Logika Aneh Umat Buddha
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual”
...
Semoga kita semua berbahagia
sukhi hotu,
Fabian
Logika Aneh Umat Buddha
[...]
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,
[...]
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:
[...]
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,
“Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu
“para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.”
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinayatampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
[...]
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!
[...]
Kesimpulan:jangan pula dianggap benar dulu yah... :)
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.jangan lupa kalimat fifty-fifty tadi yah...
[...]
Semoga kita semua berbahagiaSemoga semua terbebas dari penderitaan
jangan pula dianggap benar dulu yah... :)
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah ;D
...
Kesimpulan:
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan
sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.Jadi isi Kalama Sutta menurut "Bhikkhu yang benar" dan "orang yang (merasa) tidak merasa pintar, cerdas, dan intelektual", adalah "jangan semata2 tidak percaya, kecuali sudah dibuktikan bahwa itu tidak benar". Lagi2, menarik... :)
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
...
Bukan buat dianggap sebagai kebenaran 'ilahi', bukan pula sebagai bahan uji coba bagi 'ilmuwan', tapi sebagai "cermin" untuk melihat bathin diri sendiri.Setuju, trus apakah Tripitaka harus di Ehipassiko terus?
jangan pula dianggap benar dulu yah... :)
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah ;D
Atau mungkinkah hal ini adalah keragu-raguan? ;D
Saya yakin ada alasan-alasan mengapa Theravada secara tradisi memegang kepercayaan Tipitaka benar kecuali terbukti salah.
Bukan buat dianggap sebagai kebenaran 'ilahi', bukan pula sebagai bahan uji coba bagi 'ilmuwan', tapi sebagai "cermin" untuk melihat bathin diri sendiri.Setuju, trus apakah Tripitaka harus di Ehipassiko terus?
Menurut saya,
Ajaran Buddha ini melampaui segalanya termasuk logika itu sendiri.
...
Karena logika itu terbatas,
"Logika loe apa logika gw?" <<< Ini pertanyaan yang akan dikembalikan bila kita bicara soal logika.
Wah, point yang bagus sekali!!
Abhinna BISA dijelaskan oleh logika orang yang melakukannya. Setiap orang yang melakukan Abhinna sejenis juga punya logika yang berbeda dalam penjelasannya. :)
sulit juga yah..
aye masih terjebak di antara dualisme "percaya" dan "ragu2" :)
rekan Fabian yg baik,
di sini Anda sudah berat sebelah jg dg menyatakan bhikkhu2 yg menolak sutta2 tertentu itu "salah" ber-Ehipassiko!
apa Anda sudah ber-Ehipassiko benar sehingga tau bahwa menolak sutta tertentu hasil dari Ehipassiko yg salah?
Anda tidak memakai kata "sebagian" atau "beberapa" atau "mungkin" oleh Bhikkhu...
kalimat Anda ini bersifat menvonis langsung lho...
sebaiknya rekan Fabian jg memulai dg tidak menerima ataupun menolak (yg fifty-fifty tsb).
tampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
Membaca Sutta secara Kritis
persis seperti kata rekan Fabian... bahwa Buddha menganjurkan utk membandingkan suatu ajaran apakah sesuai dg sutta & vinaya.
pertanyaan saya adalah: "Bagaimana bisa timbul anjuran yg merujuk ke sutta apabila sutta baru disusun setelah Sang Buddha parinibbana?"
jangan pula dianggap benar dulu yah... Smiley
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah
jangan lupa kalimat fifty-fifty tadi yah...
QuoteSemoga kita semua berbahagiaSemoga semua terbebas dari penderitaan
Apakah karena sudah "beragama Buddha", jadinya punya semacam kewajiban meyakini kebenaran Tipitaka?
Jadi, kita anggap Tipitaka itu benar dahulu, sampai terbukti salah? Jadi itu yang dimaksudkan fabian c sebagai 'ehipassiko' yang benar yah? Jadi urutannya "Saddha" dulu baru "ehipassiko" yah? Sungguh menarik. Persis di tetangga.
Jadi isi Kalama Sutta menurut "Bhikkhu yang benar" dan "orang yang (merasa) tidak merasa pintar, cerdas, dan intelektual", adalah "jangan semata2 tidak percaya, kecuali sudah dibuktikan bahwa itu tidak benar". Lagi2, menarik... Smiley
Aneh, saya kok ngerti yah apa yang Fabian katakan :)
Perlu diketahui maksud dari Ehipassiko dalam Dhammanussati, yaitu Ehipassiko adalah salah satu sifat Dhamma bukan salah satu cara berpikir, dan saya rasa tak ada satu khotbahpun dari Sang Buddha yang mengatakan kita harus meyakini sesuatu, walaupun Sang Buddha juga mengajarkan kita mengenai Saddha.Ya, memang betul.
Coba dibaca lagi Kalama sutta, apakah dikatakan kita hanya boleh menerima bila hal itu sesuai dengan logika kita? berikut cuplikannya:Memang begitu, yang berarti bukan juga dianggap benar ataupun tidak benar berdasarkan logika, sampai itu dibuktikan salah atau benar, yang juga berdasarkan logika.
When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
Jika kita tahu bahwa hal-hal ini (qualities) baik, hal-hal ini tak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal-hal ini jika diterima dan dijalankan atau dengan kata lain bila dipraktekkan, akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka......
When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
Jika kita tahu bahwa hal-hal ini (qualities) baik, hal-hal ini tak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal-hal ini jika diterima dan dijalankanatau dengan kata lain bila dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka......
sebenarnya kita praktek tiap hari loh, aku menyebutnya perspektif (pandangan) daripada logika. karena sebagai manusia pandangan kita terbatas (contoh pandangan mata ada jaraknya demikian juga dengan pikiran dalam hal ini logika) tetapi kita bisa toh meluaskan jarak pandang kita dengan alat bantu misal nya kacamata, teropong, priskroskop, microskop, sampai hubble dan microskop electron.
nah alat bantu nya apa kalo dalam hal logika (nah temukan sendiri yahh) akan lebih berharga bila menemukan sendiri
Sering orang berpikir untuk menolak lebih dahulu sebelum membuktikan, seharusnya membuktikan lebih dahulu.......baru..... bersikap.setuju sekali...
Oleh karena itu bagi orang yang belum merealisasi Dhamma (belum mempraktekkan Dhamma), maka ia sebaiknya menerima dengan "presume innocence", jangan langsung ditolak mentah-mentah begitu saja hanya karena ia belum mengalaminya. Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)saya belum merealisasikan dhamma, saya prefer "not to presume"...
tentunya informasi dari rekan Fabian akan menjadi salah satu input bagi saya.Quotesebaiknya rekan Fabian jg memulai dg tidak menerima ataupun menolak (yg fifty-fifty tsb).
saya tidak hanya belajar teori, dan menurut saya setelah berlatih meditasi lalu membandingkan kembali dengan sutta, saya tidak melihat bahwa hal itu bertentangan. Sepanjang meditasi yang kita lakukan adalah meditasi yang sejalan dengan kitab suci Tipitaka, bukan meditasi non Buddhis.
Saudara Tesla mungkin belum memahami maksud saya. Maksud tulisan saya adalah ajaran Sang Buddha seringkali memerlukan praktek untuk bisa membuktikannya, jadi jangan kita menolak ajaran Sang Buddha hanya bila tidak sesuai dengan logika kita (karena Dhamma harus dialami, bukan di logika-kan), kita boleh tolak bila ternyata setelah dipraktekkan ternyata tidak sesuai, atau tidak membawa manfaat.yah... saya sih belum bisa praktek sampai bisa membuktikan Benar atau Salahnya salah satu sutta, tapi saya juga menghapus asumsi awal saya yg berupa Bhikkhu (& umat) yg menolak beberapa sutta belum ber-praktek, namun hanya berasumsi awal. Kemungkinan mereka telah berpraktek melebihi yg menerima sutta tsb jg ada.
mengenai hal ini dilanjutkan di topik bersangkutan saja :)Quotetampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
Membaca Sutta secara Kritis
Saudara Tesla, saya sudah membaca thread tersebut, entah karena saya kurang kritis atau gimana, saya tidak mempermasalahkan Dhamma dan Sutta berbeda, karena Sutta adalah khotbah Sang Buddha dan para Arahat, dan Dhamma yang dimaksud adalah ajaran Sang Buddha (bukan ajaran orang lain), jadi Dhamma dan sutta saya anggap sama, Dhamma yang diajarkan oleh para Arahat saya anggap sama saja dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha, karena Mereka semua adalah "penembus dhamma" Dhamma yang mereka realisasikan sama. Ini Senada dengan kata-kata Sang Buddha "who sees the Dhamma, see me"
Harus saya ulangi seperti yang ada dalam postingan saya, bukan berarti kita percaya membuta, maksudnya kita melihat Tipitaka secara positif, yaitu: ini pandangan umat Buddha, ini referensi tertinggi.yah itu terserah preferensi masing-masing lah...
Tipitaka mungkin salah (ini yang dimaksud fifty-fifty), tetapi saya menganggap benar sebelum terbukti salah.
dihapal memang benar...Quotepersis seperti kata rekan Fabian... bahwa Buddha menganjurkan utk membandingkan suatu ajaran apakah sesuai dg sutta & vinaya.
pertanyaan saya adalah: "Bagaimana bisa timbul anjuran yg merujuk ke sutta apabila sutta baru disusun setelah Sang Buddha parinibbana?"
Nah ini adalah perbedaan pandangan. Setahu saya sutta tidak disusun, tetapi sutta disampaikan secara oral oleh Siswa-siswa Sang Buddha langsung, kemudian disampaikan secara oral dari guru ke murid (dari Bhikkhu senior ke bhikkhu junior) dan itu berlangsung hingga beberapa ratus tahun.
Mengapa Tipitaka bertahan sekian lama? Karena Tipitaka dihafal mati... !!! (sebelum akhirnya ditulis di daun lontar) oleh para siswa-siswa penghafal (bhanaka) Jumlah Bhikkhu di masa lampau jumlahnya mencapai ratusan ribu sehingga menghafal Tipitaka tidak terlalu sulit jika penghafalannya dibagi-bagi oleh ribuan Bhikkhu (Kita lihat saja jumlah bhikkhu di Thai dan Myanmar) hafal mati inipun masih kadang dilakukan. Bahkan oleh umat, pada lomba baca Dhammapada misalnya (a,i,u harus dibaca pendek dsbnya).menurut saya bisa bertahan lebih lama karena dituliskan. bukan sekedar dihafal.
pada periode-periode tertentu para siswa penghafal ini berkumpul dan mengulang kembali (konsili pertama dan kedua semua Arahat), mereka lalu menyaring mana sutta yang otentik dan yang tidak otentik (kriterianya adalah: yang pengertiannya tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha / tidak bertentangan dengan sutta-sutta lainnya. Sutta tidak selalu khotbah Sang Buddha, tetapi bisa juga khotbah Arahat), kalau ingin lebih jelas mengenai hal ini boleh baca Dipavamsa, Mahavamsa, Kathavatthu dll)konsili pertama pesertanya adalah arahat, jadi kata siapa yg perlu disaring kalau mereka adalah arahat?
yah... preferensi kembali kepada masing2.Quotejangan pula dianggap benar dulu yah... Smiley
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah
pandangan saudara Tesla saya rasa cukup fair... dan baik....
Tetapi pandangan saya agak berbeda, saya sudah mengatakan banyak sekali sutta yang saya bandingkan dengan pengalaman meditasi (maksudnya membaca kembali sutta-sutta lalu bandingkan dengan pengalaman meditasi yang lalu), ternyata sejalan. Demikian banyak guru meditasi Buddhis yang mempraktekkan meditasi lalu mereka setuju bahwa ajaran Sang Buddha yang termaktub dalam kitab suci Tipitaka ternyata benar setelah mereka praktekkan.
sejauh ini saya melihat bahwa memang tidak semua ajaran Sang Buddha yang masuk logika atau sudah saya praktekkan, contohnya mengenai surga dan neraka umpamanya, tetapi bukan berarti saya harus menolak kan? nah inilah contoh jelas sikap saya terhadap Tipitaka.saat ini saya sudah mengabaikan hal2 demikian...
QuoteQuoteSemoga kita semua berbahagiaSemoga semua terbebas dari penderitaan
Iya deh tambahin biar lebih afdol.... :) _/\_
sukhi hotu...
Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.Justru sebaliknya,saya mengganggap ehipassiko adalah jalan menuju dhamma dan merupakan inti ajaran SB,di sutta manakah pernah saudara fabian lihat SB tidak menganjurkan ehipassiko sebagaimana mestinya?:)
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.Anda terlalu cepat menilai saudara fabian...Sebelum "aku" kita padam tidak seharusnya kalimat itu terlontarkan...
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.Logika atau bukan siapa yang tahu?Apakah anda mengetahuinya?
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,Kalau anda berkenan,tolong ditranslate kan ke dalam bahasa indonesia,berhubung talenta dan inteligensi saya sangat rendah...:))
"So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:
"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya.Saya setuju sampai pada bagian ini...
Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.Sutta mana yang anda maksudkan?Sutta sangat banyak dan bertumpukan di dunia ini,mana yang benar mana yang salah?Mana yang mulut SB,mana yang bukan mulut SB?
Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”Saya meragukan sutta ini.....Sutta yang mana yang SB maksudkan disini?
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,Lho,bukankah sebelumnya dianjurkan "kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya."
“Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaituSekarang saya tanyakan kembali,"Sutta yang mana yang dimaksudkan oleh SB?"
“para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.”
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?Ya...Semoga anda mengingat kalimat ini... :)
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan VinayaLagi2,"Sutta yang mana bro fabian?"
Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak.Darimana anda tahu bahwa sutta tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan kerangka pikiran mereka?Apakah anda sudah "mantap" sampai berani melontarkan pernyataan seperti diatas?
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).:o
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!Sekali lagi saya tanyakan,"Darimana anda tahu mereka membandingkan dengan logika atau bukan?" Itu hanya spekulasi anda belaka... :)
Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.Saya sih tidak peduli ehipassiko itu diartikan sebagai apa dan oleh siapa..
Kesimpulan:Saya juga mau memberi kesimpulan :
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).Hehehe,aneh aneh dan aneh...
tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).Saya tidak menerima kedua saran diatas...
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?Dan anda sudah menyarankan secara "sepihak" untuk mengambil salah 1 prinsip yang anda lontarkan diatas dan menghindari prinsip lainnya.. :)
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.Sekali saya tanyakan,"Darimana anda tahu itu berdasarkan logika atau bukan?"
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.Ini adalah pandangan anda,saya menghargainya tapi saya mau berkata sedikit bahwa,"kebenaran ada dimana2,tidak perlu dicari,dan kebenaran itu tepat berada didalam hati kita sendiri,bukan diluar hati kita bahkan dihati seorang SammaSambuddha sekalipun..."
Quote from: fabian c on Today at 05:43:34 PMKalo aye lihat sikon dulu ah ;D
Sering orang berpikir untuk menolak lebih dahulu sebelum membuktikan, seharusnya membuktikan lebih dahulu.......baru..... bersikap.
setuju sekali...
sering kali kita sudah memiliki asumsi awal sebelum membuktikan.
bisa berasumsi "menolak (ini salah)"
bisa jg berasumsi "menerima (ini benar)"
sebaiknya asumsi demikian diabaikan saja jika muncul dalam pikiran kita Grin
QuoteKalo saya mau menjalani sesuatu harus yakin dulu aman atau tidak, baik atau buruk ;D
Oleh karena itu bagi orang yang belum merealisasi Dhamma (belum mempraktekkan Dhamma), maka ia sebaiknya menerima dengan "presume innocence", jangan langsung ditolak mentah-mentah begitu saja hanya karena ia belum mengalaminya. Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)
saya belum merealisasikan dhamma, saya prefer "not to presume"...
mengenai kalimat terakhir dalam quote tsb:
Pemikiran ini dilakukan oleh bhikkhu maupun umat awam (saya tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya)
terus terang saya tidak mengerti maksud rekan Fabian dg "tidak mengatakan sebagian atau seluruhnya..."
Quoteaye juga blom ehipasiko nih ;D
Quote
sebaiknya rekan Fabian jg memulai dg tidak menerima ataupun menolak (yg fifty-fifty tsb).
saya tidak hanya belajar teori, dan menurut saya setelah berlatih meditasi lalu membandingkan kembali dengan sutta, saya tidak melihat bahwa hal itu bertentangan. Sepanjang meditasi yang kita lakukan adalah meditasi yang sejalan dengan kitab suci Tipitaka, bukan meditasi non Buddhis.
tentunya informasi dari rekan Fabian akan menjadi salah satu input bagi saya.
tetapi utk saya sendiri, apakah itu menerima atau menolak, harus saya sendiri yg ber-Ehipassiko.
QuoteBagi saya sutta itu hanyalah rakit, jadi mau apapun kita yang menentukan ;D
Saudara Tesla mungkin belum memahami maksud saya. Maksud tulisan saya adalah ajaran Sang Buddha seringkali memerlukan praktek untuk bisa membuktikannya, jadi jangan kita menolak ajaran Sang Buddha hanya bila tidak sesuai dengan logika kita (karena Dhamma harus dialami, bukan di logika-kan), kita boleh tolak bila ternyata setelah dipraktekkan ternyata tidak sesuai, atau tidak membawa manfaat.
yah... saya sih belum bisa praktek sampai bisa membuktikan Benar atau Salahnya salah satu sutta, tapi saya juga menghapus asumsi awal saya yg berupa Bhikkhu (& umat) yg menolak beberapa sutta belum ber-praktek, namun hanya berasumsi awal. Kemungkinan mereka telah berpraktek melebihi yg menerima sutta tsb jg ada.
Quote
Quote
tampaknya rekan Fabian belum membaca mengenai kejanggalan dalam Mahaparinnibana sutta dalam thread ini:
Membaca Sutta secara Kritis
Saudara Tesla, saya sudah membaca thread tersebut, entah karena saya kurang kritis atau gimana, saya tidak mempermasalahkan Dhamma dan Sutta berbeda, karena Sutta adalah khotbah Sang Buddha dan para Arahat, dan Dhamma yang dimaksud adalah ajaran Sang Buddha (bukan ajaran orang lain), jadi Dhamma dan sutta saya anggap sama, Dhamma yang diajarkan oleh para Arahat saya anggap sama saja dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha, karena Mereka semua adalah "penembus dhamma" Dhamma yang mereka realisasikan sama. Ini Senada dengan kata-kata Sang Buddha "who sees the Dhamma, see me"
mengenai hal ini dilanjutkan di topik bersangkutan saja Smiley
Quoteikut yang mana yah? ;D
Harus saya ulangi seperti yang ada dalam postingan saya, bukan berarti kita percaya membuta, maksudnya kita melihat Tipitaka secara positif, yaitu: ini pandangan umat Buddha, ini referensi tertinggi.
Tipitaka mungkin salah (ini yang dimaksud fifty-fifty), tetapi saya menganggap benar sebelum terbukti salah.
yah itu terserah preferensi masing-masing lah...
rekan Fabian mau pakai azas praduga tak bersalah,
saya lebih suka utk tidak berpraduga (baik bersalah ataupun tidak).
Quoteyang lalu biarlah berlalu ;D
Quote
persis seperti kata rekan Fabian... bahwa Buddha menganjurkan utk membandingkan suatu ajaran apakah sesuai dg sutta & vinaya.
pertanyaan saya adalah: "Bagaimana bisa timbul anjuran yg merujuk ke sutta apabila sutta baru disusun setelah Sang Buddha parinibbana?"
Nah ini adalah perbedaan pandangan. Setahu saya sutta tidak disusun, tetapi sutta disampaikan secara oral oleh Siswa-siswa Sang Buddha langsung, kemudian disampaikan secara oral dari guru ke murid (dari Bhikkhu senior ke bhikkhu junior) dan itu berlangsung hingga beberapa ratus tahun.
dihapal memang benar...
jadi kotbah sang Buddha itu ada sangat banyak mengingat masa karir yg puluhan tahun.
kotbah itu dihapal & disusun dalam bentuk sutta pitaka.
btw, saya tidak sedang mencoba memaksakan pemikiran saya ke rekan Fabian, ini diskusi terbuka.
semoga bermanfaat!
Quote
Mengapa Tipitaka bertahan sekian lama? Karena Tipitaka dihafal mati... !!! (sebelum akhirnya ditulis di daun lontar) oleh para siswa-siswa penghafal (bhanaka) Jumlah Bhikkhu di masa lampau jumlahnya mencapai ratusan ribu sehingga menghafal Tipitaka tidak terlalu sulit jika penghafalannya dibagi-bagi oleh ribuan Bhikkhu (Kita lihat saja jumlah bhikkhu di Thai dan Myanmar) hafal mati inipun masih kadang dilakukan. Bahkan oleh umat, pada lomba baca Dhammapada misalnya (a,i,u harus dibaca pendek dsbnya).
menurut saya bisa bertahan lebih lama karena dituliskan. bukan sekedar dihafal.
terlebih Tipitaka mengandung dhamma yg merupakan salah satu permata.
Quote
pada periode-periode tertentu para siswa penghafal ini berkumpul dan mengulang kembali (konsili pertama dan kedua semua Arahat), mereka lalu menyaring mana sutta yang otentik dan yang tidak otentik (kriterianya adalah: yang pengertiannya tidak bertentangan dengan ajaran Sang Buddha / tidak bertentangan dengan sutta-sutta lainnya. Sutta tidak selalu khotbah Sang Buddha, tetapi bisa juga khotbah Arahat), kalau ingin lebih jelas mengenai hal ini boleh baca Dipavamsa, Mahavamsa, Kathavatthu dll)
konsili pertama pesertanya adalah arahat, jadi kata siapa yg perlu disaring kalau mereka adalah arahat?
kalau konsili berikutnya okelah...
btw akhirnya kita jadi maen logika, bukan ehipassiko Tongue
ntar jgn lupa kita ehipassiko dalam pengalaman bathin kita sendiri Smiley
Quoteapalagi kalau yang udah ehipasiko ga taunya malah tersesat ;D
Quote
jangan pula dianggap benar dulu yah... Smiley
sebaiknya kita mulai dari netral...
tidak tahu apakah benar atau salah
pandangan saudara Tesla saya rasa cukup fair... dan baik....
Tetapi pandangan saya agak berbeda, saya sudah mengatakan banyak sekali sutta yang saya bandingkan dengan pengalaman meditasi (maksudnya membaca kembali sutta-sutta lalu bandingkan dengan pengalaman meditasi yang lalu), ternyata sejalan. Demikian banyak guru meditasi Buddhis yang mempraktekkan meditasi lalu mereka setuju bahwa ajaran Sang Buddha yang termaktub dalam kitab suci Tipitaka ternyata benar setelah mereka praktekkan.
yah... preferensi kembali kepada masing2.
metoda kita, tidak ada yg lebih baik atau lebih buruk.
yg buruk adalah kalau kita memaksakannya kepada orang lain.
Quotesudah banyak kok yang membuktikannya ;D
sejauh ini saya melihat bahwa memang tidak semua ajaran Sang Buddha yang masuk logika atau sudah saya praktekkan, contohnya mengenai surga dan neraka umpamanya, tetapi bukan berarti saya harus menolak kan? nah inilah contoh jelas sikap saya terhadap Tipitaka.
saat ini saya sudah mengabaikan hal2 demikian...
tidak menolak & menerima... dan jg tidak berniat utk membuktikannya lagi...
pertanyaan pikiran tentang alam "surga & neraka" sudah saya abaikan (walau kadang2 masih muncul).
Quote
Quote
Quote
Semoga kita semua berbahagia
Semoga semua terbebas dari penderitaan
Iya deh tambahin biar lebih afdol.... Smiley Namaste
sukhi hotu...
Namaste
QuoteIya deh tambahin biar lebih afdol.... :) _/\_QuoteSemoga kita semua berbahagiaSemoga semua terbebas dari penderitaan
QuoteIya deh tambahin biar lebih afdol.... :) _/\_QuoteSemoga kita semua berbahagiaSemoga semua terbebas dari penderitaan
tambahan:
btw saya bukan bermaksud menambahin rekan Fabian yah... :P
dalam hal ehipassiko, saya sependapat sekali dg kalimat Ajahn Chah yg ini:
“Joy at last to know there's no happiness in the world.“
saya tidak mengharapkan orang/mahkluk lain berbahagia lagi, sebaliknya saya berharap orang/mahkluk lain mengetahui tidak ada kebahagiaan di dunia (to know there's no happiness in the world).
Wah saudara Tesla bagus sekali mengutip pendapat Acharn Chah, walaupun saya membatasi diri untuk tidak berpatokan kepada Bhikkhu atau umat Buddha tertentu (patokan saya sebagai umat Buddha adalah Tipitaka, bukan orang tertentu) tapi saya juga mau komentar sedikit mengenai ucapan Acharn Chah....
Bagi seorang Acharn Chah, ini mungkin yang dimaksud beliau adalah Nibbana. Nibbana yang sesungguhnya menurut Tipitaka memiliki satu rasa, yaitu "taste of liberation", liberation yang dimaksud adalah liberation dalam hal terbebas dari suka dan duka batin maupun jasmani, dengan kata lain terbebas dari fenomena batin maupun jasmani. inilah yang dimaksud dengan "joy" nya Acharn Chah. yaitu Joy setelah melihat bahwa suka dukkha tak ada (telah lenyap).sederhananya, ketika kita bebas dari beban apakah itu beban kepemilikan atau beban kehilangan. disitulah joy tsb muncul.
Tetapi bagi seorang meditator jaman sekarang yang semuanya adalah Neyya puggala, berlatih 3 sampai sepuluh hari intensif, bila ia menyatakan bahwa ia mengalami hal demikian, itu bukan Nibbana tetapi "mental idleness" yaitu kelambanan atau kemalasan batin. (biasanya berasosiasi dengan rasa enggan atau malas, yaitu malas memperhatikan) atau bisa juga terjadi di malam hari pada saat badan mulai lelah.saya melihat rekan Fabian telah memiliki standar bahwa meditator zaman skr yg hanya meditasi intensif 3~10 hari tidak akan merealisasikan nibbana...
Pengalaman Nibbana hanya bisa dicapai oleh meditator yang batinnya telah jernih, ia merasa segar, karena perasaan perasaan negatif seperti rasa malas, enggan, ngantuk dsbya (yang termasuk 5 nivarana) telah bisa diatasi.utk pengalaman nibbana saya belum sampai & tidak tahu :P
Untuk menjernihkan batin ini memerlukan waktu dan tak terjadi secara tiba-tiba. Theravada tidak menganut paham Satori seperti dalam Zen, semuanya terjadi melalui "proses gradual", setelah mampu melakukan ini, baru bisa melakukan itu (setelah mengerti atau bisa pelajaran SD baru bisa mencerna pelajaran SMP).
Semoga kita semua berbahagia dan bebas dari penderitaan, (pernyataan ini wajar diucapkan oleh orang yang belum mencapai tingkat kesucian Arahat).menurut saya orang miskin pun berhak mendoakan orang kaya agar lebih kaya lagi ^-^
saya melihat rekan Fabian telah memiliki standar bahwa meditator zaman skr yg hanya meditasi intensif 3~10 hari tidak akan merealisasikan nibbana...
dg demikian rekan Fabian telah membentuk apa itu nibbana dalam diri rekan Fabian, yaitu sesuatu yg harus dicapai melebihi meditasi intensif 3~10 hari (atau bahkan lebih).
bagi saya itu beban...
bila saya memikul beban demikian, semakin lama saya tambah lelah, letih, lamban & mungkin akan malas...Jika dengan memberitahu demikian, saudara Tesla mengalami kemunduran batin seperti itu saya mohon maaf, saya tidak menyangka hanya dengan membaca hal seperti itu saudara Tesla menjadi begitu.... sekali lagi saya mohon maaf, karena tujuan saya memposting tanggapan itu adalah untuk kemajuan batin dan pengertian yang baik bagi kita semua...
dg melepas beban yg saya punya & ketahui, saya semakin mengalami "joy" tsb... saya semakin ringan, lega... kebalikan dari lamban & malas...
Gak cape yah?
rekan Fabian salah memahami...
saudara Tesla yang baik,
Saya hanya akan mengomentari sedikit reply saudara,Quotesaya melihat rekan Fabian telah memiliki standar bahwa meditator zaman skr yg hanya meditasi intensif 3~10 hari tidak akan merealisasikan nibbana...
Saya sih memang beranggapan demikian... entah kalau saudara Tesla menemukan ada meditator yang telah merealisasi Nibbana dalam waktu 3-10 hari....Quotedg demikian rekan Fabian telah membentuk apa itu nibbana dalam diri rekan Fabian, yaitu sesuatu yg harus dicapai melebihi meditasi intensif 3~10 hari (atau bahkan lebih).
Saya rasa tulisan saya diatas tidak membentuk Nibbana dalam diri saya, tetapi kalau saya beranggapan bahwa bagi meditator jaman sekarang untuk mencapai Nibbana diperlukan waktu lebih dari 10 hari, itu memang benar.
Mungkin saudara Tesla tahu seseorang yang meditasi kurang dari 10 hari telah mencapai Nibbana? Bisa dikenalkan?
Anumodana...Quotebagi saya itu beban...
bagi saya sih cuma sekedar tahu tidak menjadi beban, toh itu tidak dipikirkan, cuma sekedar tahu.... :)Quotebila saya memikul beban demikian, semakin lama saya tambah lelah, letih, lamban & mungkin akan malas...Jika dengan memberitahu demikian, saudara Tesla mengalami kemunduran batin seperti itu saya mohon maaf, saya tidak menyangka hanya dengan membaca hal seperti itu saudara Tesla menjadi begitu.... sekali lagi saya mohon maaf, karena tujuan saya memposting tanggapan itu adalah untuk kemajuan batin dan pengertian yang baik bagi kita semua...
pengetahuan itu sendiri adalah netral...Quotedg melepas beban yg saya punya & ketahui, saya semakin mengalami "joy" tsb... saya semakin ringan, lega... kebalikan dari lamban & malas...
Ahh sukurlah.... kalau pengetahuan itu menjadi beban bagi anda, maka sebaiknya memang dilepas, sukurlah anda menjadi ringan dan lega kembali saya ikut bermudita citta....
Saya sendiri tidak tahu bagaimana caranya melepas pengetahuan yang saya miliki (yang saudara anggap beban) coba tolong ajarkan saya caranya... terima kasih sebelumnya...
(((Semoga anda berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))_/\_
_/\_
Theravada tidak menganut paham Satori seperti dalam Zen, semuanya terjadi melalui "proses gradual"
ketika itulah 5 niravana yg rekan Fabian katakan mengendap...
kemudian dalam kegiatan sehari2, secara tak sadar saya mengumpulkan beban2 lagi.
memikulnya lagi... dan akhirnya 5 niravana itu ada lagi...
Quoteketika itulah 5 niravana yg rekan Fabian katakan mengendap...
kemudian dalam kegiatan sehari2, secara tak sadar saya mengumpulkan beban2 lagi.
memikulnya lagi... dan akhirnya 5 niravana itu ada lagi...
Saudara Tesla yang baik...
Bolehkah sharing sedikit, bagaimanakah proses mengendapnya nivarana yang saudara Tesla katakan...?
Jadi diskusi kita bisa lebih nyambung, karena saya bisa lebih mengerti sudut pandang saudara Tesla...
_/\_
Neyya bisa mencapai pencerahan dalam waktu 7 hari.
http://www.triplegem.plus.com/individu.htmQuoteTheravada tidak menganut paham Satori seperti dalam Zen, semuanya terjadi melalui "proses gradual"
Bukannya theravada berpegangan kalau pencerahan hanya berbeda satu saat pikiran dengan belum tercerahkan? Satu saat belum mencapai magga dan phala, saat berikutnya magga dan saat berikutnya phala. "proses gradual" adalah pegangan Mahayana, di mana Bodhisattva memiliki kebijaksanaan (prajna) bertahap. Theravada memegang pencerahan seketika seperti Satori, tetapi proses jalan dan latihan yang dilakukan memang bertahap.
QuoteRe: Abhidhamma & vipassana
« Reply #665 on: 27 August 2008, 06:28:58 AM »
Reply with
from: fabian c on 20 August 2008, 05:20:33 PMQuoteSang Buddha mengatakan dalam salah satu sutta di Samyutta Nikaya yang isinya kurang lebih mengatakan bahwa Dhamma yang Beliau ajarkan tidak terjadi secara tiba-tiba, semuanya terjadi melalui proses yang bertambah lama bertambah dalam, bagai kemiringan lantai samudera (ocean slope). Mohon kalau ada para netter yang masih ingat nomer suttanya dengan tepat, mohon beritahukan kepada para netter yang lain.
Tentang ocean slope ini dari Anguttara Nikaya 8.157.
Mettacittena,
Luis
saudara Fabian yg baik, bukankah sudah saya katakan sebelumnya.Quoteketika itulah 5 niravana yg rekan Fabian katakan mengendap...
kemudian dalam kegiatan sehari2, secara tak sadar saya mengumpulkan beban2 lagi.
memikulnya lagi... dan akhirnya 5 niravana itu ada lagi...
Saudara Tesla yang baik...
Bolehkah sharing sedikit, bagaimanakah proses mengendapnya nivarana yang saudara Tesla katakan...?
Jadi diskusi kita bisa lebih nyambung, karena saya bisa lebih mengerti sudut pandang saudara Tesla...
_/\_
Jika dengan memberitahu demikian, saudara Tesla mengalami kemunduran batin seperti itu saya mohon maaf, saya tidak menyangka hanya dengan membaca hal seperti itu saudara Tesla menjadi begitu.... sekali lagi saya mohon maaf, karena tujuan saya memposting tanggapan itu adalah untuk kemajuan batin dan pengertian yang baik bagi kita semua...
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Oh ya terima kasih linknya, saya rasa itu hanya terjadi pada Neyya Puggala di jaman Sang Buddha, dimana pada saat itu lebih sedikit objek duniawi yang menyebabkan kekotoran batin (tak ada koran, TV, video, mobil, bom dsb).
Saudara-saudara yang baik, sepertinya ada kesalahpahaman dalam berbahasa.
Yang saya maksud dengan seketika adalah proses dari Anumola, Gotrabhu, ke Magga dan Phala.
Perlu diingat kebijaksanaan duniawi, pencapaian samadhi, latihan sila, tidak kekal sebelum mencapai tingkat kesucian. Tetapi memang ada tahapan-tahapan jalan dan latihan sebelum menuju pencerahan.
Yang saya bantah adalah pencerahan bertahap, karena hal ini tidak dikenal dalam Theravada.
...
Quoteketika itulah 5 niravana yg rekan Fabian katakan mengendap...
kemudian dalam kegiatan sehari2, secara tak sadar saya mengumpulkan beban2 lagi.
memikulnya lagi... dan akhirnya 5 niravana itu ada lagi...
Saudara Tesla yang baik...
Bolehkah sharing sedikit, bagaimanakah proses mengendapnya nivarana yang saudara Tesla katakan...?
Jadi diskusi kita bisa lebih nyambung, karena saya bisa lebih mengerti sudut pandang saudara Tesla...
_/\_
saudara Fabian yg baik, bukankah sudah saya katakan sebelumnya.
prosesnya sesederhana hanya dg melepas beban bathin yg kita miliki.
dan seperti kata saya sebelumnya lagi,
saudara Fabian mencoba memahami sudut pandang saya dg menjadi saya,
menurut saya cara itu tidak tepat... (itu malah nambah beban pemikiran, tidak nyambung).
saudara Fabian harus melepaskan beban rekan Fabian sendiri.
yg saya lihat sekarang saudara Fabian, mencari & memasang standar2 kepada diri sendiri...
_/\_
Saudara-saudara yang baik, sepertinya ada kesalahpahaman dalam berbahasa.
Yang saya maksud dengan seketika adalah proses dari Anumola, Gotrabhu, ke Magga dan Phala.
Perlu diingat kebijaksanaan duniawi, pencapaian samadhi, latihan sila, tidak kekal sebelum mencapai tingkat kesucian. Tetapi memang ada tahapan-tahapan jalan dan latihan sebelum menuju pencerahan.
Yang saya bantah adalah pencerahan bertahap, karena hal ini tidak dikenal dalam Theravada.
Om Fabian yang baik,QuoteJadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Setelah muncul referensi neyya yang bilang bisa mencapai pencerahan dalam 7 hari, muncul pendapat dari Om Fabian seperti ini :QuoteOh ya terima kasih linknya, saya rasa itu hanya terjadi pada Neyya Puggala di jaman Sang Buddha, dimana pada saat itu lebih sedikit objek duniawi yang menyebabkan kekotoran batin (tak ada koran, TV, video, mobil, bom dsb).
Rupanya masih ada pendapat pribadi di atas referensi ;D
_/\_
Saudara Tesla yang baik, prosesnya sederhana memang, tetapi saudara Tesla tidak menjawab pertanyaan saya yaitu bagaimana prosesnya mengendapnya Nivarana...? (maksudnya proses batin yang terjadi sehingga bisa terjadi demikian)saya sudah menjelaskan prosesnya...
bagi seorang yang pernah mengalami tentu dia dapat menceritakan mengapa dan bagaimana prosesnya,lucu sekali... bagaimana proses kita bisa sampai di samsara ini?
Setahu saya didunia ini tak ada sesuatu yang terjadi begitu saja, seseorang yang mengalami sesuatu tentu dapat menceritakan bagaimana pengalaman yang telah ia alami, bagaimana caranya mendadak bisa lepas, mengapa bisa lepas dsbnya...
Teman-teman yang meditasi Vipassana Mahasi Sayadaw ada juga yang timbul salah anggapan, ada yang menganggap telah mencapai tingkat kesucian Sakadagami, bahkan ada yang menganggap dirinya telah mencapai tingkat kesucian Anagami, dia mengklaim tahu rasanya bagaimana menjadi Anagami dsbnya. Bagi saya ini hal biasa, sering terjadi pada meditator pemula.bagi saya, saya tidak bisa mengukur mereka.
Dalam menanggapi pengalalaman pengalaman ini kita perlu membandingkan dengan Mahaparinibbana Sutta, yaitu membandingkan dengan Sutta-sutta atau Dhamma dan Vinaya.itu hak Anda utk membanding2kan dg referensi sutta. hak saya jg utk membiarkan mereka. :)
Jika orang ini bersikeras walaupun berbeda dengan sutta (atau Dhamma) dan vinaya maka orang ini tentu telah salah mengerti.
Seperti saya katakan sebelumnya, inilah cara yang tepat. bayangkan bila dua orang berbeda keyakinan mengadu argumentasi berlandaskan keyakinan masing-masing..... :) bisa dibayangkan akibatnya kan? bahkan perang di dunia juga berawal dari adu argumentasi berlandaskan keyakinan masing-masing......saya tidak merasa kita sedang adu argumentasi.
tentu salah satu pihak harus mengalah dan berusaha melihat persoalan dari sudut pandang lawan bicaranya kan...?yg penting adalah saling menghargai adanya perbedaan.
Dan.... percayalah.... tidak menjadi beban pemikiran bagi saya, kan tinggal di letting go...? :) Selain itu saya beranggapan diskusi Dhamma (Dhamma sakkacha) baik dan dianjurkan di Maha Manggala Sutta.kenapa Anda tidak letting go dari sekarang?
Wah saudara Tesla menganggap itu beban, apakah suatu pengetahuan atau pemikiran adalah beban...?di reply #44 saya sudah menjelaskannya:
Menurut saya suatu pemikiran menjadi beban pada saat orang itu menganggap pemikiran itu sebagai beban. Karena ia menciptakan suatu konsep terhadap pemikiran itu sendiri, bila ia melihat secara alami bahwa pemikiran yang timbul akan lenyap kembali maka pikiran yang muncul tersebut tidak menjadi beban bagi orang tersebut.
Coba diperhatikan, saudara Tesla menganggap pikiran saya menjadi beban sedangkan saya tidak beranggapan demikian, maka yang memikul pemikiran saya tentu adalah saudara Tesla sendiri kan...? dan pemikiran itu menjadi beban saudara Tesla bukan beban saya kan?
Dalam meditasi saya selalu berusaha menerima apapun yang muncul, baik menyenangkan maupun tidak menyenangkan, tidak berusaha membuat dia lepas, hanya mengamati apa adanya.... Saya terbiasa menerima hal-hal demikian, jadi saya harap pemikiran saya jangan menjadi beban saudara Tesla....di sini ada pergeseran pemahaman, krn dalam let it go, tidak ada usaha.
yup sudah jelas sekali Anda terkurung dalam Tipitaka, Anda sendiri mengakuinya.Quoteyg saya lihat sekarang saudara Fabian, mencari & memasang standar2 kepada diri sendiri...
Ya... saya bisa mengerti saudara Tesla berasumsi demikian, tetapi sekali lagi itu hanya asumsi saudara Tesla, saya bukan memasang standar terhadap diri saya sendiri, sebagai siswa Sang Buddha saya berpatokan pada Tipitaka.... kalaupun tulisan saya dianggap standar, percayalah saya akan mengurangi ego saya dengan mengatakan apa yang saya ucapkan tidak benar bila bertentangan dengan Tipitaka.
Karena selama ini pengetahuan yang saya dapatkan dengan membaca Tipitaka luar biasa besar jasanya dalam membantu saya berlatih meditasi. (pelajaran Dhamma itu yang menjadi pembimbing saya, bukan menjadi beban seperti asumsi saudara Tesla), bukankah Sang Buddha telah mengatakan Dhamma dan Vinaya itulah yang akan menjadi pembimbingmu setelah Aku tiada...? Coba renungkan... yang manakah yang disebut Dhamma-Vinaya? (atau Sutta-Vinaya....sama saja).Dhamma bukanlah Sutta.
Oh ya saudara Tesla saya melihat ada beberapa teman-teman netter yang terperangkap pada suatu konsep yang menolak Tipitaka (kecuali sedikit bagian tertentu) dan saya menamakan konsepnya tersebut konsep "tidak melekat", konsep "bebas", konsep "melepas", atau konsep "tanpa konsep", nah yang terakhir ini sering tidak disadari oleh teman-teman para netter, mereka membentuk suatu konsep baru yang saya sebut konsep "tanpa konsep" yang berarti adalah suatu konsep juga bila terus dilekati..... bukankah demikian...?sebelumnya biarkan saja mereka...
Sedangkan menurut pendapat saya, apakah muncul konsep atau tidak muncul konsep biarkan saja, toh akan lenyap dengan sendirinya, terima dan perhatikan saja, dan itu akan lenyap dengan sendirinya, inilah cara melepas yang sebenarnya menurut Vipassana, jangan berusaha dilepas, karena itu adalah penolakan halus yang akan membuat konsep tersebut melekat dalam batin (timbul kebencian)sejauh yg saya baca, Andalah yg menggeser maknanya menjadi "berusaha dilepas".
Jadi kesimpulannya? don't take it too seriously lah...
Saudara Karuna Murti yang baik, saya menghargai bahwa saudara menerima apa yang benar dan lebih mengutamakan kebenaran.
Mengenai pencerahan bertahap, mungkin saudara Karuna murti masih ada perbedaan pendapat sedikit dengan saya. Walaupun pencerahan dari Anuloma hingga Magga-Phala terjadi pada waktu satu kali duduk, tetapi itupun tidak terjadi mendadak, pertama ia memasuki Anuloma lebih dahulu, kemudian ia memasuki Gotrabhu, lalu baru masuk ke Magga, setelah selesai Magga baru tercapai Phala. Semua proses ini terjadi secara berurutan, ini berarti tidak seketika. Bila seketika maka dari Sankharupekkha nana langsung masuk ke Magga, bila langsung demikian baru bisa dianggap pencerahan seketika.
Bila ingin digambarkan proses dari awal hingga akhir kurang lebih seperti kita mendorong mobil yang mogok, karena akinya mati. awal kita dorong dia tidak hidup, hanya setelah kekuatan dorong cukup maka mesin bisa hidup, demikian juga dengan meditasi Vipassana tak mungkin tercapai pencerahan tanpa cukup melatih faktor-faktor batin yang diperlukan sebagai pemicu. dan ini semua terjadi secara gradual, yaitu sedikit demi sedikit faktor batin bertambah kuat.
Iya memang benar... apakah salah jika saya memberi pendapat pribadi...? Apakah ada kesan saya mengatakan link tersebut tidak benar...? bila saya perhatikan kembali kata-kata saya diatas, saya hanya menyiratkan bahwa menurut pendapat saya, neyya puggala yang mencapai tingkat kesucian Arahat dalam seminggu sudah tidak muncul di dunia ini, sama seperti Ughatitannu dan Vipancitannu....
boro-boro Neyya Puggala seminggu.... Sekarang ini Arahat yang ada mungkin bisa dihitung dengan jari.... :), sedangkan di jaman Sang Buddha mungkin puluhan ribu, atau ratusan ribu bahkan mungkin jutaan.
Bila saudara Karuna Murti telah membaca sebagian besar Sutta, mungkin baru akan mengerti mengapa demikian...
Saudara Karuna Murti yang baik, saya menghargai bahwa saudara menerima apa yang benar dan lebih mengutamakan kebenaran.
Mengenai pencerahan bertahap, mungkin saudara Karuna murti masih ada perbedaan pendapat sedikit dengan saya. Walaupun pencerahan dari Anuloma hingga Magga-Phala terjadi pada waktu satu kali duduk, tetapi itupun tidak terjadi mendadak, pertama ia memasuki Anuloma lebih dahulu, kemudian ia memasuki Gotrabhu, lalu baru masuk ke Magga, setelah selesai Magga baru tercapai Phala. Semua proses ini terjadi secara berurutan, ini berarti tidak seketika. Bila seketika maka dari Sankharupekkha nana langsung masuk ke Magga, bila langsung demikian baru bisa dianggap pencerahan seketika.
Untuk menjernihkan batin ini memerlukan waktu dan tak terjadi secara tiba-tiba. Theravada tidak menganut paham Satori seperti dalam Zen, semuanya terjadi melalui "proses gradual", setelah mampu melakukan ini, baru bisa melakukan itu (setelah mengerti atau bisa pelajaran SD baru bisa mencerna pelajaran SMP).
Bila ingin digambarkan proses dari awal hingga akhir kurang lebih seperti kita mendorong mobil yang mogok, karena akinya mati. awal kita dorong dia tidak hidup, hanya setelah kekuatan dorong cukup maka mesin bisa hidup, demikian juga dengan meditasi Vipassana tak mungkin tercapai pencerahan tanpa cukup melatih faktor-faktor batin yang diperlukan sebagai pemicu. dan ini semua terjadi secara gradual, yaitu sedikit demi sedikit faktor batin bertambah kuat.
QuoteYang saya bantah adalah pencerahan bertahap, karena hal ini tidak dikenal dalam Theravada.
Bolehkah saya tahu referensinya saudara Karuna Murti ambil dari Sutta mana...?
Iya memang benar... apakah salah jika saya memberi pendapat pribadi...? Apakah ada kesan saya mengatakan link tersebut tidak benar...? bila saya perhatikan kembali kata-kata saya diatas, saya hanya menyiratkan bahwa menurut pendapat saya, neyya puggala yang mencapai tingkat kesucian Arahat dalam seminggu sudah tidak muncul di dunia ini, sama seperti Ughatitannu dan Vipancitannu....
boro-boro Neyya Puggala seminggu.... Sekarang ini Arahat yang ada mungkin bisa dihitung dengan jari.... :), sedangkan di jaman Sang Buddha mungkin puluhan ribu, atau ratusan ribu bahkan mungkin jutaan.
Bila saudara Karuna Murti telah membaca sebagian besar Sutta, mungkin baru akan mengerti mengapa demikian...
Apakah Ughatitanu dan vipancittanu masih terjadi pada saat ini, kita sendiri tidak akan tahu, karena bahkan para arahat (savaka buddha) sendiri kadang tidak bisa mengidentifikasi tingkat pencapaian arahat (savaka buddha) lainnya. Hanya seorang sammasambuddha yang bisa mengetahui DENGAN PASTI tingkat pencapaian kesucian seseorang.
Jadi menurut saya, pintu untuk ughatitanu dan vipancittanu sendiri masih terbuka. Terlalu spekulatif bila mengatakan bahwa ketika tidak adanya seorang sammasambuddha yang masih hidup didunia, hal tersebut tidak bisa terjadi.
menurut pendapat saya, neyya puggala, Ughatitannu dan Vipancitannu yang mencapai tingkat kesucian Arahat dalam seminggu sudah tidak muncul di dunia ini
Tujuan Sang Buddha datang ketika Angulimala mencari korban ke 1000 adalah menghentikan upaya Anggulimala membunuh korban ke 1000, yaitu ibu kandung Angulimala. Mungkin saja pada saat itu batin Angulimala telah matang untuk berhenti membunuh.
Sedangkan batin Angulimala dianggap matang mencapai tingkat kesucian pada saat setelah ia menempuh Kehidupan Suci dan setelah membacakan Paritta yang menyelamatkan seorang ibu yang melahirkan dan bayi yang dilahirkan. Sebelumnya Angulimala merasa bersalah dan belum siap untuk mencapai tingkat kesucian. Setelah melakukan tindakan cinta kasih tersebut, perasaan bersalahnya hilang.
"Then in that case, Angulimala, go to that woman and on arrival say to her, 'Sister, since I was born in the noble birth, I do not recall intentionally killing a living being. Through this truth may there be wellbeing for you, wellbeing for your fetus.'"
bukannya sesudah aku menjalani kehidupan suci?Quote"Then in that case, Angulimala, go to that woman and on arrival say to her, 'Sister, since I was born in the noble birth, I do not recall intentionally killing a living being. Through this truth may there be wellbeing for you, wellbeing for your fetus.'"
Tujuan Sang Buddha datang ketika Angulimala mencari korban ke 1000 adalah menghentikan upaya Anggulimala membunuh korban ke 1000, yaitu ibu kandung Angulimala. Mungkin saja pada saat itu batin Angulimala telah matang untuk berhenti membunuh.
Sedangkan batin Angulimala dianggap matang mencapai tingkat kesucian pada saat setelah ia menempuh Kehidupan Suci dan setelah membacakan Paritta yang menyelamatkan seorang ibu yang melahirkan dan bayi yang dilahirkan. Sebelumnya Angulimala merasa bersalah dan belum siap untuk mencapai tingkat kesucian. Setelah melakukan tindakan cinta kasih tersebut, perasaan bersalahnya hilang.
Karuna,
pada saat membaca Paritta tsb, bukankah Angulimala telah menjadi seorang Arahat? karena Parittanya berbunyi "Sejak aku menjadi seorang Ariya ..."
Kisahnya kan Angulimala tidak bisa bermeditasi dengan baik, karena batinnya belum matang (masih inget-inget kelakuannya dulu). Karena kasus baca Paritta itu, dan sukses, batinnya jadi matang. Sejak saat itu meditasinya mengalami kemajuan pesat.
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/hecker/wheel312.html
Kisahnya kan Angulimala tidak bisa bermeditasi dengan baik, karena batinnya belum matang (masih inget-inget kelakuannya dulu). Karena kasus baca Paritta itu, dan sukses, batinnya jadi matang. Sejak saat itu meditasinya mengalami kemajuan pesat.
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/hecker/wheel312.html
JIka batin nya belom matang, jadi apa yang menyebabkan SAng Buddha datang pada saat Angulimala telah membunuh mencapai 999? kenapa tidak sejak awal mula2 sebelum jatuh banyak korban?atau malah lebih dari 999? ???
_/\_ mohon pencerahan
Kisahnya kan Angulimala tidak bisa bermeditasi dengan baik, karena batinnya belum matang (masih inget-inget kelakuannya dulu). Karena kasus baca Paritta itu, dan sukses, batinnya jadi matang. Sejak saat itu meditasinya mengalami kemajuan pesat.
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/hecker/wheel312.html
JIka batin nya belom matang, jadi apa yang menyebabkan SAng Buddha datang pada saat Angulimala telah membunuh mencapai 999? kenapa tidak sejak awal mula2 sebelum jatuh banyak korban?atau malah lebih dari 999? ???
_/\_ mohon pencerahan
Angulimala's noble birth, or spiritual rebirth, began with his ordination as a monk and culminated in his attainment of sainthood.
Salah persepsi...bukan Buddha yang datang pada Angulimala tapi Angulimala lah yang waktu itu sedang melihat Buddha sedang berjalan untuk pergi pindapatta,merasa daripada harus membunuh ibunya maka ia berpikiran untuk mendapatkan jari seorang Buddha. angulimala mengejar Buddha padahal Buddha berjalan kaki dan tidak berlari.namun Angulimala tidak berhasil mengejar Sang Buddha.
Now, when their lives had crossed again, and the Buddha saw the grave danger in which Angulimala had placed himself, he did not hesitate to walk the thirty miles to meet him and save him.Sekarang, ketika bertemu lagi dalam kehidupan ini, dan Sang Budha melihat bahaya besar yang sedang diahadapi Angulimala, Beliau tidak segan2 berjalan sejauh 30 mil untuk menjumpainya dan menyelamatkannya.
Salah persepsi...bukan Buddha yang datang pada Angulimala tapi Angulimala lah yang waktu itu sedang melihat Buddha sedang berjalan untuk pergi pindapatta,merasa daripada harus membunuh ibunya maka ia berpikiran untuk mendapatkan jari seorang Buddha. angulimala mengejar Buddha padahal Buddha berjalan kaki dan tidak berlari.namun Angulimala tidak berhasil mengejar Sang Buddha.
Cowherds, shepherds and plowmen passing by saw him taking the road to where Angulimala was, and said: "Do not take that road, monk. On that road is the bandit Angulimala who is murderous, bloody-handed, given to harming and violence; he is merciless to all living beings. Villages and towns and districts are being laid waste by him. He is constantly murdering people, and he wears their fingers as a garland. Men have come along this road in groups of ten, twenty, thirty and even forty from time to time, but still they have fallen into Angulimala's hands."
When this was said, the Blessed One went on in silence. For a second and a third time those people warned him. Still the Blessed One went on in silence.
Maaf klo salah, pada saat membaca kisahnya yang saya "tangkap" SAng BUddha "sengaja" datang untuk "menyadarkan " Angulimala.. _/\_ mohon koreksi _/\_Kisahnya kan Angulimala tidak bisa bermeditasi dengan baik, karena batinnya belum matang (masih inget-inget kelakuannya dulu). Karena kasus baca Paritta itu, dan sukses, batinnya jadi matang. Sejak saat itu meditasinya mengalami kemajuan pesat.
http://www.accesstoinsight.org/lib/authors/hecker/wheel312.html
JIka batin nya belom matang, jadi apa yang menyebabkan SAng Buddha datang pada saat Angulimala telah membunuh mencapai 999? kenapa tidak sejak awal mula2 sebelum jatuh banyak korban?atau malah lebih dari 999? ???
_/\_ mohon pencerahan
Salah persepsi...bukan Buddha yang datang pada Angulimala tapi Angulimala lah yang waktu itu sedang melihat Buddha sedang berjalan untuk pergi pindapatta,merasa daripada harus membunuh ibunya maka ia berpikiran untuk mendapatkan jari seorang Buddha. angulimala mengejar Buddha padahal Buddha berjalan kaki dan tidak berlari.namun Angulimala tidak berhasil mengejar Sang Buddha.
Sang Buddha tahu bahwa angulimala tidak mengenal diriNya adalah seorang Buddha dan jika waktu itu,dengan pikiran jahatnya,maka Angulimala bisa terjatuh lebih dalam lagi.
Lalu Buddha berhenti dan verse ini diucapkan...Angulimala aku dari tadi tidak berlari, aku sudah berhenti...kenapa kamu masih berlari...singkat kata mendengar hal itu ,Angulimala tersadarkan dan menjadi murid Buddha yang berlindung dalam tiratana dan mencapai tingkat kesucian Arahat.
definisi dhamma sepertinya jadi rancu.
dhamma -> ajaran sang buddha
dhamma -> kebenaran
Kebenaran ada dimana-mana.... wah ini logika luar biasa... hebat sekali....ajaran agama merupakan suatu pandangan. pandangan adalah produk pikiran.
agama lain mengajarkan ada pencipta, agama lain mengatakan persembahan kurban bersifat mulia, mungkin ini yang disebut kebenaran yang ada di agama lain...
itulah sebabnya saya mem-posting topik ini... saya ini bodoh sekali, sehingga saya sering bingung menghadapi umat Buddha yang berusaha menyamakan ajaran Sang Buddha dengan ajaran lain... mungkin disebabkan pikiran saya sempit... Saya selalu mengutip dari Tipitaka... mungkin harusnya saya kutip dari Injil, bukankah kebenaran juga ada disana...?
Kebenaran ada dimana-mana.... wah ini logika luar biasa... hebat sekali....ajaran agama merupakan suatu pandangan. pandangan adalah produk pikiran.
agama lain mengajarkan ada pencipta, agama lain mengatakan persembahan kurban bersifat mulia, mungkin ini yang disebut kebenaran yang ada di agama lain...
itulah sebabnya saya mem-posting topik ini... saya ini bodoh sekali, sehingga saya sering bingung menghadapi umat Buddha yang berusaha menyamakan ajaran Sang Buddha dengan ajaran lain... mungkin disebabkan pikiran saya sempit... Saya selalu mengutip dari Tipitaka... mungkin harusnya saya kutip dari Injil, bukankah kebenaran juga ada disana...?
produk pikiran tentu saja berbeda2 tiap orang.
dhamma yg saya maksud adalah kebenaran.
mis: Anda bisa melihat ketidak kekalan di mana mana.
namun bukan hanya orang Buddhist (atau orang yg telah membaca Tipitaka) saja yg bisa.
ntar cari sutta tentang ini ah :))
Kebenaran ada dimana-mana.... wah ini logika luar biasa... hebat sekali....ajaran agama merupakan suatu pandangan. pandangan adalah produk pikiran.
agama lain mengajarkan ada pencipta, agama lain mengatakan persembahan kurban bersifat mulia, mungkin ini yang disebut kebenaran yang ada di agama lain...
itulah sebabnya saya mem-posting topik ini... saya ini bodoh sekali, sehingga saya sering bingung menghadapi umat Buddha yang berusaha menyamakan ajaran Sang Buddha dengan ajaran lain... mungkin disebabkan pikiran saya sempit... Saya selalu mengutip dari Tipitaka... mungkin harusnya saya kutip dari Injil, bukankah kebenaran juga ada disana...?
produk pikiran tentu saja berbeda2 tiap orang.
dhamma yg saya maksud adalah kebenaran.
mis: Anda bisa melihat ketidak kekalan di mana mana.
namun bukan hanya orang Buddhist (atau orang yg telah membaca Tipitaka) saja yg bisa.
ntar cari sutta tentang ini ah :))
3. DUTTHATTHAKA SUTTAKorupsi
1. Beberapa orang berbicara dengan niat jahat sementara yang lain dengan keyakinan bahwa mereka benar. Tetapi orang bijaksana tidak akan masuk ke dalam persengketaan apa pun yang telah muncul. Karena itu, manusia bijaksana terbebas dari semua penghalang mental. (780)
2. Manusia yang dikuasai oleh nafsu yang kuat dan terus menurutkan kecenderungannya, akan sulit meninggalkan pandangan-pandangan yang dilekatinya. Sesudah sampai pada kesimpulannya sendiri, dia berbicara sesuai dengan pengetahuannya sendiri. (781)
3. Jika seseorang, tanpa diminta, memuji-muji keluhuran dan prakteknya sendiri di depan orang lain, atau berbicara tentang dirinya sendiri, maka para bijaksana mengatakan bahwa dia tidak luhur. (782)
4. Manusia yang tenang dan berdisiplin, yang menghindari perbuatan memuji diri dalam hal keluhurannya, dengan menyatakan, 'Demikianlah saya,' maka para bijaksana menyebut dirinya luhur. Di dalam diri orang itu tidak ada kesombongan tentang dunia. (783)
5. Bila orang memiliki pandangan-pandangan yang tidak murni --walaupun terbentuk secara mental, tersusun karena sebab, dan dianggap tinggi--, pandangan-pandangan yang mementingkan keuntungan pribadi, maka dia akan mengalami ketenangan yang tidak stabil. (784)
6. Sulit untuk meninggalkan ide-ide yang sudah dikukuhi, yang dicapai lewat penilaian tentang doktrin. Oleh karenanya, dalam hal pandangan-pandangan ini, dia menolak satu pandangan dan melekati yang lain. (785)
7. Bagi manusia yang memiliki keutamaan spiritual, di mana pun di dunia ini dia tidak akan memiliki pandangan yang terbentuk secara mental tentang berbagai tingkat dumadi. Karena dia telah mengikis kegelapan batin dan kesombongan, dengan cara bagaimana dia dapat dikategorikan? Dia tidak dapat dikategorikan dengan cara apa pun juga. (786)
8. Dia yang melekat akan masuk ke dalam perdebatan tentang doktrin. Dengan apa dan bagaimana seseorang yang tidak melekat dapat dicirikan? Dia tidak memiliki apa pun untuk direngkuh atau ditolak; dia telah memurnikan semua pandangannya itu di sini. (787)
sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=957
4. SUDDHATTHAKA SUTTAKemurnian
1. 'Aku melihat orang yang suci murni, agung dan sehat; kemurnian seseorang muncul dari apa yang dilihatnya' -- maka, karena memegang pendapat ini serta karena melihat pandangan ini sebagai yang terbaik, dia menganggap bahwa pengetahuan bergantung pada melihat makhluk yang suci murni. (788)
2. Jika kemurnian seseorang berasal dari apa yang dilihat, atau jika lewat pengetahuan ini dia dapat terbebas dari penderitaan, maka sesuatu yang bukan Jalan Mulia bisa membuat manusia yang melekati segala sesuatu menjadi manusia suci. Pandangan ini saja sudah menunjukkan sifat manusia ini. (789)
3. Tidak satu brahmana pun menyatakan bahwa kesucian dicapai dari sumber di luar diri, seperti misalnya: dari apa yang dilihat, didengar atau dikognisi (dipahami), atau dari peraturan atau ritual. Tak ternoda oleh perbuatan jasa maupun non jasa, dia telah membuang ego; di sini dia tidak melakukan tindakan apa pun yang bisa menghasilkan akibat [kelahiran ulang]. (790)
4. Mereka yang meninggalkan satu hal untuk mengambil hal lain dan mengikuti kemelekatan tidak akan pernah memadamkan nafsu. Mereka bagaikan kera yang melepas satu dahan untuk merenggut dahan lain, hanya untuk dilepaskan lagi. (791)
5. Manusia yang melekati ide-ide --walaupun telah menjalani sendiri praktek-praktek kesucian tertentu-- berarti melorot turun dari keadaan yang tinggi menuju yang rendah. Namun manusia bijaksana, setelah memahami Kebenaran lewat sarana pengetahuan [tertinggi], tidak akan pergi dari yang tinggi menuju yang rendah. (792)
6. Dia yang telah melepaskan diri dari apa pun yang dilihat, didengar atau dikognisi, bagaimanakah manusia bisa meragukan manusia yang berpandangan terang, yang berperilaku lurus seperti ini? (793)
7. Mereka tidak berspekulasi, mereka tidak menjunjung tinggi pandangan yang mana pun dan mengatakan 'Inilah kemurnian tertinggi.' Mereka melepaskan simpul kemelekatan dogma dan tidak merindukan apa pun di dunia ini. (794)
8. Brahmana yang telah melampaui batas-batas keberadaan duniawi tidak memiliki kemelekatan setelah mengetahui atau melihat. Dia tidak bersuka ria di dalam nafsu maupun dalam keadaan tanpa-nafsu. Baginya, tidak ada apa pun di sini yang dapat direnggut sebagai yang tertinggi. (795)
sumber: http://www.samaggi-phala.or.id/tipitaka_dtl.php?cont_id=958
Kebenaran ada dimana-mana.... wah ini logika luar biasa... hebat sekali....ajaran agama merupakan suatu pandangan. pandangan adalah produk pikiran.
agama lain mengajarkan ada pencipta, agama lain mengatakan persembahan kurban bersifat mulia, mungkin ini yang disebut kebenaran yang ada di agama lain...
itulah sebabnya saya mem-posting topik ini... saya ini bodoh sekali, sehingga saya sering bingung menghadapi umat Buddha yang berusaha menyamakan ajaran Sang Buddha dengan ajaran lain... mungkin disebabkan pikiran saya sempit... Saya selalu mengutip dari Tipitaka... mungkin harusnya saya kutip dari Injil, bukankah kebenaran juga ada disana...?
produk pikiran tentu saja berbeda2 tiap orang.
dhamma yg saya maksud adalah kebenaran.
mis: Anda bisa melihat ketidak kekalan di mana mana.
namun bukan hanya orang Buddhist (atau orang yg telah membaca Tipitaka) saja yg bisa.
ntar cari sutta tentang ini ah :))
Saudara Tesla yang baik... :)
Terima kasih sudah memberitahu tahu bahwa di agama lain juga ada ajaran mengenai ketidak kekalan (anicca)... tolong... kapan-kapan kasih tahu saya dimana... ya... ? maklum.. setahu saya cuma di Tipitaka ada ajaran mengenai anicca.... (saya harus membuka wawasan lebih luas lagi...)
terima kasih, dan (((semoga anda berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))
Kebenaran ada dimana-mana.... wah ini logika luar biasa... hebat sekali....ajaran agama merupakan suatu pandangan. pandangan adalah produk pikiran.
agama lain mengajarkan ada pencipta, agama lain mengatakan persembahan kurban bersifat mulia, mungkin ini yang disebut kebenaran yang ada di agama lain...
itulah sebabnya saya mem-posting topik ini... saya ini bodoh sekali, sehingga saya sering bingung menghadapi umat Buddha yang berusaha menyamakan ajaran Sang Buddha dengan ajaran lain... mungkin disebabkan pikiran saya sempit... Saya selalu mengutip dari Tipitaka... mungkin harusnya saya kutip dari Injil, bukankah kebenaran juga ada disana...?
produk pikiran tentu saja berbeda2 tiap orang.
dhamma yg saya maksud adalah kebenaran.
mis: Anda bisa melihat ketidak kekalan di mana mana.
namun bukan hanya orang Buddhist (atau orang yg telah membaca Tipitaka) saja yg bisa.
ntar cari sutta tentang ini ah :))
Jika yang dimaksud Dhamma adalah Kebenaran .. Maka Klo menurut saya Tipitaka itu adalah "penunjuk jalan" menuju Dhamma itu sendiri.. ^:)^ mohon koreksi _/\_
definisi dhamma sepertinya jadi rancu.
dhamma -> ajaran sang buddha
dhamma -> kebenaran
Kok Angulimala ya..? :)definisi dhamma sepertinya jadi rancu.
dhamma -> ajaran sang buddha
dhamma -> kebenaran
Memang benar demikianlah adanya, Dhamma yang mana..? antara Dhamma yang sebenarnya dan Dhamma menurut artian ajaran Sang Buddha, atau Dhamma agama lain...?
Kebenaran ada dimana-mana.... wah ini logika luar biasa... hebat sekali....
agama lain mengajarkan ada pencipta, agama lain mengatakan persembahan kurban bersifat mulia, mungkin ini yang disebut kebenaran yang ada di agama lain...
itulah sebabnya saya mem-posting topik ini... saya ini bodoh sekali, sehingga saya sering bingung menghadapi umat Buddha yang berusaha menyamakan ajaran Sang Buddha dengan ajaran lain... mungkin disebabkan pikiran saya sempit... Saya selalu mengutip dari Tipitaka... mungkin harusnya saya kutip dari Injil, bukankah kebenaran juga ada disana...?
Saya sekarang sudah sadar bahwa belajar Dhamma kemudian dibawa kemana-mana untuk dijadikan pegangan hidup adalah beban... (ada yang mengoreksi saya, terima kasih...) cuma saya masih bingung, untuk apa ya saya belajar Dhamma? apakah untuk sekedar menang debat? atau sesuai dengan Kalama Sutta yang berbunyi...
"When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them."
Ah.. saya ini bodoh ya... :) mengikuti Kalama Sutta dengan membawa-bawa ajaran Sang Buddha dan menjadikannya sebagai pandangan hidup..., itu kan membawa beban... :) sebaiknya ajaran Sang Buddha jangan dijadikan sebagai pegangan hidup, dengan demikian maka baru kita disebut melepas... :) barulah kita disebut tidak melekat pada konsep..... :) Saya baru mengerti sekarang, bahwa ajaran Sang Buddha itu hanya sekedar konsep... dan itu harus dilepas... :)
Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang telah membuka wawasan saya.
Mungkin sekarang saya harus membuka wawasan saya yang sempit dengan mulai menyembelih kurban di hari Idul Adha, dan mencari keselamatan dengan menerima juru selamat tertentu, karena ini juga Dhamma kan?
Oh ya mungkin lebih baik menerima juru selamat tertentu maka semua persoalan beres... jadi tidak terjebak pada paham lepas atau tidak.....
Aduh saudara Sumedho, saya malu sekali, ternyata saya ini orang yang berpandangan sempit... saya ini hanya penuh konsep.... oleh karena itu saya harus berubah sekarang... harus membuka wawasan saya...
maaf teman-teman, saya telah membuat anda kesal dengan kebodohan saya yang hanya terpaku pada Tipitaka...
Sekarang saya tahu kita harus juga melihat Dhamma yang ada di agama-agama lain... oleh karena itu saya harus mengadopsi Dhamma-Dhamma lain seperti menyembelih kurban dan lain-lain....
Sekali lagi teman-teman... saya mengucapkan terima kasih telah membuka wawasan saya...
Ini adalah pencerahan kedua yang saya terima setelah mendapatkan pencerahan pertama dari pak Hudoyo....... _/\_
(((semoga anda semua berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))
_/\_
Jika yang dimaksud Dhamma adalah Kebenaran .. Maka Klo menurut saya Tipitaka itu adalah "penunjuk jalan" menuju Dhamma itu sendiri.. ^:)^ mohon koreksi _/\_
setuju _/\_
Bro Kainyn...
Sesuai dengan postingan Bro Markos......Itu yang Pannati Dhamma atau Paramatha Dhamma? ;D
_/\_ :lotus:
Kok Angulimala ya..? :)definisi dhamma sepertinya jadi rancu.
dhamma -> ajaran sang buddha
dhamma -> kebenaran
Memang benar demikianlah adanya, Dhamma yang mana..? antara Dhamma yang sebenarnya dan Dhamma menurut artian ajaran Sang Buddha, atau Dhamma agama lain...?
Kebenaran ada dimana-mana.... wah ini logika luar biasa... hebat sekali....
agama lain mengajarkan ada pencipta, agama lain mengatakan persembahan kurban bersifat mulia, mungkin ini yang disebut kebenaran yang ada di agama lain...
itulah sebabnya saya mem-posting topik ini... saya ini bodoh sekali, sehingga saya sering bingung menghadapi umat Buddha yang berusaha menyamakan ajaran Sang Buddha dengan ajaran lain... mungkin disebabkan pikiran saya sempit... Saya selalu mengutip dari Tipitaka... mungkin harusnya saya kutip dari Injil, bukankah kebenaran juga ada disana...?
Saya sekarang sudah sadar bahwa belajar Dhamma kemudian dibawa kemana-mana untuk dijadikan pegangan hidup adalah beban... (ada yang mengoreksi saya, terima kasih...) cuma saya masih bingung, untuk apa ya saya belajar Dhamma? apakah untuk sekedar menang debat? atau sesuai dengan Kalama Sutta yang berbunyi...
"When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them."
Ah.. saya ini bodoh ya... :) mengikuti Kalama Sutta dengan membawa-bawa ajaran Sang Buddha dan menjadikannya sebagai pandangan hidup..., itu kan membawa beban... :) sebaiknya ajaran Sang Buddha jangan dijadikan sebagai pegangan hidup, dengan demikian maka baru kita disebut melepas... :) barulah kita disebut tidak melekat pada konsep..... :) Saya baru mengerti sekarang, bahwa ajaran Sang Buddha itu hanya sekedar konsep... dan itu harus dilepas... :)
Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang telah membuka wawasan saya.
Mungkin sekarang saya harus membuka wawasan saya yang sempit dengan mulai menyembelih kurban di hari Idul Adha, dan mencari keselamatan dengan menerima juru selamat tertentu, karena ini juga Dhamma kan?
Oh ya mungkin lebih baik menerima juru selamat tertentu maka semua persoalan beres... jadi tidak terjebak pada paham lepas atau tidak.....
Aduh saudara Sumedho, saya malu sekali, ternyata saya ini orang yang berpandangan sempit... saya ini hanya penuh konsep.... oleh karena itu saya harus berubah sekarang... harus membuka wawasan saya...
maaf teman-teman, saya telah membuat anda kesal dengan kebodohan saya yang hanya terpaku pada Tipitaka...
Sekarang saya tahu kita harus juga melihat Dhamma yang ada di agama-agama lain... oleh karena itu saya harus mengadopsi Dhamma-Dhamma lain seperti menyembelih kurban dan lain-lain....
Sekali lagi teman-teman... saya mengucapkan terima kasih telah membuka wawasan saya...
Ini adalah pencerahan kedua yang saya terima setelah mendapatkan pencerahan pertama dari pak Hudoyo....... _/\_
(((semoga anda semua berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))
_/\_
Anda punya Low-Self-Esteem Syndrome? Atau sedang akting?
Kalau baca Tipitaka bener2, di situ Buddha sendiri katakan bahwa dhamma yang diajarkannya (selama 45 tahun tanpa henti) hanyalah sehelai daun dhamma dibandingkan dengan daun di hutan.
...
Tolong dilihat bahwa ko fabian mendiskusikan Tipitaka sebagai Kebenaran Mutlak/Paramattha Dhamma
sementara yang dimaksud daun lainnya adalah Pannati Dhamma/kebenaran relatif.
mengapa bisa disebut Paramattha Dhamma? Karena seperti yang dikatakan oleh Buddha, bahwa segenggam daun itu sudah cukup untuk membawa ke arah pembebasan/Nibbana
...
Jadi kesimpulannya Tipitaka adalah "bagian" dari Dhamma ?? _/\_ Mohon koreksi ^:)^
Jika yang dimaksud Dhamma adalah Kebenaran .. Maka Klo menurut saya Tipitaka itu adalah "penunjuk jalan" menuju Dhamma itu sendiri.. ^:)^ mohon koreksi _/\_
setuju _/\_
dear tesla
Hal serupa mengenai penunjuk jalan pernah saya ungkap pada diskusi dengan salah satu meditator
Saya mengibaratkan Tipitaka sebagai peta/penunjuk jalan dimana peta ini akan memberikan arah
Namun hendaknya janganlah peta dipegang terus di depan mata, karena akan membuat jadi menabrak atau tersandung ;D
Jadi kesimpulannya Tipitaka adalah "bagian" dari Dhamma ?? _/\_ Mohon koreksi ^:)^menurut saya, Tipitaka memuat Dhamma, namun bukan hanya satu2nya yg memuat Dhamma...
Dear Bro Kai,
Kembali saya ulangi bahwa Dhamma sebagai kebenaran itu dibagi menjadi dua yaitu :
1. Pannati Dhamma yaitu kebenaran yang sesuai dengan konsep
2. Paramattha Dhamma yaitu realitas, kenyataan / hakekat sesungguhnya dan prosesnya tidak tergantung dari label / sebutan / nama yang disandangnya
Tolong dilihat bahwa ko fabian mendiskusikan Tipitaka sebagai Kebenaran Mutlak/Paramattha Dhamma
sementara yang dimaksud daun lainnya adalah Pannati Dhamma/kebenaran relatif.
mengapa bisa disebut Paramattha Dhamma? Karena seperti yang dikatakan oleh Buddha, bahwa segenggam daun itu sudah cukup untuk membawa ke arah pembebasan/Nibbana
semoga bisa dimengerti yah........... _/\_
Setuju _/\_ Jika Dhamma = Kebenaran .. Maka Kebenaran ada dimana saja _/\_Jadi kesimpulannya Tipitaka adalah "bagian" dari Dhamma ?? _/\_ Mohon koreksi ^:)^menurut saya, Tipitaka memuat Dhamma, namun bukan hanya satu2nya yg memuat Dhamma...
Setuju _/\_ Jika Dhamma = Kebenaran .. Maka Kebenaran ada dimana saja _/\_Jadi kesimpulannya Tipitaka adalah "bagian" dari Dhamma ?? _/\_ Mohon koreksi ^:)^menurut saya, Tipitaka memuat Dhamma, namun bukan hanya satu2nya yg memuat Dhamma...
kebenaran memang ada dimana-mana, si Ryan membunuh sekian banyak orang jg merupakan kebenaran, tapi jelas bukan Dhamma yang dimaksud Sang Buddha, karena dihantam tsunami kuat rakyat aceh banyak yang meninggal juga merupakan kebenaran, tetapi bukan itu yang diajarkan Sang Buddha, Pandangan salah ada pada setiap puthujana, ini adalah kebenaran, tetapi bukan ini yang diajarkan Sang Buddha. Apa yang diajarkan Sang Buddha singkatnya:
1. dukkha
2. sebab dari Dukkha
3. Berhentinya Dukkha
4. Jalan untuk menghentikan dukkha, yaitu jalan Ariya berunsur delapan.
Dan ini yang tak diajarkan oleh agama lain, agama lain tak mengajarkan Tilakkhana, agama lain tak mengajarkan jalan Ariya berunsur delapan, satta bhojanga, tidak mengajarkan Satipatthana, padahal ini semua diperlukan untuk merealisasi (menyelami Dhamma).setelah saya membaca ulang Simsapa Sutta, saya jadi ingin menampilkannya kembali di sini:
semoga kita semua berusaha merealisasi Dhamma._/\_
((( Semoga kita semua berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))
kebenaran memang ada dimana-mana, si Ryan membunuh sekian banyak orang jg merupakan kebenaran, tapi jelas bukan Dhamma yang dimaksud Sang Buddha, karena dihantam tsunami kuat rakyat aceh banyak yang meninggal juga merupakan kebenaran, tetapi bukan itu yang diajarkan Sang Buddha, Pandangan salah ada pada setiap puthujana, ini adalah kebenaran, tetapi bukan ini yang diajarkan Sang Buddha. Apa yang diajarkan Sang Buddha singkatnya:
1. dukkha
2. sebab dari Dukkha
3. Berhentinya Dukkha
4. Jalan untuk menghentikan dukkha, yaitu jalan Ariya berunsur delapan.
saudara Fabian yg baik,
dalam kasus pembunuhan Ryan & bencana alam tsunami, menurut saya banyak sekali Buddha Dhamma nya. anda bisa lihat keterkondisian, penderitaan, ketidak kekalan di sana.QuoteDan ini yang tak diajarkan oleh agama lain, agama lain tak mengajarkan Tilakkhana, agama lain tak mengajarkan jalan Ariya berunsur delapan, satta bhojanga, tidak mengajarkan Satipatthana, padahal ini semua diperlukan untuk merealisasi (menyelami Dhamma).setelah saya membaca ulang Simsapa Sutta, saya jadi ingin menampilkannya kembali di sini:
"Therefore your duty is the contemplation, 'This is stress... This is the origination of stress... This is the cessation of stress.' Your duty is the contemplation, 'This is the path of practice leading to the cessation of stress.'"
menurut saya ini cukup. :)Quotesemoga kita semua berusaha merealisasi Dhamma._/\_
((( Semoga kita semua berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))
Saudara Sumedho yang baik...mana yah poin pencerahan saya yang pertama yang saya dapatkan dari pak Hudoyo...? saya cari-cari nggak ada tuh.. dipindahkan kemana ya...? yang diskusi waktu Pak Hudoyo bilang Khrisnamurti memperbaiki kesalahan para Bhikkhu yang dilakukan selama lebih dua ribu tahun, dengan pencerahan yang dicapai oleh Khrisnamurti...
terima kasih sebelumnya ya...?
(((semoga anda berbahagia dan terbebas dari penderitaan)))
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4351.msg74253#msg74253
Quote
'ATTA' BUKAN HANYA SEKADAR "PANDANGAN SALAH", MELAINKAN SUATU KESADARAN YANG SANGAT DALAM DI DALAM BATIN PUTHUJJANA, yang berasal jauh di bawah sadar (anusaya). ... Oleh karena itu, sangat sukar menghancurkan/melenyapkan 'atta' itu.
Inilah salah satu kesalahan terbesar para bhikkhu penghafal ajaran Sang Guru (tipitaka-dhara) yang sudah berlarut-larut selama 2000 tahun, sehingga umat Buddha mempunyai kesan bahwa 'atta' HANYA sekadar "pandangan salah" (miccha-ditthi). ... Contohnya: Rekan Fabian, praktisi vipassana Mahasi Sayadaw yang sudah sangat senior. ... Kesalahpahaman ini begitu mendalam sehingga ia tidak bisa melihat hakikat akunya sendiri.
Kesalahan para bhikkhu Tipitaka-dhara itu telah diluruskan kembali oleh pencerahan J. Krishnamurti pada abad ke-20 M.
ahh... terima kasih pak Hudoyo... saya sudah tercerahkan... jujur saja, selama meditasi sekian lama dengan mengikuti metode Mahasi Sayadaw saya memang tak pernah melihat aku, saya kira tak ada lagi yang perlu saya komentari disini... cukup sampai disini. Saya harus membersihkan batin yang sudah tercerahkan ini...
terima kasih,
sukhi hotu
fabian
'ATTA' BUKAN HANYA SEKADAR "PANDANGAN SALAH", MELAINKAN SUATU KESADARAN YANG SANGAT DALAM DI DALAM BATIN PUTHUJJANA, yang berasal jauh di bawah sadar (anusaya). ... Oleh karena itu, sangat sukar menghancurkan/melenyapkan 'atta' itu.Entah apa artinya semua ini? :))
Inilah salah satu kesalahan terbesar para bhikkhu penghafal ajaran Sang Guru (tipitaka-dhara) yang sudah berlarut-larut selama 2000 tahun, sehingga umat Buddha mempunyai kesan bahwa 'atta' HANYA sekadar "pandangan salah" (miccha-ditthi). ... Contohnya: Rekan Fabian, praktisi vipassana Mahasi Sayadaw yang sudah sangat senior. ... Kesalahpahaman ini begitu mendalam sehingga ia tidak bisa melihat hakikat akunya sendiri.
Kesalahan para bhikkhu Tipitaka-dhara itu telah diluruskan kembali oleh pencerahan J. Krishnamurti pada abad ke-20 M.
ahh... terima kasih pak Hudoyo... saya sudah tercerahkan... jujur saja, selama meditasi sekian lama dengan mengikuti metode Mahasi Sayadaw saya memang tak pernah melihat aku, saya kira tak ada lagi yang perlu saya komentari disini... cukup sampai disini. Saya harus membersihkan batin yang sudah tercerahkan ini...
terima kasih,
sukhi hotu
fabian
Iya memang benar... apakah salah jika saya memberi pendapat pribadi...? Apakah ada kesan saya mengatakan link tersebut tidak benar...? bila saya perhatikan kembali kata-kata saya diatas, saya hanya menyiratkan bahwa menurut pendapat saya, neyya puggala yang mencapai tingkat kesucian Arahat dalam seminggu sudah tidak muncul di dunia ini, sama seperti Ughatitannu dan Vipancitannu....
boro-boro Neyya Puggala seminggu.... Sekarang ini Arahat yang ada mungkin bisa dihitung dengan jari.... :), sedangkan di jaman Sang Buddha mungkin puluhan ribu, atau ratusan ribu bahkan mungkin jutaan.
Bila saudara Karuna Murti telah membaca sebagian besar Sutta, mungkin baru akan mengerti mengapa demikian...
Apakah Ughatitanu dan vipancittanu masih terjadi pada saat ini, kita sendiri tidak akan tahu, karena bahkan para arahat (savaka buddha) sendiri kadang tidak bisa mengidentifikasi tingkat pencapaian arahat (savaka buddha) lainnya. Hanya seorang sammasambuddha yang bisa mengetahui DENGAN PASTI tingkat pencapaian kesucian seseorang.
Jadi menurut saya, pintu untuk ughatitanu dan vipancittanu sendiri masih terbuka. Terlalu spekulatif bila mengatakan bahwa ketika tidak adanya seorang sammasambuddha yang masih hidup didunia, hal tersebut tidak bisa terjadi.
dear dilbert,
yang saya tangkap dari ko fabian adalah bahwa pencapaian kesucian itu akan lebih sulit, sudah tidak "se-instan" pada waktu ada sammasambuddha.
kalau boleh saya ralat sedikit pernyataan ko fabian menurut pengertian saya :Quotemenurut pendapat saya, neyya puggala, Ughatitannu dan Vipancitannu yang mencapai tingkat kesucian Arahat dalam seminggu sudah tidak muncul di dunia ini
dimana dalam hal ini ko fabian tidak meneybutkan bahwa saat tidak ada sammasambuddha, maka tidak akan ada ughatitanu dan vipancittanu
ini dikarenakan kemampuan untuk dapat melihat "kematangan batin" seseorang, hanya dapat dilakukan oleh seorang samma sambuddha........... sehingga beliau memberikan ceramah yang disesuaikan dengan tingkatan batin dari para pendengarnya......
cmiiw........... _/\_
Ricky VS Fabiansakit perut sol, sana ke wc gih :))
Bebek VS Naga?
this is what they said...
;D
Fabian hati2...dia itu ANAK DHAMMA :)) :)) :)) (duh sakit perut lage..hahaha)...
dia MMD tiap detik loh... ;D
;D
Saya sekarang sudah sadar bahwa belajar Dhamma kemudian dibawa kemana-mana untuk dijadikan pegangan hidup adalah beban... (ada yang mengoreksi saya, terima kasih...) cuma saya masih bingung, untuk apa ya saya belajar Dhamma? apakah untuk sekedar menang debat? atau sesuai dengan Kalama Sutta yang berbunyi...
...
Ah.. saya ini bodoh ya... :) mengikuti Kalama Sutta dengan membawa-bawa ajaran Sang Buddha dan menjadikannya sebagai pandangan hidup..., itu kan membawa beban... :) sebaiknya ajaran Sang Buddha jangan dijadikan sebagai pegangan hidup, dengan demikian maka baru kita disebut melepas... :) barulah kita disebut tidak melekat pada konsep..... :) Saya baru mengerti sekarang, bahwa ajaran Sang Buddha itu hanya sekedar konsep... dan itu harus dilepas... :)
Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang telah membuka wawasan saya.
Mungkin sekarang saya harus membuka wawasan saya yang sempit dengan mulai menyembelih kurban di hari Idul Adha, dan mencari keselamatan dengan menerima juru selamat tertentu, karena ini juga Dhamma kan?
Oh ya mungkin lebih baik menerima juru selamat tertentu maka semua persoalan beres... jadi tidak terjebak pada paham lepas atau tidak.....
Aduh saudara Sumedho, saya malu sekali, ternyata saya ini orang yang berpandangan sempit... saya ini hanya penuh konsep.... oleh karena itu saya harus berubah sekarang... harus membuka wawasan saya...
maaf teman-teman, saya telah membuat anda kesal dengan kebodohan saya yang hanya terpaku pada Tipitaka...
Sekarang saya tahu kita harus juga melihat Dhamma yang ada di agama-agama lain... oleh karena itu saya harus mengadopsi Dhamma-Dhamma lain seperti menyembelih kurban dan lain-lain....
...
Oh ya untuk Saudara Dilbert saya setuju pendapat anda, sulit menemukan Dhamma yang benar (Dhamma ajaran Sang Buddha, bukan Dhamma versi ajaran agama lain, atau ajaran diluar Buddha Dhamma), ironinya ada ajaran seorang Sammasambuddha, tapi kok menyimak ajaran diluar ajaran Sammasambuddha...?menurut saya lebih sulit lagi...
Tapi fenomena ini memang sudah diramalkan oleh Sang Buddha lebih dari 2500 tahun yang lalu:oleh krn itu kita harus mempraktekkan sendiri dhamma yg diajarkan SB.
"In the same way, in the course of the future there will be monks who won't listen when discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — are being recited. They won't lend ear, won't set their hearts on knowing them, won't regard these teachings as worth grasping or mastering. But they will listen when discourses that are literary works — the works of poets, elegant in sound, elegant in rhetoric, the work of outsiders, words of disciples — are recited. They will lend ear and set their hearts on knowing them. They will regard these teachings as worth grasping & mastering.[/b]
"In this way the disappearance of the discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — will come about.
"Thus you should train yourselves: 'We will listen when discourses that are words of the Tathagata — deep, deep in their meaning, transcendent, connected with emptiness — are being recited. We will lend ear, will set our hearts on knowing them, will regard these teachings as worth grasping & mastering.' That's how you should train yourselves."(Samyutta Nikaya XX.7 Ani Sutta)
Luar biasa ya...? Sang Buddha tahu apa yang akan terjadi sekarang ini...
Marilah kita ikuti nasehat Sang Buddha,
"Kami akan mendengar jika khotbah yang merupakan perkataan Sang Tathagata, yang dalam artinya, diatas duniawi, berhubungan dengan kekosongan diuncarkan. Kami akan memasang telinga, kami akan berusaha meresapi dan merealisasinya, kami akan menganggap ajaran ini sebagai berharga untuk di jalankan dan dikuasai."
jangan sampai kita melakukan yang dicela Sang Buddha berikut ini,
"tetapi mereka mendengarkan jika khotbah yang hasil karya sastra, hasil karya pujangga, kedengarannya elegan, retorikanya elegan, hasil karya Non-Buddhis, dan hasil karya siswa diuncarkan."
Sebenarnya inilah maksud saya dengan pencerahan yang di posting saudara Ryu diatas, inilah satorinya, yaitu ajaran yang bukan berasal dari Sang Tathagata, dimirip-miripkan dengan ajaran Beliau, ajaran Non-Buddhis (outsiders) dipuja-puja, bahkan para Bhikkhu yang telah bersusah payah melindungi ajaran Sang Tathagata dihujat, saya kutipkan kembali,biarkan saja...
"Inilah salah satu kesalahan terbesar para bhikkhu penghafal ajaran Sang Guru (tipitaka-dhara) yang sudah berlarut-larut selama 2000 tahun, sehingga umat Buddha mempunyai kesan bahwa 'atta' HANYA sekadar "pandangan salah" (miccha-ditthi)"
Dan tahukah poin pentingnya?ini pandangan bpk hudoyo, tentu saja setiap orang memiliki pandangan yg beda2...
"Kesalahan para bhikkhu Tipitaka-dhara itu telah diluruskan kembali oleh pencerahan J. Krishnamurti pada abad ke-20 M."
Sang Buddha memang luar biasa, Beliau telah dapat meramalkan apa yang akan terjadi.menurut saya:
Mudah-mudahan sekarang teman teman netter mengerti apa yang saya maksud dengan pencerahan diatas, pencerahannya adalah pencerahan Aristoteles bukan pencerahan Buddhis. (EUREKA....) TELAH KUTEMUKAN...... :)
(((Semoga kita melaksanakan apa yang dinasehatkan oleh Sang Buddha 2500 tahun yang lalu...)))
Sukhi Hotu...._/\_
_/\_
Saya sekarang sudah sadar bahwa belajar Dhamma kemudian dibawa kemana-mana untuk dijadikan pegangan hidup adalah beban... (ada yang mengoreksi saya, terima kasih...) cuma saya masih bingung, untuk apa ya saya belajar Dhamma? apakah untuk sekedar menang debat? atau sesuai dengan Kalama Sutta yang berbunyi...
...
Ah.. saya ini bodoh ya... :) mengikuti Kalama Sutta dengan membawa-bawa ajaran Sang Buddha dan menjadikannya sebagai pandangan hidup..., itu kan membawa beban... :) sebaiknya ajaran Sang Buddha jangan dijadikan sebagai pegangan hidup, dengan demikian maka baru kita disebut melepas... :) barulah kita disebut tidak melekat pada konsep..... :) Saya baru mengerti sekarang, bahwa ajaran Sang Buddha itu hanya sekedar konsep... dan itu harus dilepas... :)
Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang telah membuka wawasan saya.
Mungkin sekarang saya harus membuka wawasan saya yang sempit dengan mulai menyembelih kurban di hari Idul Adha, dan mencari keselamatan dengan menerima juru selamat tertentu, karena ini juga Dhamma kan?
Oh ya mungkin lebih baik menerima juru selamat tertentu maka semua persoalan beres... jadi tidak terjebak pada paham lepas atau tidak.....
Aduh saudara Sumedho, saya malu sekali, ternyata saya ini orang yang berpandangan sempit... saya ini hanya penuh konsep.... oleh karena itu saya harus berubah sekarang... harus membuka wawasan saya...
maaf teman-teman, saya telah membuat anda kesal dengan kebodohan saya yang hanya terpaku pada Tipitaka...
Sekarang saya tahu kita harus juga melihat Dhamma yang ada di agama-agama lain... oleh karena itu saya harus mengadopsi Dhamma-Dhamma lain seperti menyembelih kurban dan lain-lain....
...
Kalo untuk yang ini, "satori"-nya tentang apa yah?
rekan2 sekalian,Sayang sekali, saya sungguhan tidak paham. Maksudnya apa yah?
semoga jg ada lagi yg salah memahami ucapan saya...
sama seperti awan...
setiap hari awan itu ada di langit...
tetapi kita tidak melekatinya...
dia datang dia pergi...
tidak menghasilkan penderitaan apa2 bagi kita...
bukan suruh bikin penyedot raksasa buat ngisep itu awan yach :))
^pencerahan ariostoteles rekan Fabian...
mengikuti Kalama Sutta dengan membawa-bawa ajaran Sang Buddha dan menjadikannya sebagai pandangan hidup..., itu kan membawa beban... Smiley sebaiknya ajaran Sang Buddha jangan dijadikan sebagai pegangan hidup, dengan demikian maka baru kita disebut melepas... Smiley barulah kita disebut tidak melekat pada konsep..... Smiley Saya baru mengerti sekarang, bahwa ajaran Sang Buddha itu hanya sekedar konsep... dan itu harus dilepas...
Mungkin sekarang saya harus membuka wawasan saya yang sempit dengan mulai menyembelih kurban di hari Idul Adha, dan mencari keselamatan dengan menerima juru selamat tertentu, karena ini juga Dhamma kan?
Oh ya mungkin lebih baik menerima juru selamat tertentu maka semua persoalan beres... jadi tidak terjebak pada paham lepas atau tidak.....
Saya sekarang sudah sadar bahwa belajar Dhamma kemudian dibawa kemana-mana untuk dijadikan pegangan hidup adalah beban... (ada yang mengoreksi saya, terima kasih...) cuma saya masih bingung, untuk apa ya saya belajar Dhamma? apakah untuk sekedar menang debat? atau sesuai dengan Kalama Sutta yang berbunyi...
...
Ah.. saya ini bodoh ya... :) mengikuti Kalama Sutta dengan membawa-bawa ajaran Sang Buddha dan menjadikannya sebagai pandangan hidup..., itu kan membawa beban... :) sebaiknya ajaran Sang Buddha jangan dijadikan sebagai pegangan hidup, dengan demikian maka baru kita disebut melepas... :) barulah kita disebut tidak melekat pada konsep..... :) Saya baru mengerti sekarang, bahwa ajaran Sang Buddha itu hanya sekedar konsep... dan itu harus dilepas... :)
Terima kasih saya ucapkan kepada teman-teman yang telah membuka wawasan saya.
Mungkin sekarang saya harus membuka wawasan saya yang sempit dengan mulai menyembelih kurban di hari Idul Adha, dan mencari keselamatan dengan menerima juru selamat tertentu, karena ini juga Dhamma kan?
Oh ya mungkin lebih baik menerima juru selamat tertentu maka semua persoalan beres... jadi tidak terjebak pada paham lepas atau tidak.....
Aduh saudara Sumedho, saya malu sekali, ternyata saya ini orang yang berpandangan sempit... saya ini hanya penuh konsep.... oleh karena itu saya harus berubah sekarang... harus membuka wawasan saya...
maaf teman-teman, saya telah membuat anda kesal dengan kebodohan saya yang hanya terpaku pada Tipitaka...
Sekarang saya tahu kita harus juga melihat Dhamma yang ada di agama-agama lain... oleh karena itu saya harus mengadopsi Dhamma-Dhamma lain seperti menyembelih kurban dan lain-lain....
...
Kalo untuk yang ini, "satori"-nya tentang apa yah?
Yang diatas itu koan, gak seharusnya dibahas. ;D
Koan itu cerita-cerita ZEN, yg kadang2 sulit dimengerti seperti sebuah teka-teki...O... JAdi inget KOmik Zen.. :-? :-? :-?
Satori adalah istilah pencerahan dalam Buddhisme ZEN
Koan itu cerita-cerita ZEN, yg kadang2 sulit dimengerti seperti sebuah teka-teki...O... JAdi inget KOmik Zen.. :-? :-? :-?
Satori adalah istilah pencerahan dalam Buddhisme ZEN
JAdi klo ga ngerti2 "koan" ... Maka harus di "ketok" dulu kepalanya baru mendapatkan "satori" ;D
Hm... sepertinya saya mengerti.
Kalo hal2 aneh yang diucapkan "senior" ataupun "saudara sedhamma", dianggap dalam maknanya, tidak untuk dibahas. Dinamakan "Koan".
Kalo hal2 aneh yang diucapkan "orang luar" ataupun "saudara tidak sedhamma", bisa jadi dianggap sindiran, untuk dibahas dan ditunjukkan kesalahannya.
Terima kasih untuk penjelasannya.
Tatiyampi om fabain yang baik,^-^
Ini terakhir kalinya saya meminta penjelasaan dari anda,jika anda masih berdiam diri,maka saya mundur... :)
Terima kasih dan sekian...
NB:Semoga apa yang anda tulisan dengan niat yang baik tidak menyesatkan para pemula kedalam kefanatikan...
_/\_
Salam,
Riky
Tatiyampi om fabain yang baik,Sama khan seperti Pa Hudoyo yang tidak mau menanggapi postingan yang dianggap tidak penting :))
Ini terakhir kalinya saya meminta penjelasaan dari anda,jika anda masih berdiam diri,maka saya mundur... :)
Terima kasih dan sekian...
NB:Semoga apa yang anda tulisan dengan niat yang baik tidak menyesatkan para pemula kedalam kefanatikan...
_/\_
Salam,
Riky
[at] ryu : Ssst.... udah lah bro........ ^-^
yang sudah lalu, biarlah berlalu......... ;)
Sama khan seperti Pa Hudoyo yang tidak mau menanggapi postingan yang dianggap tidak penting :))
sudah merasakan hal yang sama yah :))
Weleh..weleh dari Therevada ke Zen sampe ke Hindu... :)) :))Ini bukan hanya Hindu, tapi tradisi di sana. Di zaman Buddha pun masih kental tradisi seperti ini.
Weleh..weleh dari Therevada ke Zen sampe ke Hindu... :)) :))Ini bukan hanya Hindu, tapi tradisi di sana. Di zaman Buddha pun masih kental tradisi seperti ini.
Kasta terbuang. Bukanlah salah satu di antara 4 kasta. Dianggap lebih rendah dari binatang.ooo apakahn kasta paria disini selalu menunduk ditanah? sepertinya tidak deh :))
Ketika orang dari kasta tinggi (Brahmana dan Ksatria) hadir, Paria ini bahkan tidak boleh menatap, hanya membungkuk di tanah. Orang dari Kasta lain boleh memperkosa, memperbudak, merampok kasta paria ini tanpa melanggar hukum.Weleh..weleh dari Therevada ke Zen sampe ke Hindu... :)) :))Ini bukan hanya Hindu, tapi tradisi di sana. Di zaman Buddha pun masih kental tradisi seperti ini.
:| maaf kan cuma j/k ^:)^ ^:)^
Kasta terbuang. Bukanlah salah satu di antara 4 kasta. Dianggap lebih rendah dari binatang.ooo apakahn kasta paria disini selalu menunduk ditanah? sepertinya tidak deh :))
Ketika orang dari kasta tinggi (Brahmana dan Ksatria) hadir, Paria ini bahkan tidak boleh menatap, hanya membungkuk di tanah. Orang dari Kasta lain boleh memperkosa, memperbudak, merampok kasta paria ini tanpa melanggar hukum.Weleh..weleh dari Therevada ke Zen sampe ke Hindu... :)) :))Ini bukan hanya Hindu, tapi tradisi di sana. Di zaman Buddha pun masih kental tradisi seperti ini.
Wah Sekarang semuanya sudah mulai bisa menilai batin orang :))Kasta terbuang. Bukanlah salah satu di antara 4 kasta. Dianggap lebih rendah dari binatang.ooo apakahn kasta paria disini selalu menunduk ditanah? sepertinya tidak deh :))
Ketika orang dari kasta tinggi (Brahmana dan Ksatria) hadir, Paria ini bahkan tidak boleh menatap, hanya membungkuk di tanah. Orang dari Kasta lain boleh memperkosa, memperbudak, merampok kasta paria ini tanpa melanggar hukum.Weleh..weleh dari Therevada ke Zen sampe ke Hindu... :)) :))Ini bukan hanya Hindu, tapi tradisi di sana. Di zaman Buddha pun masih kental tradisi seperti ini.
Tidak ada kasta paria di sini. Tetapi sepertinya ada yang memperlakukan orang lain seperti kasta paria, di mana kata2 dari si "paria" tidak perlu diindahkan.
Wah Sekarang semuanya sudah mulai bisa menilai batin orang :))
Riky mode = on :))
Ya itu khan hak masing2 untuk mau menjawab atau tidak, bukan seperti :Wah Sekarang semuanya sudah mulai bisa menilai batin orang :))
Riky mode = on :))
Bukan bathin yang saya nilai, tapi kelakuan yang terlihat. Dan memang yang saya lihat adalah omongan Riky_dave tidak dijawab.
Beda lho. Pak Hudoyo biasanya akan menjawab, walaupun isinya bisa jadi kata2 pedas. Kalo fabian c ini, menurut saya mungkin terlalu mulia untuk bicara dengan kasta "paria".
Dari yang saya pernah tahu mengenai ko fabian, dia bukan lah org yang sombong atau yang mengganggap org lain lebih rendah walaupun memang pengetahuan ko fabian sudah dalam.Saya memang tidak kenal fabian c. Semoga demikian adanya.
Dia berkenan menjawab jika memang org yang bertanya memang beritikad untuk berdiskusi, bukan untuk berdebat/yang membuta dengan hanya berdasar pengalaman semata
markosprawira,
Pertanyaan yang didiamkan oleh Buddha adalah 10 pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan Dhamma yaitu:
dunia kekal/tidak kekal/terbatas/tidak terbatas; tubuh sama/beda dengan jiwa; setelah meninggal Tathagata ada/tidak ada/ada & tidak ada/bukan ada & bukan tidak ada.
Rasanya tidak ada pertanyaan mengenai hal itu di sini. Memang tidak semua pertanyaan perlu diberikan jawaban, tetapi setidaknya berbaik hatilah untuk tidak mengabaikannya.
_/\_
[at]ryu..kakakakak lihatlah apa adanya riky, apabila anda merasa tersindir berarti anda melihat tersindir apa adanya :))
Saya tidak tahu mau berkata apa kepada anda,bertanya dan menyindir apakah itu hal yang sama walau mungkin terlihat sama?:)
[at]Kainyn
Terima kasih atas postingan anda yang menurut saya mungkin juga merasa heran dengan tingkah laku dari saudara fabian yang mengindahkan postingan saya,tapi biarkan saya toh,sudah tatiyampi, didalam Buddhisme hanya mengenal tingkat tertinggi menurut saya adalah TATIYAMPI,saya sudah mengatakan mundur kalau saudara fabian juga tidak berkenan menjelaskan atau lebih tepatnya memperjelas semua kata2 yang telah dipostingkan olehnya yang meragukan saya... :)
_/\_
Salam hangat,
Riky
Maksud aye khan dah jelas :))Memang hak dia om ryu,siapa yang merengek2?:)
Pa Hudoyo khan apabila tidak mau menjawab postingan orang itu khan hak Dia (misalnya bagi beliau postingan itu tidak penting dijawab/dianggap ngejunk), Sama juga dengan Fabian, kenapa harus seperti merengek2 minta jawaban sampe ketiga kali gitu :))
Jadi :
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4873.msg84024#msg84024
Ya sudah tunggu aja, barangkali terlewat atau bagaimana, khan kita tidak tau apa yang ada dalam batin fabian , oce! :))Maksud aye khan dah jelas :))Memang hak dia om ryu,siapa yang merengek2?:)
Pa Hudoyo khan apabila tidak mau menjawab postingan orang itu khan hak Dia (misalnya bagi beliau postingan itu tidak penting dijawab/dianggap ngejunk), Sama juga dengan Fabian, kenapa harus seperti merengek2 minta jawaban sampe ketiga kali gitu :))
Jadi :
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4873.msg84024#msg84024
Jadi dimana dong hak bertanya saya?
Saya juga punya hak untuk bertanya bukan?Dan sebaliknya saudara fabian juga berhak untuk tidak menjawab dan saya berhak mengajukan permintaan/lebih jelasnya disebut pertanggungjawaban atas postingnya sebanyak apapun,tapi 3 kali menurut saya itu sudah lebih dari cukup untuk mengetahui apakah saudara fabian berkenan untuk menjawab atau tidak dan lagi yang lebih penting bahwa apa yang saya tanyakan bukan merupakan sindiran terhadap pribadi saudara fabian,bukan berupa ngejunk tak karuan,juga tidak melenceng dari topik/postingan saudara fabian.:)
_/\_
Salam,
Riky
lagi yang lebih penting bahwa apa yang saya tanyakan bukan merupakan sindiran terhadap pribadi saudara fabian,bukan berupa ngejunk tak karuan,juga tidak melenceng dari topik/postingan saudara fabian.
NB:Semoga apa yang anda tulisan dengan niat yang baik tidak menyesatkan para pemula kedalam kefanatikan...
[at]Kainyn
Terima kasih atas postingan anda yang menurut saya mungkin juga merasa heran dengan tingkah laku dari saudara fabian yang mengindahkan postingan saya,tapi biarkan saya toh,sudah tatiyampi, didalam Buddhisme hanya mengenal tingkat tertinggi menurut saya adalah TATIYAMPI,saya sudah mengatakan mundur kalau saudara fabian juga tidak berkenan menjelaskan atau lebih tepatnya memperjelas semua kata2 yang telah dipostingkan olehnya yang meragukan saya... :)
Menurut anda sendiri om?Quotelagi yang lebih penting bahwa apa yang saya tanyakan bukan merupakan sindiran terhadap pribadi saudara fabian,bukan berupa ngejunk tak karuan,juga tidak melenceng dari topik/postingan saudara fabian.QuoteNB:Semoga apa yang anda tulisan dengan niat yang baik tidak menyesatkan para pemula kedalam kefanatikan...
klo ini termasuk sindiran/ngejunk atau apa bos??
Justru oleh karena saya tidak tahu batin saudara fabian,maka saya meminta penjelasaannya sampai tatiyampi yang dianggap oleh anda sebagai "merengek2",pahamkah anda sekarang om ryu yang baik?Ya sudah tunggu aja, barangkali terlewat atau bagaimana, khan kita tidak tau apa yang ada dalam batin fabian , oce! :))Maksud aye khan dah jelas :))Memang hak dia om ryu,siapa yang merengek2?:)
Pa Hudoyo khan apabila tidak mau menjawab postingan orang itu khan hak Dia (misalnya bagi beliau postingan itu tidak penting dijawab/dianggap ngejunk), Sama juga dengan Fabian, kenapa harus seperti merengek2 minta jawaban sampe ketiga kali gitu :))
Jadi :
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=4873.msg84024#msg84024
Jadi dimana dong hak bertanya saya?
Saya juga punya hak untuk bertanya bukan?Dan sebaliknya saudara fabian juga berhak untuk tidak menjawab dan saya berhak mengajukan permintaan/lebih jelasnya disebut pertanggungjawaban atas postingnya sebanyak apapun,tapi 3 kali menurut saya itu sudah lebih dari cukup untuk mengetahui apakah saudara fabian berkenan untuk menjawab atau tidak dan lagi yang lebih penting bahwa apa yang saya tanyakan bukan merupakan sindiran terhadap pribadi saudara fabian,bukan berupa ngejunk tak karuan,juga tidak melenceng dari topik/postingan saudara fabian.:)
_/\_
Salam,
Riky
Saudara Markos Prawira yang baik,Akhirnya anda turun gunung juga ya? :)
Terima kasih atas pembelaan anda, memang banyak orang yang salah sangka mengapa saya tidak menanggapi postingan-postingan terakhir, karena saya menilai hal ini sudah tidak bermanfaat, karena lama kelamaan kalau saya terlibat terus dalam perdebatan ini, akan menyia-nyiakan waktu saja.
Saya yakin anda tahu bahwa semua tulisan saya hanya ingin menerangkan bahwa kita sering timbul prasangka, inilah sebabnya rumor lebih cepat menyebar daripada fakta.Lantas apa yang anda lakukan dahulu dengan pak hudoyo dalam thread adbhidhamma dan vipassana dan beberap thread lainnya?Perlukah saya mengquotekan 1 per satu diskusi atau lebih tepatnya debat diantara kalian berdua saudara fabian yang baik?:)
Menurut saya tidak perlu saya memperpanjang debat, karena nanti saya akan dituduh tua bangkotan yang tak tahu diri yang mau menang sendiri, bisanya cuma berdebat. Tentu anda juga bisa merasakan bahwa debat sering-sering hanya menambah kekotoran batin. Lebih baik menyudahi debat yang tak berkesudahan.
Kebenaran sebaik apapun akan ditolak oleh orang yang memang sudah bertekad untuk mendebat.Coba renungkan lebih dalam dan praktekan dalam diri anda dan juga sebaliknya dengan saya,setujukah anda? :)
Mungkin perumpamaan saya berikut ini yang pernah saya postingkan di salah satu forum bisa menjadi pertimbangan pemikiran kita semua, betapa sia-sianya berdebat, bila yang dicari hanya PEMBENARAN, BUKAN MENCARI KEBENARAN. Dan kita cenderung mudah sekali terjebak pada hal itu.Andai anda dan saya bisa melihatnya lebih dalam,apakah anda yang benar atau saya yang benar?Entahlah...Who care with it?:)
Perumpamaannya demikian, harap diingat bahwa ini cuma perumpamaan:Benar saya setuju yang terbaik bagi anda adalah menyelami batin anda sendiri dan juga sebaliknya dengan saya...:)
Ada cerita mengenai orang kampung (umpamanya namanya si Mamat) yang suatu ketika pergi kekota untuk mencari kerja Ia terkenal karena staminanya. Selama di kota ia suka sekali mengikuti kegiatan pencinta alam, dan ia terkenal diantara para koleganya.sebagai yang paling hebat dalam memanjat gunung. (karena ia di desa sering memanjat bukit).
Suatu ketika bos perusahaan tempatnya bekerja memiliki ide, dalam rangka promosi, perusahaan Ia mensponsori pendakian gunung Jayawijaya. Tentu tidak sulit ditebak bahwa salah satu orang yang dipilih untuk ikut dalam team penaklukkan Puncak jayawijaya yang di pakai adalah si Mamat.
Singkatnya Mamat bersama dengan team yang lain pergi mEmanjat gunung. Dilengkapi dengan berbagai peralatan modern yang ada sekarang ini.
Dengan cermat Mamat mencatat semua pengalaman yang dia lakukan, treknya, suasananya, pokoknya arsipnya lengkap sekali. (karena Mamat memang sudah berpengalaman dalam mendaki gunung.
Setelah pulang kembali ke kotanya, suatu hari Mamat kembali ke desanya.
Di desanya Amat bertemu dengan teman mainnya sejak kecil (umpamanya namanya adalah Pailul). Lalu Amat menceritakan pengalamannya yang menegangkan mendaki puncak Jayawijaya kepada Pailul.
“Pada akhir ceritanya Pailul nyeletuk: oh ya...? ah nggak mungkin... mana ada gunung yang puncaknya diselimuti es...”
Lalu Mamat memperlihatkan petanya dan juga catatan pendakiannya kepada Pailul. Dengan berharap Pailul percaya apa yang diutarakannya.
Lalu Pailul setelah melihat peta dan catatan pendakian Mamat lalu bertanya kepada Mamat, “di Petanya tidak disebutkan kalau puncaknya diselimuti es kan...? itukan cuma peta..? kalau boleh saya tahu siapa yang menyusun catatan pendakian ini...? kamu kan...?”
Dengan sabar Mamat mengeluarkan foto-foto yang ia ambil ketika bersama timnya mendaki puncak Jayawijaya, termasuk foto ketika ia telah berhasil mengibarkan bendera perusahaannya di puncak Jayawijaya.
Lalu Pailul berkomentar,”Maaf saya sih pernah lihat foto si Oneng tetangga diujung gang, kenal kan...? sedang berjabatan tangan sama Pere..siden, juga si Bajuri suaminya, dia juga sedang salaman sama bintang pilem Rocky”, katanya sih dikerjain pake kompu...., kompu apa yah lupa, pokoknya dikerjain alat yang namanya ada kompunya...”
Dalam usahanya yang terakhir untuk menyadarkan si Pailul, Mamat lalu memperlihatkan videonya yang diambil selama mendaki puncak Jayawijaya.
Lalu Pailul bertanya kepada Mamat, “ini filmnya apa memang benar...?”
Mamat menjawab, “tentu saja, saya bikin videonya langsung...”
Lalu Pailul menjwab, “kalau memang video ini benar, maka Batman sama Superman juga benar dong.........”
------------- (end of story) ------------
Dari perumpamaan ini kita bisa menyimak beberapa hal,
Bila seseorang telah memiliki praduga, maka sulit mengubah praduga tersebut. Sebaik apapun fakta yang disodorkan.
Bila seseorang telah mengambil sikap tak percaya terhadap Tipitaka, tak ada seorangpun yang dapat mengubahnya menjadi percaya, walaupun pengetahuannya sendiri belum sampai kesitu.
Sutta yang sebenarnya lebih banyak memuat pengalaman praktek meditasi Sang Buddha dan para Arahat, bagi orang yang tidak mendalami meditasi maka sutta hanya merupakan teori.... seperti perumpamaan diatas.
Terima kasih kepada saudara Markos dan juga teman-teman netter yang telah meluangkan waktu membaca ini, dan saya rasa lebih bermanfaat bila saya lebih meluangkan waktu saya yang tersita, untuk meditasi. Saya rasa itulah yang terbaik.
((( Semoga kita semua berbahagia, dan bebas dari penderitaan )))
fabian
Menurut anda sendiri om?
Menurut saya pribadi tulisan om fabian menyesatkan,maka dari itu saya meminta penjelasan dari saudara fabian,tapi mungkin dia sibuk atau memang tak berkenan menjelaskan kepada saya?
Entahlah...Yang penting saya sudah meminta sebanyak 3 kali dan menurut saya itu sudah lebih dari cukup,pernahkah saudara melihat didalam sutta ada permintaaan lebih dari 3 kali kepada Buddha Shakyamuni?
Benar saya setuju yang terbaik bagi anda adalah menyelami batin anda sendiri dan juga sebaliknya dengan saya...
Saran saya kepada anda hanya,"Berhentilah mengagung2kan Tipitaka dalam bentuk apapun,karena itu adalah bentuk kemelekatan"
hush, sudahlah, jangan ikut2an :))QuoteMenurut anda sendiri om?
Menurut saya pribadi tulisan om fabian menyesatkan,maka dari itu saya meminta penjelasan dari saudara fabian,tapi mungkin dia sibuk atau memang tak berkenan menjelaskan kepada saya?
Entahlah...Yang penting saya sudah meminta sebanyak 3 kali dan menurut saya itu sudah lebih dari cukup,pernahkah saudara melihat didalam sutta ada permintaaan lebih dari 3 kali kepada Buddha Shakyamuni?QuoteBenar saya setuju yang terbaik bagi anda adalah menyelami batin anda sendiri dan juga sebaliknya dengan saya...
Saran saya kepada anda hanya,"Berhentilah mengagung2kan Tipitaka dalam bentuk apapun,karena itu adalah bentuk kemelekatan"
Gua rasa tulisan ***** diatas ini IQ , EQ, SQ nya super jongkok sekali. Makanya kalau belajar meditasi jangan sama ************** :))
QuoteDari yang saya pernah tahu mengenai ko fabian, dia bukan lah org yang sombong atau yang mengganggap org lain lebih rendah walaupun memang pengetahuan ko fabian sudah dalam.
Dia berkenan menjawab jika memang org yang bertanya memang beritikad untuk berdiskusi, bukan untuk berdebat/yang membuta dengan hanya berdasar pengalaman semata
Saya memang tidak kenal fabian c. Semoga demikian adanya.
_/\_
Bagaimana dengan pernyataan...Saudara dilbert yang baik,
BERHENTILAH MENG-AGUNG AGUNG-KAN KETIDAKMELEKATAN, KARENA ITU JUGA MERUPAKAN KEMELEKATAN JUGA...
karena ada yang MELEKAT PADA KETIDAKMELEKATAN... yang paling benar kan seharusnya TIDAKMELEKAT PADA KEMELEKATAN."TIDAKMELEKAT PADA KEMELEKATAN"
Seperti dalam kalimat politik SEPAKAT UNTUK TIDAK SEPAKAT.Entahlah,pencerahan dan kemelekatan bisa disetarakan dengan politik yang memang berbau sesat... :)
gimana nih... jadi OOT...
TANYA KENAPA ??
------------------------_/\_
Ada suatu cerita ZEN...
Seorang murid mendengar penjelasan guru-nya : Jangan berpegang pada kata kata karena Kata-Kata tidak mentransmisikan Pencerahan.
Oleh karena itu, murid tersebut membakar semua teks buddhis yang dimiliki. Ketika sang guru melihat hal tersebut, beliau berkata kepada muridnya : Bagaimanapun semua itu hanyalah kata kata saja.
-------------------------
Mungkin benar om bond,bahwa iq saya "super jongkok" sekali..Tapi saya heran kenapa pertanyaan orang yang "super jongkok" iq nya tidak bisa dijawab oleh orang yang dianggap sebagai "seekor naga"? :)QuoteMenurut anda sendiri om?
Menurut saya pribadi tulisan om fabian menyesatkan,maka dari itu saya meminta penjelasan dari saudara fabian,tapi mungkin dia sibuk atau memang tak berkenan menjelaskan kepada saya?
Entahlah...Yang penting saya sudah meminta sebanyak 3 kali dan menurut saya itu sudah lebih dari cukup,pernahkah saudara melihat didalam sutta ada permintaaan lebih dari 3 kali kepada Buddha Shakyamuni?QuoteBenar saya setuju yang terbaik bagi anda adalah menyelami batin anda sendiri dan juga sebaliknya dengan saya...Gua rasa tulisan ***** diatas ini IQ , EQ, SQ nya super jongkok sekali. Makanya kalau belajar meditasi jangan sama *************** :))
Saran saya kepada anda hanya,"Berhentilah mengagung2kan Tipitaka dalam bentuk apapun,karena itu adalah bentuk kemelekatan"
Entah apa yang dikonfirmasi kan oleh saudara fabian malahan terlihat melarikan diri dari tanggung jawab.. :)QuoteDari yang saya pernah tahu mengenai ko fabian, dia bukan lah org yang sombong atau yang mengganggap org lain lebih rendah walaupun memang pengetahuan ko fabian sudah dalam.
Dia berkenan menjawab jika memang org yang bertanya memang beritikad untuk berdiskusi, bukan untuk berdebat/yang membuta dengan hanya berdasar pengalaman semata
Saya memang tidak kenal fabian c. Semoga demikian adanya.
_/\_
dear Kai,
Sekarang udah dikonfirmasi langsung oleh ko fabian khan??? ;)
Hal serupa juga sebenarnya saya rasakan pada waktu berbincang dengan beberapa member yang "ngeyel" karena sudah memegang konsep yang menyimpang dari Tipitaka, semata karena pengalamannya berbedaWow..atas dasar apa anda berbicara seperti yang saya boldkan diatas? :)
Banyak yang berasumsi bahwa "berpedoman pada Tipitaka" adalah salah, karena ini menandakan kemelekatan.Maaf sekali,saya tidak pernah berkata bahwa "ini benar,ini salah" "ini yang harus diikuti,ini yang harus ditinggalkan"... :)
Karena itu, maka Tipitaka harus ditinggalkan
Ini seperti menyalahkan orang yang berpedoman pada peta, sehingga peta harus "dibuang".Pahami dulu diri anda sendiri,dan jangan terlalu banyak berspekulasi tentang tulisan orang lain,anda tidak akan pernah memahami batin orang lain.. :)
Namun mari kita kaji bersama, apakah benar orang yang berpedoman pada peta itu melekat pada "peta"?
Ataukah kita membutuhkan arah yang ditunjukkan oleh peta itu sehingga jika memang kita sudah "memahami" arah, maka peta tersebut sudah "tidak dibutuhkan" lagi?
Hal yang sama juga seyogyanya kita terapkan pada "individu/guru"Menurut anda,diri anda sendiri bagaimana?Apa yang anda lihat dan cari sampai saat ini selama anda masih bernafas dan ketika anda membaca balasan posting saya ini?
Misalnya Ada yang mengkultuskan individu/guru tertentu apalagi individu/guru tersebut sudah "terkenal" sehingga apapun yang dikatakan individu/guru itu, selalu dibenarkan oleh pengikutnya.
Padahal yang seharusnya dilihat, adalah "kebenaran" yang diberitahukan oleh guru itu
Itulah yang dianjurkan oleh Buddha kepada Upali, untuk ehipassiko/membuktikan dahulu ajaran Beliau, sebelum Upali menjadi pengikutnyaDan apa yang dilakukan oleh saudara fabian dkk,apakah sama dengan yang anda katakan diatas?:)
Hendaknya ini juga dilakukan oleh kita semua, untuk melihat dari kebenaran, bukan dari individunya semata
semoga bisa bermanfaat yah _/\_
Siapa yang mengagung2kannya?:)
Tidak ada yang perlu diagungkan didalam dunia ini,bukankah begitu?
Saya sebagai member hanya memberikan saran kepada saudara fabian,yang terlihat terlalu fanatik terhadap Tipitaka,entah sudah sampai mana tingkatan batin,saya tidak tahu,tapi terlihat sangat fanatik,saya mengasumsikan bahkan apa yang dibicarakannya hanya kutipan2 dari sutta belaka bukan berdasarkan pengalaman pribadi... :)
membicarakan/mempelajari sutta apakah bukan pengalaman pribadi juga? sepanjang pengetahuan saya, para praktisi meditasi terkenal (yang dianggap praktek dan memiliki pengalaman pribadi) tidak pernah "menyerang" individu individu yang katakanlah dianggap intelektual AJARAN (SCHOLAR)... Ketika seorang yang sudah praktek tetapi memiliki kecenderungan pemikiran untuk "merendahkan" orang lain (yang katakanlah secara "pencerahan" lebih rendah), saya jadi meragukan tingkat praktek orang tersebut...
salam...
Entah apa yang dikonfirmasi kan oleh saudara fabian malahan terlihat melarikan diri dari tanggung jawab.. :)QuoteDari yang saya pernah tahu mengenai ko fabian, dia bukan lah org yang sombong atau yang mengganggap org lain lebih rendah walaupun memang pengetahuan ko fabian sudah dalam.
Dia berkenan menjawab jika memang org yang bertanya memang beritikad untuk berdiskusi, bukan untuk berdebat/yang membuta dengan hanya berdasar pengalaman semata
Saya memang tidak kenal fabian c. Semoga demikian adanya.
_/\_
dear Kai,
Sekarang udah dikonfirmasi langsung oleh ko fabian khan??? ;)QuoteHal serupa juga sebenarnya saya rasakan pada waktu berbincang dengan beberapa member yang "ngeyel" karena sudah memegang konsep yang menyimpang dari Tipitaka, semata karena pengalamannya berbedaWow..atas dasar apa anda berbicara seperti yang saya boldkan diatas? :)QuoteBanyak yang berasumsi bahwa "berpedoman pada Tipitaka" adalah salah, karena ini menandakan kemelekatan.Maaf sekali,saya tidak pernah berkata bahwa "ini benar,ini salah" "ini yang harus diikuti,ini yang harus ditinggalkan"... :)
Karena itu, maka Tipitaka harus ditinggalkan
Dan saya tegaskan sekali lagi kepada anda,saya tidak pernah berasumsi bahwa berpedoman pada Tipitaka adalah salah
Perlu anda ingat bahwa ajaran SB adalah "Dukkha dan pemberhentian dukkha",dimana SB mengajarkan untuk belajar TIPITAKA?
Saya rasa anda tahu "isi" tipitaka itu apa bukan?
Bukankah tipitaka berisi semua ajaran Bhagava selama 45 tahun dia mengajar dan mungkin juga ajaran2 para murid2nya(Arahat) benarkah begitu adanya?:)QuoteIni seperti menyalahkan orang yang berpedoman pada peta, sehingga peta harus "dibuang".Pahami dulu diri anda sendiri,dan jangan terlalu banyak berspekulasi tentang tulisan orang lain,anda tidak akan pernah memahami batin orang lain.. :)
Namun mari kita kaji bersama, apakah benar orang yang berpedoman pada peta itu melekat pada "peta"?
Ataukah kita membutuhkan arah yang ditunjukkan oleh peta itu sehingga jika memang kita sudah "memahami" arah, maka peta tersebut sudah "tidak dibutuhkan" lagi?QuoteHal yang sama juga seyogyanya kita terapkan pada "individu/guru"Menurut anda,diri anda sendiri bagaimana?Apa yang anda lihat dan cari sampai saat ini selama anda masih bernafas dan ketika anda membaca balasan posting saya ini?
Misalnya Ada yang mengkultuskan individu/guru tertentu apalagi individu/guru tersebut sudah "terkenal" sehingga apapun yang dikatakan individu/guru itu, selalu dibenarkan oleh pengikutnya.
Padahal yang seharusnya dilihat, adalah "kebenaran" yang diberitahukan oleh guru itu
Coba tanyakan pada diri anda sendiri dahulu sebelum membalas posting saya yang 1 ini.. :)QuoteItulah yang dianjurkan oleh Buddha kepada Upali, untuk ehipassiko/membuktikan dahulu ajaran Beliau, sebelum Upali menjadi pengikutnyaDan apa yang dilakukan oleh saudara fabian dkk,apakah sama dengan yang anda katakan diatas?:)
Hendaknya ini juga dilakukan oleh kita semua, untuk melihat dari kebenaran, bukan dari individunya semata
semoga bisa bermanfaat yah _/\_
_/\_
Salam,
Riky
Saudara Markos Prawira yang baik,
Terima kasih atas pembelaan anda, memang banyak orang yang salah sangka mengapa saya tidak menanggapi postingan-postingan terakhir, karena saya menilai hal ini sudah tidak bermanfaat, karena lama kelamaan kalau saya terlibat terus dalam perdebatan ini, akan menyia-nyiakan waktu saja.
Saya yakin anda tahu bahwa semua tulisan saya hanya ingin menerangkan bahwa kita sering timbul prasangka, inilah sebabnya rumor lebih cepat menyebar daripada fakta.
Menurut saya tidak perlu saya memperpanjang debat, karena nanti saya akan dituduh tak tahu diri yang mau menang sendiri, bisanya cuma berdebat. Tentu anda juga bisa merasakan bahwa debat sering-sering hanya menambah kekotoran batin. Lebih baik menyudahi debat yang tak berkesudahan.
Kebenaran sebaik apapun akan ditolak oleh orang yang memang sudah bertekad untuk mendebat.
Mungkin perumpamaan saya berikut ini yang pernah saya postingkan di salah satu forum bisa menjadi pertimbangan pemikiran kita semua, betapa sia-sianya berdebat, bila yang dicari hanya PEMBENARAN, BUKAN MENCARI KEBENARAN. Dan kita cenderung mudah sekali terjebak pada hal itu.
Perumpamaannya demikian, harap diingat bahwa ini cuma perumpamaan:
Ada cerita mengenai orang kampung (umpamanya namanya si Mamat) yang suatu ketika pergi kekota untuk mencari kerja Ia terkenal karena staminanya. Selama di kota ia suka sekali mengikuti kegiatan pencinta alam, dan ia terkenal diantara para koleganya.sebagai yang paling hebat dalam memanjat gunung. (karena ia di desa sering memanjat bukit).
Suatu ketika bos perusahaan tempatnya bekerja memiliki ide, dalam rangka promosi, perusahaan Ia mensponsori pendakian gunung Jayawijaya. Tentu tidak sulit ditebak bahwa salah satu orang yang dipilih untuk ikut dalam team penaklukkan Puncak jayawijaya yang di pakai adalah si Mamat.
Singkatnya Mamat bersama dengan team yang lain pergi mEmanjat gunung. Dilengkapi dengan berbagai peralatan modern yang ada sekarang ini.
Dengan cermat Mamat mencatat semua pengalaman yang dia lakukan, treknya, suasananya, pokoknya arsipnya lengkap sekali. (karena Mamat memang sudah berpengalaman dalam mendaki gunung.
Setelah pulang kembali ke kotanya, suatu hari Mamat kembali ke desanya.
Di desanya Amat bertemu dengan teman mainnya sejak kecil (umpamanya namanya adalah Pailul). Lalu Amat menceritakan pengalamannya yang menegangkan mendaki puncak Jayawijaya kepada Pailul.
“Pada akhir ceritanya Pailul nyeletuk: oh ya...? ah nggak mungkin... mana ada gunung yang puncaknya diselimuti es...”
Lalu Mamat memperlihatkan petanya dan juga catatan pendakiannya kepada Pailul. Dengan berharap Pailul percaya apa yang diutarakannya.
Lalu Pailul setelah melihat peta dan catatan pendakian Mamat lalu bertanya kepada Mamat, “di Petanya tidak disebutkan kalau puncaknya diselimuti es kan...? itukan cuma peta..? kalau boleh saya tahu siapa yang menyusun catatan pendakian ini...? kamu kan...?”
Dengan sabar Mamat mengeluarkan foto-foto yang ia ambil ketika bersama timnya mendaki puncak Jayawijaya, termasuk foto ketika ia telah berhasil mengibarkan bendera perusahaannya di puncak Jayawijaya.
Lalu Pailul berkomentar,”Maaf saya sih pernah lihat foto si Oneng tetangga diujung gang, kenal kan...? sedang berjabatan tangan sama Pere..siden, juga si Bajuri suaminya, dia juga sedang salaman sama bintang pilem Rocky”, katanya sih dikerjain pake kompu...., kompu apa yah lupa, pokoknya dikerjain alat yang namanya ada kompunya...”
Dalam usahanya yang terakhir untuk menyadarkan si Pailul, Mamat lalu memperlihatkan videonya yang diambil selama mendaki puncak Jayawijaya.
Lalu Pailul bertanya kepada Mamat, “ini filmnya apa memang benar...?”
Mamat menjawab, “tentu saja, saya bikin videonya langsung...”
Lalu Pailul menjwab, “kalau memang video ini benar, maka Batman sama Superman juga benar dong.........”
------------- (end of story) ------------
Dari perumpamaan ini kita bisa menyimak beberapa hal,
Bila seseorang telah memiliki praduga, maka sulit mengubah praduga tersebut. Sebaik apapun fakta yang disodorkan.
Bila seseorang telah mengambil sikap tak percaya terhadap Tipitaka, tak ada seorangpun yang dapat mengubahnya menjadi percaya, walaupun pengetahuannya sendiri belum sampai kesitu.
Sutta yang sebenarnya lebih banyak memuat pengalaman praktek meditasi Sang Buddha dan para Arahat, bagi orang yang tidak mendalami meditasi maka sutta hanya merupakan teori.... seperti perumpamaan diatas.
Terima kasih kepada saudara Markos dan juga teman-teman netter yang telah meluangkan waktu membaca ini, dan saya rasa lebih bermanfaat bila saya lebih meluangkan waktu saya yang tersita, untuk meditasi. Saya rasa itulah yang terbaik.
((( Semoga kita semua berbahagia, dan bebas dari penderitaan )))
fabian
QuoteDari perumpamaan ini kita bisa menyimak beberapa hal,
Bila seseorang telah memiliki praduga, maka sulit mengubah praduga tersebut. Sebaik apapun fakta yang disodorkan.
Bila seseorang telah mengambil sikap tak percaya terhadap Tipitaka, tak ada seorangpun yang dapat mengubahnya menjadi percaya, walaupun pengetahuannya sendiri belum sampai kesitu.
Sutta yang sebenarnya lebih banyak memuat pengalaman praktek meditasi Sang Buddha dan para Arahat, bagi orang yang tidak mendalami meditasi maka sutta hanya merupakan teori.... seperti perumpamaan diatas.
Terima kasih kepada saudara Markos dan juga teman-teman netter yang telah meluangkan waktu membaca ini, dan saya rasa lebih bermanfaat bila saya lebih meluangkan waktu saya yang tersita, untuk meditasi. Saya rasa itulah yang terbaik.
((( Semoga kita semua berbahagia, dan bebas dari penderitaan )))
fabian
Seorang Mamat yg BAIK terhadap Pailul (teman baik sejak kecil)...
akan tidak putus asa membuat Pailul mengerti... walaupun itu kelihatanya
selalu dibantah dan spt tidak mungkin dijelasin....
maka Mamat yg BAIK (HATI) akan mengajak Pailul ke gunung yg meliputin ES tsb...
Pailul.. eh nanti ultah kamu gw ingin ngajak kamu ke kota main2... kamu pasti senang..
begitu juga saya... karna kita teman yg paling lama... kita akan makan es cream
(jadi secara rahasia.... Pailul diajak ke gunung Es tsb)!
Apakah Amat termasuk teman yg BAIK?
Mungkin benar om bond,bahwa iq saya "super jongkok" sekali..Tapi saya heran kenapa pertanyaan orang yang "super jongkok" iq nya tidak bisa dijawab oleh orang yang dianggap sebagai "seekor naga"? :)QuoteMenurut anda sendiri om?
Menurut saya pribadi tulisan om fabian menyesatkan,maka dari itu saya meminta penjelasan dari saudara fabian,tapi mungkin dia sibuk atau memang tak berkenan menjelaskan kepada saya?
Entahlah...Yang penting saya sudah meminta sebanyak 3 kali dan menurut saya itu sudah lebih dari cukup,pernahkah saudara melihat didalam sutta ada permintaaan lebih dari 3 kali kepada Buddha Shakyamuni?QuoteBenar saya setuju yang terbaik bagi anda adalah menyelami batin anda sendiri dan juga sebaliknya dengan saya...Gua rasa tulisan ***** diatas ini IQ , EQ, SQ nya super jongkok sekali. Makanya kalau belajar meditasi jangan sama *************** :))
Saran saya kepada anda hanya,"Berhentilah mengagung2kan Tipitaka dalam bentuk apapun,karena itu adalah bentuk kemelekatan"
Kenapa sekarang sang naga malah bersembunyi dibalik guanya?
Masak sang naga "kalah" dengan anak kecil yang "super jongkok" iqnya? :)
Atau mungkin pengendalian diri anda membawa anda menjadi manusia super pintar iqnya?
Jadi silakan toh,gantikan sang naga yang menjawab pertanyaan saya jika anda merasa mampu,jangan hanya bisa berbicara saja... :)
_/\_
Salam,
Riky
hehe,berati sama dong dengan kasus saya,jika saya asumsikan saya adalah orang yang bijak dan anda adalah orang yang bodoh setengah mati?Pantesan jawaban2 saya selama ini tidak ada yang dimengerti oleh anda...Sama saran saya,jadi belajar yang benar juga yak,tar kalau udah hebat "pengendalian diri" anda baru cari saya lagi kembali... :))Mungkin benar om bond,bahwa iq saya "super jongkok" sekali..Tapi saya heran kenapa pertanyaan orang yang "super jongkok" iq nya tidak bisa dijawab oleh orang yang dianggap sebagai "seekor naga"? :)QuoteMenurut anda sendiri om?
Menurut saya pribadi tulisan om fabian menyesatkan,maka dari itu saya meminta penjelasan dari saudara fabian,tapi mungkin dia sibuk atau memang tak berkenan menjelaskan kepada saya?
Entahlah...Yang penting saya sudah meminta sebanyak 3 kali dan menurut saya itu sudah lebih dari cukup,pernahkah saudara melihat didalam sutta ada permintaaan lebih dari 3 kali kepada Buddha Shakyamuni?QuoteBenar saya setuju yang terbaik bagi anda adalah menyelami batin anda sendiri dan juga sebaliknya dengan saya...Gua rasa tulisan ***** diatas ini IQ , EQ, SQ nya super jongkok sekali. Makanya kalau belajar meditasi jangan sama *************** :))
Saran saya kepada anda hanya,"Berhentilah mengagung2kan Tipitaka dalam bentuk apapun,karena itu adalah bentuk kemelekatan"
Kenapa sekarang sang naga malah bersembunyi dibalik guanya?
Masak sang naga "kalah" dengan anak kecil yang "super jongkok" iqnya? :)
Atau mungkin pengendalian diri anda membawa anda menjadi manusia super pintar iqnya?
Jadi silakan toh,gantikan sang naga yang menjawab pertanyaan saya jika anda merasa mampu,jangan hanya bisa berbicara saja... :)
_/\_
Salam,
Riky
Justru sang naga sangat bijak, karena dia tahu betul, sekalipun dia jawab elu, elu ngak bakalan ngerti. Sekalipun gua mampu jawab pertanyaan elu. apa elu sanggup mengerti :)) karena elu uda mengaku sendiri anak kecil yg IQ super jongkok, jadi belajar yg bener yak, ntar kalo uda bener baru di jawab :))
Uhm..jika anda mengasumsikan saya sebagai praktisi meditasi terkenal maka sungguh bodohnya engkau saudaraku,..."Tidak ada yang perlu ditinggikan atau direndahkan didunia ini,yang perlu adalah meragukan hal tersebut sampai diehipassiko oleh diri sendiri oleh karena itu lah SB berkata EHIPASSIKO,OPANIYAKO,PACCATAM"Siapa yang mengagung2kannya?:)
Tidak ada yang perlu diagungkan didalam dunia ini,bukankah begitu?
Saya sebagai member hanya memberikan saran kepada saudara fabian,yang terlihat terlalu fanatik terhadap Tipitaka,entah sudah sampai mana tingkatan batin,saya tidak tahu,tapi terlihat sangat fanatik,saya mengasumsikan bahkan apa yang dibicarakannya hanya kutipan2 dari sutta belaka bukan berdasarkan pengalaman pribadi... :)
membicarakan/mempelajari sutta apakah bukan pengalaman pribadi juga ? sepanjang pengetahuan saya, para praktisi meditasi terkenal (yang dianggap praktek dan memiliki pengalaman pribadi) tidak pernah "menyerang" individu individu yang katakanlah dianggap intelektual AJARAN (SCHOLAR)... Ketika seorang yang sudah praktek tetapi memiliki kecenderungan pemikiran untuk "merendahkan" orang lain (yang katakanlah secara "pencerahan" lebih rendah), saya jadi meragukan tingkat praktek orang tersebut...
salam...
_/\_
membicarakan/mempelajari sutta apakah bukan pengalaman pribadi juga? sepanjang pengetahuan saya, para praktisi meditasi terkenal (yang dianggap praktek dan memiliki pengalaman pribadi) tidak pernah "menyerang" individu individu yang katakanlah dianggap intelektual AJARAN (SCHOLAR)... Ketika seorang yang sudah praktek tetapi memiliki kecenderungan pemikiran untuk "merendahkan" orang lain (yang katakanlah secara "pencerahan" lebih rendah), saya jadi meragukan tingkat praktek orang tersebut...
salam...
dear dilbert,
kebijaksanaan secara lengkapnya adalah :
~ Suttamayapanna (kebijaksanaan yg diperoleh dari belajar dan membaca)
~ Cintamayapanna (kebijaksanaan yg diperoleh melalui pemahaman dan pengalaman)
~ Bhavanamayapanna (kebijaksanaan yg diperoleh melalui meditasi)
jadi sangat benar apa yang anda sebut diatas bahwa juga adalah pengalaman pribadi, yang akan membawa kebijaksanaan bagi pribadi yang bersangkutan _/\_
Setuju saudara markos...Entah apa yang dikonfirmasi kan oleh saudara fabian malahan terlihat melarikan diri dari tanggung jawab.. :)QuoteDari yang saya pernah tahu mengenai ko fabian, dia bukan lah org yang sombong atau yang mengganggap org lain lebih rendah walaupun memang pengetahuan ko fabian sudah dalam.
Dia berkenan menjawab jika memang org yang bertanya memang beritikad untuk berdiskusi, bukan untuk berdebat/yang membuta dengan hanya berdasar pengalaman semata
Saya memang tidak kenal fabian c. Semoga demikian adanya.
_/\_
dear Kai,
Sekarang udah dikonfirmasi langsung oleh ko fabian khan??? ;)QuoteHal serupa juga sebenarnya saya rasakan pada waktu berbincang dengan beberapa member yang "ngeyel" karena sudah memegang konsep yang menyimpang dari Tipitaka, semata karena pengalamannya berbedaWow..atas dasar apa anda berbicara seperti yang saya boldkan diatas? :)QuoteBanyak yang berasumsi bahwa "berpedoman pada Tipitaka" adalah salah, karena ini menandakan kemelekatan.Maaf sekali,saya tidak pernah berkata bahwa "ini benar,ini salah" "ini yang harus diikuti,ini yang harus ditinggalkan"... :)
Karena itu, maka Tipitaka harus ditinggalkan
Dan saya tegaskan sekali lagi kepada anda,saya tidak pernah berasumsi bahwa berpedoman pada Tipitaka adalah salah
Perlu anda ingat bahwa ajaran SB adalah "Dukkha dan pemberhentian dukkha",dimana SB mengajarkan untuk belajar TIPITAKA?
Saya rasa anda tahu "isi" tipitaka itu apa bukan?
Bukankah tipitaka berisi semua ajaran Bhagava selama 45 tahun dia mengajar dan mungkin juga ajaran2 para murid2nya(Arahat) benarkah begitu adanya?:)QuoteIni seperti menyalahkan orang yang berpedoman pada peta, sehingga peta harus "dibuang".Pahami dulu diri anda sendiri,dan jangan terlalu banyak berspekulasi tentang tulisan orang lain,anda tidak akan pernah memahami batin orang lain.. :)
Namun mari kita kaji bersama, apakah benar orang yang berpedoman pada peta itu melekat pada "peta"?
Ataukah kita membutuhkan arah yang ditunjukkan oleh peta itu sehingga jika memang kita sudah "memahami" arah, maka peta tersebut sudah "tidak dibutuhkan" lagi?QuoteHal yang sama juga seyogyanya kita terapkan pada "individu/guru"Menurut anda,diri anda sendiri bagaimana?Apa yang anda lihat dan cari sampai saat ini selama anda masih bernafas dan ketika anda membaca balasan posting saya ini?
Misalnya Ada yang mengkultuskan individu/guru tertentu apalagi individu/guru tersebut sudah "terkenal" sehingga apapun yang dikatakan individu/guru itu, selalu dibenarkan oleh pengikutnya.
Padahal yang seharusnya dilihat, adalah "kebenaran" yang diberitahukan oleh guru itu
Coba tanyakan pada diri anda sendiri dahulu sebelum membalas posting saya yang 1 ini.. :)QuoteItulah yang dianjurkan oleh Buddha kepada Upali, untuk ehipassiko/membuktikan dahulu ajaran Beliau, sebelum Upali menjadi pengikutnyaDan apa yang dilakukan oleh saudara fabian dkk,apakah sama dengan yang anda katakan diatas?:)
Hendaknya ini juga dilakukan oleh kita semua, untuk melihat dari kebenaran, bukan dari individunya semata
semoga bisa bermanfaat yah _/\_
_/\_
Salam,
Riky
Dear Riky,
Selama kita menjadi putthujhana, selalu ada kebenaran relatif (Pannati Dhamma) yang benar menurut persepsi masing-masing.
Itu yang pernah saya sebut dengan "setiap org kecocokan masing2"
cuma jika saya boleh saran, coba anda baca2 mengenai paham "Brahman" atau "Atman" dari Nigantha Nataputtha, juga bandingkan dengan JK dan MMDTerima kasih atas sarannya saudaraku markos,tetapi saya jarang sekali membaca hal2 tersebut,bisakah anda memberikan terjemahannya kepada saya ke gmail saya?
Lalu bandingkan lagi dengan paham ANATTA dalam Buddhism
semoga bisa bermanfaat yah _/\_
sesuatu yang sudah berbeda sudut pandang, hendaknya
Uhm..jika anda mengasumsikan saya sebagai praktisi meditasi terkenal maka sungguh bodohnya engkau saudaraku,..."Tidak ada yang perlu ditinggikan atau direndahkan didunia ini,yang perlu adalah meragukan hal tersebut sampai diehipassiko oleh diri sendiri oleh karena itu lah SB berkata EHIPASSIKO,OPANIYAKO,PACCATAM"
_/\_
Salam hangat,
Riky
_/\_
membicarakan/mempelajari sutta apakah bukan pengalaman pribadi juga? sepanjang pengetahuan saya, para praktisi meditasi terkenal (yang dianggap praktek dan memiliki pengalaman pribadi) tidak pernah "menyerang" individu individu yang katakanlah dianggap intelektual AJARAN (SCHOLAR)... Ketika seorang yang sudah praktek tetapi memiliki kecenderungan pemikiran untuk "merendahkan" orang lain (yang katakanlah secara "pencerahan" lebih rendah), saya jadi meragukan tingkat praktek orang tersebut...
salam...
dear dilbert,
kebijaksanaan secara lengkapnya adalah :
~ Suttamayapanna (kebijaksanaan yg diperoleh dari belajar dan membaca)
~ Cintamayapanna (kebijaksanaan yg diperoleh melalui pemahaman dan pengalaman)
~ Bhavanamayapanna (kebijaksanaan yg diperoleh melalui meditasi)
jadi sangat benar apa yang anda sebut diatas bahwa juga adalah pengalaman pribadi, yang akan membawa kebijaksanaan bagi pribadi yang bersangkutan _/\_
Dear markos,
Andai kebijaksanaan itu tidak menimbulkan "asumsi2" yang menyesatkan dan ketidak berkenaannya ybs untuk mengklarifikasi/memberikan penjelasan tentang bagian2 yang ditanyakan.. :)
_/\_
Salam hangat,
Riky
Terima kasih atas sarannya saudaraku markos,tetapi saya jarang sekali membaca hal2 tersebut,bisakah anda memberikan terjemahannya kepada saya ke gmail saya?
Oleh karena waktu saya yang sangat sempit juga...
Budha sebagai manusia yang sempurna baik pengetahuan dan tindak tanduknya saja, masih juga tidak bisa mencerahkan semua orang
QuoteBudha sebagai manusia yang sempurna baik pengetahuan dan tindak tanduknya saja, masih juga tidak bisa mencerahkan semua orang
protes nih, bro !
Buddha adalah makhluk agung yang sempurna dalam welas asih dan kebijaksanaannya..
sempurna dalam welas asih, berarti tidak membeda-bedakan, mana yg dekat atau tidak dengan Beliau.
contohnya : dlm pernyataan Beliau ketika Devadatta sakit keras, bahwa Kasih Beliau terhadap Rahula dan Devadatta adalah sama.
dan berkat pernyataan kebenaran tersebut, Devadatta sembuh dari sakitnya.
sempurna dalam kebijaksanaan, berarti Beliau mahir dalam berbagai cara dalam membimbing semua makhluk dalam membebaskan diri dari penderitaan dan meraih kebahagiaan.
kita masih belum tercerahkan, bukan karena Sang Buddha tidak sempurna, melainkan karena kita yang belum sempurna dalam mempraktekkan Dharma yang Beliau ajarkan [jujur aje, saya iya]. Karena Guru Buddha tidak bisa mentransfer kualitas2 baik yang sempurna ke dalam diri kita, mencuci karma2 buruk kita, dsb. Beliau menolong semua makhluk dengan mengajarkan Dharma. PR kita yang belum selesai2 jadi zaman bahula ampe sekarang yang musti jadi perhatian kita.. TANYA KENAPA??
_/\_
By : Zen
Dhamma bukanlah Sutta.
mengatakan dhamma adalah sutta adalah fanatisme theravada.
sutta mungkin memuat uraian dhamma.
tapi dhamma tidak hanya dalam sutta.
kebenaran ada di mana-mana. di dalam mesjid, gereja, pura, dsb...
Kpd YTH saudara Tesla,QuoteDhamma bukanlah Sutta.
mengatakan dhamma adalah sutta adalah fanatisme theravada.
sutta mungkin memuat uraian dhamma.
tapi dhamma tidak hanya dalam sutta.
kebenaran ada di mana-mana. di dalam mesjid, gereja, pura, dsb...
tolong diperjelas maksud diatas...
dhamma = kebenaran??
baik klo memang begitu kenapa engak disebutkan dhamma islam, dhamma kr****n, dhamma hindu??
tp yg disebutkan adalah dhamma sang buddha, bukan dhamma muhamad, dhamma yesus, dll??
Kpd YTH saudara Tesla,QuoteDhamma bukanlah Sutta.
mengatakan dhamma adalah sutta adalah fanatisme theravada.
sutta mungkin memuat uraian dhamma.
tapi dhamma tidak hanya dalam sutta.
kebenaran ada di mana-mana. di dalam mesjid, gereja, pura, dsb...
tolong diperjelas maksud diatas...
dhamma = kebenaran??
baik klo memang begitu kenapa engak disebutkan dhamma islam, dhamma kr****n, dhamma hindu??
tp yg disebutkan adalah dhamma sang buddha, bukan dhamma muhamad, dhamma yesus, dll??
soal penamaan Dhamma Buddha, Dhamma kr****n, Dhamma Muhamad, dll saya rasa tidak mempengaruhi dhamma (kebenaran) itu sendiri...
dear tesla,
mungkin perlu diperjelas mengenai pembagian dhamma menjadi pannati/konsep dan paramattha/hakekat sesungguhnya
Quotesoal penamaan Dhamma Buddha, Dhamma kr****n, Dhamma Muhamad, dll saya rasa tidak mempengaruhi dhamma (kebenaran) itu sendiri...
wahh klo gak mempengaruhi jd dhamma sang buddha dgn dhamma kr****n dan dhamma muhamad sama donk???
jelas2 dhamma sang buddha mengajarkan soal anatta sedangkan dhamma kr****n dan dhamma muhamad mengajarkan atta... gmn nich???
Quotesoal penamaan Dhamma Buddha, Dhamma kr****n, Dhamma Muhamad, dll saya rasa tidak mempengaruhi dhamma (kebenaran) itu sendiri...
wahh klo gak mempengaruhi jd dhamma sang buddha dgn dhamma kr****n dan dhamma muhamad sama donk???
jelas2 dhamma sang buddha mengajarkan soal anatta sedangkan dhamma kr****n dan dhamma muhamad mengajarkan atta... gmn nich???
Apa beda Dhamma sebagai Kebenaran dan Dhamma sebagai Ajaran Buddha...bukankah Ajaran Buddha adalah Kebenaran,kenapa membedakan namanya Dhamma Kebenaran dan Dhamma Ajaran Buddha?
Apakah analoginya begini.
Fisika adalah gerak yang ada pada tiap pribadi dan universal. ketika seorang menemukan Fisika dan merumuskan Fisika dinamakan Ilmu Fisika?
Kebenaran yang paling universal yaitu "hidup adalah dukha". kebenaran yang lain yang masih bisa dipertanyakan keknya kebenaran yang relatif yah hmmm.lho kok yg lain relatif??
Quotesoal penamaan Dhamma Buddha, Dhamma kr****n, Dhamma Muhamad, dll saya rasa tidak mempengaruhi dhamma (kebenaran) itu sendiri...
wahh klo gak mempengaruhi jd dhamma sang buddha dgn dhamma kr****n dan dhamma muhamad sama donk???
jelas2 dhamma sang buddha mengajarkan soal anatta sedangkan dhamma kr****n dan dhamma muhamad mengajarkan atta... gmn nich???
secara de facto memang dhamma itu sudah tertranslate menjadi ajaran Buddha...
namun yg saya tulis disini sebagai kebenaran... shg agak ga nyambung... :hammer:
jadi mau dinamakan apapun, "melihat" tetaplah "melihat"...
mau dibilang "khan" "seeing" "khua" "caliak" dst... tetap saja begitu...
YTH Tesla,
Dhamma itu identik dengan buddha spt yang saya bilang klo dhamma disamakan dengan kebenaran disini jadi rancu salah satu ciri khas dari Dhamma ajaran sang buddha adalah anicca, dukkha, dan anatta apakah hal tersebut dapat ditemui dalam al quran/alkitab?
anicca, dukkha, anatta bagi saya berlaku utk semua hal di dunia,
Alkitab, Alquran termasuk jg Tipitaka...
tanyakan saja pada orang beragama lain, saya yakin mereka berpendapat "dunia ini fana",
perbedaannya adalah bagi mereka, setelah kematian fisik ini ada "dunia yg tidak fana..."
pada umumnya mereka berpegang pada janji2 nanti di akherat (dunia yg tidak fana katanya...)
dah jelaslah yg kita bicarakan beda...Quoteanicca, dukkha, anatta bagi saya berlaku utk semua hal di dunia,
Alkitab, Alquran termasuk jg Tipitaka...
source please specially this one anatta
tidak kok, Anda mencari ajaran Anatta, yg saya sebut bukan hanya mencangkup suatu ajaran.Quotetanyakan saja pada orang beragama lain, saya yakin mereka berpendapat "dunia ini fana",
perbedaannya adalah bagi mereka, setelah kematian fisik ini ada "dunia yg tidak fana..."
pada umumnya mereka berpegang pada janji2 nanti di akherat (dunia yg tidak fana katanya...)
kontradiksi dengan statement awal anda ;D
n ini sedikit literature untuk anda
Orang jaman dahulu menganggap bahwa bumi datar, bukan berarti fakta bahwa bumi bulat tidak berlaku untuk orang jaman dahulu (Percaya atau tidak percaya bumi tetap bulat) ini adalah kebenaran universal.
tetapi Orang jaman dahulu tak mengajarkan bahwa bumi bulat, jadi orang jaman dahulu mengajarkan berdasarkan ketidak tahuan... Orang jaman dahulu seperti agama-agama lain (yang mengajarkan nicca, sukha dan atta)
Sang Buddha seperti Columbus... yang membuktikan bahwa bumi bulat...(yang mengajarkan anicca, dukkha dan anatta)
tanyakan saja pada orang beragama lain, saya yakin mereka berpendapat "dunia ini fana",
perbedaannya adalah bagi mereka, setelah kematian fisik ini ada "dunia yg tidak fana..."
pada umumnya mereka berpegang pada janji2 nanti di akherat (dunia yg tidak fana katanya...)
Quotetanyakan saja pada orang beragama lain, saya yakin mereka berpendapat "dunia ini fana",
perbedaannya adalah bagi mereka, setelah kematian fisik ini ada "dunia yg tidak fana..."
pada umumnya mereka berpegang pada janji2 nanti di akherat (dunia yg tidak fana katanya...)
Om tesla, bukannya kalau nanya pada orang beragama lain, saya yakin mereka berpendapat "ada roh" ;D
"pada umumnya mereka berpegang pada janji2 nanti di akherat (dunia yg tidak fana katanya...)" Dibuddha juga jangan2 sama yah berpegang pada janji2 nanti Nibbana gitu? ;D
Dhamma pada ajaran/paham lain bisa menjadi Dhamma, namun hanya menjadi Dhamma dalam tataran konsep saja
Sementara Dhamma pada Buddhism, adalah kebenaran yang hakiki/sesungguhnya, sesuai dengan DhammaGuna diatas
FYI bahwa bumi itu sendiri sebenarnya tidak bulat seperti bola, namun agak sedikit lonjong di bagian kedua kutubnya...... jadi ilmu pengetahuan sendiri terus menerus berubah bahkan belum lama ini, ada seorang mahasiswa matematika yang mengoreksi sedikit perhitungan Einstein
Namun Dhamma yang diajarkan Buddha, sesuai DhammaGuna diatas, sudah sempurna dibabarkan alias sudah tidak ada penambahan apapun lagi
Semoga bisa bermanfaat bagi kita semua.......... _/\_
Diposting donk 62 Pandangan Anatta yang salah biar pada melek.....Thanks yah bro markos
[at] bro nyanadhana
di mana bisa baca sutta tentang 5 pertapa aliran sesat di zaman Sang Buddha
dicari-cari lom ketemu :'( kurang virya nyarinya :hammer:
Thanks ...... _/\_
[at] tula : sempurna karena sudah cukup sebagai "bekal" untuk mencapai nibbana... cmiiw _/\_
Perbedaan utama ajaran Buddha adalah mengenai 4 kesunyataan mulia dan Anatta sebagai suatu proses yang timbul dan tenggelam
kenapa Anatta saya perjelas, dan tidak hanya sekedar Anatta? karena ternyata banyak paham tentang Anatta yang beredar, namun itu adalah pandangan salah (Ada sekitar 62 pandangan)
semoga bisa bermanfaat _/\_
sdr. markosprawira,
saya sedang tidak mencoba mencampuradukan antara Dharma dengan Logika. Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak ada salahnya ada yang berusaha untuk mempelajari ajaran Budhha (dalam arti teks tertulis yang ada di dalam Tripitaka) dengan menggunakan logika. Dalam hal ini saya juga bermaksud mengatakan tidak ada gunanya mendiskusikan ajaran buddha dengan commonsense belaka.
Sedangkan berbagai tipe Dharma yang anda sebutkan berkaitan dengan apa yang tercantum dalam Anguttara Nikaya Tikanipata, tidak lain adalah bagaimana Ajaran Buddha mengkonstruksi pemikiran tentang apa itu Dharma. Yang saya maksudkan adalah lebih sederhana daripada itu: teks yang digunakan Umat Buddha secara objektif; sebagai kertas dan kumpulan tulisan mengenai Ajaran Buddha. Dalam hal ini, Anguttara Nikaya Tikanipata harus dilihat sebagai bagian darinya, yaitu sebagai salah satu teks tertulis yang memuat tentang apa itu Dhamma menurut Ajaran Buddha sendiri.
Jelas dalam hal ini, teks juga adalah produksi manusia belaka. Apakah teks itu nantinya dianggap memuat tentang "Dhamma sebagai kebenaran yang hakiki (paramattha)" itu adalah hal lain. Pastinya: Teks Tri Pitaka yang tersedia bagi kita sekarang adalah produksi dan hasil kerja dari manusia. Sama dengan kitab lain, meski Al Quran, Alkitab dan kitab suci dianggap berisi wahyu Tuhan yang maha benar, namun kajian sejarah membuktikan bahwa manusia yang menulisnya. Selama itu sebagai hasil dari karya budaya manusia, sebuah teks dapat diuji kadar kebenaran dengan perangkat-perangkat atau metode-metode yang ada.
Mengenai "Dhamma sebagai kebenaran yang hakiki (paramattha)" , saya yakin hanya dapat dicapai dengan praktik, bukan diskusi. Saya juga yakin "kebenaran yang hakiki" tidak ada dalam teks yang jelas-jelas hanya merupakan produk manusia dan terbatas oleh pemahaman bahasa.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak ada salahnya ada yang berusaha untuk mempelajari ajaran Budhha (dalam arti teks tertulis yang ada di dalam Tripitaka) dengan menggunakan logika
lha, yang masuk dalam kategori PRAKTEK itu apa apa saja ?? Sepertinya saya merasa kok para praktisi meditasi selalu mengagungkan kegiatan meditasi sebagai praktek saja, emangnya kalau dalam kehidupan sehari hari, semua perilaku kita itupun bukan praktek.
Dalam ZEN, Kalau lapar makan, kalau ngantuk tidur... Itu juga disebut praktek. Menurut saya, hidup kita inilah praktek. Kegiatan kita sehari hari itulah praktek.
lha, yang masuk dalam kategori PRAKTEK itu apa apa saja ?? Sepertinya saya merasa kok para praktisi meditasi selalu mengagungkan kegiatan meditasi sebagai praktek saja, emangnya kalau dalam kehidupan sehari hari, semua perilaku kita itupun bukan praktek.
Dalam ZEN, Kalau lapar makan, kalau ngantuk tidur... Itu juga disebut praktek. Menurut saya, hidup kita inilah praktek. Kegiatan kita sehari hari itulah praktek.
dear dilbert
anumodana untuk kekritisan anda...........
hal ini pernah disebutkan oleh salah satu rekan DC dimana meditator memandang rendah pembaca sutta, sementara pembaca sutta menganggap dirinya lebih pintar dibanding meditator
Padahal ini mirip seperti murid yang ingin belajar berenang.
Di awal, dia akan membaca buku teori berenang, seperti gaya berenang, cara mengambang, dsbnya....
Sedangkan pada saat dipraktekkan, tentunya buku janganlah dibawa2 karena teori tersebut sudah mendarah daging, sehingga secara otomatis dia akan mencoba mencari "feeling" yang paling tepat agar dapat berenang
Namun jika dia "mentok" pada 1 masalah tertentu misal "kok arah berenang selalu miring?", hendaknya dia kembali membaca buku....
Demikianlah teori dan praktek saling mengisi tanpa ada satu melebihi yang lain
Setuju dengan anda dimana hidup sehari2 kita adalah praktek.
Namun jika saya boleh lengkapi, bahwa praktek disini adalah mempraktekkan buddhism dalam hidup sehari2 dengan penuh kesadaran.
Kenapa demikian?? karena dalam hidup sehari2 kita, jika dijalani tanpa ada pegangan "buddhism", ternyata banyak sekali hal2 yang kita jalani seperti robot dimana ini mengakibatkan kita sering "pikun", apa saja sih yang sudah kita perbuat 1 jam, 2 jam, 1 hari, 2 hari, 1 minggu yang lalu dst...........
itu kenapa dalam vipassana, yang sering pertama diajarkan adalah mengamati langkah, makan, bahkan hanya untuk sekedar merubah posisi saja pun, harus disadari.......
Dengan Buddhism, kita bisa mulai menyelami, bagaimana citta/pikiran/kesadaran kita bekerja, bagaimana faktor2nya/cetasika, bagaimana rupa/fisik kita berproses, dan sebagainya
Ini dapat dirujuk dari beberapa sifat Buddha yaitu "YANG SADAR" dan "SEMPURNA PENGETAHUAN SERTA TINDAK TANDUKNYA"
semoga diskusi ini bisa membawa manfaat yah bro _/\_
Nah, kalau ini saya setuju sekali... jarang (atau hampir tidak ada) saya temukan bahwa para buddhist scholar itu "merendahkan" para praktisi meditasi. Tetapi kok di DC ini, banyak pihak memberikan pernyataan seolah-olah "merendahkan" para scholar. Ketika dalam "diskusi" sudah mentok, maka keluarlah JURUS PAMUNGKAS-nya... PRAKTEK MEDITASI... APA YANG SAYA MEDITASIKAN TIDAK AKAN ANDA MENGERTI.... _/\_
Itu kenapa pada waktu saya dan istri jalan2 ke Pulau Samosir, dan ada yg bilang "cina...".. saya hanya senyum dan jawab "EMANG"..... ;D
semoga bisa bermanfaat untuk kemajuan batin kita semua yah _/\_
Saya mau menambahkan apa yang telah dijelaskan bro markos diatas,
Semua "objeck" adalah netral... Kenapa dikatakan netral...berdasarkan abbhidhamma, (tolong dikasih tau kalo salah):
jadi 'object" yang dilihat, didengar, dicium, dirasa, itu ditangkap oleh panca-indra kita... terus karena ada kontak dg 'object' jadi munculah kesadaran mendengar, mencium, merasa, melihat.. pada tahap ini masih belum dikotori oleh "konsep/persepsi" yang telah kita kenal. Terus akan diteruskan ke proses pikiran...nah pada saat ini lah terjadinya "judgement" atau penilaian terhadap object yang masuk dari panca-indra kita....
"Judgement" atau penilaian ini bisa berupah akusala, kusala, dan netral tergantung kecenderungan bathin pribadi tersebut...
Terus kenapa "object" itu netral?. Object jadi tidak netral karena penilaian dengan 'konsep' yang telah kita punya. Mari kita lihat contoh berikut ini kenapa 'object' adalah netral:
Misalkan seorang anak A dibesarkan dengan didokrin/diajari/ (di-budayanya) bahwa mengacungkan jempol berarti baik ato dipuji...sedangkan anak B dibesarkan dengan di doktrin/diajari/ (dibudayanya) bahwa mengacungkan jempol berarti jelek ato dihina...
Pada satu kesempatan kedua anak A da B hadir di satu tempat...dan ada orang lain yang mengacungkan jempol ke mereka... Anak A akan merasa senang karena di Puji...sedangkan Anak B mungkin akan merasa tersinggung kerana merasa di Hina... Pada maksud dari orang yang acungin jempol tersebut blm tentu menghina....
Dari contoh ini tentu dapat dilihat bahwa karena konsep yang telah kita punya, kita menilai apapun yang masuk sehingga timbul response dengan apakah akusala, kusala, ato netral...
Saya juga dapat pelajaran ini kelas terakhir sebelum libur ama pak Slamet di G. Sahari..., dan setelah di renungkan ternyata benar bahwa selama ini kita selalu menilai apapun yang masuk pada hal sesuatu itu blm tentu sesuai dengan apakah telah kita "nilai".
Nah, kalau ini saya setuju sekali... jarang (atau hampir tidak ada) saya temukan bahwa para buddhist scholar itu "merendahkan" para praktisi meditasi. Tetapi kok di DC ini, banyak pihak memberikan pernyataan seolah-olah "merendahkan" para scholar. Ketika dalam "diskusi" sudah mentok, maka keluarlah JURUS PAMUNGKAS-nya... PRAKTEK MEDITASI... APA YANG SAYA MEDITASIKAN TIDAK AKAN ANDA MENGERTI.... _/\_
dear bro dilbert,
it's ok.... biarkanlah........ saya sangat paham yang anda maksud..... saya juga dulu pernah sedemikian emosi sehingga pernah vakum dari DC beberapa bulan karena sedemikian banyaknya akusala citta yang muncul sehingga sangat menurunkan kualitas batin.....
sampai saat ini pun, kadang masih muncul akusala citta pada waktu "bersinggungan".... dimana ini sebenarnya menunjukkan bahwa kita masih sangat terpengaruh konsep "AKU"..... seperti pada dhammapada.... ia menghina-KU, ia memukul-KU.. .dst...dst....
kalau saya boleh sharing cerita pribadi :
sewaktu kecil, sering anak tetangga ngejek dengan panggil cina.... cina.... dan itu saya tanggapi dengan akusala (marah, emosi, jengkel, dendam, dstnya)
seiring dengan belajar dhamma, apalagi setelah ikut kelas abhidhamma yang dimentori Bpk Selamat Rodjali mulai thn 2004, banyak kemajuan yang saya rasakan
Itu kenapa pada waktu saya dan istri jalan2 ke Pulau Samosir, dan ada yg bilang "cina...".. saya hanya senyum dan jawab "EMANG"..... ;D
semoga bisa bermanfaat untuk kemajuan batin kita semua yah _/\_
mAybe Ys mayBe No...
sewaktu president Bush berpidato di Jepang... konon orang2 Jepang menuntukan kepalanya dan menutup matanya (konsentrasi utk mendengarkan pidato, itu cara Jepang).... ternyata Bush merasa... wah capek2 gw pidato mereka tidak menghargain...
nah kebudayaan beda, cara beda...........
Tetapi kalau semua object itu netral..................
Kapan ya gw boleh posting foto2 MULUS disini? Kalau tidak boleh
kemanakah "object NETRAL" tsb yg diagungkan telah MENGUAP?
note: Taukah anda apa bentuknya alat pembuka tutup botol yg dijual BALI?...
Kenapa FPI ngak sampai kesana utk razia?... padahal bentuk2nya
luar biasa REALISTIK.............apakah itu .......pooooooooorrrrr
sharing +++
kalau gw senang banget (bangga) sama MATA SIPIT KU................
khas orang CINA..........
tp ada juga coklat yg SIPIT....(mungkin cucu2nya Raden PATAH) =))
sharing +++
kalau gw senang banget (bangga) sama MATA SIPIT KU................
khas orang CINA..........
tp ada juga coklat yg SIPIT....(mungkin cucu2nya Raden PATAH) =))
nah kalau ada orang bilang "mata sipit elu jelek banget".... gimana? :whistle:
Apakah DHARMA ada dimana saja? (tergantung observasi kita?)ngomong opooooo ike ... johan inei :hammer:
Saya mau posting salah satu barang TEMULUS didunia...
(tepatnya photo diruang private pesawat Boing747)....
Khusus bagi yg batinnya SIAP...
(logikanya kalau tidak di klik tidak akan mengganggu anda,
...so enter at your own RISK.......)
http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=3547.new#new
(sory,... spoiler ngak bisa... tdk memiliki hak cukup utk post spoiler...)
KEMARAHAN....
sering kita mendengarkan orang berkata.....
SEBENARNYA gw ngak mau marah........tetapi.....
Ngak tau kenapa saya tidak bisa mengontrol diri utk TIDAK MARAH..........
Apakah kemarahan adalah sesuatu yg bisa di kontrol atau tidak?
Apakah kemarahan memang sengaja dilakukan?
Kalau kita ketemu org yg lebih GALAK, BERKUASA, BERDUIT, LEBIH GILA,...
hampir secara PASTI kita tidak BERANI MARAH.............
kalau statement diatas benar...
berarti KEMARAHAN adalah sesuatu yg DAPAT DIKONTROL........
bagaimana Logikanya menurut Buddhist?
KEMARAHAN....
sering kita mendengarkan orang berkata.....
SEBENARNYA gw ngak mau marah........tetapi.....
Ngak tau kenapa saya tidak bisa mengontrol diri utk TIDAK MARAH..........
Apakah kemarahan adalah sesuatu yg bisa di kontrol atau tidak?
Apakah kemarahan memang sengaja dilakukan?
Kalau kita ketemu org yg lebih GALAK, BERKUASA, BERDUIT, LEBIH GILA,...
hampir secara PASTI kita tidak BERANI MARAH.............
kalau statement diatas benar...
berarti KEMARAHAN adalah sesuatu yg DAPAT DIKONTROL........
bagaimana Logikanya menurut Buddhist?
disini bro johan masih ga memperhatikan mengenai kamma.
Kamma terdiri dapat dilakukan oleh :
1. Pikiran
2. Badan jasmani
3. Ucapan.
apa kalau ketemu orang yang lebih galak, dll, bener GA MUNCUL MARAH?? saya justru yakin bahwa marah muncul di PIKIRAN dan biasanya efeknya akan lebih lama dibanding yang dilakukan via UCAPAN
Saya rasa ini sudah kita bahas di : http://dhammacitta.org/forum/index.php?topic=2188.735
jadi tolong bisa fokus di satu thread karena sepertinya jawaban2 disana percuma saja karena masih bertanya hal yang sama di thread lain
semoga bisa dimengerti yah
Memperingatin hari Khatina segera datang.....
Bukankah kehidupan Bante/Biksu seharusnya sederhana...
Tetapi gw lihat paket sepecial utk persembahan jubah Bante/Biksu
utk hari Khatina itu seharga Rp500rb....
Ada yg bisa beri penjelasan Logis... kenapa jubah Bante/Biksu sekarang
udah begitu mahal?...(mungkinkah itu 2 jubah atau gimana ya?)
Berapa harga rata2 sepasang baju n celana yg anda pakai?
thanks! sebelumnya....
KEMARAHAN....
sering kita mendengarkan orang berkata.....
SEBENARNYA gw ngak mau marah........tetapi.....
Ngak tau kenapa saya tidak bisa mengontrol diri utk TIDAK MARAH..........
Apakah kemarahan adalah sesuatu yg bisa di kontrol atau tidak?
Apakah kemarahan memang sengaja dilakukan?
Kalau kita ketemu org yg lebih GALAK, BERKUASA, BERDUIT, LEBIH GILA,...
hampir secara PASTI kita tidak BERANI MARAH.............
kalau statement diatas benar...
berarti KEMARAHAN adalah sesuatu yg DAPAT DIKONTROL........
bagaimana Logikanya menurut Buddhist?
...
dibanding bhikkhu yang hanya 1 jubah saja ^-^
Logika itu pikiran-kan?? pikiran itu harus dilatih bukan???...berlatih lagi sama-sama..huf9..
Mungkin kekaguman beberapa rekan2, akan kalimat ehipassiko, begitu menyerap sehingga muncul berbagai macam interpretasi. Tripitaka itukan acuan yahh...kitab suci agama Buddha. Point dalam tripitaka itu benar atau salah....siapa yang menilai??
Mungkin tidak bisa juga dipaksakan, rekan-rekan yang rajin membaca tripitaka memiliki penilaian sendiri, setidaknya itu jadi kelebihan mereka dibandingkan dengan saya, yang membaca ettavata saja masih keliru. huahaha9...tapi, setidaknya kembali lagi ke ajaran semua Buddha..."Jangan melakukan kejahatan, Perbanyak perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiran." Inilah inti ajaran Buddha. Inilah logika yang seharusnya turut berkembang. :o}
Begitukan maksudnya ko Fabian?? :o}
_/\_
Dear Johan,
Batasan jubah bhikku dalam setahun adalah satu jubah utama dan satu jubah serapan (dalam artian kalo dicuci maka masih ada satu lagi).
Bhikkhu dalam Vinaya tidak diizinkan menumpuk jubah lebih dari itu karena ini akan mengganggu latihannya dan menambah kemelekatan akan baju, bhikkhu yang memakai jubah terlalu mewah juga dianggap tidak layak, contoh dari kain sutra yang berkilau-kilau………………….
Jadi yang saya sebut diatas adalah mengenai Jubah Utama
semoga bisa dimengerti.....
Saya memilih pilihan "B" karena pilihan itu sangat ideal buat saya _/\_Logika itu pikiran-kan?? pikiran itu harus dilatih bukan???...berlatih lagi sama-sama..huf9..
Mungkin kekaguman beberapa rekan2, akan kalimat ehipassiko, begitu menyerap sehingga muncul berbagai macam interpretasi. Tripitaka itukan acuan yahh...kitab suci agama Buddha. Point dalam tripitaka itu benar atau salah....siapa yang menilai??
Mungkin tidak bisa juga dipaksakan, rekan-rekan yang rajin membaca tripitaka memiliki penilaian sendiri, setidaknya itu jadi kelebihan mereka dibandingkan dengan saya, yang membaca ettavata saja masih keliru. huahaha9...tapi, setidaknya kembali lagi ke ajaran semua Buddha..."Jangan melakukan kejahatan, Perbanyak perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiran." Inilah inti ajaran Buddha. Inilah logika yang seharusnya turut berkembang. :o}
Begitukan maksudnya ko Fabian?? :o}
_/\_
Berbicara Logika.....
Kalau punya duit 10jt rph....
A. Semua langsung disumbangkan ke wihara
B. Titip pada pengusahaan lain (2%/bln)... Bunganya terus menerus mengalir ke wihara s/d seterusnya...
Apakah perbuatan baik akan menjadi lebih baik lagi kalau
"perbuatan" tsb dipikiran dgn baik (dianalisa, dilogikakan... dll)..... ???
Spt Waren Buffet org terkaya didunia (Fortune500) mengatakan uang tsb (US$31 billion) dia titipkan pada Gates n Melinda foundation... karna menurut dia Gates adalah org yg paling tepat utk mengelola uang tsb utk kebaikan orang banyak....
bagaimana menurut yg lain ?
Logika itu pikiran-kan?? pikiran itu harus dilatih bukan???...berlatih lagi sama-sama..huf9..
Mungkin kekaguman beberapa rekan2, akan kalimat ehipassiko, begitu menyerap sehingga muncul berbagai macam interpretasi. Tripitaka itukan acuan yahh...kitab suci agama Buddha. Point dalam tripitaka itu benar atau salah....siapa yang menilai??
Mungkin tidak bisa juga dipaksakan, rekan-rekan yang rajin membaca tripitaka memiliki penilaian sendiri, setidaknya itu jadi kelebihan mereka dibandingkan dengan saya, yang membaca ettavata saja masih keliru. huahaha9...tapi, setidaknya kembali lagi ke ajaran semua Buddha..."Jangan melakukan kejahatan, Perbanyak perbuatan baik, Sucikan hati dan pikiran." Inilah inti ajaran Buddha. Inilah logika yang seharusnya turut berkembang. Shocked}
Dear Johan,
Batasan jubah bhikku dalam setahun adalah satu jubah utama dan satu jubah serapan (dalam artian kalo dicuci maka masih ada satu lagi).
Bhikkhu dalam Vinaya tidak diizinkan menumpuk jubah lebih dari itu karena ini akan mengganggu latihannya dan menambah kemelekatan akan baju, bhikkhu yang memakai jubah terlalu mewah juga dianggap tidak layak, contoh dari kain sutra yang berkilau-kilau………………….
Jadi yang saya sebut diatas adalah mengenai Jubah Utama
semoga bisa dimengerti.....
Apakah org yg ingin menjadi Bhiku sebaiknya melatih
hidup dgn 2 pakaian dulu??? apakah sanggup???
Berbicara Logika.....
Kalau punya duit 10jt rph....
A. Semua langsung disumbangkan ke wihara
B. Titip pada pengusahaan lain (2%/bln)... Bunganya terus menerus mengalir ke wihara s/d seterusnya...
Apakah perbuatan baik akan menjadi lebih baik lagi kalau
"perbuatan" tsb dipikiran dgn baik (dianalisa, dilogikakan... dll)..... ???
Spt Waren Buffet org terkaya didunia (Fortune500) mengatakan uang tsb (US$31 billion) dia titipkan pada Gates n Melinda foundation... karna menurut dia Gates adalah org yg paling tepat utk mengelola uang tsb utk kebaikan orang banyak....
bagaimana menurut yg lain ?
Thx atas penjelasannya, se7 _/\_Berbicara Logika.....
Kalau punya duit 10jt rph....
A. Semua langsung disumbangkan ke wihara
B. Titip pada pengusahaan lain (2%/bln)... Bunganya terus menerus mengalir ke wihara s/d seterusnya...
Apakah perbuatan baik akan menjadi lebih baik lagi kalau
"perbuatan" tsb dipikiran dgn baik (dianalisa, dilogikakan... dll)..... ???
Spt Waren Buffet org terkaya didunia (Fortune500) mengatakan uang tsb (US$31 billion) dia titipkan pada Gates n Melinda foundation... karna menurut dia Gates adalah org yg paling tepat utk mengelola uang tsb utk kebaikan orang banyak....
bagaimana menurut yg lain ?
kalau saya akan taruh duit di perusahaan investasi dan bunganya ditransfer ke saya, dan saya yang mendistribusikan.
kenapa demikian?
1. jika ditaruh di perusahaan investasi dan tiap bulan bunga mengalir ke vihara, perbuatan berdana anda tetap hanyalah 1 saja, yaitu sewaktu menanamkan uang.
betul dana mengalir ke objek, namun tidak ada niat/cetana sehingga perbuatan ini tidak menjadi "berdana" karena syaratnya tidak lengkap terpenuhi
2. bisa didistribusikan ke tempat yang lebih membutuhkan misal ada rekan yang mendadak harus operasi kanker atau masuk ICU, dll.....
3. lebih melatih dana paramita diri kita.
semoga bisa dimengerti _/\_
Dear Johan,
Batasan jubah bhikku dalam setahun adalah satu jubah utama dan satu jubah serapan (dalam artian kalo dicuci maka masih ada satu lagi).
Bhikkhu dalam Vinaya tidak diizinkan menumpuk jubah lebih dari itu karena ini akan mengganggu latihannya dan menambah kemelekatan akan baju, bhikkhu yang memakai jubah terlalu mewah juga dianggap tidak layak, contoh dari kain sutra yang berkilau-kilau………………….
Jadi yang saya sebut diatas adalah mengenai Jubah Utama
semoga bisa dimengerti.....
Apakah org yg ingin menjadi Bhiku sebaiknya melatih
hidup dgn 2 pakaian dulu??? apakah sanggup???
tergantung adhitthana/tekada dari orang tersebut bro....
itu kenapa di kesempatan lain pada topik mengenai org yg meninggalkan keduniawian yang diposting oleh bro Andry, saya menganjurkan agar orang tersebut untuk melaksanakan terlebih dahulu pabbaja2 samanera sehingga benar2 bisa paham kehidupan seorang bhikkhu.
kalau kita melihat kehidupan seorang bhikkhu, dari kacamata orang awam, tentunya ga akan nyambung bro..... kok bisa begini, bagaimana bisa begitu, dsbnya.......
kalau memang bro johan ingin tahu, silahkan mulai dengan pabbaja samanera, ok? :D
Apakah bro markosprawira udah pernah pabaja...
atau berminat "berlibur" di program pabaja
dan apakah kira2 isteri memberikan lampu hijau.???
Apa keuntungan dari orang yg telah pernah mengikutin pabaja?
Apakah program pabaja selain melatih pikiran/tingkah laku...
apakah juga sangat baik utk menurunkan berat badan?
Logika Aneh Umat Buddha
Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,
"So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]
Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap “LOGICAL CONJECTURE”
Yang berarti” logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap”, “INFERENCE” yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, “ANALOGIES” yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, “AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW” yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.
Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:
"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,
“Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu
“para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.”
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya
Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!
Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.
Kesimpulan:
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
Semoga kita semua berbahagia
sukhi hotu,
Fabian
semua "agama" memang demikian!
sama spt sedang berjualan dibutuhkan apa yang namanya pemasaran!
didalam pemasaran dibutuhkan hal yang membuat para awam merasa terpikat!
utk dpt menjadi memikat digunakan alat/tools berupa gambar, kata2 dll.
setelah paham hal2 diatas, pada akhirnya yang paham ttg "agama" yang sebenarnya akan berujar : "itu tidak salah atau keliru namun terlampau dipaksakan" ... kasihan para awam yang telah sempat terjebak dan tidak mampu bangkit kembali"!
ika.
Logika Aneh Umat Buddha
Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,
"So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]
Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap “LOGICAL CONJECTURE”
Yang berarti” logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap”, “INFERENCE” yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, “ANALOGIES” yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, “AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW” yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.
Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:
"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,
“Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu
“para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.”
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya
Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!
Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.
Kesimpulan:
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
Semoga kita semua berbahagia
sukhi hotu,
Fabian
semua "agama" memang demikian!
sama spt sedang berjualan dibutuhkan apa yang namanya pemasaran!
didalam pemasaran dibutuhkan hal yang membuat para awam merasa terpikat!
utk dpt menjadi memikat digunakan alat/tools berupa gambar, kata2 dll.
setelah paham hal2 diatas, pada akhirnya yang paham ttg "agama" yang sebenarnya akan berujar : "itu tidak salah atau keliru namun terlampau dipaksakan" ... kasihan para awam yang telah sempat terjebak dan tidak mampu bangkit kembali"!
ika.
Logika Aneh Umat Buddha
Ehipassiko… betapa lantang dan sering terdengar kata-kata ini… gaung sepotong kata ehipassiko seakan akan bagai kata sakti yang merupakan seluruh inti ajaran Sang Buddha.
Logika kata sakti ini menyebabkan ada sebagian orang yang merasa apabila ada ajaran dalam Tipitaka yang tidak bisa di “ehipassiko”kan seolah-olah bukan berasal dari Sang Buddha.
Prinsip Ehipassiko ini ditanggapi secara “salah” oleh Bhikkhu maupun umat yang merasa dirinya “pintar, cerdas, intelektual” untuk menolak sutta dalam Tipitaka yang tidak sesuai dengan logika mereka.
Kelompok ini berusaha memperkuat dalih mereka dengan mengutip Kalama Sutta yang berbunyi sebagai berikut,
"So, as I said, Kalamas: 'Don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, "This contemplative is our teacher." When you know for yourselves that, "These qualities are unskillful; these qualities are blameworthy; these qualities are criticized by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to harm & to suffering" — then you should abandon them.' Thus was it said. And in reference to this was it said.
"Now, Kalamas, don't go by reports, by legends, by traditions, by scripture, by logical conjecture, by inference, by analogies, by agreement through pondering views, by probability, or by the thought, 'This contemplative is our teacher.' When you know for yourselves that, 'These qualities are skillful; these qualities are blameless; these qualities are praised by the wise; these qualities, when adopted & carried out, lead to welfare & to happiness' — then you should enter & remain in them.
(Kalama sutta AN 3.65)[/i]
Ini adalah sutta yang baik yang patut kita teladani, cuma terkadang ada yang terlewat dari perhatian, pada intinya memang sutta ini mengatakan jangan mudah percaya terhadap segala sesuatu, tetapi harus diingat bahwa jangan percaya ini juga termasuk terhadap “LOGICAL CONJECTURE”
Yang berarti” logika berdasarkan kesimpulan yang tidak lengkap”, “INFERENCE” yang berarti kesimpulan yang berdasarkan kata-kata orang lain, “ANALOGIES” yang berarti berdasarkan perumpamaan atau perbandingan, “AGREEMENT THROUGH PONDERING VIEW” yang berarti berdasarkan pandangan yang didasari perenungan.
Hanya setelah kita tahu sendiri (dari praktek) bahwa hal ini tak tercela, hal ini dipuji oleh para bijaksana, hal ini jika diikuti dan dipraktekkan akan membawa pada kesejahteraan dan kebahagiaan, maka kita lakukan dan kita jadikan pegangan.
Sutta lain yang kerap dijadikan sebagai alat pembenaran adalah dari Maha parinibbana Sutta berikut:
"Discipline. If they are neither traceable in the Discourses nor verifiable by the Discipline, one must conclude thus: 'Certainly, this is not the Blessed One's utterance; this has been misunderstood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' In that way, bhikkhus, you should reject it. But if the sentences concerned are traceable in the Discourses and verifiable by the Discipline, then one must conclude thus: 'Certainly, this is the Blessed One's utterance; this has been well understood by that bhikkhu — or by that community, or by those elders, or by that elder.' And in that way, bhikkhus, you may accept it on the first, second, third, or fourth reference. These, bhikkhus, are the four great references for you to preserve."
4.8. ‘Seandainya seorang bhikkhu mengatakan: “Teman-teman, aku mendengar dan menerima ini dari mulut Sang Bhagava sendiri: inilah Dhamma, inilah disiplin, inilah Ajaran Sang Guru”, maka, para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin. Jika kata-katanya, saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti tidak selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak. Tetapi jika saat dibandingkan dan dipelajari, terbukti selaras dengan Sutta atau disiplin, berarti kesimpulannya adalah: “Pasti ini adalah kata-kata Sang Buddha, hal ini telah dengan benar dipahami oleh bhikkhu ini.”
(Digha Nikaya, Mahaparinibbana Sutta
Satu sutta ini sering digunakan oleh orang yang menganggap dirinya kritis, untuk menolak suttta-sutta yang lain, seolah-olah sutta yang lain salah bila tidak sesuai dengan pendapatnya, karena dia berpegangan pada Sutta ini yang berbunyi,
“Pasti ini bukan kata-kata Sang Buddha, hal ini telah keliru dipahami oleh bhikkhu ini”, dan kata-katanya itu harus ditolak.”
Padahal cendekiawan Buddhis ini melupakan bagian-bagian lain dari sutta yang sama, yaitu
“para bhikkhu, kalian tidak boleh menerima atau menolak kata-katanya. Kemudian, tanpa menerima atau menolak, kata-kata dan ungkapannya harus dengan teliti dicatat dan dibandingkan dengan Sutta-sutta dan dipelajari di bawah cahaya disiplin.”
Coba perhatikan sutta ini secara jelas mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima atau menolak (jadi fifty-fifty) kan..?
Selanjutnya sutta ini juga mengatakan bahwa kita harus mencatat dan membandingkan dengan sutta-sutta dan vinaya, atau boleh juga dikatakan dibandingkan dengan Dhamma dan Vinaya. Karena Dhamma dan vinaya disini merujuk pada sutta dan Vinaya
Tetapi banyak juga orang-orang yang mengartikan bahwa apabila satu sutta tidak sesuai dengan kerangka berpikir mereka (atau batas pengetahuan mereka) dianggap sutta tersebut harus ditolak. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan semangat sutta tersebut yaitu: membandingkannya dengan Dhamma dan Vinaya, yang dalam hal ini berarti harus kita bandingkan dengan kitab suci Tipitaka itu secara keseluruhan (apakah sejalan atau tidak).
BUKAN DIBANDINGKAN DENGAN LOGIKA KITA…!!!
Kembali pada Ehipassiko, sering kita mendengar kata ehipassiko di artikan dengan kurang tepat. Mereka mengatakan bahwa ehipassiko adalah datang dan buktikan, padahal seharusnya diartikan datang dan lihat atau datang dan alami, karena passiko berasal. Dari kata PASSATI (tolong dikoreksi bila salah) yang berdasarkan Pali-English dictionary yang disusun oleh YM. Buddhadatta Mahathera berarti melihat (sees), menemukan (finds) dan mengerti (understands). Jadi maksudnya disini (menurut pendapat saya) adalah melihat dan mengalami sehingga timbul pengertian.
Kesimpulan:
Sudah sepantasnya apabila kita sebagai umat Buddha tidak serta-merta menolak suatu sutta hanya karena kita tidak merasa nyaman dengan sutta tersebut atau menurut anggapan kita tak masuk diakal.
Kalau bukan kita yang meyakini kebenaran Tipitaka, siapa lagi? Memangnya umat agama lain akan meyakini kitab suci Tipitaka? Saya tidak mengatakan bahwa kita harus percaya buta kepada kitab suci Tipitaka, tetapi kita harus memperlakukan Tipitaka seperti hukum positif di Amerika, yaitu: “presume innocence until proven guilty” yang berarti anggap benar hingga terbukti salah. Jangan kita menilai Tipitaka dengan prinsip hukum rimba orde baru yaitu: “presume guilty until proven innocence” atau anggap salah lebih dahulu hingga terbukti tidak bersalah (inilah prinsip comot dulu, periksa belakangan orde baru).
Jadi sebagai umat Buddha sebaiknya kita menerima Tipitaka dan lebih dahulu menganggapnya sebagai suatu kebenaran, kecuali kita telah membuktikan (alami sendiri, bukan berdasar logika kita) bahwa poin dalam Dhamma tersebut ternyata tidak benar.
Jangan berpandangan sebaliknya, yaitu beranggapan semua poin dalam Tipitaka tidak benar, kecuali kemudian kita buktikan sendiri bahwa itu memang benar, karena pandangan seperti ini sangat kontra produktif bagi pengembangan batin, karena kita menjadi skeptis terhadap kebenaran Tipitaka. Dan akhirnya akan menjauhkan kita dari Dhamma, sehingga Samvega (perasaan mendesak untuk mencari keselamatan atau melaksanakan Dhamma) tidak muncul, dengan tidak munculnya samvega maka, keinginan untuk mempraktekkan Dhamma agar terbebas juga tidak muncul.
Semoga kita semua berbahagia
sukhi hotu,
Fabian
semua "agama" memang demikian!
sama spt sedang berjualan dibutuhkan apa yang namanya pemasaran!
didalam pemasaran dibutuhkan hal yang membuat para awam merasa terpikat!
utk dpt menjadi memikat digunakan alat/tools berupa gambar, kata2 dll.
setelah paham hal2 diatas, pada akhirnya yang paham ttg "agama" yang sebenarnya akan berujar : "itu tidak salah atau keliru namun terlampau dipaksakan" ... kasihan para awam yang telah sempat terjebak dan tidak mampu bangkit kembali"!
ika.
mencari "kebenaran", tentunya akan terpikat oleh daya tarik "kebenaran" yang ditawarkan... dan itu LOGIS...
kebenaran itu objek netrallllll..........
dia gak nungguin kita jemput =))
kebenaran ini kan yg dimaksud adalah kebenaran sejati... :|
yg mana ya samuti sacca apa paramati sacca ??? lupa :hammer:
kebenaran itu objek netrallllll..........
dia gak nungguin kita jemput =))
???
kalau gitu seharusnya "kebenaran itu mudah diperoleh"
tapi kenyataannya kan sulit... :whistle:
itu artinya kita gak tau "letaknya dan kejelasannya"
???
terlalu gneral...
mungkin diberi contoh....
misal lebih sulit mana disembuhkan
sakit kanker apa stress?
:-? gmana ya......
koridor apa?
perasaan belum ada kesepakatan deh.. ???
koridor itu adalah seperti yang telah saya ungkap sebelumnya dgn semua aspek pengikutnya yaitu: penyakit jasmani dan penyakit batin, utk disembuhkan, disembuhkan dgn tatacara yang sama2 benar, oleh praktisi yang sama2 berniat utk sembuh!
ika.
:-? gmana ya......
koridor apa?
perasaan belum ada kesepakatan deh.. ???
koridor itu adalah seperti yang telah saya ungkap sebelumnya dgn semua aspek pengikutnya yaitu: penyakit jasmani dan penyakit batin, utk disembuhkan, disembuhkan dgn tatacara yang sama2 benar, oleh praktisi yang sama2 berniat utk sembuh!
ika.
:-? gmana ya......
koridor apa?
perasaan belum ada kesepakatan deh.. ???
koridor itu adalah seperti yang telah saya ungkap sebelumnya dgn semua aspek pengikutnya yaitu: penyakit jasmani dan penyakit batin, utk disembuhkan, disembuhkan dgn tatacara yang sama2 benar, oleh praktisi yang sama2 berniat utk sembuh!
ika.
Sekalipun tatacara yg sama2 benar dan sama2 berniat utk sembuh , hasilnya tetap akan berbeda bila tidak didasarkan kemurnian pandangan/pandangan benar. Apakah hal ini telah dicapai?
:-? gmana ya......
koridor apa?
perasaan belum ada kesepakatan deh.. ???
koridor itu adalah seperti yang telah saya ungkap sebelumnya dgn semua aspek pengikutnya yaitu: penyakit jasmani dan penyakit batin, utk disembuhkan, disembuhkan dgn tatacara yang sama2 benar, oleh praktisi yang sama2 berniat utk sembuh!
ika.
Sekalipun tatacara yg sama2 benar dan sama2 berniat utk sembuh , hasilnya tetap akan berbeda bila tidak didasarkan kemurnian pandangan/pandangan benar. Apakah hal ini telah dicapai?
pada prinsipnya saya setuju dgn pandangan anda , trutama dgn kata "murni dan kemurnian" itu!
krn kata itulah sesungguhnya yang "membedakan" sesuatu dari sesuatu yang lain, bahkan "sesuatu dgn dirinya sendiri"!
ika.
:-? gmana ya......
koridor apa?
perasaan belum ada kesepakatan deh.. ???
koridor itu adalah seperti yang telah saya ungkap sebelumnya dgn semua aspek pengikutnya yaitu: penyakit jasmani dan penyakit batin, utk disembuhkan, disembuhkan dgn tatacara yang sama2 benar, oleh praktisi yang sama2 berniat utk sembuh!
ika.
Sekalipun tatacara yg sama2 benar dan sama2 berniat utk sembuh , hasilnya tetap akan berbeda bila tidak didasarkan kemurnian pandangan/pandangan benar. Apakah hal ini telah dicapai?
pada prinsipnya saya setuju dgn pandangan anda , trutama dgn kata "murni dan kemurnian" itu!
krn kata itulah sesungguhnya yang "membedakan" sesuatu dari sesuatu yang lain, bahkan "sesuatu dgn dirinya sendiri"!
ika.
Baguslah kalau begitu :) Smoga Anda berhasil dengan dasar kemurnian pandangan itu _/\_
Tahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
ikutan metta karuna mudita untuk orang lain juga ah
Tahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
bisa diperjelas?
Tahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
ikutan metta karuna mudita untuk orang lain juga ah
Tahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
bisa diperjelas?
mohon utk direnungkan kata2 buddhis ini: "Metta", "Karuna", Paramita & dll yang ummmnya!
pelaksanaan Metta itu utk apa dan kpd siapa?
juga utk kata Karuna, Paramita-paramita, dll itu!
ika.
QuoteTahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
Orang lain hanyalah sarana/penunjuk/rakit dsb, yg utama adalah diri kita sendiri dalam merealisasi nibbana dengan memiliki sila, samadhi dan panna yg kokoh dan pilar utama. Sekalipun ada orang lain tapi ia tidak memiliki panna atau kedua hal lainnya disertai parami yg cukup, sekalipun Sang Tathagata dihadapan kita maka ia tak melihat apapun demikian Dhamma yg cemerlang didepan mata hanya gurun tandus yg terlihat. Lalu siapakah penentu perealisasian nibbana? diri sendiri atau orang lain?_/\_
Demikianlah salah satu syair yg telah dibabarkan Sang Buddha sebagai perenungan :
Aku adalah pemilik karmaku sendiri,
Pewaris karmaku sendiri,
Lahir dari karmaku sendiri,
Berhubungan dengan karma ku sendiri,
Terlindung oleh karmaku sendiri,
Apapun karma yg kuperbuat, Baik atau buruk,
Itulah yg akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali kurenungkan
bukankah itu brahmavihara.....
Metta ada karena Dosa....
Dosa ada karena ada "orang lain....."
bila "orang lain" tidak ada... maka bagaimana bisa ada Dosa...
bila Dosa tidak ada bagaimana ada Metta...
imho Nibbana terealisasi karena Panna... yg berasal dari Samadhi yg didasari Sila yg baik....
QuoteTahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
Orang lain hanyalah sarana/penunjuk/rakit dsb, yg utama adalah diri kita sendiri dalam merealisasi nibbana dengan memiliki sila, samadhi dan panna yg kokoh dan pilar utama. Sekalipun ada orang lain tapi ia tidak memiliki panna atau kedua hal lainnya disertai parami yg cukup, sekalipun Sang Tathagata dihadapan kita maka ia tak melihat apapun demikian Dhamma yg cemerlang didepan mata hanya gurun tandus yg terlihat. Lalu siapakah penentu perealisasian nibbana? diri sendiri atau orang lain?_/\_
Demikianlah salah satu syair yg telah dibabarkan Sang Buddha sebagai perenungan :
Aku adalah pemilik karmaku sendiri,
Pewaris karmaku sendiri,
Lahir dari karmaku sendiri,
Berhubungan dengan karma ku sendiri,
Terlindung oleh karmaku sendiri,
Apapun karma yg kuperbuat, Baik atau buruk,
Itulah yg akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali kurenungkan
ikutan metta karuna mudita untuk orang lain juga ah
Tahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
bisa diperjelas?
mohon utk direnungkan kata2 buddhis ini: "Metta", "Karuna", Paramita & dll yang ummmnya!
pelaksanaan Metta itu utk apa dan kpd siapa?
juga utk kata Karuna, Paramita-paramita, dll itu!
ika.
Bro Ika...kalo sudah direnungkan...terus mau di apain lagi? ;D
_/\_ :lotus:
QuoteTahukah anda nibbana itu tidak akan pernah terrealisasi tanpa "ada org lain"?
Orang lain hanyalah sarana/penunjuk/rakit dsb, yg utama adalah diri kita sendiri dalam merealisasi nibbana dengan memiliki sila, samadhi dan panna yg kokoh dan pilar utama. Sekalipun ada orang lain tapi ia tidak memiliki panna atau kedua hal lainnya disertai parami yg cukup, sekalipun Sang Tathagata dihadapan kita maka ia tak melihat apapun demikian Dhamma yg cemerlang didepan mata hanya gurun tandus yg terlihat. Lalu siapakah penentu perealisasian nibbana? diri sendiri atau orang lain?_/\_
Demikianlah salah satu syair yg telah dibabarkan Sang Buddha sebagai perenungan :
Aku adalah pemilik karmaku sendiri,
Pewaris karmaku sendiri,
Lahir dari karmaku sendiri,
Berhubungan dengan karma ku sendiri,
Terlindung oleh karmaku sendiri,
Apapun karma yg kuperbuat, Baik atau buruk,
Itulah yg akan kuwarisi.
Hendaklah ini kerap kali kurenungkan
AKU adalah ARSITEK dari nasibku... :jempol:
_/\_ :lotus:
betoel.....
semua juga sepertinya tahu apa yg terbaik dan terburuk bagi diri masing masing......
kita tidak bisa mensamakan detail tindakan yg di paksakan.......
asalkan dapat memajukan batin.... semua juga mau mau mau.....
_/\_
lagipula emang sebelumnya semuanya juga emang berpikir seperti itu kan ::) om ika aja yg baru "nyambung"