saya pribadi blm memahami makna mantram. Tapi kalo gak salah mantram tdk bisa dijelaskan scr ilmiah, karena ada kaitan dgn sifat metafisika. Byk fenomena dunia yg blm bisa dijelaskan, so saya rasa diskusi ini tidak akan mencapai titik kesimpulan yg bisa diandalkan. Mahayana saja blm memahami mantram sebaik Tantrayana. Itulah sebabnya Mahayana hanya menjalankan ritual praktik pembacaan mantra dgn tulus berdasarkan keyakinan bhw itu ajaran Buddha. Kalo Tantrayana jauh lebih memahaminya, dan karena saya tidak begitu mendalami Tantra, saya blm sanggup menjelaskan lebih jauh. Tapi dari penjelasan bro bond misalnya, itu memberi sinyal bhw sebenarnya mantra itu harus dipraktikkan berdasarkan kekuatan keyakinan+faktor2 lain yg mendukungnya. Bila tidak maka percuma, akan sama seperti membaca artikel kata2 yg kosong tanpa efek.
Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih yang sebanyak2nya pada bro chingik
krn telah menyelesaikan 'perselisihan' di sini. Turut bermudita atas tindakan bro
Nah kalau begini, diskusi dapat enak berjalan toh!! hehe
. Utk riky, saya sebagai salah satu pihak Mahayanis, saya terima permintaan maafnya, harapannya adalah bro ke depannya jangan mudah meledak2 atau mengeluarkan kata2 yang tidak pantas. Kalau misalnya bro emosi karena ada pihak yang memaki, anggaplah makian itu sebagai permata yang berharga untuk melihat ke dalam diri, mengoreksi apa yang salah dalam diri. Ini adalah metode
lojong dalam Mahayana.
Kalau tidak, maka makian itu akan terus membekas dan terus akan membuat seseorang emosi.
Untuk Mantra, sebenarnya dalam Vajrayana memiliki banyak makna. Satu suku kata Mantra dapat memiliki banyak sekali makna, kadang tiga sampai empat makna. Misal "Om Ma Ni Pad Me Hum" saja bisa diartikan ke dalam banyak makna (kalau mau gampangnya lihat wikipedia). Maka seringkali Mantra tidak diberi artinya karena sangking banyaknya, arti mana yang anda mau? Namun kalau seseorang mmg bertanya apa artinya, tentu pasti ada. Hanya saja dalam pelatihan Mantra terkadang tak dibutuhkan artinya. Mengapa?
Dalam pelatihan Mantra ada 4 cara yang bisa dipraktekkan:
1. Secara Visualisasi
Memvisualisasikan Buddha / Bodhisattva tertentu dengan bija aksara sambil membaca Mantra
2. Secara Samatha
Melafalkan mantra sambil berpusat pada suara Mantra itu sendiri.
3. Secara Vipashyana
Melafalkan Mantra sambil memeditasikan / merenungkan: Siapakah yang membaca Mantra? Diriku ini adalah Shunyata / Tanpa Aku. Buddha adalah Shunyata / Tanpa Aku. Lalu apakah hakekat semuanya ini? Apa itu Shunyata / Anatman? Sampai tidka ada perbedaan lagi antara pelafal, Buddha dan mantra yang dilafalkan.
4. Secara Maitri Karuna
Yaitu melafal Mantra sambil berpikir semua makhluk menderita oleh karena karma mereka, maka aku akan bertekad untuk membebaskan mereka semua.
Nah pelafalan mantra2 dgn metode di atas dilakukan tanpa merenungkan artinya, maka dari itu terkadang dalam teks2 mantra tidak diberi artinya.
Arti dari Mantra bisanya dijabarkan dalam pembabaran Dharma tentang Mantra itu sendiri. Arti tersebut memperkuat motivasi kita dan pengertian kita, sehingga ketika membaca Mantra kita dapat tahu dengan jelas apa maksud dan tujuannya. Namun tidak mengetahui artinya bukan berarti tidak dapat dipraktekkan Mantra itu (misal dengan samatha kita memeditasikan suara dari mantra tersebut, bukan artinya).
Dan dalam keempat metode di atas, semuanya harus dilandaskan atas motivasi BODHICITTA. Tanpa Bodhicitta, maka Mantra itu tidak akan ada efeknya sama sekali. Maksimal hanya manfaat duniawi yang kecil2an saja kalau tanpa Bodhicitta. Ini sama dengan Atanatiya Sutta yang harus dibacakan dengan motivasi mencapai Pembebasan. Semua Mantra dari ajaran Buddha harus dilandaskan BODHICITTA, di mana Bodhicitta ini berkaitan pula dengan SILA, SAMADHI dan PRAJNA.
Bila sekarang objek yang dimaksud adalah suami istri, maka apa mustahil dilakukan dengan niat Bodhicitta? Tentu tidak. Seseorang yang ingin rukun dengan pasangan hidupnya dengan melafal Maha Karuna Dharani Sutra, harus memiliki
Bodhicitta seperti yang disebutkan dalam awal Sutra. Bagaimana cara kerjanya?
Kita contohlah tekad Sumedha (Megha) dan Sumitta (Prakrti) serta Nakulapita dan Nakulamata, Buddhapita dan Buddhamata. Mereka semuanya menjadikan pasangan hidup mereka sebagai kalyanamitra menapaki Sang Jalan.
Dengan motivasi Bodhicitta sambil melafalkan Maha Karuna Dharani Sutra, maka kita bertekad, "Semoga saya dapat rukun dengan suami / istri saya dan menjadikannya sebagai kalyanamitra, seseorang yang berkebajikan dan dengan demikian dapat mencapai Bodhi pada akhirnya. Semoga perselisihan yang menjauhkan kami dari usaha saling bahu membahu mencapai Pencerahan ini terselesaikan."
Tanpa motivasi seperti ini, maka akan sia2 saja Maha Karuna Dharani itu. Karena cara kerja Mantra / Paritta dalam Buddhis adalah Motivasi Pembebasan (Bodhi). Ini BEDA dengan mantra2 dari para dukun yang dasarnya hanya duniawi saja atau santet2an dan cara kerjanya seringkali dibantu para makhluk halus duniawi.
Lalu lantas apakah hanya dengan melafal Mantra saja dapat merukunkan suami istri? Tentu bisa! Melafal mantra mencakup keempat metode di atas: Visualisasi, Samatha, Vipashyana dan Maitri Karuna. Dengan Samatha kita dapat meredakan emosi antar pasangan. Dengan vipashyana kita dapat mengetahui akar perselisihan antar pasangan dan timbul prajna dalam diri kita untuk menyadari permasalahn tsb sehingga mampu menyelesaikannya. Dengan maitri karuna maka kita akan menumbuhkan cinta kasih dan niat memaafkan kesalahan pasangan kita.
Maka dari itu tidak mustahil pembacaan Mantra dapat emmbuat suami istri rukun kembali!
Lalu apa lantas harus 1008 kali? Tentu tidak, tapi setidaknya itu angka yang memiliki manfaat sendiri. Seperti mislanya dalam praktik Ngondro Vajrayana, seseorang harus melakukan Namaskara sebanyak 100000 kali. Namun guru2 besar Vajrayana seperti Phabongkha Rinpoche mengatakan bahwa
kita seharusnya tidak melekati jumlah dari namaskara itu sendiri. Kemelekatan ini malah akan ajdi penghalang kemajuan batin kita.
Jumlah dari pembacaan Mantra atau Namaskara yang disertai Bodhicitta itu hanyalah sebuah ungkapan terampil untuk membuat seseorang tidak kenal lelah mengumpulkan kebajikan, mengatasi rasa malas serta memperkuat ketulusan dan kesabaran.
Maka dari itu dikatakan melafal nama Buddha 1 kali saja cukup untuk membawa ke Sukhavati, apalagi 10 kali seperti yang dibabarkan dalam Sutra, itupun cukup. Tapi apa dengan begitu kita melafalkan "Namo Amitabha" lantas kita langsung terlahir di Sukhavati? Tentu TIDAK. Para praktisi Sukhavati zaman dulu terus menerus menentang interpretasi salah mengenai "melafal 1 kali nama Buddha saja sudah cukup." Bila salah dimengerti , amka ini akan membuat praktisi malas karena toh dengan satu kali pengucapan saja sudah bisa bawa ke Sukhavati.
Lalu apa makna dari satu kali ini sih?? Makna dari satu kali ini adalah apabila kita sudah mampu melafal nama Buddha secara terpusat dan bahkan tidak ada perbedaan lagi antara yang melafal dan dilafalkan. Ini pencapaian Samatha- Vipashyana yang disebut Ekavyuha Samadhi (Yixing Sanmei) yang mana berarti kita mencapai Bodhisattva Bhumi pertama. "EKA" dari Ekavyuha disinilah yang bermakna "Satu Kali" tersebut.
Lalu penggunaan bulu bebek pun tidak harus. Alasannya sudah saya jelaskan karena bebek memiliki makna tertentu bagi pasangan. Jadi secara budaya ya tentu di India itu bulu bebek memiliki makna khusus. Sebuah barang bsia saja powerfull sesuai dengan konteks budaya masing-masing.
Misal kita mendapatkan hadiah spesial dari teman kita sambil memberikan kata-kata yang mewujudkan sebuah persahabatan yang erat dan rasa terima kasih yang mendalam, tentu kita akan menjadi sangat bahagia dan kita menumbuhkan cinta kasih pada temen kita tersebut.
Sama dengan bulu bebek.
Hadiah dari temen kita = Bulu bebek dari pasangan
Kata-kata persahabatan = Mantra para Buddha / Bodhisattva.
Ditunjang dengan penletian Emoto bahwa kata2 bisa mempengaruhi pola kristal air, maka kita dapat yakin bahwa Mantra / Paritta, yang penuh dengan arti kebajikan, dilafalkan dengan Bodhcitta maka akan memberikan efek pada atom-atom yang ada dalam bulu bebek tersebut, sebagaimana kata2 pujian dan olokan mempengaruhi pola kristal air.
Lalu apa harus bulu bebek? Saya jelaskan: TIDAK. Tergantung konteks budaya masing2. Kalau zaman sekarang bisa dengan coklat, dsb.
Apa pasti terkabul? Ini tergantung Karma juga. Maka dari itu dalam Lamrim selalu ditekankan Karma dan Karma sampai YA Atisha Dipankara dipanggil sebagai 'Lama Karma'. Demikian juga para master Tionghoa juga selalu menekankan hubungan sebab akibat. Kepastian dan keterkabulan Mantra tidaklah terpisah dari cara kerja Karma.
Pelafalan mantra didasari atas Bodhicitta yang didasarkan atas Tathagatagarbha (Benih Ke-Buddhaan). Sang Buddha berkata dalam Mahaparinirvana Sutra: "Bersesuaian dengan Hukum sebab dan akibat" adalah seperti Dharma yang muncul dari Pratityasamutpada." dan beliau juga berkata bahwa Pratityasamutpada berkaitan dengan Tathagatagarbha. Hubungan sebab akibat (karma) beserta Sila Samadhi Prajna dan Paramartha Satya (Nirvana) semuanya memiliki satu inti makna, demikian ucap Sang Buddha dalam Mahaparinirvana Sutra. Maka dari itu pelafalan Mantar tidak terlepas dari Tathagatagarbha tidak terlepas dari Hukum Sebab Akibat.
The Siddha Wanderer