//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Bhavaviveka "vs" Hinayana  (Read 185264 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #240 on: 24 November 2008, 09:39:35 PM »
Quote
Ananda K. Coomarasway (1877-1947 M) pernah menulis:
"Ketika Brahman Sumedha menolak untuk menyebrangi lautan (samsara) sendirian dan mengucapkan ikrar untuk menjadi Buddha, dengan tujuan agar ia dapat menyebrangkan pula manusia lain, dan para dewa, melewati lautan (samsara), ia berbicara dengan pola pikir Mahayana."
(Buddha and the Gospel of Buddhism)
Tolong lebih detailnya?

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #241 on: 24 November 2008, 09:40:38 PM »

Lho?hehehe,koq unsur diri sendiri paling benar?Ini kan merupakan Sabda SB kepada Suku Kalama yakni Kalama Sutta bukan? :)
Kan saya tidak bilang Mahayana salah dan Theravada benar... hehehe..Stay cool ya... :)

Salam hangat,
Riky

Ya udah deh.... saya meragukan Kalama Sutta kalau gitu......  ^-^  ^-^  ^-^

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #242 on: 24 November 2008, 09:41:26 PM »

Tolong lebih detailnya?

Salam hangat,
Riky

Ya gitu deh..... la wong saya quote kok....  ;D

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #243 on: 24 November 2008, 09:48:29 PM »

Lho?hehehe,koq unsur diri sendiri paling benar?Ini kan merupakan Sabda SB kepada Suku Kalama yakni Kalama Sutta bukan? :)
Kan saya tidak bilang Mahayana salah dan Theravada benar... hehehe..Stay cool ya... :)

Salam hangat,
Riky

Ya udah deh.... saya meragukan Kalama Sutta kalau gitu......  ^-^  ^-^  ^-^

 _/\_
The Siddha Wanderer
Ragukan saja...anda boleh meragukan apapun koq,itu hak anda... :))

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline Riky_dave

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.229
  • Reputasi: -14
  • Gender: Male
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #244 on: 24 November 2008, 09:48:48 PM »

Tolong lebih detailnya?

Salam hangat,
Riky

Ya gitu deh..... la wong saya quote kok....  ;D

 _/\_
The Siddha Wanderer
Maksudnya tidak ada yang lebih detail?:))

Salam hangat,
Riky
Langkah pertama adalah langkah yg terakhir...

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #245 on: 24 November 2008, 09:56:40 PM »
Quote
Ragukan saja...anda boleh meragukan apapun koq,itu hak anda...

Salam hangat,
Riky

Ya udah.....  ^-^  ^-^  ^-^ Wes.. wes....

Quote
Maksudnya tidak ada yang lebih detail?

Ya... bukunya cuma nulis gitu tuh........

 _/\_
The Siddha Wanderer

Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #246 on: 24 November 2008, 10:01:13 PM »
Menurut saya, apa yang diajarkan di dalam Delapan Jalan Utama (sebagai jalan menuju lenyapnya dukkha/ mencapai nibbana / mencapai pembebasan) itu sangat MASUK AKAL. Tidak ada pernyataan metafisika dan retorika. Apakah menurut sdr. Delapan Jalan Utama itu TIDAK MASUK AKAL ??

La kalau Samyak-samadhi dan Samyak-drsti itu menuju pada apa ya ??? Metafisika atau nalar ???

Kriteria masuk akal anda itu apa sih?

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #247 on: 24 November 2008, 10:18:51 PM »
Quote
Semua jawaban Nagasena kepada Raja Milinda ini menggunakan falsafah NALAR yang luar biasa, alih-alih menggunakan pernyataan metafisika atau pernyataan di luar LOGIKA.

Arahat awam harus menjadi bhikkhu dalam batas waktu 7 hari, kalau tidak akan meninggal. Ini di dalam LOGIKA atau di luar LOGIKA?

Anda mengatakan:
Quote
Seperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Mestinya antara kehidupan bhikkhu dengan umat awam juga non-dualisme kan?

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline chingik

  • Sahabat Baik
  • ****
  • Posts: 924
  • Reputasi: 44
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #248 on: 24 November 2008, 10:21:49 PM »
Quote
Menurut saya, apa yang diajarkan di dalam Delapan Jalan Utama (sebagai jalan menuju lenyapnya dukkha/ mencapai nibbana / mencapai pembebasan) itu sangat MASUK AKAL. Tidak ada pernyataan metafisika dan retorika. Apakah menurut sdr. Delapan Jalan Utama itu TIDAK MASUK AKAL ??
yang sesuai logika lah yang masuk akal.
oya tapi alam dewa itu bgm dijelaskan dari sisi akal sehat?
jadi bagaimana pendekatan theravada atas 2 sisi di atas?
yang lain dibilang inkonsistensi, sedangkan ini disebut konsistensi karena memiliki penjelasan yg berbeda. Tidakkah terkesan argumentasi yang bersifat berat sebelah?
  ???


 
« Last Edit: 24 November 2008, 10:33:00 PM by chingik »

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #249 on: 24 November 2008, 10:43:08 PM »

Yang benar adalah petapa sumedha berpikir... bukan berkata seperti yang sdr.gandalf quote... Yang menjadi persoalan adalah, apakah pikiran petapa sumedha pada saat itu bahwa dirinya mempunyai kemampuan untuk menjadi ARAHAT pada saat itu juga adalah sesuai dengan kemampuannya. Saya rasa tidak... Mencapai tingkat ARAHAT itu bukan dengan konteks tawar menawar seperti ini...

Jika masih ada pikiran halus bahkan untuk NIAT LUHUR MENYELAMATKAN SEMUA MAKHLUK, maka seseorang itu TIDAK AKAN BISA MEREALISASIKAN ARAHAT. Seperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Sdr.Gandalf kembali menafsirkan bahwa apa yang dipikirkan oleh petapa Sumedha adalah suatu kepastian dari BAKAL MENCAPAI ARAHAT petapa SUMEDHA. Karena hanya seorang SAMMASAMBUDDHA yang memiliki kualitas untuk menilai kematangan bathin makhluk lain yang dalam hal ini PETAPA SUMEDHA belumlah mencapai tingkatan tersebut (Sammasambuddha), dan bahkan ARAHAT-pun belum.

Nah lho.... Gini2 deh....

Bukan masalah kemampuannya atau tidak, tapi Petapa Sumedha berpikir seseorang yang mencapai tingkat Arahatta itu egois dan "murid tidak berguna".

Umat Theravada yang masih putthujana en pemula aja tahu klo Arahat nggak egois....

Nah... petapa Sumedha yang calon Bodhisatta malah mikir Arahat egois ???  ^-^  ^-^

Calon Bodhisatta lo.....  :o  :o

Lagipula Buddha Dipamkara tentu tahu dong apa yang dipikirkan Sumedha?? Harusnya Beliau menegurnya kan, kalau Sumedha memiliki pandangan salah???

..... Malu2in lah..... kalo sampe calon Bodhisatta punya pikiran Arahat itu egois...

Masa calon Bodhisatta punya pandangan salah yang sedasar dan se-simple itu? La umat Theravada yang biasa-biasa aja tao kale Arahat itu nggak egois, masa calon Bodhisatta nggak tahu?...  ^-^  ^-^

Atau memang sebenarnya...... Arahat itu memang egosentris seperti kata Mahayana?? Wah... Petapa Sumedha dan Buddhavamsa lumayan pro Mahayana tuh....

Atau jangan-jangan Buddha Dipamkara melihat pikiran Sumedha pada saat itu adalah Pandangan benar (Sammaditthi), bukan Pandangan salah (Micchaditthi)??  8)  8)

Ananda K. Coomarasway (1877-1947 M) pernah menulis:
"Ketika Brahman Sumedha menolak untuk menyebrangi lautan (samsara) sendirian dan mengucapkan ikrar untuk menjadi Buddha, dengan tujuan agar ia dapat menyebrangkan pula manusia lain, dan para dewa, melewati lautan (samsara), ia berbicara dengan pola pikir Mahayana."
(Buddha and the Gospel of Buddhism)

 _/\_
The Siddha Wanderer

Lha memang kalau di Theravada, calon bodhisatta itu masih dalam JALAN (MAGGA) belum mencapai HASIL (PHALA)... Apalagi masih namanya baru calon bodhisatta, belum menyandang gelar bodhisatta karena belum mendapat ramalan pasti dari buddha dipankara. Jadi sah sah saja kalau petapa sumedha itu pikirannya masih belum sekualitas seorang ARAHAT.

Kemudian lagi, tak ada urusan dengan buddha dipankara lagi... Buddha dipankara kan hanya memberikan ramalan berdasarkan kemampuan seorang sammasambuddha untuk menilai kualitas bathin dan pencapaiannya dimasa mendatang. Petapa Sumedha berpikir bahwa pada saat itu jika dia mau, maka dia bisa merealisasikan arahat, tetapi karena ada pemikiran untuk menolong makhluk lain, karena pikiran menolong itulah seseorang individu masih belum bisa mencapai tingkat ARAHAT, karena masih belum terbebas dari apa yang disebut dengan pandangan egaliter non-dualisme.

inilah yang membedakan dari awal pandangan Theravada dan Mahayana, Di dalam Theravada bahkan calon bodhisatta ataupun bodhisatta itu secara kualitas, bathinnya masih "DIBAWAH" ARAHAT. Karena ARAHAT sudah bla bla bla...

Sedangkan kalau di Mahayana agak lain, bahwa ARAHAT itu setara dengan bodhisatta tingkat 7... dan karena masih tingkat 7, berarti ARAHAT masih dibawah bodhisatta tingkat 8, 9 dan bahkan 10...

VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #250 on: 24 November 2008, 10:48:57 PM »
Menurut saya, apa yang diajarkan di dalam Delapan Jalan Utama (sebagai jalan menuju lenyapnya dukkha/ mencapai nibbana / mencapai pembebasan) itu sangat MASUK AKAL. Tidak ada pernyataan metafisika dan retorika. Apakah menurut sdr. Delapan Jalan Utama itu TIDAK MASUK AKAL ??

La kalau Samyak-samadhi dan Samyak-drsti itu menuju pada apa ya ??? Metafisika atau nalar ???

Kriteria masuk akal anda itu apa sih?

 _/\_
The Siddha Wanderer

gak ngerti apa itu samyak samadhi dan samyak drsti... mohon diberi penjelasan...
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #251 on: 24 November 2008, 10:54:55 PM »
Quote
Semua jawaban Nagasena kepada Raja Milinda ini menggunakan falsafah NALAR yang luar biasa, alih-alih menggunakan pernyataan metafisika atau pernyataan di luar LOGIKA.

Arahat awam harus menjadi bhikkhu dalam batas waktu 7 hari, kalau tidak akan meninggal. Ini di dalam LOGIKA atau di luar LOGIKA?

Anda mengatakan:
Quote
Seperti quote sebelumnya bahwa seorang ARAHAT itu sudah mencapai kualitas egaliter non-dualisme, dimana NIBBANA dan SAMSARA itu TIADA BEDANYA SAMA SEKALI.

Mestinya antara kehidupan bhikkhu dengan umat awam juga non-dualisme kan?

 _/\_
The Siddha Wanderer

Percakapan raja Milinda dan Nagasena terjadi beberapa ratus tahun setelah era BUDDHA GOTAMA. Banyak kejadian umat AWAM (yang belum ditabhiskan) mencapai tingkat kesucian ARAHAT, tetapi meninggal (parinibbana) dalam jangka waktu singkat seperti : BAHIYA dan Raja Suddhodana misalnya...

Mungkin inilah yang mendasari pertanyaan dari raja Milinda dan Nagasena, dari kejadian tersebut, apakah benar seorang ARAHAT umat AWAM harus menjadi bhikkhu dalam 7 hari, kalau tidak akan parinibbana... Saya kira pertanyaan ini telah menjadi topik tersendiri yang sudah pernah di bahas.

LAgipula menurut alur NALAR saya, bahwa jika seseorang sudah mencapai tingkat kesucian ARAHAT, maka persoalan hidup dan mati-nya sudah tidak penting bagi seorang ARAHAT. Toh tidak ada lagi dorongan/bahan bakar untuk kelahiran dan kematian. Jika ada kematian, maka itu adalah kematian yang terakhir.

Saya kira di dalam sutta sendiri, BUDDHA tidak pernah menyatakan bahwa seorang ARAHAT (umat awam) wajib ditabhiskan menjadi seorang bhikkhu, tetapi dari banyak cerita pencapaian ARAHAT oleh umat awam, biasanya ada cerita tentang pentabhisan ataupun usaha untuk pentabhisan. Karena begitu sudah mencapai ARAHAT, sudah tidak penting lagi apakah beliau itu bhikkhu ataupun umat awam (statusnya).
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline dilbert

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.935
  • Reputasi: 90
  • Gender: Male
  • "vayadhamma sankhara appamadena sampadetha"
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #252 on: 24 November 2008, 11:03:19 PM »
yang sesuai logika lah yang masuk akal.
oya tapi alam dewa itu bgm dijelaskan dari sisi akal sehat?
jadi bagaimana pendekatan theravada atas 2 sisi di atas?
yang lain dibilang inkonsistensi, sedangkan ini disebut konsistensi karena memiliki penjelasan yg berbeda. Tidakkah terkesan argumentasi yang bersifat berat sebelah?
  ???

Logika berpikir itu tidak harus serta merta dibuktikan. Tetapi secara LOGIS bahwa kesatuan alur itu harus mendukung.
Anda bertanya tentang alam dewa, apakah bisa dibuktikan ?? Jawabannya tentunya sulit... Tetapi apakah secara LOGIKA, dalam alur "CERITA"/AJARAN yang berkaitan dengan spiritual itu dimungkinkan ??

Jawabannya tentu saja mungkin, karena dalam alur ajaran... (saya kira diajaran manapun juga)... ada cerita tentang SURGA (alam dewa) maupun NERAKA...
"KATANYA" kalau berbuat baik akan masuk surga, berbuat jahat akan masuk NERAKA... Jika ditanyakan BUKTI-nya, apa ada BUKTI SURGA dan NERAKA itu ADA ???

Tetapi dari LOGIKA berpikir dari sisi alur, bahwa dengan berbuat baik akan mendapat pahala baik... tentunya ganjarannya adlaah alam surga dengan serangkaian fasilitas kebahagian dsbnya... sedangkan kalau berbuat jahat akan mendapat akibat/ganjaran... tentunya akibat yang diberikan adalah alam neraka dengan serangkaian siksaan dan penderitaan...

Apakah ini LOGIS dan sesuai dengan NALAR ?? Kalau tidak sesuai NALAR. Apakah akan LAKU semua PROMOSI PROMOSI AGAMA/AJARAN ke sekian miliar manusia... Apakah semua manusia itu sudah tidak ada NALAR-nya lagi ??

Terus terang saja, saya sendiri bahkan tidak peduli bahwa apakah ALAM SURGA ITU ADA atau TIDAK, Apakah ALAM NERAKA itu ADA atau TIDAK, apakah benar kita bisa bertumimbal lahir menjadi binatang, asura, ataupun hantu kelaparan... Yang saya lihat di dalam ajaran BUDDHA khususnya di EMPAT KESUNYATAAN MULIA... semua-nya itu LOGIS DAN MASUK AKAL ketika dipraktekkan... Yang penting bagi saya adalah melenyapkan dukkha pada saat ini juga, pada saat kehidupan ini juga... GAK PEDULI dengan kehidupan setelah kematian apakah masih berlanjut atau tidak ??
« Last Edit: 24 November 2008, 11:06:07 PM by dilbert »
VAYADHAMMA SANKHARA APPAMADENA SAMPADETHA
Semua yang berkondisi tdak kekal adanya, berjuanglah dengan penuh kewaspadaan

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #253 on: 24 November 2008, 11:36:26 PM »
Ya memang nggak sekualitas Arahat.

Tapi toh umat Theravada yang awam-pun, yang pengetahuan Dhamma-nya dangkal, yang batinnya nggak sekualitas Arahat, aja tahu kalau Arahat itu nggak egois.

Yang ingin saya tanyakan adalah, seorang calon Bodhisatta, yang memiliki kualitas:
(6) should be possessed of attainments such as the jhānas,
(7) be prepared to sacrifice all, even life, and
(8) his resolution should be absolutely firm and unwavering.


.....itu.....

Masa NGGAK TAHU kalau Arahat itu nggak egois??  ^-^  ^-^

La wong umat Theravada biasa yang Jhana saja nggak nyampai, bahkan nggak siap mengorbankan dirinya aja tahu bahwa Arahat itu nggak egois.

Makanya ketika Petapa Sumedha berpikir bahwa pencapaian Arahat itu egois....tentu dia punya dasar pandangan tersendiri yang cukup jelas dan beralasan....

Bahkan banyak juga kan umat Theravada yang tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi mereka berikrar menjadi Bodhisatta??

Raja Nissanka Malla (1187-1196) dari Polonnaruwa, Srilanka membuat pernyataan: "Aku akan menunjukkan diriku dalam wujud yang sejati yang dilimpahi dengan…kualitas-kualitas bajik seorang Raja Bodhisatta, yang bagaikan orang tua melindungi dunia dan agama.".
Raja Parakramabahu VI dalam segel kerajaannya menyebut dirinya
sebagai Bodhisatta Parakramabahu. Raja Mahinda IV bahkan lebih jauh
lagi menyatakan bahwa seorang yang bukan Bodhisatta tidak akan dapat
menjadi Raja Srilanka.
Kini kita beralih ke Burma. Di negeri tersebut contoh hubungan antara
raja dan Bodhisattva diperlihatkan oleh Raja Kyanzittha, yang
menyatakan dirinya sebagai "Bodhisatta, yang kelak akan menjadi
seorang Buddha, yang menyelamatkan dan membebaskan semua makhluk,
yang memiliki cinta dan belas kasih bagi semua makhluk di segala
jaman, serta yang telah diramalkan oleh Sang Buddha untuk menjadi
seorang Buddha yang sempurna." Raja Alaungsithu menulis bahwa ia akan
menolong semua makhluk mencapai "Kota yang Terberkahi" (nibbana).
Raja-raja Sri Tribhuvanaditya, Thiluin Man, Cansu I, dan Natonmya
semuanya menyatakan dirinya sebagai Bodhisatta.
Di Muangthai, Raja Lu Tai dari Sukhothai berharap untuk "menjadi
seorang Buddha demi membantu semua makhluk meninggalkan samsara."
Masih banyak lagi tokoh-tokoh Theravada lainnya, yang bukan berasal
dari kalangan kerajaan, juga berikrar untuk menjadi Bodhisatta.
Pengarang komentar kitab Jataka (Jatakattakatha) - Buddhaghosa menutup karangannya dengan ikrar untuk melaksanakan sepuluh parami agar pada masa mendatang ia dapat menjadi Buddha dan membimbing para makhluk yang
berada di dunia ini dan alam dewa menuju nibanna, sehingga terbebas
dari kelahiran dan kematian yang tanpa henti. Buddhaghosa, penulis
komentar yang terkenal tersebut juga diyakini oleh para Bhikkhu di
Anuradhapura sebagai penjelmaan Bodhisatta Metteya.
Bhikkhu besar
dari Srilanka Doratiyaveye (sekitar 1900) setelah menerima ajaran
rahasia dari guru meditasinya, menolak untuk mempraktekkannya.
Penolakan itu disebabkan karena ia merasa bahwa teknik meditasi
tersebut akan menyebabkannya menjadi seorang Arahat atau setidaknya
sotapanna, padahal ia menganggap diri sebagai seorang Bodhisatta dan
telah berikrar untuk menjadi seorang Buddha kelak. Bhikkhu Mahaa
Tipitaka Culabhaya dalam komentarnya mengenai Milindapanha
menulis: "Buddho Bhaveyyam" atau "Semoga aku menjadi seorang Buddha.

(Perbandingan Konsep Arahat dan Boddhisattva dalam Buddhisme Theravada & Mahayana oleh Ivanm Taniputera)

La para raja dan bhikkhu Theravada tersebut sudah tahu kalau Arahat itu nggak egois, tapi yah tetep pengen jadi Bodhisatta!!


Jadi seseorang yang ingin menjadi Bodhisatta, tidak selalu harus menganggap Arahat itu egois....

Kenapa Petapa Sumedha malah bepikir:
Jika aku menghendaki, hari ini juga aku dapat menjadi Arahanta yang mana asava dipadamkan dan kotoran batin lenyap. Tapi, apa untungnya? Seorang manusia luar biasa sepertiku merealisasi Buah Arahatta dan Nibbana sebagai murid yang tidak berguna dari Buddha Dipamkara? Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk mencapai Kebuddhaan.”

Apa gunanya, secara egois keluar dari lingkaran kelahiran sendirian, padahal aku adalah seorang manusia luar biasa yang memiliki kebijaksanaan, keyakinan, dan usaha. Aku akan berusaha mencapai Kebuddhaan dan membebaskan semua makhluk termasuk para dewa dari lingkaran kelahiran yang merupakan lautan penderitaan.”


Emang nggak bisa Petapa Sumedha berpikir, "Arahat itu memang tidak egois dan bukan tidak berguna, namun jauh mulia bagiku untuk menjadi Sammasambuddha." ??

Kenapa Petapa Sumedha yang batinnya begitu siap dan cukup "tinggi" (sudah mencapai Jhana-jhana), yang tahu benar ajaran Buddha dan siapa itu Sang Buddha dan para siswa-Nya, malah berpikir pencapaian Arahatta itu egois??

Tentu ini karena Arahat itu egosentris plus "tidak berguna" menurut Petapa Sumedha, konon begitu menurut naskah Theravada Buddhavamsa. Bodhisatta dipandang sebagai Jalan Hidup yang lebih tinggi karena dapat menyelamatkan lebih banyak makhluk.

Ya nggak heran deh kalau Mahasanghika menagung-agungkan Bodhisattva ketimbang Arahat.

Justru menurut Mahayana, karena pandangan satu sisi itulah, Arahat tidak mencapai Non-Dualisme....... kalau memang bener2 Non Dualisme.... maka seharusnya tidak ada yang namanya "mengesampingkan" pemikiran menolong makhluk lain.  ^-^  ^-^ Ini kan bukan Non-dualisme..........  ^-^  ^-^

 _/\_
The Siddha Wanderer
« Last Edit: 24 November 2008, 11:49:18 PM by GandalfTheElder »
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

Offline GandalfTheElder

  • Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.480
  • Reputasi: 75
  • Gender: Male
  • Exactly who we are is just enough (C. Underwood)
Re: Bhavaviveka "vs" Hinayana
« Reply #254 on: 24 November 2008, 11:45:16 PM »
Percakapan raja Milinda dan Nagasena terjadi beberapa ratus tahun setelah era BUDDHA GOTAMA. Banyak kejadian umat AWAM (yang belum ditabhiskan) mencapai tingkat kesucian ARAHAT, tetapi meninggal (parinibbana) dalam jangka waktu singkat seperti : BAHIYA dan Raja Suddhodana misalnya...

Mungkin inilah yang mendasari pertanyaan dari raja Milinda dan Nagasena, dari kejadian tersebut, apakah benar seorang ARAHAT umat AWAM harus menjadi bhikkhu dalam 7 hari, kalau tidak akan parinibbana... Saya kira pertanyaan ini telah menjadi topik tersendiri yang sudah pernah di bahas.

LAgipula menurut alur NALAR saya, bahwa jika seseorang sudah mencapai tingkat kesucian ARAHAT, maka persoalan hidup dan mati-nya sudah tidak penting bagi seorang ARAHAT. Toh tidak ada lagi dorongan/bahan bakar untuk kelahiran dan kematian. Jika ada kematian, maka itu adalah kematian yang terakhir.

Saya kira di dalam sutta sendiri, BUDDHA tidak pernah menyatakan bahwa seorang ARAHAT (umat awam) wajib ditabhiskan menjadi seorang bhikkhu, tetapi dari banyak cerita pencapaian ARAHAT oleh umat awam, biasanya ada cerita tentang pentabhisan ataupun usaha untuk pentabhisan. Karena begitu sudah mencapai ARAHAT, sudah tidak penting lagi apakah beliau itu bhikkhu ataupun umat awam (statusnya).

Nggak usah mbulet deh.... to the point saja....

Kalau gitu yang di Milinda Panha itu nggak LOGIKA dong??  ^-^  ^-^  ^-^

Toh anda ngomong:
Quote
Karena begitu sudah mencapai ARAHAT, sudah tidak penting lagi apakah beliau itu bhikkhu ataupun umat awam (statusnya).

Masalahnya Milinda Panha mengatakan bahwa ada suatu KEHARUSAN bagi Arahat awam untuk menjadi bhikkhu kalau nggak akan meninggal dalam waktu 7 hari.

Urusan apakah Arahat persoalan hidup dan mati-nya sudah tidak penting ini DI LUAR KONTEKS.

Yang kita bahas adalah apakah Arahat awam kalau nggak jadi bhikkhu itu akan meninggal? Bukan mempersoalkan apakah hidup mati penting bagi Arahat.

La di thread yang membahas topik Arahat awam ini malah berakhir pada suatu "ketidakpercayaan" pada konsep yang diajukan Milinda Panha gitu kok! Berarti kan nggak begitu LOGIKA tuh.....  ^-^  ^-^

 _/\_
The Siddha Wanderer
Theravada is my root. This is the body of my practice.... It [Tibetan Buddhism]has given me my Compassion practice. Vajrayana is my thunder, my power. This is the heart of my practice..True wisdom is simple and full of lightness and humor. Zen is my no-self (??). This is the soul of my practice.

 

anything