Menurut penelitian antropolog Australia, Sharyn Graham, hanya dalam budaya Bugis dikenal empat jenis gender dan satu para-gender, yakni laki-laki (oroane), perempuan (makunrai), perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki (calalai), laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan (calabai) dan para-gender bissu. Jenis yang terakhir ini banyak disalahartikan dan dianggap identik dengan jenis calabai, padahal peran dan kedudukannya dalam budaya Bugis tidak demikian.
Apa Itu Bissu?
Bissu adalah sebutan bagi para pendeta tradisional Bugis yang mewakili sifat antara laki-laki dan perempuan. Secara fisik para Bissu sebetulnya adalah laki-laki, namun dipercaya memiliki kelamin ganda (hermaprhodite) dan berperilaku layaknya Maho. Dalam khazanah kebudayaan Bugis, selain Bissu terdapat sebutan lain bagi laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan, yaitu Calabai (lihat ensiklopedia MelayuOnline.com dengan judul Calabai). Namun, berbeda dengan Calabai yang dalam istilah umum juga disebut wadam (wanita adam), Bissu diyakini merupakan titisan dewata, serta menampilkan kombinasi antara lelaki-perempuan. Dalam berpakaian, misalnya, para Bissu mengenakan pakaian perempuan, namun secara gagah juga menyelipkan keris atau badik di pinggang mereka yang melambangkan sosok lelaki. Kata Bissu sendiri, berasal dari istilah Bugis, yaitu Bessi yang berarti suci. Disebut demikian karena mereka diyakini sebagai titisan dari Dewata, tidak memiliki darah (tidak mempan senjata tajam), suci (tidak kotor), tidak memiliki tetek, tidak mengalami haid, serta tidak menikah. Kepercayaan akan kesucian Bissu ini telah mengangkat posisi Bissu menjadi penasehat spiritual raja, menjadi pemimpin upacara adat, serta tokoh yang sangat dihormati. Sementara perkiraan lain muncul dari Christian Pelras (2006: 68), yang mengatakan kemungkinan perkataan Bissu berasal dari kata Biksu (pendeta Buddha). Perkiraan Pelras ini cukup beralasan mengingat salah satu agama yang pernah dipeluk oleh masyarakat Bugis adalah agama Buddha.
Keberadaan Bissu dalam masyarakat Bugis telah muncul sejak lama sebagaimana diceritakan dalam sure‘ I La Galigo. Menurut situs
http://lagaligo.net, ketika Batara Guru turun dari Kerajaan Langit (Botting Langi‘) ke bumi, kemudian bertemu dengan We Nyili Timo, calon permaisurinya yang berasal dari Kerajaan Bawah Air (Buri‘ Liu), maka ketika itu pula Bissu yang pertama turun ke bumi. Bissu pertama ini bernama Lae-lae yang bertugas membantu Batara Guru menyelenggarakan kehidupan di tanah Bugis, melaksanakan adat istiadat Bugis, serta menjadi penyempurna kehadiran leluhur orang Bugis. Karena termasuk “manusia pertama”, maka keberadaan Bissu dipercaya sebagai titisan dewata, sehingga memiliki dualisme sifat yang tidak dimiliki oleh manusia biasa, yaitu lelaki sekaligus perempuan, serta memiliki sifat sebagai keturunan dewata dan sekaligus manusia. Kelebihan inilah yang kemudian membuat Bissu dianggap memiliki kemampuan untuk ‘memberkati‘, menjadi penghubung antara dunia manusia dan dunia roh, serta memimpin berbagai ritual adat (Sharyn Graham, 2002).
Menjadi seorang Bissu pun dipercaya merupakan sebuah ‘takdir‘ atau ‘panggilan gaib‘ daripada sebuah pilihan. Tanda-tanda seorang calon Bissu biasanya sudah nampak dari sejak kecil yang ditandai dengan ketidakjelasan organ genital seorang anak laki-laki (mirip laki-laki sekaligus mirip perempuan). Kecenderungan lainnya, mereka biasanya lebih senang mengambil peran sebagai anak perempuan. Jika memiliki tanda-tanda tersebut, maka orang tuanya akan membawa anak tersebut pada seorang Bissu pendidik yang akan melihat bakat tersembunyi yang dimilikinya. Jika benar anak tersebut dianggap sebagai titisan Bissu, maka ia akan dididik dan dibimbing oleh Bissu yang lebih senior.
Untuk menghubungkan antara dunia manusia dan dunia roh, Bissu biasanya melakukan ritual yang dinamakan Mabissu atau Magirri, yaitu ritual memanggil roh untuk pemberkatan yang ditandai dengan adegan menusuk tubuh dengan keris. Adegan ini biasanya dilakukan setelah merapal mantra sambil menari dengan diiringi tabuhan gendang. Tusukan keris ke mata, telapak tangan, serta bagian tubuh lainnya merupakan pembuktian bahwa roh telah merasuki tubuhnya (a‘soloreng), sehingga dianggap telah mewakili dewata untuk memberikan berkah kebaikan. Pemberkatan melalui ritual Mabissu ini dilakukan untuk berbagai keperluan, seperti upacara untuk pertanian, pembuatan perahu, ritual kerajaan, pembersihan Arajang (pusaka keramat) dan sebagainya.
Keberadaan Bissu sendiri merupakan tinggalan dari masa pra-Islam yang hingga kini telah mengalami proses penerimaan dan penolakan yang sangat panjang. Pembantaian terhadap para Bissu pernah dilakukan oleh anak buah Kahar Muzakkar yang menganggap para Bissu telah menyembah berhala dan menyebarkan perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan). Peristiwa memilukan lainnya terjadi akibat rentetan Gerakan 30 September 1965. Karena dianggap masih mempraktekkan agama lokal, maka para Bissu dianggap sebagai bagian dari komunis (PKI), sehingga harus dibunuh atau memilih bertaubat (berhenti sebagai Bissu). Gerakan pemurnian Islam dengan nama ‘Operasi Toba‘ (Operasi Taubat) ini terjadi sekitar tahun 1966.
link lainnya dapat di baca di :
-
http://www.rappang.com/2008/12/bissu-celah-di-budaya-bugis.html -
https://indoculture.wordpress.com/2011/02/13/bissu-komunitas-unik-dan-hampir-punah-di-tanah-bugis/