//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: BANJIR NAFSU II  (Read 1602 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline LET IT GO N BE..

  • Bukan Tamu
  • *
  • Posts: 35
  • Reputasi: 3
BANJIR NAFSU II
« on: 16 December 2008, 08:00:24 PM »
  Untuk mengatakan 'latihan yang senyatanya' atau 'latihan yang
bersemangat' tidaklah perlu berarti anda harus mengeluarkan seluruh
energi, tetapi cukup berikan sedikit usaha ke dalam batinmu, membuat
(sedikit) usaha terhadap semua perasaan yang timbul, khususnya terhadap
perasaan-perasaan yang terbenam dalam kenafsuan. Mereka-mereka ini
adalah musuh-musuh kita.

        Tetapi orang-orang tampaknya tidak dapat melakukannya. Setiap
tahun, menjelang saat hari terakhir Masa Retret, mereka menjadi semakin
payah/memburuk keadaannya. Beberapa bhikkhu telah mencapai batas dari
kesabaran mereka, 'tidak sabar lagi'. Semakin mendekati hari terakhir
retret, semakin memburuk kondisi mereka, mereka tidak konsisten (mantap)
lagi dalam latihan. Saya mengatakan tentang hal ini tiap tahun tapi
tampaknya orang-orang tidak mengingatnya. Kami menetapkan aturan-aturan
tertentu dan belum sampai setahun itu sudah diabaikan. Begitu hampir
selesai retret, sudah mulai terjadi: obrolan-obrolan, kumpul-kumpul, dan
sebagainya. Semuanya menjadi hancur. Inilah kecenderungan-kecenderungan
yang terjadi.

        Mereka benar-benar tertarik dengan latihan haruslah memikirkan
mengapa hal ini terjadi. Ini karena orang-orang tidak melihat
akibat-akibat yang merugikan dari hal-hal ini.

        Bilamana kita telah diterima dalam kebhikkhuan, kita hidup
dengan sederhana. Meskipun mereka yang telah melepaskan jubahnya dan
pergi ke garis depan di mana peluru-peluru terbang melewati mereka
setiap hari, mereka lebih suka itu seperti demikian. Mereka benar-benar
ingin pergi. Bahaya ada di sekelliling mereka tetapi toh mereka
bersiap-siap untuk pergi. Mengapa mereka tidak melihat bahaya tersebut?
Mereka siap mati oleh senjata tetapi tak seorang pun yang ingin mati
karena mengembangkan kebajikan/sila. Dengan melihat pada hal ini saja
sudah cukup... itu karena mereka diperbudak; tidak ada yang lainnya.
mengertikan hal ini dan engkau akan mengetahui tentang semuanya.
Orang-orang tidak melihat bahaya.

        Ini benar-benar mencengangkan, bukan? Anda pikir mereka dapat
melihat ini tetapi nyatanya mereka tidak dapat. Jika mereka tidak dapat
melihatnya juga, maka tidak ada jalan keluar bagi mereka. Mereka
diharuskan untuk berputar terus di dalam lingkaran */Samsara/*. Inilah
kejadiannya. Hanya dengan membicarakan masalah yang sederhana seperti
ini, kita sudah mulai dapat mengerti.

        Jika seandainya anda bertanya kepada mereka, "Mengapa engkau
lahir?" mereka akan menemui banyak kesulitan dalam menjawab; itu karena
mereka tidak dapat melihat atau memahaminya. Mereka tenggelam di dalam
dunia nafsu inderawi dan tenggelam dalam dumadi /*(bhavaKata bahasa Thai
untuk "bhava" adalah 'pop', yang merupakan istilah umum bagi pendengar
khotbah Ajahn Chah. Ini umumnya dipahami dengan arti 'alam dari
kelahiran-kembali'; pemakaian istilah ini di sini oleh Ajahn Chah adalah
sedikit tidak biasa, yang maksudnya menekankan pemakaian yang lebih
praktis daripada istilah tersebut.)*/. Bhava adalah alam kelahiran,
tempat lahir kita. Untuk mudahnya, dari manakah makhluk-makhluk lahir?
Bhava adalah kondisi awal dari kelahiran. Dimana kelahiran terjadi, di
situlah bhava.

        Sebagai contoh, andaikata kita mempunyai kebun pohon apel yang
benar-benar kita sukai. Itulah *"bhava"* bagi kita jika kita tidak
merenungkannya dengan kebijaksanaan. Bagaimana caranya?  Andaikata kebun
buah kita itu berisi seratus atau seribu pohon apel... tak peduli jenis
pohon apapun yang ada, apabila kita menganggap mereka sebagai
pohon-pohon 'milik kita'.... maka nanti kita akan 'lahir' sebagai
'cacing' pada setiap batang pohon tersebut. Kita dengan cepat menuju ke
setiap pohon meskipun badan kita masih ada di dalam rumah; kita mengirim
'alat-alat peraba/tentakel' kepada setiap pohon tersebut.

        Sekarang, bagaimana kita dapat mengetahui bahwa itu adalah
bhava? Itu adalah bhava (alam/biang dari suatu eksistensi) karena
kemelekatan kita kepada pemikiran bahwa pohon-pohon itu adalah milik
kita, bahwa kebun buah itu adalah milik kita. Jika misalnya ada orang
lain datang membawa kapak dan menebang salah satu pohon tersebut, maka
si pemilik yang berada di dalam rumah, ikut 'mati' bersama pohon
tersebut. Dia menjadi sangat marah, dan merasa harus pergi untuk
menyelesaikan masalah tersebut, untuk berkelahi dan bahkan mungkin untuk
membunuhnya. pertengkaran itu adalah 'kelahiran'. 'Bidang/alam dari
kelahiran' tersebut adalah kebun buah itu yang kita lekati sebagai milik
kita. Kita 'lahir' tepat pada titik di mana kita menganggap mereka
sebagai milik kita, lahir dari *"bhava"* tersebut. Meskipun jika kita
mempunyai seribu pohon apel, jika seandainya seseorang menebang hanya
satu, itu akan seperti memotong pemiliknya.

        Apapun yang kita lekati, tepat di sana kita lahir, kita eksis
tepat di sana. Kita lahir segera ketika kita 'mengetahui'. Ini adalah
'mengetahui' yang melalui ketidaktahuan: kita mengetahui bahwa seseorang
telah menebang salah satu pohon kita. Tetapi kita tidak tahu bahwa
pohon-pohon itu adalah sebenarnya bukan milik kita. Inilah yang
dikatakan dengan 'mengetahui lewat tidak-mengetahui'. Kita terikat untuk
dilahirkan ke dalam *"bhava"* tersebut.

        Vatta, roda dari keadaan yang berkondisi, berjalan seperti ini.
Orang-orang melekat kepada bhava, mereka tergantung kepada bhava. jika
mereka mengharapkan bhava, ini adalah kelahiran. Selama kita belum dapat
melepas, kita menempel pada jejak dari samsara, berputar terus seperti
sebuah roda. Lihatlah pada hal ini, renungkanlah ini. Apapun yang kita
lekati sebagai kita atau milik kita, di sanalah tempat bagi suatu kelahiran.

        Di sana pasti ada bhava (suatu bidang/tempat/alam dari
kelahiran), sebelum terjadinya suatu kelahiran. Oleh karena itu Sang
Buddha berkata, apapun yang engkau miliki, jangan 'memilikinya'. Biarkan
ia apa adanya tetapi jangan jadikan itu sebagai milikmu. Anda harus
mengerti kata 'memiliki' dan 'jangan memiliki' ini; mengetahui
kesunyataan/kebenaran mereka, jangan terseret dalam penderitaan.

        Tempat dari mana kita lahir; anda ingin kembali ke sana dan
dilahirkan kembali, benar tidak? Kalian semua para bhikkhu dan samanera,
tahukah kalian dari mana tempat kalian lahir? Kalian ingin kembali ke
sana, bukan? Tepat di sana, lihatlah hal ini. Semua dari kalian sudah
bersiap-siap. Semakin dekat kita pada hari terakhir retret ini, semakin
kalian bersiap-siap untuk kembali dan lahir lagi di sana.

        Sungguh, anda akan berpikir bahwa orang-orang dapat menghargai
hal itu, hidup di dalam perut/rahim seseorang. Bagaimana tidak nyamannya
itu? Coba lihat, hanya tinggal di dalam kuti cukup satu hari saja. Tutup
semua pintu dan jendela maka anda akan kekurangan nafas. Bagaimana lalu
dibandingkan dengan berbaring di dalam perut seseorang selama 9 atau 10
bulan? Pikirkanlah tentang hal ini.

        Orang-orang tidak melihat kekurangan dari benda-benda/hal-hal.
Tanyakan kepada mereka mengapa mereka hidup, atau mengapa mereka
dilahirkan, dan mereka tidak dapat menjawabnya. Apakah anda semua masih
ingin untuk kembali ke dalam perut lagi? Mengapa? Itu seharusnya sudah
jelas/nyata, tetapi kalian tidak dapat melihatnya? Apa yang kalian
lekati, apa yang kalian gantungi? Pikir-pikirkanlah untuk dirimu sendiri.

        Itulah bhava. Akarnya tepat ada di sana, ia berputar di sekitar
sana. Sang Buddha mengajarkan untuk merenungkan titik ini. Orang-orang
berpikir tentang hal ini tetapi tetap masih belum dapat
melihat/mengerti. Mereka semua sudah bersiap-siap untuk kembali ke sana
lagi. Mereka tahu bahwa akan tidak begitu menyenangkan berada di sana,
tetapi toh mereka tetap ingin menempelkan kepala mereka di sana, menaruh
leher mereka di dalam jeratannya sekali lagi. Meskipun mereka mungkin
tahu bahwa jeratan ini benar-benar tidak mengenakkan, mereka tetap ingin
menaruh kepala mereka di sana. Mengapa mereka tidak mengerti ini? Ini
adalah di mana kebijaksanaan datang, di mana kita harus merenungkannya.

    Bila saya berbicara seperti ini, orang-orang berkata, "Jika itu
masalahnya maka setiap orang harus menjadi bhikkhu... dan kemudian
bagaimana dunia ini akan dapat berfungsi?" Anda tidak akan pernah
mendapati setiap orang menjadi bhikkhu, jadi tidak usah kuatir. Dunia
ini ada karena adanya makhluk-makhluk yang matanya tertutup
debu/batinnya bernoda, jadi ini bukanlah masalah yang sepele.

        Saya mulanya menjadi samanera pada usia 9 tahun. Saya mulai
berlatih sejak saat itu. Tetapi pada masa-masa itu saya tidak
benar-benar mengetahui tentang apa semua ini. Saya menjadi mengerti
ketika saya telah menjadi seorang bhikkhu. Sejak menjadi seorang bhikkhu
saya menjadi sangat hati-hati. Kesenangan-kesenangan inderawi yang
digemari oleh orang-orang tampaknya tidak terlalu menarik bagi saya.
saya melihat penderitaan di dalamnya. Sama seperti melihat sebuah pisang
yang enak yang saya tahu sangat manis rasanya tetapi yang juga saya tahu
itu beracun. Tak peduli bagaimanapun manis atau menariknya ia, jika saya
memakannya maka saya akan mati. Setiap saya merenungkan dalam cara
ini... setiap kali saya ingin memakan buah pisang tersebut, saya akan
melihat 'racun' tertanam di dalamnya. Dengan demikian akhirnya saya
dapat mengusir ketertarikan saya terhadap hal-hal tersebut. Sekarang,
pada usia saya sekarang ini, hal-hal semacam itu sama sekali tidak
menggoda lagi.

        Sebagian orang tidak melihat 'racun' tersebut; sebagian
melihatnya tetapi tetap ingin mencoba keberuntungan mereka. "Jika
tanganmu terluka janganlah menyentuh racun, ia akan meresap ke dalam
lukamu".

        Berbicara tentang nafsu inderawi, itu sulit untuk ditaklukkan.
Sungguh-sungguh sulit untuk melihat dia sebagaimana adanya. Kita harus
menggunakan alat-alat yang amat canggih. Anggaplah kesenangan-kesenangan
inderawi itu seperti memakan daging yang mana ia akan tersangkut di
gigimu. Sebelum anda habis makan, anda harus mencari tusuk-gigi untuk
mengeluarkannya. Saat daging tersebut keluar, anda merasa sedikit
enak/lega, sehingga mungkin anda berpikir bahwa anda tidak akan memakan
daging lagi. Tetapi ketika anda melihatnya lagi, anda tidak dapat
menahan diri lagi. Anda makan (lebih banyak) lagi dan ia menyangkut
lagi. Ketika ia menyangkut, anda harus mencabutnya keluar lagi, yang
memberikan sedikit rasa enak/lega lagi, hingga anda makan lebih banyak
daging lagi... Itulah semua yang terjadi padanya. Kesenangan-kesenangan
inderawi adalah persis seperti ini, tidak lebih baik dengan ini. Ketika
serpihan daging menyangkut di gigi, anda merasa tidak enak/sakit. Anda
mengambil tusuk-gigi dan mencongkelnya keluar dan merasakan sedikit
lega. Tidak ada yang lebih pada itu daripada nafsu-nafsu inderawi ini...
Tekanan tersebut menekan dan menekan hingga anda melepaskannya
sedikit... Oh! Begitulah rasanya. Saya tidak tahu tentang apa saja semua
kerepotan itu.

        Saya tidak mempelajari hal-hal ini dari siapapun juga, hal-hal
tersebut muncul pada diri saya dalam latihan saya. Saya duduk dalam
meditasi dan merenungkan kesenangan inderawi itu seperti sebuah sarang
semut merahKeduanya, baik semut-semut merah maupun telur-telurnya,
digunakan sebagai makanan di Timur-Laut Thailand. Sehingga penyerangan
terhadap sarang mereka bukanlah hal yang asing.. Seseorang mengambil
sebatang kayu dan menyodok sarang tersebut hingga semut-semutnya keluar,
merayap turun melalui kayu itu dan menuju ke muka orang itu, menggigit
mata dan hidung orang tersebut. Dan mereka tetap masih belum melihat
mereka sedang dalam kesulitan.

        Bagaimanapun, itu bukanlah sesuatu yang di luar kemampuan kita.
Dalam ajaran Sang Buddha, dikatakan bahwa jika kita telah melihat bahaya
dari sesuatu, tak peduli bagaimana baiknya itu tampaknya, kita harus
mengetahui bahwa itu membahayakan. Apapun yang belum kita lihat
bahayanya, kita berpikir ia baik. Jika kita belum melihat bahaya dari
benda-benda, kita tidak dapat melepaskannya.

        Pernahkah anda mengamatinya? Tak peduli bagaimana kotornya itu,
orang-orang tetap senang padanya. Jenis dari 'kerja' ini tidaklah
bersih, tetapi meskipun anda tidak membayar orang-orang untuk
melakukannya, mereka dengan senang hati rela melakukannya. Terhadap
jenis pekerjaan kotor lainnya, meskipun jika anda membayar dengan
bayaran yang tinggi, orang-orang tidak mau melakukannya. Itu juga bukan
karena hal  tersebut adalah pekerjaan yang bersih, itu adalah pekerjaan
yang kotor. Tetapi mengapa orang-orang menyukainya? Bagaimana anda dapat
mengatakan bahwa orang-orang tersebut adalah pintar bila mereka
berperilaku seperti ini? Coba pikirkan.

        Pikirkanlah hal ini dengan cermat. Jika anda benar-benar ingin
berlatih, anda harus memahami perasaan anda. Sebagai contoh, di antara
para bhikkhu, samanera, atau umat awam, kepada siapa seharusnya kalian
bergaul? Jika kalian bergaul/berkumpul dengan orang yang suka bicara
banyak, mereka menyebabkan kalian bicara banyak juga.

        Orang-orang suka berkumpul dengan mereka yang suka mengobrol
banyak dan membicarakan hal-hal yang tidak karuan. Mereka bisa duduk dan
mendengarkannya selama berjam-jam. tetapi bila itu adalah mendengar
Dhamma, pembicaraan tentang latihan, tak banyak yang akan didengar.
Seperti bila memberikan percakapan Dhamma: Begitu saya mulai berkata...
'Namo Tassa Bhagavato'Baris pertama dari kata-kata penghormatan dalam
tradisi Pali, disebutkan sebelum memulai suatu percakapan Dhamma resmi.
'Evam' adalah kata pali untuk mengakhiri suatu percakapan/khotbah
Dhamma.... mereka semua mulai mengantuk. Mereka tidak berminat pada
percakapan ini sama sekali. Ketika saya telah sampai pada 'Evam', mereka
semua membuka mata dan terjaga. Setiap kali ada percakapan Dhamma,
orang-orang pada mengantuk. bagaimana mereka dapat memperoleh manfaatnya
dari ini kalau begitu?

        Ini adalah kesempatan kalian, sekarang kalian telah ditahbiskan.
Hanya ada satu kesempatan ini, jadi perhatikanlah baik-baik. Lihatlah
pada benda-benda/hal-hal dan pertimbangkan jalan mana yang akan kalian
pilih. Kalian sekarang bebas. Kemana kalian akan pergi dari situ? Kalian
sedang berdiri di persimpangan jalan antara jalan keduniawian dan jalan
Dhamma. Jalan mana yang akan kalian pilih? Inilah saatnya untuk
memutuskan. kalian sendirilah yang membuat pilihannya. Jika kalian
dibebaskan, itu adalah pada titik ini.***

1    Nibbana—Keadaan terbebasnya dari semua keadaan yang berkondisi
2    Kata bahasa Thai untuk "bhava" adalah 'pop', yang merupakan istilah
umum bagi pendengar khotbah Ajahn Chah. Ini umumnya dipahami dengan arti
'alam dari kelahiran-kembali'; pemakaian istilah ini di sini oleh Ajahn
Chah adalah sedikit tidak biasa, yang maksudnya menekankan pemakaian
yang lebih praktis daripada istilah tersebut.
3    Keduanya, baik semut-semut merah maupun telur-telurnya, digunakan
sebagai makanan di Timur-Laut Thailand. Sehingga penyerangan terhadap
sarang mereka bukanlah hal yang asing.
4    Baris pertama dari kata-kata penghormatan dalam tradisi Pali,
disebutkan sebelum memulai suatu percakapan Dhamma resmi. 'Evam' adalah
kata pali untuk mengakhiri suatu percakapan/khotbah Dhamma.


 _/\_ ^:)^ ^:)^ ^:)^ SEMOGA BERMANFAAT, SABBE SATTA BHAVANTU SUKHITATA..

 

anything