Wah, karena ga ada yang tanggepin maka saya kasih penjelasan maksud saya deh.
Menurut saya, kondisi kehidupan manusia ini bisa dari sesuatu yang sangat bahagia hingga pada taraf yang sangat mengenaskan. Walaupun kita tidak mengalami titik2 ekstrim itu tapi kita bisa membayangkannya. Dengan kekuatan imaginasi maka tiada batas dari sesuatu yg dibayangkan itu. Dimana kebahagiaan tertinggi dinamakan sebagai surga dan kesengsaraan terdalam dinamakan neraka.
Keberadaan surga dan neraka dapat dideduksi dari penalaran ini. Sumbernya darimana? Tidak lain daripada dari batin kita sendiri.
Menurut saya, orang kuno mencoba memberikan penjelasan yang mudah tentang fenomena ini sebagai sebuah tempat. Karena konsep2 ini sudah ada dan dipercaya orang sebelum Sang Buddha mengajar, maka Sang Buddha pun mengambil konsep ini untuk pengajaran. Tapi orang modern kemudian menjadi skeptis dan tidak percaya dengan konsep ini, mereka bertanya "bila surga dan neraka adalah tempat, mengapa tidak bisa saya temukan dengan science?"
Menurut saya jawabannya adalah karena tempat yang dicari oleh science adalah sebatas ruang waktu dalam dimensi fisik ini, sedangkan keberadaan surga dan neraka itu sebenarnya adalah suatu manifestasi dalam ruang batin. Soal apakah nanti setelah kematian benar2 ada tempat yang digambarkan semacam itu, untuk sementara ini saya belum bisa menjawab, akan tetapi saya memiliki keyakinan (belief) tentang hal itu. Yah, sekedar belief, tapi belief itu saya pelihara karena bisa memotivasi kita untuk mempraktekkan Dharma dengan lebih baik.
Mendengar penjelasan saya diatas, tentu anda bisa menangkap suatu pengertian bahwa walaupun saya memelihara suatu belief, akan tetapi belief itu bukan merupakan suatu kepercayaan buta. Belief itu didasari oleh sebuah pengertian abstrak tentang suatu kompleksitas kondisi batin manusia yang dapat dideduksi dengan penalaran yg sudah ada. Disamping itu adapula evidence2 yang mendukung kemungkinan kebenaran dari doktrin itu.
Agama-agama mencoba menggambarkan kompleksitas batin yang menderita dalam 'neraka' itu dengan berbagai mitos dan simbolisme. Di agama kristiani mereka menggambarkan bagaimana Tuhan menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia dari api neraka abadi, dan untuk itu Yesus dalam kematiannya turun ke neraka untuk mematahkan kuasa kegelapan.
Demikian juga simbolisme yang terdapat pada tantric buddhism spt misalnya Yamantaka.
Di dunia modern, penggambaran itu muncul dalam film The Rising of Hannibal dalam sebuah film horror yang menggambarkan proses kejiwaan seseorang.
Bermacam2 penggambaran itu dapat kita pahami benang merahnya. Begini analisa saya:
Neraka adalah suatu kondisi jiwa yang sangat menderita yang berlangsung terus menerus. Terkadang karena suatu penderitaan kecil kita bereaksi dengan memunculkan suatu perbuatan salah. Perbuatan salah itu pada lanjutnya memancing suatu kondisi yang semakin menyengsarakan kita. Hal itu terus berlanjut hingga akhirnya kita semakin terperosok pada lingkaran setan kesengsaraan. Dimanakah batas akhir dari intensitas kesengsaraan itu?
Dalam badan fisik, maka kesengsaraan itu memiliki batas berupa kesakitan fisik yang amat sangat tapi ada batasnya. Tetapi didalam alam batin / perasaan, maka kesakitan batin itu tiada batasnya. Apalagi bila setelah kematian kita tidak memiliki referensi kesakitan itu dengan fisik, maka proses imaginasi batin itu bisa berkembang terus menerus hingga taraf siksaan yang tanpa batas. Barangkali itulah neraka.
Kita lihat bahwa Yamantaka tadinya adalah seorang pertapa yang hampir mencapai kesuksesan / kesucian dalam pertapaannya selama 2 th 11 bln 29 hari. Hanya kurang hari maka ia mencapai kesucian. Tapi karena dibunuh secara kejam oleh perampok, maka 'jiwa'nya menjadi penasaran dan penuh kemarahaan dan kebencian yang hebat dipenuhi keinginan balas dendam.
Demikian pula Hannibal Lecter, seorang bocah kecil yang manis di th.1944 hingga suatu saat keluarganya terbunuh karena pertempuran di dekat villanya, dan ia bersama adik perempuannya yang masih bayi di sekap oleh para perampok. Dikarenakan kondisi kelaparan, dan waktu itu adalah musim dingin di tempat terpencil, maka satu2nya makanan bagi perampok itu adalah memakan adik perempuannya yang masih kecil itu. Hal ini menimbulkan goncangan kejiwaan yang sangat dahsyat bagi Hannibal kecil. Kemurungan dan awan gelap yang mewarnai jiwanya menyebabkan ia bertumbuh menjadi pemuda yang murung dan antisosial. Hal ini pada akibatnya justru menimbulkan reaksi2 keras dari masyarakat yg menjadi tidak bersahabat pada dia. Kekerasan mewarnai jalan hidupnya. Mimpi2 buruknya muncul setiap malam mengulang2 kejadian ketika adik perempuan yg sangat dikasihinya sedang disembelih perampok untuk dimakan mentah2. Goncangan kejiwaan yg dahsyat ini yang menyebabkan kegilaannya. Rasa cinta yang tak berdaya, kebencian yang amat sangat, ketakutan luar biasa, kejijikan, merasa diperkosa jiwanya, keputus-asaan, perasaan kehilangan, dsb dsb semua menghantui hidupnya.
Walaupun ia adalah pemuda genius yang bersekolah di fakultas kedokteran, akan tetapi ia bukan manusia lagi. Semangat tinggi belajar kedokteran semata-mata karena didasari oleh obsesinya untuk menyayat2 atau mengobrak abrik tubuh manusia, yang merupakan representasi dari obsesinya terhadap kondisi Mischa (adiknya). Ia pun terobsesi untuk mencari anggota kawanan perampok yang dulu memakan hidup2 Mischa itu. Ditambah karena kondisi yang mendukung untuk melancarkan amarahnya itu (ia dilatih beladiri oleh seorang tantenya) ia menjadi seorang pembunuh yang mengerikan.
Yamantaka pun menghabisi sebuah desa dan membunuh orang2nya tak peduli tua muda, laki perempuan semata karena rasa sakit yg pedih menyayat dalam jiwanya. Ia ingin mencari pelepasan tapi satu2nya cara yg tersedia adalah dengan cara menghabisi nyawa manusia dan menyakitinya.
Milarepa pun mengalami suatu kondisi yang sama. Ia dengan penuh kebencian belajar black magic untuk membalaskan kebencian atas kematian ayahnya oleh karena pamannya. Bahkan ia pun menghabisi seluruh penduduk sebuah desa dengan kekuatan black magicnya.
Perhatikan, bahwa seseorang yang menjadi semakin baik, seseorang yg bermeditasi dan jiwanya menjadi semakin halus dan lembut, bukan berarti bebas dari resiko 'neraka' ini. Sudah kita ketahui semua bahwa kala kita semakin sering bermeditasi maka perasaan kita pun menjadi semakin sensitif. Selama dalam meditasi atau praktek kebajikan itu akar loba-dosa-moha belum tercabut, maka ada peluang bahwa setetes kecil sisa kekotoran batin itu bisa meledak menjadi sebuah kekejian dan balas dendam mengerikan bila kita mengalami suatu kasus yang dahsyat yg menghantam jiwa kita. Oleh karena itulah maka pemahaman dan peresapan Dhamma sangat penting. Dari sini kita bisa melihat betapa mutlaknya makna kita berlindung pada Buddha, Dharma, Sangha sebagai sebuah titik referensi untuk berpegangan manakala ombak dan badai menghantam kita.
Selanjutnya kita kembali lagi pada Yamantaka dan Milarepa. Marilah kita analisis apa yang terjadi pada Yamantaka dan Milarepa pada proses perkembangan selanjutnya? Mereka akhirnya mengenal Dharma dan mencapai suatu persentuhan dengan makna kesunyataan. Disitulah segala penyakitnya terobati dan hilang seakar2nya. Kebencian itu tiada lain adalah awan-awan ilusi yang muncul tenggelam di langit biru kekosongan.
Kisah Yesus turun ke neraka pun menggambarkan bagaimana kondisi 'neraka' itu bisa dikalahkan apabila kita mengorbankan diri kita atau dengan kata lain mencapai kondisi tanpa-aku.
Begitulah rekan2, gambaran yang saya ingin coba sampaikan tentang pengertian saya tentang neraka.
Pada senyatanya saat ini dalam tiap detik kehidupan kita, setiap langkah kaki kita, sebenarnya kita sedang mengukir dimanakah kita akan berada, apakah kita akan berada dalam kondisi 'surga', ataukah berada dalam kondisi 'neraka'. Bila kondisi 'neraka' itu yang kita terus kembangkan dan biarkan berlarut-larut, maka saya yakin bahwa setelah kematian nantinya, batin ini akan mengalami neraka yang sesungguhnya.
Akhirnya, sampai disini dulu kontribusi saya, nanti kalau ada insight lagi akan saya tambahkan. Mohon maaf apabila kurang berkenan di hati anda.
Salam,
Suchamda