//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo  (Read 65509 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #75 on: 24 July 2013, 01:21:55 PM »
Berdasarkan pengalaman ya bro, ini ada kisah nyata yang sungguh2 terjadi, ada jenasah udah seminggu belum ditutup peti karena masih menanti anak bungsu yang berada di USA belum bisa segera pulang ke tanah air, akhirnya benar2 tidak bisa pulang, sehingga anak berpamitan melalui HP ditempelkan ke telinga jenasah mamanya, saat HP ditempelkan ke telinga jenasah, ternyata jenasah mengeluarkan air mata, itu bukti nyata bahwa almarhum masih ada didekat sana dan mendengar suara anaknya yang berpamitan tidak bisa pulang untuk mengantarkan mamanya terakhir kali. Berarti dia masih ada ikatan cinta kepada anaknya (feeling).

ini ada kutipan "Vedana sutta" (S.ii.247)
manosamphassajāya vedanāyapi (feelings born of mind contact), sang Buddha sangat jelas menyebutkan bahwa feeling muncul karena adanya kontak mind (mano). kita semua tahu bahwa disaat kita meninggal hanya tinggal mano saja (vinnana) yang akan melanjutkan perjalanan ke alam berikut.

Spoiler: ShowHide


7. Rāhulasaṃyuttaṃ
1. Paṭhamavaggo
5. Vedanāsuttaṃ
 192. Sāvatthiyaṃ  viharati…pe… ‘‘taṃ kiṃ maññasi, rāhula, cakkhusamphassajā  vedanā niccā vā aniccā vā’’ti? ‘‘Aniccā, bhante’’…pe… ‘‘sotasamphassajā vedanā…pe… ghānasamphassajā vedanā… jivhāsamphassajā vedanā… kāyasamphassajā vedanā… manosamphassajā vedanā niccā vā aniccā vā’’ti? ‘‘Aniccā , bhante’’…pe… ‘‘evaṃ passaṃ, rāhula, sutavā ariyasāvako cakkhusamphassajāya vedanāyapi nibbindati…pe… sota… ghāna… jivhā… kāya… manosamphassajāya vedanāyapi nibbindati…pe… pajānātī’’ti.

[spoiler]
ENGLISH

(5) Vedana / Feelings 1. I heard thus. At one time the Blessed One was living in the monastery offered by Anàthapindika in Jeta's grove in Sàvatthi. Then venerable Ràhula approached the Blessed One worshipped and sat on a side. Sitting on a side venerable Ràhula said to the Blessed One:  Venerable sir, Blessed One, may I be taught so that I would withdraw and seclude and abide diligent and zealous to dispel.
2. Ràhula, are feelings born of eye contact permanent or impermanent?
They are impermanent, venerable sir.
That which is impermanent is it unpleasant or pleasant?
It's unpleasant, venerable sir.
That which is impermanent, unpleasant, a changing thing is it suitable to be considered `that is mine, I am that, it's my self?
That is not so, venerable sir.
5. Ràhula, are feelings born of ear contact ... re ...
6. ... re ... feelings born of nose ontact ... re ...
7. ... re ... feelings born of tongue contact ... re ...
8. ... re ... feelings born of body contact ... re ...
9. Ràhula, are feelings born of mind contact permanent or impermanent?
They are impermanent venerable sir.
That which is impermanent is it unpleasant or pleasant?
It's unpleasant, venerable sir.
That which is impermanent, unpleasant, a changing thing is it suitable to be considered `that is mine, I am that, it's my self?
That is not so, venerable sir.
10. Ràhula, the noble disciple seeing it thus turns away from feelings born of eye contact turns away from feelings born of ear contact, turns away from feelings born of nose contact, turns away from feelings born of tongue contact turns away from feelings born of body contact and turns away from feelings born of mind contact.
11. Turning away detaches himself, is dispassionate and is released. Released, knowledge arises, `Birth is destroyed, the holy life is lived, duties are done, there's nothing more to wish’.
 
[spoiler]
INDONESIA

1.       Aku mendengar demikian. Pada suatu waktu Sang Bhagava tinggal di Vihara Anathapindika di hutan Jeta di Savatthi. Kemudian Rahula mendekati Sang Bhagava menyembah dan duduk di sisi. Duduk di sisi Rahula berkata kepada Sang Bhagava: Hormat saya, Bhante, mohon Sang  bhagava mengajarkan dhamma secara singkat kepada  saya dan saya akan menyendiri, ke tempat terpencil, berlatih sungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat menaklukkan dirinya sendiri 
2.       Rahula, perasaan yang lahir dari kontak mata permanen atau tidak permanen?
Mereka tidak kekal, Yang Mulia.
Itu yang kekal itu menyenangkan atau menyenangkan?
Ini tidak menyenangkan, Yang Mulia.
Itu yang tidak kekal, tidak menyenangkan, hal yang berubah apakah cocok untuk
dipertimbangkan `adalah milikku, aku, itu diri saya?
Itu tidak begitu, Yang Mulia.

 5. Rahula, adalah perasaan yang lahir dari kontak telinga ... re ...
6. ... re ... perasaan yang lahir dari hidung ontact ... re ...
7. ... re ... perasaan yang lahir dari kontak lidah ... re ...
8. ... re ... perasaan yang lahir dari kontak tubuh ... re ...

 9. Rahula, adalah perasaan yang lahir dari pikiran kontak permanen atau tidak permanen?
Mereka Mulia kekal.
Itu yang kekal itu menyenangkan atau menyenangkan?
Ini tidak menyenangkan, Yang Mulia.
Itu yang tidak kekal, tidak menyenangkan, hal yang berubah adalah cocok untuk
dipertimbangkan `yang adalah milikku, aku itu, itu diri saya?
Itu tidak begitu, Yang Mulia.

 10. Rahula, siswa mulia melihatnya demikian berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak mata berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak telinga, berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak hidung, berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak lidah berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak tubuh dan berpaling dari perasaan yang lahir dari kontak pikiran.

 11. Berpaling melepaskan dirinya, melepaskan perasaan dan tanggalkan. Setelah ditanggalkan, muncul pengetahuan, `Kelahiran telah dihancurkan, hidup dalam kehidupan suci, tugas telah diselesaikan, tidak ada lagi keinginan '.
 
 

[/spoiler]
[/spoiler]

Jika kita mengacu pada apa itu mati dalam Buddhis (saat ini baru berdasarkan Theravada) dan jika benar kisah di atas maka bisa dikatakan orang tersebut belum mati. Ia mati secara medis tapi tidak dalam pengertian Buddhis.

Karena tubuh sudah mati tapi batin belum, maka mungkin inilah yang kemudian dianggap secara awam sebagai setengah mati setengah hidup, antara hidup dan mati, antara mati dan lahir. 

Jadi antarabhava / bardo ini, bagi saya tidak menunjukkan merupakan bentuk interval antara mati dan lahir karena antarabhava/bardo itu sendiri terjadi bukan setelah seseorang mati, tapi saat masih hidup (bukan menurut medis) tapi sekarat dimana sisa-sisa batin masih belum padam sepenuhnya.

Dari sini kita bisa mengatakan bahwa keberadaan bardo bukan merupakan bukti bahwa kelahiran kembali terjadi secara tidak langsung, karena sekali lagi bahwa bardo itu sendiri terjadi saat orang masih hidup meski medis menyatakan mati. Untuk itulah mengapa ada kisah orang bisa bangkit dari 'mati", karena sebenarnya ia tidak mati, ia mati dalam konteks medis.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #76 on: 24 July 2013, 01:23:02 PM »
Quote
Vasubandhu's definition of death can be seen by referring to his Pancaskhandaka Prakarana ("A Discussion Concerning the Five Skandha") [1], a work subsequent to his monumental and often quoted "Abhidharmakosha" writings, and in which he re-considered and modified many of the doctrinal and terminological definitions he outlined in the "Abhidharmakosha". In the "Pancaskhandaka" the definitions he gives for the 'life force' and 'birth' can be combined to produce his view regarding the requisites for 'life'.

In the "Pancaskhandaka" he defines such 'Life' to be :
"Any continuity in regard to the events taking place within an organism, which have been projected by past actions and which maintains a series of samskaras which have not arisen before.".

By means of this definition we can quite easily see how its converse (the death state) would be defined, for it would be when
"Any continuity, in regard to events taking place within an organism and projected by past actions, does not arise."

In other words the continuity is broken or altered in some definite manner.

http://www.oocities.org/gorinto/anta.html

Quote
Buddhist criteria

The main concern for the Buddhist in determining death is the presence or absence of mind. With the exception of Buddhist cultures which maintain that the integrity of the body is necessary for the departed to transform into an ancestor, such as is the case in Japan and China, organ donation after it has been established that the mind has left the body is seen as a positive activity and, it can be said, even encouraged in support of the practices of generosity and the accumulation of merit. In Buddhist practice in general there is no question as to the benefit of offering any part of one’s body, while living or dead. Although

"there is no official consensus among Buddhist communities as to the determination of death or the permissibility of organ donation...most Buddhist communities permit organ donation as a matter of individual conscience and consider it an act of compassion and generosity that can serve as a condition for realizing nirvana." 16

In Tantric Buddhism the practice of Chod (Tib: “Cutting [Attachment to the Body]”) is a tool for reducing the obsessive clinging the mind has to our material form by imagining the offering of one’s body, after the mind has exited the crown of the head and has transformed into a deity, as food to unfortunate beings in the lower realms. Chod is modelled after the actions of Shakyamuni Buddha in a former life when he gave his body to a hungry tigress who, out of desperate hunger, was about to eat her cubs. Stories of such sacrifices abound in Buddhist lore. The Indian scholar-saint Atisha meditated in a cave for twelve years with no apparent results. It wasn’t until, out of compassion, he used a piece of his own flesh to coax maggots out of the festering wound of a sick dog, that he achieved a vision of the future Buddha Maitreya. It is an understatement to say that "Buddhists of various backgrounds...support...the idea of donating one's vital organs to save someone's life as consistent with Buddhist values of generosity and loving-kindness." 7
Unlike in the world of modern medicine, it is the cardiac-centered criteria that seems most suitable in facilitating the transference of consciousness, the chief Buddhist concern at death-time. One specialist in both medical and Buddhist practice concludes that “as long as there is heat in the body, and a pulse and respiration, or any reflexes, it is best to avoid disturbing the patient, in case the consciousness is present.” 7 One attorney and Zen scholar shows the primary issues for the Buddhist practitioner around post-mortem use of the body to be the gifting of any anatomical part of the body (organs, tissue, corneas) in general or specifically for research purposes, the performance of an autopsy or embalming, and disposal by burial or cremation. He offers a sample health care proxy which considers each of the above options, and for each great care is taken particularly to indicate how soon after cardiac death such events are allowed to take place according to the practitioner's advance directives. 9 If organ harvesting is hindered by a time-interval required by the wait for a sign or event to establish the absence of mind, “unless a person is extremely well-trained, the consciousness is likely to be disturbed by the surgery and it may be best to avoid organ transplantation.” 7
There is also much support for the Buddhist model of death determination following cardiac-centered criteria as a direct result of rejecting those based on brain death-centered criteria.

"Some Buddhist arguments...emphasize the body's development from an original mass, such that no particular organ like the brain should take priority in determining death. Given this lack of hierarchy, some would argue that the dissipation of heat after the last breath favours criteria based upon the cessation of cardio-pulmonary activity rather than brain-death criteria." 16

Even with the onset of any degree of brain-death, if the body is alive artificially by way of cardio-pulmonary mechanical heroics, it is widely held in Buddhism that the mind will not leave the body. Although there is much scriptural and commentarial support for this, perhaps this is too bold a statement. It may be more mild to say that “if the heart has not stopped beating and the bodily heat has not yet disappeared, there is reason to believe that the consciousness may still be present in the body.” 7 A patient in a persistent vegetative state (PVS) still meets the “minimum requirement…for assuming the existence of a person…[which] is the existence of consciousness.” 7 As a result,

"some concern does exist among Buddhists concerning the criterion of brain-stem death, to which organ transplantation from cadavers is closely linked. To declare death on the basis of this criterion seems premature to some, and not in keeping with Buddhist scriptural teachings concerning the point when death occurs. The ancient sources state that death occurs when three things - vitality, heat, and consciousness - leave the body." 2

Dividing that which is required to leave the body in the valid determination of death into three does not negate our strong premise that the main component in defining death is the departure of mind, and that Buddhists can easily rely on cardiac-centered criteria. Unlike with brain-death, cardiac death necessarily prompts the departure of mind, although some time might elapse. However, with the departure of mind, heat and vitality cannot remain.
Looking at cardiac-centered criteria as being in opposition to brain-death centered criteria gives preference to viewing death as “…the death of the whole psycho-spiritual organism rather than any one of its parts." 2 The following statement by the same author, one who is admirable in his active work in bridging Buddhism and bioethics, gives us reason to pause:

"...since the traditional Buddhist criteria for determining death are biological in nature Buddhism would reject any definition of death that focused solely on the loss of consciousness or the higher brain functions controlled by the neocortex."2

This statement is true insofar as the biological status of the human organism is the only ordinary means we have of determining the presence or absence of mind, since certain signs and symptoms give indication of the latter, which is of the utmost importance. However, declaring that Buddhist determine death using biology might lead one to believe that Buddhists rely on the functionality of the body alone. This smacks of materialism contrary to the Buddhist emphasis on experience and consciousness, in that it does not take into account that it is the status of mind that actually defines death. Any bodily state used to determine death is simply a way of perceiving indirectly what is happening with the mind, a non-physical and non-visible phenomenon. Again, the Buddhist stance that mind is the key factor in establishing death clearly informs decision-making around invasive activities, since, “from a Tibetan Buddhist perspective…any intervention before...the experience of clear light, especially in the case of a skilled meditation practitioner, is inadvisable.” 7
As mentioned earlier, there are objective signs that are agreed upon in the Tantric world as indicating the departure of mind, such as the appearance of fluid at orifices or the smell of decay. There are additional ways that traditionally are accepted as valid methods of establishing that the consciousness has left the body. Earlier we saw, in the sky-burial description, that a religious with expertise in divination has the ability to determine the mind’s departure. However, it would be more accurate to say that someone with an appropriate level of clairvoyance can perceive directly the mind which has moved into the Bardo (Tib: “In-between State”), referring to the state of existence between death and rebirth. Lastly, there is the Tantric practice of Phowa (Tib: “Transference of Consciousness”) which, if performed by a qualified master (who can either be the patient themselves or one practicing the ritual for the benefit of the patient), can act as the final push for the mind’s exit. In such a case, the exit would also be auspicious, meaning one that occurs through an upper orifice or through the crown of the head and necessarily leading to a fortunate rebirth. Any of these means of determining the departure of mind, signs, clairvoyant pronouncement or ritual, would, in general, satisfy the Tantric Buddhist that the appropriate time for organ procurement has arrived. In the absence of these, standard best practice with Buddhist patients suggests that "as far as possible, it is best to leave the body alone and in quietude for two to three days after the pulse and breathing have stopped, or until the corpse begins to decompose.”7 To harken back to the earlier discussion regarding the NHBD (non-heart-beating-donor), it is clear in the Buddhist approach that there is a great concern with how soon after cardiac death the body is manipulated in any way, especially invasively with organ procurement or autopsy, if cardiac-centered criteria dominate. There is no predictable schedule for the departure of mind. It can happen before three days pass, but it does not occur after three days with an ordinary being. The only exception to this principle is in the case of the Yogi (Skt: “hermit meditator”) who can remain in a state of meditation for more than a week with cardio-pulmonary vital signs absent. In such a case the only remaining observable signs are heat in the chest and freedom from decay and odour. The mind has not left, and any invasive activity would be inappropriate.

http://torontobuddhistethics.blogspot.com/2009/12/death-in-tantric-buddhism-and-modern.html
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline Kelana

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.225
  • Reputasi: 142
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #77 on: 24 July 2013, 01:31:22 PM »
kalau menurut mahayana sulit jg karena harus cari text nya, tapi ada artikel medis berkaitan dengan ini, yg membahas gimana cara ngurus mayat orang yg praktek buddhis tibet



Menurut saya, berdasarkan tulisan di atas, ini menunjukkan sama bahwa mati dalam konteks Budhdis (bukan konteks medis) harus terjadi padamnya, dark night atau apapun istilahnya pada kesadaran.

Jadi jika benar demikian, maka seperti yang telah saya sampaikan kepada Sdri. Shasika bahwa bardo ini tidak terjadi saat  mati dalam konteks Buddhis, tapi pada saat masih hidup. Bagi medis mungkin sudah mati tapi tidak dalam konteks Buddhis.
GKBU
 
_/\_ suvatthi hotu


- finire -

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #78 on: 24 July 2013, 01:52:57 PM »
Kayaknya udah hampir ketemu kesimpulannya....
Soal definisi kematian menurut Mahayana, sepertinya sama dengan Theravada dengan asumsi bahwa Mahayana juga menggunakan teks2 awal yg sama dg teks Pali (Mahavedalla Sutta jg ditemukan versi Madhyama Agama-nya dg judul yg berbeda, analisis Paticcasamuppada pasti jg ditemukan dlm Samyukta Agama)....
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #79 on: 24 July 2013, 02:24:06 PM »
Menurut saya, berdasarkan tulisan di atas, ini menunjukkan sama bahwa mati dalam konteks Budhdis (bukan konteks medis) harus terjadi padamnya, dark night atau apapun istilahnya pada kesadaran.

Jadi jika benar demikian, maka seperti yang telah saya sampaikan kepada Sdri. Shasika bahwa bardo ini tidak terjadi saat  mati dalam konteks Buddhis, tapi pada saat masih hidup. Bagi medis mungkin sudah mati tapi tidak dalam konteks Buddhis.

tapi
di mahayana dipercaya bahwa bahkan sesudah tubuh dikremasi
bardo masih berlanjut. Bisa jadi belum lahir bahkan 2 minggu setelah kremasi.

kalau pada saat kesadaran padam sama sekali ga ada pertemuan sel telur dan sperma, trus si gandhaba ngapain?
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #80 on: 24 July 2013, 06:25:17 PM »
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik
...

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #81 on: 24 July 2013, 10:06:43 PM »
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik

:hammer:

Maksudnya istilah yang digunakan dalam MN 38 Mahatanhasankhaya Sutta. Kalo dalam Karaniya Metta Sutta disebut "sambhavesi" (makhluk yang sedang mencari kelahiran kembali)
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #82 on: 24 July 2013, 10:11:08 PM »
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik

A some­what mys­ter­i­ous usage of the term gand­habba has also been taken as refer­ring to the in-between state.33 By the time of the Buddha, gand­habba had almost entirely reached its clas­sical mean­ing of a class of celes­tial musi­cians. But earlier Vedic usage var­ied, and it seems to have been as vague as our ‘spirit’. This quasi-animist mean­ing appears in the fol­low­ing passage.

    Bhikkhus, the des­cent of the being-to-be-born (gabbhassâvakkanti) takes place through the union of three things. Here, there is the union of the mother and the father; but the mother is not in sea­son, and the being-to-be-born (gand­habba) is not present. In this case, no des­cent of a being-to-be-born occurs. But when there is the union of the mother and father; the mother is in sea­son; and the being-to-be-born is present, through the union of these three the des­cent of the being-to-be-born occurs.

http://santifm.org/santipada/2010/rebirth-and-the-in-between-state-in-early-buddhism/
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #83 on: 25 July 2013, 06:08:22 AM »
Gandhaba...maksudnya musisi surgawi....mungkin aja lg maen musik

=)) =))
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline adi lim

  • Sebelumnya: adiharto
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 4.993
  • Reputasi: 108
  • Gender: Male
  • Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #84 on: 25 July 2013, 06:10:28 AM »
tapi
di mahayana dipercaya bahwa bahkan sesudah tubuh dikremasi
bardo masih berlanjut. Bisa jadi belum lahir bahkan 2 minggu setelah kremasi.

kalau pada saat kesadaran padam sama sekali ga ada pertemuan sel telur dan sperma, trus si gandhaba ngapain?

bisa aja si gandabha lagi nyantai minum kopi atau terbang sana sini (kayak di film) nyari pembuahan atau tunggu info dari penguasa setempat utk diarahkan ke pembuahan yang sedang terjadi =)) =))
« Last Edit: 25 July 2013, 06:14:09 AM by adi lim »
Seringlah PancaKhanda direnungkan sebagai Ini Bukan MILIKKU, Ini Bukan AKU, Ini Bukan DIRIKU, bermanfaat mengurangi keSERAKAHan, mengurangi keSOMBONGan, Semoga dapat menjauhi Pandangan SALAH.

Offline seniya

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 3.469
  • Reputasi: 169
  • Gender: Male
  • Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #85 on: 25 July 2013, 06:24:42 AM »
Maaf, sebaiknya tidak memberikan komen2 yg OOT  dan tidak menanggapi komen2 yg OOT mengingat ini topik yang serius. Trims.
"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #86 on: 25 July 2013, 07:56:09 AM »
 ok ini serius modde oN...

26. “Para bhikkhu, kehamilan janin dalam rahim terjadi melalui perpaduan tiga hal.  Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba  - dalam kasus ini tidak ada [266] kehamilan janin dalam rahim. Di sini, ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba - dalam kasus ini juga tidak ada kehamilan janin dalam rahim. Tetapi jika ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, melalui perpaduan ketiga hal ini  maka kehamilan janin dalam rahim terjadi.


jd ada 3 kasus...
1.ada perpaduan ibu dan ayah, tetapi saat itu bukan musim kesuburan ibu, dan tidak ada kehadiran gandhabba (tidak terjadi kehamilan)

2. ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, tetapi tidak ada kehadiran gandhabba (tidak terjadi kehamilan)

3. ada perpaduan ibu dan ayah, dan saat itu adalah musim kesuburan ibu, dan ada kehadiran gandhabba, (terjadi kehamilan)

dan yg tanyakan.... adalah kasus ke 4 (yg tidak akan terjadi)..yaitu ada gadhabba...tp ga ada perpaduan ayah ibu.. bagi gandhabba tsb...

intinya ga mungkin ada gandhabba...jika 2 faktor itu blm ada..., bahkan jika 2 faktor tsb ada..gandhabba..blm tentu ada..walau ada kemungkinan akan ada.
« Last Edit: 25 July 2013, 08:30:18 AM by The Ronald »
...

Offline xenocross

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 1.189
  • Reputasi: 61
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #87 on: 25 July 2013, 10:35:34 AM »
Kelahiran spontan yang ada contohnya di sutta, biasanya kelahiran di surga atau di neraka.

Kalau misalnya akan lahir jadi manusia, kan akan mengikuti karma dia. Kalau misalnya dia mempunyai karma untuk lahir di keluarga kaya. Tapi pada saat kematian, pada saat kesadaran melebur sepenuhnya menjadi patisandhi vinnana, kalau misalnya pertemuan sperma dan sel telur hanya ada di keluarga-keluarga miskin, sementara keluarga yang kaya kebetulan sedang tidak ada.

Apakah "gandhaba" ini harus terpaksa masuk ke janin untuk keluarga miskin? Karena harus spontan?
Ataukah "gandhaba" ini bisa menunggu, sambil mencari, keluarga yang tepat?

Menurut saya, kemungkinan lebih besar yg kedua, menunggu.
Karena menurut logika, tidak mungkin kondisi untuk kelahiran bisa otomatis sesuai terjadi bersamaan dengan kematian makhluk.
sebagai contoh, andaikata terjadi bencana alam di satu negara dan jutaan orang mati. Katakanlah banyak yang masuk neraka, sedikit yang masuk surga, dan sebagian besar akan lahir lagi jadi manusia. Berarti harus ada jutaan pertemuan sperma dan sel telur pada periode waktu antara bencana sampai sekitar 3 hari setelah bencana. Berarti harus ada jutaan pasang pria dan wanita yang saat itu kebetulan bertemu dan berhubungan dan mereka memiliki kecocokan karma dengan calon bayi. Dan jutaan wanita itu harus dalam masa subur semua.

Contoh lain. Kita sudah membahas definisi mati, yaitu berpisahnya kesadaran halus dengan tubuh. Ini bisa berlangsung beberapa hari, dan ada yg berasumsi mungkin jeda waktu itu yg disebut antarabhava. Dengan jeda waktu ini, dimungkinkan untuk menyesuaikan waktu mati dengan kelahiran berikut.
Tapi, jika misalnya ada orang mati mendadak, dan tubuhnya hancur di tempat. Misalnya terbakar hidup hidup. Kesadarannya dipisahkan paksa dengan tubuhnya. Kecuali jika dia lahir spontan di surga atau neraka atau peta, akan jadi pertanyaan tentang kondisi kelahiran dia. Apakah pada saat yang sama ketika dia mati terbakar, ada sel telur dan sperma di keluarga yg cocok?
Satu saat dari pikiran yang dikuasai amarah membakar kebaikan yang telah dikumpulkan selama berkalpa-kalpa.
~ Mahavairocana Sutra

Offline The Ronald

  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 2.231
  • Reputasi: 89
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #88 on: 25 July 2013, 11:26:38 AM »
Kalau misalnya akan lahir jadi manusia, kan akan mengikuti karma dia. Kalau misalnya dia mempunyai karma untuk lahir di keluarga kaya. Tapi pada saat kematian, pada saat kesadaran melebur sepenuhnya menjadi patisandhi vinnana, kalau misalnya pertemuan sperma dan sel telur hanya ada di keluarga-keluarga miskin, sementara keluarga yang kaya kebetulan sedang tidak ada.

spekulasi ini terlalu jauh... kasih contoh ya..

"5. “Di sini, murid, Di sini seorang laki-laki atau perempuan membunuh makhluk-makhluk hidup dan  ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali dalam kondisi menderita, di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, dalam kesengsaraan, bahkan di neraka. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali dalam kondisi menderita, bukan di alam tujuan kelahiran yang tidak bahagia, tidak dalam kesengsaraan, tidak di neraka, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur pendek.  Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang pendek, yaitu, seseorang membunuh makhluk-makhluk hidup dan  ia adalah pembunuh, bertangan darah, terbiasa memukul dan bertindak dengan kekerasan, tanpa belas kasihan pada makhluk-makhluk hidup.

 

6. “Tetapi di sini, murid, seorang laki-laki atau perempuan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup. Karena melakukan dan menjalankan perbuatan-perbuatan demikian, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia muncul kembali di alam bahagia, bahkan di alam surga. Tetapi jika ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, ia tidak muncul kembali di alam bahagia, tidak di alam surga, melainkan kembali ke alam manusia, maka di manapun ia terlahir kembali ia akan berumur panjang.  Demikianlah, murid, hal itu mengarah pada umur yang panjang, yaitu, dengan meninggalkan pembunuhan makhluk-makhluk hidup, [204] ia menghindari membunuh makhluk-makhluk hidup; dengan tongkat dan senjata disingkirkan, lembut dan baik hati, ia berdiam dengan berbelas kasihan pada semua makhluk hidup."

nah dgn contoh di atas..jika yg muncul adalah perbuatan baik..maka jika seandainya ga ada keluarga yg sesuai di antara manusia..dia bisa terlahir di alam dewa...jd ga mesti ngotot harus di alam manusia..dan akhirnya menjadi "gandhabba" (atau pun sebaliknya)

atau jika perbuatan buruknya yg berbuah... maka jika seandainya tidak ada keluarga2 yg cocok di alam manusia...maka dia bisa menjadi serangga..kutu...semut..hewan lain...dll...(begitu pun sebaliknya)

itu sebabnya..jd manusia itu bagaikan kuya2 yg muncul..(lupa) bbrp kappa sekali... yg kepalanya masuk ke sebuah  "gelang"

krn harus pas -pas..mati di suatu alam..dan kebetulan keluarga2 yg sesuai lagi buat anak...

jd ga ada cerita ada 'gandhabba" tp ga ada yg melakukan pembuahan..dll


...

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: Kelahiran Kembali dan Antarabhava/Bardo
« Reply #89 on: 25 July 2013, 12:03:38 PM »
Gandhabba dalam konteks pembahasan topik ini tidak sama dengan Gandhabba para musisi surgawi di alam dewa Catumaharajika.

 

anything