130. Kotbah tentang Mengajarkan Dhammika<420>
Demikianlah telah kudengar. Suatu ketika Sang Buddha sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Pada waktu itu Yang Mulia Dhammika adalah seorang sesepuh di daerah asalnya. Ia bertanggung jawab atas stupa, dan ia menduduki posisi senior relatif terhadap [yang lain, tetapi ia] mudah marah, tidak sabar, dan sangat kasar, [cenderung] mencaci maki dan mengecam para bhikkhu lain. Karena hal ini, semua bhikkhu [lain] dari daerah asal [Dhammika] pergi dan menjauh. Mereka tidak menikmati berdiam di sana. Para umat awam dari daerah itu, melihat bahwa semua bhikkhu dari daerah itu pergi dan menjauh, karena mereka tidak menikmati berdiam di sana, berpikir, “Mengapakah semua bhikkhu dari daerah ini pergi dan menjauh, tidak bergembira dalam berdiam di sini?”
Para umat awam dari daerah itu mendengar tentang Yang Mulia Dhammika, seorang sesepuh di daerah asalnya, [sebagai berikut]. Ia bertanggung jawab atas stupa dan ia menduduki posisi senior relatif terhadap [yang lain, tetapi ia] mudah marah, tidak sabar, dan sangat kasar, [cenderung] mencaci maki dan mengecam para bhikkhu lain. Karena hal ini semua bhikkhu [lain] dari daerah asal [Dhammika] pergi dan menjauh. Mereka tidak menikmati berdiam di sana. Mendengar hal ini, para umat awam dari tempat kelahiran [Dhammika] bersama-sama mendekati Yang Mulia Dhammika dan mengeluarkannya dari vihara-vihara di daerah asalnya.<421>
Atas hal ini Yang Mulia Dhammika, setelah dikeluarkan dari vihara-vihara di daerah asalnya oleh para umat awam dari daerah asalnya, mengambil jubah dan mangkuknya dan menuju Sāvatthī. Dengan mengadakan perjalanan secara bertahap, ia tiba di Sāvatthī dan berdiam di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika.
Kemudian Yang Mulia Dhammika mendekati Sang Buddha, memberikan penghormatan dengan kepalanya pada kaki Sang Buddha, mengundurkan diri, dan duduk pada satu sisi. Ia berkata:
Sang Bhagavā, aku tidak menghina para umat awam dari daerah asalku, aku tidak mencaci maki mereka, aku tidak melakukan pelanggaran terhadap mereka. Namun para umat awam dari daerah asalku telah mengusirku dari vihara-vihara di daerah asalku.
Kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya, “Hentikan, Dhammika! Hentikan! Mengapakah engkau perlu mengatakan hal ini?”<422>
Yang Mulia Dhammika merentangkan tangannya dengan telapak tangannya disatukan terhadap Sang Buddha, dan berkata lagi:
Sang Bhagavā, aku tidak menghina para umat awam dari daerah asalku, aku tidak mencaci maki mereka, aku tidak melakukan pelanggaran terhadap mereka. Namun para umat awam dari daerah asalku telah mengusirku dari vihara-vihara di daerah asalku.
Sang Bhagavā berkata kepadanya lagi:
Dhammika, pada masa lampau para saudagar di sini di Jambudīpa akan berangkat ke samudera dengan kapal, membawa bersama mereka burung pemangsa pencari daratan. Sebelum pergi jauh di samudera raya, mereka akan membebaskan burung pemangsa pencari daratan. Jika burung pemangsa pencari daratan dapat mencapai pantai dari samudera raya, ia tidak akan kembali ke kapal; tetapi jika burung pemangsa pencari daratan tidak dapat mencapai pantai samudera raya, ia akan kembali ke kapal. Dengan cara yang sama, Dhammika, karena engkau telah dikeluarkan dari vihara-vihara di daerah asalmu, engkau kembali kepadaku. Hentikan, Dhammika! Hentikan! Mengapakah engkau perlu mengatakan hal ini lagi?
Ketiga kalinya Yang Mulia Dhammika berkata:
Sang Bhagavā, aku tidak menghina para umat awam dari daerah asalku, aku tidak mencaci maki mereka, aku tidak melakukan pelanggaran terhadap mereka. Namun para umat awam dari daerah asalku telah mengusirku dari vihara-vihara di daerah asalku.
Ketiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepadanya:
Dhammika, ketika engkau dikeluarkan dari vihara-vihara di daerah asalmu oleh para umat awam dari daerah asalmu, apakah engkau berdiam dengan Dharma seorang pertapa?
Atas hal ini Yang Mulia Dhammika bangkit dari tempat duduk, merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha, dan berkata, “Sang Bhagavā, bagaimanakah seorang pertapa berdiam dengan Dharma seorang pertapa?”
Sang Bhagavā berkata:
Dhammika, pada masa lampau masa kehidupan manusia adalah delapan puluh ribu tahun. Dhammika, ketika masa kehidupan manusia adalah delapan puluh ribu tahun, benua Jambudīpa ini sangat makmur dan menyenangkan, dengan banyak penduduk; desa-desa dan kota-kota berdekatan [satu sama lain] sedekat jarak terbang seekor ayam jantan. Dhammika, ketika masa kehidupan manusia adalah delapan puluh ribu tahun, para wanita menikah pada usia lima ratus tahun.
Dhammika, ketika masa kehidupan manusia adalah delapan ribu tahun, terdapat [hanya] penyakit seperti [kebutuhan untuk] buang air besar dan kecil, memiliki keinginan, tidak memiliki sesuatu untuk dimakan, dan menjadi tua. Dhammika, ketika masa kehidupan manusia adalah delapan ribu tahun, terdapat seorang raja bernama Koravya, seorang raja pemutar roda, cerdas dan bijaksana, dilengkapi dengan armada pasukan berunsur empat untuk memerintah atas seluruh dunia. Sebagai raja Dharma yang baik, ia memiliki tujuh harta karun. Tujuh harta karun itu adalah: harta karun roda, harta karun gajah, harta karun kuda, harta karun permata, harta karun wanita, harta karun pelayan, dan harta karun penasihat – ini adalah tujuh hal itu. Ia memiliki seribu orang putra yang gagah, berani, tidak kenal takut, dan dapat menaklukkan orang lain. Ia pasti menguasai seluruh bumi, sejauh sampai samudera, tanpa bergantung pada pedang atau gada, hanya memerintah dengan Dharma, yang membawa kedamaian dan kebahagiaan [kepada semua orang].<423>
Dhammika, Raja Koravya memiliki pohon bernama Berdiri Kokoh, sebatang pohon banyan kerajaan. Dhammika, pohon banyak kerajaan Berdiri Kokoh memiliki lima dahan: dahan pertama menyediakan makanan bagi raja dan ratu; dahan kedua menyediakan makanan bagi putra mahkota dan para pengiring; dahan ketiga menyediakan makanan bagi rakyat kerajaan; dahan keempat menyediakan makanan bagi para pertapa dan brahmana; dahan kelima menyediakan makanan bagi burung-burung dan binatang. Dhammika, buah pohon banyan Berdiri Kokoh sebesar sebuah botol berukuran dua
pint, dan memiliki rasa bagaikan bola madu murni.
Dhammika, pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh tidak dijaga, [tetapi] tidak ada orang yang mencurinya. [Kemudian suatu hari] seseorang datang, lapar dan haus, sangat lemah, dengan penampilan lesu dan pucat, ingin makan buah itu, sehingga ia mendekati pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh. Setelah makan buah sampai kenyang ia mematahkan sebatang dahan yang menghasilkan buah dan pergi.
Terdapat seorang dewa yang berdiam bergantung pada pohon banyak kerajaan Berdiri Kokoh. Ia berpikir, “Betapa anehnya orang Jambudīpa ini! Ia tidak memiliki rasa berterima kasih dan penghargaan. Mengapakah demikian? Karena, setelah makan sampai kenyang buah dari pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh, ia mematahkan sebatang dahan yang menghasilkan buah dan membawanya pergi. Biarlah aku menyebabkan pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh menjadi hampa dari buah dan tidak menghasilkan buah [lagi].” Kemudian pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh menjadi hampa dari buah dan tidak menghasilkan buah [lagi].
Orang lain datang, lapar dan haus, sangat lemah, dengan penampilan lesu dan pucat, ingin makan buah itu, sehingga ia mendekati pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh. Melihat bahwa pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh telah menjadi hampa dari buah dan tidak menghasilkan buah [lagi], ia mendekati Raja Koravya dan berkata, “Semoga baginda mengetahui bahwa pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh telah menjadi hampa dari buah dan tidak menghasilkan buah [lagi].”<424>
Ketika mendengar hal ini, [secepat waktu yang dibutuhkan untuk] seseorang yang kuat membengkokkan lengannya atau meluruskannya, Raja Koravya lenyap dari [negeri] Kuru dan tiba di Surga Tiga-Puluh-Tiga. Berdiri di hadapan Sakka, raja para dewa, ia berkata, “Semoga Kosiya mengetahui bahwa pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh telah menjadi hampa dari buah dan tidak menghasilkan buah [lagi].”
Kemudian, [secepat waktu yang dibutuhkan untuk] seseorang yang kuat membengkokkan lengannya atau meluruskannya, Sakka, raja para dewa, dan Raja Koravya lenyap dari Surga Tiga-Puluh-Tiga dan tiba di [negeri] Kuru. Berdiri tak jauh dari pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh, Sakka, raja para dewa, melakukan pertunjukan kekuatan batin untuk menciptakan hujan badai besar. Setelah ia menciptakan hujan badai besar, pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh tercabut dan tumbang.
Karena hal ini, dewa pohon yang berdiam di pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh berdukacita dan bersedih. Meratap dan bercucuran air mata, ia berdiri di hadapan Sakka, raja para dewa. Sakka, raja para dewa, bertanya kepadanya, “Dewa, mengapakah engkau berdukacita dan bersedih, berdiri di hadapanku meratap dan bercucuran air mata?”
Dewa itu berkata, “Semoga Kosiya mengetahui bahwa, karena hujan badai besar, pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh telah tercabut dan tumbang.”
Kemudian Sakka, raja para dewa, berkata kepada dewa pohon itu, “Dewa pohon, ketika pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh tercabut dan tumbang disebabkan oleh hujan badai besar, apakah engkau berdiam dengan Dharma seorang dewa pohon?”
Dewa pohon berkata, “Kosiya, bagaimanakah seorang dewa pohon berdiam dengan Dharma seorang dewa pohon?” Sakka, raja para dewa, berkata kepadanya: “Dewa, seumpamanya bahwa seseorang ingin menggali akar-akar sebatang pohon dan membawanya pergi; seumpamanya ia ingin memotong tunas pohon, dahan pohon, dedaunan pohon, bunga pohon, buah pohon, dan membawanya pergi. Dewa pohon tidak seharusnya menjadi marah, tidak seharusnya membencinya karena ini; ia tidak seharusnya menyimpan kebencian dalam pikirannya. Dewa pohon seharusnya meninggalkan keadaan pikiran demikian dan [hanya] berdiam di sana sebagai seorang dewa pohon. Ini adalah bagaimana seorang dewa pohon berdiam dengan Dharma seorang dewa pohon.”
Dewa itu berkata lebih lanjut, “Kosiya, aku seorang dewa pohon yang tidak berdiam dengan Dharma seorang dewa pohon. Sejak saat ini, sebagai seorang dewa pohon, aku akan berdiam dengan Dharma seorang dewa pohon. Semoga pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh pulih dan menjadi seperti sebelumnya!”
Kemudian Sakka, raja para dewa, menggunakan kekuatan batinnya untuk menciptakan lagi hujan badai besar. Setelah ia menciptakan hujan badai besar, pohon banyan kerajaan Berdiri Kokoh pulih dan seperti sebelumnya.
Sama halnya, Dhammika, dengan seorang bhikkhu. Ia tidak mencaci maki seseorang yang mencaci makinya; ia tidak marah dengan seseorang yang marah dengannya; ia tidak melukai seseorang yang melukainya; dan ia tidak memukul seseorang yang memukulnya. Dengan cara ini, Dhammika, seorang pertapa berdiam dengan Dharma seorang pertapa.
Kemudian Yang Mulia Dhammika bangkit dari tempat duduknya, mengatur jubahnya sehingga memperlihatkan satu bahu, merentangkan tangannya dengan telapak tangan disatukan terhadap Sang Buddha, dan, dengan meratap dan bercucuran air mata, berkata:
Sang Bhagavā, aku seorang pertapa yang tidak berdiam dengan Dharma seorang pertapa. Sejak saat ini, sebagai seorang pertapa, aku akan berdiam dengan Dharma seorang pertapa.
Sang Bhagavā berkata:
Dhammika, pada masa lampau terdapat seorang guru besar bernama Sunetta, seorang pemimpin para pertapa ajaran lain, yang telah meninggalkan keinginan indria dan ketagihan [indria] serta telah memperoleh kekuatan batin. Dhammika, guru besar Sunetta memiliki tak terhitung ratusan dan ribuan siswa. Dhammika, guru besar Sunetta mengajarkan para siswanya metode untuk [mencapai] alam Brahmā.
Dhammika, ketika guru besar Sunetta mengajarkan [para siswanya] metode untuk [mencapai] alam Brahmā, beberapa siswa yang tidak sepenuhnya menerima dan berlatih metodenya terlahir kembali setelah kematian di Surga Empat Raja, beberapa terlahir kembali di Surga Tiga-Puluh-Tiga, beberapa terlahir kembali di Surga Yāma, beberapa terlahir kembali di Surga Tusita, beberapa terlahir kembali di Surga Mereka yang Menyenangi Penciptaan, dan beberapa terlahir kembali di Surga Mereka yang Menyenangi Penciptaan yang Lain.<425>
Dhammika, ketika guru besar Sunetta mengajarkan [para siswanya] metode untuk [mencapai] alam Brahmā, para siswa itu yang sepenuhnya menerima dan berlatih metodenya mengembangkan empat kediaman luhur dan meninggalkan keinginan indria, dan setelah kematian mereka mencapai kelahiran kembai di alam Brahmā. Kemudian, guru besar Sunetta berpikir, “Tidak layak bagiku untuk berada di tingkat yang sama dalam kehidupan berikutnya seperti para siswaku dengan terlahir kembali di tempat yang sama. Biarlah aku sekarang alih-alih berlatih bentuk cinta kasih yang lebih lanjut. Setelah berlatih bentuk cinta kasih yang lebih lanjut ini, setelah kematian aku akan mencapai kelahiran kembali di Surga Cahaya yang Memancar (Ābhassara).”
Dhammika, kemudian guru besar Sunetta berlatih bentuk cinta kasih yang lebih lanjut. Setelah berlatih bentuk cinta kasih yang lebih lanjut itu, setelah kematian ia mencapai kelahiran kembali di Surga Cahaya yang Memancar. Dhammika, jalan latihan guru besar Sunetta dan para siswanya tidaklah sia-sia. Ini menghasilkan buah besar.
Seperti halnya guru besar Sunetta, demikian juga [enam guru besar lain] Mūgapakkha, brahmana Aranemi, guru Kuddālaka, brahmana muda Hatthipāla, Jotipāla, dan ayahnya Govinda: ini adalah “tujuh [brahmana] penasihat” (
satta purohita).<426>
Dhammika, tujuh penasihat dan guru ini juga memiliki tak terhitung ratusan dan ribuan siswa. Dhammika, tujuh penasihat dan guru ini mengajarkan para siswa mereka metode untuk [mencapai] alam Brahmā. Ketika tujuh penasihat dan guru itu mengajarkan [para siswa mereka] metode untuk [mencapai] alam Brahmā, beberapa siswa yang tidak sepenuhnya menerima dan berlatih metodenya terlahir kembali setelah kematian di Surga Empat Raja, beberapa terlahir kembali di Surga Tiga-Puluh-Tiga, beberapa terlahir kembali di Surga Yāma, beberapa terlahir kembali di Surga Tusita, beberapa terlahir kembali di Surga Mereka yang Menyenangi Penciptaan, dan beberapa terlahir kembali di Surga Mereka yang Menyenangi Penciptaan yang Lain.
Ketika tujuh penasihat dan guru itu mengajarkan [para siswa mereka] metode untuk [mencapai] alam Brahmā, para siswa itu yang sepenuhnya menerima dan berlatih metodenya mengembangkan empat kediaman luhur dan meninggalkan keinginan indria, dan setelah kematian terlahir kembali di alam Brahmā. Dhammika, kemudian [masing-masing dari] tujuh penasihat dan guru itu berpikir, “Tidak layak bahwa aku, dalam kehidupan berikutnya, berada di tingkat yang sama seperti para siswaku dengan terlahir kembali di tempat yang sama. Biarlah aku sekarang alih-alih berlatih jenis cinta kasih yang lebih lanjut. Setelah berlatih jenis cinta kasih yang lebih lanjut ini, setelah kematian aku akan mencapai kelahiran kembali di Surga Cahaya yang Memancar.”
Dhammika, kemudian tujuh penasihat dan guru itu berlatih jenis cinta kasih yang lebih lanjut. Setelah berlatih jenis cinta kasih yang lebih lanjut itu, setelah kematian mereka mencapai kelahiran kembali di Surga Cahaya yang Memancar. Dhammika, jalan latihan tujuh penasihat dan guru itu dan para siswa [mereka] tidaklah sia-sia. Ini menghasilkan buah besar.
Dhammika, jika seseorang telah mencaci maki tujuh guru tersebut dan tak terhitung ratusan dan ribuan pengikut mereka, jika seseorang telah memukul mereka, telah marah dengan mereka, atau telah mengecam mereka, maka orang itu pasti telah melakukan tak terukur pelanggaran berat.
Sehubungan dengan seorang siswa Sang Buddha yang telah mencapai pandangan benar, seorang bhikkhu yang telah mencapai buah yang lebih rendah [demikian], jika seseorang mencaci makinya, memukulnya, marah dengannya, atau mengecamnya, orang itu melakukan pelanggaran yang bahkan lebih berat. Oleh sebab itu, Dhammika, engkau [dan para bhikkhu temanmu] seharusnya saling melindungi. Mengapakah demikian? Setelah engkau meninggalkan kesalahan ini tidak akan ada kerugian lebih lanjut [bagimu].
Kemudian Sang Bhagavā mengucapkan syair-syair ini:
Sunetta, Mūgapakkha,
Brahmana Aranemi,
Guru Kuddālaka,
Brahmana muda Hatthipāla,
Jotipāla, dan [ayahnya] Govinda –
[Ini adalah] tujuh penasihat.
Pada masa lampau
Tujuh guru ini terkenal atas kebaikan mereka,
Bebas dari ikatan ketagihan [indria], bergembira dalam belas kasih,
Dan dengan belenggu keinginan indria sepenuhnya terlampaui.
Mereka memiliki para siswa,
Tak terhitung ratusan dan ribuan dari mereka,
Yang juga telah meninggalkan belenggu keinginan indria,
Tetapi hanya sementara, belum sepenuhnya.
Dalam hal para pertapa ajaran lain tersebut,
Yang melindungi diri mereka dengan baik ketika berlatih pertapaan,
Siapa pun yang dengan kebencian dan kecemburuan dalam pikirannya
Mencemooh mereka, telah melakukan pelanggaran berat.
Dalam hal seorang siswa Sang Buddha yang telah mencapai pandangan benar,
Yang berkembang dalam buah yang lebih rendah,
Siapa pun yang mencemooh, mengecam, atau menyerangnya
Akan melakukan pelanggaran yang bahkan lebih berat.
Oleh sebab itu, Dhammika,
Engkau [dan para bhikkhu temanmu] seharusnya saling melindungi.
Kalian seharusnya saling melindungi karena
Tidak ada pelanggaran yang lebih berat daripada hal ini.
[Ini menyebabkan] penderitaan yang begitu hebat
Di mana para mulia jijik terhadapnya.
Seseorang pasti akan mendapatkan pandangan yang membantah
Jika ia secara mencolok mengambil posisi ini berdasarkan pandangan salah.
Ia yang adalah orang dengan tingkat terendah,
Seperti yang dijelaskan dalam Dharma mulia,
Yaitu seseorang yang belum meninggalkan nafsu indria,
Telah memperoleh sejumlah lima indria yang sangat kecil:<427>
Keyakinan, semangat, penegakan perhatian,
Konsentrasi benar, dan pengetahuan benar.
Seseorang yang [mencemooh, mengecam, atau menyerang seseorang] seperti ini akan menerima penderitaan:
Menghadapi pengalaman kejatuhannya sendiri.
Seseorang akan mengalami kejatuhannya sendiri
Setelah menyakiti orang lain.
[Tetapi] jika seseorang dapat melindungi dirinya,
Ia kemudian dapat melindungi orang lain.
Oleh sebab itu, seseorang seharusnya melindungi dirinya;
[Dengan cara ini] orang bijaksana [mencapai] kebahagiaan yang bertahan lama.
Demikianlah yang diucapkan Sang Buddha. Setelah mendengar apa yang dikatakan Sang Buddha, Yang Mulia Dhammika dan para bhikkhu [lainnya] bergembira dan menerimanya dengan hormat.