//honeypot demagogic

 Forum DhammaCitta. Forum Diskusi Buddhis Indonesia

Author Topic: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU  (Read 6661 times)

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Offline Indra

  • Global Moderator
  • KalyanaMitta
  • *****
  • Posts: 14.819
  • Reputasi: 451
  • Gender: Male
Re: ANGUTTARA NIKAYA Buku SATU
« Reply #15 on: 30 December 2012, 05:51:04 PM »
181 > Ce memberi judul vagga ini Jambudīpapeyyālo, “Rangkaian Pengulangan Jambudīpa.” Ee menghitung ini sebagai XIX dan menamainya Appamattakaṃ, “Sedikit.” Be hanya menyebutnya Catutthavaggo, “(Sub-) bab ke empat.”

182 > Ce menghitung lima belas sutta dalam rangkaian pertama ini; Be, dengan menggabungkan sutta-sutta ke dua dank e tiga, menghitungnya empat belas; Ee menghitung semuanya sebagai satu sutta.

183 > Jambudīpa: “Benua Jambu,” benua selatan dalam geografi Buddhis. Ketiga benua lainnya adalah Aparagoyana di Barat, Uttarakuru di Utara, dan Pubbavideha di timur. Mp mengatakan bahwa Jambudīpa dinamai dari “pohon jambu besar” di pegunungan Himalaya, yang lebarnya seratus yojana, dengan dahan-dahan sepanjang lima puluh yojana, dan batang dengan diameter lima belas yojana. PED memperkirakan satu yojana setara dengan tujuh mil; SED memberikan beberapa alternatif tetapi menganggap sembilan mil sebagai yang paling akurat.

184 > “Propinsi tengah” (majjhimā janapadā) secara kasar bersesuaian dengan negeri sebelah timur laut dan utara tengah dari India sekarang. Mp mencantumkan Vin I 197, 20-29, untuk spesifikasi tepat dari perbatasannya. Dikatakan bahwa para Buddha, para paccekabuddha, para siswa besar, dan lain-lain, terlahir hanya di sini. Semua wilayah yang berada di luar batasan ini disebut “propinsi jauh” (paccantimā janapadā). Bahwa definisi-definisi ini adalah fleksibel terlihat dalam pernyataan Mp bahwa seluruh Jambudīpa dapat disebut wilayah tengah dan benua lainnya adalah propinsi jauh. Di Sri Lanka (pada masa para komentator), wilayah Anuradhapura dianggap sebagai wilayah tengah dan wilayah lainnya di Negara itu adalah propinsi jauh. Tentang mleccha (kata Skt dari Pāli milakkha), SED menjelaskan: “seorang asing, biadab, bukan orang Ārya, orang dari ras terbuang, siapa pun yang tidak berbahasa Sanskrit dan tidak sesuai dengan institusi Hindu yang umum.”

185 > Mp: “Mata kebijaksanaan yang mulia (ariya paññācakkhu): sang jalan bersama dengan pandangan terang.”

186 > Ce dan Be ete va sattā bahutarā ye atthamaññāya dhammamaññāya dhammānudhammaṃ na paṭipajjanti; Ee ete va sattā bahutarā ye na atthaṃ aññāya na dhammaṃ aññāya dhammānudhammaṃ na paṭipajjanti. Saya menganggap bahwa dalam Ce dan Be negasi na yang mendahului kata kerja finitif dimaksudkan untuk memberlakukan secara merata pada bentuk absolutif yang mendahuluinya. Tulisan pada Ee didukung oleh edisi cetakan Sri Lanka yang lama.

187 > Saṃvejaniyesu ṭhānesu saṃvijjanti. Tentang rasa keterdesakan (samvega), baca 3:128, 4:113. Komentar menguraikan “delapan landasan bagi rasa keterdesakan” (aṭṭha saṃvegavatthūni): kelahiran, usia tua, penyakit, kematian; penderitaan di alam sengsara; penderitaan yang berakar dalam masa lalu saṃsāra seseorang; penderitaan yang harus dialami dalam masa depan saṃsāra seseorang; dan penderitaan yang berakar dalam pencarian makanan. Baca Sv III 795, 6-9, Ps I 298, 24-28, Spk III 163,23-26, Mp II 68, 9-12.

188 > Mp: “Berdasarkan pada kebebasan (vavassaggārammaṇaṃ karitvā): kebebasan adalah nibbāna. Maknanya adalah: setelah menjadikan itu sebagai objek. Memperoleh konsentrasi (labhanti samādhiṃ): mereka memperoleh konsentrasi sang jalan dan konsentrasi buah.” Saya tidak yakin ungkapan vavassaggārammaṇaṃ karitvā harus diinterpretasikan dalam makna teknis (yang digunakan dalam Abhidhamma) citta sang jalan dan buah dengan nibbāṅa sebagai objeknya. Ungkapan ini juga digunakan dalam definisi indria konsentrasi pada SN 48:9-10 (V 197, 14-16, V 198, 24-25). Mungkin awalnya hanya bermakna suatu kondisi samādhi yang didorong oleh aspirasi untuk mencapai kebebasan. Dalam SN, jalan mulia berunsur delapan, tujuh faktor pencerahan, dan lima indria spiritual sering digambarkan sebagai vossaggapariṇāmiṃ “berkembang menuju kebebasan” atau “matang dalam kebebasan,” vossagga dan vavassagga adalah bentuk alternatif dari kata yang sama.

189 > Mp mengidentifikasi “rasa makna” (attharasa) sebagai empat buah, “rasa Dhamma” (dhammarasa) sebagai empat jalan, dan rasa kebebasan (vimuttirasa) sebagai nibbāna abadi (amatanibbāna). Baca 8:19: Dhamma dan disiplin ini hanya memiliki satu rasa, yaitu rasa kebebasan” (ayaṃ dhammavinayo ekaraso vimuttiraso). Sekali lagi, Mp tampaknya memaksakan perbedaan teknis yang difomulasikan pada periode belakangan ke dalam sutta.

190 > Saya mengikuti Ce dan Be menghitung tiga puluh sutta dalam kelompok ini. Ee menggabungkannya menjadi satu.

191 > Sutta-sutta ini bersesuaian persis dengan SN 56:102-31, V 474-77.

192 > Ee memperlakukan sutta-sutta ini sebagai awal dari vagga XX, jhānavagga, “Bab Jhāna.” Ce memperlakukannya sebagai sub bab ke lima dari vagga XVI, yang dinamai Soḷasapasādakaradhammā, “Enam belas kualitas yang memunculkan keyakinan.” Be menggabungkannya sebagai vagga XVII, yang dinamai Pasādakaradhammavagga, “Bab tentang Kualitas-kualitas yang Memunculkan Keyakinan.”

193 > Pelaksanaan dalam 1:378-381 adalah praktik pertapaan (dhutaṅga) yang diperbolehkan oleh Sang Buddha.

194 > Ee memperlakukan ini sebagai kelanjutan dari vagga XX. Ce memperlakukannya sebagai sub bab ke enam dari vagga XVI, tetapi memberinya nama tersendiri, seolah-olah sebuah bab baru, Accharāsaṅghātavaggo, “Bab Jentikan Jari.” Be menghitungnya sebagai vagga XVIII, dinamai Apara-accharāsaṅghātavaggo, “Bab Jentikan Jari lainnya.” Dalam Be, vagga VI adalah “Bab Jentikan Jari Pertama.”

195 > Ini adalah empat jhāna yang diikuti oleh empat kediaman brahma (brahmavihāra).

196 > Ini adalah empat penegakan perhatian (satipaṭṭhāna), yang diikuti oleh kelompok-kelompok lainnya dalam tiga puluh tujuh bantuan menuju pencerahan: empat usaha benar (sammappadhāna), empat landasan kekuatan batin (iddhipāda), lima indria (indriya), lima kekuatan (bala), tujuh faktor pencerahan (bojjhaṅga), dan jalan mulia berunsur delapan (ariya aṭṭhaṅgika magga).

197 > Frasa Pāli kāye kāyānupassī viharati biasanya diterjemahkan apakah seperti terjemahan saya di sini atau sebagai “[ia] berdiam dengan merenungkan jasmani sebagai jasmani.” Kadang-kadang muncul pertanyaan yang manakah yang lebih akurat. Saya percaya bahwa 7:6, IV 13-15, mendukung terjemahan saya di sini. Di sana kita membaca ekacco puggalo sabbasaṅkhāresu aniccānupassī viharati, dan dalam sutta-sutta berikutnya: sabbasaṅkhāresu dukkhānupassī viharati, sabbadhammesu anattānupassī viharati, dan nibbāne sukhānupassī viharati. Berikut ini adalah terjemahan terbaik: “Seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan dalam segala fenomena terkondisi,” “berdiam dengan merenungkan penderitaan dalam segala fenomena terkondisi,” berdiam dengan merenungkan bukan-diri dalam segala fenomena,” dan “berdiam dengan merenungkan kebahagiaan dalam nibbāna.” Kalimat-kalimat itu tidak dapat diterjemahkan: “Seseorang berdiam dengan merenungkan ketidak-kekalan sebagai semua fenomena terkondisi” … “dengan merenungkan kebahagiaan sebagai nibbāna.” Dalam tiap-tiap kalimat, kata yang dihubungkan dengan anupassī adalah aspek yang direnungkan, dan kata dalam bentuk lokatif adalah bidang yang sehubungan dengannya aspek tersebut direnungkan. Dengan cara yang sama, dalam kāye kāyānupassī viharati, kāya yang dihubungkan dengan anupassī adalah aspek yang direnungkan (“kejasmanian” dari jasmani) dan bentuk lokatif kāye adalah wilayah yang sehubungan dengannya aspek tersebut direnungkan. Sebenarnya, kāyānupassī tidak benar-benar berarti “merenungkan jasmani,” melainkan “seorang perenung-jasmani.” Dengan demikian terkemahan literal dari kalimat ini seharusnya adalah: “Ia berdiam sebagai seorang perenung-jasmani sehubungan dengan jasmani.” Karena terjemahan demikian terdengar janggal dalam Bahasa Inggris, maka saya kembali pada terjemahan yang lebih akrab “merenungkan jasmani dalam jasmani.” Pertimbangan serupa berlaku pada ketiga satipaṭṭhāna lainnya.

198 > Ini adalah delapan landasan penanggulangan (abhibāyatana). untuk penjelasannya, baca 8:65 dan pp 1808-9, catatan 1771-75.

199 > Ini adalah delapan kebebasan (vimokkha). Baca 8:66 dan pp.1809-10, catatan 1776-80.

200 > Sebuah kasiṇa adalah sebuah objek, biasanya sebuah piringan, yang digunakan sebagai pendkung meditasi. Misalnya kasiṇa tanah adalah sebuah piringan tanah kecoklatan yang padanya sang meditator berfokus untuk memperoleh persepsi tanah. Untuk penjelasan lengkap, baca Vism bab 4 dan 5. Ce menambahkan ālokakasiṇa, kasiṇa cahaya, yang tidak terdapat dalam Be dan Ee.

201 > 1:480-84 adalah lima dari sepuluh “kejijikan” atau objek-objek tidak menarik (asubhārammaṇa) yang dibahas pada Vism 178-79, Ppn 6.1-11.

202 > Demi kejelasan, saya telah sedikit memperpanjang teks Pāli yang sangat ringkas ini.

203 > Setelah ini, Ee memasukkan sepuluh sutta lagi, yang diperoleh dengan menganggap saddhindriyaṃ bhāveti (dan keempat indriya lainnya) dan saddhābalaṃ bhāveti (dan keempat bala lainnya) tanpa menghubungkannya dengan suatu jhāna atau brahmavihāra. Ini tidak sesuai dengan Ce atau Be dan karena itu mungkin adalah kesalahan editorial.

204 > Penomoran ini selaras dengan Be. Ee menghitung ini sebagai vagga XXI, Ce sebagai sub bab ke tujuh dari vagga XVI, tetapi secara terpisah diberi judul Kāyagatāsativaggo, “Bab tentang Perhatian yang Diarahkan pada Jasmani.”

205 > Dalam sutta ini dan sutta-sutta berikutnya, kāyagatāsati harus dipahami dalam makna luas dari Kāyagatāsati Sutta (MN 119), sebagai terdiri dari semua latihan meditasi yang berdasarkan pada jasmani, bukan dalam makna sempit dari  Vism 240, Ppn 8:44, yang membatasinya pada perenungan tiga puluh dua bagian-bagian tubuh.

206 > Baca di atas, catatan 187.

207 > Ce dan Ee menghitung empat sutta terpisah di sini, masing-masing berdasarkan pada satu manfaat yang muncul dari pengembangan perhatian pada jasmani, sedangkan Be menggabungkannya menjadi satu. Penggunaan kata sambung pi pada masing-masing pokok tampaknya membenarkan Be, yang saya ikuti.

208 > Ee menghitung dua sutta di sini, satu berdasarkan pada ketidak-munculan kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang belum muncul, yang lainnya berdasarkan pada ditinggalkannya kualitas-kualitas tidak bermanfaat yang telah muncul. Saya mengikuti Ce dan Be dengan menganggapnya sebagai satu sutta.

209 > Sekali lagi, Ee menghitung ini sebagai dua sutta, tetapi saya mengikuti Ce dan Be dalam menganggapnya sebagai satu sutta.

210 > Di sini saya mengikuti Ce dan Ee dalam memperlakukan paragraf ini sebagai lima sutta, sedangkan Be memperlakukannya sebagai satu. Tentang tujuh kecenderungan tersembunyi (anussaya), baca 7:11, 7:12 tentang sepuluh belenggu (saṃyojana), baca 10:13.

211 > Mp mengemas paññāpabhedāya menjadi paññāya pabhedagamanatthaṃ. Pada Paṭis-a III 644, 6-7, paññāpabhedakusalo dikemas “terampil dalam keluhurannya sendiri yang tidak terbatas” (attano anantavikappe … cheko). Sinonim dekatnya, pabhinnañāṇo, dijelaskan sebagai “memiliki pengetahuan yang telah mencapai pembedaan-pembedaan yang tidak terbatas” (anantappabhedapattañāṇo). Mp mengemas anupādāparinibbāna dengan apaccayaparinibbānassa sacchikiriyathāya, “bertujuan untuk merealisasi nibbāna akhir yang tidak terkondisi.”

212 > Mp menjelaskan “penembusan pada banyak elemen” (anekadhātupaṭivedha) sebagai penembusan karakteristik-karakteristik (lakkhaṇa) dari delapan belas elemen; “penembusan pada keberagaman elemen” (nānādhātupaṭivedha) sebagai penembusan pada karakteristik-karakteristik dari delapan belas elemen itu melalui keberagamannya (nānābhāvena); dan “pengetahuan analitis pada banyak elemen”  (anekadhātupaṭisambhidā) sebagai pengetahuan yang mengelompokkan elemen-elemen sebagai berikut: “Ketika elemen ini menonjol, maka muncul itu.” MN 115, III 62-63, menjelaskan berbagai cara yang dengannya seorang bhikkhu disebut “terampil dalam elemen-elemen” (dhātukusala), semua itu mungkin berhubungan dengan paragraf sekarang ini.

213 > Baca SN V 411-12. Mp memberikan penjelaasn atas kata-kata ini berdasarkan pada Paṭis II 189-202.

214 > Saya mengikuti Be, yang memperlakukan ini seagai vagga terpisah. Ee menganggapnya sebagai kelanjutan dari vagga XXI ini. Ce memperlakukannya sebagai yang su bab ke delapan dari vagga XVI ini.

215 > Ce dan Ee menganggap masing-masing dari dua belas pasang yang bersesuaian dalam vagga ini sebagai sutta-sutta terpisah, dengan demikian menghitunganya dua puluh empat sutta. Saya mengikuti Be, yang memperlakukan setiap pasang dalil sebagai satu sutta tunggal dan dengan demikian menghitungnya hanya dua belas sutta.

 

anything