Choa, Ariyakumara & Temen2.
Sekedar memastikan saja. apa sih faktor2 Jhana itu menurut anda dan menurut Sutta? Saya biasa menemukannya di Abhidhamma, tapi saya tertarik menemukan di Sutta atau penglaman anda
DiSutta, disebut pikiran pemicu, pikiran penahan, kegiuran, kebahagiaan. ini bukan? kalopun iya, bisakah anda2 ini memberi penjelasan?
DN 2 Samannaphala Sutta:
75. ‘Dan ketika ia mengetahui bahwa lima rintangan ini telah meninggalkannya, kebahagiaan muncul dalam dirinya, dari kebahagiaan muncul kegembiraan, dari kegembiraan dalam batinnya, jasmaninya menjadi tenang, dengan jasmani yang tenang, ia merasakan kenikmatan, dan dengan kenikmatan, pikirannya terkonsentrasi. Dengan keberpisahan demikian dari kenikmatan-indria, berpisah dari kondisi-kondisi buruk, ia masuk dan berdiam dalam
jhàna pertama, yaitu awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, yang muncul dari keberpisahan, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan kegirangan dan kegembiraan yang muncul dari keberpisahan, ia meliputi, basah seluruhnya, mengisi dan meliputi tubuhnya sehingga tidak ada bagian dalam tubuhnya yang tidak tersentuh oleh kegirangan dan kegembiraan yang muncul dari keberpisahan itu.’
77. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, dengan melenyapkan awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, dengan memperoleh ketenangan di dalam dan keterpusatan pikiran, memasuki dan berdiam dalam
jhàna kedua, yang tanpa awal-pikiran dan kelangsungan-pikiran, muncul dari konsentrasi, dipenuhi dengan kegirangan dan kegembiraan. Dan dengan kegirangan dan kegembiraan ini, yang muncul dari konsentrasi, ia meliputi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh.’
79. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, dengan meluruhnya kegembiraan, tetap tidak terganggu, penuh perhatian dan berkesadaran jernih, dan mengalami dalam dirinya, kegembiraan yang oleh Para Mulia dikatakan: “Berbahagialah ia yang berdiam dalam keseimbangan dan perhatian murni,” dan ia memasuki dan berdiam dalam
jhàna ketiga. Dan dengan kegembiraan ini, yang hampa dari kegirangan, ia meliputi seluruh tubuhnya sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh.’
81. ‘Kemudian, seorang bhikkhu, setelah meninggalkan kenikmatan dan kesakitan, dan dengan lenyapnya kegembiraan dan kesedihan sebelumnya, memasuki dan berdiam dalam
jhàna keempat yang melampaui kenikmatan dan kesakitan, dan dimurnikan oleh keseimbangan dan perhatian murni. Dan ia duduk meliputi seluruh tubuhnya dengan kemurnian batin dan kebersihan [76] sehingga tidak ada bagian yang tidak tersentuh.’