Demikianlah Theravāda bersikeras bahwa Abhidhamma Theravāda telah diajarkan Sang Buddha di surga Tāvatiṁsa selama pengasingan diri musim hujan-Nya yang ketujuh. Mahāyāna menyatakan bahwa sūtra-sūtra Mahāyāna ditulis pada masa Sang Buddha, disimpan di alam naga di bawah laut, kemudian didapatkan kembali oleh Nāgārjuna 500 tahun kemudian. Zen menyatakan otoritas dari suatu transmisi oral esoteris di luar kitab suci yang berasal dari Mahā Kassapa, yang disimbolkan oleh senyuman Mahā Kassapa ketika Sang Buddha memegang sekuntum teratai.
[at] Shinichi & yang lain:
Ada beberapa mitos yang saya belum banyak baca/dengar, kalau ingat atau punya sumbernya, boleh dishare:
*Konsili tandingan Mahayana, eksklusif bodhisatva, dipimpin Samantabhadra dengan pembacaan vinaya oleh Maitreya, pembacaan sutra oleh Vajrapani, dan abhidharma oleh Manjusri.
*"Wawancara" Maitreya oleh tokoh Yogacara, Asanga.
*Yajnavalkya orang yang mendengar langsung ajaran Buddha yang dalam lalu masuk meditasi selama ratusan tahun, dan bangun lagi di masa orang-orang belajar cuma "kulit-kulitnya ajaran Buddha" dan menjelaskan ajaran "sesungguhnya".
Bonus: Kisah antagonis Devadatta tidak ada dalam Mahasangika dan turunannya, hanya ada pada kubu Sthaviravada. Mungkin ada yang bisa kasih info tambahan?
mitos mengenai tercerahkannya siddharta oleh alat musik yang terlalu kencang atau kendur.
kalau ketika lahir berjalan 7 langkah trus ngomong, itu mitos bukan?
eh ga nyambung sama pengukuhan sekte ya :D
Sekte itu didefinisikan apa dulu?Memang definisi sekte ini agak-agak 'buram'. Ada juga kasus di vihara sama tapi orang-orangnya punya pendapat yang berbeda, dikenali sebagai kelompok berbeda, dan akhirnya jadi sekte tersendiri. Biasa tidak ada pengukuhan separasi atau organisasi seperti sekarang, tapi untuk kemudahan, kita pakai ukuran umum saja, yaitu yang punya sistem pengajaran yang beda/khas.
Yg saya bisa langsung ingat: mitos pendirian aliran Zen.
Buddha menghirup wangi bunga dan Mahakasyapa tersenyum.
Aliran Yogacara
Arya Asanga dibawa oleh Maitreya ke surga Tusita dan menerima ajaran disana
untuk aliran-aliran belakangan yg merupakan cabang, kadang mitos itu bukan mitos tentang Buddha, tetapi mitos tentang guru pendiri aliran tersebut. Jadi memang ga ada di literatur awalIya, biasanya berhubungan dengan guru/tokoh alirannya, dan beberapa menyinggung tentang masa Buddha seperti kitab alam naga itu menyangkut Buddha mengajarkan langsung, tapi tersimpan di alam naga dan diambil Nagarjuna.
mitos mengenai tercerahkannya siddharta oleh alat musik yang terlalu kencang atau kendur.Iya, yang musik itu mitos seputar pengukuhan kenikmatan indria berlabel dhamma, dan yang 7 langkah itu mungkin untuk menambah kesan luar biasa, tapi sepertinya ga hubungan dengan sekte tertentu.
kalau ketika lahir berjalan 7 langkah trus ngomong, itu mitos bukan?
eh ga nyambung sama pengukuhan sekte ya :D
Nanti coba gw cek lagi, beberapa kayaknya pernah dengar dan ada sumbernya di inet ;DSip, thanks.
[at] Shinichi & yang lain:
Ada beberapa mitos yang saya belum banyak baca/dengar, kalau ingat atau punya sumbernya, boleh dishare:
*Konsili tandingan Mahayana, eksklusif bodhisatva, dipimpin Samantabhadra dengan pembacaan vinaya oleh Maitreya, pembacaan sutra oleh Vajrapani, dan abhidharma oleh Manjusri.
*"Wawancara" Maitreya oleh tokoh Yogacara, Asanga.
*Yajnavalkya orang yang mendengar langsung ajaran Buddha yang dalam lalu masuk meditasi selama ratusan tahun, dan bangun lagi di masa orang-orang belajar cuma "kulit-kulitnya ajaran Buddha" dan menjelaskan ajaran "sesungguhnya".
Bonus: Kisah antagonis Devadatta tidak ada dalam Mahasangika dan turunannya, hanya ada pada kubu Sthaviravada. Mungkin ada yang bisa kasih info tambahan?
gimana dengan mitos kunjungan Sang Buddha ke srilanka?
gimana dengan mitos kunjungan Sang Buddha ke srilanka?
Itu cuma ada di Mahavamsa, teks aliran Theravada yg sifatnya sektarian.
Tapi teks mahayana juga ada, Lankavatara Sutra (Sutra turun ke Lanka). Settingnya di Lanka
"Thus have I heard. The Blessed One once stayed in the Castle of Laṅkā which is situated on the peak of Mount Malaya on the great ocean, and which is adorned with flowers made of jewels of various kinds.2 He was with a large assembly of Bhikshus and with a great multitude of Bodhisattvas, who had come together from various Buddha-lands."
Ooh ya, ada juga Lankavatara Sutra. Tapi ini juga sektarian Mahayana :)
wah pasti yg ini yang bener, bukan yg mahavamsa. Soalnya nyebut tokoh sejarah lain, raja rakshasa Ravana.....
pokoknya yg ini yg asli, yg lain salah :D
Abang serius? saya baru dengar nih ada konsili ini.Iya, kisah konsili tandingan itu biasanya ada di kalangan Mahayana untuk menjawab pertanyaan kenapa waktu konsili I tidak ada disinggung sutra-sutra Mahayana.
trus konsili ke-4 Raja Kanishka di Afganistan itu mitos atau bukan?Bukannya di Kashmir yah? Itu bukan mitos, memang Sarvastivada Vaibhasika mengadakan konsili 4 sendiri, terpisah dengan yang Theravada.
Abang serius? saya baru dengar nih ada konsili ini.
Ini menarik juga, sepertinya ada terjadi pemisahan sutra "Agama" yang diulang sebelum makan siang, dan sutra "Mahayana" setelah makan siang. Terlebih lagi ada pengulangan "Abhidharma" yang mana 3 dari 7 kitabnya dibuat oleh siswa belakangan (masa 100-300 tahun setelah mahaparinirvana).
[...] the assembly would first compile, for the sake of such, the Gâthâs (verses)[2] in which the Sûtra, Vinaya and Abhidharma[3] were treated in comprehensive brevity. This was done before the meal. They then proceeded to compile the Sûtras. Ânanda was requested by Mahâkâçyapa as well as by the Samgha to select and compile them.
Having gone through due formality and having reflected on the impermanence of things, he thought: "Among those Sûtras which I heard personally from Buddha, some are traditional,[4] some are preachings in the Nâga (Serpent) Palace,[5] others are preachings in the heavens.Ini lebih menarik lagi.
Ini menarik juga, sepertinya ada terjadi pemisahan sutra "Agama" yang diulang sebelum makan siang, dan sutra "Mahayana" setelah makan siang. Terlebih lagi ada pengulangan "Abhidharma" yang mana 3 dari 7 kitabnya dibuat oleh siswa belakangan (masa 100-300 tahun setelah mahaparinirvana).
Ini lebih menarik lagi.
Bayangkan kalau kita adalah satu perguruan generasi pertama, guru kita baru meninggal dan kita kompilasi ajarannya. Apakah sebagai generasi pertama akan menyebut ajaran yang baru akan dikompilasi itu sebagai tradisional (ajaran turun-temurun)?
Sepertinya ini komentar vinaya Sarvastivada yah? Ada perkiraan tahun penulisannya ga?
Terlepas dari hal-hal di atas, memang mungkin juga kisah-kisah ini yang menginspirasi pembentukan mitos belakangan pengajaran alam naga di Mahayana sebagaimana juga halnya pengajaran Tavatimsa. Tapi ironis juga kalau benar kisah itu meminjam literatur Sarvastivada, sebab isi kitab alam naga itu pada prinsipnya adalah membantah Abhidharmanya Sarvastivada.
Kalo gw gak salah mengartikan yang sebelum makan siang itu adalah pengulangan syair-syair (gatha) yang merupakan ringkasan dari ketiga Pitaka:Ya, sepertinya kira-kira gitu. Menarik sih, tapi belum bisa disimpulkan definisinya juga yah, jadi saya skip saja deh.
[...] the assembly would first compile, for the sake of such, the Gâthâs (verses)[2] in which the Sûtra, Vinaya and Abhidharma[3] were treated in comprehensive brevity. This was done before the meal. They then proceeded to compile the Sûtras. Ânanda was requested by Mahâkâçyapa as well as by the Samgha to select and compile them.
Baru setelah ini mereka memulai mengumpulkan sutra-sutra yang terdiri dari sutra tradisional (empat Nikaya awal?), sutra yang diajarkan di istana naga, dan di surga. Kemudian baru Vinaya dan Abhidharma disusun. Coba baca kisah lengkapnya pada link tsb.
Komentar penerjemahnya:Memang banyak kemungkinan. Untuk yang (b), kalau dalam tradisi Theravada, Buddha kan mengulang khotbah di mana Ananda tidak ada (sewaktu nego jadi pelayan tetap), jadi seharusnya walaupun Buddha khotbah ke X yang kemudian meneruskan ke Ananda, sesuai perjanjiannya, Buddha pun mengulang ke Ananda (karena waktu khotbah ke X, Ananda tidak hadir).
Does this mean that Buddha preached on some traditional subjects, or that some Sûtras deal with traditions, or that the first sermons of Buddha, such as were delivered for the five Bhikshus in Vârânasî before the conversion of Ânanda, were heard by him afterwards from Buddha's own mouth, or from those who were then present, in which case the term tradition would be used in the sense of hearsay? Judging from similar passages in some other works, the last sense seems to be most preferable.
The Mûlasarvâstivâda-nikâya-vinaya-samyuktavastu (the miscellaneous part of the Vinaya-text of the Sarvâstivâda school): Case Han, fas. II., pp. 87-93. (Translated by I-tsing, A.D. 710. 40 fasciculi.)Mula-Sarvastivada setahu saya memang beda dengan Sarvastivada, kemunculannya lebih belakangan.
Atau kemungkinan lain bahwa literatur (Mula-)Sarvastivada tsb dipengaruhi oleh gagasan Mahayanis yang belakangan seperti halnya yang terjadi dengan Ekottara Agama.
Mula-Sarvastivada setahu saya memang beda dengan Sarvastivada, kemunculannya lebih belakangan.
Sekitar 500-1000 tahun setelah Parinibbana Sang Buddha muncul aliran Mulasarvastivada (Sarvastivada akar) dan Vinaya-nya digunakan dalam aliran Mahayana Tibet saat ini. Menurut catatan Yijing, Mulasarvastivada juga berkembang di kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 M. Namun demikian, asal-usul aliran ini dan hubungannya dengan aliran Sarvastivada masih belum terungkap oleh para ahli. Menurut Bhikkhu Sujato dalam Sects and Sectarianism:
Ketidakpastian mengenai aliran ini telah membawa pada sejumlah hipotesis. Teori Frauwallner menyatakan bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah aturan disiplin dari komunitas Buddhis awal yang berbasis di Mathura, yang sangat independen dalam perkembangannya sebagai komunitas monastik dari Sarvāstivādin dari Kaśmir (walaupun tentu saja ini tidak berarti mereka berbeda dalam hal ajaran). Lamotte, berlawanan dengan Frauwallner, menyatakan bahwa Vinaya Mūlasarvāstivāda adalah penyusunan Kaśmīr yang belakangan untuk melengkapi Vinaya Sarvāstivāda. Warder menyatakan bahwa Mūlasarvāstivādin adalah perkembangan belakangan dari Sarvāstivāda, yang inovasi utamanya adalah tulisan, penyusunan Vinaya yang besar dan Saddharmasmṛtyupasthāna Sūtra, yang mengandung ajaran-ajaran awal tetapi membawa gaya tetap up to date pada masa perkembangan tulisan yang sezaman. Enomoto menarik kesimpulan dari semua teori ini dengan menyatakan bahwa Sarvāstivādin dan Mūlasarvāstivādin sebenarnya adalah sama. Sementara itu, Willemen, Dessein, dan Cox telah mengembangkan teori bahwa Sautrantika, suatu cabang atau kecenderungan dalam kelompok aliran Sarvāstivādin, muncul di Gandhāra dan Bactria sekitar tahun 200 M. Walaupun mereka adalah kelompok yang paling awal, mereka secara sementara kehilangan tanah pada aliran Kaśmīr Vaibhāśika disebabkan oleh pengaruh politik Kaṇiṣka. Dalam tahun-tahun belakangan Sautrantika menjadi dikenal sebagai Mūlasarvāstivādin dan mendapatkan kembali pengaruhnya.[254] Saya telah di tempat lain memberikan alasan saya untuk tidak setuju dengan teori dari Enomoto dan Willemen dkk. Baik Warder ataupun Lamotte tidak memberikan cukup bukti untuk mendukung teori mereka. Kita disisakan dengan teori Frauwallner, yang dalam hal ini bertahan dalam uji waktu.
Sekilas tentang Aliran-Aliran Buddhisme Awal (http://dhammacitta.org/forum/index.php/topic,24695.msg458606.html#msg458606)
Bonus: Kisah antagonis Devadatta tidak ada dalam Mahasangika dan turunannya, hanya ada pada kubu Sthaviravada. Mungkin ada yang bisa kasih info tambahan?
Devadatta as schismatic in the Mahāsaṅghika Vinaya
Contrary to Ray’s claim that ‘there is no overlap between the Mahāsaṅghika treatment [of Devadatta] and that of the five [Sthavira] schools’ (170), the Mahāsaṅghika Vinaya depicts Devadatta as the archetypal schismatic, in much the same way as the Sthavira Vinayas. This passage is found in the discussion of the pāṭimokkha rule on schism. Devadatta appears as a scoundrel trying to divide the Sangha, just as in all other Vinayas.
The only relevant difference is the grounds he is said to base his attempt on. Whereas the Sthavira Vinayas say he promulgated a set of ‘five points’, by which he tried to enforce an excessively ascetic lifestyle on the monks, the Mahāsaṅghika Vinaya omits the five points and attributes a much more comprehensive agenda to him. He corrupted the entire corpus of Buddhist literature, including the twelve sutras,23 the various categories of Vinaya offences, and the nine class of scripture (aṅgas). Not only did he change the texts, he taught the monks to use a different script and diverse dialects.
[....]
But Ray’s problems do not end there, for Devadatta does in fact appear as a schismatic in the Mahāsaṅghika Vinaya in the portions that are parallel to the Sthavira Skandhakas. There is a short paragraph depicting an episode of the Devadatta story, similar to that found in the Sthavira Vinayas. It describes how, intent on causing a schism, he took 500 monks away with him, and the discussion between the Buddha and Ānanda on this problem. Ray overlooks this passage, which undermines his entire thesis.
http://santifm.org/santipada/2010/why-devadatta-was-no-saint/ (http://santifm.org/santipada/2010/why-devadatta-was-no-saint/)
Untuk kisah Devadatta sebenarnya juga ditemukan dalam Vinaya Mahasanghika walaupun dengan detail yang berbeda dengan Vinaya Sthaviravada:Sip. Thanks infonya, Bang Shinichi.QuoteDevadatta as schismatic in the Mahāsaṅghika Vinaya
Contrary to Ray’s claim that ‘there is no overlap between the Mahāsaṅghika treatment [of Devadatta] and that of the five [Sthavira] schools’ (170), the Mahāsaṅghika Vinaya depicts Devadatta as the archetypal schismatic, in much the same way as the Sthavira Vinayas. This passage is found in the discussion of the pāṭimokkha rule on schism. Devadatta appears as a scoundrel trying to divide the Sangha, just as in all other Vinayas.
The only relevant difference is the grounds he is said to base his attempt on. Whereas the Sthavira Vinayas say he promulgated a set of ‘five points’, by which he tried to enforce an excessively ascetic lifestyle on the monks, the Mahāsaṅghika Vinaya omits the five points and attributes a much more comprehensive agenda to him. He corrupted the entire corpus of Buddhist literature, including the twelve sutras,23 the various categories of Vinaya offences, and the nine class of scripture (aṅgas). Not only did he change the texts, he taught the monks to use a different script and diverse dialects.
[....]
But Ray’s problems do not end there, for Devadatta does in fact appear as a schismatic in the Mahāsaṅghika Vinaya in the portions that are parallel to the Sthavira Skandhakas. There is a short paragraph depicting an episode of the Devadatta story, similar to that found in the Sthavira Vinayas. It describes how, intent on causing a schism, he took 500 monks away with him, and the discussion between the Buddha and Ānanda on this problem. Ray overlooks this passage, which undermines his entire thesis.
http://santifm.org/santipada/2010/why-devadatta-was-no-saint/
Itu cuma ada di Mahavamsa, teks aliran Theravada yg sifatnya sektarian.
http://www.sacred-texts.com/bud/lob/lob54.htm
Bonus: Kisah antagonis Devadatta tidak ada dalam Mahasangika dan turunannya, hanya ada pada kubu Sthaviravada. Mungkin ada yang bisa kasih info tambahan?
http://www.sacred-texts.com/bud/lob/lob54.htmYa, Mahasangika bukan tidak mengenal sosok Devadatta ini tapi kisah-kisah dan "komentar" tidak dimasukkan ke dalam kumpulan kitab suci mereka. Kisah ini ada beredar dan dicatat dalam sekte turunannya.
kemungkinan besar sumbernya dari lokotaravada..turunan mahasangika...
btw mengenai "turunan" ini kadang turunannya bisa beda jauh dgn induknya..semisal theravada di thai..salah 1 turunannya dhammakaya...