Tidak juga, HIV bisa merupakan keturunan , bisa juga lewat darah seperti luka ke luka. Risiko yang lebih umum memang melalui hubungan seksual. Apakah dengan pelacur atau bukan, jika diperiksakan secara medis, maka penularan bisa, bukan tidak bisa dihindari.
Dalam hal ini, saya lihat tetap penyebabnya adalah ketidaktahuan akan kesehatan, bukan pada keberadaan prostitusinya. Mengenai orang yang sengaja menularkan, itu masalah kepribadiannya yang jahat, tidak bisa dikaitkan dengan profesi pelacur.
Jika turunan itu berarti sang ibu sebelum hamil sudah mengidap HIV. Dan sampai saat ini, saya belum menemukan berita bahwa anak yang mendapat HIV turunan berumur panjang. Atau bro bisa carikan informasinya? Jadi jika dia tidak berumur panjang, saya pikir tidak akan cukup waktu menjadi gadis perawan.
OK, barang belanjaan mati, tapi sales-nya hidup kok. Apakah sales perlu mempertimbangkan tebal/tipis LDM dan kondisi ekonomi wanita yang shopping?
Yang bro sebut awal itu mall bukan sales. Dan orang yang suka shopping itu umumnya di mall bukan sales yang menjajakan barang.
Apakah pelacur tidak mempertimbangkan ekonomi yang membeli? Saya rasa mereka menilai dari penampilan si pembeli. Makin berduit mereka makin senang, karena bisa dapat bayaran lebih dari pada biasanya. Apalagi jika punya kesempatan untuk menikah dengan jaminan masa depan.
Kembali lagi objek (hidup/mati) adalah netral. Menjadi tidak netral adalah karena persepsi kita . Satu pendapat mengatakan pemerkosaan terjadi karena wanita kurang menutupi tubuhnya, sehingga diharuskan memakai burkha. Tapi kita lihat kenyataan lain di masyarakat tertentu ada yang wanitanya berbusana 'topless', namun pemerkosaan sangat langka terjadi. Mengapa? Karena kuncinya adalah moralitasnya, bukan objeknya.
Sungguh kamma baik bagi wanita yang mendapatkan bro sebagai suami
Ok,kita balik lagi. Tulisan yang di bold, itu hanya bagi orang yang memahami. Terutama yang mengerti Buddhisme. Dan pemeluk Buddhisme yang LDM-nya sudah tidak terlalu tebal. Tapi saya melihat dari sudut pandang orang awam. Karena sesuai postingan bro sebelumnya, bro ingin tahu dari mana asalnya profesi pelacur dianggap hina. Karena yang mengatakan hina adalah pendapat umum. Jadi saya menjawab secara umum.
Kalau secara Buddhisme benar seperti yang bro katakan.Objek itu netral. Kita yang harus mengendalikan indera,harus menjaga pintu indera. Orang bijaksana akan menjauhi segala prostitusi, segala yang memabukkan, segala tari-tarian dll. Yang cuma akan membuat kemelekatan menjadi lebih tebal. Bukankah begitu?
Sebetulnya ada perbedaan besar antar orang yang merebut suami orang lain menggunakan daya tarik seksual, dengan pelacur. Pelacur tidak mencampuri urusan pribadi pelanggan dan pelacur tidak menikah. Pelacur hanya memberikan layanan seksual demi bayaran yang disetujui. Itu saja.
Menurut saya, si mahasiswi itu bukan pelacur, tapi memang pemangsa kekayaan lelaki hidung belang saja.
Kalau melihat jawaban bro, berarti bro bukan pemakai jasa pelacur. Bro, moral pelacur jaman sang Buddha tidak sama dengan moral pelacur zaman sekarang.
Moral pelacur sekarang umumnya hanya memikirkan bagaimana mereka mendapatkan uang dengan mudah. Bisa melepaskan kepuasan inderawi dengan mudah. Walaupun dengan cara merebut suami orang.
Tahukah bro, dari mana saya bisa berkata begini? Bukan dari teori tapi juga saya alami sendiri. Bagaimana keluarga kami menjadi berantakan karena seorang pelacur. Ayah saya menikahi seorang pelacur dan membiarkan semua anaknya terlantar. Dan hebatnya setelah dia mulai sakit-sakitan dan tidak punya uang, maka pelacur yang menjadi istrinya menendang dia.