Ya memang nggak sekualitas Arahat.
Tapi toh umat Theravada yang awam-pun, yang pengetahuan Dhamma-nya dangkal, yang batinnya nggak sekualitas Arahat, aja tahu kalau Arahat itu nggak egois.
Yang ingin saya tanyakan adalah, seorang calon Bodhisatta, yang memiliki kualitas:
(6) should be possessed of attainments such as the jhānas,
(7) be prepared to sacrifice all, even life, and
( his resolution should be absolutely firm and unwavering......itu.....
Masa NGGAK TAHU kalau Arahat itu nggak egois??
La wong umat Theravada biasa yang Jhana saja nggak nyampai, bahkan nggak siap mengorbankan dirinya aja tahu bahwa Arahat itu nggak egois.
Makanya ketika Petapa Sumedha berpikir bahwa pencapaian Arahat itu egois....tentu dia punya dasar pandangan tersendiri yang cukup jelas dan beralasan....
Bahkan banyak juga kan
umat Theravada yang tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi mereka berikrar menjadi Bodhisatta??
Raja Nissanka Malla (1187-1196) dari Polonnaruwa, Srilanka membuat pernyataan: "Aku akan menunjukkan diriku dalam wujud yang sejati yang dilimpahi dengan
kualitas-kualitas bajik seorang Raja Bodhisatta, yang bagaikan orang tua melindungi dunia dan agama.".
Raja Parakramabahu VI dalam segel kerajaannya menyebut dirinya
sebagai Bodhisatta Parakramabahu. Raja Mahinda IV bahkan lebih jauh
lagi menyatakan bahwa seorang yang bukan Bodhisatta tidak akan dapat
menjadi Raja Srilanka.
Kini kita beralih ke Burma. Di negeri tersebut contoh hubungan antara
raja dan Bodhisattva diperlihatkan oleh Raja Kyanzittha, yang
menyatakan dirinya sebagai "Bodhisatta, yang kelak akan menjadi
seorang Buddha, yang menyelamatkan dan membebaskan semua makhluk,
yang memiliki cinta dan belas kasih bagi semua makhluk di segala
jaman, serta yang telah diramalkan oleh Sang Buddha untuk menjadi
seorang Buddha yang sempurna." Raja Alaungsithu menulis bahwa ia akan
menolong semua makhluk mencapai "Kota yang Terberkahi" (nibbana).
Raja-raja Sri Tribhuvanaditya, Thiluin Man, Cansu I, dan Natonmya
semuanya menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta.
Di Muangthai, Raja Lu Tai dari Sukhothai berharap untuk "menjadi
seorang Buddha demi membantu semua makhluk meninggalkan samsara."
Masih banyak lagi tokoh-tokoh Theravada lainnya, yang bukan berasal
dari kalangan kerajaan, juga berikrar untuk menjadi Bodhisatta.
Pengarang komentar kitab Jataka (Jatakattakatha) - Buddhaghosa menutup karangannya dengan ikrar untuk melaksanakan sepuluh parami agar pada masa mendatang ia dapat menjadi Buddha dan membimbing para makhluk yang
berada di dunia ini dan alam dewa menuju nibanna, sehingga terbebas
dari kelahiran dan kematian yang tanpa henti. Buddhaghosa, penulis
komentar yang terkenal tersebut juga diyakini oleh para Bhikkhu di
Anuradhapura sebagai penjelmaan Bodhisatta Metteya. Bhikkhu besar
dari Srilanka Doratiyaveye (sekitar 1900) setelah menerima ajaran
rahasia dari guru meditasinya, menolak untuk mempraktekkannya.
Penolakan itu disebabkan karena ia merasa bahwa teknik meditasi
tersebut akan menyebabkannya menjadi seorang Arahat atau setidaknya
sotapanna, padahal ia menganggap diri sebagai seorang Bodhisatta dan
telah berikrar untuk menjadi seorang Buddha kelak. Bhikkhu Mahaa
Tipitaka Culabhaya dalam komentarnya mengenai Milindapanha
menulis: "Buddho Bhaveyyam" atau "Semoga aku menjadi seorang Buddha.(Perbandingan Konsep Arahat dan Boddhisattva dalam Buddhisme Theravada & Mahayana oleh Ivanm Taniputera)La para raja dan bhikkhu Theravada tersebut sudah tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi yah tetep pengen jadi Bodhisatta!!
Jadi seseorang yang ingin menjadi Bodhisatta, tidak selalu harus menganggap Arahat itu egois....
Kenapa Petapa Sumedha malah bepikir:
Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan.”
“Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”Emang nggak bisa Petapa Sumedha berpikir, "Arahat itu memang tidak egois dan bukan tidak berguna, namun jauh mulia bagiku untuk menjadi Sammasambuddha." ??
Kenapa Petapa Sumedha yang batinnya begitu siap dan cukup "tinggi" (sudah mencapai Jhana-jhana), yang tahu benar ajaran Buddha dan siapa itu Sang Buddha dan para siswa-Nya, malah berpikir pencapaian Arahatta itu egois??
Tentu ini karena Arahat itu egosentris plus "tidak berguna" menurut Petapa Sumedha, konon begitu menurut naskah Theravada Buddhavamsa. Bodhisatta dipandang sebagai Jalan Hidup yang lebih tinggi karena dapat menyelamatkan lebih banyak makhluk.
Ya nggak heran deh kalau Mahasanghika menagung-agungkan Bodhisattva ketimbang Arahat.
Justru menurut Mahayana, karena pandangan satu sisi itulah, Arahat tidak mencapai Non-Dualisme....... kalau memang bener2 Non Dualisme.... maka seharusnya tidak ada yang namanya "mengesampingkan" pemikiran menolong makhluk lain.
Ini kan bukan Non-dualisme..........
The Siddha Wanderer