saudara Marcedes yang baik,
Mohon dijelaskan lebih lanjut apa inti pertanyaan saudara, karena seseorang yang telah "melihat realita yang sesungguhnya" tak akan ada keraguan terhadap pengalaman yang dilihatnya/dialaminya.
Ia masih mungkin ragu terhadap hal-hal lain atau berbicara untuk menghilangkan keraguan orang lain atau mengemukakan pandangan orang lain yang merasa ragu, tetapi ia sendiri tak akan mengemukakan keraguan terhadap apa yang dialaminya.
Sama perumpamaan seseorang yang telah pergi ke Ancol, ia tak akan ragu mengenai Ancol, bahwa ada ancol, ada jalan ke Ancol.
Tetapi ia masih mungkin berbicara dari sudut pandang orang yang merasa ragu apakah Ancol ada atau tidak ada (hanya sekedar supaya pembicaraan nyambung), apakah ada jalan ke Ancol dsbnya. Tetapi ia sendiri tak akan ragu terhadap apa yang sudah dialaminya.
Umpamanya bila dia berbicara dengan orang yang tak percaya bahwa ada Ancol:
-"Saya mengerti anda beranggapan bahwa Ancol tidak ada"
- "Bagi orang yang percaya Ancol ada itu merupakan spekulasi, bagi orang yang tak percaya Ancol ada juga merupakan spekulasi"
- "Oleh karena itu yang terbaik adalah mencoba menyelidiki sendiri"
Apakah dengan pernyataan itu mencerminkan bahwa ia merasa tidak yakin dengan apa yang dialaminya?
sukhi hotu,
sahabat Fabian C yang bijak,
maka oleh sebab itu, saya mempertanyakan "apakah kelahiran=penderitaan menurut semua disini"?
saya menyatakan demikian, dikarenakan tidak ada keraguan sama sekali dalam pandangan saya bahwa "kelahiran = penderitaan"
saya sangat yakin pernyataan ini dikarenakan memang sesuai kenyataan yang saya lihat.
bukan spekulasi, atau mengada-ngada atau khayalan tingkat tinggi.
======================
masalah mengapa disebut ada keraguan...
Apakah perkataan percaya atau tidak percaya relevan bagi mereka yang telah mengalami? Perkataan percaya atau tidak percaya relevan bagi mereka yang belum mengalami.
ini sama seperti yang saya ungkapkan...
pemikiran dimana
"percaya atau tidak, dan "kelahiran=penderitaan relevan bagi siapa pun" adalah orang yang "belum" mengalami realita.sedangkan seseorang yang
"telah" mengalami nya tidak akan mungkin berpikir demikian.
dan menurut Saudara Coedabgf mungkin(dan mudah-mudahan tidak seperti yang saya harapkan), disitu semua disini hanya masih "awam" dan tidak ada yang tercerahkan....jadi berdiskusi dengan menggunakan berbagai kata- apapun "di-anggap-nya" adalah teori saja...tanpa realita...
maka oleh sebab itu saya berani mempernyatakan bahwa "kelahiran = penderitaan"
1.5. "Para bhikkhu, jika seseorang menghinaKu, Dhamma atau Sangha, [3] kalian tidak boleh marah, tersinggung atau terganggu akan hal itu. Jika kalian marah atau tidak senang akan penghinaan itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Karena jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Sangha, dan kalian marah atau tidak senang, dapatkah kalian mengetahui apakah yang mereka katakan itu benar atau salah?" "Tidak, Bhagava" "Jika orang lain menghinaKu, Dhamma atau Sangha, maka kalian harus menjelaskan
apa yang tidak benar sebagai tidak benar, dengan mengatakan: 'Itu tidak benar, itu salah, itu bukan jalan kami,4 itu tidak ada pada kami.'"
1.6. "Jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Sangha, [3] kalian tidak boleh gembira, bahagia atau senang akan hal itu. Jika kalian gembira, bahagia atau senang akan pujian itu, maka itu akan menjadi rintangan bagi kalian. Jika orang lain memujiKu, Dhamma atau Sangha, kalian harus mengakui
kebenaran sebagai kebenaran, dengan mengatakan: 'Itu benar, itu tepat sekali, itu adalah jalan kami, itu ada pada kami.'"
--------------------------
saya persingkat menjadi sebuah peristiwa,
jika ada seseorang telah di tembak anak-panah dan tertusuk....
"orang ini menderita"orang ini mengetahui dengan
pasti "bahwa
penderitaan-nya ada karena anak-panah tertancap ditubuh-nya"anak panah ini mencari obat, yang mampu mencabut anak-panah dari tubuh-nya.
apapun obat yang dicari-nya, tujuan nya adalah
SATU.yaitu
"mencabut anak-panah"sama hal nya kelahiran, membawa penderitaan...tanpa kelahiran tidak ada penderitaan....
demikian kemana-pun orang ini berguru...mencari pertapa atau pendeta/pastor/ustad/brahmana/dewa/dewi/bikkhu/bikkhuni/atau orang jahat sekalipun...
tujuan nya tetap sama
"bebas dari kelahiran"----
nah,bagaimana jika ada seseorang tertancap anak-panah, kemudian orang tersebut
"tidak-mengetahui dengan pasti dirinya sedang menderita atau tidak, atau bahkan jika orang ini mengetahui bahwa
penyebab derita nya adalah
anak-panah ini tertancap di tubuh-nyaorang ini mencari obat, walau dari mana pun juga,
tetapi berpikir"saya
tidak tahu pasti saya sedang menderita atau tidak"
atau kah orang ini berpikir "saya
sedang menderita, tetapi saya
tidak tahu dari mana
sumber derita-nya"
apakah orang ini dapat menemukan obat yang cocok?
atau bahkan "ketika dia mengetahui sedang menderita akibat anak-panah" dirinya bukan
mencari jalan mencabut anak-panah...tetapi mencari jalan untuk menancapkan anak-panah ke-2x-nya atau bahkan lebih,
dan berpikir "mungkin sakit ini bisa teratasi dengan membuat badan menjadi kebal dengan rasa sakit."
demikian seperti dikatakan Ven,Ajahn Chah,
gatal di kepala, garuk nya di pantat.
oleh karena itu "seseorang" yang telah pergi ke-ancol, mengetahui dengan pasti Ancol seperti apa..
tidak lah mungkin berpikir
"yang saya lihat ini masih khayalan,dan orang lain semua melihat nya belum tentu sama seperti saya"
sama seperti seseorang yang telah menyelami realita "penderitaan=kelahiran" apakah seseorang ini masih bisa berpikir "yang saya alami ini belum nyata masih khayalan, dan orang lain juga belum tentu berpikir sama?"
maka oleh itu saudara Coedabgf yang bijak,ketika saya mengganti pertanyaan.
kalimat nya mengartikan menjadi :
jadi kesementaraan / ketidakkekalan bukan nyata menurut anda?
ataukah kalimat nya mengartikan menjadi
"kesementaraan yang dicapai saat ini belum menujukkan jawaban sebenar-benar-nya"
sebenarnya yang saya tanyakan disitu, adalah
"jika penderitaan=kelahiran
bukan realita atau kebenaran sejati, lantas
kebenaran sejati itu apa?hanya saja pertanyaan ini agaknya menyudutkan member dan tidak sejalan rule forum.
dikarenakan anda mengatakan "semua" ini bukan kebenaran sejati, berati anda tahu "kebenaran sejati".. tetapi jika saya tanyakan kepada anda lalu anda mengatakan "bahwa saya juga masih belum mengetahui"
mengapa anda katakan "semua ini bukan kebenaran sejati"?
ibarat anda belum pernah memakan garam, lalu saya katakan garam itu asin, anda bilang
bukan...kemudian saya lanjutkan "anda sudah pernah makan garam?, lalu anda bilang belum....
dari mana jawaban
"bukan-nya"inilah pandangan berbelit-belit.
mohon maaf kan saya jika tidak berkenaan...
semoga kita bukan menambah kebencian, bahkan menambah wawasan bagaimana hebat nya cinta kasih.
salam metta.