Pada saat pemuda Pippali (bakal Maha Kassapa) dan gadis Bhaddakapilana berpisah untuk mencari jalan spiritual, Buddha tiba di Ràjagaha setelah melewatkan vassa pertama dan (dalam tahun Beliau mencapai Pencerahan Sempurna) sedang berdiam di Vihàra Veluvana. (Sebelum Beliau melakukan perjalanan ke Kapilavatthu.) Saat ia berada di dalam Kuñã Harum, Beliau mendengar gemuruh gempa bumi. Saat Beliau merenungkan untuk siapakah gempa bumi tersebut, Beliau mengetahui, “Karena kekuatan kebajikan, pemuda Pippali dan gadis Bhaddàkàpilànã menjadi petapa setelah tanpa ragu meninggalkan kekayaan mereka, mengabdikan kehidupan mereka untuk-Ku. Gempa terjadi dipersimpangan jalan di mana mereka berpisah. Aku akan membantu mereka.” Maka Beliau keluar dari Kuñã Harum, membawa sendiri mangkuk dan jubah-Nya. Dan tanpa meminta satu pun dari delapan puluh siswa untuk menyertai-Nya, Beliau melakukan perjalanan sejauh tiga gàvuta untuk menyambut mereka. Beliau duduk bersila di bawah pohon banyan yang dikenal dengan nama Bahuputtaka antara Ràjagaha dan Nàlanda.
Yang aneh adalah bahwa Beliau tidak duduk di sana seperti seorang bhikkhu tidak dikenal yang sedang berlatih dhutaïga keras; untuk meningkatkan keyakinan Yang Mulia Mahà Kassapa yang belum pernah berjumpa dengannya sebelumnya, Buddha tidak menyembunyikan kemegahan alami yang cemerlang dengan tanda-tanda besar dan kecil; sebaliknya Beliau duduk di sana, memancarkan sinar Buddha yang gilang-gemilang dan menyinari hingga jarak delapan puluh lengan. Sinar yang bergulung-gulung yang berukuran sebesar kerimbunan daun-daunan pohon yang rindang, atau sebesar roda kereta atau sebesar kubah istana, menyerbu dari satu tempat ke tempat lain, menerangi seluruh hutan seolah-olah terbit seribu bulan atau seribu matahari. Karena itu, seluruh hutan menjadi sangat indah dengan kemegahan tiga puluh dua tanda-tanda manusia luar biasa bagaikan langit yang diterangi oleh bintang-bintang, atau bagaikan permukaan air dengan lima jenis bunga teratai yang mekar berkelompok. Walaupun warna alami batang pohon banyan itu adalah putih, daunnya hijau dan daun-daunnya yang mulai layu berwarna merah, dengan kemegahan tubuh Buddha, seluruh pohon banyan Bahuputtaka dengan banyak dahannya berwarna kuning emas pada hari itu karena bermandikan cahaya tubuh Buddha.
Thera Kassapa berpikir, “Orang Mulia ini pasti adalah guruku, Buddha. Sesungguhnya aku menjadi bhikkhu, mengabdikan kebhikkhuanku kepada guru ini.” Dari tempat ia berdiri dan melihat Buddha, Thera berjalan, membungkukkan badannya; mendekat. Pada seluruh tiga jarak, jauh, sedang dan dekat, ia memberi hormat kepada Buddha dan menerima status siswa dengan menyatakan tiga kali, “Satthà me Bhante Bhagavà, sàvako’hamasmi, ‘Buddha Yang Agung, Engkau adalah guruku! Aku adalah siswa-Mu, Yang Mulia!”
Kemudian Buddha menjawab, “Anak-Ku Kassapa, jika engkau memberikan penghormatan yang begitu tinggi kepada bumi ini, bumi ini tidak akan mampu menahannya. Bagi-Ku, yang seperti juga para Buddha terdahulu, telah meninggalkan penghormatan tinggi seperti yang engkau perlihatkan, yang mengetahui kebesaran kualitas-kualitas-Ku, tidak akan mampu mengguncangkan bahkan sehelai bulu badan-Ku. Anak-Ku Kassapa, duduklah. Aku akan memberikan engkau warisan.” (Ini adalah penjelasan dari Etadagga Vagga, Ekaka Nipàta dari Komentar Aïguttara dan Penjelasan Thera Kassapagàthà, Cattàlãsa Nipàta dari Komentar Theragàthà.)
Tetapi dalam Cãvara Sutta dari Kassapa Saÿyutta, Nidàna Vagga, disebutkan sebagai berikut: ketika Thera Kassapa dengan khidmat mengucapkan status siswanya tiga kali, Buddha berkata:
“Kassapa, jika seorang yang tidak mengenal dengan baik muridnya, mengucapkan ‘Aku tahu’, atau tanpa melihatnya mengatakan ‘Aku melihatnya’, kepalanya akan jatuh, sedangkan bagi-Ku, Aku mengatakan ‘Aku tahu’, karena Aku memang mengetahuinya, atau Aku mengatakan ‘Aku melihatnya’ karena Aku memang melihatnya.”
(Di sini, arti dari: jika seorang guru di luar pengajaran para Buddha mengakui bahwa ia mengetahui atau melihat tanpa benar-benar mengetahui atau melihat seorang siswa yang penuh pengabdian dan keyakinan seperti penghormatan tinggi yang diperlihatkan oleh Thera Kassapa, kepala guru itu akan jatuh dari lehernya bagaikan buah kelapa masak yang jatuh dari tandannya. Atau kepalanya akan pecah menjadi tujuh keping.)
(Penjelasan lebih jauh: Jika Thera Kassapa memberikan penghormatan, yang didorong oleh keyakinan, kepada lautan luas, airnya akan lenyap bagaikan tetes air yang jatuh di atas panci panas. Jika ia memberikan penghormatan kepada gunung di alam semesta, gunung itu akan pecah berkeping-keping bagaikan gumpalan sekam. Jika ia mengarahkannya ke Gunung Meru, gunung itu akan hancur dan menjadi berantakan bagaikan segumpal adonan yang dipatuk oleh burung gagak. Jika ia mengarahkannya ke bumi ini, tanahnya akan berhamburan menjadi tumpukan debu yang tertiup angin. Penghormatan Thera yang begitu dahsyat tidak mampu mengguncang bahkan sehelai bulu halus di kaki Buddha, atau bahkan sehelai benang jubah yang terbuat dari kain-kain usang yang dikenakan oleh Yang Agung. Sungguh luar biasa kekuatan Buddha.)
Penahbisan Menjadi Bhikkhu Melalui Penerimaan Atas Nasihat Buddha
Setelah berkata, “Anak-Ku Kassapa, duduklah. Aku akan memberikan warisan kepadamu,” Buddha memberikan tiga nasihat kepada Thera (seperti yang tertulis dalam Civara Sutta dari Kassapa Saÿyutta):
“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Aku akan selalu berdiam dalam hirã dan ottappa dalam berhubungan dengan para bhikkhu yang lebih senior, atau lebih junior, atau yang memiliki umur yang sama.’”
“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Aku akan mendengarkan semua ajaran kebaikan. Aku akan mendengarkan dengan penuh perhatian semua ajaran itu, dengan penuh hormat merenungkannya dan mengingatnya.’”
“Kassapa, engkau harus berlatih dengan pikiran: ‘Perhatian atas badan jasmani (kàyagatà-sati) yang disertai dengan kebahagiaan (sukha) tidak akan meninggalkan aku!’”
Buddha memberikan tiga nasihat ini. Thera Kassapa juga menerimanya dengan penuh hormat. Tiga nasihat ini merupakan penahbisan bagi Thera. Penahbisan dengan cara ini hanya diterima olah Yang Mulia Mahà Kassapa sendiri dalam masa pengajaran Buddha, yang dikenal sebagai ovàda-pañiggahaõa upasampadà, ”penahbisan melalui penerimaan atas nasihat Buddha”.
(Buddha menahbiskan Thera Kassapa menjadi bhikkhu dengan tiga nasihat ini. Nasihat pertama, “Anak-Ku Kassapa, engkau harus mengembangkan dua kebajikan utama hirã dan ottappa saat engkau bertemu dengan tiga kelompok bhikkhu, yang lebih senior dalam hal usia maupun penahbisan, yang lebih junior, dan yang sama denganmu.” Dengan nasihat pertama ini, Thera Kassapa diajarkan untuk melenyapkan kesombongan dalam hal kelahiran, karena ia berasal dari kasta brahmana.)
(Nasihat kedua, “Anak-Ku, sewaktu engkau mendengarkan ajaran suci engkau harus penuh hormat dan penuh perhatian dengan menjulurkan kedua telingamu, telinga kebijaksanaan dan telinga jasmani, dalam tiga tahap pengajaran, pada awal, pada pertengahan, dan pada akhir.” Dengan nasihat ini, Thera Kassapa diajarkan untuk melenyapkan keangkuhan yang muncul karena pengetahuannya yang luas, karena ia adalah orang yang sangat cerdas.)
(Nasihat ketiga, “Anak-Ku Kassapa, engkau harus berusaha untuk tidak melepaskan Jhàna Pertama dari proses batinmu, Jhàna yang disertai oleh perasaan bahagia (sukha vedanà) yang berasal dari perhatian terhadap badan jasmani (kàyagatà-sati) dan objek-indria napas masuk dan keluar (ànàpàna àrammaõa).” Dengan nasihat ketiga ini, Thera diajarkan untuk melepaskan cinta diri dan kemelekatan atas diri sendiri (taõhà-lobha) yang berasal dari kepribadian yang kuat (upadhi), karena ia sangat tampan.)
Setelah menahbiskan Thera Kassapa menjadi bhikkhu dengan memberikan nasihat di bawah pohon banyan Bahuputtaka, Buddha pergi dan melakukan perjalanan bersama Thera mulia sebagai pengikut-Nya. Buddha memiliki tiga puluh dua tanda-tanda makhluk luar biasa di tubuh-Nya dan terlihat megah dan agung, Thera Kassapa terlihat agung dengan tujuh tanda. Thera Kassapa mengikuti persis di belakang Buddha bagaikan sebuah perahu kecil yang mengikuti perahu emas besar. Setelah menempuh jarak tertentu, Buddha berbelok dari jalan utama dan memberikan isyarat bahwa Beliau ingin duduk di bawah pohon. Mengetahui bahwa Guru ingin duduk, Thera melipat empat jubah luarnya (yang halus) dan menghamparkannya dan berkata, “Buddha Yang Agung, silakan Buddha Yang Agung duduk di sini. Perbuatan Buddha duduk di sini akan memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepadaku dalam waktu yang lama.”
Bertukar Jubah
Setelah duduk beralaskan jubah luar yang dilipat empat, Buddha meraba tepi jubah itu dengan tangannya yang berwarna seperti teratai mekar dan berkata, “Anak-Ku Kassapa, jubah luarmu ini terbuat dari sehelai kain tua yang sangat halus!”
(‘Mengapa Buddha mengucapkan kata-kata pujian?’ Jawabannya: Karena Beliau ingin bertukar jubah dengannya.
‘Mengapa Buddha ingin bertukar jubah?’ Jawabannya: Karena Beliau ingin menetapkan posisi Thera sebagai pengganti Beliau.
‘Bukankah penetapan posisi itu juga diberikan kepada Sàriputta dan Thera Moggallàna?’ Jawabannya: Ya, mereka juga, tapi Buddha berpikir: ‘Mereka berdua tidak berumur panjang. Mereka akan mencapai Parinibbàna sebelum diri-Ku. Akan tetapi, Kassapa, akan hidup hingga usia seratus dua puluh tahun. Empat bulan setelah Aku Parinibbàna, di dalam gua di mana tumbuh pohon sattapanni, ia akan mengadakan sidang (saïgàyanà) untuk membacakan dan menyepakati Dhamma dan Vinaya; ia akan melakukan sesuatu untuk Pengajaran-Ku sehingga dapat bertahan selama lima ribu tahun.’ Buddha juga berpendapat bahwa ‘Jika Aku menempatkannya di posisi-Ku, para bhikkhu akan mematuhinya.’ Demikianlah keinginan Buddha untuk menetapkan posisi Thera dalam posisi Beliau. Karena alasan itulah Buddha ingin bertukar jubah dan karena keinginan itulah Buddha memuji Mahà Kassapa.)
Jika seseorang dengan penuh kekaguman menyatakan kualitas baik dari mangkuk atau jubah, sudah menjadi kebiasaan bagi Thera mulia untuk menjawab, “Silakan terima mangkuk ini, Yang Mulia,” atau “Silakan terima jubah ini, Yang Mulia,” Oleh karena itu, mengetahui isyarat bahwa ‘Buddha Yang Agung ingin mengenakan jubah luarku, karena ia memuji kehalusannya,’ Thera berkata, “Buddha Yang Agung, sudilah Yang Mulia mengenakan jubah luar ini.” “Anak-Ku Kassapa, jubah apa yang akan engkau pakai kalau begitu?” Buddha bertanya. “Jika aku boleh memiliki jubah yang Engkau pakai, aku akan memakainya,” jawab Thera. Kemudian Buddha berkata, “Anak-Ku Kassapa, dapatkah engkau melakukan hal itu? Jubah ini yang terbuat dari potongan kain usang yang sudah sangat tua karena telah lama Kupakai. Sesungguhnya, saat Aku memungut kain itu, pada hari itu terjadi gempa bumi yang berguncang hingga ke bawah batas air. Mereka yang kurang mulia tidak akan mampu mengenakan jubah usang ini. Hanya mereka yang selalu berdiam di dalam praktik Dhamma dan mereka yang secara alami memiliki kemuliaan itu yang layak memakainya.” Setelah berkata demikian Buddha menyerahkan jubah-Nya kepada Thera Kassapa. Setelah bertukar jubah, Buddha memakai jubah Thera dan Thera memakai jubah Buddha. Pada waktu itu terjadi gempa bumi dahsyat yang berguncang hingga ke bawah batas air seolah-olah mengatakan, “Buddha Yang Agung, Engkau telah melakukan suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Tidak pernah ada sebelumnya seorang Buddha menyerahkan jubah-Nya kepada siswa-Nya. Aku tidak dapat menahan kemuliaan-Mu.”
Pencapaian spiritualitas dan gelar Etadagga
Pada Yang Mulia Thera Kassapa, tidak pernah ada keangkuhan muncul dalam dirinya karena mendapatkan jubah Buddha; ia tidak pernah berpikir, “Sekarang aku mendapatkan jubah yang sebelumnya digunakan oleh Buddha; aku tidak perlu lagi berusaha untuk mencapai Jalan dan Buah yang lebih tinggi.” Sebaliknya, ia bertekad untuk melatih tiga belas praktik keras (dhutaïga) dengan gembira seperti yang diajarkan oleh Buddha. Karena ia berusaha keras dalam mengembangkan praktik Dhamma pertapaan, hanya tujuh hari ia menjadi seorang awam dan pada hari kedelapan, saat dini hari, ia mencapai Kearahattaan lengkap dengan empat Pengetahuan Analitis (Pañisambhidà-Magga ¥àna).
Dengan Thera ini sebagai teladan, Buddha membabarkan banyak khotbah seperti yang terdapat dalam Nidànavagga Kassapa Samyutta.
Buddha memuji Thera dalam banyak sutta seperti Cand’åpama-Sutta, di mana Buddha mengatakan, “Kassapo bhikkhave candåpamo kulàni upasaïkamati” “Para bhikkhu, Thera Kassapa mendekati penyumbangnya yang terdiri dari empat golongan dengan mengendalikan perbuatan, perkataan, dan pikirannya bagaikan bulan, yaitu, dengan terbebas dari perbuatan, ucapan, dan pikiran yang kasar, ia mendekati penyumbangnya.” Selanjutnya Buddha menganugerahkan gelar Etadagga dengan memuji praktik dhutaïga Thera mulia seperti tertulis dalam Kassapa Saÿyutta dengan ucapan:
“Etadaggam bhikkhave mama sàvakànam bhikkhånam dhutavàdànam yadidam Mahàkassapo.”
“Para bhikkhu, di antara para bhikkhu siswa-Ku, yang mempraktikkan dan menasihati yang lainnya untuk mempraktikkan dhutanga yang mulia yang meruntuhkan kotoran moral (kilesa), Thera Kassapa adalah yang terbaik.”
Sumber : Buddhavamsa (Riwayat Agung Para Buddha)