Uttarā Nandamātā yang ingin menjalankan Uposatha tidak mendapatkan izin dari sang suami yang berpandangan lain. Kemudian ia meminta sejumlah uang dari ayahnya dan menggunakannya untuk menyewa jasa dari seorang pelacur bernama Sirimā untuk melayani suaminya. Kemudian Uttarā sibuk menjalankan uposatha dan menyiapkan dana untuk sangha. Suatu ketika, suaminya lewat dan melihatnya sibuk dan tersenyum. Ia berpikir bahwa istrinya begitu bodoh tidak menikmati kekayaan dan malah menyusahkan diri sendiri. Sirimā melihatnya dan berpikir bahwa mereka sedang senyum satu sama lain, maka cemburu menguasainya. Ia mengambil minyak mendidih dan menuangnya ke Uttarā. Namun karena pikirannya dipenuhi dengan belas kasih, maka minyak mendidih itu hanya membasahi wajahnya seperti air dingin. Sirimā berpikir minyak tersebut memang sudah dingin dan ingin mengambil lagi, namun seorang pembantu Uttarā melihat dan memukuli Sirimā. Uttarā menghentikannya dan menyuruh pelayan itu mengobati luka Sirimā yang kemudian menyadari betapa berat kesalahannya dan meminta maaf. Uttarā berkata bahwa ia harus bertanya kepada ayahnya apakah ia harus memaafkannya, dan Sirimā siap untuk pergi menghadap Punnasiha, ayah Uttarā. Namun Uttarā menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan 'ayah' tersebut bukanlah 'ayah' yang membawanya pada kelahiran ini, namun 'ayah' yang membawanya pada terhentinya kelahiran, yakni Buddha.
Maka Sirimā mengatur dana untuk keesokan harinya di rumah tersebut. Dan setelah dana makanan, mereka menceritakan apa yang telah terjadi. Uttarā mengatakan bahwa ia tidak dendam pada Sirimā karena merasa berterimakasih atas jasanya sehingga ia bisa menjalankan uposatha dan menyiapkan dana. Maka Buddha memuji tindakan tersebut dan kemudian mengucapkan syair berikut:
"Kalahkan kebencian dengan tidak membenci, kalahkan kejahatan dengan kebaikan;
Kalahkan kekikiran dengan kedermawanan, dan pembohong dengan kebenaran."
(Akkodhena jine kodhaṃ, asādhuṃ sādhunā jine; Jine kadariyaṃ dānena, saccenālikavādinaṃ.)
Mendengar khotbah dari Buddha itu, Uttarā mencapai Sakadagami, sedangkan Sirimā mencapai Sotapanna dan sejak hari itu, ia berdana kepada 8 bhikkhu setiap harinya. Suatu hari, seorang bhikkhu mendengar tentang baiknya dana dan juga betapa cantiknya Sirimā. Setelah mendapatkan tiket dana, maka ia pergi ke tempat Sirimā yang pada waktu itu sedang sakit. Setelah dana makanan diberikan, Sirimā keluar untuk memberikan hormat. Bhikkhu itu melihat bahwa dalam keadaan sakit pun ia sangat cantik, dan jatuh cinta. Namun pada malam hari itu, Sirimā meninggal, dan atas permintaan Buddha, jenazahnya tidak dibakar namun dibiarkan dan dijaga dari hewan pemakan bangkai. Pada hari ke empat, Raja Bimbisara mengumumkan semua orang untuk berkumpul untuk melihat jenazah tersebut.
Ketika Sangha Bhikkhuni ditahbiskan, Janapadakalyānī Nandā, istri dari Pangeran Nanda yang menjadi bhikkhu pada hari pernikahannya, yang merasa tidak memiliki apa-apa lagi, memutuskan untuk menjadi bhikkhuni. Ia sangat melekat pada kecantikannya sehingga ia selalu berusaha menghindari bertemu dengan Buddha yang selalu mengajarkan ketidak-melekatan. Namun ia juga hadir dalam kejadian ini. Buddha mengetahui pikiran Nandā dan membuat bayangan wanita yang sangat cantik yang menarik perhatiaannya. Kemudian wanita ini perlahan-lahan menjadi tua dan mati. Nandā melihat dan merenungkan ketidak-kekalan ini, melepaskan kemelakatannya dan mencapai tingkat Sotapanna.
Sementara itu, terjadi pelelangan mayat Sirimā mulai dari harga seribut keping (harga jasa semalam sewaktu ia hidup). Dan tentu saja tidak ada yang mau. Kemudian turun setengah harga, seperempat, dan seterusnya sampai akhirnya mayat itu boleh diambil gratis. Namun tetap saja tidak ada yang mau. Buddha kemudian mengucapkan syair berikut:
"Lihatlah tubuh semu ini, badan berpuru yang disanggah [oleh tulang],
sumber dari berbagai macam pikiran [nafsu], yang tidak kekal ataupun bertahan."
(Passa cittakataṃ bimbaṃ, arukāyaṃ samussitaṃ; Āturaṃ bahusaṅkappaṃ, yassa natthi dhuvaṃ ṭhiti.)
Mendengar hal tersebut, bhikkhu yang jatuh cinta pada Sirimā itu mencapai Sotapanna. Kemudian Buddha memberikan khotbah ketidak-menarikan tubuh (Kāyavicchandanikasutta):
"Apakah berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, melentur dan meregang: ini adalah gerakan tubuh. Tergabung dengan urat dan tulang, dibungkus otot dan kulit, tersembunyi oleh rona, tubuh ini tidak terlihat sebagaimana adanya: terisi dengan usus, perut, kumpulan hati, kandung kemih, paru-paru, jantung, ginjal, limpa, lendir, keringat, ludah, lemak, darah, cairan sendi, empedu, dan minyak. Padanya, dalam sembilan aliran, kotoran mengalir darinya: dari mata: sekresi mata, dari telinga: sekresi telinga, dari hidung: lendir, dari mulut: muntah, phlegma, dan cairan empedu, dari tubuh: butiran keringat. Padanya, rongga kepala terisi otak.
Si bodoh, terserang kebodohan, menganggapnya indah. Namun ketika ia terbaring mati, bengkak, pucat, dibuang ke pekuburan, bahkan para kerabat tidak memedulikannya. Anjing memakannya. Anjing liar, serigala, cacing, gagak dan burung bangkai memakannya, bersama dengan hewan-hewan lainnya.
Mendengar kata-kata dari Yang Tercerahkan, bhikkhu yang melihat memahami, karena ia melihatnya sebagaimana adanya: "Karena begini, maka begitu. Karena begitu, maka begini." Di dalam dan di luar, ia harus membuat keinginan akan tubuh memudar. Dengan keinginan dan nafsu memudar, bhikkhu yang melihat sampai di sini: pada tanpa-kematian, kedamaian, kebebasan yang kekal. Tubuh berkaki dua, kotor, berbau busuk, terisi berbagai macam bangkai, meleleh di sana-sini: siapapun akan berpikir, dengan dasar tubuh yang seperti ini, memuji diri sendiri atau merendahkan orang lain, apakah hal tersebut kalau bukan kebutaan?"
Setelah mendengar ini, Janapadakalyānī Nandā dan bhikkhu yang jatuh cinta tersebut mencapai kesucian Arahatta, sementara Sirimā [yang pada saat itu telah terlahir di Nimmānarati] yang menyamar dalam wujud manusia dan hadir di sana, mencapai Anagami.