Numpang berpendapat...
Dalam Bahasa Indonesia sehari-hari, emosi sering diartikan sebagai "tempramental", "marah", atau "naik darah"... Sama seperti penyimpangan makna pada "air putih", padahal air itu sebenarnya tidak berwarna putih.
Kembali ke makna sesungguhnya dari "emosi" itu sendiri, menurut saya emosi itu tidak selamanya diartikan sebagai "panas kepala".
Menurut saya pribadi... emosi adalah suatu dasar gejolak batin. Emosi merupakan komponen dasar pembentuk "perasaan". Secara basis, perasaan adalah proses pengolahan yang terjadi di dalam batin setelah mendapat impuls berupa emosi. Emosi sendiri adalah respon alami yang muncul dari persepsi. Mekanismenya sangat halus, sehingga kadang emosi disamakan dengan gejolak perasaan. Respon alami ini terbentuk karena adanya kecenderungan batin (trend batin).
Dari apa yang saya pelajari dan amati, saya melihat bahwa emosi adalah respon batin awal yang menjadi perangkat dalam menyusun sebuah perasaan. Setidaknya manusia memiliki 6 jenis emosi, yaitu : “senang”, “sedih”, “kaget”, “marah”, “takut” dan “malu”. Emosi seperti senang, kaget dan malu adalah perangkat dasar yang menyusun perasaan tertarik. Sedangkan emosi seperti sedih, marah dan takut adalah perangkat dasar yang menyusun perasaan tidak puas. Sedangkan perasaan tidak terikat (nissarana) merupakan buah dari ketidakmelekatannya batin seseorang pada gejolak-gejolak emosi tadi.
Secara ringkas, emosi dan perasaan adalah berbeda. Misalnya : Paduan dari emosi sedih, takut dan marah membentuk "perasaan putus asa". Paduan dari emosi senang, kaget dan malu membentuk "perasaan terharu". Paduan dari emosi senang dan sedih membentuk "perasaan bingung", dsb.
Saya kurang memiliki pengetahuan yang luas mengenai istilah-istilah Abhidhamma. Karena itu, apakah "emosi" memiliki istilah dan ruang penjelasan tersendiri di lingkup Abhidhamma?
Selama saya mendalami Buddhisme, saya selalu berusaha menyadari gejolak perasaan yang muncul ketika suatu kejadian menimpa saya. Misalnya ketika saya berhasil mencapai suatu keberhasilan, saya berusaha menyadari perasaan saya yang mengalir ini. Saya merasa lebih bersemangat, otot-otot di pipi saya mulai mengembang, dan jantung lebih berdegup kencang. Setelah saya mengamati, saya merasakan adanya persepsi "bangga", "puas", "lega", dll. Dan setelah memeriksa secara detil, perasaan bahagia saya itu tidaklah lebih dari paduan emosi "senang" dan "kaget" pada beberapa kejadian dan keberhasilan kecil lainnya. Sejak saat itu saya terus berusaha menjelajah setiap perasaan lain yang muncul.
Karena itu, saya rasa emosi merupakan jembatan antara persepsi dengan perasaan. Bahkan emosi seperti malu (hiri) dan takut (otapa) menjadi modal awal yang akan menjadi panduan bagi putthujana untuk bertindak di dalam Dhamma.