Partamaxxxx, seberapa valid isi tipitaka itu yang benar2 ucapan asli dari Buddha, dan berapa persen kira2 isi tipitaka yang ditambah2kan atau merupakan khayalan?
Sejarah penyusunan Tipitaka:
Ketika Sang Buddha baru saja mangkat (Parinibbana), seorang bhikkhu yang tidak disiplin bernama Subhaddha membujuk bhikkhu lain untuk tidak bersedih, karena kini tidak ada lagi orang yang bisa mengatur perilaku para bhikkhu sesuai disiplin (vinaya). Mendengar hal itu, Maha Kassapa Thera bergerak cepat mengadakan Sidang Konsili I untuk mengumpulkan semua Ajaran Sang Buddha. Di sidang itu, YA. Ananda mengulangi semua khotbah Sang Buddha. Sedangkan YA. Upali mengulangi semua peraturan (vinaya) yang ditetapkan oleh Sang Buddha. Pada akhir konsili yang dihadiri oleh 500 Arahanta ini, dikumpulkanlah Dhamma dan Vinaya yang diwejangkan dalam Bahasa Pali (Magadhi) dan disepakati secara bersama.
Pada mulanya Dhamma dan Vinaya ini diwariskan secara lisan. Sekitar satu abad setelah Sidang Konsili I, banyak bhikkhu di dalam tubuh Sangha yang mengajukan banding untuk menghapus dan merubah sebagian Vinaya yang dianggap terlalu keras. Kalangan bhikkhu ortodoks bersikukuh bahwa Vinaya tidak perlu diubah, sedangkan kalangan bhikkhu yang lain bersikeras untuk mengubah sebagian Vinaya. Perbedaan suara ini kembali melahirkan SIdang Konsili II. Hasil dari sidang ini menetapkan bhikkhu Sangha yang terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok ortodoks yang memegang teguh Dhamma-Vinaya sedari awal dikenal dengan nama Sthaviravada. Sedangkan kelompok reformasi lainnya dikenal dengan nama Mahasanghika. Kelompok Sthaviravada berusaha memegang kukuh dan melestarikan Dhamma-Vinaya secara lisan. Sedangkan kelompok Mahasanghika lebih lunak dan membuka diri pada pandangan baru sehingga menciptakan banyak wejangan filsafat tinggi di kemudian hari.
Pada masa abad ke-3 setelah Sang Buddha memasuki Parinibbana, Raja Asoka menjadi penguasa di Tanah India dan menjadi pengikut Buddhisme. Pada masa ini, banyak penyelundup dan bhikkhu gadungan yang memasuki Sangha. Para bhikkhu gadungan ini mencoba menyisipkan ajaran-ajaran lain ke dalam Dhamma-Vinaya. Banyak bhikkhu yang tidak bertindak-tanduk sesuai Dhamma-Vinaya, sehingga citra Buddhisme saat itu menurun. Melihat hal ini, Raja Asoka dan Sangha berupaya untuk mengambil tindakan tegas dengan mengadakan kembali Sidang Konsili III yang dihadiri 100 Arahanta. Sidang ini mengulang kembali Dhamma-Vinaya yang diyakini masih merupakan warisan dari Sidang Konsili I, meskipun diyakini oleh banyak pengamat bahwa isinya sudah sedikit tercemar. Pada akhir sidang ini, disepakati isi Tipitaka yang terdiri dari Sutta (khotbah Sang Buddha), Vinaya (Disiplin) dan Abhidhamma (filsafat metafisika batin) sebagai isinya. Sidang kali ini menguraikan Dhamma menjadi dua poin, yakni Sutta dan Abhidhamma. Setelah sidang disepakati, Raja Asoka mengutus beberapa Arahanta untuk pergi ke negeri sekitar India untuk menyebarkan Tipitaka. Salah satu utusannya adalah putra dari Raja Asoka sendiri. Raja Asoka juga membangun banyak stupa-stupa bernuansa Buddhisme pada masa itu.
Pada masa abad ke-1 sebelum Masehi, Bhikkhu Nagasena, seorang Arahanta, berdiskusi dengan seorang Raja bernama Milinda Panha. Diskusi ini membahas tentang apa itu Dhamma dan kebijaksanaan. Raja Milinda Panha terkesima dengan jawaban-jawaban Bhikkhu Nagasena, sehingga ia sangat menghormatinya. Diskusi ini diukir menjadi salah satu tulisan penting tentang Buddhisme. Tulisan ini dikenal dengan nama Kitab Milinda Panha. Di Myanmar pada zaman ini, kitab ini disejajarkan dengan kitab-kitab Tipitaka lainnya. Di dalam kitab itu, Bhikkhu Nagasena dengan jelas menyatakan bahwa banyak sekali orang yang masuk Sangha dan menjadi bhikkhu untuk tujuan tidak mulia. Kitab ini juga diakui oleh kelompok Mahasanghika, tapi terdapat beberapa perbedaan isi muatannya dengan versi Sthaviravada.
Pada tahun 83 SM, Sidang Konsili IV diadakan. Pada sidang ini, Tipitaka Pali disahkan dan untuk pertama kalinya diabadikan dalam bentuk tulisan. Tipitaka ini pun dibawa ke Sri Lanka.
Kelompok Mahasanghika juga melakukan 'pembersihan' dari aksi bhikkhu gadungan ini. Mereka pun menyebar ke beberapa daerah dan menyeberang ke negeri lain. Kelompok Mahasanghika sendiri berpencar ke beberapa wilayah. Di sana mereka berasimilasi dengan banyak tradisi setempat. Dan kelak mereka juga mengesahkan Dhamma-Vinaya yang disepakati secara tertulis.
Sthaviravada terbagi menjadi beberapa kelompok, salah satunya adalah Theravada. Theravada menjadi kelompok aliran yang masih bertahan sampai sekarang. Sedangkan Mahasanghika juga terdiri dari beberapa kelompok, dan di kemudian hari kelompok ini dikenal dengan nama Mahayana. Aliran Mahayana sendiri terbagi menjadi beberapa aliran kecil lainnya.
...
Dilihat dari sejarah ini, Tipitaka (Pali) diyakini sebagai kitab Buddhis yang memuat ajaran murni dari Sang Buddha. Meskipun beberapa isinya diyakini juga telah mengalami pergeseran karena tercemar.
Karena itu, kita tidak bisa memastikan bagian mana yang sudah mengalami pergeseran dari aslinya. Karena semua bagian sejarah itu sudah sangat sulit sekali untuk dilacak.