tidak melekat lagi itulah maka apalah artinyan jika setelah Mahaparibbana lalu sampai suatu waktu muncul lagi dgn alur seperti di atas utk mengajar di sebuah lokadhatu yg msh asing sama sekali dgn dhamma? Mungkin Mahaparinibbana yg bro hendaki adalah padam total, namun ingatlah bahwa Buddha tidak pernah mengatakan bahwa mencapai nibbana itu sama dgn lenyap, jiak sama dgn lenyap bukankah sama dgn paham nihilis? Sedangkan bagi Mahayana, muncul lagi di suatu tempat pd satu kondisi yg tepat tidak menandakan bahwa Mahayana menganut paham kekal. Jika dikatakan paham kekal, maka seharusnya Buddha tidak perlu Mahaparinibbana, namun Mahayana lebih menganggapnya sebagai perubahan yg terus menerus, dan hakikat dhamma itu tetap ada karena dhammatanya, dan karena Buddha tidak melekat pd Keakuan itu pula maka Beliau bebas leluasa dgn kearifan sejati tetap akan membimbing orang yg kondisi karmanya selaras utk dibimbing Buddha.

Quote
Quote
Dengan pertunjukan ini, alur nya terus berlanjut ke pembabaran dhamma hingga Mahaparinirvana yg mana juga merupakan bagian dari alur pertunjukan seorang Buddha. Atas dasar inilah maka saya katakan bahwa sesungguhnya Mahaparinirvana Buddha tidak benar-benar disebut Mahaparinirvana. Mengapa? Karena utk selanjutnya Buddha akan memperkenalkan lagi ajaran dhamma di lokadhatu lain yang mana makhluk di sana belum mengenal dhamma.

Bila para Buddha tidak sungguh sungguh Maha Parinirvana, lantas siapakah yang sungguh-sungguh Maha Parinirvana? 
Sejatinya bagi mahayana, Mahaparinirvana yg berbentuk matinya seorang Buddha hanyalah perwujudan yg diperlihatkan atau hanya dipahami secara awam. Hakikat sejatinya Mahaparinirvana tidak lain adalah tidak lahir dan tidak mati. Konsep ini Mungkin ini akan menjadi bahasan yg terpisah lagi. Dalam kitab Mahayana membahas dgn sangat-sangat banyak.

Quote
Quote
Tentu ini akan dilakukan sesuai dgn kondisi kematangan kemunculan Buddha dan kesiapan makhluk di sana utk mendapat ajaran dhamma. Bagi Mahayana, konsep seperti ini sah-sah saja, mengapa? Pertama,sesuai dgn ikrar seorang bodhisatta yg akan membebaskan semua makhluk hidup di semesta ini.

Boleh tahu pembebasan mahluk hidup itu melalui jalan Bodhisattva kan? seperti apa pembebasannya?
Bentuk pembebasannya banyak juga dibahas dlm kitab ulasan Buddhavamsa (silakan baca sendiri RAPB), setelah saya baca, secara garis besar selaras dgn Mahayana. Intinya tidak lari dari 10 Paramita.

Quote
Quote
Kedua, semesta ini tak terbatas luasnya dan tak terbatas jumlahnya. Lokadhatu di sini hanyalah setitik debu kecil di bandingkan dgn luasnya alam semesta. Jauh lebih aneh bila Buddha hanya mengajar dhamma kepada manusia di jambudipa sini saja, sedangkan jumlah jambudipa2 lain di semesta ini tak terhitung.

Saya setuju alam semesta luas, Jadi nanti Shakyamuni Buddha akan berpura-pura mencapai pencerahan dimana lagi?
Hahaha...saya harap bro tidak membuat pertanyaan yg kekanak-kanakan.  :))
Mengapa harus berpura-pura? Pada intinya, tujuan terpenting adalah menyelidiki makhluk derita mana yg kondisinya siap utk dibimbing agar dapat memasuki pintu dhamma. Itulah yg diutamakan Buddha. Jadi mau bilang pura2 atau tidak, itu terserah bro.  Yg Jelas, silakan renungkan sifat2 agung Buddha lalu pahami bhw jika hal itu memungkinkan bagi seorang Buddha utk datang lagi dan mengajar orang yg sangat kasian itu, maka why not ? Mungkin bro akan terpaku pada persoalan "masalahnya Buddha tidak mungkin datang lagi karena sudah Mahaparinibbana" , ya itu karena menyangkut keyakinan bro saja. Silakan

Quote
Quote
Jika meneliti pengumpulan paramita yg dilakukan seorang bodhisatta selama 4 asenkheya kalpa dan 100 ribu kalpa, atau dalam Mahayana menyebutkan 3 Maha asenkheya kalpa, maka cukup sepadan bila seorang Sammasambuddha melakukan ini semua.

Maksudnya melakukan apa? berpura-pura mencapai pencerahan lagi, padahal sudah tercerahkan?
Hahahah.. _/\_

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #468 on: 14 February 2009, 09:40:29 PM »
Thx Bro Chingik atas jawabannya,
tapi ada satu hal yg masih mengganjal pikiran saya.

Quote
Lebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
“Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini.”

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: “O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
“Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?”
Semua bhiksu menjawab: “O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan.”
“O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku.”
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran.”
………..
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: “Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?”
Sang Buddha menjawab: “O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.


Dikatakan bahwa karena Kausala nya, maka Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan sutta2 mahayana kpd para arahat pada jaman Beliau hidup.
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa para arahat tsb tidak dapat memahami Ajaran Mahayana.
Dan Beliau mengajarkan sutta2 Mahayana hanya kpd Bodhisatva yg berada di suatu surga (saya lupa) :)
Tapi secara jelas di dalam Mahayana para Arahat diakui sebagai Bodhisatva tingkat 7.
Yg jadi pertanyaan saya:
Apabila arahat sudah mencapai Bodhisatva tingkat 7, mengapa masih tidak bisa memahami ajaran sutta2 Mahayana???
Dan aneh nya lagi, apabila Arahat (Bodhisatva tingkat 7) saja tidak dapat memahami, mengapa skrg malah banyak umat2 awam yg bisa menjelaskan ttg isi sutta2 Mahayana, yg menandakan mereka MENGERTI dan MEMAHAMI?
Seperti anda dan Bro Gandalf, yg saya rasa paham sekali ttg ajaran Mahayana.

Mohon diberi penjelasan, krn saya benar2 ingin mengerti.

 _/\_

Jangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat. Yang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa, para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2. 

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #469 on: 14 February 2009, 10:32:36 PM »

Jangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat. Yang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa, para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2. 

Selain subhuti siapa lagi arahat pada jamannya yang memahami ajaran mahayana ?
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #470 on: 15 February 2009, 06:23:13 AM »
Quote
Selain subhuti siapa lagi arahat pada jamannya yang memahami ajaran mahayana ?

Pertanyaan ini sudah pernah dijawab dulu.

Atau kalau mau ya baca Saddharmapundarika Sutra.

Silahkan cari postingan yang dulu-dulu, jadi pertanyaan tidak akan terus mengulang.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #471 on: 15 February 2009, 08:10:19 AM »
Quote
Saya menyebutkan kata lakon dgn tanda petik dgn harapan agar anda memahami maksud yg saya kemukakan. Namun saya menangkap cara bro menanggapinya dgn sangat aburd. Atau memang ingin bertanya dgn sangat sangat serius? Saya pernah berdiskusi dgn seorang rekan yg tidak meyakini ajaran Buddha, namun ketika beliau mendengar hal-hal yg diluar pemahaman beliau, bagaimanapun juga beliau tidak akan bertanya tentang hal-hal yg seolah-olah sangat absurd. Dari mempelajari ajaran Buddha, kita sama-sama memahami bahwa Buddha adalah manusia yg sangat luar biasa karismatiknya. Ini tercermin dari kata-kata bijaknya. Dari sisi ini saja, seharusnya tidak perlu sampai memunculkan rasa curiga bahwa seorang Buddha sedang bersandiwara. Kalaupun ingin mengatakan sandiwara, maka sepatutnya konteks sandiwara itu dibedakan dgn tanda petik, karena tentu ini sangat berbeda. Singkatnya, Buddha tentu tidak mungkin bersandiwara. Bagi bro yg sudah terpaten dgn konsepsi Theravada, memang sulit menerima bahwa Buddha dapat muncul lagi di dunia lain dgn alur : "lahir, menjadi pertapa, mencapai pencerahan, membabarkan dhamma, Mahaparinibbana". Namun bagi Mahayana hal ini sejalan dgn ikrar agung dan tidaklah mustahil ini dilakukan seorang Buddha, mengapa? Seorang Buddha sudah tidak melekat lagi dgn Keakuan, karena tidak melekat lagi itulah maka apalah artinyan jika setelah Mahaparibbana lalu sampai suatu waktu muncul lagi dgn alur seperti di atas utk mengajar di sebuah lokadhatu yg msh asing sama sekali dgn dhamma? Mungkin Mahaparinibbana yg bro hendaki adalah padam total, namun ingatlah bahwa Buddha tidak pernah mengatakan bahwa mencapai nibbana itu sama dgn lenyap, jiak sama dgn lenyap bukankah sama dgn paham nihilis? Sedangkan bagi Mahayana, muncul lagi di suatu tempat pd satu kondisi yg tepat tidak menandakan bahwa Mahayana menganut paham kekal. Jika dikatakan paham kekal, maka seharusnya Buddha tidak perlu Mahaparinibbana, namun Mahayana lebih menganggapnya sebagai perubahan yg terus menerus, dan hakikat dhamma itu tetap ada karena dhammatanya, dan karena Buddha tidak melekat pd Keakuan itu pula maka Beliau bebas leluasa dgn kearifan sejati tetap akan membimbing orang yg kondisi karmanya selaras utk dibimbing Buddha.
justru membimbing terus menerus muncul alur..maka ada "ke-aku-an" disitu....coba lihat patticasammupada lagi dah...
ada suatu ego disitu.....
kalau masih tidak percaya..coba tanya yang praktik langsung vipassana....kalau saya sendiri...menyatakan ada "ego" disitu.

berarti Anatta dalam mahanyana dan Theravada berbeda lagi ^^
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline marcedes

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.528
  • Reputasi: 70
  • Gender: Male
  • May All Being Happinesssssssss
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #472 on: 15 February 2009, 08:16:28 AM »
Thx Bro Chingik atas jawabannya,
tapi ada satu hal yg masih mengganjal pikiran saya.

Quote
Lebih lanjut Bhavaviveka dalam Tarkajvala juga menyanggah klaim Hinayana dengan ofensif, yaitu dengan mengatakan bahwa Sutra-Sutra Mahayana memang bukan diperuntukkan untuk kaum Hinayana [Sravaka], tetapi untuk para Bodhisattva. Wajar saja kalau Hinayana tidak tahu.

Sebagai klimaks Bhavaviveka mengutip Simsapavana Sutra:
“Ananda, Dharma yang kumengerti tetapi tidak kuajarkan padamu lebih banyak daripada dedaunan di hutan pohon simsapa ini.”

Di sana jelas bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan semua Dharma pada kaum Sravaka. Yang tidak diajarkan pada kaum Sravaka itu, diajarkan sang Buddha pada para Bodhisattva.

Kisah hutan Simsapa ini juga disebutkan dalam Mahaparinirvana Sutra:

Kasyapa berkata pada sang Buddha: “O Bhagava! Ketika Sang Buddha berada di tepi sungai Gangga, di hutan Simsapavana, Pada waktu itu, sang Tathagata mengambil satu dahan pohon simsapa yang kecil dengan beberapa daun di batang tersebut dan berkata pada para bhiksu:
“Apakah daun yang berada di dalam genggaman tangan-Ku banyak atau semua daun dari rerumputan dan pepohonan di seluruh hutan banyak?”
Semua bhiksu menjawab: “O Bhagava! Dedaunan dari rerumputan dan pepohonan dari seluruh hutan sangat banyak dan tidak dapat dihitiung. Apa yang Tathagata pegang di tangan-Nya sangat sedikit dan tidak berharga untuk disebutkan.”
“O para bhiksu! Pengetahuan yang aku ketahui adalah seperti dedaunan dari rerumputan dan pepohonan di muka bumi; apa yang Aku berikan pada semua makhluk bagaikan daun dalam genggaman tangan-Ku.”
Sang Bhagava kemudian berkata: Hal-hal yang tidak terbatas yang diketahui oleh Tathagata adalah merupakan ajaran-Ku apabila mereka mencakup Empat Kebenaran Mulia. Jika tidak, maka akan ada 5 Kebenaran.”
………..
Bodhisattva Kasyapa berkata pada Buddha: “Jika semua hal tersebut berada dalam Empat kebenaran Mulia, mengapa Anda mengatakan bahwa mereka belum dibabarkan?”
Sang Buddha menjawab: “O pria yang berbudi! Meskipun mereka berada di dalam Empat kebenaran Mulia, kita tidak dapat mengatakan bahwa mereka telah dibabarkan. Mengapa tidak? O pria yang berbudi! Ada 2 macam kebijaksanaan berkaitan dengan pengetahuan Kebenaran Mulia. Yang pertama adalah tingkat menengah dan yang lainnya adalah tingkat superior. Apa yang dinamakan sebagai kebijaksanaan tingkat menengah adalah para Sravaka dan Pratyekabuddha; apa yang dimaksud sebagai tingkat superior adalah para Buddha dan Bodhisattva.


Dikatakan bahwa karena Kausala nya, maka Buddha Sakyamuni tidak mengajarkan sutta2 mahayana kpd para arahat pada jaman Beliau hidup.
Karena Sang Buddha mengetahui bahwa para arahat tsb tidak dapat memahami Ajaran Mahayana.
Dan Beliau mengajarkan sutta2 Mahayana hanya kpd Bodhisatva yg berada di suatu surga (saya lupa) :)
Tapi secara jelas di dalam Mahayana para Arahat diakui sebagai Bodhisatva tingkat 7.
Yg jadi pertanyaan saya:
Apabila arahat sudah mencapai Bodhisatva tingkat 7, mengapa masih tidak bisa memahami ajaran sutta2 Mahayana???
Dan aneh nya lagi, apabila Arahat (Bodhisatva tingkat 7) saja tidak dapat memahami, mengapa skrg malah banyak umat2 awam yg bisa menjelaskan ttg isi sutta2 Mahayana, yg menandakan mereka MENGERTI dan MEMAHAMI?
Seperti anda dan Bro Gandalf, yg saya rasa paham sekali ttg ajaran Mahayana.

Mohon diberi penjelasan, krn saya benar2 ingin mengerti.

 _/\_

Jangan salah paham. Buddha tidak pernah tidak mengajarkan para Arahat tentang jalan Bodhisatva. Contoh saja, Setiap pembabaran dharma Budha selalu dihadiri serombongan besar Bhikkhu Arahat. Yang dimaksud Arahat tidak mengetahui jalan Bodhisatva adalah Arahat tidak sanggup memahami jalan Bodhisatva. Buddha tetap berkotbah tentang jalan Bodhisatva, namun para Arahat tidak memahaminya sehingga dianalogikan bahwa Arahat tidak mendengar ajaran Mahayana. Kotbah Sang Buddha seperti guyuran hujan dari angkasa, para makhluk ibarat tanaman yg terguyur, rumput kecil hanya sanggup menyerap air sedikit, pohon besar menyerap air hujan dgn lebih banyak, semua terguyur, namun kapasitas menerima air (ajaran) tergantung masing-masing tanaman. Begitu juga umat awam hanya sanggup menyerap ajaran lokiya, sedangkan mereka yg menjadi bhikkhu dapat memahami ajaran yg lebih tinggi sehingga menyerap lebih banyak ajaran Buddha seperti pohon besar. Demikian seterusnya semua ini tergantung pada kapasitas masing2. 
kalau jaman dulu saja...kapasitas arahat pada waktu itu yang dibimbing langsung oleh Buddha tidak mampu mempelajari mahayana..

sudah dikatakan dulu...Seorang Sammasambuddha sebelum mengajar..beliau sudah tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya....
jadi kalau di analogikan contoh anda......Buddha gotama sudah memperkirakan tanaman mana yang menyerap banyak yang mana tidak......bukan asal menyebar air....nanti banjir loh ^^

jadi tidaklah mungkin Buddha gotama berbicara Sia-Sia didepan seseorang yang dia TAHU kalau orang tersebut tidaklah mungkin mengerti apa yang IA katakan....dengan kata lain bicara sia-sia
Ada penderitaan,tetapi tidak ada yang menderita
Ada jalan tetapi tidak ada yang menempuhnya
Ada Nibbana tetapi tidak ada yang mencapainya.

TALK LESS DO MOREEEEEE !!!

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #473 on: 15 February 2009, 10:43:47 AM »
Quote
justru membimbing terus menerus muncul alur..maka ada "ke-aku-an" disitu....coba lihat patticasammupada lagi dah...
ada suatu ego disitu.....
kalau masih tidak percaya..coba tanya yang praktik langsung vipassana....kalau saya sendiri...menyatakan ada "ego" disitu.

berarti Anatta dalam mahanyana dan Theravada berbeda lagi ^^

Sudah saya katakan, kalau anda menyebutkan "menolong hanya menolong", maka "membimbing terus menerus HANYALAH membimbing terus menerus."

Memangnya kagak bisa orang menolong terus menerus dengan tanpa memiliki rasa Aku?? Yang seharusnya diperhatikan bukanlah "terus menerus" sebagai sebuah keinginan yang penuh dengan rasa haus. Kalau rasa "terus menerus" ini didasari oleh rasa haus dan nafsu, maka tentu ini bukan keinginan seorang Bodhisattva. karena keinginan macam ini hanya menimbulkan penderitaan saja.

Membimbing terus menerus ini harus dipandang sebagai sebuah tindakan yang apa adanya. Menolong ya menolong. Berhenti ya hanya berhenti. Terus menerus ya hanya terus menerus. Seperti bumi yang berputar terus menerus, tidak ada lobha yang menyebabkan bumi berputar bukan? Maka membimbing terus menerus harus dipahami sebagai "Hanya Tindakan". Hanya satu alasan kenapa para Bodhisattva membimbing terus menerus, yaitu Maitri Karuna.

Membimbing terus menerus dalam praktek Bodhisattva diiringi dengan maitri karuna dan keinginan [harapan] positif [chanda], bukan lobha.

Makhluk yang mampu membimbing terus menerus tanpa lobha hanyalah para Bodhisattva yang telah melewati tingkat Arahat, Tidak Tergoyahkan.

Kita sebagai umat awam yang berniat untuk membimbing terus menerus, maka tidak dipungkiri bahwa akan ada sedikit lobha dalam pikiran kita, Tapi ini tidak jadi soal, karena lobha akan terus terkikis seiring dengan pemahaman kita mengenai maitri karuna, anatman dan kusala chanda terus meningkat, tentu diiringi dengan praktek meditasi seperti Vipasyana dan Samatha.

Anatta dalam Theravada dan Mahayana tidak berbeda, hanya saja Mahayana lebih meluaskan konsep Anatman itu ketimbang Theravada. Anda tidak mau terima, it's OK.

Ketimbang saya menjudge ada "Ego" di mana-mana, mendingan saya nge-judge bahwa diri saya ini masih penuh dengan "Ego".

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #474 on: 15 February 2009, 10:54:54 AM »
Quote
kalau jaman dulu saja...kapasitas arahat pada waktu itu yang dibimbing langsung oleh Buddha tidak mampu mempelajari mahayana..

sudah dikatakan dulu...Seorang Sammasambuddha sebelum mengajar..beliau sudah tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya....
jadi kalau di analogikan contoh anda......Buddha gotama sudah memperkirakan tanaman mana yang menyerap banyak yang mana tidak......bukan asal menyebar air....nanti banjir loh ^^

jadi tidaklah mungkin Buddha gotama berbicara Sia-Sia didepan seseorang yang dia TAHU kalau orang tersebut tidaklah mungkin mengerti apa yang IA katakan....dengan kata lain bicara sia-sia

Tentu seorang Samyaksambuddha tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya

Saya beri contoh gini deh....

Sang Buddha pergi dengan diiringi 1000 siswa Arahat dan 1000 orang Bodhisattva [baik umat awam maupun bhiksu]. Sang Buddha melihat bahwa ada potensi 500 Arahat memahami ajaran Beliau tentang Mahayana dan 200 Bodhisattva dapat memperoleh pemahaman baru apabila Beliau membabarkan Dharma di waktu dan tempat itu.

Maka tentu Sang Buddha kemudian membabarkan ajaran beliau tentang Mahayana. Dan memang benar ke-500 Arahat dan 200 orang Bodhisattva tersebut paham akan ajaran Sang Buddha.

Namun 500 Arahat lainnya yang masih melekat pada "kedamaian ekstrim" mereka, tentu tidak paham akan ajaran Sang Buddha tentang Mahayana....

Nah dari kisah di atas, maka yang terjadi adalah Sang Buddha tetap tahu sampai dimana kemampuan pendengarnya.

Hanya saja tentu, bisa saja tidak semua pendengarnya paham bukan? Dan ini adalah sebuah hal yang wajar....

Apabila ada 1000 murid yang saat itu hadir, apa mesti semuanya harus bisa paham?

Kalau hanya 500 saja yang akan bisa paham, apakah Sang Buddha tidak jadi memberikan ajaran-Nya?

Apakah hanya karena 500 Arahat lainnya nggak bisa paham, maka Sang Buddha tidak jadi mengajarkan ajaran Mahayana pada 500 Arahat dan 200 Bodhisattva yang bisa memahami?

Coba Renungkan!

Jadi tentu Sabda Sang Buddha TIDAK PERNAH SIA-SIA.

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 15 February 2009, 10:57:20 AM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #475 on: 15 February 2009, 11:28:30 AM »
Bro Gandalf, saya jadi tergelitik untuk ikut nimbrung,

Kalau begitu apakah Thera Ananda termasuk yang tidak mampu memahami? mengingat bahwa Thera Ananda selalu mengiringi Sang Buddha, dan seandainya pun tidak bersama Sang Buddha maka Sang Buddha akan mengulangi kepada Ananda apa yang tidak didengarkan oleh Ananda. ini sesuai dengan kontrak kerja Ananda sewaktu ditunjuk sebagai pelayan pribadi Sang Buddha. Saya menanyakan hal ini karena jika Ananda pernah mendengarkan Ajaran Mahayana, tentu Sutra2 Mahayana juga akan diulang dalam Konsili I dan dengan demikian juga akan terdapat dalam Tipitaka Pali.

_/\_

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #476 on: 15 February 2009, 11:58:26 AM »
Bro Gandalf, saya jadi tergelitik untuk ikut nimbrung,

Kalau begitu apakah Thera Ananda termasuk yang tidak mampu memahami? mengingat bahwa Thera Ananda selalu mengiringi Sang Buddha, dan seandainya pun tidak bersama Sang Buddha maka Sang Buddha akan mengulangi kepada Ananda apa yang tidak didengarkan oleh Ananda. ini sesuai dengan kontrak kerja Ananda sewaktu ditunjuk sebagai pelayan pribadi Sang Buddha. Saya menanyakan hal ini karena jika Ananda pernah mendengarkan Ajaran Mahayana, tentu Sutra2 Mahayana juga akan diulang dalam Konsili I dan dengan demikian juga akan terdapat dalam Tipitaka Pali.

_/\_

Yap. Ananda mampu memahami Sutra-sutra Mahayana. Ini bisa anda lihat dalam Saddharmapundarika Sutra.

Tapi pemahaman Ananda pada saat itu masih belum sempurna, sehingga ketika membabarkan ulang Sutra-sutra Mahayana di Gunung Vimalasbhava, Beliau memerlukan bimbingan dari para Bodhisattva.

Selain Ananda, Bodhisattva yang selalu mendampingi Sang Buddha adalah Vajrapani Bodhisattva. Beliau juga mengingat Sutra-sutra Mahayana.

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #477 on: 15 February 2009, 12:11:54 PM »
Barangkali Bro Gandalf tahu mengapa Saddharma Pundarika Sutra tidak diulang oleh Ananda pada Konsili I, sehingga lolos dari Tipitaka Pali.

_/\_

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #478 on: 15 February 2009, 12:22:01 PM »
Quote
Barangkali Bro Gandalf tahu mengapa Saddharma Pundarika Sutra tidak diulang oleh Ananda pada Konsili I, sehingga lolos dari Tipitaka Pali.

Ada 4 penyebab:

1. Beda tempat
Tipitaka Pali kan diulang di Goa Sattapani, sedangkan ajaran Mahayana diulang di Gunung Vimalasvabhava, jadi beda tempat

2. Memisahkan dengan ajaran Hinayana
Konsili di Goa Sattapani juga mengundang para Arhat yang belum mampu memahami Mahayana, maka tentu sabda Mahayana tidak diulang di sana. Ananda pergi ke Gunung Vimalasvabhava untuk mengulang sabda Mahayana di sana bersama dengan para Bodhisattva.

3. Diulang dan dilestarikan secara terpisah
Ajaran Hinayana dilestarikan dalam kelompok besar [beribu-ribu bahkan mungkin berpuluh-puluh ribu], sedangkan ajaran Mahayana dilestarikan dalam kelompok kecil / sedang [ratusan saja]. 2 kelompok ini memang berkembang secara terpisah dari awalnya.

4. Cara terampil
Ini adalah cara terampil para Arhat yang memahami Mahayana dalam mewejangkan sabda Sang Buddha secara keseluruhan yang dimulai dari Hinayana kemudian masuk ke Mahayana. Sehingga ini menunjukkan bahwa sabda Sang Buddha pertama harus dipahami lewat Hinayana dulu, baru masuk ke Mahayana dan Vajrayana, tidak tercampur-campur tak karuan.

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 15 February 2009, 12:24:03 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #479 on: 15 February 2009, 12:45:38 PM »
Dari penjelasan Bro Gandalf, saya menangkap bahwa Hinayana/Theravada dan Mahayana telah ada sejak masa Sang Buddha, sehingga Ananda harus memilah2 mana yang harus tercatat dalam Theravada dan mana yang harus tercatat dalam Mahayana. Mohon Klarifikasi.

_/\_